Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020
Transcript of Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020
i
Hegemoni Wacana Tongkonan di Toraja
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora
di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma
Oleh:
Nama: Admadi Balloara Dase NIM: 186322001
Magister Kajian Budaya Universitas Sanata
Dharma 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Kata Pengantar
Kurre Sumanga’ Langngan Puang Matua (Terima kasih kepada Tuhan).
Berpetualang di MKB adalah pengalaman menarik buat saya secara pribadi
karena boleh bertemu dengan banyak peristiwa dan pelajaran, baik itu teori-teori yang
membutuhkan tenaga ekstra untuk memikirkannya, maupun teman-teman baru dari
berbagai latar belakang keilmuan. Momen tersebut banyak memberi pelajaran bagi saya
dalam proses studi. Hubungan mahasiswa dan dosen tidak kaku, peran staf dalam hal
administrasi menjadi salah faktor yang membantu saya menyelesaikan studi di MKB.
Saya sangat berterima kasih kepada Rm. Benedictus Harry Juliawan, Ph.D., SJ
sebagai pembimbing akademik saya selama berproses di MKB. Sosoknya menjadi
inspirasi bagi saya sebagai seorang akademisi yang muda dan berani. Selama proses
penulisan tesis, saya banyak menemukan insight atas kebuntuan dalam menulis setelah
berdiskusi dengan Rm. Benedictus Harry Juliawan. Saya juga berterima kasih kepada
Dr. Tri Subagya yang mengarahkan saya memetakan data-data penelitian di lapangan.
Tak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada Pong Langit sekeluarga atas
dukungannya selama proses penelitian.
Teruntuk teman-teman mahasiswa MKB, saya mengucapkan terima kasih atas
kebersamaan yang boleh terjalin selama proses studi: Primus, Hardy, Brito, Arga, ibu
Dharma dan seluruh mahasiswa MKB angkatan 2018. Terima kasih juga kepada teman-
teman seperjuanganku di Yogyakarta, secara khusus penghuni kontrakan papi (Ario,
Agung, Valdy, Ogy) yang boleh saling support di tanah rantau. Kepada sahabat-
sahabatku alumni STAKN Toraja yang juga sedang melanjutkan studi magister di tanah
rantau (Dina, Ones, dan Ayub) terima kasih telah berbagi cerita dan bisa saling
menguatkan selama proses studi.
Tesis ini saya persembahkan kepada segenap keluarga besar Dase: Agustinus
Dase (ayah) dan Dabita Palino (Ibu), Ario Dase (Adik), dan Tulak (Adik). Terima kasih
telah mendukung saya secara moril dan materil dalam menyelesaikan studi di MKB.
Juga tak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada kaboro’ku, Dina Datu Paonganan
yang setia menemani dalam suka maupun duka selama proses studi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Kiranya tesis ini dapat memberi sumbangsi pemikiran bagi setiap orang Toraja
yang ada di kampung (Tana Toraja dan Toraja Utara), maupun bagi setiap orang Toraja
di perantauan yang tersebar di seluruh dunia.
Admadi Balloara Dase
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Masyarakat Toraja sangat identik dengan simbol tongkonan sebagai rumah adat.
Namun, tongkonan tidak hanya dipahami sebagai rumah, melainkan menjadi pusat
kekuasaan para bangsawan. Hal ini memberi pengaruh ke dalam praktik kehidupan
sehari-hari orang Toraja, sehingga meminggirkan simbol budaya kaum budak. Artinya,
secara sederhana representasi identitas melalui tongkonan mengakibatkan budaya di
Toraja menjadi homogen.
Penelitian ini memilih tongkonan sebagai objek kajian. Saya menggunakan teori
hegemoni Gramsci dan analisis wacana kritis untuk melihat wacana tongkonan secara
historis. Setelah itu saya menelusuri wacana-wacana alternatif melalui perlawanan dari
kelompok dan individu di Toraja. Dengan demikian, dapat membicarakan identitas
ketorajaan tanpa melanggengkan hegemoni wacana tongkonan.
Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, saya melihat representasi identitas
ketorajaan (tongkonan) merupakan konstruksi dari kelas bangsawan yang bertujuan
mengokohkan status quo. Alat ideologis yang digunakan adalah mitologi penciptaan
yang mendikotomikan bangsawan dan budak yang telah ada dari langit. Selain itu,
faktor yang mempengaruhi masyarakat Toraja dalam situasi modern yaitu kepentingan
ekonomi politik. Kepentingan tersebut dapat terlihat dalam praktik-praktik demokrasi di
Toraja menggunakan ikon tongkonan. Secara ekonomi konstruksi identitas ini banyak
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu melalui industri pariwisata. Karena itu,
hegemoni wacana tongkonan yang membentuk kesadaran masyarakat Toraja
disebabkan oleh kompleksitas persoalan (adat, ekonomi, dan politik).
Faktanya memang ada orang Toraja (perantau, akademisi, aliran pentakosta) yang
menolak hegemoni wacana tongkonan. Namun, perlawanan tersebut belum sepenuhnya
dikategorikan sebagai counter-hegemony. Dengan kata lain, temuan saya
mengindikasikan adanya perlawanan dari individu yang masih tergolong langkah awal
menuju counter-hegemony (agen intelektual organik). Hal ini dapat menjadi dasar
argumentasi saya bahwa hegemoni wacana tongkonan di dalam masyarakat Toraja tidak
berjalan sempurna karena ada perlawanan dari berbagai pihak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
The Torajan people are identical with the tongkonan symbol as a traditional house.
However, tongkonan is not only understand as a house, but also the center of the power
of the nobility. This influences the daily life practices of the Torajan people, thus
marginalizing the cultural symbols of the slaves. That is a simple representation of
identity through tongkonan as result of a homogeneous culture in Toraja.
This study choose tongkonan as the object of study. I use Gramsci's hegemony
theory and critical discourse analysis to look for historical tongkonan discourse. After
that, I explore alternative discourses through resistance from groups and individuals in
Toraja. Thus, it can discuss the identity of youth without perpetuating the hegemony of
the tongkonan discourse.
Based on Gramsci's hegemony theory, I saw the representation of Torajan identity
(tongkonan) as a construction of the aristocratic class aimed at strengthening the status
quo. The ideological tool used is the creation of mythology which has dichotomized the
aristocrats and slaves who already existed from the sky. Besides, the element that
influences the Torajan community in the modern situation are political-economic
interests. These interests can be seen in democratic practices in Toraja using the
tongkonan icon. Economically, this identity construction has benefited certain groups
through the tourism industry. Therefore, the hegemony of the tongkonan discourse that
shapes the awareness of the Torajna people is caused by the complexity of the problem
(customary, economic, and political).
The fact is there are Torajans (nomads, academics, Pentecostals) who reject the
hegemony of the tongkonan discourse. However, this resistance has not yet been fully
categorized as a counter-hegemony. In other words, my findings indicate the existence
of resistance from individuals who are still classified as the first step towards a counter-
hegemony (organic intellectual agent). This could be the basis of my argument that the
hegemony of the tongkonan discourse in the Toraja community did not work out
perfectly because there was resistance from various parties.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Daftar Isi
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ..................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ iv
PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
ABSTRAK .............................................................................................................. viii
ABSTRACT ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................. 7
D. Manfaat Penulisan ........................................................................................... 7
E. Kajian Pustaka ................................................................................................. 7
1. Sosio-Histori Masyarakat Toraja .............................................................. 7
2. Penelitian tentang Tongkonan ................................................................... 9
F. Kerangka Teori ................................................................................................ 11
1. Kritik Gramsci atas Marxisme Ortodox .................................................... 12
2. Hegemoni Menurut Gramsci ..................................................................... 14
3. Counter-hegemony .................................................................................... 18
G. Metode Penelitian............................................................................................ 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
1. Sumber Primer .......................................................................................... 21
2. Sumber Sekunder ...................................................................................... 22
H. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 22
I. Skema Penulisan .............................................................................................. 23
BAB II : Bentuk-bentuk Hegemoni Wacana Tongkonan
A. Pengantar ......................................................................................................... 24
B. Mitologi: Genealogi dan Kosmologi Orang Toraja ........................................ 24
1. Manusia Pertama Orang Toraja ................................................................ 24
2. Kosmologi Orang Toraja dan Tongkonan ................................................. 28
C. Tongkonan, Elite Lokal, dan Elite Politik ...................................................... 31
1. Elite Lokal dari Masa Pra-Kolonial sampai Masa Kolonial ..................... 31
2. Elite Lokal di Masa Pasca-Kolonial ......................................................... 33
D. Tongkonan dan Gereja .................................................................................... 37
1. Sejarah Kekristenan di Toraja ................................................................... 38
E. Tongkonan dan Pariwisata .............................................................................. 42
F. Orang Kaya Lama (OKL) vs Orang Kaya Baru (OKB) di Toraja .................. 44
G. Rangkuman ..................................................................................................... 46
BAB III : Tongkonan dan Kapitalisme
A. Pengantar ......................................................................................................... 48
B. Narasi tana’: Sebuah Konstruksi .................................................................... 49
1. Dinamika tana’ di dalam Masyarakat Toraja............................................ 49
2. Oposisi Biner dalam Konstruksi tana’ ...................................................... 53
C. Industri Pariwisata ........................................................................................... 58
1. Tongkonan: Ikon Homogenisasi Budaya .................................................. 58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2. Rambu Solo’ dan Kemegahannya ............................................................. 63
3. Ekonomi Kerbau ....................................................................................... 69
D. Rangkuman ..................................................................................................... 75
BAB IV: Membicarakan Kembali Identitas Toraja
A. Pengantar ......................................................................................................... 77
B. Kelompok Perantauan: Melanggengkan atau Melawan? ................................ 78
C. Kelompok Akademisi: Berjarak dengan Masyarakat ..................................... 86
D. Perlawanan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) ....................................... 91
E. Rangkuman ..................................................................................................... 94
BAB V: Penutup
1. Kesimpulan ..................................................................................................... 96
2. Rekomendasi ................................................................................................... 100
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam bandar udara Sultan Hasanuddin Makassar, pemerintah Sulawesi Selatan
memasang sebuah poster besar. Poster tersebut memperkenalkan identitas suku-suku
besar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, dan Toraja). Suku Toraja sendiri, dikaitkan
langsung dengan gambar rumah adat yang dikenal dengan nama tongkonan.Bahkan,
tongkonan menjadi ikon identitas masyarakat Toraja pada umumnya.
Memang sangat lazim ditemui dalam masyarakat luas (lokal, nasional, dan
internasional), orang-orang selalu mengaitkan identitas suku Toraja dengan tongkonan.
Bahkan, jikalau melihat logo dari dua kabupaten di Toraja, baik kabupaten Tana Toraja
maupun Toraja Utara juga menggunakan simbol tongkonan. Paling tidak, hal ini
menjadi penanda bahwa tongkonan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat
Toraja.
Gambar.1. Dua Tongkonan yang ada di Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Definisi tongkonan sendiri, berasal dari bahasa Toraja yaitu “tongkon” yang
secara harfiah berarti duduk, sehingga dapat diartikan tempat duduk atau tempat tinggal
serumpun keluarga dan dianggap rumah adat berbasiskan keturunan. Sebagaimana
definisi umum tersebut, maka sangat mudah untuk mengetahui dari mana keturunan
masyarakat Toraja, melalui tongkonan.Tongkonan bukan -sekadarshelter, tetapi menjadi
pusat pa‟rapuan (kekeluargaan). Tongkonan menjadi tempat melaksanakan segala
macam ritual adat, bahkan menjadi pusat kebudayaan Toraja. Said (2004), menuliskan
bagaimana simbolisme tongkonan secara visual terpatri melalui ukiran-ukiran, bentuk,
dan peletakan posisi pembangunan rumah dalam perspektif arsitektur. Said juga
mendeskripsikan bagaimana masyarakat Toraja memaknai simbolisme yang ada pada
tongkonan di dalam ritual kematian dan syukuran. Hal ini terlihatpada penentuan arah
mata angin dan bentuk ritual yang akan dilaksanakan. Misalnya, mengadakan upacara
kematian tempatnya di barat tongkonan dan penentuan klasifikasi bentuk ritual macam
apa yang akan dilakukan. Secara historis, Said menjabarkan proses perubahan secara
arsitektur dari yang era klasik sampai modern.1
Kobong (2008) di dalam bukunyaInjil dan Tongkonan menjelaskan dinamika
pertemuan antara Injil dan kebudayaan Toraja. Dari judul tersebut, Kobong secara
metaforis menggunakan istilah tongkonan untuk merujuk kepada kebudayaan Toraja
yang menurutnya sangat berperan penting. Oleh sebab itu, tongkonan tidak bisa
dipahami hanya sebagai rumah, tetapi juga menjadi “bahasa” bagi orang Toraja saat ini.
Beberapa penelitian antropolog, teolog, bahkan arsitek mendeskripsikan
tongkonan yang dimaknai dalam kehidupan sehari-hari, berkaitan dengan aturan, norma,
dan religiusitasmasyarakat Toraja. Tangdilintin (1976) di dalam bukunya Toraja dan
1Abdul Azis Said, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan Perubahan
Aplikasinya Pada Desain Modern (Tegalrejo, Yogyakarta: Ombak, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Kebudayaannya melihat tongkonan sebagai rumah adat keluarga Toraja yang secara
filosofis dipahami sebagai pusat kekuasaan milik keluarga bangsawaan di Toraja.
Kobong (2008) dalam penelitiannya, mempertegas pentingnya tongkonan dalam
kehidupan masyarakat Toraja karena menjadi pusat kebudayaan orang Toraja. Artinya,
definisi tersebut memberi perhatian besar pada tongkonan karena segala sesuatu yang
terkait dengan kehidupan orang Toraja diatur di tongkonan (kepemimpinan, ritual,
tempat pembuatan hukum adat). Pandangan tersebut hampir sama dengan yang
dimaksudkan oleh Tangdilintin bahwa tongkonan menjadi pusat kekuasaan dalam suatu
masyarakat. Tangdilintin menjelaskan bahwa tongkonanmerupakan rumah yang
dimiliki oleh masyarakat kelas atas (tana‟ bulawaan, tana‟ bassi), sedangkan kelas
bawah yang ada di Toraja tidak memiliki tongkonan. Kedua penulis tersebut
mendefinisikan bahwa rumah yang dimiliki oleh masyarakat kelas bawah bernama
banua Batu A‟riri (Pa‟ rapuan– kekeluargaan), walaupun hal tersebut tidak secara
eksplisit dijelaskan dalam buku yang mereka tuliskan.
Masyarakat Toraja memilikistratifikasi sosial, yaitu tana‟.2Ada beberapa tana‟;
(1) tana‟ bulaan (bangsawan), (2) tana‟ bassi atau tomakaka (bangsawan menengah),
(3) tana‟ karurung yang adalah golongan menengah kebawah, (4) tana‟ kua-kua
(golongan miskin, hamba pengabdi bagi bangsawan). Dari empat strata sosial tersebut,
hanya orang-orang berstrata sosial kelas atas (tana‟ bulaan, tana‟ bassi) yang memiliki
tongkonan. Para budak (tana‟ kua-kua) tidak memiliki tongkonan. Rumah mereka
dinamai banua (artinya rumah), berbeda dari tongkonanyang mempunyai wilayah
kekuasaan dan mempunyai alang (lumbung padi, yang ada di depan tongkonan) sebagai
2Tana‟ atau strata sosial di Toraja saat ini memang telah terkikis dengan masuknya agama
Kristen, namun hal ini tetap memiliki jejak dalam masyarakat Toraja, bahkan di beberapa
tempat (Nanggala, Tondon, Sangalla‟) masih memberlakukan strata sosial tersebut dalam
bermasyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
simbol bahwa tongkonantersebut adalah keluarga orang berada.3Akan tetapi, di Toraja
sendiri budaya telah banyak berubah mengikuti perkembangan zaman.
Struktur ekonomi di Toraja saat ini telah bergeser, dari feodalisme menjadi
struktur ekonomi modern yang menurut Shinji Yamashita (1996) sebagai bentuk
kapitalisme mutakhir.4 Bentuk kapitalisme tersebut banyak mengubah kehidupan
masyarakat Toraja, dari sumber kapital yang primordial ke struktur ekonomi mutakhir.
Keadaan di Toraja ini memberi peluang kepada orang-orang miskin yang dianggap
budak untuk merantau dan memperbaiki nasib. Dalam perjalanannya, banyak dari
mereka yang sukses di Malaysia, Kalimantan, dan Papua. Oleh sebab itu, kesuksesan
tersebut menjadi modal untuk memperbaiki status sosial di Toraja. Hal tersebut terjadi
ketika upacara rambu solo diadakan, dengan modal ekonomi mereka akan mengadakan
upacara kematian yang lebih meriah dari kelas bangsawan pada umumnya. Menurut
saya,ini menjadi catatan penting, apakah hal tersebut terjadi karena adanya hegemoni
wacana tongkonan sehingga orang yang dulu dianggap budak termotivasi meniru
kebiasaan-kebiasaan kelas bangsawan untuk memperbaiki status sosial, termasuk dalam
hal ini pembangunan tongkonan.
Menurut Pangrante (2015), kontestasi mantunu tedong5dalam rambu solo‟
sebagai arena konsumsi budaya orang Toraja, mengakibatkan terciptanya kelas-kelas
sosial baru, yang tidak berdasarkan keturunan darah. Secara ideologis semua orang bisa
mantunu tedong, tanpa harus melihat garis keturunan (tongkonan), sebagai warga
masyarakat global yang mempunyai kesempatan dan hak sama. Pada kenyataannya
tidak semua orang dapat sukses, karena struktur masyarakat global yang begitu
3Tangdilintin, Toraja & Kebudayaannya, (Yayasan Lepongan Bulan; Toraja, 1976) 200.
4Shinji Yamashita, “Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, and
Television among the Toraja of Sulawesi,” Indonesia 58 (Oktober 1994): 69. 5Mengurbankan kerbau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
hirarkis.6 Hal yang demikian membuktikan bahwa memang faktor kapitalisme telah ada
dalam proses ritual adat tersebut. Namun menurut saya,Pangrante (2015) terlalu buru-
buru mengatakan bahwa arena konsumsi budaya ada di dalam mantunu tedong. Lebih
tepatnya, hal tersebut dimulai dengan wacana tongkonan yang tersebar di dalam
masyarakat karena dari sanalah titik pusat kekuasaan yang mengkonstruksi situasi
demikian. Realitanya, sampai saat ini orang kaya baru (OKB) masih tetap dibedakan
dengan bangsawan (orang kaya lama) dalam setiap praktik-praktik ritual.
Sebagaimana uraian sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa tongkonan
bukanlah kebudayaan dari orang-orang masyarakat lapisan bawah. Dengan kata lain,
tongkonan adalah pusat kekuasaan dari kaum bangsawan maka sewajarnya budaya
bangsawan menjadi dominan. Alhasil, berdampak pada hilangnya simbol dan praktik
budaya masyarakat lapisan bawah, sehingga tidak adil jikalau tongkonan menjadi
representasi simbol kebudayaan masyarakat Toraja secara umum. Maksud dari tulisan
ini, tidak sedang mencoba menghilangkan simbol dominan yang ada, melainkan
mendefinisikan kembali kebudayaan masyarakat Toraja, sehingga budaya Toraja tidak
didominasi dari kelompok bangsawan.
Orang-orang Toraja saat ini, berlomba-lomba membuat tongkonan. Hampir
setiap keluarga memiliki tongkonan. Padahal dalam pendataan Aliansi Masyarakat Adat
(Aman) di Toraja, hanya ada 32 masyarakat adat. Dalam artian bahwa, hanya ada 32
tongkonan di Toraja berdasarkan sejarah yang diakui kedudukannya melalui struktur
adat dan struktur pemerintahan.7Artinya, saya melihat secara sederhana kira-
kiramungkinkah bisa mendasari argumen bahwa kontestasi konsumsi budaya Toraja
6Frans Pangrante, “Mantunu Tedong dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama dan Kapitalisme,”
Retorik 5, no. Agama dan Praktik Hidup Sehari-hari (Januari 2017), 273. 7 Mongabay,https://www.mongabay.co.id/2014/11/18/32-komunitas-adat-di-toraja-petakan-
wilayah-bersamaan/ (Diakses pada 01/03/2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
hanya terdapat dalam kontestasi mantunu tedong, sedangkan kompleksitas persoalan
yang ada di dalam masyarakat terjadi di dalam banyak praktik kehidupan sehari-hari
masyarakat Toraja.
Menurut uraian saya sebelumnya, memungkinkan bila memberi perhatian pada
penelitian wacana tongkonan yang hegemonik, karena berdampak pada munculnya
persoalan-persoalan baru.Tentu hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor dan menjadi
salah satu pertanyaan dalam tulisan ini. Pada konteks yang berbeda, yaitu di Sasak Nusa
Tenggara Barat, Kumbara (2008) menyatakan dalam penelitiannya bahwa para elite
(aristokrat, politikus, dan agamawan) ikut mengkonstruksi identitas dan menjadi
representasi simbolis dari masyarakat. Dengan menggunakan simbol-simbol budaya,
adat, dan agama, para elite ini berhasil membentuk sebuah identitas dari masyarakat
Sasak saat ini, bahkan terpatri di dalam ritual adat, peraturan pemerintah, dan ritual
keagamaan. Hal itu menurut Kumbara (2008) dilakukan untuk melanggengkan
kekuasaan para elite.8 Konteks penelitian Kumbara memang berbeda dengan penelitian
ini, namun secara garis besar kesamaannya melihat usaha kelas dominan (bangsawan)
untuk melanggengkan kekuasaan. Oleh karena itu, saya akan membongkar wacana
tongkonan yang tersebar di dalam masyarakat Toraja melalui konsep hegemoni dari
Antonio Gramsci.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan tesis ini, saya menelusuri dominasi kelas bangsawan di Toraja dengan
tiga pertanyaan dasar yaitu:
1. Apa saja bentuk hegemoni wacana tongkonan di Toraja?
8 A. A. Ngr Anum Kumbara, “Konstruksi identitas orang sasak di Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat,” Humaniora 20, 3 (2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
2. Bagaimana ideologisasi wacana kebudayaan bangsawan (tongkonan),sehingga
menjadi hegemonik di Toraja?
3. Bagaimana membicarakan identitas kebudayaan Toraja secara inklusif?
C. Tujuan Penulisan
Tongkonan telah menjadi representasi identitas kebudayaan masyarakat Toraja, padahal
tongkonan adalah kebudayaan yang dimiliki oleh kaum bangsawan saja, sedangkan para
budak (tana‟ karurung) tidak memiliki tongkonan. Dengan demikian, berdasarkan
rumusan masalah di atas tujuan penulisan karya ini adalah: Pertama membongkar secara
historis dan menunjukkan bentuk-bentuk hegemoninya di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Toraja. Kedua, melihat bagaimana proses terjadinya hegemoni wacana
tongkonan sehingga terjadi konsensus di dalam masyarakat Toraja. Ketiga, menelusuri
potensi-potensi untuk membicarakan identitas ke-toraja-an yang tidak terhegemoni
(alternatif) melalui reaksi penolakan atas kebudayaan Toraja pada umumnya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian ini:
1. Memperkaya kajian tentang Toraja secara kritis melalui pendekatan kajian budaya.
2. Menawarkan sumbangsih pemikiran dalam melihat kebudayaan Toraja kontemporer
yang tidak dapat dilihat dari satu sisi saja.Lalu menjadi referensi untuk
pengembangan penelitian yang terkait kebudayaan Toraja.
E. Kajian Pustaka
1. Sosio-Historis Masyarakat Toraja
Toraja adalah istilah yang baru muncul pada abad ke-20 untuk merujuk masyarakat
pegunungan di Sulawesi Selatan. Asal kata “Toraja” berasal dari orang-orang Bugis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Makassar „To Riaja (orang gunung)‟ untuk mengidentifikasi orang-orang dari
pegunungan timur Sulawesi, sehingga melekat sampai saat ini.9
Masyarakat Toraja pra-kolonial, mengidentifikasi identitas berdasarkan
kampung (tondok), seperti to randanan (orang randanan), “to Pao (orang dari Pao)”.
Lalu dengan adanya ekspansi dari kerajaan Bone yang dipimpin Arung Palaka yang
menghancurkan kehidupan masyarakat, sehingga setiap kampung bersatu membentuk
sebuah aliansi bernama Basse Lepongan Bulan (aliansi kawasan sebulat bulan) untuk
melawan ekspansi dari Kerajaan Bone. Sayangnya, aliansi ini hanya menjadi
momentum perlawanan, sehingga tidak sampai pada pembentukan masyarakat, hukum,
aturan, teritorial, dan pajak.10
Masa kolonial, Dr. N. Adriani dan Dr. A.C. Kyurt meminjam istilah dari orang-
orang Bugis, yaitu Toraja untuk mengidentifikasi orang-orang dari pegunungan selatan
dan tengah Sulawesi.11
Akhirnya, istilah Toraja menjadi sebuah nama berbasis teritorial
bagi pemerintah Hindia Belanda. Sekarang menjadi sebuah istilah penting bagi orang-
orang yang tinggal di hulu sungai Sa‟dan sebagai identitas.
Sejarah masyarakat Toraja sangat dinamis. Zakaria Ngelow memetakannya
menjadi 6 k yakni:kua (kopi), kaunan (hamba), kaparentaan (pemerintahaan),
kasaranian (kekristenan), katorayaan (identitas) kapariwisataan (pariwisata). Dengan
adanya komoditas kopi di Toraja, maka orang-orang Bugis, Luwu membentuk jaringan
dengan para elite Toraja. Saat itu mulailah orang-orang bersifat materialistik dan merasa
perlu melakukan kekerasan untuk merampas harta secara paksa.Akibatnya, orang-orang
yang dirampas hartanya dijadikan budak oleh para elite Toraja. Senjata-senjata dari
9Bert Tallulembang (editor), Reinterpretasi & Reaktualisasi Budaya Toraja: Refleksi Seadab
Kekristenan Masuk Toraja, (Gunung Sopai: Yogyakarta, 2012) 117. 10
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, (Yogyakarta; Ombak 2014),7. 11
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Bugis, Makassar, Luwu ditukarkan dengan budak oleh para elite Toraja untuk bisa
mempertahankan kekuasaan mereka.12
Era inilah, perang antar kampung begitu masif.
Setelah itu, kolonial Belanda datang membawa kaparentaan, dan kasaranian. Ini adalah
peristiwa penting dalam sejarah identitas masyarakat Toraja, karena Belanda datang
membawa sistem pemerintahan, dan agama kekristenan datang melalui pendidikan bagi
orang Toraja. Kaparawisataan muncul di era Orde Baru, sebagai sesuatu yang tak
terpisahkan dalam memetakan identitas masyarakat Toraja saat ini.13
Akhirnya,
kesemuanya tersebut merupakan momentum historis yang menjadi dinamika identitas
sebagai masyarakat Toraja.
