1
KINETIKA FERMENTASI DALAM
PRODUKSI MINUMAN VINEGAR
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun Oleh :
Nama : Poei, Laurensia Cindy
NIM : 11.70.0041
Kelompok : B2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2014
Acara I
1
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Kinetika Fermentasi Vinegar
Hasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produksi vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan kinetika fermentasi vinegar
Kel Perlakuan Waktu ∑ MO tiap petak Rata-rata/∑ MO tiap
petak Rata-rata/∑ tiap cc OD pH
Total
Asam 1 2 3 4
B1
Sari apel +
Saccharomyces
cereviceae
N0 19 14 18 12 15.75 6,3 x 104 0,1776 2,96 18,05
N24 21 20 21 35 24.25 9,7 x 104 -0,1453 3,11 20,16
N48 40 50 42 45 44 17,6 x 107 -0,2194 3,13 20,54
N72 70 60 40 63 58.25 23,3 x 107 -0,5796 3,20 17,09
N96 43 44 40 25 38 15,2 x 107 -0,3009 3,29 16,32
B2
Sari apel +
Saccharomyces
cereviceae
N0 42 44 45 43 43,5 1,74 x 108 0,1124 3,01 19,97
N24 62 60 64 68 63,5 2,54 x 108 -0,1453 3,09 20,16
N48 58 61 73 60 63 2,52 x 108 -0,2194 3,12 20,54
N72 68 65 70 75 69,5 2,78 x 108 -0,5796 3,13 20,74
N96 73 78 75 68 73,5 2,94 x 108 -0,1304 3,32 22,08
B3
Sari apel +
Saccharomyces
cereviceae
N0 23 26 24 27 25 1 x 108 0,2171 2,94 18,05
N24 21 33 44 54 38 15,2 x 107 0,0476 3,15 18,24
N48 60 54 66 67 61,75 24,7 x 107 -0,2155 3,19 18,62
N72 81 92 109 95 94,25 3,77 x 108 -0,5793 3,24 16,32
N96 132 138 130 133 133,25 5,33 x 108 0,2191 3,57 15,36
B4
Sari apel +
Saccharomyces
cereviceae
N0 62 49 44 47 50,5 2,02 x 108 0,1450 2,28 15,36
N24 67 60 55 62 61 2,44 x 108 0,0694 3,12 16,32
N48 89 64 63 62 69,5 2,78 x 108 -0,2179 3,12 18,24
N72 90 92 95 67 86 3,44 x 108 -0,3629 3,16 15,36
N96 100 88 114 84 96,5 3,86 x 108 0,0359 3,53 16,32
2
B5
Sari apel +
Saccharomyces
cereviceae
N0
0
0
0
0
0
0
0,3116
2,52
19,39
N24 38 40 38 32 37 1,48 x 108 -0,1453 3,12 19,58
N48 32 35 28 38 33,25 1,33 x 108 -0,0260 3,12 20,16
N72 68 58 71 92 72,25 2,89 x 108 0,2155 3,18 20,16
N96 50 60 71 70 62,75 2,51 x 108 0,0359 3,68 21,50
Dari Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa dalam produksi vinegar menggunakan bahan dan perlakuan yang sama untuk semua
kelompok yaitu sari apel malang yang ditambahkan dengan kultur Saccharomyces cereviceae. Dari tabel diatas dapat dilihat pula
hasil pengukuran biomassa sel mikroorganisme yang dilakukan dengan menggunakan haemocytometer selama 5 hari yaitu N0,
N24, N48, N72 dan N96 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah biomassa mikroorganisme yang terbentuk dari setiap kelompok
cenderung mengalami peningkatan setiap harinya mulai dari N0 hingga N96. Dari tabel diatas dapat dilihat pula bahwa sampel
apel malang yang diberi perlakuan tersebut diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 660 nm yang dilakukan setiap hari juga mulai dari N0 hingga N96. Dan dari hasil pengamatan, nilai OD yang
diperoleh untuk masing-masing kelompok bersifat fluktuatif yaitu mengalami peningkatan dan juga penurunan. Selain itu, untuk
pengukuran pH yang juga dilakukan selama 5 hari berturut-turut menunjukkan hasil bahwa untuk semua kelompok, nilai pH
yang diperoleh mengalami peningkatan selama pengukuran 5 hari. Dan untuk total asam, hasil yang diperoleh bersifat fluktuatif
pula yaitu mengalami peningkatan dan penurunan untuk semua kelompok.
1.2. Grafik Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu
Grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 1.
3
0
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
N0 N24 N48 N72 N96
Jum
lah
Se
l
Waktu
Hubungan Jumlah Sel VS Waktu
B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 1. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan Waktu
Berdasarkan dari Gambar 1 diatas, dapat diketahui hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan waktu. Untuk semua
kelompok mulai dari B1 hingga B5, rata-rata jumlah sel mikroorganisme yang terbentuk per cc cenderung mengalami
peningkatan seiring berjalannya waktu pengukuran mulai dari N0 hingga N96. Meskipun ada kelompok yang pada hari tertentu
rata-rata jumlah sel mikroorganisme yang ada menurun namun tidak terlalu signifikan.
1.3. Grafik Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Absorbansi
Grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan absorbansi dapat dilihat pada Gambar 2.
4
Gambar 2. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan Absorbansi
Berdasarkan dari Gambar 2 diatas, dapat diketahui hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan absorbansi. Untuk semua
kelompok mulai dari B1 hingga B5, hubungan yang dihasilkan antara jumlah sel dengan absorbansi menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan dikarenakan nilai OD yang dihasilkan tidak sebanding dengan rata-rata jumlah sel mikroorganisme yang
terbentuk.
1.4. Grafik Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH
Grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH dapat dilihat pada Gambar 3.
