KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Valentina Tris Marwati
091224088
POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Valentina Tris Marwati
091224088
POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Valentina Tris Marwati
091224088
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Tanggal 3 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA
DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Valentina Tris Marwati
091224088
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 17 Desember 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ..........................
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...........................
Anggota : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ...........................
Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ...........................
Anggota : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...........................
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Rohandi, Ph.D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTTO
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,
maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
(Matius 6:33)
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang
bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu:
sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.”
( Yohanes 6:27)
“Oleh karena itu, jangan merasa cemas karena kamu tidak bisa mempercepatnya.
Jika kamu berjalan perlahan, kamu akan mencapai lebih dari mereka
yang bergerak terlalu cepat.”
(Dream High)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria terkasih yang selalu memberkati, menyertai , dan
melindungi dalam setiap langkah saya.
2. Orang tua tercinta, Bapak Valerianus Maryoso dan Ibu Theresia Widyaningsih yang
selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan kesabaran bagi saya.
3. Adikku tersayang, Angela Yubiliana, yang selalu memberikan doa dan hiburan setiap
saat.
4. Mbah Bu, Mbah Putri, Mbah Kakung yang terlebih dulu bertemu dengan Yesus, terima
kasih sudah memberikan banyak hal dari masa kecil hingga remaja saya.
5. Simbah Kakung yang selalu memperhatikan dan memberikan dukungan kepada saya.
6. Teman-teman seperjuangan Clara Dhika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang,
Nuridang Fitra Nagara, dan Catarina Erni Riyanti yang mempunyai impian, doa, dan
usaha yang sejalan dengan saya. Kebersamaan dengan kalian tidak akan pernah
terlupakan
7. Seluruh sahabat di Prodi PBSI angkatan 2009 yang telah memberikan warna selama
berjuang bersama menyelesaikan studi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Penulis
Valentina Tris Marwati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Valentina Tris Marwati
Nomor Mahasiswa : 091224088
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH
KELUARGA DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN
YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 17 Desember 2013
Yang menyatakan
(Valentina Tris Marwati)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Marwati, Valentina Tris. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman
Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam
ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Tujuan
penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik
dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik
dan pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang
menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga
di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini
adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural
dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara (daftar pertanyaan,
pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori
ketidaksantunan berbahasa. Metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu (1)
metode simak dengan teknik dasar berupa teknik rekam dan teknik catat, serta (2)
metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode kontekstual.
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, hasil penelitian ini adalah pertama,
wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun yang termasuk
dalam (1) kategori melanggar norma dengan subkategori subkategori
menjanjikan, menolak, dan kesal; (2) kategori mengancam muka sepihak dengan
subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal, dan mengejek; (3)
kategori melecehkan muka dengan subkategori kesal, memerintah, menyindir,
mengejek, dan mengancam; (4) kategori menghilangkan muka dengan
subkategori menyindir, mengejek, menyalahkan, dan memerintah; dan (5)
kategori menimbulkan konflik dengan subkategori melarang, mengancam,
memerintah, mengejek, menolak, dan kesal, sedangkan wujud ketidaksantunan
pragmatik diketahui berdasarkan cara penyampaian penutur yang menyebabkan
suatu tuturan menjadi tidak santun. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik
diketahui dari diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi, sedangkan penanda
ketidaksantunan pragmatik didasarkan pada uraian konteks yang berupa, penutur
dan mitra tutur, situasi saat bertutur, tujuan tutur, waktu dan tempat ketika
bertutur, serta tindak verbal dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut.
Ketiga, maksud tuturan tidak santun yang disampaikan oleh penutur, yaitu
menolak, memprotes, bercanda, memberikan pengertian, memohon,
ketidaksenangan, menyindir, mengejek, kesal, meminta tolong, menegur,
memerintah, melarang, menyalahkan, membandingkan, meremehkan, dan
menakut-nakuti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Marwati, Valentina Tris. 2013. Impoliteness of Linguistics and
Pragmatics at the Family Domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discusses impoliteness linguistic and pragmatic at the family
domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. The purpose of this research are
(1) to describe the form of linguistics and pragmatics impoliteness, (2) to describe
a sign of linguistics and pragmatics impoliteness, and (3) to describe the
underlaying purpose of using impolite language forms at the family domain in
Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Type of this research is descriptive qualitative. The data of this research is
the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in conversation
practices in family domain. The instrument used in this research are the interviews
instructions (questionnaires, inducement, and a list of cases) and the observations
form with language impoliteness theory as it is basic. Data collection method used
in this research, consist of (1) observation method with recording techniques and
record techniques as the basic, and (2) conversation method with provoke
techniques as the basic. Analysis of the data in this research was conducted using
contextual method.
In accordance with the purposes of this research, the results of this
research were the first, a form of linguistic impoliteness in a form of not polite
verbal pronunciation that included in the (1) category of negatively marked
behavior with subcategories of promise, refuse, and annoyed; (2) face threaten
categories with subcategories sarcastic, commanding, promising, upset, and
mocked; (3) face-aggravate categories with subcategories annoyed, ruled,
sarcastic, taunting, and threatening; (4) face loss categories with subcategories
sarcastic, mocking, blaming, and ruled, and (5) conflict making categories with
subcategories prohibit, threatening, commanding, mocked, rejected, and irritated,
while a form of pragmatic impoliteness known by way of delivering a speech that
causes speakers become impolite. The second, markers of linguistic impoliteness
known by diction, phatic category, tone, stress, and intonation, while pragmatic
impoliteness markers based on a description of the context includes the speaker
and hearer, current situation of the conversation, speech purpose, time and place
of the speech, and verbal acts and also perlocutionary acts that accompany the
speech. The third, the purpose of impolite speech that delivered by the speaker, it
is refuse, protest, joking, giving understanding, pleading, displeasure, satirical,
mocking, upset, asking for help, admonishing, commanding, forbidding, blaming,
comparing, belittling, and scaring.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus karena
berkat dan pernyertaan–Nya , skripsi yang berjudul Ketidaksantuan Linguistik dan
Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman
Yogyakarta dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, menasihati, dan memotivasi penulis selama proses penyusunan
hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah memberikan pendampingan dan pengajaran yang bermanfaat bagi
penulis selama proses perkuliahan.
7. Robertus Marsidiq, selaku staf sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang selalu sabar dalam memberikan pelayanan
adminitrasi kepada penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
8. Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin
penelitian kepada penulis.
9. K.G.P.A.A Paku Alam IX yang berkenan memberikan izin penelitian bagi
penulis di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
10. Bapak Valerianus Maryoso dan Ibu Theresia Widyaningsih, selaku orang tua
penulis, serta Angela Yubiliana, selaku adik penulis yang telah memberikan
kepercayaan, dukungan, doa, dan semangat.
11. Clara Dhika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang, Nuridang Fitra
Nagara, dan Catarina Erni Riyanti yang telah mau berjuang bersama untuk
menyelesaikan skripsi ini.
12. Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Yuli Astuti, Agatha Wahyu
Wigati, Bernadeta Febri, Risa Ferina, Jati Kurniawan, Ade Henta Hermawan,
Ambrosius Bambang Sumarwanto, Yudha Hening Prinandito, Ignatius Satrio
Nugroho, Dedi Setyo Heru Utomo, Yohanes Marwan Setiawan, Reinaldus
Aldo Agasi, Fabianus Angga Renato, dan semua sahabat di Prodi PBSID
angkatan 2009 yang telah memberikan berbagai bantuan, dukungan, doa, dan
semangat bagi penulis.
13. Dyah Tri Wahyuni dan Putra Damara Subhan yang telah telah memberikan
dukungan dan bantuan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
14. Seluruh kerabat Pakualam, staf, dan warga di lingkungan Kadipaten
Pakualaman Yogyakarta yang bersedia membantu dan menjadi sumber data
penelitian ini.
15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Namun, penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Penulis
Valentina Tris Marwati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR BAGAN xvii
DAFTAR TABEL xviii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 7
1.5 Batasan Istilah 7
1.6 Sistematika Penyajian 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 10
2.1 Penelitian yang Relevan 10
2.2 Pragmatik 15
2.3 Fenomena Pragmatik 17
2.3.1 Praanggapan 17
2.3.2 Tindak Tutur 18
2.3.3 Implikatur 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.3.4 Deiksis 21
2.3.5 Kesantunan 22
2.3.6 Ketidaksantunan 23
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan 24
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher 24
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield 26
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper 27
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi 29
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and
Watts 31
2.5 Konteks 33
2.6 Unsur Segmental 42
2.6.1 Diksi 42
2.6.2 Gaya Bahasa 48
2.6.3 Kategori Fatis 50
2.7 Unsur Suprasegmental 52
2.7.1 Nada 53
2.7.2 Tekanan 54
2.7.3 Intonasi 55
2.8 Teori Maksud 56
2.9 Kerangka Berpikir 58
BAB III METODE PENELITIAN 61
3.1 Jenis Penelitian 61
3.2 Data dan Sumber Data 62
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 63
3.4 Instrumen Penelitian 65
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data 65
3.6 Sajian Hasil Analisis Data 67
3.7 Trianggulasi Hasil Analisis Data 67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 68
4.1 Deskripsi Data 68
4.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 70
4.1.2 Kategori KetidaksantunanMengancam Muka Sepihak 71
4.1.3 Kategori KetidaksantunanMelecehkan Muka 71
4.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 72
4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 73
4.2 Analisis Data 74
4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 74
4.2.1.1 Subkategori Menjanjikan 75
4.2.1.2 Subkategori Menolak 78
4.2.1.3 Subkategori Kesal 80
4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 82
4.2.2.1 Subkategori Menyindir 82
4.2.2.2 Subkategori Memerintah 85
4.2.2.3 Subkategori Menjanjikan 89
4.2.2.4 Subkategori Kesal 90
4.2.2.5 Subkategori Mengejek 92
4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 94
4.2.3.1 Subkategori Kesal 95
4.2.3.2 Subkategori Memerintah 98
4.2.3.3 Subkategori Menyindir 101
4.2.3.4 Subkategori Mengejek 104
4.2.3.5 Subkategori Mengancam 107
4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 109
4.2.4.1 Subkategori Menyindir 110
4.2.4.2 Subkategori Mengejek 113
4.2.4.3 Subkategori Menyalahkan 116
4.2.4.4 Subkategori Memerintah 118
4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 121
4.2.5.1 Subkategori Melarang 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
4.2.5.2 Subkategori Mengancam 125
4.2.5.3 Subkategori Memerintah 128
4.2.5.4 Subkategori Mengejek 130
4.2.5.5 Subkategori Menolak 132
4.2.5.6 Subkategori Kesal 135
4.3 Pembahasan 137
4.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 137
4.3.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 138
4.3.1.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 140
4.3.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 143
4.3.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 147
4.3.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 150
4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 153
4.3.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 153
4.3.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 154
4.3.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 155
4.3.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 157
4.3.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 158
4.3.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur 183
4.3.3.1 Maksud Menolak 184
4.3.3.2 Maksud Memprotes 186
4.3.3.3 Maksud Bercanda 187
4.3.3.4 Maksud Memberikan Pengertian 189
4.3.3.5 Maksud Mengancam 190
4.3.3.6 Maksud Ketidaksenangan 190
4.3.3.7 Maksud Menyindir 191
4.3.3.8 Maksud Mengejek 192
4.3.3.9 Maksud Kesal 193
4.3.3.10 Maksud Meminta Tolong 194
4.3.3.11 Maksud Menegur 194
4.3.3.12 Maksud Memerintah 195
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
4.3.3.13 Maksud Melarang 196
4.3.3.14 Maksud Menyalahkan 197
4.3.3.15 Maksud Membandingkan 197
4.3.3.16 Maksud Meremehkan 198
4.3.3.17 Maksud Menakut-nakuti 199
BAB V PENUTUP 201
5.1 Simpulan 201
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 201
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 203
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur 207
5.2 Saran 208
5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan 208
5.2.2 Bagi Keluarga 209
DAFTAR PUSTAKA 210
LAMPIRAN 212
BIOGRAFI PENULIS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Berpikir 60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan 68
Tabel 2. Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Ketidaksantunan 69
Tabel 3. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 70
Tabel 4. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka
Sepihak 71
Tabel 5. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 72
Tabel 6. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 73
Tabel 7. Data Tuturan Kategori KetidaksantunanMenimbulkan Konflik 73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Komunikasi
dilakukan supaya manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Definisi
komunikasi menurut Onong Uchyana yang dikutip oleh Bungin (2006:31)
mengatakan bahwa komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya
adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seorang (komunikator)
kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan
lain-lain yang muncul dari benak komunikator. Perasaan bisa berupa keyakinan,
kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan
sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Dengan demikian, bahasa sebagai alat
komunikasi dapat diartikan juga sebagai alat penghubung sosial antara para
penuturnya untuk berbagai kepentingan.
Hakikat bahasa yaitu sistem lambang bunyi yang konvensional, tetapi
arbitrer dan digunakan oleh masyarakat penuturnya untuk berkomunikasi. Ilmu
yang mengkaji tentang bahasa disebut dengan linguistik. Pada dasarnya linguistik
mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik.
Mikrolinguistik merupakan bidang-bidang yang mempelajari bahasa dari struktur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik adalah bidang-bidang yang
mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa
(Nikelas, 1988:14). Di dalam perkembangannya, cabang ilmu linguistik yang
menjadi objek kajian mikrolinguistik adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik, sedangkan objek yang termasuk dalam kajian makrolinguistik, yaitu
pragmatik, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik, dan
etnolinguistik.
Dari berbagai objek kajian makrolinguistik, kajian tentang pragmatik saat
ini sedang menjadi topik hangat untuk dikembangkan dan diperdalam. Pragmatik
menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam karena tidak hanya melibatkan
bagaimana orang saling memahami secara linguistik, tetapi studi ini juga
mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran
mereka. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam
konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Jadi, pragmatik mengkaji
makna satuan lingual tertentu secara eksternal dan makna yang dikaji dalam
pragmatik bersifat terikat konteks (Rahardi, 2003:16).
Pragmatik sebagai objek kajian makrolinguistik memiliki lima ruang
lingkup, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, dan kesantunan. Dari
kelima ruang lingkup tersebut, kesantunan merupakan suatu hal yang
berhubungan erat dengan keadaan sosial masyarakat. George Yule (2006:102)
berpendapat bahwa interaksi linguistik pada dasarnya memerlukan interaksi
sosial. Interaksi tersebut dikatakan bermakna apabila kita memperhatikan berbagai
faktor yang berkaitan dengan kesenjangan dan kedekatan sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Bungin (2006:49–50) menyatakan bahwa strata sosial masyarakat
mempengaruhi kebahasaan dalam berkomunikasi. Secara umum, strata sosial di
masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu
atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower class). Kelas atas
mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas
menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan,
pedagang, dan kelompok fungsional lainnya, sedangkan kelas bawah mewakili
kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Secara
khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang
tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada
lingkungan itu. Strata sosial yang terdapat dalam masyarakat tentunya tidak hanya
berpengaruh terhadap cara berkomunikasi di lingkungannya, tetapi juga akan
mempengaruhi cara berkomunikasi di dalam keluarga.
Keluarga adalah kelompok terkecil dalam masyarakat. Setiap orang
berkembang dan tumbuh di dalam keluarga, maka kita sering mendengar bahwa
pendidikan setiap orang berawal dari keluarga. Di dalam keluarga, anak mulai
belajar berbahasa untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, setiap keluarga tentunya
memiliki kekhasan masing-masing dalam berkomunikasi. Dari kecenderungan
yang ada dalam masyarakat, keluarga yang memiliki strata sosial lebih tinggi akan
memiliki cara berkomunikasi yang lebih baik daripada keluarga berstrata sosial
lebih rendah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kemungkinan bagi
keluarga yang memiliki strata sosial lebih baik juga memiliki cara atau sikap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berkomunikasi yang kurang baik. Pragmatik menyebut hal ini sebagai kesantunan
dan ketidaksantunan berbahasa.
Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca
(Pranowo, 2009:4). Kesantunan dalam berkomunikasi tidak hanya tercermin dari
tuturan saja, tetapi juga dari sikap atau perilaku penuturnya. Contoh sikap yang
tidak santun, yaitu ketika seorang anak berbicara dengan orang tuanya dengan
tetap bermain handphone, anak ini secara tidak langsung telah berperilaku tidak
santun kepada orang tuanya.
Perbedaan strata sosial hanyalah salah satu faktor penyebab santun
tidaknya suatu proses komunikasi. Faktor keadaan lingkungan dan kebudayaan
masyarakat juga memberikan andil bagi terjadinya proses komunikasi yang
santun. Cara berkomunikasi keluarga yang ada di lingkungan berbudaya Jawa,
akan berdeda dengan cara berkomunikasi pada lingkungan berbudaya Batak,
Sunda, Betawi, atau Bali.
Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota Budaya. Julukan ini disebabkan
masyarakat Yogyakarta sangat menjunjung kebudayaan Jawa dalam bertindak
maupun bertutur kata, sehingga menumbuhkan nilai-nilai etika orang Jawa yang
terkenal akan kesopanan dan keramahannya. Kentalnya kebudayaan Jawa akan
semakin terasa, jika kita berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selain Kraton
Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman juga menjadi pusat budaya yang terus
dilestarikan oleh para abdi dalem maupun masyarakat yang hidup di luar tembok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
kraton Pakualaman. Kebudayaan yang ada pada masyarakat di lingkungan
Pakualaman tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya.
Kesopanan dan keramahan yang ada pada masyarakat Yogyakarta
tidak hanya ditunjukkan dengan tindakan, tetapi juga melalui bahasa. Kesopanan
dan keramahan berbahasa tersebut akan semakin terlihat pada masyarakat yang
tinggal di lingkungan kraton Pakualaman. Cara berbahasa warga di lingkungan
kraton atau Pakualaman mungkin akan lebih santun karena terbiasa dengan cara
berbahasa keluarga kraton yang termasuk keluarga bangsawan. Namun, dibalik
kesantunan yang dijunjung oleh keluarga dan warga kraton atau Pakualaman,
mungkin dapat terjadi bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa ketika
berkomunikasi dengan para anggota keluarganya. Bentuk-bentuk ketidaksantunan
ini muncul akibat mulai lunturnya kebudayaan bersopan santun dan ketidaktahuan
santun tidaknya suatu tuturan saat berkomunikasi di dalam keluarga.
Fenomena ketidaksantunan berbahasa inilah yang saat ini menjadi
fenomena baru dalam dunia pragmatik. Ketidaksantunan perlu dikaji untuk
mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus
dihindari dalam praktik berkomunikasi, khususnya pada ranah keluarga. Peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian pada ranah keluarga karena keluarga
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh bagi
pembentukan karakter bangsa. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini
bermaksud untuk mengungkap bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa dalam
ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta jika ditinjau dari
kajian pragmatik dan linguistik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantuan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat
dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta?
2) Penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan
oleh keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta?
3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten
Pakualaman Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik
yang digunakan oleh keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman
Yogyakarta.
3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten
Pakualaman Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi
berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Manfaat teoretis
a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.
b) Berbagai kajian teori yang digunakan di dalam penelitian ini dapat
memperluas kajian dan memperkaya wawasan teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru.
2) Manfaat praktis
a) Penelitian ini dapat digunakan oleh para penutur dalam lingkup keluarga
untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa
yang harus dihindari dalam berkomunikasi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam
lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.
1.5 Batasan Istilah
1) Ketidaksantunan berbahasa
Penggunaan bahasa penutur yang dianggap tidak berkenan oleh mitra
tutur.
2) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas, 2008:832).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
3) Pragmatik
Studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa
dengan konteks tuturannya (Levinson 1983 dalam Rahardi, 2003:13–14).
4) Ketidaksantunan linguistik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu
tuturan.
5) Ketidaksantunan pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang
menyertai suatu tuturan.
6) Keluarga
Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi
tangungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat
(Depdiknas, 2008:659)
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-
penelitian yang relevan, (2) pragmatik, (3) fenomena pragmatik, (4) teori-teori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
ketidaksantunan, (5) konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur suprasegmental, (8)
teori maksud, dan (9) kerangka berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Bab III berisi urai (1)
jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) metode dan teknik pengumpulan
data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil
analisis data, dan (7) trianggulasi hasil analisis data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian
ketidaksantunan berbahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka
berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik
sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang
teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri
atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur
segmental, unsur suprasegmental, dan teori maksud. Kerangka berpikir berisi
tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan
teori untuk menjawab rumusan masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Ketidaksantunan berbahasa dalam dunia pragmatik merupakan fenomena
baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh sebab itu, penelitian pragmatik
yang mengkaji ketidaksantunan berbahasa belum banyak ditemukan. Peneliti
mencantumkan empat penelitian ketidaksantunan berbahasa yang telah dilakukan
oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian-penelitian ketidaksantunan
berbahasa yang dicantumkan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013),
Olivia Melissa Puspitarini (2013), dan Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di
SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian ini
menggunakan metode simak dan cakap untuk pengumpulan datanya. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kontekstual.
Penelitian ini menyimpulkan tiga hal yaitu sebagai berikut. Pertama, wujud
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak
santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-
mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka,
sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian
konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal,
dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May
Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 200–2011
Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini menggunakan dua metode
pengumpulan data yang sama dengan penelitian sebelumnya. Pertama metode
simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik
simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar
berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap
semuka dan tansemuka. Analisis data penelitian ini juga menggunakan metode
kontekstual. Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan
linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan
muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra
tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2)
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan,
intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak
verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan
berbahasa yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan
dapat melukai hati, b) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan
itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e)
mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian tentang kesantunan yang serupa dengan kedua penelitian
sebelumnya juga dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) dengan judul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan
Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian
ini merupakan penelitian jenis deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan
wujud ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan, dan makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa
Program Studi PBSID, FKIP, USD, angkatan 2009—2011. Metode pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, wujud ketidaksantunan
linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik
berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan
linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu
konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana.
Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi 1)
melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, 2)
memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3)
kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan
mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila
candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni
penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5) mengancam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang
menyebabkan mitra tutur terpojok.
Penelitian ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh Agustina
Galuh Eka Noviyanti (2013) yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun
Ajaran 2012/2013.Penelitian ini juga menggunakan medote pengumpulan data
dan metode analisis analisis data yang sama dengan ketiga penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian ini pun tidak jauh berbeda dengan ketiga penelitian sebelumnya
yaitu sebagai berikut. Pertama wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan
berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud ketidaksantunan
pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan. Kedua penanda
ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2) tekanan, (3)
intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat
dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi
(1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak verbal, dan (4)
tindak perlokusi. Ketiga makna penanda ketidaksantunan dari masing-masing
jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda ketidaksantunan melecehkan
muka adalah penutur menyindir, menghina, dan mengejek mitra tutur sehingga
dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda ketidaksantunan memainkan
muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel mitra tutur dengan tingkah laku
penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna penanda ketidaksantunan
kesembronoan yang disengaja adalah penutur bermaksud untuk bercanda sehingga
membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda
ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur benar-
benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan
mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada
mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan
bagi mitra tutur.
Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji
ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik. Oleh karena itu, keempat
penelitian ketidaksantunan berbahasa tersebut dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa yang juga dikaji dalam
penelitian ini. Hal yang membedakan penelitian ini dengan keempat penelitian
tersebut adalah ranah penelitiannya. Keempat penelitian tersebut meneliti
ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan, sedangkan penelitian ini
meneliti ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga, khususnya keluarga di
lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
2.2 Pragmatik
Pragmatik merupakan bagian dari studi linguistik. Namun, linguistik dan
pragmatik mempunyai ruang lingkup kajian yang berbeda. Linguistik adalah ilmu
yang mengkaji tentang bahasa, sedangkan pragmatik adalah ilmu yang mengkaji
tentang penggunaan bahasa. Ketika mengkaji bahasa, pragmatik selalu terikat
dengan konteks dan pengguna bahasa tersebut. Yule (2006:3–6) empat ruang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Pertama, pragmatik adalah studi tentang
maksud penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.
Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang
ungkapan dari jarak hubungan. Jadi, pragmatik itu menarik karena melibatkan
bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik.
Rahardi (2003:16) menjelaskan bahwa ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara
eksternal dan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks. Selain
Rahardi, Yan Huang (2007:2) juga memberikan pendapatnya mengenai definisi
pragmatik yaitu pragmatics is the systematic study of meaning by virtue, or
dependent on, the use of language. The central topics of inquiry o pragmaticts
include implicature, presupposition, speech acts, and diexis. Pragmatik adalah
studi sistematis makna berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa.
Topik-topik utama kajian pragmatik memuat implikatur, praanggapan, tindak
tutur, dan dieksis.
Cruse (2000:16 dalam Cummings, 2007:2) mendefinisikan pragmatik
sebagai berikut. Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek
informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa
yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam
bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara
alamiah dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan
ditambahkan].
Levinson (1983 dalam Rahardi, 2003:13–14) mendefinisikan sosok
pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara
bahasa dengan konteks tuturannya. Batasan ilmu bahasa pragmatik dari Levinson
itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan berikut. Pragmatics is the study of
thoose relations between language and context that are grammaticalized, or
encoded in the structure of a language (Lenvinson, 1983:9).
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pragmatik adalah bagian dari studi linguistik yang mengkaji penggunaan
bahasa. Pengkajian bahasa dalam pragmatik akan selalu terikat dengan koteks dari
pengguna bahasa tersebut.
2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang berkembang telah mengkaji
enam fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, kesantunan,
dan ketidaksantunan. Keenam fenomena tersebut akan dijelasakan lebih lanjut
sebagai berikut.
2.3.1 Praanggapan
Ketika berkomunikasi, penutur dan mitra tutur perlu memiliki informasi
yang sama. Meskipun penutur tidak bisa memastikan apakah mitra tutur memiliki
informasi yang sama atau tidak, penutur akan beranggapan bahwa mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
telah memiliki persamaan informasi. Fenomena mengenai suatu informasi yang
dianggap penutur sudah diketahui oleh mitra tutur ini, dalam pragmatik disebut
praanggapan.
Yule (2006:43) mendefinisikan praanggapan atau pesupposisi adalah
sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan
suatu tuturan. Yule membagi presupposisi menjadi enam jenis, yaitu eksistensial,
faktif, non-faktif, leksikal, struktural, dan konterfaktual atau faktual tandingan.
Wijana dalam Nadar (2009:65) menyatakan sebuah kalimat dalam tuturan
dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat
yang kedua (kalimat yang dipresuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama
(kalimat yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah.
2.3.2 Tindak Tutur
Aktivitas bertutur disebut juga sebagai tindak tutur. Saat bertutur, setiap
tuturan selalu mengandung tiga tindakan sekaligus. Ketiga tindakan tersebut
adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan
kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuat dengan maksud dan
fungsi yang tertentu pula. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh
(effect) kepada diri sang mitra tutur (Rahardi, 2003:71–72).
Yule (2006:92–94) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi 5 jenis fungsi
umum, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Berikut ini
adalah penjelasan dari setiap jenis tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
1) Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus,
untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pernyataan deklarasi,
misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat,
mengucilkan, dan menghukum (Rahardi, 2006:71). Pada waktu menggunakan
deklarasi, penutur mengubah dunia dengan kata-kata.
2) Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini
penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan,
dan pendeskripsian tentang sesuatu yang diyakini oleh penutur. Pada waktu
menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan
dunia (kepercayaannya).
3) Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan
oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan
psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Rahardi (2003:71) menambahkan
pernyataan ekspresif tersebut, seperti berterima kasih, memberi selamat,
meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. Tindak tutur itu
mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau
pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.
4) Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh
orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang
menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif
dan negatif.
5) Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak
tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Pada waktu
menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan
kata-kata (lewat penutur).
2.3.3 Implikatur
Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara
lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang
dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak
percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah
saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003)
menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut
implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).
Jika seorang pendengar mendengar ungkapan dari seorang penutur, dia
harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud
untuk menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna yang
lebih banyak daripada kata-kata yang dikeluarkan oleh penutur. Makna itulah
yang disebut dengan implikatur (Yule, 2006:61). Dengan demikian, dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
dikatakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda
dengan yang sebenarnya diucapkan. Yule (2006) membedakan implikatur menjadi
lima jenis, yaitu implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur
berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.
2.3.4 Deiksis
Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal
mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui
bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut
ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga,
yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk
tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu.
Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan
ungkapan-ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran
kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-
ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan
(Yule, 2006:26)
Selain Yule, Nadar (2009) juga membagi deiksis menjadi tiga. Seorang
penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali menggunakan kata-kata
yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat. Kata-kata yang lazim
disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga
keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur
(Nadar, 2009:4–5).
2.3.5 Kesantunan
Bahasa merupakan cermin kepribadian setiap orang. Dengan adanya
bahasa verbal maupun nonverbal, setiap orang dapat menilai baik atau buruk
orang lain. Pranowo (2009:3) mendefinisikan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku.
Bahasa dan tindakan yang perlu dikembangkan adalah kepribadian yang
baik dan santun. Seorang yang berkepribadian baik dan santun tentu mampu
menjaga harga dirinya dan dapat menghormati orang lain. Struktur bahasa yang
santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak
menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Fenomena
kesantunan dalam masyarakat ini telah menjadi kajian tersendiri dalam ilmu
pragmatik. Adanya fenomena kesantunan berbahasa telah memunculkan berbagai
teori kesantunan dari para ahli.
Pranowo dalam bukunya yang berjudul “Berbahasa secara Santun”
(2009:100–104) menjelaskan empat teori kesantunan yang berbeda dari empat
ahli. Pertama adalah Dell Hymes (1978) dengan istilah SPEAKING yaitu suatu
akronim dari komponen penentu kesantunan. Komponen penentu kesantunan
tersebut terdiri dari setting and scene (latar), participants (peserta), ends (tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
komunikasi), act sequen (pesan yang ingin disampaikan), key (kunci),
instrumentalities (peranti), norms (norma), dan genre (kategori). Kedua ialah
Grice (1978) yang mengidentifikasi kesantunan harus memperhatikan empat
prinsip kerja sama, yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan
prinsip cara. Ketiga adalah Leech (1983) dengan tujuh maksim kesantunannya.
Ketujuh maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati,
dan maksim pertimbangan. Keempat ialah Pranowo (2005) yang mengemukakan
enam indikator kesantunan. Angon rasa, adu rasa, empan papan, sifat rendah hati,
sikap hormat, dan sikap tepa selira merupakan indikator kesantunan tersebut.
2.3.6 Ketidaksantunan
Kaidah yang selama ini disosialisaikan kepada masyarakat adalah kaidah
bahasa yang baik dan benar. Padahal, ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa
yang baik dan benar saja belum cukup. Seseorang yang mampu berbahasa secara
baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi,
sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa sesuai dengan kaidah tertentu.
Namun, masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan.
Ketika seorang sedang berkomunikasi, hendaknya di samping baik dan benar juga
santun (Pranowo, 2009:4–5).
Kenyataan yang ada dalam masyarakat, kesantunan kadang dilupakan
dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Hal inilah yang memunculkan pemakaian
bahasa yang tidak santun. Pemakaian bahasa yang tidak santun ini merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
suatu permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan ini kemudian menjadi
fenomena baru dalam studi pragmatik. Sebelum fenomena ketidaksantunan ini
muncul, pragmatik telah mengkaji lima fenomena yang menjadi bagian kajian
pragmatik, seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu,
fenomena ketidaksantunan yang berkembang di masyrakat, khususnya dalam
lingkungan keluarga, menjadi fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih
dalam. Karena kajian pragmatik selalu terikat pada konteks, ketidaksantunan juga
akan dikaji dengan melmperhatikan konteks situasi pengguna tuturan.
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan
Penelitian ini mengkaji fenomena ketidaksantuan berbahasa dalam
lingkungan keluarga. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa
teori ketidaksantunan berbahasa yang diungkapkan oleh para ahli dalam buku
Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and
Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) dan telah diartikan oleh
Rahardi (2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan
Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Miriam A Locher (2008) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating
in a particular context.’ Maksudnya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk
pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Interpretasi lain yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah
bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan
muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa
yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan
dengan kata ‘aggravate’ itu.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Keluarga sedang melakukan persiapan untuk menghadiri undangan pesta
ulang tahun salah satu kerabat. Sang kakak yang telah selesai berias,
memperhatikan penampilan adiknya yang hanya mengenakan kaos yang
dirasa tidak pantas dipakai dalam acara tersebut.
2) Wujud tuturan:
a) Kakak : “Dik, nggak ada baju lain apa?”
b) Adik : “Emangnya kalau pakai ini kenapa?”
c) Kakak : “Nggak pantes ah! Kayak mau ke pasar tau! Ganti sana! Udah
gede kok nggak bisa dandan.”
Dengan melihat percakapan di atas, sebenarnya sang kakak hanya ingin
menyuruh adiknya untuk berganti baju, tetapi tuturan yang disampaikan pada
kalimat c) terlihat tidak santun. Kalimat c) menandakan sebuah tuturan yang tidak
santun karena tuturan tersebut dapat menyinggung perasaan sang adik yang
dianggap tidak bisa berias dengan semestinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Dengan memperhatikan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menitikberatkan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud
untuk menyinggung mitra tuturnya.
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfiled
Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and
conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous), dan
konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila
perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka
itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori
sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan
tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan
berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Pada siang hari, kakak hendak beristirahat. Namun, sang adik yang sedang
bermain dengan teman-temannya terlalu mengganggu istirahat kakaknya.
2) Wujud tuturan:
a) Kakak : “Dik, mbok mainnya pindah di tempat yang lain sana! Berisik
tau, aku mau tidur.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
b) Adik : “Ye... yang mau tidur kan Mbak, kok yang ribet aku? Kalau mau
tidur, ya tinggal tidur ta. Gitu aja kok repot.”
Dari percakapan tersebut, dapat diketahui bahwa sang kakak berusaha
menegur sang adik dan teman-temannya supaya tidak berisik. Teguran ini dapat
dilihat pada kalimat a) yang dituturkan dengan nada tegas. Tuturan a) tersebut
ingin menegaskan bahwa sang adik perlu memberikan ketenangan supaya sang
kakak bisa tidur siang. Namun, sang adik tidak mengindahkan teguran kakaknya
melainkan memberikan komentar yang membuat sang kakak merasa jengkel.
Komentar tersebut dapat dilihat pada kalimat b) yang menandakan tuturan
disampaikan dengan sembrono. Dengan hal itu, tuturan sang adik tersebut dapat
menimbulkan konflik dengan sang kakak yang bertindak sebagai penutur dan
mitra tutur.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya
dengan tanggapan semaunya secara sengaja sehingga dapat memungkinkan
adanya konflik diantara penutur dan mitra tutur.
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (2008) mengenai ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau
fakta ‘kehilangan muka’ untuk menjelaskan konsep ketidaksantunan dalam
berbahasa. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika
tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan
(impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang
diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan
muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Pada suatu kesempatan, seluruh anggota keluarga sedang menonton televisi di
ruang keluarga. Ketika acara televisi menayangkan sebuah drama percintaan,
sang ibu bertanya kepada anak perempuannya yang belum mempunyai
kekasih sehingga menarik perhatian anggota keluarga yang lain.
2) Wujud tuturan:
a) Ibu : “Nduk, kamu tu kapan mau cari pacar?”
b) Anak : “Sabar aja ta Bu.”
c) Ibu : “Udah umur 22 kok masih belum punya pacar. Jangan-
jangan kamu ndak normal, Nduk. Ndak suka sama laki-laki ya?”
(anggota
keluarga lain tertawa)
d) Anak : “Hah Ibu ki lho, aku ya normal-normal aja kok.” (dengan muka
tertekuk)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Dari ilustrasi percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang ibu ingin
menggoda anak perempuannya yang belum juga memiliki kekasih di usianya ke-
22. Namun, dalam percakapan tersebut terdapat sebuah tuturan yang tidak santun,
yaitu pada tuturan d). Meskipun kalimat tuturan tersebut dikatakan dengan nada
santai dan dalam konteks bergurau, kalimat tersebut dapat menyinggung perasaan
dan membuat malu (kehilangan muka) sang anak sebagai mitra tutur di depan
anggota keluarga yang lain.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih menitikberatkan
pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki
maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya.
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Tekourafi
Terkourafi (2008:3–4) memandang ketidaksantunan sebagai,
‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to
the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-
threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku
berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur
(addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan
penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra
tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
1) Situasi:
Suatu ketika, keluarga mendapatkan kunjungan dari teman kantor sang bapak.
Di ruang lain, sang anak sedang asyik menonton televisi. Karena jarak ruang
menonton televisi hanya berada di sebelah ruang tamu, suara televisi dan
teretawa sang anak terdengar jelas dari ruang tamu, sehingga mengganggu
percakapan bapak dan tamunya.
2) Wujud tuturan.
a) Bapak : “Dik, Mbok suara televisinya ki dikecilkan! Bapak lagi ada
tamu.”
b) Anak : “Apa Pak? Nggak kedengeran.”
c) Bapak : “Suaranya itu lho dikecilin!” (mendekati sang anak)
d) Anak : “Ih, Bapak mah lagi lucu ki lho. Kan tamunya juga nggak merasa
tertanggu ta.” (cemberut)
Tuturan di atas menunjukkan bahwa sang bapak berusaha menegur sang
anak karena suara tertawa dan volume televisinya dianggap mengganggu
pertemuan sang bapak dengan tamunya. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan a)
dan ditegaskan lagi pada tuturan c), namun tetap dengan nada yang datar. Namun,
teguran sang bapak ternyata ditanggapi oleh sang anak dengan nada yang tinggi.
Tuturan sang anak pada kalimat d) menunjukkan bahwa sang anak merasa kalau
kegiatan menonton televisinya tidak mengganggu tamu tersebut. Percakapan
tersebut memberikan gambaran bahwa sang anak menanggapi teguran bapaknya
dengan rasa kesal yang mengancam muka secara sepihak. Hal tersebut membuat
sang bapak sebagai mitra tutur merasa terancam dan tersinggung dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
tanggapan anaknya, tetapi sang anak tidak menyadari kalau tanggapannya
membuat sang bapak tersinggung.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi (2008) ini
lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh
penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya
tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung
mitra tutur.
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and
Watts
Locher and Watts (2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun
adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked
behavior) karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Kedua ahli tersebut juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti
untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).
Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,
‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much
as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
1) Situasi:
Saat masuk ke kamar anaknya, ibu melihat kamar anaknya sangat
berantakkan. Ibu menjadi marah karena keluarga sudah bersepakat bahwa
kebersihan kamar menjadi tanggung jawab pemilik kamar.
2) Wujud tuturan:
a) Ibu : “Dik, kenapa kamarmu berantakan sekali?”
b) Anak : “Hehe, belum aku beresin.”
c) Ibu : “Ibu pokoknya nggak mau tahu, cepet beresin kamar kamu. Ibu
nggak mau bersihin, wong itu kamar kamu.”
d) Anak : “Males ah, Bu. Ibu aja deh yang beresin.”
e) Ibu : “Nggak mau. Udah ada kesepakatannya, kebersihan kamar jadi
tanggung jawab pemilik kamar.”
Percakapan di atas memperlihatkan bahwa sang anak tidak merasa
bersalah dengan tidakannya. Pertanyaan ibu pada kalimat a) dijawab dengan
santai tanpa rasa bersalah oleh sang anak pada kalimat b). Tuturan pada kalimat d)
menunjukkan bahwa sang anak tidak menghiraukan kesepakatan yang telah dibuat
bersama dengan anggota keluarga lainnya. Tuturan tersebut merupakan tuturan
yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan yang
telah menjadi peraturan dalam keluarga tersebut.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008) ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Dari teori-teori ketidaksantunan yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa (1) dalam pandangan Miriam A. Locher ketidaksantunan
berbahasa merupakan tindak berbahasa yang melecehkan muka dan memain-
mainkan muka sehingga membuat mitra tutur tersinggung, (2) ketidaksantunan
berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang
mengancam muka dan dilakukan secara sembrono (gratuitous) sehingga dapat
menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur, (3) ketidaksantunan
berbahasa dalam pandangan Culpeper merupakan perilaku berbahasa yang dapat
membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss) atau setidaknya orang
tersebut ‘merasa’ kehilangan muka, (4) ketidaksantunan berbahasa dalam
pandangan Terkourafi merupakan bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan
oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra
tuturnya, tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya
menyinggung mitra tutur, dan (5) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap
negatif, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Kelima teori ketidaksantunan berbahasa tersebut akan digunakan sebagai landasan
untuk melihat praktik ketidaksantunan berbahasa yang terjadi di dalam keluarga.
2.5 Konteks
Pada tahun 1923, Malinowsky telah memunculkan istilah konteks,
khususnya konteks yang berdimensi situasi atau ‘context of situation’.
Malinowsky dalam Vershueren (1998:75) mengatakan ‘Exactly as in the reality of
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
spoken or written languages, a word without linguistics context is a mere figment
and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the
utterance has no meaning except in the context of situation.’ Jadi, di dalam
pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi
mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna (Rahardi, 2012).
Sesuai dengan pandangan Malinowsky tersebut, para ahli linguistik dan
pragmatik berpendapat bahwa studi pragmatik akan selalu terikat dengan kontek.
Pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada
konteks situasi tuturan yang ada di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan
yang mewadahinya. Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka
macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang
muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur,
serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta
melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan (Rahardi, 2003: 18).
Konteks dalam istilah Leech (1983) disebut ‘speech situation’. Leech
(1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah aspek yang
senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik, sehubungan
dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan
sebuah tuturan. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.
1) Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan
pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan
sebagainya.
2) Konteks tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua
aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.
Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks
setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada
hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund
knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3) Tujuan penutur
Bentuk-bentk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang
sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan
tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang
berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang
mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan
pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat
formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang
berbeda.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas
yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal
(verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini,
pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret
dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas
penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur.
Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak
verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang?
Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini,
dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence)
dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil
kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi
tertentu.
Selain kelima aspek tuturan yang dijelaskan oleh Leech (1983),
Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam
memahami makna sebuah tuturan. Empat dimensi konteks menurut Verschuren
(1998) via Rahardi (2012) dalam jurnal yang berjudul “Re-interpretasi Konteks
Pragmatik” adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
1) ‘The utterer’ dan ‘The Interpteter’
Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the
utterer’ and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam
pragmatik. Dalam hal ini, ‘pembicara’ atau ‘penutur’ (utterer) itu memiliki
banyak suara (many voices), sedangkan mitra tutur atau mitra wicara atau
interpreter, lazimnya dikatakan memiliki banyak peran. Penutur atau
pembicara, atau yang lazim disebut ‘the speaker’ dan ‘the utterer’, memang
memiliki banyak kemungkinan kata. Bahkan ada kalanya pula, seorang
penutur atau ‘utterer’ dapat berperan sebagai ‘interpreter’. Jadi, dia sebagai
penutur atau pembicara, tetapi juga sekaligus dia sebagai pengintepretasi atas
apa yang sedang diucapkannya itu.
Hal lain lagi yang juga mutlak harus diperhatikan dan
diperhitungkan dalam kaitan dengan ‘utterer’ dan ‘interpreter’ atau
‘pembicara’ dan ‘mitra wicara’ adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan
semacamnya. Hal tersebut adalah perihal ‘the influence of numbers’ alias
‘pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah pertutursapaan.
Kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan memengaruhi proses
interpretasi makna oleh ‘interpreter’. Demikian pula jika jumlah ‘utterer’ itu
banyak, maka interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan ‘interpreter’ pasti
sedikit banyak terpengaruhi. Jadi, memang akan menjadi sangat berbeda
makna kebahasaan yang muncul bilamana sebuah pertutursapaan dihadiri
orang dalam jumlah banyak, dan bilamana hanya dihadiri dua pihak saja,
yakni penutur (utterer) dan mitra tutur (interpreter).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2) Aspek-aspek Mental ‘Language Users’
Dalam konteks pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari
penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’, ternyata mengambil
peranan yang sangat dominan. Selain dimensi ‘personality’, aspek yang harus
diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini
adalah aspek warna emosinya (emotions). Seseorang yang memiliki warna
emosi dan temperamen tinggi, cenderung akan berbicara dengan nada dan
nuansa makna yang tinggi pula. Akan tetapi, seseorang yang warna emosinya
tidak terlampau dominan, dia cenderung akan berbicara sabar. Selain dimensi
‘personality’ dan ‘emotions’, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’,
dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi kepercayaan atau
‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks
pragmatik ini.
