KOMUNIKASI ANTARA MASYARAKAT MUSLIM DENGAN
MASYARAKAT NON-MUSLIM DALAM KONTEKS TOLERANSI
BERAGAMA PADA BULAN RAMADHAN DI KELURAHAN PARAPAT,
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh:
Ratih Pratiwi
NIM: 1112051000016
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
i
ABSTRAK
Nama : Ratih Pratiwi
NIM : 1112051000016
Judul : Komunikasi Antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat
Batak non-Muslim dalam konteks Toleransi Beragama pada bulan
Ramadhan di Kelurahan Parapat, Sumatera Utara
Manusia tidak akan lepas dari komunikasi antar pribadi dan antar
kelompok dengan berbagai latar belakang budaya dan agama. Jika komunikasi di
antara mereka berlangsung tidak efektif maka akan terjadi konflik di antara
kelompok masyarakat itu. Agar tidak terjadi konflik di antara mereka maka
diperlukan sikap toleransi beragama. Di kelurahan Parapat masyarakat Muslim
adalah kelompok minoritas dan masyarakat non-Muslim adalah kelompok
mayoritas. Pada bulan Ramadhan belum pernah terjadi konflik di antara mereka
walaupun terdapat banyak perbedaan di antara mereka.
Berdasarkan konteks diatas, maka tujuan tulisan ini adalah menjawab
pertanyaan. Adapun pertanyaannya adalah, Bagaimana pola komunikasi yang
terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan? Bagaimana
toleransi beragama di antara kedua kelompok? Apa saja faktor pendukung dan
penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat
non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan
Ramadhan?
Sikap Empatik adalah salah satu elemen penting dalam komunikasi.
Komunikasi empatik akan efektif bila memiliki pengertian dan perhatian antara
komunikator dan komunikan. Empati memberikan kekuatan untuk mengubah
kondisi-kondisi negatif ketika seseorang berusaha meningkatkan interaksi dengan
orang lain. Empati memungkinkan untuk memahami secara emosional dan
intelektual mengenai sesuatu yang dialami orang lain.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan datanya dengan teknik
wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis datanya
menggunakan teknik etnografi.
Pola komunikasi yang terjadi di antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat adalah pola komunikasi pribadi dan
pola komunikasi kelompok. Toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim sangat baik karena mereka saling
menghargai satu sama lain dan tidak mengganggu ibadah masing-masing agama.
Karena toleransi beragama yang baik sehingga tidak pernah terjadi konflik di
antara kedua kelompok masyarakat itu di bulan Ramadhan bahkan mereka saling
menjaga keamanan satu sama lain. Adapun faktor pendukung komunikasi diantara
masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah rasa kebersamaan,
rasa saling menghargai satu sama lain, sikap gotong royong, imitasi, rasa simpati
dan sikap kekeluargaan. Adapun faktor penghambat terjadinya komunikasi di
antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah adanya sikap
stereotipe dan prasangka sosial.
Kata Kunci: Komunikasi, Toleransi Beragama, Empati, Ramadhan, Konflik.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulilah, segala puja-puji bagi Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya serta nikmat kesehatan yang diberikan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
“KOMUNIKASI ANTARA MASYARAKAT MUSLIM DENGAN
MASYARAKAT NON-MUSLIM DALAM KONTEKS TOLERANSI
BERAGAMA DI KELURAHAN PARAPAT, SUMATERA UTARA”. Shalawat
serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW serta
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penelitian ini bukan semata-mata hasil karya penulis sendiri, tetapi juga
merupakan hasil serta bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis juga
merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan
karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan. Selanjutnya tidak lupa penulis haturkan
terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga
amal baik tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang penulis sayangi dan hormati, terima kasih
telah merawat dan mengajarkan hal-hal yang positif kepada penulis serta
motivasi baik berupa moril dan material dan juga atas doa yang
dipanjatkan untuk penulis. Kedua adikku M. Haro Baskoro dan Mira
Praptiningsih yang selalu menjadi penyemangat dan pengingat skripsi ini,
iii
dan juga buat semua keluarga penulis yang selalu menyemangati dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D selaku wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III
Bidang Kemahasiswaan.
3. Drs. Masran, MA dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Ketua dan
Sekretaris jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Prof. Dr. M. Yunan Yusuf selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Ade Masturi selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang bersedia
membimbing dan telah banyak memberi masukan serta saran selama
penulisan skripsi saya.
6. Bapak Parningotan Girsang selaku lurah kelurahan Parapat beserta staff
kelurahan Parapat yang telah membantu penulis dalam memberikan data-
data penelitian skripsi ini.
7. Ustadz Suadji selaku pemuka agama di kelurahan Parapat, Pdt Anggiat
Hutahuruk sebagai Pendeta di gereja HKBP Parapat, Bapak Sumari selaku
ketua kenaziran mesjid Raya Taqwa Parapat, Bapak H. Maimun selaku
ketua MUI kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Bapak Jan Warisman
Damanik selaku pimpinan Gereja GKPS Parapat dan Bapak Ramsion
Barutu selaku pengurus gereja Katolik Parapat yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis.
iv
8. Kepada masyarakat kelurahan Parapat yang secara langsung dan tidak
langsung sudah menjadi objek penulisan skripsi ini. Kepada mereka yang
sudah memberi informasi mengenai permasalahan dalam skripsi ini.
9. Segenap Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
terima kasih telah mengajari dan memberikan ilmu kepada penulis, dan
saya ucapkan mohon maaf apabila dalam proses perkuliahan, ada sikap
atau sifat penulis yang kurang berkenan di hati Bapak/ Ibu, penulis sangat
harapkan doa dari Bapak/ Ibu, semoga ilmu yang telah Bapak/ Ibu berikan
menuai banyak keberkahan.
10. Seluruh kayawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta
pengelola perpustakaan Fakultas dan perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas layanannya, semoga pelayanan
kepada mahasiswa menjadi lebih baik lagi kedepannya.
11. Teman-teman KKN Mahatma, Zaky, Dea, Afni, Imam, Bahri, Roni, Tian,
Alif, Julham yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis dalam
penulisan skripsi ini.
12. Teman-teman kelas KPI A, sahabat penyemangat dalam menyelesaikan
penelitian ini Aisyah, Rohima, Mia, Nisa, Faizah, Ajeng, Dani, Kiki,
Ricca, Akbar, Mamat, Tiwi, Nunu, Wiwi, Diana, Ami, dan lain-lain terima
kasih atas segalanya.
13. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi
rasa hormat saya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan
keikhlasan yang diberikan kepada penulis.
v
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, semoga segala apa yang telah penulis lakukan dan hasilkan dapat
membuahkan manfaat serta memberikan nilai kebaikan terkhususnya bagi para
penulis maupun pembaca sekalian. Dan semoga dapat menjadi suatu amalan
kebaikan dalam bidang dakwah di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 September 2016
Ratih Pratiwi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari mungkin sadar atau tidak telah melakukan
komunikasi dengan orang yang berbeda ras, etnik, kelompok dan budaya
dengannya, karena berkomunikasi adalah salah satu hal yang selalu di lakukan
dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak bisa lepas dari yang namanya
komunikasi. Bahkan dengan orang yang berbeda budaya dan agama dengannya
sekalipun. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, selalu
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari
kelompok ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda kebudayaan, merupakan pengalaman baru yang selalu
dihadapi.1
Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Karena manusia saling membutuhkan satu sama lainnya guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak akan lepas dari komunikasi antar
pribadi dan antar kelompok dengan berbagai latar belakang budaya yang ada.
Begitu pula dengan orang yang memiliki latar belakang agama yang berbeda.
Dalam kehidupan di masyarakat pasti sering ditemui orang yang bertetangga
adalah orang yang berbeda agama dan mereka melakukan interaksi sosial dengan
cara berkomunikasi.
1Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),h. 5.
2
Hubungan individu atau kelompok dari lingkungan kebudayaan yang berbeda
akan mempengaruhi pola komunikasi, karena perbedaan budaya yang memiliki
sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup
yang berbeda.2
Jika komunikasi yang berlangsung tidak efektif maka yang terjadi adalah
timbul pertikaian atau konflik antara dua budaya yang berbeda. Komunikasi yang
tidak efektif ini kerap kali terjadi jika tidak ada kesamaan persepsi tentang pesan
yang disampaikan. Dalam komunikasi antar budaya dan agama hambatan yang
sering muncul adalah dikarenakan perbedaan bahasa, norma dan adat kebiasaan
yang dijadikan pedoman dalam melakukan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu peran komunikasi dalam mengurangi terjadinya perbedaan makna
sangat penting. Agar dapat menciptakan hubungan yang harmonis di dalam
masyarakat dan bisa terwujud kesadaran bahwa masyarakat yang berbeda budaya
ini tetaplah masih dalam wilayah kesatuan Negara Indonesia, serta dapat
menghormati dan menghargai perbedaan tersebut.
Ketika berkomunikasi dengan orang lain, dihadapkan dengan bahasa-bahasa,
aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi seseorang untuk memahami
komunikasi mereka bila sangat etnosentrik. Menurut Summer dalam Mulyana
etnosentrik adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai
pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan
kelompoknya.” Pandangan-pandangan etnosentrik itu antara lain berbentuk
2Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT Remaja
Rosadakarya,2005), h. vi.
3
stereotipe yaitu suatu generalisasi atas sekelompok orang, objek atau peristiwa
secara luas dianut suatu budaya. Ini tidak berarti bahwa stereotipe salah. Ada
setitik kebenaran dalam stereotipe dalam arti bahwa stereotipe cukup akurat
sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak di
kenal. Namun bila di terapkannya kepada individu tertentu, kebanyakan stereotipe
tidak tepat dan banyak keliru. Situasi-situasi yang memalukan bisa muncul bila
bergantung pada streotipe ketimbang persepsi langsung.3
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
masyarakat.4 Agama adalah merupakan bagian dari budaya. Hal yang menarik dari
agama adalah bahwa hal-hal yang sakral telah mengikat orang bersama-sama
dalam memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Kaitan
antara agama dan budaya adalah sangat jelas. Guruge dalam Larry Samover juga
menyatakan hal yang sama ketika ia mengamati bahwa “agama dan peradaban
saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai pada tahap yang tidak
dapat disimpulkan seseorang dimana setara dan berdampingan.”5
Menurut Emile Durkheim agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Di
dunia ini umat manusia tidak hanya menganut satu agama tetapi banyak agama.
3Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h. viii.
4Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h. 24.
5Larry, A. Samovar, dkk., Komunikasi Lintas Budaya. Penerjemah Indri Margaretha
Sidabalok (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 123-126.
4
Ada delapan agama terbesar di dunia menurut kitab suci mereka yaitu Kristen
dengan populasi penduduk terbesar saat ini dengan 2,1 milliar pemeluknya di
seluruh dunia terkonsentrasi di Eropa, Amerika, Australia dan Afrika Tengah dan
Selatan. Yang kedua ada agama Islam dengan jumlah pemeluk sekitar 1,7 milliar
dengan konsentrasi di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara dan Asia
Tenggara. Yang Ketiga ada agama Hindu dengan jumlah pemeluk sekitar 800 juta
yang terbanyak di India, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Yang keempat ada
agama Budha dengan jumlah pemeluk 600 juta jiwa dengan konsentrasi di China,
Tibet, Thailand dan Asia Selatan. Yang kelima ada agama Konghucu dengan
jumlah pemeluk 100-150 juta jiwa dan berkembang pesat di China. Yang keenam
ada Sikhism berkembang pesat di Pakistan dan India di sekitar wilayah Punjab,
memiliki pengikut sebanyak 25 juta jiwa. Yang ketujuh agama Yahudi dengan
terbesar di Israel, Amerika Utara dan Eropa dengan jumlah pengikut 15 juta jiwa.
Yang terakhir ada Zoroaster yang berkembang 2500 tahun yang lalu di Persia,
sekarang di Iran dan India dengan jumlah pengikut sebanyak 4 juta jiwa.6
Begitu pula di Indonesia menganut berbagai agama. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) dalam hasil sensus penduduk tahun 2010, pemeluk agama Islam
pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18%), pemeluk agama
Kristen Protestan sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96%), pemeluk agama Kristen
Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,9%), pemeluk agama Hindu sebanyak 4.012.116
juta jiwa (1,69%) dan pemeluk agama Budha sebanyak 1.703.254 juta jiwa
6R Lord, 8 Agama Terbesar di Dunia, diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pada pukul 08.00 dari
https://sites.google.co./site/lordcomputert/unida/agama/8-agama-terbesar-di-dunia
5
(0,72%). Sementara itu, agama Khong Hu Cu sebagai agama termuda yang diakui
oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05%).7 Mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam tetapi di beberapa wilayah di Indonesia Islam
menjadi agama yang minoritas seperti di Papua, Sulawesi Utara, NTT dan lainnya.
Termasuk juga di provinsi Sumatera Utara yaitu di kecamatan Girsang
Sipanganbolon agama Islam menjadi agama yang minoritas, sedangkan agama
terbanyak adalah agama Protestan. Hal ini terlihat dari laporan kependudukan
kecamatan Girsang Sipanganbolon, bahwa 993 orang beragama Islam, 9.187 orang
beragama Protestan, 1.939 orang beragama Katolik dan 47 orang beragama Budha.
Sementara itu di kelurahan Parapat terdapat 395 orang beragama Islam, 3.686
orang beragama Protestan, 810 orang beragama Katolik dan 34 orang beragama
Budha.8 Tetapi kedua kelompok masyarakat yang berbeda ini sudah lama hidup
berdampingan sehingga sudah terjalin komunikasi antara masyarakat Muslim dan
masyarakat non-Muslim. Bahkan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di
kelurahan Parapat belum pernah terjadi konflik yang menyebabkan kedua
kelompok masyarakat ini saling bermusuhan.9 Hal ini tentunya dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kepercayaan, perdagangan, aktivitas sehari-hari dan toleransi
beragama.
Toleransi beragama adalah suatu sikap menghargai dengan sabar
menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Toleransi
7 Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku, Bangsa,
Agama dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia (Jakarta: BPS, 2010), h. 10. 8 Data Monografi Kecamatan Girsang Sipanganbolon Mei 2016.
9Hasil Wawancara dengan Ustad Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni
2016
6
hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama dan
berdampingan bersama dengan masyarakat penganut agama lainnya, dengan
memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing
tanpa adanya paksaan atau tekanan.Apabila toleransi ini tidak dilakukan maka
yang terjadi adalah timbulnya konflik di antara umat beragama. Seperti yang telah
beberapa kali terjadi di Indonesia, beberapa contoh terjadinya konflik antar agama,
seperti kasus Tolikara pada Juli 2015 lalu10
dan juga peristiwa Poso dari tahun
1998-2002.11
Tujuan toleransi beragama tentu untuk menciptakan perdamaian dan
menghindari perpecahan antarumat beragama. Al-qur’an telah jelas
memerintahkan hal tersebut dalam surah Asy-Syura ayat 13:
10
(Kasus ini adalah terjadinya pembakaran mesjid Baitul Muttaqin hari Jumat 17 Juli 2015 ketika
warga Muslim sedang melaksanakan Shalat Ied pada pukul 07.00 WIT. Kasus ini bermula dari
surat edaran tentang pelarangan bagi umat Islam melaksanakan Shalat Idul Fitri dikarenakan
Sinode Gereja Injil Indonesia juga mengadakan pertemuan nasional yang mengahadirkan 2000
orang perwakilan daerah. Peristiwa ini menyebabkan satu orang meninggal dan puluhan lainnya
terluka. Sumber: Joko Panji Sasongko, Kapolri Beberkan Kronologi Insiden Tolikara, CNN
Indonesia 23-07-2015) 11
(Rangkaian peristiwa kerusuhan dan konflik di Poso mencapai puncaknya pada tahun 2000 dan
2002, tetapi sudah dimulai sejak akhir Desember 1998, di sekitar hari Natal dan bulan suci
Ramadhan, lalu berkepanjangan secara bergelombang hingga tahun 2003. Konflik ini berawal dari
masalah sepele, perkelahian antar pemuda yang kebetulan berbeda agama gara-gara minuman keras
yang bercampur dengan persaingan dalam kampanye politik lokal lalu berkembang menjadi
pertikaian antar agama antara lain dalam bentuk pemukiman dan rumah ibadah. Jan S. Aritonang,
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 538.
7
Artinya: Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -
Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Selain larangan menghina kepercayaan orang lain, Islam juga menjelaskan
hubungan yang harus dibangun seorang Muslim dengan masyarakat yang lain.
Masyarakat Muslim bertanggung jawab untuk mengadopsi akhlak Nabi dan
menjadi toleran serta adil kepada masyarakat lain. Termasuk percaya terhadap
seluruh kitab suci ciptaanNya serta menghormati kepercayaan orang lain. Orang
ini bisa jadi apa saja. Orang Budha, orang Yahudi, orang Kristen bahkan orang
Atheis. Sikap-sikap jujur dan asil seperti itu akan menimbulkan dampak positif di
hati mereka, tidak peduli apa atau siapa saja yang mereka percayai. Bahkan jika
mereka tidak memiliki kepercayaan sekalipun. Hal ini akan membuat mereka
merasa lebih dekat dengan Islam.12
Di kelurahan Parapat terdapat sekolah STT (Sekolah Tinggi Teologi) Trinity
yang merupakan sekolah milik non-Muslim, setiap pagi dari hari senin sampai
minggu dari pukul 06.00-07.00 WIB mereka memperdengarkan kajian mereka
menggunakan pengeras suara sehingga suaranya kedengaran sampai ke rumah-
rumah warga kelurahan Parapat. Bahkan ketika bulan Ramadhan mereka tetap
memperdengarkan kajian mereka tersebut. Sedangkan masyarakat Muslim
memperdengarkan adzan memakai pengeras suara hanya shalat Subuh, Maghrib
dan Isya saja sedangkan Zuhur dan Ashar tidak memperdengarkan Adzan
12
Harun Yahya, Keadilan dan Toleransi dalam Alqur’an, (Jakarta: Iqra Insan Press, 2004), h.44.
8
memakai pengeras suara. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi
konflik diantara masyarakat yang berbeda agama ini dikarenakan masyarakat
Muslim adalah minoritas di kelurahan Parapat.
Secara umum, kehidupan beragama antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat pada bulan Ramadhan terjalin
dengan harmonis. Mereka saling menghargai satu sama lain, karena buat mereka
kata “agamaku adalah buatku dan agamamu buatmu” itu dijalankan oleh mereka.
Mereka tidak mengganggu agama orang lain yang berbeda dengan agamanya
terutama pada bulan Ramadhan masyarakat non-Muslim menghargai dan
menghormati ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Bahkan mereka
saling menjaga satu sama lain agar tidak terjadi konflik diantara mereka.
Adanya hubungan komunikasi yang terjalin antara masyarakat Muslim
minoritas dan masyarakat Batak non-Muslim mendorong penulis untuk melihat
secara jelas bagaimana gambaran secara jelas mengenai pola komunikasi,
prasangka dan sterotipe yang muncul dan faktor pendukung dan penghambat serta
melihat berbagai bentuk kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan
tersebut. Untuk itu penulis mengambil judul skripsi ini dengan judul “Komunikasi
Antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat Batak non-Muslim dalam konteks
Toleransi Beragama pada bulan Ramadhan di Kelurahan Parapat, Sumatera
Utara.”.
9
B. Pembatasan Masalah
Agar penulisan skripsi/penelitian ini lebih terarah, penulis merasa perlu
membuat pembatasan masalah .Adapun pembatasan masalah dalam penulisan
skripsi/penelitian ini adalah pertama terkait masalah tempat penelitian yaitu
penulis membatasi wilayah yang menjadi objek penelitian yaitu kelurahan Parapat
kecamatan Girsang Sipanganbolon kabupaten Simalungun. Kedua terkait dengan
fokus penelitiannya, penulis akan memfokuskan penelitian/skripsi ini pada
toleransi beragama pada saat bulan Ramadhan oleh masyarakat Muslim di
kelurahan Parapat. Ini dikarenakan karena di bulan Ramadhan itu biasanya syiar
agama terdengar dengan jelas dan lebih menonjol dibandingkan bulan-bulan
lainnya. Penelitian/skripsi ini melihat bagaimana toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat
pada bulan Ramadhan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi
beragama di bulan Ramadhan?
2. Bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan kedua kelompok tersebut?
3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara
masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat
dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan.
10
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi
beragama di bulan Ramadhan.
2. Untuk mengetahui toleransi beragama yang ditunjukkan oleh kedua kelompok
tersebut di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada bulan
Ramadhan.
3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam komunikasi yang
terjadi dalam masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk
penelitian selanjutnya, khususnya dalam kajian komunikasi antar agama dan
budaya dan juga dalam konteks toleransi beragama.
2. Manfaat Praktis
Memberikan masukan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya
konflik, akibat kesalahpahaman cara pandang dalam memahami atau
menafsirkan sebuah pesan yang digunakan oleh komunikator yang berbeda
agama dan budaya.
11
F. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan tinjauan pustaka sebelum menentukan judul
penelitian ini. Tinjauan pustaka yang penulis lakukan adalah di perpustakaan yang
terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga perpustakaan
Utama Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta. Penulis juga
mencari-cari judul yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini
di Internet. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan, terdapat beberapa
judul skripsi yang memiliki kesamaan, yaitu:
Skripsi karya Muhammad Yusup Supandi pada tahun 2010 yang berjudul“
Komunikasi Antar Budaya (Studi pada Pola Komunikasi Etnis Arab dengan
Masyarakat Pribumi di Kelurahan Empang Bogor).13
Subjek pada penelitian ini
adalah etnis Arab dan masyarakat Pribumi yang maksudnya adalah masyarakat
Sunda di kelurahan Empang Bogor. Objek pada penelitian ini adalah pola
komunikasi antarbudaya. Subjek pada penelitian ini dan penelitian yang akan
penulis lakukan berbeda sedangkan objek penelitiannya sedikit berbeda, pada
skripsi ini objek pada penelitian yaitu mengenai pola komunikasi. Sedangkan
objek penelitian yang penulis lakukan adalah pola komunikasi terkait dengan
toleransi beragama pada bulan Ramadhan.
Hasil dari penelitian ini adalah hubungan antara etnis Arab dengan masyarakat
pribumi di Kelurahan Empang Kota Bogor berlangsung secara alamiah serta
terjalin dengan baik. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya pola
13
Muhammad Yusup Supandi, Komunikasi Antar Budaya (Studi pada Pola Komunikasi Etnis Arab
dengan Masyarakat Pribumi di Kelurahan Empang Bogor), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2010).
12
hubungan komunikasi etnis Arab dengan masyarakat Pribumi adalah adanya peran
agama yang sama dan banyak kegiatan keagamaan yang sering dilakukan.
Skripsi karya Muchammad Arief Sigit Muttaqien pada tahun 2009 yang
berjudul “ Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat
Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah).14
Subjek
pada penelitian ini adalah masyarakat Muhammadiyah dan NU di desa Pringapus,
Semarang, Jawa Tengah. Objek pada penelitian ini adalah pola dari komunikasi
antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU. Dalam penelitian ini
memakai teori komunikasi organisasi. Dalam penelitian ini meneliti tentang dua
organisasi besar Islam yang terdapat di desa Pringapus sedangkan pada penelitian
yang penulis lakukan adalah dua kelompok masyarakat yang berbeda agama yaitu
masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim. Pola komunikasi yang lebih
di tonjolkan dalam penelitian ini adalah komunikasi organisasi dalam kontes
komunikasi antarbudaya sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan
pola komunikasi yang akan diteliti adalah semua pola komunikasi yang terdapat
dalam masyarakat kelurahan Parapat terkait dengan toleransi beragama pada bulan
Ramadhan.
Hasil dari penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah pola komunikasi kelompok kecil
dalam hal keagamaan. Tidak semua kegiatan keagamaan dapat menjadikan
komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat
14
Arief Sigit Muttaqien, Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi
Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah), (Skripsi
S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009).
13
NU berjalan efektif, hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam pengalaman
ibadah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Skripsi karya Siti Aisyah pada tahun 2013 yang berjudul “Pola Komunikasi
antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim
Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang).” 15
Subjek pada penelitian
ini adalah warga Tionghoa dan masyarakat Muslim pribumi yang tinggal di
lingkungan RW 04 Kelurahan Mekarsari, kecamatan Neglasari kota Tangerang.
Sedangkan objek penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada etnis
Tionghoa dan masyarakat Muslim pribumi dalam kajian komunikasi antarbudaya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah kedua
subjek pada penelitian ini berbeda dan juga objek pada penelitiannya sedikit
berbeda karena pada penelitian ini fokusnya adalah hanya membahas pola
komunikasi dalam komunikasi antarbudaya khususnya asimilasi, akulturasi dan
enkulturasi sedangkan objek penelitian pada penelitian yang penulis lakukan
adalah bukan hanya pola komunikasi saja yang dibahas tetapi juga toleransi
beragama antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat.
Hasil dari penelitian ini adalah pola komunikasi antara etnis Tionghoa dengan
Muslim pribumi umumnya terdiri dari pola komunikasi antarpribadi dan
kelompok. Dalam kedua pola komunikasi tersebut tidak terlepas dari proses
akulturasi, asimilasi dan enkulturasi.
15
Siti Aisyah, Pola Komunikasi Antar Umat Beragama(Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa
dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2013)
14
Skripsi karya Nurul Ain Kabarokan pada tahun 2014 yang berjudul “
Komunikasi Intra dan Antarbudaya masyarakat Muslim Kei di Kota Tual”.16
Subjek pada penelitian ini adalah masyarakat Muslim Kei dengan masyarakat non-
Muslim Kei dan masyarakat non-Muslim Kei di kota Tual. Sedangkan objek
penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat Muslim Kei
dengan masyarakat non-Muslim Kei dalam kajian komunikasi intra dan
antarbudaya. Penelitian ini dan penelitian yang penulis lakukan mempunyai
perbedaan yaitu di subjek penelitiannya dan juga objek penelitiannya sedikit
berbeda pada penelitian ini fokusnya adalah dalam kajian komunikasi intra dan
antar budaya sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan adalah dalam
konteks toleransi beragama pada bulan Ramadhan tetapi memiliki persamaan yaitu
membahas tentang komunikasi antarbudaya.
Hasil dari penelitian ini adalah dalam kebudayaan masyarakat Kei, ditemukan
bahwa terdapat nilai-nilai yang berharga untuk kehidupan bersama dan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam. Nilai tersebut terungkap dalam hukum adat
terttingginya yaitu hukum Larvul Ngabal. Keselarasan antara nila-nilai budaya dan
agama membuat masyarakat Muslim Kei di kota Tual dapat memadukan nilai-nilai
budaya dan agama dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama
masyarakat di sekelilingnya.
Skripsi karya Ricca Junia Ilprima pada tahun 2016 yang berjudul “Analisis
Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama dalam Novel Ayat-Ayat Cinta 2
16
Nurul Ain Kabarokan, Komunikasi Intra dan AntarBudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual,
(Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2014).
15
Karya Habiburrahman El Zhirazy”.17
Subjek dalam penelitian ini adalah Novel
Ayat-ayat Cinta 2 karya Habiburrahman El Shirazy, sedangkan objek
penelitiannya adalah kontruksi sosial wacana dari segi dimensi teks sosial, kognisi
sosial dan konteks sosial. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis
lakukan, penelitian ini dilakukan pada analisis teks dalam novel yang di dalamnya
terkandung toleransi beragama sedangkan penulis melakukan penelitian pada
kelompok masyarakat tetapi ada persamaan dari keduanya yaitu membahas
masalah toleransi antarumat beragama.
Hasil dari penelitian ini adalah pesan toleransi beragama dalam bentuk ajakan
berbaik sangka dan tetap menciptakan perdamaian dengan orang-orang
Islamophobia dan pesan toleransi beragama bahwa semua agama itu sama atau
meniadakan agama agar tercipta perdamaian adalah salah manusia tanpa agama.
Pesan toleransi beragama dalam novel ini dipengaruhi oleh fenomena sosial di
masyarakat.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, maka peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara
mendalam situasi atau peristiwa dan pada penelitian ini tidak mencari atau
17
Ricca Junia Ilprima, Analisis Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama dalam Novel Ayat-
ayat Cinta 2 Karya Habiburrhman El shirazy, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negri Jakarta, 2016).
16
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi tetapi
membuat penyataan penelitian.18
Berangkat dari permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
deskriptif. Metode deskriptif merupakan dugaan terhadap suatu variabel
mandiri.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian ini adalah Masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim yang tinggal di Kelurahan Parapat, Kecamatan
Girsang Sipanganbolon, kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Alasan
saya mengambil subjek penelitian ini adalah dikarenakan masyarakat
Muslim adalah minoritas dan masyarakat non-Muslim adalah mayoritas
dengan perbandingan penduduk yang cukup jauh. Tetapi mereka hidup
berdampingan dan saling menjaga bahkan belum pernah terjadi konflik
yang melibatkan kedua kelompok tersebut. Sedangkan objek penelitiannya
adalah pola komunikasi masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim
di kelurahan Parapat.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, penulis telah terlebih dahulu
mengadakan preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan
sebelum penelitian dilakukan pada Desember 2015 sampai pada Maret
18
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosadakarya. 1984),
h. 53.
17
2016, sepanjang itu penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejala-
gejala serta fenomena yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca
serta memperdalam kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi
antar budaya dan agama untuk memperkuat teori yang digunakan pada
penelitian. Sedangkan proses penelitian dan penggarapannya dilakukan
pada April 2016 sampai Agustus 2016.
Adapun tempat yang dijadikan objek penelitian ini adalah kelurahan
Parapat, kecamatan Girsang Sipanganbolon, kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara.
a. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendukung kelancaran penelitian dalam pengumpulan data,
maka diperlukan teknik yang tepat. Adapun teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1) Teknik Wawancara
Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data yang
bertujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung
kepada narasumber. Wawancara merupakan suatu poses interaksi dan
komunikasi. Dalam wawancara ini hasil ditentukan oleh beberapa
faktor yang berinteraksi dan yang mempengaruhi arus informasi.
Faktor-faktor tersebut adalah pewawancara, responden, narasumber,
18
objek-objek penelitian yang tertuang dalam pertanyaan dan situasi saat
wawancara dilakukan.19
Kegunaan wawancara adalah untuk mendapatkan data di
tangan pertama dan pengumpul teknik pengumpulan data lainnya dan
untuk menguji hasil dari teknik pengumpulan data lainnya.20
Pada
teknik wawancara ini, pertanyaan diajukan kepada informan, yang
telah disiapkan secara lengkap dan cermat akan tetapi cara
penyampaian pertanyaan tersebut dilangsungkan secara bebas. Dengan
demikian sekalipun pewawancara telah terikat oleh pedoman
wawancara tetapi pelaksanaannya dapat berlangsung dalam suasana
tidak terlalu formal, harmonis dan tidak kaku.21
Teknik wawancara ini untuk mengungkapkan data mengenai
pola komunikasi pribadi dan kelompok yang terjadi antara masyarakat
Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam
konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan. Adapun orang-orang
yang akan penulis wawancarai disini adalah Ustadz, Ketua Kenaziran
Mesjid Raya Taqwa Parapat dan ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon untuk mewakili masyarakat Islam, pendeta gereja
19
Masri Singarimbun dan Sofian Effendy, Metode penelitian Survey,
(Yogyakarta:Lp3S,1987), h. 192. 20
Husaini Usman dan Purnomo Setiad Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:Bumi
Aksara, 1996). H. 58-59. 21
Dudung Abdul Rahman, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta:Kurnia Kalam
Semesta,2003), h. 63.
19
HKBP, Pimpinan Jemaat GKPS Parapat dan Pengurus gereja Katolik
Parapat yang mewakili masyarakat non-Muslim.
2) Teknik Observasi
Teknik observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat dengan
sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.22
Teknik observasi ini
digunakan untuk menambah atau menguatkan hasil-hasil yang
diperoleh dari hasil wawancara. Dalam teknik observasi ini penulis
melakukan pengamatan bagaimana pola komunikasi yang dilakukan
oleh masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat terkait toleransi beragama di bulan Ramadhan.
3) Teknik Dokumentasi
Berkaitan dengan data dokumentasi peneliti menggunakan data
kependudukan sipil dari kelurahan Parapat.Data demografi dan
monografi juga termasuk di dalamnya.Data ini diperoleh dari arsip
kependudukan di kecamatan Girsang Sipanganbolon. Teknik
dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan
data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian.
b. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknik etnografi.
Etnografi dalam komunikasi adalah metode analisis yang berfokus pada usaha
22
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:Gramedia, 1991), h.
13.
20
peneliti dalam mengobservasi dan meneliti tentang satu komunitas atau suatu
budaya agar bentuk komunikasi yang digunakan komunitas atau budaya
tersebut dapat diterima secara rasional. Littejohn menjelaskan bahwa etnografi
fokus pada beberapa faktor, yaitu:23
1. Pola komunikasi yang digunakan dalam sebuah kelompok.
2. Mengartikan semua kegiatan dalam kelompok.kapan dan dimana anggota
kelompok menggunakan kegiatan ini.
3. Bagaimana praktik komunikasi yang digunakan
4. Keberagaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok.
Teknik etnografi utama adalah wawancara yang panjang dan berkali-
kali dengan beberapa informan kunci. Fokus peneliti dalam melakukan
penelitian etnografi berkaitan dengan perubahan total dan kebudayaan. Tujuan
dari etnografi adalah untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat
tersebut. Namun, etnografi berkembang dan dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu etnografi awal dan etnografi modern. Jika etnografi awal lebih
mementingkan hal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu
masyarakat, maka etnografi modern lebih fokus pada kehidupan masa kini
yang sedang dijalani oleh masyarakat.24
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.
Tujuan utamanya adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
23
Stephen Littlejohn dan Karen Foss, Teori Komunikasi, Penerjemah Muhammad Yusuf
Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h.460. 24
James P. Sparadley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta:Tiara Wacana, 1997), h.4.
21
pandang masyarakat pribumi. Oleh karena itu, penelitian etnografi tidak hanya
mempelajari masyarakat, namun juga belajar dari masyarakat. Seorang
peneliti etnografi melakukan proses memahami apa yang dilihat dan di dengar
lalu menyimpulkannya. Proses ini memerlukan pemikiran atas kenyataan atau
kejadian yang disaksikan oleh peneliti dan hal yang diduga.25
Spradley
mengungkap tentang langkah-langkah melakukan wawancara etnografis
dengan metode etnografi, yaitu:
1. Menetapkan seorang informan.
2. Melakukan wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan
jenis peristiwa percakapan yang khusus. Tiga unsur yang penting
dalam wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan
dan pertanyaannya yang bersifat etnografis.
3. Membuat catatan etnografis. Sebuah catatan etnografis meliputi
catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang
mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.
4. Mengajukan pertanyaan deskriptif. Etnografer perlu untuk mengetahui
paling tidak satu setting yang di dalamnya informan perlu melakukan
aktivitas rutinnya.
5. Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini merupakan
penyelidikan berbagai bagian sebagaimana dikonseptualisasikan oleh
informan.
25
James P. Spradley, Metode Etnografi, h.4.
22
6. Membuat analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk mencari
domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang
merupakan nama-nama benda.
7. Mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut
setelah mengidentifikasi domain.
8. Membuat analisis taksonomik.
9. Mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini
dapat ditemukan dengan menentukan bagaimana sebuah simbol
berbeda dari simbol-simbol lainnya.
10. Membuat analisis komponen. Analisis komponen merupakan suatu
pencarian sistematik berbagai atribut yang berhubungan dengan
simbol-simbol budaya.
11. Menentukan tema-tema bdaya. Langkah terakhirnya yakni menulis
sebuah etnografi.26
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dipakai adalah
perpaduan antara etnografi awal dan etnografi modern. Etnografi awal
diperlukan untuk mengetahui bagaimana sejarah komunikasi yang
terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat. Lalu etnografi modern untuk mengedepankan
bagaimana kehidupan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-
Muslim di kelurahan Parapat pada saat sekarang.
26
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 17.
23
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari beberapa bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, sumber
data dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Terdiri dari komunikasi antarbudaya, pola komunikasi, agama sebagai
elemen budaya, pengertian prasangka dan stereotype, toleransi beragama dan
komunikasi empatik.
BAB III GAMBARAN UMUM
Terdiri dari gambaran umum masyarakat kelurahan Parapat yang
dilihat dari beberapa keadaan yaitu: demografi, penduduk dan monografi yang
meliputi letak daerah, kegiatan ekonomi, pendidikan, mata pencaharian dan
keagamaan.
BAB IV ANALISIS DATA
Terdiri dari memaparkan hasil dari variabel yaitu pola komunikasi
masyarakat muslimminoritas dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat. Melihat bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat
Muslim dan Masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dan faktor
pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim
dan Masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi
beragama di bulan Ramadhan.
24
BAB V PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan
yang dibahas dan saran atas permasalahan yang dibahas.
25
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Komunikasi Antarbudaya
1. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Kata atau istilah “komunikasi” merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris Communication yang dikembangkan di Amerika Serikat dan
komunikasi pun berasal dari unsur persuratkabaran, yakni journalism.
Adapun definisi komunikasi dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: dari sudut
bahasa(etimologi) dan dari sudut istilah(terminologi). Komunikasi
menurut bahasa atau etimologi diartikan dengan “Perhubungan”,
sedangkan yang terdapat dalam buku komunikasi berasal dari perkataan
latin, yaitu communication berasal dari kata latin Communicatio yang juga
bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya
sama makna.1 Persepsi mengenai satu kata diantara orang yang berbicara
haruslah sama, bila tidak sama berarti tidak sama makna. Contoh adalah
kata “atos”, dalam bahasa Sunda “atos” berarti sudah tetapi dalam bahasa
Jawa kata “atos” berarti keras. Hal ini menandakan itu tidak termasuk
komunikasi karena tidak sama makna.
Adapun pengertian komunikasi menurut istilah (termonologi)
banyak dikemukakan oleh sarjana-sarjana yang menekuni ilmu
komunikasi, antara lain: Menurut Carl I.Hovland, mengatakan bahwa
komunikasi adalah “The process by which individuals (the communicator)
1Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN
Jakarta Press, 2007), h. 18.
26
transmits stimuli(usually verbal symbols) to modify the behavior of other
individuals(communicant)” yang berarti “proses dimana seseorang
(komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-
lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang-orang
lain (komunikan). Laswell, 1960, mengatakan bahwa “komunikasi pada
dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa”, “mengatakan
apa”, “dengan saluran apa”, “kepada siapa”, dan “dengan akibat atau hasil
apa?” (who? Says what? In which channel? To whom? With what
effect?)”. Everett M. Rogers, mengemukakan bahwa komunikasi adalah
“proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima
atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.”2
Penulis menyimpulkan komunikasi adalah serangkaian proses dimana
pesan/ide disampaikan komunikator kepada komunikan untuk
mendapatkan umpan balik yang diberikan komunikan kepada
komunikator.
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan
pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam
sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan
dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa
verbal dan non verbal yang dipahami bersama.3
a. Sifat Komunikasi
Di tinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai
berikut: komunikasi verbal (verbal communication) yaitu komunikasi
2Roudhonah, M.Ag, Ilmu Komunikasi, h. 20-21.
3Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2011), h. 5.
27
dengan ciri bahwa pesan yang dikirimkan berupa pesan verbal atau dalam
bentuk ungkapan kalimat, baik secara lisan maupun tulisan. Komunikasi
nonverbal (nonverbal communication) yaitu komunikasi dengan ciri pesan
yang disampaikan berupa komunikasi kial (gestural/body communication),
komunikasi gambar (pictorial communication) dan lain-lain. Komunikasi
tatap muka (face-to-face communication) yaitu dalam hal ini pihak-pihak
yang berkomunikasi saling bertemu dalam suatu tempat tertentu. Dan
komunikasi bermedia (mediated communication) yaitu komunikasi yang
menggunakan media seperti telepon, surat, radio dan sebagainya.4
b. Tujuan Komunikasi
Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to
change the attitude), mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the
opinion), mengubah prilaku (to change behavior) dan mengubah
masyarakat (to change the society).5
c. Teknik Komunikasi
Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti
keterampilan atau keperigelan.6
Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan
komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi komunikasi
informatif (informative communication) yaitu teknik komunikasi dengan
menyampaikan pesan berulang-ulang untuk memberikan informasi kepada
komunikan, proses komunikasi ini satu arah dari pihak komunikator
kepada komunikan dalam penyebaran informasi. Komunikasi persuasif
4Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.14.
5Onong U. Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 55.
6Onong U. Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 55.
28
(persuasive communication) yaitu komunikasi yang dilakukan dengan cara
halus dan membujuk komunikan. Komunikasi pervasif (perpasive
communication) yaitu komunikasi yang perlahan atau merembes tapi
berpengaruh. Komunikasi koersif (coersive communication) yaitu
komunikasi yang menggunakan paksaan atau kekerasan yang hasilnya
menampakkan hal yang negatif. Komunikasi instruktif (instructive
communication) yaitu komunikasi yang bersifat memerintah atau
mengarahkan. Dan hubungan manusiawi (human relations) yaitu teknik
komunikasi yang memperhatikan nilai-nilai etis untuk menciptakan
suasana atau iklim komunikasi yang manusia.7
Sedangkan pengertian Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki,
agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-
objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari
generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya
menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan model bagi tindakan-
tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan
orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis
tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu
saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek materi
yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.8
7Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, h.14.
8Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 18.
29
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”
yang merupakan kata jamak “buddhi” yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal.9
Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward
Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa
kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan
yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Atau seperti
kata Hebding dan Glick (1992) bahwa kebudayaan dapat dilihat secara
material maupun non material. Kebudayaan material tampil dalam objek
material yang dihasilkan, kemudian digunakan oleh manusia. Sebaliknya
budaya non material adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep
norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan/keyakinan serta bahasa.10
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol,
pemaknaan, penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai,
pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran,
perkataan atau perbuatan/tindakan yang dibagikan diantara para anggota
suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.11
Penulis
menyimpulkan kebudayaan adalah kebiasaan, adat istiadat, nilai yang
dimiliki oleh manusia sebagai suatu anggota dalam masyarakat yang
dihasilkan dari kesepakatan bersama di masyarakat.
9Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal 150
10 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hal.107. 11
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4.
30
Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang
dibangun oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan
timbal balik, kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan,
kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan
oleh seluruh masyarakat.12
Tujuh unsur kebudayaan yang culture universals, yaitu:13
Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan
sebagainya). Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi
(pertanian, peternakan, sistem poduksi, sistem distribusi dan sebagainya).
Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik,
sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan). Keempat, bahasa (lisan
maupun tulisan). Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan
sebagainya). Keenam, sistem pengetahuan. Ketujuh, religi (sistem
kepercayaan).
Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa
“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti
dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat
membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol
itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan
namun konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi
setiap konsep itu saling berhubungan.14
12
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4. 13
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 154. 14
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h. 4-5.
31
Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan
bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol
hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama
untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam
proses komunikasi antara anggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi
kebudayaan” itu diadaptasi ke dalam proses suatu proses yang disebut
“adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok
menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu
gambaran atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka.15
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya
tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa dan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan
kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan
pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung
pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekwensinya, budaya merupakan
landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam
pula praktik-praktik komunikasi.16
Selanjutnya, Komunikasi antarbudaya terjadi jika sumber dan
penerimanya berasal dari budaya yang berbeda meliputi agama, ras, etnik,
suku, golongan dan sebagainya. Ini menjadi ciri yang memadai untuk
mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik.
15
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 5. 16
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 19.
32
Komunikasi antarbudaya merupakan prilaku yang unik, yang
memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi.17
Definisi paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar
belakang kebudayaan. Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi
antarbudaya dapat diartikan melalui pernyataan sebagai berikut:18
a. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang
disampaikan secara lisan, tulisan, bahkan secara imajiner antara dua
orang yang berbeda latar belakang budaya.
b. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk
informasi atau hiburan yang disampaikan lisan atau tertulis atau
metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar
belakang budaya.
c. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seseorang
yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.
d. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk
simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budaya.
e. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang
dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang
keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
menghasilkan efek tertentu.
17
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, h. 20. 18
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 9-10.
33
f. Komunikasi antarbudaya adalah setiap poses pembagian informasi,
gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang
budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan,
tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi atau
bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.
g. Penulis menyimpulkan komunikasi antarbudaya adalah pertukaran
pesan, ide ataupun makna diantara dua orang atau lebih yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda untuk menghasilkan efek tertentu.
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dari
komunikasi antarbudaya ini, diantaranya:19
a. Samovar dan Porter mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang
kebudayaannya berbeda.
b. William B. Hart II, komunikasi antarbudaya tidak dapat dielakkan dari
pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak
sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus
dicatat bahwa komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi
yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.”
c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili
pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi prilaku komunikasi
para peserta.
