Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

112
i Hegemoni Wacana Tongkonan di Toraja Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh: Nama: Admadi Balloara Dase NIM: 186322001 Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

Page 1: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

i

Hegemoni Wacana Tongkonan di Toraja

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora

di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Nama: Admadi Balloara Dase NIM: 186322001

Magister Kajian Budaya Universitas Sanata

Dharma 2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

vi

Kata Pengantar

Kurre Sumanga’ Langngan Puang Matua (Terima kasih kepada Tuhan).

Berpetualang di MKB adalah pengalaman menarik buat saya secara pribadi

karena boleh bertemu dengan banyak peristiwa dan pelajaran, baik itu teori-teori yang

membutuhkan tenaga ekstra untuk memikirkannya, maupun teman-teman baru dari

berbagai latar belakang keilmuan. Momen tersebut banyak memberi pelajaran bagi saya

dalam proses studi. Hubungan mahasiswa dan dosen tidak kaku, peran staf dalam hal

administrasi menjadi salah faktor yang membantu saya menyelesaikan studi di MKB.

Saya sangat berterima kasih kepada Rm. Benedictus Harry Juliawan, Ph.D., SJ

sebagai pembimbing akademik saya selama berproses di MKB. Sosoknya menjadi

inspirasi bagi saya sebagai seorang akademisi yang muda dan berani. Selama proses

penulisan tesis, saya banyak menemukan insight atas kebuntuan dalam menulis setelah

berdiskusi dengan Rm. Benedictus Harry Juliawan. Saya juga berterima kasih kepada

Dr. Tri Subagya yang mengarahkan saya memetakan data-data penelitian di lapangan.

Tak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada Pong Langit sekeluarga atas

dukungannya selama proses penelitian.

Teruntuk teman-teman mahasiswa MKB, saya mengucapkan terima kasih atas

kebersamaan yang boleh terjalin selama proses studi: Primus, Hardy, Brito, Arga, ibu

Dharma dan seluruh mahasiswa MKB angkatan 2018. Terima kasih juga kepada teman-

teman seperjuanganku di Yogyakarta, secara khusus penghuni kontrakan papi (Ario,

Agung, Valdy, Ogy) yang boleh saling support di tanah rantau. Kepada sahabat-

sahabatku alumni STAKN Toraja yang juga sedang melanjutkan studi magister di tanah

rantau (Dina, Ones, dan Ayub) terima kasih telah berbagi cerita dan bisa saling

menguatkan selama proses studi.

Tesis ini saya persembahkan kepada segenap keluarga besar Dase: Agustinus

Dase (ayah) dan Dabita Palino (Ibu), Ario Dase (Adik), dan Tulak (Adik). Terima kasih

telah mendukung saya secara moril dan materil dalam menyelesaikan studi di MKB.

Juga tak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada kaboro’ku, Dina Datu Paonganan

yang setia menemani dalam suka maupun duka selama proses studi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

vii

Kiranya tesis ini dapat memberi sumbangsi pemikiran bagi setiap orang Toraja

yang ada di kampung (Tana Toraja dan Toraja Utara), maupun bagi setiap orang Toraja

di perantauan yang tersebar di seluruh dunia.

Admadi Balloara Dase

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

viii

ABSTRAK

Masyarakat Toraja sangat identik dengan simbol tongkonan sebagai rumah adat.

Namun, tongkonan tidak hanya dipahami sebagai rumah, melainkan menjadi pusat

kekuasaan para bangsawan. Hal ini memberi pengaruh ke dalam praktik kehidupan

sehari-hari orang Toraja, sehingga meminggirkan simbol budaya kaum budak. Artinya,

secara sederhana representasi identitas melalui tongkonan mengakibatkan budaya di

Toraja menjadi homogen.

Penelitian ini memilih tongkonan sebagai objek kajian. Saya menggunakan teori

hegemoni Gramsci dan analisis wacana kritis untuk melihat wacana tongkonan secara

historis. Setelah itu saya menelusuri wacana-wacana alternatif melalui perlawanan dari

kelompok dan individu di Toraja. Dengan demikian, dapat membicarakan identitas

ketorajaan tanpa melanggengkan hegemoni wacana tongkonan.

Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, saya melihat representasi identitas

ketorajaan (tongkonan) merupakan konstruksi dari kelas bangsawan yang bertujuan

mengokohkan status quo. Alat ideologis yang digunakan adalah mitologi penciptaan

yang mendikotomikan bangsawan dan budak yang telah ada dari langit. Selain itu,

faktor yang mempengaruhi masyarakat Toraja dalam situasi modern yaitu kepentingan

ekonomi politik. Kepentingan tersebut dapat terlihat dalam praktik-praktik demokrasi di

Toraja menggunakan ikon tongkonan. Secara ekonomi konstruksi identitas ini banyak

menguntungkan kelompok-kelompok tertentu melalui industri pariwisata. Karena itu,

hegemoni wacana tongkonan yang membentuk kesadaran masyarakat Toraja

disebabkan oleh kompleksitas persoalan (adat, ekonomi, dan politik).

Faktanya memang ada orang Toraja (perantau, akademisi, aliran pentakosta) yang

menolak hegemoni wacana tongkonan. Namun, perlawanan tersebut belum sepenuhnya

dikategorikan sebagai counter-hegemony. Dengan kata lain, temuan saya

mengindikasikan adanya perlawanan dari individu yang masih tergolong langkah awal

menuju counter-hegemony (agen intelektual organik). Hal ini dapat menjadi dasar

argumentasi saya bahwa hegemoni wacana tongkonan di dalam masyarakat Toraja tidak

berjalan sempurna karena ada perlawanan dari berbagai pihak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

ix

ABSTRACT

The Torajan people are identical with the tongkonan symbol as a traditional house.

However, tongkonan is not only understand as a house, but also the center of the power

of the nobility. This influences the daily life practices of the Torajan people, thus

marginalizing the cultural symbols of the slaves. That is a simple representation of

identity through tongkonan as result of a homogeneous culture in Toraja.

This study choose tongkonan as the object of study. I use Gramsci's hegemony

theory and critical discourse analysis to look for historical tongkonan discourse. After

that, I explore alternative discourses through resistance from groups and individuals in

Toraja. Thus, it can discuss the identity of youth without perpetuating the hegemony of

the tongkonan discourse.

Based on Gramsci's hegemony theory, I saw the representation of Torajan identity

(tongkonan) as a construction of the aristocratic class aimed at strengthening the status

quo. The ideological tool used is the creation of mythology which has dichotomized the

aristocrats and slaves who already existed from the sky. Besides, the element that

influences the Torajan community in the modern situation are political-economic

interests. These interests can be seen in democratic practices in Toraja using the

tongkonan icon. Economically, this identity construction has benefited certain groups

through the tourism industry. Therefore, the hegemony of the tongkonan discourse that

shapes the awareness of the Torajna people is caused by the complexity of the problem

(customary, economic, and political).

The fact is there are Torajans (nomads, academics, Pentecostals) who reject the

hegemony of the tongkonan discourse. However, this resistance has not yet been fully

categorized as a counter-hegemony. In other words, my findings indicate the existence

of resistance from individuals who are still classified as the first step towards a counter-

hegemony (organic intellectual agent). This could be the basis of my argument that the

hegemony of the tongkonan discourse in the Toraja community did not work out

perfectly because there was resistance from various parties.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

x

Daftar Isi

Halaman

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ..................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ iv

PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

ABSTRAK .............................................................................................................. viii

ABSTRACT ............................................................................................................ ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................. 7

D. Manfaat Penulisan ........................................................................................... 7

E. Kajian Pustaka ................................................................................................. 7

1. Sosio-Histori Masyarakat Toraja .............................................................. 7

2. Penelitian tentang Tongkonan ................................................................... 9

F. Kerangka Teori ................................................................................................ 11

1. Kritik Gramsci atas Marxisme Ortodox .................................................... 12

2. Hegemoni Menurut Gramsci ..................................................................... 14

3. Counter-hegemony .................................................................................... 18

G. Metode Penelitian............................................................................................ 20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

xi

1. Sumber Primer .......................................................................................... 21

2. Sumber Sekunder ...................................................................................... 22

H. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 22

I. Skema Penulisan .............................................................................................. 23

BAB II : Bentuk-bentuk Hegemoni Wacana Tongkonan

A. Pengantar ......................................................................................................... 24

B. Mitologi: Genealogi dan Kosmologi Orang Toraja ........................................ 24

1. Manusia Pertama Orang Toraja ................................................................ 24

2. Kosmologi Orang Toraja dan Tongkonan ................................................. 28

C. Tongkonan, Elite Lokal, dan Elite Politik ...................................................... 31

1. Elite Lokal dari Masa Pra-Kolonial sampai Masa Kolonial ..................... 31

2. Elite Lokal di Masa Pasca-Kolonial ......................................................... 33

D. Tongkonan dan Gereja .................................................................................... 37

1. Sejarah Kekristenan di Toraja ................................................................... 38

E. Tongkonan dan Pariwisata .............................................................................. 42

F. Orang Kaya Lama (OKL) vs Orang Kaya Baru (OKB) di Toraja .................. 44

G. Rangkuman ..................................................................................................... 46

BAB III : Tongkonan dan Kapitalisme

A. Pengantar ......................................................................................................... 48

B. Narasi tana’: Sebuah Konstruksi .................................................................... 49

1. Dinamika tana’ di dalam Masyarakat Toraja............................................ 49

2. Oposisi Biner dalam Konstruksi tana’ ...................................................... 53

C. Industri Pariwisata ........................................................................................... 58

1. Tongkonan: Ikon Homogenisasi Budaya .................................................. 58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

xii

2. Rambu Solo’ dan Kemegahannya ............................................................. 63

3. Ekonomi Kerbau ....................................................................................... 69

D. Rangkuman ..................................................................................................... 75

BAB IV: Membicarakan Kembali Identitas Toraja

A. Pengantar ......................................................................................................... 77

B. Kelompok Perantauan: Melanggengkan atau Melawan? ................................ 78

C. Kelompok Akademisi: Berjarak dengan Masyarakat ..................................... 86

D. Perlawanan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) ....................................... 91

E. Rangkuman ..................................................................................................... 94

BAB V: Penutup

1. Kesimpulan ..................................................................................................... 96

2. Rekomendasi ................................................................................................... 100

Daftar Pustaka ........................................................................................................ 101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam bandar udara Sultan Hasanuddin Makassar, pemerintah Sulawesi Selatan

memasang sebuah poster besar. Poster tersebut memperkenalkan identitas suku-suku

besar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, dan Toraja). Suku Toraja sendiri, dikaitkan

langsung dengan gambar rumah adat yang dikenal dengan nama tongkonan.Bahkan,

tongkonan menjadi ikon identitas masyarakat Toraja pada umumnya.

Memang sangat lazim ditemui dalam masyarakat luas (lokal, nasional, dan

internasional), orang-orang selalu mengaitkan identitas suku Toraja dengan tongkonan.

Bahkan, jikalau melihat logo dari dua kabupaten di Toraja, baik kabupaten Tana Toraja

maupun Toraja Utara juga menggunakan simbol tongkonan. Paling tidak, hal ini

menjadi penanda bahwa tongkonan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat

Toraja.

Gambar.1. Dua Tongkonan yang ada di Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

2

Definisi tongkonan sendiri, berasal dari bahasa Toraja yaitu “tongkon” yang

secara harfiah berarti duduk, sehingga dapat diartikan tempat duduk atau tempat tinggal

serumpun keluarga dan dianggap rumah adat berbasiskan keturunan. Sebagaimana

definisi umum tersebut, maka sangat mudah untuk mengetahui dari mana keturunan

masyarakat Toraja, melalui tongkonan.Tongkonan bukan -sekadarshelter, tetapi menjadi

pusat pa‟rapuan (kekeluargaan). Tongkonan menjadi tempat melaksanakan segala

macam ritual adat, bahkan menjadi pusat kebudayaan Toraja. Said (2004), menuliskan

bagaimana simbolisme tongkonan secara visual terpatri melalui ukiran-ukiran, bentuk,

dan peletakan posisi pembangunan rumah dalam perspektif arsitektur. Said juga

mendeskripsikan bagaimana masyarakat Toraja memaknai simbolisme yang ada pada

tongkonan di dalam ritual kematian dan syukuran. Hal ini terlihatpada penentuan arah

mata angin dan bentuk ritual yang akan dilaksanakan. Misalnya, mengadakan upacara

kematian tempatnya di barat tongkonan dan penentuan klasifikasi bentuk ritual macam

apa yang akan dilakukan. Secara historis, Said menjabarkan proses perubahan secara

arsitektur dari yang era klasik sampai modern.1

Kobong (2008) di dalam bukunyaInjil dan Tongkonan menjelaskan dinamika

pertemuan antara Injil dan kebudayaan Toraja. Dari judul tersebut, Kobong secara

metaforis menggunakan istilah tongkonan untuk merujuk kepada kebudayaan Toraja

yang menurutnya sangat berperan penting. Oleh sebab itu, tongkonan tidak bisa

dipahami hanya sebagai rumah, tetapi juga menjadi “bahasa” bagi orang Toraja saat ini.

Beberapa penelitian antropolog, teolog, bahkan arsitek mendeskripsikan

tongkonan yang dimaknai dalam kehidupan sehari-hari, berkaitan dengan aturan, norma,

dan religiusitasmasyarakat Toraja. Tangdilintin (1976) di dalam bukunya Toraja dan

1Abdul Azis Said, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan Perubahan

Aplikasinya Pada Desain Modern (Tegalrejo, Yogyakarta: Ombak, 2004).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

3

Kebudayaannya melihat tongkonan sebagai rumah adat keluarga Toraja yang secara

filosofis dipahami sebagai pusat kekuasaan milik keluarga bangsawaan di Toraja.

Kobong (2008) dalam penelitiannya, mempertegas pentingnya tongkonan dalam

kehidupan masyarakat Toraja karena menjadi pusat kebudayaan orang Toraja. Artinya,

definisi tersebut memberi perhatian besar pada tongkonan karena segala sesuatu yang

terkait dengan kehidupan orang Toraja diatur di tongkonan (kepemimpinan, ritual,

tempat pembuatan hukum adat). Pandangan tersebut hampir sama dengan yang

dimaksudkan oleh Tangdilintin bahwa tongkonan menjadi pusat kekuasaan dalam suatu

masyarakat. Tangdilintin menjelaskan bahwa tongkonanmerupakan rumah yang

dimiliki oleh masyarakat kelas atas (tana‟ bulawaan, tana‟ bassi), sedangkan kelas

bawah yang ada di Toraja tidak memiliki tongkonan. Kedua penulis tersebut

mendefinisikan bahwa rumah yang dimiliki oleh masyarakat kelas bawah bernama

banua Batu A‟riri (Pa‟ rapuan– kekeluargaan), walaupun hal tersebut tidak secara

eksplisit dijelaskan dalam buku yang mereka tuliskan.

Masyarakat Toraja memilikistratifikasi sosial, yaitu tana‟.2Ada beberapa tana‟;

(1) tana‟ bulaan (bangsawan), (2) tana‟ bassi atau tomakaka (bangsawan menengah),

(3) tana‟ karurung yang adalah golongan menengah kebawah, (4) tana‟ kua-kua

(golongan miskin, hamba pengabdi bagi bangsawan). Dari empat strata sosial tersebut,

hanya orang-orang berstrata sosial kelas atas (tana‟ bulaan, tana‟ bassi) yang memiliki

tongkonan. Para budak (tana‟ kua-kua) tidak memiliki tongkonan. Rumah mereka

dinamai banua (artinya rumah), berbeda dari tongkonanyang mempunyai wilayah

kekuasaan dan mempunyai alang (lumbung padi, yang ada di depan tongkonan) sebagai

2Tana‟ atau strata sosial di Toraja saat ini memang telah terkikis dengan masuknya agama

Kristen, namun hal ini tetap memiliki jejak dalam masyarakat Toraja, bahkan di beberapa

tempat (Nanggala, Tondon, Sangalla‟) masih memberlakukan strata sosial tersebut dalam

bermasyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

4

simbol bahwa tongkonantersebut adalah keluarga orang berada.3Akan tetapi, di Toraja

sendiri budaya telah banyak berubah mengikuti perkembangan zaman.

Struktur ekonomi di Toraja saat ini telah bergeser, dari feodalisme menjadi

struktur ekonomi modern yang menurut Shinji Yamashita (1996) sebagai bentuk

kapitalisme mutakhir.4 Bentuk kapitalisme tersebut banyak mengubah kehidupan

masyarakat Toraja, dari sumber kapital yang primordial ke struktur ekonomi mutakhir.

Keadaan di Toraja ini memberi peluang kepada orang-orang miskin yang dianggap

budak untuk merantau dan memperbaiki nasib. Dalam perjalanannya, banyak dari

mereka yang sukses di Malaysia, Kalimantan, dan Papua. Oleh sebab itu, kesuksesan

tersebut menjadi modal untuk memperbaiki status sosial di Toraja. Hal tersebut terjadi

ketika upacara rambu solo diadakan, dengan modal ekonomi mereka akan mengadakan

upacara kematian yang lebih meriah dari kelas bangsawan pada umumnya. Menurut

saya,ini menjadi catatan penting, apakah hal tersebut terjadi karena adanya hegemoni

wacana tongkonan sehingga orang yang dulu dianggap budak termotivasi meniru

kebiasaan-kebiasaan kelas bangsawan untuk memperbaiki status sosial, termasuk dalam

hal ini pembangunan tongkonan.

Menurut Pangrante (2015), kontestasi mantunu tedong5dalam rambu solo‟

sebagai arena konsumsi budaya orang Toraja, mengakibatkan terciptanya kelas-kelas

sosial baru, yang tidak berdasarkan keturunan darah. Secara ideologis semua orang bisa

mantunu tedong, tanpa harus melihat garis keturunan (tongkonan), sebagai warga

masyarakat global yang mempunyai kesempatan dan hak sama. Pada kenyataannya

tidak semua orang dapat sukses, karena struktur masyarakat global yang begitu

3Tangdilintin, Toraja & Kebudayaannya, (Yayasan Lepongan Bulan; Toraja, 1976) 200.

4Shinji Yamashita, “Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, and

Television among the Toraja of Sulawesi,” Indonesia 58 (Oktober 1994): 69. 5Mengurbankan kerbau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

5

hirarkis.6 Hal yang demikian membuktikan bahwa memang faktor kapitalisme telah ada

dalam proses ritual adat tersebut. Namun menurut saya,Pangrante (2015) terlalu buru-

buru mengatakan bahwa arena konsumsi budaya ada di dalam mantunu tedong. Lebih

tepatnya, hal tersebut dimulai dengan wacana tongkonan yang tersebar di dalam

masyarakat karena dari sanalah titik pusat kekuasaan yang mengkonstruksi situasi

demikian. Realitanya, sampai saat ini orang kaya baru (OKB) masih tetap dibedakan

dengan bangsawan (orang kaya lama) dalam setiap praktik-praktik ritual.

Sebagaimana uraian sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa tongkonan

bukanlah kebudayaan dari orang-orang masyarakat lapisan bawah. Dengan kata lain,

tongkonan adalah pusat kekuasaan dari kaum bangsawan maka sewajarnya budaya

bangsawan menjadi dominan. Alhasil, berdampak pada hilangnya simbol dan praktik

budaya masyarakat lapisan bawah, sehingga tidak adil jikalau tongkonan menjadi

representasi simbol kebudayaan masyarakat Toraja secara umum. Maksud dari tulisan

ini, tidak sedang mencoba menghilangkan simbol dominan yang ada, melainkan

mendefinisikan kembali kebudayaan masyarakat Toraja, sehingga budaya Toraja tidak

didominasi dari kelompok bangsawan.

Orang-orang Toraja saat ini, berlomba-lomba membuat tongkonan. Hampir

setiap keluarga memiliki tongkonan. Padahal dalam pendataan Aliansi Masyarakat Adat

(Aman) di Toraja, hanya ada 32 masyarakat adat. Dalam artian bahwa, hanya ada 32

tongkonan di Toraja berdasarkan sejarah yang diakui kedudukannya melalui struktur

adat dan struktur pemerintahan.7Artinya, saya melihat secara sederhana kira-

kiramungkinkah bisa mendasari argumen bahwa kontestasi konsumsi budaya Toraja

6Frans Pangrante, “Mantunu Tedong dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama dan Kapitalisme,”

Retorik 5, no. Agama dan Praktik Hidup Sehari-hari (Januari 2017), 273. 7 Mongabay,https://www.mongabay.co.id/2014/11/18/32-komunitas-adat-di-toraja-petakan-

wilayah-bersamaan/ (Diakses pada 01/03/2019).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

6

hanya terdapat dalam kontestasi mantunu tedong, sedangkan kompleksitas persoalan

yang ada di dalam masyarakat terjadi di dalam banyak praktik kehidupan sehari-hari

masyarakat Toraja.

Menurut uraian saya sebelumnya, memungkinkan bila memberi perhatian pada

penelitian wacana tongkonan yang hegemonik, karena berdampak pada munculnya

persoalan-persoalan baru.Tentu hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor dan menjadi

salah satu pertanyaan dalam tulisan ini. Pada konteks yang berbeda, yaitu di Sasak Nusa

Tenggara Barat, Kumbara (2008) menyatakan dalam penelitiannya bahwa para elite

(aristokrat, politikus, dan agamawan) ikut mengkonstruksi identitas dan menjadi

representasi simbolis dari masyarakat. Dengan menggunakan simbol-simbol budaya,

adat, dan agama, para elite ini berhasil membentuk sebuah identitas dari masyarakat

Sasak saat ini, bahkan terpatri di dalam ritual adat, peraturan pemerintah, dan ritual

keagamaan. Hal itu menurut Kumbara (2008) dilakukan untuk melanggengkan

kekuasaan para elite.8 Konteks penelitian Kumbara memang berbeda dengan penelitian

ini, namun secara garis besar kesamaannya melihat usaha kelas dominan (bangsawan)

untuk melanggengkan kekuasaan. Oleh karena itu, saya akan membongkar wacana

tongkonan yang tersebar di dalam masyarakat Toraja melalui konsep hegemoni dari

Antonio Gramsci.

B. Rumusan Masalah

Dalam penulisan tesis ini, saya menelusuri dominasi kelas bangsawan di Toraja dengan

tiga pertanyaan dasar yaitu:

1. Apa saja bentuk hegemoni wacana tongkonan di Toraja?

8 A. A. Ngr Anum Kumbara, “Konstruksi identitas orang sasak di Lombok Timur, Nusa

Tenggara Barat,” Humaniora 20, 3 (2008).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

7

2. Bagaimana ideologisasi wacana kebudayaan bangsawan (tongkonan),sehingga

menjadi hegemonik di Toraja?

3. Bagaimana membicarakan identitas kebudayaan Toraja secara inklusif?

C. Tujuan Penulisan

Tongkonan telah menjadi representasi identitas kebudayaan masyarakat Toraja, padahal

tongkonan adalah kebudayaan yang dimiliki oleh kaum bangsawan saja, sedangkan para

budak (tana‟ karurung) tidak memiliki tongkonan. Dengan demikian, berdasarkan

rumusan masalah di atas tujuan penulisan karya ini adalah: Pertama membongkar secara

historis dan menunjukkan bentuk-bentuk hegemoninya di dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Toraja. Kedua, melihat bagaimana proses terjadinya hegemoni wacana

tongkonan sehingga terjadi konsensus di dalam masyarakat Toraja. Ketiga, menelusuri

potensi-potensi untuk membicarakan identitas ke-toraja-an yang tidak terhegemoni

(alternatif) melalui reaksi penolakan atas kebudayaan Toraja pada umumnya.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini:

1. Memperkaya kajian tentang Toraja secara kritis melalui pendekatan kajian budaya.

2. Menawarkan sumbangsih pemikiran dalam melihat kebudayaan Toraja kontemporer

yang tidak dapat dilihat dari satu sisi saja.Lalu menjadi referensi untuk

pengembangan penelitian yang terkait kebudayaan Toraja.

E. Kajian Pustaka

1. Sosio-Historis Masyarakat Toraja

Toraja adalah istilah yang baru muncul pada abad ke-20 untuk merujuk masyarakat

pegunungan di Sulawesi Selatan. Asal kata “Toraja” berasal dari orang-orang Bugis,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

8

Makassar „To Riaja (orang gunung)‟ untuk mengidentifikasi orang-orang dari

pegunungan timur Sulawesi, sehingga melekat sampai saat ini.9

Masyarakat Toraja pra-kolonial, mengidentifikasi identitas berdasarkan

kampung (tondok), seperti to randanan (orang randanan), “to Pao (orang dari Pao)”.

Lalu dengan adanya ekspansi dari kerajaan Bone yang dipimpin Arung Palaka yang

menghancurkan kehidupan masyarakat, sehingga setiap kampung bersatu membentuk

sebuah aliansi bernama Basse Lepongan Bulan (aliansi kawasan sebulat bulan) untuk

melawan ekspansi dari Kerajaan Bone. Sayangnya, aliansi ini hanya menjadi

momentum perlawanan, sehingga tidak sampai pada pembentukan masyarakat, hukum,

aturan, teritorial, dan pajak.10

Masa kolonial, Dr. N. Adriani dan Dr. A.C. Kyurt meminjam istilah dari orang-

orang Bugis, yaitu Toraja untuk mengidentifikasi orang-orang dari pegunungan selatan

dan tengah Sulawesi.11

Akhirnya, istilah Toraja menjadi sebuah nama berbasis teritorial

bagi pemerintah Hindia Belanda. Sekarang menjadi sebuah istilah penting bagi orang-

orang yang tinggal di hulu sungai Sa‟dan sebagai identitas.

Sejarah masyarakat Toraja sangat dinamis. Zakaria Ngelow memetakannya

menjadi 6 k yakni:kua (kopi), kaunan (hamba), kaparentaan (pemerintahaan),

kasaranian (kekristenan), katorayaan (identitas) kapariwisataan (pariwisata). Dengan

adanya komoditas kopi di Toraja, maka orang-orang Bugis, Luwu membentuk jaringan

dengan para elite Toraja. Saat itu mulailah orang-orang bersifat materialistik dan merasa

perlu melakukan kekerasan untuk merampas harta secara paksa.Akibatnya, orang-orang

yang dirampas hartanya dijadikan budak oleh para elite Toraja. Senjata-senjata dari

9Bert Tallulembang (editor), Reinterpretasi & Reaktualisasi Budaya Toraja: Refleksi Seadab

Kekristenan Masuk Toraja, (Gunung Sopai: Yogyakarta, 2012) 117. 10

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, (Yogyakarta; Ombak 2014),7. 11

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

9

Bugis, Makassar, Luwu ditukarkan dengan budak oleh para elite Toraja untuk bisa

mempertahankan kekuasaan mereka.12

Era inilah, perang antar kampung begitu masif.

Setelah itu, kolonial Belanda datang membawa kaparentaan, dan kasaranian. Ini adalah

peristiwa penting dalam sejarah identitas masyarakat Toraja, karena Belanda datang

membawa sistem pemerintahan, dan agama kekristenan datang melalui pendidikan bagi

orang Toraja. Kaparawisataan muncul di era Orde Baru, sebagai sesuatu yang tak

terpisahkan dalam memetakan identitas masyarakat Toraja saat ini.13

Akhirnya,

kesemuanya tersebut merupakan momentum historis yang menjadi dinamika identitas

sebagai masyarakat Toraja.

2. Penelitian tentang Tongkonan

Objek penelitian tentang tongkonan sudah banyak dilakukan, baik itu intelektual Toraja

maupun intelektual dari luar Toraja. Para intelektual ini hanya mendeskripsikan

tongkonan.Bahkan, mereka secara tak sadar terperdaya dengan dominasi simbol

tongkonan. Ada juga yang melihat tongkonan dari perspektif lain, sebut saja Kathleen

Adams (2006), seorang etnografer Amerika, dengan judul buku Artas Politics: Re-

Crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. Ia melihat

bagaimana pembentukan identitas orang Toraja yang identik dengan tongkonan melalui

politik, seni, dan turisme. Identitas masyarakat Toraja saat ini disebabkan oleh beberapa

faktor, salah satunya dipengaruhi oleh semangat turismeyang ikut andil dalam

pembentukan identitas ini, namun ia masih terjebak pada pendefinisian tongkonan yang

keliru, karena melihat tongkonan dimiliki oleh semua orang Toraja. Hal tersebutlah

12

Frans Pangrante, Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam Tradisi

Pengurbanan Kerbau dalam Ritual Pemakaman di Toraja (Tesis, Magister Ilmu Religi dan

Budaya, Universitas Sanata Dharma, 2015), 33. 13

Frans Pangrante, Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam Tradisi

Pengurbanan Kerbau dalam Ritual Pemakaman di Toraja, 33.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

10

yang menjadi pembedaan dengan penelitian ini, walaupun Adams juga melihat

perlawanan dari kaum marginal dengan ukiran-ukiran.

Proses tongkonanmenjadisimbol identitas masyarakat Toraja dipengaruhi oleh

banyak faktor, misalnya mitologi, keagamaan, ritual, dan turisme. Semuanya itu terjadi

secara perlahan dalam waktu yang cukup panjang. Seperti yang diteliti oleh Eric Crystal

(1989), awalnya dimulai oleh mitologi masyarakat Toraja bahwa to Manurun

(bangsawan dari langit yang turun ke bumi) telah membawa tongkonan bersama dengan

budaknya. Lalu tongkonan menjadi sebuah pusat adat dan keagamaan, seperti aluk

rambu solo‟(ritual kematian) dan aluk rambu tuka‟(ritual ungkapan syukur; pernikahan,

peresmian rumah). Semuanya itu saling berkaitan, dan membentuk sebuah tradisi yang

mendekatkan para bangsawan dengan tongkonan. Terakhir adalah turisme yang

berkembang akhir tahun 1980an. Dari 1971-1988 tidak kurang dari 40.000 wisatawan

datang dari mancanegara (Eropa, Amerika, Jepang), sehingga untuk memperkenalkan

Toraja banyak miniatur-miniatur tongkonan dengan ukiran-ukiran megah dijual di

daerah-daerah wisata. Keempat faktor tersebut menjadi penyebab tongkonan saat ini

menjadi sebuah simbol identitas masyarakat Toraja.14 Tetapi, fokus dari penelitian

Cyrstal lebih kepada deskripsi sejarah tentang proses tongkonan menjadi simbol

identitas masyarakat Toraja, ia tidak melihat bagaimana dampak dari simbol identitas

tersebut ketika mendominasi, yaitu hilangnya budaya marginal di Toraja.

Berbicara tentang simbol identitas budaya suatu masyarakat, tentu hal tersebut

dikonstruksi, baik itu oleh masyarakat tersebut maupun masyarakat dari luar. Seperti

yang telah dijelaskan, orang Toraja menganggap bahwa pusat kebudayaan mereka ada

di tongkonan, hal tersebut menjadikan tongkonansebagai sebuah simbol identitas.

14

Eric Crystal, “Myth, Symbol and Function of The Toraja House,” TDSR I (1989): 7–17.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

11

Volkman (1984), melihat konstruksi identitas di Toraja melalui dua hal penting yaitu

"others (migrants, tourists) and new relationships between Toraja themselves

(engendered by ritual expansion and the underlying reasons for it)”.15 Seperti yang

dijelaskan oleh Crystal (1989) bahwa mitologi, ritual, dan turisme membentuk identitas

kebudayaan masyarakat Toraja, sedangkan Volkman (1984) melihat bahwa para

perantau dari Toraja juga ikut mengkonstruksikan identitas tersebut. Para perantau asal

Toraja yang mapan, bertemu dengan berbagai konteks, baik itu budaya, ekonomi,

politik di luar Toraja, sehingga dengan ekonomi yang mapan, mereka dapat melakukan

ritual, bahkan mendirikan tongkonanyang sama dengan para bangsawan, walaupun

perantau tersebut berasal dari kasta budak. Penelitian saya akan melihat betapa

kompleksnya simbol identitas bangsawan (tongkonan) yang mendominasi di Toraja,

sementara Volkman (1984) hanya berfokus pada konstruksi identitas tersebut melalui

turis, migran, dan para perantau.

F. Kerangka Teori

Dalam melihat hegemoni wacana tongkonan di Toraja, saya akan menggunakan konsep

dari seorang filsuf asal Italia, Antonio Gramsci. Antonio Gramsci merupakan seorang

aktivis, dan tokoh politik yang ditandai oleh keterlibatanya sebagai sekretaris jenderal

Partai Comunice Italia. Dari pengalaman tersebut, Gramsci menemukan banyak

masalah yang terjadi di lapangan, khususnya ketidakmampuan konsep Marx menjawab

situasi di Italia pada saat itu.

Gramsci mengkritik konsep Marx bahwa relasi sosial atau suprastruktur

(ideologi, politik, hukum, agama, pendidikan) ditentukan oleh relasi ekonomi (base).

Artinya, relasi ekonomi menjadi penentu kesadaran relasi-relasi sosial. Namun, menurut

15

Toby Alice Volkman, “Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s,” American

Ethnologist 11, no. 1 (Februari 1984): 152–69.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

12

Gramsci tidak demikian, karena relasi-relasi sosial dapat memberi pengaruh terhadap

relasi ekonomi. Hal ini sangat penting sebelum lebih jauh memahami konsep Antonio

Gramsci. Untuk itu, saya terlebih dahulu akan membahasa bagaimana kritik Gramsci

atas Marxisme Ortodox.

1. Kritik Gramsci Atas Marxisme Ortodox

Antonio Gramsci merupakan seorang penganut Marxisme, yang sangat berapi-api

melawan ketimpangan kelas antara borjuis dengan proletar di Italia. Pada tahun 1912, ia

bergerak dalam Partai Komunis Italia sebagai sekretaris jenderal. Ini memungkinkan

Gramsci untuk mendapatkan ruang cukup besar untuk melakukan perlawanan terhadap

sistem kapitalisme yang mengeksploitasi para kelas pekerja pada saat itu di Italia.

Namun, menurutnya, ada yang tidak dapat terlihat dalam analisis Marx dengan konsep

determinisme ekonominya, sehingga sosialisme gagal dalam merebut kekuasaan dari

kelas borjuis. Persoalannya adalah, analisis Marxisme selalu saja terkait dengan konflik

kelas (borjuis-proletar), dan mengabaikan kelompok-kelompok lain.

Dalam konsep Marx, relasi-relasi sosial (suprastruktur) sangat ditentukan oleh

relasi ekonomi (base). Artinya, bentuk ideologi, politik, hukum, agama, pendidikan

selalu bercermin kepada relasi ekonomi (base).16 Secara eksplisit pola tersebut

menunjukkan hubungan searah yang bermula dari base menuju suprastruktur. Inilah

yang disebut-sebut oleh sebagian pemikir teori sosial sebagai determinisme ekonomi.

Alih-alih mengikuti Marx, Gramsci malah melihat relasi ekonomi dan relasi sosial (base

dan suprastruktur) secara terbuka, karena dua kata kunci teoritis ini sama-sama ikut

membentuk kesadaran masyarakat.17 Maka itu, saya memilih teori Gramsci untuk

16

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari sosialisme utopis ke perselisihan

revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010) 135. 17

James P. Hawley, “Antonio Gramsci‟s Marxism: Class, State and Work,” Social Problems 27,

no. 5 (June 1980): 584–600, 588.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

13

membedah dominasi kelas bangsawan di Toraja, karena pada kenyataannya kesadaran

masyarakat Toraja tidak hanya ditentukan pada relasi ekonomi (material), tetapi juga

relasi-relasi sosial (adat, hukum, agama, pendidikan).

Dalammembicarakan teori hegemoni sangat penting untuk melihat pemahaman

Gramsci atas negara. Menurut Marx, negara sangat ditentukan oleh relasi ekonomi,

karena negara berada pada relasi sosial (suprastruktur). Artinya, Marx memberi

perhatian lebih pada relasi ekonomi, sehingga negara hanya dipahami sebagai alat untuk

mempertahankan status quo kelas borjuis. Hal demikian, berbeda dengan apa yang

dipahami Gramsci, menurutnya “state is the entire complex of practical and theoretical

activities with which the ruling class not only justifies and maintains its dominance, but

manages to win the active consent of those over whom it rules.”18 Pada dasarnya, negara

menggunakan aparatus negara untuk menekan masyarakat dengan kekerasan. Selain itu,

negara juga menggunakan konsensus untuk menghasut masyarakat secara

ideologismelalui lembaga-lembaga budaya, seperti gereja, agama, pendidikan, hukum,

serikat buruh. Dalam pengembangan Marxisme, Gramsci mempertanyakan mengapa

kapitalisme bertahan, padahal telah ada pra-kondisi sosial ekonomi untuk transisi

menuju sosialisme di Eropa Barat. Ini dikarenakan, hubungan vertikal dari basis ke

suprastruktur sangat menentukan perubahan sosial. Hal demikian, menurut Gramsci

hanya akan menguntungkan kelas borjuis.

Ada hal penting yang perlu diketahui dahulu untuk dapat memahami secara utuh

teori Gramsci tentang hegemoni, yaitu masyarakat sipil. Marx lebih melihat masyarakat

sipil berada pada “moment struktur” (politik ekonomi). Namun secara berbeda, Gramsci

18

Antonio Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey

Nowell Smith (London: Lawrence & Wishart, 1971), 288.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

14

menegaskan bahwa masyarakat sipil berada pada relasi sosial (suprastruktur).19 Lalu ia

juga menegaskan bahwa pada relasi sosial ada dua tingkatan:

The one that can be called "civil society", that is the ensemble of organisms

commonly called "private", and that of "political society" or "the State".

These two levels correspond on the one hand to the function of "hegemony"

which the dominant group exercises throughout society and on the other

hand to that of "direct domination" or command exercised through the State

and ''juridical'' government.20

Kutipan di atas jelas membedakan dua tingkatan dalam suprastruktur, yaitu

“civil society” dan “political society”. Tingkatan tersebut membicarakan fungsi-fungsi

hegemoni mereka. Misalnya, dalam masyarakat politik merupakan wajah dari negara

melalui aparatusnya, sedangkan masyarakat sipil terkait dengan lembaga-lembaga

independen yang mempengaruhi secara ideologis (konsensus) seperti agama,

pendidikan, organisasi buruh. Dapat dikatakan bahwa Gramsci mempertegasperan

lembaga-lembaga ideologis (hukum, adat, gereja, pendidikan, organisasi buruh) sebagai

saranayang membentuk kesadaran masyarakat sipil.

2. Hegemoni menurut Gramsci

Konsep hegemoni bagi Antonio Gramsci, sangat penting dalam rangkaian

pemikirannya, walaupun, tulisan-tulisannya berserakan, dan tidak secara detail,

sistematis, layaknya sebuah teori. Ditambah banyaknya tafsiran dari para ahli membuat

saya secara hati-hati memilah dengan baik. Paling tidak secara garis besar, saya akan

menguraikan dari beberapa tafsiran, yang mengulas tentang hegemoni. Hegemoni

memang telah ada dalam Marxisme, yang dikembangkan oleh Lenin. Istilah hegemoni

sendiri berasal dari seorang pemikir Plekhanov dan para pengikut Marxisme di Rusia

pada tahun 1880-an, untuk menggabungkan kekuatan petani dan kelas pekerja dalam

19

Hawley, “Antonio Gramsci‟s Marxism,” 589. 20

Antonio Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, 12.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

15

melawan gerakan Tsarisme. Lalu menjadi istilah yang dikembangkan oleh Lenin,

sebagai sebuah strategi kelas pekerja untuk mendapat simpati, dan mendapat dukungan

dari kaum mayoritas21 sehingga dapat disimpulkan bahwa hegemoni pada menurut

Plekhanov dan Lenin hanya sebagai taktis/teknis, untuk mendapatkan dukungan-

dukungan dari luar kelas, bukan sebagai alat konseptual yang bertujuan secara kritis

melihat perkembangan kapitalisme didalam masyarakat.

Mengembangkan hegemoni dari Lenin, yang hanya dianggap sebagai strategi,

Gramsci mencoba melampaui hal tersebut. Jikalau menurut Lenin, hegemoni sebagai

strategi kelas pekerja untuk mendapat dukungan dari kaum mayoritas, Gramsci melihat

itu terjadi juga di dalam sistem kapitalisme untuk mempertahankan keabsolutannya di

masyarakat. Dengan itu, secarasederhanahegemoni merupakan sebuah alat yang bukan

hanya kepentingan kelas pekerja, tetapi dapat digunakan oleh golongan manapun, untuk

mendapat dukungan dari kaum mayoritas.22

Hegemoni menurut Gramsci terbentuk secara material dan ideologis. Artinya,

hubungan prosesnya mempunyai kompleksitas (ekonomi, budaya, politik) tidak hanya

terkait dengan hubungan satu arah dari relasi ekonomi menuju ke relasi sosial (base-

suprastruktur).23

Karena itu, masyarakat dapat terbujuk dan menghasilkan konsensus.

Itulah yang membedakan antara hegemoni dan dominasi. Dominasi adalah sebuah

strategi dengan menggunakan kekerasan, biasanya strategi ini dipakai negara untuk

memaksa masyarakat melalui militer. Sebaliknya, hegemoni menggunakan pendekatan

yang persuasif dan konsensus dalam masyarakat.24 Biasanya, sistem kapitalisme

21

Roger Simon dkk., Gagasan-gagasan politik Gramsci (Yogyakarta, Indonesia: INSIST

bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004) 23. 22

Roger Simon dkk., Gagasan-gagasan politik Gramsci, 23

T. J. Jackson Lears, “The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities,” The

American Historical Review (June 1985): 571. 24

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 121.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

16

menggunakan cara-cara ideologis, seperti media, pendidikan, dan bahkan bahasa.

Karena itu, hegemoni menurut Antonio Gramsci secara konkret, menggiring orang

untuk memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.

Ada beberapa tipe pengambilan keputusan individu-individu di masyarakat.

Pertama, adalah rasa takut, biasanya karena adanya kekerasan-kekerasan dalam

masyarakat. Kedua, karena kebiasaan, pengambilan keputusan dalam individu oleh

karena lingkungan, tradisi turun temurun. Ketiga, pengambilan keputusan berdasarkan

kesadaran dan persetujuan dari individu tersebut. Tipe ketiga inilah yang disebut

Gramsci sebagai hegemoni, karena adanya partisipasi aktif dari masyarakat.25

Dalam hegemoni kelas borjuis pada kelas pekerja, Gramsci menyebutnya

sebagai konsensus pasif. Karena, dalam prosesnya, hegemoni tersebut menggerogoti

kehidupan kelas pekerja yang tidak memiliki basis konseptual untuk memahami realitas

dengan efektif. Hegemoni tersebut adalah ilusi samar-samar atau disebut sebagai

hegemoni integrasi budaya yang dijadikan alat untuk membentukkesadaran palsu kelas

pekerja.26

Ada dua sarana yang digunakan kelas borjuasi untuk mempertahankan hegemoni

sistem kapitalisme yaitu pendidikan dan mekanisme kelembagaan yang ada.

MenurutGramsci, pendidikan tidak menjadi alat untuk mengembangkan kesadaran kritis

bagi masyarakat kelas pekerja, bahkan mekanisme lembaga-lembaga yang ada di

masyarakatturut mendukung sistem kapicontitalisme seperti gereja, partai politik, media

massa, mengideologisasi para masyarakatmelalui bahasa untuk melanggengkan

kekuasaan para borjuasi. Para intelektual tradisional menjadi pionir para kelas borjuis

25

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 126. 26

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 126.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

17

untuk melanggengkan sistem kapitalisme yang memberi keuntungan bagi mereka secara

sepihak.27 Inilah kekuatan hegemonik, yang didasari oleh konsensus.

Selain konsensus, ada juga upaya hegemoni yang dibentuk dalam mekanisme

pabrik. Dalam kumpulan tulisannya, Prison Notebook, Gramsci melihat adanya upaya

yang dibangun melalui teknokratisme dan korporatisme dalam tahap masyarakat

kapitalis lanjut. Di sini Gramsci melihat kapitalisme Amerika mendisiplinkan para

pekerja dengan mekanisme spesialisasi, dan mengutamakan efisiensi. Akarnya adalah

konsep dari Frederic Taylor, yang mempertegas bahwa manusia adalah mesin yang

dapat diadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhan industri modern.28

Menurut Taylor, ada tiga pandangan dasar tentang pembatasan kerja, yaitu

pembatasan kerja pada tugas tertentu dalam proses produksi, pekerja harus

mengembangkan otomatis-mekanis sebagai proses produksi, pemberian insentif-insentif

bagi setiap pribadi.29 Ketiga konsep dasar tersebut berkembang dalam industri modern

di Amerika. Dengan demikian, Gramsci melihat ada dominasi yang hegemonik dalam

mengeksploitasi kelas buruh. Karena manusia disamakan dengan mesin, untuk efisiensi

dalam perkembangan industri, sehingga dalam proses inipemberian insentif kepada

buruh diistilahkan oleh Gramsci sebagai penyuapan. Hal tersebut hanya untuk membuat

kekuatan gerakan buruh terpecah belah.30Fenomena ini juga terjadi di Italia. Maka,

dapat disimpulkan upaya hegemonik terjadi di dalam industri itu sendiri. Kekuatan

hegemonik para elite penguasa dan kapitalisme menjadi kekuatan yang saling berkaitan,

untuk mempertahankan posisi mereka masing-masing. Ini juga memudahkan saya untuk

melihat hegemoni budaya (wacana tongkonan) di Toraja yang begitu kompleks.

27

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 127. 28

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 129. 29

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 130. 30

Patria dan Arief, Antonio gramsci negara & hegemoni, 140.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

18

Dalam kekuatan hegemoni kelas penguasa dibutuhkan kaum intelektual untuk

memperkokoh kekuasaannya. Inilah yang disebut Gramsci sebagai intelektual

tradisional. Melihat perkembangan kapitalisme yang ada, begitu sulit untuk melakukan

perlawanan terhadap hegemoni para elite penguasa. Telah diuraikan sebelumnya,

bagaimana proses hegemoni para elite penguasa, khususnya menurut Gramsci,

bagaimana kapitalisme itu menjadi sistem yang menghegemoni masyarakat kelas

pekerja, melalui konsensus, kepemimpinan moral, sarana-sarana yang dikuasai oleh

kelas borjuis. Menurut Gramsci, ada beberapa tingkatan hegemoni. Pertama, integral

hegemony sebagai bentuk hegemoni paripurna, misalnya hubungan antara kelas

penguasa dan yang dikuasai sangat baku, tanpa ada kontradiksi dan antagonisme.

Kedua, decadents hegemony sedikit berbeda dengan yang pertama, walaupun telah

terlihat secara jelas hegemoni tersebut, namun masyarakat tidak sepenuhnya setuju atas

apa yang ditawarkan oleh kelas penguasa. Ketiga, minimum hegemony bentuk yang

tidak mau menyatukan ideologisnya pada masyarakat kelas tertentu (Femia dan

Gramsci, 1981: 46-47).

Menurut uraian sebelumnya, saya menggunakan konsep hegemoni untuk

membongkar dominasi kelas bangsawan di Toraja dengan melihat seperti apa saja

bentuk-bentuk hegemoni kelas bangsawan di Toraja. Setelah itu saya juga akan

menggunakan konsep ini untuk menganalisis bagaimana hegemoni wacana tongkonan

dapat menghasilkan konsensus di dalam masyarakat Toraja.

3. Counter-Hegemony

Di tengah-tengah kekuatan hegemonik dari kelas borjuis, ada celah yang didapatkan

oleh Gramsci untuk melakukan perlawanan, yaitu kesadaran para kelas proletar tidak

secara utuh didominasi oleh kelas borjuasi.Karena itu,celah tersebut adalah peluang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

19

untuk membangun counter-hegemony yang di dalamnya diperlukan sosok intelektual

organik.

Gramsci justru mencoba mempertajam konsepnya dalam konteks counter-

hegemony. Menurut Gramsci: “All men are potentially intellectuals in the sense of

having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function.

Intellectuals in the functional sense fall into two groups.”31

Artinya, setiap individu

adalah intelektual, namun tergantung pada setiap individu tersebut sejauh mana ia

mengeksplorasi kemampuan intelektualnya di dalam masyarakat. Apakah intelektualnya

itu digunakan untuk mengokohkan kekuasaan kelas penguasa (intelektual tradisional)

atau sebaliknya, melawan dominasi (intelektual organik) yang dibentuk oleh kelas

penguasa.

Agen intelektual organik menurut Gramsci sangat penting di sini untuk menjadi

agen penyadaran masyarakat sipil untuk melawan hegemoni. Dengan kata lain,

intelektual organik adalah individu yang bisa menciptakan sebuah makna baru terhadap

blok sejarah kesadaran masyarakat sipilyang terlibat secara historis dan politik sehingga

dapat menyadarkan kelompok yang didominasi.Blok sejarah adalah salah satu bentuk

strategi kelas penguasa untuk menjalankan kiat-kiat hegemoni dan disebut sebagai salah

satu pembentuk kesadaran masyarakat yang didominasi. Oleh sebab itu, intelektual

organik menyadarkan masyarakat yang secara tidak sadar sedangdidominasi oleh kelas

penguasa32. Gramsci memberikan nama atas proses penyadaran tersebut dengan istilah

katarsis.

31

Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, 3. 32

Robert Bocock, Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni (Yogyakarta: Jalasutra,

2007).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

20

Dengan adanya katarsis ini, masyarakat sipil secara sadar akanmenyadaridirinya

sebagai pihak yang dieksploitasi oleh kelas penguasa. Di samping itu, masyarakat sipil

dengan segala macam bentuk perbedaan harus bersatudalam sebuah aliansi untuk

melawan musuh yangsama, yaitu kelas penguasa sebagai pelanggeng sistem

kapitalisme.33

Pada akhirnya, konteks ini juga dapat membuka ruang untuk

membicarakan hegemoni budaya.

Konsep counter-hegemony ini saya gunakan untuk menelusuri wacana

perlawanan dari masyarakat Toraja atas hegemoni wacana tongkonan. Saya sangat

yakin bahwa hegemoni wacana tongkonan tidak sepenuhnya menggerogoti kesadaran

masyarakat Toraja, karena tentu ada saja perlawanan sekalipun terlihat samar-samar.

Walaupun nantinya yang saya temukan belum termasuk dalam kategoricounter-

hegemony,namun paling tidak saya dapat melihat sejauh mana proses menuju counter-

hegemony yang ada di dalam masyarakat Toraja.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan analisis wacana

kritis.Pendekatan analisis wacana kritis adalah suatu pendekatan untuk meneliti teks dan

lisan yang memiliki kaitan dengan perkembangan sosial budaya (Jorgenshen, 2002: 60).

Menurut van Dijk (2009), analisis wacana kritis bertujuan untuk melihat seperti apa

wacana memproduksi dominasi sosial yang mengakibatkan kelompok tertentu dapat

menguasai kelompok yang lain dan bagaimana kelompok yang didominasi dapat

melawan wacana dominan tersebut.34

Model analisis wacana kritis yang saya gunakan

adalah discursive practice karena melihat kembali dan mempertimbangkan apa yang

33

Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah

Basis No.01-02. 34

Haryatmoko, Critical Discource Analysis (Analisis Wacana Kritis): Landasan Teori,

Metodologi Dan Penerapan (Yogyakarta, Indonesia: Rajagrafindo, 2016), 22.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

21

melatarbelakangi wacana tersebut dapat diterima di dalam masyarakat (Fairclough,

1997: 13). Dalam Kajian Budaya Saukko (2003), secara tegas menjelaskan bahwa

wacana membentuk cara orang melihat dirinya sendiri dan cara berperilaku di

kehidupan sehari-hari. Argumen Saukko ini didasari oleh teori Michel Foucault tentang

the discoursive constitution of self. Wacana yang saya maksudkan di sini adalah konsep

dan mitologi tentang tongkonan yang terlihat jelas dalam praktik ritual, demokrasi,

agama, dan omongan sehari-hari di dalam masyarakat Toraja. Artinya, saya melihat

bahwa wacana tongkonan memang benar-benar tersebar pada dimensi kehidupan

masyarakat Toraja (adat, agama, demokrasi, dan praktik kehidupan sehari-hari).

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan

dengan wacana yang ada, seperti konsep-konsep tentang tongkonan, sejarah proses

dominasi simbol identitas tongkonandi Toraja, bentuk dominasinya, dan bagaimana

perlawanan terhadap dominasi tersebut. Sumber data dalam penelitian terdiri dari

sumber primer dan sumber sekunder.

1. Sumber Primer

a. Masyarakat Awam

Hegemoni kebudayaan bangsawan ataupun perlawanan akan terlihat begitu jelas

melalui pikiran dan tingkah laku masyarakat awam. Oleh karena itu, saya melihat

pandangan-pandangan tersebut bagaimana mereka memahami tongkonan.

b. Tokoh Adat

Dalam mendefinisikan kebudayaan yang ada di Toraja, tokoh adat mempunyai peranan

penting.Tokoh adatmemilikikuasa untuk menjadi sumber informasi ketika masyarakat

melaksanakan ritual-ritual di Toraja.

c. Akademisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

22

Peneliti atau akademisi juga mempunyai andil dalam mendefinisikan kebudayaan

Toraja saat ini karena mereka mempunyai pengalaman-pengalaman dalam memberi arti

kebudayaan Toraja. Selain itu,tulisan-tulisan atau hasil penelitian dapat diakses dengan

mudah melalui buku dan tulisan-tulisan singkat di media online.

d. Tokoh Gereja

Pertama, masyarakat Toraja saat ini didominasi oleh agama Kristen. Oleh karena itu,

masyarakat secara dominan banyak dipengaruhi oleh wacana-wacana gereja. Secara

historis, gereja memilikiandil untuk menyatakan benar atau salah suatu aktivitas

kebudayaan masyarakat Toraja. Kedua, saat ini simbol yang digunakan oleh institusi

Gereja Toraja adalahsimboltongkonan. Ketiga, saya akan menelusuri aliran Pantekosta

yang menolak kebudayaan Toraja dan sekaligus sebagai kelompok minoritas.

