Referensi Artikel
SYOK ANAFILAKTIK
Oleh :
Aldila Akhadiyati Narwienda
G99122011
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN FARMASI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Syok merupakan suatu kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan tidak
adekuatnya perfusi jaringan, yang secara klinis ditandai dengan penurunan tekanan
darah sistolik (< 80 mmHg), perubahan status mental, oliguria dan akral yang dingin.
Syok berdasaran etiologinya dibagi dalam 4 klasifikasi yakni syok hipovolemik, syok
kardiogenik, syok obstruktif, dan syok distributif yang meliputi syok anafilaktik, syok
neurogenik dan syok septik1.
Syok anafilatik adalah reaksi sistemik akibat pelepasan mediator kimia dari sel
mast dan basofil yang bersifat akut dan dapat berakibat fatal. Bentuk klasik syok
anafilaktik selalu diawali dengan sensitisasi alergen dan diiringi dengan paparan
berulang sehingga mengakibatkan gejala melalui mekanisme imunologis2.
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak
akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah
60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk
dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Peneliti di Amerika memperkirakan
prosentase etiologi kejadian syok anafilaksis 0.7-10% kasus disebabkan oleh
penisilin, 0.5-5% akibat gigitan serangga, 0.22-1% akibat media radiokontras, dan
0.0004% akibat alergi makanan3. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka
kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis
pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4
kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Insidensi anafilaksis dapat terjadi pada semua umur, yang terbanyak pada usia
0-19 tahun (70 kasus per 100.000 orang per tahun). Sedangkan perbandingan antara
pria dan wanita di dunia menunjukkan kasus syok anafilaksis terbanyak pada wanita4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan
anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan
anafilaksis.
Tabel 1. Pemicu reaksi anafilaksis5
Pemicu reaksi anafilaksis
Obat Antibiotik, aspirin, AINS, vaksin, obat perioperasi, opiat
Hormon Insulin, progesteron
Darah / produk darah Imunoglobulin IV
Enzim Streptokinase
Makanan Susu, telur, terigu, soya, kacang tanah, tree nuts, shelfish
Venom Lebah, semut api
Lain-lain Lateks, kontras, membran dialisa, ekstrak imunoterapi,
protamin, cairan seminal manusia
B. PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig
E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast
(mastosit) dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula
yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang merupakan preformed mediators. Ikatan
antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi
mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut
pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
mengancam nyawa pasien5.
Gambar 1. Patofisiologi reaksi anafilaksis
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe
dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah
terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar
dengan alergen.
Syok anafilaksis umumnya menyerang traktus respiratorius, kardiovaskuler,
dan gastrointestinal. Kulit dan membran mukosa hampir selalu terlibat dalam proses
ini. Kebanyakan dari pasien dewasa mengalami urtikaria, eritema, pruritus, atau
angioedema. Namun pada anak – anak lebih nampak gejala pada traktus
respiratorius6.
Berikut ini adalah gejala yang bisa didapatkan pada pasien dengan syok
anafilaksis :
Tabel 2. Manifestasi Klinis Syok Anafilaktik1,2
Sistem Organ Manifestasi Klinis
Kulit dan mata Hiperemis, urtikaria, angioedema, injeksi konjungtiva, pruritus,
hangat, bengkak
Respirasi Kongesti nasal, coryza, rhinorhea, sneezing, wheezing, nafas
pendek, batuk serak, dispnea
Kardiovaskuler Pusing, lemah, sinkop, nyeri dada, palpitasi
Gastrointestinal Disfagia, nausea, muntah, diare, kram
Neurologi Sakit kepala, kepala berputar, pandangan kabur, kejang
Lain-lain Metallic taste
D. DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan
bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa
jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya
nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan
anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah
awal1,2.
E. TERAPI1,2
Anafilaksis adalah suatu keadaan emergency medis yang membutuhkan
penanganan yang cepat. Manajemen penanganan akan tergantung dengan karakter
pasien, tingkat keparahan awal serangan dan respon terhadap terapi. Namun, tindakan
basic life support tidak diperlukan pada pasien yang hanya menunjukkan gejala
anafilaksis lokal. Pasien dengan gejala yang parah yaitu disertai dengan gejala
kardiovaskuler dan respirasi harus ditangani dan diobservasi untuk waktu yang lebih
lama.
Terapi non-farmakologis meliputi
1. Airway management, misalnya dengan menggunakan valve, mask, dan
intubasi endotrakeal
2. Oksigen aliran tinggi
3. Cardiac monitoring dan pulse oximetry
4. Cairan intravena (kristaloid)
5. Posisi supinasi dengan kaki dielevasikan
Terapi farmakologis meliputi :
1. Agonis adrenergik (epinefrin)
2. Antihistamin (difenhidramin)
3. Antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidin, famotidin)
4. Bronkodilator (albuterol)
5. Kortikosteroid (metilprednisolon, prednison)
6. Inotropik positif (glukagon)
7. Vasopresor (dopamin)
Terapi bedah jika diperlukan dilakukan tindakan krikotirotomi atau ventilasi
kateter apabila intubasi orotrakeal tidak efektif.