0
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8
Jum
lah
Se
l
OD
Hubungan Jumlah Sel dengan OD
B1
B2
B3
B4
B5
5
Gambar 3. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan pH
Berdasarkan dari Gambar 3 diatas, dapat diketahui hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan pH. Untuk semua
kelompok mulai dari B1 hingga B5, hubungan yang dihasilkan antara jumlah sel mikroorganisme dengan pH cenderung
menunjukkan hubungan yang sebanding dikarenakan peningkatan jumlah sel mikroorganisme yang terbentuk diikuti dengan
peningkatan nilai pH yang terukur. Meskipun ada kelompok yang menunjukkan hubungan yang tidak sebanding yaitu
peningkatan jumlah sel tidak diikuti pula dengan peningkatan nilai pH.
1.5. Grafik Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total Asam
Grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan total asam dapat dilihat pada Gambar 4.
0
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
0 1 2 3 4
Jum
lah
Se
l
pH
Hubungan Jumlah Sel dengan pH
B1
B2
B3
B4
B5
6
0
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
0 5 10 15 20 25
Jum
lah
Se
l
Total Asam
Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam
B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 4. Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam
Berdasarkan dari Gambar 4 diatas, dapat diketahui hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan total asam. Untuk semua
kelompok mulai dari B1 hingga B5, hubungan yang dihasilkan antara jumlah sel mikroorganisme dengan total asam cenderung
menunjukkan hubungan yang sebanding dikarenakan peningkatan jumlah sel mikroorganisme yang terbentuk diikuti dengan
peningkatan nilai total asam yang terukur. Meskipun ada kelompok yang menunjukkan hubungan yang tidak sebanding yaitu
peningkatan jumlah sel tidak diikuti pula dengan peningkatan nilai total asam.
1.6. Grafik Hubungan Absorbansi dengan Waktu
Grafik hubungan absorbansi dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 5.
7
-0.8000
-0.6000
-0.4000
-0.2000
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
N0 N24 N48 N72 N96
OD
Waktu
Hubungan OD dengan Waktu
B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 5. Grafik Hubungan Absorbansi dengan Waktu
Berdasarkan dari Gambar 5 diatas, dapat diketahui hubungan antara absorbansi dengan waktu. Untuk semua kelompok mulai
dari B1 hingga B5, hubungan yang dihasilkan adalah tidak sebanding antara nilai absorbansi dengan waktu dikarenakan seiring
berjalannya waktu pengukuran mulai dari N0 hingga N96 tidak diikuti dengan peningkatan nilai absorbansi dimana nilai
absorbansi yang dihasilkan bersifat fluktuatif yaitu mengalami peningkatan dan penurunan selama 5 hari pengukuran.
8
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan praktikum mengenai kinetika fermentasi
dalam proses pembuatan minuman vinegar. Menurut Utami et al (2009), kinetika dalam
proses fermentasi sangat penting diketahui dikarenakan melalui kinetika tersebut,
pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit oleh mikroba yang terlibat dapat
diketahui. Oleh karena itu, kinetika bisa dikatakan dasar dalam suatu proses fermentasi
yang perlu dipahami. Proses fermentasi yang dilakukan pada praktikum ini menggunakan
bahan yaitu sari apel malang yang diberi perlakuan dengan penambahan yeast
Saccharomyces cereviceae. Menurut Reed & Rehm (1983), jenis yeast Saccharomyces
cereviceae termasuk dalam baker’s yeast yaitu jenis yeast yang dapat diproduksi dalam
skala industri dan merupakan jenis yeast top-fermentative (yeast fermentasi permukaan).
Dalam proses fermentasi dengan menggunakan sari apel malang tersebut dapat
menghasilkan produk minuman yang disebut cider apel.
Menurut Winarno et al (1980), cider merupakan suatu jenis minuman yang dihasilkan
melalui proses fermentasi oleh yeast dengan menggunakan bahan dasar/ substrat yaitu sari
apel dengan atau tidak menambahkan gula. Menurut Ranganna (1978), cider memiliki
kandungan alkohol yang tidak terlalu tinggi. Menurut Damtew et al (2012) dalam jurnalnya
yang berjudul “Evaluation of Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiencyof Industrial
Yeast Strains”, dia menyatakan bahwa substrat yang digunakan dalam produksi minuman
beralkohol biasanya mengandung gula dan sumber energi yang tinggi yang dapat
mendukung pertumbuhan sel yeast dikarenakan kandungan gula tersebut akan difermentasi
oleh yeast menjadi karbondioksida dan alkohol (etanol). Oleh karena itu, yeast sering
digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol, pembentukan biomassa dan produk
metabolit lainnya. Menurut Herrero et al.(2006), dalam proses pembuatan cider dapat
terjadi proses yang kompleks dimana dua reaksi penting dapat terjadi yaitu penggunaan
gula (glukosa) oleh yeast yang dapat menghasilkan etanol dan karbondioksida dan reaksi
dekarboksilasi asam malat menjadi asam laktat dan karbondioksida oleh bakteri malolaktat.
9
Menurut Nogueria et al (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Effect of Biomass Reduction
on the Fermentation of Cider” menyatakan bahwa kecepatan fermentasi cider dapat
dikontrol dengan cara mengurangi jumlah biomassa sel yeast yang digunakan. Karena
dengan semakin banyak jumlah sel yang digunakan maka fermentasi akan berjalan cepat
dan produk metabolit pun cepat dihasilkan. Proses pembuatan cider apel diawali dengan
membuat media pertumbuhan bagi yeast yaitu sari apel malang. Sari apel malang dapat
diperoleh dengan cara mengambil sari dari buah apel malang dengan menggunakan juicer.