2. Penelitian tentang Tongkonan
Objek penelitian tentang tongkonan sudah banyak dilakukan, baik itu intelektual Toraja
maupun intelektual dari luar Toraja. Para intelektual ini hanya mendeskripsikan
tongkonan.Bahkan, mereka secara tak sadar terperdaya dengan dominasi simbol
tongkonan. Ada juga yang melihat tongkonan dari perspektif lain, sebut saja Kathleen
Adams (2006), seorang etnografer Amerika, dengan judul buku Artas Politics: Re-
Crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. Ia melihat
bagaimana pembentukan identitas orang Toraja yang identik dengan tongkonan melalui
politik, seni, dan turisme. Identitas masyarakat Toraja saat ini disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya dipengaruhi oleh semangat turismeyang ikut andil dalam
pembentukan identitas ini, namun ia masih terjebak pada pendefinisian tongkonan yang
keliru, karena melihat tongkonan dimiliki oleh semua orang Toraja. Hal tersebutlah
12
Frans Pangrante, Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam Tradisi
Pengurbanan Kerbau dalam Ritual Pemakaman di Toraja (Tesis, Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma, 2015), 33. 13
Frans Pangrante, Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam Tradisi
Pengurbanan Kerbau dalam Ritual Pemakaman di Toraja, 33.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
yang menjadi pembedaan dengan penelitian ini, walaupun Adams juga melihat
perlawanan dari kaum marginal dengan ukiran-ukiran.
Proses tongkonanmenjadisimbol identitas masyarakat Toraja dipengaruhi oleh
banyak faktor, misalnya mitologi, keagamaan, ritual, dan turisme. Semuanya itu terjadi
secara perlahan dalam waktu yang cukup panjang. Seperti yang diteliti oleh Eric Crystal
(1989), awalnya dimulai oleh mitologi masyarakat Toraja bahwa to Manurun
(bangsawan dari langit yang turun ke bumi) telah membawa tongkonan bersama dengan
budaknya. Lalu tongkonan menjadi sebuah pusat adat dan keagamaan, seperti aluk
rambu solo‟(ritual kematian) dan aluk rambu tuka‟(ritual ungkapan syukur; pernikahan,
peresmian rumah). Semuanya itu saling berkaitan, dan membentuk sebuah tradisi yang
mendekatkan para bangsawan dengan tongkonan. Terakhir adalah turisme yang
berkembang akhir tahun 1980an. Dari 1971-1988 tidak kurang dari 40.000 wisatawan
datang dari mancanegara (Eropa, Amerika, Jepang), sehingga untuk memperkenalkan
Toraja banyak miniatur-miniatur tongkonan dengan ukiran-ukiran megah dijual di
daerah-daerah wisata. Keempat faktor tersebut menjadi penyebab tongkonan saat ini
menjadi sebuah simbol identitas masyarakat Toraja.14 Tetapi, fokus dari penelitian
Cyrstal lebih kepada deskripsi sejarah tentang proses tongkonan menjadi simbol
identitas masyarakat Toraja, ia tidak melihat bagaimana dampak dari simbol identitas
tersebut ketika mendominasi, yaitu hilangnya budaya marginal di Toraja.
Berbicara tentang simbol identitas budaya suatu masyarakat, tentu hal tersebut
dikonstruksi, baik itu oleh masyarakat tersebut maupun masyarakat dari luar. Seperti
yang telah dijelaskan, orang Toraja menganggap bahwa pusat kebudayaan mereka ada
di tongkonan, hal tersebut menjadikan tongkonansebagai sebuah simbol identitas.
14
Eric Crystal, “Myth, Symbol and Function of The Toraja House,” TDSR I (1989): 7–17.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Volkman (1984), melihat konstruksi identitas di Toraja melalui dua hal penting yaitu
"others (migrants, tourists) and new relationships between Toraja themselves
(engendered by ritual expansion and the underlying reasons for it)”.15 Seperti yang
dijelaskan oleh Crystal (1989) bahwa mitologi, ritual, dan turisme membentuk identitas
kebudayaan masyarakat Toraja, sedangkan Volkman (1984) melihat bahwa para
perantau dari Toraja juga ikut mengkonstruksikan identitas tersebut. Para perantau asal
Toraja yang mapan, bertemu dengan berbagai konteks, baik itu budaya, ekonomi,
politik di luar Toraja, sehingga dengan ekonomi yang mapan, mereka dapat melakukan
ritual, bahkan mendirikan tongkonanyang sama dengan para bangsawan, walaupun
perantau tersebut berasal dari kasta budak. Penelitian saya akan melihat betapa
kompleksnya simbol identitas bangsawan (tongkonan) yang mendominasi di Toraja,
sementara Volkman (1984) hanya berfokus pada konstruksi identitas tersebut melalui
turis, migran, dan para perantau.
F. Kerangka Teori
Dalam melihat hegemoni wacana tongkonan di Toraja, saya akan menggunakan konsep
dari seorang filsuf asal Italia, Antonio Gramsci. Antonio Gramsci merupakan seorang
aktivis, dan tokoh politik yang ditandai oleh keterlibatanya sebagai sekretaris jenderal
Partai Comunice Italia. Dari pengalaman tersebut, Gramsci menemukan banyak
masalah yang terjadi di lapangan, khususnya ketidakmampuan konsep Marx menjawab
situasi di Italia pada saat itu.
Gramsci mengkritik konsep Marx bahwa relasi sosial atau suprastruktur
(ideologi, politik, hukum, agama, pendidikan) ditentukan oleh relasi ekonomi (base).
Artinya, relasi ekonomi menjadi penentu kesadaran relasi-relasi sosial. Namun, menurut
15
Toby Alice Volkman, “Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s,” American
Ethnologist 11, no. 1 (Februari 1984): 152–69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Gramsci tidak demikian, karena relasi-relasi sosial dapat memberi pengaruh terhadap
relasi ekonomi. Hal ini sangat penting sebelum lebih jauh memahami konsep Antonio
Gramsci. Untuk itu, saya terlebih dahulu akan membahasa bagaimana kritik Gramsci
atas Marxisme Ortodox.
1. Kritik Gramsci Atas Marxisme Ortodox
Antonio Gramsci merupakan seorang penganut Marxisme, yang sangat berapi-api
melawan ketimpangan kelas antara borjuis dengan proletar di Italia. Pada tahun 1912, ia
bergerak dalam Partai Komunis Italia sebagai sekretaris jenderal. Ini memungkinkan
Gramsci untuk mendapatkan ruang cukup besar untuk melakukan perlawanan terhadap
sistem kapitalisme yang mengeksploitasi para kelas pekerja pada saat itu di Italia.
Namun, menurutnya, ada yang tidak dapat terlihat dalam analisis Marx dengan konsep
determinisme ekonominya, sehingga sosialisme gagal dalam merebut kekuasaan dari
kelas borjuis. Persoalannya adalah, analisis Marxisme selalu saja terkait dengan konflik
kelas (borjuis-proletar), dan mengabaikan kelompok-kelompok lain.
Dalam konsep Marx, relasi-relasi sosial (suprastruktur) sangat ditentukan oleh
relasi ekonomi (base). Artinya, bentuk ideologi, politik, hukum, agama, pendidikan
selalu bercermin kepada relasi ekonomi (base).16 Secara eksplisit pola tersebut
menunjukkan hubungan searah yang bermula dari base menuju suprastruktur. Inilah
yang disebut-sebut oleh sebagian pemikir teori sosial sebagai determinisme ekonomi.
Alih-alih mengikuti Marx, Gramsci malah melihat relasi ekonomi dan relasi sosial (base
dan suprastruktur) secara terbuka, karena dua kata kunci teoritis ini sama-sama ikut
membentuk kesadaran masyarakat.17 Maka itu, saya memilih teori Gramsci untuk
16
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari sosialisme utopis ke perselisihan
revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010) 135. 17
James P. Hawley, “Antonio Gramsci‟s Marxism: Class, State and Work,” Social Problems 27,
no. 5 (June 1980): 584–600, 588.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
membedah dominasi kelas bangsawan di Toraja, karena pada kenyataannya kesadaran
masyarakat Toraja tidak hanya ditentukan pada relasi ekonomi (material), tetapi juga
relasi-relasi sosial (adat, hukum, agama, pendidikan).
Dalammembicarakan teori hegemoni sangat penting untuk melihat pemahaman
Gramsci atas negara. Menurut Marx, negara sangat ditentukan oleh relasi ekonomi,
karena negara berada pada relasi sosial (suprastruktur). Artinya, Marx memberi
perhatian lebih pada relasi ekonomi, sehingga negara hanya dipahami sebagai alat untuk
mempertahankan status quo kelas borjuis. Hal demikian, berbeda dengan apa yang
dipahami Gramsci, menurutnya “state is the entire complex of practical and theoretical
activities with which the ruling class not only justifies and maintains its dominance, but
manages to win the active consent of those over whom it rules.”18 Pada dasarnya, negara
menggunakan aparatus negara untuk menekan masyarakat dengan kekerasan. Selain itu,
negara juga menggunakan konsensus untuk menghasut masyarakat secara
ideologismelalui lembaga-lembaga budaya, seperti gereja, agama, pendidikan, hukum,
serikat buruh. Dalam pengembangan Marxisme, Gramsci mempertanyakan mengapa
kapitalisme bertahan, padahal telah ada pra-kondisi sosial ekonomi untuk transisi
menuju sosialisme di Eropa Barat. Ini dikarenakan, hubungan vertikal dari basis ke
suprastruktur sangat menentukan perubahan sosial. Hal demikian, menurut Gramsci
hanya akan menguntungkan kelas borjuis.
Ada hal penting yang perlu diketahui dahulu untuk dapat memahami secara utuh
teori Gramsci tentang hegemoni, yaitu masyarakat sipil. Marx lebih melihat masyarakat
sipil berada pada “moment struktur” (politik ekonomi). Namun secara berbeda, Gramsci
18
Antonio Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey
Nowell Smith (London: Lawrence & Wishart, 1971), 288.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
menegaskan bahwa masyarakat sipil berada pada relasi sosial (suprastruktur).19 Lalu ia
juga menegaskan bahwa pada relasi sosial ada dua tingkatan:
The one that can be called "civil society", that is the ensemble of organisms
commonly called "private", and that of "political society" or "the State".
These two levels correspond on the one hand to the function of "hegemony"
which the dominant group exercises throughout society and on the other
hand to that of "direct domination" or command exercised through the State
and ''juridical'' government.20
Kutipan di atas jelas membedakan dua tingkatan dalam suprastruktur, yaitu
“civil society” dan “political society”. Tingkatan tersebut membicarakan fungsi-fungsi
hegemoni mereka. Misalnya, dalam masyarakat politik merupakan wajah dari negara
melalui aparatusnya, sedangkan masyarakat sipil terkait dengan lembaga-lembaga
independen yang mempengaruhi secara ideologis (konsensus) seperti agama,
pendidikan, organisasi buruh. Dapat dikatakan bahwa Gramsci mempertegasperan
lembaga-lembaga ideologis (hukum, adat, gereja, pendidikan, organisasi buruh) sebagai
saranayang membentuk kesadaran masyarakat sipil.
2. Hegemoni menurut Gramsci
Konsep hegemoni bagi Antonio Gramsci, sangat penting dalam rangkaian
pemikirannya, walaupun, tulisan-tulisannya berserakan, dan tidak secara detail,
sistematis, layaknya sebuah teori. Ditambah banyaknya tafsiran dari para ahli membuat
saya secara hati-hati memilah dengan baik. Paling tidak secara garis besar, saya akan
menguraikan dari beberapa tafsiran, yang mengulas tentang hegemoni. Hegemoni
memang telah ada dalam Marxisme, yang dikembangkan oleh Lenin. Istilah hegemoni
sendiri berasal dari seorang pemikir Plekhanov dan para pengikut Marxisme di Rusia
pada tahun 1880-an, untuk menggabungkan kekuatan petani dan kelas pekerja dalam
19
Hawley, “Antonio Gramsci‟s Marxism,” 589. 20
Antonio Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
melawan gerakan Tsarisme. Lalu menjadi istilah yang dikembangkan oleh Lenin,
sebagai sebuah strategi kelas pekerja untuk mendapat simpati, dan mendapat dukungan
dari kaum mayoritas21 sehingga dapat disimpulkan bahwa hegemoni pada menurut
Plekhanov dan Lenin hanya sebagai taktis/teknis, untuk mendapatkan dukungan-
dukungan dari luar kelas, bukan sebagai alat konseptual yang bertujuan secara kritis
melihat perkembangan kapitalisme didalam masyarakat.
Mengembangkan hegemoni dari Lenin, yang hanya dianggap sebagai strategi,
Gramsci mencoba melampaui hal tersebut. Jikalau menurut Lenin, hegemoni sebagai
strategi kelas pekerja untuk mendapat dukungan dari kaum mayoritas, Gramsci melihat
itu terjadi juga di dalam sistem kapitalisme untuk mempertahankan keabsolutannya di
masyarakat. Dengan itu, secarasederhanahegemoni merupakan sebuah alat yang bukan
hanya kepentingan kelas pekerja, tetapi dapat digunakan oleh golongan manapun, untuk
mendapat dukungan dari kaum mayoritas.22
Hegemoni menurut Gramsci terbentuk secara material dan ideologis. Artinya,
hubungan prosesnya mempunyai kompleksitas (ekonomi, budaya, politik) tidak hanya
terkait dengan hubungan satu arah dari relasi ekonomi menuju ke relasi sosial (base-
suprastruktur).23
Karena itu, masyarakat dapat terbujuk dan menghasilkan konsensus.
Itulah yang membedakan antara hegemoni dan dominasi. Dominasi adalah sebuah
strategi dengan menggunakan kekerasan, biasanya strategi ini dipakai negara untuk
memaksa masyarakat melalui militer. Sebaliknya, hegemoni menggunakan pendekatan
yang persuasif dan konsensus dalam masyarakat.24 Biasanya, sistem kapitalisme
21
Roger Simon dkk., Gagasan-gagasan politik Gramsci (Yogyakarta, Indonesia: INSIST
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004) 23. 22
Roger Simon dkk., Gagasan-gagasan politik Gramsci, 23
T. J. Jackson Lears, “The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities,” The
American Historical Review (June 1985): 571. 24
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 121.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menggunakan cara-cara ideologis, seperti media, pendidikan, dan bahkan bahasa.
Karena itu, hegemoni menurut Antonio Gramsci secara konkret, menggiring orang
untuk memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.
Ada beberapa tipe pengambilan keputusan individu-individu di masyarakat.
Pertama, adalah rasa takut, biasanya karena adanya kekerasan-kekerasan dalam
masyarakat. Kedua, karena kebiasaan, pengambilan keputusan dalam individu oleh
karena lingkungan, tradisi turun temurun. Ketiga, pengambilan keputusan berdasarkan
kesadaran dan persetujuan dari individu tersebut. Tipe ketiga inilah yang disebut
Gramsci sebagai hegemoni, karena adanya partisipasi aktif dari masyarakat.25
Dalam hegemoni kelas borjuis pada kelas pekerja, Gramsci menyebutnya
sebagai konsensus pasif. Karena, dalam prosesnya, hegemoni tersebut menggerogoti
kehidupan kelas pekerja yang tidak memiliki basis konseptual untuk memahami realitas
dengan efektif. Hegemoni tersebut adalah ilusi samar-samar atau disebut sebagai
hegemoni integrasi budaya yang dijadikan alat untuk membentukkesadaran palsu kelas
pekerja.26
Ada dua sarana yang digunakan kelas borjuasi untuk mempertahankan hegemoni
sistem kapitalisme yaitu pendidikan dan mekanisme kelembagaan yang ada.
MenurutGramsci, pendidikan tidak menjadi alat untuk mengembangkan kesadaran kritis
bagi masyarakat kelas pekerja, bahkan mekanisme lembaga-lembaga yang ada di
masyarakatturut mendukung sistem kapicontitalisme seperti gereja, partai politik, media
massa, mengideologisasi para masyarakatmelalui bahasa untuk melanggengkan
kekuasaan para borjuasi. Para intelektual tradisional menjadi pionir para kelas borjuis
25
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 126. 26
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 126.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
untuk melanggengkan sistem kapitalisme yang memberi keuntungan bagi mereka secara
sepihak.27 Inilah kekuatan hegemonik, yang didasari oleh konsensus.
Selain konsensus, ada juga upaya hegemoni yang dibentuk dalam mekanisme
pabrik. Dalam kumpulan tulisannya, Prison Notebook, Gramsci melihat adanya upaya
yang dibangun melalui teknokratisme dan korporatisme dalam tahap masyarakat
kapitalis lanjut. Di sini Gramsci melihat kapitalisme Amerika mendisiplinkan para
pekerja dengan mekanisme spesialisasi, dan mengutamakan efisiensi. Akarnya adalah
konsep dari Frederic Taylor, yang mempertegas bahwa manusia adalah mesin yang
dapat diadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhan industri modern.28
Menurut Taylor, ada tiga pandangan dasar tentang pembatasan kerja, yaitu
pembatasan kerja pada tugas tertentu dalam proses produksi, pekerja harus
mengembangkan otomatis-mekanis sebagai proses produksi, pemberian insentif-insentif
bagi setiap pribadi.29 Ketiga konsep dasar tersebut berkembang dalam industri modern
di Amerika. Dengan demikian, Gramsci melihat ada dominasi yang hegemonik dalam
mengeksploitasi kelas buruh. Karena manusia disamakan dengan mesin, untuk efisiensi
dalam perkembangan industri, sehingga dalam proses inipemberian insentif kepada
buruh diistilahkan oleh Gramsci sebagai penyuapan. Hal tersebut hanya untuk membuat
kekuatan gerakan buruh terpecah belah.30Fenomena ini juga terjadi di Italia. Maka,
dapat disimpulkan upaya hegemonik terjadi di dalam industri itu sendiri. Kekuatan
hegemonik para elite penguasa dan kapitalisme menjadi kekuatan yang saling berkaitan,
untuk mempertahankan posisi mereka masing-masing. Ini juga memudahkan saya untuk
melihat hegemoni budaya (wacana tongkonan) di Toraja yang begitu kompleks.
27
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 127. 28
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 129. 29
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 130. 30
Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 140.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Dalam kekuatan hegemoni kelas penguasa dibutuhkan kaum intelektual untuk
memperkokoh kekuasaannya. Inilah yang disebut Gramsci sebagai intelektual
tradisional. Melihat perkembangan kapitalisme yang ada, begitu sulit untuk melakukan
perlawanan terhadap hegemoni para elite penguasa. Telah diuraikan sebelumnya,
bagaimana proses hegemoni para elite penguasa, khususnya menurut Gramsci,
bagaimana kapitalisme itu menjadi sistem yang menghegemoni masyarakat kelas
pekerja, melalui konsensus, kepemimpinan moral, sarana-sarana yang dikuasai oleh
kelas borjuis. Menurut Gramsci, ada beberapa tingkatan hegemoni. Pertama, integral
hegemony sebagai bentuk hegemoni paripurna, misalnya hubungan antara kelas
penguasa dan yang dikuasai sangat baku, tanpa ada kontradiksi dan antagonisme.
Kedua, decadents hegemony sedikit berbeda dengan yang pertama, walaupun telah
terlihat secara jelas hegemoni tersebut, namun masyarakat tidak sepenuhnya setuju atas
apa yang ditawarkan oleh kelas penguasa. Ketiga, minimum hegemony bentuk yang
tidak mau menyatukan ideologisnya pada masyarakat kelas tertentu (Femia dan
Gramsci, 1981: 46-47).
Menurut uraian sebelumnya, saya menggunakan konsep hegemoni untuk
membongkar dominasi kelas bangsawan di Toraja dengan melihat seperti apa saja
bentuk-bentuk hegemoni kelas bangsawan di Toraja. Setelah itu saya juga akan
menggunakan konsep ini untuk menganalisis bagaimana hegemoni wacana tongkonan
dapat menghasilkan konsensus di dalam masyarakat Toraja.
3. Counter-Hegemony
Di tengah-tengah kekuatan hegemonik dari kelas borjuis, ada celah yang didapatkan
oleh Gramsci untuk melakukan perlawanan, yaitu kesadaran para kelas proletar tidak
secara utuh didominasi oleh kelas borjuasi.Karena itu,celah tersebut adalah peluang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
untuk membangun counter-hegemony yang di dalamnya diperlukan sosok intelektual
organik.
Gramsci justru mencoba mempertajam konsepnya dalam konteks counter-
hegemony. Menurut Gramsci: “All men are potentially intellectuals in the sense of
having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function.
Intellectuals in the functional sense fall into two groups.”31
Artinya, setiap individu
adalah intelektual, namun tergantung pada setiap individu tersebut sejauh mana ia
mengeksplorasi kemampuan intelektualnya di dalam masyarakat. Apakah intelektualnya
itu digunakan untuk mengokohkan kekuasaan kelas penguasa (intelektual tradisional)
atau sebaliknya, melawan dominasi (intelektual organik) yang dibentuk oleh kelas
penguasa.
Agen intelektual organik menurut Gramsci sangat penting di sini untuk menjadi
agen penyadaran masyarakat sipil untuk melawan hegemoni. Dengan kata lain,
intelektual organik adalah individu yang bisa menciptakan sebuah makna baru terhadap
blok sejarah kesadaran masyarakat sipilyang terlibat secara historis dan politik sehingga
dapat menyadarkan kelompok yang didominasi.Blok sejarah adalah salah satu bentuk
strategi kelas penguasa untuk menjalankan kiat-kiat hegemoni dan disebut sebagai salah
satu pembentuk kesadaran masyarakat yang didominasi. Oleh sebab itu, intelektual
organik menyadarkan masyarakat yang secara tidak sadar sedangdidominasi oleh kelas
penguasa32. Gramsci memberikan nama atas proses penyadaran tersebut dengan istilah
katarsis.
31
Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, 3. 32
Robert Bocock, Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni (Yogyakarta: Jalasutra,
2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Dengan adanya katarsis ini, masyarakat sipil secara sadar akanmenyadaridirinya
sebagai pihak yang dieksploitasi oleh kelas penguasa. Di samping itu, masyarakat sipil
dengan segala macam bentuk perbedaan harus bersatudalam sebuah aliansi untuk
melawan musuh yangsama, yaitu kelas penguasa sebagai pelanggeng sistem
kapitalisme.33
Pada akhirnya, konteks ini juga dapat membuka ruang untuk
membicarakan hegemoni budaya.
Konsep counter-hegemony ini saya gunakan untuk menelusuri wacana
perlawanan dari masyarakat Toraja atas hegemoni wacana tongkonan. Saya sangat
yakin bahwa hegemoni wacana tongkonan tidak sepenuhnya menggerogoti kesadaran
masyarakat Toraja, karena tentu ada saja perlawanan sekalipun terlihat samar-samar.
Walaupun nantinya yang saya temukan belum termasuk dalam kategoricounter-
hegemony,namun paling tidak saya dapat melihat sejauh mana proses menuju counter-
hegemony yang ada di dalam masyarakat Toraja.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan analisis wacana
kritis.Pendekatan analisis wacana kritis adalah suatu pendekatan untuk meneliti teks dan
lisan yang memiliki kaitan dengan perkembangan sosial budaya (Jorgenshen, 2002: 60).
Menurut van Dijk (2009), analisis wacana kritis bertujuan untuk melihat seperti apa
wacana memproduksi dominasi sosial yang mengakibatkan kelompok tertentu dapat
menguasai kelompok yang lain dan bagaimana kelompok yang didominasi dapat
melawan wacana dominan tersebut.34
Model analisis wacana kritis yang saya gunakan
adalah discursive practice karena melihat kembali dan mempertimbangkan apa yang
33
Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah
Basis No.01-02. 34
Haryatmoko, Critical Discource Analysis (Analisis Wacana Kritis): Landasan Teori,
Metodologi Dan Penerapan (Yogyakarta, Indonesia: Rajagrafindo, 2016), 22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
melatarbelakangi wacana tersebut dapat diterima di dalam masyarakat (Fairclough,
1997: 13). Dalam Kajian Budaya Saukko (2003), secara tegas menjelaskan bahwa
wacana membentuk cara orang melihat dirinya sendiri dan cara berperilaku di
kehidupan sehari-hari. Argumen Saukko ini didasari oleh teori Michel Foucault tentang
the discoursive constitution of self. Wacana yang saya maksudkan di sini adalah konsep
dan mitologi tentang tongkonan yang terlihat jelas dalam praktik ritual, demokrasi,
agama, dan omongan sehari-hari di dalam masyarakat Toraja. Artinya, saya melihat
bahwa wacana tongkonan memang benar-benar tersebar pada dimensi kehidupan
masyarakat Toraja (adat, agama, demokrasi, dan praktik kehidupan sehari-hari).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan
dengan wacana yang ada, seperti konsep-konsep tentang tongkonan, sejarah proses
dominasi simbol identitas tongkonandi Toraja, bentuk dominasinya, dan bagaimana
perlawanan terhadap dominasi tersebut. Sumber data dalam penelitian terdiri dari
sumber primer dan sumber sekunder.
1. Sumber Primer
a. Masyarakat Awam
Hegemoni kebudayaan bangsawan ataupun perlawanan akan terlihat begitu jelas
melalui pikiran dan tingkah laku masyarakat awam. Oleh karena itu, saya melihat
pandangan-pandangan tersebut bagaimana mereka memahami tongkonan.
b. Tokoh Adat
Dalam mendefinisikan kebudayaan yang ada di Toraja, tokoh adat mempunyai peranan
penting.Tokoh adatmemilikikuasa untuk menjadi sumber informasi ketika masyarakat
melaksanakan ritual-ritual di Toraja.
c. Akademisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Peneliti atau akademisi juga mempunyai andil dalam mendefinisikan kebudayaan
Toraja saat ini karena mereka mempunyai pengalaman-pengalaman dalam memberi arti
kebudayaan Toraja. Selain itu,tulisan-tulisan atau hasil penelitian dapat diakses dengan
mudah melalui buku dan tulisan-tulisan singkat di media online.
d. Tokoh Gereja
Pertama, masyarakat Toraja saat ini didominasi oleh agama Kristen. Oleh karena itu,
masyarakat secara dominan banyak dipengaruhi oleh wacana-wacana gereja. Secara
historis, gereja memilikiandil untuk menyatakan benar atau salah suatu aktivitas
kebudayaan masyarakat Toraja. Kedua, saat ini simbol yang digunakan oleh institusi
Gereja Toraja adalahsimboltongkonan. Ketiga, saya akan menelusuri aliran Pantekosta
yang menolak kebudayaan Toraja dan sekaligus sebagai kelompok minoritas.
