7/25/2019 Membingkai KAMMI
1/158
7/25/2019 Membingkai KAMMI
2/158
2
Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan
Oleh:Alikta Hasnah Safitri
Copyright 2014 by GarudaUNS
Penerbit
GarudaUNS
Desain Sampul:
Hisyam Latif
7/25/2019 Membingkai KAMMI
3/158
3
Ucapan Terimakasih
Untuk KAMMI Shoyyub UNS dan HMI Komisariat M. Iqbal
Untuk Forum Diskusi KAMMI Kultural
Untuk Abangku, Adiwena dan Kuncoro
Untuk Akhi dan Ukhti
Untuk Kanda dan Yunda
Untukmu yang sudi membaca paradoks dalam diriku yang tak
kunjung usai dalam tiga tahun ini (2012-2014)
7/25/2019 Membingkai KAMMI
4/158
4
Pengantar
Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yangsaya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status
sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya
menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat
menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji
matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah
yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati.
Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia
hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan
secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir.
Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks.
Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun
tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat
besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembacasekalian.
Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu
yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini
belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai.
Dengan berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapanguntuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang
kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.
Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt
menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.
Surakarta, 29 November 2014
Alikta Hasnah Safitri
7/25/2019 Membingkai KAMMI
5/158
5
Daftar Isi
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah
Refleksi 7
Karena Kita Adalah KAMMI 21
Mencari Jalan Pulang 27
Ya, Memang BeginilahKAMMI..33
Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan Reformasi : AntaraTuntutan, Realita, dan Harapan 37
Merayakan Keberagaman KAMMI 42
Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma Gerakan
KAMMI 48
Korupsi dan Budaya Jawa 70Jelang Satu Periode 76
Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam Tubuh
KAMMI 80
Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY 85
Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah Harapan
Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam Tubuh KAMMI 88
Pseudo-independence KAMMI 102
Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS 107
Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS 114
Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS 122
Tentang Aksi KAMMI Esok Hari 130
7/25/2019 Membingkai KAMMI
6/158
6
Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi Gerakan
Mahasiswa Hari Ini 133
Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI 138
Melampaui Konflik dalam Kesatuan 143
Basis Massa Atau Basis Kader? 148
KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita Pertaruhkan 153
7/25/2019 Membingkai KAMMI
7/158
7
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia,
Sebuah Refleksi
Hal yang menarik ketika kita bicara tentang intelektual
adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di
depan album waktu yang kita beri nama sejarah. Dalam studi
sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent
pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan
beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku
ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke
masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama.
Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang
dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya
hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan
pikiran saya yang sederhana.
Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, danbudaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika
masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak
menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah
kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap
pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang
sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan.
Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh
mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum
terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.[1]
Pada 16 Oktober 1905, seorang saudagar batik asal
Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan
Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas
Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal
lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selainmemperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya,
https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn1https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn17/25/2019 Membingkai KAMMI
8/158
8
semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche
Schooldan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa
Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang
memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual
Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan.
Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo,
murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan
Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap
pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar
tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklahdimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang
sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari
Boedi Oetomo menulis:
Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini
memang memuat maksud yang begitu[2], akan tetapi antara
maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar
tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota
Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan
senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang
baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir[3]
Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus
mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa
pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan
praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang
dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga
kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.
Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun
1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya
yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita
https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn27/25/2019 Membingkai KAMMI
9/158
9
mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang
kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki
ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya,
malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri.
..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus
dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah
sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-
kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi
Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak
mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takutsakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa
yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN![4]
Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah
keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran
beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual,
tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.
Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan
propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan.
Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat
Islam.[5]
Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama
dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui
tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:
Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh
mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada
orang Jawa Orang Jawa bodoh, kata Tuan, Sudah tentu saja,
memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya.
Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya
untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti
bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita
Nederland?[6]
https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn5https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn5https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn47/25/2019 Membingkai KAMMI
10/158
10
Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif,
kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi
kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia.
Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu
menjauh dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak
ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor,
dan terbelakang.
Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max
Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi
pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalamceramah yang dilakukan oleh Blatherer.
Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera
Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra
yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia[7], yang menemukan
rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka
merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana
mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan
pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon
pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan
Tuhan[8]
Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia
klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan para
penyembah berhala miskin, yang di dalam salah satu poinnyaberisi: Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan
dengan cara bekerja.
Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah.
Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi
untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan
pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah
rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan Sekolah
Rakyat[9] bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya
https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn7https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn77/25/2019 Membingkai KAMMI
11/158
11
mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan
untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga
menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk
penjajahan dan penindasan.
Begitulah, kaum intelektual di zamannya
mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam
praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi
pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik
konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk
dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritismasa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat
di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun
pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang
dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya
bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS
Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam
dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk
gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubuSoekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih
berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-
Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan
Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.
Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai
disana, generasi tua yang memegang tampuk pemerintahanpasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda.
Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah
kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika
pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan
Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas
kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di
masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari
upaya HMI guna turut serta dalam mempertahankankemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan,
7/25/2019 Membingkai KAMMI
12/158
12
kehadiran HMI terkait pula dengan realitas keagamaan dan
kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan
secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa.
Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat
pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan
mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif
terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama
PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi
mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.
Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya
mengenal beberapa intelektual yang hidup di zaman pasca
kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan
hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie
(Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang
Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran
Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah
mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI.
Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga
merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad
Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM
yang juga merupakan kader HMI.
Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simakdengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang
berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim
bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya)
menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika
meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas
lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal
menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief
Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
13/158
13
Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966
mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia
menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru
dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak
benar.Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah
pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan
mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak
mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu,
kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan
bagian kecil dari pertarungan yang lebih besar dan mungkin
tidak kelihatan.[10]
Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief
Budiman katakan, Sekali lagi memang salah apabila ada
anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga
tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-
apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang
sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya.
ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapimemfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang
besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang
mungkin lain, yang mungkin juga kurang menguntungkan.[11]
Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut
dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-
organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:
Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis
Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis
ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-
Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan
mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia).[12]
https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn10https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftn107/25/2019 Membingkai KAMMI
14/158
14
Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film
Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar
organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka
saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun,
yang patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie
bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca
lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya
calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim
dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek,
akhirnya idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi
kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasandemokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak
muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk
antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam
kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru
yang kini berkuasa.
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan
Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktisruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus
mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus
menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan
semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis.
Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi menyebabkan
munculnya pola-pola gerakan baru yang berkembang dalam
kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam.Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada
sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa
Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)
munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.
Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini
dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin
Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruhkampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya
7/25/2019 Membingkai KAMMI
15/158
15
FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah
beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna
membahas khittahLDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan
kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus,
hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus
tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi
perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas
acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati
bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada
tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakniperubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang
permanen.
Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan
penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah
reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil
membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan
mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masakepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena
ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan
mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka
pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan
baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-
aturannya sendiri.
Ide-ide para pahlawan reformasi ini pun tidak hidup.
Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide
mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud
eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-
kananyang menggaungkan politik progresif pun digempur
militer. Habislah intelektual kampus. Mereka yang pintar akan
masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan
tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadimenurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi
7/25/2019 Membingkai KAMMI
16/158
16
sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin
oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri).
Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian
kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita pun kian terjebak,
antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas tatanan
dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena itu
kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling
realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.
Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para
intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj KaderisasiKAMMI 1427 H, sebagai berikut:
Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi
reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini
mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau
termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat
pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak
sebagaiwatch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,
maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang
kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini.
Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan
gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada
pemecahan masalah umat dan bangsa.
Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abaiterhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan
turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar
ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan
sikapnya.
Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan
guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi
penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,
kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar
7/25/2019 Membingkai KAMMI
17/158
17
untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam
organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding
fathersguna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia
(dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki
organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang
lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi
yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-
baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi
solusi permasalahan umat dan bangsa.
Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak.Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan
pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum
dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana,
yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali
kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita
harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan
berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para
ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi pelayanpembangunan ketimbang penggerak perubahan.
Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat,
dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat
manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian
terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai agent
of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lain-lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada
posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, merasa lebih
intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena
mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap
jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,
merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
18/158
18
Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas
mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini,
menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak
dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-
mudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi
terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab
kita sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian
inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang
kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di
perguruan tinggi.
Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian
kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri
sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa
berkaca pada Hadji Misbach yang menggaungkan semangat
perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas nama Tuhan.
Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap
otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem
pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan membebaskan.Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak
kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena.
Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada
sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran
kita sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari
sutradara. Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah
bagi mereka yang mengaku sebagai kaum intelektual!
Akhirul kalam,
Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang
lurus Ya Tuhan kami..
7/25/2019 Membingkai KAMMI
19/158
19
Sumber Bacaan:
Islam, R. J. (2013, November 15).Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4,
2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang
Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225
Multatuli. (2008). Max Havelaar.Jakarta: Penerbit Narasi.
Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin.Yogyakarta: Resist
Book.
Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N.Saluz,Dynamics of Islamic Student Movements(pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book.
Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana
Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda.Jakarta: Pustaka
Republika.
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966.Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam.Jakarta: Pustaka LP3ES.
Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi.
In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka
Republika.
_______________________________
[1] Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat
[2] maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme
[3] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180
[4] ibid, hal 189
sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-
1926 hal 181
http://www.jejakislam.net/?p=225https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref1https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref4https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref3https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref2https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref1http://www.jejakislam.net/?p=2257/25/2019 Membingkai KAMMI
20/158
20
[5] Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan
kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini
pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena
dianggap sebagai aib.
[6] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189
[7] Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan
mengimani risalah yang dibawa ayahnya.
[8] Multatuli, Max Havelaar halaman 165
[9] Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama Sekola h
Kerakyatan. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama tersebut
karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan kebutuhan rakyat.
[10] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115
[11] Ibid, hal 121
[12] Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85
https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref5https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref7https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref10https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref12https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref11https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref10https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref9https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref8https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref7https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref6https://aliktahassa.wordpress.com/2014/10/#_ftnref57/25/2019 Membingkai KAMMI
21/158
21
Karena Kita Adalah KAMMI
Apa yang pertama rekan rasakan saat pertama kali terlibat
dalam suatu aktivitas dawah?
Barangkali yang akan muncul dalam benak rekan sekalian
ketika pertanyaan sederhana ini saya lontarkan adalah sebuah
kenangan manis bercampur getir yang rekan alami di awal mula
perkenalan dengan dawah ini. Akankah sebuah senyuman yangtergurat di wajah sebab merasakan bahagia dan syukur teramat
karena telah diberi kesempatan mengenal dien yang kita cintai
bersama ini? Ataukah, sebuah emosi yang tertahan jauh di dalam
jiwa seketika terpantik untuk menyala, manakala teringat bahwa
keterlibatan kita disini murni bukanlah atas dasar keikhlasan
serta ketundukan hati, melainkan paksaan dari kakak tingkat atau
murobbi.
Tentunya, akan ada banyak ekspresi lain yang akan
terjabarkan ketika kita kembali mengingat awal mula menapaki
perjalanan kita yang masih teramat panjang ini, dan pastinya
akan ada lebih banyak ekspresi yang tersirat dalam gurat wajah
ketika kita tengah menempuh perjalanan ini. Bias getir air mata?
Kekecewaan yang parah? Rona pias manakala genting menyapa?
Setiap kenangan yang terhampar menyisakan jawaban
atas pertanyaan. Dan setiap jawaban akan menciptakan satu
pertanyaan baru lagi untuk dijawab. Demikianlah dawah
mengajarkan pada kita, bahwa jalan ini amat sangat panjang dan
berat, boleh jadi malah tak berkesudahan.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
22/158
22
Saya mengenal KAMMI jauh sebelum saya menginjakkan
kaki saya di kampus. Waktu itu, saya masih anak kecil polos dan
lugu yang memproklamirkan diri sebagai Aktivis DakwahSekolah. Bukan karena saya berada di kota besar serta saya
mengetahui langkah dan gerak perjuangan KAMMI maka saya
terobsesi. Bukan, bukan itu. Bahkan, yang saya ketahui tentang
KAMMI sangatlah jauh pucuk dari akar. Mendengar KAMMI pun
hanya lewat kisah dan cerita singkat murobbi mengisahkan
perjuangan yang dulu dilalui hingga akhirnya dawah dikenal dan
tak lagi terkesan eksklusif dan saklek. Selebihnya, saya tak tahudan tak mau tahu.
Bagi saya, KAMMI tak lain hanya sebuah wajihah dakwah.
Ia memiliki kedudukan dalam taraf yang sama dengan Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) maupun forum-forum lain yang bergerak
dalam spesialisasinya masing-masing, entah di bidang
kepenulisan maupun sosial. Dan saya yakin, tentu saja masih
banyak wajihah dakwah lain yang terhampar dan menanti
kontribusi dari saya.
Awalnya, tak ada niat sedikit pun untuk bergabung
dengan KAMMI. Alasan saya cukup jelas kala itu. Begitu
mengetahui kepanjangan dari nama KAMMI, yakni Kesatuan AksiMahasiswa Muslim Indonesia. Saya langsung antipati dan
menolak segala bentuk hal yang berhubungan dengannya
karena satu suku kata itu, AKSI.
Barangkali rasa antipati ini muncul sebab trauma
mendalam karena aksi pertama yang saya ikuti saat SMA (saat itu
saya mengikuti aksi kepedulian untuk Palestina dengan
memboikot produk-produk Yahudi laknatullah). Karena hal itu,
7/25/2019 Membingkai KAMMI
23/158
23
esoknya guru Kewarganegaraan di SMA saya menyindir habis-
habisan tindakan aksi yang saya ikuti dengan tak lupa sedikit
mendelik ke arah saya. Saat itu saya baru kelas 1 SMA, benar-benar drop, down, mati kutu, apapun namanya itu.
Dengan adanya kata AKSI itu, saya memasung sama sekali
keinginan saya untuk bergabung dengan KAMMI. Cukuplah saya
memberikan kontribusi saya untuk dakwah di LDK di kampus
manapun saya berada nantinya, begitu pikir saya.
Semakin menguatkan pemikiran saya kala itu, saya pun
membuat dalih macam-macam dalam otak saya: Memangnya
kenapa kalau saya tidak ikut KAMMI? Toh, bukan KAMMI yang
saya junjung tinggi. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang wajib saya
bela sampai mati.
Jadi, meskipun ketika itu murobbi berkisah lagi tentang
KAMMI, atau ketika mbak dan mas saya yang lebih dulu
melanjutkan studi ke perguruan tinggi mengatakan bahwa
mereka masuk dan bergabung bersama KAMMI, saya kukuh dan
kokoh, tak tergoda.
Sampai di suatu kesempatan, saya bertanya pada seorangkakak yang saya kenal baik sejak SMA. Mbak, kenapa memilih
KAMMI, bukan organisasi mahasiswa lain?
Dari hasil diskusi dengan beliau, saya pun belajar dengan
menyimpulkan.