2. Sumber Sekunder

Terakhir adalah data sekunder, yakni buku-buku teks, arsip, atau dokumen tentang

tongkonan dan Toraja di masa lalu.Saya bertujuanmemeriksa konsep tersebut agar dapat

melihatbagaimana gagasan yang laten dari dulunya di masyarakat Toraja hanyalah

sebuah konstruksi.

H. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mendapatkan data, saya melakukan observasi lapangan di kabupaten Tana

Toraja dan Toraja Utara selama tiga bulan lamanya. Namun dalam melihat hegemoni

tongkonan saya mempertimbangkan tempat-tempat lain karena penelitian saya tidak

berbasis teritori tetapi bagaimana persebaran wacana hegemoni tersebut di masyarakat

Toraja. Pertama saya melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, prosesnya

cukup rumit karena menurut saya tema ini sangat sensitif dibicarakan di dalam

masyarakat Toraja, sehingga saya secara hati-hati mengkomunikasikannya bersama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

23

narasumber. Beberapa narasumber tidak begitu jujur mengungkapkan tanggapan mereka

terkait dengan dominasi kelas bangsawan di Toraja. Kedua, saya menelusuri omongan-

omongan di dalam masyarakat.Ketiga, saya membuat dokumentasi fisik dalam aktivitas

penelitian, baik visual maupun audio.

I. Skema Penulisan

Penulisan ini terdiri dari lima bab: Bab I saya menguraikan bagaimana latarbelakang

penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka,

kerangka teori, metode penelitian, dan skema penulisan.

Bab II berisi uraianbagaimana wacana tongkonan memiliki bentuk-bentuk yang

terlihat secara jelas di masyarakat Toraja. Di Bab II ini, saya akan menjawab rumusan

masalah pertama yaitu apa saja bentuk-bentuk hegemoni wacana tongkonan di Toraja.

Bab III berisi uraian analisis terhadap bagaimana proses ideologisasi secara

ekonomi, budaya, dan politik di Toraja. Pada bab ini saya menjawab rumusan masalah

poin kedua yaitu bagaimana proses ideologisasi wacana tongkonan di Toraja sehingga

dapat terterima tanpa melalui kekerasan.

Bab IV berisi uraian perihal bagaimana membicarakan dinamika identitas Toraja

secara inklusif. Dominasi kaum bangsawan di dalam masyarakat Toraja tidak

sepenuhnya mendikte kesadaran masyarakat karena itu tentu ada saja perlawan di dalam

masyarakat baik yang terlihat jelas maupun tidak begitu kelihatan. Pada bab ini, saya

menelusuri potensi-potensi perlawanan untuk dapat menuju kategori hegemoni

tandingan (counter-hegemony). Bab ini mencoba menjawab pertanyaan rumusan

masalah ketiga yaitu bagaimana membicarakan identitas ke-Toraja-an yang lebih

inklusif.

Bab V berisi kesimpulan dan saran dari penelitian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

24

BAB II

BENTUK-BENTUK HEGEMONI WACANA TONGKONAN

A. Pengantar

Telah diuraikan sebelumnya bahwa identitas kebudayaan Toraja didominasi oleh

kelompok bangsawan dan menghasilkan banyak dinamika bagi identitas ke-Toraja-an.

Paling tidak ada dua hal penting, pertama narasi tongkonan menjadi sangat kuat dalam

masyarakat Toraja. Kedua, identitas sosial orang Toraja menjadi baku di masyarakat

saat ini, dalam artian oposisi biner antara puang dankaunan yang dahulu dinarasikan

untuk tidak digunakan lagi, kini bertransformasi dengan pola baru. Fenomena tersebut

melahirkan dinamika yang akan saya jelaskan dalam penelitian ini. Untuk menuju

kesana, saya akan memulai menjelaskan bagaimana narasi besar tongkonanmenjadi

kuat, lalu bertransformasi melalui bentuk-bentuk sehari-hari dalam kehidupan

masyarakat Toraja. Pada bab ini juga, saya akan mencoba menjawab rumusan masalah

pertama yaitu, bagaimana bentuk hegemoni wacana tongkonan di Toraja

B. Mitologi: Genealogi dan Kosmologi Orang Toraja

Pada bagian ini, saya akan menguraikan tentang konstruksi mitologi orang Toraja yang

di dalamnya ada bentuk-bentuk hegemoni kaum bangsawan. Pertama, saya akan

membahas soal genealogi yang membedakan penciptaan bangsawan dan budak. Kedua,

saya akan menunjukkan kosmologi orang Toraja yang dikaitkan dengan tongkonan.

1. Manusia Pertama Orang Toraja

Narasi besar dari wacana tongkonan begitu masif karena adanya narasi yang begitu kuat

melalui banyak cara dari para bangsawan. Bertitik tolak dari hal tersebut, saya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

25

memulainya dengan narasi mitologi orang Toraja yang memuliakan keturunan

bangsawan. Orang Toraja berkembang dalam tradisi lisan, sehingga menarasikan

sejarahnya melalui cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun. Oleh

karena itu,sangatwajar banyak versi cerita di dalam masyarakat Toraja.

Narasi mitologi tersebut diungkapkan dalam upacara penahbisan tongkonan

dalam tingkatan tertinggi (merok), seperti berikut ini:

Dipabendanmi sauan sibarrung lan tangngana langi', dipatunannangmi

suling pada dua lan masuanggana to panganan.

(Didirikanlah puputan kembar berpasangan di tengah langit,

ditempatkanlah dua suling di tempat yang maha tinggi)

Dibolloan barra'mi bulaan matasak tama sauan sibarrung, dibaku

amborammi nane' tangkarauan tama suling pada dua.

(Ditumpahkanlah seperti beras murni ke dalam puputan kembar)

Dadimi to sanda karua lanmai sauan sibarrung, anakna sauan sibarrung,

takkomi to ganna' bilanganna lanmai suling pada dua, 'bongsunna suling

pada dua.

(Lahirlah delapan makhluk hidup dari puputan kembar tersebut)

Didandan bulaanmi to sanda karua dio salianna sauan sibarrung, dibato'

batan batanmi to ganna' bilanganna dio biringna suling pada dua.

(Dideretkanlah delapan bersaudara tersebut di depan puputan kembar, diatur

dengan sedemikian rupa ibarat butir-butir yang halus dan sempurna

bilangannya disamping puputan kembar tersebut)

Kasallemi to sanda karua, lobo'mi garaganna to ganna' bilanganna.

Apa nene'ta manna Datu Laukku' ma'rupa tau.

(Besarlah delapan makhluk hidup itu dengan subur, tetapi hanya Datu

laukku‟ yang berbentuk manusia).35

Menurut narasi mitologi penciptaan, manusia pertama diciptakan oleh Puang

Matua36

melalui puputan kembar. Material dasarnya adalah bulaan (emas) dan Puang

Matua menempah emas tersebut melalui puputan kembar. Hasilnya adalah makhluk

hidup pertama, antara lain manusia, babi, kerbau, padi, ayam, dan kapas. Dalam bahasa

35

H. Van Der Veen, The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja (Springer Netherlands, 1965), 88. 36

Puang Matua adalah Tuhan dalam kepercayaan Aluk Todolo(Agama leluhur orang Toraja).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

26

Toraja,bulaan artinya emas, namun dapat juga diartikan sebagai simbol kesucian dan

kemuliaan.37

Dari sinilah muncul klaim bahwa bangsawan adalah makhluk yang mulia

dan suci karena diciptakan dari emas. Oleh karena itu, dalam struktur masyarakat

Toraja,kelompok bangsawan disebut tana‟ bulaan (patok emas). Dalam lingkup

masyarakat Toraja secara populer, nama-nama para bangsawan selalu diawali dengan

sebutan puang. Misalnya, salah satu bangsawan asal Mengkendek, Tana Toraja disebut

puang Andilolo.

Datu Laukku‟ adalah nama dari manusia pertama berjenis kelamin perempuan

yang tercipta dari emas. Setelah itu, ia kawin dengan DewataBongga Langi‟na dan

lahirlah generasi berikutnya. Saat itu mereka masih tinggal di atas langit.Keturunan

Datu Laukku‟ yang turun ke dunia bernama Pong Buralangi‟.Dari Pong Buralangi‟

lahirlah seorang bernama Pong Mula Tau. Mitologi tersebut secara eksplisit

mempertegas bahwa kelompok bangsawan adalah manusia titisan dewa yang mulia

karena berasal dari emas.

Mitologi penciptaan manusia pertama membedakan leluhur manusia pertama

(Datu Laukku‟) dengan leluhur para budak. Leluhur para budak bernama

Pottokalembangdisejajarkan dengan kerbau di sawah.38 Pembedaan antara Datu

Laukku‟dan Potto Kalembang adalah material dasar penciptaannya. Datu

Laukku‟berasal dari emas murni, sedangkan Potto Kalembangberasal dari litak (tanah

liat). Narasi ini juga muncul dalam hymne passomba tedong di upacara penahbisan

tongkonan, bunyinya seperti ini: “Unggaragami tau-tau litak Puang Matua lan

tangngana langi', untambami Pottokalembang To Kauanan lan masuangngana to

37

J. Tammu and H Van der Veen, Kamus Toradja-Indonesia (Rantepao: Jajasan Perguruan

Kristen Toradja, 1972), 111. 38

Th Kobong, Injil dan tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2008), 9.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

27

paonganan.”39 Artinya, “Tuhan membuat boneka dari tanah liat di atas langit lalu

menamainya dengan Pottokalembangsebagai budak dari para bangsawan”. Saya melihat

mitologi ini mempengaruhi pemahaman masyarakat Toraja, sehingga ada pembedaan

antara bangsawan dan budak. Bahkan, budak dianggap lebih rendah dari kerbau dan

babi karena hewan tersebut tercipta dari material emas, sedangkan para budak dianggap

“boneka” karena diciptakan dari tanah liat sebagai suruhan bangsawan.

Orang Toraja memulai kehidupan babak baru, setelah peristiwa Londong Dirura

yang membuat murka Puang Matua karena mengawinkan anaknya sendiri.Dampaknya

adalah tempat tinggal manusia (Bamba Puang: sekarang daerah itu berada di Kabupaten

Enrekang) mendapat kutuk dari Puang Matua. Peradaban orang Toraja menjadi kacau

dan terjadi juga konflik antara para puang di selatan. Muncullah sosok Puang

Tangdilino yang menjadi penguasa saat itu dengan membawa tongkonannya yang

bernama banua puan. Tangdilinomenginisiasikan pembuatanaturan aluk sanda pitunna

(7.777).40

Aturan ini merupakan bentuk kekecewaannya terhadap perilaku orang-orang

di selatan yang sedang berkonflik.41

Oleh karena itu, PuangTangdilinomuncul sebagai

penguasa baru di masyarakat Toraja pada saat itu. Pada tahap inilah orang-orang Toraja

dinarasikan seakan-akan memiliki penguasa wilayah adat dan simbol penguasa wilayah

adat tersebut adalah tongkonan.

Dalam perkembangannya,mitologi yang ditulis dalambeberapa referensi

menyatakan, bahwa ada kelompok yang turun dari langit selain arus Pong Buralangi‟.

Mereka adalah To Manurun, orang-orang keturunan dewa. Pada poin inilah saya akan

39

Der Veen, The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja, 136. 40

Abdul Aziz Zaid, Toraja dan Kebudayaannya, (Yayasan Lepongan Bulan; Toraja, 1976) 14-

15. 41

Andarias Kabanga‟, Manusia mati seutuhnya: suatu kajian antropologi Kristen, Cet. 1

(Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan the

Ford Foundation, 2002), 5-6.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

28

mencoba memperlihatkan bahwa mitologi orang Toraja merupakan bentuk hegemoni

wacana tongkonan.

To Manurun dikisahkan sebagai orang-orang yang turun dari langit. Mereka

menduduki beberapa tempat di Toraja dan membangun kekuasaannya di daerah

kapuangan, seperti di Kesu‟yang dikenal dengan namaTo Manurun di Langi‟, di

Kandoradikenal dengan nama To Manurun Tamborolangi‟, dan di Kairo dikenal dengan

namaTo Manurun di Mambiolangi‟.To Manurun membawa legitimasi sebagai orang-

orang dari langit yang bijak untuk datang memperbaiki segala kekacauan di bumi

dengan membawa turunaluk sanda saratu‟(aturan serba seratus). Dengan demikian,

mereka disebut sebagai puang ri matasak, yakni sebagai orang-orang titisan dewa42

.

Inilah salah satu bentuk hegemoni stratifikasi sosial yang membedakan orang-orang

kelas bangsawan dan kelas menengah kebawah. Apa yang menjadi perkataan orang-

orang berketurunan To Manurundiklaim sebagai kebenaran karena perwujudantitisan

dewa. Hal tersebut menjadi wacana yang diproduksi secara terus menerus

olehkelompok dominandi dalam masyarakat Toraja. Alhasil, dampaknya mengokohkan

posisi status quo para bangsawan dalam kehidupan bermasyarakat di Toraja.

2. Kosmologi Orang Toraja dan Tongkonan

Sebagaimana telah saya uraikan sebelumnya, orang Toraja saat ini mendefinisikan

Tongkonan sebagai sentral kebudayaan masyarakat Toraja. Segala sesuatu yang

berkaitan dengan adat diputuskan di tongkonan. Narasi itu sangat kuat dan masif

tersebar di dalam masyarakat, sampai berpengaruh pada konsep kosmologi orang

Toraja. Oleh karena itu, dinarasikan bahwa kosmologi orang Toraja berkaitan erat

42

Bert Tallulembang, Toraja Tallulembangna,(Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai, 2017), 41.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

29

dengan tongkonan. Jika demikian, pertanyaan yang segera muncul adalah: bagaimana

hal tersebut dinarasikan?

Kosmologi yang dikonstruksi oleh para peneliti dikaitkan dengan ritual-ritual

penting orang Toraja, seperti aluk rambu solo‟dan aluk rambu tuka‟ yang notabene

dilakukan di tongkonan. Jadi, tongkonan menjadi titik pusat untuk melihat empat arah

mata angin. Empat arah mata angin dinarasikan sebagai makrokosmos. Di sebelahutara

tongkonanadalah simbol kepala dunia, tempat bersemayam Puang Matua. Di sebelah

selatan tongkonan adalah simbol ekor dunia, tempat bersemayam Pong Tulakpadang.

Kedua sosok ini menjadi penyeimbang alam raya (kosmos). Sebelah utara adalah tempat

suci, sehingga upacara syukur akan dilaksanakan di utara, sedangkan sebelah selatan

menjadi tempat bersemayamnya para roh-roh.43

Gambar 2. Mata Angin Sesuai dengan Tongkonan

Barat dan timur tongkonan adalah tempat di mana orang mengekspresikan

kehidupan, baik suka maupun duka dalam ritual adat. Artinya, ini dipahami sebagai

mikrokosmos (alam manusia). Sebelah timur menjadi tempat terbitnya matahari yang

43

Abdul Aziz Zaid, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja, (Yogyakarta: Penerbit

Ombak, 2004), 32.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

30

diidentifikasikan sebagai kebahagiaan. Jadi, ketika melakukan upacara syukur

tempatnya adalah di sebelah timur tongkonan. Sedangkan di sebelah barat tongkonan

identik dengan kedukaan, karena tempat terbenamnya matahari.44

Dengan adanya narasi mikrokosmos sebagai keterkaitan alam raya dan manusia,

maka makrokosmos adalah sebuah ekspresi keseluruhan sistem kehidupan manusia

Toraja. Makrokosmos juga diidentifikasi melalui tongkonan. Gambar di bawah ini, akan

membantu dalam penjelasan narasi makrokosmos yang diidentifikasi melalui

tongkonan.

Gambar 3. Struktur Tongkonan (Sumber. Indonesiaterpercaya.net)

Dalam gambar 3, tongkonan dibagi dalam tiga struktur. Rattian adalah bagian

atas, kale banua adalah bagian tengah rumah,dansallu banua adalah bagian bawah.

Dalam pemahaman makrokosmos yang dinarasikan orang kelas menengah ke atas,

dunia itu seperti tongkonan, dibagi tiga lapis. Lapisan dunia paling atas, menjadi tempat

tinggal Puang Matua.Lalulapisan dunia bagian tengah, menjadi tempat tinggal manusia.

Sedangkan, lapisan paling bawah adalah tempat Pong Tulakpadang menopang

kehidupan manusia dari bawah tanah.

44

Abdul Aziz Zaid, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja, (Yogyakarta: Penerbit

Ombak, 2004). 32.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

31

Apayang telah saya uraikan di atas, paling tidak memberi sedikit gambaran

bahwa narasi-narasi tersebut mengokohkan hegemoni wacana tongkonan. Bahkan,

wacana itu berkembang, baik dalam mitos maupun kosmologi tetap bertahan dengan

dinarasikan di dalam setiap upacara merok45

dan acara rambu solo‟. Artinya, reproduksi

wacana hegemoni tetap berjalan dengan adanya narasi-narasi tersebut.

C. Tongkonan, Elite Lokal, dan Elite Politik

Pada bagian ini, saya akan menunjukkan bagaimana para elit lokal mengisi posisi

penting di dalam masyarakat Toraja dari era pra-kolonial sampai pasca-kolonial. Para

elit lokal ini adalah mereka yang berasal dari tongkonan (kaum bangsawan) besar di

dalam kampung.

1. EliteLokal dari Masa Pra-Kolonial sampai MasaKolonial

Kekuatan hegemonik dari tongkonan yang dinarasikan, tidak hanya sekadar pada tataran

konsep, tetapi juga pada kepemimpinan yang terbangun dari hierarki tongkonan, lalu

berkembang pada saat ini dengan mengisi jabatan birokrasi di pemerintahan. Pada masa

pra-kolonial di setiap wilayah adat mempunyai pemimpinnya masing-masing. Artinya,

tongkonan berperan penting dalam proses pembentukan tokoh-tokoh elite lokal. Untuk

memulainya, saya akan menjelaskan bagaimana hierarki sosial di kampung-kampung.

Di Toraja, masyarakat terbagi ke dalam tiga wilayah adat. Dari barat Toraja,

para pemimpin kampung bergelar to‟ma‟dikai, di utara bergelar Siambe, sedangkan di

timur-selatan bergelar puang. Dari masing-masing wilayah adat ini, masing-masing

membangun kekuasaannya sendiri. Dari sinilah muncul elite-elite lokal sebagai

pimpinan wilayah adat. Bahkan, mereka mampu menguasai ekonomi dan senjata

melalui perdagangan kopi dan para elite membangun hubungan perdagangan dengan

45

Merok adalah upacara penahbisan tongkonan, dalam upacara tersebut pendeta menyebutkan

sebuah narasi tentang mitologi awal mula orang Toraja.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

32

elite lokal di luar Toraja. SepertiPong Tiku yang memiliki kebun kopi sangat luas di

utara Toraja sekaligus dianggap sebagai seorang yang memiliki posisi penting di daerah

tersebut46

.

Saat ini, tokoh Pong Tiku dianugerahi penghargaan sebagai pahlawan nasional

karena berhasil memasok persenjataan dan melakukan perlawanan terhadap ekspansi

Belanda di Toraja. Namun, Trance Bigalke (2012) melihat bahwa Pong Tiku adalah

penguasa kecil di Tondon, Pangala‟. Pong Tiku membuat dirinya ditakuti oleh orang-

orang di Toraja pada saat itu dengan memimpin serdadu dan melakukan ekspansinya ke

kampung-kampung seperti Baruppu‟, Awan, dan beberapa daerah lainnya.

KeberhasilanPong Tiku dalam menaklukkan beberapa kampung adat di Toraja

membuatnya mendapatkan harta rampasan, seperti tanah, sawah, bahkan menjadikan

orang-orang taklukannya sebagai budak dan dijual atau ditukarkan dengan senjata dari

kerajaan Bugis. Saat itu, bukan hanya Pong Tiku saja yang menjadi elite lokal di Toraja,

tetapi ada seorang yang bernama Pong Maramba‟ yang berhasil menguasai dataran

pertanian di Toraja (Tikala, Kesu‟,dan Sa‟dan).47

Pong Maramba‟adalah bangsawan asal Rantepao yang berhasil menguasai

perdagangan kopi dan budak. Jikalau Pong Tiku hanya menjadi penyedia kopi, Pong

Maramba‟justru memiliki kedekatan langsung dengan tokoh-tokoh kerajaan Luwu

melalui perdagangan kopi. Kesemuanya itu Pong Maramba‟ dapatkan melalui proses

penaklukan kampung-kampung dan berhasil menguasai komoditas kopi dan budak.48

Di bagian selatan, terdapatpara bangsawan yang berhasil membangun relasi

dengan kampung-kampung. Dengan membuat hidup masyarakat bergantung kepada

46

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 50 47

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 56. 48

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 57.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

33

kekuasaan mereka, para bangsawan tidak perlu melakukan ekspansi kekuasaan dengan

kekerasan dan hal tersebut semakin didukung denganadanya kawin-mawin antara kelas

bangsawan dengan kelas menengah. Hal tersebut menjadi catatan sejarah masyarakat

Toraja. Seiring dengan berjalannya waktu, para elite-elite Toraja berkembang dan

memiliki wajah-wajah di dunia modern ini.49

2. Elite Lokal di Masa Pasca-Kolonial

Jikalau dahulu pada era pra-kolonial sampai kolonial,kaum bangsawan hanya dapat

melakukan ekspansinya melalui perang,saat ini di era pasca-kolonial,kekuasaan

bangsawan berkembang melalui monopoli di bidang ekonomi, politik, dan bahkan

gereja. Mereka berhasil menguasai bisnis kopi dan pariwisata di bidang perkapalan pada

tingkat nasional,seperti keluarga Pdt. S.T. Lande yang berhasil membuat perkebunan

kopi di Rinding Allo dan hotel-hotel berbintang tiga di Rantepao.

Secara administratif,daerah Toraja resmi menjadi kabupaten Tana Toraja pada 1

Maret 1957 dan dimekarkan menjadi dua kabupaten pada tahun 2008 menjadi

kabupaten Tana Toraja dan kabupaten Toraja Utara. Dari kedua wilayah tersebut. rata-

rata pemimpinnya adalah tokoh-tokoh politik berdarah bangsawan. Memang ada

beberapa yang bukan dari keturunan bangsawan, namun mereka adalah orang-orang

dari luar Toraja, bukan orang-orang asal Toraja. Berikut ini akan saya tunjukan daftar

nama bupati dari awal pembentukan sampai pada proses pemekaran kabupaten Toraja

Utara.

Tabel 1. Daftar Nama Bupati Tana Toraja

No. Nama Bupati Keterangan

1. La Kitta 1 Maret 1957-23 Juli 1958

49

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 60.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

34

2. SJ. Sarungngu 23 Juli 1958-21 Oktober 1958

3. DS. Rantesalu 21 Oktober 1958-15 Mei 1959

4. BA. Simatupang 15 Mei 1959-12 Juli 1960

5. HL. Lethe 12 Juli 1960-24 Maret 1963

6. AJK. Andi Lolo 24 Maret 1963-11 Januari 1964

7. DS. Rantesalu 11 Januari 1964-25 Juni 1966

8. Abner Tampubolon 25 Juni 1966-11 April 1973

9. Drs.Nusu' Lepong Bulan 11 April 1973-24 Januari 1974

10. AJK. Andi Lolo 24 Januari 1974-3 Desember

1984

11. A. Jacobs 3 Desember 1984-2 Desember

1989

12. Prof.Tandi Roma Andi Lolo

Ph.D

2 Desember 1989-12 Januari

1995

13. Drs.Tarsis Kodrat 12 Januari 1995-12 Januari 2000

Dari tabel tersebut, ada sembilan orang Toraja berketurunan bangsawan.50

Mereka berhasil menguasai daerah Toraja secara administratif. Jadi, dapat menjadi

kesimpulan bahwa ada wajah baru elite lokal yang dahulu hanya dapat menguasai

kampung-kampung dengan kekerasan, tetapi sekarang menguasai seluruh wilayah

Toraja melalui pemerintahan. Tentunya bukan hanya identitas sosial yang menjadi

penunjang utama untuk mendapatkan jabatan tersebut, tetapi melalui identitas sosial

tersebut memudahkan mereka mendapatkan modal ekonomi dan penunjang kehidupan

sosial mereka.Dalam reproduksi kekuasaan tokoh/elite di dalam sistem pemerintahan,

otomatis membuat mereka memiliki kuasa untuk mengatur regulasi terkait dengan

kehidupan masyarakat Toraja. Tindakan para elite terlihat dalam mereproduksi makna

untuk melanggengkan kekuasaan melalui simbol-simbol pemerintahan.

50

https://tanatorajakab.go.id/sejarah/ diakses 01-11-2019 pada pukul 22.00 WIB.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

35

Gambar.4. Kantor Bupati Kabupaten Tana Toraja

Gambar.5. Kantor DPRD Kabupaten Tana Toraja.

Dari gambar tersebut, terlihat jelas bagaimana Pemerintah Kabupaten Tana

Toraja menggunakan ornamen-ornamen tongkonan, ukiran-ukiran, dan dikomparasikan

dengan arsitektur bangunan modern. Hegemoni ini terlihat jelas dan mempertegas

identitas siapa yang ada dibalik bangunan, yaitu kelas bangsawan. Bukan hanya

arsitektur bangunan saja yang menggunakan simbol tongkonan, tetapi logo pemerintah

kabupaten juga menggunakan simbol-simbol tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

36

Gambar.6. Logo dua kabupaten di Toraja

Terlihat dalam gambar enam, bagaimana kedua logo tersebut menggunakan

bentuk utuh dari tongkonan. Dengan demikian, tidak heran jika orang-orang Toraja

melihat tongkonan sebagai simbol identitas masyarakat Toraja. Simbol tongkonan tidak

hanya digunakan dalam lingkup eksekutif, namun juga di beberapa lingkup legislatif.

Para elite politik ini menggunakan simbol budaya yang dianggap identitas Toraja untuk

dapat mengklaim posisi mereka sebagai pemimpin yang cakap di dalam masyarakat

Toraja. Seperti gambar di bawah ini:

Gambar.7. Anggota dan Calon Legislatif Kab. Tana Toraja (sumber Facebook.com)

Kedua poster di atas secara jelas menggunakan simbol tongkonan. Para legislatif

menempelkan ikon tongkonan dalam posternya.Merekatidak hanya sekadar mengejar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

37

nilai estetis,namun jugamencoba menunjukkan identitas mereka sebagai orang Toraja

pada umumnya.

