BAB v Kawasan Konservasi Laut_ I11nraipelampung

21
BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT 5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat yang berada di wilayah barat Pulau Papua memiliki potensi sumberdaya laut yang luar biasa. Keindahan alam dan potensi sumberdaya alam yang melimpah mendukung kabupaten ini menjadi salah satu jantung potensi terumbu karang dunia dalam kawasan coral triangle. Luas area kabupaten ini kurang lebih 9,8 juta ha yang terdiri dari darat dan lautan (termasuk sebagian teluk cenderawasih) sehingga menjadikannya sebagai taman laut terbesar di Indonesia (Coremap II 2009). Keindahan bawah laut yang dimiliki kabupaten ini mendorong minat para wisatawan khususnya wisatawan asing untuk menyelam dan melihat keindahan tersebut. Kepulauan yang menjadi tujuan para wisatawan khususnya para penyelam terdiri dari 1800 pulau dan 105 kampung (Coremap II 2009). Penelitian yang dilakukan oleh tim ahli dari Conservation Internasional (CI), The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diadakan pada Tahun 2001-2002 mencatat bahwa terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75 persen dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska (Coremap II Raja Ampat 2009 dan Pemda Raja Ampat 2006). Selain itu Raja Ampat juga kaya akan padang lamun, hutan mangrove yang tersebar disetiap pinggir pantai, dan pantai tebing berbatu yang menjadi salah satu objek wisata bagi para wisatawan baik asing maupun lokal. Wilayah geografis Kabupaten Raja Ampat yang didominasi oleh laut dan pulau (± 1800 pulau) mengakibatkan bentuk dan tipe habitat pesisirnya memiliki karakteristik yang khas, unik, dan sangat beragam. Gambaran umum sebaran dan tipe habitat ekosistem pesisir di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi terumbu karang, ikan karang, hutan mangrove, padang lamun, hutan rawa, dan bahan galian tambang dapat diuraikan sebagai berikut 5 : 5 Dikumpulkan dari berbagai data sekunder yang didapatkan peneliti selama dilapangan dari beberapa instansi Pemerintah dan Coremap

description

sebagai referensi kawasan konservasi terumbu karang

Transcript of BAB v Kawasan Konservasi Laut_ I11nraipelampung

  • 44

    BAB V

    KAWASAN KONSERVASI LAUT

    5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat

    Kabupaten Raja Ampat yang berada di wilayah barat Pulau Papua memiliki

    potensi sumberdaya laut yang luar biasa. Keindahan alam dan potensi sumberdaya

    alam yang melimpah mendukung kabupaten ini menjadi salah satu jantung potensi

    terumbu karang dunia dalam kawasan coral triangle. Luas area kabupaten ini

    kurang lebih 9,8 juta ha yang terdiri dari darat dan lautan (termasuk sebagian teluk

    cenderawasih) sehingga menjadikannya sebagai taman laut terbesar di Indonesia

    (Coremap II 2009). Keindahan bawah laut yang dimiliki kabupaten ini mendorong

    minat para wisatawan khususnya wisatawan asing untuk menyelam dan melihat

    keindahan tersebut. Kepulauan yang menjadi tujuan para wisatawan khususnya

    para penyelam terdiri dari 1800 pulau dan 105 kampung (Coremap II 2009).

    Penelitian yang dilakukan oleh tim ahli dari Conservation Internasional

    (CI), The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Oseanografi Nasional

    (LON), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diadakan pada Tahun

    2001-2002 mencatat bahwa terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75 persen

    dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska

    (Coremap II Raja Ampat 2009 dan Pemda Raja Ampat 2006). Selain itu Raja

    Ampat juga kaya akan padang lamun, hutan mangrove yang tersebar disetiap

    pinggir pantai, dan pantai tebing berbatu yang menjadi salah satu objek wisata

    bagi para wisatawan baik asing maupun lokal.

