TINJAUAN PUSTAKA
SYOK DAN PENGELOLAANNYA
Oleh :
VALENTINA LAKHSMI PRABANDARIG99141003
KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIANANESTHESIOLOGI & TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
Tinjauan Pustaka dengan Judul :
SYOK DAN PENGELOLAANNYA
Disusun oleh :
Valentina Lakhsmi Prabandari
Telah dibacakan pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
Pembimbing/Penguji
dr. Ardana Tri Arianto, MSi. Med, Sp.An
NIP 197901072010011012
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….. 2
2.1. Definisi Syok ………………………………………………… 2
2.2. Diferensiasi Klinis dari Etiologi Syok ……………………… 2
2.3. Derajat Syok ………………………………………………… 6
2.4. Langkah Awal Penanganan Syok …………………………. 7
2.5. Terapi Spesifik ……………………………………………… 8
BAB III SIMPULAN ……………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
Seseorang dikatakan syok bila terdapat ketidakkecukupan perfusi
oksigen dan zat gizi ke sel-sel tubuh. Kegagalan memperbaiki perfusi
menyebabkan kematian sel yang progresif, gangguan fungsi organ dan akhirnya
kematian penderita. Oleh karena itu, mempertahankan perfusi darah yang
memadai pada organ-organ vital merupakan tindakan yang penting untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Perfusi organ tergantung pada tekanan perfusi
yang tepat, kemudian curah jantung dan resistensi vaskuler sistemik (Fitria, 2010).
Langkah awal dalam tatalaksana syok adalah mengetahui tanda-tanda
klinisnya. Terapi harus dimulai sambil mencari kemungkinan penyebab dari
keadaan syok tersebut. Respon terhadap terapi awal, digabung dengan penemuan
sewaktu melakukan primary survey dan secondary survey, biasanya memberikan
cukup informasi untuk menentukan penyebab syoknya (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Syok
Syok terjadi akibat aliran darah yang tidak adekwat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrisi (Australian
Resuscitation Council, 2009). Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai
keadaan terdapatnya pengurangan yang sangat besar dan tersebar luas pada
kemampuan pengangkutan oksigen serta unsur-unsur gizi lainnya secara
efektif ke berbagai jaringan sehingga timbul cidera seluler yang mula-mula
reversible dan kemudian bila keadaan syok berlangsung lama menjadi
irreversible (Fitria, 2010).
2.2. Diferensiasi Klinis dari Etiologi Syok
Klasifikasi syok yang dibuat berdasarkan penyebabnya :
2.2.1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. (Wijaya, 2009).
Syok hipovolemik disebabkan oleh :
Perdarahan (syok hemoragik), misalnya trauma.
Kehilangan plasma, misalnya luka bakar.
Kehilangan air dan elektrolit, misalnya muntah, diare.
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari
muntah, diare, luka bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian
ventrikel tidak adekuat, direfleksikan pada penurunan volume, dan
tekanan end diastolic ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini yang
menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume)
dan curah jantung yang tidak adekuat .
5
Dasar diagnosis kerja adalah gambaran klinik dan gangguan
hemodinamik yang jelas dan ditemukan adanya sumber perdarahan
(Wijaya, 2009). Manifestasi klinik dari syok adalah hipotensi, pucat,
berkeringat dingin, sianosis, kencing berkurang, gangguan kesadaran,
sesak nafas (Fitria, 2010).
2.2.2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan
curah jantung sistemik pada keadaan volume intravascular yang cukup,
dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Hipotensi sistemik
umumnya menjadi dasar diagnosis, Nilai cut off untuk tekanan darah
sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya
tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik (Alwi dan Nasution,
2009). Manifestasi klinis hipoperfusi dapat berupa akral dingin,
penurunan produksi urin, dan/atau perubahan status mental. (Reynolds
and Hochman, 2008). Pasien tidak sadar atau hilangnya kesadaran
secara tiba- tiba, serta terjadi sianosis akibat dari aliran perifer
berhenti.