2. Sumber Sekunder
Terakhir adalah data sekunder, yakni buku-buku teks, arsip, atau dokumen tentang
tongkonan dan Toraja di masa lalu.Saya bertujuanmemeriksa konsep tersebut agar dapat
melihatbagaimana gagasan yang laten dari dulunya di masyarakat Toraja hanyalah
sebuah konstruksi.
H. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mendapatkan data, saya melakukan observasi lapangan di kabupaten Tana
Toraja dan Toraja Utara selama tiga bulan lamanya. Namun dalam melihat hegemoni
tongkonan saya mempertimbangkan tempat-tempat lain karena penelitian saya tidak
berbasis teritori tetapi bagaimana persebaran wacana hegemoni tersebut di masyarakat
Toraja. Pertama saya melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, prosesnya
cukup rumit karena menurut saya tema ini sangat sensitif dibicarakan di dalam
masyarakat Toraja, sehingga saya secara hati-hati mengkomunikasikannya bersama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
narasumber. Beberapa narasumber tidak begitu jujur mengungkapkan tanggapan mereka
terkait dengan dominasi kelas bangsawan di Toraja. Kedua, saya menelusuri omongan-
omongan di dalam masyarakat.Ketiga, saya membuat dokumentasi fisik dalam aktivitas
penelitian, baik visual maupun audio.
I. Skema Penulisan
Penulisan ini terdiri dari lima bab: Bab I saya menguraikan bagaimana latarbelakang
penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metode penelitian, dan skema penulisan.
Bab II berisi uraianbagaimana wacana tongkonan memiliki bentuk-bentuk yang
terlihat secara jelas di masyarakat Toraja. Di Bab II ini, saya akan menjawab rumusan
masalah pertama yaitu apa saja bentuk-bentuk hegemoni wacana tongkonan di Toraja.
Bab III berisi uraian analisis terhadap bagaimana proses ideologisasi secara
ekonomi, budaya, dan politik di Toraja. Pada bab ini saya menjawab rumusan masalah
poin kedua yaitu bagaimana proses ideologisasi wacana tongkonan di Toraja sehingga
dapat terterima tanpa melalui kekerasan.
Bab IV berisi uraian perihal bagaimana membicarakan dinamika identitas Toraja
secara inklusif. Dominasi kaum bangsawan di dalam masyarakat Toraja tidak
sepenuhnya mendikte kesadaran masyarakat karena itu tentu ada saja perlawan di dalam
masyarakat baik yang terlihat jelas maupun tidak begitu kelihatan. Pada bab ini, saya
menelusuri potensi-potensi perlawanan untuk dapat menuju kategori hegemoni
tandingan (counter-hegemony). Bab ini mencoba menjawab pertanyaan rumusan
masalah ketiga yaitu bagaimana membicarakan identitas ke-Toraja-an yang lebih
inklusif.
Bab V berisi kesimpulan dan saran dari penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
BAB II
BENTUK-BENTUK HEGEMONI WACANA TONGKONAN
A. Pengantar
Telah diuraikan sebelumnya bahwa identitas kebudayaan Toraja didominasi oleh
kelompok bangsawan dan menghasilkan banyak dinamika bagi identitas ke-Toraja-an.
Paling tidak ada dua hal penting, pertama narasi tongkonan menjadi sangat kuat dalam
masyarakat Toraja. Kedua, identitas sosial orang Toraja menjadi baku di masyarakat
saat ini, dalam artian oposisi biner antara puang dankaunan yang dahulu dinarasikan
untuk tidak digunakan lagi, kini bertransformasi dengan pola baru. Fenomena tersebut
melahirkan dinamika yang akan saya jelaskan dalam penelitian ini. Untuk menuju
kesana, saya akan memulai menjelaskan bagaimana narasi besar tongkonanmenjadi
kuat, lalu bertransformasi melalui bentuk-bentuk sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat Toraja. Pada bab ini juga, saya akan mencoba menjawab rumusan masalah
pertama yaitu, bagaimana bentuk hegemoni wacana tongkonan di Toraja
B. Mitologi: Genealogi dan Kosmologi Orang Toraja
Pada bagian ini, saya akan menguraikan tentang konstruksi mitologi orang Toraja yang
di dalamnya ada bentuk-bentuk hegemoni kaum bangsawan. Pertama, saya akan
membahas soal genealogi yang membedakan penciptaan bangsawan dan budak. Kedua,
saya akan menunjukkan kosmologi orang Toraja yang dikaitkan dengan tongkonan.
1. Manusia Pertama Orang Toraja
Narasi besar dari wacana tongkonan begitu masif karena adanya narasi yang begitu kuat
melalui banyak cara dari para bangsawan. Bertitik tolak dari hal tersebut, saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
memulainya dengan narasi mitologi orang Toraja yang memuliakan keturunan
bangsawan. Orang Toraja berkembang dalam tradisi lisan, sehingga menarasikan
sejarahnya melalui cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun. Oleh
karena itu,sangatwajar banyak versi cerita di dalam masyarakat Toraja.
Narasi mitologi tersebut diungkapkan dalam upacara penahbisan tongkonan
dalam tingkatan tertinggi (merok), seperti berikut ini:
Dipabendanmi sauan sibarrung lan tangngana langi', dipatunannangmi
suling pada dua lan masuanggana to panganan.
(Didirikanlah puputan kembar berpasangan di tengah langit,
ditempatkanlah dua suling di tempat yang maha tinggi)
Dibolloan barra'mi bulaan matasak tama sauan sibarrung, dibaku
amborammi nane' tangkarauan tama suling pada dua.
(Ditumpahkanlah seperti beras murni ke dalam puputan kembar)
Dadimi to sanda karua lanmai sauan sibarrung, anakna sauan sibarrung,
takkomi to ganna' bilanganna lanmai suling pada dua, 'bongsunna suling
pada dua.
(Lahirlah delapan makhluk hidup dari puputan kembar tersebut)
Didandan bulaanmi to sanda karua dio salianna sauan sibarrung, dibato'
batan batanmi to ganna' bilanganna dio biringna suling pada dua.
(Dideretkanlah delapan bersaudara tersebut di depan puputan kembar, diatur
dengan sedemikian rupa ibarat butir-butir yang halus dan sempurna
bilangannya disamping puputan kembar tersebut)
Kasallemi to sanda karua, lobo'mi garaganna to ganna' bilanganna.
Apa nene'ta manna Datu Laukku' ma'rupa tau.
(Besarlah delapan makhluk hidup itu dengan subur, tetapi hanya Datu
laukku‟ yang berbentuk manusia).35
Menurut narasi mitologi penciptaan, manusia pertama diciptakan oleh Puang
Matua36
melalui puputan kembar. Material dasarnya adalah bulaan (emas) dan Puang
Matua menempah emas tersebut melalui puputan kembar. Hasilnya adalah makhluk
hidup pertama, antara lain manusia, babi, kerbau, padi, ayam, dan kapas. Dalam bahasa
35
H. Van Der Veen, The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja (Springer Netherlands, 1965), 88. 36
Puang Matua adalah Tuhan dalam kepercayaan Aluk Todolo(Agama leluhur orang Toraja).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Toraja,bulaan artinya emas, namun dapat juga diartikan sebagai simbol kesucian dan
kemuliaan.37
Dari sinilah muncul klaim bahwa bangsawan adalah makhluk yang mulia
dan suci karena diciptakan dari emas. Oleh karena itu, dalam struktur masyarakat
Toraja,kelompok bangsawan disebut tana‟ bulaan (patok emas). Dalam lingkup
masyarakat Toraja secara populer, nama-nama para bangsawan selalu diawali dengan
sebutan puang. Misalnya, salah satu bangsawan asal Mengkendek, Tana Toraja disebut
puang Andilolo.
Datu Laukku‟ adalah nama dari manusia pertama berjenis kelamin perempuan
yang tercipta dari emas. Setelah itu, ia kawin dengan DewataBongga Langi‟na dan
lahirlah generasi berikutnya. Saat itu mereka masih tinggal di atas langit.Keturunan
Datu Laukku‟ yang turun ke dunia bernama Pong Buralangi‟.Dari Pong Buralangi‟
lahirlah seorang bernama Pong Mula Tau. Mitologi tersebut secara eksplisit
mempertegas bahwa kelompok bangsawan adalah manusia titisan dewa yang mulia
karena berasal dari emas.
Mitologi penciptaan manusia pertama membedakan leluhur manusia pertama
(Datu Laukku‟) dengan leluhur para budak. Leluhur para budak bernama
Pottokalembangdisejajarkan dengan kerbau di sawah.38 Pembedaan antara Datu
Laukku‟dan Potto Kalembang adalah material dasar penciptaannya. Datu
Laukku‟berasal dari emas murni, sedangkan Potto Kalembangberasal dari litak (tanah
liat). Narasi ini juga muncul dalam hymne passomba tedong di upacara penahbisan
tongkonan, bunyinya seperti ini: “Unggaragami tau-tau litak Puang Matua lan
tangngana langi', untambami Pottokalembang To Kauanan lan masuangngana to
37
J. Tammu and H Van der Veen, Kamus Toradja-Indonesia (Rantepao: Jajasan Perguruan
Kristen Toradja, 1972), 111. 38
Th Kobong, Injil dan tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008), 9.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
paonganan.”39 Artinya, “Tuhan membuat boneka dari tanah liat di atas langit lalu
menamainya dengan Pottokalembangsebagai budak dari para bangsawan”. Saya melihat
mitologi ini mempengaruhi pemahaman masyarakat Toraja, sehingga ada pembedaan
antara bangsawan dan budak. Bahkan, budak dianggap lebih rendah dari kerbau dan
babi karena hewan tersebut tercipta dari material emas, sedangkan para budak dianggap
“boneka” karena diciptakan dari tanah liat sebagai suruhan bangsawan.
Orang Toraja memulai kehidupan babak baru, setelah peristiwa Londong Dirura
yang membuat murka Puang Matua karena mengawinkan anaknya sendiri.Dampaknya
adalah tempat tinggal manusia (Bamba Puang: sekarang daerah itu berada di Kabupaten
Enrekang) mendapat kutuk dari Puang Matua. Peradaban orang Toraja menjadi kacau
dan terjadi juga konflik antara para puang di selatan. Muncullah sosok Puang
Tangdilino yang menjadi penguasa saat itu dengan membawa tongkonannya yang
bernama banua puan. Tangdilinomenginisiasikan pembuatanaturan aluk sanda pitunna
(7.777).40
Aturan ini merupakan bentuk kekecewaannya terhadap perilaku orang-orang
di selatan yang sedang berkonflik.41
Oleh karena itu, PuangTangdilinomuncul sebagai
penguasa baru di masyarakat Toraja pada saat itu. Pada tahap inilah orang-orang Toraja
dinarasikan seakan-akan memiliki penguasa wilayah adat dan simbol penguasa wilayah
adat tersebut adalah tongkonan.
Dalam perkembangannya,mitologi yang ditulis dalambeberapa referensi
menyatakan, bahwa ada kelompok yang turun dari langit selain arus Pong Buralangi‟.
Mereka adalah To Manurun, orang-orang keturunan dewa. Pada poin inilah saya akan
39
Der Veen, The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja, 136. 40
Abdul Aziz Zaid, Toraja dan Kebudayaannya, (Yayasan Lepongan Bulan; Toraja, 1976) 14-
15. 41
Andarias Kabanga‟, Manusia mati seutuhnya: suatu kajian antropologi Kristen, Cet. 1
(Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan the
Ford Foundation, 2002), 5-6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
mencoba memperlihatkan bahwa mitologi orang Toraja merupakan bentuk hegemoni
wacana tongkonan.
To Manurun dikisahkan sebagai orang-orang yang turun dari langit. Mereka
menduduki beberapa tempat di Toraja dan membangun kekuasaannya di daerah
kapuangan, seperti di Kesu‟yang dikenal dengan namaTo Manurun di Langi‟, di
Kandoradikenal dengan nama To Manurun Tamborolangi‟, dan di Kairo dikenal dengan
namaTo Manurun di Mambiolangi‟.To Manurun membawa legitimasi sebagai orang-
orang dari langit yang bijak untuk datang memperbaiki segala kekacauan di bumi
dengan membawa turunaluk sanda saratu‟(aturan serba seratus). Dengan demikian,
mereka disebut sebagai puang ri matasak, yakni sebagai orang-orang titisan dewa42
.
Inilah salah satu bentuk hegemoni stratifikasi sosial yang membedakan orang-orang
kelas bangsawan dan kelas menengah kebawah. Apa yang menjadi perkataan orang-
orang berketurunan To Manurundiklaim sebagai kebenaran karena perwujudantitisan
dewa. Hal tersebut menjadi wacana yang diproduksi secara terus menerus
olehkelompok dominandi dalam masyarakat Toraja. Alhasil, dampaknya mengokohkan
posisi status quo para bangsawan dalam kehidupan bermasyarakat di Toraja.
2. Kosmologi Orang Toraja dan Tongkonan
Sebagaimana telah saya uraikan sebelumnya, orang Toraja saat ini mendefinisikan
Tongkonan sebagai sentral kebudayaan masyarakat Toraja. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan adat diputuskan di tongkonan. Narasi itu sangat kuat dan masif
tersebar di dalam masyarakat, sampai berpengaruh pada konsep kosmologi orang
Toraja. Oleh karena itu, dinarasikan bahwa kosmologi orang Toraja berkaitan erat
42
Bert Tallulembang, Toraja Tallulembangna,(Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai, 2017), 41.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
dengan tongkonan. Jika demikian, pertanyaan yang segera muncul adalah: bagaimana
hal tersebut dinarasikan?
Kosmologi yang dikonstruksi oleh para peneliti dikaitkan dengan ritual-ritual
penting orang Toraja, seperti aluk rambu solo‟dan aluk rambu tuka‟ yang notabene
dilakukan di tongkonan. Jadi, tongkonan menjadi titik pusat untuk melihat empat arah
mata angin. Empat arah mata angin dinarasikan sebagai makrokosmos. Di sebelahutara
tongkonanadalah simbol kepala dunia, tempat bersemayam Puang Matua. Di sebelah
selatan tongkonan adalah simbol ekor dunia, tempat bersemayam Pong Tulakpadang.
Kedua sosok ini menjadi penyeimbang alam raya (kosmos). Sebelah utara adalah tempat
suci, sehingga upacara syukur akan dilaksanakan di utara, sedangkan sebelah selatan
menjadi tempat bersemayamnya para roh-roh.43
Gambar 2. Mata Angin Sesuai dengan Tongkonan
Barat dan timur tongkonan adalah tempat di mana orang mengekspresikan
kehidupan, baik suka maupun duka dalam ritual adat. Artinya, ini dipahami sebagai
mikrokosmos (alam manusia). Sebelah timur menjadi tempat terbitnya matahari yang
43
Abdul Aziz Zaid, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2004), 32.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
diidentifikasikan sebagai kebahagiaan. Jadi, ketika melakukan upacara syukur
tempatnya adalah di sebelah timur tongkonan. Sedangkan di sebelah barat tongkonan
identik dengan kedukaan, karena tempat terbenamnya matahari.44
Dengan adanya narasi mikrokosmos sebagai keterkaitan alam raya dan manusia,
maka makrokosmos adalah sebuah ekspresi keseluruhan sistem kehidupan manusia
Toraja. Makrokosmos juga diidentifikasi melalui tongkonan. Gambar di bawah ini, akan
membantu dalam penjelasan narasi makrokosmos yang diidentifikasi melalui
tongkonan.
Gambar 3. Struktur Tongkonan (Sumber. Indonesiaterpercaya.net)
Dalam gambar 3, tongkonan dibagi dalam tiga struktur. Rattian adalah bagian
atas, kale banua adalah bagian tengah rumah,dansallu banua adalah bagian bawah.
Dalam pemahaman makrokosmos yang dinarasikan orang kelas menengah ke atas,
dunia itu seperti tongkonan, dibagi tiga lapis. Lapisan dunia paling atas, menjadi tempat
tinggal Puang Matua.Lalulapisan dunia bagian tengah, menjadi tempat tinggal manusia.
Sedangkan, lapisan paling bawah adalah tempat Pong Tulakpadang menopang
kehidupan manusia dari bawah tanah.
44
Abdul Aziz Zaid, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2004). 32.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Apayang telah saya uraikan di atas, paling tidak memberi sedikit gambaran
bahwa narasi-narasi tersebut mengokohkan hegemoni wacana tongkonan. Bahkan,
wacana itu berkembang, baik dalam mitos maupun kosmologi tetap bertahan dengan
dinarasikan di dalam setiap upacara merok45
dan acara rambu solo‟. Artinya, reproduksi
wacana hegemoni tetap berjalan dengan adanya narasi-narasi tersebut.
C. Tongkonan, Elite Lokal, dan Elite Politik
Pada bagian ini, saya akan menunjukkan bagaimana para elit lokal mengisi posisi
penting di dalam masyarakat Toraja dari era pra-kolonial sampai pasca-kolonial. Para
elit lokal ini adalah mereka yang berasal dari tongkonan (kaum bangsawan) besar di
dalam kampung.
1. EliteLokal dari Masa Pra-Kolonial sampai MasaKolonial
Kekuatan hegemonik dari tongkonan yang dinarasikan, tidak hanya sekadar pada tataran
konsep, tetapi juga pada kepemimpinan yang terbangun dari hierarki tongkonan, lalu
berkembang pada saat ini dengan mengisi jabatan birokrasi di pemerintahan. Pada masa
pra-kolonial di setiap wilayah adat mempunyai pemimpinnya masing-masing. Artinya,
tongkonan berperan penting dalam proses pembentukan tokoh-tokoh elite lokal. Untuk
memulainya, saya akan menjelaskan bagaimana hierarki sosial di kampung-kampung.
Di Toraja, masyarakat terbagi ke dalam tiga wilayah adat. Dari barat Toraja,
para pemimpin kampung bergelar to‟ma‟dikai, di utara bergelar Siambe, sedangkan di
timur-selatan bergelar puang. Dari masing-masing wilayah adat ini, masing-masing
membangun kekuasaannya sendiri. Dari sinilah muncul elite-elite lokal sebagai
pimpinan wilayah adat. Bahkan, mereka mampu menguasai ekonomi dan senjata
melalui perdagangan kopi dan para elite membangun hubungan perdagangan dengan
45
Merok adalah upacara penahbisan tongkonan, dalam upacara tersebut pendeta menyebutkan
sebuah narasi tentang mitologi awal mula orang Toraja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
elite lokal di luar Toraja. SepertiPong Tiku yang memiliki kebun kopi sangat luas di
utara Toraja sekaligus dianggap sebagai seorang yang memiliki posisi penting di daerah
tersebut46
.
Saat ini, tokoh Pong Tiku dianugerahi penghargaan sebagai pahlawan nasional
karena berhasil memasok persenjataan dan melakukan perlawanan terhadap ekspansi
Belanda di Toraja. Namun, Trance Bigalke (2012) melihat bahwa Pong Tiku adalah
penguasa kecil di Tondon, Pangala‟. Pong Tiku membuat dirinya ditakuti oleh orang-
orang di Toraja pada saat itu dengan memimpin serdadu dan melakukan ekspansinya ke
kampung-kampung seperti Baruppu‟, Awan, dan beberapa daerah lainnya.
KeberhasilanPong Tiku dalam menaklukkan beberapa kampung adat di Toraja
membuatnya mendapatkan harta rampasan, seperti tanah, sawah, bahkan menjadikan
orang-orang taklukannya sebagai budak dan dijual atau ditukarkan dengan senjata dari
kerajaan Bugis. Saat itu, bukan hanya Pong Tiku saja yang menjadi elite lokal di Toraja,
tetapi ada seorang yang bernama Pong Maramba‟ yang berhasil menguasai dataran
pertanian di Toraja (Tikala, Kesu‟,dan Sa‟dan).47
Pong Maramba‟adalah bangsawan asal Rantepao yang berhasil menguasai
perdagangan kopi dan budak. Jikalau Pong Tiku hanya menjadi penyedia kopi, Pong
Maramba‟justru memiliki kedekatan langsung dengan tokoh-tokoh kerajaan Luwu
melalui perdagangan kopi. Kesemuanya itu Pong Maramba‟ dapatkan melalui proses
penaklukan kampung-kampung dan berhasil menguasai komoditas kopi dan budak.48
Di bagian selatan, terdapatpara bangsawan yang berhasil membangun relasi
dengan kampung-kampung. Dengan membuat hidup masyarakat bergantung kepada
46
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 50 47
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 56. 48
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 57.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
kekuasaan mereka, para bangsawan tidak perlu melakukan ekspansi kekuasaan dengan
kekerasan dan hal tersebut semakin didukung denganadanya kawin-mawin antara kelas
bangsawan dengan kelas menengah. Hal tersebut menjadi catatan sejarah masyarakat
Toraja. Seiring dengan berjalannya waktu, para elite-elite Toraja berkembang dan
memiliki wajah-wajah di dunia modern ini.49
2. Elite Lokal di Masa Pasca-Kolonial
Jikalau dahulu pada era pra-kolonial sampai kolonial,kaum bangsawan hanya dapat
melakukan ekspansinya melalui perang,saat ini di era pasca-kolonial,kekuasaan
bangsawan berkembang melalui monopoli di bidang ekonomi, politik, dan bahkan
gereja. Mereka berhasil menguasai bisnis kopi dan pariwisata di bidang perkapalan pada
tingkat nasional,seperti keluarga Pdt. S.T. Lande yang berhasil membuat perkebunan
kopi di Rinding Allo dan hotel-hotel berbintang tiga di Rantepao.
Secara administratif,daerah Toraja resmi menjadi kabupaten Tana Toraja pada 1
Maret 1957 dan dimekarkan menjadi dua kabupaten pada tahun 2008 menjadi
kabupaten Tana Toraja dan kabupaten Toraja Utara. Dari kedua wilayah tersebut. rata-
rata pemimpinnya adalah tokoh-tokoh politik berdarah bangsawan. Memang ada
beberapa yang bukan dari keturunan bangsawan, namun mereka adalah orang-orang
dari luar Toraja, bukan orang-orang asal Toraja. Berikut ini akan saya tunjukan daftar
nama bupati dari awal pembentukan sampai pada proses pemekaran kabupaten Toraja
Utara.
Tabel 1. Daftar Nama Bupati Tana Toraja
No. Nama Bupati Keterangan
1. La Kitta 1 Maret 1957-23 Juli 1958
49
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 60.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2. SJ. Sarungngu 23 Juli 1958-21 Oktober 1958
3. DS. Rantesalu 21 Oktober 1958-15 Mei 1959
4. BA. Simatupang 15 Mei 1959-12 Juli 1960
5. HL. Lethe 12 Juli 1960-24 Maret 1963
6. AJK. Andi Lolo 24 Maret 1963-11 Januari 1964
7. DS. Rantesalu 11 Januari 1964-25 Juni 1966
8. Abner Tampubolon 25 Juni 1966-11 April 1973
9. Drs.Nusu' Lepong Bulan 11 April 1973-24 Januari 1974
10. AJK. Andi Lolo 24 Januari 1974-3 Desember
1984
11. A. Jacobs 3 Desember 1984-2 Desember
1989
12. Prof.Tandi Roma Andi Lolo
Ph.D
2 Desember 1989-12 Januari
1995
13. Drs.Tarsis Kodrat 12 Januari 1995-12 Januari 2000
Dari tabel tersebut, ada sembilan orang Toraja berketurunan bangsawan.50
Mereka berhasil menguasai daerah Toraja secara administratif. Jadi, dapat menjadi
kesimpulan bahwa ada wajah baru elite lokal yang dahulu hanya dapat menguasai
kampung-kampung dengan kekerasan, tetapi sekarang menguasai seluruh wilayah
Toraja melalui pemerintahan. Tentunya bukan hanya identitas sosial yang menjadi
penunjang utama untuk mendapatkan jabatan tersebut, tetapi melalui identitas sosial
tersebut memudahkan mereka mendapatkan modal ekonomi dan penunjang kehidupan
sosial mereka.Dalam reproduksi kekuasaan tokoh/elite di dalam sistem pemerintahan,
otomatis membuat mereka memiliki kuasa untuk mengatur regulasi terkait dengan
kehidupan masyarakat Toraja. Tindakan para elite terlihat dalam mereproduksi makna
untuk melanggengkan kekuasaan melalui simbol-simbol pemerintahan.
50
https://tanatorajakab.go.id/sejarah/ diakses 01-11-2019 pada pukul 22.00 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Gambar.4. Kantor Bupati Kabupaten Tana Toraja
Gambar.5. Kantor DPRD Kabupaten Tana Toraja.
Dari gambar tersebut, terlihat jelas bagaimana Pemerintah Kabupaten Tana
Toraja menggunakan ornamen-ornamen tongkonan, ukiran-ukiran, dan dikomparasikan
dengan arsitektur bangunan modern. Hegemoni ini terlihat jelas dan mempertegas
identitas siapa yang ada dibalik bangunan, yaitu kelas bangsawan. Bukan hanya
arsitektur bangunan saja yang menggunakan simbol tongkonan, tetapi logo pemerintah
kabupaten juga menggunakan simbol-simbol tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Gambar.6. Logo dua kabupaten di Toraja
Terlihat dalam gambar enam, bagaimana kedua logo tersebut menggunakan
bentuk utuh dari tongkonan. Dengan demikian, tidak heran jika orang-orang Toraja
melihat tongkonan sebagai simbol identitas masyarakat Toraja. Simbol tongkonan tidak
hanya digunakan dalam lingkup eksekutif, namun juga di beberapa lingkup legislatif.
Para elite politik ini menggunakan simbol budaya yang dianggap identitas Toraja untuk
dapat mengklaim posisi mereka sebagai pemimpin yang cakap di dalam masyarakat
Toraja. Seperti gambar di bawah ini:
Gambar.7. Anggota dan Calon Legislatif Kab. Tana Toraja (sumber Facebook.com)
Kedua poster di atas secara jelas menggunakan simbol tongkonan. Para legislatif
menempelkan ikon tongkonan dalam posternya.Merekatidak hanya sekadar mengejar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
nilai estetis,namun jugamencoba menunjukkan identitas mereka sebagai orang Toraja
pada umumnya.
Simbol-simbol tongkonan menjadi sangat umum di Toraja sebagai identitas
yang penting. Alhasil, banyak tokoh-tokoh legislatif dan eksekutif mereproduksi
simbol-simbol tongkonan karena dianggap sangat penting. Bahkan, tongkonan disebut-
sebut sebagai tempat bermunculannya para pemimpin. Oleh karena itu, pada
pelaksanaan musyawarah besar (Toraya Ma‟kombongan) tahun 2013 di Toraja telah
merumuskan bahwa orang-orang Toraja menghadapi krisis kepemimpinan dalam dunia
demokrasi, sehingga dirumuskanlah pemimpin yang ideal dalam musyawarah tersebut
berdasarkan kearifan lokal, yaitu:
Sugi na kina: Kaya (tidak hanya materi) dan arif-bijaksana.