Dimensi-dimensi mental ‘language users’ berpengaruh besar
terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur dalam pertuturan
sebenarnya. Dengan demikian harus dikatakan pula, bahwa dimensi mental
penutur dan mitra tutur tidak bisa tidak harus dilibatkan dalam analisis
pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi
dalam komunikasi .
3) Aspek-aspek Sosial ‘Language Users’
Penutur dan mitra tutur atau ‘utterer’ dan ‘interpreter’ merupakan
individu-individu yang menjadi bagian dari masyarakat tertentu. Dimensi-
dimensi yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai warga masyarakat dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
kultur atau budaya tertentu tersebut harus dilibatkan di dalamnya. Aspek-
aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social setting’ alias seting
sosial atau oleh Verschueren (1998) disebut ‘ingredient of the communicative
context’ harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis
pragmatik. Aspek kultur juga merupakan satu hal yang sangat penting sebagai
penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek
‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan.
Dimensi-dimensi sosial lain yang harus diperhatikan dalam pragmatik,
khususnya dalam kaitan dengan konteks pragmatik, dalam pandangan
Verschueren (1998:92) adalah: ‘…social class, ethnicity and race,
nationality, linguistic group, religion, age, level of education, profession,
kinship, gender, sexual preference…’. Verschueren melibatkan tingkat sosial,
etnisitas dan ras, kebangsaan, kelompok linguistik, religi, usia, tingkat
pendidikan, profesi, kekerabatan, jenis kelamin, preferensi seksual. Begitu
kompleks dimensi-dimensi sosial yang harus dilibatkan dalam konteks
pragmatik.
4) Aspek-aspek Fisik ‘Language Users’
Aspek fisik ‘referensi spasial’ harus diperhatikan di dalam analisis
pragmatik. Aspek fisik tersebut berkaitan dengan fenomena penggunaan
deiksis. Fenomena deiksis (deixis phenomenon), baik yang berciri persona
(personal deixis), deiksis perilaku (attitudinal deixis), deiksis waktu
(temporal deixis), maupun deiksis tempat (spatial deixis). Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
perbincangan konteks pragmatik ini, semuanya harus diperhatikan dan
diperhitungkan dengan benar-benar baik dan cermat.
Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti
orang, misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan
harus digunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’. Kejanggalan lain juga ditemukan
pada pemakaian antara ‘saya’ dan ‘kami’. Adapun ‘attitudinal deixis’
berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita harus memperlakukan
panggilan-panggilan persona seperti yang disampaikan di depan itu dengan
tepat sesuai dengan referensi sosial dan sosietalnya. Deiksis-deiksis dalam
jenis yang disampaikan di depan itu semuanya merupakan aspek fisik
‘language users’, yang secara sederhana dimaknai sebagai ‘penutur’ dan
‘mitra tutur’, sebagai ‘utterer’ dan ‘interpreter’.
Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan diksis pula, tetapi yang
sifatnya temporal, harus diperhatikan misalnya saja, kapan harus digunakan
ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Masalah
tersebut berkaitan dengan deiksis waktu (temporal deixis). Perhatian juga
harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau ‘temporal reference’
seperti yang ditunjukkan di depan tadi, khususnya dalam kaitan dengan
deiksis-deiksis waktu, tetapi juga pada dimensi tempat atau dimensi lokasi,
atau yang oleh Verschueren (1998:98) disebut sebagai ‘spatial reference’.
Konsep ‘spatial reference’ menunjuk pada konsepsi gerakan atau ‘conception
of motion’, yakni gerakan dari titik tempat tertentu ke dalam titik tempat yang
lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Aspek-aspek fisik konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan
itu adalah ihwal jarak spasial atau ‘space distance’. Pengaturan distansi atau
jarak dalam pengertian bertutur dilakukan bukan oleh ‘utterer’ saja, atau
‘interpreter’ saja, melainkan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama.
Terdapat semacam pengaturan ‘motion’ untuk menentukan ‘jarak’ atau
‘distansi’ dalam bertutur.
Jika Verschueren (1998) menjelaskan mengenai empat dimensi konteks
yang mendasar untuk memahami sebuah tuturan, Hymes menggunakan istilah
‘komponen tutur’ dalam menjelaskan tentang konteks. Hymes dalam Sumarsono
(2008:325−334) menuturkan bahwa ada enam belas komponen tutur, yaitu (1)
bentuk pesan (message form), (2) isi pesan (message content), (3) latar (setting),
(4) suasana (scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim (addressor), (7)
pendengar (hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee), (9) maksud-
hasil (purpose-outcome), (10) maksud-tujuan (purpose-goal), (11) kunci (key),
(12) saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14) norma interaksi
(norm of interaction), (15) norma interpretasi (norm of interpretation), dan (16)
kategori wacana (genre). Namun, dalam Nugroho (2009:119), Hymes meringkas
keenam belas komponen tutur tersebut menjadi delapan komponen tutur yang
disingkat menjadi ‘SPEAKING’. Kedelapan komponen tutur tersebut meliputi
latar fisik dan latar psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants),
tujuan tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur
(instruments), norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Selain itu, ada empat hal penting yang dicatat oleh Nugroho (2009:122)
mengenai konteks. Pertama, konteks merupakan konsep yang dinamis. Kedua,
Konteks terdiri dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks pengetahuan, dan
koteks. Ketiga, konteks berorientasi pada pengguna. Keempat, konteks digunakan
untuk memahami semua faktor yang berperan dalam produksi dan komprehensi
tuturan (Jumanto, 2008:31 dalam Nugroho).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bawa konteks merupakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi penutur dan mitra
tutur dengan latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sesuatu yang
dituturkan dan dimaksudkan oleh penutur. Konteks juga disertai dengan
komponen-komponen tuturan yang sangat mempengaruhi tuturan seseorang. Jadi,
kehadiran konteks berhubungan dengan produksi dan penafsiran dari tuturan.
2.6 Unsur Segmental
Unsur segmental adalah unsur yang ada dalam kalimat tertulis. Oleh
sebab itu, unsur segmental digunakan untuk mewujudkan tuturan lisan menjadi
tulisan. Unsur segmental terdiri dari diksi, gaya bahasa, dan kategori fatis.
Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga unsur tersebut.
2.6.1 Diksi
Gorys Keraf (1987) menjelaskan bahwa pilihan kata atau diksi mencakup
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,
bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan
ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
suatu situasi. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat
nuansa-nuansa makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai
hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau
perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata
atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah
bahasa.
Pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok,
yaitu pertama, ketepatan pemilihan kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan,
hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan
dalam mempergunakan kata tadi. Berikut persyaratan ketepatan diksi (Keraf,
1987:73–75).
1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi.
Denotasi dan konotasi merupakan makna yang terkandung dalam suatu kata.
Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan
disebut denotasi, sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu, nilai rasa tertentu di samping arti yang umum, dinamakan
konotasi.
2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Sinonim
adalah kata yang memiliki makna yang sama. Namun, sebenarnya antara dua
kata selalu terdapat perbedaan, sekalipun hanya sedikit. Perbedaan itu entah
berupa perasaaan kata saja maupun perbedaan makna dan perbedaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
lingkungan yang boleh dimasukinya. Oleh karena itu, pembicara harus
berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan
apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan.
3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya.
Bila pembicara tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu,
akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham.
4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri.
Bahasa selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dalam
masyarakat. Perkembangan bahasa pertama-tama tampak dari pertambahan
jumlah kata baru. Namun, hal itu tidak berarti bahwa setiap orang boleh
menciptakan kata baru seenaknya. Kata baru biasanya muncul untuk pertama
kali karena dipakai oleh orang-orang terkenal atau pengarang terkenal. Bila
anggota masyarakat lainnya menerima kata itu, maka kata itu lama-kelamaan
akan menjadi milik masyarakat. Neologisme atau kata baru atau penggunaan
sebuah kata lama dengan makna dan fungsi yang baru termasuk dalam
kelompok ini.
5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing
yang mengandung akhiran asing tersebut.
Perkenalan dengan bahasa asing menyebabkan banyak kata diterima begitu
saja dalam bentuk aslinya, padahal tidak semua kata asing dapat digunakan
saat kapan dan di mana saja.
6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan
kata umum dan kata khusus.
Bila sebuah kata mengacu kepada suatu hal atau kelompok yang luas bidang
lingkupnya maka itu disebut kata umum. Bila ia mengacu kepada
pengarahan-pengarahan yang khusus dan konkret maka kata-kata itu disebut
kata khusus.
8) Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus.
Suatu jenis pengkhususan dalam memilih kata-kata yang tepat adalah
penggunaan istilah-istilah yang menyatakan pengalaman-pengalaman yang
dicerap oleh pancaindria, yaitu cerapan indria penglihatan, pendengaran,
peraba, perasa, dan penciuman. Karena kata-kata itu menggambarkan
pengalaman manusia melalui pencaindria yang khusus, maka terjamin pula
daya gunanya, terutama dalam membuat deskripsi.
9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal.
Kenyataan yang dihadapi oleh setiap pemakai bahasa adalah bahwa makna
kata tidak selalu bersifat statis. Dari waktu ke waktu, makna kata-kata dapat
mengalami perubahan sehingga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru
pemakain yang terlalu bersifat konservatif. Sebab itu, untuk menjaga agar
pilihan kata selalu tepat, maka setiap penutur bahasa harus selalu
memperhatikan perubahan-perubahan makna yang terjadi. Perubahan-
perubahan makna yang penting diketahui oleh pemakai bahasa adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
perluasan arti, penyempitan arti, ameliorasi, peyorasi, metafora, dan
metonimi.
10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.
Yang dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata
yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat
disampaikan secara tepat dan ekonomis. Kelangsungan dapat terganggu bila
seorang pembicara atau pengarang mempergunakan terlalu banyak kata untuk
suatu maksud yang dapat diungkapkan secara singkat, atau mempergunakan
kata-kata yang kabur, yang bisa menimbulkan ambiguitas (makna ganda).
Persoalan kedua dalam pendayagunaan kata-kata adalah kecocokan atau
kesesuaian. Syarat-syarat kecocokan atau kesesuaitan diksi adalah sebagai berikut
(Keraf 1987).
1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi
yang formal. Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi
sebagai tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau
menduduki status sosial yang cukup dalam suatu masyarakat. Secara kasar,
kelas ini dianggap sebagai kelas terpelajar. Bahasa substandar atau
nonstandar adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan
atau pendidikan yang tinggi. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk
pergaulan biasa, tidak dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur
nonstandar dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam senda-gurau,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
berhumor, atau untuk menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri
kedaerahan.
2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi
yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata
populer. Kata-kata ilmiah merupakan kata-kata yang dugunakan dalam
pertemuan-pertemuan resmi, dalam diskusi-diskusi yang khusus, teristimewa
dalam diskusi-diskusi ilmiah. Kata-kata populer merupakan kata-kata yang
selalu digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik antara mereka yang
berada di lapisan atas maupun antara mereka yang dilapisan bawah atau
antara lapisan atas dan lapisan bawah.
3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Kata jargon
mengandung beberapa pengertian. Pertama, jargon mengandung makna suatu
bahasa, dialek, atau tutur yang dianggap kurang sopan atau aneh. Pengertian
kedua, jargon diartikan sebagai kata-kata teknis atau rahasisa dalam suatu
bidang ilmu tertentu, dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau
kelompok-kelompok khusus lainnya.
4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata
slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau
murni. Kata slang adalah kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun
secara khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata
kiasan yang khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan.
5) Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Kata percakapan
adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
orang yang terdidik. Kategori ini berupa ungkapan-ungkapan umum dan
kebiasaan menggunakan bentuk-bentuk gramatikal tertentu oleh kalangan ini.
6) Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Idiom adalah pola-
pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum,
biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara
logis atau secara gramatikal, dengan beretumpu pada makna kata-kata yang
membentuknya. Idiom yang sudah usang dan tidak bertenaga lagi karena
terlalu sering dipergunakan. Ungkapan semacam ini disebut klise atau
stereotip. Kata-kata yang membentuknya tidak dirasakan usang, tetapi paduan
kata-kata itulah yang dianggap tidak bertenaga lagi.
7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Bahasa artifisial adalah bahasa
yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial tidak terkandung dalam kata
yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk menyatakan suatu
maksud. Fakta dan pernyataan-pernyataan yang sederhana dapat digunakan
dengan sederhana dan langsung tak perlu disembunyikan.
2.6.2 Gaya Bahasa
Selain diksi atau pilihan kata, santun tidaknya pemakaian bahasa dapat
dilihat juga dari pemakaian gaya bahasa. Kesanggupan penggunaan gaya bahasa
seoranag penutur dapat terlihat tingkat kesantunannya dalam berkomunikasi.
Gaya bahasa bukan sekadar mengefektifkan keindahan tuturan dan kehalusan budi
bahasa penutur. Berikut ini contoh beberapa gaya bahasa yang digunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur (Pranowo, 2009:16–
22).
1) Majas hiperbola
Hiperbola adalah salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang
memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain secara berlebihan.
Jika sesuatu memiliki sifat negatif, tuturan cenderung dipersepsikan sebagai
tuturan yang kadar kesantunannya rendah (tidak santun) oleh mitra tutur.
2) Majas perumpamaan
Perumpamaan adalah salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang
membandingkan dua hal yang berlebihan, tetapi dianggap sama. Penanda
majas perumpamaan biasanya menggunakan kata-kata sebagai berikut;
seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana,bagai, bagaikan, serupa, dan
lain-lain.
Tuturan dengan menggunakan majas perumpamaan merupakan upaya
menyamarkan maksud atas dasar pertimbangan agar mitra tutur tidak merasa
dipermalukan di depan umum. Dengan demikian, majas perumpamaan dapat
menyelamatkan muka mitra tutur. Dengan pertimbangan itu, sebagian besar
tuturan yang menggunakan perumpamaan dapat dipersepsikan sebagai tuturan
yang santun.
3) Majas metafora
Majas metafora sebagai salah satu jenis gaya bahasa perbandingan
mampu menambah daya bahasa tuturan. Dengan metafora, seorang penutur
mampu melukiskan atau menggambarkan suatu objek melalui komparasi atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
kontras. Metafora adalah suatu jenis gaya bahasa yang membuat
perbandingan secara langsung antara dua hal atau benda untuk menciptakan
suatu kesan mental yang hidup.
4) Majas eufemisme
Eufemisme adalah salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang
membandingkan dua hal dengan menggunakan pembanding yang lebih halus.
Hal ini dimaksudkan penutur tidak menyinggung perasaan mitra tutur, atau
ungkapan yang dapat dipersepsi menghina, menyinggung perasaan atau
mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi mitra tutur.
Majas eufimisme bertujuan memperhalus penyampaian maksud yang
sesungguhnya. Karena majas eufemisme digunakan dengan tujutan
menghaluskan tuturan, tuturan menjadi lebih santun.
2.6.3 Kategori Fatis
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan,
atau megkukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian
besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada
umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis
terhadap dalam kalimat-kalimat nonstandar yang banyak mengandung unsur-
unsur daerah atau dialek regional. Berikut ini adalah bentuk-bentuk dari kata fatis
(Kridalaksana, 1986:113–118).
1) ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh.
2) ayo menekankan ajakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
3) deh menekankan pemksaan dengan membujuk, pemberian persetujuan,
pemberian garansi, sekedar penekanan.
4) dong digunakan untuk menghaluskan perintah, menekankan kesalahan kawan
bicara.
5) ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara.
6) halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon,
serta menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.
7) kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan
merupakan kependekan dari kata bukan atau bukanlah, dan tugasnya ialah
menekankan pembuktian. Apabila kan terletak di tengah kalimat maka kan
juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan.
8) kek mempunyai tugas menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan
menggantikan kata saja.
9) kok menekankan alasan dan pengingkaran. Kok dapat juga bertugas sebagai
pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat.
10) -lah menekankan kalimat imperatif dan penguat sebutan dalam kalimat.
11) lho bila terletak di awal kalimat bersifat seperti interjeksi yang menyatakan
kekagetan. Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas
menekankan kepastian.
12) mari menekankan ajakan.
13) nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk minta supaya kawan
bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
14) pun selalu terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas
menonjolkan bagian tersebut.
15) selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami
sesuatu yang baik.
16) sih memiliki tugas menggantikan tugas –tah dan –kah, sebagai makna
‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan.
17) toh bertugas menguatkan maksud; adakalanya memiliki arti yang sama
dengan tetapi.
18) ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan
bicara, bila dipakai pada awal ujaran dan meminta persetujuan atau pendapat
kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran.
19) yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah
pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian
terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam
kalimat sebelumnya, bila dipakai pada awal ujaran; atau keragu-raguan atau
ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila di tengah
ujaran.
2.7 Unsur Suprasegmental
Selain unsur segmental, kalimat juga memiliki unsur suprasegmental. Jika
unsur segmental merupakan unsur yang ada dalam kalimat tertulis, unsur
suprasegmental merupakan unsur yang ada dalam kalimat lisan. Nada, tekanan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
dan intonasi adalah bagian dari unsur suprasegmental. Setiap bagian unsur
tersebut dijelaskan sebagai berikut.
2.7.1 Nada
Pranowo (2009:77) mengemukakan bahwa aspek nada dalam bertutur lisan
memperngaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya
ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika
suasana hati sedang senang, nada bicara penutur menaik dengan ceria sehingga
terasa menyenangkan. Jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur
menurun dengan datar sehingga terasa menyedihkan. Jika suasana hati sedang
marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras, kasar sehingga terasa
mekutkan.
Nada bicara tidak dapat disembunyikan dari tuturan. Dengan kata lain,
nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati penuturnya. Namun,
bagi penutur yang ingin bertutur secara santun, hendaknya dapat mengendalikan
diri agar suasana hati yang negatif tidak terbawa dalam bertutur kepada mitra
tutur.
Muslich (2009:112) berpendapat bahwa dalam penuturan bahasa Indonesia,
tinggi-rendahnya (nada) suara tidak fungsional atau tidak membedakan makna.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembedaan makna, nada dalam bahasa
Indonesia tidak fonemis. Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak berarti
nada tidak ada dalam bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi
segmental diucapkan dengan frekuens getaran yang tinggi, tentu akan disertai
dengan nada tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran
rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Karena hal itu, nada
dibedakan menjadi empat macam (Achmad & Alek, 2013:33−34), yaitu:
1) Nada yang paling tinggi, diberi tanda dengan angka 4
2) Nada tinggi, diberi tanda dengan angka 3
3) Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2
4) Nada rendah, diberi tanda dengan angka 1
2.7.2 Tekanan
Berbeda dengan nada, tekanan bahasa Indonesia berfungsi membedakan
maksud dalam tataran kalimat, tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam
tataran kata. Pada tataran kalimat, tidak semua kata mendapat tekanan yang sama.
Hanya kata-kata yang dipentingkan atau dianggap penting saja yang mendapatkan
tekanan. Oleh karena itu, pendengar harus mengetahui ‘maksud’ di balik makna
tuturan yang didengarnya (Muslich, 2009:113).
Achmad dan Alek (2013:33−34) berpendapat bahwa tekanan menyangkut
masalah keras lunaknya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan
arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti
dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang
diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit,
pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
sporadis, mungkin juga telah berpola; mungkin juga bersifat distingtif, dapat
membedakan makna,mungkin juga tidak distingtif
2.7.3 Intonasi
Muslich (2009:115−117) menjelaskan bahwa intonasi dalam bahasa
Indonesia sangat berperan dalam pembedaan maksud kalimat. Bahkan, dengan
dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa Indonesia dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah
(imperatif). Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga kalimat tersebut.
1) Kalimat berita (deklaratif) ditandai dengan pola intonasi datar-turun, yaitu 2 3
1 t. Pola intonasi kalimat berita dalam penulisan dilambangkan dengan tanda
titik tunggal (.).
2) Kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola intonasi datar-naik, yaitu 2 3
3 n . Pola intonasi kalimat tanya dalam penulisan dilambangkan dengan tanda
tanya (?).
3) Kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi datar-tinggi, yaitu
3 3 3 g . Pola intonasi kalimat perintah dalam penulisan dilambangkan dengan
tanda seru (!).
Selain ketiga jenis kalimat tersebut, Keraf (1991:208) menambahkan
kalimat seru dalam jenis kalimat. Kalimat seru adalah kalimat yang menyatakan
perasaaan hati, kekaguman, atau keheranan terhadap suatu hal. Kalimat ini
dinyatakan dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
2.8 Teori Maksud
Rahardi (2003:16−17) menjelaskan mengenai ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud
penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka dapat pula dikatakan bahwa
pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa
yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi,
sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antarkeduanya adalah bahwa
pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan
sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.
Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks (context
dependent), sedangkan makna yang dikaji di dalam semantik berciri bebas
konteks (context independent). Makna yang dikaji di dalam semantik bersifat
diadik (diadic meaning), sedangkan dalam pragmatik makna itu bersifat triadik
(triadic meaning). Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud penutur,
semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan linguan an sich,
yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks situasi masyarakat
dan kebudayaan tertentu yang menjadi wadahnya.
Sesuai dengan pendapat Rahardi, Wijana (1996: 2) juga menjelaskan
bahwa makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat oleh konteks.
Hal ini berbeda dengan semantik yang menelaah makna yang bebas konteks yaitu
makna linguistik, sedangkan pragmatik adalah maksud tuturan. Semantik tidak
dapat dipisahkan dari kajian pemakaian bahasa. Jika, makna juga diakui sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa, maka sulit diingkari pentingnya
konteks pemakaian bahasa karena makna itu selalu berubah-ubah berdasarkan
konteks pemakaiannya. Konteks tuturan dalam bentuk bahasa yang berbeda dapat
mempunyai arti yang sama, sedangkan tuturan yang sama dapat mempunyai arti
atau maksud yang lain.
Perbedaan antara makna, maksud, dan informasi juga diungkapkan oleh I
Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi dalam buku yang berjudul
“Semantik: Teori dan Analisis” (2008:10–11). Makna berbeda dengan maksud
dan informasi karena maksud dan informasi bersifat di luar bahasa. Maksud ialah
elemen luar bahasa yang bersumber dari pembicara, sedangkan informasi adalah
elemen luar bahasa yang bersumber dari isi tuturan. Maksud bersifat subjektif,
sedangkan informasi bersifat objektif. Perbedaan antara makna, maksud, dan
informasi akan lebih jelas dilihat pada kalimat (1), (2), (3), dan (4) berikut.
(1) Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya 9.
(2) Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya saja 4,5.
(3) Ayah membeli buku.
(4) Buku ini dibeli ayah.
Kata “pandai” dalam kalimat (1) bermakna “pintar” karena secara internal
memang kata “pandai” bermakna demikian. Kata “pandai” dalam kalimat (1) yang
bermakna internal “pintar” dimaksudkan secara subjektif oleh penuturnya untuk
mengungkapkan bahwa dia bodoh. Pengungkapannya yang bersifat subjektif
inilah yang disebut “maksud”. “Pandai” yang menyatakan “pintar” pada kalimat
(1) disebut makna linguistik (linguistic meaning), sedangkan “pandai” yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
menyatakan “bodoh” pada kalimat (2) disebut makna penutur (speaker meaning).
Makna linguistik (makna)menjadi bahan kajian semantik, sedangkan makna
penutur (maksud) menjadi bahan kajian pragmatik. Kalimat (3) jelas memiliki
perbedaan makna (gramatikal) dengan kalimat (4). Kalimat (3) adalah kalimat
aktif, sedangkan kalimat (4) adalah kalimat pasif. Akan tetapi, berdasarkan isi
tuturan secara objektif kedua kalimat di atas menyatakan informasi yang sama,
yakni “ayah yang membeli buku” dan “buku yang dibeli ayah”.
2.9 Kerangka Berpikir
Ketidaksantunan merupakan suatu fenomena baru dalam sudi pragmatik.
Ketidaksantunan berbahasa muncul dari perkembangan pengguna bahasa yang
pada kenyataannya belum bisa berbahasa santun dalam kehidupan sehari-hari.
Ketidaksantunan berbahasa biasanya muncul di dalam keluarga. Ketidaksantunan
ini berkembang dalam ranah keluarga karena berbagai faktor. Kini, di dalam
keluarga, tidak ada lagi batas antara orang tua dan anak. Saat ini, batas-batas yang
dulu sangat terlihat justru semakin dihapus dengan berbagai pertimbangan. Salah
satunya adalah pertimbangan kedekatan emosional. Hubungan antara anggota
keluarga kini diharapkan saling terbuka dan semakin erat, tetapi keadaan tersebut
telah memunculkan permasalahan yang mungkin tidak disadari oleh anggota
keluarga tersebut. Permasalahan tersebut adalah pemakaian bahasa yang tidak
santun oleh setiap anggota keluarga. Hal inilah yang menjadi fenomena baru
dalam studi pragmatik dan menjadi kajian dari penelitian ini, yaitu
ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Penelitian ini menggunakan lima teori ketidaksantunan berbahasa untuk
menguraikan tuturan ketidaksantunan yang diperoleh. Pertama, teori
ketidaksantunan menurut Miriam A Locher (2008), yaitu tindak berbahasa yang
melecehkan muka (face-aggravate). Kedua, teori ketidaksantunan berbahasa
menurut Bousfield (2008), yaitu perilaku berbahasa yang mengancam muka, dan
ancaman tersebut dilakukan secara sembrono (gratuitous), sehingga tindakan
berkategori sembrono demikian mendatangkan konflik (conflictive), atau bahkan
pertengakaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful).
Ketiga, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Culpeper (2008), yaitu perilaku
komunikasi yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-
benar kehilangan muka (face lose), atau setidaknya orang tersebut merasa
kehilangan muka. Keempat, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Terkourafi
(2008), yaitu ketidaksantunan tuturan penutur yang membuat mitra tutur merasa
mendapat ancaman (addressee) terhadap kehilangan muka, tetapi penutur tidak
menyadari bahwa tuturannnya telah memberikan ancaman muka mitra tuturnya.
Kelima, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Locher and Watts, yaitu lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang secara normatif dianggap negatif karena dianggap melanggar norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu). Berdasarkan teori-teori
ketidaksantunan tersebut hasil penelitian ini berupa wujud-wujud linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dalam ranah keluarga, khususnya keluarga di lingkungan
Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Berikut ini adalah bagan dari kerangka berpikir yang sudah dipaparkan di atas.
PENANDA
KETIDAKSANTUNAN
LINGUISTIK DAN
PRAGMATIK
FENOMENA KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH KELUARGA DI LINGKUNGAN
KADIPATEN PAKUALAMAN YOGYAKARTA
CULPEPER
(2008)
LOCHER AND
WATTS (2008)
TEORI KETIDAKSANTUNAN
BERBAHASA
TEUKORAFI
(2008)
BOUSFIELD
(2008)
LOCHER
(2008)
HASIL PENELITIAN
MAKSUD
KETIDAKSANTUNAN
WUJUD
KETIDAKSANTUNAN
LINGUISTIK DAN
PRAGMATIK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang uraian jenis penelitian, data dan sumber data,
metode dan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, metode dan teknik
analisis data, sajian hasil analisis data, serta trianggulasi hasil analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ketidaksantunan pragmatik dan linguistik dalam ranah
keluarga ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang mencoba untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang
situasi, permasalahan, fenomena, layanan atau program, ataupun menyediakan
informasi tentang, misalnya kondisi kehidupan suatu masyarakat serta situasi-
situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, pengaruh dari suatu
fenomena, dan pengukuran yang cermat tentang fenomena dalam masyarakat
(Widi, 2010:47–48). Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan secara konkret dan terperinci fenomena kebahasaan yang
berkaitan dengan seluk-beluk ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ketidaksantunan berbahasa
ini adalah pendekatan kualitatif, sehingga penelitian ini termasuk dalam penelitian
kualitatif. Herdiansyah (2010:9) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu
penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks
sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Selain Herdiansyah,
definisi penelitian kualitatif juga disampaikan oleh Moleong. Penelitian kualitatif
menurut Moleong (2007:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dan lain-lain), secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
3.2 Data dan Sumber Data
Sudaryanto (1993:3) memberi batasan data sebagai bahan penelitian, yaitu
bahan jadi (lawan dari bahan mentah) yang ada karena pemilihan aneka macam
tuturan (bahan mentah). Wujud data penelitian ini yaitu bermacam-macam wujud
tuturan yang diperoleh secara natural dalam ranah keluarga yang di dalamnya
terdapat bentuk-bentuk kebahasaan yang secara linguistis maupun nonlinguistis
mengandung maksud yang tidak santun. Bentuk-bentuk kebahasaan yang
bermakna tidak santun baik secara linguistis maupun nonlinguistis tersebut
merupakan objek sasaran penelitian ini, dan sisa bentuk kebahasaan yang ada
merupakan konteksnya. Dengan demikian, data dari penelitian ini ialah objek
sasaran penelitian yang berupa bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun
bersama entitas kebahasaan yang mengikuti dan mengawalinya.
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh.
Sumber data merupakan tempat asal muasal data diperoleh (Arikunto, 2010:172).
Sumber data penelitian ini adalah anggota keluarga, khususnya keluarga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
berada di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta baik keluarga kerabat
Pakualam, maupun keluarga abdi dalem Kraton Pakualaman. Sumber data
penelitian ketidaksantunan berbahasa ini berupa rekaman hasil simakan tuturan
anggota keluarga yang diperoleh baik secara terbuka maupun tersembunyi,
sehingga diharapkan data penelitian yang diperoleh dari sumber termaksud
bersifat natural, andal, dan tepercaya.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu metode
simak dan metode cakap. Metode simak yakni menyimak pertuturan langsung di
dalam ranah keluarga yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk kebahasaan yang
mengandung makna ketidaksantunan berbahasa baik secara linguistis maupun
nonlinguistis. Adapun teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan metode
simak tersebut adalah teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam berfungsi
sebagai perekaman tuturan. Pelaksanaan merekam harus dilakukan sedemikian
sehingga tidak mengganggu kewajaran proses kegiatan pertuturan yang sedang
terjadi. Di samping teknik rekam, peneliti juga menggunakan teknik catat. Teknik
ini dilakukan dengan pencatatan pada kartu data yang dilanjutkan dengan
klasifikasi (Sudaryanto, 1993:135). Dari catatan dan/atau rekaman pertuturan
itulah data diperoleh sebagai bahan jadi penelitian ketidaksantunan berbahasa ini.
Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode cakap.
Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang
ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dengan informan. Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing,
karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya
dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan
untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun,
2005:95–96). Data penelitian ini juga didapatkan dengan cara memberikan
pancingan-pancingan tuturan, yang dimungkinkan dihadirkannya pertuturan yang
menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun. Teknik itu dapat
dilengkapi dengan pencatatan atau perekaman, baik secara langsung maupun tidak
langsung, baik secara terbuka maupun tersembunyi, sehingga hasilnya dapat
diperoleh data kebahasaan yang berupa tuturan-tuturan kebahasaan yang di
dalamnya mengandung wujud ketidaksantunan tersebut.
Karena cara pengumpulan data metode cakap berupa percakapan antara
peneliti dengan informan, metode ini dapat disejajarkan dengan metode
wawancara (Rahardi, 2009:34). Moleong (2007:186) mendeskripsikan wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Cara wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis
wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar
pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Petunjuk
wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi
wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya
tercakup. Petunjuk itu mendasarkan diri atas anggapan bahwa ada jawaban yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
secara umum akan sama diberikan oleh para responden, tetapi yang jelas tidak ada
perangkat pertanyaan baku yang disiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan
wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden
dalam konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2007:187).
3.4 Instrumen Penelitian
Suharsimi Arikunto (2010:203) menjelaskan bahwa instrumen penelitian
adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data
agar pekerjaannya menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga mudah diolah. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ketidaksantunan ini ialah petunjuk wawancara (daftar
pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal
teori ketidaksantunan berbahasa. Teori tersebut akan digunakan untuk
menganalisis penggunaan bahasa antaranggota keluarga. Data-data yang didapat
akan dicatat untuk kemudian dianalisis lebih lanjut.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Tahapan analisis data merupakan tahapan yang sangat menentukan karena
pada tahapan ini kaidah-kaidah yang mengatur keberadaan objek penelitian harus
sudah diperoleh. Mahsun (2005:253) menjelaskan bahwa analisis data merupakan
upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasi atau mengelompokkan data. Pada
tahap ini, dilakukan upaya mengelompokkan, menyamakan data yang sama dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
membedakan data yang memang berbeda, serta menyisihkan pada kelompok lain
data yang serupa, tetapi tidak sama.
Rahardi (2009:36) mengungkapkan bahwa metode analisis kontekstual
dapat disejajaran dengan metode analisis padan. Padan merupakan kata yang
bersinomim dengan kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung
makna adanya keterhubungan sehingga padan diartikan sebagai hal menghubung-
bandingkan.
Metode padan dapat dibedakan menjadi dua, yakni metode padan yang
sifatnya intralingual dan metode padan yang sifatnya ekstralingual. Metode padan
intralingual adalah metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-
unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam
beberapa bahasa yang berbeda. Metode ini digunanakan untuk menganalisis data
secara linguistik. Berbeda dengan metode padan intralingual, metode padan
ekstralingual digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual,
seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.
Dengan demikian, metode ini digunakan untuk menganalisis data secara
pragmatik (Mahsun, 2005:117–120).
Data yang telah dicatat dan diinventarisasi akan dianalisis dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Data diidentifikasi berdasarakan ciri-ciri penanda khas yang ditemukan.
2) Data diklasifikasi berdasarkan kriteria persepsi ketidaksantunan.
3) Data diinterpretasi atau dimaknai berdasarkan teori yang menjadi acuan.
4) Data dideskripsikan dalam bentuk sajian hasil analisis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
3.6 Sajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data yang berupa temuan penelitian sebagai jawaban atas
masalah yang hendak dipecahkan, haruslah disajikan dalam bentuk teori.
Penyajian hasil temuan penelitian dapat menggunakan dua metode, yaitu metode
formal dan informal (Mahsun, 2005:279). Pada penelitian ini, data yang telah
diinterpretasi dalam tahapan analisis data, hasilnya disajikan secara informal.
Penyajian hasil analisis data secara informal dapat diartikan bahwa hasil analisis
data itu dirumuskan dengan kata-kata biasa, bukan dengan simbol-simbol tertentu
karena memang hasil penelitian ini tidak menuntut model sajian yang demikian
itu.
3.7 Trianggulasi Hasil Analisis Data
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data (Moleong, 2007:330). Trianggulasi dalam
penelitian ini menggunakan dua teknik, yaitu teknik trianggulasi teori dan teknik
trianggulasi penyidik. Penggunaan teknik trianggulasi teori berfungsi untuk
membandingkan hasil temuan dengan teori ketidaksantunan berbahasa dari para
ahli bahasa. Selanjutnya, peggunaan teknik trianggulasi penyidik ialah dengan
membandingkan hasil analisis data peneliti dengan hasil analisis peneliti lain
dalam satu tim penelitian. Selain itu, peneliti juga melakukan bimbingan dengan
dosen pembimbing yaitu Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian yang berupa deskripsi data,
analisis data, dan pembahasan.
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian ini berupa tuturan langsung yang menunjukkan
ketidaksantunan dari setiap orang yang berkomunikasi dengan anggota keluarga.
Keluarga tersebut merupakan keluarga yang berada di lingkungan Kadipaten
Pakualaman Yogyakarta dan masih memiliki hubungan dengan Kraton
Pakualaman, yaitu keluarga kerabat Pakualam ataupun keluarga abdi dalem
Kraton Pakualaman. Data dikumpulkan dari bulan April hingga bulan Juni 2013.
Jumlah data yang terkumpul untuk dianalisis adalah 55 tuturan. Karena penelitian
ini merupakan penelitian kualitiatif, kelima puluh lima tuturan tidak santun
tersebut telah menjukkan fenomena ketidaksantunan yang ada di lingkungan
keluarga. Jumlah data tuturan yang terkumpul berdasarkan kategori
ketidaksantunannya adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan
No. Kategori Ketidaksantunan Jumlah Tuturan
1. Melanggar Norma 4
2. Mengancam Muka Sepihak 9
3. Melecehkan Muka 19
4. Menghilangkan Muka 14
5. Menimbulkan Konflik 9
JUMLAH 55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Jumlah tuturan yang diperoleh dalam setiap kategori ketidaksantunan
berbeda-beda. Namun, dari lima kategori ketidaksantunan terdapat satu kategori
ketidaksantunan yang memiliki jumlah terbanyak, yaitu kategori melecehkan
muka. Setiap kategori ketidaksantunan memiliki makna ketidaksantunan yang
berbeda-beda pula. Makna ketidaksantunan tersebut menjadi subkategori dari
setiap kategori ketidaksantunan. Adanya subkategori bukan sebagai penentu
santun tidaknya suatu tuturan, tetapi subkategori hanya berfungsi sebagai
pembeda makna suatu tuturan. Santun tidaknya suatu tuturan tergantung dari
tuturan tersebut dan konteks yang menyertainya. Berikut ini adalah tabel
persentase jumlah subkategori dalam setiap kategori ketidaksantunan.
Tabel 2. Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Ketidaksantunan
No.
Kategori
Ketidak-
santunan
Subkategori Ketidaksantunan
Jum
lah
Per
sen
tase
tu
tura
n
(%)
Men
jan
jik
an
Men
ola
k
Kes
al
Mem
erin
tah
Men
yin
dir
Men
gan
cam
Men
yal
ahk
an
Men
gej
ek
Mel
aran
g
1. Melanggar
norma 2 1 1 4 7,27
2. Mengancam
muka sepihak 1 1 2 4 1 9 16,36
3. Melecehkan
muka 6 3 7 1 2 19 34,55
4. Menghilangkan
muka 2 8 1 3 14 25,45
5. Menimbulkan
konflik 2 1 1 2 1 2 9 16,36
Jumlah 3 3 9 8 19 3 1 7 2 55
Persentase tuturan (%) 5,45 5,45 16,36 14,55 34,55 5,45 1,82 12,73 3,64 100,00
Berdasarkan tabel di atas, jumlah terbanyak data yang terekam adalah
subkategori menyindir sebanyak 19 tuturan (34,55%), subkategori kesal dengan 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
tuturan (16,36%), dan subkategori memerintah sebanyak 8 tuturan (14,55%).
Setelah ketiga subkategori tersebut, terdapat subkategori mengejek 7 tuturan
(12,73%). Selanjutnya, subkategori menjanjikan, menolak, dan mengancam
dengan jumlah setiap subkategori 3 tuturan (5,45%), subkategori melarang ada 2
tuturan (3,64%), serta subkategori menyalahkan dengan 1 tuturan (1,82%).
Dengan melihat tabel di atas, tuturan yang telah diperoleh termasuk dalam
lima kategori ketidaksantunan, yaitu melanggar norma, mengancam muka
sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik.
Setiap kategori ketidaksantunan tersebut mengandung subkategori
ketidaksantunan yang berbeda-beda. Subkategori ketidaksantunan yang
ditemukan dalam kelima kategori ketidaksantunan tersebut adalah menyindir,
kesal, memerintah, mengejek, menjanjikan, menolak, mengancam, melarang, dan
menyalahkan. Berikut ini adalah sajian data yang akan dianalisis dalam penelitian
ini.
4.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Tuturan di bawah ini merupakan tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan melanggar norma. Berdasarkan tabel sebelumnya, kategori
ketidaksantunan melanggar norma terdapat 4 tuturan dengan 3 subkategori
ketidaksantunan. Keempat tuturan tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
No. Subkategori Kode Tuturan
1. Menjanjikan A1 “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.”
A3 “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
2. Menolak A2 “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta,
Bu.”
3. Kesal A4 “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis
malem ta?”
4.1.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, kategori ketidaksantunan
mengancam muka sepihak yang ditemukan berjumlah 9 tuturan dan menunjukkan
5 subkategori ketidaksantunan. Berikut ini adalah tabel tuturan kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak.
Tabel 4. Data tuturan Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
No. Subkategori Kode Tuturan
1. Menyindir B1 “Urung-urung kok wis terima kasih, wa
berarti udah selesai.”
B7 “Masalahnya kamu itu ngeyel.”
B8 “Di ajari bola-bali kok ra dong-dong!”
B9 “Ibu ki ora gaul.”
2. Memerintah B2 “Udah-udah sana, karo mama kana!”
B5 “Mbah ngelih Mbah, cepet ta Mbah selak
laper je Mbah!”
3. Menjanjikan B3 “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-
pakai.”
4. Kesal B4 “Nggak suka mbah kakung.”
5. Mengejek B6 ”Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur
wae.”
4.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Data tuturan kategori ketidaksantunan melecehkan muka yang telah
ditemukan berjumlah 19 tuturan. Kesembilan belas tuturan tersebut terdiri dari 6
subkategori yang berbeda. Tuturan-tuturan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Tabel 5. Data tuturan Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
No. Subkategori Kode Tuturan
1. Kesal C1 “Piye Be utange? Piye Be?”
C4 “Yak yakan!”
C7 “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.”
C8 “Hais kowe ki!”
C17 “Ngopo kowe?”
C19 “Halah senengane! Nyebai tenan kowe ki.”
2. Memerintah C2 “Kae, anakmu dipisah kae! Ora sing tua, ora
sing enom pada wae.”
C3 “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang
laper.”
C9 “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!”
3. Menyindir
C5 “Wo cah pethuk! Masak ibune lunga ora
ngerti.”
C10 “Salahe nonton tipi terus.”
C12 “Hah ngongkon kowe ki mung marake gela.”
C13 “Wis tutuk le dolan?”
C14 “Nyapu ngono wae ora resik.”
C15 “Dikandani kok ngeyele pol!”
C18 “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-
rampung.”
5. Mengejek C6 “Dasar anake wong edan!”
C16 “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi
nggak bisa pakainya.”
6. Mengancam C11 ”Tenane? Nek salah kowe lho.”
4.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Tuturan berikut ini merupakan tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan menghilangkan muka. Berdasarkan tabel 1 dan tabel 2, kategori
ketidaksantunan menghilangkan muka terdapat 14 tuturan yang mengandung 4
subkategori ketidaksantunan. Kelima belas tuturan tersebut adalah sebagai
berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Tabel 6. Data tuturan Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
No. Subkategori Kode Tuturan
1. Menyindir D1 “Anak saya itu kalau nggak ada ibu e manut,
kalau ada ibu e malah nggak manut, malah
padu e.”
D2 “Kalau pas ada ibu e, kesete.”
D4 “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.”
D6 “Mbok kaya mas, bubukan. Ora dolan wae.”
D7 “Cilik-cilik ning senenge sinetron kuwi,
Mbak.”
D8 “Ibu ki smsan terus.”
D11 “Biasanya, dia paling nganggur.”
D14 “Lanang wedok, siang malem, maenan terus.”
2. Mengejek D3 “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.”
D12 “Jaket wis bau koyo ngono isih wae dienggo.”
D13 “Hapene ibu ki wis jadul.”
3. Menyalahkan D5 “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu
kuwi!”
4. Memerintah D9 “Ayo bali! Dolan wae.”
D10 “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra
iso.”
4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, kategori ketidaksantunan
menimbulkan konflik yang ditemukan berjumlah 9 tuturan dan menunjukkan 6
subkategori ketidaksantunan. Berikut ini adalah tabel tuturan kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak.
Tabel 7. Data tuturan Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
No. Subkategori Kode Tuturan
1. Melarang E1 “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis!”
E2 “Ndak boleh! Ini buat aku.”
2. Mengancam E3 “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen,
tak obrak-abrik!”