    Wilayah geografis Kabupaten Raja Ampat yang didominasi oleh laut dan

    pulau ( 1800 pulau) mengakibatkan bentuk dan tipe habitat pesisirnya memiliki

    karakteristik yang khas, unik, dan sangat beragam. Gambaran umum sebaran dan

    tipe habitat ekosistem pesisir di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi terumbu

    karang, ikan karang, hutan mangrove, padang lamun, hutan rawa, dan bahan

    galian tambang dapat diuraikan sebagai berikut5 :

    5 Dikumpulkan dari berbagai data sekunder yang didapatkan peneliti selama dilapangan dari

    beberapa instansi Pemerintah dan Coremap

  • 45

    5.1.1 Terumbu Karang

    Terumbu karang adalah ekosistem khas yang dimiliki daerah tropis dan

    memiliki arti penting dari segi sosial ekonomi masyarakat pesisir Indonesia yang

    menggantungkan hidupnya dari perikanan. Terumbu karang memiliki berbagai

    fungsi diantaranya adalah sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut,

    tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah

    asuhan, dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya, atau menurut istilah yang

    sering digunakan oleh Coremap Raja Ampat adalah tempat ikan berkembang biak

    atau tempat tabungan ikan.

    Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat terbentang di paparan

    dangkal dan hampir di semua pulau-pulau. Terdapat empat tipe terumbu karang di

    daerah ini yaitu berupa karang tepi (fringing reef), dengan kemiringan yang cukup

    curam, karang kanang cincin (otol), terumbu penghalang (barrier reef), dan taka

    dan gosong (patch reel). Semua tipe karang tersebut tersebar di semua daerah

    Raja Ampat, mulai dari daerah rataan terumbu sampai daerah tubir.

    Berdasarkan hasil penelitian dalam kegiatan Marine RAP (Rapid Assesment

    Program) yang dilakukan oleh CI (Conservation International) dan kegiatan REA

    (Rapid Ecological Assesment) oleh TNC dan WWF, menyatakan bahwa

    keanekaragaman hayati terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat luar biasa dan

    umumnya dalam kondisi fisik yang baik (Persentase tutupan karang 51-75

    persen). Hasil tersebut menunjukkan terdapat 37 jenis karang keras (CI, TNC-

    WWF), sembilan diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemic. Jumlah ini

    merupakan 75 persen dari jumlah karang di dunia. Tercatat pula sebanyak 537

    spesies karang batu, mewakili 76 genus, dan 19 famili6.

    Keanekaragaman terumbu karang jika dilihat dari hadirnya spesies tertentu

    pada lokasi penelitian yang telah dilakukan oleh TNC dan WWF, maka ada 10

    lokasi yang memiliki kekayaan spesies tinggi. Kekayaan tertinggi ditemukan di

    sebelah utara Pulau Djam dengan jumlah 182 spesies, diikuti Teluk Wambong

    dengan jumlah 174 spesies. Kesepuluh lokasi yang memiliki jumlah spesies

    tertinggi tersaji pada tabel 11.

    6 Hasil penelitian The Concervancy National bersama WWF pada tahun 2001-2002, dalam Atlas

    Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat, 2006

  • 46

    Tabel 9. Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di Kabupaten Raja

    Ampat

    No. Lokasi Total spesies

    1. Sebelah utara Pulau Djam; Misool 182

    2. Teluk Wambong; Kofiau 174

    3. Tanjung Sool; Kofiau 173

    4. Jef Bi; Misool 169

    5. Sebelah Selatan Walo; Kofiau 169

    6. Los; Misool 168

    7. Mesemta; Misool 164

    8. Sebelah selatan Pulau Ouoy 163

    9. Teluk Fofak; Waigeo 163

    10. Selatan Pulau Tiga; Misool 161

    Sumber: TNC- WWF (2003) dalam Pemda (2006)

    Tabel 9 menunjukkan 10 lokasi yang memiliki terumbu karang terbaik, dan

    semua tersebar di empat pulau besar Kabupaten Raja Ampat. Lokasi terbaik

    pertama yang memiliki terumbu karang tertinggi adalah wilayah Misool, tetapi

    perbedaan tidak terlalu signifikan dengan daerah lainnya, termasuk wilayah

    Waigeo yang menjadi tempat penelitian.

    5.1.2 Ikan Karang

    Perairan Raja Ampat mengandung keanekaragaman jenis ikan yang tinggi.

    Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil penelitian oleh TNC, CI, dan

    WWF terkait jumlah ikan yang berada di perairan Raja Ampat.

    Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai CI, TNC,

    WWF Tahun 2001 dan 2002

    2001 (CI) 2002 (TNC

    dan WWF)

    Gabungan CI,

    TNC-WWF

    Indonesia

    Jumlah Ikan

    (ekor)

    828 899 1.104 2.056

    Estimasi

    Jumlah Ikan

    (ekor)

    1.084 1.149 1.436 2.032

    Sumber: McKenna et al. dan TNC- WWF dikutip oleh Pemda (2006)

  • 47

    Conservation International (CI) menemukan 828 jenis ikan selama survai

    kelautan pada Tahun 2001. The Nature Concervancy (TNC) bersama WWF dalam

    studi ekologi secara cepat pada Tahun 2002 menemukan 899 jenis ikan. Secara

    keseluruhan Raja Ampat memiliki 1.104 jenis ikan yang terdiri dari 91 famili

    (Pemda Raja Ampat 2006).

    Daerah Raja Ampat yang mempunyai keanekaragaman ikan karang tertinggi

    adalah daerah Selat Dampier yang terletak diantara Pulau Batanta dan selatan

    pulau Waigeo-Gam, perairan di sebelah barat Pulau Waigeo, yaitu teluk Aljui,

    Pulau Wayag dan pulau Sayag, perairan Kofiau, perairan Misool Timur dan

    Selatan, dan Waigeo Timur. Daerah tersebut tercatat memiliki jenis ikan lebih dari

    200 spesies. Berdasarkan pengalaman menyelam, seorang ahli karang dunia Gerry

    Allen, menemukan 284 dan 283 jenis ikan dalam satu kali penyelaman.

    Spesies ikan utama yang hidup di perairan kepulauan Raja Ampat

    merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Sepuluh famili

    yang dominan di perairan Raja Ampat adalah Gobiidae, Pomacentridae,

    Labridae, Apogonidae, Serranidae, Chaetodontidae, Acanthuridae, Blenniidae,

    Lutjanidae, dan Scaridae. Grafik berikut menunjukkan sepuluh famili yang

    dominan beserta jumlah spesiesnya.

    Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat

  • 48

    5.1.3 Hutan Mangrove

    Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang

    didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di

    daerah pasang surut pantai berlumpur. Berdasarkan hasil survei dan analisis citra

    digital, luas hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat adalah kurang lebih

    27.180 hektar dan hutan tersebar di beberapa wilayah yaitu :

    Pulau Waigeo : 6.843 Ha

    Pulau Batanta : 785 ha

    Pulau Kofiau : 279 ha

    Pulau Misool : 8.093 ha

    Pulau Salawati ; 4.258 ha

    Hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat didominasi oleh famili

    Rhizophoraceae dan famili Sonneratiaceae. Pulau yang memililiki sebaran hutan

    mangrove terbesar adalah pulau Misool kemudian diikuti oleh Waigeo, Salawati,

    dan Batanta, sedangkan sebaran hutan mangrove paling sedikit berada di Pulau

    Kofiau.

    5.1.4 Padang Lamun

    Lamun (Seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga

    (Angiospermae) yang memiliki Rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

    terendam di dalam laut. Padang lamun hampir tersebar di seluruh Kepulauan Raja

    Ampat yakni di sekitar Waigeo, Kofiau, Batanta, Ayau, dan Gam. Padang lamun

    yang terdapat di wilayah ini umumnya homogen dan berdasarkan ciri-ciri umum

    lokasi, tutupan, dan tipe substrat dapat digolongkan sebagai padang lamun yang

    berasosiasi dengan terumbu karang (Rumfaker 2010). Secara umum, vegetasi dari

    padang lamun yang terdapat di Raja Ampat merupakan tipe campuran dengan

    kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai

    dari pinggir pantai sampai ke tubir. Jenis lamun yang tumbuh antara lain jenis

    Enhalus acoroides, Thalassia hemrichii, Halophila ovalis, Cymodoceae

    rotundata, dan Syringodium isoetifolium (Rumfaker 2010).

  • 49

    5.1.5 Hutan Rawa

    Hutan sagu tersebar di seluruh distrik Kabupaten Raja Ampat. Rawa-rawa

    sagu ditemukan di daerah-daerah batu gamping/kapur di Kofiau dan daerah tanah

    liat di Kapatlap, Salawati.

