SKRIPSI
WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI SECARA SEPIHAK
Oleh :
BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA
NIM. 030911017
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013
WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
SECARA SEPIHAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
OLEH :
BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA
NIM. 030911017
DOSEN PEMBIMBING PENYUSUN
PROF. Dr. AGUS YUDHA HERNOKO, S.H., M.H. BAGUS GEDE M. W. A
NIP. 196504191990021001 NIM. 030911017
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan
di hadapan Tim Penguji pada tanggal 9 Juli 2013
Tim Penguji Skripsi :
Ketua : Bambang Sugeng Ariadi Subagyo, S.H., M.H. ………………………
NIP. 196812291993031004
Anggota : 1. Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. ………………………
NIP. 196504191990021001
2. Erni Agustin, S.H., LL.M. ………………………
NIP. 198308102006042001
3. Faizal Kurniawan, S.H., M.H., LL.M. ………………………
NIP. 198402172006041001
iv
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah
dan restu-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “WANPRESTASI
AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan bantuan, dan
bimbingan dari berbagai pihak, Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan
hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua Orang tua yang penulis cintai dan hormati, Ayah I Made Arjaya, S.H., M.H dan
ibu Ni Wayan Arniti, S.E., M.Kes., yang tak henti-hentinya memberi dukungan , doa dan
semangat kepada penulis dari seberang pulau selama menuntut ilmu di Surabaya.
2. Bapak Prof. Dr Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya.
3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang sudi
meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memotivasi penulis untuk
menyelesaikan penulisan skripsi di tengah kesibukan beliau sebagai Ketua Program Studi
Magister Hukum Universitas Airlangga.
4. Ibu Dr. Sri Winarsi, S.H.,M.H. selaku dosen wali yang telah membantu dan mengarahkan
penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
v
5. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, terima kasih atas curahan ilmu
pengetahuan yang merupakan bekal bagi penulis menjalani kehidupan setelah
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum.
6. Adik satu-satunya Bendesa Gede Mas I.A., semoga suatu hari nanti dapat mengukir
prestasi melebihi penulis.
7. I Gusti Ayu Vedadhyanti W.R, tempat penulis bercerita, berkeluh kesah dan sumber
motivasi penulis selama masa penulisan skripsi.
8. Keluarga Besar I Gusti Ganda Kusuma, Bu Man, serta kedua saudari saya yang cantik
ning Prasavita, S.H., dan Gek Ria, terima kasih telah memberikan perhatian dan bantuan
selama penulis menjalani perkuliahan. Terutama saudari Prasavita yang melalui kata
pengantar skripsinya menyadarkan penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban
penulisan skripsi.
9. Saudara-saudara satu atap Asrama Mahasiswa Bali Tirtha Gangga, baik senior, satu
angkatan maupun adik-adik angkatan yang mengisi dinamika kehidupan penulis selama
empat tahun di Surabaya.
10. Kawan-kawan keluarga besar UKMKHD Unair yang mengisi waktu luang penulis di luar
jam perkuliahan dengan kegiatan yang positif baik keagamaan maupun minat bakat.
11. Saudara-saudari satu kelompok KKN-BBM Tematik Kelurahan Jagir 2011-2012, dari
satu bulan yang singkat penulis mendapat kenangan dan pelajaran yang tak terhitung
jumlahnya.
12. Sahabat-Sahabat ACAK dan sahabat-sahabat sejak di kelompok Ospek Budi Susetyo,
Mas Gondrong dan Mas Jairon, terima kasih atas semua kenangan di kampus merah
tercinta.
vi
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kebaikan pada masa yang akan
datang. Akhirnya, penulis berhadap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Surabaya, Juni 2013
Penulis
Bagus Gede M. W. A
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………...... ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………....... iv
MOTTO………………………………………………………………………………. vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang……………………………………………………. 1
2. Rumusan Masalah………………………………………………… 9
3. Tujuan Penelitian…………………………………………………. 10
4. Metode Penelitian…………………………………………………. 10
BAB II KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL
BELI YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN
PERJANJIAN SECARA SEPIHAK
1. Hubungan Hukum Para Pihak……………………………………. 13
2. Klausul- Klausul dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli…………………………………………………………………. 24
ix
3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan
Memberlakukan Syarat Putus…………………………………….. 39
BAB III GUGATAN WANPRESTASI OLEH PEMBELI AKIBAT
PENJUAL MEMUTUSKAN PERJANJIAN BERDASARKAN SYARAT
PUTUS
1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap
Perjanjian……...................................................................................... 43
2. Keberadaan Pernyataan Lalai dalam Pemberlakuan Syarat Putus 50
3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang
Dilakukan oleh Para Tergugat ………………………....................... 53
4. Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Setelah Penjual
Dinyatakan Wanprestasi dalam Putusan Pengadilan……………. 66
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan………………………………………………………… 71
2. Saran……………………………………………………………….. 72
DAFTAR BACAAN
LAMPIRAN
Salinan Akta Pengikatan Jual Beli Tanggal 10 Mei Nomor 15
Salinan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.787/Pdt.G/2011/ PN.Dps
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Perjanjian atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan nama kontrak merupakan salah
satu aspek penting dalam hukum, terutama hukum perdata. Terhadap penggunaan istilah
perjanjian atau kontrak terdapat perbedaan pendapat dari para sarjana yang membedakan atau
menyamakan kedua peristilahan ini. salah satu pendapat sarjana yang menyamakan peristilahan
perjanjian dan kontrak adalah Agus Yudha Hernoko yang dalam bukunya menyatakan :
Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian saya sependapat dengan beberapa
sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dan perjanjian. Hal ini
disebabkan fokus kajiannya saya berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek
(BW), dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian
yang sama dengan kontrak (contract).1
Salah seorang sarjana yang berpendapat bahwa kontrak dan perjanjian memiliki pengertian
yang berbeda adalah Subekti. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana
1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana,
Jakarta, 2011, h. 15.
2
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dan dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.”2 “Sedangkan
perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
tertulis.”3 Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.4 Dalam kehidupan sehari-hari beragam jenis perjanjian yang
melahirkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya sebagai suatu hubungan hukum
terjadi di sekitar kita. Keberadaan perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita
temukan pengaturannya pada pasal 1233 BW yang menyatakan bahwa : “ Tiap-tiap perikatan
dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang.” Selain pasal 1233 BW tersebut
terdapat pula pasal 1313 BW yang menegaskan ketentuan pasal 1233 yang rumusan
ketentuannya menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian
yaitu unsur esenselia, unsur naturalia dan unsur accidentalia. Pada hakikatnya ketiga macam
unsur dalam perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang
diatur dalam pasal 1320 BW dan pasal 1339 BW.5 Unsur esensialia adalah unsur yang menjadi
2 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002 (selanjutnya disebut Subekti I), h. 1.
3 Ibid.
4 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 4.
5 Lihat Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2003, h.84.
3
pembeda antara satu perjanjian dengan perjanjian lainnya, tanpa adanya unsur esensialia maka
perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi
beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan sesuai dengan kehendak para pihak. Unsur naturalia
adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui
secara pasti. Dan unsur accidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai
dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara
bersama-sama oleh para pihak.
Suatu perjanjian bermula dari persamaan kehendak para pihak yang membuatnya dengan
tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1320
BW. Syarat ini adalah dasar dari segara perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara para
pihak yang membuatnya. BW telah mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan dasar hukum
suatu perjanjian sebagai pegangan atas keabsahan perjanjian-perjanjian yang dibuat masyarakat
dalam kehidupan sehari hari. Jenis-jenis perjanjian yang pengaturannya telah terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan ini kemudian dikenal sebagai perjanjian bernama. Dikatakan
perjanjian bernama karena perjanjian-perjanjian ini diatur secara khusus dalam suatu perundang-
undangan contohnya antara lain perjanjian jual-beli, sewa menyewa dan tukar menukar, yang
pengaturan mengenai nama bentuk dan penyelenggaraannya telah diatur dalam BW.
Namun seiring berjalannya waktu muncul jenis-jenis perjanjian baru yang pengaturan-
pengaturan mengenai bentuk dan pelaksanaannya tidak ditemukan dalam BW dan atau peraturan
perundang-undangan lainnya. Bentuk-bentuk perjanjian baru ini muncul akibat perkembangan
zaman yang menimbulkan munculnya format-format perjanjian baru yang menyesuaikan dengan
kebutuhan manusia dan nuansa hukum yang terjadi saat itu.
4
Salah satu perjanjian tak bernama yang kini kerap dijumpai adalah perjanjian pengikatan
jual beli, perjanjian ini biasanya muncul pada rezim hukum agraria terutama dalam kasus jual
beli tanah atau rumah. Pengikatan jual beli menurut R. Subekti6 adalah “perjanjian antar para
pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-
unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena
masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga”, dan menurut Herlien Budiono,
perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian
pendahuluan yang bentuknya bebas7. Dari pendapat kedua sarjana ini dapat diambil kesimpulan
bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah suatu perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum
perjanjian pokok atau perjanjian utamanya dilaksanakan.
Perjanjian ini pada mulanya muncul akibat rumitnya pemenuhan atas persyaratan-
persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian jual beli di hadapan notaris, utamanya
praktik jual beli tanah atau jual beli rumah. Maka mengingat asas kebebasan berkontrak dari
buku III BW yang membebaskan subjek hukum untuk seluas-luasnya mengadakan perjanjian
yang isi dan bentuknya merupakan kesepakatan para pihak yang menyusunnya, selama tidak
melanggar peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan para pihak yang
berkepentingan ini kemudian membentuk suatu perjanjian yang kini kita kenal sebagai perjanjian
pengikatan jual beli. Karena perjanjian ini lahir karena kebutuhan dan tidak diatur tegas dalam
bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli ini tidak memiliki
bentuk tertentu. Sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa perjanjian pengikatan jual beli
6 Subekti I, Op. Cit., h.75.
7 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2012 (selanjutnya disebut Herlien Budiono I), h.270.
5
adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.
Akan tetapi dalam dalam praktik sehari-hari biasanya oleh para pihak perjanjian ini dituangkan
dalam suatu akta otentik yang dibuat di hadapan notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang membuatnya.8
Dalam praktiknya di masyarakat perjanjian pengikatan jual beli biasanya dipilih oleh para
pihak yang mengikatkan diri kepadanya karena :
a. Harga yang telah disepakati untuk pembayaran belum dibayar lunas oleh pembeli atau
pembayaran dilakukan secara angsuran.
b. Penjual membutuhkan uang hasil penjualan untuk keperluan mendesak dan tidak dapat
menunggu proses balik nama menjadi atas nama pembeli selesai.
c. Permohonan sertipikat tanah atas nama pembeli sedang diproses di Badan Pertanahan
Nasional tetapi pembeli tersebut memiliki kebutuhan yang mendesak sehingga terpaksa
menjual tanah tersebut tanpa menunggu sertipikat tanahnya selesai.
Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini terjadi antara I Made Mudra dan I Wayan
Sandi sebagai pihak pertama, dan I Nyoman Mirna sebagai pihak kedua. Pihak Pertama adalah
pemilik dari tiga bidang tanah hak milik terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang akan dijual kepada pihak kedua. Akan tetapi karena
harga jual beli dari tanah belum dilunasi, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayar maka para pihak sepakat untuk membuat
suatu perjanjian pendahuluan yang dituangkan dalam suatu Akta Pengikatan Jual Beli pada
8R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan : Pedoman praktis pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, h. 7.
6
Notaris I Made Pria Dharsana pada hari Jumat tanggal sepuluh Mei tahun dua ribu dua, dengan
Nomor akta 15. Berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati beberapa poin
yang dituangkan dalam pasal demi pasal dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, antara lain
poin pembayaran sebagaimana berikut :
- Harga penjualan atau pembelian dari tanah adalah sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat
milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah).
- Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayar oleh Pihak
Kedua pada Pihak Pertama pada saat akta ditandatangani, dan akta ini dinyatakan sebagai
kwitansi pembayaran yang sah.
- Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta
rupiah akan dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama selambat-lambatnya setelah
hak atas tanah tersebut bersertipikat.
Perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana perjanjian pada umumnya mengandung hak
dan kewajiban dari para pihak yang tunduk kepada perjanjian tersebut. Dengan keberadaan hak
dan kewajiban ini seringkali muncul perselisihan-perselisihan yang timbul karena salah satu
pihak mengingkari janji atau wanprestasi dengan tidak melakukan pemenuhan kewajiban atau
prestasi dari perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya. Wanprestasi (kelalaian atau
kealpaan) dapat berupa empat macam yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan,
melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya.9 Untuk mengantisipasi terjadinya wanprestasi ini para pihak telah
9 Subekti I, Op.Cit., h. 45.
7
merumuskan suatu syarat batal yang dituangkan dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli antara para pihak yang telah disebutkan diatas :
Pasal 6
- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan
kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam
pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan
jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa
harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan
oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada
PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah
uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi
dengan diberikan kepastian lokasi.
- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA
harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.
Untuk mengantisipasi wanprestasi yang mungkin terjadi setelah disepakatinya perjanjian,
dalam praktiknya suatu perjanjian pengikatan jual beli menyertakan klausula pembatalan
perjanjian secara sepihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Walaupun dalam kontrak
terdapat syarat batal, akan tetapi istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemutusan
kontrak. Mengenai penggunaan istilah hukum ini Agus Yudha Hernoko10
berpendapat :
10
Agus Yuda Hernoko, Op. Cit., h. 296.
8
Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan kontrak dengan pemutusan
kontrak, adalah terletak pada fase hubungan kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak
senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase
pembentukan kontrak), sedangkan pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui
keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para
pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan
kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak).
Setelah akta pengikatan jual beli dinyatakan sah dan mengikat para pihak yang
membuatnya, dalam pelaksanaanya pihak kedua mendalilkan bahwa pihak pertama wanprestasi
karena pihak pertama tidak pernah memberitahukan kepada pihak kedua bahwa tanah obyek
pengikatan telah bersertipikat, dan ketika pihak kedua mendatangi pihak pertama untuk
melanjutkan pembayaran pihak pertama menyatakan tidak jadi menjual tanahnya. Atas dalil
wanprestasi ini kemudian pihak kedua mendaftarkan gugatan kepada Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Denpasar dengan nomor register perkara 787/ Pdt. G/ 2011/ PN. Dps pada tanggal dua
puluh delapan Desember dua ribu sebelas.
Dalam gugatannya penggugat mendalilkan para tergugat telah wanprestasi karena tidak
adanya itikad baik dari para tergugat untuk memenuhi isi dari Akta Pengikatan Jual Beli tanggal
sepuluh Mei dua ribu dua, Nomor 15 dan Akta Kuasa tanggal sepuluh Mei dua ribu dua, nomor
:16. Penggugat dalam beberapa poin gugatannya menuntut para tergugat agar dihukum untuk
membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan
9
hukum tetap sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dengan perincian kerugian
materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan kerugian immaterial sebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan menghukum Para Tergugat membayar uang paksa
kepada penggugat sebesae 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari lalai melaksanakan isi
putusan terhitung sejak putusan diucapkan sampai dilaksanakan oleh Tergugat.
Pihak pertama selaku para tergugat dalam jawaban atas gugatan dalam salah satu poin
konpensi menolak dalil wanprestasi dari pihak kedua selaku penggugat, karena para tergugat
menyatakan tindakan para tergugat masih dalam koridor Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15
khususnya pasal enam paragraf kedua, dan dalil Penggugat untuk menuntut ganti kerugian
sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) merupakan dalil tanpa dasar hukum dan
bertentangan dengan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15 khususnya pasal enam paragraf kedua.
Gugatan wanprestasi ini diputus oleh majelis hakim pada tanggal lima belas Oktober dua
ribu dua belas yang dalam pokok perkaranya antara lain menyatakan mengabulkan sebagian
gugatan penggugat, menyatakan bahwa pihak pertama selaku tergugat telah melakukan
wanprestasi dan menghukum para tergugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah dihadapan
PPAT atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Akta Pengikatan
Jual Beli tanggal 10 Mei 2002 Nomor 15. dan juga menghukum Para Tergugat untuk membayar
uang paksa kepada Penggugat sebesar 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari, setiap Para
Tergugat lalai melaksanakan putusan terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap.
2. Rumusan Masalah
Adapun berdasar latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diangkat
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
10
a. Apakah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang berisi klausula pemutusan sepihak memiliki
kekuatan mengikat?
b. Apakah pemutusan pengikatan jual beli tanpa persetujuan pihak lain dapat dijadikan dasar
gugatan wanprestasi?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan oleh pemutusan perjanjian pengikatan
jual beli oleh salah satu pihak.
2. Untuk mengetahui Apakah akta pengikatan jual beli mempunyai nilai akta jual beli.
3. Untuk mengetahui Apakah pemutusan akta pengikatan jual beli oleh penjual yang klausula
pemutusannya telah diatur dalam akta pengikatan jual beli dapat dikategorikan
wanprestasi.
4. Untuk mengetahui Apakah Hakim yang menyatakan pihak penjual/Tergugat Wanprestasi
dapat menyimpangi ketentuan dalam akta pengikatan jual beli yang telah disepakati oleh
para pihak atau Hakim semestinya memutuskan memerintahkan kepada para pihak untuk
mengikuti ketentuan dalam akta pengikatan.
4. Metode Penelitian
a. Tipe penelitian
Skripsi ini menggunakan tipe penulisan normatif, dengan melakukan penelitian terhadap
norma yang tertuang dalam aturan, yang berangkat dari kekaburan norma, konflik norma atau
kekosongan norma.
11
b. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case
approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) 11
adalah suatu pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum
yang sedang ditangani.
Pendekatan konseptual menurut Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan yang “...
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti
akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.”12
Pendekatan kasus (case approach) merupakan suatu pendekatan dengan cara menelaah
kasus-kasus yang memiliki keterkaitan dengan isu yang dihadapi melalui suatu putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.13
c. Sumber Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer yang digunakan sebagai sumber penulisan skripsi ini adalah
Burgerlijk Wetboek Staatsblad 1847 Nomor 23, Herzien Inlandsch Reglement /
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, h. 93.
12Ibid, h. 95.
13Ibid, h. 94.
12
Reglemen Indonesia Yang Dibaharui Staatsblad 1848 No. 16 jo. 57 dan Staatsblad 1941
No. 31, 32 dan 44, Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Denpasar No
787/Pdt.G/2011/PN.DPS, dan Akta Notaris Nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.
2. Bahan Hukum Sekunder yang menjadi sumber bahan penunjang penulisan skripsi ini
berupa kepustakaan yang terdiri dari buku-buku hukum.
13
BAB II
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN PERJANJIAN
SECARA SEPIHAK
1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang berbentuk
bebas, fungsi dan tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah untuk mempersiapkan,
menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu hubungan hukum
yang terjadi dalam perjanjian pokoknya, perjanjian pokok dalam perjanjian pengikatan jual beli
adalah perjanjian jual beli14
. Perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo)15
merupakan
suatu perjanjian bantuan yang memiliki pengertian suatu perjanjian di mana para pihak saling
mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian baru/pokok yang merupakan tujuan dari para
pihak. Perjanjian bantuan yang dibuat untuk memperkuat perjanjian pokok dapat dilihat pada
perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai, borgtoch, dan fidusia.
Suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian
jual beli maka syarat-syarat perjanjian pengikatan jual beli hampir serupa dengan perjanjian jual
beli. Persamaan syarat ini dapat dilihat dari subyek dalam perjanjian pengikatan jual beli. dalam
perjanjian pengikatan jual beli subyeknya sama dengan dengan subyek perjanjian jual beli yang
diatur dalam pasal 1457 BW yaitu adanya pembeli yang menyerahkan suatu kebendaan dan
14
Lihat Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 15
Ibid
14
penjual yang membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam tulisan ini I Made Mudra sebagai
salah seorang ahli waris dari almarhum I Sanek; dan juga berdasarkan surat kuasa di bawah
tangan tertanggal dua puluh dua april tahun dua ribu dua bertindak untuk dan atas nama I Made
Sanik, I Ketut Kanti, Ni Nyoman Samprug, I Ketut Gendra, I Wayan Merta dan Ni Made
Sugiani; serta I Wayan Sandi bersepakat dengan I Nyoman Mirna untuk mengikatkan diri kepada
suatu perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak yang aktanya dibuat di hadapan Notaris I
Made Pria Dharsana pada hari jumat, tanggal sepuluh mei tahun dua ribu dua (10-05-2002).
Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini I Made Mudra dan I Wayan Sandi bertindak sebagai
penjual atau pihak pertama dan I Nyoman Mirna selaku pembeli atau pihak kedua.
Selain para pihak atau subyek hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli yang memiliki
kesamaan dengan subyek hukum dalam perjanjian jual beli, barang dan harga sebagai unsur
esensialia dari perjanjian jual beli yang pengaturannya dapat ditemukan dalam pasal 1458 BW
juga ditemukan dalam perjanjian pengikatan jual beli, akan tetapi dalam perjanjian pengikatan
jual beli juga terdapat suatu syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan
perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai
perjanjian pokok.
Adapun yang menjadi obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang
tanah dengan rincian sebagai berikut :
1) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 22.650 (dua puluh dua ribu enam ratus lima
puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000),
Nomor 51.03.010.002.049-003.0, Kelas A36;
15
2) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana
ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan
tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0,
Kelas A36;
3) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh)
meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor
51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36;
4) Ketiga obyek tanah tersebut diatas terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Mengenai harga yang merupakan salah satu unsur esensialia disepakati oleh para pihak bahwa
harga dari obyek disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat
milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang pembayarannya disepakati sebagai
berikut :
a) Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayarkan oleh
pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama pada saat Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ditandatangani, sehingga akta ini oleh pihak pertama dan pihak kedua
dinyatakan sebagai kwitansi yang sah.
b) Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta
rupiah) akan dibayar oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama
selambat-lambatnya setelah tanah tersebut bersertipikat.
16
Syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjelaskan kedudukan dari perjanjian
pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo)16
yang
mempersiapkan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok dapat dilihat pada rumusan pasal 1
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang garis besarnya menerangkan bahwa perjanjian jual
beli antara para pihak baru akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang,
yaitu pelunasan harga jual tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak
penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum
dibayarkan oleh penjual.
Para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli,
tidak langsung melaksanakan perjanjian jual beli atas tanah diantara para pihak dikarenakan
beberapa alasan, yaitu antara lain karena harga jual beli yang telah disepakati antara penjual dan
pembeli belum dibayar lunas oleh pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga belum dibayarkan. Mengenai hubungan hukum berupa
perjanjian pengikatan jual beli ini Herlien Budiono mendefinisikan bahwa perjanjian pengikatan
jual beli adalah “Perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan
bentuknya bebas.”17
. Suatu perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan, menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu
hubungan hukum.
Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak memiliki perbedaan dengan perjanjian
pada umumnya. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya
sifat terbuka dari Buku III BW yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek
16
Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 17
Ibid, h.270.
17
hukum untuk mengadakan perjanjian dengan bentuk dan isi berdasarkan persetujuan para pihak,
asal tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
Sifat terbuka suatu perjanjian yang mengandung asas kebebasan berkontrak dapat dilihat
dalam Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa „semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya‟. Dengan penekanan pada perkataan semua,
maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa
diperbolehkan untuk membuat suatu perjanjian dengan isi dan bentuk yang disetujui para pihak
pembuat, dan perjanjian tersebut mengikat mereka yang membuatnya selayaknya undang-
undang. Atau dengan kata lain kita diperbolehkan untuk membuat undang-undang bagi kita
sendiri, Pasal-Pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila kita tidak membuat aturan-
aturan tersendiri yang ada dalam suatu hukum perjanjian namun tidak tercantum dalam
perjanjian yang disepakati.18
Asas terbuka (open system) memberi kebebasan kepada setiap orang dalam mengadakan
perjanjian, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Kebebasan berkontrak itu
dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan atau kepentingan umum. Para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli diberi
kebebasan dalam membuat perjanjian asalkan tidak dilarang oleh undang-undang, bertentangan
dengan ketertiban umum maupun kesusilaan.
Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik (bilateral
contract), perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban
18
Lihat Subekti I, Op.Cit., h.13,14.
18
kepada kedua belah pihak19
. Mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dapat dilihat dalam
rumusan akta pengikatan jual beli nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.
Perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan suatu perjanjian tidak bernama
(onbenoemde overeenkomst) yaitu suatu perjanjian yang tidak diatur dalam BW, tetapi terdapat
di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan
kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian
pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan juga perjanjian pengikatan jual beli seperti dalam tulisan
ini. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
mengadakan perjanjian atau partij otonomi.20
Pada dasarnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan hasil inisiatif dari kalangan
Notaris untuk dibuatkan akta notariil-nya, walaupun ada kemungkinan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli dibuat dengan akta di bawah tangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
ada yang mengatur secara spesifik mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli, akan tetapi para
Notaris berinisiatif untuk membuatnya dengan maksud untuk memecahkan permasalahan yang
muncul dalam transaksi jual beli hak atas tanah yang tidak dilakukan secara tunai. Pembuatan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan oleh Notaris merupakan upaya untuk
memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual
beli hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas
tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu
oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah
19
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h.86.