E7 “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong,
jangan di sanggah!”
3. Memerintah E4 “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu
di dalam sana, heran.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
4. Mengejek E5 “Yo ben, yo ben.”
5. Menolak E6 “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.”
E9 “Wegah! Mas wae kae lho.”
6. Kesal E8 “Senengane nek ngrampungke gawean kok
ora tuntas!”
4.2 Analisis Data
Data tuturan telah diidentifikasi, diklasifikasi, dikategorisasi, dan
dikodifikasi di dalam tabulasi. Aspek-aspek yang diidentifikasi yakni kategori
ketidaksantunan tuturan, penanda ketidaksantunan tuturan, dan konteks tuturan.
Dari tabulasi tersebut, data tuturan dianalisis lebih lanjut dan disajikan dengan 3
hal berikut, yaitu (1) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, dan (3) maksud ketidaksantunan
penutur. Analisis data didasarkan pada tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam
lima kategori ketidaksantunan. Kelima kategori ketidaksantunan yang telah
ditemukan di dalam tuturan-tuturan antara anggota keluarga, yaitu melanggar
norma, mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan
menimbulkan konflik. Analisis lebih lanjut mengenai ketidaksantunan linguistik
dan pragmatik berbahasa di dalam keluarga adalah sebagai berikut.
4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Locher and Watts (2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun
adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked
behavior) karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Kedua ahli tersebut juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti
untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Suatu tuturan dalam kategori melanggar norma terjadi bila tuturan penutur
terjadi saat penutur telah atau berusaha melanggar suatu hal yang telah disepakati
dengan mitra tutur. Suatu tuturan dalam kategori ini dikatakan tidak santun, jika
tuturan penutur membuat mitra tutur kesal.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma
ditemukan empat tuturan. Keempat tuturan tersebut terbagi dalam ketiga
subkategori, yaitu subkategori menjanjikan, menolak, dan kesal. Berikut ini
contoh tuturan tersebut.
4.2.1.1 Subkategori Menjanjikan
Subkategori menjajikan muncul akibat tuturan penutur yang secara sengaja
atau tidak sengaja menunjukkan bahwa penutur seolah-olah berjanji akan
melakukan sesuatu di waktu yang akan datang. Pada kategori melanggar norma,
subkategori menjanjikan lebih berhubungan dengan suatu perjanjian atau
kesepatan yang telah diketahui oleh anggota keluarga. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menjanjikan.
Cuplikan 1
MT : Jangan main game terus, Dik! Udah jam berapa ini? Belajar sana!
P : Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya. (A1)
MT : Awas kalau besok nilainya jelek.
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 6 tahun, kelas 1 SD. Mitra tutur
perempuan berumur 41 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi
di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur sedang bermain game sampai lupa
waktu. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk berhenti bermain karena sudah
waktunya untuk belajar. Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur.)
Cuplikan 3
MT : Heh uwis le dolanan laptop kuwi!
(He, sudah yang mainan laptop itu!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
P : Kosik ta, iya-iya dilit maneh. (A3)
(Sebentar ta, iya-iya sebentar lagi.)
MT : Wis jam pira iki? Sinau-sinau!
(Sudah jam berapa ini? Belajar-belajar!)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 14 tahun, kelas IX SMP. Mitra tutur
perempuan 37 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
makan, saat sore hari. Penutur asyik bermain laptop. Mitra tutur mengingatkan
penutur untuk mematikan laptop karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur
tidak mengindahkan perintah mitra tutur.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (A1): “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.”
Tuturan (A3): “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.” (Sebentar ta, iya-iya sebentar
lagi)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (A1): Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur. Penutur
tidak merasa bersalah. Penutur berbicara dengan ketus. Penutur tidak
memandang mitra tutur ketika berbicara. Penutur berbicara dengan orang tua.
Tuturan (A3): Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur. Penutur
tidak merasa bersalah. Penutur berbicara dengan ketus. Penutur tidak
memandang mitra tutur ketika berbicara. Penutur berbicara dengan orang
yang lebih tua.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (A1): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan kata yang tidak baku, yaitu
kata “bentar” dan kata “lagi”. Kata fatis yang terdapat dalam tuturan (A1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
ialah “ta”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan digunakan
pada kata “bentar”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi berita.
Tuturan (A3): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat dalam tuturan (A3) ialah “ta”. Penutur berbicara dengan nada naik
tinggi. Tekanan digunakan pada kata “kosik”. Intonasi yang digunakan
penutur ialah intonasi berita.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (A1): Penutur laki-laki berumur 6 tahun, kelas 1 SD. Mitra
tutur perempuan berumur 41 tahun. Mitra tutur adalah ibu penutur. Tuturan
terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur asyik bermain game
sampai lupa waktu. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk berhenti bermain
karena sudah waktunya untuk belajar. Tujuan penutur dari tuturannya ialah
penutur tidak mau diganggu saat bermain game. Tindak verbal dari tuturan
penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur adalah mengancam penutur.
Konteks tuturan (A3): Penutur perempuan berumur 13 tahun, kelas VII
SMP. Mitra tutur perempuan berumur 22 tahun. Penutur adalah adik mitra
tutur. Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur asyik
bermain laptop. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk mematikan laptop
karena sudah waktunya untuk belajar. Tujuan penutur dari tuturannya ialah
penutur tidak mau mematikan laptopnya. Tindak verbal dari tuturan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur
adalah menggapi penutur dengan kesal.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (A1): Penutur bermaksud menolak untuk mematikan game-nya.
Tuturan (A3): Penutur bermaksud menolak untuk mematikan laptop.
4.2.1.2 Subkategori Menolak
Subkategori menolak terjadi karena tuturan penutur menyatakan suatu
penolakan terhadap sesuatu. Pada kategori melanggar norma, subkategori
menolak lebih berhubungan dengan suatu penolakan terhadap suautu kesepakatan
yang telah disetujui oleh anggota keluarga. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menolak.
Cuplikan Tuturan 2
P : “Bu, sekalian cuciin piringku ya!”
MT : “Wegah. Wong wis peraturane, cuci piring sendiri-sendiri.”
(Tidak mau. Sudah peraturannya, cuci piring sendiri-sendiri.)
P : “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” (A2)
(Ah malas. Sekali-sekali tidak ya tidak apa-apa, Bu.) (Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 14 tahun, kelas IX SMP. Mitra tutur
perempuan 37 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Penutur dan mitra tutur
berada di dalam rumah. Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur
dan mitra tutur sedang makan malam. Di dalam keluarga penutur, ada peraturan
bahwa setelah makan, setiap orang harus mencuci piring sendiri-sendiri. Setelah
selesai makan, penutur meminta mitra tutur untuk mencucikan piring miliknya.
Mitra tutur menolak untuk mencucikan piring pernutur.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (A2): “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” (Ah malas.
Sekali-sekali tidak kan tidak apa-apa, Bu)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (A2): Penutur dengan sengaja melanggar peraturan yang ada.
Penutur tidak merasa bersalah. Penutur berusaha membujuk mitra tutur untuk
menyetujui tindakannya. Penutur berbicara dengan orang tua.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (A2): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat dalam tuturan (A2) ialah “ah” dan “ta”. Penutur berbicara dengan
nada naik tinggi. Tekanan digunakan kata “males”. Intonasi yang digunakan
penutur ialah intonasi berita.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (A2): Penutur laki-laki berumur 14 tahun, kelas IX SMP.
Mitra tutur perempuan 37 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur dan mitra tutur sedang makan
malam. Di keluarga penutur, ada peraturan bahwa setelah makan, setiap orang
harus mencuci piring sendiri-sendiri. Setelah selesai makan, penutur
meminta mitra tutur untuk mencucikan piring miliknya. Mitra tutur menolak
untuk mencucikan piring pernutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah
penutur malas untuk mencuci piring. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah
komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur adalah
meninggalkan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (A2): Penutur bermaksud menolak untuk mengerjakan
kewajibannya mencuci piring setelah makan.
4.2.1.3 Subkategori Kesal
Subkategori kesal terjadi ketika penutur mengungkapkan ekspresi
kekesalannya kepada mitra tutur. Pada kategori melanggar norma, subkategori
kesal lebih berhubungan dengan suatu bentuk ekspresi penutur terhadap suautu
kesepakatan yang telah disetujui oleh anggota keluarga. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori kesal.
Cuplikan Tuturan 4
MT : “Saka ngendi wae? Jare bali jam wolu, lha kok tekan bengi.”
(Dari mana saja? Katanya pulang jam delapan, kok sampai malam.)
P : “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” (A4)
(Ya ampun, Bu. Baru jam sembilan masak sudah malam?)
MT : “Karepe bengi ki jam pira?”
(Maunya malam itu jam berapa?)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 22 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 45 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi di luar
rumah, saat malam hari. Penutur baru pulang ke rumah. Penutur melihat mitra
tutur yang baru saja pulang. Mitra tutur mengingatkan penutur bahwa ia pulang
sudah terlalu malam. Mitra tutur memperbolehkan penutur pergi sampai jam
delapan malam.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (A4): “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” (Ya
ampun, Bu. Baru jam sembilan masak sudah malam?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (A4): Penutur tidak merasa bersalah. Penutur berbicara dengan
malas. Penutur berbicara dengan orang tua.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (A4): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dan penyisipan
kata “malem” yang merupakan kata tidak baku dalam bahasa Indonesia. Kata
fatis yang terdapat dalam tuturan (A4) ialah “ya” dan “ta”. Penutur berbicara
dengan nada tuturn datar. Tekanan digunakan pada kata “ya ampun”. Intonasi
yang digunakan penutur ialah intonasi tanya.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (A4): Penutur perempuan berumur 22 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 45 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan
terjadi di luar rumah, saat malam hari. Penutur baru pulang ke rumah. mitra
tutur melihat penutur yang baru saja pulang. Mitra tutur mengingatkan
penutur bahwa ia pulang sudah terlalu malam, padahal mitra tutur
memperbolehkan penutur pergi sampai jam delapan malam. Tujuan penutur
dari tuturannya ialah penutur memberikan pembelaan diri karena mitra tutur
menganggap ia pulang terlalu malam. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah
ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur adalah
menggapi penutur dengan kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (A4): Penutur bermaksud memprotes mitra tutur yang terlalu kaku
terhadap waktu.
4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Terkourafi (2008:3–4) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness
occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is
attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)
merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur
(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
Suatu tuturan dalam kategori mengancam muka sepihak terjadi bila
penutur tidak sengaja mengucapkan suatu tuturan yang membuat mitra tutur
tersinggung. Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi
tidak santun.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan mengancam muka
sepihak ditemukan sembilan tuturan. Kesembilan tuturan tersebut terbagi dalam
lima subkategori, yaitu subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal,
dan mengejek. Berikut ini contoh wujud tuturan tersebut.
4.2.2.1 Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir dalam kategori mengancam muka sepihak terjadi
ketika penutur secara tidak sengaja membuat mitra tutur tersindir atau tersinggung
akibat tuturan penutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam
subkategori menyindir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Cuplikan tuturan 11
MT : “Mas, aku njaluk pit ro bapak ora oleh.”
(Mas, saya minta sepeda sama bapak tidak boleh.)
P : “Masalahnya kamu itu ngeyel.” (B7)
MT : “Ngeyel piye? Ora yo.”
(Ngeyel bagaimana? Tidak kok.)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 22 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 12 tahun tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan terjadi di
depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur bertanya kepada penutur mengapa
orang tuanya tidak mau membelikan sepeda. Penutur menjawab pertanyaan mitra
tutur.)
Cuplikan tuturan 12
MT : “Piye iki?”
(Bagaimana ini?)
P : “Diajari bola-bali kok ra dong-dong!” (B8)
(Dilatih berkali-kali kok tidak mengerti!)
MT : “Wis ora sida.”
(Sudah tidak jadi.)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 23 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 55 tahun tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi ruang
keluarga, saat sore hari. Mitra tutur meminta bantuan penutur untuk
mengajarinya memakai komputer. Penutur sudah berkali-kali mengajari mitra
tutur. Mitra tutur tidak bisa mengingat ajaran penutur.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B7): “Masalahnya kamu itu ngeyel.”
Tuturan (B8): “Diajari bola-bali kok ra dong-dong!” (Dilatih berkali-kali
kok tidak mengerti!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (B7): Penutur berbicara dengan ekspresi sinis. Penutur berbicara
dengan tidak memperhatikan mitra tutur. Penutur tidak bermaksud menyindir
mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat mitra tutur tersinggung.
Tuturan (B8): Penutur berbicara dengan ekspresi sinis. Penutur berbicara
dengan tidak memperhatikan mitra tutur. Penutur tidak bermaksud menyindir
mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat mitra tutur tersinggung.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B7): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa populer yang
merupakan bahasa sehari-hari. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi.
Tekanan digunakan pada kata “ngeyel”. Intonasi yang digunakan penutur
ialah intonasi berita.
Tuturan (B8): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat dalam tuturan (B8) ialah “kok”. Penutur berbicara dengan nada naik
tinggi. Tekanan digunakan pada frasa “ra dong-dong”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (B7): Penutur laki-laki berumur 22 tahun. Mitra tutur laki-
laki berumur 12 tahun tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan
terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur bertanya kepada penutur
mengapa orang tuanya tidak mau membelikan sepeda. Penutur menjawab
pertanyaan mitra tutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
menjawab pertanyaan mitra tutur sesuai dengan kenyataan. Tindak verbal dari
tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak
perlokusi mitra tutur memberikan pembelaan diri.
Konteks tuturan (B8): Penutur laki-laki berumur 23 tahun. Mitra tutur laki-
laki berumur 55 tahun tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi
ruang keluarga, saat sore hari. Mitra tutur meminta bantuan penutur untuk
mengajarinya memakai komputer. Penutur sudah berkali-kali mengajari mitra
tutur. Mitra tutur tidak bisa mengingat ajaran penutur. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah penutur mengungkapkan kelelahannya kepada mitra tutur
yang selalu menanyakan hal yang sama. Tindak verbal dari tuturan penutur
ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur
tidak jadi meminta bantuan penutur.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (B7): Penutur bermaksud mengejek mitra tutur yang dianggap
selalu tidak patuh.
Tuturan (B8): Penutur bermaksud mengungkapkan rasa kesalnya kepada
mitra tutur yang selalu meminta diajari.
4.2.2.2 Subkategori Memerintah
Subkategori memerintah terjadi dalam kategori mengancam muka sepihak
ketika tuturan penutur seolah-olah atau memang bermaksud memberikan perintah
kepada mitra tutur, tetapi penutur secara tidak sengaja telah membuat mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
tersinggung akibat tuturan penutur yang tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut
ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori memerintah.
Cuplikan tuturan 6
MT : “Pa, ayo temenin main!”
P : “Sebentar, Dik.”
MT : “Ayo! Ayo!”
P : “Udah-udah sana, karo mama kana!” (B2)
(Sudah-sudah sana, sama mama sana!)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 56 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 4 tahun. Penutur adalah ayah mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat siang hari. Penutur sedang mengerjakan tugas. Mitra tutur
mengajak penutur bermain sehingga mengganggu pekerjaan penutur. Penutur
yang merasa terganggu meminta mitra tutur untuk bermain dengan ibunya.)
Cuplikan tuturan 9
P : “Mbah masak apa?”
MT : “Sego goreng.”
(Nasi goreng.)
P : “Mbah ngelih Mbah, cepet ta Mbah selak laper je Mbah!” (B5)
(Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah!)
MT : “Mbok ya ngewangi kene!”
(Ya bantuin sini!)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur
perempuan berumur 56 tahun. Penutur adalah cucu mitra tutur.Tuturan terjadi di
ruang tamu, saat siang hari. Penutur melihat mitra tutur memasak. Penutur tidak
membantu mitra tutur yang memasak.Mitra tutur tidak tahu kalau penutur juga
berada di dapur.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B2): “Udah-udah sana, karo mama kana!” (Sudah-sudah sana,
sama mama sana.)
Tuturan (B5): “Mbah, ngelih Mbah. Cepet ta Mbah, selak laper je Mbah!”
(Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (B2): Penutur berbicara dengan tidak memandang mitra tutur.
Penutur berbicara sambil mendorong pelan mitra tutur supaya menjauh.
Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur merasa
tidak diinginkan keberadaannya di dekat penutur.
Tuturan (B5): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur
berbicara kepada orang yang lebih tua. Penutur hanya memberikan perintah
tanpa membantu mitra tutur.Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah
membuat mitra tutur kesal.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B2): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penyisipan kata “karo” dan “kana” dalam
bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan digunakan
pada kata “kana”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.
Tuturan (B5): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dan penyisipan
kata “laper” yang merupakan kata tidak baku dalam bahasa Indonesia. Kata
fatis yang terdapat dalam tuturan (B6) ialah “ta” dan “je”. Penutur berbicara
dengan nada naik tinggi. Tekanan digunakan pada klausa “cepet ta Mbah”.
Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (B2): Penutur laki-laki berumur 56 tahun. Mitra tutur laki-
laki berumur 4 tahun. Penutur adalah ayah mitra tutur. Tuturan terjadi di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang mengerjakan tugas. Mitra
tutur mengajak penutur bermain sehingga mengganggu pekerjaan penutur.
Penutur yang merasa terganggu meminta mitra tutur untuk bermain dengan
ibunya. Tujuan penutur dari tuturannya ialah meminta mitra tutur untuk
bermain dengan ibunya karena merasa tengganggu. Tindak verbal dari tuturan
penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur adalah menangis, lalu pergi meninggalkan penutur.
Konteks tuturan (B5): Penutur perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD.
Mitra tutur perempuan berumur 56 tahun. Penutur adalah cucu mitra
tutur.Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur melihat mitra
tutur memasak. Penutur tidak membantu mitra tutur yang memasak.Mitra
tutur tidak tahu kalau penutur juga berada di dapur. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah penutur meminta mitra tutur untuk segera menyelesaikan
masakannya. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan
tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur adalah menimpali tuturan
penutur dengan kesal.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (B2): Penutur bermaksud memberikan pengertian kepada mitra
tutur.
Tuturan (B5): Penutur bermaksud memohon kepada mitra tutur untuk segera
menyelesaikan masakannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
4.2.2.3 Subkategori Menjanjikan
Subkategori menjajikan dalam kategori mengancam muka sepihak muncul
akibat tuturan penutur yang secara sengaja atau tidak sengaja menunjukkan bahwa
penutur berjanji akan melakukan sesuatu. Namun, penutur secara tidak sengaja
telah membuat mitra tutur tersinggung akibat tuturannya yang tidak berkenan oleh
mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori
menjanjikan.
Cuplikan tuturan 7
MT :” Ma, pakaiin baju superman!”
P : “Sebentar ta.”
MT : “Pakaiin!”
P : “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.” (B3)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 42 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 4 tahun. Penutur adalah ibu mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat siang hari. Penutur sedang menggendong adik mitra tutur. Mitra
tutur meminta penutur untuk memakaikan baju superman. Penutur belum bisa
memakaikan baju kepada penutur karena masih menggendong adik mitra tutur.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B3): “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.”
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (B3): Penutur menanggapi mitra tutur dengan tidak serius. Penutur
berbicara tanpa melihat mitra tutur. Penutur tidak merasa kalau tuturannya
telah membuat mitra tutur merasa tidak diperhatikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B3): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa populer yang
merupakan bahasa sehari-hari. Kata fatis yang terdapat dalam tuturan (B4)
ialah “ta”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan digunakan
pada kata “sebentar”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi berita.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (B3): Penutur laki-laki berumur 42 tahun. Mitra tutur laki-
laki berumur 4 tahun. Penutur adalah ibu mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat siang hari. Penutur sedang menggendong adik mitra tutur.
Mitra tutur meminta penutur untuk memakaikan baju superman. Penutur
belum bisa memakaikan baju kepada penutur karena masih menggendong
adik mitra tutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur belum bisa
memakaikan baju kepada mitra tutur karena masih menggendong adik mitra
tutur. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur adalah menangis.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (B3): Penutur bermaksud memberikan pengertian kepada mitra
tutur.
4.2.2.4 Subkategori Kesal
Subkategori kesal dalam kategori mengancam muka sepihak terjadi ketika
penutur mengungkapkan ekspresi ketidaksenangannya kepada mitra tutur.
Namun, tuturan penutur secara tidak sengaja telah membuat mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
tersinggung karena tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori kesal.
Cuplikan tuturan 8
MT 1 : “Kenapa takut sama simbah kakung?”
P : “Nggak suka mbah kakung.” (B4)
MT 2 : “Simbah ki ora nyokot, kok wedi.”
(Simbah itu tidak menggigit, kok takut.)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur 1
perempuan berumur 21 tahun, sebagai tamu. Mitra tutur 2 laki-laki berumur 61
tahun, sebagai kakek penutur. Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari.
Penutur berbincang dengan mitra tutur 1. Mitra tutur 1 bertanya kepada penutur
mengapa takut kepada mitra tutur 2. Mitra tutur 2 mendengar tuturan penutur.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B4): “Nggak suka mbah kakung.”
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (B4): Penutur berbicara dengan ekspresi datar dan tidak merasa
takut ketika berbicara. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya terdengar
oleh mitra tutur 2. Mitra tutur 2 merasa tersingung.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B4): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan kata yang tidak baku, yaitu
kata “nggak”. Penutur berbicara dengan nada turun datar. Tekanan digunakan
pada frasa “nggak suka”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi
berita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (B4): Penutur perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD.
Mitra tutur 1 perempuan berumur 21 tahun, sebagai tamu. Mitra tutur 2 laki-
laki berumur 61 tahun, sebagai kakek penutur. Tuturan terjadi di ruang tamu,
saat siang hari. Penutur berbincang dengan mitra tutur 1. Mitra tutur 1
bertanya kepada penutur mengapa takut kepada mitra tutur 2. Mitra tutur 2
mendengar tuturan penutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur
menjawab mitra tutur 1 dengan malu-malu karena takut terdengar oleh mitra
tutur 2. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur 2 adalah menimpali jawaban
penutur.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (B4): Penutur bermaksud mengungkapkan ketidaksengannya
terhadap mitra tutur.
4.2.2.5 Subkategori Mengejek
Subkategori mengejek dalam kategori mengancam muka sepihak terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan yang tidak disengaja seperti mengejek atau
meremehkan mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena
tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Cuplikan tuturan 10
MT : “Kancaku SMA kae wis duwe gawean saiki.”
(Temanku SMA itu sudah punya pekerjaan sekarang.)
P :”Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” (B6)
(Iya, tidak seperti kamu itu! Masih menganggur saja.)
MT : “Enak wae! Sing penting tetep usaha golek.”
(Enak saja! Yang penting tetap usaha mencari.)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 22 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 12 tahun tahun. Mitra tutur adalah adik penutur. Tuturan terjadi di
depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur menceritakan temannya yang sudah
memiliki pekerjaan. Penutur menimpali cerita mitra tutur.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B6): “Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” (Iya, tidak
seperti kamu itu! Masih menganggur saja.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (B6): Penutur berbicara dengan ketus. Penutur tidak bermaksud
menyindir mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat mitra tutur
tersinggung.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (B6): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan digunakan pada frasa “kowe
kuwi”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (B6): Penutur laki-laki berumur 22 tahun. Mitra tutur laki-
laki berumur 12 tahun tahun. Mitra tutur adalah adik penutur. Tuturan terjadi
di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur menceritakan temannya yang
sudah memiliki pekerjaan. Penutur menimpali cerita mitra tutur. Tujuan
penutur sebenarnya hanya ingin menggoda mitra tutur yang belum juga
bekerja.Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur memberikan pembelaan diri.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (B6): Penutur bermaksud menyindir mitra tutur yang masih
menganggur.
4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Miriam A Locher (2008) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating
in a particular context.’ Maksudnya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk
pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Interpretasi lain yang
berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah
bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan
muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa
yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan
dengan kata ‘aggravate’ itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Suatu tuturan dalam kategori melecehkan muka terjadi bila penutur dengan
sengaja mengucapkan suatu tuturan yang membuat mitra tutur tersinggung. Hal
inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka
ditemukan sembilan belas tuturan. Kesembilan belas tuturan tersebut terbagi
dalam lima subkategori, yaitu subkategori kesal, memerintah, menyindir,
mengejek, dan mengancam. Berikut ini contoh wujud tuturan tersebut.
4.2.3.1 Subkategori Kesal
Subkategori kesal pada kategori melecehkan muka terjadi ketika penutur
mengungkapkan ekspresi kekesalan dan ketidaksenangannya kepada mitra tutur.
Tuturan tidaksantun dalam kategori ini memang dituturkan oleh penutur dengan
sengaja, sehingga mitra tutur merasa tersinggung. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori kesal.
Cuplikan tuturan 17
MT : “Misi, Budhe.”
P : “Yak yakan!” (C4)
(Sembrono!)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 12 tahun. Penutur adalah tetangga mitra tutur. Tuturan terjadi di depan
rumah penutur saat siang hari. Mitra tutur sedang bermain dengan anak penutur
di tempat yang sama. Mitra tutur tidak sengaja menginjak kaki penutur saat
berjalan ke dalam rumah penutur. Penutur menegur mitra tutur yang dianggap
tidak memperhatikan jalan.)
Cuplikan uturan 20
MT : “Aku ngerti ngopo Ibu mageri mburi omah.”
(Aku tahu kenapa Ibu membuat pagar di belakang rumah.)
P : “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” (C7)
(Tidak peduli! Terserah omonganmu apa.)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 20 tahun. Penutur adalah ibu dari mitra tutur. Tuturan terjadi di dapur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
saat malam hari. Mitra tutur sedang memasak. Penutur menemani mitra tutur
memasak. Mitra tutur mencoba membuka pembicaraan dengan penutur. Topik
pembicaraan yang diangkat oleh mitra tutur tidak berkenan oleh penutur.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)
Tuturan (C7): “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” (Tidak peduli!
Terserah omonganmu apa.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (C4): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur
berbicara dengan membentak mitra tutur. Penutur berbicara dengan ekspresi
marah. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung dan takut. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah anak tetangganya.
Tuturan (C7): Penutur berbicara dengan memotong kalimat mitra tutur.
Penutur berbicara dengan membentak mitra tutur. Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Penutur sadar
bahwa mitra tutur adalah anaknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C4): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “yak-yakan”. Intonasi
yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Tuturan (C7): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat dalam tuturan (C7) ialah “has” Penutur berbicara dengan nada naik
tinggi. Tekanan pada kata “luweh”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (C4): Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 12 tahun. Penutur adalah tetangga mitra tutur. Tuturan
terjadi di depan rumah penutur saat siang hari. Mitra tutur sedang bermain
dengan anak penutur di tempat yang sama. Mitra tutur tidak sengaja
menginjak kaki penutur saat berjalan ke dalam rumah penutur. Penutur
menegur mitra tutur yang dianggap tidak memperhatikan jalan. Tujuan
penutur dari tuturannya ialah penutur menegur mitra tutur yang dinggap tidak
memperhatikan jalan ketika akan masuk ke dalam rumah penutur. Tindak
verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan
tindak perlokusi mitra tutur diam saja lalu meninggalkan penutur.
Konteks tuturan (C7): Penutur perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 20 tahun. Penutur adalah ibu dari mitra tutur. Tuturan
terjadi di dapur, saat malam hari. Mitra tutur sedang memasak. Penutur
menemani mitra tutur memasak. Mitra tutur mencoba membuka pembicaraan
dengan penutur. Topik pembicaraan yang diangkat oleh mitra tutur tidak
berkenan oleh penutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menolak
membicarakan topik yang dipilih oleh mitra tutur. Tindak verbal dari tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur langsung diam tidak melanjutkan pembicaraan.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (C4): penutur bermaksud menegur mitra tutur yang tidak sengaja
menginjak kakinya.
Tuturan (C7): penutur hanya bermaksud mengungkapkan rasa kesalnya
kepada mitra tutur yang dianggap terlalu ingin mencari perhatian.
4.2.3.2 Subkategori Memerintah
Subkategori memerintah terjadi ketika tuturan penutur seolah-olah atau
memang bermaksud memberikan perintah kepada mitra tutur. Tuturan tidaksantun
dalam kategori melecehkan muka ini memang dituturkan oleh penutur dengan
sengaja, sehingga membuat mitra tutur tersinggung. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori memerintah.
Cuplikan tuturan 16
MT : “Bu, gorengke endhog!”
(Bu, gorengkan telur!)
P : “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” (C3)
(Ya sana buat sendiri! Kan kamu yang lapar.)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 36 tahun. Mitra tutur perempuan
12 tahun, kelas V SD. Penutur adalah ibu mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
tamu pada saat siang hari. Penutur sedang menerima tamu di rumah. Mitra tutur
baru saja pulang dari sekolah. Penutur tidak menyiapkan makan siang, padahal
mitra tutur sudah lapar.)
Cuplikan tuturan 22
P : “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” (C9)
(Acara seperti itu ditonton. Ganti!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
MT : “Nyoh.”
(Nih.)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 16 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 13 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat malam hari. Penutur datang mendekati mitra tutur karena ingin
menonton televisi juga. Mitra tutur menonton sinetron sesukaannya. Mitra tutur
tidak suka menonton sinetron.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C3): “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” (Ya sana buat
sendiri! Kan kamu yang lapar.)
Tuturan (C9): “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” (Acara seperti itu
ditonton. Ganti!)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (C3): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur tidak
menghiraukan mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung.
Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.
Tuturan (C9): Penutur berbicara dengan memaksa mitra tutur. Penutur
berbicara dengan ekspresi kesal. Penutur telah membuat mitra tutur
tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C3): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dan penyisipan
kata “laper” yang merupakan kata tidak baku dalam bahasa Indonesia. Kata
fatis yang terdapat dalam tuturan (C3) ialah “ya” dan “wong”. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada frasa “gawe dewe”. Intonasi
yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.
Tuturan (C9): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “ganti”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (C3): Penutur perempuan berumur 36 tahun. Mitra tutur
perempuan 12 tahun, kelas V SD. Penutur adalah ibu mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang tamu pada saat siang hari. Penutur sedang menerima tamu di
rumah. Mitra tutur baru saja pulang dari sekolah. Penutur tidak menyiapkan
makan siang, padahal mitra tutur sudah lapar. Tujuan penutur dari tuturannya
ialah tidak bisa menyiapkan makanan karena sedang ada tamu. Tindak verbal
dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak
perlokusi mitra tutur diam saja dan langsung ke dapur untuk memasak.
Konteks tuturan (C9): Penutur laki-laki berumur 16 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 13 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur datang mendekati mitra
tutur karena ingin menonton televisi juga. Mitra tutur menonton sinetron
sesukaannya. Mitra tutur tidak suka menonton sinetron. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah penutur mengungkapkan kekecewaannya kepada mitra tutur
yang tidak mau membelikan teh dan tetap asyik bermain handphone. Tindak
verbal dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
tindak perlokusi mitra tutur mengganti acara televisi, kemudian pergi
meninggalkan penutur dengan kesal.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (C3): Penutur bermaksud menyuruh atau memerintah mitra tutur
untuk memasak sendiri.
Tuturan (C9): Penutur bermaksud menegur mitra tutur yang sedang
menonton acara televisi karena acara televisi tersebut dianggap tidak sesuai
dengan umur mitra tutur.
4.2.3.3 Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir pada kategori melecehkan muka terjadi ketika
penutur secara sengaja membuat mitra tutur tersindir akibat tuturannya. Berikut
ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori menyindir.
Cuplikan tuturan 26
MT : “Kulo nuwun.”
(Permisi.)
P : “Wis tutuk le dolan?” (C13)
(Sudah puas yang main?)
MT : “Sapa sing dolan?”
(Siapa yang main?)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 22 tahun. Penutur adalah ibu mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat sore menjelang maghrib. Mitra tutur baru pulang ke rumah setelah
pergi selama sepuluh jam. Penutur melihat mitra tutur masuk ke rumah.)
Cuplikan tuturan 31
MT : “Mbak, gantian kene.”
(Mbak, gantian sini.)
P : “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.” (C18)
(Tidak usah-tidak usah! Kerjaan kamu saja tidak selesai-selesai.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
MT : “Yo wis.”
(Ya sudah.)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 22 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 13 tahun tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan terjadi di
depan rumah, saat sore hari. Penutur sedang memotong sayur untuk dimasak.
Mitra tutur bermaksud membantu penutur untuk memotong sayuran. Mitra tutur
bertugas mengupas bawang. Mitra tutur belum selesai mengupas bawang.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C13): “Wis tutuk le dolan?” (Sudah puas yang main?)
Tuturan (C18): “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.”
(Tidak usah-tidak usah! Kerjaan kamu saja tidak selesai-
selesai.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (C13): Penutur berbicara dengan sinis. Penutur berbicara seperti
menuduh mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung.
Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.
Tuturan (C18): Penutur berbicara dengan ketus. Penutur menunjukkan
ekspresi galak. Penutur bereaksi secara spontan kepada mitra tutur. Penutur
sengaja membuat mitra tutur tidak nyaman dan tersinggung.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C13): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “tutug”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi tanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Tuturan (C18): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “rasah-rasah”. Intonasi
yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (C13): Penutur perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 22 tahun. Penutur adalah ibu mitra tutur. Tuturan terjadi
di ruang keluarga, saat sore menjelang maghrib. Mitra tutur baru pulang ke
rumah setelah pergi selama sepuluh jam. Penutur melihat mitra tutur masuk
ke rumah. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menyindir mitra tutur
yang baru saja pulang setelah pergi selama 10 jam. Tindak verbal dari tuturan
penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur menjawab tuturan penutur dengan kesal karena penutur tidak
mengetahui apa saja kegiatan yang dilakukan oleh mitra tutur selama 10 jam
tersebut.
Konteks tuturan (C18): Penutur perempuan berumur 22 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 13 tahun tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur.
Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Penutur sedang memotong
sayur untuk dimasak. Mitra tutur bermaksud membantu penutur untuk
memotong sayuran. Mitra tutur bertugas mengupas bawang. Mitra tutur
belum selesai mengupas bawang. Tujuan penutur dari tuturannya ialah
penutur menyuruh mitra tutur untuk menyelesaikan tugasnya lebih dulu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur kesal kepada penutur.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (C13): Penutur bermaksud menegur mitra tutur yang baru pulang ke
rumah setelah pergi selama sepuluh jam.
Tuturan (C18): Penutur bermaksud melarang mitra tutur untuk membantu
pekerjaannya karena pekerjaan mitra tutur belum selesai.
4.2.3.4 Subketegori Mengejek
Subkategori mengejek pada kategori melecehkan muka terjadi karena
penutur dengan sengaja mengucapkan tuturan yang mengejek atau meremehkan
mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori mengejek.
Cuplikan tuturan 19
P : “Dasar anake wong edan!” (C6)
(Dasar anaknya orang gila!)
MT : (diam saja)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 33 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 12 tahun. Penutur adalah tetangga mitra tutur. Tuturan terjadi di luar
rumah saat sore hari. Mitra tutur berjalan melewati penutur sambil bernyanyi.
Penutur melihat mitra tutur yang berjalan sambil bernyanyi.)
Cuplikan tuturan 29
MT : “Iki piye ta le nganggo?”
(Ini bagaimana cara memakainya?)
P : “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa pakainya.” (C16)
MT : “Yang penting punya hp baru.”
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 28 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
ruang keluarga, saat sore hari. Penutur melihat mitra tutur belajar memakai
handphone baru. Penutur merasa iri karena mitra tutur punya handphone baru.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C6): “Dasar anake wong edan!” (Dasar anaknya orang gila!)
Tuturan (C16): “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa
pakainya.”
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (C6): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur
berbicara dengan membentak mitra tutur. Penutur berbicara dengan ekspresi
datar. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung dan takut. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah anak tetangganya.
Tuturan (C16): Penutur berbicara dengan sinis. Penutur berbicara dengan
ekspresi menyepelekan mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur
tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C6): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada klausa “anake wong edan”.
Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
Tuturan (C16): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar
karena ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku pada
kata “tapi”, “nggak”, dan “pakainya”. Penutur berbicara dengan nada naik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
tinggi. Tekanan pada kata “percuma”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi berita.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (C6): Penutur perempuan berumur 33 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 12 tahun. Penutur adalah tetangga mitra tutur. Tuturan
terjadi di luar rumah saat sore hari. Mitra tutur berjalan melewati penutur
sambil bernyanyi. Penutur melihat mitra tutur yang berjalan sambil
bernyanyi. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menegur mitra tutur
yang berjalan sambil bernyanyi. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah
ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur berhenti
bernyanyi, kemudian berlari meninggalkan penutur.
Konteks tuturan (C16): Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur
laki-laki berumur 28 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan terjadi
di ruang ruang keluarga, saat sore hari. Penutur melihat mitra tutur belajar
memakai handphone baru. Penutur merasa iri karena mitra tutur punya
handphone baru. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menyindir
mitra tutur yang masih kaku menggunakan handphone barunya. Tindak
verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan
tindak perlokusi mitra tutur menjawab tuturan penutur dengan kesal.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (C6): Penutur bermaksud mengejek mitra tutur yang bernyanyi-
nyanyi sendiri ketika berjalan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Tuturan (C16): Penutur bermaksud mengejek mitra tutur yang belum bisa
menggunakan handphone barunya.
4.2.3.5 Subketegori Mengacam
Subkategori mengancam pada kategori melecehkan muka muncul karena
tuturan penutur menyiratkan suatu ancaman kepada mitra tutur, sehingga
membuat mitra tutur tersinggung. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam
subkategori mengancam.
Cuplikan tuturan 24
P : “Mbak, rumuse bener kaya ngene?”
(Mbak, rumusnya benar seperti ini?)
MT : “Ya.”
P : “Tenane? Awas nek salah kowe lho!” (C11)
(Beneran? Awas kalau salah kamu lho!)
MT : “Ya karepmu lah.”
(Ya terserah kamu lah.)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 13 tahun, kelas VII SMP. Mitra
tutur perempuan berumur 22 tahun. Penutur adalah adik mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur sedang belajar. Mitra tutur
menenami penutur belajar. Penutur bertanya kepada mitra tutur tentang suatu
soal. Penutur merasa jawaban mitra tutur tidak meyakinkan.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C11): ”Tenane? Awas nek salah, kowe lho!” (Beneran? Awas
kalau salah, kamu lho!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (C11): Penutur berbicara dengan sinis. Penutur berbicara tanpa
melihat mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (C11): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat dalam tuturan (C11) ialah “lho”. Penutur berbicara dengan nada naik
rendah. Tekanan pada kata “tenane”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi tanya.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (C11): Penutur perempuan berumur 13 tahun, kelas VII
SMP. Mitra tutur perempuan berumur 22 tahun. Penutur adalah adik mitra
tutur. Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur sedang
belajar. Mitra tutur menenami penutur belajar. Penutur bertanya kepada mitra
tutur tentang suatu soal. Penutur merasa jawaban mitra tutur tidak
meyakinkan. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur memastikan
kebenaran dan keyakinan pada jawaban mitra tutur. Tindak verbal dari
tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi
mitra tutur menjawab tuturan mitra tutur dengan kesal karena merasa
diragukan.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (C11): Penutur hanya bermaksud bercanda kepada mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Teori kategori ketidaksantunan menghilangkan muka diungkapkan oleh
Culpeper. Pemahaman Culpeper (2008) mengenai ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’
Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau
fakta ‘kehilangan muka’ untuk menjelaskan konsep ketidaksantunan dalam
berbahasa. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika
tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan
(impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang
diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan
muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Suatu tuturan dalam kategori menghilangkan muka terjadi bila penutur
secara sengaja mengucapkan suatu tuturan yang tidak hanya membuat mitra tutur
tersinggung, tetapi juga membuat mitra tutur malu. Hal inilah yang membuat
suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan
muka ditemukan empat belas tuturan. Keempat belas tuturan tersebut terbagi
dalam empat subkategori, yaitu subkategori menyindir, mengejek, menyalahkan,
dan memerintah. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam ketegori ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
4.2.4.1 Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir dalam kategori menghilangkan muka terjadi ketika
penutur secara sengaja membuat mitra tutur tersindir akibat tuturannya, sehingga
membuat mitra tutur tersinggung dan malu. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menyindir.
Cuplikan tuturan 34
MT 1 : “Tapi tetap rajin membantu pekerjaan bapak dan ibu di rumah kan, Pak?”
MT 2 : “Diminum, Mbak.”
P : “Kalau pas ada ibue, kesete.” (D2)
(Kalau waktu ada ibunya, malasnya.)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berusia 64 tahun. Mitra tutur 1 perempuan
berumur 21 tahun. Mitra tutur 2 perempuan berumur 19 tahun. Mitra tutur 1
adalah tamu. Mitra tutur 2 adalah anak penutur. Tuturan terjadi di dalam ruang
tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1
bertanya tentang sifat rajin mitra tutur 2. Mitra tutur 2 mengantarkan minuman
untuk penutur dan mitra tutur.)
Cuplikan tuturan 36
MT 1 : “Permisi. Mau tanya, Bu. Rumah di sebelah, rumahnya siapa, Bu?”
MT 2 : “Rumahnya Bu Agus, Mbak. Mau tanya-tanya apa je, Mbak? Itu ibunya.”
MT 1 : “Cuma tanya-tanya biasa. Terima kasih, Bu.”
P : “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.” (D4)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 33 tahun sebagai tetangga mitra
tutur 2. Mitra tutur 2 perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur 1 perempuan
berumur 21 tahun sebagai tamu. Tuturan terjadi di luar rumah, saat sore hari.
Penutur sedang berbincang-bincang dengan tetangga di depan rumah dalam
keadaan santai. Mitra tutur 1 menghampiri penutur untuk menanyakan nama
pemilik rumah yang berada di samping rumah penutur. Penutur menjawab
pertanyaan mitra tutur 1. Penutur melihat sang pemilik rumah, mitra tutur 2,
berada di luar rumah.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D2): “Kalau pas ada ibue, kesete.” (Kalau waktu ada ibunya,
malasnya.)
Tuturan (D4): “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.”
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (D2): Penutur dengan sengaja berbicara di depan mitra tutur 2.
Penutur tidak memperhatikan mitra tutur 2. Penutur berbicara dengan
volume yang keras. Penutur telah membuat mitra tutur 2 malu. Penutur
sadar bahwa mitra tutur 2 adalah anaknya.
Tuturan (D4): Penutur berbicara dengan sengaja. Penutur berbicara dengan
tertawa. Penutur menganggap hal yang dituturkan berupa lelucon, padahal hal
tersebut termasuk hal yang bersifat pribadi. Penutur telah membuat mitra
tutur 2 tersinggung dan malu.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D2): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penyisipan kata “pas” dan “kesete” yang
merupakan kata dalam bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada turun
datar. Tekanan pada kata “kesete”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi berita.
Tuturan (D4): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa populer yang
merupakan bahasa sehari-hari. Penutur berbicara dengan nada naik rendah.
Tekanan pada frasa “gajinya kurang”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi berita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (D2): Penutur laki-laki berusia 64 tahun. Mitra tutur 1
perempuan berumur 21 tahun. Mitra tutur 2 perempuan berumur 19 tahun.
Mitra tutur 1 adalah tamu. Mitra tutur 2 adalah anak penutur. Tuturan terjadi
di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur.
Mitra tutur 1 bertanya tentang sifat rajin mitra tutur 2. Mitra tutur 2
mengantarkan minuman untuk penutur dan mitra tutur. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah penutur menunjukkan bahwa mitra tutur 2 tidak rajin apabila
ada ibunya di rumah. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif.
Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur 2 hanya diam dan
tersenyum malu.
Konteks tuturan (D4): Penutur perempuan berumur 33 tahun sebagai
tetangga mitra tutur 2. Mitra tutur 2 perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur
1 perempuan berumur 21 tahun sebagai tamu. Tuturan terjadi di luar rumah,
saat sore hari. Penutur sedang berbincang-bincang dengan tetangga di depan
rumah dalam keadaan santai. Mitra tutur 1 menghampiri penutur untuk
menanyakan nama pemilik rumah yang berada di samping rumah penutur.
Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur 1. Penutur melihat sang pemilik
rumah, mitra tutur 2, berada di luar rumah. Tujuan penutur dari tuturannya
ialah penutur menyindir mitra tutur 2 yang tidak mau diwawancari oleh mitra
tutur 1 karena penutur menganggap mitra tutur 1 akan bertanya tentang
penghasilan keluarga mitra tutur 2. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur 2 hanya
diam saja.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (D2): Penutur bermaksud menyindir mitra tutur yang bersikap
malas bila sang ibu ada di rumah.
Tuturan (D4): Penutur hanya bermaksud bercanda kepada mitra tutur.
4.2.4.2 Subkategori Mengejek
Subkategori mengejek dalam kategori menghilangkan muka terjadi karena
penutur dengan sengaja mengucapkan tuturan yang bermaksud mengejek atau
meremehkan mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung dan malu.
Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori mengejek.
Cuplikan tuturan 35
MT 1 : “Kalau boleh, saya bisa gantian bertanya dengan ibu, Pak?”
P : “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” (D3)
(Wah ibunya itu bodoh, Mbak.)
MT 2 : Iya, Mbak. Jangan dengan saya, dengan Bapak saja.
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berusia 64 tahun. Mitra tutur 1 perempuan
berumur 21 tahun. Mitra tutur 2 perempuan berumur 45 tahun. Mitra tutur 1
adalah tamu. Mitra tutur 2 adalah istri penutur. Tuturan terjadi di dalam ruang
tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1
bertanya tentang pendidikan mitra tutur 2. Mitra tutur 2 ada di luar rumah.
Mitra tutur mendengar tuturan penutur.)
Cuplikan tuturan 45
P : “Bu, aku ganti hp ya?”
MT : “Lha hp-ne sing lawas ngopo? Kae nganggo hp-ne ibu wae.”
(Lha hp-nya yang lama kenapa? Itu pakai hp-nya ibu saja.)
P : “Hapene ibu ki wis jadul.” (D13)
(Hp-nya ibu itu sudah jadul.)
MT : Yo ben, sing penting isih isa nggo telpon.
(Ya biarin, yang penting masih bisa dipakai telepon.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 19 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 36 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat sore hari. Penutur meminta handphone baru kepada mitra tutur.
Mitra tutur menganjurkan penutur untuk memakai handphone penutur dulu.
Penutur tidak mau memakai handphone penutur.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D3): “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” (Wah ibunya itu bodoh,
Mbak.)
Tuturan (D13): “Hpne ibu ki wis jadul.” (Hpnya ibu itu sudah jadul.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (D3): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur
berbicara dengan tertawa meremehkan. Penutur telah membuat mitra tutur 2
malu. Penutur sadar jika mitra tutur 2 adalah istrinya.
Tuturan (D13): Penutur dengan sengaja berbicara di depan mitra tutur.
Penutur berbicara dengan ekspresi mengejek. Penutur telah membuat mitra
tutur malu. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D3): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada turun datar. Tekanan pada kata “bodho”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi berita.
Tuturan (D13): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dan penggunaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
kata slang “jadul”. Penutur berbicara dengan nada naik rendah. Tekanan kata
“jadul”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi berita.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (D3): Penutur laki-laki berusia 64 tahun. Mitra tutur 1
perempuan berumur 21 tahun. Mitra tutur 2 perempuan berumur 45 tahun.
Mitra tutur 1 adalah tamu. Mitra tutur 2 adalah istri penutur. Tuturan terjadi
di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur.
Mitra tutur 1 bertanya tentang pendidikan mitra tutur 2. Mitra tutur 2 ada di
luar rumah. Mitra tutur mendengar tuturan penutur. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah penutur menunjukkan bahwa mitra tutur 2 tidak lebih pintar
daripada penutur. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan
tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur 2 menimpali tuturan
penutur.
Konteks tuturan (D13): Penutur laki-laki berumur 19 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 36 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang keluarga, saat sore hari. Penutur meminta handphone baru
kepada mitra tutur. Mitra tutur menganjurkan penutur untuk memakai
handphone penutur dulu. Penutur tidak mau memakai handphone penutur.
Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur mengejek handphone mitra
tutur yang sudah dianggap kuno. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah
ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur
menjawab tuturan penutur dengan kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (D3): Penutur bermaksud meremehkan mitra tutur yang dianggap
tidak lebih pintar dari dirinya.
Tuturan (D13): Penutur hanya bermaksud bercanda kepada mitra tutur.
4.2.4.3 Subkategori Menyalahkan
Subkategori menyalahkan dalam kategori menghilangkan muka muncul
akibat penutur yang merasa bahwa mitra tutur telah melakukan suatu kesalahan.
Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur
membuat mitra tutur tersinggung dan malu. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menyalahkan.
Cuplikan tuturan 37
P : “Mak, prajurit sing klambine ireng-ireng kae jenenge apa?”
(Mak, prajurit yang bajunya hitam-hitam itu namanya apa?)
MT : “Sik endi? Prajurit ireng pa?”
(Yang mana? Prajurit ireng kah?)
P : “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!” (D5)
(Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 35 tahun, sebagai anak dari
mitra tutur. Mitra tutur seorang perempuan berumur 58 tahun. Penutur sedang
duduk bersantai di luar rumah, saat sore hari. Penutur bertanya kepada mitra
tutur yang baru saja keluar dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah penutur
Penutur menganggap jawaban mitra tutur salah.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D5): “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!”
(Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (D5): Penutur memberikan sangkalan dengan kasar. Penutur
berbicara sangat dekat dengan mitra tutur. Penutur berbicara kepada orang
tua. Penutur telah membuat mitra tutur malu.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D5): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penyisipan kata “sembarangan” yang
merupakan kata dalam bahasa Indonesia. Penutur berbicara dengan nada naik
tinggi. Tekanan pada kata “ngawur”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (D5): Penutur perempuan berumur 35 tahun, sebagai anak
dari mitra tutur. Mitra tutur seorang perempuan berumur 58 tahun. Penutur
sedang duduk bersantai di luar rumah, saat sore hari. Penutur bertanya kepada
mitra tutur yang baru saja keluar dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah
penutur. Penutur menganggap jawaban mitra tutur salah. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah penutur menyangkal jawaban mitra tutur. Tindak verbal dari
tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak
perlokusi mitra tutur berpikir ulang dan berbicara dengan volume suara yang
lebih kecil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (D5): Penutur bermaksud mengungkapkan rasa kesalnya kepada
mitra tutur yang memberikan jawaban salah.
4.2.4.4 Subkategori Memerintah
Subkategori memerintah dalam kategori menghilangkan muka terjadi
ketika tuturan penutur seolah-olah atau memang bermaksud memberikan perintah
kepada mitra tutur. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja
dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur tersinggung dan malu. Berikut ini
contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori memerintah.
Cuplikan tuturan 41
P : “Ayo bali! Dolan wae.” (D9)
(Ayo pulang! Main terus.)
MT : (diam saja)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 40 tahun. Mitra tutur laki-laki
berumur 9 tahun. Penutur adalah ayah dari mitra tutur. Tuturan terjadi di luar
rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain di lapangan dekat rumahnya
bersama dengan teman-temannya. Penutur hendak pulang ke rumah
menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur masih bermain.)
Cuplikan tuturan 42
MT : “Mbah, buatin mie goreng!”
P : “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (D10)
(Sana buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.)
MT : (diam saja)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 58 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 12 tahun. Penutur adalah nenek dari mitra tutur. Tuturan terjadi di luar
rumah, saat siang hari. Mitra tutur meminta penutur untuk menggorengkan telur.
Penutur tidak mau menggorengkan telur karena menganggap mitra tutur sudah
besar dan sudah harus bisa memasak sendiri.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D9): “Ayo bali! Dolan wae.” (Ayo pulang! Main terus.)
Tuturan (D10): “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (Sana
buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (D9): Penutur beribicara dengan berteriak. Penutur berbicara
dengan menunjukan ekspresi marah. Penutur telah membuat mitra tutur malu
dan takut. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.
Tuturan (D10): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur tidak
menghiraukan mitra tutur. Penutur dengan sengaja berbicara seperti
meremehkan mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur malu dan
tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (D9): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat dalam tuturan (D9) ialah “ayo”. Penutur berbicara dengan nada naik
tinggi. Tekanan pada frasa “ayo bali”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi perintah.
Tuturan (D10): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “kana”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi perintah.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (D9): Penutur laki-laki berumur 40 tahun. Mitra tutur laki-
laki berumur 9 tahun. Penutur adalah ayah dari mitra tutur. Tuturan terjadi di
luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain di lapangan dekat rumahnya
bersama dengan teman-temannya. Penutur hendak pulang ke rumah
menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur masih bermain. Tujuan
penutur dari tuturannya ialah penutur menyuruh pulang mitra tutur. Tindak
verbal dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan
tindak perlokusi mitra tutur diam saja karena malu diteriaki oleh penutur.
Konteks tuturan (D10): Penutur perempuan berumur 58 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 12 tahun. Penutur adalah nenek dari mitra tutur. Tuturan
terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur meminta penutur untuk
menggorengkan telur. Penutur tidak mau menggorengkan telur karena
menganggap mitra tutur sudah besar dan sudah harus bisa memasak sendiri.
Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menolak untuk menggorengkan
telur. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur diam saja, lalu masuk ke dalam
rumah.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (D9): Penutur bermaksud menyuruh atau memerintahkan mitra tutur
untuk segera pulang ke rumah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Tuturan (D10): Penutur bermaksud memotivasi mitra tutur supaya bisa
memasak sendiri.
4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and
conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous), dan
konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila
perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka
itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori
sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan
tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan
berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.
Suatu tuturan dalam kategori menimbulkan konflik terjadi bila penutur
secara sengaja mengucapkan suatu tuturan yang dapat menimbulkan konflik di
antara penutur dan mitra tutur. Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam
kategori ini menjadi tidak santun.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan
konflik ditemukan sembilan tuturan. Kesembilan tuturan tersebut terbagi dalam
enam subkategori, yaitu subkategori melarang, mengancam, memerintah,
mengejek, menolak, dan kesal. Berikut ini wujud dari kesembilan tuturan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
4.2.5.1 Subkategori Melarang
Subkategori melarang pada kategori mebimbulkan konflik terjadi karena
penutur memberikan suatu larangan kepada mitra tutur melalui tuturannya.
Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur
membuat mitra tutur tersinggung sehingga menimbulkan konflik antara penutur
dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori
melarang.
Cuplikan tuturan 47
MT : “Gantian, Mas!”
P : “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis (kata umpatan)!” (E1)
MT : “Kamu pipis! Kamu Pipis!”
(Konteks tuturan: Penutur adalah anak laki-laki berumur 6 tahun, kelas 1 SD.
Mitra tutur laki-laki berumur 4 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan
terjadi saat penutur bermain playstation di rumah setelah pulang sekolah.
Penutur tidak mau digangu saat bermain. Penutur tidak memperbolehkan mitra
tutur yang ingin meminjam playstation penutur.)
Cuplikan tuturan 48
P : “Ndak boleh! Ini buat aku.” (E2)
MT : (menangis)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 4 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 2 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
bermain yang ada di rumah saat siang hari. Penutur sedang bermain dengan
mitra tutur di tempat bermain. Mitra tutur tiba-tiba merebut mainan mobil-
mobilan penutur. Penutur tidak mau kalau mainan mobil-mobilannya direbut.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E1): “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis (kata umpatan)!”
Tuturan (E2): “Ndak boleh! Ini buat aku.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (E9): Penutur berbicara dengan membentak. Penutur menggunakan
kata-kata umpatan. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur.
Penutur memancing mitra tutur untuk mengikuti umpatannya. Penutur sadar
bahwa mitra tutur adalah adiknya.
Tuturan (E2): Penutur berbicara dengan membentak. Penutur berbicara
dengan tidak menghiraukan mitra tutur Penutur membuat mitra tutur takut
dan menangis. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E1): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak
baku pada kata “nggak” dan penggunaan kata jargon “pipis”. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “pipis”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi seru.
Tuturan (E2): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar
karena ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku pada
kata “ndak” dan “buat”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan
pada frasa “ndak boleh”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (E1): Penutur adalah anak laki-laki berumur 6 tahun, kelas
1 SD. Mitra tutur laki-laki berumur 4 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur.
Tuturan terjadi saat penutur bermain playstation di rumah setelah pulang
sekolah. Penutur tidak mau digangu saat bermain. Penutur tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
memperbolehkan mitra tutur yang ingin meminjam playstation penutur.
Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menggertak mitra tutur yaitu
adiknya supaya tidak mengganggunya ketika bermain, tetapi mitra tutur
menimpali dengan tuturan yang sama. Tindak verbal dari tuturan penutur
ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur
menimpali penutur dengan tuturan yang sama.
Konteks tuturan (E2): Penutur laki-laki berumur 4 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 2 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang bermain yang ada di rumah saat siang hari. Penutur sedang
bermain dengan mitra tutur di tempat bermain. Mitra tutur tiba-tiba merebut
mainan mobil-mobilan penutur. Penutur tidak mau kalau mainan mobil-
mobilannya direbut. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menggertak
mitra tutur yaitu adiknya sampai menangis. Tindak verbal dari tuturan
penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur takut sehingga tidak jadi merebut mainan penutur. Mitra tutur menangis.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (E1): Penutur bermaksud melarang mitra tutur yang ingin
memainkan game penutur.
Tuturan (E2): Penutur bermaksud melarang mitra tutur yang ingin
meminjam mainan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
4.2.5.2 Subkategori Mengancam
Subkategori mengancam pada kategori mebimbulkan konflik ini muncul
karena tuturan penutur menyiratkan suatu ancaman kepada mitra tutur. Namun,
akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur membuat
mitra tutur tersinggung sehingga menimbulkan konflik antara penutur dan mitra
tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori mengancam.
Cuplikan tuturan 49
P : “Sapa yang masang sajen di sini?”
MT : “Aku.”
P : “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-abrik!” (E3)
(Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku porak-porandakan!)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 16 tahun, kelas XI SMA. Mitra
tutur berumur 57 tahun, sebagai nenek penutur. Tuturan terjadi di rumah saat
pagi hari. Penutur akan berangkat sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang
sengaja diletakkan oleh anggota keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau
di rumahnya ada sesaji. Penutur mengancam mitra tutur.)
Cuplikan tuturan 53
P : “Bapak wis bilang ta, jangan pulang malem-malem.”
MT : “Wong ya ndak tiap hari kok, Pak. “
P : “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan di sanggah!” (E7)
(Saya siram Kamu! Sekali bapak bicara, jangan dibantah!)
(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 64 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 19 tahun. Penutur adalah ayah mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang
makan, saat sore hari menjelang maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur
yang telat pulang ke rumah. Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak
menerima penjelasan dari mitra tutur.)
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E3): “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-
abrik!” (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku
porak-porandakan!)
Tuturan (E7): “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah!”
(Saya siram Kamu! Sekali bapal bicara, jangan dibantah!)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (E3): Penutur berbicara dengan membentak. Penutur berbicara
dengan tidak menghiraukan mitra tutur Penutur berbicara dengan ekspresi
marah. Penutur berbicara kepada mitra tutur yang berumur lebih tua. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah neneknya.
Tuturan (E7): Penutur berbicara dengan membentak. Penutur berbicara
dengan ekspresi marah. Penutur membuat mitra tutur berani melawan.
Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E3): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia dan
penyisipan kata “sesajen” dan klausa “tak obrak-abrik” yang merupakan kata
dalam bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada
kata “tak obrak-abrik”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
Tuturan (E7): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak
baku pada kata “ngomong” dan penyisipan kalimat “Tak grujug, kowe!”
yang merupakan kata dalam bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
tinggi. Tekanan pada kata “tak grujug”. Intonasi yang digunakan penutur
ialah intonasi perintah.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (E3): Penutur perempuan berumur 16 tahun, kelas XI
SMA. Mitra tutur berumur 57 tahun, sebagai nenek penutur. Tuturan terjadi
di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat sekolah. Penutur melihat ada
sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota keluarga di rumahnya. Penutur
tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji. Penutur mengancam mitra tutur.
Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur mengancam mitra tutur supaya
membuang yang meletakkan sesaji di rumah. Tindak verbal dari tuturan
penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur tutur marah kepada penutur.
Konteks tuturan (E7): Penutur laki-laki berumur 64 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 19 tahun. Penutur adalah ayah mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang maghrib. Penutur sedang
menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah. Mitra tutur mencoba
membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari mitra tutur. Tujuan
penutur dari tuturannya ialah penutur memperingatkan mitra tutur supaya
tidak menyanggah nasihatnya. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah
komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur
menendang kursi yang berada di depannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (E3): Penutur bermaksud menakut-nakuti mitra tutur supaya tidak
meletakkan lagi sesaji di rumahnya.
Tuturan (E7): Penutur bermaksud menakut-nakuti mitra tutur supaya mitra
tutur tidak membantah perintah penutur.
4.2.5.3 Subkategori Memerintah
Subkategori memerintah pada kategori mebimbulkan konflik terjadi ketika
tuturan penutur seolah-olah atau memang bermaksud memberikan perintah
kepada mitra tutur. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja
dituturkan oleh penutur, mitra tutur menjadi tersinggung sehingga menimbulkan
konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk
dalam subkategori memerintah.
Cuplikan tuturan 50
MT : “Mi, buatin susu!”
P : “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana, heran.”
(E4)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 4 tahun sebagai keponakan penutur. Tuturan terjadi di depan rumah,
saat penutur sedang bersantai di waktu sore. Mitra tutur datang minta dibuatkan
susu. Penutur tidak mau membuatkan susu karena susu yang sebelumnya belum
habis diminum oleh mitra tutur.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E4): “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana,
heran.”
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (E4): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur
memaksakan kekendak kepada mitra tutur. Penutur berbicara dengan tidak
menghiraukan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur menangis. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah keponakannya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E4): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa populer yang
merupakan bahasa sehari-hari. Kata fatis yang terdapat pada tuturan (E4)
ialah “kok” dan “wong”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan
pada frasa “sana ambil”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi
perintah.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (E4): Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur
perempuan berumur 4 tahun sebagai keponakan penutur. Tuturan terjadi di
depan rumah, saat penutur sedang bersantai di waktu sore. Mitra tutur datang
minta dibuatkan susu. Penutur tidak mau membuatkan susu karena susu yang
sebelumnya belum habis diminum oleh mitra tutur. Tujuan penutur dari
tuturannya ialah menyuruh mitra tutur yang masih balita untuk menghabiskan
susu yang telah dibuat sebelumnya. Namun, mitra tutur tidak mau dan
semakin merengek sampai hampir menangis. Tindak verbal dari tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra
tutur tutur menangis.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (E4): Penutur bermaksud menyuruh atau memerintah mitra tutur
untuk menghabiskan minuman yang sudah dibuat sebelumnya.
4.2.5.4 Subkategori Mengejek
Subkategori mengejek pada kategori mebimbulkan konflik terjadi karena
penutur dengan sengaja mengucapkan tuturan yang bermaksud mengejek atau
meremehkan mitra tutur sehingga membuat mitra tutur tersinggung dan timbullah
konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk
dalam subkategori mengejek.
Cuplikan tuturan 51
P : “Dolan wae, bali!”
(Main terus, pulang!)
MT : “Yo ben, yo ben.” (E5)
(Biarin, biarin!)
P : “Has luweh!”
(Has terserah!)
(Konteks tuturan: Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra
tutur perempuan berumur 56 tahun. Mitra tutur adalah nenek penutur. Tuturan
terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah penutur, saat mahgrib
penutur sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan. Mitra tutur
menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena sudah maghib. Penutur tidak
mau pulang ke rumah.)
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E5): “Yo ben, yo ben.” (Biarin, biarin.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (E5): Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur.
Penutur seperti menyepelekan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur
marah. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah neneknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E5): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “yo ben”. Intonasi yang
digunakan penutur ialah intonasi berita.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (E5): Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2
SD. Mitra tutur perempuan berumur 56 tahun. Mitra tutur adalah nenek
penutur. Tuturan terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah penutur,
saat mahgrib penutur sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan.
Mitra tutur menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena sudah maghib.
Penutur tidak mau pulang ke rumah. Tujuan penutur dari tuturannya ialah
menolak perintah mitra tutur yaitu neneknya untuk pulang ke rumah. Tindak
verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan
tindak perlokusi mitra tutur tutur tutur marah kepada penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (E5): Penutur bermaksud menolak perintah mitra tutur yang
menyuruh penutur untuk pulang.
4.2.5.5 Subkategori Menolak
Subkategori menolak pada kategori mebimbulkan konflik terjadi karena
tuturan penutur menyatakan suatu penolakan terhadap sesuatu. Namun, akibat dari
tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur, mitra tutur menjadi
tersinggung sehingga menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur.
Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori menolak.
Cuplikan tuturan 52
MT : “Gek mandi kana, wis sore!”
(Segera mandi sana, sudah sore!)
P : “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (E6)
(Ah nanti! Dengan mas Ardha saja.)
MT : “Ya kowe sik, gek uwis!”
(Ya kamu dulu, cepat!)
(Konteks tuturan: Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra
tutur laki-laki berumur 39 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan
terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk mandi
karena sudah sore.)
Cuplikan tuturan 55
MT 1 : “Beliin sabun, Dik!”
P : “Wegah! Mas wae kae lho.” (E9)
(Tidak mau! Mas saja itu lho.)
MT 2: “Lha kowe ki ngopo? Garapanku rung rampung!”
(Lha kamu itu sedang apa? Pekerjaanku belum selesai!)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 7 tahun. Mitra tutur 1 laki-laki
berumur 39 tahun, sebagai ayah penutur. Mitra tutur 2 laki-laki berumur 8 tahun,
sebagai kakak penutur. Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat pagi hari. Mitra
tutur 1 menyuruh penutur untuk membeli sabun di warung. Mitra tutur 2 sedang
mengerjakan PR. Penutur sedang menonton televisi. Penutur tidak mau
membelikan sabun karena malas.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E6): “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (Ah nanti! Dengan mas
Ardha saja.)
Tuturan (E9): “Wegah! Mas wae kae lho.” (Tidak mau! Mas saja itu lho.)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (E6): Penutur berbicara dengan kasar. Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur marah. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah ayahnya.
Tuturan (E9): Penutur berbicara dengan kasar dan kesal. Penutur berbicara
dengan volume yang keras. Penutur membuat mitra tutur kesal. Penutur sadar
bahwa mitra tutur adalah adiknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E6): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur
berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “mengko”. Intonasi
yang digunakan penutur ialah intonasi seru.
Tuturan (E9): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat pada tuturan (E9) ialah “lho”. Penutur berbicara dengan nada naik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
tinggi. Tekanan pada kata “wegah”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (E6): Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2
SD. Mitra tutur laki-laki berumur 39 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur menyuruh penutur
untuk mandi karena sudah sore. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur
menolak perintah mitra tutur yaitu ayahnya yang menyuruh untuk mandi
lebih dulu sebelum kakaknya. Kakak penutur sedang mengerjakan tugas
sekolah. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur tutur tutur marah kepada penutur.
Konteks tuturan (E9): Penutur perempuan berumur 7 tahun. Mitra tutur 1
laki-laki berumur 39 tahun, sebagai ayah penutur. Mitra tutur 2 laki-laki
berumur 8 tahun, sebagai kakak penutur. Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat pagi hari. Mitra tutur 1 menyuruh penutur untuk membeli sabun di
warung. Mitra tutur 2 sedang mengerjakan PR. Penutur sedang menonton
televisi. Penutur tidak mau membelikan sabun karena malas. Tujuan penutur
dari tuturannya ialah penutur ingin melimahkan tugas kepada mitra tutur 2.
Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur 2 menimpali tuturan penutur
dengan kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (E6): Penutur bermaksud menolak perintah mitra tutur yang
menyuruhnya mandi lebih dulu.
Tuturan (E9): Penutur bermaksud menolak perintah mitra tutur yang
menyuruhnya untuk membeli teh di warung.
4.2.5.6 Subkategori Kesal
Subkategori kesal pada kategori mebimbulkan konflik terjadi ketika
penutur mengungkapkan ekspresi kekesalan, ketidaksenangan, atau kekecewaan
kepada mitra tutur. Akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh
penutur, mitra tutur menjadi tersinggung sehingga timbullah konflik antara
penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam
subkategori kesal.
Cuplikan tuturan 54
MT : “Kuwi tinggal garingke.”
(Itu hanya kurang dikeringkan)
P : “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!” (E8)
(Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!)
MT : “Has embuh, embuh!”
(Has tidak tahu, tidak tahu!)
(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 23 tahun. Penutur adalah kakak
mitra tutur. Mitra tutur perempuan berumur 13 tahun. Tuturan terjadi di ruang
makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang mengepel lantai. Penutur berjalan
melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk mengeringkan lantai
yang masih basah. Penutur masih memiliki tanggungan pekerjaan rumah yang
lain.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E8): “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!”
(Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!)
2) Wujud ketidaksantunan pragmatik
Tuturan (E8): Penutur berbicara dengan kasar dan kesal. Penutur berbicara
di depan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur kesal. Penutur sadar bahwa
mitra tutur adalah adiknya.
3) Penanda ketidaksantunan linguistik
Tuturan (E8): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar.
Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang
terdapat pada tuturan (E8) ialah “kok”. Penutur berbicara dengan nada naik
tinggi. Tekanan pada kata “tuntas”. Intonasi yang digunakan penutur ialah
intonasi seru.
4) Penanda ketidaksantunan pragmatik
Konteks tuturan (E8): Penutur perempuan berumur 23 tahun. Penutur
adalah kakak mitra tutur. Mitra tutur perempuan berumur 13 tahun. Tuturan
terjadi di ruang makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang mengepel lantai.
Penutur berjalan melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk
mengeringkan lantai yang masih basah. Penutur masih memiliki tanggungan
pekerjaan rumah yang lain. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur
mengingatkan mitra tutur supaya menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut
menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur kesal, lalu mengepel dengan asal-
asalan.
5) Maksud ketidaksantunan penutur
Tuturan (E8): Penutur bermaksud menyindir mitra tutur yang tidak bisa
menyelesaikan tugasnya dengan tuntas.
4.3 Pembahasan
Hasil temuan yang telah dianalisis akan dibahas lebih mendalam pada
bagian pembahasan ini. Pada bagian ini, pembahasan akan didasarkan pada tiga
pokok rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Ketiga rumusan
masalah tersebut meliputi wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan
penutur. Pembahasan ketiga rumusan tersebut dalam setiap kategori adalah
sebagai berikut.
4.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Santun tidaknya suatu tuturan tergantung pada wujud tuturan tersebut.
Wujud ketidaksantunan tuturan tersebut dapat berupa wujud ketidaksantunan
linguistik dan wujud ketidaksantunan pragmatik. Wujud ketidaksantunan
linguistik merupakan hasil transkrip tuturan lisan yang tidak santun, sedangkan
wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara penyampaian penutur
saat mengatakan tuturan tidak santun tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Selain dilihat dari wujud linguistiknya, ketidaksantunan suatu tuturan juga
dilihat dari wujud pragmatiknya. Wujud ketidaksantunan pragmatik tuturan dalam
setiap kategori ketidaksantunan memiliki wujud yang berbeda dan wujud tersebut
menjadi ciri khas dari setiap kategori tersebut. Berikut ini adalah wujud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang dikelompokan dalam lima kategori
ketidaksantunan, yaitu melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan
muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik.
4.3.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Tuturan ketidaksantunan yang termasuk dalam kategori melanggar norma
ada empat tuturan. Keempat tuturan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Subkategori menjanjikan
Tuturan (A1): “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.”
(Konteks: Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur. Penutur tidak
merasa bersalah. Penutur berbicara dengan ketus. Penutur tidak memandang
mitra tutur ketika berbicara. Penutur berbicara dengan orang tua.)
Tuturan (A3): “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.” (Sebentar ta, iya-iya sebentar
lagi)
(Konteks: Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur. Penutur tidak
merasa bersalah. Penutur berbicara dengan ketus. Penutur tidak memandang
mitra tutur ketika berbicara. Penutur berbicara dengan orang yang lebih
tua.)
2) Subkategori menolak
Tuturan (A2): “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” (Ah malas.
Sekali-sekali tidak kan tidak apa-apa, Bu)
(Konteks: Penutur dengan sengaja melanggar peraturan yang ada. Penutur
tidak merasa bersalah. Penutur berusaha membujuk mitra tutur untuk
menyetujui tindakannya. Penutur berbicara dengan orang tua.)
3) Subkategori kesal
Tuturan (A4): “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” (Ya
ampun, Bu. Baru jam sembilan masak sudah malam?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
(Konteks: Penutur tidak merasa bersalah. Penutur berbicara dengan malas.
Penutur berbicara dengan orang tua.)
Dari keempat tuturan tersebut, dapat dilihat bahwa kategori
ketidaksantunan melanggar norma ditandai dengan penutur yang tidak merasa
bersalah meski sudah melanggar peraturan yang telah disepakati, penutur tidak
mengindahkan teguran dari mitra tutur dan hal ini ditunjukkan dengan cara
penutur menanggapi mitra tutur, misalnya berbicara dengan kethus dan malas.
Tanda-tanda tersebut semakin tidak santun karena penutur bertindak demikian
kepada orang yang lebih tua. Dalam kebudayaan Jawa, orang yang lebih muda
diharuskan menjaga sopan santun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Sopan santun tersebut dapat ditunjukkan melalui tuturan yang halus dan sikap
yang dianggap santun.
Wujud ketidaksantunan tuturan (A1) dan (A3) ditunjukan dari penutur
yang tidak mengindahkan peraturan waktu belajar yang sudah disepakati oleh
keluarganya dengan tidak merasa bersalah. Ketika berbicara, penutur berbicara
dengan kethus padahal penutur (A1) berbicara dengan ibunya, sedangkan penutur
(A3) dengan kakaknya. Hal serupa juga terwujud dalam tuturan (A2) dan (A4).
Wujud ketidaksantunan pragmatik yang ditunjukan oleh penutur (A2) yang tidak
mau melaksanakan tugas mencuci piring dengan tidak merasa bersalah, seperti
dengan penutur (A4) yang telah melanggar perjanjian waktu pulang. Kedua
penutur jugaberbicara kepada mitra tutur dengan malas, padahal mitra tutur adalah
ibu dari kedua penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
4.3.1.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori melanggar norma sedikit
berbeda dengan wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori mengancam
muka sepihak. Berikut ini contoh tuturan dari kategori mengancam muka sepihak.
1) Subkategori menyindir
Tuturan (B7): “Masalahnya kamu itu ngeyel.”
(Konteks: Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur mengenai alasan orang
tuanya tidak mau membelikan sepeda. Penutur berbicara dengan ekspresi
sinis. Penutur berbicara dengan tidak memperhatikan mitra tutur. Penutur
tidak bermaksud menyindir mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat
mitra tutur tersinggung.)
Tuturan (B8): “Diajari bola-bali kok ra dong-dong!” (Dilatih berkali-kali
kok tidak mengerti!)
(Konteks: Penutur mengungkapkan kekesalannya kepada mitra tutur yang
selalu meminta bantuan untuk mengajarkan memakai komputer. Penutur
berbicara dengan ekspresi sinis. Penutur berbicara dengan tidak
memperhatikan mitra tutur. Penutur tidak bermaksud menyindir mitra tutur.
Penutur tidak sadar telah membuat mitra tutur tersinggung.)
2) Subkategori memerintah
Tuturan (B2): “Udah-udah sana, karo mama kana!” (Sudah-sudah sana,
sama mama sana.)
(Konteks: Penutur merasa terganggu oleh mitra tutur yang mengajaknya
bermain. Penutur berbicara dengan tidak memandang mitra tutur. Penutur
berbicara sambil mendorong pelan mitra tutur supaya menjauh. Penutur
tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur merasa tidak
diinginkan keberadaannya di dekat penutur.)
Tuturan (B5): “Mbah, ngelih Mbah. Cepet ta Mbah, selak laper je Mbah!”
(Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur berbicara
kepada orang yang lebih tua. Penutur hanya memberikan perintah tanpa
membantu mitra tutur.Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat
mitra tutur kesal.)
3) Subkategori menjanjikan
Tuturan (B3): “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.”
(Konteks: Penutur menanggapi mitra tutur yang meminta untuk
dibapakaikan baju dengan tidak serius. Penutur berbicara tanpa melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
mitra tutur. Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra
tutur merasa tidak diperhatikan.)
4) Subkategori kesal
Tuturan (B4): “Nggak suka mbah kakung.”
(Konteks: Penutur berbicara dengan ekspresi datar dan tidak merasa takut
ketika berbicara kepada mitra tutur 1 yang menanyakan alasan penutur tidak
suka dengan mitra tutur 2. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya
terdengar oleh mitra tutur 2. Mitra tutur 2 merasa tersingung.)
5) Subkategori mengejek
Tuturan (B6): “Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” (Iya, tidak
seperti kamu itu! Masih menganggur saja.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan ketus ketika menimpali cerita mitra
tutur tentang temannya yang sudah memiliki pekerjaan. Penutur tidak
bermaksud menyindir mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat mitra
tutur tersinggung.)
Dari tujuh tuturan tersebut, dapat ditemukan bahwa wujud ketidaksantunan
pragmatiknya ditandai dengan penutur yang tidak memperhatikan keadaan mitra
tutur dan siapa mitra tutur saat menuturkan suatu tuturan. Dell Hymes (1978)
menyatakan bahwa ketika seorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan
indikator kesantunan yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING. Setting and
scene serta paricipants merupakan dua hal yang perlu diperhatikan pada kategori
ketidaksantuan ini. Setting and secene mengacu pada latar terjadinya komunikasi,
sedangkan participant mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi
(Pranowo, 2009:100–101). Meskipun penutur tidak memiliki maksud untuk
menyinggung mitra tutur, mitra tutur akan tetap merasa tersinggung bila tuturan
penutur tidak memperhatikan keadaan mitra tutur dan siapa mitra tutur itu. Hal
inilah yang membuat tuturan yang dianggap oleh penutur biasa saja, tetapi bagi
mitra tutur tuturan tersebut tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Pada tuturan (B7), wujud ketidaksantunan pragmatik ditunjukan ketika
penutur menjawab pertanyaan mitra tutur mengenai alasan orang tuanya tidak
mau membelikan sepeda dengan ekspresi sinis sehingga membuat mitra tutur
merasa tersingguung. Lain halnya dengan penutur (B8) yang membuat mitra tutur
kesal. Hal ini terjadi karena penutur menolak permintaan ayahnya yang ingin
belajar memakai komputer. Penutur tidak memahami bahwa ingatan sang ayah
memang sudah berkurang akibat faktor usia dan sekalipun penutur tahu bahwa ia
berbicara dengan ayahnya, penutur tetap bertutur dengan kasar.
Selanjutnya, wujud ketidaksantunan pragmatik pada tuturan (B2)
ditunjukan oleh penutur yang berbicara dengan tidak memandang mitra tutur
sambil mendorong pelan mitra tutur supaya menjauh darinya. Hal ini dilakukan
karena penutur merasa terganggu oleh mitra tutur yang mengajaknya bermain.
Walaupun penutur tidak memiliki maksud untuk menyinggung, mitra tutur
ternyata merasa keberadaannya di dekat penutur tidak diinginkan.
Ketidaksantunan yang dilakukan oleh penutur (B2) sama dengan penutur (B5).
Penutur (B5) menyuruh mitra tutur, neneknya, untuk segera menyelesaikan
masakannya karena penutur sudah lapar. Penutur tidak sadar bahwa tuturannya
membuat sang nenek kesal karena penutur hanya bisa menyuruh tanpa ikut
membantu neneknya memasak.
Wujud ketidaksantunan pragmatik tuturan (B3) ditandai dengan cara
penutur berbicara kepada mitra tutur yang meminta uuntuk dipakaikan baju.
Penutur berbicara dengan tidak serius dan tidak melihat mitra tutur. Penutur tidak
merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur merasa tidak diperhatikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Ketidaksantunan juga terjadi pada tuturan (B4) dan (B6). Penutur (B4) berbicara
dengan ekspresi datar, tanpa merasa takut ketika mengungkapkan alasan mengapa
penutur tidak menyukai mitra tutur 2. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya
terdengar oleh mitra tutur 2, sehingga membuat mitra tutur 2 tersingung. Berbeda
dengan penutur (B4), penutur (B6) berbicara dengan ketus saat menimpali cerita
mitra tutur. Penutur yang tidak bermaksud menyindir mitra tutur, tidak sadar
bahwa tuturannya telah membuat mitra tutur tersinggung. Hal-hal inilah yang
membuat tuturan-tuturan tersebut tidak santun.
4.3.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Wujud ketidaksantunan pragmatik yang selanjutnya yaitu pada kategori
melecehkan muka. Berikut ini contoh tuturan tidak santun dalam kategori
melecehkan muka.
1) Subkategori kesal
Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras ketika mitra tutur
tidak sengaja menginjak kaki penutur. Penutur berbicara dengan membentak
mitra tutur. Penutur berbicara dengan ekspresi marah. Penutur telah
membuat mitra tutur tersinggung dan takut. Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anak tetangganya.)
Tuturan (C7): “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” (Tidak peduli!
Terserah omonganmu apa.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan memotong kalimat mitra tutur karena
penutur tidak berkenan dengan topik yang dibicarakan mitra tutur. Penutur
berbicara dengan membentak mitra tutur. Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.)
2) Subkategori memerintah
Tuturan (C3): “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” (Ya sana buat
sendiri! Kan kamu yang lapar.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras ketika mitra tutur
meminta dimasakan sesuatu. Penutur tidak menghiraukan mitra tutur.
Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.)
Tuturan (C9): “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” (Acara seperti itu
ditonton. Ganti!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan memaksa mitra tutur karena penutur
tidak senang dengan acara televisi yang sedang ditonton mitra tutur. Penutur
berbicara dengan ekspresi kesal. Penutur telah membuat mitra tutur
tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.)
3) Subkategori menyindir
Tuturan (C13): “Wis tutuk le dolan?” (Sudah puas yang main?)
(Konteks: Penutur berbicara dengan sinis ketika mitra tutur pulang ke
rumah. Penutur berbicara seperti menuduh mitra tutur. Penutur telah
membuat mitra tutur tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah
anaknya.)
Tuturan (C18): “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.”
(Tidak usah-tidak usah! Kerjaan kamu saja tidak selesai-
selesai.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan ketus kepada mitra tutur yang
bermaksud membantu pekerjaan penutur. Penutur menunjukkan ekspresi
galak. Penutur bereaksi secara spontan kepada mitra tutur. Penutur sengaja
membuat mitra tutur tidak nyaman dan tersinggung.)
4) Subkategori mengejek
Tuturan (C6): “Dasar anake wong edan!” (Dasar anaknya orang gila!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras kepada mitra tutur
yang sedang berjalan di depan rumahnya sambil bernyanyi. Penutur
berbicara dengan membentak mitra tutur. Penutur berbicara dengan
ekspresi datar. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung dan takut.
Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anak tetangganya.)
Tuturan (C16): “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa
pakainya.”
(Konteks: Penutur berbicara dengan sinis kepada mitra tutur yang baru
membeli handphone baru. Penutur berbicara dengan ekspresi menyepelekan
mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Penutur sadar
bahwa mitra tutur adalah adiknya.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
5) Subkategori mengacam
Tuturan (C11): ”Tenane? Awas nek salah, kowe lho!” (Beneran? Awas
kalau salah, kamu lho!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan sinis kepada mitra tutur yang telah
diminta membantunya mengerjakan soal. Penutur berbicara tanpa melihat
mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Penutur sadar
bahwa mitra tutur adalah kakaknya.)
Dari contoh tersebut, wujud ketidaksantunan pragmatik dalam kategori ini
ditandai dengan keadaan penutur yang menyadari posisinya dan posisi mitra tutur
di dalam keluarga. Selain itu, penutur dengan sengaja mengucapkan tuturan yang
tidak santun kepada mitra tutur karena penutur kecewa atau kesal kepada mitra
tutur. Tuturan yang diungkapkan dengan keras, kasar, ketus, dan sinis tersebut
membuat mitra tutur tersinggung, takut, dan tidak nyaman terhadap penutur.
Wujud ketidaksantunan pragmatik tersebut dapat dilihat pada tuturan (C4)
dan (C19) sebagai contoh. Wujud ketidaksantunan pragmatik pada tuturan (C4)
ditandai dengan penutur membentak mitra tutur yang tidak sengaja menginjak
kakinya. Hal itu membuat mitra tutur takut lalu meninggalkan penutur. Meskipun
penutur tahu bahwa mitra tutur adalah anak tetangganya, penutur tidak seharusnya
membentak mitra tutur, jika ingin menegurnya. Begitu pula dengan penutur (C7)
yang berbicara dengan memotong kalimat mitra tutur karena penutur tidak
berkenan dengan topik yang dibicarakan mitra tutur. Penutur berbicara dengan
membentak mitra tutur dan dengan ekspresi kesal sehingga membuat mitra tutur
tersinggung.
Selanjutnya, ketidaksantunan yang terjadi pada tuturan (C3) yaitu penutur
berbicara dengan volume yang keras ketika mmitra tutur meminta dimasakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
telur, padahal mitra tutur adalah anaknya. Penutur yang tidak menghiraukan mitra
tutur telah membuat mitra tutur tersinggung. Lain halnya dengan tuturan (C9).
Tuturan (C9) menjadi tidak santun karena penutur berbicara dengan memaksa
mitra tutur untuk mengganti acara televisi yang sedang ditonton mitra tutur.
Penutur yang berbicara dengan ekspresi kesal telah membuat mitra tutur
tersinggung.
Wujud ketidaksantunan yang ditunjukan oleh tuturan (C11), (C13), dan
(C16) yaitu penutur yang berbicara kepada mitra tutur dengan sinis. Penutur (C11)
berbicara dengan sinis kepada mitra tutur yang telah membantunya mengerjakan
soal, sehingga mitra tutur menganggap penutur telah meremehkannya. Penutur
(C13) berbicara dengan sinis kepada mitra tutur, sehingga penutur seolah-olah
menuduh mitra tutur yang baru pulang ke rumah. Begitu pula dengan penutur
(C16) yang berbicara sinis kepada mitra tutur yang baru membeli handphone
baru. Penutur berbicara dengan ekspresi menyepelekan mitra tutur. Cara atau
tindakan-tindakan tersebut ternyata membuat mitra tutur tersinggung.
Tuturan (C6) dan (C18) ternyata juga dianggap tidak santun karena telah
membuat mitra tuturnya tersinggung. Pada tuturan (C6), penutur berbicara dengan
volume yang keras kepada mitra tutur yang sedang berjalan di depan rumahnya
sambil bernyanyi. Penutur yang membentak mitra tutur telah membuat mitra
tutur tersinggung dan takut karena mitra tutur merasa nyanyiannya tidak
mengganggu penutur. Seperti halnya penutur (C6), penutur (C18) berbicara
dengan ketus dan menunjukkan ekspresi galak kepada mitra tutur yang bermaksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
membantu pekerjaan penutur. Tindakan ini dilakukan penutur dengan sengaja
untuk membuat mitra tutur tidak nyaman dan tersinggung.
4.3.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Wujud ketidaksantunan pragmatik yang selanjutnya adalah dalam kategori
menghilangkan muka. Berikut ini contoh tuturan tidak santun pada kategori
menghilangkan muka.
1) Subkategori menyindir
Tuturan (D2): “Kalau pas ada ibue, kesete.” (Kalau waktu ada ibunya,
malasnya.)
(Konteks: Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur 1 tentang sifat rajin
mitra tutur 2. Penutur dengan sengaja berbicara di depan mitra tutur 2.
Penutur tidak memperhatikan mitra tutur 2. Penutur berbicara dengan
volume yang keras. Penutur telah membuat mitra tutur 2 malu. Penutur
sadar bahwa mitra tutur 2 adalah anaknya.)
Tuturan (D4): “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.”