Selanjutnya, sari apel yang terbentuk dapat disebut sebagai media pertumbuhan/substrat
bagi yeast. Pertama-tama, media pertumbuhan yeast diambil sebanyak 250 ml dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya, sari apel tersebut dapat
dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit di waterbath lalu didinginkan pada suhu
ruang. Proses pasteurisasi ini dilakukan dengan tujuan yaitu dapat membunuh semua
mikrooganisme kontaminan yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi (Wang et al.,
2004). Berikut dibawah ini merupakan gambar proses pasteurisasi pada sari apel malang
(substrat) :
Gambar 6. Sterilisasi Media
Setelah dilakukan sterilisasi pada media, sebanyak 30 ml biakan yeast Saccharomyces
cereviceae dapat diambil secara akurat dengan menggunakan pipet ukur kemudian
dimasukkan ke dalam media pertumbuhan steril secara aseptis. Hal ini dilakukan dengan
tujuan agar biakan kultur murni tersebut tidak tercemar dengan mikroorganisme
kontaminan lainnya yang dapat menghambat kerja biakan murni selama proses fermentasi
berlangsung dan dapat pula menyebabkan kegagalan selama proses berlangsung. Untuk
memperoleh kondisi aseptis maka sebelum melakukan pemindahan kultur, tangan dan meja
perlu disterilisasi dengan alkohol selanjutnya selama pemindahan kultur dapat dilakukan
10
dekat dengan bunsen api untuk menjaga kesterilan/kemurnian biakan (Hadioetomo, 1993).
Berikut dibawah ini merupakan gambar pemindahan kultur ke media pertumbuhan secara
aseptis :
Gambar 7. Teknik Aseptis
Dalam praktikum ini, jenis yeast yang digunakan sebagai kultur adalah yeast
Saccharomyces cereviceae. Kultur yeast ini ditambahkan setelah media pertumbuhan
didinginkan pada suhu ruang. Hal ini bertujuan agar kultur yang ditambahkan tidak mati
akibat suhu tinggi pada media yang telah dipasteurisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
menurut Muljohardjo (1988). Hal ini juga sesuai dengan pendapat menurut Fardiaz (1992)
yang menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh pada kisaran suhu 20-
30°C. Kumalasari (2011) juga menyatakan hal yang sama bahwa Saccharomyces cerevisiae
dapat tumbuh optimal pada suhu yang berkisar antara 30-35°C dan dapat memproduksi
alkohol pada suhu 33°C. Jika suhu terlalu rendah, maka proses fermentasi berlangsung
sangat lambat. Sedangkan jika suhu terlalu tinggi maka Saccharomyces cerevisiae dapat
mati sehingga fermentasi tidak dapat berlangsung. Campelo & Isabel (2004) menyatakan
bahwa Saccharomyces cereviceae dapat bertumbuh maksimal dalam kondisi yang sangat
aerob. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi dengan menggunakan Saccharomyces
cereviceae adalah tekanan osmotik ,kandungan karbon dan nitrogen. Selain itu, Bhusan &
Joshi (2006) dalam jurnalnya yang berjudul ”Baker’s Yeast Production Under Fed Batch
Culture from Apple Pomace” juga menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang akan
mempengaruhi proses fermentasi dengan menggunakan baker’s yeast diantaranya adalah
11
tipe sumber karbon,konsentrasi sumber karbon, oksigen terlarut (saat proses agitasi dan
aerasi), pH dan suhu.
Selanjutnya, media yang telah berisi kultur yeast diinkubasi pada suhu ruang (25-300C)
selama 5 hari dengan perlakuan shaker atau penggoyangan. Menurut Said (1987), proses
inkubasi yang dilakukan dengan perlakuan shaker ini bertujuan untuk dapat menyuplai
oksigen bagi media pertumbuhan dan sumber karbon untuk membantu pertumbuhan yeast
secara aerobik. Sehingga, dapat dikatakan bahwa shaker inkubator memiliki fungsi sebagai
aerasi dan agitasi. Dengan adanya gerakan berputar (shaker) maka akan menyebabkan
media bergolak sehingga dapat terjadi aerasi. Selama inkubasi ini, Erlenmeyer harus dalam
keadaan tertutup dengan tujuan agar dapat mencegah kontaminasi dan mencegah udara luar
masuk ke dalam Erlenmeyer. Penutup yang digunakan dapat menggunakan kapas, busa,
aluminium foil atau bahan lainnya yang dapat menjaga kesterilan media (Rahman, 1992).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ahmad et al., (2011) bahwa aerasi merupakan salah
satu faktor penting selama proses fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae
meskipun yeast ini dapat tumbuh pula dalam kondisi anaerobik. Berikut dibawah ini
merupakan gambar inkubasi media dengan perlakuan shaker :
Gambar 8. Inkubasi Media + Shaker
Selanjutnya, setiap 24 jam dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 ml dan dimasukkan
ke dalam beaker glass untuk menghitung jumlah sel yeast dengan menggunakan
haemacytometer, analisa total asam yang terbentuk dengan metode titrasi, pengukuran nilai
12
pH dengan pH-meter dan pengukuran absorbansi (optical density) dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 660 nm.