Ya. KAMMI tak lain memang hanyalah sebuah wajihah
dakwah. Namun dengan menunjukkan kata hanya, tak berarti ia
7/25/2019 Membingkai KAMMI
24/158
24
tak memiliki arti penting dalam perjuangan dakwah ini. Berada di
dalamnya pun bukanlah suatu perkara yang mudah. Tak seperti
di Lembaga Dakwah Kampus maupun organisasi mahasiswainternal lainnya yang memiliki suplai kader berlimpah, KAMMI
memiliki kader aktif yang relatif sedikit. Saat berada di KAMMI
akan menjadi sangat membosankan. Sedikit yang kita dapatkan,
namun begitu banyak yang harus dikorbankan. Melelahkan,
karena ia menuntut begitu banyak perhatian dari kita.
Menyebalkan, karena tak semua orang didalamnya sejalan
dengan pemikiran. Bahkan menakutkan, lantaran resiko besaryang siap menghadang kapan saja.
Setelahnya, bukannya saya semakin termotivasi untuk
tetap meneguhkan pendirian saya dengan menolak KAMMI
dalam hidup saya. Malah saya semakin kagum dengan
keberjalanan wajihah dakwah yang satu ini.
Nyatanya, dengan segenap problematika yang ada.
Dengan minimnya suplai kader dan dana, dakwah KAMMI tetap
eksis dalam kancah perpolitikan mahasiswa hingga sekarang. Ia
tetap kokoh berdiri meski ribuan tangan berusaha
merobohkannya. Bahkan dari rahimnya senantiasa lahir sosok-
sosok pemim pin yang teguh membawa misi juang sebagaiDirector of Change.
Jika diibaratkan, maka KAMMI tak lain adalah sebuah
perahu yang berlayar di atas samudra kehidupan. Sedang kita
yang berada didalamnya, masing-masing adalah nahkoda serta
awak kapalnya. Apakah kita hendak mengikuti aliran arus
kemanapun ia membawa kita tanpa perlu bersusah payah
mendayung, ataukah kita hendak membawa bahtera ini melawan
7/25/2019 Membingkai KAMMI
25/158
25
dinamika arus yang ada dengan mengokohkan eksistensi kita
lewat dayungan dari tangan-tangan yang kokoh serta hati-hati
yang tangguh?
Akankah jika bahtera kita terhempas ombak dan
menabrak karang yang kokoh hingga terjadi chaospadanya kita
akan menyerah dan rela menceburkan diri ke laut untuk
menyelamatkan diri, ataukah kita tetap berada didalamnya
dengan menanggung segala resiko yang ada?
Ya, semua kembali pada kita.
Maukah kita berada di dalamnya atau tidak. Semua
bergantung pada kemauan kita. Toh, seperti yang saya katakan
di awal tadi. KAMMI bukanlah satu-satunya wajihah dakwah.
Dan kini, disinilah saya berada.
Baru beberapa bulan memang. Ya, baru sebentar. Belum
ada getar-getar aneh pertanda cinta yang menggebu
didalamnya. Meski demikian, ada amarah yang bergemuruh di
dada manakala orang lain mengatakan hal yang buruk tentang
KAMMI. Katanya, KAMMI ini lah, itu lah. Saya yakin, pasti rekansemua lebih tahu dari saya pribadi.
Namun, seperti kata Imam Hasan Al Banna dalam Bainal
Amsi Walyaum(Antara Kemarin dan Hari ini)
Setiap pemerintahan akan membatasi gerak langkah
kalian serta menaburkan duri-duri di jalan yang kalian tempuh.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
26/158
26
Para perampas akan berjuang dengan segala cara untuk
menyerang dan memadamkan cahaya dakwah kalian.
Semua orang akan menaburkan debu-debu keraguan di
sekitar dakwah kalian dan melancarkan tuduhan-tuduhan tak
beralasan kepadanya. Mereka akan berusaha untuk mencari-cari
setiap kekurangan di dalam dakwah kalian serta mengeksposnya
kepada khalayak ramai setelah dimanipulasi seburuk mungkin
dengan bantuan kekuatan dan kekuasaan mereka, berbekalkan
harta dan pengaruh yang mereka miliki.
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-
mulut mereka, padahal Allah akan menyempurnakan cahayaNya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. (Ash-Shaff:8)
Namun, Allah SWT menjanjikan bahwa setelah itu semua
berlalu. Akan ada pertolongan bagi para mujahidin serta pahala
bagi orang-orang yang bekerja secara ihsan.
Maka Akankah Kalian Tetap Tegar Menjadi Pembela
Agama Allah? Saya menjawab seruan ini, rekan. Dan saya
pastikan, anda pun demikian.
Karena saya adalah KAMMI. Karena anda adalah KAMMI.
Karena kita adalah KAMMI.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
27/158
27
Mencari Jalan Pulang
Mengapa aku mencintai KAMMI?
Pertanyaan ini sering terbersit dalam benak saya tanpa
pernah saya coba temukan jawabnya secara pasti. Entah, apakah
karena cinta itu tak pernah ada, atau karena saya masih yakin
sepenuhnya bahwa cinta tak butuh alasan, atau karena tertutupi
oleh sekian baris daftar kekecewaan yang saya rasakan selamamenjadi bagian dari barisan ini?
Beberapa orang mengatakan mereka mulai jatuh cinta
pada KAMMI sejak mengikuti Dauroh Marhalah 1. Saya? Ah,
tidak sepertinya. Dauroh Marhalah 1 (DM1) tak memberi kesan
yang mendalam bagi saya. Bukannya saya tak memperhatikan,
sungguh, saya mencoba berkonsentrasi, memperhatikan setiapdetik pemaparan materi, berusaha menyelesaikan tugas dengan
baik, berusaha sepenuhnya menjalankan setiap ketetapan
maupun peraturan yang digariskan oleh panitia. Nyatanya? Saya
gagal menyimpulkan satu ketetapan yang pasti bahwa saya jatuh
cinta pada KAMMI setelah mengikuti DM 1.
Saya belum menyerah. Saya lemparkan pernyataan pada
diri saya kembali, sekadar untuk meyakinkan. Mungkinkah kau
jatuh cinta sejak mengikuti ICES-Islamic Civilization Engineering
School-Sekolah Rekayasa Peradaban Islam? Saya ragu untuk
menjawab. Berfikir sedemikan panjang untuk menjawab. Namun
kembali harus dihadapkan pada jawaban jujur yang tak
memuaskan : Tidak.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
28/158
28
Bukan, tentu bukan karena ICES. Saya rasakan forum-
forum yang kering dari nilai-nilai intelektualitas, miskin diskusi
dan dialektika, sekadar ceramah satu arah, Tanya jawab, laluselesai. Diskusi yang tak diimbangi dengan diskursus dan bacaan
komprehensif serta ketidakjelasan materi, yang sekali lagi
membuat saya kecewa karena dari sekian banyak buku yang saya
baca, tak ada satu pun yang dijadikan landasan dalam
berdialektika. Saya coba maklumi itu. Saya coba pahami bahwa
inilah kesatuan. Kesatuan pandang dalam menyikapi masalah.
Kesatuan arah dalam memandang persoalan. Dan kesatuangerak dalam menjawab tantangan kehidupan. Ya, karena ini
barisan yang bersatu. Karena inilah yang disebut Kesatuan.
Maka mulailah saya coba mencari alasan itu. Jawaban dari
pertanyaan Mengapa yang normalnya dijawab dengan kata
karena bla bla bla .Karena KAMMI adalah organisasi yang
komprehensif. Lengkap dengan gerakan dakwah tauhid,
kemamapanan intelektual profetik, aktif berkontribusi secara
langsung dalam ranah garap sosial, hingga terjun langsung
dalam pergulatan politik praktis di kampus. Ujar saya mantap
ketika salah seorang teman di Lembaga Dakwah Kampus
menanyakan Kenapa antisemangat banget di KAMMI ukh?
Benar begitu? Ah, jawaban itu tak bertahan lama. Karena
pada kenyataannya, saya kembali merasa kecewa pasca didaulat
menjadi salah satu staff dalam jajaran kepengurusan KAMMI
komisariat Shollahudin Al Ayyubi UNS. Kecewa bukan main.