(Konteks: Penutur berbicara dengan sengaja mengenai gaji suami mitra
tutur, padahal tidak ada yang menanyakan hal tersebut. Penutur berbicara
dengan tertawa. Penutur menganggap hal yang dituturkan berupa lelucon,
padahal hal tersebut termasuk hal yang bersifat pribadi. Penutur telah
membuat mitra tutur 2 tersinggung dan malu.)
2) Subkategori mengejek
Tuturan (D3): “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” (Wah ibunya itu bodoh,
Mbak.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras ketika ditanya
tentang pendidikan istri penutur. Penutur berbicara dengan tertawa
meremehkan. Penutur telah membuat mitra tutur 2 malu. Penutur sadar jika
mitra tutur 2 adalah istrinya.)
Tuturan (D13): “Hpne ibu ki wis jadul.” (Hpnya ibu itu sudah jadul.)
(Konteks: Penutur dengan sengaja berbicara di depan mitra tutur yang
masih menggunakan handphone lama. Penutur berbicara dengan ekspresi
mengejek. Penutur telah membuat mitra tutur malu. Penutur sadar bahwa
mitra tutur adalah anaknya.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
3) Subkategori menyalahkan
Tuturan (D5): “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!”
(Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)
(Konteks: Penutur memberikan sangkalan dengan kasar kepada mitra tutur
yang memberikan jawaban salah. Penutur berbicara sangat dekat dengan
mitra tutur. Penutur berbicara kepada orang tua. Penutur telah membuat
mitra tutur malu.)
4) Subkategori memerintah
Tuturan (D9): “Ayo bali! Dolan wae.” (Ayo pulang! Main terus.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan berteriak kepada mitra tutur yang
masih bermain bersama temannya. Penutur berbicara dengan menunjukan
ekspresi marah. Penutur telah membuat mitra tutur malu dan takut. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.)
Tuturan (D10): “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (Sana
buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras kepada mitra tutur
yang meminta digorengkan telur. Penutur tidak menghiraukan mitra tutur.
Penutur dengan sengaja berbicara seperti meremehkan mitra tutur. Penutur
telah membuat mitra tutur malu dan tersinggung. Penutur sadar bahwa
mitra tutur adalah anaknya.)
Dari contoh tuturan yang termasuk kategori menghilangkan muka, tanda
wujud ketidaksantunan pragmatik kategori menghilangkan muka hampir sama
dengan tanda pada kategori melecehkan muka. Wujud ketidaksantunan pragmatik
pada kategori menghilangkan muka juga ditandai dengan adanya kesadaran posisi
penutur dan mitra tutur dalam keluarga, tuturan tidak santun diucapkan dengan
sengaja untuk meremehkan atau mengejek mitra tutur dan kadang diucapkan
dengan berteriak, ketus, atau kasar. Akibat tuturan penutur tersebut, mitra tutur
tidak hanya merasa tersinggung atau tidak nyaman, tetapi juga akan merasa malu
karena mitra tutur dalam kategori ini bisa lebih dari satu orang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Wujud ketidaksantunan pada tutuan (D2) dan (D3) ditandai dengan
kesengajaan penutur yang berbicara menggunakan volume keras kepada mitra
tutur. Penutur (D2) dengan sengaja berbicara dengan volume keras kepada mitra
tutur 2 yang malas jika di rumah ada ibunya, sedangkan penutur (D3) berbicara
dengan volume yang keras ketika menjelaskan pendidikan istrinya. Selain itu,
penutur juga berbicara dengan tertawa meremehkan. Kesengajaan lain yang
diungkapkan penutur dengan volume keras yaitu pada tutur (D9) dan (D10).
Penutur (D9) berbicara dengan berteriak dan dengan ekspresi marah kepada mitra
tutur yang masih bermain bersama temannya, sedangkan penutur (D10) berbicara
dengan volume yang keras seperti meremehkan mitra tutur yang meminta
digorengkan telur. Tindakan yang dilakukan penutur-penutur tersebut membuat
mitra tuturnya tersinggung, malu, dan takut.
Wujud ketidaksantunan lain dalam kategori menghilangkan muka terdapat
pada contoh tuturan (D4), (D5), dan (D13). Penutur (D4) berbicara dengan
sengaja mengenai gaji suami mitra tutur. Penutur menganggap hal yang dituturkan
berupa lelucon, padahal hal tersebut termasuk hal yang bersifat pribadi. Penutur
(D5) memberikan sangkalan dengan kasar kepada mitra tutur yang memberikan
jawaban salah, padahal mitra tutur adalah ibunya. Lain halnya dengan penutur
(D13) yang sengaja berbicara di depan mitra tutur dengan ekspresi mengejek
karena mitra tutur masih menggunakan handphone lama. Ketiga contoh tersebut
membuat mitra tuturnya merasa tersinggung dan malu, maka ketiga contoh
tersebut dikatakan tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
4.3.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Kategori terakhir adalah kategori menimbulkan konflik. Berikut ini adalah
contoh tuturan tidak santun dalam kategori menimbulkan konflik.
1) Subkategori melarang
Tuturan (E1): “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis (kata umpatan)!”
(Konteks: Penutur berbicara dengan membentak mitra tutur yang ingin
meminjam playstation penutur. Penutur menggunakan kata-kata umpatan.
Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur
memancing mitra tutur untuk mengikuti umpatannya. Penutur sadar bahwa
mitra tutur adalah adiknya.)
Tuturan (E2): “Ndak boleh! Ini buat aku.”
(Konteks: Penutur berbicara dengan membentak mitra tutur yang ingin
meminjam mainan penutur. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan
mitra tutur Penutur membuat mitra tutur takut dan menangis. Penutur sadar
bahwa mitra tutur adalah adiknya.)
2) Subkategori mengancam
Tuturan (E3): “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-
abrik!” (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku
porak-porandakan!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan membentak mitra tutur yang meletakan
sesaji di dalam rumah. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra
tutur Penutur berbicara dengan ekspresi marah. Penutur berbicara kepada
mitra tutur yang berumur lebih tua. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah
neneknya.)
Tuturan (E7): “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah!”
(Saya siram Kamu! Sekali bapal bicara, jangan dibantah!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan membentak mitra tutur yang terlambat
pulang. Penutur berbicara dengan ekspresi marah. Penutur membuat mitra
tutur berani melawan. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.)
3) Subkategori memerintah
Tuturan (E4): “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana,
heran.”
(Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras kepada mitra tutur
yang meminta dibuatkan susu. Penutur memaksakan kekendak kepada mitra
tutur. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
membuat mitra tutur menangis. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah
keponakannya.)
4) Subkategori mengejek
Tuturan (E5): “Yo ben, yo ben.” (Biarin, biarin.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur yang
menyuruh penutur untuk pulang. Penutur seperti menyepelekan mitra tutur.
Penutur membuat mitra tutur marah. Penutur sadar bahwa mitra tutur
adalah neneknya. )
5) Subkategori menolak
Tuturan (E6): “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (Ah nanti! Dengan mas
Ardha saja.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan kasar kepada mitra tutur yang
menyuruh penutur untuk mandi. Penutur berbicara dengan tidak
menghiraukan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur marah. Penutur
sadar bahwa mitra tutur adalah ayahnya.)
Tuturan (E9): “Wegah! Mas wae kae lho.” (Tidak mau! Mas saja itu lho.)
(Konteks: Penutur berbicara dengan kasar dan kesal kepada mitra tutur
yang menyuruh penutur untuk membelikan sabun di warung. Penutur
berbicara dengan volume yang keras. Penutur membuat mitra tutur kesal.
Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.)
6) Subkategori kesal
Tuturan (E8): “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!”
(Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!)
(Konteks: Penutur berbicara dengan kasar dan kesal kepada mitra tutur
yang tidak menyelesaikan tugas mengepelnya. Penutur berbicara di depan
mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur kesal. Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah adiknya.)
Wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori menimbulkan konflik
ditandai dengan penutur yang sengaja mengucapkan tuturan tidak santun kepada
mitra tutur. Tuturan tersebut diucapkan dengan membentak, mengumpat, marah,
kesal, keras, atau kasar. Akibat tuturan penutur tersebut, mitra tutur yang tidak
bisa menerima akhirnya juga memberikan respon yang membuat penutur dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
mitra tutur berkonflik. Contoh respon mitra tutur tersebut dapat berupa
memberikan umpatan kembali untuk penutur, takut, menangis, berani melawan
penutur, marah, atau kesal kepada penutur.
Wujud ketidaksantunan pragmatik yang terlihat jelas pada kategori
menimbulkan konflik yaitu penutur yang membentak mitra tutur, seperti pada
tuturan (E1), (E2), (E3), dan (E7). Penutur (E1) berbicara kepada mitra tutur yang
ingin meminjam playstation penutur dengan membentak dan menggunakan kata
umpatan. Penutur (E2) berbicara dengan membentak mitra tutur yang ingin
meminjam mainan penutur. Penutur (E3) membentak mitra tutur yang meletakan
sesaji di dalam rumah, sedangkan penutur (E7) membentak mitra tutur yang
terlambat pulang. Bentakan yang digunakan oleh penutur-penutur tersebut
ternyata membuat hati mitra tutur tidak berkenan sehingga menimbulkan konflik
di antara penutur dan mitra tutur.
Timbulnya konflik antara penutur dan mitra tutur juga dapat terjadi jika
penutur berbicara dengan kasar dan menunjukkan kekesalannya seolah-olah
menyepelekan mitra tutur, misalnya pada tuturan (E4), (E5), (E6), (E8), dan (E9).
Penutur (E4) berbicara dengan volume yang keras kepada mitra tutur yang
meminta dibuatkan susu. Penutur (E5) menyepelekan mitra tutur yang menyuruh
penutur untuk pulang. Penutur (E6) berbicara dengan kasar kepada mitra tutur
yang menyuruh penutur untuk mandi. Penutur (E8) berbicara dengan kasar dan
kesal kepada mitra tutur yang tidak menyelesaikan tugas mengepelnya. Penutur
(E9) berbicara dengan kasar dan kesal kepada mitra tutur yang menyuruh penutur
untuk membelikan sabun di warung. Tindakan penutur-penutur tersebut dikatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
tidak santun karena membuat mitra tuturnya kesal dan marah sehingga muncullah
konflik diantara penutur dan mitra tutur.
4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Seperti halnya wujud ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan juga
dibedakan ke dalam bagian linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan
linguistik dapat dilihat berdasarkan unsur segmental dan suprasegmental suatu
kalimat atau tuturan, sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Sebelum membahas lebih
lanjut, berikut ini diperlihatkan tuturan-tuturan dari kelima kategori
ketidaksantunan, yaitu melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan
muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik.yang menjadi contoh di
dalam pembahasan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik.
4.3.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan melanggar norma.
1) Subkategori menjanjikan
Tuturan (A1): “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur
sedang bermain game sampai lupa waktu. Mitra tutur mengingatkan penutur
untuk berhenti bermain karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur tidak
mengindahkan perintah mitra tutur.)
Tuturan (A3): “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.” (Sebentar ta, iya-iya sebentar
lagi)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur asyik
bermain laptop. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk mematikan laptop
karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur tidak mengindahkan perintah
mitra tutur.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
2) Subkategori menolak
Tuturan (A2): “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” (Ah malas.
Sekali-sekali tidak kan tidak apa-apa, Bu)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur dan mitra
tutur sedang makan malam. Di dalam keluarga penutur, ada peraturan
bahwa setelah makan, setiap orang harus mencuci piring sendiri-sendiri.
Setelah selesai makan, penutur meminta mitra tutur untuk mencucikan piring
miliknya. Mitra tutur menolak untuk mencucikan piring pernutur)
3) Subkategori kesal
Tuturan (A4): “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” (Ya
ampun, Bu. Baru jam sembilan masak sudah malam?)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat malam hari. Penutur baru
pulang ke rumah. Penutur melihat mitra tutur yang baru saja pulang. Mitra
tutur mengingatkan penutur bahwa ia pulang sudah terlalu malam. Mitra
tutur memperbolehkan penutur pergi sampai jam delapan malam.)
4.3.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak.
1) Subkategori menyindir
Tuturan (B7): “Masalahnya kamu itu ngeyel.”
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur
bertanya kepada penutur mengapa orang tuanya tidak mau membelikan
sepeda. Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.)
Tuturan (B8): “Diajari bola-bali kok ra dong-dong!” (Dilatih berkali-kali
kok tidak mengerti!)
(Konteks: Tuturan terjadi ruang keluarga, saat sore hari. Mitra tutur
meminta bantuan penutur untuk mengajarinya memakai komputer. Penutur
sudah berkali-kali mengajari mitra tutur. Mitra tutur tidak bisa mengingat
ajaran penutur.)
2) Subkategori memerintah
Tuturan (B2): “Udah-udah sana, karo mama kana!” (Sudah-sudah sana,
sama mama sana.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang
mengerjakan tugas. Mitra tutur mengajak penutur bermain sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
mengganggu pekerjaan penutur. Penutur yang merasa terganggu meminta
mitra tutur untuk bermain dengan ibunya.)
Tuturan (B5): “Mbah, ngelih Mbah. Cepet ta Mbah, selak laper je Mbah!”
(Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur melihat
mitra tutur memasak. Penutur tidak membantu mitra tutur yang
memasak.Mitra tutur tidak tahu kalau penutur juga berada di dapur.)
3) Subkategori menjanjikan
Tuturan (B3): “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang
menggendong adik mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk
memakaikan baju superman. Penutur belum bisa memakaikan baju kepada
penutur karena masih menggendong adik mitra tutur.)
4) Subkategori kesal
Tuturan (B4): “Nggak suka mbah kakung.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur
berbincang dengan mitra tutur 1. Mitra tutur 1 bertanya kepada penutur
mengapa takut kepada mitra tutur 2. Mitra tutur 2 mendengar tuturan
penutur.)
5) Subkategori mengejek
Tuturan (B6): “Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” (Iya, tidak
seperti kamu itu! Masih menganggur saja.)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur
menceritakan temannya yang sudah memiliki pekerjaan. Penutur menimpali
cerita mitra tutur.)
4.3.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan melecehkan muka.
1) Subkategori kesal
Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah penutur saat siang hari. Mitra
tutur sedang bermain dengan anak penutur di tempat yang sama. Mitra tutur
tidak sengaja menginjak kaki penutur saat berjalan ke dalam rumah penutur.
Penutur menegur mitra tutur yang dianggap tidak memperhatikan jalan.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Tuturan (C7): “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” (Tidak peduli!
Terserah omonganmu apa.)
(Konteks: Tuturan terjadi di dapur, saat malam hari. Mitra tutur sedang
memasak. Penutur menemani mitra tutur memasak. Mitra tutur mencoba
membuka pembicaraan dengan penutur. Topik pembicaraan yang diangkat
oleh mitra tutur tidak berkenan oleh penutur.)
2) Subkategori memerintah
Tuturan (C3): “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” (Ya sana buat
sendiri! Kan kamu yang lapar.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu pada saat siang hari. Penutur
sedang menerima tamu di rumah. Mitra tutur baru saja pulang dari sekolah.
Penutur tidak menyiapkan makan siang, padahal mitra tutur sudah lapar.)
Tuturan (C9): “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” (Acara seperti itu
ditonton. Ganti!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur
datang mendekati mitra tutur karena ingin menonton televisi juga. Mitra
tutur menonton sinetron sesukaannya. Mitra tutur tidak suka menonton
sinetron.)
3) Subkategori menyindir
Tuturan (C13): “Wis tutuk le dolan?” (Sudah puas yang main?)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat sore menjelang maghrib.
Mitra tutur baru pulang ke rumah setelah pergi selama sepuluh jam. Penutur
melihat mitra tutur masuk ke rumah.)
Tuturan (C18): “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.”
(Tidak usah-tidak usah! Kerjaan kamu saja tidak selesai-
selesai.)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Penutur sedang
memotong sayur untuk dimasak. Mitra tutur bermaksud membantu penutur
untuk memotong sayuran. Mitra tutur bertugas mengupas bawang. Mitra
tutur belum selesai mengupas bawang.)
4) Subkategori mengejek
Tuturan (C6): “Dasar anake wong edan!” (Dasar anaknya orang gila!)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah saat sore hari. Mitra tutur berjalan
melewati penutur sambil bernyanyi. Penutur melihat mitra tutur yang
berjalan sambil bernyanyi.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
Tuturan (C16): “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa
pakainya.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang ruang keluarga, saat sore hari. Penutur
melihat mitra tutur belajar memakai handphone baru. Penutur merasa iri
karena mitra tutur punya handphone baru.)
5) Subkategori mengacam
Tuturan (C11): ”Tenane? Awas nek salah, kowe lho!” (Beneran? Awas
kalau salah, kamu lho!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur
sedang belajar. Mitra tutur menenami penutur belajar. Penutur bertanya
kepada mitra tutur tentang suatu soal. Penutur merasa jawaban mitra tutur
tidak meyakinkan.)
4.3.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan menghilangkan muka.
1) Subkategori menyindir
Tuturan (D2): “Kalau pas ada ibue, kesete.” (Kalau waktu ada ibunya,
malasnya.)
(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1
bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang sifat rajin mitra
tutur 2. Mitra tutur 2 mengantarkan minuman untuk penutur dan mitra tutur.)
Tuturan (D4): “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.”
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat sore hari. Penutur sedang
berbincang-bincang dengan tetangga di depan rumah dalam keadaan santai.
Mitra tutur 1 menghampiri penutur untuk menanyakan nama pemilik rumah
yang berada di samping rumah penutur. Penutur menjawab pertanyaan mitra
tutur 1. Penutur melihat sang pemilik rumah, mitra tutur 2, berada di luar
rumah.)
2) Subkategori mengejek
Tuturan (D3): “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” (Wah ibunya itu bodoh,
Mbak.)
(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1
bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang pendidikan mitra
tutur 2. Mitra tutur 2 ada di luar rumah. Mitra tutur mendengar tuturan
penutur.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Tuturan (D13): “Hpne ibu ki wis jadul.” (Hpnya ibu itu sudah jadul.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat sore hari. Penutur
meminta handphone baru kepada mitra tutur. Mitra tutur menganjurkan
penutur untuk memakai handphone penutur dulu. Penutur tidak mau
memakai handphone penutur.)
3) Subkategori menyalahkan
Tuturan (D5): “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!”
(Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)
(Konteks: Tuturan terjadi saat penutur sedang duduk bersantai di luar
rumah, sore hari. Penutur bertanya kepada mitra tutur yang baru saja keluar
dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah penutur Penutur menganggap
jawaban mitra tutur salah.)
4) Subkategori memerintah
Tuturan (D9): “Ayo bali! Dolan wae.” (Ayo pulang! Main terus.)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain
di lapangan dekat rumahnya bersama dengan teman-temannya. Penutur
hendak pulang ke rumah menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur
masih bermain.)
Tuturan (D10): “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (Sana
buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur
meminta penutur untuk menggorengkan telur. Penutur tidak mau
menggorengkan telur karena menganggap mitra tutur sudah besar dan sudah
harus bisa memasak sendiri.)
4.3.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan menimbulkan konflik.
1) Subkategori melarang
Tuturan (E1): “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis (kata umpatan)!”
(Konteks: Tuturan terjadi saat penutur bermain playstation di rumah setelah
pulang sekolah. Penutur tidak mau digangu saat bermain. Penutur tidak
memperbolehkan mitra tutur yang ingin meminjam playstation penutur.)
Tuturan (E2): “Ndak boleh! Ini buat aku.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang bermain yang ada di rumah saat siang
hari. Penutur sedang bermain dengan mitra tutur di tempat bermain. Mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
tutur tiba-tiba merebut mainan mobil-mobilan penutur. Penutur tidak mau
kalau mainan mobil-mobilannya direbut.)
2) Subkategori mengancam
Tuturan (E3): “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-
abrik!” (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku
porak-porandakan!)
(Konteks: Tuturan terjadi di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat
sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota
keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji.
Penutur mengancam mitra tutur.)
Tuturan (E7): “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah!”
(Saya siram Kamu! Sekali bapal bicara, jangan dibantah!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang
maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah.
Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari
mitra tutur.)
3) Subkategori memerintah
Tuturan (E4): “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana,
heran.”
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat penutur sedang bersantai di
waktu sore. Mitra tutur datang minta dibuatkan susu. Penutur tidak mau
membuatkan susu karena susu yang sebelumnya belum habis diminum oleh
mitra tutur.)
4) Subkategori mengejek
Tuturan (E5): “Yo ben, yo ben.” (Biarin, biarin.)
(Konteks: Tuturan terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah
penutur, saat mahgrib penutur sedang bermain dengan teman-temannya di
lapangan. Mitra tutur menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena
sudah maghib. Penutur tidak mau pulang ke rumah.)
5) Subkategori menolak
Tuturan (E6): “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (Ah nanti! Dengan mas
Ardha saja.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur
menyuruh penutur untuk mandi karena sudah sore.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Tuturan (E9): “Wegah! Mas wae kae lho.” (Tidak mau! Mas saja itu lho.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat pagi hari. Mitra tutur 1
menyuruh penutur untuk membeli sabun di warung. Mitra tutur 2 sedang
mengerjakan PR. Penutur sedang menonton televisi. Penutur tidak mau
membelikan sabun karena malas.)
6) Subkategori kesal
Tuturan (E8): “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!”
(Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang
mengepel lantai. Penutur berjalan melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta
penutur untuk mengeringkan lantai yang masih basah. Penutur masih
memiliki tanggungan pekerjaan rumah yang lain.)
Setelah melihat contoh-contoh tuturan tersebut, pembahasan mengenai
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik adalah sebagai berikut.
Penanda ketidaksantunan dilihat dari kajian linguistik dan pragmatik.
Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan unsur segmental dan
suprasegmental suatu kalimat atau tuturan, sedangkan penanda ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut.
Pranowo (2009:76) berpendapat bahwa aspek penentu kesantunan dalam
bahasa lisan antara lain aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang
berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada
resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor
pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Sesuai dengan pendapat tersebut,
penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari unsur segmental dan unsur
suprasegmental kalimat. Unsur segmental dalam kalimat yang akan dikaji sebagai
penanda ketidaksantunan linguistik terdiri dari diksi dan partikel atau kata fatis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
sedangkan unsur suprasegmental yang akan dikaji sebagai penanda
ketidaksantunan linguistik terdiri dari intonasi, tekanan, dan nada.
Unsur segmental yang pertama adalah diksi. Gorys Keraf (1987)
menjelaskan bahwa pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana
yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk
pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan
yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-
nuansa makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Diksi atau pilihan kata merupakan salah satu penentu kesantunan dalam
bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ketika seorang sedang bertutur, kata-
kaata yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks
pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan dan sebagainya
(Pranowo, 2009:77). Dengan berdasarkan data tuturan, diksi digunakan untuk
mempertegas santun tidaknya maksud suatu tuturan. Pemakaian diksi dalam
tuturan tersebut juga dipengaruhi oleh bahasa yang berkembang dalam keluarga
atau masyarakat. Penggunaan bahasa yang ditemukan dalam tuturan tidak santun
dalam keluarga adalah bahasa nonstandar dan bahasa populer.
Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang dipakai untuk pergaulan biasa,
tidak dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur nonstandar
dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam senda-gurau, berhumor, atau untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Bahasa nonstandar
yang digunakan yang ditemukan hampir di seluruh tuturan setiap kategori.
Penggunaan bahasa nonstandar ini dipengaruhi oleh identitas masyarakat yang
semuanya merupakan masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, dalam komunikasi sehari-
hari angota keluarga juga menggunakan bahasa Jawa.
Pada kategori melanggar norma, tuturan (A1) sampai dengan (A4)
memakai bahasa nonstandar. Tuturan (A1) termasuk dalam bahasa nonstandar
karena tuturan tersebut memakai kata tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu
kata “bentar” yang seharusnya “sebentar”. Selain itu, tuturan (A1) juga
menyisipkan kata “lagi” dalam bahasa Jawa yang berarti “sedang”. Selanjutnya
tuturan (A2) dan (A3) termasuk dalam bahasa nonstandar karena kedua tuturan
tersebut memakai bahasa Jawa. Seperti halnya tuturan (A2) dan (A3), tuturan
(A4) juga termasuk dalam bahasa nonstandar karena tuturan tersebut juga
menggunakan bahasa Jawa dan adanya kata tidak baku dalam bahasa Indonesia,
yaitu kata “malem” yang seharusnya “malam”.
Pemakaian bahasa nonstandar pada kategori mengancam muka sepihak
terdapat pada tuturan (B2), (B4), (B5), (B6), dan (B8). Tuturan (B2) memakai
bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian bahasa Indonesia yang disipisi
kata dalam bahasa Jawa, yaitu kata “karo” dan “kana” yang berarti “dengan” dan
“sana”. Pada tuturan (B4), bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian bahasa
kata tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “nggak” yang seharusnya
“tidak”. Selanjutnya untuk tuturan (B5), pemakaian bahasa nonstandar dalam
tuturan tersebut ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dan penyisipan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “laper” yang seharusnya kata
“lapar”. Selain tuturan (B5), pemakaian bahasa nonstandar yang ditandai dengan
pemakaian bahasa Jawa juga terdapat dalam tuturan (B6), dan (B8).
Kategori selanjutnya adalah kategori menghilangkan muka. Pada kategori
ini bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa yang terdapat pada
tuturan (C4), (C6), (C7), (C9), (C11), (C13), dan (C18). Pemakaian bahasa Jawa
juga terdapat dapat pada tuturan (C3). Namun, tanda yang membuat tuturan (C3)
termasuk dalam bahasa nonstandar adalah adanya pemakaian kata tidak baku
dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “laper” yang seharusnya “lapar. Tuturan lain
yang juga termasuk dalam bahasa nonstandar adalah tuturan (C16). Meskipun
tuturan (C16) menggunakan bahasa Indonesia, tuturan ini juga termasuk dalam
bahasa nonstandar karena pemakaian kata tidak baku, yaitu kata “tapi”, “nggak”,
dan “pakainya” yang seharusnya “tetapi”, “tidak”, dan “memakainya”.
Pemakaian bahasa nonstandar juga terdapat pada kategori menghilangkan
muka. Bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa terdapat
pada tuturan (D3), (D5), (D9), (D10), dan (D13). Selain itu, tuturan (D2) juga
termasuk bahasa nonstandar karena tuturan tersebut disisipi kata dalam bahasa
Jawa, yaitu kata “kesete” yang berarti “malasnya”. Selain itu, penyisipan kata
dalam bahasa Indonesia juga menjadi tanda bahasa nonstandar, seperti pada
tuturan (D5) yang memakai kata “sembarangan”.
Kategori selanjutnya adalah kategori menimbulkan konflik. Pada kategori
ini, tuturan yang memakai bahasa nonstandar terdapat dapa tuturan (E1), (E3),
(E5) s.d. (E9). Bahasa nonstandar pada tuturan (E1) ditandai dengan pemakaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
kata dalam bahasa Indonesia yang tidak baku, yaitu kata “nggak” seharusnya
“tidak”. Pada tuturan (E3), bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian frasa
dalam bahasa Indonesia, yaitu “tak obrak-abrik” yang berarti “aku porak-
porandakan”. Selanjutnya, tanda bahasa nonstandar pada tuturan (E5), (E6), (E8),
dan (E9) adalah pemakaian bahasa Jawa pada tuturan-tuturan tersebut, sedangkan
pada tuturan (E7), bahasa nonstandar ditandai dengan penggabungan bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia.
Selain bahasa nonstandar, bahasa populer juga ditemukan dalam
pemakaian diksi pada tuturan yang diperoleh. Kata-kata populer merupakan kata-
kata yang selalu digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik antara mereka
yang berada di lapisan atas maupun antara mereka yang dilapisan bawah atau
antara lapisan atas dan lapisan bawah (Keraf, 1987). Dari tuturan di atas,
ditemukan enam tuturan yang terdapat pada tiga kategori. Pertama, kategori
mengancam muka sepihak terdapat pada tuturan (B3) dan (B7). Kedua, kategori
menghilangkan muka terdapat pada tuturan (D4). Ketiga, kategori menimbulkan
konflik terdapat pada tuturan (E2) dan (E4). Keenam tuturan tersebut termasuk
dalam bahasa populer karena pada tuturan-tuturan tersebut memakai bahasa
Indonesia yang baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari.
Pada syarat kesesuaian pemakaian kata, disebutkan bahwa pemakaian kata
jargon dan kata slang hendakya dihindari. Namun, kedua kata tersebut ditemukan
pada komunikasi sehari-hari. Kata jargon mengandung makna suatu bahasa,
dialek, atau tutur yang dianggap kurang sopan atau aneh, sedangkan kata slang
adalah kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara khas; atau kata-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan yang khas, bertenaga
dan jenaka yang dipakai dalam percakapan (Keraf, 1987). Pada data tuturan yang
ditemukan, terdapat dua tuturan yang memakai kata jargon dan slang sebagai
tanda bahasa nonstandar. Pertama, tuturan (C4) menggunakan jargon “yak-
yakan”. Jargon ini dalam bahasa Jawa merupakan ungkapan rasa kesal yang
berlebihan dan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata “sembrono”.
Tuturan kedua terdapat pada tuturan (D13). Tuturan (D13) memakai kata slang
“jadul” yang memupakan singkatan dari “jaman dulu”. Singkatan ini termasuk
dalam kata slang karena kata “jadul” muncul secara arbitrer dan telah menjadi
kata yang khas dan memiliki makna lebih dalam untuk mengungkapkan istilah
“kuno”.
Unsur segmental yang kedua yaitu kategori fatis. Kridalaksana (1986:113)
mengelompokkan partikel di dalam kategori fatis. Kategori fatis adalah kategori
yang bertugas memulai, mempertahankan, atau megkukuhkan pembicaraan antara
pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka
kebanyakan kategori fatis terhadap dalam kalimat-kalimat non-standar yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
Kategori fatis berfungsi sebagai penegasan suatu tuturan yang tidak
santun. Karena seluruh penutur berasal dari Jawa, kategori fatis yang digunakan
pada saat bertutur adalah kategori fatis yang mengandung unsur atau dialek
bahasa Jawa. Kategori fatis tersebut adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
1) Kategori fatis ah yang terdapat pada tuturan (A2) dan (E6). Kategori fatis ah
menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Pada tuturan (A2), penutur
menekankan penolakannya terhadap perintah mitra tutur karena malas harus
selalu mencuci piring sendiri setalah makan. Sedangkan pada tuturan (E6),
penutur acuh tak acuh terhadap perintah mitra tutur yang menyuruh penutur
segera mandi.
2) Kategori fatis ayo yang terdapat pada tuturan (D9) menekankan suatu ajakan.
3) Kategori fatis ya yang terdapat pada tuturan (A4) dan (C3). Kategori fatis ya
pada tuturan (A4) dan (C3) bertugas mengukuhkan atau menegaskan ekspresi
kekecewaan dan pemberian perintah kepada mitra tutur.
4) Kategori fatis kok yang terdapat pada tuturan (B8), (E4), dan (E8). Kategori
fatis kok pada tuturan (B8) bertugas sebagai pengganti kata tanya mengapa
atau kenapa, sedangkan kategori fatis kok pada tuturan (E4), dan (E8)
menekankan alasan dan pengingkaran.
5) Kategori fatis lho yang terdapat pada tuturan (C11) dan (E9). Kategori fatis
lho pada tuturan (C11) dan (E9) terletak di akhir kalimat, maka lho bertugas
menekankan kepastian.
6) Kategori fatis ta terdapat pada tuturan (A1), (A2), (A3), (A4), (B3), dan (B5).
Kategori fatis ta yang terdapat pada keenam tuturan tersebut berfungsi untuk
memberikan penegasan pada kata di depannya.
7) Kategori fatis je terdapat pada tuturan (B5). Kategori fatis je pada tuturan
(B5) berfungsi untuk memberikan penegasan suatu alasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
8) Kategori fatis wong terdapat pada tuturan (C3) dan (E4). Kategori fatis wong
pada tuturan (C3) berfungsi untuk menegaskan suatu alasan, sedangkan pada
tuturan (E4) bersifat menekankan pembuktian.
9) Kategori fatis has terdapat pada tuturan (C7). Kategori fatis has pada tuturan
tersebut berfungsi untuk menekankan ekspresi kecewa.
Setelah diksi dan kategori fatis dalam unsur segmental, unsur
suprasegmental yang pertama ialah nada. Aspek nada dalam bertutur lisan
mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya
ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur.
(Pranowo, 2009:77).
Hasil analisis data tuturan yang telah diperoleh penutur menggambarkan
bahwa nada tuturan penutur juga mempengaruhi santun tidaknya tuturan tersebut.
Peneliti menemukan tiga jenis nada yang digunakan penutur sehingga tuturan
tersebut menjadi tidak santun. Tiga nada tersebut adalah nada naik rendah, nada
turun datar, dan nada naik tinggi.
Nada naik rendah menggambarkan suasana hati penutur yang sedang
senang atau bercanda. Namun, nada bercanda ini jika digunakan pada situasi yang
tidak tepat, bisa membuat tuturan penutur menjadi tidak santun. Penutur yang
menggunakan nada bercanda dalam tuturan tidak santunnya terdapat pada tuturan
(C11), (D4), dan (D13). Tuturan (C11) menjadi tidak santun karena penutur
menggunakan nada bercanda dalam keadaan yang sedang serius atau resmi,
sedangkan tuturan (D4), dan (D13) menjadi tidak santun karena penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
menggunakan nada bercanda untuk membicarakan hal yang bersifat pribadi,
misalnya mengenai pendapatan atau gaji, dan barang-barang pribadi.
Selanjutnya, nada turun datar menggambarkan suasana hati penutur yang
sedang sedih atau kecewa. Seperti halnya nada bercanda, nada ini juga dapat
menyebabkan suatu tuturan menjadi tidak santun karena digunakan pada situasi
yang tidak tepat. Penutur yang menggunakan nada kecewa pada tuturan (A4),
nada sedih pada tuturan (D2) dan (D3), serta nada ketidaksenangan pada tuturan
(B4).
Nada yang terakhir adalah nada naik tinggi. Nada naik tinggi
menggambarkan suasana hati penutur yang sedang marah, kesal, atau emosi.
Penutur yang menggunakan nada ini dengan kasar dan memiliki maksud untuk
mengejek, menyindir, menegur, memerintah atau melarang akan membuat mitra
tutur merasa tersinggung, malu, takut, bahkan juga merasa kesal kepada penutur.
Nada naik tinggi ini paling banyak digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan
tuturannya sehingga menjadi tidak santun. Pada kategori melanggar norma, nada
naik tinggi terdapat pada tuturan (A1) s.d. (A3). Pada kategori mengancam muka
sepihak, nada ini terdapat pada tuturan (B2), (B3), (B5) s.d (B8). Pada kategori
melecehkan muka, nada ini terdapat pada tuturan (C3), (C4), (C6), (C7), (C9),
(C13), (C16), dan (C18). Pada kategori menghilangkan muka, nada ini terdapat
pada tuturan (D5), (D9), dan (D10). Pada kategori menimbulkan konflik, nada ini
terdapat dalam seluruh tuturan, yaitu tuturan (E1) s.d. (E9).
Unsur suprasegmental yang kedua adalah tekanan. Muslich (2009:113)
berpendapat bahwa pada tataran kalimat, tidak semua kata mendapat tekanan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
sama. Hanya kata-kata yang dipentingkan atau dianggap penting saja yang
mendapatkan tekanan. Oleh karena itu, pendengar harus mengetahui ‘maksud’ di
balik makna tuturan yang didengarnya.
Pada suatu tuturan, penutur memberikan tekanan pada kata atau frasa
untuk menyampaikan maksudnya. Pada bagian analisis data, telah disebutkan ada
tujuh belas maksud penutur dari tuturan tidak santunnya. Pertama, penutur yang
memiliki maksud menolak terdapat pada tuturan (A1), (D10), dan (E9) dengan
penekanan pada kata “bentar”, “gawe dewe”, dan “wegah”. Kedua, penutur yang
memiliki maksud memprotes terdapat pada tuturan (A4) dengan penekanan pada
bagian “ya ampun”. Ketiga, penutur yang memiliki maksud bercanda terdapat
pada tuturan (C11) dengan penekanan pada bagian “tenane”. Keempat, penutur
yang bermaksud memberikan pengertian terdapat pada tuturan (B2) dan (B3)
dengan penekanan pada kata “kana” dan “sebentar”. Maksud kelima adalah
maksud memohon yang terdapat pada tuturan (B5) dengan penekanan pada bagian
“cepet ta Mbah”. Keenam, penutur yang memiliki maksud mengungkapkan
ketidaksenangan terdapat pada tuturan (B4) dengan penekanan pada bagian
“nggak suka”.
Selanjutnya, maksud ketujuh adalah maksud menyindir terdapat pada
tuturan (B6), (D2), dan (E8) dengan penekanan pada bagian “kowe kuwi”,
“kesete”, dan “ora tuntas”. Kedelapan, penutur bermaksud mengejek terdapat
pada tuturan (B7), (C6), dan (C16) dengan penekanan pada bagian “ngeyel”,
“dasar”, dan “percuma”. Maksud kesembilan adalah maksud mengekspresikan
kekesalan terdapat pada tuturan (B8), (C7), dan (D5) dengan penekanan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
bagian “ra dong-dong”, “luweh”, dan “ngawur”. Kesepuluh, maksud meminta
tolong yang terdapat dalam tuturan (C1) dengan penekanan pada bagian “piye,
Be”. Kesebelas, maksud menegur yang terdapat dalam tuturan (C4), (C9), dan
(C13) dengan penekanan pada bagian “yak yakan”, “ditonton”, dan “wis tutuk”.
Kedua belas, penutur memiliki maksud memerintah yang terdapat dalam tuturan
(C3), (D9), dan (E4) dengan penekanan pada bagian “gawe dewe”, “ayo bali”, dan
“sana ambil”.
Selanjutnya, maksud ketiga belas adalah maksud melarang yang terdapat
dalam tuturan (C18), (E1), dan (E2) dengan penekanan pada bagian “rasah-rasah”,
“nggak boleh”, dan “ndak boleh”. Keempat belas, maksud menyalahkan dalam
tuturan (C10) dengan penekanan pada bagian “salahe”. Kelima belas, maksud
membandingkan dalam tuturan (D6) dengan penekanan pada bagian “mbok kaya
mas”. Keenam belas, penutur memiliki maksud meremehkan terdapat dalam
tuturan (D3) dengan penekanan pada bagian “nek ibue ki”. Maksud terkahir yang
dimiliki oleh penutur adalah maksud menakut-nakuti. Maksud menakut-nakuti
terdapat dalam tuturan (E3) dan (E7) dengan penekanan pada bagian “tak orak-
abrik” dan “tak grujug kowe”.
Selanjutnya, tekanan sebagai unsur suprasegmental ketiga. Muslich (2008:
115-116) berpendapat bahwa intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan
dalam pembedaan maksud kalimat. Selain itu, aspek intonasi dalam bahasa lisan
sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa (Pranowo, 2009:76).
Secara umum, tuturan-tuturan tidak santun yang disampaikan oleh penutur
memiliki intonasi yang berbeda-beda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
Berdasarkan intonasinya, kalimat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama,
kalimat berita (deklaratif) ditandai dengan pola intonasi datar-turun. Kedua,
kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola intonasi datar-naik, Ketiga,
kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi datar-tinggi (Muslich,
2008:115-116).
Kalimat berita dengan pola intonasi datar turun ditemukan pada kategori
melanggar norma, kalimat berita terdapat pada tuturan (A1), (A2), (A3) untuk
mengungkapkan penolakan kepada mitra tutur. Pada kategori mengancam muka
sepihak, intonasi berita terdapat pada tuturan (B4) dan (B7) untuk
mengungkapkan ketidaksenangan dan mengejek mitra tutur. Pada kategori
melecehkan muka, tuturan (C16) juga menggunakan intonasi berita untuk
mengejek mutra tutur. Pada kategori melecehkan muka, tuturan yang berintonasi
berita terdapat pada tuturan (D2), (D3), (D4), dan (D13) dengan maksud
menyindir, meremehkan, dan hanya bercanda kepada mitra tutur.
Jenis kalimat yang kedua ialah kalimat tanya dengan intonasi datar naik.
Tuturan yang termasuk dalam kalimat tanya terdapat pada dua kategori, yaitu
kategori melanggar norma dan kategori melecehkan muka. Pada kategori
melanggar norma, kalimat tanya terdapat dalam tuturan (A4) dengan maksud
untuk memprotes mitra tutur, sedangkan kalimat tanya dalam kategori
melecehkan terdapat pada tuturan (C13) yang bermaksud menegur mitra tutur.
Jenis kalimat ketiga dengan intonasi datar tinggi adalah kalimat perintah.
Tuturan dengan jenis kalimat perintah terdapat dalam empat kategori dengan
tujuan yang sama yaitu memberikan perintah kepada mitra tutur. Pertama,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
kategori mengancam muka sepihak terdapat dalam tuturan (B2) dan (B5). Kedua,
kategori melecehkan muka terdapat dalam tuturan (C3) dan (C9). Ketiga, kategori
menghilangkan muka terdapat pada tuturan (D9) dan (D10). Keempat, kategori
melanggar norma terdapat dalam tuturan (E4) dan (E7).
Selain ketiga jenis kalimat tersebut, Keraf (1991:208) menambahkan
kalimat seru dalam jenis kalimat. Kalimat seru adalah kalimat yang menyatakan
perasaaan hati, kekaguman, atau keheranan terhadap suatu hal. Kalimat ini
dinyatakan dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
Tuturan yang termasuk menggunakan intonasi seru terdapat dalam empat
kategori ketidaksantunan. Pertama, kategori mengancam muka sepihak yang
terdapat pada tuturan (B6) dan (B8) untuk mengungkapkan rasa kesal penutur dan
menyindir mitra tutur. Kedua, tuturan (C4), (C6), (C7), dan (C18) pada kategori
melecehkan muka menggunakan intonasi seru untuk menegur, mengejek,
mengungkapkan rasa kesal, dan melarang. Ketiga, intonasi seru pada kategori
menghilangkan muka terdapat dalam tuturan (D5) dengan maksud untuk
mengungkapkan rasa kesal penutur kepada mitra tutur. Keempat, intonasi seru
dalam kategori menimbulkan konflik terdapat pada tuturan (E1), (E2), (E3), (E6),
(E8), dan (E9) yang digunakan untuk melarang, menakut-nakuti, menolak, dan
menyindir mitra tutur.
Setelah pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan lingusitik,
pembahasan berikutnya mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik. Penanda
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi
tuturan tersebut. Konteks dalam istilah Leech (1983) disebut ‘speech situation’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan lima aspek yang
senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik, sehubungan
dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan
sebuah tuturan. Kelima aspek tersebut terdiri dari penutur dan lawan tutur,
konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas,
dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek pertama adalah penutur dan lawan tutur. Bahasa merupakan alat
komunikasi. Berkomunikasi merupakan interaksi antara penutur dengan mitra
tutur. Ketika penutur berinteraksi dengan mitra tutur, mitra tutur diharapkan dapat
memahami maksud penutur. Mitra tutur tidak cukup hanya disuguhi dengan
maksud. Mereka juga ingin mendapatkan persepsi mengenai penutur.Persepsi
mitra tutur terhadap penutur diperoleh melalui cara menyampaikan maksud
menggunakan bahasa. Jika cara menyampaikan maksud dilakukan oleh penutur
dengan bahasa yang mudah dipahami, perssepsi penutur akan mengatakan bahwa
penutur sangat mahir menerangjelaskan suatu pokok masalah kepada mitra tutur.
Jika penutur menggunakan kata-kata yang enak dirasakan, mitra tutur akan
mempersepsi penutur sebagai orang yang santun. Pada saat interaksi antara
penutur dengan mitra tutur sedang berlangsung, kadang-kadang terdapat orang
ketiga yang sedang berada di luar konteks pembicaraan ikut mempersepsi tuturan
penutur. Orang ketiga tersebut mempersepsi seberapa tingkat kejelasan maksud
tuturan dan seberapa tingkat kesantunan bahasa penutur (Pranowo, 2009:14–15).