Simbol-simbol tongkonan menjadi sangat umum di Toraja sebagai identitas

yang penting. Alhasil, banyak tokoh-tokoh legislatif dan eksekutif mereproduksi

simbol-simbol tongkonan karena dianggap sangat penting. Bahkan, tongkonan disebut-

sebut sebagai tempat bermunculannya para pemimpin. Oleh karena itu, pada

pelaksanaan musyawarah besar (Toraya Ma‟kombongan) tahun 2013 di Toraja telah

merumuskan bahwa orang-orang Toraja menghadapi krisis kepemimpinan dalam dunia

demokrasi, sehingga dirumuskanlah pemimpin yang ideal dalam musyawarah tersebut

berdasarkan kearifan lokal, yaitu:

Sugi na kina: Kaya (tidak hanya materi) dan arif-bijaksana.

Manarang na barani : cerdas-pandai.

Unangga‟ tongkonanna : Menghargai Tongkonannya.51

Toraya Ma‟kombongan merumuskan kepemimpinan yang terkait dengan

tongkonan pada saat ini sebagai bentuk penghargaan kearifan lokal. Rumusan tersebut

merujuk pada “tongkonan-krasi”52

karena hanya orang-orang tertentu yang dapat

menduduki jabatan tersebut. Misalnya, kepemimpinan di dalam masyarakat adat Toraja

disebut parengge‟ (memikul tugas dan tanggung jawab) berasal dari keturunan para

bangsawan.

D. Tongkonan dan Gereja

Dalam poin ini, saya akan menguraikan bagaimana bentuk-bentuk hegemoni tongkonan

di dalam gereja. Gereja yang saya maksudkan dalam hal ini adalah Gereja Toraja.

Alasan saya memilih Gereja Toraja karena masyarakat didominasi oleh orang Kristen

51

Bert Tallulembang, ed., Sumbangan Pemikiran Toraya Ma‟ Kombongan (Yogyakarta:

Gunung Sopai, 2013), 40. 52

Istilah ini saya rujuk buku dalam Sumbangan PemikiranToraya ma‟ Kombongan untuk

merujuk kepada proses demokrasi yang didasari oleh kepemimpinan tongkonan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

38

Protestan dan memiliki kekuatan sejarah di Toraja. Menariknya, dari beberapa agama,

sekte, dan kepercayaan lainnya, Gereja Toraja dominan menampakkan produksi

kebudayaan bangsawan. Bentuk-bentuk hegemoni tersirat di dalam konsep teologi,

pemimpin gereja dari kelas bangsawan, dan simbol-simbol yang digunakan.

1. Sejarah Kekristenan di Toraja

Kekristenan pertama kali dibawa masuk oleh Belanda bekerjasama dengan zending

yang berasal dari Belanda. Zending yang bertugas menginjili di wilayah Toraja adalah

Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dan mengutus seorang misionaris bernama

Antonie Aris van de Loosdrecht.

Misionaris A. A.van de Loosdrecht tiba di dataran tinggi SulawesiSelatan pada

tahun 1903. Saat itu A. A.van de Loosdrechtditugaskan sebagai guru Injil. Ia datang ke

Toraja mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit pada saat itu. Cikal bakal Gereja

Toraja berawal dari benih Injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap

(anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia) yang dibuka oleh pemerintah

Hindia Belanda pada tahun 1908.

Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Pada 16

Maret 1913, dilakukan pembaptisan pertama kepada 20 orang murid sekolah Lanschap

di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan Injil kemudian

dilanjutkan secara intensif oleh GZB yang datang ke Tana Toraja sejak 10 November

1913. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama

kurang lebih 34 tahun lamanya.53

Penginjilan yang dilakukan oleh GZB dimulai dengan

pendekatan yang humanis, melalui pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, van de

Loosdrechtdipanggil sebagai “Tuan Masokan”, artinyatuan yang baik hati dan ramah.

53

Th. van den End, Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Toraja: 1901-1961 (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 1994), 19.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

39

Hal ini jugalah yang membuat orang-orang Toraja percaya kepadapara penginjil karena

kebaikan hati, dan keramahan mereka.

Babak baru kekristenan di Toraja pasca kemerdekaan Indonesia, diawali dengan

mengadakan persidangan Sinode Am I yang berlangsung 25 – 28 Maret 1947 di

Rantepao. Hasil Sinode Am I yang dihadiri 35 utusan dari 18 Klasis tersebut

memutuskan bahwa “orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan

berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama „Gereja Toraja‟”.54 Di sini

Gereja Toraja mulai mandiri tanpa ada campur tangan dari zending. Pergumulan Gereja

Toraja sangat banyak, seperti bagaimana tata gereja dan pengakuan gereja disusun

dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebudayaan Toraja,bahkan sampai pada

persoalan ekonomi yang bebas dari keterikatan dari zending.

Tokoh-tokoh gereja mencoba menyusun bagaimana tata gereja dan pengakuan

gereja sesuai dengan nilai-nilai budaya Toraja. Namun, hasil dari persidangan Sinode

Am I belum menemukan gagasan yang kuat untuk mendefinisikan Injil dan kebudayaan

Toraja. Hal tersebut sangatlah wajar melihat tokoh-tokoh gereja masih sangat minim

pada saat itu. Wacana-wacana tersebut baru hadir ketika seorang pendeta bernama

Theodorus Kobong melakukan studi di Belanda dan melakukan penelitian secara serius

tentang Injil dan kebudayaan Toraja. Dalam penelitiannya, Kobong mendefinisikan

kebudayaan Toraja melalui tongkonan karena poros penting kebudayaan Toraja

dihasilkan dari tongkonan. Wacana Injil dantongkonan ini semakin berkembang, lalu

memberi peluang bagi penelitian dari Kobong untuk diterbitkan dalam bentuk buku

berbahasa Indonesia dengan judul Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi,

54

Th. van den End, Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Toraja: 1901-1961, 20.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

40

Transformasi. Buku tersebut terbit pada tahun 2008, diterbitkan oleh BPK Gunung

Mulia, salah satu penerbit besar di bidang teologi Protestan.

Hegemoni wacana tongkonan berkembang menjadi lebih kuat dengan

pendefinisian Kobong (2008) gereja sebagai tongkonan (persekutuan baru) dan

kepemimpinan persekutuan baru berdasarkan karakteristik tongkonan. Artinya,

perspektif kepemimpinan tongkonan dinarasikan sesuai sejarah kepemimpinannya

dibeberapa wilayah adat. Secara ajaran, Gereja Toraja menolak stratifikasi sosial

karena menurut ajaran kekristenan seluruh manusia sama di hadapan Tuhan. Akan

tetapi, dengan menggunakan definisi tongkonan sebagai gereja, bahkan pemimpin-

pemimpin religius bisa lahir di tongkonan, akan membuat celah stratifikasi sosial untuk

masuk ke dalam gereja. Faktanya, notabenepara pemimpinGereja Torajalahir dari

orang-orang keturunan bangsawan, bahkan tidak pernah ada orang berstatus masyarakat

biasa yang duduk sebagai pimpinan gereja.55

Apropriasi tongkonan tidak hanya sampai pada pengakuan dan aturan

gereja,tetapi simbol tongkonan itu diapropriasikan melalui arsitektur kantor pusat dan

logo, seperti gambar di bawah ini:

55

Th. Kobong, Injil dan Tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi, Jakarta: Gunung

Mulia, 2008, 114.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

41

Gambar 7. Kantor Sinode Gereja Toraja di Rantepao, Toraja Utara.

Gambar .8. Logo Gereja Toraja

Dari kedua gambar di atas, sangat jelas bagaimana Gereja Toraja

mengkonkretkan definisi tentang persekutuan baru (tongkonan). Alhasil, Gereja Toraja

menggunakan bentuk tongkonan secara utuh dan memberi namaTongkonan Sangulele

untuk merujuk kantor sinodenya.Selanjutnya, logo yang digunakan menggunakan atap

tongkonan. Penjelasan makna dari logo Gereja Toraja di dalam Tata gereja Toraja edisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

42

1 menjelaskan bahwa rumah Toraja (tongkonan) melambangkan konteks budaya Toraja

tempat Gereja Toraja lahir dan bertumbuh.56

Hegemoni itu, bahkan terjadi di salah satu jemaat Gereja Toraja di tanah rantau,

yakni Kutai Kalimantan Timur. Dalam acara peresmian gedung baru gereja, majelis

menyampaikan bahwa gereja adalah tongkonan layuk, maka dalam acara penahbisan

tersebut harus ada darah korban seperti kerbau, babi, dan ayam, sehingga sah secara

adat.57

Dalam wacananya nampak jelas, bahwa Gereja Toraja melanggengkan hegemoni

dari tongkonan.Dengan demikian, kebudayaan Toraja direpresentasikan secara

keseluruhan melalui tongkonan dengan caramereproduksinya melalui pengakuan gereja,

simbol, dan kepemimpinan gereja, sehingga wacana tongkonan menjadi praktik yang

nampak jelas dalam kehidupan berjemaat.

E. Tongkonan dan Pariwisata

Pada tahun 1970 sampai 1980-an, Toraja mendadak menjadi daerah yang mendapatkan

kunjungan dari turis mancanegara. Gelombang turisme berdampak pada perubahan

sosial ekonomi di Toraja. Data dari biro statistik di Toraja, terdapat 6.008 kunjungan

orang-orang dari Eropa Barat, Amerika, dan Australia pada tahun 1973-1975.Hal ini

berarti terjadi peningkatan yang sangat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya

yang hanya 422 orang pertahunnya.58

Ini berdampak pada perubahan sosial dan

ekonomi dalam masyarakat Toraja. Promosi besar-besaran yang dilakukan pemerintah

akan budaya Toraja memberi peluang bagi para pemilik modal untuk menginvestasikan

uangnya dalam bisnis perhotelan, seni, dan guide.

56

Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Khusus Gereja Toraja – Edisi 1 – Badan Pekerja Sinode

– dicetak oleh PT. SULO 57

https://kalimantan.suaraindonesia.co.id/read/1051/20180817/200849/404.html diakses pada

03-11-2019 pukul 14.00 WIB. 58

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 401.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

43

Hotel-hotel untuk menginap para turis banyak berdiri dengan megah di Tana

Toraja. Pasar-pasar dipenuhi dengan industri kerajinan tangan, seperti tas, baju, ukiran-

ukiran toraja, kalung (manik), dan miniatur tongkonan. Bahkan, dalam proses upacara

kematian di tahun 1970-an berubah drastis.Begitu padatnya desa-desa dengan

kemeriahan dan kemegahan upacara kematian yang menjadi penanda sebuah identitas

sosial, sekaligus menarik perhatian para turis untuk mengagumi kemegahan, keunikan,

dan kesemarakan acara kematian.59Dalam dekade inilah, kebudayaan Toraja identik

dengan rambu solo‟. Dengan kata lain, orang-orang mengkonstruksi rambu solo‟ yang

dahulunya dipahami sebagai ritual kematian para bangsawan, kini menjadi ikon

kebudayaan Toraja.

Pengembangan Dinas Pariwisata di Sulawesi Selatan menjadikan Toraja sebagai

salah satu destinasi wisata utama. Oleh karena itu, untuk mempromosikan kebudayaan

Toraja, digunakanlah gambar atau miniatur-miniatur tongkonandan ukiran di pusat-

pusatkota Makassar, seperti bandara, pelabuhan, dan transportasi (bus dengan ukiran-

ukiran Toraja). Fenomena ini menjadikan Toraja semakin dikenal memiliki adat yang

unik, seperti tongkonan, ritual kematian, dan turisme.

Selain menjadi ikon Toraja di kota Makassar, tongkonanjuga menjadi

representasi identitassuku Toraja di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), di Jakarta

Timur. Oleh sebab itu, tidak heran jikalau tongkonan menjadi simbol yang lazim

digunakan orang Toraja secara umum, bahkan menjadi penanda dari orang di luar

Toraja untuk mengidentifikasi Toraja.

Sejak tahun 2014 pariwisata menjadi surut ketika orang-orang dari Eropa merasa

ritual pemotongan hewan di Toraja sangatlah kejam. Penilaian tersebut muncul karena

59

Eric Crystal, “Myth, Symbol and Function of The Toraja House.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

44

berkembangnya kelompok-kelompok pecinta binatang (Animal Lovers) di Eropa pada

saat itu.60

Walaupun demikian, identitas kebudayaan Toraja telah dikenal di

mancanegara dan bahkan orang-orang Toraja sendiri secara sadar menjadikan

tongkonan sebagai simbol dari identitas masyarakat Toraja.

F. Orang Kaya Lama (OKL) vs Orang Kaya Baru (OKB) di Toraja

Hegemoni wacana tongkonan memberi tekanan kuat kepada kelompok budak di Toraja.

Para budak tertekan disegala elemen, baik itu ekonomi, politik, dan budaya. Namun, di

era modern istilah budak dianggap samar terdengar sejak sebagian besar orang Toraja

memeluk agama Kristen. Menurut hemat saya, peristiwa tersebutmenyiratkan adanya

kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok bangsawan. Alhasil,istilah

budak menjadi samar-samar di dalam masyarakat. Berikut, saya akan menunjukkan

bagaimana bentuk hegemoni dalam kontestasi antara budak dan bangsawan dengan

meminjam istilah yang digunakan oleh Aditjondro (2010), yakni“orang kaya lama

(bangsawan)” dan “orang kaya baru (belum tentu bangsawan).”

Faktanya saat ini, budaya Toraja menjadi sangat homogen. Artinya, secara tidak

langsung dominasi kelas bangsawan memunculkan identitas tunggal (tongkonan dan

rambu solo‟) di Toraja. Padahal ada praktik ritual para budak, misalnya upacara

kematian disebut disilli‟:

Upacara disilli‟, yaitu bentuk upacara pemakaman yang paling sederhana,

yang diperuntukkan bagi kelas rendah atau untuk bayi yang meninggal

sebelum tumbuh giginya. Biasanya bayi dimakamkan pada sebatang pohon

yang dipahat. Upacara disilli‟ ini masih terbagi atas empat tingkatan, yaitu:

(1)Dipasilamun toninna (dipasilamun=dikubur bersama; toninna=arihnya),

yaitu upacara pemakaman saat itu juga bagi anak yang lahir mati. (2)

Didedekan palungan bai (didedekan= diketukkan; palungan bai=palungan

babi), yaitu upacara pemakaman tanpa korban babi atau yang lainnya.

Mayat dikuburkan pada malam hari dengan menggunakan suluh ke tempat

pemakaman. (3)Dipasilamun tallo‟ manuk (dipasilamun=dikuburkan

60

Tallulembang, Bert, Sumbangan pemikiran Toraya Ma‟ kombongan, 2013,l 4.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

45

dengan; tallo‟ manuk=telur ayam). Maksudnya adalah mayat dibungkus dan

dikuburkan bersama telur ayam. Pemakaman dilakukan pada malam hari

dengan menggunakan suluh. (4)Dibai tungga‟ (dibai=dengan babi;

tungga‟=satu). Upacara pemakaman dengan menyembelih satu ekor babi

pada sore hari dan malamnya mayat dimakamkan. Kedua, dipasangbongi

(=diupacarakan satu malam), yaitu upacara yang berlangsung satu malam. 61

Upacara disilli‟ ini menunjukan sebuah kenyataan bahwa kebudayaan Toraja

tidak tunggal. Namun, karena adanya hegemoni wacana tongkonan tersebut, sehingga

berdampak pada hilangnya kebudayaan pinggiran. Semakin diperparah dengan adanya

branding pariwisata Toraja yang unik, megah, dan meriah di dalam rambu solo‟,

sehingga membuat paradigma tersebut tergiring dengan mudah oleh praktik hegemoni.

Orang-orang kaya baru (OKB) Toraja banyak sukses diperantauan, seperti di

Papua, Kalimantan, dan Jakarta. Alhasil, memberi kesempatan kepada mereka untuk

menjadi sosok yang disegani karena memiliki modal ekonomi. Artinya, dengan modal

ekonomi, para OKB menunjukan kesuksesan melalui ritual kematian. Hal tersebut

terlihat dari seberapa banyak hewan yang dikurbankan dalam ritual rambu solo‟.

Menurut Pangrante (2017), di era modern saat ini, membuka peluang para kelompok

budak untuk sukses di perantauan dan juga mereka dapat mengurbankan kerbau di

dalam praktik ritual kematian. Dengan demikian, muncullah kontestasi antara OKB dan

OKL melalui praktik mengurbankan kerbaudalamrambu solo‟.62 Namun, saya lebih

melihat kontestasi tersebut sebagai proses peniruan para budak untuk bisa sama dengan

para kelompok bangsawan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fenomena atau

realitas tersebut bukan sekadar kontestasi. Dengan kata lain, peniruan tersebut adalah

61

Kristanto, “Simbol Mantaa Duku‟: Suatu Kajian Kritis Tentang Simbol Mantaa Duku‟ Pada

Upacara Rambu Solo‟ Di Tana Toraja,” Kinaa Jurnal Teologi Vol 1 No 1 (2017) (n.d.). 62

Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan Kapitalisme,”

273.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

46

salah satu bentuk hegemoni wacana tongkonan. Proses peniruan tersebut malah

memunculkan kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.

Para OKB yang mampu mengurbankan kerbau dan membuat tongkonan, masih

tetap saja dibedakan dengan para bangsawan. Misalnya, dalam pembuatan tongkonan,

para OKB tidak dibenarkan menampilkan simbol-simbol kebangsawanan pada ukiran

dari tongkonan mereka. Di samping itu, seberapapun banyaknya OKB mengurbankan

kerbau dan babi dalam ritual kematian, tetap saja bentuk ritual-ritual yang mereka

laksanakan tidak dapat di klaim sebagai tingkatan rapasan.63

G. Rangkuman

Dari uraian bab ini, jelas menunjukan bagaimana bentuk-bentuk nyata hegemoni

tersebut. Wacana yang dominan benar-benar tersebar dalam setiap sendi kehidupan

masyarakat Toraja. Secara ideologis, memang masyarakat telah terkonstruksi menjadi

sebuah subjek yang dihegemoni oleh kelompok bangsawan Toraja.

Bentuk-bentuk hegemoni terlihat jelas pada tataran konsep dan praktik

kehidupan sehari-hari seperti mitologi, ritual, agama, maupun proses demokrasi.

Pertama, hegemoni tersebut terlihat dalam narasi mitologi penciptaan. Budak dianggap

sebagai boneka (tau-tau) yang diciptakan dari tanah liat, sedangkan para bangsawan

tercipta dari material emas sebagai simbol dari kemuliaan. Kedua, konsep tentang dunia

dikaitkan langsung dengan simbol tongkonan sebagai makrokosmos. Ketiga, Gereja

Toraja sebagai lembagamengakomodasi bentuk-bentuk hegemoni dengan

mentransformasi atribut-atribut budaya (tongkonan) dalam praktik kehidupan orang

Kristen-Toraja. Alhasil, tongkonan menjadi sangat identik dengan Gereja Toraja.

Keempat, bentuk-bentuk hegemoni tersebar dalam lembaga-lembaga pemerintahan di

63

Rapasan adalah tingkatan ritual kematian yang paling atas dan hanya bisa dilakukanoleh

kelompok bangsawan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

47

kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Lembaga eksekutif dan legislatif

mengapropriasi simbol-simbol tongkonan di dalam praktik demokrasi untuk

menampilkan identitasnya sebagai orang Toraja. Kelima, perkembangan pariwisata di

Toraja menjadikan tongkonan dan rambu solo‟ sebagai sesuatu yang unik dan hal

tersebut dapat menarik wisatawan untuk datang ke Toraja. Keenam, bentuk hegemoni

karena adanya proses peniruan dari orang kaya baru untuk dapat memperbaiki status

sosial di masyarakat. Namun pada kenyataannya, orang kaya baru tidak mampu meniru

sepenuhnya karena tetap dibedakan dengan kelompok bangsawan. Paling tidak, dari bab

ini dapat menjadi rujukan awal bagaimana gambaran wacana tongkonan benar-benar

tersebar dan menciptakan image Toraja yang tidak representatif bagi seluruh

masyarakatToraja. Penguasa-penguasa bertransformasi dengan wajah-wajah baru di era

kontemporer ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

48

BAB III

TONGKONAN DAN KAPITALISME

A. Pengantar

Dalam bab ini, saya menjawab pertanyaan rumusan masalah tentang bagaimana

ideologisasi wacana kebudayaan bangsawan (tongkonan)membentuk konsensus di

dalam masyarakat Toraja. Karena itu, saya menunjukkan beberapa poin penting untuk

menjelaskan bagaimana hegemoni wacana tongkonan berkaitan dengan kapitalisme,

sehingga wacana tongkonan menjadi hegemonik kehidupan masyarakat Toraja hari ini.

Menurut Gramsci, hegemoni merupakan alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk

menjalankan kepentingan mereka melalui konsensus.64 Saya menelusuri bagaimana

hegemoni kelas bangsawan beroperasi di Toraja melalui hasil observasi di lapangan,

baik itu wawancara narasumber, percakapan orang Toraja di media sosial, dan

percakapan sehari-hari orang-orang Toraja.

Untuk memulai penjelasan terkait dengan tongkonan dan kapitalisme,

pertamasaya memaparkan bagaimana tana‟ dikonstruksi menjadi sangat kaku dan

berkembang dengan wajah baru. Konstruksi tersebut mengakibatkan oposisi biner di

dalam masyarakat Toraja di antara bangsawan dan budak. Kedua, saya menunjukkan

bagaimana narasi industri pariwisata punya andil dalam proses hegemonisasi

kebudayaan bangsawan di Toraja.

64

T. J. Jackson Lears, “The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities,” The

American Historical Review (June 1985): 568.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

49

B. Narasi tana’: Sebuah Konstruksi

Pada poin ini, saya menunjukan bagaimana narasi tana‟ terkonstruksi di dalam

masyarakat Toraja. Untuk itu, pertama saya memulainya dengan menunjukkan

dinamika tana‟ di dalam masyarakat Toraja. Lalu, kedua saya melihat dinamika tersebut

berdampak sampai kepada konstruksi oposisi biner (bangsawan-budak).

1. Dinamika Tana’ di dalam Masyarakat Toraja

Dalam pengalaman, saya melaksanakan penelitian di Toraja selama dua bulan. Saya

berdiskusi dengan beberapa kalangan, baik itu masyarakat biasa, para mahasiswa,

pendeta, dan budayawan, mereka sepakat bahwa aristokrasi di balik tongkonan kini

tidak ada lagi. “Inang tae mo sussinna tu, saba sarani mi kik,”(sudah tidak adalagi yang

seperti itu, sebab kita telah menjadi Kristen).

Memang setelah kekristenan masuk ke Toraja, gereja sangat menentang tana‟

karena menurut ajaran Kristen, di hadapan Tuhan semua manusia sama. Dalam

kenyataannya, gereja, pemerintah, lembaga adat, bahkan para peneliti kebudayaan

hanya menggunakan narasi bentuk material kebudayaan bangsawan tanpa

mengakomodasi kebudayaan pinggiran. Sikap yang demikian adalah bentuk apologet

ideologi pemilik kepentingan dengan dalih sebagai budaya yang adi luhung. Keadaan

tersebutlah yang menjadi risalah awal untuk pembahasan dinamika tana‟ di Toraja.

Bagi masyarakat Toraja, khususnya agama suku (aluk todolo), agama dan adat

merupakan satu kesatuan yang tidak bisa didikotomikan. Ketika orang melakukan ritus

adat perkawinan dan ritus kematian, tentu mempunyai kaitan langsung dengan

pemahaman keagamaan.65 Untuk melakukan ritus-ritus yang ada, semuanya ada batasan

65

Hasil wawancara tokoh adat, Andarias Paonganan, di Ulusalu, Tana Toraja, tanggal 28-

Januari-2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

50

yang perlu ia tempuh. Batasan-batasan tersebutlah yang diidentikkan dengan dengan

tana‟.

Menurut kamus Toraja-Indonesia, tana‟ adalah patok. Tana‟ menjadi sebuah

patokan untuk menentukan jenis ritus macam apa yang akan ditempuh. Ada 4 patok

(tana‟) di dalam masyarakat Toraja, tana‟bulaan: patok emas (ketentuan bagi

puangkaum bangsawan), tana bassi: patok besi (ketentuan bagi to makaka), tana‟

karurung: ujung patok (ketentuan bagi orang-orang bebas), tana kua‟-kua‟: patok

gelagah (ketentuan bagi para kaunan/budak).66 Sebelum saya lebih jauh menjelaskan

dinamika tana‟, umumnya orang-orang Toraja biasanya menyamakan tana‟ dan kasta,

namun ini tentu berbeda, karena konteksnya istilah kasta sangat dekat dengan

Hinduisme.

Memang ada sedikit kemiripan antara tana‟ dan kasta pada sistemnya.67Hal ini

wajar terjadi di Toraja, sejak adanya surat keputusan direktorat Jenderal Bimas Hindu

Budha Dd/H/200-VII/69 pada tahun 1969 yang menyatakan aluk todolo dikategorikan

sebagai sebuah sekte dari Hindu Dharma.68Hal ini terjadi mungkin saja untuk

memasukkan aluk todolo sebagai agama resmi di Indonesia, karena konteksnya pada

tahun 1969 orang-orang yang tak beragama, dianggap sebagai komunis.

Menurut seorang budayawan Simon Petrus, tana‟ dipahami hanya sebatas peran

dan fungsinya, tidak lebih dari itu. Artinya, orang Toraja mempunyai patokan dasar

yaitu tana‟. Misalnya di dalam suatu wilayah adat, tana‟ bulaan menjadi pemegang

pemerintahan adat, tana‟ bassi sebagai pembantu untuk melaksanakan pemerintahan

adat, tana‟ karurung sebagai masyarakat biasa, dan tana‟ kua‟-kua‟ sebagai budak

66

J Tammu and H Van der Veen, Kamus Toradja-Indonesia (Rantepao: Jajasan Perguruan

Kristen Toradja, 1972), 601. 67

Meillassoux, Marx, kapital & antropologi: kumpulan tulisan terpilih antropologi Marxis,

2015, 218. 68

Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (Yogyakarta: Ombak, 2016), 405.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

51

pelayan bagi para bangsawan.69 Sedangkan menurut Daud Sangka Palisungan, tana‟

adalah struktur di dalam masyarakat Toraja. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh

identitas keluarga (tongkonan) dari mana ia berasal. Secara tidak langsung Palisungan,

menyatakan bahwa hierarki cukup kuat dalam masyarakat Toraja. Bahkan, menurutnya

di daerah selatan Toraja (saat ini kabupaten Tana Toraja) sangat kuat konstruksinya,

karena dipahami dalam kerangka teologis (penciptaan). Menurut mitologinya, struktur

tersebut telah tercipta dari langit, makanya manusia pertama juga turun kedunia bersama

dengan budaknya(kaunan). Mitologi tersebut juga mengkonstruksi bahwa,tana‟ bulaan

adalah orang keturunan dewa. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada orang Toraja

yang menghargai dan mengagung-agungkan keturunan puang (bangsawan).70

Para peneliti beranggapan bahwa orang Toraja sangat dekat dengan tradisi lisan

dan memvisualisasi bentuk-bentuk kebudayaan dengan simbolisasi. Itulah sebabnya,

banyak narasi mitologi terus menerus menyatakan bahwa kaunan-nya (budak) tercipta

di langit. Seperti misalnya, di dalam ritus merok71 ada nyanyian pasomba tedong ada

narasi penciptaan budak telah ada dari langit.72 Narasi tersebut berbunyi,Tuhan

membuat boneka dari tanah liat di atas langit lalu menamainya dengan Pottokalembang

sebagai budak dari para bangsawan.73

Tidak penting kebenaran narasi tersebut, tetapi bagi saya hal ini yang menjadi

salah satu faktor mengapa narasi-narasi kebangsawanan diartikulasikan terus menerus,

untuk mempertegas status identitas di masyarakat. Masalah tersebut tentu tidak berdiri

69

Hasil wawancara budayawan Toraja, Simon Petrus, di Makassar, tanggal 05-Februari-2020. 70

Hasil wawancara tokoh gereja, Daud Sangka di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal 05-

Februari-2020. 71

Merok adalah salah satu upacara bangsawan, yaitu penahisan tongkonan. 72

Hetty Nooy-Palm, The Sa‟dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. (New York:

Springer, 2014), 43. 73

Der Veen, The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja, 136.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

52

sendiri, ada beberapa faktor yang menyebabkan tana‟ menjadi kaku definisinya saat ini.

Salah satu faktor penting adalah modernisasi kehidupan sosial masyarakat Toraja.

Seorang sosiolog asal Toraja, Oktoviandi Rantelino menyatakan bahwa

perubahan terjadi melalui modernisasi yang memberi pengaruh penting pada paradigma

masyarakat Toraja tentang dirinya.

Cara pandang kita (orang Toraja) tentang tana‟ masih sangat dipengaruhi

oleh feodalisme barat. Ini menjadi petanda bahwa orang Toraja juga

dipengaruhi pandangan luar (modernisasi:misalnya Agama, pendidikan,

pemerintahan, sampai ekonomi). Bahkan orang Toraja sampai mengklaim

bahwa cara pandang dari luar itu, adalah cara pandang miliknya sendiri.

Karena itu, saat ini, sebenarnya kita harus sadar dalam posisi abu-abu. Tidak

sepenuh bebas dari cara pandangan luar, dan tidak sepenuhnya juga

pandangan tersebut adalah milik orang Toraja. Kesadaran tersebutlah yang

biasa kita sebut sebagai kesadaran di pasca-kolonial.74

Pernyataan tersebut mengklaim bahwa memang konstruksi budaya dari luar

cukup banyak mempengaruhi kesadaran masyarakat Toraja. Saya melihat ini sebagai

salah satu argumentasi bahwa sebenarnya tidak ada yang asli, murni, dan mutlak dalam

klaim konstruksi budaya masyarakat Toraja hari-hari ini. Konstruksi tersebut menjadi

kesempatan bagi aristokrasi untuk menguasai elemen-elemen penting di dalam

masyarakat Toraja (ekonomi, politik, agama dan budaya). Seperti di dalam dunia politik

hari ini, kebanyakan menggunakan politik tongkonan untuk mendapatkan suara dari

masyarakat. Karena mitosnya, hanya orang-orang berketurunan bangsawan yang dapat

menjadi pemimpin sejak dahulu kala di Toraja.

Bagi saya, tana‟ yang dianggap sebagai stratifikasi sosial, ataupun struktur

dalam masyarakat Toraja hanyalah konstruksi dari para budayawan, agamawan,

akademisi, dan sifatnya tidak mutlak sebagai sebuah klaim kebenaran. Konstruksi

tersebut banyak dipengaruhi oleh ideologi modernisme. Di balik itu ada kepentingan

74

Hasil wawancara akademisi, Oktoviandi Rantelino di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal 05-

Maret-2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

53

ekonomi-politik oleh orang-orang tertentu. Untuk itu saya akan menelusuri bagaimana

tana‟ membentuk konstruksi biner.

2. Oposisi Biner dalam Konstruksi Tana’

Istilah penguasa dan abdi, tuan dan hamba (dalam bahasa Toraja: puang-kaunan),

memang faktanya ada di dalam masyarakat Toraja. Yang demikian, tidak hanya terjadi

di Toraja. Kebudayaan di beberapa tempat di dunia ini, mengenal istilah tersebut.

Dengan adanya konstruksi tersebut, klaim adat (diasosiasikan dengan tana‟), banyak

mempengaruhi sistem di dalam masyarakat Toraja yang sifatnya biner (berkuasa-yang

dikuasai). Pertanyaannya, apakah benar klaim tersebut memang berasal dari adat atau

tradisi nenek moyang.

Dalam seminar 100 tahun Injil Masuk Toraja (IMT)pada tahun 2013, Zakaria

Ngelow menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi perubahan sosial

masyarakat Toraja yaitu kaa (penjualan kopi), kaunan (penjualan budak), kaparentaan

(pemerintahan), kasaranian (kekristenan), kapariwisataan (industri pariwisata).75 Pada

pembahasan saat ini, saya akan menyoroti bagaimana penjualan budak terjadi di Toraja.

Hemat saya, ini juga memiliki kaitan dengan konstruksi tana‟ pada era kontemporer di

masyarakat Toraja. Seperti pernyataan seorang bangsawan (Ne‟ Duma‟) di dalam buku

Kathleen Adams, Art as Poltics In Toraja (2006) bahwa memang perbudakan sangat

dilarang dalam prakteknya di masa pasca kemerdekaan Indonesia, tetapi para budak

telah dibeli, dan menjadi hak milik keluarga secara turun temurun:

True, we are not supposed to use the word slave anymore, butthis doesn‟t

change their birth. These days descendants of slaves. . . think “freedom”

means “freedom for slaves.” But actually it means freedom from the Dutch.

They aren‟t free because theywere bought by our ancestors. . . . It‟s the

same as if an ancestorbought a tree, then his descendants would have claim

75

Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam Tradisi

Pengorbanan Kerbau Pada Ritual Pemakaman Toraja” (Yogyakarta, Sanata Dharma, 2015), 33.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

54

to itsbranches, leaves, twigs, flowers, and fruit. The original slave isthe

trunk, and his children and grandchildren are the leaves andflowers: they

all belonged to the descendants of the noble whoowned the trunk. That‟s our

tradition.76

Percakapan tersebut bahkan ditegaskan oleh Ne‟ Duma, kemerdekaan yang

dimaksud adalah lepasnya Indonesia dari cengkraman perbudakan Kolonial, bukan

kemerdekaan para budak pribumi dari para bangsawan Toraja. Inilah salah satu fakta

bahwa wacana perbudakan tersebar di dalam masyarakat Toraja. Klaim perbudakan

tersebar dengan menggunakan istilah adat/tradisi.

Sebelum masuknya kekuasaan kolonial di Toraja, pada abad ke-19an para elite

Toraja membuka jalur perdagangan kopi dengan kerajaan di dataran rendah (Kerajaan

Sindreng dan Kerajaan Luwu). Di era itu, kopi menjadi salah satu komoditi terlaris di

dunia. Para elite Toraja, seperti Pong Tiku dan Pong Maramba memperluas daerah

kekuasaan mereka untuk dijadikan kebun kopi dan menangkap orang-orang di daerah

penaklukannya, untuk dijadikan budak. Budak-budak tersebut justrudijadikan komoditi

oleh para elite Toraja ke daerah kerajaan dataran rendah (Sindreng, Luwu). Ada juga

para budak yang ditukarkan dengan senjata.77 Saya melihat mungkin ini ada kaitan

mengapa istilah kaunan dilekatkan dengan istilah hamba/budak, karena adanya

pertemuan/interaksi dengan kerajaan dataran rendah (Sindreng, Luwuk) yang lebih dulu

mengetahui istilah budak/hamba di dalam sistem Kerajaan. Bahkan menurut Bigalke

(2016), sebelum jalur perdagangan kopi di buka, orang-orang Toraja telah banyak

ditangkap oleh para penguasa kerajaan Sindreng di Selatan, lalu dijadikan budak.

76

Kathleen M. Adams, Art as Politics: Re-Crafting Identities, Tourism, and Power in Tana

Toraja, Indonesia, Southeast Asia--Politics, Meaning, and Memory (Honolulu: University of

Hawai‟i Press, 2006), 46. 77

Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, 42-43.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

55

Peristiwa perdagangan budak di Toraja, ataupun banyaknya penangkapan orang

Toraja yang dilakukan oleh para penguasa kerajaan Sindreng, lalu dijadikan budak,

menjadi salah satu titik berangkat saya, bahwa orang Toraja mungkin saja awalnya tidak

mengenal yang namanya perhambaan atau perbudakan. Istilah hamba atau budak

menjadi masif di Toraja karena terjadi pertemuan atau interaksi dengan kerajaan di

dataran rendah yang lebih dulu mengenal perbudakan. Seturut dengan itu, muncullah

penyebutan para budak dengan berbagai klasifikasinya. Seperti catatan seorang

Antropolog Nooy Palm (1973), yang meneliti Toraja pasca-penjualan budak terjadi,

tana‟ kua-kua mendapatkan berbagai klasifikasi lagi:

Different kinds of slaves existed:

1. slaves who were bom as slaves;

2. those who were enslaved by being taken prisoner during war;

3. those who, either from anxiety or because adversely had plunged them into

destitution, sought protection by allying themselves to a rich and/ or powerful

master; these slaves were called kaunanmengkaranduk. They had the right to buy

back their freedom.

4. condemned thieves;

5. those who incurred debts which they were unable to pay off (kaunan sandang,

kaunan indan). By meeting their debt they could reclaim their freedom without

having to pay the one hundred head of livestock, etc. Which an ordinary slave had

to pay to gainhis emancipation.78

Paling tidak yang ingin saya tunjukkandi sini adalah ada perubahan didalam masyarakat

Toraja, era ketika jalur perdagangan kopi dan budak di buka oleh para elite. Kondisi

demikianlah yang ikut mengubah paradigma orang Toraja tentang kaunan. Jikalau

melihat pembagian jenis-jenis budak, selain budak secara turun temurun, ada juga

budak dari tahanan perang, malah ada disebabkan oleh utang. Menariknya, klaim

mitologi manusia pertama orang Toraja yang dianggap seolah-olah budak yang

diasosiakan dengan tana‟ kua-kua, bisa dibantah memakai fenomena ini.

78

Nooy-Palm, The Sa‟dan-Toraja, 45.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

56

Menurut tokoh adat di Sangalla‟, sekaligus sebagai kepala desa di Lembang

Saluallo, Ibrahim Ada‟, dulu ada orang berketurunan bangsawan (tana‟ bulaan) yang

bisa saja dijadikan budak karena kalah perang, melarat akibat utang, dan kalah judi.79

Artinya, konstruksi mitologi yang mengasosiasi tana‟kua‟-kua‟ dengan kaunan (budak)

tidaklah benar adanya. Faktanya ada keturunan bangsawan yang menjadi budak.Tana‟

menjadi hal yang sensitif diperbincangkan hari-hari ini di Toraja, seperti yang saya

jelaskan sebelumnya bagaimana tana‟ telah diasosiasikan sebagai kelas sosial, antara

tuan-budak (puang-kaunan), penguasa dan yang dikuasai. Konstruksi oposisi biner yang

ada di dalam masyarakat Toraja ini biasanya digunakan sebagai instrumen politik

praktis. Seperti unggahan akun Facebook Benny Baan Lebang, pada 19 Juni 2019 di

dalam grup Forum Politik Facebookers Toraja:

Gambar.10. postingan akun Benny Baan Lebang, di grup facebook (forum politik Toraja).

79

Hasil wawancara kepala desa Saluallo, Ibrahim Ada‟, di Sangalla‟, Tana Toraja, tanggal 28-

Januari-2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

57

Postingan tersebut menyampaikan sebuah tendensi politis, secara harfiah menyatakan

bahwa “para budak akan busuk pantatnya, ketika duduk di alang80 (lumbung padi yang

ada di depan tongkonan). Walaupun uang dan emasnya banyak, apalagi ingin menjadi

pemerintah.” Artinya, yang menjadi pesan utama dalam postingan tersebut adalah para

keturunan budak, seperti apapun kondisinya tidak layak untuk menjadi pemimpin. Hari-

hari ini memang banyak muncul wajah-wajah baru yang sukses di perantauan. Mereka

datang dengan membawa kesuksesan mereka ke Toraja. Biasanya ini ditunjukkan di

dalam ritus-ritus kematian, bahkan membangun tongkonan yang megah dan lebih

modern bentuknya. Muncullah sebuah parodi yang menyatakan bahwa, di Toraja saat

ini tana‟ tidak hanya empat, tetapi ada tambahan yaitu tana‟ Papua (orang-orang yang

sukses di Papua), dan tana‟ Kalimantan (orang-orang yang sukses di pulau Kalimantan).

Narasi-narasi seperti inilah dampak konstruksi yang bersifat oposisi biner,

namun seperti uraian saya sebelumnya bahwa tana‟kua-kua tidak benar jikalau

diasosiasikan dengan budak. Konstruksi tersebut adalah bentuk esensialisme kultural,

yang biasa digunakan dalam proses politik identitas, di baliknya itu ada kepentingan

ekonomi dan politik.81 Faktanya malah perbudakan yang dianggap ada sejak mitologi

manusia pertama, tidak selalu benar. Perbudakan terjadi masif ketika ada pertemuan

orang Toraja, melalui jalur perdagangan kopi dengan para elite kerajaan-kerajaan

dataran rendah (Sindreng, Luwu), dan tentunya di era globalisasi.

Paling penting dari uraian saya sebelumnya, konstruksi tana‟ faktanya sangat

dekat dengan lingkup tongkonan. Narasi-narasi tersebut malah di artikulasikan dengan

terus menerus, baik itu di dalam upacara adat maupun kehidupan sehari-hari. Di era

80

Alang adalah lumbung padi yang posisinya berada di depan tongkonan. Biasanya dalam ritus-

ritus, ataupun pertemuan, alang adalah tempat khusus untuk para kaum bangsawan. 81

Martha E. Gimenez, “With a Little Class: A Critique of Identity Politics,” Ethnicities 6, no. 3

(September 2006): 423–39, 431-431.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

58

digital narasi itu tersebar dengan begitu cepat. Hal tersebut menjadi sangat politis,

karena menggunakan bentuk bentuk paham esensialisme (identitas) kultural.

Selanjutnya saya menguraikan bagaimana perkembangan industri pariwisata ikut

memiliki peran mengkonstruksi kebudayaan Toraja yang hegemonik saat ini.

C. Industri Pariwisata

Pada bagian ini, saya akan membahas hegemoni wacana tongkonan punya kaitan

dengan konstruksi industri pariwisata. Saya melihat bahwa dengan adanya konstruksi

tongkonan sebagai ikon untuk promosi parawisata berdampak pada homogenisasi

budaya di Toraja. Selain itu, homogenisasi budaya tersebut tersebar di dalam praktik-

praktik ritual seperti rambu solo‟ dan kemegahannya dan ekonomi kerbau.

1. Tongkonan: Ikon Homogenisasi Budaya

Telah saya jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa narasi tongkonan begitu

menghegemoni dengan bentuk-bentuk materialnya bahkan turun kedalam kehidupan

sehari-hari. Dalam poin ini, saya menunjukkan apa penyebabnya sehingga narasi

tongkonan memiliki sifat hegemonik di dalam kebudayaan Toraja dalam frame industri

pariwisata.

Pada tahun 1951-1956 banyak tongkonan dibakar oleh tentara DI/TII yang

dipimpin oleh Kahar Muzakkar karena dianggap sebagai bentuk animisme dan masih

primitif. Bahkan dianggap sebagai rumah yang tidak layak karena kolong tongkonan

digunakan sebagai kandang hewan peliharaan pemilik tongkonan.82Setelah tentara

DI/TII meninggalkan Toraja, para bangsawan kembali membangun tongkonan-

tongkonan yang telah dibakar.

82

Eric Crystal, “Myth, Symbol and Function of The Toraja House.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

59

Pada tahun 1960-an, pemerintah nasional melakukan promosi pariwisata sebagai

saranapenghasil devisa untuk negara.83 Karena itu dibentuklah Dewan Tourisme

Indonesia (DTI) untuk mempromosikan pariwisata Indonesia (Jawa, Bali, Sumatra,

Toraja) bekerjasama dengan media-media internasional Amerika dan Singapura.84 Hal

ini membuat Toraja dijuluki “bali kedua” di pemerintahan Orde Baru. Pariwisata Toraja

diperkenalkan dengan ikon tongkonan pertama kali saat dewan tourism Indonesia

bekerja sama dengan pemerintah untuk mempromosikan keunikan budaya Indonesia.

Pemerintah juga memberikan dukungan luar biasa melalui Departemen

Perhubungan Darat dan PTT, dengan mengeluarkan perangko Edisi

tourisme yang mengangkat tema kebudayaan dan tempat-tempat wisata di

Indonesia. Promosi pariwisata melalui pembuatan perangko edisi khusus

tourisme, merupakan kerjasama DTI dengan Departemen Perhubungan

Darat dan PTT. Perangko-perangko yang dikeluarkan pemerintah,

bergambar Candi Borobudur, Candi Bali, Danau Toba, Kawah Tangkuban

Perahu, Tari Dayak, Tari Bali, Perahu Ambon, Rumah Toraja, Karapan

Sapi, Ngarai Sianok, dan lain sebagainya (Kurnia Sari 2013, 226–27).

Promosi DTI di tahun 1960-an mengakibatkan tongkonan menjadi jualan industri

pariwisata sehingga di kampung-kampung tongkonan yang dahulu dianggap primitif,

animisme, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang dianggap unik. Promosi-promosi

pariwisata yang dilakukan ternyata berhasil menarik wisatawan, dari tahun 1971-1988

persentasenya meningkat dengan fantastis di setiap tahunnya.

Pada tahun 1985 ada pertemuan para bangsawan dari berbagai wilayah adat,

pemerintah daerah, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan, dan para pemandu wisata.

Pertemuan tersebut mengkanonisasi sejarah-mitologi dari beberapa wilayah adat.

Anehnya pembicaraan tersebut bertujuan untuk mendapatkan sebuah kesepakatan

83

https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/tana-toraja-decade-

tourismdiakses pada 05 April 2020. 84

Nita Kurnia Sari, “Dewan Tourisme Indonesia Sebagai Penggerak Kepariwisataan Nasional

Tahun 1957-1961,” Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah Vol 1, No 2 (2013), 226.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

60

bersama seperti apa narasi yang akan dipakai para pemandu wisata.85 Dengan demikian,

ada keterlibatan para aristokrat Toraja untuk narasi-narasi kebudayaan Toraja yang

berkembang saat ini. Usaha tersebut, tentu dibarengi dengan semangat industri

pariwisata, menjadikan Toraja sebagai destinasi yang dapat menghasil keuntungan

ekonomi untuk kelompok tertentu.

Gambar.11. Tongkonan di Taman Mini Indonesia Indah (sumber Buku Sejarah

Taman Mini Indonesia)

Pada tahun 1985-1988 pemerintah nasional membangun anjungan dari setiap provinsi

Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pada dasarnya pemerintah nasional

bertujuan untuk “membangkitkan rasa bangga dan mempertebal kecintaan terhadap

tanah air dan bangsa, di samping merupakan promosi bagi para wisatawan asing untuk

lebih mengenal keadaan tanah air”.86 Oleh sebab itu, TMII memilih tongkonan yang

85

Adams, Art as Politics, 57. 86

Suradi HP et al., Sejarah Taman Mini Indonesia 1989 (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan

Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradsi Al Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi

Sejarah Nasional, 1989), 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

61

dianggap keunikan budaya dari provinsi sulawesi selatan. Buku Sejarah Taman Mini

Indonesia mendeskripsikannya seperti berikut ini:

Rumah adat Toraja yang disebut tongkonan. Tongkon artinya duduk,jadi

tempat duduk bermusyawarah, mendengarkan perintah dan/,atau

menjelaskan masalah adat yang terjadi di masyarakat. Tongkonan juga

merupakan istana raja atau penguasa adat dan pusat pertalian keluarga.

Bangunan ini berbentuk rumah panggung, persegi panjang dengan atap

berbentuk perahu layar atau tanduk kerbau.Tiang persegi empat, di sudut

rumah lebih besar daripada di sisi kanan dan kirinya. Lantainya bertingkat

disebut Tallung Lonta, yaitu bagian utara dan selatan lebih tinggi dari pada

bagian tengah. Tangga persegi empat terletak di samping kanan rumah atau

di bawah lantai atau kolong rumah. Susunan ruangan, bagian depan atau

bagian utara disebut Tang do ' atau Paluang, lantainya lebih tinggi daripada

ruang tengah. Tang do' atau Paluang berfungsi sebagai tempat istirahat,

tempat mengadakan sesajen atau ma 'pakende deata, juga untuk tidur tamu

yang menginap. Bagian tengah disebut Sali, lantainya lebih rendah, di

bagian timur Sali berfungsi sebagai tempat kegiatan keperluan sehari hari

seperti memasak, sedangkan dikala ada upacara pemakaman tempat ini

untuk menyimpan mayat. Selama ada mayat, tidak boleh memasak di dapur,

tapi semua makanan dimasak di luar rumah. Bagian barat Safi dipergunakan

sebagai ruang makan. 87

Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah pusat ikut mengakomodasi

konstruksi identitas masyarakat Toraja melalui tongkonan. Keunikan-keunikan yang

coba ditampilkan oleh Taman Mini Indonesia Indah ini sama seperti di dalam promosi

pariwisata di Toraja untuk menarik para wisatawan. Makanya, salah satu andalan

destinasi wisata Toraja yaitu kampung tua bernama Ke‟te Kesu. Tongkonan-tongkonan

yang berjejer lengkap dengan alang di depannya menawarkan keunikan yang telah

dikonstruksi oleh Industri Pariwisata. Selain itu, kampung Ke‟te kesu secara mitologis

digambarkan sebagai rumah dari tomanurun (bangsawan titisan dewa berasal dari

langit), bernama Manurun di Langi‟.88

87

Suradi HP et al., Sejarah Taman Mini Indonesia 1989, 7-8. 88

Tangdilintin, Adat Dan Kebudayaan Toraja (Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1976), 26.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

62

Gambar.12. Jadwal acara Mangrara Banua di Tongkonan Kesu‟ tahun 1990

(Sumber. Kathleen Adams. The politics of heritage in Tana Toraja, Indonesia)

Framing menggunakan mitologi oleh industri pariwisata menjadi referensi untuk

menjuluki Ke‟te Kesu sebagai kampung tertua di Toraja. Lalu pada tahun 2001, Ke‟te

Kesu masuk nominasi dalam penentuaan warisan dunia oleh United Nations

Educational, Scientific, and Cultural Organization(UNESCO). Kampung Ke‟te Kesu

menjadi salah satu destinasi wisata yang menyediakan paket lengkap. Di kampung

tersebut selain ada rumah adat yang unik, di selatan tongkonan ada goa yang dibuat

menjadi kuburan. Di dalam perjalanan menuju goa, ada banyak toko souvenir

menyediakan miniatur tongkonan, ukiran-ukiran Toraja yang terdapat di tongkonan, dan

kain tenunan motif toraja.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

63

Gambar.13. Kampung Tua Ke‟te‟ Kesu, di Kecamatan Kesu‟, Kabupaten Toraja Utara

(sumber kompas.com)

Saat ini tongkonan menjadi sesuatu yang dikenal sebagai bagian dari identitas adat

Toraja. Paradigma tersebut tidak lepas dari pengaruh konstruksi industri pariwisata.

Toraja dianggap sebagai tanah yang penuh dengan keunikan budaya melalui

Tongkonan. Inilah mengapa narasi tongkonan menjadi hegemonik di Toraja karena

adanya semangat industrialisasi pariwisata yang turut mengkonstruksi ikon identitas

ke-Toraja-an. Simbol-simbol tongkonan terus menerus digunakan oleh orang-orang

Toraja, untuk mengidentifikasi identitas diri mereka sebagai Toraja.

2. Rambu Solo’ dan Kemegahannya

Sebuah narasi yang umum tersebar di masyarakat luas adalah bahwa “jika mau menikah

dengan orang Toraja, cek dulu apakah neneknya sudah meninggal!” ungkapan ini

sebenarnya bentuk penolakan orang-orang terhadap teknis pelaksanaan ritus rambu

solo‟, bukan biaya pernikahan yang besar, tetapi pada upacara kematian. Penolakan

tersebut sangat lazim terjadi di masyarakat luas, karena di dalam upacara kematian

ditampilkan sebuah kemegahan, kemeriahan yang tidak sedikit biayanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

64

Rambu solo‟ hari-hari ini, memang menampilkan kemeriahan, kemegahan, tidak

tanggung-tanggung rumpun keluarga almarhum mempersiapkan acara setelah kematian

di jauh-jauh hari. Biasanya almarhum disemayamkan di tongkonan sampai bertahun-

tahun, untuk menunggu kesiapan keluarga melaksanakan ritual kematian. Anggaran

ritus tersebut mencapai angka minimal ratusan juta. Menurut kepercayaan aluk todolo,

rambu solo‟ adalah sebuah ritus kematian Toraja, setiap kurban (babi,kerbau) yang

disembelih akan menjadi bekal almarhum menuju nirwana (puya). Jadi, semakin banyak

hewan kurban disembelih, semakin mudah almarhum sampai ke nirwana.89 Dengan

demikian, ini menjadi salah satu daya tarik para wisatawan untuk melihat upacara

kematian di Toraja yang dianggap unik.

Catatan pentingnya, rambu solo tersebut merupakan salah satu ritual yang

berpusat pada tongkonan. Di bab-bab sebelumnya telah saya jelaskan bahwa ritus

rambu solo‟, merupakan turunan dari tongkonan. Patokan ritus rambu solo ini

mengikuti arah angin tongkonan rambu solo dilaksanakan di sisi barat tongkonan,

karena di sanalah matahari terbenam (simbol kegelapan:kematian). Semenjak

tongkonan menjadi ikon, rambu solo‟ ikut terbawa oleh konstruksi industri pariwisata

sebagai bagian upacara kematian orang Toraja, dan terus-terus menerus dinarasikan

untuk menarik wisatawan masuk Toraja.