20 Mariam Darus Badrulzaman, et al.,Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011,
h.67.
19
Para pihak dalam tulisan ini sepakat untuk membuat suatu pengikatan jual dengan
beberapa alasan, yaitu antara lain harga jual beli dari tanah belum dilunasi oleh pihak kedua atau
pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) belum dibayar. Maka daripada itu pihak pertama dan pihak kedua sepakat untuk
membuat suatu perjanjian pendahuluan berupa suatu perjanjian pengikatan jual beli sebelum
dilangsungkannya perjanjian jual beli dari tanah tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPHAT) yang berwenang.
Kesepakatan para pihak untuk menghadap Notaris guna menuangkan isi perjanjian
pengikatan jual beli dalam bentuk tertulis melahirkan suatu akta pengikatan jual beli yang
berbentuk akta otentik. Akta otentik21
merupakan salah satu alat bukti tulisan di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat atau pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dikenal adanya dua macam akta,
yang pertama bentuk akta yang dibuat untuk bukti yang memuat keterangan yang diberikan oleh
(para) penghadap kepada Notaris dinamakan akta pihak (partij-akten) dengan (para) penghadap
menandatangani akta itu. Akta berikutnya ialah akta berita acara (relaas-akten), yaitu suatu
bentuk akta yang dibuat untuk bukti oleh (para) penghadap dari perbuatan atau kenyataan yang
terjadi di hadapan Notaris. Akta yang disebut belakangan tidak memberikan bukti mengenai
keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap dengan menandatangani akta tersebut, tetapi
untuk bukti mengenai perbuatan dan kenyataan yang disaksikan oleh Notaris di dalam
menjalankan tugasnya di hadapan para saksi. Akta berita acara (relaas-akten) tidak perlu
ditandatangani oleh para penghadap.
21
Lihat Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2010, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II) h. 267.
20
Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan ke dalam suatu akta otentik
yang dibuat oleh Notaris I Made Pria Dharsana pada tanggal 10 Mei 2002 dengan nomor akta 15.
Akta Notaris ini merupakan suatu akta pihak (partij-akten) dapat dilihat pada penutup akta yang
menyatakan bahwa akta ini ditandatangani oleh para pihak, yang merupakan syarat dari suatu
akta pihak, yang dapat dilihat pada bagian “…. maka akta ini ditandatangani oleh para
penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris.”
Dituangkannya perjanjian antara para pihak dalam akta pengikatan jual beli Nomor 15
tanggal 10 Mei 2002 menimbulkan akibat perjanjian tersebut memiliki kekuatan pembuktian
yang lebih tinggi daripada perjanjian tersebut dituangkan hanya ke dalam suatu akta di bawah
tangan. Perbedaan kekuatan pembuktian tersebut antara lain suatu akta di bawah tangan tidak
mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (uit wendige bewijskracht), sebab yang mendasari
adalah bahwa tanda tangan dalam akta dibawah tangan tersebut kemungkinan masih dapat
dipungkiri. Ketentuan Pasal 1876 BW menyatakan bahwa “Barangsiapa yang terhadapnya
dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri
tanda tangannya…”, ketentuan Pasal 1877 BW lebih lanjut menerangkan apabila tanda tangan
tersebut di pungkiri maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda
tangan tersebut di periksa di muka pengadilan.
Selain yang telah disebutkan diatas, adapun kekuatan pembuktian dari akta pengikatan jual
beli yang dituangkan dalam suatu akta otentik ialah22
:
1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
22
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, h19,20,21.
21
Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk
membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat
dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan
mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti
sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara
lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkalkan keotentikan akta
Notaris. Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari
Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai
dari judul) sampai dengan akhir akta.
Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya,
bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang
lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta,
maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta
otentik.
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik
adalah bukan akta otentik memerlukan pmbuktian yang didasarkan kepada syarat-syarat akta
Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke
pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek
gugatan bukan merupakan suatu akta Notaris.
2. Formal (Formele Bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam
akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada
22
saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan
akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf, dan tanda tangan para
pihak/ penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar
oleh Notaris (pada akta pejabat/ berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para
pihak/ penghadap (pada akta pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas
dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,tahun dan pukul
menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan
ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat
membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan atau
disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan Notaris
ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang
mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta
tersebut harus diterima oleh siapapun.
Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek
formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan
atau oleh Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu
gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal
yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya, bahwa yang
bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul
yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda
23
tangan dirinya. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut
diperbolehkan untuk menggugat Notaris, dan penggugat harus dapat membuktikan
ketidakbenaran aspek formal tersebut.
3. Materiil (Materiele Bewijskracht)
Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang
mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).
Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara),
atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan
para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku
sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian
keterangannya dimuat atau dituangkan dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata
pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal
tersebut tanggung jawab para pihak sendiri, Notaris terlepas dari hal semacam itu.dengan
demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang
sah untuk atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Jika harus membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat
membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta
(akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar
berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta
Notaris.
24
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik
dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan
pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut
didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan.
2. Klausul-Klausul dalam Akta Pengikatan Jual Beli
Terkait isi kontrak, kepustakaan hukum kontrak membaginya ke dalam beberapa unsur23
,
yaitu unsur esensialia, unsur naturalia dan unsur accidentia.
a. Unsur esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak. Unsur
esensialia dari suatu pengikatan jual beli hampir serupa dengan unsur esensialia
perjanjian jual beli yaitu barang dan harga24
. Namun dalam perjanjian pengikatan jual
beli yang merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli disertakan suatu
syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan perjanjian pengikatan jual
beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok.
b. Unsur naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai peraturan-
peraturan yang bersifat mengatur, namun demikian dapat disimpangi para pihak. Unsur
naturalia adalah perwujudan dari ketentuan Pasal 1339 BW yang menjabarkan bahwa suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
23
Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.225,226 dikutip dari Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,
Binacipta, Jakarta,1987, h. 50.
24 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985 (selanjutnya disebut Subekti II), h.2
25
kebiasaan atau undang-undang. Secara tertulis salah satu unsur naturalia yang termuat
dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 yang
memuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang
serupa.
c. Unsur accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak dalam hal
undang-undang tidak mengaturnya. Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini unsur
accidentalia dapat dilihat antara lain dalam klausul mengenai cara pembayaran, klausul
pemberlakuan syarat putus, klausul ganti rugi akibat pembatalan secara sepihak, dan
klausul domisili.
Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dibuat oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan antar mereka yang membuatnya dan juga menurut kebiasaaan, kepatutan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun isi dari perjanjian pengikatan jual beli
yang dituangkan ke dalam suatu akta Notaris nomor 15 tanggal 10 Mei 2002 ini secara garis
besar dimuat dalam klausul-klausul berikut :
1. Klausul Barang atau Obyek Perjanjian
Obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang tanah yang terletak di
Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali dengan rincian
sebagai berikut :
- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 22.650 (dua puluh dua ribu enam ratus lima
puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000),
Nomor 51.03.010.002.049-003.0, Kelas A36;
26
- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana
ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan
tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0,
Kelas A36;
- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh)
meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor
51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36.
Klausul obyek merupakan unsur esensialia dari perjanjian, yang menunjukkan benda yang
harus diserahkan dari penjual kepada pembeli di kemudian hari sebagai tanda telah terjadinya
jual-beli sebagai perjanjian pokok. Obyek dalam perjanjian pengikatan jual beli ini baru beralih
apabila harga jual beli yang diperjanjikan telah dibayar lunas oleh pihak kedua, dan biaya-biaya
lainnya sebagai syarat dapat dikeluarkannya akta jual beli telah dibayarkan oleh para pihak.
2. Klausul Harga Dan Biaya
Harga dari obyek tersebut diatas disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp
4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang
pembayarannya disepakati sebagai berikut :
c) Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayarkan oleh
pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama pada saat Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ditandatangani, sehingga akta ini oleh pihak pertama dan pihak kedua
dinyatakan sebagai kwitansi yang sah.
27
d) Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta
rupiah) akan dibayar oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama
selambat-lambatnya setelah tanah tersebut bersertipikat.
Klausul harga merupakan klausul yang memuat harga dari obyek perjanjian yang besarnya
telah disepakati para pihak pada saat perumusan kontrak, klausul harga ini menerangkan berapa
pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak kedua sebagai kewajibannya agar mendapatkan
hak memperoleh tanah yang merupakan obyek perjanjian. Pembayaran dari harga jual beli atas
obyek perjanjian yang tidak serta merta dilakukan pelunasannya adalah salah satu alasan
perjanjian ini dituangkan dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli. Selain harga dari obyek
perjanjian yang telah disepakati nilainya oleh para pihak, pihak pertama dan pihak kedua juga
merumuskan kesepakatan mengenai biaya-biaya lainnya yang dapat dilihat dalam redaksi Pasal 9
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, yaitu :
a) Biaya akta pengikatan jual beli yang dibayar oleh pihak kedua.
b) Biaya akta jual beli serta biaya pendaftaran hak atas tanah (balik nama) ke atas nama pihak
kedua dibayar oleh pihak kedua.
c) Biaya Pajak Bumi Bangunan hingga tahun 2002 (dua ribu dua) yang dibayar oleh pihak
pertama.
d) Pajak-pajak yang timbul sehubungan dengan dibuatnya Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli termasuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dibayar oleh pihak kedua.
Klausul mengenai biaya menitikberatkan pada biaya-biaya yang harus dibayar kedua belah
pihak di luar biaya pembayaran harga tanah yang merupakan obyek perjanjian. Pembayaran
28
mengenai biaya-biaya seperti biaya Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu klausul penting dalam
perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak, karena pembayaran biaya-biaya tersebut adalah
syarat agar dapat diterbitkannya akta jual beli oleh PPAT sehingga hak atas tanah yang menjadi
obyek perjanjian dapat beralih kepada pihak kedua.
Dengan dilunasinya harga jual beli atas tanah dan biaya-biaya yang tersebut di atas, maka
tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan telah terpenuhi,
sehingga para pihak dapat melanjutkan pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian jual beli atas
tanah yang menjadi obyek perikatan.
3. Klausul Syarat-Syarat yang Belum Terpenuhi
Keberadaan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi ini berpangkal pada sistem terbuka
buku III BW, mengenai sistem terbuka buku III BW ini Agus Yudha Hernoko25
berpendapat :
Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum (i.c. Buku III BW) memberi
keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa
yang diatur dalam Buku III BW sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht -
aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II BW yang menganut sistem tertutup
atau bersifat memaksa (dwingend recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi
atauran-aturan yang ada di dalam Buku III BW tersebut.
25
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h.109.
29
Keleluasaan yang dimiliki pihak yang membuat suatu perjanjian untuk mengatur sendiri pola
hukumnya menimbulkan suatu asas kebebasan berkontrak yang dapat dilihat pengaturannya pada
pasal 1338 ayat (1) BW. Menurut Sutan Remy Sjahdeini26
asas kebebasan berkontrak menurut
hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (aanvullend, optional).
Kebebasan berkontrak, terutama kebebasa untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian
yang akan dibuat membuat para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini
dapat mencantumkan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi dalam akta perjanjian
pengikatan jual beli. Subekti27
berpendapat “yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu
perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri”, jadi para pihak memiliki keleluasaan untuk
menentukan isi dari perjanjian, termasuk untuk memasukkan klausul syarat-syarat yang belum
terpenuhi tersebut.
Syarat-syarat yang belum terpenuhi dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini
dapat dilihat pada Pasal 1 yang merumuskan bahwa :
26
Ibid., h. 110, dikutip dari Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h.
47 27
Subekti I, Op.Cit, h.20
30
- pihak pertama berjanji dan mengikatkan diri sekarang ini untuk pada waktunya di
kemudian hari segera setelah :
a. harga jual dari tanah tersebut di atas dilunasi
b. pajak penghasilan (PPh) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
tersebut di atas dibayar
- untuk menjual kepada pihak kedua yang dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk
membeli tanah tersebut dari pihak pertama.
Dari rumusan Pasal 1 di atas dapat dilihat bahwa perjanjian jual beli antara para pihak baru
akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang, yaitu pelunasan harga jual
tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayarkan oleh penjual.
Keberadaan kedua peristiwa yang masih akan datang ini menyebabkan para pihak tidak
dapat melakukan jual beli atas tanah dikarenakan masih terdapat syarat-syarat yang belum
dilakukan pemenuhannya oleh para pihak. Keberadaan syarat-syarat yang belum terpenuhi ini
memiliki pengaruh pada pemenuhan jual-beli tanah sebagai perjanjian pokoknya, dan mengenai
perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan tetap memiliki kekuatan mengikat
sejak perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati para pihak sebagaimana salah satu syarat
sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.