Pada pengukuran biomassa, pertama-tama, sampel diambil dengan menggunakan pipet
tetes lalu sampel diteteskan diatas plat haemacytometer dan diletakkan dibawah mikroskop
lalu diamati. Hal ini dilakukan untuk menguji tingkat kepadatan Saccharomyces cereviceae
dalam 5 hari (N0, N24, N48, N72 dan N96). Menurut Hadioetomo (1993), haemocytometer
ialah suatu ruang hitung yang berbentuk petak – petak kecil yang biasa digunakan untuk
menghitung jumlah sel di bawah mikroskop. Chen & Chiang (2011) juga menyatakan
bahwa haemocytometer ialah alat yang digunakan untuk menghitung konsentrasi sel yang
rendah dengan cepat. Pada haemocytometer, terdapat beberapa ruang dengan batas garis-
garis yang dapat dilihat dibawah mikroskop. Dalam satu ruang terdapat sembilan kotak
kecil yang berukuran 1 mm persegi. Dalam 1 haemocytometer terdapat 4 ruangan dimana
jarak antar ruangan berkisar 0,1 mm. Dibawah ini merupakan gambar salah satu ruang yang
ada pada haemocytometer yang ditandai dengan huruf N :
Gambar 9. Ruang pada Haemocytometer
Menurut Atlas (1984), dalam pengukuran biomassa sel menggunakan alat haemocytometer,
sampel diambil dengan menggunakan pipet tetes kemudian diteteskan di atas plat
haemocytometer lalu ditutup dengan penutup kaca tipis dan diletakkan dibawah mikroskop
untuk dapat dihitung jumlah biomassa sel nya. Menurut Chen & Chiang (2011),
penghitungan jumlah sel hanya dilakukan pada sel-sel yang terletak didalam kotak yang
dibatasi dengan tiga garis lurus untuk masing-masing sisinya. Dibawah ini merupakan foto
13
dokumentasi penetesan sampel ke plat haemocytometer dan penghitungan jumlah biomassa
sel dengan menggunakan haemocytometer selama 5 hari berturut-turut :
Gambar 10. Penetesan Sampel
Gambar 11. Jumlah Biomassa Sel selama 5 hari dengan Haemocytometer
Selanjutnya untuk analisa total asam dilakukan dengan menggunakan metode titrasi.
Pertama, sampel sebanyak 10 ml diambil dan ditetesi dengan 3 tetes indikator PP.
Penggunaan PP sebagai indikator dalam praktikum ini telah sesuai dengan teori menurut
Chang (1991) yang mengatakan bahwa penggunaan PP sebagai indikator disesuaikan
dengan penggunaan NaOH sebagai titran dimana NaOH bersifat basa. Ketika indikator PP
bereaksi dengan basa maka akan menghasilkan warna merah muda. Dan indikator PP tidak
akan berwarna ketika berada dalam larutan netral ataupun asam. Setelah itu, dilakukan
titrasi sampel dengan menggunakan NaOH 0,1N. Penggunaan NaOH sebagai titran telah
sesuai dengan teori menurut Petrucci & Suminar (1987) dimana dalam titrasi biasanya
14
menggunakan larutan asam kuat atau basa kuat. Titrasi dihentikan apabila sampel telah
berubah warna menjadi berwarna merah muda. Selanjutnya, jumlah NaOH yang
dibutuhkan untuk titrasi dicatat dan digunakan dalam perhitungan total asam. Penentuan
kadar total asam dihitung dengan menggunakan rumus :
Berikut dibawah ini merupakan gambar hasil titrasi sampel cider apel :
Gambar 12. Hasil Titrasi Cider Apel
Selanjutnya, untuk pengukuran pH, sampel sebanyak 10 ml diambil lalu diukur pH-nya
dengan menggunakna pH meter dan pH yang terukur dapat dicatat. Sedangkan untuk
pengukuran kepadatan sel dilakukan dengan metode absorbansi dengan spektrofotometer.
Pertama, sampel sebanyak 10 ml diambil lalu dilakukan pengamatan OD dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Panjang gelombang yang digunakan
dalam praktikum ini telah sesuai dengan teori menurut Sevda & Rodrigues (2011) dalam
jurnalnya yang berjudul “Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava
(Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production.”
Beliau menyatakan bahwa dalam pengukuran nilai absorbansi (optical density) untuk jenis
yeast Saccharomyces cereviceae dapat dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 660 nm. Hasil absorbansi yang diperoleh dapat dicatat. Pengukuran pH dan OD
ini juga dilakukan selama 5 hari berturut-turut.
15
2.1. Hubungan Jumlah Sel dengan Waktu
Berdasarkan dari hasil pengamatan, dapat diketahui hubungan antara jumlah sel
mikroorganisme dengan waktu. Untuk semua kelompok mulai dari B1 hingga B5, rata-rata
jumlah sel mikroorganisme yang terbentuk per cc cenderung mengalami peningkatan
seiring berjalannya waktu pengukuran mulai dari N0 hingga N96. Meskipun ada kelompok
yang pada hari tertentu rata-rata jumlah sel mikroorganisme yang ada menurun namun tidak
terlalu signifikan. Berdasarkan dari hasil di atas, dapat dilihat bahwa selama waktu 5 hari,
yeast yang ada dalam cider apel berada dalam fase log dimana diketahui pertumbuhan yeast
cenderung meningkat sehingga pada hari terakhir pengamatan diperoleh biomassa sel yeast
dengan jumlah semakin banyak jika dibandingkan dengan jumlah sel yeast pada hari
pertama.
Menurut Fardiaz (1992), pada waktu awal inkubasi, mikroba melalui fase lag dimana
mikroba melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Selanjutnya, mikroba akan memasuki
fase log dimana terjadi pertumbuhan mikroba yang cepat sehingga jumlah mikroba akan
bertambah banyak dan pesat. Dari hasil pengamatan, semua kelompok menunjukkan hasil
yang sama yaitu terjadi peningkatan jumlah sel yeast dan hal ini telah sesuai dengan teori
yang ada. Selanjutnya, mikroba yang diinkubasi tersebut akan mengalami fase stasioner
dimana pada fase ini, pertumbuhan mikroba akan lambat dan peningkatan jumlah mikroba
yang terjadi tidak signifikan. Menurut Triwahyuni et al (2012), selama proses fermentasi
maka sel yeast akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat pada masa inkubasi 24-48
jam. Setelah waktu inkubasi melebihi 48 jam, sel yeast mulai memasuki fase stasioner
dikarenakan sumber media yang digunakan untuk tumbuh sudah semakin terbatas
jumlahnya karena telah digunakan dalam jumlah yang banyak pada fase log. Setelah fase
stasioner, sel mikroba akan memasuki fase kematian dimana yeast dalam proses fermentasi
akan berhenti bertambah banyak dikarenakan media sudah habis. Sari et al. (2008) juga
mengatakan bahwa proses fermentasi yang dilakukan lebih dari 3 hari dapat mengurangi
kadar alkohol dimana hal ini ditandai dengan penurunan jumlah sel yeast. Dari hasil
pengamatan yang dilakukan, untuk kelompok B2,B3 dan B4 mengalami peningkatan
16
jumlah sel hingga akhir waktu inkubasi. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada dimana
seharusnya jumlah sel yeast akan semakin menurun karena sudah memasuki fase kematian.
Hal ini tidak berlaku bagi kelompok B1 dan B5 dikarenakan jumlah sel yeast pada akhir
inkubasi mengalami penurunan dan hal ini telah sesuai dengan teori yang ada.
Ketidaksesuaian yang terjadi pada kelompok B2, B3 dan B4 mungkin dikarenakan
ketidaktelitian praktikan dalam menghitung jumlah mikroba yang terdapat pada plat
sehingga mungkin saja jenis mikroba yang lain juga terhitung sebagai 1 sel yeast. Atlas
(1984) juga menambahkan bahwa penghitungan jumlah sel dengan menggunakan plat
Haemocytometer akan dipengaruhi oleh pencampuran sampel dimana harus tanpa
gelembung, jumlah yang dihitung, serta jumlah sel yang dihitung (200-500/0,1 mm3).
Menurut Sener et al (2007), proses fermentasi akan berlangsung dengan baik jika dilakukan
pada suhu ruang yaitu sekitar 250C. Jika suhu terlalu rendah maka pertumbuhan sel yeast
dapat terhambat sehingga produksi etanol juga lambat. Sedangkan jika suhu inkubasi terlalu
tinggi maka kerja enzim akan terganggu dan akan menghambat berlangsungnya proses
fermentasi. Dan praktikan telah melakukan praktikum dengan benar dan sesuai dengan teori
dikarenakan inkubasi cider apel ini dilakukan pada suhu ruang yaitu sekitar 25-300C.
2.2. Hubungan Jumlah Sel dengan Absorbansi (OD)
Dalam praktikum ini, pengukuran kepadatan sel juga dilakukkan dengan menggunakan
spektrofotometer. Menurut Rahman (1992), prinsip kerja spektrofotometer adalah jika
sebuah cahaya jatuh pada medium yang homogen, maka sebagian sinar yang masuk
tersebut akan dipantulkan dengan sudut yang berbeda, dan ada sebagian lainnya lagi yang
diserap oleh medium tersebut dan sisanya lagi akan diteruskan. Nilai yang diperoleh
melalui pengukuran tersebut adalah nilai yang tidak diserap maupun yang tidak dipantulkan
oleh medium, dan nilai tersebut dapat disebut pula nilai absorbansi atau Optical
Density (OD). Wilford (1987) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
nilai absorbansi diantaranya adalah konsentrasi, tebal media/cuvet, intensitas penyinaran,
17
suhu, dan panjang gelombang. Semakin besar nilai konsentrasi maka akan semakin besar
pula nilai absorbansinya yang dihasilkan.
Dalam pengujian absorbansi, jumlah sel yang ada dalam suatu suspense ditunjukkan
dengan kekeruhan pada larutan. Semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme dalam larutan
suspense , maka larutan akan berwarna semakin keruh sehingga nilai Optical Density (OD)
yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini telah sesuai dengan teori Hadioetomo (1993)
yang menyatakan bahwa tingkat kekeruhan yang semakin tinggi pada larutan akan
menunjukkan semakin banyaknya mikroorganisme yang tumbuh. Hal tersebut juga
didukung oleh Anagnostopoulos et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul “Effect of
Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells”. Beliau
mengatakan bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme/cc maka tingkat
kekeruhannya akan semkain tinggi.
Berdasarkan dari hasil pengamatan, dapat diketahui hubungan antara jumlah sel
mikroorganisme dengan absorbansi. Untuk semua kelompok mulai dari B1 hingga B5,
hubungan yang dihasilkan antara jumlah sel dengan absorbansi menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan dikarenakan nilai OD yang dihasilkan tidak sebanding dengan rata-
rata jumlah sel mikroorganisme yang terbentuk. Jomdecha & Prateepasen (2006)
menyatakan bahwa semakin lama waktu inkubasi selama fermentasi berlangsung maka
jumlah sel yeast akan semakin banyak dan pada titik tertentu akan menurun dikarenakan sel
yeast akan memasuki fase stasioner dan fase kematian. Ketika jumlah sel yeast semakin
banyak, maka nilai absorbansi yang dihasilkan juga semakin tinggi karena kekeruhan
sampel meningkat. Ketika jumlah sel yeast menurun maka nilai absorbansi yang dihasilkan
juga mengalami penurunan. Namun, berdasarkan dari hasil pengamatan menunjukkan
bahwa semakin banyak jumlah sel yeast, nilai absorbansi yang dihasilkan semakin kecil.
Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Seharusnya, nilai absorbansi mulai mengalami
penurunan ketika sel yeast juga mengalami penurunan jumlah. Ketidaksesuaian hasil
dengan teori yang ada ini mungkin dikarenakan tidak adanya pengadukan terlebih dahulu
terhadap sampel yang akan diuji misalnya seperti vortex. Hal ini bisa mengakibatkan sel
18
yeast mengendap di bagian bawah gelas dan tidak ikut terukur ketika sampel dituangkan ke
dalam cuvet. Sehingga, hasil absorbansi yang terbaca bernilai kecil dikarenakan banyak sel
yeast yang tertinggal di dasar gelas beker dan tidak ikut terukur dalam cuvet. Selain itu,
ketidaksesuaian ini mungkin dikarenakan ketidaktepatan praktikan dalam melakukan
pengujian dengan spektrofotometer, kondisi lingkungan seperti cahaya yang juga
berpengaruh terhadap hasil pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer. Nilai
absorbansi yang bernilai negative mungkin dikarenakan kesalahan dalam melakukan
prosedur pengujian. Pomeranz & Meloan (1994) menyatakan bahwa kesalahan dalam
penggunaan spektrofotometer bisa dikarenakan kuvet kotor atau tergores, ukuran kuvet
tidak seragam, penempatan kuvet tidak tepat, adanya gelembung gas dalam larutan sampel,
atau karena ketidaksesuaian penyiapan larutan blanko.
2.3. Hubungan Jumlah Sel dengan pH
Berdasarkan dari hasil pengamatan dapat diketahui hubungan antara jumlah sel
mikroorganisme dengan pH. Untuk semua kelompok mulai dari B1 hingga B5, hubungan
yang dihasilkan antara jumlah sel mikroorganisme dengan pH cenderung menunjukkan
hubungan yang sebanding dikarenakan peningkatan jumlah sel mikroorganisme yang
terbentuk diikuti dengan peningkatan nilai pH yang terukur. Meskipun ada kelompok yang
menunjukkan hubungan yang tidak sebanding yaitu peningkatan jumlah sel tidak diikuti
pula dengan peningkatan nilai pH.
Menurut Yalcin & Ozbas (2008), tingkat keasaman juga mempengaruhi proses fermentasi
yang berlangsung. Ketika pH tinggi dapat menurunkan laju produksi biomassa sel yeast
dikarenakan sel yeast dapat tumbuh optimum ketika pH 4. Produksi alkohol selama proses
fermentasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungan selama proses fermentasi, pH, suhu
inkubasi, konsentrasi substrat, laju aerasi dan sumber nitrogen.
Menurut Triwahyuni et al (2012), selama proses fermentasi berlangsung maka akan terjadi
peningkatan jumlah sel yeast hingga pada waktu tertentu sebelum sel yeast mati. Ketika
19
jumlah sel yeast meningkat menunjukkan bahwa produksi etanol (alkohol) juga meningkat.
Hal ini akan diikuti dengan penurunan nilai pH karena alkohol bersifat asam. Hasil
praktikum yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang ada karena peningkatan jumlah sel
yeast diikuti peningkatan nilai pH. Seharusnya, semakin lama waktu fermentasi maka
jumlah sel yeast akan meningkat dan produksi etanol semakin banyak sehingga pH yang
dihasilkan semakin menurun (semakin bersifat asam). Hal ini didukung pula oleh Azizah
(2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar
Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan
Substrat Kulit Nanas”. Azizah (2012) mengatakan bahwa Saccharomyces cereviceae
merupakan yeast yang bersifat homofermentatif, sehingga proses fermentasi dengan yeast
tersebut dapat menghasilkan alkohol dimana bersifat asam. Dengan begitu, ketika waktu
fermentasi diperpanjang maka alkohol yang terbentuk akan semakin banyak juga. Dengan
semakin banyaknya alkohol yang terbentuk maka menyebabkan pH menjadi semakin
rendah (menurun). Selain itu, selama proses fermentasi juga akan menghasilkan CO2
dimana Kartohardjono et al (2007) menyatakan bahwa gas CO2 merupakan jenis gas asam
(acid whey). Sehingga, gas CO2 yang dihasilkan oleh sel yeast selama proses fermentasi
tersebut juga berpengaruh terhadap nilai pH yang dihasilkan dimana semakin banyak gas
yang dihasilkan maka nilai pH semakin menurun karena kondisi yang semakin asam.
2.4. Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam
Berdasarkan dari hasil pengamatan dapat diketahui hubungan antara jumlah sel
mikroorganisme dengan total asam. Untuk semua kelompok mulai dari B1 hingga B5,
hubungan yang dihasilkan antara jumlah sel mikroorganisme dengan total asam cenderung
menunjukkan hubungan yang sebanding dikarenakan peningkatan jumlah sel
mikroorganisme yang terbentuk diikuti dengan peningkatan nilai total asam yang terukur.
Meskipun ada kelompok yang menunjukkan hubungan yang tidak sebanding yaitu
peningkatan jumlah sel tidak diikuti pula dengan peningkatan nilai total asam. Hal tersebut
telah sesuai dengan pendapat menurut Sreeramulu et al (2000) yang menyatakan bahwa
dengan semakin lamanya waktu fermentasi maka akan menyebabkan peningkatan jumlah
20
sel yeast hingga pada suatu titik tertentu dimana dengan ketika jumlah sel yeast semakin
banyak maka yeast tersebut akan melakukan aktivitas metabolisme terhadap gula pada
substrat untuk diubah menjadi sejumlah asam organik. Dengan pembentukan asam organic
tersebut maka nilai pH yang dihasilkan akan semakin rendah dikarenakan asam organic
tersebut bersifat asam. Asam organic tersebut dapat bersifat asam karena akan melepaskan
proton (H+). Dengan begitu, semakin lama waktu fermentasi, jumlah sel yeast yang
menghasilkan asam organic akan meningkat pula sehingga total asam bertambah banyak
dan nilai pH semakin menurun. Namun untuk kelompok yang peningkatan sel tidak diikuti
dengan penambahan total asam mungkin dikarenakan terjadi kesalahan ketika pengukuran
pH dengan alat pH-meter yang tidak teliti. Hal lain juga dapat dikarenakan perbedaan
persepsi antar praktikan dalam menentukan titik akhir titrasi sehingga dengan begitu hasil
yang diperoleh akan berpengaruh pada perhitungan total asam. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan menurut Girindra (1986) yang menyatakan bahwa ketika melakukan titrasi
sebaiknya bagian bawah Erlenmeyer dialasi dengan kertas putih sehingga ketika terjadi
perubahan warna pada larutan sampel bisa terlihat dengan jelas dan dapat menentukan titik
akhir titrasi.