Rambu Solo dianggap menarik bagi wisatawan asing karena unik, eksotis, dan

mewah. Para asosiasi pariwisata di Toraja berkerja sama dengan agen-agen dari negara-

negara Eropa, dengan jualan tongkonan dan rambu solo‟. Orang-orang Toraja di

perantauan, banyak mempertontonkan keberhasilan mereka pada saat melaksanakan

ritus kematian. Seperti upacara kematian alm Ne‟ Sarrin, di Sereale Kabupaten Toraja

89

John Liku-Ada‟, Pr, Aluk To Dolo Menantikan Kristus: Ia Datang Agar Manusia Mempunyai

Hidup Dalam Segala Kelimpahan (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2014).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

65

Utara menghabiskan anggaran miliaran rupiah, untuk menghapus status rendahnya di

kampung. Acara ini banyak menarik wisatawan dan beberapa media untuk meliput. 90

Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana orang Toraja mencoba mempertontonkan

kekayaan dan kesuksesan melalui ritus tersebut. Penyebabnya bukan hanya karena adat,

tetapi ada embel-embel ekonomi pariwisata di balik istilah adat. Masalahnya adalah,

rambu solo‟ diterima mentah-mentah sebagai ritus kematian orang Toraja, padahal tidak

hanya satu macam saja bentuknya. Yang demikian disebabkan oleh narasi industri

pariwisata dengan bentuk ritus unik dan megah. Jadi, hal ini terkonstruksi di dalam alam

bawa sadar masyarakat Toraja, seakan-akan kesemuanya itu adalah adat.

Kompas.com pernah meliput Toraja melalui ritus rambu solo‟, dengan judul

sangat provokatif, “Rambu Solo, Upacara Pemakaman Khas Toraja yang Tersohor”.

Pada tulisan itu, narasi kemegahan dan kemeriahan menjadi salah satu patokan

kesuksesan ritual rambu solo‟ sehingga almarhum mendapat kelancaran menuju puya

(nirwana), dan rohnya dapat setara dengan para dewa (membali puang).91

Kepercayaan tersebut sebenarnya, memang ada di dalam masyarakat Toraja,

namun saat ini tidak lagi seperti demikian. Paham tentang bekal roh untuk menjadi

titisan dewa adalah konsep yang sangat dekat dengan ajaran agama suku, sedangkan

orang Toraja saat ini banyak menghidupi agama-agama modern (Islam, Kristen). Lantas

apa yang mempengaruhi orang Toraja untuk tetap melakukan ritus tersebut? Tentu

bukan lagi karena paham tersebut, tetapi prestise keluargalah yang dimunculkan.

Orang-orang Toraja saat ini malu jikalau tidak dapat melaksanakan ritual rambu

solo‟ untuk keluarganya yang meninggal, bahkan tidak sedikit mendapat hujatan dari

90

Hasil wawancara tokoh gereja Toraja, Daud Sangka P di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal

05-Februari-2020 91

https://foto.kompas.com/photo/read/2018/11/9/154175241700f/1/Rambu-Solo-Upacara-

Pemakaman-Khas-Toraja-yang-Tersohor, diakses pada 03-April-2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

66

orang-orang kampung.92 Catatan Volkman, Toraja menjadi gempar saat orang Toraja

yang memiliki kekayaan menolak untuk memotong kerbau:

One critic of this system, who I call Pak L, is a prominent Christian, active

in politics and the Toraja church as well as in education and the hotel

business. In the mid-1970s he created something of a stir when he refused to

“cut buffalo” for his very rich and noble father‟s funeral. Instead, he

channeled the funds into local school and irrigation projects. By 1978 his

actions were widely discussed in both town and village, but as he himself

had predicted, most people were too bound up with the problem of shame

and honor to emulate his mode

Inilah akibat dari narasi ekonomi pariwisata, rambu‟ solo sebagai satu-satunya

ritus kematian di Toraja yang membuat orang Toraja melaksanakan ritus dengan

kemegahan dan kemeriahan. Malah tindakan emansipasi membuat orang-orang Toraja

gempar karena dianggap tidak melakukan ritus adat dengan benar, padahal tindakan L

di atas mencoba membangun sebuah peradaban kemanusian, melalui pembangunan

pendidikan. Sikap-sikap kritis, malah dikaburkan dengan jargon “adat dan budaya”,

seperti yang diungkapkan dalam buletin ikatan mahasiswa Toraja di Bandung

Dunamika pada tahun 1978:

The lack of work has caused many Toraja to migrate to other areas, and

encouraged young children to continue their education in large cities. Of

those who have migrated, and have successfully ac-cumulated some cash,

even those who can be classed as intellectuals, it is nonetheless difficult to

change their way of thinking or their orientation, especially about the

problem of death ceremonies.In fact, it is they who act as sponsors, relied

upon by their families in the villages, to pay for funerals. It is deeply

regrettable, but such is the reality. It is clear that the death ritual must be

maintained as the identity (identitas] of the Toraja people. Among somany

thousands of existing peoples, this is a unique culture, with noble values,

second tonone on earth.93

92

Hasil wawancara tokoh gereja Toraja, Daud Sangka P di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal

05-Februari-2020. 93

Toby Alice Volkman, “Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s,” American

Ethnologist 11, no. 1 (February 1984): 152–69, 162.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

67

Paling tidak, saya dapat melihat bahwa hegemonisasi kebudayaan Toraja,

melalui tongkonan sampai pada praktek-praktek ritual di dalam masyarakat Toraja.

Kebanyakan kaum intelektual Toraja yang telah merantau mendapatkan pendidikan

malah tidak menampakkan sikap kritis. Menggunakan istilah Gramsci, kaum intelektual

ini malah dapat diidentifikasikan sebagai „intelektual tradisional‟. Keadaan ini

mengakibatkan, hilangnya kebudayaan pinggiran yang hanya menyisakan ingatan di

kepala orang-orang Toraja.

Oktoviandi Rantelino menyatakan bahwa hilangnya budaya pinggiran di Toraja

dikarenakan budaya tersebut tidak menarik untuk dijadikan sebagai jualan pariwisata. 94

Memang secara signifikan, bentuk ritus dari orang-orang tana‟ karurung dan tana kua-

kua‟ kini tidak nampak lagi di dalam masyarakat Toraja. Selain ritus itu tidak menarik

untuk dijadikan jualan industri pariwisata, ritus tersebut telah dianggap sebagai ritus

untuk orang-orang kelas rendahan.

Pada tahun 1978, diadakan ritus kematian orang besar (to kapua) di Rantepao,

yaitu Ne Atta‟. Anggarannya 90 juta rupiah yang pada tahun itu nilainya sangatlah

banyak. Sikap gereja saat itu cukup kritis, melihat hal tersebut hanyalah sebagai

tontonan para turis, bukan lagi sebagai ritual keagamaan.

According to a Kompas newspaper story of 19October 1978, many Toraja,

particularly those associated with the Christian church, suspected that the

entire ceremony was more of a tourist “spectacle” than a religious ritual.”

Ne„ Atta‟ was in fact a Christian, yet his funeral included colorful aluk

elements that had long been forbidden by the church, such as the

construction of a carved effigy, defended by Ne‟ Atta‟ ‟s family as a

“portrait.” Whether such departures from established Christian practice

were indeed motivated by commercial interests is difficult to say, although

94

Hasil wawancara akademisi, Oktoviandi Rantelino di Mengkendek, Tana Toraja, tanggal 05-

Maret-2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

68

many Toraja felt this was the case. Whatever the sponsors‟ motivations, the

funeral did draw numerous tourists.95

Fakta-fakta ini memperkeruh persoalan. Intensitas pelaksanaan rambu solo‟ saat

ini semakin beramai-ramai dilakukan. Orang-orang Toraja menjadi seperti kecanduan,

gereja malah memiliki sifat konservatif dengan alibi reinterpretasi, kontekstualisasi,

reaktualisasi Injil ke dalam budaya.96 Misalnya pemotongan hewan kurban dipahami

dapat membagun relasi sosial di dalam masyarakat, dan secara teologis orang yang

berduka tetap dapat berbagi. Tetapi, menurut saya pandangan ini pincang karena hanya

mengkritisi konsep keagamaan leluhur yang melekat dalam ritus rambu solo‟. Alhasil

Gereja Toraja malah tidak sama sekali mengkritisi aspek kemegahan dan kemeriahan.

Padahal ajaran agama kristen menolak dan menentang hal yang demikian. Situasi ini

wajar terjadi karena kelas bangsawan sangat berpengaruh di dalam gereja Toraja.

Tino Saroengallo dalam mempersiapkan upacara kematian ayahnya, alm Renda

Sarungallo, banyak melakukan protes terhadap para tetua kampung. Entah itu biaya

rambu solo‟ yang sangat besar, teknisnya berbelit-belit, dan bahkan sampai frustasi atas

persoalan di dalam ritus. Ketika Tino memprotes, selalu saja istilah “adat” terdengar dari

keluarganya.97 Jawaban yang didapatkan Tino Saroengallo, umum terjadi di dalam

keluarga-keluarga Toraja. Istilah adat malah menjadi senjata ampuh orang-orang Toraja

untuk membenarkan tindakan mereka di dalam ritual rambu solo. Pada tahun 2009, ayah

saya harus meminjam uang ke bank, sebesar 50 juta rupiah untuk membiayai ritus

kematian kakek saya. Ketika ditanyai, ayah saya beralasan “mau bagaimana lagi sudah

95

Volkman, “Great Performances”, 162. 96

https://bps-gerejatoraja.org/artikel/single/perjumpaan-kekristenan-dengan-ritus-rambu-tuka-

dan-rambu-solo-di-toraja-dari-perspektif-teologi-biblika/16, diakses pada 02-April-2020. 97

Tino Saroengallo, Ayah Anak, Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat (Yogyakarta:

Tembi, 2008).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

69

seperti itu adat kita di Toraja”. Klaim adat ini salah satu bentuk kesadaran palsu,

sehingga laju pelaksanaan terus menerus meningkat.

Salah satu ideologi yang mempengaruhi kesadaran itu adalah kapitalisme.

Kapitalisme memberi banyak sumbangan negatif yang tidak dilihat secara kritis oleh

orang-orang Toraja. Perilaku komodifikasi budaya terlihat jelas, menguntungkan orang-

orang tertentu. Pelaku industri pariwisata memang lebih banyak diambil alih oleh orang-

orang Toraja keturunan bangsawan atau orang Toraja yang sukses diperantauan seperti

di dunia perhotelan, transportasi, agensi.98 Orang-orang yang tidak memiliki modal

ekonomi, dan modal budaya akan tersingkir, dan lebih memilih untuk merantau keluar

Toraja. Ketika sukses diperantauan kembali ke kampung untuk mempertontonkan

kesuksesan mereka.

3. Ekonomi Kerbau

Kerbau menjadi sesuatu yang nilainya sangat berharga secara ekonomi, setelah

intensitas ritual rambu solo‟ sangat signifikan naik. Pada film dokumenter “Saleko:

Pusaka Tanah Toraja” (2016) yang diproduksi oleh Eagle Awards, harga kerbau jenis

saleko dijual dengan harga 1 milyar rupiah. Ini adalah angka yang sangat fantastis untuk

satu ekor kerbau. Menjadi pertanyaan penting bagaimana bisa harga kerbau mencapai

pada angka tersebut. Tentunya, konstruksi pariwisata di Toraja menjadi kata kunci

untuk masuk di dalam tema ekonomi kerbau ini.

Konstruksi pariwisata melalui tongkonan, turun pada praktik ritus rambu solo‟,

dan ritus rambu tuka‟ yang tidak dapat dipisahkan dengan kerbau. Di dalam rambu

solo‟ ada hewan yang dikurbankan untuk menjadi bekal orang Toraja menuju nirwana

(puya). Hewan kurban ini berbagai macam, seperti kerbau, babi, dan beberapa jenis

98

George J. Aditjondro, Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja (Yogyakarta:

Gunung Sopai, 2010), 79.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

70

hewan lainnya, tetapi yang paling bernilai di dalam ritus, adalah kerbau. Dengan

demikian, saya akan menguraikan bagaimana kerbau dipahami oleh orang Toraja, lalu

menelusuri kaitannya dengan perkembangan pasar kerbau di Toraja.

Kerbau adalah simbol kebesaran orang Toraja saat ini. Kerbau tidak hanya

digunakan pada ritus rambu solo‟ tetapi juga pada aluk rambu tuka‟(perkawinan) untuk

mengikat sepasang suami istri (kapa‟) ketika ada yang melanggar aluk, lagi-lagi yang

menjadi standarisasinya adalah tana‟. Sejalan dengan itu, di dalam rambu solo‟ menurut

paham aluk todolo, pemotongan kerbau ditentukan oleh tana‟, dengan berbagai

klasifikasi bentuknya. Untuk membantu memahaminya, saya akan mengklasifikasikan

dan menyusunnya pada tabel dibawah ini :

Tabel: Bentuk-Bentuk Rambu Solo

NO Tana Jumlah Kerbau Bentuk Ritus

1. Tana Bulaan 30 ekor kerbau

(dengan berbagai

jenisnya yang telah

ditentukan, biasanya

ada hewan-hewan

lain selain kerbau

dan babi yang

dikorbankan. Ada

seperti, sapi, kuda,

kijang, kambing)

Sapu Randanan

24 ekor kerbau

(tidak seperti sapu

randanan, di sini

hanya kerbau & babi

yang dikorbankan)

Rapasan Sundun

2. Tana‟ Bassi 7 kerbau Dipapitung bongi

5 Kerbau Dipalimang

bongi

3 Kerbau Dipatallung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

71

bongi Sumber:Hasil wawancara Admadi dengan tokoh adat, di Rea, Kecamatan Ulusalu, Kabupaten Tana dari dan

dielaborasi dengan bukuTangdilintin (1981), Toraja dan kebudayaannya.

Dari tabel tersebut, terlihat jelas berapa jumlah kerbau yang dikurbankan sesuai

dengan kasta dari orang yang meninggal. Semuanya ada batasan yang perlu diikuti oleh

orang-orang pengikut ajaran aluk todolo.

Faktanya hari-hari ini, pemotongan kerbau (mantunu tedong) bahkan melebihi

batas-batas yang dahulu telah ditentukan. Orang-orang Toraja mempertontonkan

puluhan, bahkan sampai ratusan kerbau yang dikurbankan. Seperti yang

didokumentasikan oleh Volkman (1984) di dalam tulisannya ini :

A funeral occurred in September 1977 at Langda, a village not far from

Rantepao, for an aluk man reputed to have been among the richest in the

regency. Reports were that between 40 and 70 buffalo were sacrificed, many

of them of great value (one enormous castrated buffalo alone was worth 1

million rupiah [USS2500]). The cost of temporary housing for visitors was

reported to be 3 million rupiah (USS7500). Although this was billed as the

most lavish ceremony in the regency, one year later in the village of

Pangala‟, a Christian funeral was held at which the visitors‟ quarters alone

were said to cost 5 million rupiah (US312,500). The total cost of this event,

at which about 50 buffalo were slaughtered, was reckoned at about 50

million rupiah (USSl25,OOO). The leading sponsor was a son of the

deceased, a retired army major who lived, as did most of the deceased„s

children, in Ujung Pandang. Although the family wealth had been

supplemented in recent years by income from the army and from business,

there was no question of their traditional wealth and noble blood. One

month later, in October 1978, a funeral was held near Rantepao for a

certain Ne‟ Atta‟ at a reported cost of 90 million rupiah (US9225,OOO). I

return later to this particular event, which became a nationally publicized

and criticized affair.99

Kerbau-kerbau yang dikurban menjadi salah satu simbol semaraknya upacara kematian

pada saat itu, tentu biayanya pun tak sedikit di tahun 1977-1978. Banyaknya kerbau

yang dikurbankan, menjadi ajang prestise orang-orang Toraja. Pemaknaan malah

berbeda seperti dahulu yang memiliki batasan tertentu, dan masih terkungkung pada

99

Volkman, “Great Performances. 161”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

72

konsep keagamaan aluk todolo. Sedangkan saat ini, orang Toraja telah didominasi

keagamaan agama modern. Lalu menjadi sebuah pertanyaan sejauh mana pemaknaan

pemotongan kerbau hari-hari ini.

Menurut Frans Pangrante (2017), hari-hari ini ada berbagai macam ideologi-

ideologi di dalam kontestasi mantunu tedong (pengurbanan kerbau), tetapi menurutnya

yang paling dominan adalah ideologi adat, ideologi agama, ideologi kapitalisme100.

Pandangan ini tidak salah, namun terlalu simplistik. Membongkar ideologi saja tidak

cukup dalam melihat kompleksitas pada praktik ritual rambu solo‟ karena membongkar

ideologi akan mengabaikan “siapa mendominasi siapa”? Maka sangat wajar jikalau

penelitian tersebut tidak melihat persoalan dalam representasi identitas (reproduksi

simbol) di Toraja. Justru saya melihat fenomena dalam mantunu tedong terjadi karena

adanya hegemoni wacana Tongkonan. Ideologi-ideologi dalam praktik mantunu tedong

hanyalah alat para penguasa untuk mempertahankan status quo dalam masyarakat. Salah

satu agendanya adalah menggunakan industri pariwisata (kapitalisme).

Kontestasi mantunu tedong mengakibatkan intensitas pemotongan kerbau

menjadi tinggi.Otomatis kebutuhan atas pasar kerbau pun meningkat. Bahkan kerbau-

kerbau di Toraja tidak lagi mencukupi kebutuhan ritus rambu solo‟ karena semakin

berkurang populasinya.

100

Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan Kapitalisme.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

73

Diagram jumlah kerbau yang dikurban, tahun 2010-2017101

Menurut Aditjondro (2010), populasi kerbau berkurang dikarenakan adanya

kontestasi antara orang kaya lama (bangsawan) dan orang kaya baru (orang biasa yang

sukses di perantauan).102Saya melihat bahwa praktik kontestasi ini, disebabkan oleh

kebudayaan bangsawan yang hegemonik. Orang-orang kaya baru dengan modal

ekonomi yang dimiliki mencoba menampakkan identitas mereka, sehingga hegemoni

semakin langgeng.

Faktanya, alih-alih ingin bebas dari kungkungan para bangsawan, orang kaya

baru malah tetap saja dibedakan dengan para bangsawan. Seperti yang diungkapkan

tokoh adat di Rea, Ulusalu, Kab. Tana Toraja, Andarias Paonganan, bahwa mereka

boleh saja memotong banyak kerbau, sebab hal dapat memberi makanan kepada orang-

orang di kampung, namun klasifikasi ritusnya tetap tidak bisa disebut sebagai

101

“Analysis Of Social Capital To The Local-Striped Buffalo Marketing In Indigenous Tribe Of

Toraja,” American-Eurasian Journal Of Sustainable Agriculture, 2019, 94. 102

Aditjondro, Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja, 63.

5.239 5.033 5.5967.379

8.573 8.573 8.573 8.573

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Number of Buffalo Cutting

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

74

rapasan.103 Fakta ini menjelaskan sebuah fenomena baru, kontestasi antara orang kaya

baru dan orang kaya lama mengakibatkan adanya politik daging104 di Toraja.

Gambar.14. Kerbau Belangseharga 1 milyar rupiah.(sumber Monggobay.com)

Harga kerbau di Toraja, semakin hari semakin meningkat. Menurut infografik

dari penelusuran tirto.id, kerbau hitam (tedong pudu‟) kisaran harga 10 juta–100 juta,

kerbau berdasar hitam berbelang putih (tedong bonga) harganya bisa mencapai ratusan

juta, sedangkan yang termahal adalah kerbau berwarna dasar putih bertotol-totol hitam

(tedong saleko) bisa mencapai miliaran rupiah.105 Harga-harga kerbau ini memang

semakin hari malah semakin naik nilainya. Tanda yang dilekatkan pada kerbau sangat

mempengaruhi harganya. Misalnya kerbau saleko, dianggap sebagai pusaka yang

103

Hasil wawancara tokoh adat, Andarias Paonganan, di Ulusalu, Tana Toraja, tanggal 28-

Januari-2020. 104

Politik daging adalah salah satu fenomena di Toraja. Aktor adalah para tokoh adat dengan

memperboleh orang memotong kerbau tanpa melihat keturunannya. Motifnya lebih kepada

pembagian daging dalam masyarakat. Orang yang memiliki status tinggi akan mendapatkan

daging yang banyak dari ritual tersebut. 105

https://tirto.id/kerbau-adalah-barang-mahal-di-tana-toraja-cQf3, diakses pada15 April 2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

75

langka pa‟tampa deata(buatan para dewa) menurut agama leluhur dan hanya ada di

Toraja. Tidak hanya itu, tedong saleko dianggap menjadi baju kebesaran keluarga dalam

ritus rambu solo‟.106

Karena kebutuhan akan kerbau semakin banyak sementara populasinya tidak

mencukupi kebutuhan kerbau-kerbau didatangkan dari luar Toraja, seperti Sulawesi

Tenggara, Kaltim, Sumbawa dan Flores. Ini memberi keuntungan besar sampai 700%

bagi para pebisnis. Misalnya, salah satu pengusaha asal Toraja di Jakarta membeli

kerbau di Flores seharga Rp. 3 juta, lalu dijual ke Toraja dengan harga Rp. 30 Juta.107

Pemerintah kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, juga mendapatkan keuntungan dari

sini, karena di setiap ritus rambu solo‟ pemotongan per kerbau dikenakan biaya pajak

sebesar Rp. 150.000,-

Dengan demikian dapat dilihat bagaimana kerbau (tedong) menjadi salah satu

hewan kurban yang dianggap paling besar pengaruhnya hari-hari ini melalui argumen

adat. Jargon-jargon mitologi dipakai untuk melanggengkan budaya yang hegemonik,

dan dibalik itu saya melihat adanya wajah kapitalisme melalui industri pariwisata yang

mengkonstruksi kemeriahan, kemegahan, kemewahan (prestise) yang menjadi motivasi

orang Toraja mengurbankan hewan kerbau secara berlebihan. Selain itu, keuntungan

besar didapatkan oleh para pengusaha kerbau, dan juga pemerintah.

D. Rangkuman

Dari Uraian di atas, dapat saya simpulkan beberapa poin penting. Hegemoni

kebudayaan bangsawan di Toraja saat ini, terjadi karena adanya kepentingan ekonomi

politik. Perubahan masyarakat Toraja kontemporer, banyak dipengaruhi oleh keadaan di

masa lalu. Konstruksi-konstruksi yang dianggap mutlak, kaku di Toraja, dapat dilihat

106

Pong Sorupa‟ Tokoh adat di dalam film domumenter pusaka tana toraja. 107

Aditjondro, Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja, 65.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

76

sebagai usaha politis, untuk dapat mempengaruhi tanpa menggunakan kekerasan fisik.

Tana‟kua‟-kua‟ yang diasosiasikan dengan budak malah merupakan konstruksi dari

produk masalalu, saat orang Toraja bertemu dengan kebudayaan luar, bukan sesuatu

yang turun dari langit. Saat tongkonan dibuat menjadi ikon pariwisata Toraja, hari ini

orang-orang Toraja mengidentifikasi diri melalui simbol tongkonan, seturut dengan itu

rambu solo terikut pada konstruksi tersebut. Membuat masalah-masalah baru,

munculnya pasar kerbau karena intensitas pengurbanan kerbau di dalam ritus rambu

solo signifikan naik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

77

BAB IV

MEMBICARAKAN KEMBALI IDENTITAS TORAJA

A. Pengantar

Membicarakan wacana alternatif memang cukup rumit dalam konteks hegemoni yang

begitu kuat. Akan tetapi tidak pernah ada hegemoni yang sempurna. Karena itu selalu

ada kemungkinan perlawanan dari beberapa kelompok, namun tentunya tidak semua

perlawanan tersebut dapat teridentifikasi sebagai counter hegemony menurut Gramsci.

Dalam konteks Toraja, memang ada beberapa kelompok minoritas yang menyatakan

pembedaan, menjaga jarak, dan mempunyai perspektif tersendiri terhadap budaya

dominan di dalam masyarakat Toraja.

Pada bab ini, saya mencoba menelusuri beberapa wacana perlawanan, atas

hegemoni wacana tongkonan. Sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa hegemoni

wacana tongkonan punya bentuk material dan ideologis di dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Toraja. Dengan demikian tongkonan adalah pusat yang mempengaruhi

seluruh wacana praktik kehidupan sehari-hari. Karena itu sangat memungkinkan

membicarakan pengalaman perlawanan orang Toraja pada praktik ritual sehari-hari

sebagai bentuk perlawanan atas wacana tongkonan.

Untuk melengkapinya, sebagai tesis kajian budaya, membicarakan pengalaman

subjek yang melawan cukup penting di sini. Wacana tersebut memang bisa disebut

sebagai perlawanan, namun tentu tidak bisa dipungkiri bahwa ada perlawanan yang

tidak efektif. Paling tidak catatan pentingnya adalah bahwa, dalam situasi hegemoni

tersebut ada perlawanan dari kelompok dan individu tertentu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

78

Ada beberapa kelompok yang saya pilih untukdinarasikan. Berdasarkan

penelusuran saya, kelompok-kelompok tersebut yaitu perantau, penganut Kristen

Pentakostal, dan akademisi. Saya akan membicarakan pengalaman-pengalaman

subjektif mereka dalam melawan posisi budaya dominan di Toraja. Untuk memulainya,

saya akan membicarakan pengalaman perantau.

B. Kelompok Perantauan: Melanggengkan atau Melawan?

Male undaka ringgi‟ (mencari uang), istilah yang sangat sering diucapkan ketika anak

muda Toraja akan melakukan perjalanan ke perantauan. Tentunya tujuan dari merantau

adalah mendapatkan sesuap nasi, dan hidup yang lebih baik dari sebelumnya di

kampung halaman. Mereka merasa perlu untuk keluar mencari pengalaman di luar

Toraja.

Menurut Volkman (1984) orang Toraja tidak mengenal tradisi merantau, seperti

orang-orang muda Minang yang mencari kebijaksanaan dan pengalaman untuk

merantau. Orang-orang Toraja cenderung menyukai untuk tinggal dekat dengan rumah

(inan lamunan lolo) (Volkman 1984: 157). Pada era pemerintahan kolonial tahun 1930-

an, karena depresi hebat atas kemelaratan dan hutang-hutang keluarga, para pemuda

meninggalkan rumah menuju Ujung Pandang (saat ini Makassar)(Volkman 1984: 157).

Artinya, pada era itu orang Toraja mulai mengenal istilah merantau, karena mau tidak

mau mereka harus mencari uang di luar daripada harus melarat di kampung. Selain itu,

konteksnya memungkinkan untuk merantau, karena tidak ada lagi perang antar

kampung, dan penculikan orang-orang Toraja untuk dijadikan budak oleh tentara-

tentara kerajaan terdekat.

Pasca krisis ekonomi di Indonesia, pada akhir 1960-an para pemuda-pemudi

Toraja melakukan perjalanan menuju pulau Kalimantan bekerja sebagai buruh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

79

perusahaan minyak, dan kayu. Selain itu ada juga yang bekerja di perusahaan nikel

Luwu Timur (PT. INCO). Peluang kerja pada era “Tinder boom” di Kalimantan,

perusahaan-perusahaan membutuhkan 25.000 tenaga kerja, ini dimanfaatkan oleh

pemuda-pemudi Toraja untuk menjadi kesempatan bekerja, dan memutuskan merantau

(Bigalke 2016: 288).Seorang perantau dari desa Baruppu, Petrus Patola, merasakan

keadaan yang sangat sulit di Toraja pada tahun 1960-an, ketika pekerjaan yang tersedia

hanya sebagai petani, berburu dan mencari kayu damar di hutan. Hasil dari pekerjaan

tersebut bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga pada akhir 1960-

an ia memutuskan untuk pergi ke Malaysia bekerja sebagai buruh perusahaan “kayu

balak” (Patola, Wawancara 18/04/2020). Dengan demikian, di era ini memang

peningkatan minat merantau orang Toraja signifikan naik, untuk memperbaiki ekonomi

keluarga pasca krisis ekonomi 1960-an di Indonesia, berbeda dengan sebelumnya saat

orang Toraja tidak mengenal tradisi merantau, dan hanya berani merantau dekat dengan

Toraja (Makassar).