Manarang na barani : cerdas-pandai.
Unangga‟ tongkonanna : Menghargai Tongkonannya.51
Toraya Ma‟kombongan merumuskan kepemimpinan yang terkait dengan
tongkonan pada saat ini sebagai bentuk penghargaan kearifan lokal. Rumusan tersebut
merujuk pada “tongkonan-krasi”52
karena hanya orang-orang tertentu yang dapat
menduduki jabatan tersebut. Misalnya, kepemimpinan di dalam masyarakat adat Toraja
disebut parengge‟ (memikul tugas dan tanggung jawab) berasal dari keturunan para
bangsawan.
D. Tongkonan dan Gereja
Dalam poin ini, saya akan menguraikan bagaimana bentuk-bentuk hegemoni tongkonan
di dalam gereja. Gereja yang saya maksudkan dalam hal ini adalah Gereja Toraja.
Alasan saya memilih Gereja Toraja karena masyarakat didominasi oleh orang Kristen
51
Bert Tallulembang, ed., Sumbangan Pemikiran Toraya Ma‟ Kombongan (Yogyakarta:
Gunung Sopai, 2013), 40. 52
Istilah ini saya rujuk buku dalam Sumbangan PemikiranToraya ma‟ Kombongan untuk
merujuk kepada proses demokrasi yang didasari oleh kepemimpinan tongkonan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Protestan dan memiliki kekuatan sejarah di Toraja. Menariknya, dari beberapa agama,
sekte, dan kepercayaan lainnya, Gereja Toraja dominan menampakkan produksi
kebudayaan bangsawan. Bentuk-bentuk hegemoni tersirat di dalam konsep teologi,
pemimpin gereja dari kelas bangsawan, dan simbol-simbol yang digunakan.
1. Sejarah Kekristenan di Toraja
Kekristenan pertama kali dibawa masuk oleh Belanda bekerjasama dengan zending
yang berasal dari Belanda. Zending yang bertugas menginjili di wilayah Toraja adalah
Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dan mengutus seorang misionaris bernama
Antonie Aris van de Loosdrecht.
Misionaris A. A.van de Loosdrecht tiba di dataran tinggi SulawesiSelatan pada
tahun 1903. Saat itu A. A.van de Loosdrechtditugaskan sebagai guru Injil. Ia datang ke
Toraja mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit pada saat itu. Cikal bakal Gereja
Toraja berawal dari benih Injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap
(anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia) yang dibuka oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1908.
Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Pada 16
Maret 1913, dilakukan pembaptisan pertama kepada 20 orang murid sekolah Lanschap
di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan Injil kemudian
dilanjutkan secara intensif oleh GZB yang datang ke Tana Toraja sejak 10 November
1913. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama
kurang lebih 34 tahun lamanya.53
Penginjilan yang dilakukan oleh GZB dimulai dengan
pendekatan yang humanis, melalui pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, van de
Loosdrechtdipanggil sebagai “Tuan Masokan”, artinyatuan yang baik hati dan ramah.
53
Th. van den End, Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Toraja: 1901-1961 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1994), 19.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Hal ini jugalah yang membuat orang-orang Toraja percaya kepadapara penginjil karena
kebaikan hati, dan keramahan mereka.
Babak baru kekristenan di Toraja pasca kemerdekaan Indonesia, diawali dengan
mengadakan persidangan Sinode Am I yang berlangsung 25 – 28 Maret 1947 di
Rantepao. Hasil Sinode Am I yang dihadiri 35 utusan dari 18 Klasis tersebut
memutuskan bahwa “orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan
berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama „Gereja Toraja‟”.54 Di sini
Gereja Toraja mulai mandiri tanpa ada campur tangan dari zending. Pergumulan Gereja
Toraja sangat banyak, seperti bagaimana tata gereja dan pengakuan gereja disusun
dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebudayaan Toraja,bahkan sampai pada
persoalan ekonomi yang bebas dari keterikatan dari zending.
Tokoh-tokoh gereja mencoba menyusun bagaimana tata gereja dan pengakuan
gereja sesuai dengan nilai-nilai budaya Toraja. Namun, hasil dari persidangan Sinode
Am I belum menemukan gagasan yang kuat untuk mendefinisikan Injil dan kebudayaan
Toraja. Hal tersebut sangatlah wajar melihat tokoh-tokoh gereja masih sangat minim
pada saat itu. Wacana-wacana tersebut baru hadir ketika seorang pendeta bernama
Theodorus Kobong melakukan studi di Belanda dan melakukan penelitian secara serius
tentang Injil dan kebudayaan Toraja. Dalam penelitiannya, Kobong mendefinisikan
kebudayaan Toraja melalui tongkonan karena poros penting kebudayaan Toraja
dihasilkan dari tongkonan. Wacana Injil dantongkonan ini semakin berkembang, lalu
memberi peluang bagi penelitian dari Kobong untuk diterbitkan dalam bentuk buku
berbahasa Indonesia dengan judul Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi,
54
Th. van den End, Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Toraja: 1901-1961, 20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Transformasi. Buku tersebut terbit pada tahun 2008, diterbitkan oleh BPK Gunung
Mulia, salah satu penerbit besar di bidang teologi Protestan.
Hegemoni wacana tongkonan berkembang menjadi lebih kuat dengan
pendefinisian Kobong (2008) gereja sebagai tongkonan (persekutuan baru) dan
kepemimpinan persekutuan baru berdasarkan karakteristik tongkonan. Artinya,
perspektif kepemimpinan tongkonan dinarasikan sesuai sejarah kepemimpinannya
dibeberapa wilayah adat. Secara ajaran, Gereja Toraja menolak stratifikasi sosial
karena menurut ajaran kekristenan seluruh manusia sama di hadapan Tuhan. Akan
tetapi, dengan menggunakan definisi tongkonan sebagai gereja, bahkan pemimpin-
pemimpin religius bisa lahir di tongkonan, akan membuat celah stratifikasi sosial untuk
masuk ke dalam gereja. Faktanya, notabenepara pemimpinGereja Torajalahir dari
orang-orang keturunan bangsawan, bahkan tidak pernah ada orang berstatus masyarakat
biasa yang duduk sebagai pimpinan gereja.55
Apropriasi tongkonan tidak hanya sampai pada pengakuan dan aturan
gereja,tetapi simbol tongkonan itu diapropriasikan melalui arsitektur kantor pusat dan
logo, seperti gambar di bawah ini:
55
Th. Kobong, Injil dan Tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi, Jakarta: Gunung
Mulia, 2008, 114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Gambar 7. Kantor Sinode Gereja Toraja di Rantepao, Toraja Utara.
Gambar .8. Logo Gereja Toraja
Dari kedua gambar di atas, sangat jelas bagaimana Gereja Toraja
mengkonkretkan definisi tentang persekutuan baru (tongkonan). Alhasil, Gereja Toraja
menggunakan bentuk tongkonan secara utuh dan memberi namaTongkonan Sangulele
untuk merujuk kantor sinodenya.Selanjutnya, logo yang digunakan menggunakan atap
tongkonan. Penjelasan makna dari logo Gereja Toraja di dalam Tata gereja Toraja edisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
1 menjelaskan bahwa rumah Toraja (tongkonan) melambangkan konteks budaya Toraja
tempat Gereja Toraja lahir dan bertumbuh.56
Hegemoni itu, bahkan terjadi di salah satu jemaat Gereja Toraja di tanah rantau,
yakni Kutai Kalimantan Timur. Dalam acara peresmian gedung baru gereja, majelis
menyampaikan bahwa gereja adalah tongkonan layuk, maka dalam acara penahbisan
tersebut harus ada darah korban seperti kerbau, babi, dan ayam, sehingga sah secara
adat.57
Dalam wacananya nampak jelas, bahwa Gereja Toraja melanggengkan hegemoni
dari tongkonan.Dengan demikian, kebudayaan Toraja direpresentasikan secara
keseluruhan melalui tongkonan dengan caramereproduksinya melalui pengakuan gereja,
simbol, dan kepemimpinan gereja, sehingga wacana tongkonan menjadi praktik yang
nampak jelas dalam kehidupan berjemaat.
E. Tongkonan dan Pariwisata
Pada tahun 1970 sampai 1980-an, Toraja mendadak menjadi daerah yang mendapatkan
kunjungan dari turis mancanegara. Gelombang turisme berdampak pada perubahan
sosial ekonomi di Toraja. Data dari biro statistik di Toraja, terdapat 6.008 kunjungan
orang-orang dari Eropa Barat, Amerika, dan Australia pada tahun 1973-1975.Hal ini
berarti terjadi peningkatan yang sangat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang hanya 422 orang pertahunnya.58
Ini berdampak pada perubahan sosial dan
ekonomi dalam masyarakat Toraja. Promosi besar-besaran yang dilakukan pemerintah
akan budaya Toraja memberi peluang bagi para pemilik modal untuk menginvestasikan
uangnya dalam bisnis perhotelan, seni, dan guide.
56
Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Khusus Gereja Toraja – Edisi 1 – Badan Pekerja Sinode
– dicetak oleh PT. SULO 57
https://kalimantan.suaraindonesia.co.id/read/1051/20180817/200849/404.html diakses pada
03-11-2019 pukul 14.00 WIB. 58
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 401.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Hotel-hotel untuk menginap para turis banyak berdiri dengan megah di Tana
Toraja. Pasar-pasar dipenuhi dengan industri kerajinan tangan, seperti tas, baju, ukiran-
ukiran toraja, kalung (manik), dan miniatur tongkonan. Bahkan, dalam proses upacara
kematian di tahun 1970-an berubah drastis.Begitu padatnya desa-desa dengan
kemeriahan dan kemegahan upacara kematian yang menjadi penanda sebuah identitas
sosial, sekaligus menarik perhatian para turis untuk mengagumi kemegahan, keunikan,
dan kesemarakan acara kematian.59Dalam dekade inilah, kebudayaan Toraja identik
dengan rambu solo‟. Dengan kata lain, orang-orang mengkonstruksi rambu solo‟ yang
dahulunya dipahami sebagai ritual kematian para bangsawan, kini menjadi ikon
kebudayaan Toraja.
Pengembangan Dinas Pariwisata di Sulawesi Selatan menjadikan Toraja sebagai
salah satu destinasi wisata utama. Oleh karena itu, untuk mempromosikan kebudayaan
Toraja, digunakanlah gambar atau miniatur-miniatur tongkonandan ukiran di pusat-
pusatkota Makassar, seperti bandara, pelabuhan, dan transportasi (bus dengan ukiran-
ukiran Toraja). Fenomena ini menjadikan Toraja semakin dikenal memiliki adat yang
unik, seperti tongkonan, ritual kematian, dan turisme.
Selain menjadi ikon Toraja di kota Makassar, tongkonanjuga menjadi
representasi identitassuku Toraja di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), di Jakarta
Timur. Oleh sebab itu, tidak heran jikalau tongkonan menjadi simbol yang lazim
digunakan orang Toraja secara umum, bahkan menjadi penanda dari orang di luar
Toraja untuk mengidentifikasi Toraja.
Sejak tahun 2014 pariwisata menjadi surut ketika orang-orang dari Eropa merasa
ritual pemotongan hewan di Toraja sangatlah kejam. Penilaian tersebut muncul karena
59
Eric Crystal, “Myth, Symbol and Function of The Toraja House.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
berkembangnya kelompok-kelompok pecinta binatang (Animal Lovers) di Eropa pada
saat itu.60
Walaupun demikian, identitas kebudayaan Toraja telah dikenal di
mancanegara dan bahkan orang-orang Toraja sendiri secara sadar menjadikan
tongkonan sebagai simbol dari identitas masyarakat Toraja.
F. Orang Kaya Lama (OKL) vs Orang Kaya Baru (OKB) di Toraja
Hegemoni wacana tongkonan memberi tekanan kuat kepada kelompok budak di Toraja.
Para budak tertekan disegala elemen, baik itu ekonomi, politik, dan budaya. Namun, di
era modern istilah budak dianggap samar terdengar sejak sebagian besar orang Toraja
memeluk agama Kristen. Menurut hemat saya, peristiwa tersebutmenyiratkan adanya
kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok bangsawan. Alhasil,istilah
budak menjadi samar-samar di dalam masyarakat. Berikut, saya akan menunjukkan
bagaimana bentuk hegemoni dalam kontestasi antara budak dan bangsawan dengan
meminjam istilah yang digunakan oleh Aditjondro (2010), yakni“orang kaya lama
(bangsawan)” dan “orang kaya baru (belum tentu bangsawan).”
Faktanya saat ini, budaya Toraja menjadi sangat homogen. Artinya, secara tidak
langsung dominasi kelas bangsawan memunculkan identitas tunggal (tongkonan dan
rambu solo‟) di Toraja. Padahal ada praktik ritual para budak, misalnya upacara
kematian disebut disilli‟:
Upacara disilli‟, yaitu bentuk upacara pemakaman yang paling sederhana,
yang diperuntukkan bagi kelas rendah atau untuk bayi yang meninggal
sebelum tumbuh giginya. Biasanya bayi dimakamkan pada sebatang pohon
yang dipahat. Upacara disilli‟ ini masih terbagi atas empat tingkatan, yaitu:
(1)Dipasilamun toninna (dipasilamun=dikubur bersama; toninna=arihnya),
yaitu upacara pemakaman saat itu juga bagi anak yang lahir mati. (2)
Didedekan palungan bai (didedekan= diketukkan; palungan bai=palungan
babi), yaitu upacara pemakaman tanpa korban babi atau yang lainnya.
Mayat dikuburkan pada malam hari dengan menggunakan suluh ke tempat
pemakaman. (3)Dipasilamun tallo‟ manuk (dipasilamun=dikuburkan
60
Tallulembang, Bert, Sumbangan pemikiran Toraya Ma‟ kombongan, 2013,l 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dengan; tallo‟ manuk=telur ayam). Maksudnya adalah mayat dibungkus dan
dikuburkan bersama telur ayam. Pemakaman dilakukan pada malam hari
dengan menggunakan suluh. (4)Dibai tungga‟ (dibai=dengan babi;
tungga‟=satu). Upacara pemakaman dengan menyembelih satu ekor babi
pada sore hari dan malamnya mayat dimakamkan. Kedua, dipasangbongi
(=diupacarakan satu malam), yaitu upacara yang berlangsung satu malam. 61
Upacara disilli‟ ini menunjukan sebuah kenyataan bahwa kebudayaan Toraja
tidak tunggal. Namun, karena adanya hegemoni wacana tongkonan tersebut, sehingga
berdampak pada hilangnya kebudayaan pinggiran. Semakin diperparah dengan adanya
branding pariwisata Toraja yang unik, megah, dan meriah di dalam rambu solo‟,
sehingga membuat paradigma tersebut tergiring dengan mudah oleh praktik hegemoni.
Orang-orang kaya baru (OKB) Toraja banyak sukses diperantauan, seperti di
Papua, Kalimantan, dan Jakarta. Alhasil, memberi kesempatan kepada mereka untuk
menjadi sosok yang disegani karena memiliki modal ekonomi. Artinya, dengan modal
ekonomi, para OKB menunjukan kesuksesan melalui ritual kematian. Hal tersebut
terlihat dari seberapa banyak hewan yang dikurbankan dalam ritual rambu solo‟.
Menurut Pangrante (2017), di era modern saat ini, membuka peluang para kelompok
budak untuk sukses di perantauan dan juga mereka dapat mengurbankan kerbau di
dalam praktik ritual kematian. Dengan demikian, muncullah kontestasi antara OKB dan
OKL melalui praktik mengurbankan kerbaudalamrambu solo‟.62 Namun, saya lebih
melihat kontestasi tersebut sebagai proses peniruan para budak untuk bisa sama dengan
para kelompok bangsawan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fenomena atau
realitas tersebut bukan sekadar kontestasi. Dengan kata lain, peniruan tersebut adalah
61
Kristanto, “Simbol Mantaa Duku‟: Suatu Kajian Kritis Tentang Simbol Mantaa Duku‟ Pada
Upacara Rambu Solo‟ Di Tana Toraja,” Kinaa Jurnal Teologi Vol 1 No 1 (2017) (n.d.). 62
Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan Kapitalisme,”
273.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
salah satu bentuk hegemoni wacana tongkonan. Proses peniruan tersebut malah
memunculkan kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.
Para OKB yang mampu mengurbankan kerbau dan membuat tongkonan, masih
tetap saja dibedakan dengan para bangsawan. Misalnya, dalam pembuatan tongkonan,
para OKB tidak dibenarkan menampilkan simbol-simbol kebangsawanan pada ukiran
dari tongkonan mereka. Di samping itu, seberapapun banyaknya OKB mengurbankan
kerbau dan babi dalam ritual kematian, tetap saja bentuk ritual-ritual yang mereka
laksanakan tidak dapat di klaim sebagai tingkatan rapasan.63
G. Rangkuman
Dari uraian bab ini, jelas menunjukan bagaimana bentuk-bentuk nyata hegemoni
tersebut. Wacana yang dominan benar-benar tersebar dalam setiap sendi kehidupan
masyarakat Toraja. Secara ideologis, memang masyarakat telah terkonstruksi menjadi
sebuah subjek yang dihegemoni oleh kelompok bangsawan Toraja.
Bentuk-bentuk hegemoni terlihat jelas pada tataran konsep dan praktik
kehidupan sehari-hari seperti mitologi, ritual, agama, maupun proses demokrasi.
Pertama, hegemoni tersebut terlihat dalam narasi mitologi penciptaan. Budak dianggap
sebagai boneka (tau-tau) yang diciptakan dari tanah liat, sedangkan para bangsawan
tercipta dari material emas sebagai simbol dari kemuliaan. Kedua, konsep tentang dunia
dikaitkan langsung dengan simbol tongkonan sebagai makrokosmos. Ketiga, Gereja
Toraja sebagai lembagamengakomodasi bentuk-bentuk hegemoni dengan
mentransformasi atribut-atribut budaya (tongkonan) dalam praktik kehidupan orang
Kristen-Toraja. Alhasil, tongkonan menjadi sangat identik dengan Gereja Toraja.
Keempat, bentuk-bentuk hegemoni tersebar dalam lembaga-lembaga pemerintahan di
63
Rapasan adalah tingkatan ritual kematian yang paling atas dan hanya bisa dilakukanoleh
kelompok bangsawan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Lembaga eksekutif dan legislatif
mengapropriasi simbol-simbol tongkonan di dalam praktik demokrasi untuk
menampilkan identitasnya sebagai orang Toraja. Kelima, perkembangan pariwisata di
Toraja menjadikan tongkonan dan rambu solo‟ sebagai sesuatu yang unik dan hal
tersebut dapat menarik wisatawan untuk datang ke Toraja. Keenam, bentuk hegemoni
karena adanya proses peniruan dari orang kaya baru untuk dapat memperbaiki status
sosial di masyarakat. Namun pada kenyataannya, orang kaya baru tidak mampu meniru
sepenuhnya karena tetap dibedakan dengan kelompok bangsawan. Paling tidak, dari bab
ini dapat menjadi rujukan awal bagaimana gambaran wacana tongkonan benar-benar
tersebar dan menciptakan image Toraja yang tidak representatif bagi seluruh
masyarakatToraja. Penguasa-penguasa bertransformasi dengan wajah-wajah baru di era
kontemporer ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
BAB III
TONGKONAN DAN KAPITALISME
A. Pengantar
Dalam bab ini, saya menjawab pertanyaan rumusan masalah tentang bagaimana
ideologisasi wacana kebudayaan bangsawan (tongkonan)membentuk konsensus di
dalam masyarakat Toraja. Karena itu, saya menunjukkan beberapa poin penting untuk
menjelaskan bagaimana hegemoni wacana tongkonan berkaitan dengan kapitalisme,
sehingga wacana tongkonan menjadi hegemonik kehidupan masyarakat Toraja hari ini.
Menurut Gramsci, hegemoni merupakan alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk
menjalankan kepentingan mereka melalui konsensus.64 Saya menelusuri bagaimana
hegemoni kelas bangsawan beroperasi di Toraja melalui hasil observasi di lapangan,
baik itu wawancara narasumber, percakapan orang Toraja di media sosial, dan
percakapan sehari-hari orang-orang Toraja.
Untuk memulai penjelasan terkait dengan tongkonan dan kapitalisme,
pertamasaya memaparkan bagaimana tana‟ dikonstruksi menjadi sangat kaku dan
berkembang dengan wajah baru. Konstruksi tersebut mengakibatkan oposisi biner di
dalam masyarakat Toraja di antara bangsawan dan budak. Kedua, saya menunjukkan
bagaimana narasi industri pariwisata punya andil dalam proses hegemonisasi
kebudayaan bangsawan di Toraja.
64
T. J. Jackson Lears, “The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities,” The
American Historical Review (June 1985): 568.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
B. Narasi tana’: Sebuah Konstruksi
Pada poin ini, saya menunjukan bagaimana narasi tana‟ terkonstruksi di dalam
masyarakat Toraja. Untuk itu, pertama saya memulainya dengan menunjukkan
dinamika tana‟ di dalam masyarakat Toraja. Lalu, kedua saya melihat dinamika tersebut
berdampak sampai kepada konstruksi oposisi biner (bangsawan-budak).
1. Dinamika Tana’ di dalam Masyarakat Toraja
Dalam pengalaman, saya melaksanakan penelitian di Toraja selama dua bulan. Saya
berdiskusi dengan beberapa kalangan, baik itu masyarakat biasa, para mahasiswa,
pendeta, dan budayawan, mereka sepakat bahwa aristokrasi di balik tongkonan kini
tidak ada lagi. “Inang tae mo sussinna tu, saba sarani mi kik,”(sudah tidak adalagi yang
seperti itu, sebab kita telah menjadi Kristen).
Memang setelah kekristenan masuk ke Toraja, gereja sangat menentang tana‟
karena menurut ajaran Kristen, di hadapan Tuhan semua manusia sama. Dalam
kenyataannya, gereja, pemerintah, lembaga adat, bahkan para peneliti kebudayaan
hanya menggunakan narasi bentuk material kebudayaan bangsawan tanpa
mengakomodasi kebudayaan pinggiran. Sikap yang demikian adalah bentuk apologet
ideologi pemilik kepentingan dengan dalih sebagai budaya yang adi luhung. Keadaan
tersebutlah yang menjadi risalah awal untuk pembahasan dinamika tana‟ di Toraja.
Bagi masyarakat Toraja, khususnya agama suku (aluk todolo), agama dan adat
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa didikotomikan. Ketika orang melakukan ritus
adat perkawinan dan ritus kematian, tentu mempunyai kaitan langsung dengan
pemahaman keagamaan.65 Untuk melakukan ritus-ritus yang ada, semuanya ada batasan
65
Hasil wawancara tokoh adat, Andarias Paonganan, di Ulusalu, Tana Toraja, tanggal 28-
Januari-2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
yang perlu ia tempuh. Batasan-batasan tersebutlah yang diidentikkan dengan dengan
tana‟.
Menurut kamus Toraja-Indonesia, tana‟ adalah patok. Tana‟ menjadi sebuah
patokan untuk menentukan jenis ritus macam apa yang akan ditempuh. Ada 4 patok
(tana‟) di dalam masyarakat Toraja, tana‟bulaan: patok emas (ketentuan bagi
puangkaum bangsawan), tana bassi: patok besi (ketentuan bagi to makaka), tana‟
karurung: ujung patok (ketentuan bagi orang-orang bebas), tana kua‟-kua‟: patok
gelagah (ketentuan bagi para kaunan/budak).66 Sebelum saya lebih jauh menjelaskan
dinamika tana‟, umumnya orang-orang Toraja biasanya menyamakan tana‟ dan kasta,
namun ini tentu berbeda, karena konteksnya istilah kasta sangat dekat dengan
Hinduisme.
Memang ada sedikit kemiripan antara tana‟ dan kasta pada sistemnya.67Hal ini
wajar terjadi di Toraja, sejak adanya surat keputusan direktorat Jenderal Bimas Hindu
Budha Dd/H/200-VII/69 pada tahun 1969 yang menyatakan aluk todolo dikategorikan
sebagai sebuah sekte dari Hindu Dharma.68Hal ini terjadi mungkin saja untuk
memasukkan aluk todolo sebagai agama resmi di Indonesia, karena konteksnya pada
tahun 1969 orang-orang yang tak beragama, dianggap sebagai komunis.
Menurut seorang budayawan Simon Petrus, tana‟ dipahami hanya sebatas peran
dan fungsinya, tidak lebih dari itu. Artinya, orang Toraja mempunyai patokan dasar
yaitu tana‟. Misalnya di dalam suatu wilayah adat, tana‟ bulaan menjadi pemegang
pemerintahan adat, tana‟ bassi sebagai pembantu untuk melaksanakan pemerintahan
adat, tana‟ karurung sebagai masyarakat biasa, dan tana‟ kua‟-kua‟ sebagai budak
66
J Tammu and H Van der Veen, Kamus Toradja-Indonesia (Rantepao: Jajasan Perguruan
Kristen Toradja, 1972), 601. 67
Meillassoux, Marx, kapital & antropologi: kumpulan tulisan terpilih antropologi Marxis,
2015, 218. 68
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (Yogyakarta: Ombak, 2016), 405.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
pelayan bagi para bangsawan.69 Sedangkan menurut Daud Sangka Palisungan, tana‟
adalah struktur di dalam masyarakat Toraja. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
identitas keluarga (tongkonan) dari mana ia berasal. Secara tidak langsung Palisungan,
menyatakan bahwa hierarki cukup kuat dalam masyarakat Toraja. Bahkan, menurutnya
di daerah selatan Toraja (saat ini kabupaten Tana Toraja) sangat kuat konstruksinya,
karena dipahami dalam kerangka teologis (penciptaan). Menurut mitologinya, struktur
tersebut telah tercipta dari langit, makanya manusia pertama juga turun kedunia bersama
dengan budaknya(kaunan). Mitologi tersebut juga mengkonstruksi bahwa,tana‟ bulaan
adalah orang keturunan dewa. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada orang Toraja
yang menghargai dan mengagung-agungkan keturunan puang (bangsawan).70
Para peneliti beranggapan bahwa orang Toraja sangat dekat dengan tradisi lisan
dan memvisualisasi bentuk-bentuk kebudayaan dengan simbolisasi. Itulah sebabnya,
banyak narasi mitologi terus menerus menyatakan bahwa kaunan-nya (budak) tercipta
di langit. Seperti misalnya, di dalam ritus merok71 ada nyanyian pasomba tedong ada
narasi penciptaan budak telah ada dari langit.72 Narasi tersebut berbunyi,Tuhan
membuat boneka dari tanah liat di atas langit lalu menamainya dengan Pottokalembang
sebagai budak dari para bangsawan.73
Tidak penting kebenaran narasi tersebut, tetapi bagi saya hal ini yang menjadi
salah satu faktor mengapa narasi-narasi kebangsawanan diartikulasikan terus menerus,
untuk mempertegas status identitas di masyarakat. Masalah tersebut tentu tidak berdiri
69
Hasil wawancara budayawan Toraja, Simon Petrus, di Makassar, tanggal 05-Februari-2020. 70
Hasil wawancara tokoh gereja, Daud Sangka di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal 05-
Februari-2020. 71
Merok adalah salah satu upacara bangsawan, yaitu penahisan tongkonan. 72
Hetty Nooy-Palm, The Sa‟dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. (New York:
Springer, 2014), 43. 73
Der Veen, The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja, 136.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
sendiri, ada beberapa faktor yang menyebabkan tana‟ menjadi kaku definisinya saat ini.
Salah satu faktor penting adalah modernisasi kehidupan sosial masyarakat Toraja.
Seorang sosiolog asal Toraja, Oktoviandi Rantelino menyatakan bahwa
perubahan terjadi melalui modernisasi yang memberi pengaruh penting pada paradigma
masyarakat Toraja tentang dirinya.
Cara pandang kita (orang Toraja) tentang tana‟ masih sangat dipengaruhi
oleh feodalisme barat. Ini menjadi petanda bahwa orang Toraja juga
dipengaruhi pandangan luar (modernisasi:misalnya Agama, pendidikan,
pemerintahan, sampai ekonomi). Bahkan orang Toraja sampai mengklaim
bahwa cara pandang dari luar itu, adalah cara pandang miliknya sendiri.
Karena itu, saat ini, sebenarnya kita harus sadar dalam posisi abu-abu. Tidak
sepenuh bebas dari cara pandangan luar, dan tidak sepenuhnya juga
pandangan tersebut adalah milik orang Toraja. Kesadaran tersebutlah yang
biasa kita sebut sebagai kesadaran di pasca-kolonial.74
Pernyataan tersebut mengklaim bahwa memang konstruksi budaya dari luar
cukup banyak mempengaruhi kesadaran masyarakat Toraja. Saya melihat ini sebagai
salah satu argumentasi bahwa sebenarnya tidak ada yang asli, murni, dan mutlak dalam
klaim konstruksi budaya masyarakat Toraja hari-hari ini. Konstruksi tersebut menjadi
kesempatan bagi aristokrasi untuk menguasai elemen-elemen penting di dalam
masyarakat Toraja (ekonomi, politik, agama dan budaya). Seperti di dalam dunia politik
hari ini, kebanyakan menggunakan politik tongkonan untuk mendapatkan suara dari
masyarakat. Karena mitosnya, hanya orang-orang berketurunan bangsawan yang dapat
menjadi pemimpin sejak dahulu kala di Toraja.
Bagi saya, tana‟ yang dianggap sebagai stratifikasi sosial, ataupun struktur
dalam masyarakat Toraja hanyalah konstruksi dari para budayawan, agamawan,
akademisi, dan sifatnya tidak mutlak sebagai sebuah klaim kebenaran. Konstruksi
tersebut banyak dipengaruhi oleh ideologi modernisme. Di balik itu ada kepentingan
74
Hasil wawancara akademisi, Oktoviandi Rantelino di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal 05-
Maret-2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
ekonomi-politik oleh orang-orang tertentu. Untuk itu saya akan menelusuri bagaimana
tana‟ membentuk konstruksi biner.
2. Oposisi Biner dalam Konstruksi Tana’
Istilah penguasa dan abdi, tuan dan hamba (dalam bahasa Toraja: puang-kaunan),
memang faktanya ada di dalam masyarakat Toraja. Yang demikian, tidak hanya terjadi
di Toraja. Kebudayaan di beberapa tempat di dunia ini, mengenal istilah tersebut.
Dengan adanya konstruksi tersebut, klaim adat (diasosiasikan dengan tana‟), banyak
mempengaruhi sistem di dalam masyarakat Toraja yang sifatnya biner (berkuasa-yang
dikuasai). Pertanyaannya, apakah benar klaim tersebut memang berasal dari adat atau
tradisi nenek moyang.
Dalam seminar 100 tahun Injil Masuk Toraja (IMT)pada tahun 2013, Zakaria
Ngelow menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi perubahan sosial
masyarakat Toraja yaitu kaa (penjualan kopi), kaunan (penjualan budak), kaparentaan
(pemerintahan), kasaranian (kekristenan), kapariwisataan (industri pariwisata).75 Pada
pembahasan saat ini, saya akan menyoroti bagaimana penjualan budak terjadi di Toraja.
Hemat saya, ini juga memiliki kaitan dengan konstruksi tana‟ pada era kontemporer di
masyarakat Toraja. Seperti pernyataan seorang bangsawan (Ne‟ Duma‟) di dalam buku
Kathleen Adams, Art as Poltics In Toraja (2006) bahwa memang perbudakan sangat
dilarang dalam prakteknya di masa pasca kemerdekaan Indonesia, tetapi para budak
telah dibeli, dan menjadi hak milik keluarga secara turun temurun:
True, we are not supposed to use the word slave anymore, butthis doesn‟t
change their birth. These days descendants of slaves. . . think “freedom”
means “freedom for slaves.” But actually it means freedom from the Dutch.
They aren‟t free because theywere bought by our ancestors. . . . It‟s the
same as if an ancestorbought a tree, then his descendants would have claim
75
Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam Tradisi
Pengorbanan Kerbau Pada Ritual Pemakaman Toraja” (Yogyakarta, Sanata Dharma, 2015), 33.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
to itsbranches, leaves, twigs, flowers, and fruit. The original slave isthe
trunk, and his children and grandchildren are the leaves andflowers: they
all belonged to the descendants of the noble whoowned the trunk. That‟s our
tradition.76
Percakapan tersebut bahkan ditegaskan oleh Ne‟ Duma, kemerdekaan yang
dimaksud adalah lepasnya Indonesia dari cengkraman perbudakan Kolonial, bukan
kemerdekaan para budak pribumi dari para bangsawan Toraja. Inilah salah satu fakta
bahwa wacana perbudakan tersebar di dalam masyarakat Toraja. Klaim perbudakan
tersebar dengan menggunakan istilah adat/tradisi.
Sebelum masuknya kekuasaan kolonial di Toraja, pada abad ke-19an para elite
Toraja membuka jalur perdagangan kopi dengan kerajaan di dataran rendah (Kerajaan
Sindreng dan Kerajaan Luwu). Di era itu, kopi menjadi salah satu komoditi terlaris di
dunia. Para elite Toraja, seperti Pong Tiku dan Pong Maramba memperluas daerah
kekuasaan mereka untuk dijadikan kebun kopi dan menangkap orang-orang di daerah
penaklukannya, untuk dijadikan budak. Budak-budak tersebut justrudijadikan komoditi
oleh para elite Toraja ke daerah kerajaan dataran rendah (Sindreng, Luwu). Ada juga
para budak yang ditukarkan dengan senjata.77 Saya melihat mungkin ini ada kaitan
mengapa istilah kaunan dilekatkan dengan istilah hamba/budak, karena adanya
pertemuan/interaksi dengan kerajaan dataran rendah (Sindreng, Luwuk) yang lebih dulu
mengetahui istilah budak/hamba di dalam sistem Kerajaan. Bahkan menurut Bigalke
(2016), sebelum jalur perdagangan kopi di buka, orang-orang Toraja telah banyak
ditangkap oleh para penguasa kerajaan Sindreng di Selatan, lalu dijadikan budak.
76
Kathleen M. Adams, Art as Politics: Re-Crafting Identities, Tourism, and Power in Tana
Toraja, Indonesia, Southeast Asia--Politics, Meaning, and Memory (Honolulu: University of
Hawai‟i Press, 2006), 46. 77
Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 42-43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Peristiwa perdagangan budak di Toraja, ataupun banyaknya penangkapan orang
Toraja yang dilakukan oleh para penguasa kerajaan Sindreng, lalu dijadikan budak,
menjadi salah satu titik berangkat saya, bahwa orang Toraja mungkin saja awalnya tidak
mengenal yang namanya perhambaan atau perbudakan. Istilah hamba atau budak
menjadi masif di Toraja karena terjadi pertemuan atau interaksi dengan kerajaan di
dataran rendah yang lebih dulu mengenal perbudakan. Seturut dengan itu, muncullah
penyebutan para budak dengan berbagai klasifikasinya. Seperti catatan seorang
Antropolog Nooy Palm (1973), yang meneliti Toraja pasca-penjualan budak terjadi,
tana‟ kua-kua mendapatkan berbagai klasifikasi lagi:
Different kinds of slaves existed:
1. slaves who were bom as slaves;
2. those who were enslaved by being taken prisoner during war;
3. those who, either from anxiety or because adversely had plunged them into
destitution, sought protection by allying themselves to a rich and/ or powerful
master; these slaves were called kaunanmengkaranduk. They had the right to buy
back their freedom.
4. condemned thieves;
5. those who incurred debts which they were unable to pay off (kaunan sandang,
kaunan indan). By meeting their debt they could reclaim their freedom without
having to pay the one hundred head of livestock, etc. Which an ordinary slave had
to pay to gainhis emancipation.78
Paling tidak yang ingin saya tunjukkandi sini adalah ada perubahan didalam masyarakat
Toraja, era ketika jalur perdagangan kopi dan budak di buka oleh para elite. Kondisi
demikianlah yang ikut mengubah paradigma orang Toraja tentang kaunan. Jikalau
melihat pembagian jenis-jenis budak, selain budak secara turun temurun, ada juga
budak dari tahanan perang, malah ada disebabkan oleh utang. Menariknya, klaim
mitologi manusia pertama orang Toraja yang dianggap seolah-olah budak yang
diasosiakan dengan tana‟ kua-kua, bisa dibantah memakai fenomena ini.
78
Nooy-Palm, The Sa‟dan-Toraja, 45.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Menurut tokoh adat di Sangalla‟, sekaligus sebagai kepala desa di Lembang
Saluallo, Ibrahim Ada‟, dulu ada orang berketurunan bangsawan (tana‟ bulaan) yang
bisa saja dijadikan budak karena kalah perang, melarat akibat utang, dan kalah judi.79
Artinya, konstruksi mitologi yang mengasosiasi tana‟kua‟-kua‟ dengan kaunan (budak)
tidaklah benar adanya. Faktanya ada keturunan bangsawan yang menjadi budak.Tana‟
menjadi hal yang sensitif diperbincangkan hari-hari ini di Toraja, seperti yang saya
jelaskan sebelumnya bagaimana tana‟ telah diasosiasikan sebagai kelas sosial, antara
tuan-budak (puang-kaunan), penguasa dan yang dikuasai. Konstruksi oposisi biner yang
ada di dalam masyarakat Toraja ini biasanya digunakan sebagai instrumen politik
praktis. Seperti unggahan akun Facebook Benny Baan Lebang, pada 19 Juni 2019 di
dalam grup Forum Politik Facebookers Toraja:
Gambar.10. postingan akun Benny Baan Lebang, di grup facebook (forum politik Toraja).
79
Hasil wawancara kepala desa Saluallo, Ibrahim Ada‟, di Sangalla‟, Tana Toraja, tanggal 28-
Januari-2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Postingan tersebut menyampaikan sebuah tendensi politis, secara harfiah menyatakan
bahwa “para budak akan busuk pantatnya, ketika duduk di alang80 (lumbung padi yang
ada di depan tongkonan). Walaupun uang dan emasnya banyak, apalagi ingin menjadi
pemerintah.” Artinya, yang menjadi pesan utama dalam postingan tersebut adalah para
keturunan budak, seperti apapun kondisinya tidak layak untuk menjadi pemimpin. Hari-
hari ini memang banyak muncul wajah-wajah baru yang sukses di perantauan. Mereka
datang dengan membawa kesuksesan mereka ke Toraja. Biasanya ini ditunjukkan di
dalam ritus-ritus kematian, bahkan membangun tongkonan yang megah dan lebih
modern bentuknya. Muncullah sebuah parodi yang menyatakan bahwa, di Toraja saat
ini tana‟ tidak hanya empat, tetapi ada tambahan yaitu tana‟ Papua (orang-orang yang
sukses di Papua), dan tana‟ Kalimantan (orang-orang yang sukses di pulau Kalimantan).
Narasi-narasi seperti inilah dampak konstruksi yang bersifat oposisi biner,
namun seperti uraian saya sebelumnya bahwa tana‟kua-kua tidak benar jikalau
diasosiasikan dengan budak. Konstruksi tersebut adalah bentuk esensialisme kultural,
yang biasa digunakan dalam proses politik identitas, di baliknya itu ada kepentingan
ekonomi dan politik.81 Faktanya malah perbudakan yang dianggap ada sejak mitologi
manusia pertama, tidak selalu benar. Perbudakan terjadi masif ketika ada pertemuan
orang Toraja, melalui jalur perdagangan kopi dengan para elite kerajaan-kerajaan
dataran rendah (Sindreng, Luwu), dan tentunya di era globalisasi.
Paling penting dari uraian saya sebelumnya, konstruksi tana‟ faktanya sangat
dekat dengan lingkup tongkonan. Narasi-narasi tersebut malah di artikulasikan dengan
terus menerus, baik itu di dalam upacara adat maupun kehidupan sehari-hari. Di era
80
Alang adalah lumbung padi yang posisinya berada di depan tongkonan. Biasanya dalam ritus-
ritus, ataupun pertemuan, alang adalah tempat khusus untuk para kaum bangsawan. 81
Martha E. Gimenez, “With a Little Class: A Critique of Identity Politics,” Ethnicities 6, no. 3
(September 2006): 423–39, 431-431.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
digital narasi itu tersebar dengan begitu cepat. Hal tersebut menjadi sangat politis,
karena menggunakan bentuk bentuk paham esensialisme (identitas) kultural.
Selanjutnya saya menguraikan bagaimana perkembangan industri pariwisata ikut
memiliki peran mengkonstruksi kebudayaan Toraja yang hegemonik saat ini.
C. Industri Pariwisata
Pada bagian ini, saya akan membahas hegemoni wacana tongkonan punya kaitan
dengan konstruksi industri pariwisata. Saya melihat bahwa dengan adanya konstruksi
tongkonan sebagai ikon untuk promosi parawisata berdampak pada homogenisasi
budaya di Toraja. Selain itu, homogenisasi budaya tersebut tersebar di dalam praktik-
praktik ritual seperti rambu solo‟ dan kemegahannya dan ekonomi kerbau.
1. Tongkonan: Ikon Homogenisasi Budaya
Telah saya jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa narasi tongkonan begitu
menghegemoni dengan bentuk-bentuk materialnya bahkan turun kedalam kehidupan
sehari-hari. Dalam poin ini, saya menunjukkan apa penyebabnya sehingga narasi
tongkonan memiliki sifat hegemonik di dalam kebudayaan Toraja dalam frame industri
pariwisata.
Pada tahun 1951-1956 banyak tongkonan dibakar oleh tentara DI/TII yang
dipimpin oleh Kahar Muzakkar karena dianggap sebagai bentuk animisme dan masih
primitif. Bahkan dianggap sebagai rumah yang tidak layak karena kolong tongkonan
digunakan sebagai kandang hewan peliharaan pemilik tongkonan.82Setelah tentara
DI/TII meninggalkan Toraja, para bangsawan kembali membangun tongkonan-
tongkonan yang telah dibakar.
82
Eric Crystal, “Myth, Symbol and Function of The Toraja House.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Pada tahun 1960-an, pemerintah nasional melakukan promosi pariwisata sebagai
saranapenghasil devisa untuk negara.83 Karena itu dibentuklah Dewan Tourisme
Indonesia (DTI) untuk mempromosikan pariwisata Indonesia (Jawa, Bali, Sumatra,
Toraja) bekerjasama dengan media-media internasional Amerika dan Singapura.84 Hal
ini membuat Toraja dijuluki “bali kedua” di pemerintahan Orde Baru. Pariwisata Toraja
diperkenalkan dengan ikon tongkonan pertama kali saat dewan tourism Indonesia
bekerja sama dengan pemerintah untuk mempromosikan keunikan budaya Indonesia.
Pemerintah juga memberikan dukungan luar biasa melalui Departemen
Perhubungan Darat dan PTT, dengan mengeluarkan perangko Edisi
tourisme yang mengangkat tema kebudayaan dan tempat-tempat wisata di
Indonesia. Promosi pariwisata melalui pembuatan perangko edisi khusus
tourisme, merupakan kerjasama DTI dengan Departemen Perhubungan
Darat dan PTT. Perangko-perangko yang dikeluarkan pemerintah,
bergambar Candi Borobudur, Candi Bali, Danau Toba, Kawah Tangkuban
Perahu, Tari Dayak, Tari Bali, Perahu Ambon, Rumah Toraja, Karapan
Sapi, Ngarai Sianok, dan lain sebagainya (Kurnia Sari 2013, 226–27).
Promosi DTI di tahun 1960-an mengakibatkan tongkonan menjadi jualan industri
pariwisata sehingga di kampung-kampung tongkonan yang dahulu dianggap primitif,
animisme, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang dianggap unik. Promosi-promosi
pariwisata yang dilakukan ternyata berhasil menarik wisatawan, dari tahun 1971-1988
persentasenya meningkat dengan fantastis di setiap tahunnya.
Pada tahun 1985 ada pertemuan para bangsawan dari berbagai wilayah adat,
pemerintah daerah, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan, dan para pemandu wisata.
Pertemuan tersebut mengkanonisasi sejarah-mitologi dari beberapa wilayah adat.
Anehnya pembicaraan tersebut bertujuan untuk mendapatkan sebuah kesepakatan
83
https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/tana-toraja-decade-
tourismdiakses pada 05 April 2020. 84
Nita Kurnia Sari, “Dewan Tourisme Indonesia Sebagai Penggerak Kepariwisataan Nasional
Tahun 1957-1961,” Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah Vol 1, No 2 (2013), 226.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
bersama seperti apa narasi yang akan dipakai para pemandu wisata.85 Dengan demikian,
ada keterlibatan para aristokrat Toraja untuk narasi-narasi kebudayaan Toraja yang
berkembang saat ini. Usaha tersebut, tentu dibarengi dengan semangat industri
pariwisata, menjadikan Toraja sebagai destinasi yang dapat menghasil keuntungan
ekonomi untuk kelompok tertentu.
Gambar.11. Tongkonan di Taman Mini Indonesia Indah (sumber Buku Sejarah
Taman Mini Indonesia)
Pada tahun 1985-1988 pemerintah nasional membangun anjungan dari setiap provinsi
Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pada dasarnya pemerintah nasional
bertujuan untuk “membangkitkan rasa bangga dan mempertebal kecintaan terhadap
tanah air dan bangsa, di samping merupakan promosi bagi para wisatawan asing untuk
lebih mengenal keadaan tanah air”.86 Oleh sebab itu, TMII memilih tongkonan yang
85
Adams, Art as Politics, 57. 86
Suradi HP et al., Sejarah Taman Mini Indonesia 1989 (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradsi Al Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1989), 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
dianggap keunikan budaya dari provinsi sulawesi selatan. Buku Sejarah Taman Mini
Indonesia mendeskripsikannya seperti berikut ini:
Rumah adat Toraja yang disebut tongkonan. Tongkon artinya duduk,jadi
tempat duduk bermusyawarah, mendengarkan perintah dan/,atau
menjelaskan masalah adat yang terjadi di masyarakat. Tongkonan juga
merupakan istana raja atau penguasa adat dan pusat pertalian keluarga.
Bangunan ini berbentuk rumah panggung, persegi panjang dengan atap
berbentuk perahu layar atau tanduk kerbau.Tiang persegi empat, di sudut
rumah lebih besar daripada di sisi kanan dan kirinya. Lantainya bertingkat
disebut Tallung Lonta, yaitu bagian utara dan selatan lebih tinggi dari pada
bagian tengah. Tangga persegi empat terletak di samping kanan rumah atau
di bawah lantai atau kolong rumah. Susunan ruangan, bagian depan atau
bagian utara disebut Tang do ' atau Paluang, lantainya lebih tinggi daripada
ruang tengah. Tang do' atau Paluang berfungsi sebagai tempat istirahat,
tempat mengadakan sesajen atau ma 'pakende deata, juga untuk tidur tamu
yang menginap. Bagian tengah disebut Sali, lantainya lebih rendah, di
bagian timur Sali berfungsi sebagai tempat kegiatan keperluan sehari hari
seperti memasak, sedangkan dikala ada upacara pemakaman tempat ini
untuk menyimpan mayat. Selama ada mayat, tidak boleh memasak di dapur,
tapi semua makanan dimasak di luar rumah. Bagian barat Safi dipergunakan
sebagai ruang makan. 87
Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah pusat ikut mengakomodasi
konstruksi identitas masyarakat Toraja melalui tongkonan. Keunikan-keunikan yang
coba ditampilkan oleh Taman Mini Indonesia Indah ini sama seperti di dalam promosi
pariwisata di Toraja untuk menarik para wisatawan. Makanya, salah satu andalan
destinasi wisata Toraja yaitu kampung tua bernama Ke‟te Kesu. Tongkonan-tongkonan
yang berjejer lengkap dengan alang di depannya menawarkan keunikan yang telah
dikonstruksi oleh Industri Pariwisata. Selain itu, kampung Ke‟te kesu secara mitologis
digambarkan sebagai rumah dari tomanurun (bangsawan titisan dewa berasal dari
langit), bernama Manurun di Langi‟.88
87
Suradi HP et al., Sejarah Taman Mini Indonesia 1989, 7-8. 88
Tangdilintin, Adat Dan Kebudayaan Toraja (Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1976), 26.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Gambar.12. Jadwal acara Mangrara Banua di Tongkonan Kesu‟ tahun 1990
(Sumber. Kathleen Adams. The politics of heritage in Tana Toraja, Indonesia)
Framing menggunakan mitologi oleh industri pariwisata menjadi referensi untuk
menjuluki Ke‟te Kesu sebagai kampung tertua di Toraja. Lalu pada tahun 2001, Ke‟te
Kesu masuk nominasi dalam penentuaan warisan dunia oleh United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization(UNESCO). Kampung Ke‟te Kesu
menjadi salah satu destinasi wisata yang menyediakan paket lengkap. Di kampung
tersebut selain ada rumah adat yang unik, di selatan tongkonan ada goa yang dibuat
menjadi kuburan. Di dalam perjalanan menuju goa, ada banyak toko souvenir
menyediakan miniatur tongkonan, ukiran-ukiran Toraja yang terdapat di tongkonan, dan
kain tenunan motif toraja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Gambar.13. Kampung Tua Ke‟te‟ Kesu, di Kecamatan Kesu‟, Kabupaten Toraja Utara
(sumber kompas.com)
Saat ini tongkonan menjadi sesuatu yang dikenal sebagai bagian dari identitas adat
Toraja. Paradigma tersebut tidak lepas dari pengaruh konstruksi industri pariwisata.
Toraja dianggap sebagai tanah yang penuh dengan keunikan budaya melalui
Tongkonan. Inilah mengapa narasi tongkonan menjadi hegemonik di Toraja karena
adanya semangat industrialisasi pariwisata yang turut mengkonstruksi ikon identitas
ke-Toraja-an. Simbol-simbol tongkonan terus menerus digunakan oleh orang-orang
Toraja, untuk mengidentifikasi identitas diri mereka sebagai Toraja.
2. Rambu Solo’ dan Kemegahannya
Sebuah narasi yang umum tersebar di masyarakat luas adalah bahwa “jika mau menikah
dengan orang Toraja, cek dulu apakah neneknya sudah meninggal!” ungkapan ini
sebenarnya bentuk penolakan orang-orang terhadap teknis pelaksanaan ritus rambu
solo‟, bukan biaya pernikahan yang besar, tetapi pada upacara kematian. Penolakan
tersebut sangat lazim terjadi di masyarakat luas, karena di dalam upacara kematian
ditampilkan sebuah kemegahan, kemeriahan yang tidak sedikit biayanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Rambu solo‟ hari-hari ini, memang menampilkan kemeriahan, kemegahan, tidak
tanggung-tanggung rumpun keluarga almarhum mempersiapkan acara setelah kematian
di jauh-jauh hari. Biasanya almarhum disemayamkan di tongkonan sampai bertahun-
tahun, untuk menunggu kesiapan keluarga melaksanakan ritual kematian. Anggaran
ritus tersebut mencapai angka minimal ratusan juta. Menurut kepercayaan aluk todolo,
rambu solo‟ adalah sebuah ritus kematian Toraja, setiap kurban (babi,kerbau) yang
disembelih akan menjadi bekal almarhum menuju nirwana (puya). Jadi, semakin banyak
hewan kurban disembelih, semakin mudah almarhum sampai ke nirwana.89 Dengan
demikian, ini menjadi salah satu daya tarik para wisatawan untuk melihat upacara
kematian di Toraja yang dianggap unik.
Catatan pentingnya, rambu solo tersebut merupakan salah satu ritual yang
berpusat pada tongkonan. Di bab-bab sebelumnya telah saya jelaskan bahwa ritus
rambu solo‟, merupakan turunan dari tongkonan. Patokan ritus rambu solo ini
mengikuti arah angin tongkonan rambu solo dilaksanakan di sisi barat tongkonan,
karena di sanalah matahari terbenam (simbol kegelapan:kematian). Semenjak
tongkonan menjadi ikon, rambu solo‟ ikut terbawa oleh konstruksi industri pariwisata
sebagai bagian upacara kematian orang Toraja, dan terus-terus menerus dinarasikan
untuk menarik wisatawan masuk Toraja.
Rambu Solo dianggap menarik bagi wisatawan asing karena unik, eksotis, dan
mewah. Para asosiasi pariwisata di Toraja berkerja sama dengan agen-agen dari negara-
negara Eropa, dengan jualan tongkonan dan rambu solo‟. Orang-orang Toraja di
perantauan, banyak mempertontonkan keberhasilan mereka pada saat melaksanakan
ritus kematian. Seperti upacara kematian alm Ne‟ Sarrin, di Sereale Kabupaten Toraja
89
John Liku-Ada‟, Pr, Aluk To Dolo Menantikan Kristus: Ia Datang Agar Manusia Mempunyai
Hidup Dalam Segala Kelimpahan (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Utara menghabiskan anggaran miliaran rupiah, untuk menghapus status rendahnya di
kampung. Acara ini banyak menarik wisatawan dan beberapa media untuk meliput. 90
Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana orang Toraja mencoba mempertontonkan
kekayaan dan kesuksesan melalui ritus tersebut. Penyebabnya bukan hanya karena adat,
tetapi ada embel-embel ekonomi pariwisata di balik istilah adat. Masalahnya adalah,
rambu solo‟ diterima mentah-mentah sebagai ritus kematian orang Toraja, padahal tidak
hanya satu macam saja bentuknya. Yang demikian disebabkan oleh narasi industri
pariwisata dengan bentuk ritus unik dan megah. Jadi, hal ini terkonstruksi di dalam alam
bawa sadar masyarakat Toraja, seakan-akan kesemuanya itu adalah adat.