2.5. Hubungan Absorbansi dengan Waktu
Menurut Rahman (1992), aktivitas yeast selama proses fermentasi dapat mengubah gula
yang terkandung dalam substrat menjadi alkohol dan beberapa hasil metabolit lainnya.
Dengan produksi berbagai macam metabolit tersebut maka dapat menyebababkan warna
dari sampel menjadi bertambah keruh. Dengan semakin keruhnya sampel maka akan
semakin kecil nilai %T. %T ialah rasio antara intensitas yang diteruskan dengan intensitas
cahaya mula-mula. Semakin keruh suspense maka nilai absorbansi yang terukur akan
semakin tinggi.
Berdasarkan dari hasil pengamatan dapat diketahui hubungan antara absorbansi dengan
waktu. Untuk semua kelompok mulai dari B1 hingga B5, hubungan yang dihasilkan adalah
tidak sebanding antara nilai absorbansi dengan waktu dikarenakan seiring berjalannya
21
waktu pengukuran mulai dari N0 hingga N96 tidak diikuti dengan peningkatan nilai
absorbansi dimana nilai absorbansi yang dihasilkan bersifat fluktuatif yaitu mengalami
peningkatan dan penurunan selama 5 hari pengukuran. Hal tersebut tidak sesuai dengan
teori yang ada menurut Jomdecha & Prateepasen (2006) dimana semakin lama waktu
fermentasi yang berlangsung maka nilai absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi
dikarenakan jumlah sel yeast yang tumbuh selama fermentasi tersebut semakin banyak
jumlahnya. Dengan semakin banyaknya jumlah sel seiring berjalannya waktu fermentasi
maka kekeruhan larutan akan semakin tinggi dan akan menghasilkan nilai absorbansi yang
tinggi ketika diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Hal ini sama halnya dengan
hubungan antara jumlah sel dengan absorbansi. Adanya ketidaksesuaian hasil praktikum
dengan teori yang ada ini dikarenakan ketidaktepatan praktikan dalam melakukan
pengujian dengan spektrofotometer, kondisi lingkungan seperti cahaya yang juga
berpengaruh terhadap hasil pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer. Nilai
absorbansi yang bernilai negative dikarenakan kesalahan dalam melakukan prosedur
pengujian.
22
3. KESIMPULAN
Fermentasi merupakan proses penguraian substrat gula menjadi alkohol dan karbon
dioksida oleh aktivitas mikroorganisme seperti yeast.
Dalam praktikum ini, bahan yang digunakan adalah cider apel dari sari apel malang
yang diberi perlakuan penambahan yeast.
Yeast yang digunakan adalah jenis yeast Saccharomyces cereviceae.
Pengukuran jumlah biomassa sel yeast yang terbentuk selama fermentasi dapat dihitung
dengan menggunakan alat Haemocytometer.
Pengukuran jumlah total asam yang terbentuk dilakukan dengan metode titrasi dengan
titran NaOH 0,1 N.
Pengukuran OD dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm.
Pengukuran nilai pH dilakukan dengan pH-meter.
Inkubasi selama fermentasi berlangsung dilakukan selama 5 hari pada suhu ruang.
Inkubasi dilakukan dengan penambahan perlakuan penggoyangan (shaker).
Tujuan dilakukan penggoyangan selama inkubasi adalah untuk agitasi dan aerasi
sehingga supplai oksigen meningkat dan dapat memicu pertumbuhan sel yeast menjadi
semakin cepat.
Inkubasi pada suhu ruang dilakukan karena suhu ruang merupakan suhu optimum bagi
yeast untuk dapat bertumbuh cepat.
Selama inkubasi, pertumbuhan sel yeast mengikuti fase pertumbuhan sel mikroba yaitu
fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian.
Semakin banyak jumlah sel yeast maka semakin keruh larutan sehingga nilai OD yang
dihasilkan semakin tinggi.
Semakin lama fermentasi, jumlah sel yeast meningkat kemudian pada titik tertentu
menurun karena mengikuti fase pertumbuhan seperti fase stasioner dan fase kematian.
Semakin banyak jumlah sel yeast maka nilai pH yang terukur semakin rendah karena
pembentukan alkohol meningkat.
23
Semakin banyak jumlah sel yeast maka pembentukan metabolit selain alkohol seperti
gas karbondioksida meningkat sehingga menurunkan nilai pH.
Semakin lama fermentasi dan semakin banyak jumlah sel yeast maka total asam yang
terukur semakin meningkat karena adanya peningkatan penguraian gula menjadi asam-
asam organic.
Semakin banyak jumlah sel yeast maka alkohol yang terbentuk semakin meningkat.
Semarang, 1 Juni 2014 Asisten dosen
Poei, Laurensia Cindy S Andriani Cintya
11.70.0041
24
4. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, et al. (2011). Study of Growth Kinetic and Modeling of Ethanol Production by
Saccharomyces cerevisae. African Journal of Biotechnology Vol. 16(81), pp. 18842-
18846.
Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard
Publishing Company. New York.
Azizah, N.; Al-Baarri, N. dan Mulyani, S. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap
Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey
dengan Substrat Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1 (2): 72-77.