F. PROGNOSIS
Penanganan yang cepat dapat memberikan prognosis yang baik. Angka kematian
akibat reaksi anafilaksis hanya mencapai 0.65-2%. Kematian akibat reaksi anafilaksis
terjadi karena keterlibatan sistem organ kardiovaskuler dan respirasi, yaitu asfiksia
karena bronkospasme, dan pemberian injeksi epinefrin yang terlambat7.
BAB III
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1) Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : Banjarsari
Pekerjaan : pedagang
Status pernikahan : menikah
No RM : 92 58 44
2) Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien menjalani rawat inap di RSUD Dr.Moewardi untuk hari pertama
dengan diagnosa meningitis dan mendapatkan terapi penisilin G injeksi.
Setelah penyuntikan obat, pasien mengeluh pusing, lemas, dan berkeringat
dingin. Kemudian berangsur-angsur pasien mengalami penurunan
kesadaran.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
6) Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
7) Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari merupakan pedagang kain di pasar klewer
B. PEMERIKSAAN FISIK
1) Keadaan Umum
Keadaan umum lemah, somnolen, gizi kesan cukup
2) Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60mmHg
Nadi : 150 kali/menit, teraba lemah dan cepat
Respirasi : 24 kali/menit
Suhu : 37°C per aksiler
3) Kulit
Warna sawo matang, luka (-), ikterik (-), petechiae (-)
4) Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-)
5) Mata
Conjunctiva pucat (-), sklera ikterik (-), reflek cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
6) Telinga
Bentuk normal, darah (-)
7) Hidung
Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), darah(-)
8) Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), mukosa pucat (-)
9) Leher
Pulsasi arteri carotis tidak tampak, simetris, trakea ditengah
10) Tenggorokan
Tonsil membesar (-), hiperemi faring(-)
11) Thorak
Retraksi (-), nafas tipe abdominotorakal
12) Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung tidak melebar
Auskulasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, bising (-)
13) Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)
14) Abdomen
Inspeksi : dinding perut // dinding dada
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani, pekak beralih (-)
Palpasi : supel
15) Ekstremitas
Edema Akral dingin
- -
- -
16) Kesadaran
GCS E3 V5 M5
C. ASSESMENT
Klinis : Syok anafilaktik
Etiologi : Reaksi hipersensitivitas tipe I et causa antibiotik penisilin
D. PENATALAKSANAAN
1) Hentikan prosedur pemberian penisilin
2) Survey primer dan basic life support
- Baringkan pasien pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran baik vena dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
- Amankan jalan napas, bila terjadi gagal napas bisa dilakukan bantuan
napas atau diberikan oksigen.
- -
- -
- Bila terjadi kegagalan sirkulasi bisa diberikan kompresi pijat jantung
luar.
3) Terapi medikamentosa (segera)
CITO
R/ Adrenalin inj amp no I
Cum spuit cc 3 no I
S imm
Pro : Ny S (35 tahun)
4) Terapi suportif
R/ RL infus fl no I
Cum infus set no I
S imm
R/ Difenhidramin HCl inj amp no I
Cum spuit cc 3 no I
S imm
R/ Aminofilin inj amp no I
Cum spuit cc 3 no I
S imm
R/ Dexamethasone inj mg 10 amp no V
S imm
Pro. Ny S (35 tahun)
E. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tujuan Terapi
Prinsip tata laksana kasus syok anafilaktik adalah penanganan sesegera
mungkin mengingat syok anafilaktik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penurunan
kesadaran yang terjadi pada syok anafilaktik dapat disebabkan oleh tekanan darah
yang turun drastis. Penanganan yang pertama kali dilakukan adalah survey primer dan
melakukan basic life support yakni airway, breathing, dan circulation sebab sering
terjadi kegagalan napas dan sirkulasi pada kasus syok anafilaktik. Obat-obatan yang
dapat dipakai adalah adrenalin injeksi 1 : 1000 sebanyak 0,3-0,5 ml diberikan secara
intramuskular atau subkutan. Pemilihan adrenalin didasarkan pada kemampuan
adrenalin untuk meningkatkan tekanan darah dengan cepat guna mengatasi hipotensi
yang terjadi dan efek relaksasi bronkus sehingga diharapkan dapat mengatasi
kontriksi dan spasme pada bronkus yang kadang menyertai kasus syok anafilaktik.
B. Pembahasan obat
1) Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik.
Epinefrin bekerja pada semua reseptor adrenergik : α1, α2, β1, β2.