Selain dicermati dari bahasa penutur, santun tidaknya suatu tuturan
dipengaruhi oleh aspek-aspek yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur. Aspek-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar
belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
Dari data yang telah diperoleh, tuturan-tuturan tidak santun yang
diungkapkan oleh anggota keluarga atau orang di luar keluarga. Tuturan tidak
santun yang terungkap di antara anggota keluarga, yaitu tuturan antara anak
dengan orang tua, cucu dengan nenek atau kakek, atau adik dengan kakak.
Sedangkan tuturan tidak santun yang terungkap di luar anggota keluarga, yaitu
tuturan antara salah satu anggota keluarga dengan tetangga atau tamu.
Budaya Jawa mengajarkan seorang yang memiliki usia lebih muda atau
memiliki jabatan lebih rendah harus berbicara dengan bahasa yang halus atau
basa krama untuk menunjukkan kesantunannya. Namun, dalam kenyatannya hal
ini seperti tidak berlaku lagi jika berada dalam komunikasi keluarga. Hubungan
kekerabatan yang erat di antara anggota keluarga ditunjukkan dengan penggunaan
bahasa yang biasa atau basa madya, bahkan cenderung kasar atau basa ngoko.
Penggunaan basa madya dan basa ngoko tersebut memang menunjukkan
hubungan yang erat dan akrab di antara anggota keluarga, tetapi penggunaan
kedua bahasa tersebut akan menjadi tidak santun jika tuturan tersebut tidak
berkenan bagi mitra tutur. Hal ini terjadi seperti pada tuturan (A2), (A3), (A4),
(B5), (B6), (B8), (C11), (D5), (D13), (E3), (E5), (E6) dan (E9). Tuturan-tuturan
tersebut merupakan tuturan tidak santun karena tuturan-tuturan tersebut
menggunakan bahasa Jawa ngoko dan diutarakan dengan kasar kepada mitra tutur
yang biasanya lebih tua dari dari penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
Tuturan (A2) melibatkan seorang anak laki-laki berumur 14 tahun sebagai
penutur dan seorang ibu berumur 37 tahun sebagai mitra tutur. Tuturan (A3) dan
(C11) melibatkan seorang adik berumur 13 tahun sebagai penutur dan kakak
berumur 22 tahun sebagai mitra tutur. Tuturan (A4) melibatkan seorang anak
perempuan berumur 22 tahun sebagai penutur dan seorang ibu berumur 45 tahun
sebagai mitra tutur.Tuturan (B5) dan (E5) melibatkan seorang cucu berumur 7
tahun sebagai penutur dan nenek berumur 56 tahun sebagai mitra tutur. Tuturan
(B6) melibatkan kakak adik laki-laki berumur 12 tahun dan 22 tahun sebagai
penutur dan mitra tutur. Tuturan (B8) melibatkan penutur laki-laki berumur 23
tahun dan mitra tutur laki-laki berumur 55 tahun, penutur adalah anak mitra tutur.
Tuturan (D5) melibatkan anak permpuan berumur 35 tahun sebagai penutur dan
ibu berumur 58 tahun sebagai mitra tutur. Tuturan (D13) melibatkan penutur laki-
laki berumur 19 tahun dan mitra tutur berumur 36 tahun sebagai ibu penutur.
Tuturan (E3) melibatkan anak perempuan berumur 16 tahun sebagai penutur dan
nenek berumur 57 tahun sebagai mitra tutur. Tuturan (E6) dan (E9) melibatkan
anak perempuan berumur 7 tahun sebagai penutur dan seorang ayah berumur 39
tahun sebagai mitra tutur.
Aspek yang kedua ialah konteks tuturan. Di dalam pragmatik konteks itu
pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund
knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. Meskipun
penutur tidak bisa memastikan apakah mitra tutur memiliki informasi atau
pengetahuan yang sama atau tidak, penutur akan beranggapan bahwa mitra tutur
telah memiliki persamaan informasi atau pengetahuan tentang suatu hal yang akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
dikomunikasikan. Jika penutur dan mitra tutur memiliki informasi atau
pengetahuan yang sama, maksud penutur dapat tersampaikan dengan baik kepada
mitra tutur. Sebaliknya, jika mitra tutur tidak memiliki informasi atau
pengetahuan yang sama dengan penutur, maksud atau pesan penutur tidak dapat
dipahami oleh mitra tutur sehingga komunikasi menjadi gagal.
Jika penutur ingin maksud tuturannya tersampaikan dengan baik, penutur
perlu memperhatikan apa yang sedang terjadi saat berkomunikasi dengan mitra
tutur supaya tuturan tersebut berkenan untuk mitra tutur, tidak sebaliknya. Sebagai
contoh ketidaksantunan penutur akibat tidak memperhatikan konteks terdapat
pada tuturan (A4), (B5), (C13), (D4), dan (E8).
Konteks tuturan (A4) adalah penutur baru pulang ke rumah. Mitra tutur
yang melihat kepulangan penutur mengingatkan penutur bahwa ia pulang sudah
terlalu malam, padahal mitra tutur memperbolehkan penutur pergi sampai jam
delapan malam. Penutur yang merasa tidak pulang terlalu malam menjadi kesal
sehingga penutur mengungkapkan tuturan yang tidak santun kepada mitra tutur.
Konteks tuturan (B5) adalah penutur memberikan perintah kepada mitra tutur
yang sedang memasak di dapur untuk segera menyelesaikan masakkannya, tetapi
penutur tidak berusaha membantu mitra tutur. Hal tersebut membuat mitra tutur
tidak dihargai sehingga tuturan penutur menjadi tidak santun. Konteks tuturan
(C13) adalah mitra tutur baru pulang ke rumah setelah pergi selama sepuluh jam.
Penutur yang melihat mitra tutur masuk ke rumah mengucapkan tuturan dengan
nada menyindir, sehingga tuturan tersebut manjadi tidak santun. Konteks tuturan
(D4) adalah penutur sedang berbincang-bincang dengan tetangga di depan rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
dalam keadaan santai. Kemudian, mitra tutur 1 menghampiri penutur untuk
menanyakan nama pemilik rumah yang berada di samping rumah penutur.
Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur 1 dengan tuturan yang bernada
bercanda, tetapi tuturan tersebut menyinggung hal pribadi mitra tutur 2, sang
pemilik rumah yang kebetulan berada di luar rumah, tuturan penutur menjadi
tidak santun. Selanjutnya, konteks tuturan (E8) adalah saat mitra tutur sedang
mengepel lantai, penutur berjalan lewat lantai yang telah dipel mitra tutur. Karena
mitra tutur melihat lantai masih basah, mitra tutur meminta penutur untuk
mengeringkan lantai tersebut. Penutur yang masih memiliki tanggungan
pekerjaan rumah yang lain menjadi kesal kepada mitra tutur yang tidak
membantunya. Penutur mengungkapkan kekesalannya melalui tuturan tidak
santunnya.
Selanjutnya yaitu tujuan penutur, sebagai aspek ketiga.Bentuk-bentuk
tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan
tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam
dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai
macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik,
berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented
activities).
Setiap penutur memiliki maksud dan tujuan yang berbeda dalam setiap
tuturannya. Penutur perlu menggunakan bahasa dan kata-kata yang mudah
dimengerti oleh mitra tutur supaya maksud dan tujuan penutur dapat tersampaikan
dengan baik dan tuturan terdengar santun. Sebaliknya, jika penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
mengungkapkan tuturan dengan bahasa dan kata-kata yang tidak sesuai, mitra
tutur tidak dapat memahami maksud dan tujuan penutur dengan baik dan
menganggap tuturan penutur tidak santun. Maksud dan tujuan penutur yang tidak
dapat dipahami oleh mitra tutur dan mengakibatkan tuturan penutur tidak santun
terdapat pada tuturan (A4), (B8), (C11), (D4), dan (E8).
Tujuan penutur dari tuturan (A4) ialah penutur ingin memberikan
pembelaan diri karena mitra tutur yang menganggap ia pulang terlalu malam.
Maksud dari tujuan penutur tesebut adalah penutur ingin protes kepada mitra
tutur, tetapi mitra tutur tidak menangkap maksud tersebut dan hanya menganggap
penutur sedang meluapkan kekesalannya.
Tujuan penutur dari tuturan (B8) ialah penutur hanya ingin
mengungkapkan rasa kesalnya kepada penutur yang berulang-ulang memninta
diajarkan hal yang sama. Namun, tuturan penutur dianggap sebagai suatu sindiran
bagi mitra tutur.
Tujuan penutur dari tuturan (C11) ialah penutur hanya ingin bercanda
dengan mitra tutur. Namun, mitra tutur menganggap tuturan penutur sebagai suatu
ancaman.
Tujuan penutur dari tuturan (D4) ialah penutur ingin menyindir mitra tutur
2 yang tidak mau diwawancari oleh mitra tutur 1 karena penutur menganggap
mitra tutur 1 akan bertanya tentang penghasilan keluarga mitra tutur 2. Sekalipun
tujuan penutur ingin menyindir mitra tutur 2, penutur sebenarnya hanya
bermaksud bercanda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
Tujuan penutur dari tuturan (E8) ialah penutur ingin mengingatkan mitra
tutur supaya menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas. Tujuan penutur juga
dimaksudkan untuk menyindir mitra tutur yang tidak mengnyelesaikan tugas
dengan tuntas, tetapi mitra tutur ternyata hanya menganggap penutur sedang
meluapkan kekesalannya.
Contoh-contoh tersebut merupakan contoh tuturan tidak santun yang
maksud dan tujuan penuturnya tidak dapat diketahui oleh mitra tutur. Namun,
ternyata ada pula tuturan tidak santun yang memang digunakan penutur untuk
menunjukan maksud dan tujuan tertentu dan mitra tutur dapat memahaminya.
Keadaan tersebut terdapat dalam tuturan (A2), (C3), (D9), (E1), dan (E2).
Tujuan penutur dari tuturan (A2) ialah penutur yangcsedang malas untuk
mencuci piring bermaksud menolak perintah mitra tutur. Pada tuturan ini, maksud
penutur dapat dipahami oleh mitra tutur, meskipun penutur menggunakan tuturan
yang tidak santun untuk menyampaikan maksudnya.
Tujuan penutur dari tuturan (C3) ialah supaya mitra tutur memasak sendiri
karena penutur sedang menerima tamu. Tujuan dan maksud penutur yang berupa
perintah dapat dipahami oleh mitra tutur, sehingga mitra tutur akhirnya memasak
sendiri.
Tujuan penutur dari tuturan (D9) ialah penutur memerintahkan mitra tutur
untuk pulang. Seperti halnya tuturan (C3), tuturan (D9) juga memiliki tujuan dan
maksud memerintah. Mitra tutur yang mampu memahami maksud penutur segera
pulang ke rumah, meskipun dengan perasaan kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
Tujuan penutur dari tuturan (E1) ialah penutur melarang mitra tutur yaitu
adiknya supaya tidak mengganggunya ketika bermain game. Larangan yang
dimaksudkan penutur memang bisa dimengerti oleh mitra tutur, tetapi mitra tutur
yang merasa kesal karena tidak diperbolehkan ikut bermain menimpali penutur
dengan tuturan yang sama. Akhirnya, penutur dan mitra tutur saling adu mulut.
Sama halnya dengan penutur (E1), penutur (E2) juga memiliki tujuan untuk
melarang mitra tuturnya yang ingin meminjam mainan penutur. Meskipun mitra
tutur mengerti bahwa ia tidak boleh meminjam mainan penutur, mitra tutur tetap
ingin meminjamnya sehingga penutur dan mitra tutur bertengkar sampai mitra
tutur menangis.
Aspek keempat yaitu tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Bila
gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak,
seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan
sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi
dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam
tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Oleh karena itu,
tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Hasil analisis data
tuturan ditemukan empat jenis tindak verbal, yaitu representatif, ekspresif,
direktif, dan komisif.
Tindak verbal representatif merupakan jenis tindak verbal yang
menyatakan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian tentang
sesuatu yang diyakini oleh penutur. Tindak verbal representatif terdapat dapat tiga
kategori ketidaksantunan, yaitu kategori mengancam muka sepihak pada tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
(B6), kategori melecehkan muka pada tuturan (C16), dan kategori menghilangkan
muka pada tuturan (D2) dan (D3).
Tindak verbal ekspresif ialah jenis tindak verbal yang menyatakan sesuatu
yang dirasakan oleh penutur. Tindak verbal itu mencerminkan pernyataan-
pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan,
kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Tindak verbal ekspresif
merupakan tindak verbal yang terdapat di semua kategori ketidaksantunan. Pada
kategori melanggar norma, tindak verbal ekspresif terdapat dalam tuturan (A4).
Pada kategori mengancam muka sepihak, tindak verbal ini terdapat pada tuturan
(B4), (B7), dan (B8). Pada kategori melecehkan muka, tindak verbal eksprif
terdapat dalam tuturan (C4), (C6), (C7), (C13), (C16), dan (C18). Pada kategori
menghilangkan muka, tindak verbal ini terdapat pada (D4), (D5), dan (D13).
Sedangkan pada kategori menimbulkan konflik, tindak verbal ekspresif terdapat
dalam tuturan (E5) dan (E8).
Tindak verbal direktif ialah jenis tindak verbal yang dipakai oleh penutur
untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan
apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak verbal ini meliputi; perintah,
pemesanan, permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat
positif dan negatif. Tuturan yang termasuk dalam tindak verbal direktif terdapat
pada empat kategori ketidaksantunan. Pada kategori mengancam muka sepihak,
tindak verbal ini terdapat pada tuturan (B2) dan (B5). Pada kategori melecehkan
muka, tindak verbal direktif terdapat dalam tuturan (C3), dan (C9). Pada kategori
menghilangkan muka, tidak verbal ini terdapat dalam tuturan (D9) dan (D10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
Sedangkan pada kategori menimbulkan konflik, tindak verbal direktif terdapat
dalam tuturan (E1), (E2), dan (E4).
Tindak verbal komisif ialah jenis tindak verbal tutur yang dipahami oleh
penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang. Tindak verbal ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur.
Tindak verbal ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Tindak
verbal komisif ditemukan dalam empat kategori, yaitu kategori melanggar norma
pada tuturan (A1) s.d. (A3), kategori mengancam muka sepihak pada tuturan
(B3), kategori melecehkan muka pada tuturan (C11), dan kategori menimbulkan
konflik pada tuturan (E3), (E6), (E7), dan (E9).Aspek terakhir adalah tuturan
sebagai produk tindak verbal. Tuturan yang digunakan di dalam rangka
pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk
dari tindak tutur.
Aspek terakhir yaitu tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan yang
digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria
keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang
dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal dan tindak verbal itu akan
menimbulkan pengaruh kepada mitra tutur. Tindak menumbuhkan pengaruh
(effect) kepada mitra tutur disebut tindak perlokusi (Rahardi, 2003:72). Tindak
perlokusi yang muncul akibat seluruh tuturan tidak santun yang diperoleh peneliti
ada tiga belas bentuk tindakan sebagai pengaruh tuturan kepada mitra tutur.
Ketiga belas tindak perlokusi tersebut adalah sebagai berikut; (1) mitra tutur
memberikan ancaman kepada penutur, seperti pada tuturan (A1); (2) mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
meninggalkan penutur, seperti pada tuturan (A2); (3) mitra tutur menanggapi
tuturan penutur dengan kesal, seperti pada tuturan (A3), (A4), (C11), (C13),
(C16), (D13), dan (E9); (4) mitra tutur merasa kesal kepada penutur, seperti pada
tuturan (B3), (B8), (C6), (C7), (C9), (C18), dan (E8); (5) mitra tutur menimpali
tuturan penutur, seperti pada tuturan (B4), dan (D3); (6) mitra tutur membuat
pembelaan diri, seperti pada tuturan (B6), (B7), dan (E1); (7) mitra tutur hanya
diam saja, seperti pada tuturan (C3), (C4), (D2), (D4), (D9), dan (D10); (8) mitra
tutur merasa takut, seperti pada tuturan (D5) dan (E2); (9) mitra tutur merasa
malu, seperti pada tuturan (D9); (10) mitra tutur melakukan suatu tindakan untuk
mengekspresikan perasaannya, seperti pada tuturan (E7); (11) mitra tutur merasa
marah, seperti pada tuturan (E3), (E5), dan (E6); dan (12) mitra tutur menangis,
seperti pada tuturan (E4). Ketiga belas tindak perlokusi tersebut dilakukan oleh
mitra tutur untuk menanggapi tuturan penutur yang tidak santun.
4.3.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur
Rahardi (2003:16−17) menjelaskan mengenai ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud
penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka dapat pula dikatakan bahwa
pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa
yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi,
sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antarkeduanya adalah bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan
sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.
Makna berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan
informasi bersifat di luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang
bersumber dari pembicara, sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang
bersumber dari isi tuturan. Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi
bersifat objektif (Wijana & Muhammad, 2008:2001). Berdasarkan teori tesebut,
maksud tuturan hanya dimiliki oleh penutur. Oleh sebab itu, dalam menganalisis
maksud tuturan, dilakukanlah konfirmasi kepada penutur. Maksud tuturan
tersebut berkaitan dengan tujuan dari penutur ketika mengutarakan tuturan yang
tidak santun kepada mitra tutur. Dari 55 tuturan yang didapatkan, peneliti
mendapatkan konfirmasi maksud dari penutur sebanyak tujuh belas maksud.
Berikut ini adalah pembahasan dari masing-masing maksud ketidaksantunan
penutur.
4.3.3.1 Maksud Menolak
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud menolak terdapat dalam dua
kategori, yaitu ketegori tersebut adalah kategori melanggar norma dan kategori
menimbulkan konflik. Dalam kategori melanggar norma, maksud menolak
terdapat dalam tuturan (A1), (A2), dan (A3).
Tuturan (A1): “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur
sedang bermain game sampai lupa waktu. Mitra tutur mengingatkan penutur
untuk berhenti bermain karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur tidak
mengindahkan perintah mitra tutur.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
Tuturan (A3): “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.” (Sebentar ta, iya-iya sebentar
lagi)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur asyik
bermain laptop. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk mematikan laptop
karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur tidak mengindahkan perintah
mitra tutur.)
Tuturan (A2): “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” (Ah malas.
Sekali-sekali tidak kan tidak apa-apa, Bu)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur dan mitra
tutur sedang makan malam. Di dalam keluarga penutur, ada peraturan
bahwa setelah makan, setiap orang harus mencuci piring sendiri-sendiri.
Setelah selesai makan, penutur meminta mitra tutur untuk mencucikan piring
miliknya. Mitra tutur menolak untuk mencucikan piring pernutur)
Penutur (A1) bermaksud menolak perintah mitra tutur, ibunya, yang
memerintahkan penutur untuk mematikan mainan gamenya dan belajar karena
sudah waktunya untuk belajar. Meskipun penutur mengucapkan tuturan yang
seolah-olah akan berjanji akan mematikan gamenya, sesungguhnya penutur tidak
mau berhenti bermain game. Penolakan penutur (A2) dilakukan terhadap mitra
tutur, ibunya, yang memerintahkan untuk segera mencuci piring setelah selesai
makan. Penutur ingin sekali saja diperbolehkan untuk tidak mencuci piring,
meskipun penutur tahu bahwa itu merupakan kesepatkan keluarga untuk segera
mencuci piring sendiri setelah makan. Seperti halnya penutur (A1), penutur (A3)
juga bermaksud menolak perintah untuk mematikan laptop dari mitra tutur,
kakaknya, karena sudah waktunya untuk belajar. Penolakan tersebut tersirat dari
mimik muka penutur yang tidak senang karena diperintah untuk belajar, padahal
ia sedang asyik bermain laptop.
Maksud menolak pada kategori menimbulkan konflik terdapat dalam
tuturan (E5), (E6) dan (E9).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
Tuturan (E5): “Yo ben, yo ben.” (Biarin, biarin.)
(Konteks: Tuturan terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah
penutur, saat mahgrib penutur sedang bermain dengan teman-temannya di
lapangan. Mitra tutur menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena
sudah maghib. Penutur tidak mau pulang ke rumah.)
Tuturan (E6): “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (Ah nanti! Dengan mas
Ardha saja.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur
menyuruh penutur untuk mandi karena sudah sore.)
Tuturan (E9): “Wegah! Mas wae kae lho.” (Tidak mau! Mas saja itu lho.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat pagi hari. Mitra tutur 1
menyuruh penutur untuk membeli sabun di warung. Mitra tutur 2 sedang
mengerjakan PR. Penutur sedang menonton televisi. Penutur tidak mau
membelikan sabun karena malas.)
Penutur (E5) menolak perintah mitra tutur, neneknya, yang menyuruh
untuk berhenti bermain dan pulang ke rumah. Penutur yang belum ingin pulang
justru menanggapi mitra tutur dengan tuturan yang mengejek, sehingga mitra tutur
menjadi marah. Penolakan penutur (E6) dilakukan dengan menunda aktivitas
mandinya. Penutur menolak perintah ayahnya, mitra tutur, yang
memerintahkannya segera mandi karena sudah sore. Penutur yang menyatakan
ketidakinginannya untuk mandi, memberikan alasan bahwa ia ingin mandi
bersama kakaknya. Seperti halnya penutur (E6), penutur (E9) juga melakukan
penolakan terhadap perintah ayahnya yang memerintahkan untuk membeli teh di
warung dan melimpahkan tugas tersebut kepada kakaknya.
4.3.3.2 Maksud Memprotes
Maksud memprotes yang diutarakan oleh penutur pada kategori melanggar
norma terdapat dalam tuturan (A4).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
Tuturan (A4): “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” (Ya
ampun, Bu. Baru jam sembilan masak sudah malam?)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat malam hari. Penutur baru
pulang ke rumah. Penutur melihat mitra tutur yang baru saja pulang. Mitra
tutur mengingatkan penutur bahwa ia pulang sudah terlalu malam. Mitra
tutur memperbolehkan penutur pergi sampai jam delapan malam.)
Dengan tuturan tersebut, penutur bermaksud memberikan protes kepada
ibunya yang menganggap penutur terlambat pulang ke rumah. Sebaliknya,
penutur masih merasa wajar jika ia pulang sampai di rumah pada pukul 21.00.
Penutur merasa ibunya terlalu ketat memberikan jam malam kepada penutur.
Meskipun penutur dan mitra tutur, ibunya, sudah mempunyai kesepakatan bahwa
penutur sudah harus berada di rumah pukul 20.00, seharusnya ibunya memberikan
kelonggaran waktu yang dirasa wajar. Namun, sang ibu tetap menganggap bahwa
penutur telah melanggar kesepakatan. Sekalipun tuturan ini memiliki maksud
memprotes, tuturan ini masuk ke dalam subkategori kesal karena mengungkapkan
rasa kesal penutur kepada mitra tutur.
4.3.3.3 Maksud Bercanda
Maksud bercanda yang terdapat dalam kategori ketidaksantunan, yaitu
melecehkan muka pada tuturan (C11), dan menghilangkan muka pada tuturan
(D4) dan (D13).
Tuturan (C11): ”Tenane? Awas nek salah, kowe lho!” (Beneran? Awas
kalau salah, kamu lho!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur
sedang belajar. Mitra tutur menenami penutur belajar. Penutur bertanya
kepada mitra tutur tentang suatu soal. Penutur merasa jawaban mitra tutur
tidak meyakinkan.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
Tuturan (D4): “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.”
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat sore hari. Penutur sedang
berbincang-bincang dengan tetangga di depan rumah dalam keadaan santai.
Mitra tutur 1 menghampiri penutur untuk menanyakan nama pemilik rumah
yang berada di samping rumah penutur. Penutur menjawab pertanyaan mitra
tutur 1. Penutur melihat sang pemilik rumah, mitra tutur 2, berada di luar
rumah.)
Tuturan (D13): “Hpne ibu ki wis jadul.” (Hpnya ibu itu sudah jadul.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat sore hari. Penutur
meminta handphone baru kepada mitra tutur. Mitra tutur menganjurkan
penutur untuk memakai handphone penutur dulu. Penutur tidak mau
memakai handphone penutur.)
Dalam tuturan (C11), penutur sebenarnya hanya ingin bercanda dengan
mitra tutur yang sedang membantunya mengerjakan tugas. Namun, sekali lagi
mitra tutur merasa diremehkan karena penutur tidak percaya padanya.
Maksud becanda juga ditunjukan oleh penutur pada tuturan (D4) dan
(D13). Namun, maksud becanda penutur tersebut tidak dapat diterima mitra tutur
karena keempat tuturan tersebut membuat mitra tutur menjadi malu dan
tersinggung. Penutur (D4) membuat mitra tutur, tetangganya, tersingung dan malu
karena ia mengungkapkan hal yang bersifat pribadi yaitu tentang kurangnya
pendapatan yang diterima oleh suami mitra tutur. Selanjutnya, mitra tutur merasa
dipermalukan dan disinggung oleh tuturan (D13) karena penutur, anak mitra tutur,
yang hanya bermaksud becanda itu mengejek mitra tutur yang masih memakai
handphone keluaran lama yang tidak secanggih handphone jaman sekarang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
4.3.3.4 Maksud Memberikan Pengertian
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud memberikan pengertian
terdapat pada tuturan (B2) dan (B3) yang termasuk dalam kategori mengancam
muka sepihak.
Tuturan (B2): “Udah-udah sana, karo mama kana!” (Sudah-sudah sana,
sama mama sana.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang
mengerjakan tugas. Mitra tutur mengajak penutur bermain sehingga
mengganggu pekerjaan penutur. Penutur yang merasa terganggu meminta
mitra tutur untuk bermain dengan ibunya.)
Tuturan (B3): “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang
menggendong adik mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk
memakaikan baju superman. Penutur belum bisa memakaikan baju kepada
penutur karena masih menggendong adik mitra tutur.)
Kedua tuturan ini termasuk dalam dua subkategori ketidaksantunan yang
berbeda, yaitu (B2) dalam subkategori memerintah dan (B3) dalam subkategori
menjanjikan. Meskipun berbeda subkategori, kedua tuturan tersebut memliki
maksud yang sama, yaitu memberikan pengertian. Pada tuturan (B2) penutur
bermaksud memberikan pengertian kapada anaknya yang mengajak untuk
bermain bahwa penutur, ayah mitra tutur, tidak bisa bermain karena penutur
sedang menerima tamu. Oleh sebab itu, penutur menyuruh mitra tutur, anaknya,
untuk bermain dengan ibunya dulu. Jika penutur (B2) adalah ayah mitra tutur,
penutur (B3) adalah ibu mitra tutur. Maksud penutur dengan tuturan (B3) juga
ingin memberikan pengertian kepada sang anak yang ingin memakai baju
superman untuk bersabar karena penutur sedang menggendong adiknya.
Meskipun maksud penutur adalah memberikan pengertian kepada mitra tutur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
tetapi maksud tersebut tidak sampai kepada mitra tutur karena penutur merasa
diabaikan oleh penutur.
4.3.3.5 Maksud Memohon
Maksud memohon yang ditemukan pada tuturan (B5) kategori mengancam
muka sepihak.
Tuturan (B5): “Mbah, ngelih Mbah. Cepet ta Mbah, selak laper je Mbah!”
(Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur melihat
mitra tutur memasak. Penutur tidak membantu mitra tutur yang
memasak.Mitra tutur tidak tahu kalau penutur juga berada di dapur.)
Sesungguhnya, penutur bermaksud memohon kepada mitra tutur,
neneknya, untuk menyediakan makanan karena dia sudah lapar. Namun, mitra
tutur menanggapi permohonan mitra tutur yang meminta tolong disediakan
makanan dengan kesal karena penutur dianggap memerintah mitra tutur yang
adalah neneknya. Hal inilah yang membuat tuturan (B5) masuk dalam subkategori
memerintah.
4.3.3.6 Maksud Ketidaksenangan
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud ketidaksenangan terdapat
dalam kategori mengancam muka sepihak, tuturan (B4).
Tuturan (B4): “Nggak suka mbah kakung.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur
berbincang dengan mitra tutur 1. Mitra tutur 1 bertanya kepada penutur
mengapa takut kepada mitra tutur 2. Mitra tutur 2 mendengar tuturan
penutur.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
Penutur mengucapkan tuturan yang mengandung maksud tidak senang
kepada kakeknya. Ketidaksenangan penutur muncul karena penutur merasa takut
kepada kakeknya. Ketakutan itulah yang menyebabkan rasa kesal yang dirasakan
oleh penutur. Inilah sebabnya, tuturan (B4) termasuk dalam subkategori kesal.
4.3.3.7 Maksud Menyindir
Penutur yang memiliki maksud menyindir terdapat pada kategori
mengancam muka sepihak tuturan (B6), menghilangkan muka tuturan (D2), dan
menimbulkan konflik tuturan (E8).
Tuturan (B6): “Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” (Iya, tidak
seperti kamu itu! Masih menganggur saja.)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur
menceritakan temannya yang sudah memiliki pekerjaan. Penutur menimpali
cerita mitra tutur.)
Tuturan (D2): “Kalau pas ada ibue, kesete.” (Kalau waktu ada ibunya,
malasnya.)
(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1
bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang sifat rajin mitra
tutur 2. Mitra tutur 2 mengantarkan minuman untuk penutur dan mitra tutur.)
Tuturan (E8): “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!”
(Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang
mengepel lantai. Penutur berjalan melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta
penutur untuk mengeringkan lantai yang masih basah. Penutur masih
memiliki tanggungan pekerjaan rumah yang lain.)
Penutur (B6) bermaksud memberikan sindiran kepada mitra tutur,
kakaknya, yang masih saja menganggur padahal teman yang seumuran dengan
kakaknya sudah bekerja. Penutur (D2) menyindir mitra tutur, anaknya, yang
malas membantu pekerjaan orang tua jika ada ibunya. Maksud menyindir yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
terakhir terdapat pada penutur (E8). Penutur (E8) menyatakan bahwa sindirannya
ditujukan kepada mitra tutur, adiknya, yang selalu mengerjakan tugas rumah
dengan setengah-setengah.
4.3.3.8 Maksud Mengejek
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud mengejek terdapat dalam dua
kategori ketidaksantunan, yaitu mengancam muka sepihak pada tuturan (B7) dan
melecehkan muka pada tuturan (C6) dan (C16).
Tuturan (B7): “Masalahnya kamu itu ngeyel.”
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur
bertanya kepada penutur mengapa orang tuanya tidak mau membelikan
sepeda. Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.)
Tuturan (C6): “Dasar anake wong edan!” (Dasar anaknya orang gila!)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah saat sore hari. Mitra tutur berjalan
melewati penutur sambil bernyanyi. Penutur melihat mitra tutur yang
berjalan sambil bernyanyi.)
Tuturan (C16): “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa
pakainya.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang ruang keluarga, saat sore hari. Penutur
melihat mitra tutur belajar memakai handphone baru. Penutur merasa iri
karena mitra tutur punya handphone baru.)
Penutur (B7) bermaksud mengejek mitra tutur, adiknya, karena mitra tutur
dimarahi ibunya akibat selalu tidak patuh pada nasihat sang ibu. Penutur (B9)
bermaksud mengejek mitra tutur, ibunya, yang dianggap tidak gaul karena tidak
mengikuti perkembangan berita di infotaiment. Selanjutnya, maksud mengejek
yang diutarakan oleh penutur (C6) ditujukan kepada mitra tutur, anak
tetangganya, yang berjalan sambil bernyanyi sendiri. Penutur (C14) bermaksud
mengejek mitra tutur, adiknya, yang tidak bisa menyapu dengan bersih. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
terakhir yang memiliki maksud mengejek pada tuturannya adalah penutur (C16).
Penutur (C16) mengejek mitra tutur, ibunya, yang baru saja membeli handphone
baru, tetapi belum bisa menggunakannya dengan lancar.
4.3.3.9 Maksud Kesal
Penutur yang menyatakan maksud kesal terdapat dalam tiga kategori
ketidaksantunan, yaitu mengancam muka sepihak pada tuturan (B8), melecehkan
muka pada tuturan (C7), dan menghilangkan muka pada tuturan (D5).
Tuturan (B8): “Diajari bola-bali kok ra dong-dong!” (Dilatih berkali-kali
kok tidak mengerti!)
(Konteks: Tuturan terjadi ruang keluarga, saat sore hari. Mitra tutur
meminta bantuan penutur untuk mengajarinya memakai komputer. Penutur
sudah berkali-kali mengajari mitra tutur. Mitra tutur tidak bisa mengingat
ajaran penutur.)
Tuturan (C7): “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” (Tidak peduli!
Terserah omonganmu apa.)
(Konteks: Tuturan terjadi di dapur, saat malam hari. Mitra tutur sedang
memasak. Penutur menemani mitra tutur memasak. Mitra tutur mencoba
membuka pembicaraan dengan penutur. Topik pembicaraan yang diangkat
oleh mitra tutur tidak berkenan oleh penutur.)
Tuturan (D5): “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!”
(Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)
(Konteks: Tuturan terjadi saat penutur sedang duduk bersantai di luar
rumah, sore hari. Penutur bertanya kepada mitra tutur yang baru saja keluar
dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah penutur Penutur menganggap
jawaban mitra tutur salah.)
Maksud kesal yang diutarakan penutur (B8) kepada mitra tutur, ayahnya,
disebabkan sang ayah yang sudah berkali-kali dibantu dalam mengoperasikan
komputer, tetapi masih saja tidak mengerti. Penutur (C7) mengucapkan tuturan
tidak santun kepada mitra tutur, anaknya, sebagai bentuk ekspresi kekesalannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
kepada mitra tutur yang dianggap terlalu mencampuri urusannya. Seperti halnya
penutur-penutur di atas, penutur (D5) juga mengutarakan tuturan tidak santunnya
untuk mengungkapkan kekesalannya kepada mitra tutur, ibunya, yang
memberikan jawaban salah atas pertanyaannya.
4.3.3.10 Maksud Meminta Tolong
Penutur yang menyatakan maksud meminta tolong terdapat dalam
tuturan (C1) kategori melecehkan muka. Pada tuturan ini, penutur memang
mengungkapkan kekesalannya, tetapi sebenarnya maksud dari tuturannya adalah
meminta pertolongan kepada mitra tutur yang adalah ayahnya untuk membantu
menyelesaikan masalah hutang adiknya. Mitra tutur sebenarnya mengerti maksud
penutur, tetapi hal yang membuat tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur
adalah, cara penutur dalam mengungkapkan tuturan tersebut.
4.3.3.11 Maksud Menegur
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud menegur terdapat dalam
kategori melecehkan muka pada tuturan (C4), (C9), dan (C13).
Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah penutur saat siang hari. Mitra
tutur sedang bermain dengan anak penutur di tempat yang sama. Mitra tutur
tidak sengaja menginjak kaki penutur saat berjalan ke dalam rumah penutur.
Penutur menegur mitra tutur yang dianggap tidak memperhatikan jalan.)
Tuturan (C9): “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” (Acara seperti itu
ditonton. Ganti!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur
datang mendekati mitra tutur karena ingin menonton televisi juga. Mitra
tutur menonton sinetron sesukaannya. Mitra tutur tidak suka menonton
sinetron.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
Tuturan (C13): “Wis tutuk le dolan?” (Sudah puas yang main?)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat sore menjelang maghrib.
Mitra tutur baru pulang ke rumah setelah pergi selama sepuluh jam. Penutur
melihat mitra tutur masuk ke rumah.)
Penutur (C4) bermaksud menegur mitra tutur, anak tetangganya, yang
tidak sengaja menginjak kakinya. Penutur (C9) memiliki maksud menegur mitra
tutur, adiknya, yang menonton acara televisi yang tidak disukai penutur. Maksud
menegur yang dilakukan oleh penutur (C13) kepada mitra tutur, anaknya,
disebabkan mitra tutur yang pergi ke luar rumah dari pagi hingga malam.
4.3.3.12 Maksud Memerintah
Penutur yang memiliki maksud memerintah dalam tuturannya terdapat
dalam kategori melecehkan muka pada tuturan (C3), menghilangkan muka pada
tuturan (D9), dan menimbulkan konflik pada tuturan (E4).
Tuturan (C3): “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” (Ya sana buat
sendiri! Kan kamu yang lapar.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu pada saat siang hari. Penutur
sedang menerima tamu di rumah. Mitra tutur baru saja pulang dari sekolah.
Penutur tidak menyiapkan makan siang, padahal mitra tutur sudah lapar.)
Tuturan (D9): “Ayo bali! Dolan wae.” (Ayo pulang! Main terus.)
(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain
di lapangan dekat rumahnya bersama dengan teman-temannya. Penutur
hendak pulang ke rumah menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur
masih bermain.)
Tuturan (E4): “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana,
heran.”
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat penutur sedang bersantai di
waktu sore. Mitra tutur datang minta dibuatkan susu. Penutur tidak mau
membuatkan susu karena susu yang sebelumnya belum habis diminum oleh
mitra tutur.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
Penutur (C3) bermaksud memerintah mitra tutur, anaknya, untuk
memasak sendiri karena mitra tutur adalah seorang perempuan yang harus bisa
memasak. Penutur (D9) memiliki maksud memerintah mitra tutur, anaknya, untuk
berhenti bermain dan segera pulang ke rumah. Selanjutnya, penutur yang
memiliki maksud memerintah adalah penutur (E4). Penutur (E4) bermaksud
memerintah mitra tutur, keponakannya, untuk menghabiskan susu yang sudah
dibuat dan masih berada di dalam rumah.
4.3.3.13 Maksud Melarang
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud melarang terdapat dalam
kategori melecehkan muka pada tuturan (C18) dan menimbulkan konflik pada
tuturan (E1) dan (E2).
Tuturan (C18): “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.”
(Tidak usah-tidak usah! Kerjaan kamu saja tidak selesai-
selesai.)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Penutur sedang
memotong sayur untuk dimasak. Mitra tutur bermaksud membantu penutur
untuk memotong sayuran. Mitra tutur bertugas mengupas bawang. Mitra
tutur belum selesai mengupas bawang.)
Tuturan (E1): “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis (kata umpatan)!”
(Konteks: Tuturan terjadi saat penutur bermain playstation di rumah setelah
pulang sekolah. Penutur tidak mau digangu saat bermain. Penutur tidak
memperbolehkan mitra tutur yang ingin meminjam playstation penutur.)
Tuturan (E2): “Ndak boleh! Ini buat aku.”
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang bermain yang ada di rumah saat siang
hari. Penutur sedang bermain dengan mitra tutur di tempat bermain. Mitra
tutur tiba-tiba merebut mainan mobil-mobilan penutur. Penutur tidak mau
kalau mainan mobil-mobilannya direbut.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Penutur (C18) bermaksud melarang mitra tutur, adiknya, yang ingin
membantu pekerjaan penutur, padahal pekerjaannya sendiri belum selesai.
Penutur (E1) melarang mitra tutur, adiknya yang ingin ikut bermain game
bersama penutur, tetapi penutur tidak mau diganggu. Penutur (E2) bermaksud
melarang mitra tutur, adiknya, yang ingin meminjam mainnya. Penutur melarang
mitra tutur meminjam mainannya karena ia masih ingin bermain.
4.3.3.14 Maksud Menyalahkan
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud menyalahkan terdapat dalam
kategori melecehkan muka, tuturan (C10).
Tuturan (C10): “Salahe nonton tipi terus.” (Itu akibat menonton televisi
terus.)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Mitra tutur
sedang belajar. Penutur menemani mitra tutur belajar. Mitra tutur bercerita
kepada penutur tentang nilai ulangannya yang turun. Penutur tidak terkejut
mendengar cerita dari mitra tutur. Penutur hanya menanggapi cerita mitra
tutur dengan sindiran.)
Penutur (C10) memang bermaksud menyalahkan mitra tutur, adiknya,
yang mendapatkan nilai jelek pada ulangannya di sekolah akibat waktunya lebih
banyak digunakan untuk menonton televisi, daripada untuk belajar. Dengan
menyalahkan mitra tutur, penutur bertujuan supaya mitra tutur sadar dan
mengetahui letak kesalahannya dimana, lalu mampu memperbaikinya.
4.3.3.15 Maksud Membandingkan
Maksud membandingkan diutarakan penutur pada tuturan (D1) dan (D6)
kategori menghilangkan muka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
Tuturan (D1): “Anak saya itu kalau nggak ada ibue manut (menurut), kalau
ada ibue malah nggak manut, malah padu (bertengkar) je.”
(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1
bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang mitra tutur 2 yang
lebih patuh kepada siapa. Mitra tutur 2 baru saja pulang ke rumah, kemudian
memberi salam kepada penutur dan mitra tutur 1.)
Tuturan (D6): “Mbok kaya mas, bubukan. Ora dolan wae.” (Seperti mas itu,
tiduran. Jangan main terus.)
(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah penutur, saat siang hari. Mitra
tutur berada di luar rumah sedang bermain. Penutur berdiri di depan pintu
dan melihat mitra tutur. Penutur mencoba mengingatkan mitra tutur.)
Penutur (D1) bermaksud memberikan perbandingan sikap anaknya di
saat ada atau tidak ada ibunya. Perbandingan tersebut diutarakan penutur supaya
mitra tutur, anaknya, bisa tetap rajin di saat ibunya ada atau tidak. Namun,
ternyata maksud penutur tidak dapat diterima oleh mitra tutur, dan justru dianggap
telah menyindir mitra tutur. Maksud membandingkan juga diutarakan oleh
penutur (D6). Meskipun penutur bermaksud membandingkan mitra tutur dengan
kakaknya, tujuan penutur adalah supaya mitra tutur meniru kebiasaan tidur siang
kakaknya yang dianggap lebih baik daripada hanya bermain terus.
4.3.3.16 Maksud Meremehkan
Tuturan (D3) pada kategori melecehkan muka dimaksudkan oleh
penutur untuk meremehkan mitra tutur yang adalah istrinya.
Tuturan (D3): “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” (Wah ibunya itu bodoh,
Mbak.)
(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1
bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang pendidikan mitra
tutur 2. Mitra tutur 2 ada di luar rumah. Mitra tutur mendengar tuturan
penutur.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
Penutur memang dengan sengaja mengatakan bahwa istirnya bodoh.
Dengan meremehkan istrinya, penutur berusaha menegaskan kenyataan yang ada
bahwa istrinya tidak lebih pintar darinya. Maksud penutur untuk meremehkan
mitra tutur berhasil ditangkap oleh mitra tutur, sehingga mitra tutur benar-benar
merasa tersinggung.
4.3.3.17 Maksud Menakut-nakuti
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud menakut-nakuti terdapat
dalam kategori menimbulkan konflik tuturan (E3) dan (E7).
Tuturan (E3): “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-
abrik!” (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku
porak-porandakan!)
(Konteks: Tuturan terjadi di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat
sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota
keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji.
Penutur mengancam mitra tutur.)
Tuturan (E7): “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah!”
(Saya siram Kamu! Sekali bapal bicara, jangan dibantah!)
(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang
maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah.
Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari
mitra tutur.)
Pada kedua tuturan tersebut, penutur bermaksud menakuti mitra tutur
dengan cara mengancam mitra tutur. Penutur (E3) menakut-nakuti mitra tutur,
anaknya, supaya membantah perintah penutur yang adalah ayahnya. Maksud
penutur dapat dimengerti oleh mitra tutur, tetapi oleh mitra tutur justru ditanggapi
dengan meluapkan emosi dengan membanting kursi. Seperti halnya penutur (E3),
prnutur (E7) memiliki maksud menakuti mitra tutur, neneknya, yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
meletakan sesaji di dalam rumah. Karena penutur tidak suka ada sesaji di
rumahnya, penutur menakuti mitra tutur dengan mengatakan akan memporak-
porandakan sesaji tersebut jika belum disingkirkan. Mitra tutur juga mengetahui
maksud penutur, tetapi akibat tuturan yang digunakan penutur sangat tidak
berkenan oleh mitra tutur, timbulah konflik di antara keduanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisi dua hal, yaitu simpulan dan saran. Simpulan meliputi
rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal-hal relevan yang
perlu diperhatikan, baik untuk peneliti lanjutan maupun keluarga, terutama
keluarga yang berbudaya Jawa.
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dalam bab IV mengenai ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik yang digunakan untuk komunikasi dalam ranah keluarga di lingkungan
Kadipaten Pakualaman Yogyakarta, dapat disimpulkan hal-hal berikut ini.
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan dalam komunikasi antaranggota
keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dapat dilihat dari dua
wujud, yaitu wujud ketidaksantunan linguistik dan wujud ketidaksantunan
pragmatik. Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan yaitu berupa tuturan
lisan tidak santun dan termasuk dalam lima kategori ketidaksantunan. Kelima
kategori ketidaksantunan tersebut adalah 1) kategori melanggar norma yang terdiri
dari tiga subkategori, yaitu subkategori menjanjikan, menolak, dan kesal; 2)
kategori mengancam muka sepihak yang terdiri dari lima subkategori, yaitu
subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal, dan mengejek; 3)
kategori melecehkan muka yang terdiri dari lima subkategori, yaitu subkategori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
kesal, memerintah, menyindir, mengejek, dan mengancam; 4) kategori
menghilangkan muka yang terdiri dari empat subkategori, yaitu subkategori
menyindir, mengejek, menyalahkan, dan memerintah; serta 5) kategori
menimbulkan konflik yang terdiri dari enam subkategori, yaitu subkategori
melarang, mengancam, memerintah, mengejek, menolak, dan kesal.
Selain wujud ketidaksantunan linguistik, ketidaksantunan berbahasa juga
dilihat dari wujud ketidaksantunan pragmatiknya. Wujud ketidaksantunan
pragmatik merupakan cara penyampaian penutur sehingga membuat suatu tuturan
menjadi tidak santun. Wujud ketidaksantunan pragmatik dalam setiap kategori
adalah sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori melanggar norma adalah
penutur tidak merasa bersalah ketika melanggar kesepakatan atau peraturan
yang telah disepakati bersama dan penutur berbicara dengan ketus dan malas,
padahal penutur berbicara kepada orang yang lebih tua.
2) Wujud ketidaksantunan pada kategori mengancam muka sepihak adalah
penutur berbicara dengan ketus, sinis, kasar dan dengan volume yang keras,
tetapi sebenarnya penutur tidak bermaksud menyinggung mitra tutur.
3) Wujud ketidaksantunan pada kategori melecehkan muka adalah penutur
berbicara dengan ekspresi kecewa, kesal, marah, atau sinis. Penutur
membentak mitra tutur secara kasar dan ketus dengan volume yang keras.
Dalam kategori ini, penutur dengan sengaja membuat mitra tutur tersinggung.
4) Wujud ketidaksantunan pada kategori menghilangkan muka adalah penutur
berbicara atau berteriak dengan volume yang keras, ketus, dan kasar dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
maksud meremehkan dan mengejek mitra tutur. Dalam kategori ini, penutur
tidak hanya membuat mitra tutur tersinggung, tetapi juga membuat mitra tutur
menjadi malu secara sengaja.
5) Wujud ketidaksantunan pada kategori menimbulkan konflik adalah penutur
berbicara atau membentak mitra tutur dengan volume yang keras dan kasar
untuk menunjukkan ekspresi marah dan kesal. Dalam kategori ini, tuturan
tidak santun penutur dapat menimbulkan konflik di antara penutur dan mitra
tutur.
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Seperti halnya wujud ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan juga dilihat
berdasarkan kajian linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan linguistik
diketahui berdasarkan unsur segmental dan suprasegmental suatu kalimat atau
tuturan, sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik diketahui berdasarkan
konteks yang melingkupi tuturan tersebut.
Penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam penelitian ini
berupa diksi, kategori fatis, nada, tekanan, dan intonasi yang diuraikan dalam
masing-masing kategori ketidaksantunan berbahasa yaitu sebagai berikut.
1) Kategori melanggar norma
Tuturan yang melanggar norma ditandai dengan pemakaian bahasa nonstandar;
penggunaan kata fatis ah, ya,dan ta; penggunaan nada tutur turun datar dan naik
tinggi dengan tekanan rendah dan tinggi; serta menggunakan intonasi berita dan
intonasi tanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
2) Kategori mengancam muka sepihak
Tuturan yang mengancam muka sepihak ditandai dengan pemakaian bahasa
nonstandar dan bahasa populer; penggunaan kata fatis kok, ta, wa,dan je;
penggunaan nada tutur naik rendah, turun datar dan naik tinggi dengan tekanan
rendah, sedang, dan tinggi; serta menggunakan intonasi berita, intonasi seru dan
intonasi perintah.
3) Kategori melecehkan muka
Tuturan yang melecehkan muka ditandai dengan pemakaian bahasa nonstandar;
penggunaan kata fatis ya, kok, lho, wong, wo, has, hais, dan hah; penggunaan
nada tutur naik rendah, turun datar dan naik tinggi dengan tekanan rendah,
sedang, dan tinggi; serta menggunakan intonasi tanya, intonasi berita, intonasi
seru dan intonasi perintah.
4) Kategori menghilangkan muka
Tuturan yang menghilangkan muka ditandai dengan pemakaian bahasa
nonstandar dan bahasa populer; penggunaan kata fatis ayo; penggunaan nada
tutur naik rendah, turun datar dan naik tinggi dengan tekanan rendah, sedang, dan
tinggi; serta menggunakan intonasi berita, intonasi seru dan intonasi perintah.
5) Kategori menimbulkan konflik
Tuturan yang menimbulkan konflik ditandai dengan pemakaian bahasa
nonstandar dan bahasa populer; penggunaan kata fatis ah, kok, dan lho;
penggunaan nada tutur naik tinggi dengan tekanan sedang dan tinggi; serta
menggunakan intonasi berita, intonasi seru dan intonasi perintah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian
konteks yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi saat bertutur, tujuan tuturan,
tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Penanda
ketidaksantunan pragmatik tersebut diurakan dalam masing-masing kategori
ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut.
1) Kategori melanggar norma
Tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur yang temasuk sebagai anggota
keluarga, seperti ayah dengan anak, anak dengan ibu, dan adik dengan kakak.
Tuturan terjadi di sekitar area rumah dan pada waktu sore serta malam hari, pada
saat situasi santai dan serius. Tindak verbal dalam tuturan yang melanggar norma
berupa tindak verbal komisif dan ekspresif. Ttindak perlokusinya yaitu mitra
tutur mengancam penutur, meninggalkan penutur, dan menanggapi penutur
dengan kesal.
2) Kategori mengancam muka sepihak
Tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur yang temasuk sebagai anggota
keluarga atau bukan anggota keluarga, seperti antartetangga, anak dengan ayah,
ibu dengan anak, cucu dengan kakek, cucu dengan nenek, dan adik dengan
kakak. Tuturan terjadi di sekitar area rumah dan pada waktu siang serta sore hari,
pada saat situasi santai dan serius. Tindak verbal dalam tuturan yang mengancam
muka sepihak berupa tindak verbal ekspresif, direktif, dan komisif. Tindak
perlokusinya yaitu mitra tutur menjadi bingung, menanggapi penutur dengan
tersenyum, menangis, menimpali jawaban penutur, menanggapi penutur dengan
kesal, memberikan pembelaan diri, dan mitra tutur tidak jadi meminta bantuan
kepada penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
3) Kategori melecehkan muka
Tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur yang temasuk sebagai anggota
keluarga atau bukan anggota keluarga, seperti anak dengan ibu, mertua dengan
menantu, antartetangga, dan kakak dengan adik. Tuturan terjadi di sekitar area
rumah dan pada waktu siang, sore, serta malam hari, pada saat situasi santai dan
serius. Tindak verbal dalam tuturan yang melecehkan muka berupa tindak verbal
ekspresif, direktif, dan komisif. Tindak perlokusinya yaitu mitra tutur
menanggapi penutur, diam saja, meninggalkan penutur, dan menanggapi penutur
dengan kesal.
4) Kategori menghilangkan muka
Tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur yang temasuk sebagai anggota
keluarga atau bukan anggota keluarga, seperti ayah dengan anak, antartetangga,
anak dengan ibu, nenek dengan cucu, dan kakak dengan adik. Tuturan terjadi di
sekitar area rumah dan pada waktu siang serta sore hari, pada saat situasi santai
dan serius. Tindak verbal dalam tuturan yang menghilangkan muka berupa
tindak verbal ekspresif dan direktif. Tindak perlokusinya yaitu mitra tutur
menanggapi penutur, diam saja, meninggalkan penutur, dan menanggapi penutur
dengan kesal, menanggapi penutur dengan tersenyum malu, menimpali jawaban
penutur, dan menanggapi penutur dengan kesal.
5) Kategori menimbulkan konflik
Tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur yang temasuk sebagai anggota
keluarga, seperti kakak dengan adik, cucu dengan nenek, tante dengan
keponakan, dan ayah dengan anak. Tuturan terjadi di sekitar area rumah dan pada
waktu pagi, siang, serta sore hari, pada saat situasi santai dan serius. Tindak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
verbal dalam tuturan yang menghilangkan muka berupa tindak verbal direktif,
komisif, dan ekspresif. Tindak perlokusinya yaitu mitra tutur menanggapi
penutur dengan kesal, menangis, marah, melakukan tindakan sebagai ekspresi
kesal, dan berteriak kepada penutur.
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur
Maksud tuturan hanya diketahui oleh penutur. Jika wujud dan penanda
dimiliki oleh tuturan, maksud tuturan dimiliki oleh penutur. Karena maksud
penutur hanya diketahui oleh penutur, tuturan yang termasuk dalam subkategori
ketidaksantunan tertentu akan memiliki maksud yang sama dengan
subkategorinya, tetapi bisa juga berbeda. Berikut ini adalah maksud penutur dari
setiap tuturan dalam kelima ketegori ketidaksantunan.
1) Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori melanggar norna memiliki
dua maksud, yaitu maksud menolak dan memprotes.
2) Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori mengancam muka sepihak
memiliki tujuh maksud, yaitu maksud bercanda, mengejek, mengungkapkan
rasa kesal, memberikan pengertian, memohon, mengungkapkan rasa tidak
senang, dan menyindir.
3) Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori melecehkan muka memiliki
delapan maksud, yaitu maksud meminta tolong, menegur, mengungkapkan
rasa kesal, memerintah, menyalahkan, mengejek, melarang, dan bercanda.
4) Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori menghilangkan muka
memiliki delapan maksud, yaitu maksud membandingkan, menyindir,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
bercanda, menegur, meremehkan, memerintah, mengungkapkan rasa kesal,
dan menolak.
5) Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori menimbulkan konflik
memiliki delapan maksud, yaitu maksud melarang, menakut-nakuti,
memerintah, menolak, dan menyindir.
5.2 Saran
Penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti
memberikan saran bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian sejenis.
Berikut ini merupakan saran yang diberikan peneliti kepada berbagai pihak.
5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan
1) Penelitian ini meneliti ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam
ranah keluarga. Oleh sebab itu, peneliti lain dapat mengembangkan penelitian
tentang ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah yang berbeda
seperti ranah agama, suku, budaya dan lain-lain.
2) Penelitian ini telah menemukan lima kategori dan sembilan subkategori
ketidaksantunan. Peneliti berharap, peneliti lain dapat menemukan kategori dan
subkategori lainnya sehingga penelitian tentang ketidaksantunan ini menjadi lebih
lengkap dan lebih baik.
3) Peneliti lain diharapkan untuk menggali maksud penutur lebih dalam lagi
sehingga pembaca dapat lebih memahami bahwa suatu tuturan ternyata
mengandung suatu maksud yang hanya diketahui oleh penutur.
4) Penelitian ini mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam bidang ilmu
pragmatik. Peneliti lain diharapkan mengkaji lebih dalam lagi mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
fenomena-fenomena baru yang muncul dalam bidang ilmu pragmatik sehingga
penelitian ilmu pragmatik menjadi lebih lengkap dan bervariasi.
5.2.2 Bagi Keluarga
Ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru dalam kajian ilmu
pragmatik yang terjadi dalam komunikasi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah diuraikan, sebagai anggota masyarakat, khususnya dalam keluarga yang
berbudaya Jawa, setiap anggota keluarga perlu menghindari penggunaan bahasa yang
tidak santun dalam berkomunikasi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai acuan atau gambaran umum mengenai bentuk ketidaksantunan berbahasa
yang terdapat dalam ranah keluarga sehingga dapat mengurangi atau menghindari
tuturan dan sikap yang tidak santun terhadap orang lain karena akan membuat orang
lain tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
DAFTAR PUSTAKA
Achmad dan Alek Abdullah. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Bousfield, Derek & Miriam A. Locher. Impoliteness in Laguage: Studies on its
Interplay with Power in Theory and Practice. New York: Mouton de
Gruyter.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Cumming, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Gramedia.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. New York: Oxford University Perss.
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
___________. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Kuntaraf, Kathleen Liwidaja dan Jonathan Kuntaraf. 1999. Komunikasi Keluarga:
Kunci Kebahagiaan Anda. Bandung: Indonesia Publishing House.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Logman.
______________.1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terj. Jakarta: UI Press.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem
Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nadar. 2009. Prakmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nikelas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta:
Depdikbud.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
Noviyanti, Agustina Galuh Eka. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran
2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Nugroho, Miftah. 2009. “Konteks dalam Kajian Pragmatik” dalam Peneroka
Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Puspitarini, Olivia Melissa. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP,
USD, Angkatan 2009—2011. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP,
USD.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenaan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
_______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2012. “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik
dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.
Presentasi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
_______________. 2012. “Re-interpretasi Konteks Pragmatik”. Jurnal.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan
Penuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan
2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Skripsi. Yogyakarta: PBSID,
JPBS, FKIP, USD.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik: Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP,
USD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MELANGGAR NORMA
NO. KODE TUTURAN PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL (KONTEKS)
1. (A1) Cuplikan tuturan 1
MT : “Jangan main game
terus, Dik! Udah
jam berapa ini?
Belajar sana!”
P : “Bentar ta, Ma!
Lagi seru game-
nya.”
MT : “Awas kalau besok
nilainya jelek.”
Diksi: bahasa
nonstandar.
Kata fatis: “ta”.
Nada: naik tinggi.
Tekanan pada
kata “bentar”.
Intonasi seru.
Penutur laki-laki berumur 6
tahun, kelas 1 SD.
Mitra tutur perempuan berumur
41 tahun. Mitra tutur adalah ibu
penutur.
Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat malam hari. (9
April 2013)
Penutur asyik bermain game
sampai lupa waktu.
Mitra tutur mengingatkan
penutur untuk berhenti bermain
karena sudah waktunya untuk
belajar.
Tujuan: penutur tidak mau
diganggu saat bermain game.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
mengancam penutur.
Kategori ketidaksantunan:
melanggar norma
Subkategori ketidaksantunan:
menjanjikan
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur tidak mengindahkan
perintah mitra tutur.
- Penutur tidak merasa
bersalah. Penutur berbicara
dengan ketus.
- Penutur tidak memandang
mitra tutur ketika berbicara.
- Penutur berbicara dengan
orang tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. (A2) Cuplikan tuturan 2
P : “Bu, sekalian cuciin
piringku ya!”
MT : “Wegah. Wong wis
peraturane, cuci
piring sendiri-
sendiri.”
P : “Ah males! Pisan-
pisan ora ya ra
papa ta, Bu.”
Diksi: bahasa
nonstandar.
Kata fatis: “ah”
dan “ta”.
Nada: naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “males”.
Intonasi seru.
Penutur laki-laki berumur 14
tahun, kelas IX SMP.
Mitra tutur perempuan 37 tahun.
Mitra tutur adalah ibu penutur.
Tuturan terjadi di ruang makan,
saat sore hari. (6 Mei 2013)
Penutur dan mitra tutur sedang
makan malam.
Di keluarga penutur, ada
peraturan bahwa setelah makan,
setiap orang harus mencuci
piring sendiri-sendiri.
Setelah selesai makan, penutur
meminta mitra tutur untuk
mencucikan piring miliknya.
Mitra tutur menolak untuk
mencucikan piring pernutur.
Tujuan: penutur malas untuk
mencuci piring.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
meninggalkan penutur.
Kategori ketidaksantunan:
melanggar norma
Subkategori ketidaksantunan:
menolak
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
melanggar peraturan yang
ada.
- Penutur tidak merasa
bersalah.
- Penutur berusaha membujuk
mitra tutur untuk menyetujui
tindakannya.
- Penutur berbicara dengan
orang tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. (A3) Cuplikan tuturan 3
MT : “Heh uwis le
dolanan laptop
kuwi!”
P : “Kosik ta, iya-iya
dilit maneh.”
MT : “Wis jam pira iki?
Sinau-sinau!”
Diksi: bahasa
nonstandar.
Kata fatis: “ta”.
Nada: naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “kosik”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 13
tahun, kelas VII SMP.
Mitra tutur perempuan berumur
22 tahun. Mitra tutur adalah
kakak penutur.
Tuturan terjadi di ruang
keluarga, saat malam hari. (9
Mei 2013)
Penutur asyik bermain laptop.
Mitra tutur mengingatkan
penutur untuk mematikan laptop
karena sudah waktunya untuk
belajar.
Tujuan: penutur tidak mau
mematikan laptopnya.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menggapi penutur dengan
kesal.
Kategori ketidaksantunan:
melanggar norma
Subkategori ketidaksantunan:
menjanjikan
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur tidak mengindahkan
perintah mitra tutur.
- Penutur tidak merasa
bersalah.
- Penutur berbicara dengan
ketus.
- Penutur tidak memandang
mitra tutur ketika berbicara.
- Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
4. (A4) Cuplikan tuturan 4
MT : “Saka ngendi wae?
Jare bali jam wolu,
lha kok tekan
bengi.”
Diksi : bahasa
nonstandar.
Kata fatis : “ya”
dan “ta”.
Nada : turun
datar.
Penutur perempuan berumur 22
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur
45 tahun. Mitra tutur adalah ibu
penutur.
Tuturan terjadi di luar rumah,
Kategori ketidaksantunan:
melanggar norma
Subkategori ketidaksantunan:
kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur tidak merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : “Ya ampun, Bu.
Lagi jam sanga
masak wis malem
ta?”
MT : “Karepe bengi ki
jam pira?”
Tekanan pada
kata “ya ampun”.
Intonasi tanya.
saat malam hari. (13 Mei 2013)
Penutur baru pulang ke rumah.
mitra tutur melihat penutur yang
baru saja pulang.
Mitra tutur mengingatkan
penutur bahwa ia pulang sudah
terlalu malam, padahal mitra
tutur memperbolehkan penutur
pergi sampai jam delapan
malam.
Tujuan: penutur memberikan
pembelaan diri karena mitra
tutur menganggap ia pulang
terlalu malam.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menggapi penutur dengan
kesal.
bersalah.
- Penutur berbicara dengan
malas.
- Penutur berbicara dengan
orang tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENGANCAM MUKA SEPIHAK
NO. KODE TUTURAN PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL (KONTEKS)
1. (B1) Cuplikan tuturan 5
MT 1 : “Saya pamit
dulu, Bu.
Terima kasih.”
MT 2 : “Sama-sama,
Mbak.”
P : “Urung-urung
kok wis terima
kasih, wa
berarti udah
selesai.”
MT 1 : “Bukan begitu,
Pak.”
Diksi: bahasa
nonstandar yang
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Indonesia
yang tidak baku
pada kata “udah”
dan penyisipan
kata “urung-
urung” yang
merupakan kata
dalam bahasa
Jawa.
Kata fatis: “kok”
dan “wa”.
Nada: naik
rendah.
Tekanan pada
frasa “udah
Penutur laki-laki berumur 48 tahun.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun. Mitra tutur 1 adalah tamu.
Mitra tutur 2 perempuan berumur
46 tahun. Mitra tutur 2 adalah
tetangga penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah, saat
siang hari. (9 Mei 2013)
Penutur mendengar percakapan
mitra tutur 1 yang akan berpamitan
dengan mitra tutur 2.
Penutur tiba-tiba melontarkan
tuturan kepada mitra tutur 1,
padahal mitra tutur 1 masih
berkepentingan dengan penutur.
Penutur hanya bermaksud becanda
dengan mitra tutur 1. Tujuan
penutur dari tuturannya ialah hanya
ingin becanda dengan mitra tutur 1.
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
menyela pembicaraan
mitra tutur 1 dan mitra
tutur 2.
- Penutur berbicara sambil
tertawa.
- Penutur berbicara tanpa
tahu topik pembicaraan
sebelumnya.
- Penutur tidak merasa kalau
tuturannya telah membuat
mitra tutur 1 tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selesai”.
Intonasi berita.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 1
kebingungan untuk membalas
candaan penutur.
2. (B2) Cuplikan tuturan 6
MT : “Pa, ayo temenin
main!”
P : “Sebentar, Dik.”
MT : “Ayo! Ayo!”
P : “Udah-udah
sana, karo
mama kana!”
Diksi: bahasa
nonstandard yang
ditandai dengan
penyisipan kata
“karo” dan “kana”
dalam bahasa
Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada kata
“kana”.
Intonasi perintah.
Penutur laki-laki berumur 56 tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 4
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat siang hari. (13 April 2013)
Penutur sedang mengerjakan tugas.
Mitra tutur mengajak penutur
bermain sehingga mengganggu
pekerjaan penutur.
Penutur yang merasa terganggu
meminta mitra tutur untuk bermain
dengan ibunya.
Tujuan penutur meminta mitra tutur
untuk bermain dengan ibunya
karena merasa tengganggu.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi mitra tutur
menangis, lalu pergi meninggalkan
penutur.
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
tidak memandang mitra
tutur.
- Penutur berbicara sambil
mendorong pelan mitra
tutur supaya menjauh.
- Penutur tidak merasa kalau
tuturannya telah membuat
mitra tutur merasa tidak
diinginkan keberadaannya
di dekat penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. (B3) Cuplikan tuturan 7
MT : “Ma, pakaiin baju
superman!”
P : “Sebentar ta.”
MT : “Pakaiin!”
P : “Dipakai-
dipakai. Iya
sebentar ta,
pakai-pakai.”
Diksi: bahasa
populer yang
merupakan
bahasa sehari-
hari.
Kata fatis: “ta”.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “sebentar”.
Intonasi berita.
Penutur laki-laki berumur 42 tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 4
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat siang hari. (13 April 2013)
Penutur sedang menggendong adik
mitra tutur.
Mitra tutur meminta penutur untuk
memakaikan baju superman.
Penutur belum bisa memakaikan
baju kepada penutur karena masih
menggendong adik mitra tutur.
Tujuan: penutur belum bisa
memakaikan baju kepada mitra
tutur karena masih menggendong
adik mitra tutur.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menangis.
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan:
menjanjikan
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur menanggapi mitra
tutur dengan tidak serius.
- Penutur berbicara tanpa
melihat mitra tutur.
- Penutur tidak merasa kalau
tuturannya telah membuat
mitra tutur merasa tidak
diperhatikan.
4. (B4) Cuplikan tuturan 8
MT 1 : “Kenapa takut
sama simbah
kakung?”
Diksi: bahasa
nonstandar yang
ditandai dengan
penggunaan kata
yang tidak baku,
Penutur perempuan berumur 7
tahun, kelas 2 SD.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun, sebagai tamu.
Mitra tutur 2 laki-laki berumur 61
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : “Nggak suka
mbah
kakung.”
MT 2 : “Simbah ki ora
nyokot, kok
wedi.”
yaitu kata
“nggak”.
Nada turun datar.
Tekanan pada
frasa “nggak
suka”.
Intonasi berita.
tahun, sebagai kakek penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat
siang hari. (18 April 2013)
Penutur berbincang dengan mitra
tutur 1.
Mitra tutur 1 bertanya kepada
penutur mengapa takut kepada mitra
tutur 2.
Mitra tutur 2 mendengar tuturan
penutur.
Tujuan: penutur menjawab mitra
tutur 1 dengan malu-malu karena
takut terdengar oleh mitra tutur 2.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
menimpali jawaban penutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi datar dan tidak
merasa takut ketika
berbicara.
- Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya
terdengar oleh mitra tutur
2.
- Mitra tutur 2 merasa
tersingung.
5. (B5) Cuplikan tuturan 9
P : “Mbah masak
apa?”
MT : “Sego goreng.”
P : “Mbah, ngelih
Mbah. Cepet ta
Mbah, selak
laper je Mbah!”
Diksi: bahasa
nonstandard yang
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa dan
penyisipan kata
“laper” yang
merupakan kata
tidak baku dalam
Penutur perempuan berumur 7
tahun, kelas 2 SD.
Mitra tutur perempuan berumur 56
tahun. Mitra tutur adalah nenek
penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat
siang hari. (18 April 2013)
Penutur melihat mitra tutur
memasak.
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur berbicara kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : “Mbok ya
ngewangi kene!”
bahasa Indonesia.
Kata fatis: “ta”
dan “je”.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
klausa “cepet ta
Mbah”.
Intonasi perintah.
Penutur tidak membantu mitra tutur
yang memasak.
Mitra tutur tidak tahu kalau penutur
juga berada di dapur.
Tujuan penutur meminta mitra tutur
untuk segera menyelesaikan
masakannya.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menimpali tuturan penutur dengan
kesal.
orang yang lebih tua.
- Penutur hanya memberikan
perintah tanpa membantu
mitra tutur.
- Penutur tidak merasa kalau
tuturannya telah membuat
mitra tutur kesal.
6. (B6) Cuplikan tuturan 10
MT : “Kancaku SMA
kae wis duwe
gawean saiki.”
P :”Iya, ora kaya
kowe kuwi! Isih
nganggur wae.”
MT : “Enak wae! Sing
penting tetep
usaha golek.”
Diksi: bahasa
nonstandard yang
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
frasa “kowe
kuwi”.
Intonasi seru.
Penutur laki-laki berumur 22 tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 12
tahun tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah, saat
sore hari.
Mitra tutur bercerita kepda penutur
tentang temannya yang sudah
mendapatkan pekerjaan.
Penutur menimpali cerita mitra
tutur.
Tujuan: penutur hanya menggoda
mitra tutur yang belum juga bekerja.
Tindak verbal: ekspresif.
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan: mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
ketus.
- Penutur tidak bermaksud
menyindir mitra tutur.
- Penutur tidak sadar telah
membuat mitra tutur
tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: mitra tutur
memberikan pembelaan diri.
7. (B7) Cuplikan tuturan 11
MT : “Mas, aku njaluk
pit ro bapak ora
oleh.”
P : “Masalahnya
kamu itu
ngeyel.”
MT : “Ngeyel piye?
Ora yo.”
Diksi: bahasa
populer yang
merupakan
bahasa sehari-
hari.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “ngeyel”.
Intonasi berita.
Penutur laki-laki berumur 22 tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 12
tahun tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah, saat
sore hari.
Mitra tutur bertanya kepada penutur
mengapa orang tuanya tidak mau
membelikan sepeda.
Penutur menjawab pertanyaan mitra
tutur.
Tujuan: penutur menjawab
pertanyaan mitra tutur sesuai
dengan kenyataan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
memberikan pembelaan diri.
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
ekspresi sinis.
- Penutur berbicara dengan
tidak memperhatikan mitra
tutur.
- Penutur tidak bermaksud
menyindir mitra tutur.
- Penutur tidak sadar telah
membuat mitra tutur
tersinggung.
8. (B8) Cuplikan tuturan 12
MT : “Piye iki?”
P : “Diajari bola-
bali kok ra dong-
dong!”
Diksi: bahasa
nonstandar yang
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Penutur laki-laki berumur 23 tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 55
tahun tahun. Mitra tutur adalah ayah
penutur.
Tuturan terjadi ruang keluarga, saat
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : “Wis ora sida.” Kata fatis: “kok”.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
frasa “ra dong-
dong”.
Intonasi seru.
sore hari.
Mitra tutur meminta bantuan
penutur untuk mengajarinya
memakai komputer.
Penutur sudah berkali-kali
mengajari mitra tutur.
Mitra tutur tidak bisa mengingat
ajaran penutur.
Tujuan penutur dari tuturannya
ialah penutur mengungkapkan
kelelahannya kepada mitra tutur
yang selalu menanyakan hal yang
sama.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tidak
jadi meminta bantuan penutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi sinis.
- Penutur berbicara dengan
tidak memperhatikan mitra
tutur.
- Penutur tidak bermaksud
menyindir mitra tutur.
- Penutur tidak sadar telah
membuat mitra tutur
tersinggung.
9. (B9) Cuplikan tuturan 13
MT : “Nonton apa
kowe ki? Ora jelas
ngono kok
ditonton.”
P : “Ibu ki ora
gaul.”
MT : “Mung ngono
Diksi: bahasa
nonstandard yang
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
frasa “ibu ki”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 19
tahun. Mitra tutur perempuan
berumur 42 tahun tahun. Mitra tutur
adalah ibu penutur.
Tuturan terjadi ruang keluarga, saat
siang hari.
Penutur dan mitra tutur sedang
menonton infotaimen di televisi.
Penutur menunjukkan berita yang
Kategori ketidaksantunan:
mengancam muka sepihak
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
kasar.
- Penutur berbicara dengan
mitra tutur yang lebih tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kuwi gaul?” ada di infotaimen tersebut sedang
menjadi perbincangan hangat.
Mitra tutur menganggap berita
tersebut tidak bermutu.
Tujuan penutur menyatakan bahwa
mitra tutur tidak mengikuti
perkembangan berita di televisi.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menimpali tuturan penutur.
- Penutur tidak bermaksud
menyindir mitra tutur.
- Penutur tidak sadar telah
membuat mitra tutur
tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MELECEHKAN MUKA
NO. KODE TUTURAN PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL (KONTEKS)
1. (C1) Cuplikan tuturan 14
P : “Piye, Be
utange? Piye,
Be?”
MT : “Kae jupuken
duite, lek nggo
bayar.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada turun
datar.
Tekanan pada
frasa “piye, Be”.
Intonasi tanya.
Penutur perempuan berumur 35
tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 58
tahun. Mitra tutur adalah ibu penutur.
Tuturan terjadi di rumah, saat sore
hari. (17 April 2013)
Penutur dan mitra tutur membahas
hutang yang dimiliki oleh salah satu
anggota keluarga.
Penutur merasa kesal dengan masalah
hutang tersebut.
Tujuan: penutur berusaha meminta
bantuan mitra tutur untuk
menyelesaikan masalah hutang.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
memberikan jawaban dan
memberikan uang untuk membayar
hutang tersebut.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
ekspresi kecewa.
- Penutur berbicara kepada
mitra tutur yang umurnya
lebih tua.
- Penutur membuat mitra
tutur merasa tersinggung
karena dianggap tidak bisa
membantu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. (C2) Cuplikan tuturan 15
P : “Kae, anakmu
dipisah kae!
Ora sing tua,
ora sing enom
pada wae.”
MT : (diam saja)
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “dipisah
kae”.
Intonasi
perintah.
Penutur perempuan berumur 56
tahun.
Mitra tutur laki-laki 32 tahun. Mitra
tutur adalah menantu penutur.
Tuturan terjadi ketika siang hari, jam
pulang sekolah. (18 April 2013)
Di ruang keluarga, kedua cucu
penutur sedang berebutan untuk
menonton acara televisi.
Mitra tutur sedang memasak di
dapur.
Ruang tamu dan dapur hanya
berseberangan.
Tujuan: penutur meminta mitra tutur
untuk memisah anak-anaknya yang
berebutan menonton acara televisi.
Tindak perlokusi mitra tutur diam
saja, kemudian mematikan televisi.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi sinis.
- Penutur membuat mitra
tutur tersinggung.
3. (C3) Cuplikan tuturan 16
MT : “Bu, gorengke
endhog!”
P : “Ya kana gawe
dewe! Wong
kowe yang
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa dan
penyisipan kata
“laper” yang
Penutur perempuan berumur 36
tahun.
Mitra tutur perempuan 12 tahun,
kelas V SD. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu pada
saat siang hari. (1 Mei 2013)
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
laper.” merupakan kata
tidak baku
dalam bahasa
Indonesia.
Kata fatis: “ya”
dan “wong”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “gawe
dewe”.
Intonasi
perintah.
Penutur sedang menerima tamu di
rumah.
Mitra tutur baru saja pulang dari
sekolah.
Penutur tidak menyiapkan makan
siang, padahal mitra tutur sudah
lapar.
Tujuan: penutur tidak bisa
menyiapkan makanan karena sedang
ada tamu.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi mitra tutur diam
saja dan langsung ke dapur untuk
memasak.
volume yang keras.
- Penutur tidak
menghiraukan mitra tutur .
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
4. (C4) Cuplikan tuturan 17
MT : “Misi, Budhe.”
P : “Yak yakan!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “yak-
yakan”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 35
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 12
tahun. Mitra tutur adalah tetangga
penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah
penutur saat siang hari. (1 Mei 2013)
Mitra tutur sedang bermain dengan
anak penutur di tempat yang sama.
Mitra tutur tidak sengaja menginjak
kaki penutur saat berjalan ke dalam
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur berbicara dengan
membentak mitra tutur .
- Penutur berbicara dengan
ekspresi marah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rumah penutur.
Penutur menegur mitra tutur yang
dianggap tidak memperhatikan jalan.
Tujuan: penutur menegur mitra tutur
yang dinggap tidak memperhatikan
jalan ketika akan masuk ke dalam
rumah penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam
saja lalu meninggalkan penutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung dan
takut.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anak
tetangganya.
5. (C5) Cuplikan tuturan 18
P : “Ibumu mau
metu ning
endi?”
MT : “Ora ngerti,
Budhe.”
P : “Wo cah
pethuk! Masak
ibune lunga
ora ngerti.”
Diksi bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“wo”.
Nnada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “cah
pethuk”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 35
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 12
tahun. Mitra tutur adalah tetangga
penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah
penutur saat siang hari. (1 Mei 2013)
Mitra tutur sedang bermain dengan
anak penutur di dalam rumah
penutur.
Penutur bertanya kepada mitra tutur
mengenai kepergian ibu mitra tutur.
Mitra tutur tidak tahu kalau ibunya
sedang pergi.
Tujuan: penutur mengungkapkan
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
kasar.
- Penutur berbicara tanpa
menghiraukan perasaan
mitra tutur .
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anak
tetangganya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kekesalannya kepada mitra tutur yang
tidak tahu kalau ibunya sedang pergi.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur diam
saja dan tetap melanjutkan
bermainnya.
6. (C6) Cuplikan tuturan 19
P : “Dasar anake
wong edan!”
MT : (diam saja)
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
klausa “anake
wong edan”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 33
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 12
tahun. Mitra tutur adalah tetangga
penutur.
Tuturan terjadi di luar rumah saat
sore hari. (1 Mei 2013)
Mitra tutur berjalan melewati penutur
sambil bernyanyi.
Penutur melihat mitra tutur yang
berjalan sambil bernyanyi.
Tujuan: penutur menegur mitra tutur
yang berjalan sambil bernyanyi.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi mitra tutur berhenti
bernyanyi, kemudian berlari
meninggalkan penutur.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur berbicara dengan
membentak mitra tutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi datar.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung dan
takut.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anak
tetangganya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. (C7) Cuplikan tuturan 20
MT : “Aku ngerti
ngopo Ibu
mageri mburi
omah.”
P : “Has luweh!
Sak karep
omonganmu
opo.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis: “has”
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “luweh”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 45
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 20
tahun. Mitra tutur adalah anak dari
penutur.
Tuturan terjadi di dapur, saat malam
hari.
Mitra tutur sedang memasak.
Penutur menemani mitra tutur
memasak. Mitra tutur mencoba
membuka pembicaraan dengan
penutur.
Topik pembicaraan yang diangkat
oleh mitra tutur tidak berkenan oleh
penutur
Tujuan: penutur menolak
membicarakan topik yang dipilih
oleh mitra tutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
langsung diam tidak melanjutkan
pembicaraan.
Kategoris ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
memotong kalimat mitra
tutur.
- Penutur berbicara dengan
membentak mitra tutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
8. (C8) Cuplikan tuturan 21
P : “Dik, beliin
Diksi: bahasa
nonstandr
ditandai dengan
Penutur perempuan berumur 22
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 14
Kategoris ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teh!”
MT : “Beli dewe
ngopo?”
P : “Hais kowe
ki!”
MT : “Pisan-pisan
mbok kowe.”
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“hais”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “kowe ki”.
Intonasi seru.
tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat sore hari.
Penutur meminta mitra tutur untuk
membelikan teh di warung.
Mitra tutur sedang bermain
handphone.
Mitra tutur tidak mau membelikan
teh.
Tujuan: penutur mengungkapkan
kekecewaannya kepada mitra tutur
yang tidak mau membelikan teh dan
tetap asyik bermain handphone.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menjawab tuturan penutur dengan
kesal.
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur berbicara dengan
membentak mitra tutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
9. (C9) Cuplikan tuturan 22
P : “Acara kaya
ngono
ditonton.
Ganti!”
MT : “Nyoh.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Penutur laki-laki berumur 16 tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 13
tahunMitra tutur adalah adik penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat malam hari.
Penutur datang mendekati mitra tutur
karena ingin menonton televisi juga.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tekanan pada
kata “ganti”.
Intonasi seru.
Mitra tutur menonton sinetron
sesukaannya.
Mitra tutur tidak suka menonton
sinetron.
Tujuan: penutur mengungkapkan
kekecewaannya kepada mitra tutur
yang tidak mau membelikan teh dan
tetap asyik bermain handphone.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
mengganti acara televisi, kemudian
pergi meninggalkan penutur dengan
kesal.
memaksa mitra tutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah adiknya.
10. (C10) Cuplikan tuturan 23
MT : “Mbak, bijiku
medun.”
P : “Salahe nonton
tipi terus.”
Diksi bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada turun
datar.
Tekanan pada
kata “salahe”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 23
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 13
tahun, kelas VII SMP. Mitra tutur
adalah adik penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat malam hari.
Mitra tutur sedang belajar.
Penutur menemani mitra tutur
belajar.
Mitra tutur bercerita kepada penutur
tentang nilai ulangannya yang turun.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara tanpa
melihat mitra tutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penutur tidak terkejut mendengar
cerita dari mitra tutur.
Penutur hanya menanggapi cerita
mitra tutur dengan sindiran.
Tujuan: penutur menyindir mitra
tutur yang terlalu banyak
menggunakan waktunya untuk
menonton televisi bukan untuk
belajar.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam
saja, tidak melanjutkan ceritanya.
tutur adalah adiknya.
11. (C11) Cuplikan tuturan 24
P : “Mbak, rumuse
bener kaya
ngene?”
MT : “Ya.”
P : “Tenane? Nek
salah kowe
lho!”
MT : “Ya karepmu.
Wong takon
kok malah
maido.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“lho”.
Nada naik
rendah.
Tekanan pada
kata “tenane”.
Intonasi tanya.
Penutur perempuan berumur 13
tahun, kelas VII SMP.
Mitra tutur perempuan berumur 22
tahun. Mitra tutur adalah kakak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat malam hari.
Penutur sedang belajar.
Mitra tutur menenami penutur
belajar.
Penutur bertanya kepada mitra tutur
tentang suatu soal.
Penutur merasa jawaban mitra tutur
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subakategori
ketidaksantunan:
mengancam
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara tanpa
melihat mitra tutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak meyakinkan.
Tujuan: penutur memastikan
kebenaran dan keyakinan pada
jawaban mitra tutur.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menjawab tuturan mitra tutur dengan
kesal karena merasa diragukan.
mitra tutur adalah adiknya.
12. (C12) Cuplikan tuturan 25
P : “Dik, amilke
minum!”
MT : “Wegah.”
P : “Hah
ngongkon
kowe ki mung
marake gela.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“hah”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “kowe ki”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 23
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 13
tahun, kelas VII SMP. Mitra tutur
adalah adik penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat malam hari.
Penutur sedang belajar.
Mitra tutur menenami penutur
belajar.
Penutur minta diambilkan minum.
Mitra tutur tidak mau mengambilkan
minum untuk penutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan
kekecewaannya kepada mitra tutur
yang tidak mau mengambilkan
minum untuknya.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara tanpa
melihat mitra tutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa
mitra tutur adalah
kakaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam
saja dan meninggalkan penutur.
13. (C13) Cuplikan tuturan 26
MT : “Kulo nuwun.”
P : “Wis tutuk le
dolan?”
MT : “Sapa sing
dolan?”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “tutug”.
Intonasi tanya.
Penutur perempuan berumur 45
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 22
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat sore menjelang maghrib.
Mitra tutur baru pulang ke rumah
setelah pergi selama sepuluh jam.
Penutur melihat mitra tutur masuk ke
rumah.
Tujuan: penutur menyindir mitra
tutur yang baru saja pulang setelah
pergi selama 10 jam.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menjawab tuturan penutur dengan
kesal karena penutur tidak
mengetahui apa saja kegiatan yang
dilakukan oleh mitra tutur selama 10
jam tersebut.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara seperti
menuduh mitra tutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14. (C14) Cuplikan tuturan 27
P : “Iki lho ana sing
reged.”
MT : “Wis tak sapu
mau.”
P : “Nyapu ngono
wae ora resik.”
MT : “Endi? Sing
endi?”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “ngono
wae”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 32
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 12
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang ruang tamu,
saat sore hari.
Penutur sedang menyapu lantai
rumah.
Mitra tutur melihat penutur yang
sedang menyapu.
Mitra tutur masih melihat kotoran di
lantai.
Tujuan: penutur menyindir mitra
tutur yang tidak menyapu bersih
lantai rumah.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tutur
bertanya bagian lantai mana yang
masih kotor dengan kesal, lalu
menyapu kembali bagian lantai yang
ditunjuk oleh penutur.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
15. (C15) Cuplikan tuturan 28
P : “Pateni tivine!
Diksi bahasa
nonstandar
ditandai dengan
Penutur perempuan berumur 32
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 12
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ket mau nonton
tivi wae.”
MT : “Durung suwe
le nonton ki.”
P : “Dikandani
kok ngeyele
pol!”
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “ngeyele
pol”.
Intonasi seru.
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur
Tuturan terjadi di ruang ruang
keluarga, saat sore hari.
Mitra tutur sedang menonton televisi.
Penutur melihat mitra tutur yang
sedang menonton televisi.
Penutur sudah menasihati mitra tutur
untuk tidak terlalu banyak menonton
televisi.
Tujuan: penutur mengungkapkan
kekesalannya karena mitra tutur tidak
mendengarkan nasihat penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi mitra tutur tutur
diam saja dan tetap menonton
televisi.
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi kesal.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
16. (C16) Cuplikan tuturan 29
MT : “Iki piye ta le
nganggo?”
P : “Percuma
punya hape
bagus-bagus,
tapi nggak bisa
Diksi: bahasa
nonstandar
karena ditandai
dengan
penggunaan
bahasa Indonesia
yang tidak baku
pada kata “tapi”,
Penutur perempuan berumur 35
tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 28
tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi di ruang ruang
keluarga, saat sore hari.
Penutur melihat mitra tutur belajar
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sinis.
- Penutur berbicara dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pakainya.”
MT : “Yang penting
punya hp baru.”
“nggak”, dan
“pakainya”.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “percuma”.
Intonasi berita.
memakai handphone baru.
Penutur merasa iri karena mitra tutur
punya handphone baru.
Tujuan: penutur menyindir mitra
tutur yang masih kaku menggunakan
handphone barunya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menjawab tuturan penutur dengan
kesal.
ekspresi menyepelekan
mitra tutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tersinggung.
- Penutur sadar bahwa
mitra tutur adalah adiknya.
17. (C17) Cuplikan tuturan 30
P : “Ngopo
kowe?”
MT : “Wong ora
ngopo-ngopo
kok.”
Diksi:
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “ngopo”.
Intonasi tanya.
Penutur perempuan berumur 22
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 13
tahun tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi di kamar, saat malam
hari hari.
Penutur sedang mengetik sesuatu
dengan laptop.
Mitra tutur tiba-tiba datang dan ingin
melihat apa yang penutur ketik.
Penutur merasa terganggu dengan
kedatangan mitra tutur.
Tujuan: penutur tidak suka diganggu
ketika sedang bekerja.
Kategoris ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara
dengan ketus.
- Penutur bereaksi secara
spontan kepada mitra
tutur yang sebenarnya
tidak mengganggu.