Ada fakta menarik ditemukan oleh Volkman (1984) yang tidak terekam oleh

Bigalke, khususnya perantau dari desa tondok litak di kaki gunung Sesean, “When job

opportunities arose in Kalimantan, these young Toraja, particularly those from poor or

low-status families, left their homeland and crossed the Makassar Straits” (Volkman

1984: 158). Artinya, data penting ini dapat menjadi salah satu tolak ukur bahwa bukan

hanya karena krisis ekonomi negara saja yang menyebabkan orang Toraja merantau,

tetapi juga karena adanya faktor tekanan status sosial.

Istilah “undaka ringgi” memang pada dasarnya adalah mencari rupiah untuk

memenuhi kebutuhan, namun motivasi tersebut tidak sepenuhnya hanya karena

ekonomi (memenuhi kebutuhan hidup). Faktanya, ketika orang Toraja yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

80

terasosiasikan dengan budak-miskin berhasil diperantauan, akan kembali ke kampung

untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Seperti catatan Volkman (1987)

berikut ini:

Although the migrants‟ purpose is often expressed as “looking for money”

(undaka‟ ringgi„), cash itself is not the only attraction of merantau work.

What is especially attractive for the many poor or low-status migrants is the

potential to convert cash into symbolic capital: new status in the Toraja

highlands. The stigma of inherited low status is less visible far from home,

yet most migrants do not stay away indefinitely. Nor are they satisfied with

buying blue jeans, gold watches, and large radios, although these items

certainly are desired and acquired. Sending money to the village to be used

in building bigger and better houses is quite common, for the house

remains, as it was traditionally, an important representation of the family‟s

worth and history. Still, none of these signs are real substitutes for the

ultimate demonstration of value and honor (siri‟)through providing and

dividing meat on the ritual field (Volkman 1984: 158).

Hal terpenting di sini adalah bahwa perantau-perantau Toraja yang sukses merasa perlu

mempertimbangkan merantau sebagai batu loncatan untuk memperbaiki ekonomi dan

status sosial di kampung. Artinya, hal ini jugalah yang menjadi penyebab munculnya

kontestasi antara orang kaya lama (bangsawan) dan orang kaya baru (perantau). Orang-

orang yang dahulu dianggap budak, kini juga merasa perlu untuk mengangkat derajat

ketika sukses di perantauan melalui ritual-ritual adat. Tentu kontestasi itu terbentuk

secara otomatis karena berada dalam arena hegemoni wacana tongkonan.

Memang ada banyak orang Toraja perantauan (budak) yang termakan bujuk

rayu dari aktifitas yang dominan di Toraja, namun ada juga yang malah melakukan

perlawanan terhadap ideologi tersebut. Seperti Petrus Patola, ia menolak untuk ikut

mengadakan ritual kematian orang tuanya (rambu solo‟):

Pada tahun 1990-an, melalui surat saya menyatakan menolak untuk pergi ke

kampung melakukan ritual kematian (rambu solo‟) bapak saya, karena

tuntutan dari kampung sangat berat. Apalagi saya mencari uang sangat sulit

di Malaysia, dan punya anak yang masih sekolah. Biayanya pun tak sedikit,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

81

apalagi mau ditambah dengan beban mantunu tedong (mengurbankan

kerbau). Saya akan semakin kesulitan (Patola, wawancara 14/04/2020).

Selain masalah ekonomi, ia juga merasa aneh dengan keadaan saat ini, karena adanya

perubahan yang terjadi dalam ritual rambu solo‟, jauh berbeda dengan dahulu:

Yang membuat saya juga mempertimbangkannya, karena saya mendapati

perubahan rambu solo‟ (dahulu-sekarang). Sekarang orang mantunu hanya

untuk tendeng (pamer) kekayaan, padahal dulu yang saya dapati tidak

seperti ini. Apalagi sekarang kita Kristen, jadi tidak perlu lagi seperti itu

(Patola, wawancara 18/04 2020).

Menariknya ia berada pada dua fase bentuk rambu solo‟, dahulu dan sekarang. Ini

membuatnya dapat berfikir secara kritis untuk tidak mau terhegemoni oleh wacana

tongkonan. Sikap mengasingkan diri dari budaya memang bisa disebut sebagai

perlawanan, tetapi penghindaran diri terhadap budaya (enggan balik ke kampung)

bukanlah jalan yang tepat, karena sikap itu tidak dapat menyelesaikan masalah.

Menurut Gramsci, counter-hegemony membutuhkan intelektual organik, tidak

hanya melawan, tetapi ada proses katarsis akan kesadaran blok sejarah. Paling penting

dari itu adalah, intelektual organik adalah agen yang lahir di dalam konteks produksi

suatu budaya dominan, namun secara sadar memahami konteks sosial tersebut, lalu

ikut bersama-sama dengan kelompok sosial kelas tertindas untuk berjuang (Jones

2008: 85). Sosok Petrus Patola memang tidak sepenuhnya masuk dalam kategori

tersebut, namun pengalaman melawannya itu penting. Sikap Petrus ini menandakan

bahwa sekuat-kuatnya hegemoni, akan tetap ada perlawanan dari orang tertindas.

Orang-orang elite di Toraja kebanyakan melanggengkan ideologi kelas

penguasa. Ini terlihat jelas dalam pemaparan saya di Bab IIbahwa tokoh-tokoh elite

(pemerintah, gereja, tokoh adat, akademisi) telah menguasai arena-arena di dalam

masyarakat, sehingga ideologi tersebut menjadi dominan. Faktanya tidak semua begitu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

82

ada tokoh elite bangsawan memiliki alasan tersendiri untuk menolak ideologi dominan

di Toraja. Tokoh elite merupakan kelas dominan di dalam masyarakat, dihormati

dengan nilai yang didapatkan dan diciptakan. Misalnya nilai kekayaan, kehormatan,

dan pengetahuan (Haryanto, 2017: 87). Tentunya, orang-orang yang berada dalam

kelas ini punya kesempatan memanfaatkan nilai-nilai pada dirinya untuk memperdaya

masyarakat lapisan bawah.

Ada narasi perlawanan yang menarik dari seorang keluarga elite Toraja

bernama Tino Saroengallo, akrab dipanggil Tino, seorang keturunan bangsawan dari

Tongkonan kesu. Melalui visualisasi upacara kematian ayahnya di Toraja dengan

lugas menggugat ideologi dominan di dalam buku berjudul “Ayah Anak Beda Warna!

Anak Toraja Kota Menggugat”. Menariknya, ia menunjukan kejanggalan pada upacara

adat tersebut, mulai dari rapat awal, sampai pada selesai pemakaman. Bahkan di awal

Saroengallo (2008) mengungkapkan alasan menulis pengalaman, yaitu rasa geram

yang menghantui setelah upacara kematian ayahnya (Saroengallo 2008: XIV).

Persiapan panjang dilalui oleh Tino dan keluarganya dalam mengupacarakan

ayahnya. Bahkan pembicaraan tersebut telah ada sebelum ayahnya meninggal, Tino

telah diminta oleh sepupunya Victor Kassi untuk menanyakan ke ayahnya, bagaimana

upacara adatnya dan di mana tempatnya dilaksanakan. Sebagai penuluan108 tongkonan

kesu‟, ayahnya Tino Renda Sarungallo, menjawab sebagai berikut:

“Enaknya memang dikubur di Jakarta,” ujarnya. “Tetapi, repotnya saya jadi

penuluan di tongkonan kesu. Jadi harus dikubur di kampung (Toraja). Mau

tidak mau, harus dikubur di sana”(Saroengallo 2008: 5).

Narasi ini memang masih ada terdapat di kalangan masyarakat Toraja. Dahulu pada

saat masih memeluk agama leluhur (aluk todolo), narasi upacara kematian memang

108

Penuluan adalah tokoh pimpinan adat yang paling tertinggi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

83

sangat relevan dibicarakan sebelum meninggal, karena upacara kematian itu dapat

menentukan jalan keselamatan. Anehnya, sebagai orang Kristen upacara tersebut masih

dipertahankan dengan klaim adat.

Saat Renda Sarungallo meninggal di Jakarta pada tahun 2002, keluarga Tino di

Jakarta sepakat melalui rapat untuk memakamkannya di Toraja, namun keputusan

tersebut memang memunculkan perdebatan antara saudara-saudara Tino Saroengallo

dengan keluarga besar, yang jadi permasalahan adalah biaya. Seperti yang ia

ungkapkan dalam pembicaraan dengan temannya Yusuf:

“Semua jelas. Biaya juga jelas. Yang tidak jelas adalah uangnya,” ujar saya

kepada Yusuf. “Brengsek! Seperti waktu produksi Yink Yank

aja”(Saroengallo 2008: 50).

Walaupun Tino seorang sutradara yang cukup terkenal di Indonesia, tetap saja biaya

sangat diperhitungkannya. Apalagi setelah menghadapi berbagai perdebatan di dalam

rapat, diputuskan bahwa bentuk upacara yang akan dilaksanakan adalah rapasan

sundun109, dengan 24 ekor kerbau, dan memakan 2-4 hari (Saroengallo 2008: 55).

Situasi ini membuat Tino mengenal lebih dekat adat Toraja, yang baru kali itu dia

terlibat langsung dengan tekanan adat istiadat Toraja.

Emosi Tino naik turun dengan keadaan di Toraja. Ia merasa sangat terpojokkan

dengan aturan adat yang menganggap ayahnya sebagai penuluan Tongkonan kesu.

Dengan status tersebut, dewan adat mengharuskan keluarga mengadakan upacara yang

meriah. Pada sesi pleno adat, para keluarga dan tetua adat menjelaskan kedudukan

ayahnya sebagai penuluan. Hal ini membuat ia geram, karena ujung-ujungnya

kedudukan itu membuat Tino bersama saudara yang diberatkan secara ekonomi.

109

Tingkatan upacara kematian kelas bangsawan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

84

Bahkan Tino sangat marah, karena seorang doktor antropologi menyetujui putusan

dewan adat tersebut:

Saya berharap akan ada uraian lain dengan pendekatan yang lebih modern,

lebih segar. Tapi, tidak. Sang cendekiawan sebaliknya memperkuat uraian

yang panjang lebar sebelumnya. “Sudah cukup itu,” tegasnya “apa yang

dikatakan tadi sudah jelas.” Nah, lo! Marahlah saya. Seorang doktor

antropologi saja tidak bisa membawa pembaharuan dalam adat, tidak

berupaya memodernisasi penafsiran adat padahal sudah begitu banyak

keluarga yang terjepit hutang karena upacara pemakaman, tetapi malah

menggunakan kedudukan ayah saya untuk mengembalikan kejayaan masa

lampau. Upacara adat penuh bagi sang penuluan. Tak dapat lagi saya

menahan emosi. “Gila! Betul-betul kudu dipentokin nih baru sadar,” batin

saya marah (Saroengallo,2008:125–26).

Peristiwa tersebut membuat Tino naik darah, karena para tetua adat sangat

mendewakan sosok ayahnya sebagai penuluan, ditambah seorang Doktor Antropologi

malah tidak memberi pendapat layaknya sebagai seorang cendekiawan. Tino berbicara

di depan para tetua adat, bahwa ia tidak mendewakan ayahnya, tetapi lebih

menghargainya sebagai orang tua:

Kami menghormatinya sebagai ayah. Bukan sebagai tetua adat, atau

penuluan. Sejak kecil kami mendengar bahwa kami berasal dari keluarga

bangsawan di Tana Toraja. Sejak kecil pula kami tahu bahwa ayah kami

banyak membantu keluarga besar di kampung. Kami juga tahu ketika ayah

kami dinobatkan menjadi ketua adat menggantikan Ne‟ Reba. Kami juga

mendengar dan menyaksikan betapa ayah kami seringkali menolong kerabat

yang merantau ke Jakarta seperti membantu mereka dalam mencari

pekerjaan. Tapi sekali lagi saya tekankan bahwa yang kami kenal adalah

Renda Sarungallo sebagai seorang ayah. Kami tidak pernah hidup

berlebihan (Saroengallo 2008: 126).

Alasan Tino membicarakan itu semata-mata ingin menegaskan bahwa Renda

Sarungallo bukanlah dewa yang harus diagungkan, sehingga upacara mutlak dilakukan

dengan meriah. Apa yang dihadapi Tino ini memang sangat sulit karena berhadapan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

85

dengan politik kampung110karena para tetua adat bersama dengan masyarakat

menggunakan klaim adat yang sifatnya kaku, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Perlawanan dari Tino memang ada, tetapi hal tersebut tidak dapat membendung

semangat kerabat dan masyarakat di kampung untuk upacara adat yang diinginkan,

sehingga upacara tersebut tetap dilaksanakan dengan tingkatan rapasan sundun.

Kerbau yang awalnya disepakati 24 ekor, malah berubah menjadi 35 ekor. Jadi

menurutnya, keputusan diawal mutlak tentang jumlah kerbau adalah omong

kosong!(Saroengallo 2008: 264). Pengalaman ini membuat ia paham sebagai orang

Toraja sangat tertekan apabila masih terikat dengan kampung halaman (Saroengallo

2008: xiii).

Tulisan Tino menarik untuk amati di sini, paling tidak posisinya sebagai

seorang bangsawan tidak membuat ia melanggengkan hegemoni di Toraja. Malah

sebaliknya, Tino menunjukkan perlawanan. Bahkan secara tegas di dalam pengantar,

menyarankan kepada masyarakat Toraja seperti ini:

Kepada masyarakat Toraja yang tinggal di Toraja, sebab saya ingin agar

mereka menyadari bahwa sudah waktunya diadakan pertemuan adat akbar

untuk mengkaji kembali tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun tapi

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman ini. Mengikuti adat

melahirkan tuntutan biaya yang tidak tanggung-tanggung besarnya, dan

kondisi ekonomi tidak lagi dapat mendukung pelaksanaan upacara-upacara

adat semacam itu (Saroengallo 2008: xiii).

Awalnya Tino sangat berjarak dengan kehidupan orang-orang yang mengalami

tekananan adat Toraja, namun setelah mengalami langsung dirinya sangat paham

akan konteks orang-orang yang terhegemoni. Merespon hal tersebut, selain

menulis buku, Tino sebagai seorang yang aktif di dunia perfilman, membuat film

110

Istilah ini muncul di dalam masyarakat Toraja karena adanya usaha para tokoh adat menuntut

keluarga melaksanakan ritus, namun disisi lain hal tersebut memberatkan keluarga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

86

dokumenter berjudul “They Live To Die” bersama dengan Garry Hayes pada tahun

2010. Film tersebut secara eksplisit memberi gambaran audio visual praktik hidup

orang Toraja hidup untuk mati, karena membuang-buang hasil kerja kerasnya

(materi) di dunia pada saat upacara rambu solo‟.

Gramsci menyatakan bahwa aktor intelektual organik lahir dalam tekanan

dominasi, dan merespon tekanan tersebut dengan melawan (Strine 1991: 1).

Dengan demikian, melihat uraian sebelumnya saya mengkategorikan Tino

Saroengallo sebagai aktor intelektual organik. Sikap Tino tidak hanya sebatas

menolak, namun ada usaha melawan dengan melakukan menyadaran kepada

masyarakat melalui film, justru Tino banyak mendorong dan mendukung anak-

anak muda membuat film dokumenter, seperti karya Yesintia Tiku“Aku Bukan

Toraja”, tentang perjudian adu kerbau di dalam rambu solo‟.

C. Kelompok Akademisi: Berjarak dengan Masyarakat?

Sebagian besar orang Toraja meneliti budaya yang umum terlihat, seperti rambu solo‟

dan Tongkonan. Akan tetapi, alhasil malah melanggengkan budaya dominan. Di

samping itu, ada juga klaim bahwa hal itu dapat membantu melestarikan adat, sehingga

ada semangat yang membara untuk melakukan penelitian. Tanpa sadar mereka terbujuk

oleh ideologi kelas penguasa.

Istilah adat memang perlu dilihat juga secara kritis karena bisa jadi ini malah

akan melanggengkan budaya dominan di Toraja. Keadaan demikian telah digambarkan

oleh Tino Saroengallo bahwa adat menjadi senjata ampuh untuk membenarkan

pernyataan dewan adat. Ironisnya akses pengetahuan dan informasi tentang budaya

Toraja bersumber dari agen yang melanggengkan kelas penguasa. Mereka mengklaim

bahwa adat memang begitu adanya dari dulu. Ditambah para akademisi terjebak pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

87

klaim objektif. Simon Petrus seorang akademisi sekaligus budayawan, mengungkapkan

seperti berikut:

Budaya Toraja adalah budaya simbol, jadi kita tinggal ungkapkan apa yang

ada diobjek. Maka itu, untuk bisa paham budaya Toraja secara objektif

dengan ilmu antropologi kebudayaan, filsafat kebudayaan, dan sosiologi

budaya. Kebanyakan orang melihat budaya Toraja seenaknya (subjektif),

akibatnya malah menyesatkan (Simon, wawancara, 05/02/2020).

Istilah objektif di sini aneh, karena mencoba melihat budaya dengan apa adanya

(objektif) sangat mustahil lepas dari sisi subjektifnya. Misalnya di dalam penelitian

budaya Toraja, informasi tentang budaya akan sangat tergantung siapa narasumbernya,

dan latarbelakang penelitinya. Lalu secara otomatis, hasil penelitiannya bersifat elitis,

karena hasilnya tidak dapat diakses dan berjarak pada masyarakat lapisan bawah.

Pada lapisan masyarakat, akademisi atau peneliti tergolong sebagai sosok elitis,

karena jangkauan mereka hanya pada orang-orang dalam kelas tertentu (mahasiswa,

orang yang berpendidikan). Meski demikian, ada pengalaman menarik yang saya

temukan di lapangan, ada akademisi yang menolak pandangan hegemonik tersebut dan

mencita-citakan transformasi budaya yang lebih beradab lagi.

Tulisan yang mempunyai perspektif baru, memang perlu untuk ditransformasi ke

bentuk yang lebih terbuka. Artinya, ide-ide dalam tulisan dapat menjangkau kehidupan

sehari-hari masyarakat, misalnya tidak hanya diterbitkan di dalam jurnal, namun perlu

dipikirkan untuk membentuk perspektif dalam melawan kelas dominan. Karena itu,

selain dituliskan secara teoritis, semangat kajian budaya perlu ditransformasi dalam

praktik-praktik kehidupan sehari-hari, sehingga bisa dihidupi.

Tulisan Frans Pangrante (2017) melihat adanya sebuah persoalan yang kompleks

pada motif praktik mantunu tedong di rambu solo‟. Pangrante menolak klaim tunggal

dari jargon „adat‟karena ada beberapa ideologi yang mempengaruhi, yaitu ideologi adat,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

88

ideologi agama, dan ideologi kapitalisme.111

Kesadaran ini harus membumi pada

masyarakat, entah seperti apa bentuknya, namun melirik kepada orang yang didominasi.

Sangat disayangkan ketika hanya dijadikan bahan seminar, arsip-arsip di dalam jurnal,

karena tulisan-tulisan ini perlu untuk dihidupi, dan dipraktikkan dalam kehidupan

sehari-hari.

Salah seorang akademisi Oktoviandi Rantelino, memiliki pandangan yang

berbeda dari beberapa akademisi lainnya. Sebagai seorang dosen IAKN Toraja, memang

salah satu tugas utamanya adalah mengajar mata kuliah budaya Toraja di dalam kelas.

Akan tetapi, Rantelino lebih banyak menghabiskan waktunya di kantin kampus karena

bertemu dengan banyak orang, tidak hanya mahasiswa. “Yang penting adalah, konteks

di kantin lebih dialogis dan luwes”(Rantelino, wawancara 05/03/2020). Rantelino

melihat kebudayaan Toraja harus dibaca dengan perspektif yang lebih terbuka:

Budaya sifatnya dinamis, karena itu akan terus berubah. Maka dalam

membangun alternatif atas hegemoni wacana tongkonan, harus dibaca

secara perspektif yang terbuka (Rantelino, wawancara 05/03/2020).

Perspektif yang terbuka ini dibaca dalam kesadaran dunia, dan dapat menjadi salah satu

alternatif untuk mempertegas bahwa di dalam dunia ini tidak ada klaim yang sifatnya

tunggal, namun dipengaruhi oleh banyak faktor.

Dengan itu, tidak ada lagi hegemoni, atau klaim-klaim kebenaran tunggal

atau grand theory bagi kebudayaan Toraja. Inilah yang saya ajarkan di dalam

kelas-kantin bahwa budaya Toraja harus dibaca dalam kesadaran dunia,

dengan itu identitas kebudayaan Toraja menjadi lebih terbuka, dan tidak

hegemonik (Rantelino, wawancara 05/03/2020).

Melalui pernyataan yang disampaikan oleh Rantelino, saya perlu menegaskan untuk

secara hati-hati meramu perspektif tersebut. Dua kemungkinan yang terjadi, yakni bisa

menjadi wacana alternatif dan bisa juga tidak karena jika hanya mengandalkan

111

Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan Kapitalisme.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

89

perspektif sendiri cenderung akan terjebak pada relativisme sedangkan di dalam

hegemoni, relativisme akan menghancurkan persatuan gerakan. Peluangnya adalah,

perspektif dapat membentuk suatu pembeda, namun masyarakat harus memahami bahwa

walaupun mereka berbeda dari sisi pandangan dan kelompok tetapi hanya ada satu

musuh bersama yaitu kelas penguasa. Paling penting bahwa, klaim-klaim tersebut masih

sangat berjarak dengan masyarakat, karena tidak nampak usaha untuk bersama-sama

dengan masyarakat lapisan bawah untuk memberi pendidikan. Akademisi tersebut hanya

mampu menjelaskan persoalan yang ada di masyarakat.

Jhonathan Para‟pak salah satu tokoh elite Toraja sekaligus memiliki peranan

penting dalam masyarakat Toraja. Jabatannya sebagai Rektor dan Profesor di

Universitas Pelita Harapan Jakarta membuat Para‟pak sangat diperhitungkan di dalam

masyarakat Toraja. Istilah yang dilekatkan pada seorang Para‟pak adalah sesepuh Toraja

(Andin 2010: v). Menariknya, dalam konteks budaya dominan di Toraja, Para‟pak justru

mengambil jarak perihal ideologi atau praktik-praktik adat yang dominan. Para‟pak

mengungkapkan:

Saya melihat ada tiga aspek alasan orang Toraja mempraktikkan Rambu

Solo‟ saat ini. Pertama aspek show, kedua aspek warisan, ketiga aspek ingin

menampilkan identitas, dari ketiga aspek tersebut sangat bertentangan

dengan Alkitab. Makanya, pada upacara pemakaman orang tua, saya

menolak untuk memotong kerbau. Yang paling penting adalah, kita

menghargai cinta kasih orang Tua (Para‟pak, wawancara 18/05 2020).

Dari segi ekonomi, Para‟pak tergolong orang yang sanggup memotong kerbau

sebanyak-banyaknya. Alih-alih mendukung praktik adat dengan pemotongan sebanyak

mungkin seperti kerbau dan babi, Para‟pak justru mengambil sikap yang berbeda

dengan orang Toraja pada umumnya terkait ritus rambu solo‟. Para‟pak memberikan

alasannya bahwapraktik rambu solo‟ saat ini banyak dipengaruhi oleh tiga aspek tadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

90

yang sangat ditentang dalam kekristenan. Karena itu, upacara kematian orang tuanya,

dibuat menjadi sesederhana mungkin.

Saya tidak menginginkan ada tiga aspek tersebut dalam rambu solo‟ orang

tua, memang ada kerbau yang dibawa oleh kerabat dari luar kota, namun

saya sumbangkan untuk gereja dan sekolah (Para‟pak, wawancara 18/05

2020).

Tindakan Para‟pak memang sangatlah berbeda dengan masyarakat secara umum.

Alasan utamanya menolak melakukan ritus rambu solo‟ sangat dipengaruhi oleh

ideologi kekristenan. Bahkan ada aspek yang menekan orang-orang Toraja untuk

melakukan hal-hal negatif, seperti kesombongan, dan memunculkan konflik dalam

keluarga atas perebutan harta warisan akibat dari pembagian yang tidak adil.112

Sikap dari Para‟pak ini, memang bisa dikategorikan sebagai perlawanan,

namun cenderung berpihak pada kelas penguasa, karena berada pada lingkaran elite.

Ini ditandai dengan keterlibatannya dalam dunia bisnis dan sebagai pemegang saham

hotel terbesar di Toraja yaitu hotel heritage dan pernah menjabat sebagai komisaris

Matahari Departemen Store, dan tawaran perubahan mewah Lippo Karawaci

(Aditjondro 2010, 82,113). Peluang memang tetap ada, misalnya ideologi kekristenan

menjadi salah satu peluang melawan situasi hegemonik di Toraja. Akan tetapi,

semangatnya perlu ditransformasi dalam rangka membela para kelas-kelas yang

terhegemonik.

Pengalaman subjektif Jhonathan Para‟pak memang memiliki kesamaan dengan

perantau Petrus Patola. Keduanya sangat dipengaruhi soal keyakinan modern

(kekristenan). Artinya, peluang untuk menyatukan mereka sangat mungkin dengan

112

Pembagian warisan didasari jumlah pengurbanan kerbau pada ritus kematian, siapa lebih

banyak mengurbankan otomatis mendapatkan warisan yang banyak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

91

menggunakan ideologi Kristen, namun dengan catatan bahwa tindakan didasari untuk

melawan kelas penguasa.

D. Perlawanan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI)

Masa‟ massikolah tallung bulan ri, nala ma‟ jago-jago (sekolah hanya tiga bulan,

namun sok tahu) ungkapan ini sering terdengar dari mulut masyarakat Toraja yang

merasa geram ketika pendeta aliran Pantekosta melarang aktivitas atau praktik-praktik

ritual di Toraja. Aliran Pantekosta memang kelompok minoritas di Toraja. Mereka

menolak pandangan praktik-praktik ritual dengan berbagai alasan. Saya mengulas

pengalaman subjektif dari pendeta GPdI sebagai aktor dalam melakukan perlawanan

terhadap praktik-praktik yang terhegemoni oleh wacana tongkonan.