Kompas.com pernah meliput Toraja melalui ritus rambu solo‟, dengan judul
sangat provokatif, “Rambu Solo, Upacara Pemakaman Khas Toraja yang Tersohor”.
Pada tulisan itu, narasi kemegahan dan kemeriahan menjadi salah satu patokan
kesuksesan ritual rambu solo‟ sehingga almarhum mendapat kelancaran menuju puya
(nirwana), dan rohnya dapat setara dengan para dewa (membali puang).91
Kepercayaan tersebut sebenarnya, memang ada di dalam masyarakat Toraja,
namun saat ini tidak lagi seperti demikian. Paham tentang bekal roh untuk menjadi
titisan dewa adalah konsep yang sangat dekat dengan ajaran agama suku, sedangkan
orang Toraja saat ini banyak menghidupi agama-agama modern (Islam, Kristen). Lantas
apa yang mempengaruhi orang Toraja untuk tetap melakukan ritus tersebut? Tentu
bukan lagi karena paham tersebut, tetapi prestise keluargalah yang dimunculkan.
Orang-orang Toraja saat ini malu jikalau tidak dapat melaksanakan ritual rambu
solo‟ untuk keluarganya yang meninggal, bahkan tidak sedikit mendapat hujatan dari
90
Hasil wawancara tokoh gereja Toraja, Daud Sangka P di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal
05-Februari-2020 91
https://foto.kompas.com/photo/read/2018/11/9/154175241700f/1/Rambu-Solo-Upacara-
Pemakaman-Khas-Toraja-yang-Tersohor, diakses pada 03-April-2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
orang-orang kampung.92 Catatan Volkman, Toraja menjadi gempar saat orang Toraja
yang memiliki kekayaan menolak untuk memotong kerbau:
One critic of this system, who I call Pak L, is a prominent Christian, active
in politics and the Toraja church as well as in education and the hotel
business. In the mid-1970s he created something of a stir when he refused to
“cut buffalo” for his very rich and noble father‟s funeral. Instead, he
channeled the funds into local school and irrigation projects. By 1978 his
actions were widely discussed in both town and village, but as he himself
had predicted, most people were too bound up with the problem of shame
and honor to emulate his mode
Inilah akibat dari narasi ekonomi pariwisata, rambu‟ solo sebagai satu-satunya
ritus kematian di Toraja yang membuat orang Toraja melaksanakan ritus dengan
kemegahan dan kemeriahan. Malah tindakan emansipasi membuat orang-orang Toraja
gempar karena dianggap tidak melakukan ritus adat dengan benar, padahal tindakan L
di atas mencoba membangun sebuah peradaban kemanusian, melalui pembangunan
pendidikan. Sikap-sikap kritis, malah dikaburkan dengan jargon “adat dan budaya”,
seperti yang diungkapkan dalam buletin ikatan mahasiswa Toraja di Bandung
Dunamika pada tahun 1978:
The lack of work has caused many Toraja to migrate to other areas, and
encouraged young children to continue their education in large cities. Of
those who have migrated, and have successfully ac-cumulated some cash,
even those who can be classed as intellectuals, it is nonetheless difficult to
change their way of thinking or their orientation, especially about the
problem of death ceremonies.In fact, it is they who act as sponsors, relied
upon by their families in the villages, to pay for funerals. It is deeply
regrettable, but such is the reality. It is clear that the death ritual must be
maintained as the identity (identitas] of the Toraja people. Among somany
thousands of existing peoples, this is a unique culture, with noble values,
second tonone on earth.93
92
Hasil wawancara tokoh gereja Toraja, Daud Sangka P di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal
05-Februari-2020. 93
Toby Alice Volkman, “Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s,” American
Ethnologist 11, no. 1 (February 1984): 152–69, 162.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Paling tidak, saya dapat melihat bahwa hegemonisasi kebudayaan Toraja,
melalui tongkonan sampai pada praktek-praktek ritual di dalam masyarakat Toraja.
Kebanyakan kaum intelektual Toraja yang telah merantau mendapatkan pendidikan
malah tidak menampakkan sikap kritis. Menggunakan istilah Gramsci, kaum intelektual
ini malah dapat diidentifikasikan sebagai „intelektual tradisional‟. Keadaan ini
mengakibatkan, hilangnya kebudayaan pinggiran yang hanya menyisakan ingatan di
kepala orang-orang Toraja.
Oktoviandi Rantelino menyatakan bahwa hilangnya budaya pinggiran di Toraja
dikarenakan budaya tersebut tidak menarik untuk dijadikan sebagai jualan pariwisata. 94
Memang secara signifikan, bentuk ritus dari orang-orang tana‟ karurung dan tana kua-
kua‟ kini tidak nampak lagi di dalam masyarakat Toraja. Selain ritus itu tidak menarik
untuk dijadikan jualan industri pariwisata, ritus tersebut telah dianggap sebagai ritus
untuk orang-orang kelas rendahan.
Pada tahun 1978, diadakan ritus kematian orang besar (to kapua) di Rantepao,
yaitu Ne Atta‟. Anggarannya 90 juta rupiah yang pada tahun itu nilainya sangatlah
banyak. Sikap gereja saat itu cukup kritis, melihat hal tersebut hanyalah sebagai
tontonan para turis, bukan lagi sebagai ritual keagamaan.
According to a Kompas newspaper story of 19October 1978, many Toraja,
particularly those associated with the Christian church, suspected that the
entire ceremony was more of a tourist “spectacle” than a religious ritual.”
Ne„ Atta‟ was in fact a Christian, yet his funeral included colorful aluk
elements that had long been forbidden by the church, such as the
construction of a carved effigy, defended by Ne‟ Atta‟ ‟s family as a
“portrait.” Whether such departures from established Christian practice
were indeed motivated by commercial interests is difficult to say, although
94
Hasil wawancara akademisi, Oktoviandi Rantelino di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal 05-
Maret-2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
many Toraja felt this was the case. Whatever the sponsors‟ motivations, the
funeral did draw numerous tourists.95
Fakta-fakta ini memperkeruh persoalan. Intensitas pelaksanaan rambu solo‟ saat
ini semakin beramai-ramai dilakukan. Orang-orang Toraja menjadi seperti kecanduan,
gereja malah memiliki sifat konservatif dengan alibi reinterpretasi, kontekstualisasi,
reaktualisasi Injil ke dalam budaya.96 Misalnya pemotongan hewan kurban dipahami
dapat membagun relasi sosial di dalam masyarakat, dan secara teologis orang yang
berduka tetap dapat berbagi. Tetapi, menurut saya pandangan ini pincang karena hanya
mengkritisi konsep keagamaan leluhur yang melekat dalam ritus rambu solo‟. Alhasil
Gereja Toraja malah tidak sama sekali mengkritisi aspek kemegahan dan kemeriahan.
Padahal ajaran agama kristen menolak dan menentang hal yang demikian. Situasi ini
wajar terjadi karena kelas bangsawan sangat berpengaruh di dalam gereja Toraja.
Tino Saroengallo dalam mempersiapkan upacara kematian ayahnya, alm Renda
Sarungallo, banyak melakukan protes terhadap para tetua kampung. Entah itu biaya
rambu solo‟ yang sangat besar, teknisnya berbelit-belit, dan bahkan sampai frustasi atas
persoalan di dalam ritus. Ketika Tino memprotes, selalu saja istilah “adat” terdengar dari
keluarganya.97 Jawaban yang didapatkan Tino Saroengallo, umum terjadi di dalam
keluarga-keluarga Toraja. Istilah adat malah menjadi senjata ampuh orang-orang Toraja
untuk membenarkan tindakan mereka di dalam ritual rambu solo. Pada tahun 2009, ayah
saya harus meminjam uang ke bank, sebesar 50 juta rupiah untuk membiayai ritus
kematian kakek saya. Ketika ditanyai, ayah saya beralasan “mau bagaimana lagi sudah
95
Volkman, “Great Performances”, 162. 96
https://bps-gerejatoraja.org/artikel/single/perjumpaan-kekristenan-dengan-ritus-rambu-tuka-
dan-rambu-solo-di-toraja-dari-perspektif-teologi-biblika/16, diakses pada 02-April-2020. 97
Tino Saroengallo, Ayah Anak, Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat (Yogyakarta:
Tembi, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
seperti itu adat kita di Toraja”. Klaim adat ini salah satu bentuk kesadaran palsu,
sehingga laju pelaksanaan terus menerus meningkat.
Salah satu ideologi yang mempengaruhi kesadaran itu adalah kapitalisme.
Kapitalisme memberi banyak sumbangan negatif yang tidak dilihat secara kritis oleh
orang-orang Toraja. Perilaku komodifikasi budaya terlihat jelas, menguntungkan orang-
orang tertentu. Pelaku industri pariwisata memang lebih banyak diambil alih oleh orang-
orang Toraja keturunan bangsawan atau orang Toraja yang sukses diperantauan seperti
di dunia perhotelan, transportasi, agensi.98 Orang-orang yang tidak memiliki modal
ekonomi, dan modal budaya akan tersingkir, dan lebih memilih untuk merantau keluar
Toraja. Ketika sukses diperantauan kembali ke kampung untuk mempertontonkan
kesuksesan mereka.
3. Ekonomi Kerbau
Kerbau menjadi sesuatu yang nilainya sangat berharga secara ekonomi, setelah
intensitas ritual rambu solo‟ sangat signifikan naik. Pada film dokumenter “Saleko:
Pusaka Tanah Toraja” (2016) yang diproduksi oleh Eagle Awards, harga kerbau jenis
saleko dijual dengan harga 1 milyar rupiah. Ini adalah angka yang sangat fantastis untuk
satu ekor kerbau. Menjadi pertanyaan penting bagaimana bisa harga kerbau mencapai
pada angka tersebut. Tentunya, konstruksi pariwisata di Toraja menjadi kata kunci
untuk masuk di dalam tema ekonomi kerbau ini.
Konstruksi pariwisata melalui tongkonan, turun pada praktik ritus rambu solo‟,
dan ritus rambu tuka‟ yang tidak dapat dipisahkan dengan kerbau. Di dalam rambu
solo‟ ada hewan yang dikurbankan untuk menjadi bekal orang Toraja menuju nirwana
(puya). Hewan kurban ini berbagai macam, seperti kerbau, babi, dan beberapa jenis
98
George J. Aditjondro, Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja (Yogyakarta:
Gunung Sopai, 2010), 79.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
hewan lainnya, tetapi yang paling bernilai di dalam ritus, adalah kerbau. Dengan
demikian, saya akan menguraikan bagaimana kerbau dipahami oleh orang Toraja, lalu
menelusuri kaitannya dengan perkembangan pasar kerbau di Toraja.
Kerbau adalah simbol kebesaran orang Toraja saat ini. Kerbau tidak hanya
digunakan pada ritus rambu solo‟ tetapi juga pada aluk rambu tuka‟(perkawinan) untuk
mengikat sepasang suami istri (kapa‟) ketika ada yang melanggar aluk, lagi-lagi yang
menjadi standarisasinya adalah tana‟. Sejalan dengan itu, di dalam rambu solo‟ menurut
paham aluk todolo, pemotongan kerbau ditentukan oleh tana‟, dengan berbagai
klasifikasi bentuknya. Untuk membantu memahaminya, saya akan mengklasifikasikan
dan menyusunnya pada tabel dibawah ini :
Tabel: Bentuk-Bentuk Rambu Solo
NO Tana Jumlah Kerbau Bentuk Ritus
1. Tana Bulaan 30 ekor kerbau
(dengan berbagai
jenisnya yang telah
ditentukan, biasanya
ada hewan-hewan
lain selain kerbau
dan babi yang
dikorbankan. Ada
seperti, sapi, kuda,
kijang, kambing)
Sapu Randanan
24 ekor kerbau
(tidak seperti sapu
randanan, di sini
hanya kerbau & babi
yang dikorbankan)
Rapasan Sundun
2. Tana‟ Bassi 7 kerbau Dipapitung bongi
5 Kerbau Dipalimang
bongi
3 Kerbau Dipatallung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
bongi Sumber:Hasil wawancara Admadi dengan tokoh adat, di Rea, Kecamatan Ulusalu, Kabupaten Tana dari dan
dielaborasi dengan bukuTangdilintin (1981), Toraja dan kebudayaannya.
Dari tabel tersebut, terlihat jelas berapa jumlah kerbau yang dikurbankan sesuai
dengan kasta dari orang yang meninggal. Semuanya ada batasan yang perlu diikuti oleh
orang-orang pengikut ajaran aluk todolo.
Faktanya hari-hari ini, pemotongan kerbau (mantunu tedong) bahkan melebihi
batas-batas yang dahulu telah ditentukan. Orang-orang Toraja mempertontonkan
puluhan, bahkan sampai ratusan kerbau yang dikurbankan. Seperti yang
didokumentasikan oleh Volkman (1984) di dalam tulisannya ini :
A funeral occurred in September 1977 at Langda, a village not far from
Rantepao, for an aluk man reputed to have been among the richest in the
regency. Reports were that between 40 and 70 buffalo were sacrificed, many
of them of great value (one enormous castrated buffalo alone was worth 1
million rupiah [USS2500]). The cost of temporary housing for visitors was
reported to be 3 million rupiah (USS7500). Although this was billed as the
most lavish ceremony in the regency, one year later in the village of
Pangala‟, a Christian funeral was held at which the visitors‟ quarters alone
were said to cost 5 million rupiah (US312,500). The total cost of this event,
at which about 50 buffalo were slaughtered, was reckoned at about 50
million rupiah (USSl25,OOO). The leading sponsor was a son of the
deceased, a retired army major who lived, as did most of the deceased„s
children, in Ujung Pandang. Although the family wealth had been
supplemented in recent years by income from the army and from business,
there was no question of their traditional wealth and noble blood. One
month later, in October 1978, a funeral was held near Rantepao for a
certain Ne‟ Atta‟ at a reported cost of 90 million rupiah (US9225,OOO). I
return later to this particular event, which became a nationally publicized
and criticized affair.99
Kerbau-kerbau yang dikurban menjadi salah satu simbol semaraknya upacara kematian
pada saat itu, tentu biayanya pun tak sedikit di tahun 1977-1978. Banyaknya kerbau
yang dikurbankan, menjadi ajang prestise orang-orang Toraja. Pemaknaan malah
berbeda seperti dahulu yang memiliki batasan tertentu, dan masih terkungkung pada
99
Volkman, “Great Performances. 161”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
konsep keagamaan aluk todolo. Sedangkan saat ini, orang Toraja telah didominasi
keagamaan agama modern. Lalu menjadi sebuah pertanyaan sejauh mana pemaknaan
pemotongan kerbau hari-hari ini.
Menurut Frans Pangrante (2017), hari-hari ini ada berbagai macam ideologi-
ideologi di dalam kontestasi mantunu tedong (pengurbanan kerbau), tetapi menurutnya
yang paling dominan adalah ideologi adat, ideologi agama, ideologi kapitalisme100.
Pandangan ini tidak salah, namun terlalu simplistik. Membongkar ideologi saja tidak
cukup dalam melihat kompleksitas pada praktik ritual rambu solo‟ karena membongkar
ideologi akan mengabaikan “siapa mendominasi siapa”? Maka sangat wajar jikalau
penelitian tersebut tidak melihat persoalan dalam representasi identitas (reproduksi
simbol) di Toraja. Justru saya melihat fenomena dalam mantunu tedong terjadi karena
adanya hegemoni wacana Tongkonan. Ideologi-ideologi dalam praktik mantunu tedong
hanyalah alat para penguasa untuk mempertahankan status quo dalam masyarakat. Salah
satu agendanya adalah menggunakan industri pariwisata (kapitalisme).
Kontestasi mantunu tedong mengakibatkan intensitas pemotongan kerbau
menjadi tinggi.Otomatis kebutuhan atas pasar kerbau pun meningkat. Bahkan kerbau-
kerbau di Toraja tidak lagi mencukupi kebutuhan ritus rambu solo‟ karena semakin
berkurang populasinya.
100
Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan Kapitalisme.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Diagram jumlah kerbau yang dikurban, tahun 2010-2017101
Menurut Aditjondro (2010), populasi kerbau berkurang dikarenakan adanya
kontestasi antara orang kaya lama (bangsawan) dan orang kaya baru (orang biasa yang
sukses di perantauan).102Saya melihat bahwa praktik kontestasi ini, disebabkan oleh
kebudayaan bangsawan yang hegemonik. Orang-orang kaya baru dengan modal
ekonomi yang dimiliki mencoba menampakkan identitas mereka, sehingga hegemoni
semakin langgeng.
Faktanya, alih-alih ingin bebas dari kungkungan para bangsawan, orang kaya
baru malah tetap saja dibedakan dengan para bangsawan. Seperti yang diungkapkan
tokoh adat di Rea, Ulusalu, Kab. Tana Toraja, Andarias Paonganan, bahwa mereka
boleh saja memotong banyak kerbau, sebab hal dapat memberi makanan kepada orang-
orang di kampung, namun klasifikasi ritusnya tetap tidak bisa disebut sebagai
101
“Analysis Of Social Capital To The Local-Striped Buffalo Marketing In Indigenous Tribe Of
Toraja,” American-Eurasian Journal Of Sustainable Agriculture, 2019, 94. 102
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja, 63.
5.239 5.033 5.5967.379
8.573 8.573 8.573 8.573
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Number of Buffalo Cutting
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
rapasan.103 Fakta ini menjelaskan sebuah fenomena baru, kontestasi antara orang kaya
baru dan orang kaya lama mengakibatkan adanya politik daging104 di Toraja.
Gambar.14. Kerbau Belangseharga 1 milyar rupiah.(sumber Monggobay.com)
Harga kerbau di Toraja, semakin hari semakin meningkat. Menurut infografik
dari penelusuran tirto.id, kerbau hitam (tedong pudu‟) kisaran harga 10 juta–100 juta,
kerbau berdasar hitam berbelang putih (tedong bonga) harganya bisa mencapai ratusan
juta, sedangkan yang termahal adalah kerbau berwarna dasar putih bertotol-totol hitam
(tedong saleko) bisa mencapai miliaran rupiah.105 Harga-harga kerbau ini memang
semakin hari malah semakin naik nilainya. Tanda yang dilekatkan pada kerbau sangat
mempengaruhi harganya. Misalnya kerbau saleko, dianggap sebagai pusaka yang
103
Hasil wawancara tokoh adat, Andarias Paonganan, di Ulusalu, Tana Toraja, tanggal 28-
Januari-2020. 104
Politik daging adalah salah satu fenomena di Toraja. Aktor adalah para tokoh adat dengan
memperboleh orang memotong kerbau tanpa melihat keturunannya. Motifnya lebih kepada
pembagian daging dalam masyarakat. Orang yang memiliki status tinggi akan mendapatkan
daging yang banyak dari ritual tersebut. 105
https://tirto.id/kerbau-adalah-barang-mahal-di-tana-toraja-cQf3, diakses pada15 April 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
langka pa‟tampa deata(buatan para dewa) menurut agama leluhur dan hanya ada di
Toraja. Tidak hanya itu, tedong saleko dianggap menjadi baju kebesaran keluarga dalam
ritus rambu solo‟.106
Karena kebutuhan akan kerbau semakin banyak sementara populasinya tidak
mencukupi kebutuhan kerbau-kerbau didatangkan dari luar Toraja, seperti Sulawesi
Tenggara, Kaltim, Sumbawa dan Flores. Ini memberi keuntungan besar sampai 700%
bagi para pebisnis. Misalnya, salah satu pengusaha asal Toraja di Jakarta membeli
kerbau di Flores seharga Rp. 3 juta, lalu dijual ke Toraja dengan harga Rp. 30 Juta.107
Pemerintah kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, juga mendapatkan keuntungan dari
sini, karena di setiap ritus rambu solo‟ pemotongan per kerbau dikenakan biaya pajak
sebesar Rp. 150.000,-
Dengan demikian dapat dilihat bagaimana kerbau (tedong) menjadi salah satu
hewan kurban yang dianggap paling besar pengaruhnya hari-hari ini melalui argumen
adat. Jargon-jargon mitologi dipakai untuk melanggengkan budaya yang hegemonik,
dan dibalik itu saya melihat adanya wajah kapitalisme melalui industri pariwisata yang
mengkonstruksi kemeriahan, kemegahan, kemewahan (prestise) yang menjadi motivasi
orang Toraja mengurbankan hewan kerbau secara berlebihan. Selain itu, keuntungan
besar didapatkan oleh para pengusaha kerbau, dan juga pemerintah.
D. Rangkuman
Dari Uraian di atas, dapat saya simpulkan beberapa poin penting. Hegemoni
kebudayaan bangsawan di Toraja saat ini, terjadi karena adanya kepentingan ekonomi
politik. Perubahan masyarakat Toraja kontemporer, banyak dipengaruhi oleh keadaan di
masa lalu. Konstruksi-konstruksi yang dianggap mutlak, kaku di Toraja, dapat dilihat
106
Pong Sorupa‟ Tokoh adat di dalam film domumenter pusaka tana toraja. 107
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja, 65.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
sebagai usaha politis, untuk dapat mempengaruhi tanpa menggunakan kekerasan fisik.
Tana‟kua‟-kua‟ yang diasosiasikan dengan budak malah merupakan konstruksi dari
produk masalalu, saat orang Toraja bertemu dengan kebudayaan luar, bukan sesuatu
yang turun dari langit. Saat tongkonan dibuat menjadi ikon pariwisata Toraja, hari ini
orang-orang Toraja mengidentifikasi diri melalui simbol tongkonan, seturut dengan itu
rambu solo terikut pada konstruksi tersebut. Membuat masalah-masalah baru,
munculnya pasar kerbau karena intensitas pengurbanan kerbau di dalam ritus rambu
solo signifikan naik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
BAB IV
MEMBICARAKAN KEMBALI IDENTITAS TORAJA
A. Pengantar
Membicarakan wacana alternatif memang cukup rumit dalam konteks hegemoni yang
begitu kuat. Akan tetapi tidak pernah ada hegemoni yang sempurna. Karena itu selalu
ada kemungkinan perlawanan dari beberapa kelompok, namun tentunya tidak semua
perlawanan tersebut dapat teridentifikasi sebagai counter hegemony menurut Gramsci.
Dalam konteks Toraja, memang ada beberapa kelompok minoritas yang menyatakan
pembedaan, menjaga jarak, dan mempunyai perspektif tersendiri terhadap budaya
dominan di dalam masyarakat Toraja.
Pada bab ini, saya mencoba menelusuri beberapa wacana perlawanan, atas
hegemoni wacana tongkonan. Sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa hegemoni
wacana tongkonan punya bentuk material dan ideologis di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Toraja. Dengan demikian tongkonan adalah pusat yang mempengaruhi
seluruh wacana praktik kehidupan sehari-hari. Karena itu sangat memungkinkan
membicarakan pengalaman perlawanan orang Toraja pada praktik ritual sehari-hari
sebagai bentuk perlawanan atas wacana tongkonan.
Untuk melengkapinya, sebagai tesis kajian budaya, membicarakan pengalaman
subjek yang melawan cukup penting di sini. Wacana tersebut memang bisa disebut
sebagai perlawanan, namun tentu tidak bisa dipungkiri bahwa ada perlawanan yang
tidak efektif. Paling tidak catatan pentingnya adalah bahwa, dalam situasi hegemoni
tersebut ada perlawanan dari kelompok dan individu tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Ada beberapa kelompok yang saya pilih untukdinarasikan. Berdasarkan
penelusuran saya, kelompok-kelompok tersebut yaitu perantau, penganut Kristen
Pentakostal, dan akademisi. Saya akan membicarakan pengalaman-pengalaman
subjektif mereka dalam melawan posisi budaya dominan di Toraja. Untuk memulainya,
saya akan membicarakan pengalaman perantau.
B. Kelompok Perantauan: Melanggengkan atau Melawan?
Male undaka ringgi‟ (mencari uang), istilah yang sangat sering diucapkan ketika anak
muda Toraja akan melakukan perjalanan ke perantauan. Tentunya tujuan dari merantau
adalah mendapatkan sesuap nasi, dan hidup yang lebih baik dari sebelumnya di
kampung halaman. Mereka merasa perlu untuk keluar mencari pengalaman di luar
Toraja.
Menurut Volkman (1984) orang Toraja tidak mengenal tradisi merantau, seperti
orang-orang muda Minang yang mencari kebijaksanaan dan pengalaman untuk
merantau. Orang-orang Toraja cenderung menyukai untuk tinggal dekat dengan rumah
(inan lamunan lolo) (Volkman 1984: 157). Pada era pemerintahan kolonial tahun 1930-
an, karena depresi hebat atas kemelaratan dan hutang-hutang keluarga, para pemuda
meninggalkan rumah menuju Ujung Pandang (saat ini Makassar)(Volkman 1984: 157).
Artinya, pada era itu orang Toraja mulai mengenal istilah merantau, karena mau tidak
mau mereka harus mencari uang di luar daripada harus melarat di kampung. Selain itu,
konteksnya memungkinkan untuk merantau, karena tidak ada lagi perang antar
kampung, dan penculikan orang-orang Toraja untuk dijadikan budak oleh tentara-
tentara kerajaan terdekat.
Pasca krisis ekonomi di Indonesia, pada akhir 1960-an para pemuda-pemudi
Toraja melakukan perjalanan menuju pulau Kalimantan bekerja sebagai buruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
perusahaan minyak, dan kayu. Selain itu ada juga yang bekerja di perusahaan nikel
Luwu Timur (PT. INCO). Peluang kerja pada era “Tinder boom” di Kalimantan,
perusahaan-perusahaan membutuhkan 25.000 tenaga kerja, ini dimanfaatkan oleh
pemuda-pemudi Toraja untuk menjadi kesempatan bekerja, dan memutuskan merantau
(Bigalke 2016: 288).Seorang perantau dari desa Baruppu, Petrus Patola, merasakan
keadaan yang sangat sulit di Toraja pada tahun 1960-an, ketika pekerjaan yang tersedia
hanya sebagai petani, berburu dan mencari kayu damar di hutan. Hasil dari pekerjaan
tersebut bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga pada akhir 1960-
an ia memutuskan untuk pergi ke Malaysia bekerja sebagai buruh perusahaan “kayu
balak” (Patola, Wawancara 18/04/2020). Dengan demikian, di era ini memang
peningkatan minat merantau orang Toraja signifikan naik, untuk memperbaiki ekonomi
keluarga pasca krisis ekonomi 1960-an di Indonesia, berbeda dengan sebelumnya saat
orang Toraja tidak mengenal tradisi merantau, dan hanya berani merantau dekat dengan
Toraja (Makassar).