19
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 10-12.
34
d. Guo-Ming Chen dan William J. Strarosta mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran
sistem simbolik yang membimbing prilaku manusia dan membatasi
mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya
komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1) Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam
pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema
(penyampaian tema melalui simbol) yang sedang
dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna
tetapi dia dapat berarti ke dalam suatu konteks dan makna-
makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
2) Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari
persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi,
sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses
pemberian makna yang sama.
3) Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram
namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap
perilaku kita.
4) Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat
membedakan diri dari kelompok lain dan
mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara.
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut
membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa
semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula
35
kita kehilangan peluang untuk merumukan suatu tingkat kepastian sebuah
komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi
interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan
karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan
berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal. Dengan
demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan
yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansa-
nuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi latar
belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia.
Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang
dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang
pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita.20
2. Agama sebagai Elemen Budaya
Fitur lain dari semua budaya adalah agama. Menurut Parkes,
Laungani dan Young sebagaimana dikutip Larry dkk, semua budaya
“memiliki agama yang dominan dan terorganisasi dimana aktivitas dan
kepercayaan mencolok (upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan) dapat
berarti dan berkuasa. Pengaruh agama dapat dilihat dari semua jalinan
budaya karena hal ini berfungsi dasar. Ferraro menuliskan bahwa fungsi
ini meliputi kontrol sosial, penyelesaian konflik, penguatan kelompok
solidaritas, penjelasan dari sesuatu yang sukar dijelaskan dan dukungan
emosional. Fungsi-fungsi ini, baik secara sadar maupun tidak berdampak
pada semua hal mulai dari paktik bisnis (etika kerja orang Puritan) sampai
20
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 19.
36
kepada politik (hubungan antara Islam dan pemerintahan) hingga tingkah
laku individu (kode etik). Karena agama itu berpengaruh kuat dan
pervasive.21
Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya
selama ribuan tahun. Seperti yang dinyatakan oleh Haviland dan rekannya,
“cara pandang erat kaitannya dengan kepercayaan dan praktik agama.”
Dengan kata lain, “semua masyarakat memiliki kepercayaan dan praktik
(umumnya disebut sebagai) agama.” Kebutuhan manusia untuk
menghidupi isu penting begitu universal, sehingga tidak diketahui
“kelompok manusia di manapun di muka bumi ini yang selama lebih dari
10.000 tahun berlalu, tanpa manifestasi spiritual atau agama. ”Sama seperti
elemen struktur dalam, sejarah panjang dari agama berhubungan langsung
dengan budaya. Coogan mengulangi poin yang sama pentingnya dalam
tulisannya, “manusia percaya akan adanya sesuatu yang lebih besar dari
manusia sebagai penentu dan pencipta budaya.” 22
Kata agama (religion) berasal dari bahasa Latin religare yang
berarti “untuk mengikat”. Hal ini dengan jelas menandakan bahwa agama
mengikat manusia dengan hal-hal yang sakral. Hal yang menarik dari
agama adalah bahwa hal tersebut telah mengikat orang bersama-sama
dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun.
Baik melalui institusi seperti gereja Katolik, pemimpin spiritual dan sosial
seperti Budha dan Confucius maupun melalui ajaran Alkitab, Weda,
21
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya, (Jakarta:Salemba Humanika, 2010), h. 29-30. 22
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya, h. 121.
37
Quran, Torah dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan
untuk melihat ke luar diri mereka sendiri akan nilai-nilai yang mereka
gunakan dalam mengatur hidup mereka. Kelihatannya untuk ribuan tahun
milliaran orang telah setuju, sadar atau tidak sadar dengan pribahasa Latin
yang mengatakan, “manusia tanpa agamasama halnya seperti kuda tanpa
tali kekang.”
Agama merupakan aspek sentral dan fundamental dalam
kebudayaan dan kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi konkrit yang
terkandung di dalamnya bisa saja harmonis atau konflik dengan situasi
yang ada dalam masyarakat atau dengan proses transformasinya ke depan.
Anggapan agama sebagai salah satu unsur inti dalam kebudayaan akan
membantu kita meringkas arti penting agama bagi manusia. Seperti
kebudayaan, agama pun dapat digambarkan sebagai suatu “rancangan
dramatis” yang berfungsi untuk mendapatkan kembali sense of flux atau
gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses
serentak dengan penampilan, tujuan, maksud dan bentuk historis. Agama,
seperti halnya kebudayaan merupakan transformasi simbolis pengalaman.
Rancangan yang diberikan agama terhadap kehidupan dianggap oleh orang
yang beragama sebagai suatu penyelamatan, natural atau supernatural
dalam makna pengalaman yang lebih dalam, sedangkan bagi orang-orang
skeptis, agama dilihat sebagai seperangkat persetujuan yang menghambat
terjadinya peristiwa-peristiwa dan menganggap jagad raya sebagai tidak
ada artinya bagi manusia. Telah dinyatakan bahwa kebudayaan dalam
artitotal adalah keunggulan penemuan manusia, walaupun sangat kabur
38
sifatnya. Jika bukan karena campur tangan kepentingan manusia, maka
berubahnya alam dan bergesernya waktu akan terlihat tanpa arti dan tanpa
arah.23
Seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan “suatu
pertahanan” dalam arti sebagai seperangkat kebudayaan dan sikap yang
akan melindungi kita melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi yang
menjengkelkan. Agama merupakan salah satu bentuk perlindungan budaya
melalui mana secara sadar atau tidak ketakutan dan agresi yang timbul
diantara individu dan masyarakat dapat diredakan. Yang ketiga, seperti
halnya kebudayaan, agama juga merupakan “suatu pengarahan” yang
tersusun dari unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban kita pada
berbagai tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan. Ia membuat kita
“menerima, merasakan, memikirkan serta melaksanakan dengan cara-cara
yang diinginkan.” Yang terakhir seperti halnya kebudayaan, agama juga
mencakup “simbol ekonomi”.Ia menyangkut pengalokasian nilai-nilai
simbolis dalam bobot yang berbeda-beda.24
Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek
kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran
manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sama halnya
kompleks idea dan semua perspektif duniawi seperti semua sistem simbol
yang dianut oleh manusia dengan berbagai cara dijalankan dengan
beberapa bentuk pola berpikir dan dengan kompleksitas hubungan manusia
dengan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga. Namun demikian, sifat
23
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995), h. 215. 24
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, h. 216-217.
39
agama yang luhur dan suci ini memunculkan suatu unsur yang lain pada
agama.25
Dalam konteks kekinian, ada tiga bagian tipologi sikap beragama
dalam perspektif teologis. Pertama, Ekslusivisme yaitu memandang bahwa
agamanya sajalah yang benar dan agama yang lain salah dan sesat. Kedua,
Inklusifisme yaitu memandang bahwa “kesalamatan” bukan monopoli
agamanya. Penganut agama lain yang secara implisit berbuat benar
menurut agamanya, akan mendapatkan keselamatan juga. Ketiga,
Pluralisme yaitu memandang bahwa semua agama benar dan sama. Oleh
karena itu, orang yang bersifat pluralis berpandangan bahwa tidak
seharusnya umat beragama bersifat ekslusif dengan serangkaian klaim
kebenaran dan keselamatan yang khusus menjadi atribut bagi mereka.26
Pada zaman modern beragam wacana muncul untuk
mengklasifikasikan atau mengidentifikasikan suatu kelompok penganut
agama terhadap agama lain. Ninian Smart membaginya dalam lima
kategori, yaitu:27
1. Ekslusifisme absolute merupakan pandangan umum dari mayoritas
pemeluk agama yang menyatakan bahwa kebenaran mutlak untuk
agama yang dipeluknya. Sedangkan agama lainnya dianggap tidak
benar. Posisi ini apabila diacukan pegangan secara saklek akan
melahirkan kesulitan berupa setiap orang dapat mengklaim kebenaran
25
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, h. 217. 26
M. Irfan Riyadi M.Ag dan Basuki M.Ag, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan,
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009) h.2 27
M. Irfan Riyadi M.Ag dan Basuki M.Ag, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan,
h.4-5
40
sehingga karena paling benar, maka yang lain salah dan karena salah
maka harus dimusnahkan.
2. Relativisme absolute yang berpandangan bahwa sebagai sistem
kepercayaan agama tidak dapat diperbandingkan satu sama lain, karena
orang ingin melakukan terlebih dahulu harus menjadi orang dalam,
sehingga mengerti kebenaran agama masing-masing agama.
Konsekwensi dari pandangan ini setiap agama tidak pernah
mempunyai akses terhadap kebenaran agama lain.
3. Inklusifisme hegemonistik merupakan pandangan yang lebih terbuka
yang menganggap agama lain terdapat kebenaran namun menyatakan
prioritas terhadap agamanya sendiri.
4. Pluralisme realistik yaitu pandangan yang mengatakan bahwa semua
agama merupakan jalan yang berbeda-beda namun mengarah ke
tempat yang sama yaitu kebenaran.
5. Pluralisme regulative, merupakan paham bahwa berbagai agama
memiliki nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing, mereka
mengalami evolusi histois dan perkembangan kearah suatu kebenaran
bersama, hanya saja kebenaran tersebut belum lagi terdefinisikan.
Pandangan ini tampak jelas dalam beberapa dialog antar umat
beragama yang tidak menentukan hasil akhir dari dialog tersebut.
3. Pola Komunikasi
Pola komunikasi merupakan terdiri dari dua kata.Karena keduanya
mempunyai keterkaitan makna sehingga mendukung dengan makna
41
lainnya. Maka lebih jelasnya dua kata tersebut akan diuraikan tentang
penjelasannya masing-masing.
Kata “pola” dalam Kamus besar Bahasa Indonesia artinya bentuk
atau sistem, cara atau bentuk (stuktur) yang tetap, yang mana pola dapat
dikatakan contoh atau cetakan.28
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pola komunikasi
yang sesuai dengan arti pola di atas lebih tepat untuk mengambil
kesimpulan bahwa bentuk-bentuk komunikasi terdapat empat macam,
yaitu:
1. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication), adalah
komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang. Orang itu berperan
baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Dia berbicara
kepada diri sendiri, dia berdialog dengan diri sendiri, dia bertanya
kepada dirinya dan dijawab oleh dirinya sendiri.29
2. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), adalah
menurut Joseph A. Devito yaitu proses pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-
orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.30
3. Komunikasi kelompok (group communication), adalah komunikasi
yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok
orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Sekelompok orang yang
menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka,1996), h. 778. 29
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 57. 30
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 59-60.
42
yang dalam kelompok itu sedikit berarti kelompok itu kecil dan disebut
komunikasi kelompok kecil (small group communication). Jika
jumlahnya banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan
komunikasi kelompok besar (large group communication).31
4. Komunikasi massa (mass communication), adalah komunikasi melalui
media modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi
yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum dan
film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.32
Komunikasi
massa adalah penyampaian pesan komunikasi melalui/menggunakan
media massa modern, yang meliputi surat kabar, siaran radio dan
televisi yang ditujukan kepada umum. Termasuk juga film yang
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.33
B. Budaya dan Individu: Identitas Budaya
Identitas merupakan konsep yang abstrak, kompleks dan dinamis.
Oleh karena itu, identitas itu tidak mudah untuk diartikan sehingga ada
banyak gambaran yang disediakan oleh ahli komunikasi. Fong
berpendapat “budaya dan identitas budaya dalam pembelajaran hubungan
antarbudaya menjadi payung untuk menggolongkan identitas ras dan
etnik.” Ia menjelaskan identitas budaya sebagai “identifikasi komunikasi
dari sistem perilaku simbolis verbal dan nonverbal yang memiliki arti dan
yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki ras saling
31
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 75. 32
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 79. 33
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN
Jakarta Press, 2007), h. 137.
43
memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa dan norma-norma
yang sama. Identitas budaya merupakan konstuksi sosial.”34
Banyak peneliti telah membuat kategori untuk mengelompokkan
berbagai jenis identitas. Turner menawarkan tiga kategori untuk
mengklasifikasikan identitas. Pertama, identitas manusia yaitu pandangan
yang menghubungkan anda dengan seluruh manusia dan memisahkan anda
dari bentuk kehidupan yang lain. Kedua, identitas sosial yaitu perwakilan
dari kelompok dimana anda tergabung, seperti ras, etinisitas, pekerjaan,
umur, kampung halaman dan lain-lain. Ketiga, identitas pribadi yaitu
timbul dari hal-hal yang membedakan anda dari yang lainnya dan
menandakan anda sebagai pribadi yang spesial dan unik.35
Hall menawarkan kategori identitas yang sama. Ia berkata “
masing-masing kita memiliki tiga level identitas yang tergantung dari
konteksnya, mungkin atau tidak mungkin menonjol dalam hubungan kita
dengan yang lain. Pertama, identitas pribadi merupakan hal-hal yang
membuat anda unik dan berbeda dengan orang lain. Kedua, identitas
hubungan yaitu hasil dari hubungan anda dengan orang lain seperti
suami/isteri ataupun guru/murid. Ketiga, identitas komunal merupakan
biasanya dihubungkan dengan komunitas berskala besar seperti
kewarganegaraan, etnis, gender atau agama dan aliran politik.36
34
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 184. 35
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 185-186. 36
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 185-186.
44
Persamaan dan perbedaan juga berperan dalam hubungan sosial.
Psikolog yang mengadakan penelitian tentang daya tarik interpersonal
menghasilkan sebuah prinsip penting yaitu semakin mirip seseorang
dengan yang lainnya, semakin suka mereka satu sama lainnya. Namun
dalam pengertian komunikasi antarbudaya melibatkan orang-orang dari
budaya berbeda dan hal ini membuat perbedaan itu sebagai kondisi yang
normatif.J adi, reaksi dan kemampuan kita untuk mengatasi perbedaan-
perbedaan tersebut adalah kunci sukses suatu interaksi antarbudaya.
Kecenderungan kita terhadap sesuatu yang kita mengerti dan kita kenal
dapat mempengaruhi persepsi pada sterotipe, prasangka, rasisme dan
etnosentrisme.37
1. Stereotipe
Stereotipe merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan yang
secara mental mengatur pengalaman anda dan mengarahkan sikap anda
dalam menghadapi orang-orang tertentu. Menurut psikolog Abbate, Boca
dan Bocchiaro, stereotipe merupakan susunan kognitif yang mengandung
pengetahuan, kepercayaan dan harapan si penerima mengenai kelompok
sosial manusia. Alasan mengapa stereotipe itu begitu mudah menyebar
adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis untuk
mengelompokkan dan mengkalsifikasikan suatu hal. Dunia dimana kita
tinggal ini terlalu luas, terlalu kompleks dan terlalu dinamis untuk
diketahui secara detail. Masalahnya bukan pada pengelompokan atau
37
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 202-203.
45
pengotakan tersebut, namun pada overgeneralisasi dan penilaian negatif (
tindakan atau prasangka) terhadap anggota kelompok tersebut.38
Ketika kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama atau ras
lain, kita dihadapkan dengan sistem nilai dan aturan yang berbeda. Sulit
memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Melekat dalam
etnosentrisme adalah stereotip, yaitu generalisasi (biasanya bersifat
negatif) atas sekelompok orang dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan
individual. 39
Menurut penulis stereotip adalah peniliaian terhadap
seseorang bedasarkan kelompok dimana seseorang itu berada, bisa bersifat
negatif dan positif. Seseorang dinilai berdasarkan penilaian kelompok
tersebut walaupun seseorang itu tidak sama tindakannya.
Stereotipe dapat berupa positif dan negatif. Stereotipe yang
merujuk sekelompok orang sebagai orang malas, kasar, jahat atau bodoh
jelas-jelas stereotipe negatif. Tentu saja, ada stereotipe yang positif, seperti
asumsi pelajar dari Asia yang pekerja keras, berkelakuan baik dan pandai.
Stereotipe cenderung untuk menyamarkan ciri-ciri sekelompok orang.40
Adler mengingatkan akan efek membahayakan dari stereotipe
terhadap komunikasi antarbudaya dalam tulisannya, yaitu “stereotipe
menjadi masalah ketika kita menempatkan orang di tempat yang salah,
ketika kita menggambarkan norma kelompok dengan tidak benar, ketika
kita mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskannya, ketika
38
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 203. 39
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2013), h. 120-121. 40
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 203.
46
kita mencampuradukkan stereotipe dengan gambaran dari seorang individu
dan ketika kita gagal untuk mengubah stereotipe berdasarkan pengamatan
dan pengalaman kita sebenarnya”.41
Ada empat alasan lain mengapa stereotipe itu menghambat
komunikasi antar budaya, yaitu:42
1. Stereotipe merupakan sejenis penyaring, menyediakan informasi
yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. Dengan
ini, suatu hal yang tidak benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui.
Misalnya perempuan sejak lama distereotipekan sebagai kelompok satu
dimensional. Stereotipe perempuan sebagai ibu rumah tangga menghalangi
perempuan untuk maju dalam dunia kerja.
2. Bukan pengelompokan tersebut yang menyebabkan masalah
antarbudaya, namun asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai
suatu budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Suatu
stereotipe menganggap semua orang dalam suatu kelompok memiliki sifat
yang sama.
3. Stereotipe menghalangi keberhasilan anda sebagai seorang
komunikator, karena stereotipe biasanya berlebihan, terlalu sederhana, dan
terlalu menyamaratakan. Guirdham menegaskan poin penting ini ketika ia
mengingatkan kita bahwa stereotipe mengubah komunikasi antar
kelompok, karena mengarahkan orang pada dasar pesan mereka, cara
untuk menyampaikannya dan penerimaan terhadap asumsi yang salah.
41
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 205. 42
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 205-206.
47
4. Stereotipe jarang berubah, karena stereotipe biasanya berkembang
sejak awal kehidupan dan terus berulang dan diperkuat dalam suatu
kelompok, stereotipe berkembang setiap waktu. Sebenarnya hubungan
antara kelompok dalam dan kelompok luar kadang hanya menegaskan
stereotipe. Seperti yang dituliskan oleh Meshel dan McGlynn, “sekali
terbentuk, stereotipe tidak akan berubah dan hubungannya langsung
kadang memperkuat asosiasi yang sudah ada mengenai kelompok target
dan ciri-ciri stereotipe.
2. Prasangka
Dalam pengertian luas prasangka merupakan perasaan negatif yang
dalam terhadap kelompok tertentu. Macionis memberikan pengertian
yang lengkap mengenai prasangka, yaitu “Prasangka merupakan
generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang.
Prasangka menyakitkan dalam arti bahwa orang yang memiliki sikap
yang tidak fleksibel yang didasarkan atas sedikit atau tidak ada bukti
sama sekali. Orang-orang dari kelas sosial, jenis kelamin, orientasi
seks, usia, partai politik, rasa tahu etnik tertentu dapat menjadi target
prasangka”. 43
Gerungan mengartikan prasangka sosial sebagai sikap
perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu. Golongan
rasa tau golongan kebudayaan yang berlainan dengan orang yang
berprasangka itu. Prasangka sosial itu terdiri atas sikap-sikap sosial
yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah laku
43
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 207.
48
manusia tadi.44
Penulis menyimpulkan prasangka adalah penilaian dari
satu kelompok atau individu yang terutama didasarkan pada
keanggotaan kelompok. Efek dari prasangka adalah merusak dan
menciptakan jarak yang luas.
Ada empat fungsi umum dari prasangka, yaitu:45
1. Fungsi Pertahanan Ego, suatu prasangka memungkinkan orang
untuk memiliki prasangka tanpa harus mengakui bahwa mereka memiliki
suatu kepercayaan mengenai suatu kelompok luar.
2. Fungsi Utilitarian, memungkinkan orang untuk berpikir bahwa
mereka mendapatkan penghargaan dengan mempertahankan prasangka
yang mereka miliki.
3. Fungsi Menyatakan Nilai, fungsi menyatakan nilai ketika orang-
orang percaya bahwa perilaku mereka menunjukkan nilai tertinggi dan
paling bermoral dari semua budaya. Hal ini biasanya berputar pada nilai-
nilai yang berhubungan dengan agama, pemerintah dan politik.
4. Fungsi Pengetahuan, orang dapat mengelompokkan, mengatur dan
membentuk persepsi mereka terhadap orang lain dalam cara yang masuk
akal bagi mereka bahkan jika hal itu tidak akurat bagi mereka.
C. Toleransi Beragama
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu “tolerance” yang berarti
sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
44
W. A Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Eresco, 1996) cet-13, h. 167 45
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas
Budaya Edisi 7, h. 207-208.
49
memerlukan persetujuan. Bahasa Arab menerjemahkan dengan “tasamuh”
yang berarti saling mengizinkan dan saling memudahkan.46
Poerwadarminta mengartikan toleransi itu dengan sifat atau sikap
menenggang, menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian atau
pendapat, pandangan, kepercayaan dan kelakuan yang lain yang bertentangan
dengan pendiriannya sendiri, misalnya: agama, ideologi, ras dan sebagainya.
Dalam arti suku rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau
berpendirian lain, tidak mau mengganggu kebebasan berpikir dan
berkeyakinan lain.47
Sullivan, Pierson dan Marcus, sebagaimana dikutip
Saiful Mujani, toleransi didefinisikan sebagai a willingness to “put up with”
those things one rejects or opposes, yakni kesedian untuk menghargai,
menerima atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh
seseorang.48
Menurut penulis toleransi adalah menunjukkan sikap kesediaan
seseorang untuk menerima dan menghargai sesuatu yang tidak sepandang ata
sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaannya.
Dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti
menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda
itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang.
Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya
atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan
perbedaan itu tetap ada. Toleransi beragama pertama kali ditelaah oleh John
46
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 13. 47
W J S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Cet
5, 1976), h.1084) 48
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 162.
50
Locke dalam konteks hubungan antara gereja dan Negara di Inggris.
Toleransi disini mengacu pada kesedian untuk tidak mencampuri keyakinan,
sikap dan tindakan orang lain, meskipun mereka tidak suka. Negara tidak
boleh terlibat dalam urusan agama dan juga tidak boleh ditangani oleh
kelompok agama tertentu. Dalam masyarakat muslim, toleransi merujuk pada
sikap dan perilaku kaum muslim terhadap kaum non muslim dan sebaliknya.
Toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah
penganut agama-agama lain.49
Menurut penulis toleransi beragama adalah
sikap saling menghargai dan tidak mengganggu umat agama lain dalam
melaksanakan ibadah mereka.