4. Klausul Mengenai Ketentuan-Ketentuan Yang Lazim Dibuat Untuk Perjanjian Yang
Serupa
31
Dalam perjanjian ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 4 klausul yang mengatur mengenai
ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang serupa, antara lain :
a) Pihak pertama menjamin pihak kedua bahwa pihak kedua tidak akan mendapat tuntutan
dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai
hak atas tanah tersebut.
b) Pihak pertama menjamin pihak kedua bahwa tanah tersebut tidak dikenakan suatu sitaan,
bebas dari sengketa dan beban-beban yang bersifat apapun.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas pihak pertama membebaskan pihak kedua dari
segala tuntutan dan atau tagihan dari pihak lain yang didasarkan atas hal-hal tersebut.
Klausul ini merupakan pencerminan dari Pasal 1339 BW bahwa suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-
undang. Kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat mengenai perjanjian-perjanjian yang serupa
dengan perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan oleh para pihak dalam suatu
ketentuan yang termuat dalam redaksi Pasal 4 perjanjian pengikatan jual beli.
5. Klausul Syarat Putus
Dalam suatu perjanjian yang mengikat para pihak yang membuatnya, biasanya dimasukkan
suatu syarat yang isinya mengatur apabila dikemudian hari setelah perjanjian tersebut sah dan
mengikat bagi para pihak yang membuatnya kemudian salah satu pihak bermasalah dalam
pemenuhan isi kontrak atau berprestasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat memutus
kontrak yang telah disepakati. Syarat ini oleh para sarjana ada yang menyebut syarat batal dan
32
ada pula yang menyebutnya dengan syarat putus, walaupun secara terminologi para ahli
menggunakan penamaan yang berbeda, secara substansial isi dari syarat tersebut adalah sama.
Menurut Agus Yudha Hernoko28
penggunaan istilah syarat batal dalam Pasal 1266 BW
sebagai terjemahan istilah ontbindende voorwaarde tidak tepat. Istilah „ontbindende
voorwaarde‟ lebih tepat diterjemahkan „syarat putus‟ dengan argumentasi :
a. Apabila konsisten dengan makna „verbintenis‟ atau perikatan, berarti dengan dipenuhinya
syarat-syarat sahnya kontrak maka akan melahirkan perikatan yang mempunyai daya
mengikat (binden-binding) bagi para pihak;
b. „ontbinding‟ (berasal dari kata „binden‟ – mengikat) berarti „tidak mengikat‟ atau lebih
tepat diartikan „putus-pemutusan‟, artinya memutuskan daya mengikatnya kontrak yang
telah disepakati para pihak. Putusnya ikatan ini terkait dengan pelanggaran pelaksanaan
kewajiban kontraktual yang telah disepakati. Bukankah apabila perikatan tersebut telah
diputus, berarti kehilangan daya mengikatnya;
c. Istilah „pembatalan‟ lebih relevan digunakan dalam hubungannya dengan batal demi
hukum (nietig van rechswenge) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar) yang terkait dengan
proses lahirnya kontrak (fase pembentukan kontrak), yaitu dalam hal tidak dipenuhinya
syarat-syarat sahnya kontrak;
d. Istilah „pemutusan‟ lebih tepat digunakan apabila terkait dengan pelaksanaan kontrak yang
karena sesuatu hal harus diputuskan daya mengikatnya (fase pelaksanaan kontrak);
28
Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 298, 299, 300.
33
e. Pengadilan telah beberapa kali memutuskan perkara dengan substansi pengesampingan
Pasal 1266 BW (antara lain Putusan Hoge Raad tanggal 7 Februari 1902 W. 7720, Hoetink,
No. 70)29
;
f. Oleh karena itu, istilah „syarat batal‟ dalam terjemahan Pasal 1266 BW, seyogianya dibaca
„syarat putus‟.
Syarat putus dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam kasus ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 6 yang redaksinya menyatakan :
Dalam hal PIHAK KEDUA karena sebab apapun juga tiadak dapat melakukan
kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam
Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan
jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa
harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan
oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada
PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah
uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi
dengan diberikan kepastian lokasi.
Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA
harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.
29
Ibid, h 300 dikutip dari Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata- Hukum Perutangan Bagian
A, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, h. 37-38.
34
Pencantuman syarat putus dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini bertujuan untuk
memberikan perlindungan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam pemenuhan
perjanjian. Apabila wanprestasi dilakukan oleh pihak kedua dalam hal pembayaran yang tidak
tepat waktu atau tidak dilakukan pembayaran sama sekali sampai lewat tenggat waktu yang
diperjanjikan maka pihak pertama berhak untuk memutus perjanjian dengan tidak
mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua, sebagai kompensasi pihak kedua
akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas
10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi. Di lain pihak apabila
pihak pertama yang melakukan wanprestasi dalam hal memutuskan perjanjian secara sepihak
maka pihak pertama memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi dua kali dari uang muka
kepada pihak kedua.
Menurut Abdulkadir Muhammad30
perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-
pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau diputuskan secara sepihak saja. Jika
ingin menarik kembali atau memutus itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi
diperjanjikan lagi. Hal ini sejalan dengan redaksi pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan
bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Pemutusan secara sepihak dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli jika merujuk kepada
rumusan pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
…karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Berdasarkan
ketentuan pasal ini pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama diperbolehkan, karena
mengingat ketentuan pasal 1338 ayat (1) BW semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
30
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h 97
35
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, jadi ketentuan dapat diputuskannya
secara sepihak dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat diterapkan karena Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,
dan pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah alasan yang oleh undang-
undang dianggap cukup untuk memutus perjanjian sebagaimana rumusan Pasal 1338 ayat (2)
BW.
Pemutusan secara sepihak dapat dilakukan oleh pihak pertama, namun dengan konsekuensi
yuridis berupa ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Ganti rugi ini merupakan
bentuk tanggung gugat pihak pertama yang telah memutus perjanjian secara sepihak dimana jika
diteliti rumusan pemutusan sepihak dalam pasal 6 ayat (2) ini adalah suatu bentuk wanprestasi
yang dalam pembagian wanprestasi menurut Subekti31
adalah wanprestasi untuk tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
Keberadaan konsekuensi yuridis berupa ganti rugi yang diberikan dengan berlakunya
pemutusan kontrak merupakan suatu bentuk dari adanya persetujuan timbal balik antara para
pihak yang mana menurut ketentuan pasal 1266 BW persetujuan timbal balik para pihak
merupakan salah satu syarat32
untuk berhasilnya pemenuhan pemutusan kontrak disamping
keberadaan wanprestasi dalam pemenuhan perjanjian, dan adanya putusan hakim.
6. Klausul Ganti Rugi Akibat Pemutusan Secara Sepihak
Mengenai klausul ganti rugi akibat Pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama atau
penjual dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang rumusannya : “Apabila PIHAK
31
Subekti I, Op.Cit., h 45 32
Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., H 301
36
PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi
dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA”
Klausul ganti rugi akibat pemutusan secara sepihak ini merupakan bagian dari syarat putus
yang disepakati oleh para pihak. Pihak pertama memiliki kewajiban untuk memberikan pihak
kedua ganti rugi apabila dirinya memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak
kedua. Klausul ini dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti33
merupakan
wanprestasi atau kelalaian debitur yang wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya. Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian pengikatan jual beli yang disepakati
para pihak pemutusan sepihak oleh pihak penjual atau pihak pertama bertentangan dengan apa
yang disanggupi akan dilakukan oleh pihak pertama yaitu untuk menjual kepada pihak kedua
tanah yang menjadi obyek perjanjian setelah syarat-syarat yang dituangkan oleh para pihak
dalam pasal 1 akta perjanjian pengikata jual beli terpenuh. Wanprestasi dari pihak pertama ini
memiliki konsekuensi pihak pertama wajib untuk pemberian ganti kerugian dua kali dari uang
muka kepada pihak kedua.
Menurut Agus Yudha Hernoko34
:
Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat
subsidair. Artinya apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak
diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternative yang dapat dipilih oleh kreditor.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1243 BW, ganti rugi meliputi : biaya (konsten) yaitu
33
Subekti I, Op.Cit., h.45.
34 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.263,264
37
pengeluaran nyata yang telah dikeluarkan sebagai akibat wanprestasinya debitur, rugi
(schaden) adalah berkurangnya harta benda kreditor sebagai akibat wanprestasinya
debitor, dan bunga (interessen) adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditor
seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Selain ganti rugi yang diperjanjikan secara tegas dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli, hukuman dari debitur yang lalai lainnya antara lain dapat berupa pembatalan perjanjian atau
juga dinamakan pemecahan perjanjian, peralihan resiko, membayar biaya perkara apabila sampai
diperkarakan di depan hakim.35
7. Klausul Pewarisan Perjanjian Karena Kematian
Klausul ini menjabarkan bahwa perjanjian tidak akan berakhir karena meninggalnya salah
satu pihak, tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/ pengganti haknya yang sah menurut
hukum. Klausul ini terkandung dalam redaksi Pasal 8 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
rumusannya sebagai berikut “Perjanjian ini tidak akan berakhir karena meninggalnya salah satu
pihak, tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/pengganti haknya yang sah menurut
hukum”.
Perumusan klausul pewarisan ini merupakan perwujudan ketentuan pasal 1261 ayat 2 BW
yang menyatakan “jika si berpiutang meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya
karena itu berpindah kepada ahli waris-ahli warisnya.” Pewarisan terhadap perjanjian apabila
salah satu pihak meninggal merupakan suatu bentuk jaminan bagi salah satu pihak apabila pihak
35
Subekti I, Loc. Cit.
38
lawan di kemudian hari meninggal sebelum prestasi terpenuh, maka pemenuhan prestasi dari
pihak yang meninggal tersebut dialihkan kepada ahli warisnya, begitu pula dalam hal pemenuhan
hak. Pihak yang terlebih dahulu meninggal sebelum perjanjian terpenuhi oleh Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli dijamin pemenuhan haknya yang diterima oleh ahli waris demi hukum
berhak mewaris atau yang ditunjuk sebelumnya oleh pihak yang meninggal tersebut.
8. Klausul Penyerahan Tanah
Klausul penyerahan tanah mengatur mengenai kapan hak atas tanah beralih dari pihak
pertama kepada pihak kedua, klausul ini terkandung dalam redaksi Pasal 10 Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli yang menyatakan bahwa pihak pertama akan menyerahkan tanah kepada
pihak kedua pada saat harga tanah tersebut telah dilunasi. Klausul penyerahan tanah ini
merupakan bentuk peralihan dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan
kepada perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok yang dapat dilihat dari telah terjadinya
penyerahan (levering) sebagai penanda telah terjadi perpindahan kepemilikan sebagaimana
terumus dalam pengertian jual beli menurut Pasal 1457 BW.
Klausul ini baru dapat terlaksana apabila klausul mengenai harga dan biaya-biaya serta
klausul syarat tangguh telah terpenuhi, yang menandakan telah terpenuhinya perjanjian
9. Klausul Domisili
Klausul ini mengatur mengenai tempat kediaman hukum (domisili) para pihak saat
perjanjian berlangsung. Para pihak memilih tempat kediaman hukum (domisili) yang umum dan
tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Denpasar di Denpasar sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
39
Klausul domisili ini sebagaimana diatur dalam redaksi pasal 118 ayat (4) HIR memiliki
tujuan menentukan pengadilan mana yang memiliki kompetensi relatif apabila terjadi sengketa di
kemudian hari antara para pihak yang berujung pada gugatan keperdataan, dan juga menjadi
alamat bagi salah satu pihak dalam kegiatan surat menyurat apabila alamat dalam identitas tidak
ditemukan.
3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan Memberlakukan
Syarat Putus
Terdapat perbedaan penting terhadap pemahaman antara terminologi pembatalan kontrak
dengan pemutusan kontrak, perbedaan tersebut terletak pada fase hubungan kontraktualnya, pada
pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase
pembentukan kontrak), sedang pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak
yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam
pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan
kontrak)36
.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mengenai syarat putus dari perjanjian
pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 6 Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli yang redaksinya sebagai berikut :
- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan
kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam
36
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.296.
40
Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan
jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa
harga jual beli atas TANAH tersebut di atas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan
oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada
PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah
uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi
dengan diberikan kepastian lokasi.
- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA
harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA
Berdasarkan kutipan Pasal 6 ayat (1) di atas, Syarat putus akibat lalainya pembeli baru
berlaku apabila setelah tenggang waktu 6 (enam) bulan yang disepakati untuk pihak kedua
memenuhi kewajibannya terlewati. pihak kedua belum juga memenuhi kewajibannya membayar
sisa tanah sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah).
Tidak sanggupnya pembeli untuk melunasi sisa kewajiban pembayarannya setelah tenggang
waktu yang ditentukan usai termasuk dalam kriteria kelalaian atau wanprestasi, maka perjanjian
memberikan hak kepada pihak pertama untuk memutus perjanjian atau melakukan pemecahan
perjanjian sebagai hukuman terhadap wanprestasi pihak kedua.
Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pembeli atau pihak kedua yang dapat mengaktifkan
syarat putus ini termasuk golongan wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya37
. Pihak kedua telah menyanggupi atas biaya dan cara pembayaran yang
37
Subekti I, Op.Cit., h.45.
41
diperjanjikan, akan tetapi karena sebab tertentu pihak kedua belum juga melunasi sisa
pembayaran hingga berlalunya tenggang waktu 6 (enam) bulan berakhir.
Pemberlakuan syarat putus akibat pemutusan sepihak dari pihak pertama yang dirumuskan
dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terjadi apabila pihak pertama
membatalkan perjanjian secara sepihak, dan atas perbuatannya pihak pertama harus membayar
ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Wanprestasi oleh pihak pertama ini
dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti38
merupakan wanprestasi atau
kelalaian debitur dalam hal tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
Jika dicermati baik ketentuan pasal 6 ayat (1) maupun pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli pemberlakuan syarat putus lebih dominan dilakukan oleh pihak pertama
atau penjual. Dalam pasal 6 ayat (1) pihak pertama dapat mengaktifkan syarat putus apabila
pihak kedua tidak melanjutkan pembayaran sampai lewat tenggang waktu 6 bulan yang telah
disepakati, dan ketentuan pasal 6 ayat (2) dapat memutuskan perjanjian dengan konsekuensi
yuridis harus membayar ganti rugi sebesar dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Namun
jika dilihat substansinya walaupun kedua syarat putus ini lebih dominan dilakukan oleh pihak
pertama, alasan pemutusan perjanjian pengikatan jual beli tersebut memiliki substansi yang
berbeda. Dalam Pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli alasan diputuskannya
perjanjian ialah pihak kedua tidak beritikad baik untuk melanjutkan pembayaran setelah lewat
tenggang waktu yang diperjanjikan. Itikad baik39
disini adalah itikad baik menurut pasal 1338
ayat (3) BW yang menjelaskan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Kepatutan yang dilanggar di sini adalah
38
Ibid.
39 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.99
42
keharusan pihak kedua untuk melanjutkan pembayaran sisa uang jual beli yang telah disepakati
dalam pasal 3 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Pengaturan mengenai syarat putus yang dapat menyebabkan putusnya perjanjian dapat kita
temukan dalam Pasal 1265 BW yang rumusannya menyatakan bahwa apabila suatu syarat putus
dipenuhi maka akan mengakibatkan penghentian perikatan, dan membawa sesuatu kembali
kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat putus ini tidak
menangguhkan pemenuhan perikatan, hanya mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Syarat putus ini menurut Herlien
Budiono dikatakan sebagai syarat putus yang “normal”40
. Menyimpang dari syarat putus yang
“normal”, pemutusan karena wanprestasi tidak berlaku demi hukum, tetapi harus dituntutkan
pembatalannya menurut Pasal 1266 ayat (2) BW. Jadi apabila pihak pertama atau penjual ingin
memutus perjanjian ini berdasarkan syarat putus maka Ia haruslah terlebih dahulu memohon
pemutusan pada hakim dengan dasar wanprestasi dari pihak kedua agar pemutusannya memiliki
kekuatan hukum atau ia juga dapat memohon pemutusan kepada hakim dengan kesanggupan
untuk membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Mengenai perbuatan
hukum yang terakhir ini dapat juga dilakukan oleh pihak kedua apabila setelah pemutusan secara
sepihak oleh pihak pertama tersebut pihak kedua juga lebih memilih untuk memutus perjanjian
dan menerima ganti kerugian yang diberikan oleh pihak pertama.
40
Herlien Budiono II, Op.Cit., h.238.
43
BAB III
GUGATAN WANPRESTASI OLEH PEMBELI AKIBAT PENJUAL
MEMUTUSKAN PERJANJIAN DENGAN SYARAT PUTUS
1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap Perjanjian
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, dalam perjanjian pengikatan jual beli
antara para pihak, terdapat klausul yang menyatakan perjanjian tersebut dapat putus dengan
berlakunya suatu syarat putus yang termuat dalam redaksi pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli untuk pemutusan akibat wanprestasi pihak kedua, dan pasal 6 ayat (2) Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk pemutusan akibat pemutusan perjanjian secara sepihak
oleh pihak pertama yang menyebabkan pihak pertama wanprestasi. Ketentuan mengenai
berlakunya syarat putus ini dapat dilihat pengaturannya dalam pasal 1266 ayat (2) BW
menyatakan bahwa “dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pemutusan harus dimintakan kepada Hakim.” Redaksi pasal 1266 ayat (3) BW menambahkan
“permintaan itu harus dilakukan, meskipun syarat putus mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan dalam perjanjian.”
Apabila diterapkan ke dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini, kedua pasal
dalam BW tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian yang menyertakan syarat putus secara
tertulis di dalamnya tidak dapat secara langsung menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal
demi hukum setelah salah satu pihak melakukan wanprestasi. Pihak penjual jika ingin memutus
perjanjian harus meminta pemutusan terlebih dahulu kepada hakim setelah pembeli atau pihak
44
kedua tidak memenuhi kewajibannya melunasi pembayaran atas tanah setelah lewat 6 (enam)
bulan dari waktu yang ditentukan, yaitu setelah hak atas tanah yang menjadi obyek perjanjian
bersertipikat sebagaimana diatur dalam pasal 3 huruf (b) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Begitu pula dengan wanprestasi dari pihak penjual, salah satu pihak harus memintakan
pemutusan perjanjian terlebih dahulu kepada hakim karena pemutusan tidak bersifat batal demi
hukum.
Permohonan pemutusan dapat dimintakan baik oleh pihak pertama maupun oleh pihak
kedua, karena ketentuan dalam pasal 1266 ayat (2) BW tidak menerangkan pihak mana yang
harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk memutus suatu perjanjian. Secara logika
pihak yang mengajukan permohonan pemutusan perjanjian kepada hakim biasanya adalah pihak
yang merasa dirugikan oleh wanprestasi pihak lawannya, karena pemutusan oleh hakim ini akan
menjadi dasar hukum oleh pihak yang memohon pemutusan dalam menuntut hak-haknya dari
perjanjian yang telah putus.
Dalam praktik para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa
mereka sepakat untuk melepaskan atau mengesampingkan ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW.
Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Ada
beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini, misalnya berdasarkan pasal 1338
ayat (1) BW, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan pasal 1266
ayat (2) BW, harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan
45
akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi
pelaku bisnis.41
Di lain sisi terdapat ahli-ahli hukum maupun praktisi hukum yang berpendapat bahwa
wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan putusnya perjanjian, tetapi harus dimintakan
kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur
masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian, sedangkan apabila
wanprestasi dianggap sebagai suatu syarat putusnya perjanjian, maka kreditur hanya dapat
menuntut ganti rugi. Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal 1266 ayat (4) BW, hakim
berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur dalam jangka waktu paling lama satu
bulan untuk memenuhi perjanjian meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera
janji. Dalam hal ini hakim mempunya diskresi untuk menimbang berat ringannya kelalaian
debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian diputus.
Dari ketentuan pasal 1266 dan 1267 BW dapat disimpulkan hal sebagai berikut42
:
1. Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian
sepihak.
2. Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat putus dalam perjanjian timbal
balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau keadaan di
luar kekuasaan (force majeure atau overmacht), tetapi karena kelalaian pihak tergugat.
3. Akibat wanprestasi tersebut Penggugat dapat menuntut pemutusan perjanjian di depan
hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum.
41
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, h.63,64. 42
Elly Herawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform
Program, Jakarta, 2010, h.26,27.
46
Pasal 1266 dan 1267 BW yang menempatkan wanprestasi sebagai syarat putus,
sebagaimana pengertian syarat putus dalam pasal 1253 BW, dianggap tidak tepat. Alasannya
adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu adil menghukum debitur yang wanprestasi
karena kelalaiannya dengan pemutusan perjanjian. Terhadap kritik ini Subekti justru
menjelaskan bahwa ketentuan kedua pasal tersebut sebenarnya tidak salah.43
Sebab sekalipun
wanprestasi dianggap sebagai syarat putus sehingga menyebabkan perjanjian berakhir,
berakhirnya perjanjian tersebut bukan karena demi hukum, melainkan harus melalui pernyataan
pembatalan oleh hakim. Hal ini terlihat jelas dari pasal 1266 ayat (2) BW : “dalam hal demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pemutusan harus dimintakan kepada pengadilan.”
Bahkan ayat (3) pasal ini juga menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum,
melainkan dapat dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi
sebagai syarat putus. Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat putus
tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim memiliki kebijaksanaan berdasarkan pertimbangan
keadaan memberi jangka waktu maksimum 1 (satu) bulan bagi pihak yang wanprestasi untuk
memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir ini, bahkan menurut Subekti44
, hakim berhak
pula untuk mempertimbangkan dan menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu
dibandingkan dengan akibat pemutusan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata
lain, ketika hakim harus memutuskan gugatan pembatalan perjanjian karena wanprestasi sebagai
syarat batal, ia harus memperhatikan berbagai asas hukum perjanjian yang lazim, salah satunya
adalah asas itikad baik.
43
Ibid, h.27 dikutip dari Subekti I,Op.Cit., h.48. 44
Ibid, Dikutip dari Subekti I, Op.Cit., h.49.
47
Pendapat Subekti di atas tampaknya kini justru dikesampingkan oleh para sarjana maupun
ahli-ahli hukum, menurut Herlien Budiono45
misalnya, pasal 1266 dan 1267 BW bukan
ketentuan hukum yang bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi oleh para pihak yang
membuat perjanjian, namun penyimpangan itu tampaknya hanya untuk soal “perantaraan
putusan hakim‟, bukan tentang soal wanprestasi sebagai syarat putusnya perjanjian. Artinya para
pihak dengan tegas dapat mengesampingkan pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) sehingga
pemutusan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak tidak perlu dimintakan
kepada hakim, akibatnya perjanjian seperti itu akan otomatis batal demi hukum.
Pengesampingan pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) yang berakibat pelepasan hak para pihak
untuk menuntut pemutusan perjanjian di depan hakim, secara tegas harus dicantumkan di dalam
akta perjanjian yang bersangkutan.
Dasar berpikir praktis dari tindakan pengesampingan pasal 1266 BW tersebut pada
umumnya berasal dari kekhawatiran dalam masyarakat, dimana bila pemutusan melalui
pengadilan merupakan syarat formal yang mutlak yang harus dipenuhi, maka selain akan
menimbulkan ketidakpastian dalam hukum bisnis di Indonesia, syarat tersebut juga akan
menimbulkan konsekuensi biaya tinggi serta inefisiensi waktu.46
Walaupun dalam suatu kontrak telah secara tegas disepakati pengesampingan dari
kewenangan pengadilan dalam memutuskan apakah tindakan wanprestasi terjadi atau tidak, serta
juga kewenangan pengadilan untuk memutuskan kontrak sebagai akibat dari tindakan
wanprestasi tersebut, apabila ternyata dalam penerapannya pihak yang dinyatakan wanprestasi
menolak tuduhan tersebut dan tidak dapat menerima tindakan pemutusan sepihak yang dilakukan
45
Herlien Budiono I, Op.Cit., h.199,200. 46
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,Kontan Publishing,
Jakarta,2011, h 233.
48
oleh mitra berkontraknya, maka pengesampingan pasal 1266 BW dalam kontrak yang disepakati
tersebut demi hukum menjadi tidak berlaku. Artinya Pengadilan Negeri akan tetap berwenang
untuk memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang timbul dalam kontrak, karena
berdasarkan undang-undang kekuasaan kehakiman, kewenangan hakim adalah untuk memeriksa
dan memutuskan perkara, bukan untuk sekedar menegaskan isi perikatan dari para pihak
berkontrak.47
Hak untuk mengesampingkan kewenangan pengadilan dalam mengadili apakah suatu
kontrak dapat diputus atau tidak secara logis akan juga meliputi pengesampingan kewenangan
pengadilan dalam memutuskan jumlah ganti rugi (damages) yang harus dibayarkan oleh pihak
yang wanprestasi (debitur) sebagai akibat wanprestasi tersebut.48
Jika diasumsikan pengadilan dapat menerima pengesampingan pasal 1266 BW maka
pengadilan sebagai konsekuensinya akan menolak setiap permasalahan yang terjadi akibat dari
langkah pembatalan sepihak tersebut dengan pertimbangan hukum Niet Ontvankelijk Weklaard.
Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa kewenangan dari pengadilan untuk menyatakan telah
terjadi atau tidaknya wanprestasi serta juga kewenangan untuk memutus suatu kontrak dan
memutuskan pembayaran ganti rugi, biaya dan bunga seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1266
dan 1267 BW, adalah kewenangan yang demi hukum tidak dapat dikesampingkan oleh
kebebasan berkontrak, kecuali bila pihak-pihak berkontrak tersebut secara sukarela bersedia
mematuhinya.49
Apabila diterapkan pada perjanjian pengikatan jual beli yang mengikat para pihak, pihak
penjual tidak dapat secara langsung memutus perjanjian pengikatan jual beli dengan syarat putus
47
Ibid., h 234,235. 48
Ibid., h 240. 49
Ibid, h241.
49
karena klausul mengenai pengesampingan ketentuan pasal 1266 ayat 2 BW mengenai tidak batal
demi hukumnya pemutusan akibat berlakunya syarat putus tidak disepakati sebelumnya oleh
para pihak saat membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka jika pihak penjual ingin
memutus perjanjian pengikatan jual beli tersebut dengan berdasar kepada syarat putus yang
terpenuhi dengan wanprestasi dari pihak pembeli pihak penjual harus mengajukan permintaan
pemutusan kepada hakim terlebih dahulu.
Langkah penjual untuk meminta pemutusan terlebih dahulu kepada hakim ini harus
dilakukan selain karena diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini BW, juga
dimaksudkan agar upaya hukum pemutusan yang dilakukan oleh penjual memiliki kekuatan
hukum untuk dilakukan. Akibat hukum dari tidak dimintakannya pemutusan perjanjian
pengikatan jual beli ini kepada hakim ialah dapat dikenakannya ketentuan pasal 6 ayat 2 Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menyatakan bahwa apabila pihak pertama membatalkan
perjanjian tersebut, maka pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka
kepada pihak kedua. Akibat hukum ini terjadi karena suatu perjanjian dengan syarat putus tidak
berakhir dengan sendirinya atau batal demi hukum tetapi memerlukan pembatalan yang
dimintakan kepada hakim sebagaimana dapat dilihat dalam redaksi pasal 1266 ayat 2 BW.
Apabila pada perjanjian timbal balik dengan syarat putus itu hakim mengabulkan gugatan
kreditur untuk memutuskan perikatan karena terjadinya wanprestasi, timbul persoalan tentang
sifat dari keputusan hakim tersebut. Dalam hal ini ada dua pendapat50
, yaitu :
50
Mariam Darus Badrulzaman et al, Op.Cit., h.44.
50
1. Pendapat yang menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah declaratoir.
Dalam hal ini berarti putusnya perikatan itu adalah disebabkan karena adanya
wanprestasi itu sendiri.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah konstitutif,
artinya ialah bahwa putusannya bukan karena adanya wanprestasi, tetapi karena adanya
putusan hakim.
2. Keberadaan Pernyataan Lalai dalam Pemberlakuan Syarat Putus
Pemenuhan prestasi merupakan esensi dari suatu perikatan, apabila tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan dalam perjanjian, debitur perlu diperingatkan
secara tertulis dengan suatu surat perintah atau akta sejenis itu (bevel of soortgelijke akte)51
dalam surat perintah atau akta mana ditentukan bahwa debitur segera atau pada waktu tertentu
yang disebutkan memenuhi prestasinya; jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan lalai atau
wanprestasi (pasal 1238 BW). Ketentuan pasal ini dapat juga diikuti oleh perikatan untuk berbuat
sesuatu, yang dimaksud dengan peringatan tertulis dalam pasal ini adalah surat peringatan resmi
dari pengadilan. Biasanya peringatan (sommatie) itu dilakukan oleh seorang jurusita dari
pengadilan yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu. Selain itu juga dapat
berbentuk suatu surat peringatan (akta) biasa yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur
yang disebut juga dengan istilah ingebreke stelling.
Namun jika dalam kontrak dengan tegas diperjanjikan tata cara terjadinya wanprestasi bagi
para pihak, maka ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar-dasar terjadinya wanprestasi yang
telah disepakatilah yang menjadi dasar pembuktian telah terjadi atau tidaknya wanprestasi.
Terhadap fakta, secara umum kreditur tidak lagi perlu harus membuktikan pembangunan status
51
Lihat Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.21,22,23.
51
kelalaian melalui somasi, akan tetapi dapat langsung mengambil langkah hukum terhadap debitur
apabila walaupun telah diberitahukan tentang kelalaiannya debitur masih gagal atau tidak
mampu untuk menyelesaikannya.52
Pendapat hukum diatas dapat dilihat pengaturannya pada pasal 1238 BW : “Si berutang
adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”. Ketentuan pasal 1238 BW ini apabila
dikaitkan dengan pengikatan jual beli antara para pihak maka frasa “… atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan.” dapat diterapkan sehubungan dengan isi pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli yang mengatur mengenai syarat batal yang ditetapkan mulai berlaku apabila
pihak pembeli tidak membayar sisa harga jual beli atas tanah hingga tenggang waktu 6 (enam)
bulan sejak hak atas tanah tersebut bersertipikat.
Mengenai kewajiban somasi ini terdapat suatu yurisprudensi, yaitu putusan MA tanggal 1
Juli 1959 No.186 K/Sip/1959 yang menyatakan bahwa apabila dalam perjanjian ditentukan
dengan tegas kapan pihak yang bersangkutan harus melaksanakan sesuatu dan setelah lampau
waktu yang ditentukan ia belum juga melaksanakannya, ia menurut hukum belum dapat
dikatakan alpa memenuhi kewajiban perjanjian selama hal tersebut belum dinyatakan kepadanya
secara tertulis oleh pihak lain (in gebreke gesteld).
Akan tetapi mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terikat atau
harus mengikuti putusan mengenai perkara sejenis yang pernah dijatuhkan oleh MA, PT atau
52
Ricardo Simanjuntak, Op.Cit., h 367,368.
52
yang telah pernah diputuskannya sendiri saja, karena pada asasnya tidak menganut asas the
binding force of precedent53
.
Perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak yang dituangkan dalam Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli telah mengatur mengenai kapan terjadinya wanprestasi, baik dari pihak
pertama maupun pihak kedua. Kriteria wanprestasi ini terkandung dalam syarat putus dalam
ketentuan pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, wanprestasi dari pihak kedua diatur
dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimana pihak kedua dikatakan
wanprestasi apabila setelah lewat tenggang waktu 6 (enam) bulan pihak kedua belum membayar
sisa harga jual beli atas tanah, maka pihak pertama dapat memutuskan perjanjian pengikatan jual
beli dengan memberikan kompensasi tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan
pihak kedua atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan kepastian lokasi.
Wanprestasi dari pihak pertama dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
terjadi apabila pihak pertama memutus perjanjian secara sepihak, dan sebagai tanggung gugatnya
pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali uang muka kepada pihak kedua.
Secara khusus apabila para pihak dengan tegas menyatakan dalam kontrak bahwa dengan
telah terbuktinya terpenuhi tata cara untuk dapat dinyatakan wanprestasi seperti yang telah
disepakati dalam “klausul wanprestasi” atau “klausul peristiwa-peristiwa wanprestasi” dan
membuat pihak kreditur berhak untuk segera melakukan langkah hukum tanpa harus perlu
terlebih dahulu mensomasi, maka tidak ada kewajiban dari kreditur untuk terlebih dahulu
mensomasi debitur sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan. Artinya, segera setelah “lalai”
atau “in default”, kreditur dapat langsung menggugat debiturnya, dan bila debitur berniat untuk
53
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, Liberty, Yogyakarta,2006, h.15.
53
segera menyelesaikannya maka debitur dapat menyelesaikannya sebelum persidangan dimulai,
dimana pada tahap kreditur masih dapat melakukan pencabutan terhadap gugatannya.54
Sebaliknya, walaupun peristiwa-peristiwa yang menjadi ukuran terjadinya wanprestasi
(events of default) yang telah disepakati para pihak dalam kontrak telah dipenuhi, akan tetapi
disepakati pula bahwa sebelum melakukan langkah hukum terhadap fakta “in default” kreditur
harus terlebih dahulu mengirimkan peringatan kepada debitur, maka berdasarkan kontrak,
kreditur tidak dapat menggugat debitur di Pengadilan Negeri, sebelum terlebih dahulu
melakukan somasi terhadap debiturnya. Tentang ketentuan berapa kali sebenarnya somasi harus
dilakukan terhadap debitur, tidak ada ketentuan yang mengaturnya, kecuali secara tegas
disepakati dalam perjanjian, peringatan umumnya dilakukan tiga kali. Artinya tidak menutup
kemungkinan bila pihak kreditur hanya berkeinginan mensomasi hanya sekali sebelum
memutuskan untuk mengambil langkah hukum ke Pengadilan Negeri, ataupun arbitrase sesuai
dengan pilihan jurisdikasi atau pilihan forum yang disepakati dalam kontrak.55
Tidak adanya somasi atau peringatan pernyataan lalai terhadap pihak kedua atau debitur
tidak berarti pihak penjual dapat menyatakan perjanjian pengikatan jual beli tersebut batal demi
hukum, akan tetapi penjual tetap harus meminta pemutusan kepada hakim sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 1266 ayat (2) BW, karena dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang mengikat para pihak tidak terdapat pengesampingan secara khusus mengenai keberadaan
pasal 1266 ayat (2) BW.
54
Ricardo Simanjuntak, Op.Cit., h.368. 55
Ibid., h.368,369.
54
3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang dilakukan oleh Para
Tergugat
Gugatan wanprestasi diajukan oleh pihak kedua yang selanjutnya akan disebut Penggugat
terhadap pihak pertama yang selanjutnya disebut Para Tergugat pada tanggal 28 Desember 2011
kepada Ketua Pengadilan Negeri Denpasar melalui kuasa hukumnya dengan dalil bahwa tergugat
telah melakukan wanprestasi karena batal menjual tanah obyek perjanjian pengikatan jual beli.
Untuk mendukung gugatannya Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah terbit sertipikat
terhadap tanah sengketa Para Tergugat tidak pernah memberitahukan kepada Penggugat dan
setelah Penggugat mengetahui sendiri bahwa terhadap tanah sengketa telah terbit sertipikat,
Penggugat langsung mendatangi Para Tergugat dengan tujuan untuk melanjutkan sisa
pembayaran, sehingga proses jual beli dapat dilakukan, akan tetapi Penggugat malah menyatakan
tidak jadi menjual tanahnya. Atas perbuatan Para Tergugat tersebut, Penggugat tidak dapat
mengalihkan tanah sengketa kepada Penggugat atau kepada pihak lain sebagaimana diuraikan
dalam Akta Kuasa tanggal 10 Mei 2002 nomor 16.
Mengacu kepada kriteria penggolongan wanprestasi menurut Subekti56
, berdasarkan dalil-
dalil yang diutarakan oleh Penggugat dalam posita gugatannya perbuatan Para Tergugat ini
termasuk ke dalam wanprestasi dalam hal melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan. Dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terkandung
ketentuan yang menyatakan bahwa penjual berkewajiban membayar dua kali lipat sebagai ganti
kerugian apabila pihak pertama membatalkan perjanjian tersebut. Jika ditafsirkan redaksi pasal
ini menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat bahwa pihak penjual atau pihak pertama tidak
56
Subekti I, Op.Cit., h.45.
55
diperbolehkan membatalkan perjanjian, dan apabila kesepakatan ini dilanggar maka sebagai
konsekuensinya pihak pertama wajib membayar ganti rugi sebesar dua kali uang muka kepada
pihak pembeli.
Penggugat sebagai pihak yang mengajukan perkara ke depan sidang guna menunjuk pada
suatu peristiwa (wanprestasi) memiliki kewajiban untuk membuktikan adanya peristiwa tersebut.
Kewajiban untuk melakukan suatu pembuktian ini diatur dalam pasal 1865 BW. Suatu
pembuktian ini dapat dilakukan dengan memajukan alat-alat bukti dalam perkara. Menurut pasal
1866 BW atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.
Dari apa yang telah disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa dalam suatu perkara perdata alat
bukti (alat pembuktian) yang utama adalah tulisan. Tulisan merupakan alat bukti yang utama
karena dalam lau lintas keperdataan, yaitu dalam jual beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya,
alat-alat bukti memang sengaja dibuat berhubungan dengan kemungkinan diperlukannya bukti-
bukti tersebut di kemudian hari, dan lazimnya bukti-bukti ini dituangkan dalam suatu hitam
diatas putih atau berupa tulisan57
. Bukti tulisan atau bukti surat yang diajukan oleh Penggugat
adalah fotocopy salinan Akta Pengikatan Jual Beli No.15 tanggal 10 Mei 2002 serta fotocopy
salinan Akta Kuasa No.16 tanggal 10 Mei 2002.