Ada fakta menarik ditemukan oleh Volkman (1984) yang tidak terekam oleh
Bigalke, khususnya perantau dari desa tondok litak di kaki gunung Sesean, “When job
opportunities arose in Kalimantan, these young Toraja, particularly those from poor or
low-status families, left their homeland and crossed the Makassar Straits” (Volkman
1984: 158). Artinya, data penting ini dapat menjadi salah satu tolak ukur bahwa bukan
hanya karena krisis ekonomi negara saja yang menyebabkan orang Toraja merantau,
tetapi juga karena adanya faktor tekanan status sosial.
Istilah “undaka ringgi” memang pada dasarnya adalah mencari rupiah untuk
memenuhi kebutuhan, namun motivasi tersebut tidak sepenuhnya hanya karena
ekonomi (memenuhi kebutuhan hidup). Faktanya, ketika orang Toraja yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
terasosiasikan dengan budak-miskin berhasil diperantauan, akan kembali ke kampung
untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Seperti catatan Volkman (1987)
berikut ini:
Although the migrants‟ purpose is often expressed as “looking for money”
(undaka‟ ringgi„), cash itself is not the only attraction of merantau work.
What is especially attractive for the many poor or low-status migrants is the
potential to convert cash into symbolic capital: new status in the Toraja
highlands. The stigma of inherited low status is less visible far from home,
yet most migrants do not stay away indefinitely. Nor are they satisfied with
buying blue jeans, gold watches, and large radios, although these items
certainly are desired and acquired. Sending money to the village to be used
in building bigger and better houses is quite common, for the house
remains, as it was traditionally, an important representation of the family‟s
worth and history. Still, none of these signs are real substitutes for the
ultimate demonstration of value and honor (siri‟)through providing and
dividing meat on the ritual field (Volkman 1984: 158).
Hal terpenting di sini adalah bahwa perantau-perantau Toraja yang sukses merasa perlu
mempertimbangkan merantau sebagai batu loncatan untuk memperbaiki ekonomi dan
status sosial di kampung. Artinya, hal ini jugalah yang menjadi penyebab munculnya
kontestasi antara orang kaya lama (bangsawan) dan orang kaya baru (perantau). Orang-
orang yang dahulu dianggap budak, kini juga merasa perlu untuk mengangkat derajat
ketika sukses di perantauan melalui ritual-ritual adat. Tentu kontestasi itu terbentuk
secara otomatis karena berada dalam arena hegemoni wacana tongkonan.
Memang ada banyak orang Toraja perantauan (budak) yang termakan bujuk
rayu dari aktifitas yang dominan di Toraja, namun ada juga yang malah melakukan
perlawanan terhadap ideologi tersebut. Seperti Petrus Patola, ia menolak untuk ikut
mengadakan ritual kematian orang tuanya (rambu solo‟):
Pada tahun 1990-an, melalui surat saya menyatakan menolak untuk pergi ke
kampung melakukan ritual kematian (rambu solo‟) bapak saya, karena
tuntutan dari kampung sangat berat. Apalagi saya mencari uang sangat sulit
di Malaysia, dan punya anak yang masih sekolah. Biayanya pun tak sedikit,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
apalagi mau ditambah dengan beban mantunu tedong (mengurbankan
kerbau). Saya akan semakin kesulitan (Patola, wawancara 14/04/2020).
Selain masalah ekonomi, ia juga merasa aneh dengan keadaan saat ini, karena adanya
perubahan yang terjadi dalam ritual rambu solo‟, jauh berbeda dengan dahulu:
Yang membuat saya juga mempertimbangkannya, karena saya mendapati
perubahan rambu solo‟ (dahulu-sekarang). Sekarang orang mantunu hanya
untuk tendeng (pamer) kekayaan, padahal dulu yang saya dapati tidak
seperti ini. Apalagi sekarang kita Kristen, jadi tidak perlu lagi seperti itu
(Patola, wawancara 18/04 2020).
Menariknya ia berada pada dua fase bentuk rambu solo‟, dahulu dan sekarang. Ini
membuatnya dapat berfikir secara kritis untuk tidak mau terhegemoni oleh wacana
tongkonan. Sikap mengasingkan diri dari budaya memang bisa disebut sebagai
perlawanan, tetapi penghindaran diri terhadap budaya (enggan balik ke kampung)
bukanlah jalan yang tepat, karena sikap itu tidak dapat menyelesaikan masalah.
Menurut Gramsci, counter-hegemony membutuhkan intelektual organik, tidak
hanya melawan, tetapi ada proses katarsis akan kesadaran blok sejarah. Paling penting
dari itu adalah, intelektual organik adalah agen yang lahir di dalam konteks produksi
suatu budaya dominan, namun secara sadar memahami konteks sosial tersebut, lalu
ikut bersama-sama dengan kelompok sosial kelas tertindas untuk berjuang (Jones
2008: 85). Sosok Petrus Patola memang tidak sepenuhnya masuk dalam kategori
tersebut, namun pengalaman melawannya itu penting. Sikap Petrus ini menandakan
bahwa sekuat-kuatnya hegemoni, akan tetap ada perlawanan dari orang tertindas.
Orang-orang elite di Toraja kebanyakan melanggengkan ideologi kelas
penguasa. Ini terlihat jelas dalam pemaparan saya di Bab IIbahwa tokoh-tokoh elite
(pemerintah, gereja, tokoh adat, akademisi) telah menguasai arena-arena di dalam
masyarakat, sehingga ideologi tersebut menjadi dominan. Faktanya tidak semua begitu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
ada tokoh elite bangsawan memiliki alasan tersendiri untuk menolak ideologi dominan
di Toraja. Tokoh elite merupakan kelas dominan di dalam masyarakat, dihormati
dengan nilai yang didapatkan dan diciptakan. Misalnya nilai kekayaan, kehormatan,
dan pengetahuan (Haryanto, 2017: 87). Tentunya, orang-orang yang berada dalam
kelas ini punya kesempatan memanfaatkan nilai-nilai pada dirinya untuk memperdaya
masyarakat lapisan bawah.
Ada narasi perlawanan yang menarik dari seorang keluarga elite Toraja
bernama Tino Saroengallo, akrab dipanggil Tino, seorang keturunan bangsawan dari
Tongkonan kesu. Melalui visualisasi upacara kematian ayahnya di Toraja dengan
lugas menggugat ideologi dominan di dalam buku berjudul “Ayah Anak Beda Warna!
Anak Toraja Kota Menggugat”. Menariknya, ia menunjukan kejanggalan pada upacara
adat tersebut, mulai dari rapat awal, sampai pada selesai pemakaman. Bahkan di awal
Saroengallo (2008) mengungkapkan alasan menulis pengalaman, yaitu rasa geram
yang menghantui setelah upacara kematian ayahnya (Saroengallo 2008: XIV).
Persiapan panjang dilalui oleh Tino dan keluarganya dalam mengupacarakan
ayahnya. Bahkan pembicaraan tersebut telah ada sebelum ayahnya meninggal, Tino
telah diminta oleh sepupunya Victor Kassi untuk menanyakan ke ayahnya, bagaimana
upacara adatnya dan di mana tempatnya dilaksanakan. Sebagai penuluan108 tongkonan
kesu‟, ayahnya Tino Renda Sarungallo, menjawab sebagai berikut:
“Enaknya memang dikubur di Jakarta,” ujarnya. “Tetapi, repotnya saya jadi
penuluan di tongkonan kesu. Jadi harus dikubur di kampung (Toraja). Mau
tidak mau, harus dikubur di sana”(Saroengallo 2008: 5).
Narasi ini memang masih ada terdapat di kalangan masyarakat Toraja. Dahulu pada
saat masih memeluk agama leluhur (aluk todolo), narasi upacara kematian memang
108
Penuluan adalah tokoh pimpinan adat yang paling tertinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
sangat relevan dibicarakan sebelum meninggal, karena upacara kematian itu dapat
menentukan jalan keselamatan. Anehnya, sebagai orang Kristen upacara tersebut masih
dipertahankan dengan klaim adat.
Saat Renda Sarungallo meninggal di Jakarta pada tahun 2002, keluarga Tino di
Jakarta sepakat melalui rapat untuk memakamkannya di Toraja, namun keputusan
tersebut memang memunculkan perdebatan antara saudara-saudara Tino Saroengallo
dengan keluarga besar, yang jadi permasalahan adalah biaya. Seperti yang ia
ungkapkan dalam pembicaraan dengan temannya Yusuf:
“Semua jelas. Biaya juga jelas. Yang tidak jelas adalah uangnya,” ujar saya
kepada Yusuf. “Brengsek! Seperti waktu produksi Yink Yank
aja”(Saroengallo 2008: 50).
Walaupun Tino seorang sutradara yang cukup terkenal di Indonesia, tetap saja biaya
sangat diperhitungkannya. Apalagi setelah menghadapi berbagai perdebatan di dalam
rapat, diputuskan bahwa bentuk upacara yang akan dilaksanakan adalah rapasan
sundun109, dengan 24 ekor kerbau, dan memakan 2-4 hari (Saroengallo 2008: 55).
Situasi ini membuat Tino mengenal lebih dekat adat Toraja, yang baru kali itu dia
terlibat langsung dengan tekanan adat istiadat Toraja.
Emosi Tino naik turun dengan keadaan di Toraja. Ia merasa sangat terpojokkan
dengan aturan adat yang menganggap ayahnya sebagai penuluan Tongkonan kesu.
Dengan status tersebut, dewan adat mengharuskan keluarga mengadakan upacara yang
meriah. Pada sesi pleno adat, para keluarga dan tetua adat menjelaskan kedudukan
ayahnya sebagai penuluan. Hal ini membuat ia geram, karena ujung-ujungnya
kedudukan itu membuat Tino bersama saudara yang diberatkan secara ekonomi.
109
Tingkatan upacara kematian kelas bangsawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Bahkan Tino sangat marah, karena seorang doktor antropologi menyetujui putusan
dewan adat tersebut:
Saya berharap akan ada uraian lain dengan pendekatan yang lebih modern,
lebih segar. Tapi, tidak. Sang cendekiawan sebaliknya memperkuat uraian
yang panjang lebar sebelumnya. “Sudah cukup itu,” tegasnya “apa yang
dikatakan tadi sudah jelas.” Nah, lo! Marahlah saya. Seorang doktor
antropologi saja tidak bisa membawa pembaharuan dalam adat, tidak
berupaya memodernisasi penafsiran adat padahal sudah begitu banyak
keluarga yang terjepit hutang karena upacara pemakaman, tetapi malah
menggunakan kedudukan ayah saya untuk mengembalikan kejayaan masa
lampau. Upacara adat penuh bagi sang penuluan. Tak dapat lagi saya
menahan emosi. “Gila! Betul-betul kudu dipentokin nih baru sadar,” batin
saya marah (Saroengallo,2008:125–26).
Peristiwa tersebut membuat Tino naik darah, karena para tetua adat sangat
mendewakan sosok ayahnya sebagai penuluan, ditambah seorang Doktor Antropologi
malah tidak memberi pendapat layaknya sebagai seorang cendekiawan. Tino berbicara
di depan para tetua adat, bahwa ia tidak mendewakan ayahnya, tetapi lebih
menghargainya sebagai orang tua:
Kami menghormatinya sebagai ayah. Bukan sebagai tetua adat, atau
penuluan. Sejak kecil kami mendengar bahwa kami berasal dari keluarga
bangsawan di Tana Toraja. Sejak kecil pula kami tahu bahwa ayah kami
banyak membantu keluarga besar di kampung. Kami juga tahu ketika ayah
kami dinobatkan menjadi ketua adat menggantikan Ne‟ Reba. Kami juga
mendengar dan menyaksikan betapa ayah kami seringkali menolong kerabat
yang merantau ke Jakarta seperti membantu mereka dalam mencari
pekerjaan. Tapi sekali lagi saya tekankan bahwa yang kami kenal adalah
Renda Sarungallo sebagai seorang ayah. Kami tidak pernah hidup
berlebihan (Saroengallo 2008: 126).
Alasan Tino membicarakan itu semata-mata ingin menegaskan bahwa Renda
Sarungallo bukanlah dewa yang harus diagungkan, sehingga upacara mutlak dilakukan
dengan meriah. Apa yang dihadapi Tino ini memang sangat sulit karena berhadapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
dengan politik kampung110karena para tetua adat bersama dengan masyarakat
menggunakan klaim adat yang sifatnya kaku, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Perlawanan dari Tino memang ada, tetapi hal tersebut tidak dapat membendung
semangat kerabat dan masyarakat di kampung untuk upacara adat yang diinginkan,
sehingga upacara tersebut tetap dilaksanakan dengan tingkatan rapasan sundun.
Kerbau yang awalnya disepakati 24 ekor, malah berubah menjadi 35 ekor. Jadi
menurutnya, keputusan diawal mutlak tentang jumlah kerbau adalah omong
kosong!(Saroengallo 2008: 264). Pengalaman ini membuat ia paham sebagai orang
Toraja sangat tertekan apabila masih terikat dengan kampung halaman (Saroengallo
2008: xiii).
Tulisan Tino menarik untuk amati di sini, paling tidak posisinya sebagai
seorang bangsawan tidak membuat ia melanggengkan hegemoni di Toraja. Malah
sebaliknya, Tino menunjukkan perlawanan. Bahkan secara tegas di dalam pengantar,
menyarankan kepada masyarakat Toraja seperti ini:
Kepada masyarakat Toraja yang tinggal di Toraja, sebab saya ingin agar
mereka menyadari bahwa sudah waktunya diadakan pertemuan adat akbar
untuk mengkaji kembali tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun tapi
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman ini. Mengikuti adat
melahirkan tuntutan biaya yang tidak tanggung-tanggung besarnya, dan
kondisi ekonomi tidak lagi dapat mendukung pelaksanaan upacara-upacara
adat semacam itu (Saroengallo 2008: xiii).
Awalnya Tino sangat berjarak dengan kehidupan orang-orang yang mengalami
tekananan adat Toraja, namun setelah mengalami langsung dirinya sangat paham
akan konteks orang-orang yang terhegemoni. Merespon hal tersebut, selain
menulis buku, Tino sebagai seorang yang aktif di dunia perfilman, membuat film
110
Istilah ini muncul di dalam masyarakat Toraja karena adanya usaha para tokoh adat menuntut
keluarga melaksanakan ritus, namun disisi lain hal tersebut memberatkan keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
dokumenter berjudul “They Live To Die” bersama dengan Garry Hayes pada tahun
2010. Film tersebut secara eksplisit memberi gambaran audio visual praktik hidup
orang Toraja hidup untuk mati, karena membuang-buang hasil kerja kerasnya
(materi) di dunia pada saat upacara rambu solo‟.
Gramsci menyatakan bahwa aktor intelektual organik lahir dalam tekanan
dominasi, dan merespon tekanan tersebut dengan melawan (Strine 1991: 1).
Dengan demikian, melihat uraian sebelumnya saya mengkategorikan Tino
Saroengallo sebagai aktor intelektual organik. Sikap Tino tidak hanya sebatas
menolak, namun ada usaha melawan dengan melakukan menyadaran kepada
masyarakat melalui film, justru Tino banyak mendorong dan mendukung anak-
anak muda membuat film dokumenter, seperti karya Yesintia Tiku“Aku Bukan
Toraja”, tentang perjudian adu kerbau di dalam rambu solo‟.
C. Kelompok Akademisi: Berjarak dengan Masyarakat?
Sebagian besar orang Toraja meneliti budaya yang umum terlihat, seperti rambu solo‟
dan Tongkonan. Akan tetapi, alhasil malah melanggengkan budaya dominan. Di
samping itu, ada juga klaim bahwa hal itu dapat membantu melestarikan adat, sehingga
ada semangat yang membara untuk melakukan penelitian. Tanpa sadar mereka terbujuk
oleh ideologi kelas penguasa.
Istilah adat memang perlu dilihat juga secara kritis karena bisa jadi ini malah
akan melanggengkan budaya dominan di Toraja. Keadaan demikian telah digambarkan
oleh Tino Saroengallo bahwa adat menjadi senjata ampuh untuk membenarkan
pernyataan dewan adat. Ironisnya akses pengetahuan dan informasi tentang budaya
Toraja bersumber dari agen yang melanggengkan kelas penguasa. Mereka mengklaim
bahwa adat memang begitu adanya dari dulu. Ditambah para akademisi terjebak pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
klaim objektif. Simon Petrus seorang akademisi sekaligus budayawan, mengungkapkan
seperti berikut:
Budaya Toraja adalah budaya simbol, jadi kita tinggal ungkapkan apa yang
ada diobjek. Maka itu, untuk bisa paham budaya Toraja secara objektif
dengan ilmu antropologi kebudayaan, filsafat kebudayaan, dan sosiologi
budaya. Kebanyakan orang melihat budaya Toraja seenaknya (subjektif),
akibatnya malah menyesatkan (Simon, wawancara, 05/02/2020).
Istilah objektif di sini aneh, karena mencoba melihat budaya dengan apa adanya
(objektif) sangat mustahil lepas dari sisi subjektifnya. Misalnya di dalam penelitian
budaya Toraja, informasi tentang budaya akan sangat tergantung siapa narasumbernya,
dan latarbelakang penelitinya. Lalu secara otomatis, hasil penelitiannya bersifat elitis,
karena hasilnya tidak dapat diakses dan berjarak pada masyarakat lapisan bawah.
Pada lapisan masyarakat, akademisi atau peneliti tergolong sebagai sosok elitis,
karena jangkauan mereka hanya pada orang-orang dalam kelas tertentu (mahasiswa,
orang yang berpendidikan). Meski demikian, ada pengalaman menarik yang saya
temukan di lapangan, ada akademisi yang menolak pandangan hegemonik tersebut dan
mencita-citakan transformasi budaya yang lebih beradab lagi.
Tulisan yang mempunyai perspektif baru, memang perlu untuk ditransformasi ke
bentuk yang lebih terbuka. Artinya, ide-ide dalam tulisan dapat menjangkau kehidupan
sehari-hari masyarakat, misalnya tidak hanya diterbitkan di dalam jurnal, namun perlu
dipikirkan untuk membentuk perspektif dalam melawan kelas dominan. Karena itu,
selain dituliskan secara teoritis, semangat kajian budaya perlu ditransformasi dalam
praktik-praktik kehidupan sehari-hari, sehingga bisa dihidupi.
Tulisan Frans Pangrante (2017) melihat adanya sebuah persoalan yang kompleks
pada motif praktik mantunu tedong di rambu solo‟. Pangrante menolak klaim tunggal
dari jargon „adat‟karena ada beberapa ideologi yang mempengaruhi, yaitu ideologi adat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
ideologi agama, dan ideologi kapitalisme.111
Kesadaran ini harus membumi pada
masyarakat, entah seperti apa bentuknya, namun melirik kepada orang yang didominasi.
Sangat disayangkan ketika hanya dijadikan bahan seminar, arsip-arsip di dalam jurnal,
karena tulisan-tulisan ini perlu untuk dihidupi, dan dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Salah seorang akademisi Oktoviandi Rantelino, memiliki pandangan yang
berbeda dari beberapa akademisi lainnya. Sebagai seorang dosen IAKN Toraja, memang
salah satu tugas utamanya adalah mengajar mata kuliah budaya Toraja di dalam kelas.
Akan tetapi, Rantelino lebih banyak menghabiskan waktunya di kantin kampus karena
bertemu dengan banyak orang, tidak hanya mahasiswa. “Yang penting adalah, konteks
di kantin lebih dialogis dan luwes”(Rantelino, wawancara 05/03/2020). Rantelino
melihat kebudayaan Toraja harus dibaca dengan perspektif yang lebih terbuka:
Budaya sifatnya dinamis, karena itu akan terus berubah. Maka dalam
membangun alternatif atas hegemoni wacana tongkonan, harus dibaca
secara perspektif yang terbuka (Rantelino, wawancara 05/03/2020).
Perspektif yang terbuka ini dibaca dalam kesadaran dunia, dan dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mempertegas bahwa di dalam dunia ini tidak ada klaim yang sifatnya
tunggal, namun dipengaruhi oleh banyak faktor.
Dengan itu, tidak ada lagi hegemoni, atau klaim-klaim kebenaran tunggal
atau grand theory bagi kebudayaan Toraja. Inilah yang saya ajarkan di dalam
kelas-kantin bahwa budaya Toraja harus dibaca dalam kesadaran dunia,
dengan itu identitas kebudayaan Toraja menjadi lebih terbuka, dan tidak
hegemonik (Rantelino, wawancara 05/03/2020).
Melalui pernyataan yang disampaikan oleh Rantelino, saya perlu menegaskan untuk
secara hati-hati meramu perspektif tersebut. Dua kemungkinan yang terjadi, yakni bisa
menjadi wacana alternatif dan bisa juga tidak karena jika hanya mengandalkan
111
Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan Kapitalisme.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
perspektif sendiri cenderung akan terjebak pada relativisme sedangkan di dalam
hegemoni, relativisme akan menghancurkan persatuan gerakan. Peluangnya adalah,
perspektif dapat membentuk suatu pembeda, namun masyarakat harus memahami bahwa
walaupun mereka berbeda dari sisi pandangan dan kelompok tetapi hanya ada satu
musuh bersama yaitu kelas penguasa. Paling penting bahwa, klaim-klaim tersebut masih
sangat berjarak dengan masyarakat, karena tidak nampak usaha untuk bersama-sama
dengan masyarakat lapisan bawah untuk memberi pendidikan. Akademisi tersebut hanya
mampu menjelaskan persoalan yang ada di masyarakat.
Jhonathan Para‟pak salah satu tokoh elite Toraja sekaligus memiliki peranan
penting dalam masyarakat Toraja. Jabatannya sebagai Rektor dan Profesor di
Universitas Pelita Harapan Jakarta membuat Para‟pak sangat diperhitungkan di dalam
masyarakat Toraja. Istilah yang dilekatkan pada seorang Para‟pak adalah sesepuh Toraja
(Andin 2010: v). Menariknya, dalam konteks budaya dominan di Toraja, Para‟pak justru
mengambil jarak perihal ideologi atau praktik-praktik adat yang dominan. Para‟pak
mengungkapkan:
Saya melihat ada tiga aspek alasan orang Toraja mempraktikkan Rambu
Solo‟ saat ini. Pertama aspek show, kedua aspek warisan, ketiga aspek ingin
menampilkan identitas, dari ketiga aspek tersebut sangat bertentangan
dengan Alkitab. Makanya, pada upacara pemakaman orang tua, saya
menolak untuk memotong kerbau. Yang paling penting adalah, kita
menghargai cinta kasih orang Tua (Para‟pak, wawancara 18/05 2020).
Dari segi ekonomi, Para‟pak tergolong orang yang sanggup memotong kerbau
sebanyak-banyaknya. Alih-alih mendukung praktik adat dengan pemotongan sebanyak
mungkin seperti kerbau dan babi, Para‟pak justru mengambil sikap yang berbeda
dengan orang Toraja pada umumnya terkait ritus rambu solo‟. Para‟pak memberikan
alasannya bahwapraktik rambu solo‟ saat ini banyak dipengaruhi oleh tiga aspek tadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
yang sangat ditentang dalam kekristenan. Karena itu, upacara kematian orang tuanya,
dibuat menjadi sesederhana mungkin.
Saya tidak menginginkan ada tiga aspek tersebut dalam rambu solo‟ orang
tua, memang ada kerbau yang dibawa oleh kerabat dari luar kota, namun
saya sumbangkan untuk gereja dan sekolah (Para‟pak, wawancara 18/05
2020).
Tindakan Para‟pak memang sangatlah berbeda dengan masyarakat secara umum.
Alasan utamanya menolak melakukan ritus rambu solo‟ sangat dipengaruhi oleh
ideologi kekristenan. Bahkan ada aspek yang menekan orang-orang Toraja untuk
melakukan hal-hal negatif, seperti kesombongan, dan memunculkan konflik dalam
keluarga atas perebutan harta warisan akibat dari pembagian yang tidak adil.112
Sikap dari Para‟pak ini, memang bisa dikategorikan sebagai perlawanan,
namun cenderung berpihak pada kelas penguasa, karena berada pada lingkaran elite.
Ini ditandai dengan keterlibatannya dalam dunia bisnis dan sebagai pemegang saham
hotel terbesar di Toraja yaitu hotel heritage dan pernah menjabat sebagai komisaris
Matahari Departemen Store, dan tawaran perubahan mewah Lippo Karawaci
(Aditjondro 2010, 82,113). Peluang memang tetap ada, misalnya ideologi kekristenan
menjadi salah satu peluang melawan situasi hegemonik di Toraja. Akan tetapi,
semangatnya perlu ditransformasi dalam rangka membela para kelas-kelas yang
terhegemonik.
Pengalaman subjektif Jhonathan Para‟pak memang memiliki kesamaan dengan
perantau Petrus Patola. Keduanya sangat dipengaruhi soal keyakinan modern
(kekristenan). Artinya, peluang untuk menyatukan mereka sangat mungkin dengan
112
Pembagian warisan didasari jumlah pengurbanan kerbau pada ritus kematian, siapa lebih
banyak mengurbankan otomatis mendapatkan warisan yang banyak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
menggunakan ideologi Kristen, namun dengan catatan bahwa tindakan didasari untuk
melawan kelas penguasa.
D. Perlawanan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI)
Masa‟ massikolah tallung bulan ri, nala ma‟ jago-jago (sekolah hanya tiga bulan,
namun sok tahu) ungkapan ini sering terdengar dari mulut masyarakat Toraja yang
merasa geram ketika pendeta aliran Pantekosta melarang aktivitas atau praktik-praktik
ritual di Toraja. Aliran Pantekosta memang kelompok minoritas di Toraja. Mereka
menolak pandangan praktik-praktik ritual dengan berbagai alasan. Saya mengulas
pengalaman subjektif dari pendeta GPdI sebagai aktor dalam melakukan perlawanan
terhadap praktik-praktik yang terhegemoni oleh wacana tongkonan.