Toleransi dalam pergaulan hidup antara umat beragama yang didasarkan
kepada setiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan
mempunyai bentuk ibadat (ritual) dengan sistem dan cara sendiri yang
ditaklifkan (dibebankan) serta menjadi tanggung jawab orang yang
pemeluknya atas dasar itu, maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat
beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan
perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan
hidup antara orang yang tidak seagama dalam masalah-masalah
kemasyarakatan atau kemashalatan umum.50
49
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi
Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama
dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7
Perguruan Tinggi Umum Negri, (Jakarta, Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 55. 50
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
h. 14.
51
Dalam mewujudkan kemashalatan umum, agama telah menggariskan dua
pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu
hubungan secara vertikal dan hubungan secara horizontal. Yang pertama
adalah hubungan antara pribadi dan Khaliknya yang direalisasikan dalam
bentuk ibadat sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama.
Hubungan ini dilaksanakan secara individual, tetapi lebih diutamakan secara
kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam). Pada hubungan yang pertama
ini berlaku toleransi beragama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau
intern suatu agama saja. Hubungan kedua adalah hubungan antara sesama
manusia dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak hanya terbatas pada
lingkungan suatu agama saja, tetapi juga berlaku kepada orang yang tidak
seagama, yaitu dalam bentuk kerja sama dalam masalah-masalah
kemasyarakatan atau kemashalatan umum. Dalam hal seperti inilah berlaku
toleransi dalam pergaulan antara umat beragama. Perwujudan toleransi seperti
ini walaupun tidak berbentuk ibadat, namun bernilai ibadat, karena kecuali
melaksanakan suruhan agamanya sendiri, juga bila pergaulan antara umat
beragama telah memelihara eksistensi agama masing-masing.51
Terdapat dua macam penafsiran tentang konsep toleransi menurut Prof Dr.
Nurcholish Majid. Pertama, penafsiran negatif (negative interpretation of
tolerance) yang menyatakan bahwa toeransi itu hanya mensyaratkan cukup
dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Kedua
penafsiran positif (positive interpretation of tolerance) yang menyatakan
bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar membiarkan. Toleransi
51
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
h. 14.
52
membutuhkan adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan
orang/kelompok lain. Hanya saja, interpretasi positif ini hanya boleh terjadi
dalam situasi di mana objek dari toleransi itu tidak tercela secara moral dan
merupakan sesuatu yang tak dapat dihapuskan, seperti dalam kasus toleransi
rasial.52
Toleransi dalam pergaulan umat beragama bukanlah toleransi statis yang
pasif, melainkan toleransi dinamis yang aktif. Toleransi statis adalah toleransi
dingin tidak melahirkan kerja sama. Bila pergaulan umat beragama hanya
dalam bentuk statis, maka kerukunan antara umat beragama hanya dalam
bentuk teoritis. Kerukunan teoritis melahirkan toleransi semu. Toleransi
dinamis aktif melahirkan kerjasama untuk tujuan bersama, sehingga
kerukunan antara umat beragama bukan dalam bentuk teoritis tetapi sebagai
refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa. 53
Sebagaimana
juga disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi bahwa toleransi sebenarnya
tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan dengan hal tersebut, al-
Qardhawi mengkategorikan toleransi keagamaan dalam tiga tingkatan.
Pertama, toleransi dalam bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan
kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak
memberinya kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang
diwajibkan atas dirinya. Kedua, memberinya hak untuk memeluk agama yang
diyakininya, kemudian tidak memaksanya mengerjakan sesuatu sebagai
larangan dalam agamanya. Ketiga, tidak mempersempit gerak mereka dalam
52
Nurcholish Majid, Pluralitas Agama (Kerukunan dalam Keragaman), (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas), h.13. 53
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
h. 16.
53
melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal, meskipun hal tersebut
diharamkan menurut agama kita.54
Perwujudan toleransi dalam pergaulan hidup umat beragama direalisasikan
dengan cara, pertama setiap penganut agama mengakui eksistensi agama-
agama lain dan menghormati segala hak asasi penganutnya. Kedua, dalam
pergaulan bermasyarakat setiap golongan umat beragama menampakkan
sikap saling mengerti, menghormati dan menghargai. Toleransi beragama
adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk agama
yang menjaga keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan ibadatnya.
Toleransi beragama meminta kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan
tanggung jawab, sehingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan
mengeliminir egoistis golongan. Toleransi hidup beragama itu bukan suatu
campur aduk, melainkan terwujudnya ketenangan, saling menghargai bahkan
sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina gotong royong di
dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagian bersama.
Sikap permusuhan, sikap prasangka harus dibuang jauh-jauh diganti dengan
saling menghormati dan menghargai setiap menganut agama-agama.55
Sikap toleran merupakan sikap yang berada diantara sikap ekslusif dan
inklusif. Sikap ekslusif ada pada orang-orang yang menutup diri dari seluruh
atau sebagian kebenaran lain di luar yang ia percayai. Sedangkan sikap
inklusif adalah sikap dimana seseorang meyakini kebenaran diri sendiri,
sambil berusaha memahami dan menerima kemungkinan kebenaran yang lain
54
Yusuf al-Qardhawi, Minoritas NonMuslim di dalam Masyarakat Islam, Penerjemah
Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1985), h. 95-97. 55
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
h. 16-17.
54
bahkan siap untuk bekerja sama secara aktif di tengah perbedaan itu. Sikap
toleran berada di tengah kedua sikap tersebut, yakni sikap membiarkan yang
lain namun masih secara pasif. Pasif yang dimaksud adalah tidak ada
keinginan untuk sampai memahami dan terlibat aktif dalam perbedaan-
perbedaan yang dijumpai.56
Toleransi mengarah pada sikap terbuka dan mau mengakui adanya
berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa,
adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan
sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan pemikiran ini
adalah firman Allah SWT dalam QS Al-Hujarat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menjelaskan bahwa pluralitas memang dikehendaki oleh Allah
SWT. Tetapi perbedaan tersebutdalam kerangka yang baik.Islam
mengajarkan persamaan antara sesama manusia. Perbedaan warna kulit,
bahasa, budaya, jenis kelamin dan sebagainya bukan alasan manusia merasa
memiliki derajat yang lebih tinggi diantara yang lainnya. Pada kenyataannya
yang membedakan manusia dengan manusia lainnya dihadapan Allah adalah
ketakwaannya. Oleh karena itu, adanya suatu perbedaan diantara manusia
56Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, Menghargai Kemajukan Menjalin
Kebersamaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)
55
bukan maksud Allah ingin merendahkan mereka diantara yang lainnya,
melainkan Allah menciptakan mereka dengan sebaik-baiknya. Serta
kenyataan perbedaan itu adalah ujian keimanan masing-masing pemeluk
agama.
D. Komunikasi Empatik
Kata empati berasal dari kata “einfuhlung” yang semula disunakan
oleh seorang psikolog Jerman. Kata ini secara Harfiah berarti merasa
terlibat (feeling into). Empati menurut Onong Uchana Effendy adalah
kemampuan memproyeksikan diri kepada orang lain. Dengan kata lain,
empati adalah kemampuan menghayati perasaan orang lain atau
merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain. Empati memfasilitasi
komunikasi, kerjasama, sikap menghormati dan sifat kasih sayang.57
Dalam penggunaan sehari-hari, empati didefinisikan sebagai
berada pada posisi orang lain, sebagai simpati yang dalam, sebagai
kepekaan pada kebahagiaan bukan pada kesedihan dan sinonim langsung
dari simpati. Menurut Bennet sebagaimana dikutip Dedy Mulyana empati
didefinisikan sebagai partisipasi emosional dan intelektual secara
imajinatif pada pengalaman orang lain. Dalam empati kita berpartisipasi
bukan menempatkan dan kita berhubungan dengan pengalaman dan bukan
posisi. Kita harus memasuki kepala dan hati orang lain, berpartisipasi
57
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif
Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1
Januari-Juni 2010, h 16.
56
dalam pengalamannya seakan-akan kita betul-betul orang lain itu.58
Penulis menyimpulkan komunikasi empatik adalah dapat merasakan apa
yang dirasakan orang lain dengan bagaimana perasaan orang lain itu
rasakan.
Kegagalan komunikasi salah satunya karena kurangnya
kemampuan mendengarkan dengan empati. Oleh karenanya Floyd yakin
bahwa empati adalah “the key to effective listening and therefore to
communication”, empati adalah kunci untuk mendengarkan secara efektif
sehingga menghasilkan komunikasi yang efektif pula. Komunikasi
empatik merupakan salah satu keterampilan berkomunikasi untuk
mendukung pencapaian tujuan komunikasi dari sisi persuasif maupun
informatif. Komunikasi empatik berarti komunikasi yang dilandasi
kesadaran untuk memahami dengan perasaan, kepedulian dan perhatian
terhadap komunikan. Karena itu, dalam komunikasi empaik yang perlu
diperhatikan adalah cara memahami orang lain.59
Ada enam langkah yang manjadi petunjuk mengembangkan
keterampilan empati, yaitu:60
1. Mengasumsikan Perbedaan, membayangkan diri sebagai asing secara
potensial adalah salah satu diantara aspek yang paling sukar dalam
memikirkan realitas majemuk. Tetapi, pendekatan ini diperlukan untuk
menjembatani pemisahan individu yang terkandung pada asumsi
58
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 87-88. 59
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif
Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1
Januari-Juni 2010, h 18-19. 60
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 89-92.
57
perbedaan yang dengan cara lain tidak mungkin dilakukan. Jika kita
menerima bahwa kita bisa saja berbeda dan menghadapi kontruksi dan
situasi berbeda maka kita akan bebas membayangkan pikiran dan
perasaan kita dari perspektif yang lain. Selama kita dapat
menghubungkan perspektif dari hasil bayangan kita dengan perspektif
orang lain yang sebenarnya, maka barulah kita dapat melakukan
empati.
2. Mengenali diri, persiapan yang diperlukan adalah mengenal diri kita
secukupnya sehingga dimungkinkan peneguhan kembali identitas
individual secara mudah. Jika kita menyadari nilai, asumsi dan
keyakinan individual secara kultural kita sendiri yakni bagaimana kita
mendefinisikan identitas kita maka kita tidak perlu takut kehilangan
diri kita. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang dapat diciptakan
kembali sekehendak kita. Titik berat pada pengetahuan diri tidak boleh
jatuh menjadi pemujaan diri.
3. Menunda diri, salah satu cara memikirkan prosedur ini adalah
membayangkan bahwa diri atau identitas adalah batas arbitrer yang
kita tarik antara diri kita dengan dunia yang lain, termasuk orang lain.
Penangguhan diri adalah perluasan batas ini secara sementara
menghilangkan pemisahan antara diri dan lingkungan. Penundaan
batas diri diperlancar dengan mengetahui dimana batas-batas itu
(pengetahuan diri), tetapi ini hanya terjadi jika orang pertama-tama
memiliki asumsi realitas ganda yang dirujukkan pada diri sendiri.
58
4. Melakukan Imajinasi Terbimbing, agar empati interpersonal yang
cermat terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke
dalam pengalaman orang lain yang tertentu. Jika kita berusaha secara
aktif membimbing imajinasi, yang terjadi lebih menyerupai berpikir.
Jika kita berhasil membiarkan imajinasi kita disedot oleh orang lain,
kita sedang berpartisipasi secara imajinatif pada pengalaman orang
lain. Menurut Bennet perasaan pergeseran kesadaran ini sangat mirip
dengan partisipasi imajinatif dalam permainan teater atau novel. Hal
lain yang sejalan dengan imajinasi terbimbing adalah penggunaan
intuisi dalam pemecahan masalah kreatif.
5. Membiarkan pengalaman empati, jika kita membiarkan imajinasi kita
dibimbing ke dalam orang lain, kita sedang mengalami seakan-akan
orang itu adalah diri kita sendiri. Intensitas pengalaman empati, bahkan
bisa jadi lebih besar, sejajar dengan intensitas drama yang kadang-
kadang lebih besar dari kehidupan. Pengalaman empati seperti
imajinasi harus dibiarkan mengarahkan pengalaman secara sadar,
menurut definisi adalah kegiatan sadar diri dan karena itu tidak tepat
untuk batas yang diperluas, yang bergerak pada langkah ini.
6. Meneguhkan kembali diri, dalam kebudayaan kita paling tidak
peneguhan diri itu adalah komponen yang diperlukan untuk
komunikasi empati. Tujuan empati bukanlah kehidupan terus menerus
seperti alam semesta ini, sebaliknya empati interpersonal membiarkan
penundaan identitas secara terkendali dan sementara untuk mencapai
tujuan khusus, memahami orang lain. Jika tujuan ini tercapai, batas-
59
batas diri dapat ditegakkan kembali. Identitas diteguhkan kembali
dengan pertama-tama menciptakan lagi rasa keterpisahan antara diri
dengan orang lain yang merupakan keadaan normal dalam kebudayaan
kita.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam komunikasi
empatik, yaitu: pertama, lingkungan keluarga, empati sulit tumbuh dalam
keluarga yang orangtuanya tidak punya rasa empatik. Kedua,
menyembunyikan kekecewaan atau kemarahan, empati lebih kentara
ketika orang lain berprilaku dan bersikap sesuai dengan prefensi (orang
lebih mudah berempati pada temannya yang bersikap baik kepadanya).
Ketiga, membuat asumsi tentang motivasi orang lain, perasaan empatik
berkurang bila prasangka (negatif) muncul dalam komunikasi, hal ini akan
mendistorsi hubungan dan akan mengakibatkan rusaknya komunikasi.
Keempat, terlalu berempati, sikap empati seing dirancukan dengan sikap
mengalah, tidak jujur mengutarakan perasaan, tidak tegas atau tidak terus
terang, empati seharusnya mempertimbangkan secara mendalam perasaan
orang laindan kemudian membuat keputusan-keputusan cerdas yang
berhasil merespon perasaan-perasaan itu.61
Agar komunikasi berjalan efektif, para pelaku komunikasi harus
mempertahankan dan menerapkan prinsip komunikasi empatik, yaitu:
pertama, prinsip keseluruhan bukan sebagian. Kedua, moral. Ketiga,
berusaha mengerti baru dimengerti. Keempat, diagnosa sebelum respon.
61
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif
Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1
Januari-Juni 2010, h 19-21.
60
Kelima, keyakinan. Keenam, kontak mata. Ketujuh, senyuman. Kedelapan,
saling menyukai.62
62
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif
Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1
Januari-Juni 2010, h 24-27.
61
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Profil Kelurahan Parapat
Kelurahan Parapat adalah salah satu dari tiga kelurahan dan dua nagori
yang ada di kecamatan Girsang Sipanganbolon dan masuk dalam kabupaten
Simalungun provinsi Sumatera Utara yang terletak pada ketinggian 910 meter
dari permukaan laut. Secara umum kelurahan Parapat beriklim dingin dan
sejuk dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan
kecamatan Dolok Panribuan, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan
Tigaraja/ kabupaten Tobasa, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan
Girsang dan sebelah barat berbatasan dengan Nagori Sibaganding. Kelurahan
Parapat mempunyai topografi yang bervariasi yaitu datar, bergelombang dan
berbukit hingga kemiringan 750.1
B. Luas Wilayah
Luas wilayah kelurahan Parapat adalah 1.452 Ha yang terdiridari:2
1. PemukimanUmum : 192 Ha
2. Perkantoran : 3 Ha
3. Pertokoan/Perdagangan : 3 Ha
4. Sekolah : 6 Ha
5. Terminal : 2,5 Ha
6. Peribadatan/Mesjid, Gereja, Vihara : 14 Ha
1Data Monografi Kelurahan Parapat pada Tahun 2016
2Data Monografi Kelurahan Parapat pada Tahun 2016
62
7. Kuburan : 1,5 Ha
8. SawahPengairan ½ Teknis : 6 Ha
9. Jalan : 6 Ha
10. Ladang/Tegalan : 58 Ha
11. Perkebunan Rakyat : 20 Ha
12. HutanAsli :1,116 Ha
13. TempatRekreasi : 2 Ha
14. RekreasiOlahraga : 2 Ha
15. Danau : 6 Ha
16. Padang/Ilalang : 3 Ha
17. Padang Rumput : 2 Ha
18. Lain-lain : 10 Ha
C. Lingkungan
Di kelurahan Parapat tidak terdapat RT maupun RW, tetapi yang terdapat
adalah pembagian lingkungan. Ada 7 lingkungan yang terdapat di kelurahan
Parapat, yaitu terdiri dari:3
Tabel 01
Lingkungan di Wilayah Kelurahan Parapat
No Lingkungan Wilayah
1. Lingkungan I JlnAnggarajim, JlnSisimangaraja sampai Parit
Ganjang
2. Lingkungan II Terminal, Jln Bangun Dolok, Sosor Saba dan
Jln Sisingamangaraja Atas
3Data Monografi Kelurahan Parapat pada Tahun 2016
63
No Lingkungan Wilayah
3. Lingkungan III Kampung Bangun Dolok dan Buntu Malasang
4. Lingkungan IV Jln Pemuda, Jln Jonatan Sinaga, Jln Josep
Sinaga, Buntu Pasir Tigarihit
5. Lingkungan V Jln Merdeka, Jln Gotong Royong, Pangasean,
Jln Sisingamangaraja Atas dan Sosor Tolong
6. Lingkungan VI Jln Merdeka, Jln Josep Sinaga, Jln Pendidikan
dan Jln Pembangunan
7. Lingkungan VII Kampung Simangaruntak, Jln RSU, Jln
Sisingamangajara Atas batas lapangan Golf
D. Jumlah Penduduk
Adapun jumlah kepala keluarga yang ada di kelurahan Parapat adalah
berjumlah 1.487 orang dengan rincian jumlah kepala keluarga laki-laki
sebanyak 1.423 orang dan kepala keluarga perempuan berjumlah 64 orang.
Adapun jumlah penduduk di kelurahan Parapat menurut laporan bulanan
kependudukan kelurahan Parapat bulan Mei 2016 adalah berjumlah 6.563
orang dengan jumlah penduduk usia 0-16 tahun berjumlah 2.506 orang dan
penduduk usia 17 tahun ke atas yaitu berjumlah 4.057 orang.
64
Tabel 02
Jumlah Penduduk Kelurahan Parapat Berdasarkan Kepala Keluarga
No
Kelurahan
KepalaKeluarga Usia
L P 0-16 tahun 17 tahun
keatas
1. Lingkungan I 186 11 382 759
2. Lingkungan II 268 12 479 779
3. Lingkungan III 51 4 79 160
4. Lingkungan IV 277 16 553 790
5. Lingkungan V 297 13 526 801
6. Lingkungan VI 241 6 334 622
7. Lingkungan VII 103 2 153 106
Jumlah 1.423 64 2.056 4.057
Adapun jumlah penduduk kelurahan Parapat berdasarkan agamanya adalah
yang beragama Islam berjumlah 395 orang, beragama Katolik berjumlah 810
orang, beragama Kristen Protestan berjumlah 3.686 orang dan beragama
Budha berjumlah 34 orang.
65
Tabel 03
Jumlah Penduduk Kelurahan Parapat Berdasarkan Agama
No
Kelurahan
JumlahPendudukMenurut Agama
Islam Katolik Kristen
Protestan
Budha
1. Lingkungan I 90 101 709 31
2. Lingkungan II 90 123 706 -
3. Lingkungan III 9 - 174 3
4. Lingkungan IV 75 248 665 -
5. Lingkungan V 80 214 587 -
6. Lingkungan VI 42 107 525 -
7. Lingkungan VII 9 17 320 -
Jumlah 395 810 3.686 34
Adapun mata pencaharian yang ada di kelurahan Parapat adalah bertani,
wiraswasta, TNI/POLRI, PNS dan lain-lain. Berikut adalah grafik mata
pencaharian yang ada di kelurahan Parapat berdasarkan wilayah
lingkungannya.
66
Tabel 04
Jumlah Penduduk Kelurahan Parapat Berdasarkan Mata Pencaharian
No
Kelurahan
Mata Pencaharian
Bertani Wiraswasta TNI/P
OLRI
PNS DLL
1. Lingkungan I 100 392 2 20 189
2. Lingkungan II 200 547 7 15 190
3. Lingkungan III 100 21 - - 15
4. Lingkungan IV 150 397 1 16 85
5. Lingkungan V 34 297 2 30 201
6. Lingkungan VI 47 248 1 50 114
7. Lingkungan VII 138 83 - 11 56
Jumlah 769 1.985 13 142 850
E. Tempat Ibadah
Adapun tempat ibadah yang ada di kelurahanParapat adalah Gereja
yang berjumlah 4, Mesjid berjumlah 1, Mushala berjumlah 1 dan Vihara
berjumlah 1 bangunan.