- Penutur sengaja
membuat mitra tutur
tidak nyaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal
kepada penutur karena mitra tutur
tidak bermaksud mengganggu.
18. (C18) Cuplikan tuturan 31
MT : “Mbak gantian
kene.”
P : “Rasah-rasah!
Gaweanmu
wae ra
rampung-
rampung.”
MT : “Yo wis.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “rasah-
rasah”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 22
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 13
tahun tahun. Mitra tutur adik penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah, saat
sore hari.
Penutur sedang memotong sayur
untuk dimasak.
Mitra tutur bermaksud membantu
penutur untuk memotong sayuran.
Mitra tutur bertugas mengupas
bawang.
Mitra tutur belum selesai mengupas
bawang.
Tujuan: penutur menyuruh mitra
tutur untuk menyelesaikan tugasnya
lebih dulu.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal
kepada penutur.
Kategori ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
ketus.
- Penutur menunjukkan
ekspresi galak.
- Penutur bereaksi secara
spontan kepada mitra tutur.
- Penutur sengaja membuat
mitra tutur tidak nyaman
dan tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19. (C19) Cuplikan tuturan 32
MT : “Mas garap opo
meneh?”
P : “Halah
senengane!
Nyebai tenan
kowe ki.”
MT : “Wong aku
mung takon.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “halah
senengane”.
Intonasi seru.
Penutur laki-laki berumur 8 tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 7
tahun tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi ruang keluarga, saat
sore hari.
Penutur sedang mengerjakan tugas
sekolah.
Mitra tutur tiba-tiba menghampiri
penutur dengan maksud membantu
penutur.
Penutur menganggap mitra tutur
hanya akan mengganggunya.
Tujuan: penutur tidak suka diganggu
oleh mitra tutur saat mengerjakan
tugas.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur pergi
meninggalkan penutur dengan
cemberut.
Kategoris ketidaksantunan:
melecehkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
ketus.
- Penutur bereaksi secara
spontan kepada mitra tutur
yang sebenarnya tidak
mengganggu.
- Penutur sengaja membuat
mitra tutur tidak nyaman
dan tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENGHILANGKAN MUKA
NO. KODE TUTURAN PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL (KONTEKS)
1. (D1) Cuplikan tuturan 33
MT 1 : “Kalau anak
Bapak itu lebih
nurut dengan Ibu
atau Bapak?”
MT 2 : “Pak, Mbak,
mari.”
P : “Anak saya itu
kalau nggak ada
ibue manut,
kalau ada ibue
malah nggak
manut, malah
padu je.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Indonesia
yang tidak baku
pada kata “nggak”
dan “malah” serta
penyisipan kata
“manut” dan
imbuhan “–e”
yang merupakan
kata dalam bahasa
Jawa.
Kata fatis: “je”.
Nada turun datar.
Tekanan pada kata
“manut”.
Intonasi berita.
Penutur laki-laki berusia 64 tahun.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun. Mitra tutur 1 adalah
tamu.
Mitra tutur 2 perempuan berumur
19 tahun. Mitra tutur 2 adalah
anak penutur.
Tuturan terjadi di dalam ruang
tamu, saat sore hari. (10 April
2013)
Mitra tutur 1 bertamu di rumah
penutur.
Mitra tutur 1 bertanya tentang
mitra tutur 2 yang lebih patuh
kepada siapa.
Mitra tutur 2 baru saja pulang ke
rumah, kemudian memberi salam
kepada penutur dan mitra tutur 1.
Tujuan: penutur menunjukkan
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur 2.
- Penutur berbicara sambil
melirik mitra tutur 2.
- Penutur berbicara
dengan tersenyum
meremehkan.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
- Penutur sadar bahwa
mitra tutur 2 adalah
anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa mitra tutur 2 tidak patuh
kepada ibunya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
hanya diam saja, kemudian pergi
meninggalkan ruang tamu.
2. (D2) Cuplikan tuturan 34
MT 1 : “Tapi tetap rajin
membantu
pekerjaan bapak
dan ibu di rumah
kan, Pak?”
MT 2 : “Diminum,
Mbak.”
P : “Kalau pas ada
ibue, kesete.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penyisipan kata
“pas” dan
“kesete” yang
merupakan kata
dalam bahasa
Jawa.
Nada turun datar.
Tekanan pada
kata “kesete”.
Intonasi berita.
Penutur laki-laki berusia 64 tahun.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun. Mitra tutur 1 adalah
tamu.
Mitra tutur 2 perempuan berumur
19 tahun. Mitra tutur 2 adalah
anak penutur.
Tuturan terjadi di dalam ruang
tamu, saat sore hari. (10 April
2013)
Mitra tutur 1 bertamu di rumah
penutur.
Mitra tutur 1 bertanya tentang sifat
rajin mitra tutur 2.
Mitra tutur 2 mengantarkan
minuman untuk penutur dan mitra
tutur.
Tujuan: penutur menunjukkan
bahwa mitra tutur 2 tidak rajin
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur 2.
- Penutur tidak
memperhatikan mitra
tutur 2.
- Penutur berbicara
dengan volume yang
keras.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
- Penutur sadar bahwa
mitra tutur 2 adalah
anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
apabila ada ibunya di rumah.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
hanya diam dan tersenyum malu.
3. (D3) Cuplikan tuturan 35
MT 1 : “Kalau boleh,
saya bisa gantian
bertanya dengan
ibu, Pak?”
P : “Wah nek ibue
ki bodho,
Mbak.”
MT 2 : Iya, Mbak.
Jangan dengan
saya, dengan
Bapak saja.
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada turun datar.
Tekanan pada
kata “bodho”.
Intonasi berita.
Penutur laki-laki berusia 64 tahun.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun. Mitra tutur 1 adalah
tamu.
Mitra tutur 2 perempuan berumur
45 tahun. Mitra tutur 2 adalah istri
penutur.
Tuturan terjadi di dalam ruang
tamu, saat sore hari. (10 April
2013)
Mitra tutur 1 bertamu di rumah
penutur.
Mitra tutur 1 bertanya tentang
pendidikan mitra tutur 2.
Mitra tutur 2 ada di luar rumah.
Mitra tutur mendengar tuturan
penutur.
Tujuan: penutur menunjukkan
bahwa mitra tutur 2 tidak lebih
pintar daripada penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara
dengan volume yang
keras.
- Penutur berbicara
dengan tertawa
meremehkan.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
- Penutur sadar jika mitra
tutur 2 adalah istrinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
menimpali tuturan penutur.
4 (D4) Cuplikan tuturan 36
MT 1 : “Permisi. Mau
tanya, Bu. Rumah
si sebelah,
rumahnya siapa,
Bu?”
MT 2 : “Rumahnya Bu
Agus, Mbak. Mau
tanya-tanya apa je,
Mbak? Itu
ibunya.”
MT 1 : “Cuma tanya-
tanya biasa.
Terima kasih,
Bu.”
P : “Itu Mbak
bapaknya
gajinya kurang.”
Diksi: bahasa
populer yang
merupakan
bahasa sehari-
hari.
Nada naik rendah.
Tekanan pada
frasa “gajinya
kurang”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 33
tahun.
Mitra tutur 2 perempuan berumur
45 tahun sebagai tetangga penutur.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun sebagai tamu.
Tuturan terjadi di luar rumah, saat
sore hari. (10 April 2013)
Penutur sedang berbincang-
bincang dengan tetangga di depan
rumah dalam keadaan santai.
Mitra tutur 1 menghampiri penutur
untuk menanyakan nama pemilik
rumah yang berada di samping
rumah penutur.
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur 1.
Penutur melihat sang pemilik
rumah, mitra tutur 2, berada di
luar rumah.
Tujuan: penutur menyindir mitra
tutur 2 yang tidak mau
diwawancari oleh mitra tutur 1
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sengaja.
- Penutur berbicara dengan
tertawa.
- Penutur menganggap hal
yang dituturkan berupa
lelucon, padahal hal
tersebut termasuk hal yang
bersifat pribadi.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 tersinggung
dan malu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena penutur menganggap mitra
tutur 1 akan bertanya tentang
penghasilan keluarga mitra tutur 2.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
hanya diam saja.
5. (D5) Cuplikan tuturan 37
P : “Mak, prajurit
sing klambine
ireng-ireng kae
jenenge apa?”
MT : “Sik endi? Prajurit
ireng pa?”
P : “Ngawur,
sembarangan
wae, ngawur
dudu kuwi!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penyisipan kata
“sembarangan”
yang merupakan
kata dalam
bahasa
Indonesia.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “ngawur”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 35
tahun.
Mitra tutur seorang perempuan
berumur 58 tahun. Mitra tutur
adalah ibu penutur.
Penutur sedang duduk bersantai di
luar rumah, saat sore hari. (17
April 2013)
Penutur bertanya kepada mitra
tutur yang baru saja keluar dari
rumah.
Mitra tutur duduk di sebelah
penutur
Penutur menganggap jawaban
mitra tutur salah.
Tujuan: penutur menyangkal
jawaban mitra tutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan:
menyalahkan
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur memberikan
sangkalan dengan kasar.
- Penutur berbicara sangat
dekat dengan mitra tutur.
- Penutur berbicara kepada
orang tua.
- Penutur telah membuat
mitra tutur malu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berpikir ulang dan berbicara
dengan volume suara yang lebih
kecil.
6. (D6) Cuplikan tuturan 38
P : “Mbok kaya
mas, bubukan.
Ora dolan wae.”
MT : “Apa-apa kok
kaya mas kae,
kaya mas kae.”
Diksi bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“mbok”.
Nada turun datar.
Tekanan pada
frasa “dolan
wae”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 56
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 7
tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur
adalah cucu penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah
penutur, saat siang hari. (18 April
2013)
Mitra tutur berada di luar rumah
sedang bermain.
Penutur berdiri di depan pintu dan
melihat mitra tutur.
Penutur mencoba mengingatkan
mitra tutur.
Tujuan: penutur mengingatkan
mitra tutur supaya tidur siang
seperti kakaknya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menanggapi penutur dengan nada
kesal.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
sengaja.
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur telah membuat
mitra tutur tidak nyaman
karena dibanding-
bandingkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. (D7) Cuplikan tuturan 39
MT 1 : “Kalau kamu,
sukanya nonton
apa?”
MT 2 : (diam saja, hanya
tersenyum)
P : “Cilik-cilik ning
senenge sinetron
kuwi, Mbak.”
MT 2 : “Simbah ya
senenge.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik rendah.
Tekanan pada kata
“cilik-cilik”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 56
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 7
tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur
adalah cucu penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat
sore hari. (18 April 2013)
Tamu sebagai mitra tutur 1
bertanya kepada mitra tutur 2
tentang acara televisi yang
disukai.
Mitra tutur 2 hanya tersenyum.
Penutur yang duduk di depan
mitra tutur 2 memberikan
menjawaban.
Tujuan: penutur manjawab
pertanyaan mitra tutur 1 yang
ditujukan untuk mitra tutur 2
karena mitra tutur 2 malu untuk
menjawab.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
menimpali tuturan penutur dengan
tersenyum malu.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur 2.
- Penutur berbicara sambil
melirik mitra tutur 2.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
- Penutur sadar bahwa
mitra tutur 2 adalah
cucunya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8. (D8) Cuplikan tuturan 40
P : “Bu, iki dipasang
ning endi?”
MT : “Ning kono.”
(bermain hp)
P : “Ibu ki smsan
terus.”
MT : “Ha? Iya-iya, wis
ora iki.”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
frasa “ibu ki”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 4
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 25
tahun sebagai ibu penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu saat
siang hari. (25 April 2013)
Mitra tutur sedang sibuk dengan
handphone-nya ketika menjaga
penutur bermain.
Penutur merasa diabaikan oleh
mitra tutur.
Tujuan: penutur meminta mitra
tutur untuk ikut bermain, tidak
hanya sibuk sendiri.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
tersenyum lalu meletakkan
handphone dan ikut bermain
bersama penutur.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
mengingatkan mitra tutur.
- Penutur berbicara dengan
ketus.
- Penutur berbicara kepada
orang tuanya.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
9. (D9) Cuplikan tuturan 41
P : “Ayo bali! Dolan
wae.”
MT : (diam saja)
Diksi bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis: “ayo”.
Penutur laki-laki berumur 40
tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 9
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di luar rumah, saat
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
frasa “ayo bali”.
Intonasi perintah.
siang hari. (25 April 2013)
Mitra tutur bermain di lapangan
dekat rumahnya bersama dengan
teman-temannya.
Penutur hendak pulang ke rumah
menggunakan motor.
Penutur melihat mitra tutur masih
bermain.
Tujuan: penutur menyuruh pulang
mitra tutur.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam
saja karena malu diteriaki oleh
penutur.
- Penutur beribicara dengan
berteriak.
- Penutur berbicara dengan
menunjukan ekspresi
marah.
- Penutur telah membuat
mitra tutur malu dan takut.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya
10. (D10) Cuplikan tuturan 42
MT : “Bu, buatin mie
goreng!”
P : “Kono gawe
dewe! Cah wedok
masak wae ra iso.”
MT : (diam saja)
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “kana”.
Intonasi perintah.
Penutur perempuan berumur 58
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 12
tahun. Mitra tutur adalah cucu
penutur.
Tuturan terjadi di luar rumah, saat
siang hari. (1 Mei 2014)
Mitra tutur meminta penutur untuk
menggorengkan telur.
Penutur tidak mau menggorengkan
telur karena menganggap mitra
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan:
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur tidak
menghiraukan mitra tutur.
- Penutur dengan sengaja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tutur sudah besar dan sudah harus
bisa memasak sendiri.
Tujuan: penutur menolak untuk
menggorengkan telur.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam
saja, lalu masuk ke dalam rumah.
berbicara seperti
meremehkan mitra tutur.
- Penutur telah membuat
mitra tutur malu dan
tersinggung.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
11. (D11) Cuplikan tuturan 43
MT 1 : “Adiknya kerja
apa, Mbak?”
MT 2 : “Silakan.”
P : “Biasanya, dia
paling
nganggur.”
Diksi: bahasa
nonstandar karena
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Indonesia
yang tidak baku
pada kata
“nganggur”.
Nada naik rendah.
Tekanan pada
kata “nganggur”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 32
tahun.
Mitra tutur 1 adalah perempuan
berumur 21 tahun, sebagai tamu.
Mitra tutur 2 adalah laki-laki
berumur 24 tahun sebagai adik
penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat
siang hari. (4 Mei 2013)
Penutur berbincang dengan mitra
tutur 1.
Mitra tutur 2 datang membawakan
minum untuk mitra tutur 1.
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur 1 mengenai kegiatan
sehari-hari mitra tutur 2.
Tujuan: penutur menjawab
pertanyaan mitra tutur 1 dengan
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur 2.
- Penutur berbicara sambil
melirik mitra tutur 2.
- Penutur berbicara dengan
tersenyum meremehkan.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
- Penutur sadar bahwa
mitra tutur 2 adalah
adiknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bercanda.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
hanya terseyum malu.
12. (D12) Cuplikan tuturan 44
MT : “Pamit sik, Bu.”
P : “Jaket wis bau
koyo ngono isih
wae dienggo.”
MT : “Iya pa?”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa dan
penyisipan kata
“bau” yang
merupakan kata
tidak baku dalam
bahasa Indonesia.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
klausa “bau”.
Intonasi berita.
Penutur perempuan berumur 36
tahun.
Mitra tutur laki-laki berumur 19
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat
sore hari. (6 Mei 2013)
Mitra tutur hendak pergi.
Penutur melihat mitra tutur keluar
rumah.
Penutur mencium bau tidak sedap
ketika mitra tutur lewat di
depannya.
Tujuan: penutur berharap mitra
tutur mengganti jaket yang
dipakainya.
Tindak verbal eksp:resif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
mencium jaket yang dipakainya
untuk memastikan apakah
memang jaketnya bau.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur.
- Penutur berbicara sambil
menutup hidung.
- Penutur telah membuat
mitra tutur malu.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13. (D13) Cuplikan tuturan 45
P : “Bu, aku ganti hp
ya?”
MT : “Lha hpne sing
lawas ngopo? Kae
nganggo hpne ibu
wae.”
P : “Hapene ibu ki
wis jadul.”
MT : Yo ben, sing
penting isih isa
nggo telpon.
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa dan
penggunaan kata
slang “jadul”.
Nada naik rendah.
Tekanan kata
“jadul”.
Intonasi berita.
Penutur laki-laki berumur 19
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 36
tahun. Mitra tutur adalah ibu
penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat sore hari. (6 Mei 2013)
Penutur meminta handphone baru
kepada mitra tutur.
Mitra tutur menganjurkan penutur
untuk memakai handphone
penutur dulu.
Penutur tidak mau memakai
handphone penutur.
Tujuan: penutur mengejek
handphone mitra tutur yang sudah
dianggap kuno.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menjawab tuturan penutur dengan
kesal.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi mengejek.
- Penutur telah membuat
mitra tutur malu.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
14. (D14) Cuplikan tuturan 46
MT 1 : “Bu, kalau kakak
adik ini biasanya
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
Penutur perempuan berumur 56
tahun.
Mitra tutur 1 perempuan berumur
21 tahun, sebagai tamu.
Kategori ketidaksantunan:
menghilangkan muka
Subkategori
ketidaksantunan: menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
setelah pulang
sekolah itu
ngapain?”
P : “Lanang wedok,
siang malem,
maenan terus.”
MT 2 : “hehe...”
bahasa Indonesia
dan penyisipan
kata “lanang
wedok” yang
merupakan kata
dalam bahasa
Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan kata
“mainan terus”.
Intonasi berita.
Mitra tutur 2 perempuan berumur
7 tahun, sebagai cucu penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu, saat
siang hari. (18 Mei 2013)
Penutur berbincang dengan mitra
tutur 1.
Mitra tutur 1 bertanya kepada
penutur tentang kebiasaan mitra
tutur 2.
Penutur menjawab mitra tutur 1.
Mitra tutur 2 mendengar tuturan
penutur.
Tujuan: penutur menjawab mitra
tutur 1 supaya mitra tutur 2
menyadari kebiasaannya hanya
bermain.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi mitra tutur
tersenyum malu.
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur dengan sengaja
berbicara di depan mitra
tutur 2.
- Penutur berbicara sambil
melirik mitra tutur 2.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi serius.
- Penutur telah membuat
mitra tutur 2 malu.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur 2 adalah cucunya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENIMBULKAN KONFLIK
NO. KODE TUTURAN PENANDA KETIDAKSANTUNAN PRESEPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL (KONTEKS)
1. (E1) Cuplikan tuturan 47
MT : “Gantian, Mas!”
P : “Nggak boleh!
Dasar kamu,
pipis!”
MT : “Kamu pipis!
Kamu Pipis!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa
Indonesia yang
tidak baku pada
kata “nggak”
dan penggunaan
kata jargon
“pipis”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “pipis”.
Intonasi seru.
Penutur adalah anak laki-laki
berumur 6 tahun, kelas 1 SD.
Mitra tutur laki-laki berumur 4
tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi saat penutur
bermain playstation di rumah
setelah pulang sekolah. (9 April
2013)
Penutur tidak mau digangu saat
bermain.
Penutur tidak memperbolehkan
mitra tutur yang ingin meminjam
playstation penutur.
Tujuan: penutur menggertak mitra
tutur yaitu adiknya supaya tidak
mengganggunya ketika bermain,
tetapi mitra tutur menimpali
dengan tuturan yang sama.
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
melarang
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
membentak.
- Penutur menggunakan kata-
kata umpatan.
- Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra
tutur.
- Penutur memancing mitra
tutur untuk mengikuti
umpatannya.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah adiknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menimpali penutur dengan tuturan
yang sama.
2. (E2) Cuplikan tuturan 48
P : “Ndak boleh! Ini
buat aku.”
MT : (menangis)
Diksi: bahasa
nonstandar
karena ditandai
dengan
penggunaan
bahasa Indonesia
yang tidak baku
pada kata “ndak”
dan “buat”.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
frasa “ndak
boleh”.
Intonasi seru.
Penutur laki-laki berumur 4 tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 2
tahun. Mitra tutur adalah adik
penutur.
Tuturan terjadi di ruang bermain
yang ada di rumah saat siang hari.
(13 April 2013)
Penutur sedang bermain dengan
mitra tutur di tempat bermain.
Mitra tutur tiba-tiba merebut
mainan mobil-mobilan penutur.
Penutur tidak mau kalau mainan
mobil-mobilannya direbut.
Tujuan: penutur menggertak mitra
tutur yaitu adiknya sampai
menangis.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur takut
sehingga tidak jadi merebut
mainan penutur. Mitra tutur
menangis.
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
melarang
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
membentak.
- Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra
tutur
- Penutur membuat mitra
tutur takut dan menangis.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah adiknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. (E3) Cuplikan tuturan 49
P : “Sapa yang masang
sajen di sini?”
MT : “Aku.”
P : “Nanti kalau aku
pulang sekolah
ada sesajen, tak
obrak-abrik!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa
Indonesia dan
penyisipan kata
“sesajen” dan
klausa “tak
obrak-abrik”
yang merupakan
kata dalam
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “tak obrak-
abrik”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 16
tahun, kelas XI SMA.
Mitra tutur berumur 57 tahun,
sebagai nenek penutur.
Tuturan terjadi di rumah saat pagi
hari.
Penutur akan berangkat sekolah.
(17 April 2013)
Penutur melihat ada sesaji yang
sengaja diletakkan oleh anggota
keluarga di rumahnya.
Penutur tidak suka kalau di
rumahnya ada sesaji.
Penutur mengancam mitra tutur.
Tujuan: penutur mengancam mitra
tutur supaya membuang yang
meletakkan sesaji di rumah.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tutur
marah kepada penutur.
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
mengancam
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
membentak.
- Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra
tutur
- Penutur berbicara dengan
ekspresi marah.
- Penutur berbicara kepada
mitra tutur yang berumur
lebih tua.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah neneknya.
4. (E4) Cuplikan tuturan 50
MT : “Mi, buatin susu!”
P : “Wong yang satu
masih kok, sana
Diksi: bahasa
populer yang
merupakan
bahasa sehari-
hari.
Penutur perempuan berumur 35
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 4
tahun sebagai keponakan penutur.
Tuturan terjadi di depan rumah,
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan::
memerintah
Wujud ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ambil! Itu di dalam
sana, heran.”
Kata fatis:
“kok” dan
“wong”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
frasa “sana
ambil”.
Intonasi
perintah.
saat penutur sedang bersantai di
waktu sore. (17 April 2013)
Mitra tutur datang minta dibuatkan
susu.
Penutur tidak mau membuatkan
susu karena susu yang sebelumnya
belum habis diminum oleh mitra
tutur.
Tujuan: penutur menyuruh mitra
tutur yang masih balita untuk
menghabiskan susu yang telah
dibuat sebelumnya. Namun, mitra
tutur tidak mau dan semakin
merengek sampai hampir
menangis.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi mitra tutur tutur
menangis.
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur memaksakan
kekendak kepada mitra
tutur.
- Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra
tutur.
- Penutur membuat mitra
tutur menangis.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah keponakannya.
5. (E5) Cuplikan tuturan 51
P : “Dolan wae, bali!”
MT : “Yo ben, yo ben.”
P : “Has luweh!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Penutur anak perempuan berumur
7 tahun, kelas 2 SD.
Mitra tutur perempuan berumur 56
tahun. Mitra tutur adalah nenek
penutur.
Tuturan terjadi di lapangan bola
yang berada di dekat rumah
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
mengejek
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tekanan pada
kata “yo ben”.
Intonasi berita.
penutur, saat mahgrib penutur
sedang bermain dengan teman-
temannya di lapangan. (18 April
2013)
Mitra tutur menyuruh penutur
untuk pulang ke rumah karena
sudah maghib.
Penutur tidak mau pulang ke
rumah.
Tujuan: penutur menolak perintah
mitra tutur yaitu neneknya untuk
pulang ke rumah.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tutur
tutur marah kepada penutur.
tutur.
- Penutur seperti
menyepelekan mitra tutur.
- Penutur membuat mitra tutur
marah.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah neneknya.
6. (E6) Cuplikan tuturan 52
MT :” Gek mandi kana,
wis sore!”
P : “Ah mengko!
Karo mas Ardha
wae.”
MT : “Ya kowe sik, gek
uwis!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “mengko”.
Intonasi seru.
Penutur anak perempuan berumur
7 tahun, kelas 2 SD.
Mitra tutur laki-laki berumur 39
tahun. Mitra tutur adalah ayah
penutur.
Tuturan terjadi di ruang tamu,
saat sore hari. (18 April 2013)
Mitra tutur menyuruh penutur
untuk mandi karena sudah sore.
Tujuan: penutur menolak perintah
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
menolak
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
kasar.
- Penutur berbicara dengan
tidak menghiraukan mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mitra tutur yaitu ayahnya yang
menyuruh untuk mandi lebih dulu
sebelum kakaknya. Kakak penutur
sedang mengerjakan tugas
sekolah.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tutur
tutur marah kepada penutur.
- Penutur membuat mitra
tutur marah.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah ayahnya.
7. (E7) Cuplikan tuturan 53
P : “Bapak wis bilang
ta, jangan pulang
malem-malem.”
MT : “Wong ya tiap hari
kok, Pak. “
P : “Tak grujug
Kowe! Sekali
bapak ngomong,
jangan di
sanggah!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Indonesia
yang tidak baku
pada kata
“ngomong” dan
penyisipan
kalimat “Tak
grujug, kowe!”
yang merupakan
kata dalam
bahasa Jawa.
Nada naik tinggi.
Tekanan pada
kata “tak
Penutur laki-laki berumur 64
tahun.
Mitra tutur perempuan berumur 19
tahun. Mitra tutur adalah anak
penutur.
Tuturan terjadi di ruang makan,
saat sore hari menjelang maghrib.
(10 April 2013)
Penutur sedang menasihati mitra
tutur yang telat pulang ke rumah.
Mitra tutur mencoba membela diri.
Penutur tidak menerima
penjelasan dari mitra tutur.
Tujuan: penutur memperingatkan
mitra tutur supaya tidak
menyanggah nasihatnya.
Tindak verbal: komisif.
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
mengancam
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
membentak.
- Penutur berbicara dengan
ekspresi marah.
- Penutur membuat mitra tutur
berani melawan.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
grujug”.
Intonasi
perintah.
Tindak perlokusi: mitra tutur
menendang kursi yang berada di
depannya.
8. (E8) Cuplikan tuturan 54
MT : “Kuwi tinggal
garingke.”
P : “Senengane nek
ngrampungke
gawean kok ora
tuntas!”
MT : “Has embuh,
embuh!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“kok”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “tuntas”.
Intonasi seru.
Penutur dan mitra tutur berada di
dalam rumah.
Mitra tutur sedang mengepel lantai.
Penutur berjalan melewati mitra
tutur.
Mitra tutur meminta penutur untuk
mengeringkan lantai yang masih
basah.
Penutur masih memiliki tanggungan
pekerjaan rumah yang lain.
Tuturan terjadi di ruang makan,
saat pagi hari.
Penutur perempuan berumur 23
tahun. Penutur adalah kakak mitra
tutur. Mitra tutur perempuan
berumur 13 tahun.
Tujuan: penutur mengingatkan
mitra tutur supaya menyelesaikan
pekerjaannya sampai tuntas.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal,
lalu mengepel dengan asal-asalan.
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
kesal
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
kasar dan kesal.
- Penutur berbicara di depan
mitra tutur.
- Penutur membuat mitra tutur
kesal.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah adiknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9. (E9) Cuplikan tuturan 55
MT 1 : “Beliin sabun,
Dik!”
P : “Wegah! Mas
wae kae lho.”
MT 2 : “Lha kowe ki
ngopo?
Garapanku rung
rampung!”
Diksi: bahasa
nonstandar
ditandai dengan
penggunaan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
“lho”.
Nada naik
tinggi.
Tekanan pada
kata “wegah”.
Intonasi seru.
Penutur perempuan berumur 7
tahun.
Mitra tutur 1 laki-laki berumur 39
tahun, sebagai ayah penutur.
Mitra tutur 2 laki-laki berumur 8
tahun, sebagai kakak penutur.
Tuturan terjadi di ruang keluarga,
saat pagi hari.
Mitra tutur 1 menyuruh penutur
untuk membeli sabun di warung.
Mitra tutur 2 sedang mengerjakan
PR.
Penutur sedang menonton televisi.
Penutur tidak mau membelikan
sabun karena malas.
Tujuan: penutur ingin melimahkan
tugas kepada mitra tutur 2.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur 2
menimpali tuturan penutur dengan
kesal.
Kategori ketidaksantunan:
menimbulkan konflik
Subkategori ketidaksantunan:
menolak
Wujud ketidaksantunan:
- Penutur berbicara dengan
kasar dan kesal.
- Penutur berbicara dengan
volume yang keras.
- Penutur membuat mitra tutur
kesal.
- Penutur sadar bahwa mitra
tutur adalah adiknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PARAMETER PENENTU KETIDAKSANTUNAN
No.
Jenis
Ketidak-
santunan
Lingual Nonlingual Contoh Cuplikan
Tuturan Nada Tekanan Intonasi Diksi Penutur dan
Mitra Tutur
Situasi
Tutur
Tujuan
Tuturan
Tindak
Verbal
Tindak
Perlokusi
1. Melanggar
norma
Tuturan
dikatakan
dengan
nada tutur
turun
datar dan
naik
tinggi
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
rendah
dan tinggi
Intonasi
berita
dan
intonasi
tanya
Bahasa
nonstan-
dar
Anggota
keluarga,
seperti ayah
dengan anak,
anak dengan
ibu, dan adik
dengan
kakak
Tuturan
terjadi di
sekitar area
rumah pada
waktu sore
dan malam
hari dalam
situasi
santai dan
serius
Tujuan
menolak
dan
memprotes
Komisif
dan
ekspresif
Mitra tutur
mengancam
penutur,
meninggalkan
penutur, dan
menanggapi
penutur
dengan kesal
Cuplikan tuturan 1
MT : “Jangan main
game terus, Dik!
Udah jam berapa
ini? Belajar
sana!”
P : “Bentar ta, Ma!
Lagi seru game-
nya.”
MT : “Awas kalau
besok nilainya
jelek.”
2. Mengan-
cam muka
sepihak
Tuturan
dikatakan
dengan
nada tutur
naik
rendah,
turun
datar dan
naik
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
rendah,
sedang,
dan tinggi
Intonasi
seru dan
intonasi
perintah
Bahasa
nonstan-
dar dan
bahasa
populer
anggota
keluarga atau
bukan
anggota
keluarga,
seperti antar-
tetangga,
anak dengan
ayah, ibu
Tuturan
terjadi di
sekitar area
rumah pada
waktu siang
dan sore
hari dalam
situasi
santai dan
Tujuan
bercanda,
mengejek,
mengung-
kapkan rasa
kesal,
member-
kan
pengertian,
Ekspresif,
direktif,
dan
komisif
Mitra tutur
menjadi
bingung,
menanggapi
penutur
dengan
tersenyum,
menangis,
menimpali
Cuplikan tuturan 12
MT : “Piye iki?”
(Bagaimana ini?)
P : “Diajari bola-
bali kok ra
dong-dong!”
(Dilatih berkali-
kali kok tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tinggi dengan anak,
cucu dengan
kakek, cucu
dengan
nenek, dan
adik dengan
kakak
serius memohon,
mengung-
kapkan rasa
tidak
senang, dan
menyindir.
jawaban
penutur,
menanggapi
penutur
dengan kesal,
memberikan
pembelaan
diri, dan mitra
tutur tidak jadi
meminta
bantuan
kepada
penutur.
mengerti!)
MT : “Wis ora sida.”
(Sudah tidak
jadi.)
3. Meleceh-
kan muka
Tuturan
dikatakan
dengan
nada tutur
naik
rendah,
turun
datar dan
naik
tinggi
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
rendah,
sedang,
dan tinggi
Intonasi
berita,
intonasi
seru dan
intonasi
perintah
Bahasa
nonstan-
dar
Anggota
keluarga atau
bukan
anggota
keluarga,
seperti anak
dengan ibu,
mertua
dengan
menantu,
antar-
tetangga, dan
kakak
dengan adik
Tuturan
terjadi di
sekitar area
rumah pada
waktu
siang, sore,
dan malam
hari dalam
situasi
santai dan
serius
Tujuan
meminta
tolong,
menegur,
mengung-
kapkan rasa
kesal,
memerin-
tah,
menyalah-
kan,
mengejek,
melarang,
dan
bercanda.
Ekspresif,
direktif,
dan
komisif
Mitra tutur
menanggapi
penutur, diam
saja,
meninggalkan
penutur, dan
menanggapi
penutur
dengan kesal
Cuplikan tuturan 17
MT : “Misi, Budhe.”
P : “Yak yakan!”
(Sembrono!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Menghi-
langkan
muka
Tuturan
dikatakan
dengan
nada tutur
naik
rendah,
turun
datar dan
naik
tinggi
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
rendah,
sedang,
dan tinggi
Intonasi
berita,
intonasi
seru dan
intonasi
perintah
Bahasa
nonstan-
dar dan
bahasa
populer
Anggota
keluarga atau
bukan
anggota
keluarga,
seperti ayah
dengan anak,
antartetang-
ga, anak
dengan ibu,
nenek
dengan cucu,
dan kakak
dengan adik
Tuturan
terjadi di
sekitar area
rumah pada
waktu siang
dan sore
hari dalam
situasi
santai dan
serius
Tujuan
memban-
dingkan,
menyindir,
bercanda,
menegur,
meremeh-
kan,
memerin-
tah,
mengung-
kapkan rasa
kesal, dan
menolak.
Ekspresif
dan
direktif
Mitra tutur
menanggapi
penutur, diam
saja,
meninggalkan
penutur, dan
menanggapi
penutur
dengan kesal,
menanggapi
penutur
dengan
tersenyum
malu,
menimpali
jawaban
penutur, dan
menanggapi
penutur
dengan kesal.
Cuplikan tuturan 36
MT 1 : “Permisi. Mau
tanya, Bu.
Rumah di
sebelah,
rumahnya siapa,
Bu?”
MT 2 : “Rumahnya
Bu Agus,
Mbak. Mau
tanya-tanya apa
je, Mbak? Itu
ibunya.”
MT 1 : “Cuma tanya-
tanya biasa.
Terima kasih,
Bu.”
P : “Itu Mbak,
bapaknya
gajinya
kurang.”
5. Menimbul-
kan konflik
Tuturan
dikatakan
dengan
nada tutur
naik
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
sedang
Intonasi
berita,
intonasi
seru dan
intonasi
Bahasa
nonstan-
dar dan
bahasa
populer
Anggota
keluarga,
seperti kakak
dengan adik,
cucu dengan
Tuturan
terjadi di
sekitar area
rumah pada
waktu pagi,
Tujuan
melarang,
menakut-
nakuti,
memerin-
Direktif,
komisif,
dan
ekspresif
Mitra tutur
menanggapi
penutur
dengan kesal,
menangis,
Cuplikan tuturan 49
P : “Sapa yang
masang sajen di
sini?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tinggi dan tinggi perintah nenek, tante
dengan
keponakan,
dan ayah
dengan anak
siang, dan
sore hari
dalam
situasi
santai dan
serius
tah,
menolak,
dan
menyindir.
marah,
melakukan
tindakan
sebagai
ekspresi kesal,
dan berteriak
kepada
penutur.
MT : “Aku.”
P : “Nanti kalau
aku pulang
sekolah ada
sesajen, tak
obrak-abrik!”
(Nanti kalau aku
pulang sekolah
ada sesajen, aku
porak-
porandakan!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MAKSUD KETIDAKSANTUNAN PENUTUR
No. Kategori Subkategori Kode Tuturan Maksud Penutur
1. Melanggar
norma
Menjanjikan A 1 “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.” Menolak
A3 “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.” Menolak
Menolak A2 “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” Menolak
Kesal A4 “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” Memprotes
2. Mengancam
muka sepihak
Menyindir B1 “Urung-urung kok wis terima kasih, wa berarti udah selesai.” Bercanda
B7 “Masalahnya kamu itu ngeyel.” Mengejek
B8 “Di ajari bola-bali kok ra dong-dong!” Kesal
B9 “Ibu ki ora gaul.” Mengejek
Memerintah B2 “Udah-udah sana, karo mama kana!” Memberikan pengertian
B5 “Mbah ngelih Mbah, cepet ta Mbah selak laper je Mbah!” Memohon
Menjanjikan B3 “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.” Memberikan pengertian
Kesal B4 “Nggak suka mbah kakung.” Ketidaksenangan
Mengejek B6 ”Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” Menyindir
3. Melecehkan
muka
Kesal C1 “Piye Be utange? Piye Be?” Meminta tolong
C4 “Yak yakan!” Menegur
C7 “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” Kesal
C8 “Hais kowe ki!” Kesal
C17 “Ngopo kowe?” Kesal
C19 “Halah senengane! Nyebai tenan kowe ki.” Kesal
Memerintah C2 “Kae, anakmu dipisah kae! Ora sing tua, ora sing enom pada
wae.”
Kesal
C3 “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” Memerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C9 “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” Menegur
Menyindir
C5 “Wo cah pethuk! Masak ibune lunga ora ngerti.” Kesal
C10 “Salahe nonton tipi terus.” Menyalahkan
C12 “Hah ngongkon kowe ki mung marake gela.” Kesal
C13 “Wis tutuk le dolan?” Menegur
C14 “Nyapu ngono wae ora resik.” Mengejek
C15 “Dikandani kok ngeyele pol!” Kesal
C18 “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.” Melarang
Mengejek C6 “Dasar anake wong edan!” Mengejek
C16 “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa
pakainya.”
Mengejek
Mengancam C11 ”Tenane? Awas nek salah kowe lho!” Bercanda
4. Menghilangkan
muka
Menyidir D1 “Anak saya itu kalau nggak ada ibu e manut, kalau ada ibu e
malah nggak manut, malah padu je.”
Membandingkan
D2 “Kalau pas ada ibu e, kesete.” Menyindir
D4 “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.” Bercanda
D6 “Mbok kaya mas, bubukan. Ora dolan wae.” Membandingkan
D7 “Cilik-cilik ning senenge sinetron kuwi, Mbak.” Bercanda
D8 “Ibu ki smsan terus.” Menegur
D11 “Biasanya, dia paling nganggur.” Bercanda
D14 “Lanang wedok, siang malem, maenan terus.” Menyindir
Mengejek D3 “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” Meremehkan
D12 “Jaket wis bau koyo ngono isih wae dienggo.” Memerintah
D13 “Hapene ibu ki wis jadul.” Bercanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menyalahkan D5 “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!” Kesal
Memerintah D9 “Ayo bali! Dolan wae.” Memerintah
D10 “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” Menolak
5. Menimbulkan
konflik
Melarang E1 “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis!” Melarang
E2 “Ndak boleh! Ini buat aku.” Melarang
Mengancam E3 “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-
abrik!”
Menakut-nakuti
E7 “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah! Menakut-nakuti
Memerintah E4 “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana,
heran.”
Memerintah
Mengejek E5 “Yo ben, yo ben.” Menolak
Menolak E6 “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” Menolak
E9 “Wegah! Mas wae kae lho.” Menolak
Kesal E8 “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!” Menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
Bentuk Kasus/Situasi
A. Daftar Pertanyaan untuk Orang Tua dalam Relasi dengan Anggota
Keluarga
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian
tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan
(pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
1. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
perempuan Anda yang sudah cukup dewasa belum bisa memasak atau
anak lelaki Anda yang sudah cukup dewasa hanya bermalas-malasan di
rumah?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
2. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda ketika
anak Anda menjawab sekenanya dan terkesan acuh saat Anda memberikan
nasihat?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
3. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda yang sudah kuliah semester 12 belum lulus atau anak Anda yang
masih bersekolah tidak naik kelas jika situasinya sedang ada pertemuan
keluarga?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
4. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda yang sedang membersikan rumah tanpa sengaja mengganggu
aktivitas Anda (misalnya menulis, membaca, atau menonton televisi)?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
Bentuk Kasus/Situasi
5. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda terlambat pulang ke rumah tanpa alasan yang jelas, padahal sudah
disepakati bersama dalam keluarga bahwa batasan jam pulang malam
tidak boleh dilanggar?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
6. Keluarga Anda memiliki jam belajar pukul 20.00 WIB. Ketika waktu
menunjukkan pukul 20.00 WIB, anak Anda belum juga belajar, tetapi
justru masih menonton televisi. Apa yang akan Anda katakan untuk
memperingatkan anak Anda?
Respons:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
7. Saat Anda menasihati anak Anda ketika terlibat perkelahian di sekolah,
anak Anda justru memainkan handphone dan tidak memperdulikan nasihat
Anda. Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
8. Ketika Anda sedang menerima telepon dari teman, anak Anda
menghidupkan musik dengan volume yang keras dan tidak menyadari
bahwa hal itu mengganggu percakapan Anda. Apa yang akan Anda
katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
Bentuk Kasus/Situasi
9. Ketika sedang menonton sebuah acara televisi favorit Anda, tiba-tiba anak
Anda mengganti saluran televesi tersebut tanpa meminta izin dari Anda.
Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
10. Keluarga Anda membuat kesepakatan jam malam untuk anak Anda
sampai pukul 22.00 WIB. Suatu malam, anak Anda pulang melampaui jam
yang telah disepakati. Apa yang akan Anda katakan untuk
memperingatkan anak Anda?
Respons:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
Bentuk Kasus/Situasi
B. Daftar Pertanyaan untuk Anggota Keluarga dalam Relasi dengan Orang Tua
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian
tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan
(pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
1. Bagaimana respon Anda ketika mengetahui bahwa orang tua Anda tidak dapat
mengoperasikan komputer?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
2. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda menegur Anda karena
mendengarkan musik dengan volume yang keras?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
3. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda berusaha membanding-
bandingkan nilai Anda dengan kakak/adik yang memiliki nilai lebih baik dari
Anda?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
4. Bagimana respon Anda bila saat Anda belajar, orang tua Anda meminta
bantuan Anda, tetapi hanya dengan meneriakkan nama Anda tanpa memberikan
penjelasan mengenai bantuan apa yang diperlukan?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
Bentuk Kasus/Situasi
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
5. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda mengotak-atik handphone
Anda dan membaca pesan singkat antara Anda dengan teman dekat Anda?
Penjelasan Informan:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
6. Anda meminta supaya dibelikan handphone baru karena handphone lama Anda
sudah ketinggalan zaman. Anda sudah meminta berulang kali, tetapi belum
juga dibelikan. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
7. Anda dipaksa oleh ibu Anda untuk membeli sayur di pasar, padahal Anda tidak
suka berbelanja di pasar. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti
ini?
Respons Anda:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
Bentuk Kasus/Situasi
8. Anda diajak teman-teman keluar rumah pada malam hari. Namun, orang tua
tidak mengizikinkan Anda untuk pergi. Apa yang akan Anda katakan kepada
orang tua Anda di depan teman-teman Anda?
Respons Anda:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
9. Ketika Anda pulang sekolah dan merasa lapar, tidak ada makanan di rumah.
Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------
10. Ketika Anda sedang dimarahi oleh orang tua karena Anda dianggap pergi
tanpa seizin mereka, padahal Anda merasa sudah meminta izin kepada orang
tua Anda. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti ini?
Respons Anda:
----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
----------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian Maksud Penutur
Kode Tuturan :
1. Lokasi :
2. Suasana :
3. Keadaan emosi :
4. Identitas penutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
5. Identitas lawan tutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
6. Tanggal percakapan :
7. Waktu percakapan :
Tuturan:----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
Maksud: ----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Valentia Tris Marwati lahir di Yogyakarta, 27 Juli
1991. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri Tegalrejo 3
Yogyakarta pada tahun 1997–2003. Tahun 2003–2006,
pendidikan dilanjutkan di SMP Negeri 6 Yogyakarta.
Sekolah menengah atas ditempuh di SMA Negeri 4
Yogyakarta pada tahun 2006–2009.
Setelah menempuh pendidikan sekolah menengah
atas, tercacat sebagai mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2009. Masa
pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta diakhiri dengan menulis
skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Top Related