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90
mmHg selama > 1 jam dimana tak respon terhadap pemberian cairan
saja, sekunder terhadap disfungsi jantung, atau berkaitan dengan tanda-
tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2 liter/menit/m2 dan tekanan
baji kapiler paru > 18 mmHg (Alwi dan Nasution, 2009). Penyebab
paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel kiri,
yang menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang berat,
dan kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut
dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan
pembedahan jantung yang lama. Bentuk lain bisa karena gangguan
mekanis ventrikel. Regurgitasi aorta atau mitral akut, biasanya
6
disebabkan oleh infark miokard akut, dapat menyebabkan penurunan
yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar melalui
katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya
menyebabkan syok kardiogenik (Fitria, 2010).
Pada syok kardiogenik, denyut jantung biasanya cenderung meningkat
sebagai akibat stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi
pernapasan yang biasanya meningkat. Dalam pemeriksaan sistem
kardiovaskuler akan didapatkan tanda-tanda sesuai dengan gangguan
kardiovaskuler yang mendasari syok (Alwi dan Nasution, 2009).
2.2.3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama
diastole, sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (stroke
volume) dan curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli paru
masif.
2.2.4. Syok Distributif
Syok distributive adalah sebutan untuk syok yang disebabkan oleh
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), atau syok yang
diprovokasi oleh hambatan atau hilangnya tonus simpatis (Worthley,
2000). Kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok
distributif yaitu (1) syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis,
anastesi spinal; (2) syok septik; (3) syok anafilaktik seperti sensitivitas
terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi sengatan lebah.
Pada syok neurogenik terdapat gambaran klinis hipotensi tanpa
takikardia atau vasokonstriksi kulit. Sesudah pasien menjadi tidak
sadar, barulah nadi bertambah cepat. Pengumpulan darah di dalam
arteriol, kapiler, dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat
berwarna kemerahan (Fitria, 2000). Pada syok neurogenik vasodilatasi
terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis. Kondisi ini dapat
7
disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi spinal, dan kerusakan
sistem saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat
depresan atau kekurangan glukosa, misalnya : reaksi insulin.
Syok septik termasuk jarang terjadi, namun, jika kedatangan penderita
di fasilitas gawat darurat tertunda untuk beberapa jam, masalah ini
mungkin terjadi. Penderita syok septik yang hipotensif dan afebril
secara klinis sukar dibedakan dari syok hipovolemik, karena kedua
kelompok ini dapat menunjukkan takikardia, vasokonstriksi kulit,
produksi urin menurun, tekanan sistolik yang menurun, dan tekanan
nadi yang mengecil (American College of Surgeons, 2004). Pada syok
septik, terdapat dua fase:
2.2.4.1. Fase Hiperdinamik/ Syok panas (warm shock): gejala dini
berupa hiperventilasi, tekanan vena sentral meninggi, indeks jantung
naik, alkalosis, oligouria, hipotensi, daerah akral hangat, tekanan
perifer rendah, laktikasidosis.
2.2.4.2. Fase Hipodinamik: gejala berupa tekanan vena sentral
menurun, hipotensi, curah jantung berkurang, vasokonstriksi perifer,
daerah akral dingin, asam laktat meninggi, keluaran urin berkurang
(Fitria, 2010).
Syok anafilaksis merupakan salah satu manifestasi klinik dari
anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan
kolaps sirkulasi darah. Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat
kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis
secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa
hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.
Ciri khas pertama anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa detik
sampai menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau factor pencetus
non alergen seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua
yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik sehingga melibatkan
8
banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hamper serentak
(Rengganis et al, 2009).
2.3. Derajat Syok
2.3.1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non-vital seperti
kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup
lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan
yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau
ringan.
2.3.2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus,
ginjal, dan lainnya). Organ- organ ini tidak dapat mentoleransi
hipoperfusi lebih lama seperti lemak, kulit, dan otot. Oligouria bisa
terjadi dan asidosis metabolic. Akan tetapi kesadaran relatif masih
baik.