Terdapat beberapa aliran Pantekosta di Toraja, seperti Gereja Pantekosta di
Indonesia (GPdI), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Bethel Tabernakel (GBT),
Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Gereja Segala Bangsa (GESBA), Gereja
Kerapatan Pantekosta (GKP), dan Gereja Kibaid.113
Aliran Pantekosta tersebut tidak
semuanya secara tegas menolak praktik-praktik ritual di Toraja. Beberapa di antaranya
yang menonjol adalah dua gereja, yaitu GPdI dan GBT. Itulah alasan saya memilih
GPdI untuk membicarakan wacana alternatif terhadap hegemoni tongkonan. Selain itu
GPdI adalah salah satu Gereja tertua di Toraja. Dengan demikian, pasti telah banyak
menghadapi konteks sosial budaya di Toraja.
Aliran Pantekosta di Indonesia, dibawa oleh dua keluarga keturunan Belanda
(Cornelis Groesbeek, Dirkrichard Van Klaveren) dari Seattle, Amerika pada tahun
1920. Dalam perkembangannya, mereka tersebar di seluruh Indonesia dengan cepat,
bahkan termasuk dalam kategori aliran yang kuat di Indonesia (Supatra 2019: 16).
113
Frans Patan, “Suatu Studi Kritis Teologis Terhadap Upacara Rambu Solo‟ Pada Masyarakat
Toraja Kristen,” STT Bethel Indonesia (2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Dalam lingkup Toraja, GPdI masuk pada tahun 1949 dan saat ini telah tersebar
sebanyak 140 gembala sidang (jemaat) di kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara
(Pakan, wawancara 18/05/2020). Ini sangat kecil jumlahnya bila dibandingkan dengan
Gereja Toraja. Saat ini saja ada 4.013 keluarga yang terdaftar sebagai anggota Gereja
Toraja di dua kabupaten tersebut.114
Gambar.15 Gedung Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Bukit Sion, Rantepao.
Fakta GPdI sebagai kelompok minoritas di Toraja sangat terlihat, Gereja-gereja
GPdI di setiap kampung memiliki anggota jemaat dalam jumlah sedikit. Ini tentu juga
dikarenakan ajaran-ajaran yang tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang di Toraja.
Selain itu, dibandingkan dengan Gereja Toraja, aliran Pantekosta tidak menggunakan
simbol-simbol adat Toraja. Terbukti gedung-gedung gereja mereka terlihat dalam
berbentuk modern.
Dalam semangat ajaran, GPdI memiliki aturan yang sangat ketat akan budaya.
Dibandingkan dengan Gereja Toraja yang terus mencari jalan-jalan negosiasi Injil dan
budaya. Hal demikian membuat Gereja Toraja banyak memikirkan simbol dan praktik
untuk kembali ditransformasi menjadi sebuah pemaknaan baru. Alih-alih semangat
kontekstualisasi, Gereja Toraja terjebak dalam persoalan baru, karena tidak bisa
114
https://bps-gerejatoraja.org/statistik_jemaat/data, diakses pada 20-Mei-2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
mengontrol tindakan-tindakan umat dalam semangat ritual, misalnya jumlah
pemotongan kerbau dibebaskan dalam rambu solo‟. Ada pernyataan tokoh-tokoh
pendeta gereja Toraja terhadap ajaran GPdI “Inang kamu tu tongan! apa la tang ki bela
mo” Artinya, “memang kalianlah (GPdI) yang melakukan tindakan benar! (sikap
konsisten menolak budaya) sedangkan kami tidak mampu lagi untuk itu, karena sudah
mengakar di jemaat.” Julianus Pakan sebagai pendeta sangat tegas menerapkan aturan
aliran gerejanya, walaupun di tengah-tengah keadaan yang dominan:
Kami tidak akan mencampuri urusan aliran-aliran lain dalam membenarkan
praktik-praktik ritual yang ada di Toraja, namun bagi kami GPdI aturan
tersebut sudah menjadi baku (Pakan, wawancara 18/05/2020).
Terlihat ajaran yang baku dapat menjadi modal kekuatan karena hal tersebut
menyangkut keyakinan. Ada beberapa poin yang diutarakan oleh Pdt. Junus Padang
terkait dengan penolakan GPdI terhadap budaya Toraja di dalam praktik ritual kematian:
Pertama, faktor keyakinan dalam Rambu Solo‟ tersebut bersumber pada
Aluk Todolo karena ujung-ujungnya untuk mayat (berhala). Contohnya
waktu bapak saya meninggal pada tahun 1978, saya langsung bergegas
menuju kampung, namun dalam perjalanan saya tidak membeli persedian
makanan, karena lapar saya berinisiatif untuk menyembelih ayam yang ada
di rumah, namun tante saya marah lalu mengatakan, oo pandita la mu
mantunu manuk ora? na ambemu jo banua (Oo Pendeta, kenapa mau
memotong ayam? Padahal jenazah bapakmu ada di atas rumah).115 Alasan
saya memotong ayam, adalah murni untuk konsumsi. Tidak lebih. Dalam
embel-embel pemilihan kerbau pun, banyak dipengaruhi oleh kebiasaan
Aluk Todolo, jadi itu tidak murni konsumsi, malah jadi penyembahan
berhala. Kedua, adanya unsur kesombongan. Allah sangat membenci
kesombongan. Ketiga persoalan pembagian harta (warisan), jadi ketika
anak-anak almarhum banyak memotong kerbau di ritual Rambu Solo‟, maka
dia berhak mendapatkan harta yang banyak, sebaliknya ketika tidak
memotong kerbau, maka tidak mendapatkan apa-apa. Jadi ada unsur
ketidakadilan disitu. Keempat, yaitu utang (umpaden tae‟na). Misalnya,
tanpa diminta, saya membawakan kerbau belang ke besan saya saat orang
tuanya meninggal, sehingga besan saya juga harus membawakan kerbau
115
Menurut Kepercayaan Orang Toraja (Aluk Todolo), ayam tidak boleh dikurbankan dalam
ritual kedukaan, karena ayam adalah hewan yang dikurbankan di dalam ritual rambu tuka‟
(upacara syukuran).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
belang saat ada ritual kematian keluarga dekat saya. Beban ini turun
temurun, sampai pada keturunannya (Pakan, wawancara 18/05/2020).
Dasar argumentasi Padang memang sangat dominan dipengaruhi oleh paham atau
keimanan dari aliran Pantekosta. Mereka memang sangat tegas dalam penerapan-
penerapan ajaran tersebut. Saya pernah mengikuti ibadah penghiburan di kampung
Sereale, Toraja Utara, yang dipimpin oleh pendeta GPdI. Ketika pendeta tersebut
datang, ia melihat ada babi di halaman kedukaan. Tanpa berfikir panjang pendeta
tersebut langsung pulang dan tidak ingin melayani ibadah penghiburan.
Aliran GPdI sebagai salah satu kelompok minoritas sangat dipengaruhi oleh
ideologi kekristenan untuk menolak budaya Toraja. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa aliran ini menolak bukan karena keberpihakan pada masyarakat
lapisan bawah, tetapi keterkaitan ritus agama leluhur yang masih dianggap ada pada
budaya Toraja. Secara otomatis, mereka akan menolak budaya pinggiran yang masih
berkaitan dengan agama leluhur. Hal ini malah membuat hegemoni agama terkonstruksi
di dalam masyarakat, dan menjadi masalah tersendiri.
E. Rangkuman
Menghidupkan counter-hegemony bukanlah perkara mudah, karena gerakannya lebih
mengedepankan sisi kultural bukan kekerasan. Visi tersebut juga membutuhkan waktu
yang panjang agar tercapai, karena harus membujuk dan menyadarkan masyarakat agar
paham agenda kelas penguasa (dari common sense menjadi good sense). Hegemoni
wacana tongkonan bukan sesuatu yang tak dapat dibendung, faktanya ada individu dan
kelompok menolak tunduk.
Saya melihat bahwa setiap kelompok atau individu yang mencoba melawan
hegemoni wacana tongkonan memiliki berbagai macam alasan, namun tujuan dari bab
ini hanya ingin mengeksplorasi apakah ada perlawanan yang dapat memunculkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
wacana alternatif atas hegemoni tersebut. Pada kenyataannya, perlawanan memang ada
dari beberapa kelompok dan individu, namun tidak semua punya keberpihakkan pada
kelompok yang didominasi.
Dari uraian diatas, tampak bahwa aliran Pantekosta, Jhonatan Para‟pak, Petrus
Patola pada dasarnya menolak karena ideologi kekristenan. Namun, saya melihat ini
bukan sebagai agen yang dapat merumuskan wacana alternatif atas hegemoni wacana
tongkonan. Dalam hal ini muncul hegemoni baru yaitu agama kekristenan, sedangkan
kelompok agama suku justru terpinggirkan. Lalu pendekatan yang ditawarkan oleh
Oktoviandi masih sangat elit, dan berjarak pada masyarakat, bahkan terjebak pada
relativisme, karena menawarkan pandangan secara bebas untuk ditafsirkan berdasarkan
perspektif tiap orang. Karena itu, saya melihat peluang dalam mengkonstruksi counter-
hegemony lebih dekat pada Tino Saroengallo yang sosoknya dapat dikategorikan sebagai
agen intelektual organik. Refleksi atas pengalaman perlawanan tersebut, membuat Tino
tidak hanya sebatas menolak, tetapi ada usaha memberi pendidikan kepada masyarakat
Toraja melalui tulisan dan film dokumenter.
Kesimpulannya, hegemoni wacana tongkonan tidak sepenuhnya mempengaruhi
kehidupan masyarakat Toraja, namun ada saja perlawanan dari kelompok dan individu
tertentu. Dari ketiga tingkatan hegemoni (integral, decadents, minimum), hegemoni
wacana tongkonan masuk dalam kategori decadents hegemony, karena pada
kenyataannya tidak semua masyarakat setuju dengan istilah adat di Toraja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya, wacana identitas budaya di dalam suatu masyarakat merupakan
gambaran umum yang terpatri melalui simbol-simbol dan prosesnya tidak luput dari
usaha konstruksi kelompok tertentu. Oleh sebab itu, identitas ke-Toraja-an yang
diidentikkan dengan tongkonan merupakan usaha konstruksi dari kelompok
berkepentingan. Secara politis, aktor-aktor dari kelas penguasa menggunakan klaim-
klaim kemurnian adat sehingga dapat secara mudah mempengaruhi masyarakat. Alhasil,
representasi identitas budaya tersebutmenghegemoni dan meminggirkan kelompok-
kelompok minoritas.
Penelitian ini, didasari keresahan saya atas representasi identitas budaya Toraja
melalui tongkonan padahal tongkonan adalah simbol budaya kelompok bangsawan
bukan simbol budaya secara umum. Wacana ini direproduksi secara terus menerus
sejalan dengan perkembangan zaman maka tidak heran menghegemoni di dalam
masyarakat. Untuk menggumulinya secara metodologis, saya mengajukan tiga
pertanyaan penting: (1) Apa saja bentuk-bentuk hegemoni dari wacana tongkonan? (2)
Bagaimana proses ideologisasi wacana tongkonan, sehingga menjadi hegemoni di
dalam masyarakat Toraja? (3) Bagaimana membicarakan identitas ke-Toraja-an secara
inklusif? Dari ketiga pertanyaan tersebut, saya secara metodologis menggunakan
analisis wacana dibantu dengan teori hegemoni Gramsci.
Mitologi Torajamengisahkan bahwa tongkonan adalah rumah yang turun dari
langit dengan manusia pertama, bersamaan dengan itu para budak juga telah ada dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
turun dari langit. Secara tidak langsung, mitologi tersebut mengklaim bahwa budak
sudah ada sejak manusia pertama. Wacana tersebut tersebar dalam elemen-elemen
penting masyarakat, seperti di pemerintahan, gereja, danindustri pariwisata. Karena itu
tidak heran jikalau wacana tongkonan sebagai representasi identitas Torajatersebar
cepat dan masif sebab para bangsawan menguasai elemen penting di dalam masyarakat
Toraja.
Saya tertarik untuk melihat bagaimana proses tertanamnya ideologi tersebut di
dalam masyarakat tidak dipermasalahkan oleh orang-orang Toraja (common sense).
Alhasil, saya menemukan adanya usaha politis dalam merumuskan wacana tongkonan
untuk menguasai kehidupan masyarakat Toraja.
Usaha konstruksi kelompok bangsawan tidak lepas dari kepentingan ekonomi
politik. Saya menemukan tiga poin penting dalam proses ideologisasi tersebut. Pertama,
adanya kepentingan ekonomi politik yang sangat kuat di dalam usaha konstruksi
tersebut. Kedua,saya melihat mitologi sebagai salah satu ideologi yang merupakan
konstruksi para bangsawan untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Misalnya, mereka
mengasosiasikanbudak dengan tana‟kua-kuapadahal istilah perbudakan baru muncul
ketika ada pertemuan dengan masyarakat pesisir yang lebih dulu mengenal istilah
budak. Bisadidugaini visi dari kelas bangsawan untuk menekan masyarakat lapisan
bawah. Ketiga, adanya kepentingan industri pariwisata. Melalui industri pariwisata,
tongkonan dan rambu solo‟ menjadi ikon Toraja. Tongkonan dan rambu solo‟ menjadi
jualan pariwisata sebagai sesuatu yang unikdalambentukminiatur, souvenir, iklan dan
poster-poster yang menggambarkan tongkonan. Hal demikian membuat saya
memikirkan apakah ada perlawanan orang-orang Toraja?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Hegemoni wacana tongkonan memang real terjadi di Toraja, argumen tersebut
berdasarkan pengolahan data dan analisis terhadapnya. Walaupun hegemoni tersebut
sangat kuat tetapi ada saja kelompok atau individu yang tidak setuju, menjaga jarak, dan
melawan. Dari pengalaman mereka, saya menemukan bahwa ada motivasi tertentu
untuk tidak sepakat.Misalnya Petrus Patola, Jhonatan Para‟kan, dan kelompok
aliranGerejaPantekosta menolak hegemoni tersebut dengan alasan kekristenan.
Sedangkan, Oktoviandi sebagai akademisi menolak hegemoni dengan menggunakan
perspektif yang terbuka. Kelemahannya, perspektif tersebut masih sangat berjarak di
dalam masyarakat karena aksesnya hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dari
beberapa sumber yang ada, saya tidak menemukan adanya counter hegemony yang
luasdi masyarakat karena hal tersebut membutuhkan proses yang panjang. Saya hanya
menemukan sosok intelektual organik dalam masyarakat Toraja yaitu Tino Saroengallo.
Pengalaman tersebut dituliskan dalam buku berjudul Ayah Anak Beda Warna: Anak
Toraja Kota Menggugat (2010). Melalui pengalaman mengikuti upacara adat kematian,
Tino merasa diberatkan dengan embel-embel adat. Menurutnya upacara tersebut sudah
tidak lagi relevan dibicarakan saat ini. Lalu ia tidak hanya menuliskan pengalamannya,
namun ia menggunakan film untuk mendidik masyarakat Toraja (They Live to Die).
Adanya perlawanan hegemoni wacana tongkonan dari beberapa kelompok dapat
menjawab bahwa hegemoni tersebut tidak sepenuhnya berjalan (integral
hegemony).Berdasarkan klasifikasi hegemoni menurut Gramsci saya melihat bahwa tipe
hegemoni wacana tongkonan adalah decadent hegemony. Walaupun hegemoni wacana
tongkonan tampaknya kuat, masyarakat lapisan bawah menolak ideologi dominan dari
kelas penguasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Melakukan penelitian yang didasari ilmu kajianbudaya merupakan sebuah
tantangan baru. Simbol tongkonan yang dahulu saya agungkan sebagai ikon identitas
ke-Toraja-an harus ditinggalkan, dan melihat kembali apa yang dulusaya anggap benar
sebagai orang Toraja. Hal demikian membuat saya sedikit menertawakan apa yang saya
pikirkan dahulu sebagai orang Toraja.Saya melihat tongkonan menjadi simbol budaya
yang sangat diagungkan karena adanya konstruksi di baliknya. Hal tersebut terjadi
seiring dengan perkembangan zaman, melalui ketersediaan instrumen-canggih canggih
manipulasi budaya menjelma dengan bentuk-bentuk baru.
Belajar dari penelitian ini, berdasarkan pisau analisis teori dari Gramsci bahwa
representasi identitas ke-Toraja-an yang terkait dengan tongkonan saat ini adalah sebuah
konstruksi dari kelompok berkepentingan. Konstruksi identitas tersebut mengokohkan
status quo kelas bangsawan. Oleh sebab itu, representasi identitas melalui tongkonan
menyingkirkan simbol budaya para budak. Alat ideologis yang digunakan adalah
mitologi penciptaan di dalam kepercayaan masyarakat Toraja bahwa pembedaan
bangsawan dan budak diciptakan dari langit. Wacana ini membentuk kesadaran
masyarakat sehingga tersebar dalam praktik kehidupan sehari-hari (agama, ekonomi,
politik).
Hegemoni wacana tongkonan tidak melulu disebabkan oleh adat. Namun, saya
menemukan ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pada situasi modern di dalam
masyarakat Toraja saat ini yaitu kepentingan ekonomi politik. Kepentingan tersebut
dapat terlihat dalam praktik-praktik demokrasi di Toraja menggunakan ikon tongkonan.
Secara ekonomi konstruksi identitas ini banyak menguntungkan kelompok-kelompok
tertentu melalui industri pariwisata. Karena itu hegemoni wacana tongkonan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
membentuk kesadaran masyarakat Toraja tidak hanya ditentukan oleh faktor tunggal
tetapi hal ini diakibatkan oleh kompleksitas persoalan.
Sekuat-kuatnya hegemoni wacana tongkonan di dalam masyarakat Toraja
namun bukan berarti tidak ada perlawanan dari yang terhegemoni. Faktanya ada orang
Toraja dari kelompok atau individu (perantau, akademisi, aliran pentakosta) yang
menolak wacana tersebut. Dari kelompok individu tersebut, saya menemukan satu
sosok intelektual organik yaitu Tino Saroengallo yang melakukan penyadaran kepada
masyarakat melalui pendidikan (film dan tulisan) untuk berfikir kembali akan apa yang
menjadi pegangan masyarakat selama ini (adat). Hal ini dapat menjadi dasar
argumentasi saya bahwa hegemoni wacana tongkonan di dalam masyarakat Toraja tidak
sepenuh berjalan sempurna karena ada perlawanan dari berbagai kelompok.
B. Rekomendasi
Saya sadar bahwa penulisan tesis ini bukan merupakan solusi untuk menyelesaikan
persoalan hegemoni wacana tongkonan di Toraja. Namun, paling tidak saya dapat
memberi sedikit warna terhadap kompleksitas persoalan di Toraja kepada peneliti
selanjutnya dalam membicarakan kebudayaan Toraja secara kritis. Karena itu, menurut
saya, rekomendasi penelitian selanjutnya sekiranya dapat menelusuri lebih dalam lagi
terkait potensi-pontensi gerakan sosial baru dalam membangun counter-hegemony. Lalu
juga sangat penting untuk melihat bagaimana orang Toraja menegosasikan identitasnya
di tengah-tengah hegemoni wacana tongkonan. Sekiranya juga melalui tulisan ini, dapat
menjadi pertimbangan para pemangku adat untuk dapat membicarakan kembali apa
yang saat ini disebut sebagai „adat‟ di Toraja, karena adat dibuat untuk kemanusiaan
bukan manusia untuk adat. Jikalau adat telah memberatkan dan merugikan banyak pihak
sekiranya memang perlu untuk kembali dibicarakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Daftar Pustaka
Adams, Kathleen M. Art as Politics: Re-Crafting Identities, Tourism, and Power in
Tana Toraja, Indonesia. Southeast Asia--politics, meaning, and memory.
Honolulu: University of Hawai‟i Press, 2006.
Aditjondro, George J. Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja.
Yogyakarta: Gunung Sopai, 2010.
Andin, Michael, ed. Perantau Toraja: Bersama Membangun Toraja. Jakarta: PAPT,
2010.
Bigalke, Terance W. Sejarah Sosial Tana Toraja. Yogyakarta: Ombak, 2016.
Bocock, Robert. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta:
Jalasutra, 2007.
Der Veen, H. Van. The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja. Springer Netherlands,
1965.
End, Th. van den. Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Toraja: 1901-1961.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Accessed June 21, 2019.
http://books.google.com/books?id=2zAxAAAAMAAJ.
Eric Crystal. “Myth, Symbol and Function of The Toraja House.” TDSR I (1989): 7–17.
Femia, Joseph V., and Antonio Gramsci. Gramsci‟s Political Thought: Hegemony,
Consciousness and the Revolutionary Process. Oxford: Clarendon Pr, 1981.
Frans Pangrante. “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan
Kapitalisme.” Retorik 5, no. Agama dan Praktik Hidup Sehari-hari (January
2017).
Gimenez, Martha E. “With a Little Class: A Critique of Identity Politics.” Ethnicities 6,
no. 3 (September 2006): 423–439. Accessed May 10, 2020.
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1468796806068580.
Gramsci, Antonio. Selections From The Prison Notebooks. Translated by Quintin
Hoare and Geoffrey Nowell Smith. London: Lawrence & Wishart, 1971.
Haryanto. Elit, Massa, Dan Kekuasaan : Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta:
PolGov, 2017.
Haryatmoko. Critical Discource Analysis (Analisis Wacana Kritis): Landasan Teori,
Metodologi Dan Penerapan. Yogyakarta, Indonesia: Rajagrafindo, 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Hawley, James P. “Antonio Gramsci‟s Marxism: Class, State and Work.” Social
Problems 27, no. 5 (June 1980): 584–600. Accessed May 31, 2020.
https://academic.oup.com/socpro/article-lookup/doi/10.2307/800198.
HP, Suradi, Sutrisno Kutoyo, Masjkuri, Wahyuningsih, and TA Sukrani. Sejarah
Taman Mini Indonesia 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradsi Al Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1989.
Jones, Steve. Antonio Gramsci. 1. publ. 2006, reprinted 2007, 2008. Routledge critical
thinkers. London: Routledge, 2008.
Kabanga‟, Andarias. Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen. Cet.
1. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan
Adikarya Ikapi dan the Ford Foundation, 2002.
Kobong, Th. Injil dan tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008.
Kristanto. “SIMBOL MANTAA DUKU‟: Suatu Kajian Kritis Tentang Simbol Mantaa
Duku‟ Pada Upacara Rambu Solo‟ Di Tana Toraja.” Kinaa Jurnal Teologi Vol 1
No 1 (2017) (n.d.).
Kurnia Sari, Nita. “Dewan Tourisme Indonesia Sebagai Penggerak Kepariwisataan
Nasional Tahun 1957-1961.” Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah Vol 1, No 2
(2013).
Lears, T. J. Jackson. “The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities.”
The American Historical Review (June 1985). Accessed May 31, 2020.
https://academic.oup.com/ahr/article/90/3/567/77990/The-Concept-of-Cultural-
Hegemony-Problems-and.
Liku-Ada‟, Pr, John. Aluk To Dolo Menantikan Kristus: Ia Datang Agar Manusia
Mempunyai Hidup Dalam Segala Kelimpahan. Yogyakarta: Gunung Sopai,
2014.
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx dari sosialisme utopis ke perselisihan
revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Meillassoux. Marx, kapital & antropologi: kumpulan tulisan terpilih antropologi
Marxis, 2015.
Nooy-Palm, Hetty. The Sa‟dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. New
York: Springer, 2014. Accessed May 9, 2020.
http://link.springer.com/openurl?genre=book&isbn=978-94-017-7152-8.
Pangrante, Frans. “Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam
Tradisi Pengorbanan Kerbau Pada Ritual Pemakaman Toraja.” Sanata Dharma,
2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Patan, Frans. “Suatu Studi Kritis Teologis Terhadap Upacara Rambu Solo‟ Pada
Masyarakat Toraja Kristen.” STT Bethel Indonesia (2019).
Patria, Nezar, and Andi Arief. Antonio gramsci negara & hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Said, Abdul Azis. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan Perubahan
Aplikasinya Pada Desain Modern. Tegalrejo, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Saroengallo, Tino. Ayah Anak, Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat.
Yogyakarta: Tembi, 2008.
Simon, Roger, Kamdani, Imam Baehaqi, and Mansour Fakih. Gagasan-gagasan politik
Gramsci. Yogyakarta, Indonesia: INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
2004.
Strine, Mary S. “Critical Theory and „Organic‟ Intellectuals: Reframing the Work of
Cultural Critique.” Communication Monographs 58, no. 2 (June 1991): 195–
201. Accessed May 26, 2020.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03637759109376223.
Supatra, Hendarto. “MENGENAL PENTAKOSTALISME DI INDONESIA.” Jurnal
Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Musik
Gereja 3, no. 2 (November 22, 2019): 11–24. Accessed May 20, 2020.
http://journal.stt-abdiel.ac.id/JA/article/view/97.
Tallulembang, Bert, ed. Sumbangan Pemikiran Toraya Ma‟ Kombongan. Yogyakarta:
Gunung Sopai, 2013.
Tammu, J., and H Van der Veen. Kamus Toradja-Indonesia. Rantepao: Jajasan
Perguruan Kristen Toradja, 1972.
Tangdilintin. Adat Dan Kebudayaan Toraja. Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1976.
Volkman, Toby Alice. “Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s.”
American Ethnologist 11, no. 1 (February 1984): 152–169. Accessed May 16,
2019. http://doi.wiley.com/10.1525/ae.1984.11.1.02a00090.
Yamashita, Shinji. “Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism,
and Television among the Toraja of Sulawesi.” Indonesia 58 (October 1994):
69. Accessed June 18, 2019.
https://www.jstor.org/stable/3351103?origin=crossref.
“Analysis of Social Capital to the Local-Striped Buffalo Marketing in Indigenous Tribe
of Toraja.” AMERICAN-EURASIAN JOURNAL OF SUSTAINABLE
AGRICULTURE (2019). Accessed May 9, 2020.
http://www.aensiweb.net/AENSIWEB/aejsa/aejsa/2019/April/92-99(11).pdf.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Sumber Internet:
https://www.mongabay.co.id/2014/11/18/32-komunitas-adat-di-toraja-petakan-wilayah-
bersamaan
https://kalimantan.suaraindonesia.co.id/read/1051/20180817/200849/404.html
https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/tana-toraja-decade-
tourism
https://foto.kompas.com/photo/read/2018/11/9/154175241700f/1/Rambu-Solo-Upacara-
Pemakaman-Khas-Toraja-yang-Tersohor
https://bps-gerejatoraja.org/artikel/single/perjumpaan-kekristenan-dengan-ritus-rambu-tuka-dan-
rambu-solo-di-toraja-dari-perspektif-teologi-biblika/16
https://tirto.id/kerbau-adalah-barang-mahal-di-tana-toraja-cQf3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI