44
BAB V
KAWASAN KONSERVASI LAUT
5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat
Kabupaten Raja Ampat yang berada di wilayah barat Pulau Papua memiliki
potensi sumberdaya laut yang luar biasa. Keindahan alam dan potensi sumberdaya
alam yang melimpah mendukung kabupaten ini menjadi salah satu jantung potensi
terumbu karang dunia dalam kawasan coral triangle. Luas area kabupaten ini
kurang lebih 9,8 juta ha yang terdiri dari darat dan lautan (termasuk sebagian teluk
cenderawasih) sehingga menjadikannya sebagai taman laut terbesar di Indonesia
(Coremap II 2009). Keindahan bawah laut yang dimiliki kabupaten ini mendorong
minat para wisatawan khususnya wisatawan asing untuk menyelam dan melihat
keindahan tersebut. Kepulauan yang menjadi tujuan para wisatawan khususnya
para penyelam terdiri dari 1800 pulau dan 105 kampung (Coremap II 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh tim ahli dari Conservation Internasional
(CI), The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Oseanografi Nasional
(LON), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diadakan pada Tahun
2001-2002 mencatat bahwa terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75 persen
dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska
(Coremap II Raja Ampat 2009 dan Pemda Raja Ampat 2006). Selain itu Raja
Ampat juga kaya akan padang lamun, hutan mangrove yang tersebar disetiap
pinggir pantai, dan pantai tebing berbatu yang menjadi salah satu objek wisata
bagi para wisatawan baik asing maupun lokal.
Wilayah geografis Kabupaten Raja Ampat yang didominasi oleh laut dan
pulau ( 1800 pulau) mengakibatkan bentuk dan tipe habitat pesisirnya memiliki
karakteristik yang khas, unik, dan sangat beragam. Gambaran umum sebaran dan
tipe habitat ekosistem pesisir di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi terumbu
karang, ikan karang, hutan mangrove, padang lamun, hutan rawa, dan bahan
galian tambang dapat diuraikan sebagai berikut5 :
5 Dikumpulkan dari berbagai data sekunder yang didapatkan peneliti selama dilapangan dari
beberapa instansi Pemerintah dan Coremap
45
5.1.1 Terumbu Karang
Terumbu karang adalah ekosistem khas yang dimiliki daerah tropis dan
memiliki arti penting dari segi sosial ekonomi masyarakat pesisir Indonesia yang
menggantungkan hidupnya dari perikanan. Terumbu karang memiliki berbagai
fungsi diantaranya adalah sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut,
tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah
asuhan, dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya, atau menurut istilah yang
sering digunakan oleh Coremap Raja Ampat adalah tempat ikan berkembang biak
atau tempat tabungan ikan.
Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat terbentang di paparan
dangkal dan hampir di semua pulau-pulau. Terdapat empat tipe terumbu karang di
daerah ini yaitu berupa karang tepi (fringing reef), dengan kemiringan yang cukup
curam, karang kanang cincin (otol), terumbu penghalang (barrier reef), dan taka
dan gosong (patch reel). Semua tipe karang tersebut tersebar di semua daerah
Raja Ampat, mulai dari daerah rataan terumbu sampai daerah tubir.
Berdasarkan hasil penelitian dalam kegiatan Marine RAP (Rapid Assesment
Program) yang dilakukan oleh CI (Conservation International) dan kegiatan REA
(Rapid Ecological Assesment) oleh TNC dan WWF, menyatakan bahwa
keanekaragaman hayati terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat luar biasa dan
umumnya dalam kondisi fisik yang baik (Persentase tutupan karang 51-75
persen). Hasil tersebut menunjukkan terdapat 37 jenis karang keras (CI, TNC-
WWF), sembilan diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemic. Jumlah ini
merupakan 75 persen dari jumlah karang di dunia. Tercatat pula sebanyak 537
spesies karang batu, mewakili 76 genus, dan 19 famili6.
Keanekaragaman terumbu karang jika dilihat dari hadirnya spesies tertentu
pada lokasi penelitian yang telah dilakukan oleh TNC dan WWF, maka ada 10
lokasi yang memiliki kekayaan spesies tinggi. Kekayaan tertinggi ditemukan di
sebelah utara Pulau Djam dengan jumlah 182 spesies, diikuti Teluk Wambong
dengan jumlah 174 spesies. Kesepuluh lokasi yang memiliki jumlah spesies
tertinggi tersaji pada tabel 11.
6 Hasil penelitian The Concervancy National bersama WWF pada tahun 2001-2002, dalam Atlas
Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat, 2006
46
Tabel 9. Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di Kabupaten Raja
Ampat
No. Lokasi Total spesies
1. Sebelah utara Pulau Djam; Misool 182
2. Teluk Wambong; Kofiau 174
3. Tanjung Sool; Kofiau 173
4. Jef Bi; Misool 169
5. Sebelah Selatan Walo; Kofiau 169
6. Los; Misool 168
7. Mesemta; Misool 164
8. Sebelah selatan Pulau Ouoy 163
9. Teluk Fofak; Waigeo 163
10. Selatan Pulau Tiga; Misool 161
Sumber: TNC- WWF (2003) dalam Pemda (2006)
Tabel 9 menunjukkan 10 lokasi yang memiliki terumbu karang terbaik, dan
semua tersebar di empat pulau besar Kabupaten Raja Ampat. Lokasi terbaik
pertama yang memiliki terumbu karang tertinggi adalah wilayah Misool, tetapi
perbedaan tidak terlalu signifikan dengan daerah lainnya, termasuk wilayah
Waigeo yang menjadi tempat penelitian.
5.1.2 Ikan Karang
Perairan Raja Ampat mengandung keanekaragaman jenis ikan yang tinggi.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil penelitian oleh TNC, CI, dan
WWF terkait jumlah ikan yang berada di perairan Raja Ampat.
Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai CI, TNC,
WWF Tahun 2001 dan 2002
2001 (CI) 2002 (TNC
dan WWF)
Gabungan CI,
TNC-WWF
Indonesia
Jumlah Ikan
(ekor)
828 899 1.104 2.056
Estimasi
Jumlah Ikan
(ekor)
1.084 1.149 1.436 2.032
Sumber: McKenna et al. dan TNC- WWF dikutip oleh Pemda (2006)
47
Conservation International (CI) menemukan 828 jenis ikan selama survai
kelautan pada Tahun 2001. The Nature Concervancy (TNC) bersama WWF dalam
studi ekologi secara cepat pada Tahun 2002 menemukan 899 jenis ikan. Secara
keseluruhan Raja Ampat memiliki 1.104 jenis ikan yang terdiri dari 91 famili
(Pemda Raja Ampat 2006).
Daerah Raja Ampat yang mempunyai keanekaragaman ikan karang tertinggi
adalah daerah Selat Dampier yang terletak diantara Pulau Batanta dan selatan
pulau Waigeo-Gam, perairan di sebelah barat Pulau Waigeo, yaitu teluk Aljui,
Pulau Wayag dan pulau Sayag, perairan Kofiau, perairan Misool Timur dan
Selatan, dan Waigeo Timur. Daerah tersebut tercatat memiliki jenis ikan lebih dari
200 spesies. Berdasarkan pengalaman menyelam, seorang ahli karang dunia Gerry
Allen, menemukan 284 dan 283 jenis ikan dalam satu kali penyelaman.
Spesies ikan utama yang hidup di perairan kepulauan Raja Ampat
merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Sepuluh famili
yang dominan di perairan Raja Ampat adalah Gobiidae, Pomacentridae,
Labridae, Apogonidae, Serranidae, Chaetodontidae, Acanthuridae, Blenniidae,
Lutjanidae, dan Scaridae. Grafik berikut menunjukkan sepuluh famili yang
dominan beserta jumlah spesiesnya.
Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat
48
5.1.3 Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di
daerah pasang surut pantai berlumpur. Berdasarkan hasil survei dan analisis citra
digital, luas hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat adalah kurang lebih
27.180 hektar dan hutan tersebar di beberapa wilayah yaitu :
Pulau Waigeo : 6.843 Ha
Pulau Batanta : 785 ha
Pulau Kofiau : 279 ha
Pulau Misool : 8.093 ha
Pulau Salawati ; 4.258 ha
Hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat didominasi oleh famili
Rhizophoraceae dan famili Sonneratiaceae. Pulau yang memililiki sebaran hutan
mangrove terbesar adalah pulau Misool kemudian diikuti oleh Waigeo, Salawati,
dan Batanta, sedangkan sebaran hutan mangrove paling sedikit berada di Pulau
Kofiau.
5.1.4 Padang Lamun
Lamun (Seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki Rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut. Padang lamun hampir tersebar di seluruh Kepulauan Raja
Ampat yakni di sekitar Waigeo, Kofiau, Batanta, Ayau, dan Gam. Padang lamun
yang terdapat di wilayah ini umumnya homogen dan berdasarkan ciri-ciri umum
lokasi, tutupan, dan tipe substrat dapat digolongkan sebagai padang lamun yang
berasosiasi dengan terumbu karang (Rumfaker 2010). Secara umum, vegetasi dari
padang lamun yang terdapat di Raja Ampat merupakan tipe campuran dengan
kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai
dari pinggir pantai sampai ke tubir. Jenis lamun yang tumbuh antara lain jenis
Enhalus acoroides, Thalassia hemrichii, Halophila ovalis, Cymodoceae
rotundata, dan Syringodium isoetifolium (Rumfaker 2010).
49
5.1.5 Hutan Rawa
Hutan sagu tersebar di seluruh distrik Kabupaten Raja Ampat. Rawa-rawa
sagu ditemukan di daerah-daerah batu gamping/kapur di Kofiau dan daerah tanah
liat di Kapatlap, Salawati.
5.1.6 Bahan Galian Tambang
5.1.6.1 Nikel
Nikel merupakan bahan galian logam untuk keperluan industri terutama
sebagai campuran besi baja dan stainless steel. Penyebaran nikel di Raja Ampat
terdapat di pulau Gebe, pulau Kawe, pulau Gag, pulau Batangpele, pulau
Manyaifun, pulau Nawan, dan pulau Waigeo di sebelah utara dan selatan Teluk
Mayalibit. Berdasarkan informasi dari PT Pacific Nikkel Indonesia dan Reynolds
dikutip oleh Pemda (2006), di pulau Gag laterit, nikel terdapat pada lereng sedang
sampai curam, pada lokasi 12953 bujur timur. Parameter konsentrasi rata-rata
tertinggi 1,5 - 1,76 persen Ni, kobalt rata-rata 0,02 persen dari 12.000 ton contoh
kasar dari laterit tinggi sampai rendah (Pemda Raja Ampat 2006).
5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas
Berdasarkan data Pemerintah Daerah Raja Ampat, potensi kandungan
minyak dan gas bumi didasarkan dari penafsiran hidrokarbon di Misool, bagian
dari Cekungan Salawati (Samuel 1990 dikutip Pemda Raja Ampat 2006) yang
telah terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Pada saat ini perusahaan JOB
Pertamina - Petro China telah mendapatkan konsesi di Misool Utara hingga
Salawati. Potensi ini didasarkan dari data pemboran dari dua sumur di sekitar
selatan Kepulauan Dua yang terdapat adanya indikasi gas pada sumur TBA-2x
dengan kedalaman 2.516 m dan sumur TBC-IX kedalaman 2.501 m (Rusmana
1989 dalam Pemda Raja Ampat 2006). Rencana produksi dan lokasi minyak dan
gas bumi di empat sumur TBA-3x (103339,2-13003109.0), TBA-4x
(103316.0- 13003113.9), TBC-2x (103144.3- 13003428.5) dan TBC-3x
(103159.4- 13003418,3) adalah 13.400 BCPD (barel minyak/hari) selama 32-
34 bulan dan 75 MMSCFD (juta kaki gas/hari) (Pemda Raja Ampat 2006).
50
5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat
Kekayaan sumberdaya laut yang dimiliki oleh Raja Ampat mendorong
tindakan pelestarian dan pengelolaan yang efektif agar terjamin keberlanjutannya.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pentingnya suatu penetapan kawasan
konservasi, sehingga Raja Ampat menjadi area prioritas untuk kegiatan
perlindungan atau konservasi laut.
Kabupaten Raja Ampat memiliki beberapa kawasan konservasi laut yang
dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD merupakan
kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah
daerah dengan tujuan untuk mengkonservasi habitat dan proses-proses ekologi,
dan perlindungan nilai sumberdaya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata,
penelitian, dan pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (Coremap II
2008).
Adapun kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat terdiri dari enam
kawasan KKLD yang berada di empat pulau besar yaitu Batanta, Waigeo, Misool,
dan Salawati. Secara keseluruhan total kawasan konservasi laut yang telah
ditetapkan adalah 1.125.940 ha wilayah laut dan menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut
Daerah Kabupaten Raja Ampat, cakupan jejaring KKLD Raja Ampat meliputi
wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terdapat didalamnya.
Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat
No. Nama Kawasan Luas (ha)
1. KKLD Kep. Kofiau-Boo 170.000
2. KKLD Misool Timur Selatan 343.200
3. KKLD Selat Dampier 303.200
4. KKLD Kep. Ayau-Asia 101.440
5. KKLD Kawe/ Sayang Wayag 155.000
6. KKLD Teluk Mayalibit 53.100
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Jika dibandingkan dengan data nasional tentang Kawasan Konservasi Laut
Daerah di Tahun 2009, maka KKLD Kab. Raja Ampat memiliki Persentase
51
sebesar 35,7 persen dari total keseluruhan luas KKLD di Indonesia. Hal ini
menunjukkan KKLD di Raja Ampat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi
keberlanjutan sumberdaya di masa mendatang.
Kawasan Konservasi Laut Daerah ini dideklarasikan secara sah oleh Menteri
kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di Waisai pada tanggal 15 Desember
2007 dan pengelolaannya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Raja
Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat. Deskripsi lengkap tentang
masing-masing KKLD yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat dibahas dalam
uraian berikut.
5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kep. Kofiau-Bo dengan luas
170.000 ha terletak di Distrik Kofiau dan mencakup tiga kampung. Kawasan ini
memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut yang cukup tinggi dan menjadi
tempat penting bagi beberapa jenis penyu hijau (Green turtle) dan penyu sisik
(Humpback turtle) sebagai jalur migrasi (Corridors) dan tempat bertelur (Nesting
beach) serta habitat beberapa jenis mamalia laut, dugong, serta jenis-jenis ikan
yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapa (Grouper) dan napoleon
(Wrasse).
Hasil survai ekologi TNC pada Tahun 2001 dikutip DKP Raja Ampat (2009)
menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki kurang lebih 284 jenis ikan karang
dalam sekali penyelaman (tertinggi di Raja Ampat) dan 174 jenis karang keras
(dari jumlah total 537 pesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat)
yang sekaligus menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan karang yang terdapat di
laut Kofiau. Selain itu berdasarkan hasil survai program tim monitoring TNC Raja
Ampat, terdapat kurang lebih delapan jenis cetacean yaitu Orca (Orchinus orca)
atau paus pembunuh yang sering disebut dengan bahasa lokal rowetroyer atau
paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), paus pemandu sirip pendek
(Gobichepala macrorhynchus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella
longirostris), lumba-lumba totol (Stenella attennuata), lumba-lumba hidung botol
(Tursiops truncates), dan beberapa jenis lainnya yang tidak dapat teridentifikasi
(DKP Raja Ampat 2009).
52
Pengelolaan KKLD Kofiau-Boo dilakukan berdasarkan asas mufakat,
keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat
serta dilakukan berdasarkan manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur
pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan,
dan unsur adat dengan memadukan antara manajemen konservasi modern dan
konservasi tradisional yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009).
Prinsip pengelolaan KKLD ini adalah, (1) pencegahan tangkap lebih, (2)
penggunaan pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4)
pendekatan kehati-hatian, (5) keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, (6)
pengembangan alat dan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan, (7)
pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (8) pemanfaatan secara
berkelanjutan keanekaragaman hayati, (9) perlindungan struktur dan fungsi alami
ekosistem perairan yang dinamis, (10) perlindungan jenis dan kualitas genetik
ikan, dan (11) pengelolaan adaptif (DKP Raja Ampat 2009).
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan saat ini lebih difokuskan pada tiga
hal yaitu, penjangkauan masyarakat (community outreach), monitoring (biologi
laut dan pemanfaatan sumberdaya laut), dan kegiatan yang berhubungan dengan
kebijakan. Jika dilihat dari sisi sumberdaya, terlihat adanya peningkatan kualitas
terutama terumbu karang dan sumberdaya ikan. Selain itu, terjadi kemajuan dalam
aspek kebijakan yang mendukung upaya pembentukan KKLD Kofiau dan Boo
ini.
5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Misool Timur Selatan memiliki
luas 343.000 ha dan terletak mencakup tiga distrik yaitu Distrik Misool Timur,
Misool Selatan, dan Misool Barat, serta terdiri dari 11 kampung. KKLD Misool
Timur Selatan memiliki keunikan bentang lahan berupa pulau-pulau karst/kapur
(Lime stone) yang sangat unik dan menjadi tempat penting bagi jenis penyu
seperti penyu hijau (Eretmochelys imbricate) dan penyu sisik (Humpback turtle)
sebagai jalur migrasi dan tempat bertelur. Selain itu menjadi habitat beberapa
jenis mamalia laut, dugong, serta jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti
ikan kerap (Grouer) dan napoleon (Wrasse).
53
Hasil penelitian ekologi TNC pada Tahun 2002 dikutip DKP Raja Ampat
(2009) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 144 spesies terumbu karang (dari
jumlah total 537 spesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat) dengan
panjang kurang lebih 700 km yang mengelilingi gugus pulau-pulau berada di
kawasan ini, terutama jenis Acropora, Labophytum, Favia, dan Motypora. Hasil
survai monitoring kesehatan karang yang dilakukan oleh TNC Raja Ampat pada
tahun 2007/2008 pada 91 titik pemantauan menunjukkan rata-rata tutupan karang
keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral) berturut-turut mencapai 60,67
persen dan 49,67 persen. Keberadaan ekosistem karang ini semakin menarik
karena dihuni oleh 300 jenis ikan (REA 2002 dikutip DKP Raja Ampat 2009).
Prinsip pengelolaan di KKLD ini memiliki kesamaan dengan pengelolaan
KKLD Kofiau Boo yakni berdasarkan asas mufakat, keterpaduan, keseimbangan,
berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat, serta dilakukan berdasarkan
manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur pemerintah kabupaten, distrik dan
kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan, dan unsur adat dengan
memadukan antara manajemen konservasi modern dan konservasi tradisional
yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009). Demikian halnya
dengan prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KKLD Kofiau-Boo.
5.2.3 KKLD Selat Dampier
Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Dampier meliputi empat distrik,
yaitu, Distrik Waigeo Selatan, Distrik Meosmansar, Distrik Selat Sagawin, dan
Distrik Salawati Utara. KKLD Selat Dampier memiliki luas 303.200 ha. Kawasan
ini menjadi penting untuk dijaga dan dilindungi karena merupakan jalur arus air
pasifik ke laut Halmahera, menjadikannya up welling dan menyebabkan laut
menjadi kaya akan nutrient. Nutrient inilah yang diperlukan oleh biota laut
terutama plankton sebagai bahan makanan, jalur migrasinya jenis ikan paus dan
lumba-lumba, serta ditemukannya 270-an jenis ikan dalam sekali penyelaman.
Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibukota Kabupaten
Raja Ampat, Waisai, sehingga aktifitas pengembangan itu mempengaruhi
keberadaan KKLD, seperti pembangunan pelabuhan, darmaga, bandara, jalan, dan
pengembangan pemukiman. Selain itu, selat ini merupakan pusat pengembangan
54
infrastruktur pariwisata baik oleh pengusaha asing maupun lokal, serta
pemanfaatan perikanan pun tidak kalah besarnya (DKP Raja Ampat 2009).
Pada kawasan ini telah ditetapkan sejumlah Daerah Perlindungan Laut
(DPL) yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat kampung. Dalam sistem
zonasi KKLD, daerah perlindungan ini akan berfungsi sebagai area larang ambil
no take zone dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan
pengelolaannya.
Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan
kegiatan bersama dengan masyarakat diantaranya adalah lokakarya patroli
pengawasan yang dilakukan melalui sistem Pokmaswas yang dibentuk di setiap
kampung. Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai KKLD,
sedang dibuat zonasi dan penyusunan draft rencana pengelolaan KKLD Selat
Dampier sebagai pilot project pengembangan rencana pengelolaan KKLD-KKLD
di Raja Ampat.
5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia
KKLD kepulauan Ayau Asia terletak di daerah paling utara Kabupaten Raja
Ampat dan berbatasan dengan Negara Palau. Secara geografis KKLD Kep. Ayau
Asia terbagi dalam tiga daerah yaitu, Ayau kecil, Ayau besar, dan Kepulauan
Ayau. Luas keseluruhan KKLD ini adalah 101.400 ha.
Penetapan wilayah ini didahului oleh kegiatan kampanye tentang
pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan kegiatan konservasi dengan
melibatkan berbagai pihak (masyarakat adat, pemerintah, LSM lokal, pihak
keamanan, dan lembaga agama). Dukungan positif dari masyarakat akan kegiatan
konservasi ini ditandai dengan berbagai kegiatan pengawasan terhadap kegiatan
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Zonasi kawasan ini ditetapkan oleh masyarakat lokal dan terdapat enam
zona area larang ambil (no take zone) yang telah direkomendasikan dan diberi
tanda dengan pelampung oleh masyarakat kampung Yenkwir dan kampung
Rutum. Masyarakat juga membuat kesepakatan-kesepakatan tertulis dan lisan
55
untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan beserta sanksi-sanksi yang akan
diberikan bagi pelanggar aturan tersebut.
Pengelolaan kawasan KKLD ini didukung dengan kegiatan pembuatan
zonasi kampung dan marga; monitoring terumbu karang seluruh KKLD Kep.
Ayau Asia; pembentukan tim patroli masyarakat di tiap kampung; penguatan
kelompok pemuda mahasiswa; pembuatan peta partisipatif; pembuatan pos patroli
di Pulau Moof; studi banding tentang penyu; pengadaan fasilitas patroli; diskusi
kampung; studi banding pembuatan garam dari air laut di Bali; pelatihan
peternakan babi di Bali; pendirian radio komunitas; dan pendidikan lingkungan
hidup untuk anak-anak SD, SMP, dan masyarakat dengan slogan no turtle on the
menu yang merupakan suatu komitmen diantara masyarakat untuk tidak
mengkonsumsi penyu terutama dalam acara besar seperti natal, tahun baru, pesta
perkawinan, dan hajatan lainnya.
5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag
KKLD Kawe atau Sayang Wayag terletak di bagian barat laut Raja Ampat
dan berbatasan dengan laut Halmahera. Secara geografis terbagi dalam dua daerah
yaitu, Pulau Sayang-Pulau Piai, dan Pulau Wayag dengan total wilayah
keseluruhan adalah 155.000 ha. Kawasan konservasi ini adalah pulau-pulau
kosong dan tidak ada perkampungan satupun (DKP Raja Ampat 2009).
Potensi KKLD Kawe adalah keindahan pulau-pulau Karst dan pantai, tempat
bertelurnya penyu, biota laut seperti hiu, manta, tengiri, kerapu, terumbu karang,
dan menjadi lokasi tempat bermigrasinya paus dan lumba-lumba. Pulau Wayag
Sayang, termasuk dalam pertuanan adat suku Kawe dan Maya yang tinggal di
Kampung Selpelel dan Salio.
Ancaman yang selama ini dirasakan oleh masyarakat adalah penangkapan
ikan skala besar dari nelayan luar, penggunaan bom dan potassium dalam
mengambil sumberdaya laut, perburuan daging dan telur penyu, pencemaran oleh
limbah tambang; konflik internal kepemilikan lokasi oleh masyarakat Salio,
Selpele maupun masyarakat Halmahera.
Kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan mengurangi tekanan terhadap
lingkungan di kawasan Wayag-Sayag dibentuk tim patroli masyarakat dengan
56
jadwal kegiatan patroli selama sebulan, setiap kelompok mendapat dua kali
selama dua hari. Secara empiris, dilaporkan oleh nelayan Salio dan Selpele bahwa
telah terjadi peningkatan populasi teripang, udang, dan lola (Trocus niloticus)
karena berkurangnya pengambilan oleh nelayan luar. Sebagai dukungan moriil
dan semangat masyarakat, maka dibuatlah kesepakatan-kesepakatan bersama
untuk menjaga kawasan Wayag Sayag yang ditandatangani bersama dengan surat
dukungan para tokoh adat dan masyarakat Kawe untuk penetapan KKLD pada
tanggal 18 November 2007.
5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit
Kawasan Konservasi Laut Daerah Teluk Mayalibit terletak di Pulau Waigeo
dengan luas kawasan 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang
yang hampir memisahkan Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk
yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit sebagai kawasan yang relatif
tertutup.
Teluk Mayalibit memilki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik.
Lebar hamparan padang lamun dapat mencapai 70 meter dari tepi hutan mangrove
menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah sebelum Kalitoko, terdapat
formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di daerah
Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai dengan Persentase karang
keras relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai
tempat pembesaran biota-biota laut seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara,
kakap, kepiting bakau, dan ikan lema (Restraiger kanagurta) sebagai ikan
konsumsi terutama masyarakat Raja Ampat dan Sorong (DKP Raja Ampat 2009).
Masyarakat lokal merasa peduli terhadap pentingnya perlindungan sehingga
mereka berperan aktif dalam upaya konservasi. Salah satunya adalah dengan
kegiatan patroli untuk menjaga kawasan ini dari kerusakan. Sistem patroli yang
diterapkan adalah pengawasan dengan menggunakan sebuah speed boat untuk
melakukan pengontrolan kurang lebih dua kali seminggu.
Dampak dari penetapan Teluk Mayalibit sebagai kawasan konservasi antara
lain, kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi bagi keberlangsungan
hidup lebih meningkat; kegiatan over fishing dan penangkapan yang merusak
57
telah menurun drastis; telah terdapat zona inti dan kawasan konservasi kampung
seluas 20 ha; terbentuknya 10 Kelompok Penggiat Konservasi Kampung (KPKK)
se-Distrik Telma dengan jumlah personil sebanyak 175 orang.
5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Setiap kampung dapat membuat DPL yang diatur dalam peraturan kampung,
dengan tujuan menjaga dan melindungi sumberdaya laut di masing-masing
wilayah. Pengelolaan DPL dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan
kondisi ekologi dan melibatkan peran serta masyarakat. Berdasarkan data terakhir
Tahun 2009, jumlah Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk di Kabupaten Raja
Ampat berjumlah 19 DPL, dan menyebar di kampung-kampung. Adapun daftar
nama DPL, luas, dan lokasinya dapat terlihat pada tabel berikut.
Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja Ampat
No. Nama DPL Kampung Lokasi Luas (Ha)
1. Fiaduru Yenbeser Waigeo Selatan 65,000
2. Gurabessy Saonek Waigeo Selatan 168,155
3. Yenmangkwan Saporkren Waigeo Selatan 32,200
4. Kordiris Friwen Waigeo Selatan 155,013
5. Mursika Mutus Waigeo Barat 791,790
6. Bianci Bianci Waigeo Barat 60,605
7. Kapsarau Waisilip Waigeo Barat 84,987
8. Masadimmawa Meosmanggara Waigeo Barat 111,777
9. Manfakwak Manyaifun Waigeo Barat 47,999
10. Mansilo Selpele Waigeo Barat 39,512
11. Warasmus Yenbuba Meosmansar 43,000
12. Yendersner Kurkapa Meosmansar 37,000
13. Imburnos Sawandarek Meosmansar 15,000
14. Tanadi Kapisawar Meosmansar 33,000
15. Kormansiwin Yenwaupnor Meosmansar 80,000
16. Mansaswar Sawinggrai Meosmansar 85,000
17. Ikwan Iba Yenbekwan Meosmansar 65,000
18. Indip Arborek Meosmansar 32,500
19. Mambarayup Arborek Meosmansar 32,500
Sumber : Coremap II Raja Ampat (2009)
Kampung Saporkren memiliki satu Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang
diberi nama DPL Yenmangkwan. Luas kawasan ini adalah 32,2 ha dan berada
tidak jauh dari kawasan perkampungan masyarakat. Jika dianalisis, rezim
58
kepemilikan sumberdaya laut di Kampung Saporkren tergolong rezim komunal
atau masyarakat. Hal ini ditandai dengan hak kepemilikan yang sifatnya sudah
turun temurun di dalam masyarakat Saporkren. Sebelum adanya DPL, masyarakat
lokal telah menerapkan sistem pengelolaan laut yang dikenal dengan istilah Sasi
Gereja. Model pengelolaan tersebut dipercaya sebagai salah satu tindakan untuk
menjaga hasil laut dan dengan menerapkan aturan-aturan lokal yang bersifat
keagamaan, masyarakat dituntut untuk mematuhinya. Hal ini didukung dengan
pernyataan salah satu tokoh adat, PD (67 tahun) :
sebelum ada DPL, kami juga sudah buat aturan sendiri yang sering kami bilang Sasi Gereja. Semua dilarang untuk mengambil hasil laut kalo
Sasi itu jalan, tapi biasanya tong hanya atur sampe 1 tahun, habis itu boleh lagi ambil. Kalo pas mau Sasi dilakukan, torang buat acara adat
trus doa juga biar berhasil.
Kemudian pada Tahun 2006, pihak Pemerintah Daerah bersama pihak
konservasi mendatangi kampung ini dan memulai dengan tahap Mensosialisasikan
program DPL. Adapun tahapan pembentukan dan pengelolaan DPL
Yenmangkwan meliputi Sosialisasi pembentukan DPL, survai lokasi calon DPL,
dan penetapan DPL.
Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren
5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL
Sosialisasi awal pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan
dilakukan dalam bentuk Sosialisasi kepada masyarakat tentang materi potensi laut
yang ada di Kampung Saporkren, permasalahan kerusakan terumbu karang dan
sumberdaya laut lainnya, serta pentingnya suatu cara penjagaan yang sifatnya
berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Saat itu pula diadakan pemutaran video
tentang terumbu karang dan kerusakan yang terjadi saat-saat ini. Kegiatan ini
dilaksanakan pada Tahun 2006 sebagai langkah awal pendekatan kepada
Sosialisasi
pembentukan
DPL
Survai
lokasi calon
DPL
Penetapan
DPL
59
masyarakat. Selain itu, diperkenalkan pula konsep Daerah Perlindungan Laut.
yang meliputi, pengertian DPL, tujuan dan manfaat DPL, sistem pengelolaan
DPL, dan topik lainnya yang berkaitan dengan materi DPL.
5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL
Tahap ini diawali dengan Forum Group Discussion (FGD) dimana Coremap
bersama masyarakat duduk bersama membicarakan kesepakatan lokasi yang akan
ditetapkan sebagai area DPL. Agenda utama yang dibicarakan antara lain
penggambaran bersama calon lokasi DPL, penentuan besar luasan lokasi tersebut,
pemetaan sumberdaya yang akan dilindungi dan stakeholder yang bertanggung
jawab terhadap lokasi DPL, serta penandatanganan penyerahan lokasi sebagai
wilayah DPL.
Survai lokasi calon DPL dilakukan berdasarkan pemetaan potensi yang telah
dilakukan oleh masyarakat. Lokasi yang dipilih adalah lokasi dengan tutupan
karang yang baik dan cukup baik, tidak jauh dari pemukiman masyarakat agar
memudahkan masyarakat dalam pengawasan terhadap lokasi DPL. Lokasi yang
dipilih ditetapkan sebagai daerah larang ambil atau no take zone.
5.3.3 Penetapan DPL
Setelah dilakukan survai lokasi DPL, maka ditetapkanlah Daerah
Perlindungan Laut dan diberi suatu nama yakni Yenmangkwan yang artinya
adalah pasir panjang. Penetapan DPL dikukuhkan dengan peraturan kampung No.
001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat (DPL-BM).
Berdasarkan peraturan kampung yang telah disepakati bersama,
pembentukan DPL ini bertujuan untuk menjaga terumbu karang dan ekosistem di
dalam laut serta mensejahterakan masyarakat. Proses penetapan DPL melibatkan
beberapa pihak khususnya masyarakat, dan saat itu masyarakat diminta
menandatangani surat persetujuan atau kesepakatan bersama sebagai bukti
pengesahan pembentukan DPL.
60
5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary)
Pembatasan wilayah Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dimulai dari
pangkal rataan terumbu yang berupa garis pantai hingga ke ujung tubir terumbu,
sehingga bentuk wilayahnya tidak begitu berbentuk persegi pada umumnya. Pada
garis pantai, bentuk batas DPL mengikuti lekuk garis pantai dan pada wilayah
tubir terumbu polanya mengikuti bentuk batas terumbu. Pemasangan tanda batas
dengan pelampung dilakukan pada empat titik penempatan sehingga nantinya
membentuk formasi persegi panjang. Pemasangan batas pelampung menggunakan
dana yang diberikan untuk proses pembentukan Daerah Perlindungan Laut.
Namun saat ini, hingga peneliti melakukan penelitian, batas-batas tersebut tidak
nampak lagi karena dicabut oleh orang-orang yang tidak dikenal pada saat
masyarakat tidak dalam penjagaan (saat masyarakat lokal tertidur). Batas-batas
tersebut kemudian digantikan dengan batangan kayu panjang yang menancap di
keempat titik tersebut.
Pembatasan wilayah DPL Yenmangkwan membuat perubahan pada wilayah
tangkap nelayan Saporkren. Namun, sejak pembentukan DPL hingga saat ini tidak
terjadi konflik yang besar terkait perubahan wilayah tangkap para nelayan. Hal ini
dikarenakan masyarakatlah yang menjadi penentu dalam pembuatan batas-batas
DPL. Adapun gambaran perubahan wilayah tangkapan nelayan Saporkren
sebelum dan sesudah adanya DPL dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren
Sebelum DPL Setelah DPL
61
Gambar 10 menggambarkan wilayah tangkap nelayan Saporkren sejak
sebelum terbentuknya DPL dan setelah adanya DPL. Gambar tersebut diperoleh
melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) diantara masyarakat.
Masyarakat berkumpul lalu menggambarkan pemataan wilayah tangkap mereka
sebelum DPL dan setelah adanya DPL. Sebelum DPL terbentuk, nelayan bebas
menangkap di seluruh wilayah laut khususnya bagian laut yang dekat dengan
perkampungan. Namun setelah adanya DPL nelayan tidak dengan bebas melaut
karena ada batasan yang tidak boleh dilanggar, dan para nelayan hanya bisa
melaut di sekitar DPL dan bahkan akan menangkap di daerah yang lebih jauh
misalnya di daerah Tanjung Pisang. Namun, jika terjadi angin kencang maka
wilayah tangkap alternatif bagi nelayan adalah wilayah laut yang berdekatan
dengan Pulau Urai.
5.4.2 Peraturan (Rules)
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut tidak terlepas dari aturan-aturan
yang diberlakukan. Sejak pembentukan DPL Yenmangkwan, masyarakat duduk
bersama untuk mendiskusikan aturan yang akan ditetapkan sebagai peraturan
dalam pengelolaan kawasan ini. Berdasarkan Perkam (Peraturan kampung) No.
001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat (DPL-BM), adapun hal-hal yang dilarang untuk dilakukan
adalah sebagai berikut :
1. Pemboman ikan dan bius/potas
2. Penambangan karang dan pasir
3. Pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan kapal
4. Reklamasi dan buang jangkar
5. Penebaran jala, pukat, atau sejenisnya
6. Memancing segala jenis ikan
7. Menangkap ikan dengan menggunakan alat panah/kalawai (tombak)
8. Pengambilan kerang-kerangan dan jenis biota lainnya
9. Menggunakan perahu berlampu (balobe)
10. Berjalan di atas terumbu karang
62
11. Mengambil biota laut yang dilindungi oleh undang-undang
12. Melintas di atas DPL
Berdasarkan keputusan bersama antara pihak Coremap II dengan
masyarakat, peraturan nomor 12 saat ini tidak diberlakukan lagi dengan alasan
area DPL adalah area bagi masyarakat untuk menuju Waisai ataupun sebaliknya.
Apabila aturan tersebut tetap diberlakukan, masyarakat harus menempuh jarak
yang lebih jauh. Oleh karena itu, siapapun berhak melintas di atas DPL tetapi
tidak boleh melakukan aktivitas apapun.
Adapun kegiatan yang diperbolehkan di lokasi DPL yaitu :
1. Kegiatan penelitian ilmiah/pendidikan
2. Kegiatan pariwisata atau penyelaman terbatas
3. Kegiatan monitoring atau pengawasan oleh kelompok pengelola
5.4.3 Hak (Rights)
Hak nelayan Saporkren sebelum adanya Daerah Perlindungan Laut terdiri
dari hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi, sedangkan
untuk hak alienasi tidak dikenal di dalam masyarakat karena menurut masyarakat
setempat, laut adalah milik bersama. Artinya, tidak ada satu orang pun yang
berhak menjual atau menyewakan hak yang dimiliki masyarakat kepada orang
lain diluar masyarakat setempat. Kemudian sejak adanya DPL, seperangkat hak
nelayan mengalami sedikit perubahan yakni perubahan pada hak pemanfaatan,
karena DPL telah ditetapkan sebagai zona inti dari Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) dan itu artinya DPL merupakan area larang ambil. Ketiga tipe
hak lainnya yaitu hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi tidak
mengalami perubahan.
5.4.4 Kewenangan (Authority)
Sistem pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dikelola secara penuh oleh
masyarakat, dengan asumsi masyarakat lokal yang lebih paham akan kondisi laut.
Masyarakat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola DPL dengan
menerapkan kearifan lokal yang telah dipegang sejak zaman dahulu. Masyarakat
63
bersama pemerintah daerah bekerjasama dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi, artinya masyarakat juga memiliki kewenangan penuh untuk terlibat.
Terkait sistem pengelolaan, adapula lembaga pengelola DPL yang dibentuk
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap DPL, yaitu MK (Motivator
Kampung), LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), dan
Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas). Ketiga lembaga tersebut dibentuk
berdasarkan pemilihan masyarakat dan anggotanya adalah masyarakat Kampung
Saporkren. MK (Motivator Kampung) berperan sebagai fasilitator masyarakat
khususnya terkait program DPL, menjadi pemandu masyarakat dalam
melaksanakan tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung, dan
memberikan laporan pengelolaan DPL kepada SETO yang bertanggung jawab di
tingkat distrik. Sedangkan LPSTK dan Pokmaswas di Kampung Saporkren
digabung menjadi satu kesatuan yang beranggotakan lima orang dan bertugas
sebagai pengelola di lapang atau langsung di area DPL, serta wajib memberikan
laporan kepada MK terkait pengelolaan DPL.
5.4.5 Pengawasan (Monitoring)
Pengawasan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan
diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pemilik sumberdaya laut tersebut.
Siapapun berhak mengawasi, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diberikan kepada
Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang sekaligus menjadi anggota
LPSTK. Teknik pengawasan yang diterapkan di kampung Saporkren adalah
patroli dengan menggunakan perahu oleh anggota Pokmaswas/LPSTK. Mereka
menjalankan tugasnya baik pada siang hari maupun malam hari sesuai jadwal
pengawasan yang telah disusun bersama. Biasanya petugas mengawasi DPL
sekaligus mereka menangkap ikan di luar area DPL. Selain anggota
LPSTK/Pokmaswas, masyarakat yang non-anggota juga mengawasi DPL. Cara
masyarakat mengawasi adalah memantau dari kampung dan ketika mereka sedang
menangkap ikan di laut.
Teknik pengawasan yang dilihat nampak sederhana tetapi cukup efektif
dalam pengelolaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa
responden dinyatakan bahwa banyak kasus yang mereka temui terkait pelanggaran
64
aturan dan pelakunya adalah nelayan dari kampung lain atau anak-anak kecil yang
tidak mengetahui akan keberadaan DPL. Bagi pelanggar aturan akan diberikan
sanksi yang telah disepakati oleh masyarakat Saporkren.
5.4.6 Sanksi (Sanctions)
Terkait aturan yang telah ditetapkan dalam proses penjagaan DPL, apabila
ada yang melanggar peraturan-peraturan tersebut, maka sanksi yang diberikan
adalah teguran oleh Pokmaswas, dimana teguran ini berupa teguran I, II, dan III,
oleh MK atau LPSTK sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh. Apabila
tersangka telah mendapatkan tiga kali teguran dan tetap melakukannya maka
sanksi yang lebih berat akan diberikan yakni diserahkan ke kantor polisi dan
penyitaan alat tangkap.
Menurut responden, sejak ditetapkan peraturan untuk pengelolaan DPL,
pelanggaran terhadap aturan tersebut tetap terjadi. Namun, hal itu lebih sering
terjadi saat awal pembentukan DPL, khususnya bagi pihak yang kontra dan
merasa hak mereka untuk menangkap ikan di DPL berubah secara drastis.
Tindakan tersebut dianggap sebagai salah satu tindakan nelayan yang tidak
menyetujui adanya Daerah Perlindungan Laut. Jika dibandingkan dengan
intensitas pelanggaran di awal pembentukan DPL, saat ini sudah berkurang. Jika
konflik terjadi hanyalah skala kecil, yaitu pelanggaran oleh nelayan dari kampung
lain. Hal ini disebabkan oleh perubahan persepsi nelayan yang telah menerima
keberadaan DPL Yenmangkwan. Apabila ada pelanggaran terjadi, pelakunya
adalah nelayan dari kampung lain yang belum mengetahui keberadaan DPL. Salah
satu kasus yang pernah dialami oleh salah satu responden, DS (29 tahun):
sa pernah dapat satu orang yang lagi tangkap ikan dengan jaring, terus sa pergi tegur dia dan lapor dia ke LPSTK di kampung. nelayan ini
orang dari Waisai yang lagi ambil ikan pas di DPL, padahal waktu itu sa
baru pulang jual ikan dari Waisai, baru sa dapat dia. Pace ini tara mau ikut tapi sa paksa dia untuk ikut ke kampung sini supaya dapat tegur
sedikit dulu, habis tanda besar-besar begini masa da tara liat.
Top Related