Bhushan, S. and Joshi, V.K. 2006. Baker’s Yeast Production under Fed Batch Culture
from Apple Pomace. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol 65, pp 72-76.
Campelo, A.F. and Isabel, B. 2004. Fermentative Capacity of Baker’s Yeast Exposed to
Hyperbaric Stress.
Chang, R. 1991. Chemistry. MC Graw Hill. USA.
Chen, Yu-Wei and Chiang, Pei-Ju. (2011). Automatic Cell Counting for
Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science,
Engineering and Technology.
Damtew, W.; S.A. Emire & A.B. Aber. 2012. Evaluation of Growth Kinetics and
Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains. Archives of Applied Science
Research. 2012. 4 (5):1938 -1948.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Girindra, A. 1986. Biokimia 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hadioetomo, R. S. (1993). Mikobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Herrero, Monica; Garcia, Luis A.; and Diaz, Mario. (2006). Volatile Compounds in
Cider : Inoculation Time and Fermentation Temperature Effects. Journal of the
Institute of Brewing. The Institute of Brewing & Distilling.
25
Jomdecha, C. & Prateepasen, A. 2006. The Research of Low Ultrasonic Energy Affects
to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia Pacific Conference on NDT, 5th
-10th
Nov 2006, Auckland, New Zealand.
Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi; dan Yuliusman. 2007. Absorbsi CO2 dari
campurannya dengan CH4 atau N2 melalui kontaktor membran serat berongga
menggunakan pelarut air. Jurnal Teknologi 11 (2): 97-102.
Kumalasari, I. J. (2011). Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi terhadap Kadar Etanol Hasil
Fermentasi Kulit dan Bonggol Nanas (Ananas sativus). Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Semarang, Semarang.
Muljohardjo, M. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan Edisi Ketiga. Penerbit
Universitas Indonessia Press. Jakarta.
Nogueira, A.; Caroline Mongruel; Deise R.S.; Nina W. & Gilvan Wosiacki. 2007. Effect
of Biomass Reduction on the Fermentation of Cider. Brazilan Archives of Biology
and Technology. Brazil.
Petrucci, R.H. dan Suminar. 1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi
Keempat Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Pomeranz Y, Meloan CE. 1994. Food Analysis Theory and Practice 3rd
ed. New York:
Chapman and Hall.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.
Ranganna. 1978. Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc
Reed, G. dan H. J. Rehm.1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology.
AVI PublishingCompany Inc.Wstport, Connecticut.
Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama
Sarana Perkasa. Jakarta.
Sari, I. M., Noverita dan Yulneriwarni. (2008). Pemanfaatan Jerami padi dan alang-
alang dalam fermentasi etanol menggunakan kapang Trichoderma viride dan khamir
Saccharomycess cerevisiae. VisVitalis.5(2): 55-62.
26
Sener, A.; Ahmet C. & M. Umit U. (2007). The Effect of Fermentation Temperature on
the Growth Kinetics of Wine Yeast Species. Turkey Journal Agricultural for 31
(2007) 349-354.
Sevda, S. and Rodrigues, L. 2011. Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains
During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava
Wine Production. Journal Food Process Technology 2:4.
Sreeramulu, G.; Zhu, Y.; and Knol, W. 2000. Kombucha Fermentation and It’s
Antimicrobial Activity. Journal Agriculture Food Chemistry. 886 (2000) 65–73.
Triwahyuni,E.; N. Ariani; H. Hendarsyah; T. idiyanti. 2012. The effect of dry yeast
Saccharomyces cereviceae concentration on Fermentation Process For Bioethanol
Production From Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31-34.
Utami, R.; Andriani, M.A.M.; dan Putri, Z.A. 2009. Kinetika Fermentasi Yoghurt Yang
Diperkaya Ubi Jalar (Ipomea Batatas). fp.uns.ac.id/jurnal/caraka%20XXV_1-51-
55.pdf
Wang, D.;Y. Xu; J. Hu; & G. Zhao. (2004). Fermentation Kinetics of Different Sugars
by Apple Wine Yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing
vol.110(4), 2004, 340–346p.
Wilford, L. (1987). Chemistry For First Examinations. Blackie. London.
Winarno, F.G ; S. Fardiaz & D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pertanian. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yalcin dan Ozbas. 2008. Effects Of Ph and Temperature On Growth and Glycerol
Production Kinetics Of Two Indigenous Wine Strains Of Saccharomyces cerevisiae
From Turkey. Brazilian journal of microbiology. 39 : 325-332.
27
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan Kelompok B2
Rumus Rata-rata / ∑ tiap cc :
3
N0 →
43,5
1,74 x 108
N24 →
63,5
2,54 x 108
N48 →
63
2,52 x 108
N72 →
69,5
2,78 x 108
N96 →
73,5
2,94 x 108
28
Total asam = sampel ml 10
192x NaOH Normalitasx NaOH ml
N0 → Total asam = sampel ml 10
192x NaOH Normalitasx NaOH ml
ml 10
192x 0,1x ml 10,4
= 19,97 mg/ml
N24 → Total asam = sampel ml 10
192x NaOH Normalitasx NaOH ml
ml 10
192x 0,1x ml 10,5
= 20,16 mg/ml
N48 → Total asam = sampel ml 10
192x NaOH Normalitasx NaOH ml
ml 10
192x 0,1x ml 10,7
= 20,54 mg/ml
N72 → Total asam = sampel ml 10
192x NaOH Normalitasx NaOH ml
ml 10
192x 0,1x ml 10,8
= 20,74 mg/ml
N96 → Total asam = sampel ml 10
192x NaOH Normalitasx NaOH ml
ml 10
192x 0,1x ml 11,5
= 22,08 mg/ml
Top Related