F. Struktur Kepemimpinan di KelurahanParapat
Berikut merupakan bagan organisasi Kelurahan Parapat Perda
Kabupaten Simalungun No.17 Tahun 2008:
Lurah : Parningotan Girsang
Sekretaris : Riemsi Manik
67
Kasi Pemerintahan : Rohana Sampetua Sinaga, SH
Kasi Kesra : Ramasa, Spd
Kepling 1 : Alter Silalahi
Kepling 2 : Yull Bryner Pakpahan
Kepling 3 : Ramses Sidabutar
Kepling 4 : Jamian Sigiro
Kepling 5 : Huala Sinaga
Kepling 6 : Wilman Sagala
Kepling 7 : Posder Sirait
G. Iklim
Curah hujan tahunan rata-rata 4.417 mm dengan 120 hari hujan dan
curah hujan tertinggi adalah pada bulan September dan terendah pada
bulan Juni.Temperatur rata-rata adalah 22° – 24° C.4
H. Produksi Utama Pertanian
Adapun produksi utama pertanian di kelurahan Parapat adalah:5
1. Padi sawah
2. Kopi Ateng
3. Jagung
4. Tomat
5. Cabai
4Data Monografi Kelurahan Parapat Tahun 2016
5Data Monografi Kelurahan Parapat Tahun 2016
68
I. Pariwisata
Kelurahan Parapat banyak didatangi oleh parawisatawan karena di
kelurahan Parapat terdapat objek wisata yang terkenal yaitu Danau Toba
yang tersebar di sekitar wilayah kelurahanParapat. Di sekitar Danau Toba
memiliki fasilitas hotel, bungalow dan restaurant, yaitu:
Tabel 05
Hotel/Restaurant di Kelurahan Parapat
No. Hotel / Restaurant
1. Hotel Niagara
2. Hotel Parapat
3. Siantar Hotel
4. Wisma Danau Toba AL/Wisata Bahari
5. Hotel Atsari
6. Hotel Tara Bunga Sibigo
7. Hotel Danau Toba Intl’
8. Danau Toba Cottage
9. Parapat View Hotel
10. Hotel Toba
11. Hotel Budi Mulya
12. Hotel Darma Agung Beach
13. Hotel I and You
14. Hotel Soloh Jaya
15. Hotel Toba Hill
16. Riris Inn
69
No Hotel/Restaurant
17. Pakan Baru Hotel
18. Hotel Sinar Baru
19. Penginapan Romeos
20. Hotel Olibert
21. Hotel Tobali
22. Penginapan Mars
23. Hotel New Cendrawasih
24. Wisma Pandu
25. Hotel Sapadia
26. Hotel Pelangi
27. Hotel Sedayu
28. Losmen Saur
29. WismaRetta
30. Penginapan Bina Guna
31. Aek Sere Hotel
32. Star Inn
33. Restaurant Singgalang
34. Restaurant Hongkong
35. Restaurant Sehat
36. Restaurant City
37. Restaurant Sinar Pagi
38. Restaurant Gundaling
70
No Hotel/Restaurant
39. Restaurant Asia
40. Restaurant Istana
J. Fasilitas Perkantoran dan Bangunan Pemerintah Lainnya
1. Kantor Polisi Sektor (Polsek) : 1 unit
2. Kantor Lurah : 3 unit
3. Kantor Pangulu : 3 unit
4. Kantor Pos dan Giro : 1 unit
5. Kantor PT. PLN : 1 unit
6. Kantor PT. Telkom : 1 unit
7. Kantor BMG : 1 unit
8. Kantor Satpol Airud : 1 unit
9. Kantor Dikjar : 1 unit
10. Kantor KUA : 1 unit
11. Kantor PDAM : 1 unit
12. Kantor LLASD : 1 unit
13. Terminal : 1 unit
14. Rumah Sakit Umum : 1 unit
15. Puskesmas : 1 unit
16. Puskesmas Pembantu (Pustu) : 2 unit
17. Bank BRI : 1 unit
18. Bank Sumut : 1 unit
19. ATM Bank BNI : 1 unit
71
20. ATM Bank Mandiri : 1 unit
21. ATM Bank Sumut : 2 unit
22. SMA Negeri : 1 unit
23. SMA Swasta HKBP : 1 unit
24. SMP Negeri : 2 unit
25. SMP Swasta HKBP : 1 unit
26. MTS MRT. Parapat : 1 unit
27. SD Negeri : 17 unit
28. TK : 7 unit
K. Sosial Budaya, Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat
1. Sosial Budaya
a. Penduduk Kelurahan Parapat terdiri dari suku Batak Toba dan
Simalungun (mayoritas) serta suku lainnya suku Jawa, Minang,
Melayu, Aceh, Karo dan Nias. Bahasa yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari adalah bahasa Batak Toba dan bahasa Indonesia.
b. Penduduk Kelurahan Parapat mempunyai Kesenian Khas Toba dan
Simalungun dan kesenian yang paling diminati masyarakat adalah seni
tari dan seni suara.
2. Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat
Berbicara tentang ketentraman dan ketertiban di Kelurahan Parapat
pada dasarnya telah didukung oleh faktor kepatuhan / kesadaran
masyarakat terhadap adat istiadat dan agama, namun tidaklah kurang
artinya langkah yang ditempuh pemerintah dalam menangani bidang
72
keamanan dan ketertiban yaitu bentuk organisasi Perlindungan
Masyarakat dan Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling).
Gangguan keamanan yang bersifat kriminalitas dapat dikatakan
tidak ada yang menyolok baik dilingkungan masyarakat maupun
terhadap wisatawan yang berkunjung ke Kota Wisata Parapat.
Demikian juga pedagang kaki lima maupun pedagang asongan
tidak ada saling berebutan tempat, semua ditempatkan pada tempat
yang ditentukan. Dan yang paling penting adalah keamanan dan
ketentraman wisatawan yang berekreasi di danau Toba sangat
terjaga.Hal ini dapat terlaksana berkat kesiapan / kesadaran masyarakat
serta Petugas Lalu Lintas Sungai dan Danau (LLASD) serta Tim SAR
Parapat berkoordinasi dengan Polisi Parapat.
Jadi secara umum keamanan dan ketertiban masyarakat di
Kelurahan Parapat dapat dikatakan aman, tentram dan tertib serta
terkendali.
L. Suku
Dalam cerita rakyat disebtkan bahwa masyarakat Batak berasal dari dua
orang manusia ciptaan Mulaji Nabolon yang dinamakan Siraja
Ilhatmanisia (laki-laki) dan Siboru Ilhatmanisia (perempuan). Siraja
Ilhatminisia mempunyai tiga orang anak, salah seorang diberi nama Raja
Miokmok. Kemudian anak Raja Miokmok bernama Engbanua yang
memiliki seorang anak bernama Raja Bonangbonang. Raja Bonangbonang
ino mempunyai tiga orang anak bernama Guru Tantan Debata, Si Asi dan
Si Jau. Guru Tantan Debata memiliki dua orang anak bernama Guru Tatea
73
Bulan dan Raja Isumbaon. Pada generasi berikutnya Guru Tatea Bulam
memiliki lima orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan, dua
diantaranya melakukan kawin sumbang dan mempunyai tiga orang anak
bernama Siraja Lontung, Siraja Borbor dan Babiat. Ketiga orang inilah
sebagai nenek moyang masyarakat Batak selain dari keturunan Raja
Isumbaon.6
Keturunan Siraja Batak terbagi atas dua bagian besar, yaitu: Pertama
adalah belahan Lontung yang merupakan himpunan dari Borbor dan
sejumlah marga yang lebih kecil (babiat), yang berasal dari keturunan
Guru Tatea Bulan. Marga yang termasuk dalam belahan Lontung adalah
Pasaribu, Batubara, Parapat, Tarihoran, Matondang, Saruksuk, Sahang
Maima, Sipahutar, Harahap, Tanjung, Pusuk, D. Pulungan, Lubis, Nahulu,
Sahang Mataniari, Gultom, Pakpahan, Sitinjak, Siahaan, Sianturi,
Rajagukguk, Ritonga, Siagian. Kemudian belahan Sumba yang ke
dalamnya termasuk kelompok marga turunan Raja Isumbaon. Kelompok
marga yang termasuk belahan Smba adalah Simbolon, Sitanggang,
Simanik, Rumabolon, Ruma Ganjang, Sitindaon, Sidabtar, Sijabat, Sidari,
Sidabalok, Turnip, Sidauruk, Sitio, Sialagan, Sinapitu, Simarmata, Saragi,
Manurung, Pane, Sirait, Siahaan, Siagian, Purba, Tampubolon, Silaen,
Simanjuntak, Nasutian, Dalimunte, Hutagaol, Panjaitan, Silitonga,
Marpaung, Napitupulu, Simangunsong, Pangaribuan, Hutajulu, Sihaloo,
Sipayng, Lumbanpea, Lumbangaol7
6 Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 126. 7 Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi,
h. 126-127.
74
Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilinier dan marga disusun
berdasarkan garis keturunan laki-laki. Sistem marga itu diatur berdasarkan
Dalihan Na Tolu yang terdiri dari tiga unsur: saudara semarga (dongan
sabutuha), pihak pemberi istri (hula-hula), dan penerima istri (boru).
Sedangkan sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba didasarkan atas
senioritas, jabatan dan sifat keaslian.8
8 Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi,
h. 127.
75
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pola Komunikasi Masyarakat Muslim dengan Masyarakat non-Muslim di
Kelurahan Parapat
Setelah penulis melakukan penelitian di kelurahan Parapat, penulis
melihat komunikasi yang terjalin antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim terjalin dengan baik. Di kelurahan Parapat
mayoritas dihuni oleh masyarakat bersuku Batak dan ada pula yang
bersuku Minang dan Jawa tetapi itu minoritas. Masyarakat Muslim di
kelurahan Parapat banyak yang bersuku Minang dan Jawa, ini terlihat dari
banyaknya rumah makan yang bernuansa Minang dan Jawa karena
memang Parapat merupakan daerah pariwisata sehingga banyak ditemukan
rumah makan dengan berbagai pilihan menu.
Selain itu terlihat pula dari nama-nama mereka yang tidak
bermarga karena dalam suku Batak dibelakang nama orang terdapat marga
yang merupakan turunan dari Ayahnya seperti Nasution, Lubis, Sinaga,
Sirait dan lain-lain. Masyarakat Batak ada juga yang beragama Islam,
kebanyakan dari mereka adalah berasal dari Batak Mandailing dan
biasanya marga mereka adalah Lubis, Tampubolon dan Nasution dan juga
Gultom. Masyarakat yang bersuku Minang dan Jawa juga ada pula yang
menikah dengan masyarakat Batak asli (Muslim) di kelurahan Parapat dan
ada pula masyarakat Batak (non-Muslim) yang menikahi masyarakat yang
bersuku Minang dan Jawa dan mereka pindah agama dan memeluk agama
76
Islam dan juga ada pula masyarakat Minang dan Jawa yang menikahi
masyarakat Batak (non-Muslim) dan mereka murtad dari Islam.
Hal ini adalah merupakan proses asimilasi, dimana similasi itu
adalah prilaku sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia
dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul secara
intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan
golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-
unsur masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran.1 Biasanya golongan yang berada pada proses asimilasi adalah
golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Sama seperti di
kelurahan Parapat yaitu golongan mayoritasnya adalah mereka yang
bersuku Batak dan golongan-golongan minoritasnya adalah mereka yang
bersuku Jawa, Minang dan Aceh.
Penulis menemukan interaksi yang terjalin baik di kalangan
generasi tua masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat, terlihat dari ketika mereka bertemu di jalan saling
menyapa dan mengajak untuk berkunjung ke rumahnya. Tetapi ini sedikit
berbeda dengan generasi setelahnya yaitu anak muda kelurahan Parapat
mereka menganggap orang yang berbeda agama dan sekolah bukanlah
temannya dan tidak saling mengenal walaupun orang tua mereka saling
kenal satu sama lain. Ini dikarenakan kurang berinterakasinya mereka
dalam pergaulan sehari-hari, mereka hidup dalam satu lingkungan tetapi
tidak dekat secara emosional. Mereka akan berbaur bila ada acara yang
1 Koentojoraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1981), h. 255.
77
melibatkan mereka atau ketika ada kegiatan yang meilbatkan mereka. Lalu
berbeda pula dengan generasi anak-anaknya, seperti kebanyakan anak-
anak di Indonesia jika mereka sudah bermain bersama maka mereka
semua membaur walaupun mereka itu berbeda agama, suku dan lainnya.2
Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim ketika sedang
berinteraksi memakai bahasa Indonesia dan terkadang pula memakai
bahasa daerah yaitu terutama bahasa Batak. Masyarakat Muslim yang
bukan bersuku Batak pun telah pandai dalam bahasa Batak, ini
dikarenakan kebiasaan mendengarkan masyarakat yang bersuku Batak
dalam berinteraksi sehari-hari. Bahkan masyarakat Batak mengajarkan
masyarakat Muslim untuk berbahasa daerah dan ini merupakan toleransi
masyarakat non-Muslim untuk mengajak berbahasa daerah. Karena bila
mereka hendak mengatakan keburukan orang Muslim dalam bahasa Batak
sudah tidak bisa lagi karena masyarakat Muslim sudah mengerti dengan
bahasa Batak.3 Tapi terkadang ada beberapa di antara masyarakat Muslim
yang bersuku Jawa ataupun Minang memakai bahasa Jawa ataupun
Minang, bila mereka bertemu dengan orang yang satu suku juga maka
mereka pun menggunakan bahasa Jawa atau Minang. Masyarakat Minang
dengan masyarakat Minang dan masyarakat Jawa dengan masyarakat
Jawa. Tetapi ini bukanlah merupakan bahasa utama bila sedang
berinteraksi di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim.
Adapun bentuk komunikasi yang dilakukan masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks
2Hasil Observasi PenulisPada kurun waktu Mei-Juli 2016
3Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada
tanggal 13 Juni 2016
78
toleransi beragama pada bulan Ramadhan adalah komunikasi antarpribadi
dan komunikasi kelompok.
1. Komunikasi antarpribadi masyarakat Muslim dengan masyarakat non-
Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada
bulan Ramadhan
Kegiatan-kegiatan masyarakat Muslim di bulan Ramadhan di
kelurahan Parapat cukup banyak diantaranya, melaksanakan shalat
Taraweh, Tadarus, buka puasa bersama, pesantren kilat dan
diadakannya acara gebyar Ramadhan.4 Adapun acara gebyar
Ramadhan ini adalah dibukanya kantin-kantin menjelang buka puasa.
Dalam kegiatan Ramadhan yang diadakan ini tidak hanya melibatkan
masyarakat Muslim saja tetapi masyarakat non-Muslim pun ikut
meramaikannya. Seperti, saat hendak melaksanakan shalat Taraweh
supir-supir angkot yang notabene beragama non-Muslim langsung
mengantarkan penumpang nya ke Mesjid karena mereka mengetahui
karena hendak buru-buru shalat Taraweh.5
Contoh lainnya adalah dalam kegiatan gebyar Ramadhan
diadakannya berjualan makanan menjelang berbuka puasa, yang
membeli makanan itu tidak hanya masyarakat Muslim saja tetapi
masyarakat non-Muslim pun ikut membeli makanan tersebut dan ini
mendatangkan rezeki bagi masyarakat Muslim.6 Selain itu, ketika
4Hasil Wawancara dengan Bapak Sumari sebagai Ketua Kenaziran Mesjid Raya Taqwa
Parapat pada tanggal 15 Juni 2016 5Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016 6Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada
tanggal 13 Juni 2016
79
masyarakat Muslim mengadakan buka puasa bersama yang
diselenggarakan oleh pihak hotel yang ada di sekitar kelurahan
Parapat, mereka tidak hanya mengundang masyarakat Muslim saja
tetapi beberapa perwakilan dari pihak non-Muslim pun diundang untuk
ikut dalam acara buka puasa bersama tersebut.7 Masyarakat non-
Muslim sejauh ini belum ada yang mengadakan acara buka puasa
bersama untuk masyarakat Muslim.
Dalam hal supir angkot yang langsung mengantarkan penumpang
ke mesjid agar tidak terlambat dalam melaksanakan shalat taraweh itu
termasuk ke dalam komunikasi empatik yang langkah keempat yaitu
melakukan imajinasi terbimbing. Dimana agar komunikasi empati
interpersonal yang cermat terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita
dibimbing ke dalam pengalaman orang lain yang tertentu. Disini sopir
angkot melakukan imajinasi terbimbing yang dimana dia merasa
seolah-oleh dia adalah orang yang hendak melaksanakan shalat
Taraweh dan akan segera dilaksanakan. Karena itu dia terlebih dahulu
menurunkan penumpang yang hendak ke mesjid untuk melaksanakan
shalat taraweh.
Dalam hal masyarakat Muslim mengundang perwakilan dari
masyarakat non-Muslim untuk ikut dalam acara buka puasa bersama,
ini juga dapat membangun komunikasi empatik. Karena di dalam
komunikasi empatik komunikator harus mampu memahami, memiliki
kepedulian dan penghargaan serta perhatian terhadap orang lain.
7Hasil Wawancara dengan Jan Warisman sebagai Pimpinan Jemaat Gereja GKPS Parapat
pada tanggal 15 Juli 2016
80
Masyarakat Muslim sebagai komunikator telah menunjukkan rasa
memiliki kepedulian serta perhatian terhadap orang lain dengan ikut
mengundang masyarakat non-Muslim untuk ikut acara buka puasa
bersama. Masyarakat non-Muslim juga turut melakukan komunikasi
empatik dengan turut hadir untuk memenuhi undangan dari masyarakat
Muslim, mereka menghargai undangan dari pihak Muslim.
Dalam hal ini masyarakat Muslim yang berjualan dengan pembeli
masyarakat non-Muslim telah melakukan komunikasi antarpribadi.
Dimana komunikasi antarpribadi itu adalah adalah menurut Joseph A.
Devito seperti yang dikutip oleh Onong U. Effendy yaitu proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau
diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan
beberapa umpan balik seketika.8 Masyarakat Muslim mendapatkan
efeknya berupa rezeki yang diberikan masyarakat non-Muslim melalui
makanan yang dibelinya dan masyarakat non-Muslim mendapatkan
efek berupa kepuasan telah membeli makanan siap saji tanpa harus
memasak lagi.
Komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim ini juga termasuk ke dalam salah satu tipologi
sikap beragama yaitu inklusif. Inklusifisme adalah memandang bahwa
“keselamatan” bukan monopoli agamanya, penganut agama lain yang
secara emplisit berbuat benar menurut agamanya akan mendapatkan
8Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003) h. 59-60.
81
keselamatan juga.9 Di Kelurahan Parapat masyarakat menjalankan
agamanya menurut perintah agamanya masing-masing. Masyarakat
Muslim dan masyarakat non-Muslim juga saling menghargai ibadah
masing-masing agama. Mereka tidak mudah curiga pada agama lain
dan mereka juga tidak saling mengganggu satu sama lain. Buat mereka
ungkapan “agamamu lah untukmu dan agamaku lah untukku”
dijalankan dengan baik sehingga tidak pernah terjadi konflik diantara
mereka yang melibatkan perpecahan agama.
2. Komunikasi Kelompok masyarakat Muslim dengan masyarakat non-
Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada
bulan Ramadhan
Pihak kenaziran Mesjid selaku panitia Ramadhan juga
mengkomunikasikan acara-acara di Ramadhan melalui surat edaran
yang disampaikan kepada pihak kelurahan Parapat.10
Di kelurahan
Parapat juga diadakannya Jumat bersih yang dilakukan tiap dua
minggu sekali pada hari Jumat. Dalam kegiatan acara Jumat bersih ini
masyarakat Muslim bekerja sama dengan masyarakat non-Muslim
dalam membersihkan lingkungannya masing-masing karena di
kelurahan Parapat ini terbagi-bagi atas lingkungan, seperti di daerah
lain itu dinamakan RT atau RW. Dalam bulan Ramadhan pun tetap
dilaksanakan Jumat bersih ini.Jumat bersih ini diliburkan apabila di
hari itu ada acara besar seperti jika hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
9Thomas F O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995(, h.217. 10
Hasil Wawancara dengan Bapak Sumari sebagai Ketua Kenaziran Mesjid Raya Taqwa
Parapat pada tanggal 15 Juni 2016
82
jatuh pada hari Jumat dan juga jika jatuh pada Jumat agung yang
dirayakan oleh masyarakat non-Muslim.11
Dalam kegiatan ini terlihat komunikasi kelompok yang terjadi
antara masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat.Dimana, komunikasi kelompok adalah adalah komunikasi
yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok
orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Sekelompok orang yang
menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang
yang dalam kelompok itu sedikit berarti kelompok itu kecil dan disebut
komunikasi kelompok kecil (small group communication). Jika
jumlahnya banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan
komunikasi kelompok besar (large group communication).12
Pihak
Kelurahan Parapat mengundang masyarakat Muslim dan masyarakat
non-Muslim untuk duduk bersama-sama membicarakan masalah
kebersihan di kelurahan Parapat. Sehingga dalam forum itu ditetapkan
bahwa tiap Jumat dua minggu sekali diadakannya Jumat bersih. Ini
bisa dikatakan termasuk dalam komunikasi kelompok besar karena
melibatkan banyak orang dalam masyarakat di kelurahan Parapat.
Di kelurahan Parapat suasana sahurnya sedikit berbeda dengan
suasana di daerah lain di Indonesia. Di daerah lain seperti Jakarta dan
sekitarnya untuk membangunkan dan juga mengingatkan warga sekitar
rumah untuk sahur biasanya dengan cara berkeliling rumah dan
meneriakan sahur atau memakai pengeras suara di mesjid atau mushala
11
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada
tanggal 13 Juni 2016 12
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 75.
83
terdekat. Hal ini berbeda dengan di kelurahan Parapat, hal seperti itu
tidak ada. Ketika sahur maka tidak ada membangunkan warga sekitar
dengan berkeliling dan juga membangunkan memakai pengeras suara
dari mesjid. Hal ini dilakukan karena rumah masyarakat Muslim yang
satu dan Muslim yang lainnya di kelurahan Parapat berjauhan dan juga
untuk menghargai masyarakat non-Muslim yang sedang beristirahat
pada jam sahur. 13
Menurut penulis, sikap yang ditunjukkan masyarakat Muslim
kepada masyarakat non-Muslim dengan membangunkan sahur tanpa
memakai pengeras suara termasuk dalam komunikasi empatik.
Masyarakat Muslim mampu menghayati perasaan masyarakat non-
Muslim atau merasakan apa yang dirasakan masyarakat non-Muslim.
Karena bila membangunkan sahur memakai pengeras suara maka akan
mengganggu waktu tidur dan istirahat masyarakat non-Muslim di
sekitar wilayah Mesjid Raya Taqwa Parapat. Masyarakat Muslim dapat
memahami apa yang dirasakan oleh masyarakat non-Muslim dan juga
menghormati hak-hak masyarakat non-Muslim yang hendak istirahat
dengan tenang.
B. Toleransi Beragama Masyarakat Muslim dengan Masyarakat non-Muslim
di Kelurahan Parapat pada Bulan Ramadhan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial umat manusia yang
universal, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara
13
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
84
berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut
“agama”. Banyak dari apa yang disebut agama termasuk dalam
suprastruktur agama terdiri dari pesan-pesan bertipe simbol, citra,
kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana manusia
menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, agama juga
mengandung kompenen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam
stuktur sosial bahkan budaya masyarakat.14
Dalam kehidupan masyarakat kita akan dihadapkan dengan
berbagai lapisan masyarakat yang berbeda agama. Agar tidak terjadi
konflik diantara masyarakat yang heterogen maka diperlukan adanya sikap
toleransi beragama. Toleransi beragama adalah saling menghargai antara
agama yang satu dengan agama yang lainnya, tidak saling menggangu dan
saling menjaga bagaimana kegiatan keagamaan itu berjalan sebagaimana
tertulis dalam Alqur’an “Lakum dinukum waliyadin (untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku)”.15
Sedangkan dalam ajaran Kristen
toleransi beragama adalah saling menghargai dan menghormati
sesamanya, sesamanya disini adalah tanpa memandang ras, suku maupun
agama.16
Di Kelurahan Parapat belum pernah terjadi konflik antara
masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan
Ramadhan.Ini dikarenakan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-
14
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2011), h. 267. 15
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada
tanggal 13 Juni 2016 16
Hasil Wawancara dengan Pdt. Anggiat Hutahuruk sebagai Pendeta Gereja HKBP
Parapat pada tanggal 24 Juli 2016
85
Muslim di kelurahan Parapat memiliki rasa kebersamaan. Dengan adanya
rasa kebersamaan ini maka timbul toleransi beragama yang menjadi faktor
keberhasilan tidak pernah terjadinya konflik antara masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. Karena di kelurahan
Parapat ini sistemnya tidak memandang agama, suku, ras dan lainnya
karena prinsipnya agar tetap rukun karena kelurahan Parapat merupakan
kota pariwisata dengan Danau Toba sebagai simbol pariwisata. 17
Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim sebagai
kelompok masyarakat memang tidak pernah berkonflik karena perbedaan
agama. Tetapi sebagai individu masyarakat Muslim dengan masyarakat
non-Muslim pernah berkonflik. Konflik ini banyak disebabkan oleh ketika
anak-anak mereka bertengkar lalu orang tua nya pun ikut bertengkar, hal
ini biasanya merembet ke masalah perbedaan agama. Akhirnya mereka
pun tidak berbaikan dalam jangka waktu tertentu walaupun anak yang
menyebabkan mereka bertengkar telah kembali bermain bersama lagi.