Farmakodinamik :
Kerja utama epinefrin pada sistem kardiovaskular adalah memperkuat daya
kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif : kerja β1) dan mempercepat
kontraksi miokard (kronotropik positif : kerja β1). Oleh karena itu, curah
jantung meningkat pula. Akibat dari efek ini maka kebutuhan oksigen otot
jantung jadi meningkat juga. Epinefrin mengkonstriksi arteriol di kulit,
membrane mukosa, dan visera (efek α) dan mendilatasi pembuluh darah ke hati
dan otot rangka (efek β2). Aliran darah ke ginjal menurun. Oleh karena itu, efek
kumulatif epinefrin adalah peningkatan tekanan sistolik bersama dengan sedikit
penurunan tekanan diastolik. Sedangkan pada sistem respirasi, epinefrin
menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung pada otot polos bronkus
(kerja β2). Pada kasus syok anafilaksis, obat ini dapat menyelamatkan nyawa.
Farmakokinetik
Epinefrin mempunyai awitan cepat tetapi kerjanya singkat. Pada situasi gawat, obat
ini diberikan secara intravena. Untuk memperoleh awitan yang sangat cepat dapat
pula diberikan secara subkutan, pipa endotrakeal, inhalasi, atau topikal pada mata.
Pemberian peroral tidak efektif, karena epinefrin dapat dirusak oleh enzim dalam
usus.
Terapi adrenalin untuk syok anafilaktik
Pemberian injeksi adrenalin 1:1000 sebanyak 0.3-0.5 mg secara subkutan,
intramuskular, ataupun intravena bagi orang dewasa. Bagi anak-anak dosis
adrenalin hanya 0.01 mg/kgBB.
2) Ringer Laktat
Pemberian RL bertujuan untuk mengoreksi hipovolemia akibat kehilangan
cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok
anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan
cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid,
dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma. Cairan intravena kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,
volume interstitial, dan intra sel.
3) Aminofilin
Aminofilin merupakan jenis teofilin yang berikatan dengan etilendiamin.
Indikasi pemberiannya jika terjadi obstruksi saluran nafas berat. Pada kasus
syok anafilaktik pemberian aminofilin hanya untuk maintenance apabila masih
terdapat bronkospasme yang menetap setelah pemberian epinefrin atau
adrenalin. Dosis yang diberikan pada dewasa 5-6 mg/kgBB intravena.
4) Difenhidramin
Difenhidramin merupakan obat antihistamin yang biasa digunakan sebagai
terapi adjuvan pada syok anailaktik karena efek antikolinergik dan
spasmolitiknya. Pemberian antihistamin ditujukan untuk mengobati manifestasi
klinis syok anafilaktik yaitu pruritus, urtikaria dan eritema pada kulit.
Pemberian antihistamin juga berguna untuk menghambat proses vasodilatasi
dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Dosis pemberian
antihistamin difenhidramin secara intravena pada orang dewasa 10 - 50 mg
perlahan (5-10 menit).
5) Dexamethasone
Pemberian kortikosteroid pada syok anafilaktik dilakukan dengan indikasi
bronkospasme yang menetap setelah pemberian epinefrin dan hipotensi yang
lama. Dosis dexamethasone pada orang dewasa adalah 100 mg secara intravena
dalam waktu 8 jam.
BAB IV
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
IgE yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok
anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat
tinggi.
Pada kasus ini pasien mengalami syok anafilaktik akibat injeksi penisilin, maka
terapi yang hasrus dilakukan adalah :
1) Hentikan prosedur pemberian penisilin
2) Survey primer dan basic life support
- Baringkan pasien pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran baik vena dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
- Amankan jalan napas, bila terjadi gagal napas bisa dilakukan bantuan
napas atau diberikan oksigen.
- Bila terjadi kegagalan sirkulasi bisa diberikan kompresi pijat jantung
luar.
3) Terapi medikamentosa (segera) : injeksi adrenalin
4) Terapi medikamentosa (supportif) : pemberian aminofilin (bronkodilator),
difenhidramin (antihistamin), dan dexamethasone (kortikosteroid)
5) Terapi cairan kristaloid : Ringer Laktat
Diagnosis dan penanganan yang cepat pada kasus syok anafilakti sangat
diperlukan untuk mengurangi angka mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Simons FE. Anaphylaxis. J AllergyClin Immunol. Feb 2008; 121 (2 Suppl):S402-
7; quiz S420.
2. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis : a review of causes and mechanisms. J
Allergy Clin Immunol. Sep 2002; 110(3):341-8.
3. Neugeut AI, Ghatak AT, Miller RL. Anaphylaxis in the United States: an
investigation into its epidemiology. Arch Intern Med. Jan 8 2001; 161(1):15-21.
4. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy
Asthma Immunol. Jul 2006;97(1):39-43.
5. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Hipersensitivitas dalam Imunologi dasar. 2009.
Jakarta: FKUI. p.380.
6. Braganza SC, Acworth JP, Mckinnon DR, Peake JE, Brown AF. Paediatric
emergency department anaphylasxis: different patterns from adults. Arch Dis
Child. Feb 2006;91(2):159-63.
7. Bock Sa, Muhoz-Furlong A, Sampson HA. Fatalities due to anaphylactic
reactions to foods. J Allergy Clin Immunol. Jan 2001;107(1): 191-3.