57
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 (selanjutnya disebut Subekti III), h. 22.
56
Selain bukti tulisan atau bukti surat Penggugat juga mengajukan bukti dengan saksi-saksi.
Menurut Subekti58
seorang saksi akan menerangkan tentang apa yang dilihat dan dialaminya
sendiri, dan lagi tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya
hal-hal yang diterangkan itu. Pendapat maupun perkiraan-perkiraan yang diperoleh dengan jalan
pikiran bukanlah suatu kesaksian. Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus
memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain59
; pada
persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang hal
yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong seorang saksi untuk
mengutarakan perkaranya, pada cara hidup, kesusilaan dan kedudukan para saksi, dan pada
umumnya pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat
dipercayainya para saksi itu.
Penggugat mengajukan dua orang saksi, yaitu I Made Rangkep yang merupakan
penghubung atau makelar dalam transaksi jual beli tanah yang terjadi antara Penggugat dan
tergugat, serta I Wayan Sutarga yang berprofesi sebagai sopir Penggugat.
Menurut keterangan saksi I Made Rangkep setelah sertipikat selesai Para Tergugat
mengatakan tidak jadi menjual tanahnya tersebut dan terhadap uang muka Penggugat akan
diberikan tanah pengganti seluas 40 (empat puluh) are yaitu di depan 20 (dua puluh) are dan di
belakang 20 (dua puluh) are.
Jika dirujuk pada kesaksian di atas pembeli atau dalam perkara ini tergugat telah beritikad
baik memenuhi isi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli pasal 6 ayat (1) yang menyatakan
apabila tenggang waktu enam bulan dari selesainya sertipikat pihak kedua belum juga memenuhi
58
Ibid, h. 40. 59
Ibid, h.40,41.
57
kewajibannya untuk melanjutkan pembayaran dari harga jual beli tanah, maka jumlah uang yang
telah dibayarkan oleh pihak kedua tidak akan dikembalikan oleh pihak pertama kepada pihak
kedua akan tetapi pihak kedua akan memperoleh tanah sesuai jumlah uang yang telah dibayarkan
atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi.
Dalam kesimpulan dari kuasa hukum tergugat, sampai sertipikat selesai yang diketahui
oleh pembeli setelah diberitahu oleh saksi I Made Rangkep yaitu sekitar tahun 2003 dan setelah
Penggugat mendatangi dan menanyakan langsung kepada Para Tergugat yang diantar oleh saksi I
Wayan Sutanta sekitar tahun 2008, Penggugat tidak melunasi sisa pembayaran sebesar Rp
4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah) yang seharusnya
sudah dibayar oleh pihak kedua atau dalam perkara ini sebagai Penggugat kepada pihak pertama
atau Para Tergugat selambat-lambatnya setelah hak atas tanah tersebut bersertipikat, sesuai
ketentuan pasal 3 huruf b Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Oleh karena Penggugat tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi sisa pembayaran
setelah sertipikat selesai sesuai ketentuan pasal 3 huruf b Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli,
maka Para Tergugat memutus kesepakatan yang dimungkinkan oleh ketentuan pasal 6 ayat (2)
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menentukan “apabila pihak pertama membatalkan
perjanjian ini, maka pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada
pihak kedua.” Tetapi ketika Para Tergugat hendak mengembalikan dua kali dari uang muka yang
telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Para Tergugat, Penggugat tidak mau menerima
pengembalian uang muka tersebut dan tetap bersikeras untuk melanjutkan jual beli atau meminta
ganti rugi sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
58
Jika poin dari kesimpulan ini sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi maka
Para Tergugat dalam menghadapi gugatan dari Penggugat dapat mengajukan pembelaan berupa
exceptio non adimpleti contractus. Mengenai Exceptio non adimpleti contractus ini Subekti60
berpendapat :
Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi itu
mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam
setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-
sama melakukan kewajibannya. Masing-masing pihak dapat mengatakan kepada pihak
lawannya, „Jangan menganggap saya lalai, kalau kamu sendiri juga sudah melalaikan
kewajibanmu!‟.
Selain pembelaan exceptio non adimpleti contractus Para Tergugat juga dapat mengajukan
gugatan dengan dasar Penggugat tidak beritikad baik dalam memenuhi perjanjian. Menurut
Subekti61
pelaksanaan suatu perjanjian dengan itikad baik harus berjalan dengan mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi ukuran obyektiflah yang digunakan untuk menilai
pelaksanaan tadi. Pengaturan mengenai itikad baik dalam analisis obyektif ini dapat dilihat pada
ketentuan pasal 1338 ayat (3) BW. Ketentuan pasal ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan
keadilan. Tujuan dari hukum adalah dua, yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi
tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi.
Namun dalam pemenuan tuntutan perjanjian tersebut, norma-norma keadilan atau kepatutan
60
Subekti I, Op.Cit., h. 57,58. 61
Lihat Ibid, h.41, 42
59
sebaiknya tidak ditinggalkan, dan sebaiknya para pihak dapat berlaku adil dalam pemenuhan
perjanjian tersebut.
Perbuatan Penggugat yang tidak patut jika melihat kesaksian dari kedua saksi yaitu saksi I
Made Rangkep yang telah memberitahu Penggugat bahwa sertipikat telah selesai sekitar tahun
2003 dan setelah Saksi I Wayan Sutanta yang mengantar Penggugat mendatangi Para Tergugat
sekitar tahun 2008 dengan kondisi telah mengetahui sertipikat telah terbit. Dari keterangan kedua
orang saksi tersebut dapat dilihat rentang waktu kurang lebih lima tahun sejak Penggugat
mengetahui sertipikat telah terbit dan tidak melanjutkan sisa pembayaran, hal ini berlawanan
dengan norma-norma kepatutan, dimana seharusnya setelah sertipikat terbit Penggugat memiliki
tenggang waktu enam bulan untuk melunasi pembayaran harga yang telah disepakati.
Lebih jauh mengenai itikad baik Agus Yudha Hernoko62
berpendapat :
Sebagaimana dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 (3)
BW tidak harus diinpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul
sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan
proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap
pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi
itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) BW mempunyai sifat dinamis melingkupi
keseluruhan proses kontraktual tersebut.
62
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., H, 139
60
Gugatan wanprestasi dari Penggugat terjadi karena Para Tergugat lebih memilih
membatalkan perjanjiannya secara sepihak dengan konsekuensi membayar ganti kerugian dua
kali dari uang muka yang telah dibayarkan oleh Penggugat daripada menggunakan ketentuan
syarat putus yang terkandung dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Syarat untuk berlakunya syarat putus
seagusbenarnya telah terpenuh saat Penggugat tidak berhasil memenuhi prestasinya untuk
membayar sisa harga jual beli dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan setelah sertipikat selesai,
pemenuhan syarat putus ini kurun waktu 5 (lima) tahun Penggugat tidak melanjutkan
pembayaran harga atas tanahnya yang dapat dilihat dari kesaksian saksi I Made Rangkep yang
telah memberi tahu Penggugat bahwa sertipikat telah selesai yaitu sekitar tahun 2003 dan setelah
Penggugat mendatangi dan menanyakan langsung kepada Para Tergugat yang diantar oleh saksi I
Wayan Sutanta sekitar tahun 2008.
Apabila poin kesimpulan tersebut di atas sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya
maka seharusnya Para Tergugat dapat meminta pemutusan perjanjian seperti yang diatur dalam
pasal 1266 ayat (2) BW setelah Penggugat tidak memenuhi kewajiban berprestasinya untuk
membayar sisa harga jual beli dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak sertipikat selesai
sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Apabila langkah
permintaan pemutusan perjanjian ini yang dimintakan kepada hakim oleh Para Tergugat maka
Para Tergugat tidak perlu untuk membatalkan perjanjian dan membayar ganti rugi dua kali dari
uang muka kepada pihak Penggugat karena pemutusan perjanjian tersebut terjadi karena
wanprestasi oleh Penggugat dan akta perjanjian jual beli yang berlaku selayaknya undang-
undang bagi para pihak menyatakan sah langkah pemutusan tersebut.
61
Walaupun dalam hukum dikenal adanya adagium Rechtfictie yang apabila diterjemahkan
secara bebas memiliki arti bahwa setiap orang dianggap tahu hukumnya, sebaiknya penuangan
perjanjian pengikatan jual beli dalam suatu akta pengikatan jual beli tersebut lebih merinci
substansi dari perjanjian agar para pihak dapat lebih jelas mengetahui apa saja hak dan kewajiban
mereka yang harus dipenuhi menurut perjanjian yang mengikat mereka selaku pembuat
selayaknya undang-undang dan upaya-upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan apabila
terjadi kelalaian dalam pemenuhan prestasi dari pihak lawan. Pengetahuan para pihak yang
minim tentang hukum membuat mereka bertindak hanya berdasar kepada pasal-pasal yang
terkandung dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanpa mengetahui terdapat pengaturan
yang lebih khusus terhadap tindakan hukum yang dapat diambil menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Para Tergugat untuk mendukung dalilnya mengajukan bukti surat berupa foto copy salinan
akta pengikatan jual beli, dan juga mengajukan dua orang ahli yaitu I Wayan Wiryawan dan I
Ketut Westra. Mengenai keterangan ahli ini Sudikno Mertokusumo63
berpendapat bahwa
“Keterangan ahli ialah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu
hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.”.
Namun dari keterangan ahli-ahli yang dihadirkan ke dalam persidangan tersebut terdapat
beberapa keterangan yang tidak sesuai dengan teori-teori atau norma hukum yang berlaku. Ahli
Wayan Westra memberi keterangan bahwa perikatan tidak sama dengan pengikatan. Perikatan
adalah istilah hukum yang mempunyai konsekuensi yuridis atau saksi, sedangkan pengikatan
tidak. Pengikatan merupakan istilah yang lahir dari pergaulan sehari-hari dan perikatan adanya
konotasi hak dan kewajiban sedangakan pengikatan hanya merupakan norma.
63
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., H.195
62
C. Asser64
berpendapat bahwa ciri utama perikatan adalah hubungan hukum para pihak,
dimana dengan hubungan itu terdapat hak (prestasi) dan kewajiban (kontra prestasi) yang saling
dipertukarkan para pihak. Apabila dibandingkan dengan pendapat ahli I Wayan Wiryawan yang
menyatakan bahwa perikatan tidak sama dengan pengikatan, keterangan ahli tersebut kurang
tepat, karena suatu pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian dimana dalamnya terdapat
hubungan hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang saling dipertukarkan para pihak
yang tunduk di dalamnya. Selain itu pasal 1233 BW menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang, dengan memperhatikan
ketentuan pasal tersebut pengikatan jual beli yang dituangkan dalam suatu perjanjian
menerangkan kedudukan perjanjian pengikatan jual beli sebagai suatu perjanjian yang
melahirkan perikatan.
Ahli kedua yang dihadirkan oleh Para Tergugat adalah I Ketut Westra, Ahli kedua
berpendapat bahwa apabila perjanjian tersebut mengandung klausula waktu dan setelah lampau
waktu tersebut perjanjian belum dilaksanakan maka perjanjian tersebut gugur dan karena
perjanjian tersebut gugur, maka tidak ada wanprestasi.
Klausula waktu dalam perjanjian pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pada klausul
syarat putus yang terkandung dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Merujuk pada
ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW yang menyatakan bahwa suatu syarat putus tidak batal demi
hukum, tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada hakim. Kemudian dalam ketentuan pasal
1266 ayat (3) BW juga diatur bahwa permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat putus
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika berpedoman pada
64
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h 21, dikutip dari C. Asser, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Jakarta,
Dian Rakyat, 1991, h. 5
63
ketentuan pasal 1266 ayat (3) BW pendapat dari ahli kedua tersebut kurang tepat karena
perjanijan tidak gugur dengan sendirinya (batal demi hukum) apabila syarat lampaunya waktu
dalam syarat putus terpenuh, suatu perjanjian dengan syarat putus tetap memerlukan pemutusan
dari hakim.
Mengenai pendapat atau keterangan kedua ahli yang tidak sesuai dengan ajaran hukum
atau norma-norma yang berlaku, majelis hakim bebas untuk mendengar atau tidak pendapat ahli
tersebut. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo65
“Hakim terikat untuk mendengar saksi
yang akan memberikan keterangan tentang peristiwa yang relevan, sedangkan mengenai ahli,
hakim bebas untuk mendengar atau tidak.”