2.3.3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi
syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada
syok lanjut terjadi vasokonstriksi di semua pembuluh darah lain.
Terjadi oligouria dan asidosis berat, ganguan kesadaran dan tanda-
tanda hipoksia jantung (EKG Abnormal, curah jantung menurun).
9
2.4. Langkah Awal Penanganan Syok
2.4.1. Pemeriksaan jasmani
Airway
Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Pengelolaan
airway penting untuk meyakinkan bahwa saluran nafas tetap
terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia.
Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita
harus dipertahankan dalam in line position.
Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau
muntah. Jika perlu pasang alat bantu jalan nafas.
Breathing
Segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan
sungkup atau ETT untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas
95%.
Circulation
Bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalkan perdarahan yang
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai
perfusi jaringan.
2.4.2. Akses pembuluh darah
Tempat yang paling baik untuk jalur intravena bagi orang dewasa
adalah pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak
memungkinkan penggunaan darah perifer, maka digunakan akses
pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis atau vena
subclavia dengan kateter besar) atau melakukan vena seksi pada
vena safena di kaki. Pada anak-anak di bawah 6 tahun, teknik
10
penempatan jarum intraosseous harus dicoba sebelum menggunakan
jalur vena sentral.
2.4.3. Terapi awal cairan
Dalam dekade ini penggunaan cairan kristaloid atau koloid pada
syok masih diperdebatkan (Boluyt, 2006). Cairan intravena seperti
larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Jenis cairan ini
mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan
volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan
berikutnya kedalam ruang interstisial dan intraseluler (Fitria, 2010).
Ringer Laktat adalah pilihan pertama dan NaCl fisiologis adalah
pilihan kedua. NaCl fisiologis adalah cairan yang baik namun
memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkhloremik dan
meningkatkan resiko kerusakan ginjal dibandingakan dengan RL
(Annane, 2013). Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan
tetesan cepat (American College of Surgeons, 2004), jumlah cairan
pada pediatric dapat diberikan sampai 60 ml/kg (Boluyt, 2006).
Respon penderita terhadap pemberian cairan dipantau dan
keputusan pemeriksaan diagnostic atau terapi lebih lanjut
tergantung pada respon ini.
2.5. Terapi Spesifik
2.5.1. Syok Hipovolemik
Lakukan tatalaksana ABC pada penderita. Pada syok hipovolemik,
baringkan penderita telentang dengan kaki ditinggikan sehingga
aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi
meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau
penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
11
Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar,
mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi
cairan ke dalam paru.
Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus
seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Cairan yang diberikan
adalah garam isotonis yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap
asidosis hiperkloremia) atau dengan garam seimbang seperti
Ringer’s Laktat dengan jarum infus yang terbesar. Pemberian 2-4 L
dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan
hemodinamik (Wijaya, 2009).
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk
meningkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan
pemeriksaan tekanan baju paru dengan kateter Swan Ganz. Bila
hemodinamik tetap tak stabil, berarti kemungkinan terjadi
perdarahan atau kehilangan cairan yang belum teratasi (Wijaya,
2009).
Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang,
sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang
sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui
bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan
larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap (Fitria,
2010). Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar Hb <10 g/dL
perlu dilakukan transfusi darah yang sesuai, bila dalam keadaan
darurat dapat diberikan packed red cells tipe darah yang sesuai atau
O-negatif (Wijaya, 2009).
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia berkepanjangan,
dukungan inotropik dengan dopamine, vasopressin atau dobutamin
dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel
yang cukup setelah volume darah tercukupi dahulu. Pemberian
12
norepinefrin tidak memberikan banyak manfaat pada syok
hipovolemik (Wijaya, 2010).
2.5.2. Syok Kardiogenik
Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian
cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan
oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
Revaskularisasi dini pada kasus kardiogenik syok meningkatkan
survival rate (Reynolds and Hochman, 2008). Oleh karena itu,
Hochman et al (2001), dalam penelitiannya merekomendasikan
dilakukannya transfer pasien syok kardiogenik, terutama yang
disebabkan oleh infark miokard, ke layanan kesehatan yang dapat
melaksanakan prosedur angiografi dan revaskularisasi.
Lakukan tatalaksana ABC pada penderita. Intubasi trakea perlu
dipertimbangkan bila terjadi hipoksia berat.
Ambil darah arteri untuk AGD dan darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium yang dibutuhkan, antara lain pemeriksaan darah
lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin, dan enzim-enzim jantung.
Bila tidak terdapat tanda-tanda udem paru, pasien diberikan cairan
garam fisiologik untuk menurangi hipovolemia, sekurang-
kurangnya 250ml dapat dilakukan dalam 10 menit (Alwi dan
Nasution, 2009).
Buat rekaman EKG dan pemeriksaan penunjang lain seperti foto
roentgen dada, echocardiography, dan pemantauan hemodinamik
lain.
Menurut Reynold dan Hochman (2008), tatalaksana syok
kardiogenik meliputi:
General Support
Terapi antitrombotik dengan aspirin dan heparin sebaiknya
diberikan pada kasus yang disebabkan oleh infark miokard,
13
sedangkan clopidogrel sebaiknya ditunda sampai setelah
angiografi.
Haemodynamic Management
Kateterisasi arteri pulmonalis atau echocardiography
Doppler dapat digunakan untuk diagnose syok kardiogenik
dan memberikan data hemodinamik yang dapat
menunjukkan nilai prognostic pada syok kardiogenik.
Pharmacological Treatment
Terapi farmakologis yang dianjurkan adalah obat-obat
inotropic dan vasopressor dengan dosis yang rendah, sebab
dosis besar dapat mempengaruhi hemodinamik dan efek
toksik secara langsung.
Mechanical Support
Dilakukan dengan tindakan pemasangan intra aortic
balloon counterpulsation.
2.5.3. Syok Neurogenik
Penatalaksanaannya adalah:
Lakukan tatalaksana ABC pada penderita syok
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan
pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor
kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan
obat-obat vasoaktif:
o Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10
mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang
terjadi takikardi.
o Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam
menaikkan tekanan darah.
14
o Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan
pengaruhnya terhadap jantung. Sebelum pemberian obat ini
harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenic
o Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang
diakibatkan oleh menurunnya cardiac output (Fitria, 2010).
2.5.4. Syok Septik/ Syok Bakteremik
Syok sepsis dan kegagalan multiorgan menghasilkan outcome yang
buruk. Patofisiologi syok septik sudah banyak diketahui tetapi
terapi masih terbatas dan mortalitas pasien syok masih tinggi. Dari
data-data penelitian terapi inovatif dan clinical trial belum
menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam 40 tahun terakhir
(Winarto, 2009). Tata laksana syok septik berdasarkan Surviving
Sepsis Campaign adalah menjalankan 3 pilar sepsis yakni
resusitasi, antibiotik yang adekuat dan source control (Irawany,
2012). Source control memainkan peran penting dalam kesuksesan
terapi syok septik, meliputi drainase cairan infeksius, pembuangan
alat-alat yang terkontaminasi, debridemen jaringan lunak yang
terinfeksi dan langkah-langkah definitif perbaikan kekacauan
anatomi yang menyebabkan kontaminasi mikroba (Morell et al,
2009).
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitas yang perlu dilakukan segera mungkin. Resusitasi
dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama dimulai sejak pasien
tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway, breathing,
circulation, oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid),
vasopressor/inotropic dan transfusi bila diperlukan (Chen dan
Pohan, 2009).
15
Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ
majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan
berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan
analisa gas darah (Fitria, 2010).
2.5.5. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah pemberian obat atau
zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu
dilakukan, adalah:
Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru.
Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk
penderita dewasa atau 0.01 ml/kg untuk penderita anak-anak, sub
kutan atau intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sebanyak 3-4 kali sampai keadaan membaik.
Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin
kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6
mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9
mg/kgBB/menit dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan sekitar 15 menit (Fitria, 2010; Rengganis et al,
2009).
Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg
atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang
untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang
membandel (Fitri, 2010).
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke
ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok
anafilaktik. Dianjurkan untuk memberkan cairan koloid 0,5-1 L
dam sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid tidak
16
saja mengganti cairan intravascular yang merembes keluar
pembuluh darah tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular
untuk kembali ke intravascular Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa
larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamine (Rengganis et al, 2010)
Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan,
para ahli sependapat untuk memberikan vasopressor melalui infus
intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam
250 ml dekstrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit. Dosis maksimum 10 mg/ml
(Rengganis et al, 2009).
17
BAB III
SIMPULAN
Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa
mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok
dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Dengan mengetahui tanda-tanda syok,
langkah awal tatalaksana syok dapat segera dilakukan, meliputi airway, breathing,
dan circulation, akses pembuluh darah dan terapi awal cairan. Langkah kedua
dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab
syok, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan dan terapi lebih lanjut sesuai dengan
penyebab syok.
18
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee of Trauma,2004. Advanced Trauma Life
Support Seventh Edition. Indonesia: Ikabi
Alwi, Idrus dan Nasution, Sally Aman. 2009. Syok Kardiogenik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Pp: 245-252
Annane, Djillali, Shidasp Siami, Samir Jaber, Claude Martin, Souheil Elatrous,
Adrien Descorps Declère, Jean Charles Preiser, et al. 2013. Effects of
Fluid Resuscitation With Colloids vs Crystalloids on Mortality in
Critically Ill Patients Presenting With Hypovolemic Shock. JAMA.
Volume 310, Number 17; 310(17):1809-1817.
Australian Resuscitation Council. 2009. Shock. Guideline 9.2.3, pp: 1-2
Boluyt, Nicole, CasperW. Bollen, Albert P. Bos, JokeH. Kok, Martin Offringa.
2006. Fluid resuscitation in neonatal and pediatric hypovolemic shock: a
Dutch Pediatric Society evidence-based clinical practice guideline.
Intensive Care Med. DOI 10.1007/s00134-006-0188-4
Chen, Khie dan Pohan, Herdiman T. 2009. Penatalaksanaan Syok Septik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Pp: 252-256
Fitria, Cemy N. 2010. Syok dan Penanganannya. Gaster, Vol. 7 No. 2 Agustus
2010, pp: 593-604
Hochman, Judith S., Lynn A. Sleeper, Harvey D. White, Vladimir Dzavik, S.
Chiu Wong, Venu Menon, John G. Webb, et al. 2001. One-Year
Survival Following Early Revascularization for Cardiogenic Shock.
JAMA—Vol 285, No. 2
19
Irawany, Vera. 2012. Penatalaksanaan Syok Septik pada Pasien dengan Sindrom
Kardiorenal. Majalah Kedokteran Terapi Intensif, Volume 2 Nomor 2
April 2012
Morrell, Matthew R., Scott T.Micek,Marin H. Kollef. 2009. The Management of
Severe Sepsis and Septic Shock. Infect Dis Clin N Am 23 (2009) 485–
501
Reynolds, Harmony R and Hochman, Judith S. 2008. Cardiogenic Shock: Current
Concepts and Improving Outcomes. Circulation. 2008;117:686-697
Rengganis, Iris et al. 2009. Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Pp: 257-261
Wijaya, Ika Prasetya. 2009. Syok Hipovolemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Pp: 242-244
Winarto, Dedi. 2009. Pengaruh Pemberian Ketamin Dosis Induksi Dan Analgesi
Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Intra Peritoneal Mencit
Balb/C Yang Terpapar Lipopolisakarida. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Worthley, L. I. G. 2000. Shock: A Review of Pathophysiology and Management.
Part II. Critical Care and Resuscitation, 2000; 2: 66-84
20