Karena harapan tak sesuai kenyataan? Ya. Karena saya harus
menghadapi ketidakidealan disetiap sisi? Ya.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
29/158
29
Meskipun pada kenyataannya, sebagai pengurus belum
banyak yang bisa saya berikan. Bahkan barangkali tak pernah
benar-benar saya hadirkan hati dan totalitas kesungguhan dalamsetiap aktivitas, sungguhpun betapa keras saya meyakinkan diri
saya bahwa ini normal. Wajar. Tak jadi soal. Semua baik-baik saja.
Saya tak mengatakan bahwa kinerja KAMMI payah. Tak
begitu. Saya rasakan betapa KAMMI tetap berusaha untuk
bercokol, berusaha untuk tetap eksis dengan memberikan
sumbangsih dalam ranah garap sosial, intelektual, maupun
pembelajaran politik baik secara teoritis maupun praktis, tak
sebatas aksi parlemen jalanan semata. Jauh lebih berarti dari
sekedar mereka yang sibuk bernyanyi dengan nada-nada
sumbang dalam upaya destruksi pemikiran, pemandulan kerja-
kerja intelektual dan taktis, bahkan hanya sibuk cari massa dan
cari sensasi.
Saya hanya rasa ada yang kurang pas. Mungkin saya
salah. Mungkin semua baik-baik saja. Mungkin saya yang tak
baik-baik saja.
Mengapa aku mencintai KAMMI? Belum juga terjawab.
Maka saya lakukan sebuah proses pencarian panjang
yang bahkan sampai saya selesai menuliskan tanda titik di akhir
tulisan ini, belum bisa saya temukan jawabnya.
Atas ajakan seorang teman, jelang detik terakhir semester
pertama, saya putuskan mengikuti Latihan Kader 1 HMI dengan
mendapat predikat yang sangat memalukan: TIDAK LULUS.
Predikat ini sama sekali tak membuat saya jera, malahan saya
7/25/2019 Membingkai KAMMI
30/158
30
semakin antusias dan bergairah. Mulailah saya rutin mengikuti
diskusi-diskusi yang diadakan komisariat, membaca buku-buku
yang sering dijadikan referensi oleh Kanda-Yunda saya,mengikuti alur berpikir mereka yang bebas, merdeka, tanpa
sekat. Sungguh menyenangkan.
Saya semakin tertarik. Mungkin atas dasar hasrat anak
muda yang selalu ingin cari hal-hal baru. Entahlah, tak tahu.
Mengalir saja seperti itu. Maka saya biarkan diri saya larut dan
hanyut mengkomparasikan pemikiran-pemikiran Yusuf Qardhawi
dan Mukti Ali. Mulai rajin searching e-book Nurcolis Madjid,
Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi yang notabene selalu
dikaitkan dengan JIL. Meskipun, di sisi yang lain selalu disodori
buku Fathi Yakan: Robohnya Dakwah di Tangan DaI dan buku
Ust Eko Novianto, Sudahkah Kita Tarbiyah?
Saya sering merasa lelah dan galau, marah dan sedih,
jengkel dan kecewa, meski terkadang ada rasa asyik yang
menggairahkan saat saya temukan banyak hal baru dalam
petualangan saya ini. Beberapa teman mulai katakan saya
pengkhianat, selingkuh, dualis, dan lain sebagainya, saya tetap
berpura-pura cuek dan lakukan rutinitas saya sebagai pengurus
di KAMMI tanpa rasa bersalah. Tetap berusaha profesional danpersembahkan totalitas kerja untuk membuat jantung KAMMI
yang bernama Kaderisasi ini berdetakmeski tak banyak yang
bisa saya lakukan.
Enam bulan berselang, tak ada tanda yang pasti bahwa
saya akan akhiri pencarian ini. Saya masih asik masyuk dengan
dialektika yang saya lakukan terhadap diri saya sendiri. Sibuk
menandingkan pikiran ustadz ini dengan syekh itu. Lakukan
7/25/2019 Membingkai KAMMI
31/158
31
destruksi besar-besaran pada konsepsi soal ketuhanan dan
kemerdekaan dengan menyandingkannya dengan konstruksi
pada landasan dakwah tauhid dan konsep al qiyadah waljundiyah. Penat. Pusing.
Pada akhirnya, saya tetap turuti dorongan yang begitu
bergemuruh dalam dada untuk kembali menjajal mengikuti
Latihan Kader 1, tepatnya di Sukoharjo. Berbeda dengan hasil
memalukan di LK pertama, di LK yang kedua ini, saya mendapat
predikat: Peserta Terbaik yang tak terlantik. Mungkin begitulah
rencana yang Tuhan gariskan, agar saya tak begitu kesulitan saat
menjadi kader ganda dimana di satu sisi saya masih terdaftar
dalam kepengurusan KAMMI namun disisi yang lain menjadi
Anggota Biasa 1 di organisasi eksternal yang lain.
Belum lagi usai kisah cinta segitiga ini, saya lakukan
pencarian kembali. Kali ini dengan Muslimah Hizbut Tahrir
Indonesia (M-HTI) yang diawali dari sebuah seminar yang batal
saya ikuti karena lebih prioritaskan ikuti pleno tengah KAMMI.
Pasca itu, rutinlah saya mengikuti Focus Group Discussion yang
dilaksanakan setiap sepekan sekali dalam komunitas M-HTI.
Dengan pemikiran yang sudah acak-acakan karena belumsempurna terkonstruksi kembali, saya dipaksa benturkan lagi itu
pada satu konsepsi pemikiran baru yang masih asing untuk saya.
Sempurnalah kegilaan temporal yang saya alami.
Sudah demikian banyak yang saya tuliskan. Tapi belum
jua sampai pada jawaban atas pertanyaan Mengapa aku
mencintai KAMMI?Menjengkelkan ya? Sungguh, tak bermaksud
lakukan itu. Tapi memang dengan cara inilah saya belajar
7/25/2019 Membingkai KAMMI
32/158
32
mencintai KAMMI. Belajar mencintai dengan adanya acuan
kepada sikap kritis dan pertimbangan matang, sehingga
pengikutan atas dasar kecintaan itu pun dapat sepenuhnyadipertanggungjawabkan. Yang membuat saya tidak mencintai
secara membabi-buta, akan tetapi tetap kritis dengan
pertimbangan akal sehat.
Dengan melalui semua itu, saya dapatkan pelajaran
berharga bahwa setiap etnosentris golongan maupun pribadi
yang menganggap bahwa dirinya-lah yang serba tahu dan
faham, yang anggap bahwa orang-orang diluar diri dan
lingkungannya tak mengerti soal kelembagaan, organisasi,
wawasan keislaman dan pengetahuan tak akan hasilkan apapun
kecuali kematian intelektual yang menjerumuskan.
Saya mencintai KAMMI secara sadar. Dengan kesadaran
itu, saya yakin bahwa KAMMI mampu kembalikan spirit
perjuangan yang dulu membara, yang tak akan pernah
berkompromi terhadap idealisme walau dibujuk dengan harta
dan tahta. Spirit perjuangan yang membentuk pribadi muslim
untuk menjadi penegak dalam bergerak mengembalikan
kegemilangan Islam.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
33/158
33
Ya, Memang BeginilahKAMMI..
Prawacana
Muda dan energik, begitulah saya memandang KAMMI di
usianya yang tak lebih dari lima belas tahun ini. Sebagai
organisasi kemahasiswaan yang lahir di masa transisi perpolitikan
Indonesia tahun 1998, harus diakui KAMMI telah berhasil
menorehkan identitas kesejarahannya dalam dinamika keislaman,
kemahasiswaan, dan keindonesiaan. Namun, dengan latar
belakang historis tersebut, kita harus jujur mengakui bahwa ada
semacam kegamangan untuk positioning dalam dinamika
kekinian yang semakin turbulen. KAMMI masih terbelenggu pada
otoritas masa lalu yang defensif dan determinatif, sehingga
menyebabkan dominasi berlebih pada setiap wacana, pola pikir,
dan langkah gerak organisasi. Padahal, tuntutan untukmelakukan pembaharuan guna menjawab tantangan zaman
tentu merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar.
Salah satu stigma yang melekat pada KAMMI, sekaligus
menjadi brand imagenya adalah aksi-aksinya yang
menitikberatkan pada mobilisasi massa sebagai gerakan
parlemen jalanan. Stigma tersebut kini telah melembaga dalam
tradisi pergerakannya, sehingga legitimasi dari otoritas sejarah
ini menyisakan kalimat, Ya, memang beginilah KAMMI, dari dulu
memang seperti ini..ketika muncul berbagai kritik, baik itu dari
eksternal maupun internal KAMMI sendiri terkait aksi-aksi reaktif
dan sporadis, serta terkesan miskin solusi, yang dijadikan isu
sentral dalam pergerakannya.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
34/158
34
Inti dari kritikan tersebut kebanyakan menyoroti
minimnya kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas di
tubuh KAMMI. Tentu hal ini bukan perkara remeh, sebab mautidak mau, suka tidak suka, eksistensi organisasi dalam garis
sejarah akan dipengaruhi oleh kinerja dan produk organisasi.
Kinerja dan produk organisasi, tentu saja, berkaitan sangat erat
dengan kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas yang
melingkupinya.
Dua Kutub dan Gebrakan Baru
Dua orientasi besar kader dalam organisasi pergerakan
mahasiswa dibagi menjadi dua kutub, yakni orientasi keilmuan-
intelektual dan politik-praktis. Kalangan intelektual merupakan
minoritas yang mencintai tradisi akademisi, sedangkan kalangan
politik-praktis merupakan mayoritas yang mencintai politik
praktis dan kerja-kerja teknis.
Rasa-rasanya, istilah yang dipakai Arip Mustopha dalam
mendiagnosa penyakit ini cukup tepat untuk menjelaskan apa
yang terjadi di tubuh KAMMI saat ini. Dengan konteks historis
yang mendasari kelahirannya, KAMMI memang dituntut
bergumul dengan hal-hal yang sifatnya praktis-teknis, namunbukan berarti setelah zaman bergulir, KAMMI pun kemudian
mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat intelektual-keilmuan.
Bukan begitu?
Berbagai kritik yang menerpa KAMMI belakangan ini
mestinya berhasil menumbuhkan kesadaran untuk membuat
sebuah perubahan di KAMMI. Bahkan, beberapa kader pun telah
mengkristalkan wacana tersebut dengan menggelar forum-
7/25/2019 Membingkai KAMMI
35/158
35
forum diskusi pekanan dan Sarasehan Intelegensia KAMMI yang
menghadirkan para founding fathersKAMMI guna merealisasikan
secara kongkrit perubahan yang diharapkan.
Memang, sistem otoritatif yang telah melembaga dan
terwariskan dalam regenerasi KAMMI seolah telah membungkam
kader untuk banyak berkata selain menghela nafas dan berkata,
Ya, beginilah KAMMI.., sehingga sebuah gebrakan yang tegas
dan persisten tentu menjadi sebuah alternatif solusi yang ideal
guna menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur
dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah
disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.
Kini, ruang guna mengembangkan kultur intelektualitas
ini terlembaga dalam sebuah forum kultural yang menopang
setiap ide dan pengetahuan baik berupa lisan maupun tulisan,
yang kemudian didokumentasikan dan disosialisasikan
menembus batas-batas ruang dan menjadi pelajaran dan
referensi bagi kader-kader lain di seluruh Indonesia.
Ya,Memang Beginilah KAMMI. . .
Saya berharap, forum kultural yang digagas ini bisa
menjadi medium yang mampu memediasi warisan masa lalu dan
mengelaborasikannya dengan semangat menghadirkan
perubahan dan pembaruan sebagai ikhtiar penafsiran tanda-
tanda zaman yang telah berubah tanpa membuat kader merasa
terbebani dengan sakralisasi terhadap tradisi yang menyebabkan
kekritisannya menjadi tersumbat.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
36/158
36
Sudah saatnya, ledakan budaya intelektual secara massif
ini digalakan. Sehingga sebagai seorang kader KAMMI kita akan
dengan percaya diri dan lantang mengatakan, Ya, MemangBeginilah KAMMI. .
Semoga.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
37/158
37
Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan
Reformasi : Antara Tuntutan, Realita,
dan Harapan
Mahasiswa adalah sebuah kata dengan asumsi
tanggungjawab besar dalam perkembangan keberjalanan
sebuah negara. Dengan idealisme dan ketajaman intelektual
serta energi yang melimpah, kelompok mahasiswa selaludiidentikkan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Maka, adalah menjadi realitas historis yang sangat masuk akal
apabila kalangan mahasiswalah yang secara aktif melakukan
perlawanan terhadap otoritas kekuasaan. Hal ini lebih
dikarenakan pada alasan bahwa mereka mempunyai komitmen
serta otoritas moral yang tinggi terhadap penderitaan yang
berlangsung di sekitarnya. Sebagai intelektual, kalangan
mahasiswa dinilai mempunyai kemampuan berpikir serta
kapasitas keilmuan untuk membaca struktur sosial yang secara
kontinyu mengalami perubahan.
Dalam membaca lintas kesejarahan mahasiswa, perlu kita
lihat adanya corak khas yang menjadi karakter gerakan
mahasiswa, yakni menempatkan dirinya di posisi
ekstraparlementer yang memanfaatkan momentum dan
bertindak vis a vis negara. Tuntutan yang diusung pun relatif
sama, yakni berupaya secara tegas melawan kekuasaan yang
dinilai melakukan penindasan terhadap rakyat.
Saat rezim orde baru berkuasa, digunakanlah terminologibaru untuk membatasi ruang gerak mahasiswa, yakni politik
7/25/2019 Membingkai KAMMI
38/158
38
praktis versus politik moral. Ini dikarenakan pemerintah melihat
munculnya gelombang perlawanan dari mahasiswa yaitu
penolakan terhadap kenaikan BBM yang dinilai menyengsarakanrakyat dan desakan menuntut ketegasan pemerintah
memberantas korupsi yang dimotori oleh Arif Budiman dan
Hariman Siregar. Penolakan ini berpuncak pada peristiwa Malari
tahun 1974 yang bertepatan dengan kedatangan Perdana
Menteri Jepang Tanaka, yang memunculkan lahirnya Tritura baru:
Ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi presiden, dan
turunkan harga.
Hal ini tentu saja dinilai mengancam kekuasaan dan
otoritas pemerintah. Maka, pemerintahan orde baru pun
mengambil tindakan pengekangan berupa SK No.0156/U/1978
mengenai NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan
Koordinasi Kampus) melalui SK menteri P&K No.037/U/1979
dimana setiap organisasi Dewan Mahasiswa di kampus
dibubarkan dan atau diawasi secara ketat guna menekan
aktivitas poltik yang ada. Ditambah lagi dengan UU Ormas serta
munculnya LSM sebagai gerakan alternatif yang berdampak
pada generasi kampus yang apatis dan rezim rezim pemerintah
semakin represif. Dengan demikian, politik praktis seolah
menjadi hal yang haram untuk dimasuki, sehingga mahasiswapun seolah berada dalam sangkar moralitas yang kesuciannya
tak boleh ternoda oleh sifat praktis dari politik.
Namun, apakah gerakan mahasiswa kemudian mati
begitu saja? Ternyata tidak! Kondisi yang demikian represif justru
menyuburkan budaya diskusi dan gelombang baru pergerakan
mahasiswa yang berporos pada masjid-masjid kampus, sebut
saja munculnya LDK di masjid salman ITB yang dimotori oleh
7/25/2019 Membingkai KAMMI
39/158
39
Imaduddin Abdulrahim yang berkembang dan menyebar di
seluruh kampus di Indonesia.
Pada tahun 1990, kebijakan NKK-BKK dicabut, sehingga
kebebasan berpendapat dan berorganisasi kembali dapat
berjalan meskipun masih dalam kekangan yang sedemikian rupa.
Namun, masjid kampus sebagai basis aktivisme baru mahasiswa
nyatanya semakin subur dan berkembang dengan dinamisasi
tersendiri yang tak terjamah oleh pemerintahan yang represif. 8
tahun berselang, dalam sebuah momentum FSLDK (Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) ke X se Indonesia yang
diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang pada
tanggal 29 April 1998 dicetuskan dan dimunculkanlah KAMMI
sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis
mahasiswa muslim.
Kejenuhan mahasiswa terhadap rezim orde baru semakin
memuncak ketika untuk kesekian kalinya Soeharto terpilih
kembali menjadi Presiden RI, ditambah lagi dengan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sedemikian parahnya.
Gelombang perlawanan mahasiswa ini dimulai sejak 20
Mahasiswa UI mendatangi gedung MPR-DPR yang dengan tegas
menolak laporan pertanggungjawaban presiden, yang kemudiandisusul dengan aksi besar-besaran hingga menilbulkan
kerusuhan berdarah di beberapa tempat, termasuk Solo.
Selanjutnya, pada Mei 1998 ribuan mahasiswa berhasil
menduduki gedung DPR/MPR yang menjadi titik balik lahirnya
era reformasi dengan tuntutan: diturunkannya Soeharto,
dicabutnya dwi-fungsi ABRI, diberantasnya KKN,
7/25/2019 Membingkai KAMMI
40/158
40
diamandemennya UUD 1945, diterapkannya Otonomi Daerah,
serta ditegakkannya supremasi hukum.
Pasca reformasi, banyak pihak merasa belum
terbentuknya suatu mekanisme perpolitikan nasional dalam
memformulasikan terjadinya perubahan dalam konstelasi politik
nasional. Alih-alih menciptakan pola masyarakat yang melakukan
politik konstruktif, hingar bingar dalam pentas politik kita justru
mencerminkan kebinatangan yang tak beradab dari para
lakonnya yang cenderung berorientasi pada kekuasaan dan
mengesampingkan etika serta tatanan nilai yang berlaku secara
umum dalam masyarakat.
Reformasi melahirkan sejumlah aktor politik baru yang
diharap bisa memberi wajah baru politik menjadi lebih bermoral
dan bermartabat. Mereka muncul dari kalangan akademisi,
agamawan, maupun para pengusaha, tidak melulu dari kalangan
militer. Sayangnya, integrasi yang diharapkan ini tak berjalan
sesuai yang diharapkan, politik tetap sajalah bernama politik
yang tentunya memakai perhitungan matematis kalkulasi
kekuasaan yang untuk meraihnya sering kali menggunakan cara
yang bertentangan dengan hati nurani.
Realita perselingkuhan antara kekuasaan politik dengan
mekanisme pasar globa turut membenarkan apa yang dikatakan
Marx bahwa Negara dimanapun ia, akan selalu berpihak pada
pemegang kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan liberalisasi
secara agresif dan privatisasi secara massif baik itu dalam bidang
ekonomi maupun pendidikan telah membawa dampak yang bisa
kita rasakan bersama dimana pendidikan yang bertujuan
7/25/2019 Membingkai KAMMI
41/158
41
mendorong tradisi intelektual kemudian disulap menjadi pasar
kerja.
Pada akhirnya, kita menjadi anak tiri di negeri sendiri.
Selain menjadi korban kebijakan yang tidak memihak pada
kelompok akar rumput. Institusi yang dianggap mewakili rakyat
pun malah menjadi pengusung utama digelontorkannya
kebijakan tersebut.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa latar
belakang kelahiran KAMMI dan peranan yang dilakukan dalam
penggulingan orde baru menuju era reformasi dan pola yang
bisa ditempuh oleh KAMMI dan gerakan mahasiswa secara
umum untuk mengawal 15 tahun agenda reformasi? Kita lah
yang harus menjawab.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
42/158
42
Merayakan Keberagaman KAMMI
Aku Berpikir, maka Aku Ada
Apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar,
dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap
bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai
semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan
yang berfungsi.-Erikson
Dalam teori perkembangan kepribadian yang
dikemukakan oleh Erikson, ada delapan tahap perkembangan
yang terjadi dalam perkembangan identitas seseorang.
Perkembangan ini berlangsung dalam jangka waktu yang teratur
dan bersifat hierarkis. Delapan tahap perkembangan kepribadian
menurutnya, memiliki ciri utama dimana di satu pihak bersifatbiologis, sementara di lain pihak bersifat sosial. Keduanya
berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Disini, penulis hanya
akan membahas mengenai tahap ke-5 dari perkembangan teori
kepribadian tersebut.
Dalam cultural studies, saat seseorang menginjak usia
remaja hingga 18-20 tahun, sebenarnya ia tengah menjalani
masa peralihan dari ketergantungan masa anak-anak menuju
otonomi masa dewasanya. Jika orang dewasa menilai masa
muda sebagai era transisi semata, kaum muda justru
menjadikannya sarana untuk mengungkap identitas diri mereka.
Menurut Erikson, dalam tahap ini pencapaian identitaspribadi dan menghindari peran ganda harus dicapai. Kaum muda
7/25/2019 Membingkai KAMMI
43/158
43
haruslah memahami siapa dirinya yang sebenarnya di tengah
pergaulan dan struktur sosialnya agar pada akhirnya tidak
mengalami kekacauan identitas.
Dalam pencapaian identitas diri tersebut, seringkali kaum
muda bertindak sangat ekstrim dan berlebihan. Oleh karena
itu,pemberontakansenantiasa mengiringi perjalanan
pengalamannya dalam mengungkap berbagai penanda ideologis
yang menguak gambaran utopis tentang masa depannya. Tak
pelak, slogan Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari
seolah menjadi cambuk yang melecut gairah kaum muda untuk
beraktualisasi lebih.
Mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda, dengan
menggunakan sudut pandang diatas sejatinya memiliki substansi
yang sama. Mahasiswa mencoba mengaktualisasikan
keberbedaannya dengan melakukan sebuah movement, antara
lain dengan membuat komunitas dengan masuk dalam sebuah
organisasi maupun menjadi pegiat diskusi atau kajian. Ruang
diri yang lebih terbuka seolah menjadi identitas baru yang ia
identifikasikan dalam kepribadiannya yang khas.
Pergerakan mahasiswa dalam hal ini, menggunakanlogika dengan gejala yang sama. Aku berpikir maka aku ada,
demikian kata Descartes yang kemudian oleh mahasiswa aktivis
diplesetkan menjadi, aku berdiskusi, aku aksi, aku berontak, aku
berbeda dari mainstream, maka aku ada. Mungkin hal ini
memang tidak berangkat dari teori an sich, tapi kenyataan-
kenyataan yang penulis lihat di lapangan menunjukkan gejala
yang relatif sama.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
44/158
44
Dua Kutub
Pada dasarnya, dalam setiap ruang, manusia memilikipenyikapan yang beragam atas situasi yang dihadapi.
Penyikapan ini, hemat penulis, bisa digolongkan dalam dua
kategori ekstrem, yaitu adaptasi dan rekayasa. Sederhananya,
jika kita sedang berada dalam sebuah ruangan yang panas,
adaptasi yang kita lakukan adalah dengan menyesuaikan tubuh
kita agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
melepas jaket yang dikenakan, misalnya. Sementara, rekayasa
yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah kondisi
lingkungan, misal dengan menyalakan kipas angin atau
membuka jendela agar terjadi sirkulasi udara.
Demikian pula yang kaum muda lakukan dalam
pencapaian identitas kepribadiannya. Dalam dunia aktivis,
mereka akan mensekatkan diri pada pengkotak-kotakan
idealisme gerakan. Tak hanya bertumpu pada satu mainstream
gerakan, tapi tersebar dalam seluruh komponen, baik komponen
hobi, minat, bakat, aktivitas politik, keagamaan, dan lain
sebagainya. Seringkali terjadi kekacauan identitas antara dirinya
dengan entitas yang bersama hidup dalam kelompoknya. Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Ia akanmengingkari keanggotaannnya dalam sebuah entitas tempat ia
hidup bermasyarakat dan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan
sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka
sebagai bagian dalam kelompoknya.
Hal ini menjelaskan bahwa di lapangan-dalam dunia
aktivis, ada beragam kasus yang mengungkap bahwa sebagian
7/25/2019 Membingkai KAMMI
45/158
45
orang dari suatu entitas cenderung keluar dari pakem kebiasaan
yang melekat di organisasinya karena menganggap bahwa
perbedaan yang mereka rasakan harus diaktualisasikan. Disisilain, mereka memproduksi ide perjuangannya dalam komunitas
yang memiliki mind-setseragam. Suatu hal yang kontradiktif
memang, tapi patut mendapat apresiasi.
Merayakan Keberagaman KAMMI
Berbicara tentang dunia aktivisme mahasiswa, tak akan
berlepas dari keberadaan KAMMI sebagai organisasi yang telah
penulis ikuti sejak tahun pertama di kampus. Bagi penulis, mitos
tentang internal kammi yang begitu-begitu saja, manut-manut
saja, adem ayem saja, statis dan homogen, harus diekspose
maknanya.
Sejak masa berdirinya, kenyataan yang heterogen dalam
internal KAMMI secara sadar ataupun tidak telah diingkari oleh
kelompok-kelompok internal yang seolah takut membiarkan
suara-suara yang tak beraturan berselisih paham dan
menimbulkan kekacauan internal. Hingga hari ini, ketakutan akan
resiko dan ketidakmenentuan berada pada tingkatan patologis.
Keberagaman dalam KAMMI seolah tak disepakati, disetujui, danbahkan didesak dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengikis
kesatuan internal.
Pertama-tama, yang harus dilakukan adalah sebuah
otokritik terhadap diri kita sendiri berkaitan dengan gagasan
tentang identitas dan perbedaan. Hal ini terjadi karena KAMMI
untuk waktu yang lama telah terjerat dalam jalan buntu
dialektika yang dibuatnya sendiri. KAMMI perlu menerima,
7/25/2019 Membingkai KAMMI
46/158
46
mengenali, dan bahkan merayakan keberagaman internal di
dalam dirinya.
Perlu disadari bawa keberagaman adalah sebuah fakta
kehidupan dan ciri yang bisa ditemui dalam semua peradaban.
Untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan
lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke
dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika kita belajar
menerima perbedaan-perbedaan internal kita dengan menerima
secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda
dari mainstream kebanyakan.
Mengontrol energi dan suara internal yang berbeda
bukanlah dengan menghapus atau meniadakan kehadiran energi
dan suara itu sendiri. Bahkan, cara tersebut hanya akan membuat
suara-suara yang tersumbat itu bermutasi dan menyembunyikan
diri menjadi suara-suara sub-alternyang beragam, gerakan
bawah tanah yang tersembunyi, dan semakin memperparah
ketidakstabilan organisasi.
Jika memang internal KAMMI ingin menciptakan kondisi
sosial yang kondusif agar tak menghambat kinerja organisasi,
maka, membuka pintu perbincangan, pikiran, dan perbedaandalam diri KAMMI sendiri adalah solusi ideal yang bisa
diterapkan secara berkelanjutan.
Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri
dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen,
padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan
wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh.
Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan
7/25/2019 Membingkai KAMMI
47/158
47
memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih
jujur.
Bukankah mengenali keberagaman yang ada dalam diri
kita akan membuka jalan untuk mengenali kebergaman yang
lain-lain juga?
Penutup
Dalam teorinya, Erikson mengatakan, kesetiaan akan
diperoleh sebagai nilai positif yang dipetik setelah melewati
tahap ini. Kesetiaan yang ia maksud memiliki makna tersendiri,
yakni kemampuan hidup berdasar standar yang berlaku di
tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan,
dan ketidakkonsistenannya.
Pada akhirnya apapun yang dilakukan oleh sebagian dari
kader KAMMI yang berbeda dari mainstream adalah dalam
rangka mencari identitas diri. Insya Allah, tak ada satu aktivitas
pun yang sia-sia. Jika memang yang dilakukan itu berangkat dari
keyakinan yang teguh akan kebenaran yang diperjuangkan,
maka biarlah Allah menilainya sebagi kebaikan, tetapi apabila
ternyata salah, minimal menjadi pelajaran untuk dirinya sendiri.
Billahi taufiq wal Hidayah.
7/25/2019 Membingkai KAMMI
48/158
48
Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma
Gerakan KAMMI
To win being strong is not enough, you must be an idea
(Batman Begins)
Begitulah yang niscaya! Terlebih bagi sebuah organisasi
pergerakan dan terkhususnya lagi organisasi pergerakan
mahasiswa muslim. Ia tak hanya membutuhkan sejumlah besar
pasukan tangguh yang memiliki senjata tempur yang canggih,
tapi juga haruslah memiliki sebuah ide-ide dasar yang melandasi
setiap langkahnya. Ide-ide ini berkaitan dengan hal-hal yang
prinsip dan strategis dalam menentukan corak dan etika gerakan
dalam berfikir dan bertindak. Dengan landasan tersebut, maka
sebuah organisasi pergerakan akan memiliki rambu-rambudalam membimbing para anggotanya untuk mencapai visi yang
ingin dicapai.
Bukankah visi KAMMI sebagai wadah perjuangan
permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam
upaya mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang islami
sejatinya adalah visi dari setiap anggota KAMMI itu sendiri?
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam
dalam hal ini merumuskan substansi spirit, paham, corak,
landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan
KAMMI. Menurut Ahimsa, Paradigma dapat didefiniskan sebagai
seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara
logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi
untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan
7/25/2019 Membingkai KAMMI
49/158
49
masalah yang dihadapi[1].Seperangkat konsep inilah yang akan
membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang
ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalambagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau
segmentasi yang lain sehingga pada akhirnya lahirlah sebuah
pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada
akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan
dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.
Namun demikian, Paradigma Gerakan KAMMI sebagai
seperangkat konsep ternyata baru memberikan gambaran umum
tentang isi dari kerangka pemikiran, belum memberikan
keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu
sendiri. Padahal, dalam upaya pengembangan paradigma,
pendefinisian konsep saja belum cukup, yang lebih penting
adalah pendefinisian unsur-unsur yang tercakup dalam
pengertian paradigma itu sendiri[2].
Dalam sarasehan intelegensia KAMMI yang dilaksanakan
24 Desember 2012 di Yogya, Imron Rosyadi selaku ketua SC
Muktamar IV KAMMI tahun 2004 menyatakan bahwa paradigma
gerakan KAMMI saat ini belum selesai dan bukan sesuatu yang
final. Dengan demikian, penjelasan lebih lanjut terkait dengankomponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka
pemikiran epistemologi dari paradigma tersebut sangatlah
diperlukan sehingga penerjemahannya ke ranah aksiologis akan
lebih terarah dan tidak menimbulkan multitafsir.
Dengan tidak bermaksud lancang dan sembrono, disini
penulis ingin mencoba menyusuri jejak epistemologis Paradigma
http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn1http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn2http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn2http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn17/25/2019 Membingkai KAMMI
50/158
50
Gerakan KAMMI secara ringkas dann sederhana mengingat
kedangkalan pengetahuan yang penulis miliki.
Maka, Izinkan Aku Merajutnya dengan Benang
Kesederhanaan dan Jarum Ikhtiar-Alikta
Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti,
yakni: Dakwah Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independen,
dan Politik Ekstraparlementer. Lebih lanjut, penulis akan
membahasnya dalam poin per poin.
Pertama, KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid. Tafsir
dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan dakwah tauhid adalah
gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan
terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta
mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah
SWT. 2) Gerakan dakwah tauhid merupakan gerakan yang
menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang
berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan
(ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam
(rahmatan lil alamin). 3) Gerakan dawah tauhid adalah gerakan
perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan
universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar marufnahi munkar).
Mengapa dari sekian banyak frasa yang mungkin bisa
dirangkai, diambillah dua kata tersebut : Dakwah dan Tauhid.
Apa esensi yang terkandung dibaliknya? Jawaban yang paling
rasional disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki
adalah apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid, beliau
menyatakan bahwa Tauhid adalah cara bertuhan yang paling
7/25/2019 Membingkai KAMMI
51/158
51
manusiawi dan merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri.
Lebih lanjut, beliau menambahkan, inti kemanusiaan itu sendiri
adalah akal budi dan kebebasan. Tauhid itu membebaskan danmemerdekakan. Sebab, manakala ia hanya bergantung dan
berserah diri hanya pada satu Dzat, maka dia akan bebas. Contoh
analogi sederhana dari konsep ini adalah pendulum. Ia bisa
bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika ia
tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu
dan statis[3]. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau
mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan pada Tuhan itusendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa(41:37). Ini disebut Tauhid,
dan lawannya disebut syirik, artinya mengadakan tandingan
terhadap Tuhan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka
jelaslah bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan
peradaban kemanusiaan.[4]Konsekuensi logis dari tauhid ini
adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh sesama manusia,
materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang
merdeka.
Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat
pengabdian kepada Allah SWT sajalah yang akan
mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang berdasar
pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidakada pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material
dan dunia spiritual, dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan
manusia dari kepasrahan kepada kekuatan sosial manapun selain
kepasrahan kepada Tuhan. Manusia hanya bertanggungjawab
dihadapan Hakim Tunggal, yakni Allah SWT. Inilah makna Islam,
ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan perlawanan
terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud
menundukkan ataupun yang meminta menggantikan kedudukan
http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn3http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn4http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn4http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn4http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn37/25/2019 Membingkai KAMMI
52/158
52
Tuhan. Sehingga ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh
untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam
(rahmatan lil alamin).
Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat
ketuhanan sebagai pengejawantahan kalam Illahi inilah yang
oleh Ali Syariati disebut sebagai manusia ideal. Dalam dirinya ada
tiga aspek mendasar yakni kebenaran, kebajikan, dan keindahan.
Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Selanjutnya, sejalan
dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus
mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan
dengan apa yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: Engkau
adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan
beriman kepada Allah(3:110).
Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan
bahwa inti pokok dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan
transdensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan
kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan
amar maruf. Liberasi atau pembebasan merupakan
implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensimerupakan implementasi dari nilai tuminuuna billaah.
Kerja-kerja kemanusiaan ini secara essensial haruslah
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, yaitu
menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang
memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna
mengarahkan masyarakat pada nilai-nilai yang lebih baik, lebih
7/25/2019 Membingkai KAMMI
53/158
53
maju, dan lebih insani itu disebut amar maruf, sementara usaha
guna mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-
nilai kemanusiaan itu disebut nahi munkar.[5]
Dan pada akhirnya, marilah kita maknai dalam-dalam
mengenai apa yang disampaikan Ust. Fathi Yakan berkaitan
dengan definisi dakwah. Beliau mengatakan bahwa dakwah
adalah menghancurkan dan membangun, maksudnya
menghancurkan jahiliah dengan segala macam bentuknya, baik
jahiliah pola pikir maupun jahiliah perundang-undangan dan
hukum, setelah itu membangun masyarakat Islam berlandaskan
Islam dalam bentuk, isi, perundang-undangan dan cara hidup,
maupun dalam persepsi keyakinan terhadap alam, manusia, dan
kehidupan[6].
Maka, demikianlah unsur pertama dari Paradigma
Gerakan KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid mengantarkan
saya pada pemahaman bahwa dakwah tauhid adalah landasan
mutlak bagi kader KAMMI untuk berfikir dan berkehendak
merdeka serta menjadi petarung sejati yang pemberani.
Kedua, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik.
Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan intelektual profetikadalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas
penjelajahan nalar akal. 2) Gerakan intelektual profetik
merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus
dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang
universal. 3) Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang
mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha
perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan
pemberdayaan manusia secara organik. 4) Gerakan intelektual
http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn5http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn6http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn6http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn57/25/2019 Membingkai KAMMI
54/158
54
profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas
rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara
bahasa berarti cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal,
dan berfikiran jenih berdasarkan ilmu pengetahuan, memiliki
daya akal budi serta totalitas pengertian atau kesadaran,
terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu :
Pertama, tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran,
Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi,
kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga, ia adalah agen perubahan,
bukan yang dirubah oleh lingkungannya.[7]
Dalam menyelami makna profetik sebagai paradigma
gerakan KAMMI yang kedua ini, penulis dengan segala
keterbatasannya ternyata gagal memahami cara berfikir
Kuntowijoyo yang cenderung strukturalis-integralis, sehingga
disini penulis hanya menggunakan makalah Ahisma yang
bertutur mengenai akar epistemologis dan kritik terhadap Ilmu
Sosial-Profetik yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo.
Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita mencari akarontologis dari kata profetik untuk memudahkan pemahaman.
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet, yang berarti
nabi. Menurut Oxford Dictionary prophetic adalah (1) Of,
pertaining or proper to a prophet or prophecy; having the
character or function of a prophet; (2) Characterized by,
containing, or of the nature of prophecy; predictive. Jadi, makna
profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau
http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn7http://aliktahassa.wordpress.com/category/organisasi-dan-pegerakan-mahasiswa/#_ftn77/25/2019 Membingkai KAMMI
55/158
55
bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita
terjemahkan menjadi kenabian.
Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa
Islam diturunkan dengan tujuan untuk mengubah masyarakat
dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian mengusulkan
adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan,
untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik
tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini,
pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu
menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam
merumuskan desain besar mengenai sistem Islam dan ilmu
pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam berpikir dan
bertindak seorang muslim.
Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas
penjelajahan nalar akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai
relasi-pengabdian pada-Nya. Disini, Allah ditransformasikan
menjadi Pengetahuan, karena Dirinya adalah Sumber
Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteksprofetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman
kepada Malaikat berarti membangun relasi-persahabatan
dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang
beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasi-
pembacaan, sebab kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman
kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan dan
Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan
sekaligus juga persahabatan seperti hubungan yang terjadi
7/25/2019 Membingkai KAMMI
56/158
56
antara Rasulullah dan para sahabatnya. Beriman pada hari akhir
artinya membangun relasi-pencegahan, sebab dalam konteks ini
kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdirberarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat
terhindarkan.
Dengan demikian, mengembalikan segala penalaran yang
dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses
sakralisasi terhadap-NYA. Inilah yang membedakan ilmu profetik
dengan ilmu sosial yang lainnya.
Pengembalian secara tulus dialektika wacana pada
prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dalam Paradigma
Gerakan KAMMI ini bersesuaian dengan apa yang disampaikan
Ahimsa, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas
kemanusiaan, sehingga ia dituntut memiliki etos kerja
kemanusiaan yang meliputi : kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan
penghargaan.
Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar
wahyu ini adalah penggunaan kompilasi wahyu (Al Quran) dan
sunnah Rasulullah (Al-Hadist) sebagai salah satu sumber untuk
merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti lebih lanjut dalamupaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk
perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan
pemberdayaan manusia secara organik. Maksudnya secara
organik yakni merujuk pada intelektual yang merujuk pada
intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan altikula
Top Related