Contoh lainnya adalah ketika masyarakat non-Muslim yang
memelihara anjing dan dibiarkan berkeliaran. Dalam Islam anjing adalah
salah satu hewan yang haram, bahkan bila kita bersentuhan dengan anjing
pun kita harus mensama’ nya. Biasanya hal ini dapat menimbulkan
keributan diantara tetangga yang di lingkungan itu ada masyarakat non-
Muslim yang memelihara anjing dan dibiarkan berkeliaran. Masyarakat
Muslim tetap pada pendiriannya bahwa anjingnya tidak boleh memasuki
kawasan rumahnya dan masyarakat non-Muslim yang memiliki anjing
17
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada
tanggal 13 Juni 2016
86
tersebut tetap ingin memelihara anjing itu tanpa mengkandangkan
anjingnya. Hal ini dapat menyebabkan permusuhan diantara mereka.
Biasanya mereka akan berbaikan bila ada musibah yang menimpa salah
satu diantara mereka, maka tetangga akan berdatangan ke rumahnya dan
orang yang berkonflik pun berbesar hati untuk datang ke rumahnya dan
mereka akan berdamai seperti biasanya.18
Dalam kehidupan masyarakat kelurahan Parapat sebagai kelompok,
baik masyarakat Muslim maupun masyarakat non-Muslim telah
melakukan komunikasi empatik, dimana mereka tidak mengganggu urusan
agama yang lain. Juga sikap saling memiliki dan rasa kebersamaan
mendukung dalam komunikasi empatik diantara mereka. Tetapi
masyarakat non-Muslim sebagai individu ada beberapa yang tidak
memiliki rasa empatik yaitu orang yang membiarkan anjing nya
berkeliaran di sekitar rumahnya. Mereka tidak memahami bahwa anjing
dalam agama Islam merupakan salah satu hewan yang haram dan jika
bersentuhan dengan anjing maka najis baginya. Hal ini juga menandakan
mereka tidak menghormati dan menghargai masyarakat Muslim yang
hidup di sekitar rumahnya. Dalam prinsip komunikasi empatik yang ketiga
yaitu berusaha mengerti baru dimengerti, masyarakat non-Muslim tidak
melakukannya. Mereka tidak mengerti dengan apa yang dirasakan oleh
masyarakat Muslim yang tinggal di sekitar rumahnya sehingga masyarakat
Muslim tidak berusaha mengerti dengan apa yang dilakukan masyarakat
non-Muslim tersebut.
18
Hasil Observasi Penulis pada kurun waktu Mei-Agustus 2016
87
Sikap toleransi beragama sangat diperlukan agar tidak terjadi
konflik di antara masyarakat yang hidup berdampingan. Semua manusia
yang hidup di muka bumi ini adalah makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana
yang tertulis dalam Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 21. Sehingga orang-
orang yang beragama lain itu pun manusia juga, seperti di Indonesia
memiliki banyak agama makanya ada kerukunan beragama dan karena
itulah muncul toleransi beragama itu antara agama yang satu dengan
agama yang lainnya. Agama Islam tidak boleh mengganggu agama yang
lainnya, begitu pula sebaliknya agama lain tidak boleh mengganggu agama
Islam ketika beribadah. Pada zaman dahulu, ada yang bertanya kepada
Rasul, siapa orang yang Rasul tidak sukai? Maka Rasul menjawab adalah
orang yang tidak bersyahadat dan orang yang malas untuk berinfaq dan
sedekah dan orang yang tidak mempunyai kesabaran. Rasul memang tidak
menyukai orang yang tidak bersyahadat atau tidak memeluk agama Islam
tetapi Rasul tidak membenci mereka, bahkan Rasul pernah menjenguk
orang yang sakit padahal orang itu sangat membenci Rasullah dan sering
meludah pada Rasullah.19
Tetapi menurut penulis ada ayat Al-qur’an yang lain yang
menunjukkan sikap toleransi beragama yaitu QS Al-Hujarat ayat 13:
19
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal
13 Juni 2016
88
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu
dengan banyak suku dan bangsa. Perbedaan suku, agama, bangsa dan
lainnya bukan alasan manusia untuk merasa lebih tinggi dari manusia
lainnya yang berbeda dengannya. Karena yang membedakan derajat
seseorang itu adalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Sehingga dalam
kehidupan sehari-hari seseorang itu tidak boleh merendahkan orang lain
yang berbeda agama dengannya bahkan seharusnya mereka saling
menghargai dan menghormati sesama makhluk ciptaan Allah SWT, maka
dari itu diperlukan sikap toleransi diantara umat beragama.
Pada saat bulan Ramadhan, masyarakat non-Muslim juga
dilibatkan pada rangkaian acara kegiatan pada bulan Ramadhan.Salah satu
contohnya adalah mengundang tokoh-tokoh agama di acara buka puasa
bersama yang diselenggarakan oleh pihak Muslim. Biasanya para tokoh
agama dari masyarakat non-Muslim mendapatkan undangan yang
diberikan pihak Muslim kepada mereka. Mereka pun dengan senang hati
menerima undangan tersebut dan datang ke acara buka puasa bersama
yang diselenggarakan oleh pihak Muslim.20
Ketika Idul Fitri tiba biasanya masyarakat Muslim akan
membagikan kue lebaran kepada tetangga di lingkungan tempat
20
Hasil Wawancara dengan Jan Warisman Damanik sebagai Pimpinan Jemaat Gereja GKPS
Parapat pada tanggal 15 Juli 2016
89
tinggalnya. Begitu pula sebaliknya ketika Natal tiba masyarakat non-
Muslim akan memberikan kue kepada masyarakat Muslim. Ini dilakukan
setiap tahun dari dulu sehingga ini sudah menjadi budaya yang selalu
dilakukan di kelurahan Parapat.21
Masyarakat Muslim maupun masyarakat
non-Muslim saling perhatian pada tetangga di sekitar rumahnya.
Masyarakat Muslim perhatian pada masyarakat non-Muslim walaupun
masyarakat non-Muslim tidak merayakan hari raya Idul Fitri tetapi mereka
perhatian dengan memberi kue lebaran kepada tetangga di sekitar
rumahnya yang beragama non-Muslim. Begitu pula sebaliknya, ketika
Natal tiba masyarakat non-Muslim memberikan kue pada tetangganya
yang beragama Islam walaupun mereka tidak merayakannya. Mereka
saling menghargai satu sama lain dan ini merupakan salah satu sikap
dalam komunikasi empatik.
Pihak non-Muslim juga sering membagikan sembako kepada pihak
Muslim di bulan Ramadhan. Ini sering terjadi di masa-masa kampanye
jika masa kampanye nya bertepatan dengan bulan Ramadhan. Itu tandanya
pihak non-Muslim menghargai pihak Muslim. Tetapi hal ini tidak hanya
terjadi pada masa kampanye saja, walaupun tidak dalam masa kampanye
pihak non-Muslim yang berkecukupan juga sering memberikan sembako
pada pihak Muslim yang membutuhkan di bulan Ramadhan. Menurut
Ustadz Suadji, pihak non-Muslim yang memberikan sembako pada pihak
Muslim itu tidaklah merupakan nilai ibadah tetapi itu diterima saja sebagai
21
Hasil Wawancara dengan Ramsion Barutu sebagai Pimpinan Gereja Katolik Parapat pada
tanggal 20 Juli 2016
90
pemberian orang yang peduli kepada kita sepanjang yang diberikan pihak
non-Muslim kepada Muslim itu masih halal.
Selain itu, pihak non-Muslim di bulan Ramadhan juga menghargai
pihak Muslim yang sedang melakukan ibadah puasa. Ini dapat terlihat dari
masyarakat non-Muslim ketika bertemu di jalan mereka merokok dengan
sembunyi-sembunyi, walaupun biasanya di luar bulan Ramadhan mereka
itu merokok dengan terbuka dan juga mengajak untuk kumpul bersama di
rumah makan atau restoran.22
Pihak non-Muslim juga memiliki rasa ketakutan akan memberikan
makanan buka puasa buat pihak Muslim. Mereka takut karena mereka itu
tidak tahu makanan yang akan diberikan itu adalah makanan halal atau
tidak bagi pihak Muslim. Sepengamatan saya di bulan Ramadhan,
masyarakat Muslim malah memberikan makanan kepada masyarakat non-
Muslim ketika hendak berbuka. Ini biasanya dilakukan oleh pihak Muslim
dan non-Muslim yang bertetangga. Pihak Muslim memberikan makanan
mereka yang dimasak berlebihan kepada pihak non-Muslim. Tetapi
sepengamatan saya juga pihak non-Muslim tidak memberikan makanan
yang mereka masak kepada masyarakat Muslim, kecuali makanan ringan
seperi roti, kue atau gorengan yang mereka beli dari toko. Ini dikarenakan
mereka takut makanan yang mereka masak itu tidak halal bagi masyarakat
Muslim, jadi mereka tidak memberikannya. Jadi, mereka memberikan
makanan yang mereka beli di luar saja kepada pihak Muslim.
22
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
91
Selain itu ada cerita yang terjadi pada awal tahun ini, masyarakat
Muslim hendak membangun tembok kuburan Islam dengan biaya hampir
160 juta. Ketika sedang bekerja membangun tembok, masyarakat non-
Muslim mendatangi lokasi pembagunan dan menanyakan kegiatan apa
yang sedang dikerjakan. Ketika mendengar hendak membangun tembok
kuburan, mereka pun dengan sukarela menyumbang sebesar 5 juta untuk
membantu pembangunan tembok kuburan. Dan yang tidak disangka
setelah itu banyak juga yang menyumbang untuk pembangunan tembok
kuburan itu. Mereka menyumbang itu dengan ikhlas tanpa pamrih.23
Dulunya shalat Tarawih di kelurahan Parapat hanya dilaksanakan
di Mesjid Raya Taqwa Parapat. Mesjid ini merupakan satu-satunya mesjid
yang ada di kelurahan Parapat sehingga mesjid ini selalu dipenuhi oleh
masyarakat Muslim di kelurahan Parapat yang hendak melaksanakan
shalat Tarawih. Bahkan mesjid ini telah diperbesar dengan bantuan donasi
dari donatur orang Medan, menjadikan mesjid ini menjadi lebih besar dan
memuat masyarakat Muslim yang hendak melaksanakan ibadah mereka.
Dalam beberapa tahun belakangan ini sudah ada dua mushala yang
mengadakan shalat tarawih juga. Satu nya di daerah dekat hotel dan
pantai-pantai yang ada di sekitar danau toba, alasan melaksanakan shalat
Tarawih disini agar para wisatawan lebih dekat untuk melaksanakan
ibadah dan juga masyarakat sekitar tidak terlalu jauh untuk pergi ke
mesjid. Satu lagi, shalat Tarawih dilaksanakan di mushala yang ada di
hotel Niagara Parapat.Hotel ini berada sedikit di atas kelurahan Parapat
23
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
92
dan hotel ini menyediakan rumah tinggal buat para karyawannya. Alasan
ini jugalah yang melatarbelakangi diadakannya shalat Tarawih disini.
Masyarakat non-Muslim tidak mengganggu masyarakat Muslim
dalam melakukan ibadah di bulan Ramadhan, malah mereka membantu
masyarakat Muslim yang beribadah. Salah satu contohnya adalah
masyarakat non-Muslim membantu dalam mengatur parkiran mesjid
ketika masyarakat Muslim hendak melaksanakan shalat Tarawih. Ini
dilakukan oleh tukang parkir rumah makan yang ada di sekitar mesjid
ataupun anak muda yang sedang nongkrong di mesjid. Mereka membantu
lahan parkir mesjid dengan tidak menerima imbalan apapun dari pihak
mesjid.24
Mesjid Raya Taqwa Parapat memang terletak di jalan lintas
Sumatera sehingga banyak di sekitarnya rumah makan dan restoran.
Sehingga ketika masyarakat Muslim hendak dan setelah melaksanakan
shalat Tarawih, tukang parkir yang ada di rumah makan itu dengan sigap
membantu untuk para masyarakat yang membawa motor ataupun mobil
untuk bisa masuk dan keluar dari mesjid. Tukang parkir ini bukanlah
masyarakat Muslim melainkan Masyarakat non-Muslim, alasan mereka
membantu adalah agar jalanan di sekitar mesjid tidak menjadi macet dan
masyarakat Muslim yang hendak keluar mesjid jadi tidak berebutan.
Mereka juga menjaga kendaraan masyarakat Muslim yang melaksanakan
shalat Tarawih agar tidak terjadi pencurian. Selama dilaksanakannya shalat
Tarawih mereka memantau di sekitar parkiran mesjid orang-orang yang
24
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal
13 Juni 2016 dan H. Maimun
93
mencurigakan. Selama ini belum pernah terjadi pencurian kendaraan
selama melaksanakan shalat Tarawih di mesjid Raya Taqwa Parapat. Ini
dapat terjadi dengan bantuan masyarakat non-Muslim yang ada di sekitar
mesjid juga.
Toleransi beragama yang ditunjukkan oleh masyarakat non-
Muslim tidak hanya sampai disitu saja. Di kelurahan Parapat memang
masyarakat Muslim menjadi kaum minoritas sehingga mereka yang di
bulan-bulan selain bulan Ramadhan berjualan sarapan, di bulan Ramadhan
pun mereka berjualan sarapan seperti lontong, nasi rames dan bubur. Porsi
jualan mereka memang berkurang dibandingkan bulan-bulan lainnya
.Masyarakat non-Muslim yang menjadi langganan mereka tetap membeli
sarapan pada mereka. Tetapi mereka menghormati pihak Muslim yang
sedang melaksanakan ibadah puasa. Mereka membeli sarapan dengan cara
dibungkus dan dibawa pulang ke rumah. Padahal biasanya mereka makan
di warung tempat mereka membeli sarapan itu.25
Ada satu contoh besar lagi tentang toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada masyarakat Muslim di bulan
Ramadhan. Beberapa tahun lalu masyarakat Muslim mengadakan malam
takbiran hari raya Idul Fitri pawai obor dengan menempuh perjalanan
hampir 4KM dengan berjalan kaki. Hal ini sudah mendapatkan izin
Musfika setempat, baik dari Danramil, Kapolsek maupun dari Camat. Pada
saat melakukan pawai obor, tidak disangka anak-anak muda dari gereja
25
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal
13 Juni 2016
94
HKBP menjaga sepanjang jalan untuk menjaga keamanan masyarakat
Muslim yang melakukan pawai obor.
Selain itu, beberapa tahun lalu ketika ramai diperbincangkan
tentang pembakaran rumah ibadah, masyarakat Muslim yang
melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan, anak-anak muda masyarakat
non-Muslim menjaga sekitar lapangan bekerja sama dengan aparat
keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama berlangsungnya
shalat Idul Fitri. Begitu juga sebaliknya, ketika masyarakat non-Muslim
melaksanakan Natal, masyarakat Muslim turut menjaga gereja dan tempat
berlangsungnya acara Natal.26
Di kelurahan Parapat acara Natalan tidak hanya dilaksanakan pada
saat malam tanggal 25 Desember dan saat tanggal 25 Desember, tetapi
sebelum atau pun sesudahnya di adakan acara Natalan. Biasanya ini
dilaksanakan per lingkungan yang ada di kelurahan Parapat dan itu
tidaklah dilaksanakan dalam satu hari sekaligus tetapi biasanya satu
lingkungan mengadakan di hari ini dan lingkungan lainnya
melaksankannya di hari lainnya.Sehingga acara Natalan di kelurahan
Parapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Natal lingkungan ini
tidaklah diadakan di gereja tetapi diadakan di lapangan di sekitar
lingkungan tersebut. Masyarakat dari lingkungan lain dapat melihat dan
menyaksikan acara Natalan lingkungan yang lain, begitu pula masyarakat
luas termasuk masyarakat Muslim dapat melihat acara Natal lingkungan
yang diadakan.
26
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
95
Dalam komunikasi empatik, masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim saling memahami dan mengerti sehingga terjalin
komunikasi yang efektif diantara mereka. Masyarakat Muslim maupun
masyarakat non-Muslim mempunyai kemampuan komunikasi empatik
yang baik sehingga belum pernah terjadi konflik diantara mereka pada
bulan Ramadhan. Mereka dapat membangun komunikasi empatik karena
dapat saling memahami satu sama lain, memiliki kepedulian diantara
sesamanya serta perhatian pada orang lain. Masyarakat non-Muslim
menunjukkan sikap komunikasi empatik dengan ikut menyumbang untuk
pembangunan tembok kuburan Islam padahal mereka sebenarnya tidak ada
hubungannya dengan pembangunan tersebut. Masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim saling menjaga saat hari besar mereka seperti saat
takbiran, shalat Idul Fitri dan juga Natalan.
Dalam pemberian zakat di bulan Ramadhan, baik itu zakat fitrah
ataupun zakat mal, masyarakat non-Muslim tidaklah dilibatkan ataupun
tidak diberi zakat.Karena pihak Muslim mengutamakan masyarakat
Muslim yang membutuhkan nya lebih banyak.Sehingga dalam masalah
pembagian zakat di bulan Ramadhan masyarakat non-Muslim tidak ikut
menerimanya.27
Di kelurahan Parapat terdapat sekolah STT(Sekolah Tinggi
Teologi) Trinity yang merupakan sekolah milik non-Muslim, setiap pagi
dari hari senin sampai minggu dari pukul 06.00-07.00 WIB mereka
memperdengarkan kajian mereka yang terdiri dari nyanyian pujian dan
27
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
96
juga ceramah singkat menggunakan pengeras suara sehingga suaranya
sampai terdengar ke rumah-rumah warga kelurahan Parapat. Begitu pula di
saat bulan Ramadhan mereka tetap memperdengarkan kajian mereka
tersebut di jam yang sama. Masyarakat Muslim secara kelompok tidak
menentang dengan adanya kajian itu tetapi masyarakat Muslim sebagai
individu ada yang tidak suka dengan adanya kajian tersebut tetapi mereka
tidak melakukan tindakan lanjutan. Menurut Ustad Suadji masyarakat
Muslim mengambil sisi positif dari adanya kajian tersebut adalah dapat
membangunkan mereka untuk segera shalat Subuh dan segera beraktivitas
agar tidak terlambat dalam aktivitasnya.
Hal menariknya adalah masyarakat non-Muslim yang protes
dengan adanya kajian tersebut .Hal tersebut dilakukan oleh pemilik dan
pegawai kafe yang memang buka pada waktu malam dan beristirahat pada
pagi hari. Mereka melakukan protes kepada sekolah STT Trinity tersebut
karena telah mengganggu waktu istirahat mereka.Tetapi walaupun begitu
mereka tidak mendengar protes tersebut dan tetap mendengarkan kajian
tersebut menggunakan pengeras suara. Hal ini bisa saja menimbulkan
konflik di kemudian hari jika ada yang mempropokasi kemarahan
masyarakat di kelurahan Parapat.
Sedangkan masyarakat Muslim di kelurahan Parapat hanya
memperdengarkan adzan dengan memakai pengeras suara hanya untuk
shalat Subuh, Maghrib dan Isya. Shalat Zuhur dan Ashar tidak memakai
pengeras suara .Hal ini dilakukan karena di saat shalat Zuhur dan Ashar
masyarakat di kelurahan Parapat sedang menjalankan aktivitas sehari-
97
harinya, sehingga agar tidak mengganggu maka shalat Zuhur dan Ashar
adzannya tidak memakai pengeras suara. Keputusan ini diambil agar tidak
menimbulkan konflik diantara masyarakat Muslim dan masyarakat non-
Muslim dikarenakan suara adzan.
Dalam kasus ini, masyarakat Muslim telah menunjukkan sikap
empatik dimana mereka tidak menggunakan pengeras suara untuk adzan
Zuhur dan Ashar yang dimaksudkan agar tidak mengganggu masyarakat
yang lain dalam menjalankan aktivitasnya. Masyarakat Muslim
menghormati dan menghargai masyarakat non-Muslim yang sedang
beraktivitas di siang hari sehingga suara adzan tidak mengganggu aktivitas
mereka. Mereka memahami perasaan masyarakat non-Muslim jika
mendengarkan adzan di siang dan sore hari sehingga suara adzan pada
shalat Zuhur dan Ashar tidak memakai pengeras suara.
Sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sekolah STT
Trinity, menurut penulis mereka tidak melakukan komunikasi empatik
kepada masyarakat di kelurahan Parapat baik masyarakat Muslim maupun
masyarakat non-Muslim lainnya. Bahkan ketika bulan Ramadhan mereka
tetap memperdengarkan kajian mereka menggunakan pengeras suara, hal
ini sebenarnya merupakan sikap tidak menghargai kaum Muslim yang
sedang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Mereka tidak memahami
bagaimana perasaan kaum Muslim dan tidak mempunyai sikap kepedulian
terhadap kaum Muslim padahal kaum non-Muslim lainnya menghormati
masyarakat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadhan. Sekolah STT Trinity tersebut tidak mempertimbangkan
98
perasaan orang lain dan tidak membuat keputusan yang dapat diterima
oleh semua pihak yang ada di kelurahan Parapat. Ini dapat terlihat dari
protes yang datang juga dari masyarakat non-Muslim kepada mereka. Jika
hal ini dibiarkan berlarut-larut maka yang ditakutkan adalah terjadinya
konflik diantara masyarakat di kelurahan Parapat.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi antara Masyarakat
Muslim dengan Masyarakat non-Muslim di Kelurahan Parapat
1. Faktor Pendukung Komunikasi antara Masyarakat Muslim dengan
Masyarakat non-Muslim di Kelurahan Parapat
Ada beberapa karakteristik komunikasi antara masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat yang menjadi
faktor pendukung dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
a. Rasa Kebersamaan
Di kelurahan Parapat ini tidak memandang agama, suku, ras
dan lainnya, semuanya memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
Misalnya saja ada suatu kerjaan yang melibatkan banyak orang
seperti Jumat bersih, masyarakat kelurahan Parapat baik beragama
Islam, Protestan, Katolik ataupun Budha ikut semua untuk
melaksanakan Jumat bersih di lingkungan rumah mereka. Ketika
masyarakat Muslim melakukan ibadah shalat Taraweh di bulan
Ramadhan pun masyarakat non-Muslim ikut membantu lahan
parkir dan begitu pula saat melaksanakan shalat Idhul Fitri
masyarakat non-Muslim turut menjaga di sekitar lokasi
99
melaksanakan Shalat Idul Fitri.Begitu pun sebaliknya ketika
masyarakat non-Muslim merayakan Natal lingkungan, masyarakat
Muslim ikut membantu dan menjaga di sekitar lokasi perayaan
Natal.
b. Rasa Saling Menghargai Satu Sama Lain
Masyarakat non-Muslim menghargai masyarakat Muslim
ketika melaksanakan ibadah.Masyarakat non-Muslim tidak
mengganggu masyarakat Muslim dalam melaksanakan kegiatan
apapun di dalam mesjid.Padahal di sekitar mesjid Raya Taqwa
Parapat itu banyak dihuni oleh masyarakat non-Muslim. Karena
itulah masyarakat Muslim juga menghargai masyarakat non-
Muslim yang ada di sekitar mesjid dengan tidak membangunkan
sahur dengan cara pakai pengeras suara seperti yang banyak
dilakukan di kota-kota besar. Juga di Kelurahan Parapat ini saling
menjaga saja, seperti bila ada kegiatan di depan Gereja yang
dilakukan oleh pihak Muslim, pihak non-Muslim tidak pernah
melarangnya karena meupakan bagian dari komunitas
masyarakat.28
c. Sikap Gotong Royong
Masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat selalu menunjukkan sikap gotong royong.
Seperti dengan adanya Jumat bersih yang diadakan pada hari Jumat
tiap dua minggu sekali, disini masyarakat Muslim dengan
28
Hasil Wawancara dengan Pdt. Anggiat Hutahuruk sebagai Pendeta Gereja HKBP
Parapat pada tanggal 24 Juli 2016
100
masyarakat non-Muslim bersama-sama untuk membersihkan
lingkungan mereka. Walaupun di bulan Ramadhan mereka tetap
melaksanakan Jumat bersih dan membersihkan di sekitar
lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu, bila ada masyarakat
Muslim maupun masyarakat non-Muslim yang sedang terkena
musibah seperti meninggal, maka masyarakat di kelurahan Parapat
berbondong-bondong untuk melayat dan membantu keluarga yang
di tinggalkan terutama bila keluarga yang tidak mampu. Begitu
pula bila ada keluarga yang ingin menikahkan anaknya, maka
masyarakat disini saling bantu membantu sampai pada acara
pernikahan tersebut.29
d. Rasa Simpati
Simpati adalah menempatkan diri kita secara imajinatif
dalam posisi orang lain. Simpati merupakan proses seolah-olah
terlarut dalam perasaan, pikiran kebahagiaan dan kesedihan orang
lain. Simpati sangat penting dalam menjalin hubungan dan
komunikasi sosial.30
Sikap simpati yang dilakukan masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapatterlihat dari bila ada masyarakat yang meninggal maka
masyarakat di kelurahan Parapat datang melayat dan
mengungkapkan belasungkawa nya kepada keluarga yang
29
Hasil Observasi Penulis pada tanggal 07 Agustus 2016 di saat salah satu keluarga
Muslim menikahkan anaknya, dalam acara tersebt yang menjadi panitia acara bukan
hanya dari masyarakat Muslim tetapi masyarakat non-Muslim juga ikut dilibatkan dalam
acara tersebut bahkan dalam tradisi masyarakat Parapat bila ada keluarga yang sedang ada
acara maka yang lain akan menyumbang seperti gula, kopi dan teh. 30
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT.
Remaja Rosadakarya, 2005), h. 78.
101
ditinggalkan. Mereka pun menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Jika yang meninggal adalah beragama Islam, masyarakat yang
beragama non-Muslim tetap datang melayat ke rumah duka begitu
pun sebaliknya jika yang meninggal beragama Kristen maka
masyarakat Muslim tetap melayat ke rumah duka walaupun itu
terjadi pada bulan Ramadhan. Masyarakat di kelurahan Parapat
memang saling menghargai dan saling menghormati.31
e. Sikap Kekeluargaan
Masyarakat Muslim yang melakukan ibadah puasa di bulan
Ramadhan terkadang membuat acara buka puasa bersama yang
diselenggarakan oleh pihak Mesjid ataupun ada dari pihak hotel-
hotel di sekitar kelurahan Parapat. Dalam acara buka puasa
bersama itu pemuka agama atau orang yang terpandang dari
masyarakat non-Muslim turut diundang walaupun mereka tidak
menjalankan ibadah puasa. Sebaliknya ketika masyarakat non-
Muslim merayakan Natal, masyarakat Muslim ikut diundang untuk
melihat perayaan Natal lingkungan yang diselenggarakan oleh
masing-masing lingkungan di kelurahan Parapat. Ada juga
beberapa masyarakat Muslim ketika menjelang buka puasa
memberikan makanan kepada masyarakat non-Muslim yang
tinggal berdekatan dengan dirinya. Ataupun ketika lebaran tiba
31
Hasil Observasi Penulis pada bulan Juli 2016, waktu itu ada dari masyarakat
Muslim yang meninggal, yang datang melayat bukan hanya dari masyarakat
Muslim saja tetapi masyarakat non-Muslim yang mengenal Almarhum juga datang
melayat ke rumah duka, lalu di bulan yang sama masyarakat non-Muslim ada yang
meninggal karena dalam tradisi mereka si mayit disemayamkan di rumah selama
beberapa hari maka biasanya bakalan ramai dengan para pelayat di hari pertama
dan juga hari terakhir sebelum dikuburkan. Yang datang melayat ada juga dari
masyarakat Muslim yang mengenal keluarga yang berduka.
102
masyarakat Muslim memberikan kue lebaran kepada masyarakat
non-Muslim yang menjadi tetangganya dan ketika Natal tiba
masyarakat non-Muslim pun memberikan kue kepada masyarakat
Muslim.
2. Faktor Penghambat Komunikasi Masyarakat Muslim dengan
Masyarakat Non-Muslim di Kelurahan Parapat
Ada beberapa karakteristik komunikasi antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat yang
menjadi faktor penghambat dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
a. Prasangka Sosial
Di kelurahan Parapat masyarakat non-Muslim menjadi
penduduk mayoritas dan masyarakat Muslim menjadi penduduk
minoritas .Dalam kehidupan sehari-hari terjadilah komunikasi dan
interaksi diantara mereka, walaupun secara garis besar komunikasi
yang terjadi diantara mereka baik-baik saja tetapi masih saja timbul
prasangka diantara mereka. Contohnya, timbulnya rasa curiga
dalam masyarakat Muslim jika masyarakat non-Muslim
memberikan makanan kepada mereka. Curiga terhadap makanan
tersebut apakah makanan ini halal atau haram buat dimakan,
karena masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat memakan dan
memasak sendiri binatang yang haram buat masyarakat Muslim
yaitu anjing dan babi. Sehingga timbul rasa curiga pada masyarakat
Muslim apakah makanan yang diberikan ini halal atau tidak karena
dimasak dari kuali yang sama dengan memasak anjing dan babi
103
tadi. Hal ini dapat menimbulkan konflik batin diantara masyarakat,
faktor kurangnya pengetahuan masyarakat juga menimbulkan
prasangka-prasangka sosial lainnya.
Di masyarakat Kristen jika ada keluarga yang meninggal
maka pada hari penguburan itu diadakan seperti pesta saja. Banyak
orang berdandan melayat, disediakan makanan bagi pelayat dan
juga mereka menari tor-tor dan biasanya si mayit itu
disemayamkan di rumah duka sekitar 3 atau 5 atau 7 hari. Berbeda
dengan ajaran Islam yang menyuruh untuk mensegerakan
menguburkan si mayit. Karena perbedaan ini timbul omongan-
omongan diantara masyarakat karena kurangnya pengetahuan
masyarakat. Padahal hal ini telah menjadi budaya di dalam Kristen
dan juga ajaran di Islam.32
b. Stereotip
Dari pengamatan penulis, ada stereotip yang melekat pada
masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat. Pada masyarakat non-Muslim stereotip yang melekat
adalah mereka ini jorok dan kotor, alasan pertama adalah karena
mereka ini di rumah memelihara anjing dan anjingnya dilepas saja
di rumah bahkan keluar rumah juga. Selain itu, mereka juga
memelihara babi walaupun babinya di kandangkan di dekat tempat
mereka tinggal. Kotoran dari anjing maupun babi mereka itu
menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga mereka ini dikatakan
32
Hasil Observasi Penulis selama penulis tinggal di kelurahan Parapat.
104
jorok. Lalu alasan lainnya adalah karena kedekatan mereka dengan
hewan peliharaan mereka itu, sehingga aktivitas mereka sehari-hari
pun dilakukan bersama hewan peliharaan mereka. Setelah mereka
bermain dengan anjing mereka biasanya tidak langsung
membersihkan diri dan juga anjingnya tidak dimandikan setiap
harinya, setelah anjingnya bermain di luar rumah dan kembali ke
rumah anjingnya tidak dibersihin terlebih dahulu, maka mereka ini
dibilang kotor.33
Pada masyarakat Muslim juga dikenakan stereotip, dimana
menurut masyarakat non-Muslim itu masyarakat Muslim itu terlalu
bersih, karena mereka itu tidak mau dekat-dekat dengan anjing
malah kadang ada yang takut dan menghindari anjing peliharaan
mereka.
33
Hasil Observasi Penulis Pada Bulan Juni 2016
105
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Komunikasi yang terjalin antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat terjalin dengan baik
walaupun terjadi perbedaan jumlah pemeluk agama yang cukup
signifikan. Toleransi beragama yang di tunjukkan masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim juga sangat baik, ini terlihat tidak
pernah terjadi konflik diantara mereka walaupun mereka sudah hidup
berdampingan selama bertahun-tahun. Komunikasi antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim menggunakan bahasa
Indonesia dan juga menggunakan bahasa Batak. Komunikasi yang
terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim
adalah komunikasi antarpibadi dan juga komunikasi kelompok.
Komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-
Muslim termasuk ke dalam sikap beragama yang inklusif, dimana
mereka menjalankan ibadah agamanya masing-masing tanpa
mengganggu ibadah orang lain.
2. Toleransi beragama antara masyarakat Muslim dengan masyarakat
non-Muslim di bulan Ramadhan terjalin dengan baik. Pihak dari
masyarakat non-Muslim menghargai pihak masyarakat Muslim yang
sedang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, mereka tidak
mengganggu masyarakat Muslim yang menjalankan ibadah puasa di
bulan Ramadhan. Bahkan masyarakat non-Muslim turut membantu
106
kegiatan-kegiatan masyarakat Muslim di bulan Ramadhan seperti turut
menjaga parkiran Mesjid dan juga turut menjaga keamanan masyarakat
Muslim yang sedang shalat Idul Fitri. Masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim menunjukkan sikap empatik. Masyarakat
Muslim yang merupakan minoritas di kelurahan Parapat tidak
memperdengarkan adzan Zuhur dan Ashar menggunakan pengeras
suara.
3. Adapun faktor pendukung komunikasi masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim dalam konteks toleransi beragama di
kelurahan Parapat adalah rasa kebersamaan, rasa saling menghargai
satu sama lain, sikap gotong royong, rasa simpati dan rasa
kekeluargaan. Sedangkan faktor penghambat terjadinya komunikasi
antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat adalah prasangkasosial dan stereotip.
B. Saran
1. Hubungan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim
selalu dijaga tali persaudaraannya. Kerja sama yang telah dijalin agar
tetap dijaga agar tidak mudah dipecah oleh pihak ketiga.
2. Kepada masyarakat non-Muslim yang memelihara Anjing dan Babi
agar dapat menjaga hewan peliharaannya dan menghargai ajaran
masyarakat Muslim mengenai hewan Anjing dan Babi.
3. Kepada sekolah STT Trinity agar tidak terjadi konflik di kemudian
hari diantara masyarakat di kelurahan Parapat seharusnya mengajak
masyarakat untuk berdisukusi mengenai kajian mereka yang tiap hari
107
menggunakan pengeras suara. Agar semuanya mengungkapkan
pendapat mereka mengenai sekolah STT Trinity.
108
Daftar Pustaka
Buku
Ali, Muhammad, Teologi Pluralis-Multikultural, Menghargai Kemajukan
Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).
Al Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat
Press, 2003).
al-Qardhawi, Yusuf, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam,
Penerjemah Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1985).
Aritonang, Jan S, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2006).
Aw, Suranto, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa
(Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil
Belajar Pendidikan Agama dan Lingkungan Pendidikan Terhadap
Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum
Negri, (Jakarta, Maloho Jaya Abadi Press, 2010).
Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan,
Suku, Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia,
(Jakarta: BPS, 2010).
Data Monografi Kelurahan Parapat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka,1996).
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003).
-------, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992).
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramadia,
1991).
Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikas AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003).
109
-------, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011).
Littlejohn, Stephen dan Karen Foss, Teori Komunikasi, Penerjemah Muhammad
Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009).
Majid, Nurcholish, Pluralitas Agama (Kerukunan dalam Keragaman), (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas).
Mufid, Muhammad, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta:Kencana, 2009).
Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, budaya Demokrasi dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2007).
Mulyana, Dedy, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, (Bandung: PT
Remaja Rosadakarya, 2003).
Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya, (Bandung:
PT. Remaja Rosadakarya, 2005).
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Gadja Mada University
Press, 1990).
O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1995).
Poerwadarminta, W J S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka Cet 5, 1976).
Rahman, Dudung Abdul, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 2003).
Rakhmat, Jalaludin, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: PT Remaja Rosadakarya,
1999).
-------, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosadakarya,
1984).
Riyadi, M. Irfan dan Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan,
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009).
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan
UIN Jakarta Press, 2007).
Samovar, Larry A, dkk. Komunikasi Lintas Budaya, Penerjemah Indri Margaretha
Sidabalok, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).
Sihabudin, Ahmad, Komunikasi AntarBudaya :Satu Perspektif Multidimensi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
110
Singarimbun, Masri dan Soffian Effendy, Metode Penelitian Survei, (Yogyakarta:
Lp3S, 1987).
Soekanto, Soerjono, Sosiologi: SuatuPengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Sparadley, James. P, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta: Tiara Kencana, 1997)
Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan
Arkeologi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014).
Usman, Husaidi dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Yahya, Harun, Keadilan dan Toleransi dalam Alqur’an, (Jakarta: Iqra Insan Press,
2004).
Jurnal
Masturi Ade, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik (Perspektif
Psikologi Komunikasi), (Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol.
4, Nomor 1 Januari-Juni 2010).
Sasongko, JokoPanji, Kapolri Beberkan Kronologi Insiden Tolikara, (CNN
Indonesia, 23-07-2015)
Skripsi
Aisyah, Siti, Pola Komunikasi Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi
Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan
Mekarsari Tangerang), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2013)
Kabarokan, Nurul Ain, Komunikasi Intra dan Antar Budaya Masyarakat Muslim
Kei di Kota Tual, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan IlmuKomunikasi,
Universitas Islam Negri Jakarta, 2014).
Muttaqien, Arief Sigit, Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi
Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa
Tengah), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas
Islam Negri Jakarta, 2009).
Supandi, Muhammad Yusup, Komunikasi AntarBudaya (Studi pada Pola
Komunikasi Etnis Arab dengan Masyarakat Pribumi di Kelurahan
Empang Bogor), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negri Jakarta, 2010).
111
Ilprima, Ricca Junia, Analisis Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama
dalam Novel Ayat-ayat Cinta 2 Karya Habiburrhman El shirazy, (Skripsi
S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri
Jakarta, 2016).
Internet
Lord, R, 8 Agama Terbesar di Dunia, diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pada
pukul 08.00 dari https://sites.google.co./site/lordcomputert/unida/agama/8-
agama-terbesar-di-dunia
Lampiran
Wawancara Penelitian
Pewawancara : Ratih Pratiwi
Narasumber : Ustadz Suadji
Pelaksanaan Wawancara : Hari : Senin, 13 Juni 2016
Pukul : 10.00-11.00 WIB
Tempat : Kediaman Ustadz Suadji
Tanya : Menurut Ustadz, apakah toleransi beragama itu?
Jawab : Menurut saya toleransi beragama itu saling menghargai antara agama
satu dengan agama yang lainnya, tidak saling mengganggu dan saling
menjaga bagaimana kegiatan keagamaan itu berjalan sebagaimana di
dalam Alquran tertulis “Laqum di nukum waliyadin (Untukmulah
agamaku dan untukkulah agamaku)”, kita tidak harus saling
mengganggu dan bagi kita orang Islam kita tidak boleh mempengaruhi
orang yang beragama lain untuk masuk ke agama kita dan kalau ada
orang yang sudah masuk ke agama kita, mereka itu harus mengikuti
ajaran agama Islam. Contohnya Allah itu tidak memaksakan orang itu
untuk masuk ke agama Islam tetapi kalau orang itu sudah masuk ke
agama Islam berarti orang harus mengikuti ajaran dan peraturan dalam
agama Islam.
T : Menurut Ustadz, Perlukah kita melakukan toleransi beragama pada orang
lain?
J : Perlu kita melakukan toleransi beragama, karena semua manusia yang
diciptakan oleh Allah itu manusia, sebagaimana yang tertulis dalam
Alquran Surah Al-Baqarah ayat 21:
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Jadi seandainya ada orang yang beragama lain itu kan manusia juga, jadi
manusia seperti apa yang tidak mengikuti perintah agama dari Allah, jadi
karena dia kan punya agama sendiri seperti yang ada di Indonesia itu kan
mempunyai banyak agama karena banyaknya agama itu makanya ada
kerukunan beragama dan karena itu munculah toleransi beragama itu
kepada agama lain, kita jangan mengganggu agama lain dan mereka juga
tidak boleh mengganggu agama kita. Ketika itu ada yang bertanya pada
Rasul, siapa orang yang tidak Rasul suka? Maka Rasul menjawab adalah
orang yang tidak bersyahadat dan orang yang malas untuk berinfaq dan
sedekah dan orang yang tidak punya kesabaran.
T : Sebagai pemuka agama, apakah Ustadz menganjurkan kepada umat
untuk melakukan toleransi beragama?
J : Ya, kita memang harus menganjurkan untuk melakukan toleransi
beragama kepada umat, karena di Parapat ini kan Muslim ini minoritas
dan mayoritas non-Muslim dan masyarakat non-Muslim juga
menghargai agama Islam dan begitu pula kita harus melakukan toleransi
beragama pada mereka.
T : Lalu bagaimana dengan sikap Ustadz pada orang yang berpindah agama?
J : Memang kita tidak suka pada orang sudah pindah agama dari agama kita,
jangan kan kita Allah juga pasti tidak suka padanya. Allah itu pasti
mengampuni dosa kita sebesar apapun kecuali orang yang durhaka pada
orang tua dan orang yang mensekutukan Allah. Orang yang berpindah
agama itu kan sama artinya dengan orang yang mensekutukan Allah dan
itu tidak akan diampuni oleh Allah. Namun apabila dia itu dengan sadar
dan tobat dengan menyadari apa yang dia lakukan itu salah dan pindah
lagi ke agama Islam dan pertobatan dia itu akan diterima oleh Allah
sepanjang itu belum sampai akhir hayatnya.
T : Sepengetahuan Ustadz pernah gak terjadi konflik antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J : Sepengetahuan saya belum pernah terjadi konflik antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan. Bahkan di
kelurahan Parapat ini toleransi beragama di bulan Ramadhan ini sangat
kental, contohnya kita membuat safari Ramadhan mereka juga
menghargai adanya safari Ramadhan tersebut, bahkan bila ada kantin-
kantin Ramadhan atau acara buka puasa bersama, mereka malah
mensupport hal yang seperti itu. Mereka tidak mengatakan itukan
makanan orang Muslim atau itu kan bukaan orang Muslim, malah
mereka itu semakin membawa rezeki bagi kita dengan mereka membeli
apa yang kita dagangkan.
T : Ada tidak masyarakat non-Muslim melakukan toleransi beragama pada
masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J : Ada, seperti ada pembagian sembako, ada juga masyarakat Non-Muslim
membagikan sembako pada masyarakat Muslim dan ini biasanya
dilakukan dimasa-masa kampanye jika masa kampanye nya terjadi pada
bulan Ramadhan. Itu tandanya mereka menghargai pihak Muslim.
T : Bagaimana pandangan Ustadz tentang masyarakat non-Muslim yang
dilibatkan pada kegiatan Ramadhan?
J : Kalau bagi kita itu kita terima saja karena itu merupakan pemberian dari
orang lain tapi buat mereka itu bukan merupakan nilai ibadah. Itu kita
terima saja, contohnya orang dalam melakukan jual beli saja kan
melibatkan non-Muslim dan Muslim, sepanjang yang diberikan non-
Muslim kepada Muslim itu masih halal.
T : Hubungan komunikasi apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dan
non-Muslim di bulan Ramadhan ini?
J : Gini, kalo di daerah lain itu kan memakai RT/RW tetapi kalo disinikan
memakai lingkungan, nah kita itu diundang ke kelurahan untuk
mengadakan acara Jumat bersih dan disitu kita campur antara
masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim. Dalam acara Jumat
bersih ini kita sama-sama bekerja antara masyarakat Muslim dan
masyarakat non-Muslim. Jumat bersih ini juga tetap diadakan di bulan
Ramadhan.
T : Pernahkah masyarakat Muslim mendapatkan perlakuan Rasis dari
masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J : Tidak pernah kalau di keluraan Parapat ini. Suatu contoh kita
mengadakan Taraweh, mereka itu tidak pernah mengganggu kita. bahkan
yang mengatur parkiran adalah masyarakat non-Muslim.
T : Bagaimana penilaian Ustadz tentang toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat non-Muslim kepada masyarakat Muslim?
J : Itu merupakan suau keberhasilan dimana mereka mau bekerja sama
dalam melaksanakan Jumat bersih dan mereka itu mau membantu
mengatur lahan parkir di Mesjid saat melaksanakan shalat Taraweh.
Contoh lainnya, kita berdagang buka kantin-kantin Ramadhan dan
mereka itu yang membelinya dan mereka itu tidak makan di tempat
melainkan mereka membawa pulang.
T : Menurut Ustadz, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim
dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J : Rasa kebersamaan, karena disini orang-orangnya misalkan ada kerjaan
ada rasa kebersamaan maka dengan rasa kebersamaan itulah mempunyai
keberhasilan. Karena kalau seandainya tidak ada rasa kebersamaan dan
tidak ada toleransi maka tidak ada keberhasilan. Karena di kelurahan
Parapat ini sistemnya tidak memandang agama, suku dan lainnya karena
prinsip disini tetap rukun karena Parapat ini kan kota pariwisata.
T : Apakah masyarakat non-Muslim mengganggu anda dalam melakukan
ibadah di bulan Ramadhan?
J : Tidak karena begini itulah yang saya perhatikan selama ini bahkan ketika
kita melaksanakan Taraweh, itu di sekitar Mesjid itu penduduknya
banyak non-Muslim, jadi dengan demikian kita membuat kegiatan
apapun di dalam Mesjid mereka itu tidak ada mengambil pusing bahkan
mereka itu turut membantu dalam peran serta dalam kegiatan ini. Dalam
artian penduduk Muslim yang akan melakukan kegiatan di Mesjid
tersebut, orang non-Muslim ini malah mengatur lahan parkir di Mesjid.
T : Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara
masyarakat?
J : Sebenarnya tidak karena komunikasi apapun, contohnya disini
masyarakat itu loyal karena disini orang-orang yang berdagang bahan
mentah itu masyarakat non-Muslim dan yang membeli masyarakat
Muslim dan ketika makanan itu diolah jadi makanan matang maka yang
membeli itu masyarakat non-Muslim. Di dalam bulan Ramadhan ini pun
masyarakat Muslim memperoleh rezeki dari masyarakat non-Muslim.
Masyarakat Muslim tetap berjualan sarapan walaupun di bulan
Ramadhan dan yang membeli adalah masyarakat non-Muslim tetapi
sistemnya mereka membeli dan dibawa pulang karena menghargai
masyarakat Muslim yang sedang berpuasa.
T : Apakah masyarakat disini saling menghormati dan menghargai di bulan
Ramadhan?
J : Jelas, kalau masyarakat Muslim ke Muslim mereka yang tidak berpuasa
pasti mempunyai rasa segan untuk makan di luar dan demikian juga
Wawancara Penelitian
Pewawancara : Ratih Pratiwi
Narasumber : H. Maimun
Pelaksanaan Wawancara : Hari : Rabu, 15 Juni 2016
Pukul : 10.00-11.00 WIB
Tempat : Kediaman H. Maimun
Tanya : Menurut anda, apakah toleransi beragama itu?
Jawab : Menurut saya toleransi beragama itu adalah menjalankan ibadah masing-
masing tanpa mengganggu satu sama lain. Muslim tidak mengganggu
yang non-Muslim dan begitu pula non-Muslim tidak mengganggu yang
Muslim ketika menjalankan ibadah.
T : Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J : Perlu sekali menurut saya.
T : Apakah anda melakukan toleransi beragama pada orang yang berbeda
agama dengan anda?
J : Ya saya melakukannya, contohnya disini kan masyarakat Muslim itu
minoritas jadi bagaimanapun itu kita tidak bisa hidup sendiri tanpa
bantuan dari orang lain, baik itu yang seagama maupun yang tidak
seagama dengan kita. Bila mereka mengundang kita pesta, ya kita datang
memenuhi undangannya. Contoh lainnya, bila ada perayaan Natal, disini
kan perayaan Natal dibikinnya per lingkungan ya jadi walaupun kita
tidak ikut merayakannya tetapi setidaknya kita ikut menjaga keamanan
acara tersebut.
T : Apakah anda menghargai orang yang berbeda suku dengan anda
walaupun satu agama?
J : Betul, bagi Saya tidak ada bedanya karena kan saya orang Jawa, tidak
ada bedanya saya itu Jawa atau Batak ataupun Minang. Misalnya, bagi
Saya itu tidak ada Saya pilih-pilih, kan saya Bilalzin aja, siapapun yang
meninggal tetap saya laksanakan dari dahulu pun begitu dan tidak ada
perbedaan bagi saya.
T : Interaksi seperti apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J : Saling menjaga dan saling menghormati antara sesama umat beragama.
T : Menurut anda, apakah masyarakat non-Muslim melakukan toleransi
beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa
bentuknya?
J : Betul, contohnya di daerah sini tetap dibuka yang namanya restoran
ataupun warung makan, namun meraka itu kalau biasanya bertemu
merokok sesukanya di depan saya tetapi kalau di bulan Ramadhan
mereka merokok sembunyi-sembunyi.
T : Kebalikannya, apakah masyarakat Muslim juga melakukan toleransi
beragama pada masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa
bentuknya?
J : Kalau dari Muslim ke non-Muslim bagaimanapun ceritanya mereka
menjalankan agamanya dan kita pun menjalankan agama kita, jadi kita
tidak pernah mengganggu acara mereka dan mereka pun tidak
mengganggu acara kita dalam menjalankan ibadah kita.
T : Bahasa apa yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang yang
berbeda agama dengan anda?
J : Memakai bahasa daerah dan juga terkadang bahasa Indonesia tergantung
situasi dan kondisinya.
T : Apakah anda dan masyarakat Muslim lainnya pernah mendapatkan
perlakuan rasis dari masyarakat non-Muslim?
J : Selama saya tinggal di daerah ini belum pernah mendapatkan rasis dari
masyarakat non-Muslim.
T : Pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J : Tidak pernah terjadi konflik disini selama saya tinggal di kelurahan
Parapat ini sudah 48 tahun.
T : Bagaimana penilaian anda terhadap toleransi beragama yang ditunjukkan
masyarakat non-Muslim pada anda?
J : Ini termasuk salah satu contoh yang besar ya, pernah masyarakat Muslim
mengadakan takbiran pada malam lebaran dengan pawai obor dengan
jalan kaki sekitar hampir 4km karena keliling dan ini sudah dizinkan
oleh Musfika setempat, baik dari DANRAMIL, Kapolsek maupun dari
Camatnya. Lalu, anak-anak muda dari Gereja HKBP menjaga sepanjang
jalan untuk menjaga masyarakat Muslim yang melakukan pawai obor.
Lalu contoh lainnya, pada beberapa tahun lalu ketika ramai
diperbincangkan tentang pembakaran rumah ibadah, ketika masyarakat
muslim mengadakan Shalat Ied Fitri di lapangan, anak-anak muda dari
masyarakat non-Muslim menjaga sekitar lapangan tempat
dilaksanakannya Shalat Ied Fitri. Nah, sebaliknya karena mereka telah
berbuat baik kepada masyarakat Muslim maka ketika Natal, masyarakat
Muslim menjaga Gereja. Nah, itulah toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat disini untuk saling menjaga, karena menurut
saya orang yang memicu terjadinya konflik biasanya adalah orang luar
bukan merupakan warga disini
T : Apakah pawai obor ini dilakukan setiap tahun?
J : Tidak karena itu tergantung dengan izin PEMDA setempat.
T : Apakah tahun ini akan dilakukan pawai obor pada malam takbiran?
J : Tahun ini saya rasa tidak karena cuaca tidak memungkinkan diadakannya
pawai obor.
T : Seperti yang kita ketahui. Di kota-kota besar ketika sahur cara
membangunkan warga untuk sahur kan ada yang memakai pengeras
suara dari Mesjid, apakah disini dilakukan?
J : Tidak, karena kan masyarakat Muslim disini minoritas sekali dan juga
jarak antara rumah masyarakat Muslim yang satu dengan yang lainnya
cukup berjauhan dan juga ini dilakukan untuk saling menjaga dan tidak
mengganggu ketenangan orang lain.
T : Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh
masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J : Tidak ada rasa saling curiga diantara masyarakat disini.
T : Apakah masyarakat non-Muslim mengganggu anda dalam melakukan
ibadah di bulan Ramadhan?
J : Tidak ada juga
T : Apakah anda membatasi pergaulan anda dengan masyarakat non-
Muslim?
J : Yang namanya pergaulan sebatas kita bisa menjaga keimanan kita tidak
saya batasi. Saya bergaul dengan semuanya, kita harus saling menjaga
baik itu beda agama, suku maupun budaya lainnya.
T : Apakah anda membatasi pergaulan anda dengan orang yang berbeda
suku dengan anda?
J : Tidak juga.
T : Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara
masyarakat?
J : Di kelurahan Parapat ini tidak ya karena disini lancar semuanya.
T : Apakah masyarakat non-Muslim disini dilibatkan dalam kegiatan acara
Ramadhan?
J : Ikut, misalnya pada saat pelaksanaan Taraweh angkot-angkot yang
mayoritas supirnya adalah beragama non-Muslim ketika ada penumpang
langsung diantarkan ke Mesjid karena mereka mengetahui masyarakat
Muslim hendak melaksanakan Taraweh. Lalu, kita disini juga saling
menjaga, saya sering berkomunikasi dengan Pendeta-pendeta disini dan
saling menghargai saja.
T : Apakah masyarakat non-Muslim ikut membantu dalam kegiatan
Ramadhan seperti memberi sumbangan atau semacamnya?
Wawancara Penelitian
Pewawancara : Ratih Pratiwi
Narasumber : Sumari
Pelaksanaan Wawancara : Hari : Rabu, 15 Juni 2016
Pukul : 11.00-11.30 WIB
Tempat : Kediaman Pak Sumari
Tanya : Menurut anda, apakah toleransi beragama itu?
Jawab : Toleransi beragama itu saling mengerti satu sama lain.
T : Pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J : Kalau di kelurahan Parapat ini belum pernah terjadi konflik antara
masyarakat Muslim dan non-Muslim di bulan Ramadhan karena rasa
toleransi sangat besar sekali di kelurahan Parapat ini.
T : Apa saja kegiatan yang akan dilakukan sepanjang Ramadhan ini?
J : Kegiatan yang dilakukan di bulan Ramadhan oleh masyarakat Muslim
disini cukup banyak, diantaranya puasa, melaksanakan shalat Taraweh,
Tadarus dan ada acara gebyar Ramadhan, buka puasa bersama, juga
diadakannya nanti pesantren kilat.
T : Kapan diadakannya kegiatan Tadarus?
J : Tadarus diadakannya setelah melaksanakan shalat Taraweh.
T : Apakah kegiatan di Ramadhan ini juga melibatkan masyarakat non-
Muslim? Seperti apa bentuknya?
Wawancara Penelitian
Pewawancara : Ratih Pratiwi
Narasumber : Pdt. Anggiat Hutahuruk (Pendeta dari Gereja
HKBP)
Pelaksanaan Wawancara : Hari : Senin, 24 Juli 2016
Pukul : 14.00-14.30 WIB
Tempat : Kantor Pdt. Anggiat Hutahuruk
Tanya : Menurut bapak, apakah toleransi beragama itu?
Jawab : Toleransi beragama adalah saling menghargai sesama manusia. Ajaran
Kristen mengajarkan untuk saling menghargai, menghormati dan
menghargai sesamanya, sesamanya disini adalah sesama manusia tanpa
membapakng ras, suku maupun agama.
T : Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J : Sangat perlu sekali dilakukan toleransi beragama antar sesama manusia
agar tidak terjadinya pertikaian.
T : Sepengetahuan Bapak pernahkah terjadi konflik pada saat bulan
Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat?
J : Belum pernah terjadi konflik antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di bulan puasa kalau di kelurahan Parapat ini.
T : Interaksi seperti apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J : Kita di kelurahan Parapat ini saling menjaga saja, seperti bila kegiatan di
depan Gereja kita tidak melarangnya karena ini merupakan bagian dari
komunitas masyarakat.
T : Menurut bapak, apakah masyarakat non-Muslim melakukan toleransi
beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa
bentuknya?
J : Saling menghargai saja bila bertemu dengan masyarakat Muslim yang
berpuasa, saya juga dulu saat melayani di gereja di Jambi Pendeta senior
saya juga melakukan puasa tiap hari Kamis dari jam 06.00-18.00.
Pendeta senior ini tidak masalah bila ada orang yang makan atau minum
di depan beliau bahkan saya juga minum di depan beliau dia tidak
pernah marah kepada saya. Hanya saya menghargai beliau yang
berpuasa saja.
T : Bahasa apa yang digunakan ketika berintraksi dengan masyarakat
Muslim?
J : Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah.
T : Apakah bapak dan masyarakat non-Muslim lainnya pernah mendapatkan
perlakuan rasis dari masyarakat Muslim?
J : Kalau di kelurahan Parapat ini tidak ada rasis karena toleransi beragama
yang ditunjukkan sangat bagus. Saya cerita sedikit waktu saya melayani
di Aceh ada 4 Gereja yang dibakar dan saya melihatnya dengan jelas itu
terjadi pada tanggal 11 Juni 2011. Begitu pula waktu saya di
Banjarmasin terjadi kerusuhan tanggal 23 Mei 1997 dan gereja HKBP
tempat saya melayani pun ikut dibakar. Dalam ajaran Kristen kita tidak
boleh membalas dendam terhadap orang-orang yang telah menganiaya
kita. Walaupun Gereja dibakar, kita juga turut menyumbangkan sembako
berupa beras kepada masyarakat lain yang rumahnya ikut terbakar
karena kerusuhan tersebut.
T : Apakah bapak pernah dilibatkan dalam acara kegiatan Ramadhan di
kelurahan Parapat?
J : Selama lima tahun saya melayani disini, belum pernah saya terlibat
dalam kegiatan Ramadhan di kelurahan Parapat ini.
T : Bagaimana pbapakngan Bapak terhadap masyarakat Muslim yang
melakukan ibadah di bulan Ramadhan?
J : Menurut saya itu hak mereka yang menjalankannya dan saya tidak
mengganggu mereka yang menjalankan ibadah di bulan puasa.
T : Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh
masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J : Saya rasa tidak ya
T : Apakah masyarakat disini saling menghormati dan menghargai di bulan
Ramadhan?
J : Ya, masyarakat disini saling menghormati dan menghargai masyarakat
Muslim yang menjalankan puasa di bulan Ramadhan.
T : Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim
dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J : Karena sikap saling menghargai yang ditunjukkan oleh masyarakat yang
ada di kelurahan Parapat. Masyarakat disini menunjukkan toleransi
beragama yang cukup baik sehingga tidak pernah terjadi konflik antara
umat beragama disini.
T : Apakah bapak membatasi pergaulan bapak dengan masyarakat Muslim?
J : Tidak saya tidak membatasi pergaulan saya dengan mereka yang
beragama Islam, saya bergaul dengan siapa saja di kelurahan Parapat ini.
T : Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara
masyarakat?
J : Saya rasa tidak ya, karena masyarakat disini yang saya lihat berbaur saja
jika ada acara nikahan maupun acara kematian.
Pewawancara Narasumber
Ratih Pratiwi Pdt. Anggiat Hutahuruk
NIM 1112051000016
Wawancara Penelitian
Pewawancara : Ratih Pratiwi
Narasumber : Jan Warisman Damanik (Pimpinan Jemaat GKPS
Parapat)
Pelaksanaan Wawancara : Hari : Jumat, 15 Juli 2016
Pukul : 19.00-19.30 WIB
Tempat : Kediaman Jan Warisman Damanik
T : Menurut bapak, apakah toleransi beragama itu?
J : Saling menghargai ibadah seseorang walaupun aliran kepercayaannya
berbeda.
T : Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J : Perlu, karena situasi kita di Indonesia dengan berbagai suku, agama dan
ras maka diperlukan toleransi beragama.
T : Pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat
Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J : Kalau pengamatan saya, di daerah sini belum pernah terjadi konflik di
bulan Ramadhan.
T : Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim
dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J : Karena ada rasa toleransi dan saling menghargai itu yang utama dan juga
budaya kita walaupun berbeda suku tapi tali persaudaraan itu kental
apalagi didaerah Batak.
T : Bahasa apa yang digunakan ketika berintraksi dengan masyarakat
Muslim?
J : Kalau bertemu dengan orang bersuku Batak maka akan berbahasa Batak
dan bila bertemu dengan orang yang berbeda suku maka akan bebahasa
Indonesia.
T : Apakah bapak dan masyarakat non-Muslim lainnya pernah mendapatkan
perlakuan rasis dari masyarakat Muslim?
J : Saya rasa tidak pernah kita mendapatkan rasis dari masyarakat Muslim.
T : Di dalam kegiatan bulan Ramadhan, apakah masyarakat non-Muslim ikut
dilibatkan dalam acara di bulan Ramadhan?
J : Biasanya saya ikut dalam acara buka puasa bersama yang diadakan di
hotel Inna Parapat.
T : Menurut bapak, apakah masyarakat non-Muslim melakukan toleransi
beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa
bentuknya?
J : Seperti malam takbiran, kita saling menjaga untuk mencegah agar tidak
terjadi gangguan dan kerusuhan di kelurahan Parapat ini.
T : Apakah masyarakat non-Muslim disini menghargai masyarakat Muslim
yang melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan?
J : Pasti menghargai satu sama lain.
T : Bagaimana penilaian bapak terhadap toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada Muslim?
J : Kalau menurut saya di kelurahan Parapat ini sudah cukup bagus karena
tidak pernah saling berbenturan dan saling menunaikan ibadah kita
masing-masing.
T : Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh
masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J : Tidak
T : Apakah masyarakat Muslim disini mengganggu bapak dalam melakukan
ibadah?
J : Tidak, mereka tidak menganggu bapak dalam melakukan ibadah.
T : Apakah bapak membatasi pergaulan bapak dengan masyarakat Muslim?
J : Kalau saya tidak, saya banyak bergaul dengan masyarakat Muslim disini.
Kebetulan keluarga saya juga banyak yang beragama Muslim jadi kita
saling menghormati saja. Ketika Idul Fitri, saya mengunjungi keluarga
yang Muslim dan berlebaran bersama mereka dan begitu pula sebaliknya
ketika kita Natalan keluarga yang Muslim datang mengunjungi kita
untuk ikut merayakan Natal bersama. Itulah contoh toleransi beragama
yang kita lakukan disini.
T : Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara
masyarakat?
J : Saya rasa tidak karena kita saling menghargai saja tapi tetap ada rasa
segan untuk saling menghormati satu sama lain.
T : Bagaimana pbapakngan Bapak tentang masyarakat Muslim yang
melakukan ibadah di bulan Ramadhan?
J : Kita tetap saling menghormati satu sama lain.
Wawancara Penelitian
Pewawancara : Ratih Pratiwi
Narasumber : Ramsion Barutu (Pengurus Gereja Katolik
Parapat)
Pelaksanaan Wawancara : Hari : Rabu, 20 Juli 2016
Pukul : 20.00-20.30 WIB
Tempat : Kediaman Ramsion Barutu
T : Menurut bapak, apakah toleransi beragama itu?
J : Menurut saya toleransi beragama itu prakteknya seperti di kelurahan Parapat
ini adalah kerja sama saling menghargai, silaturahmi yang bagus dan
persaudaraan yang baik.
T : Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J : Menurut saya sangat perlu karena itulah yang kita perlukan karena Tuhan
tidak pernah membedakan siapapun manusia, karena semua manusia adalah
ciptaan-Nya.
T : Apakah bapak melakukan toleransi beragama pada orang yang berbeda
agama dengan bapak?
J : Ya jelas, komunikasi yang bagus seperti saat ini suasana lebaran tetangga
saya orang Muslim mereka memberikan kue lebaran kepada saya, begitu
juga sebaliknya pada saat Natal saya memberikan kue kepada mereka dan
itu merupakan budaya yang sudah dijalankan dari dulu. Itulah komunikasi
yang nyata.
T : Menurut sepengetahuan bapak pernahkah terjadi konflik pada saat bulan
Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat?
J : Kalau pengamatan saya, di daerah sini belum pernah terjadi konflik di
bulan Ramadhan.
T : Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim
dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J : Karena adanya saling pengertian dan saling menghargai kepercayaan
siapapun orang itunya
T : Menurut bapak komunikasi apa yang terjadi antara masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim di bulan ramadhan?
J : Kerja sama yang bagus, contohnya saat di angkot kita tidak merokok di
depan orang berpuasa.
T : Di dalam kegiatan bulan Ramadhan, apakah masyarakat non-Muslim ikut
dilibatkan dalam acara di bulan Ramadhan?
J : Kegiatan secara konkritnya tidak ada, tetapi kita turut menjaga apabila
timbul keributan antara masyarakat. Kita peka terhadap itu dan kita
perhatikan semua warga kita, karena pada saat Natal masyarkat Muslim
turut menjaga keamanan di Gereja.
T : Bahasa apa yang digunakan ketika berintraksi dengan masyarakat
Muslim?
J : Kalau bertemu dengan orang bersuku Batak maka akan berbahasa Batak
dan bila bertemu dengan orang yang berbeda suku maka akan berbahasa
Indonesia.
T : Apakah bapak dan masyarakat non-Muslim lainnya pernah mendapatkan
perlakuan rasis dari masyarakat Muslim?
J : Saya rasa tidak pernah kita mendapatkan rasis dari masyarakat Muslim
karena disini aman-aman saja.
T : Bagaimana penilaian bapak terhadap toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada Muslim?
J : Bagus karena kita saling mendukung begitu juga sebaliknya Muslim kepada
masyarakat Katolik, karenakita intinya bersaudara.
T : Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh
masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J : Tidak pernah.
T : Apakah masyarakat non-Muslim disini menghargai masyarakat Muslim
yang melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan?
J : Saling menghargai.
T : Apakah masyarakat Muslim disini menggangu bapak dan masyarakat
Katolik dalam melakukan ibadah?
J : Tidak ada menggangu.
T : Apakah bapak membatasi pergaulan dengan masyarakat Muslim?
J : Tidak, kita sangat terbuka sangat kekeluargaan. Kalau ada pesta kita di
undang dan kalau kita yang pesta kita mengundang mereka.
Gambar 1. Saat wawancara dengan
Bapak Ramsion Barutu
Gambar 2. Saat Wawancara dengan
Pdt Anggiat Hutahuruk
Gambar 3. Saat wawancara dengan Bapak H. Maimun
Gambar 4. Saat Wawancara dengan Ustadz Suadji
Gambar 5. Foto dengan staf Kelurahan
Parapat saat ingin meminta data
kelurahan Parapat
Gambar 6. Saat Wawancara dengan Bapak Sumari
Gambar 7. Suasana Shalat Idul Fitri di kelurahan Parapat
Top Related