Akibat dari wanprestasi Para Tergugat yang dirasa merugikan Penggugat dalam dalil-dalil
gugatannya, maka Penggugat dalam petitumnya menuntut Para Tergugat agar dihukum untuk
membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan
hukum tetap kepada Penggugat sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyat rupiah) dengan
perincian:
1. Kerugian materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Kerugian immateriil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Mengenai ganti kerugian menurut Abdulkadir Muhammad66
ialah “ganti kerugian yang
timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai”. Ganti kerugian itu terdiri dari tiga
unsur yaitu (pasal 1246 BW)
a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost).
65
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., H.197 66
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.39,40.
64
b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian
debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita.
c) uang atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan
keuntungan yang diharapkannya.
Ketiga unsur diatas tidak harus selalu ada dalam ganti kerugian. Minimal ganti kerugian itu
adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur (unsur b).
Walaupun debitur yang telah melakukan wanprestasi (lalai) diharuskan membayar ganti
kerugian kepada kreditur, namun undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan
yaitu ; dalam hal ganti kerugian yang bagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan
kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap
debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur. Pembatasan-pembatasan tersebut dapat
dibaca dalam ketentuan pasal 1247 dan 1248 BW.
Pasal 1247 BW menyatakan bahwa Debitur hanya diwajibkan membayar ganti kerugian
yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal
tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya, dan Pasal
1248 BW menyatakan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur,
pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan
keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari
tidak dipenuhinya perikatan.
Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian :
a. kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).
65
Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur akibat dari
wanprestasi.
Dengan pembatasan kriteria kerugian ini maka gugatan wanprestasi Penggugat yang dalam
petitumnya menuntut Para Tergugat agar dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tunai
dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Penggugat
sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyat rupiah) dengan perincian kerugian materiil
sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan Kerugian immateriil sebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) tidak dapat diterima karena kerugian tersebut bukanlah
merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
Selain ganti kerugian Penggugat dalam petitumnya juga memohon kepada majelis hakim
agar Para Tergugat dihukum membayar uang paksa kepada Penggugat sebesar Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) sehari, setiap lalai melaksanakan isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan
sampai dilaksanakan oleh Para Tergugat.
Terhadap uang paksa (dwangsom) Pasal 606a Rv menentukan : “Sepanjang suatu
keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah
uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi
hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam
keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”. Berdasarkan ketentuan tersebut
Para Tergugat baru dapat dikenakan dwangsom apabila telah majelis hakim dalam amarnya
menyetujui petitum gugatan Penggugat dan menghukum Para Tergugat untuk membayar
dwangsom atau uang paksa tersebut.
66
4. Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Setelah Penjual Dinyatakan
Wanprestasi dalam Putusan Pengadilan
Setelah melalui tahapan-tahapan pemeriksaan di pengadilan, majelis hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 787/Pdt.G/2011/PN.Dps melalui rapat
musyawarah majelis yang dilakukan pada hari Senin, 15 Oktober 2012 telah menghasilkan suatu
produk hukum berupa putusan Pengadilan Negeri yang diucapkan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum pada Senin tanggal 22 Oktober 2012.
Menurut Sudikno Mertokusumo67
putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Putusan
yang diucapkan oleh majelis hakim ini merupakan suatu putusan akhir, yaitu putusan yang
mengakhiri perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Suatu putusan akhir ada yang
bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula
yang bersifat menerangkan (declaratoir)68
.
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan
untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan condemnatoir diakui hak Penggugat atas prestasi
yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang
bersumber pada persetujuan atau undang-undang. yang prestasinya dapat terdiri dari memberi,
berbuat atau tidak berbuat. Pada umumnya putusan condemnatoir berisi hukuman untuk
membayar sejumlah uang. Karena dengan putusan condemnatoir tergugat diwajibkan untuk
memenuhi prestasi, maka hak dari Penggugat yang telah ditetapkan itu dapat dilaksanakan
67
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit.,h.210. 68
Ibid, h.229.
67
dengan paksa (execution force). Jadi putusan condemnatoir kecuali mempunyai kekuatan
mengikat juga memberi alas hak eksekutorial kepada Penggugat yang berarti memberi hak
kepada Penggugat untuk menjalankan putusan secara paksa melalui pengadilan.
Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan
hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan,
pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (pasal 1266, 1267 BW) dan sebagainya. Putusan
constitutif ini pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti tersebut di atas,
karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu, maka akibat hukumnya atau
pelaksanaannya tidak tergantung pada bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan
keadaan atau hubungan hukum itu sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa
memerlukan upaya pemaksa. Pengampuan dan kepailitan itu misalnya terjadi pada saat putusan
yang dijatuhkan.
Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa
yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah, juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan
declaratoir. Di sini dinyatakan sebagai hukum, bahwa keadaan hukum tertentu yang dituntut oleh
Penggugat atau pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi.
Putusan declaratoir murni tidak mempunyai atau memerlukan upaya memaksa karena sudah
mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan untuk
melaksanakannya, sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat saja. Pada hakikatnya
semua putusan baik yang condemnatoir maupun yang constitutif bersifat declaratoir.
68
Pada putusan constitutif keadaan hukum yang baru dimulai pada saat putusan itu
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, sedangkan putusan condemnatoir dapat dilaksanakan
sebelum mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Selain itu hanyalah putusan condemnatoir
yang dapat dilaksanakan secara paksa.
Putusan Majelis Hakim terhadap perkara dengan nomor register 787/PDT.G/2011/PN.DPS
ini tergolong dalam putusan condemnatoir, dimana putusan ini bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Majelis hakim yang memutus perkara antara para pihak
dengan nomor register perkara 787/PDT.G/2011/PN.DPS dalam amar putusannya menyatakan
bahwa Para Tergugat telah melakukan wanprestasi serta menghukum Para Tergugat untuk
melanjutkan proses jual beli tanah sengketa di hadapan PPAT atau Pejabat yang berwenang
sebagaimana diatur dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan69
yang dijadikan dasar
untuk mengadili (pasal 25 UU no.4 tahun 2004, 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-
alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim atas putusannya
terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh
karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan
mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.
Menilik alasan dan amar dalam putusan ini, putusan majelis hakim yang pada bagian
menimbang menyatakan bahwa Para Tergugat dihukum untuk melanjutkan pelaksanaan akta
pengikatan jual beli no.15 tanggal 10 mei 2002 bertentangan dengan amar putusan yang
69
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h.15.
69
menghukum Para Tergugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah sengketa di hadapan PPAT
atau Pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Pemenuhan atau dilanjutkannya perjanjian apabila salah satu pihak wanprestasi merupakan
salah satu pilihan yang dapat diambil oleh Penggugat sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal
1267 BW yang menyatakan “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih
apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian
dan bunga. Akan tetapi majelis hakim perlu memperhatikan juga Pasal 1338 BW menyatakan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Apabila majelis hakim dalam pertimbangannya menghukum Para Tergugat untuk
melanjutkan pelaksanaan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli no 15 tanggal 10 mei 2002 maka
seharusnya amar putusan tersebut bukanlah melanjutkan proses jual beli tanah sengketa di
hadapan PPAT atau Pejabat yang berwenang, melainkan menghukum Para Tergugat untuk
membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada Penggugat, sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 6 ayat 2 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menyatakan pihak pertama atau
dalam gugatan ini bertindak sebagai Para Tergugat diwajibkan untuk membayar ganti rugi dua
kali dari uang muka kepada pihak kedua atau dalam perkara ini adalah Penggugat apabila
memutus perjanjian yang dirumuskan dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli berdasarkan
asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam pasal 1338 BW.
Perjanjian pengikatan jual beli yang mengikat para pihak selayaknya undang-undang
sebagaimana diatur dalam redaksi pasal 1338 BW memberikan opsi kepada pihak pertama atau
70
Para Tergugat dalam perkara ini untuk memutus perjanjian, dengan konsekuensi yuridis Para
Tergugat harus membayar ganti kerugian dua kali dari uang muka kepada pihak Penggugat. Jadi
apabila pada bagian menimbang dari putusan majelis hakim ingin menghukum Para Tergugat
untuk melanjutkan pelaksanaan akta pengikatan jual beli maka amar putusannya seharusnya
menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti kerugian dua kali dari uang muka kepada
Penggugat.
Amar dari Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor register
perkara 787/Pdt.G/2011/PN.Dps menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, dari
petitum gugatan Penggugat selain menyatakan Para Tergugat wanprestasi dan menghukum Para
Tergugat untuk melanjutkan proses jual beli, gugatan Penggugat lainnya yang dikabulkan oleh
majelis hakim adalah menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa kepada Penggugat
sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari setiap Para Tergugat lalai melaksanakan
putusan terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan mengenai
dwangsom ini diberlakukan karena dalam amar putusan hakim Para Tergugat dihukum tidak
untuk membayar sejumlah uang, tetapi untuk melakukan sesuatu hal, yaitu melanjutkan
perjanjian pengikatan jual beli. sebagaimana diatur Pasal 606a Rv suatu keputusan hakim yang
mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang maka dapat
ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut,
olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan
uang tersebut dinamakan uang paksa.
71
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Suatu perjanjian pengikatan jual beli dapat diputus oleh salah satu pihak apabila pemutusan
tersebut disepakati para pihak dengan bentuk berupa syarat putus dalam akta pengikatan
jual beli yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Syarat putus ini biasanya dimuat
berkaitan dengan wanprestasi salah satu pihak dalam pemenuhan perjanjian pengikatan
jual beli. Pemutusan perjanjian pengikatan jual beli dengan suatu syarat putus tidak
mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum, tetapi pemutusannya harus
dimohonkan terlebih dahulu kepada hakim. Dalam praktiknya keberadaan permohonan
pemutusan kepada hakim ini sering disimpangi oleh para pembuat kontrak dengan alasan
efisiensi waktu dan mengurangi beban perkara di pengadilan.
b. Suatu gugatan wanprestasi dapat diajukan kepada pengadilan dengan dasar pemutusan
suatu perjanjian pengikatan jual beli yang dilakukan tanpa persetujuan pihak lain.
Pemutusan yang dapat dijadikan dasar gugatan wanprestasi adalah pemutusan perjanjian
pengikatan jual yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak berkaitan dengan syarat
putus yang disepakati para pihak dan diperjanjikan dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli atau pemutusan yang dilakukan salah satu pihak dengan memberlakukan syarat putus
yang terumus dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, namun pemutusan tersebut tidak
dimohonkan terlebih dahulu kepada hakim sebagaimana diatur dalam pasal 1266 ayat (2)
BW. Apabila majelis hakim mengabulkan gugatan tersebut, maka amar putusannya
72
seharusnya mewajibkan tergugat untuk memenuhi ketentuan ganti kerugian dalam
pemberlakuan syarat putus bukan memerintahkan para pihak melanjutkan proses jual-beli.
2. Saran
a. Suatu perjanjian yang berisi syarat putus sebaiknya mencantumkan ketentuan mengenai
tidak batal demi hukumnya perjanjian apabila unsur-unsur syarat putus telah terpenuhi.
Apabila para pihak sepakat untuk menyimpangi ketentuan tidak batal demi hukumnya
perjanjian akibat telah lewatnya waktu yang diperjanjikan dalam syarat putus maka
sebaiknya ketentuan tersebut juga diuraikan dalam akta agar tidak terjadi perbedaan tafsir
antar para pihak yang dapat berujung kepada gugatan keperdataan.
b. Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara hendaknya tetap mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli
selain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena selama perjanjian
pengikatan jual beli tersebut tidak melanggar syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320
BW dan juga mengingat pasal 1338 BW bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
mengikat para pihak yang membuat selayaknya undang-undang, jadi hakim dalam
memutus perkara yang diajukan kepadanya tetap wajib mempertimbangkan keberadaan
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar hukum dari perjanjian yang disepakati
para pihak.
DAFTAR BACAAN
1. Buku :
Adjie, Habib, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.
Badrulzaman, Mariam Daruz, et al.,Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2011.
Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2012.
---------- , Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010.
Herawati, Elly, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional
Legal Reform Program, Jakarta, 2010.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Kencana, Jakarta, 2011.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, Liberty,
Yogyakarta,2006.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Muljadi, Kartini, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.
Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Simanjuntak, Ricardo, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,Kontan Publishing,
Jakarta,2011.
Subekti , Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985.
---------- , Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.
----------, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004.
Soeroso, R, Perjanjian di Bawah Tangan : Pedomoan praktis pembuatan dan Aplikasi Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
2. Peraturan Perundang-Undangan :
Burgerlijk Wetboek Staatsblad 1847 Nomor 23.
Herzien Inlandsch Reglement / Reglemen Indonesia Yang Dibaharui Staatsblad 1848 No. 16 jo.
57 dan Staatsblad 1941 No. 31, 32 dan 44.
Top Related