Terdapat beberapa aliran Pantekosta di Toraja, seperti Gereja Pantekosta di

Indonesia (GPdI), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Bethel Tabernakel (GBT),

Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Gereja Segala Bangsa (GESBA), Gereja

Kerapatan Pantekosta (GKP), dan Gereja Kibaid.113

Aliran Pantekosta tersebut tidak

semuanya secara tegas menolak praktik-praktik ritual di Toraja. Beberapa di antaranya

yang menonjol adalah dua gereja, yaitu GPdI dan GBT. Itulah alasan saya memilih

GPdI untuk membicarakan wacana alternatif terhadap hegemoni tongkonan. Selain itu

GPdI adalah salah satu Gereja tertua di Toraja. Dengan demikian, pasti telah banyak

menghadapi konteks sosial budaya di Toraja.

Aliran Pantekosta di Indonesia, dibawa oleh dua keluarga keturunan Belanda

(Cornelis Groesbeek, Dirkrichard Van Klaveren) dari Seattle, Amerika pada tahun

1920. Dalam perkembangannya, mereka tersebar di seluruh Indonesia dengan cepat,

bahkan termasuk dalam kategori aliran yang kuat di Indonesia (Supatra 2019: 16).

113

Frans Patan, “Suatu Studi Kritis Teologis Terhadap Upacara Rambu Solo‟ Pada Masyarakat

Toraja Kristen,” STT Bethel Indonesia (2019).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

92

Dalam lingkup Toraja, GPdI masuk pada tahun 1949 dan saat ini telah tersebar

sebanyak 140 gembala sidang (jemaat) di kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara

(Pakan, wawancara 18/05/2020). Ini sangat kecil jumlahnya bila dibandingkan dengan

Gereja Toraja. Saat ini saja ada 4.013 keluarga yang terdaftar sebagai anggota Gereja

Toraja di dua kabupaten tersebut.114

Gambar.15 Gedung Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Bukit Sion, Rantepao.

Fakta GPdI sebagai kelompok minoritas di Toraja sangat terlihat, Gereja-gereja

GPdI di setiap kampung memiliki anggota jemaat dalam jumlah sedikit. Ini tentu juga

dikarenakan ajaran-ajaran yang tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang di Toraja.

Selain itu, dibandingkan dengan Gereja Toraja, aliran Pantekosta tidak menggunakan

simbol-simbol adat Toraja. Terbukti gedung-gedung gereja mereka terlihat dalam

berbentuk modern.

Dalam semangat ajaran, GPdI memiliki aturan yang sangat ketat akan budaya.

Dibandingkan dengan Gereja Toraja yang terus mencari jalan-jalan negosiasi Injil dan

budaya. Hal demikian membuat Gereja Toraja banyak memikirkan simbol dan praktik

untuk kembali ditransformasi menjadi sebuah pemaknaan baru. Alih-alih semangat

kontekstualisasi, Gereja Toraja terjebak dalam persoalan baru, karena tidak bisa

114

https://bps-gerejatoraja.org/statistik_jemaat/data, diakses pada 20-Mei-2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

93

mengontrol tindakan-tindakan umat dalam semangat ritual, misalnya jumlah

pemotongan kerbau dibebaskan dalam rambu solo‟. Ada pernyataan tokoh-tokoh

pendeta gereja Toraja terhadap ajaran GPdI “Inang kamu tu tongan! apa la tang ki bela

mo” Artinya, “memang kalianlah (GPdI) yang melakukan tindakan benar! (sikap

konsisten menolak budaya) sedangkan kami tidak mampu lagi untuk itu, karena sudah

mengakar di jemaat.” Julianus Pakan sebagai pendeta sangat tegas menerapkan aturan

aliran gerejanya, walaupun di tengah-tengah keadaan yang dominan:

Kami tidak akan mencampuri urusan aliran-aliran lain dalam membenarkan

praktik-praktik ritual yang ada di Toraja, namun bagi kami GPdI aturan

tersebut sudah menjadi baku (Pakan, wawancara 18/05/2020).

Terlihat ajaran yang baku dapat menjadi modal kekuatan karena hal tersebut

menyangkut keyakinan. Ada beberapa poin yang diutarakan oleh Pdt. Junus Padang

terkait dengan penolakan GPdI terhadap budaya Toraja di dalam praktik ritual kematian:

Pertama, faktor keyakinan dalam Rambu Solo‟ tersebut bersumber pada

Aluk Todolo karena ujung-ujungnya untuk mayat (berhala). Contohnya

waktu bapak saya meninggal pada tahun 1978, saya langsung bergegas

menuju kampung, namun dalam perjalanan saya tidak membeli persedian

makanan, karena lapar saya berinisiatif untuk menyembelih ayam yang ada

di rumah, namun tante saya marah lalu mengatakan, oo pandita la mu

mantunu manuk ora? na ambemu jo banua (Oo Pendeta, kenapa mau

memotong ayam? Padahal jenazah bapakmu ada di atas rumah).115 Alasan

saya memotong ayam, adalah murni untuk konsumsi. Tidak lebih. Dalam

embel-embel pemilihan kerbau pun, banyak dipengaruhi oleh kebiasaan

Aluk Todolo, jadi itu tidak murni konsumsi, malah jadi penyembahan

berhala. Kedua, adanya unsur kesombongan. Allah sangat membenci

kesombongan. Ketiga persoalan pembagian harta (warisan), jadi ketika

anak-anak almarhum banyak memotong kerbau di ritual Rambu Solo‟, maka

dia berhak mendapatkan harta yang banyak, sebaliknya ketika tidak

memotong kerbau, maka tidak mendapatkan apa-apa. Jadi ada unsur

ketidakadilan disitu. Keempat, yaitu utang (umpaden tae‟na). Misalnya,

tanpa diminta, saya membawakan kerbau belang ke besan saya saat orang

tuanya meninggal, sehingga besan saya juga harus membawakan kerbau

115

Menurut Kepercayaan Orang Toraja (Aluk Todolo), ayam tidak boleh dikurbankan dalam

ritual kedukaan, karena ayam adalah hewan yang dikurbankan di dalam ritual rambu tuka‟

(upacara syukuran).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

94

belang saat ada ritual kematian keluarga dekat saya. Beban ini turun

temurun, sampai pada keturunannya (Pakan, wawancara 18/05/2020).

Dasar argumentasi Padang memang sangat dominan dipengaruhi oleh paham atau

keimanan dari aliran Pantekosta. Mereka memang sangat tegas dalam penerapan-

penerapan ajaran tersebut. Saya pernah mengikuti ibadah penghiburan di kampung

Sereale, Toraja Utara, yang dipimpin oleh pendeta GPdI. Ketika pendeta tersebut

datang, ia melihat ada babi di halaman kedukaan. Tanpa berfikir panjang pendeta

tersebut langsung pulang dan tidak ingin melayani ibadah penghiburan.

Aliran GPdI sebagai salah satu kelompok minoritas sangat dipengaruhi oleh

ideologi kekristenan untuk menolak budaya Toraja. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa aliran ini menolak bukan karena keberpihakan pada masyarakat

lapisan bawah, tetapi keterkaitan ritus agama leluhur yang masih dianggap ada pada

budaya Toraja. Secara otomatis, mereka akan menolak budaya pinggiran yang masih

berkaitan dengan agama leluhur. Hal ini malah membuat hegemoni agama terkonstruksi

di dalam masyarakat, dan menjadi masalah tersendiri.

E. Rangkuman

Menghidupkan counter-hegemony bukanlah perkara mudah, karena gerakannya lebih

mengedepankan sisi kultural bukan kekerasan. Visi tersebut juga membutuhkan waktu

yang panjang agar tercapai, karena harus membujuk dan menyadarkan masyarakat agar

paham agenda kelas penguasa (dari common sense menjadi good sense). Hegemoni

wacana tongkonan bukan sesuatu yang tak dapat dibendung, faktanya ada individu dan

kelompok menolak tunduk.

Saya melihat bahwa setiap kelompok atau individu yang mencoba melawan

hegemoni wacana tongkonan memiliki berbagai macam alasan, namun tujuan dari bab

ini hanya ingin mengeksplorasi apakah ada perlawanan yang dapat memunculkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

95

wacana alternatif atas hegemoni tersebut. Pada kenyataannya, perlawanan memang ada

dari beberapa kelompok dan individu, namun tidak semua punya keberpihakkan pada

kelompok yang didominasi.

Dari uraian diatas, tampak bahwa aliran Pantekosta, Jhonatan Para‟pak, Petrus

Patola pada dasarnya menolak karena ideologi kekristenan. Namun, saya melihat ini

bukan sebagai agen yang dapat merumuskan wacana alternatif atas hegemoni wacana

tongkonan. Dalam hal ini muncul hegemoni baru yaitu agama kekristenan, sedangkan

kelompok agama suku justru terpinggirkan. Lalu pendekatan yang ditawarkan oleh

Oktoviandi masih sangat elit, dan berjarak pada masyarakat, bahkan terjebak pada

relativisme, karena menawarkan pandangan secara bebas untuk ditafsirkan berdasarkan

perspektif tiap orang. Karena itu, saya melihat peluang dalam mengkonstruksi counter-

hegemony lebih dekat pada Tino Saroengallo yang sosoknya dapat dikategorikan sebagai

agen intelektual organik. Refleksi atas pengalaman perlawanan tersebut, membuat Tino

tidak hanya sebatas menolak, tetapi ada usaha memberi pendidikan kepada masyarakat

Toraja melalui tulisan dan film dokumenter.

Kesimpulannya, hegemoni wacana tongkonan tidak sepenuhnya mempengaruhi

kehidupan masyarakat Toraja, namun ada saja perlawanan dari kelompok dan individu

tertentu. Dari ketiga tingkatan hegemoni (integral, decadents, minimum), hegemoni

wacana tongkonan masuk dalam kategori decadents hegemony, karena pada

kenyataannya tidak semua masyarakat setuju dengan istilah adat di Toraja.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

96

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya, wacana identitas budaya di dalam suatu masyarakat merupakan

gambaran umum yang terpatri melalui simbol-simbol dan prosesnya tidak luput dari

usaha konstruksi kelompok tertentu. Oleh sebab itu, identitas ke-Toraja-an yang

diidentikkan dengan tongkonan merupakan usaha konstruksi dari kelompok

berkepentingan. Secara politis, aktor-aktor dari kelas penguasa menggunakan klaim-

klaim kemurnian adat sehingga dapat secara mudah mempengaruhi masyarakat. Alhasil,

representasi identitas budaya tersebutmenghegemoni dan meminggirkan kelompok-

kelompok minoritas.

Penelitian ini, didasari keresahan saya atas representasi identitas budaya Toraja

melalui tongkonan padahal tongkonan adalah simbol budaya kelompok bangsawan

bukan simbol budaya secara umum. Wacana ini direproduksi secara terus menerus

sejalan dengan perkembangan zaman maka tidak heran menghegemoni di dalam

masyarakat. Untuk menggumulinya secara metodologis, saya mengajukan tiga

pertanyaan penting: (1) Apa saja bentuk-bentuk hegemoni dari wacana tongkonan? (2)

Bagaimana proses ideologisasi wacana tongkonan, sehingga menjadi hegemoni di

dalam masyarakat Toraja? (3) Bagaimana membicarakan identitas ke-Toraja-an secara

inklusif? Dari ketiga pertanyaan tersebut, saya secara metodologis menggunakan

analisis wacana dibantu dengan teori hegemoni Gramsci.

Mitologi Torajamengisahkan bahwa tongkonan adalah rumah yang turun dari

langit dengan manusia pertama, bersamaan dengan itu para budak juga telah ada dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

97

turun dari langit. Secara tidak langsung, mitologi tersebut mengklaim bahwa budak

sudah ada sejak manusia pertama. Wacana tersebut tersebar dalam elemen-elemen

penting masyarakat, seperti di pemerintahan, gereja, danindustri pariwisata. Karena itu

tidak heran jikalau wacana tongkonan sebagai representasi identitas Torajatersebar

cepat dan masif sebab para bangsawan menguasai elemen penting di dalam masyarakat

Toraja.

Saya tertarik untuk melihat bagaimana proses tertanamnya ideologi tersebut di

dalam masyarakat tidak dipermasalahkan oleh orang-orang Toraja (common sense).

Alhasil, saya menemukan adanya usaha politis dalam merumuskan wacana tongkonan

untuk menguasai kehidupan masyarakat Toraja.

Usaha konstruksi kelompok bangsawan tidak lepas dari kepentingan ekonomi

politik. Saya menemukan tiga poin penting dalam proses ideologisasi tersebut. Pertama,

adanya kepentingan ekonomi politik yang sangat kuat di dalam usaha konstruksi

tersebut. Kedua,saya melihat mitologi sebagai salah satu ideologi yang merupakan

konstruksi para bangsawan untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Misalnya, mereka

mengasosiasikanbudak dengan tana‟kua-kuapadahal istilah perbudakan baru muncul

ketika ada pertemuan dengan masyarakat pesisir yang lebih dulu mengenal istilah

budak. Bisadidugaini visi dari kelas bangsawan untuk menekan masyarakat lapisan

bawah. Ketiga, adanya kepentingan industri pariwisata. Melalui industri pariwisata,

tongkonan dan rambu solo‟ menjadi ikon Toraja. Tongkonan dan rambu solo‟ menjadi

jualan pariwisata sebagai sesuatu yang unikdalambentukminiatur, souvenir, iklan dan

poster-poster yang menggambarkan tongkonan. Hal demikian membuat saya

memikirkan apakah ada perlawanan orang-orang Toraja?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

98

Hegemoni wacana tongkonan memang real terjadi di Toraja, argumen tersebut

berdasarkan pengolahan data dan analisis terhadapnya. Walaupun hegemoni tersebut

sangat kuat tetapi ada saja kelompok atau individu yang tidak setuju, menjaga jarak, dan

melawan. Dari pengalaman mereka, saya menemukan bahwa ada motivasi tertentu

untuk tidak sepakat.Misalnya Petrus Patola, Jhonatan Para‟kan, dan kelompok

aliranGerejaPantekosta menolak hegemoni tersebut dengan alasan kekristenan.

Sedangkan, Oktoviandi sebagai akademisi menolak hegemoni dengan menggunakan

perspektif yang terbuka. Kelemahannya, perspektif tersebut masih sangat berjarak di

dalam masyarakat karena aksesnya hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dari

beberapa sumber yang ada, saya tidak menemukan adanya counter hegemony yang

luasdi masyarakat karena hal tersebut membutuhkan proses yang panjang. Saya hanya

menemukan sosok intelektual organik dalam masyarakat Toraja yaitu Tino Saroengallo.

Pengalaman tersebut dituliskan dalam buku berjudul Ayah Anak Beda Warna: Anak

Toraja Kota Menggugat (2010). Melalui pengalaman mengikuti upacara adat kematian,

Tino merasa diberatkan dengan embel-embel adat. Menurutnya upacara tersebut sudah

tidak lagi relevan dibicarakan saat ini. Lalu ia tidak hanya menuliskan pengalamannya,

namun ia menggunakan film untuk mendidik masyarakat Toraja (They Live to Die).

Adanya perlawanan hegemoni wacana tongkonan dari beberapa kelompok dapat

menjawab bahwa hegemoni tersebut tidak sepenuhnya berjalan (integral

hegemony).Berdasarkan klasifikasi hegemoni menurut Gramsci saya melihat bahwa tipe

hegemoni wacana tongkonan adalah decadent hegemony. Walaupun hegemoni wacana

tongkonan tampaknya kuat, masyarakat lapisan bawah menolak ideologi dominan dari

kelas penguasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

99

Melakukan penelitian yang didasari ilmu kajianbudaya merupakan sebuah

tantangan baru. Simbol tongkonan yang dahulu saya agungkan sebagai ikon identitas

ke-Toraja-an harus ditinggalkan, dan melihat kembali apa yang dulusaya anggap benar

sebagai orang Toraja. Hal demikian membuat saya sedikit menertawakan apa yang saya

pikirkan dahulu sebagai orang Toraja.Saya melihat tongkonan menjadi simbol budaya

yang sangat diagungkan karena adanya konstruksi di baliknya. Hal tersebut terjadi

seiring dengan perkembangan zaman, melalui ketersediaan instrumen-canggih canggih

manipulasi budaya menjelma dengan bentuk-bentuk baru.

Belajar dari penelitian ini, berdasarkan pisau analisis teori dari Gramsci bahwa

representasi identitas ke-Toraja-an yang terkait dengan tongkonan saat ini adalah sebuah

konstruksi dari kelompok berkepentingan. Konstruksi identitas tersebut mengokohkan

status quo kelas bangsawan. Oleh sebab itu, representasi identitas melalui tongkonan

menyingkirkan simbol budaya para budak. Alat ideologis yang digunakan adalah

mitologi penciptaan di dalam kepercayaan masyarakat Toraja bahwa pembedaan

bangsawan dan budak diciptakan dari langit. Wacana ini membentuk kesadaran

masyarakat sehingga tersebar dalam praktik kehidupan sehari-hari (agama, ekonomi,

politik).

Hegemoni wacana tongkonan tidak melulu disebabkan oleh adat. Namun, saya

menemukan ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pada situasi modern di dalam

masyarakat Toraja saat ini yaitu kepentingan ekonomi politik. Kepentingan tersebut

dapat terlihat dalam praktik-praktik demokrasi di Toraja menggunakan ikon tongkonan.

Secara ekonomi konstruksi identitas ini banyak menguntungkan kelompok-kelompok

tertentu melalui industri pariwisata. Karena itu hegemoni wacana tongkonan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

100

membentuk kesadaran masyarakat Toraja tidak hanya ditentukan oleh faktor tunggal

tetapi hal ini diakibatkan oleh kompleksitas persoalan.

Sekuat-kuatnya hegemoni wacana tongkonan di dalam masyarakat Toraja

namun bukan berarti tidak ada perlawanan dari yang terhegemoni. Faktanya ada orang

Toraja dari kelompok atau individu (perantau, akademisi, aliran pentakosta) yang

menolak wacana tersebut. Dari kelompok individu tersebut, saya menemukan satu

sosok intelektual organik yaitu Tino Saroengallo yang melakukan penyadaran kepada

masyarakat melalui pendidikan (film dan tulisan) untuk berfikir kembali akan apa yang

menjadi pegangan masyarakat selama ini (adat). Hal ini dapat menjadi dasar

argumentasi saya bahwa hegemoni wacana tongkonan di dalam masyarakat Toraja tidak

sepenuh berjalan sempurna karena ada perlawanan dari berbagai kelompok.

B. Rekomendasi

Saya sadar bahwa penulisan tesis ini bukan merupakan solusi untuk menyelesaikan

persoalan hegemoni wacana tongkonan di Toraja. Namun, paling tidak saya dapat

memberi sedikit warna terhadap kompleksitas persoalan di Toraja kepada peneliti

selanjutnya dalam membicarakan kebudayaan Toraja secara kritis. Karena itu, menurut

saya, rekomendasi penelitian selanjutnya sekiranya dapat menelusuri lebih dalam lagi

terkait potensi-pontensi gerakan sosial baru dalam membangun counter-hegemony. Lalu

juga sangat penting untuk melihat bagaimana orang Toraja menegosasikan identitasnya

di tengah-tengah hegemoni wacana tongkonan. Sekiranya juga melalui tulisan ini, dapat

menjadi pertimbangan para pemangku adat untuk dapat membicarakan kembali apa

yang saat ini disebut sebagai „adat‟ di Toraja, karena adat dibuat untuk kemanusiaan

bukan manusia untuk adat. Jikalau adat telah memberatkan dan merugikan banyak pihak

sekiranya memang perlu untuk kembali dibicarakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

101

Daftar Pustaka

Adams, Kathleen M. Art as Politics: Re-Crafting Identities, Tourism, and Power in

Tana Toraja, Indonesia. Southeast Asia--politics, meaning, and memory.

Honolulu: University of Hawai‟i Press, 2006.

Aditjondro, George J. Pragmatisme Menjadi to Sugi Dan to Kapua Di Toraja.

Yogyakarta: Gunung Sopai, 2010.

Andin, Michael, ed. Perantau Toraja: Bersama Membangun Toraja. Jakarta: PAPT,

2010.

Bigalke, Terance W. Sejarah Sosial Tana Toraja. Yogyakarta: Ombak, 2016.

Bocock, Robert. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta:

Jalasutra, 2007.

Der Veen, H. Van. The Merok Feast of the Sa‟Dan Toradja. Springer Netherlands,

1965.

End, Th. van den. Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Toraja: 1901-1961.

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Accessed June 21, 2019.

http://books.google.com/books?id=2zAxAAAAMAAJ.

Eric Crystal. “Myth, Symbol and Function of The Toraja House.” TDSR I (1989): 7–17.

Femia, Joseph V., and Antonio Gramsci. Gramsci‟s Political Thought: Hegemony,

Consciousness and the Revolutionary Process. Oxford: Clarendon Pr, 1981.

Frans Pangrante. “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama Dan

Kapitalisme.” Retorik 5, no. Agama dan Praktik Hidup Sehari-hari (January

2017).

Gimenez, Martha E. “With a Little Class: A Critique of Identity Politics.” Ethnicities 6,

no. 3 (September 2006): 423–439. Accessed May 10, 2020.

http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1468796806068580.

Gramsci, Antonio. Selections From The Prison Notebooks. Translated by Quintin

Hoare and Geoffrey Nowell Smith. London: Lawrence & Wishart, 1971.

Haryanto. Elit, Massa, Dan Kekuasaan : Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta:

PolGov, 2017.

Haryatmoko. Critical Discource Analysis (Analisis Wacana Kritis): Landasan Teori,

Metodologi Dan Penerapan. Yogyakarta, Indonesia: Rajagrafindo, 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

102

Hawley, James P. “Antonio Gramsci‟s Marxism: Class, State and Work.” Social

Problems 27, no. 5 (June 1980): 584–600. Accessed May 31, 2020.

https://academic.oup.com/socpro/article-lookup/doi/10.2307/800198.

HP, Suradi, Sutrisno Kutoyo, Masjkuri, Wahyuningsih, and TA Sukrani. Sejarah

Taman Mini Indonesia 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradsi Al Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi

Sejarah Nasional, 1989.

Jones, Steve. Antonio Gramsci. 1. publ. 2006, reprinted 2007, 2008. Routledge critical

thinkers. London: Routledge, 2008.

Kabanga‟, Andarias. Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen. Cet.

1. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan

Adikarya Ikapi dan the Ford Foundation, 2002.

Kobong, Th. Injil dan tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi. Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2008.

Kristanto. “SIMBOL MANTAA DUKU‟: Suatu Kajian Kritis Tentang Simbol Mantaa

Duku‟ Pada Upacara Rambu Solo‟ Di Tana Toraja.” Kinaa Jurnal Teologi Vol 1

No 1 (2017) (n.d.).

Kurnia Sari, Nita. “Dewan Tourisme Indonesia Sebagai Penggerak Kepariwisataan

Nasional Tahun 1957-1961.” Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah Vol 1, No 2

(2013).

Lears, T. J. Jackson. “The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities.”

The American Historical Review (June 1985). Accessed May 31, 2020.

https://academic.oup.com/ahr/article/90/3/567/77990/The-Concept-of-Cultural-

Hegemony-Problems-and.

Liku-Ada‟, Pr, John. Aluk To Dolo Menantikan Kristus: Ia Datang Agar Manusia

Mempunyai Hidup Dalam Segala Kelimpahan. Yogyakarta: Gunung Sopai,

2014.

Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx dari sosialisme utopis ke perselisihan

revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Meillassoux. Marx, kapital & antropologi: kumpulan tulisan terpilih antropologi

Marxis, 2015.

Nooy-Palm, Hetty. The Sa‟dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. New

York: Springer, 2014. Accessed May 9, 2020.

http://link.springer.com/openurl?genre=book&isbn=978-94-017-7152-8.

Pangrante, Frans. “Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi Dalam

Tradisi Pengorbanan Kerbau Pada Ritual Pemakaman Toraja.” Sanata Dharma,

2015.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

103

Patan, Frans. “Suatu Studi Kritis Teologis Terhadap Upacara Rambu Solo‟ Pada

Masyarakat Toraja Kristen.” STT Bethel Indonesia (2019).

Patria, Nezar, and Andi Arief. Antonio gramsci negara & hegemoni. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1999.

Said, Abdul Azis. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan Perubahan

Aplikasinya Pada Desain Modern. Tegalrejo, Yogyakarta: Ombak, 2004.

Saroengallo, Tino. Ayah Anak, Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat.

Yogyakarta: Tembi, 2008.

Simon, Roger, Kamdani, Imam Baehaqi, and Mansour Fakih. Gagasan-gagasan politik

Gramsci. Yogyakarta, Indonesia: INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,

2004.

Strine, Mary S. “Critical Theory and „Organic‟ Intellectuals: Reframing the Work of

Cultural Critique.” Communication Monographs 58, no. 2 (June 1991): 195–

201. Accessed May 26, 2020.

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03637759109376223.

Supatra, Hendarto. “MENGENAL PENTAKOSTALISME DI INDONESIA.” Jurnal

Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Musik

Gereja 3, no. 2 (November 22, 2019): 11–24. Accessed May 20, 2020.

http://journal.stt-abdiel.ac.id/JA/article/view/97.

Tallulembang, Bert, ed. Sumbangan Pemikiran Toraya Ma‟ Kombongan. Yogyakarta:

Gunung Sopai, 2013.

Tammu, J., and H Van der Veen. Kamus Toradja-Indonesia. Rantepao: Jajasan

Perguruan Kristen Toradja, 1972.

Tangdilintin. Adat Dan Kebudayaan Toraja. Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1976.

Volkman, Toby Alice. “Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s.”

American Ethnologist 11, no. 1 (February 1984): 152–169. Accessed May 16,

2019. http://doi.wiley.com/10.1525/ae.1984.11.1.02a00090.

Yamashita, Shinji. “Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism,

and Television among the Toraja of Sulawesi.” Indonesia 58 (October 1994):

69. Accessed June 18, 2019.

https://www.jstor.org/stable/3351103?origin=crossref.

“Analysis of Social Capital to the Local-Striped Buffalo Marketing in Indigenous Tribe

of Toraja.” AMERICAN-EURASIAN JOURNAL OF SUSTAINABLE

AGRICULTURE (2019). Accessed May 9, 2020.

http://www.aensiweb.net/AENSIWEB/aejsa/aejsa/2019/April/92-99(11).pdf.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma 2020

104

Sumber Internet:

https://www.mongabay.co.id/2014/11/18/32-komunitas-adat-di-toraja-petakan-wilayah-

bersamaan

https://kalimantan.suaraindonesia.co.id/read/1051/20180817/200849/404.html

https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/tana-toraja-decade-

tourism

https://foto.kompas.com/photo/read/2018/11/9/154175241700f/1/Rambu-Solo-Upacara-

Pemakaman-Khas-Toraja-yang-Tersohor

https://bps-gerejatoraja.org/artikel/single/perjumpaan-kekristenan-dengan-ritus-rambu-tuka-dan-

rambu-solo-di-toraja-dari-perspektif-teologi-biblika/16

https://tirto.id/kerbau-adalah-barang-mahal-di-tana-toraja-cQf3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI