REFERAT
PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER
OLEH:
KHRISNA PARAMAARTHA
030.09.130
PEMBIMBING:
dr. Renie Agustine, Sp.THT
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE DESEMBER 2013 – JANUARI 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya sehingga dapat terselesaikannya referat dengan judul “PARESE
NERVUS FASIALIS PERIFER”. Penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit THT di RSUD BUDI ASIH periode Desember
2013 – Januari 2014.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah
sulit untuk menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Renie Augustine,Sp.THT selaku pembimbing yang telah
membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini, dan kepada semua
pihak yang turun serta membantu penyusunan makalah ini.
Akhir kata dengan segala kekurangan yang penulis miliki, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun akan penulis terima untuk perbaikan selanjutnya. Semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang mempergunakannya selama proses kemajuan
pendidikan selanjutnya.
Jakarta, 6 Januari 2014
Penulis
Khrisna Paramaartha
2
LEMBAR PERSETUJUAN
Referat dengan judul
“PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD BUDI ASIH
periode Desember 2013 – Januari 2014.
Jakarta, 6 Januari 2014
dr. Renie Augustine, Sp.THT
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 6
2.1. Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis............................................................. 6
2.2. Definisi........................................................................................................... 9
2.3. Etiologi............................................................................................................ 9
2.4. Patofisiologi.................................................................................................... 10
2.5. Manifestasi klinik........................................................................................... 11
2.6. Klasifikasi kelumpuhan fasialis...................................................................... 13
2.7. Uji diagnostik................................................................................................... 15
2.8. Pemeriksaan penunjang................................................................................... 18
2.9. Penatalaksanaan................................................................................................ 18
2.10. Komplikasi....................................................................................................... 20
2.11. Diagnosis banding.......................................................................................... 21
2.12. Pencegahan...................................................................................................... 21
2.13. Prognosis........................................................................................................... 22
BAB III KESIMPULAN......................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 25
4
BAB I
PENDAHULUAN
Kelumpuhan saraf fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi otot-otot wajah.
Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi sentral dan perifer. Hal ini berhubungan dengan
lokasi lesi jaras saraf fasialis dan dapat dibedakan dengan melihat gejala kelumpuhan yang
timbul.1,2,3
Berdasarkan epidemiologi di Indonesia, insiden kelumpuhan saraf fasialis perifer
secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah rumah sakit di Indonesia
didapatkan frekuensi sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia
21-30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin atau angin berlebihan dan riwayat adanya infeksi seperti pada telinga
sebelum terjadinya kelumpuhan saraf fasialis perifer.2
Saraf fasialis memiliki anatomi yang sangat komplek dan terdiri dari 7000 serat
masing-masing berfungsi membawa impuls listrik ke otot-otot wajah. Informasi yang
disampaikan akan menimbulkan ekspresi fasial seperti tertawa, menangis, tersenyum dan
berbagai ekspresi fasial lainnya. Saraf fasial tidak hanya membawa impuls ke otot-otot wajah
tetapi juga ke glandula lakrimal, glandula saliva, dan ke otot dekat tulang pendengran (stapes)
serta menstransmisikan rasa dari bagian depan lidah. Oleh karena itu, bila terjadi kerusakan
setengah atau lebih dari serat-serat saraf ini maka akan timbul gejala lumpuh atau paralisis
pada wajah, kekeringan pada mata atau mulut, gangguan dalam pengecapan.4
Kelumpuhan saraf fasialis memberikan dampak yang besar bagi kehidupan
seseorang dimana pasien tidak dapat atau kurang dapat menggerakan otot wajah sehingga
tampak wajah pasien tidak simetris. Dalam menggerakan otot ketika menggembungkan pipi
dan mengerutkan dahi akan tampak sekali wajah pasien tidak simetris. Hal ini menimbulkan
suatu deformitas kosmetik dan fungsional yang berat.1
Kelumpuhan saraf fasialis merupakan suatu gejala penyakit, sehingga harus dicari
penyebab dan ditentukan derajat kelumpuhannya dengan pemeriksaan tertentu guna
menentukan terapi dan prognosisnya. Penyebabnya dapat berupa kelainan kongenital, infeksi,
trauma, tumor, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu seperti DM, hipertensi berat, dan
infeksi telinga tengah. Penanganan pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis secara dini, baik
operatif maupun konservatif akan menentukan keberhasilan dalam pengobatan.1
5
BAB II
`TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis
Nervus Fasialis mengandung empat macam serabut :1,5
1. Serabut somatomotorik
Serabut ini mempersarafi otot-otot wajah (kecuali muskulus levator palpebrae (N.III),
otot platisma, stilohioid, digastricus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut viseromotorik (parasimpatis)
Serabut ini datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula
dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal dan glandula submaksiler
serta sublingual dan maksilaris.
3. Serabut viserosensorik
Serabut ini menghantar implus dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somatosensorik
Serabut ini mengatur rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rabadari bagian daerah
kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus trigeminus. Daerah overlapping disarafi oleh
dari satu saraf ini terdapat pada lidah, platum, meatus acusticus eksterna dan bagian luar
dari gendang telinga.
Gambar 1. Bagan dan alur perjalanan nervus fasialis (1)
Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot
ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air
mata dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut dan juga menghantar berbagai jenis
6
sensasi termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari
2/3 bagian depan lidah, sensasi viseral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring,
dan sensasi proprioseptif dari otot-otot yang disarafinya.1
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars
intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui
saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar
sensasi ekteroseptif mempunyai badan sel di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar
desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan sentralnya identik
dengan saraf trigeminus.1
Inti motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventolateral tegmentum pons bagian
bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N.VI dan membentuk genu
internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral batas kaudal pons pada sudut
ponto serebelar. 1
Saraf Intermedius terletak pada bagian diantara N.VII dan N.VIII. Serabut motorik
saraf fasialis bersama-sama dengan saraf intermedius dan saraf vestibulokoklearis memasuki
meatus akustikus internus untuk meneruskan perjalanannya didalam os petrosus (kanalis
facialis). 1
Nervus facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani. Kemudian
turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen
stilomatoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan membelok ke belakang kavum timpani di
situ ia tergabung dengan ganglion genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set induk dari
serabut penghantar impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani. juluran sel-sel tersebut
yang menuju ke batang otak adalah nervus intennedius, disamping itu ganglion tersebut
memberikan cabang-cabang kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls
sekretomotorik. Os petrosus yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus fallopii
atau kanalis facialis. Disini nervus facialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan
lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia
keluar dari tulang tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda
timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nevus
mandibularis.1
Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen stilomastoideus
memberikan cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian memberikan cabang ke
7
otot stilomastoideus sebelum masuk ke glandula Parotis. Di dalam glatldula parotis nervus
facialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni temporal, servical, bukal, zygomatic dan
marginal mandibularis.1
Jaras parasimpatis (General Viceral Efferant) dari intinya di nucleus salivatorius
superior setelah mengikuti jaras N.VII berjalan melalui bawah tulang tengkorak dan chorda
tympani.5
• Saraf superfisial yang berasal dari percabangan nervus fasialis berjalan di bawah tulang
tengkorak dan ke ganglion pterygopalatina berganti neuron lalu mempersarafi
glandula lakrimal, nasal dan palatal.
• Chorda tympani berjalan melalui nervus lingualis berganti neuron mempersarafi
glandula sublingual dan glanldula submandibular.
Jaras Special Afferent (indera perasa) : dari intinya nukeus solitarius berjalan melalui
nervus intermedius ke :5
• Bawah tulang tengkorak melalui nervus palatina mempersarafi rasa dari palatum.
• Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi rasa 2/3 bagian depan lidah.
Jaras General Somatik different dimulai dari nukleus spinalis traktus trigeminal yang
menerima impuls melalui nervus intermedius dari MAE dan kulit sekitar telinga. 5
Korteks serebri akan memberikan persaratan bilateral pada nucleus N VII yang
mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian
bawah. Sehingga pada lesi LMN akan menimbulkan paralisis otot wajah ipsilateral bagian
atas bawah, sedangkan pada lesi UMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi kontra
lateral. 6
Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks
motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis
UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut
mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat maka
sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat.5
Lesi LMN bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os petrusus, cavum
tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak disekitar nervus abducens bisa merusak akar nevus fasialis, inti nervus
abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di
sekitar meatus akuatikus intemus akan melibatkan nervus fasialis dan akustikus sehingga
8
paralisis fasialis LMN akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia
( tidak bisa rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).7
2.2. Definisi
Parese nervus fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron yang
terjadi bila nukleus atau serabut distal nervus fasialis terganggu, yang menyebabkan
kelemahan otot wajah sehingga wajah pasien tidak simetris. Parese nervus facialis biasanya
mengarah pada suatu lesi nervus fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi nukleus
fasialis ipsilateral pada pons.1
2.3. Etiologi
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital,
infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik dan penyakit-penyakt tertentu.1,3
A. Kongenital
Kelumpuhan yang di dapat sejak lahir bersifat irreversibel dan terdapat bersamaan
dengan anomali pada telinga dan tulang pendengaran. Pada kelumpuhan saraf
fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis
dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).3
B. Infeksi
Proses infeksi di intrakranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intrakranial yang menyebabkan kelumpuhan ini
seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi telinga tengah yang dapat
menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik
(OMSK) yang telah merusak kanal falopii.1
C. Tumor
Tumor bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering
ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga
dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista
dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir
dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan.
Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat
mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.2
D. Trauma
9
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma keppala, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk,
luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf
fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia
trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2
E. Gangguang pembuluh darah
Ganguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis
diantaranya trombosis arteri karotis, arteri maksilaris, dan arteri serebri media.1
F. Idiopatik (Bell’s Palsy)
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau
tidak menyertai penyakit lain. Pada Bell’s Palsy terjadi edema fasialis karena terjepit
di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN.2
G. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya
DM, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga tegnah,
sindroma Guillian Barre.3
2.4. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada parese nervus fasialis perifer terjadi proses
inflamasi akut di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Kelumpuhan ini
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau
lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.10
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks
motorik primer. Karena adanya suatu proses yang terjadi pada paparan udara dingin seperti
angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah
10
satu penyebab terjadinya parese nervus fasialis perifer. Karena itu nervus fasialis bisa
sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi
di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN
akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s
palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak
dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.10
2.5. Manifestasi Klinis
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi, karena itu terdapat
perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan
sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapapat persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh, yang
lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N.VII jenis perifer (gangguan berada
di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga
termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama
nervus fasialis.
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari
korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat
persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan seisi pada upper
motor neuron dari saraf VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan
mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya
tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata
(persarafan bilateral). Tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut seperti
11
menyeringai, memperlihatkan gigi geligi pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi
involunter masih dapat terjadi, bila pederita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat
terangkat.5
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah baik yang volunter maupun yang
involunter lumpuh. Lesi supranuklir (UMN) saraf VII sering merupakan bagian dari
hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan lesi butuh ruang (space occupying lesion)
yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus, meensefalon dan pons di atas inti
saraf VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan saraf
VII supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.5
Gambar 2. Persarafan otot wajah (2)
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi :3,6
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi.
Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda kkliik seperti pada lesi diluar foramen stilomastoideus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukan
terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik
dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
12
diagram ini menjelaskan alasan kenapa pada kelumpuhan saraf fasialis perifer/LMN menimbulkan kelumpuhan total setengah wajah, sedangkan kelumpuhan saraf fasialis sentral/UMN menimbulkan kelumpuhan hanya 2/3 sisi wajah yang mengalami parese.
Gejala dan tanda klinik seperti (1 dan 2) ditambah dengan hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperi (1,2,3) disertai nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di
membran timpani dan konka. Sindrom Ramsay Hunt adalah kelumpuhan fasialis
perifer yang berhubungan dengan herpes zoster otikus, dengan nyeri dan
pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan di belakang aurikel (saraf
aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran, agngguan pengecapan,
pengeluaran air mata dan salivasi.
5. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda linik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya nervus
akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya saraf fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
saraf trigeminus, saraf akustikus, dan kadang-kadang juga saraf abdusen, saraf
aksesorius dan saraf hipoglosus.
2.6 Klasifikasi Kelumpuhan FasialisGambaran dari disfungsi motorik fasialis ini sangat luas dan karakteristik dari kelumpuhan ini sangat sulit. Bberapa sistem telah usulkan tetapi
semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackman yang selalu atau sangat dianjurkkan pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6
merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam
tabel :7
Grade Penjelasan Karakteristik
I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi ringan Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi dekat,
bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetris dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik.
Menutup mata dengan usaha yang minimal.
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan
pergerakan.
III Disfungsi sedang Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua
sisi.
13
Adanya sinkinesis ringan.
Dapat ditemukan spasme atau kontraktur hemifasial.
Pada istirahat simetris dan selaras.
Pergerakan dahi ringan sampai sedang.
Menutup mata dengan usaha.
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum.
IV Disfungsi sedang
berat
Tampak kelemahan bagiab wajah yang jelas dan asimetri.
Kemampuan menggerakan dahi tidak ada.
Tidak dapat menutup mata dengan semppurna.
Mulut tampak asimetri dan sulit digerakan.
V Disfungsi berat Wajah tampak asimetri.
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai..
Dahi tidak dapat digerakkan.
Tidak dapat menutup mata.
Mulut tidak simetris dan sulit digerakan.
VI Total parese Tidak ada pergerakan.
gambar 3. Ekspresi wajah penderita kelumpuhan saraf fasialis (2)
2.7 Uji Diagnostik
14
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis.tujuan
pemeriksaan fungsi saraf fasialis adalah untuk menentukan letak lesi dan menentukan derajat
kelumpuhannya.1
A. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya
ekspresi wajah seseorang. Berikut urutan dari sisi superior :
1. M. Frontalis : mengangkat alis keatas
2. M. Sourcilier : mengerutkan alis
3. M. Piramidalis : mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
4. M. Orbikularis okuli : memejamkan kedua mata kuat-kuat
5. M. Zigomatikus : tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
6. M. Relever komunis : memoncongkan mulut kedepan sambil
memperlihatkan gigi.
7. M. Businator : menggembungkan kedua pipi
8. M. Orbikularis oris : bersiul
9. M. Triangularis : menarik kedua sudut bibir ke bawah
10. M. Mentalis : memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, bandingkan antara kiri dan kanan.
- 0 : tidak ada gerakan sama sekali
- 1 : sedikit gerakan
- 2 : diantara 1 dan 3
- 3 : gerakan normal dan simetris
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai
total 30.1
B. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap
kesempurnaan ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus
sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka,
bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek
memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya
berjumlah lima belas yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga
untuk setiap tingkatnya. Apabila hipotonus nilai dikurangi 1 atau 2 tergantung
gradasinya.1
15
C. Gustometri
Test Gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan
menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin.
Tes ini sangat subjektif disamping fungsi pengecapan,khorda timpani juga
berperan dalam fungsi salivasi kita dapat menilai fungsi duktus Wharton’s
dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit. Bila Produksi saliva
berkurang dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi baik.menurut Quinn
dkk, pada kasus Bell’s Palsy sering terdapat kepanjangan topografi saraf
fasialis dimana terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan reflek
stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi
lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan, tetapi fungsi salvias nya
masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan
demyelinisasi disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang
perifer.1
D. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar
submandibularis. Caranya dengan menyiapkan tabung polietilen no.50 ke
dalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan ke dalam jus
lemon dataruh di dalam mulut dan periksa jumlah air liur pada tabung. Volume
dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya air liur 25% dianggap
abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga
pengecapan, karena keduanya ditransmisikan oleh saraf korda timpani.2
E. Tes Schimer atau Naso-Lacrimal Refeks
Tes Schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf Petrosus dengan
menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal
menunjukan kerusakan pada Greater Superficial Petrosal Nerve(GSPN) atau
saraf fasialis di proksimal ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat
menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea akibat terpaparnya
kornea mata yang mengalami kelumpuhan.1,2
F. Reflek Stapedius
Pemeriksaan reflex stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis.
Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf
fasialis. Terjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang tidak
16
dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini
dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi
dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan
menggunakan kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau
keratitis, maka dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea
seperti partial tarsorrhaphy.2
G. Uji Audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu memeriksakan
audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara, hantaran tulang,
timpanometri dan reflek stapes. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi
kanalis akustikus internus.2
H. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang
sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut :1
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuatkemudian kita melihat
pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Diberi nilai 2 jika
pergerakan normal pada kedua sisi. Jika pada sisi paresis terjadi gerakan
berlebih makan dikurangi -1 / -2 tergantung gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian
lihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara dengan melihat
otot-otot sekitar mulut. 1 jika normal. 0 jika tidak simetris.
I. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada
penyembuhan kelumpuhan fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara pasien
diminta melakukan gerakan bersahaya seperti mengedip mata berulang kali
maka bibir akan jelas tampak gerakan otot pada sudut bibir bawah atau suduut
mata bawah. Jika positif nilai dikuragi -1.1
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. EMG / Elekromiografi
17
EMG bermanfaat untuk menentukan perjalanan respon reinervasi pasien.
Pemeriksaan ini mempunyai nilai prognostic yang lebih baik dibanding
elektroneurografi(ENG). pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah
hari ke-15 mempunyai positive-predictive value(PPV) 100% dan negative-
predictive-value(NPV) 96%.spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa
penurunan amplitude Compound Motor Action Potential(CMAP),pemanjangan
latensi saraf kranialis.2
2. ENG / Elektroneurografi
ENG dapat memberi informasi lebih awal dibanding EMG. ENG menstimulasi
pada satu titik yang lebih distal dari saraf.2
3. Uji Stimulasi Maksimal
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde ditekan pada wajah
di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 ma,
atau samapai pasin merasa tidak nyaman. Dahi, alis, periorbital, pipi, ala nasi, dan
bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan di
daerah-daerah ini menunjukan suatu respon normal. Perbedaan respon yang kecil
antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu tanda
kesembuhan. Penurunan yang nyata apabila terjadi keduta pada sisi yang lumpuh
dengan besar arus 25% dari arus yang digunakan pada sisi yang normal.2
2.9. Penatalaksanaan
2.9.1 Terapi Farmakologi
Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari
pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang
dimulai dalam 72 jam dari onset. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti
empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan
steroid jangka panjang, berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.13
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan parese nervus fasialis idiopatik. Penelitian mengindikasikan
bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/
valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. Untuk
dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali
18
pemberian selama 7-10 hari, sedangkan pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali
lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama
lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun
kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.14
Asam nikotinik diindikasikan pada parese nervs fasialis akibat iskemia pembuluh
darah sehingga diharapkan vasodilatasi pembukuh darah perifer dapat meningkatkan sulai
darah ke saraf fasialis. Jika etiologi disebabkan karena alergi dapat diberikan sodium
kromoglikat.13
2.9.2 Terapi Non-Farmakologi
Fisioterapi
a) Infra Merah
Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan fungsi,
tetapi Anda harus memastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata. Waktu
penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara 50 dan 75 cm.15
b) Terapi Ultrasound
Terapi ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve trunk) di depan tragus telinga
dan di daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula.15
c) Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)
Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus listrik untuk mengaktifkan saraf
penggerak otot dan ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan akibat cedera tulang
belakang (SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis lainnya. Electrical
Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan kontraksi otot dan
membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak yang normal serta
bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot.15
d) Massage
Suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu manipulasi yang dilakukan
dengan tangan yang ditujukan pada jaringan lunak tubuh, untuk tujuan mendapatkan
efek baik pada jaringan saraf, otot, maupun sirkulasi. Pada kasus Bell’s Palsy teknik
massage yang diberikan yaitu stroking, effleurage, finger kneading dan tapping.15
Perawatan mata :
1. Pasien disarankan melindungi matanya dari terpaan debu dan angin secara langsung
untuk menghindari terjadinya iritasi.
19
2. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears).
3. Pasien diajarkan untuk melatih gerakan-gerakan didepan kaca seperti : mengangkat
alis dan mengerutkan dahi keatas, menutup mata,tersenyum, bersiul, menutup mulut
dengan rapat, mengangkat sudut bibir ke atas dan memperlihatkan gigi-gigi,
mengembangkempiskan cuping hidung, mengucapkan kata-kata labil a,i,u,e,o
minimal 4x sehari selama 5-10 menit.
2.9.3 Indikasi untuk operasi
Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi total,
tindakan operatif segera harus dilakukan dengan tenik dekompresi saraf fasialis transmastoid.
2.10 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita parese nervus fasialis mengalami sekuele berat
yang tidak dapat diterima, seperti :
1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal), dan
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan
a) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata,
b) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat
mengkonsumsi makanan.
2.11. Diagnosis banding
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam
yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
20
· Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga,
saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
· Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
· Kesulitan menutup satu mata
· Sakit telinga
· Pendengaran berkurang
· Dering di telinga (tinnitus)
· Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
· Perubahan dalam persepsi rasa
2. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang
dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty
ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia
yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan
nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan
nervus facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus
facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala
lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.
2.12. Pencegahan
Seperti disarankan oleh Dokter Saraf agar paresis nervus fasialis tidak mengenai anda, cara-
cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin
mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah
langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-
langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat
pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak
bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata.
Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi
menyebabkan Anda menderita parese nervus fasialis.
21
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air
dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung.
Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
7. Segera ke dokter jika merasakan ada tanda-tanda infeksi pada telinga.
Penyebab parese nervus fasialis, yakni angin yang masuk ke dalam tengkorak atau
foramen stilo mastoideum. Angin dingin ini membuat syaraf di sekitar wajah sembab lalu
membesar. Pembengkakan syaraf nomor tujuh atau nervous fascialis ini mengakibatkan
pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu menyebabkan kematian sel sehingga fungsi
menghantar impuls atau rangsangnya terganggu. Akibatnya, perintah otak untuk
menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
2.13. Prognosis
Faktor-faktor yang meramalkan prognosis yang baik adalah kelainan inkomplit,
umur relatif muda (kurang dari 60 tahun), interval yang pendek antara onset dan perbaikan
pertama (initial improvement) dalam 2 minggu, dan studi elektrodiagnostik yang menunjang.
Faktor-faktor yang meramalkan prognosis yang jelek adalah paralisis total, usia
lanjut (lebih dari 60 tahun), interval yang panjang antara onset dan perbaikan (sekitar 2
bulan), dan studi elektrodiagnostik yang tidak menunjang.
Sekitar 80-90% pasien dengan parese nervus fasialis perifer akan mengalami
perbaikan pada kekuatan otot-otot ekspresi muka. Jika terdapat tanda-tanda kesembuhan otot
wajah sebelum hari ke-18, maka kesembuhan sempurna atau hampir sempurna diharapkan
dapat terjadi. Perbaikan kelainan yang komplit biasanya dimulai setelah 8 minggu dan
mencapai maksimal dalam 9 bulan sampai 1 tahun. Pada penderita dengan kelainan
inkomplit, perbaikan biasanya dimulai setelah 2 minggu. Kurang dari15% penderita
didapatkan gejala sisa. Hampir 80% mendapatkan perbaikannya sampai 95% atau lebih.
Nilai peramalan sehubungan dengan paralisis nervus fasialis (nyeri belakang
telinga, fonofobia, hilangnya pengecapan, berkurangnya sekresi air mata dan aliran saliva)
adalah tidak jelas. Tetapi kelemahan pada fungsi-fungsi ini dapat menunjukkan luasnya
degenerasi motor akson.16
22
BAB III
KESIMPULAN
Kelumpuhan saraf fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi otot-otot wajah,
apat terjadi sentral dan perifer. Kelumpuhan dapat diakibatkan oleh kelainan kongenital,
infeksi, tumor, trauma, gngguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu
23
yang dapat mengakibatkan deformitas kosmetik dan fungsional yang berat. Kelainan ini dapat
diobati dengan fisioterapi, armakologi dan pembedahan. Faktor-faktor yang meramalkan
prognosis yang baik adalah kelainan inkomplit, umur relatif muda (kurang dari 60 tahun),
interval yang pendek antara onset dan perbaikan pertama (initial improvement) dalam 2
minggu, dan studi elektrodiagnostik yang menunjang. Faktor-faktor yang meramalkan
prognosis yang jelek adalah paralisis total, usia lanjut (lebih dari 60 tahun), interval yang
panjang antara onset dan perbaikan (sekitar 2 bulan), dan studi elektrodiagnostik yang tidak
menunjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer.
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007 ; p. 114-117.
24
2. Miesel R, levine S. Gangguan saraf fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Ilmu Penyakit
THT. 6th ed. Jakarta L EGC, 1997.
3. K.J.Lee. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. IIIrd ed. chapter 10.
Facial Nerve Paralysis, 2006.
4. Facial Nerve Anatomy : diakses dari http/fcialparalysisinstitute.com cited 31 Des
2013.
5. Lumbantobing SM. 2004. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental: Saraf
Otak Jakarta: FK UI Jakarta. p. 55-59.
6. Peter Duus. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta :
Balai pustaka, 1996.
7. Singhi P, Jain V. 2003. Bell’s Palsy in Children. Seminar in Pediatric Neurotology.
Edision 10(4). p. 289-97.
8. Rath B, Linder T, Cornblath D. 2007. All That Palsies is not Bell’s – The
Need to Define Bell’s Palsy as an Adverse event following immunization. Elsevier.
p. 1-14.
9. Holland J. 2008. Bell’s palsy. BMJ Publishing. p. 1-8.
10. Lo B. Bell Palsy. [Update Feb 24,2010: cited Dec 31,2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/791311-overview .
11. De Jong's. The Neurologic Examinition -The facial Nerve 5 th ed. p. 181 –
200.
12. Netter F.H.1986. The Ciba Collection of Medical Collection. Vol 1. Nervous
Systems. Part II. Neurologic and Neuromusculer Disorders. USA: Ciba Geigy. p. 102
–104.
13. Engstrom M, Berg T, Stjernquist A, et al. Prednisolone and Valaciclovir in Bell’s
Palsy : a Randomized, Double-Blind,Placebo-Controlled,Multicentre Trial. Lancet
Neurol. 2008;7: 993-100.
14. Irga. Bell’s Palsy. [Updated 2009: cited 30 Dec, 2013]. Availble from:
http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html .
15. Mardjono M.Sidharta P.Neurologi Klinis Dasar: Saraf Otak dan Patologinya. Jakarta:
Dian Rakyat; 2000.hal 162.
16. Yeo SW, Lee DH, Jun BC et al. Analysis of Prognostic factor in Bell’s Palsy and
Ramsay Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34. 2007: 159-1643 29; 2004 :553
– 557.
25
(1) Cettea Y. Gudang Materi Perjalanan Saraf. [Updated 2009: cited 7 Feb, 2014].
Available from:
http://3.bp.blogspot.com/_9MTK5JQmGDA/StBPUjMKOEI/AAAAAAAAAAA
LQ/ZMHoFpl828Q/s1600-h/penampang+nervus+fasialis%26cabangnya.bmp .
(2) Mulyadi P. Rehab Medik. [Updated 2009: cited 7 Feb, 2014]. Available from:
http://www.google.com/search?
q=gambar+nervus+fasialis+pada+otot+wajah&client=ms-
rim&ht=en&channel=browser&tbm=isch&ei=q9T0Uoqcm--
OiAf4s4HoCA&start=20&sa=N#i=7 .
27