    5.1.6 Bahan Galian Tambang

    5.1.6.1 Nikel

    Nikel merupakan bahan galian logam untuk keperluan industri terutama

    sebagai campuran besi baja dan stainless steel. Penyebaran nikel di Raja Ampat

    terdapat di pulau Gebe, pulau Kawe, pulau Gag, pulau Batangpele, pulau

    Manyaifun, pulau Nawan, dan pulau Waigeo di sebelah utara dan selatan Teluk

    Mayalibit. Berdasarkan informasi dari PT Pacific Nikkel Indonesia dan Reynolds

    dikutip oleh Pemda (2006), di pulau Gag laterit, nikel terdapat pada lereng sedang

    sampai curam, pada lokasi 12953 bujur timur. Parameter konsentrasi rata-rata

    tertinggi 1,5 - 1,76 persen Ni, kobalt rata-rata 0,02 persen dari 12.000 ton contoh

    kasar dari laterit tinggi sampai rendah (Pemda Raja Ampat 2006).

    5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas

    Berdasarkan data Pemerintah Daerah Raja Ampat, potensi kandungan

    minyak dan gas bumi didasarkan dari penafsiran hidrokarbon di Misool, bagian

    dari Cekungan Salawati (Samuel 1990 dikutip Pemda Raja Ampat 2006) yang

    telah terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Pada saat ini perusahaan JOB

    Pertamina - Petro China telah mendapatkan konsesi di Misool Utara hingga

    Salawati. Potensi ini didasarkan dari data pemboran dari dua sumur di sekitar

    selatan Kepulauan Dua yang terdapat adanya indikasi gas pada sumur TBA-2x

    dengan kedalaman 2.516 m dan sumur TBC-IX kedalaman 2.501 m (Rusmana

    1989 dalam Pemda Raja Ampat 2006). Rencana produksi dan lokasi minyak dan

    gas bumi di empat sumur TBA-3x (103339,2-13003109.0), TBA-4x

    (103316.0- 13003113.9), TBC-2x (103144.3- 13003428.5) dan TBC-3x

    (103159.4- 13003418,3) adalah 13.400 BCPD (barel minyak/hari) selama 32-

    34 bulan dan 75 MMSCFD (juta kaki gas/hari) (Pemda Raja Ampat 2006).

  • 50

    5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat

    Kekayaan sumberdaya laut yang dimiliki oleh Raja Ampat mendorong

    tindakan pelestarian dan pengelolaan yang efektif agar terjamin keberlanjutannya.

    Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pentingnya suatu penetapan kawasan

    konservasi, sehingga Raja Ampat menjadi area prioritas untuk kegiatan

    perlindungan atau konservasi laut.

    Kabupaten Raja Ampat memiliki beberapa kawasan konservasi laut yang

    dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD merupakan

    kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah

    daerah dengan tujuan untuk mengkonservasi habitat dan proses-proses ekologi,

    dan perlindungan nilai sumberdaya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata,

    penelitian, dan pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (Coremap II

    2008).

    Adapun kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat terdiri dari enam

    kawasan KKLD yang berada di empat pulau besar yaitu Batanta, Waigeo, Misool,

    dan Salawati. Secara keseluruhan total kawasan konservasi laut yang telah

    ditetapkan adalah 1.125.940 ha wilayah laut dan menurut Peraturan Daerah

    Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut

    Daerah Kabupaten Raja Ampat, cakupan jejaring KKLD Raja Ampat meliputi

    wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terdapat didalamnya.

    Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat

    No. Nama Kawasan Luas (ha)

    1. KKLD Kep. Kofiau-Boo 170.000

    2. KKLD Misool Timur Selatan 343.200

    3. KKLD Selat Dampier 303.200

    4. KKLD Kep. Ayau-Asia 101.440

    5. KKLD Kawe/ Sayang Wayag 155.000

    6. KKLD Teluk Mayalibit 53.100

    Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

    Jika dibandingkan dengan data nasional tentang Kawasan Konservasi Laut

    Daerah di Tahun 2009, maka KKLD Kab. Raja Ampat memiliki Persentase

  • 51

    sebesar 35,7 persen dari total keseluruhan luas KKLD di Indonesia. Hal ini

    menunjukkan KKLD di Raja Ampat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi

    keberlanjutan sumberdaya di masa mendatang.

    Kawasan Konservasi Laut Daerah ini dideklarasikan secara sah oleh Menteri

    kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di Waisai pada tanggal 15 Desember

    2007 dan pengelolaannya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Raja

    Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat. Deskripsi lengkap tentang

    masing-masing KKLD yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat dibahas dalam

    uraian berikut.

    5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo

    Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kep. Kofiau-Bo dengan luas

    170.000 ha terletak di Distrik Kofiau dan mencakup tiga kampung. Kawasan ini

    memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut yang cukup tinggi dan menjadi

    tempat penting bagi beberapa jenis penyu hijau (Green turtle) dan penyu sisik

    (Humpback turtle) sebagai jalur migrasi (Corridors) dan tempat bertelur (Nesting

    beach) serta habitat beberapa jenis mamalia laut, dugong, serta jenis-jenis ikan

    yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapa (Grouper) dan napoleon

    (Wrasse).

    Hasil survai ekologi TNC pada Tahun 2001 dikutip DKP Raja Ampat (2009)

    menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki kurang lebih 284 jenis ikan karang

    dalam sekali penyelaman (tertinggi di Raja Ampat) dan 174 jenis karang keras

    (dari jumlah total 537 pesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat)

    yang sekaligus menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan karang yang terdapat di

    laut Kofiau. Selain itu berdasarkan hasil survai program tim monitoring TNC Raja

    Ampat, terdapat kurang lebih delapan jenis cetacean yaitu Orca (Orchinus orca)

    atau paus pembunuh yang sering disebut dengan bahasa lokal rowetroyer atau

    paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), paus pemandu sirip pendek

    (Gobichepala macrorhynchus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella

    longirostris), lumba-lumba totol (Stenella attennuata), lumba-lumba hidung botol

    (Tursiops truncates), dan beberapa jenis lainnya yang tidak dapat teridentifikasi

    (DKP Raja Ampat 2009).

  • 52

    Pengelolaan KKLD Kofiau-Boo dilakukan berdasarkan asas mufakat,

    keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat

    serta dilakukan berdasarkan manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur

    pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan,

    dan unsur adat dengan memadukan antara manajemen konservasi modern dan

    konservasi tradisional yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009).

    Prinsip pengelolaan KKLD ini adalah, (1) pencegahan tangkap lebih, (2)

    penggunaan pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4)

    pendekatan kehati-hatian, (5) keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, (6)

    pengembangan alat dan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan, (7)

    pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (8) pemanfaatan secara

    berkelanjutan keanekaragaman hayati, (9) perlindungan struktur dan fungsi alami

    ekosistem perairan yang dinamis, (10) perlindungan jenis dan kualitas genetik

    ikan, dan (11) pengelolaan adaptif (DKP Raja Ampat 2009).

    Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan saat ini lebih difokuskan pada tiga

    hal yaitu, penjangkauan masyarakat (community outreach), monitoring (biologi

    laut dan pemanfaatan sumberdaya laut), dan kegiatan yang berhubungan dengan

    kebijakan. Jika dilihat dari sisi sumberdaya, terlihat adanya peningkatan kualitas

    terutama terumbu karang dan sumberdaya ikan. Selain itu, terjadi kemajuan dalam

    aspek kebijakan yang mendukung upaya pembentukan KKLD Kofiau dan Boo

    ini.

    5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan

    Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Misool Timur Selatan memiliki

    luas 343.000 ha dan terletak mencakup tiga distrik yaitu Distrik Misool Timur,

    Misool Selatan, dan Misool Barat, serta terdiri dari 11 kampung. KKLD Misool

    Timur Selatan memiliki keunikan bentang lahan berupa pulau-pulau karst/kapur

    (Lime stone) yang sangat unik dan menjadi tempat penting bagi jenis penyu

    seperti penyu hijau (Eretmochelys imbricate) dan penyu sisik (Humpback turtle)

    sebagai jalur migrasi dan tempat bertelur. Selain itu menjadi habitat beberapa

    jenis mamalia laut, dugong, serta jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti

    ikan kerap (Grouer) dan napoleon (Wrasse).

  • 53

    Hasil penelitian ekologi TNC pada Tahun 2002 dikutip DKP Raja Ampat

    (2009) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 144 spesies terumbu karang (dari

    jumlah total 537 spesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat) dengan

    panjang kurang lebih 700 km yang mengelilingi gugus pulau-pulau berada di

    kawasan ini, terutama jenis Acropora, Labophytum, Favia, dan Motypora. Hasil

    survai monitoring kesehatan karang yang dilakukan oleh TNC Raja Ampat pada

    tahun 2007/2008 pada 91 titik pemantauan menunjukkan rata-rata tutupan karang

    keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral) berturut-turut mencapai 60,67

    persen dan 49,67 persen. Keberadaan ekosistem karang ini semakin menarik

    karena dihuni oleh 300 jenis ikan (REA 2002 dikutip DKP Raja Ampat 2009).

    Prinsip pengelolaan di KKLD ini memiliki kesamaan dengan pengelolaan

    KKLD Kofiau Boo yakni berdasarkan asas mufakat, keterpaduan, keseimbangan,

    berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat, serta dilakukan berdasarkan

    manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur pemerintah kabupaten, distrik dan

    kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan, dan unsur adat dengan

    memadukan antara manajemen konservasi modern dan konservasi tradisional

    yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009). Demikian halnya

    dengan prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KKLD Kofiau-Boo.

    5.2.3 KKLD Selat Dampier

    Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Dampier meliputi empat distrik,

    yaitu, Distrik Waigeo Selatan, Distrik Meosmansar, Distrik Selat Sagawin, dan

    Distrik Salawati Utara. KKLD Selat Dampier memiliki luas 303.200 ha. Kawasan

    ini menjadi penting untuk dijaga dan dilindungi karena merupakan jalur arus air

    pasifik ke laut Halmahera, menjadikannya up welling dan menyebabkan laut

    menjadi kaya akan nutrient. Nutrient inilah yang diperlukan oleh biota laut

    terutama plankton sebagai bahan makanan, jalur migrasinya jenis ikan paus dan

    lumba-lumba, serta ditemukannya 270-an jenis ikan dalam sekali penyelaman.

    Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibukota Kabupaten

    Raja Ampat, Waisai, sehingga aktifitas pengembangan itu mempengaruhi

    keberadaan KKLD, seperti pembangunan pelabuhan, darmaga, bandara, jalan, dan

    pengembangan pemukiman. Selain itu, selat ini merupakan pusat pengembangan

  • 54

    infrastruktur pariwisata baik oleh pengusaha asing maupun lokal, serta

    pemanfaatan perikanan pun tidak kalah besarnya (DKP Raja Ampat 2009).

    Pada kawasan ini telah ditetapkan sejumlah Daerah Perlindungan Laut

    (DPL) yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat kampung. Dalam sistem

    zonasi KKLD, daerah perlindungan ini akan berfungsi sebagai area larang ambil

    no take zone dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan

    pengelolaannya.

    Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan

    kegiatan bersama dengan masyarakat diantaranya adalah lokakarya patroli

    pengawasan yang dilakukan melalui sistem Pokmaswas yang dibentuk di setiap

    kampung. Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai KKLD,

    sedang dibuat zonasi dan penyusunan draft rencana pengelolaan KKLD Selat

    Dampier sebagai pilot project pengembangan rencana pengelolaan KKLD-KKLD

    di Raja Ampat.

    5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia

    KKLD kepulauan Ayau Asia terletak di daerah paling utara Kabupaten Raja

    Ampat dan berbatasan dengan Negara Palau. Secara geografis KKLD Kep. Ayau

    Asia terbagi dalam tiga daerah yaitu, Ayau kecil, Ayau besar, dan Kepulauan

    Ayau. Luas keseluruhan KKLD ini adalah 101.400 ha.

    Penetapan wilayah ini didahului oleh kegiatan kampanye tentang

    pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan kegiatan konservasi dengan

    melibatkan berbagai pihak (masyarakat adat, pemerintah, LSM lokal, pihak

    keamanan, dan lembaga agama). Dukungan positif dari masyarakat akan kegiatan

    konservasi ini ditandai dengan berbagai kegiatan pengawasan terhadap kegiatan

    penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan oleh pihak yang tidak

    bertanggung jawab.

    Zonasi kawasan ini ditetapkan oleh masyarakat lokal dan terdapat enam

    zona area larang ambil (no take zone) yang telah direkomendasikan dan diberi

    tanda dengan pelampung oleh masyarakat kampung Yenkwir dan kampung

    Rutum. Masyarakat juga membuat kesepakatan-kesepakatan tertulis dan lisan

  • 55

    untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan beserta sanksi-sanksi yang akan

    diberikan bagi pelanggar aturan tersebut.

    Pengelolaan kawasan KKLD ini didukung dengan kegiatan pembuatan

    zonasi kampung dan marga; monitoring terumbu karang seluruh KKLD Kep.

    Ayau Asia; pembentukan tim patroli masyarakat di tiap kampung; penguatan

    kelompok pemuda mahasiswa; pembuatan peta partisipatif; pembuatan pos patroli

    di Pulau Moof; studi banding tentang penyu; pengadaan fasilitas patroli; diskusi

    kampung; studi banding pembuatan garam dari air laut di Bali; pelatihan

    peternakan babi di Bali; pendirian radio komunitas; dan pendidikan lingkungan

    hidup untuk anak-anak SD, SMP, dan masyarakat dengan slogan no turtle on the

    menu yang merupakan suatu komitmen diantara masyarakat untuk tidak

    mengkonsumsi penyu terutama dalam acara besar seperti natal, tahun baru, pesta

    perkawinan, dan hajatan lainnya.

    5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag

    KKLD Kawe atau Sayang Wayag terletak di bagian barat laut Raja Ampat

    dan berbatasan dengan laut Halmahera. Secara geografis terbagi dalam dua daerah

    yaitu, Pulau Sayang-Pulau Piai, dan Pulau Wayag dengan total wilayah

    keseluruhan adalah 155.000 ha. Kawasan konservasi ini adalah pulau-pulau

    kosong dan tidak ada perkampungan satupun (DKP Raja Ampat 2009).

    Potensi KKLD Kawe adalah keindahan pulau-pulau Karst dan pantai, tempat

    bertelurnya penyu, biota laut seperti hiu, manta, tengiri, kerapu, terumbu karang,

    dan menjadi lokasi tempat bermigrasinya paus dan lumba-lumba. Pulau Wayag

    Sayang, termasuk dalam pertuanan adat suku Kawe dan Maya yang tinggal di

    Kampung Selpelel dan Salio.

    Ancaman yang selama ini dirasakan oleh masyarakat adalah penangkapan

    ikan skala besar dari nelayan luar, penggunaan bom dan potassium dalam

    mengambil sumberdaya laut, perburuan daging dan telur penyu, pencemaran oleh

    limbah tambang; konflik internal kepemilikan lokasi oleh masyarakat Salio,

    Selpele maupun masyarakat Halmahera.

    Kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan mengurangi tekanan terhadap

    lingkungan di kawasan Wayag-Sayag dibentuk tim patroli masyarakat dengan

  • 56

    jadwal kegiatan patroli selama sebulan, setiap kelompok mendapat dua kali

    selama dua hari. Secara empiris, dilaporkan oleh nelayan Salio dan Selpele bahwa

    telah terjadi peningkatan populasi teripang, udang, dan lola (Trocus niloticus)

    karena berkurangnya pengambilan oleh nelayan luar. Sebagai dukungan moriil

    dan semangat masyarakat, maka dibuatlah kesepakatan-kesepakatan bersama

    untuk menjaga kawasan Wayag Sayag yang ditandatangani bersama dengan surat

    dukungan para tokoh adat dan masyarakat Kawe untuk penetapan KKLD pada

    tanggal 18 November 2007.

    5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit

    Kawasan Konservasi Laut Daerah Teluk Mayalibit terletak di Pulau Waigeo

    dengan luas kawasan 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang

    yang hampir memisahkan Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk

    yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit sebagai kawasan yang relatif

    tertutup.

    Teluk Mayalibit memilki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik.

    Lebar hamparan padang lamun dapat mencapai 70 meter dari tepi hutan mangrove

    menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah sebelum Kalitoko, terdapat

    formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di daerah

    Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai dengan Persentase karang

    keras relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai

    tempat pembesaran biota-biota laut seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara,

    kakap, kepiting bakau, dan ikan lema (Restraiger kanagurta) sebagai ikan

    konsumsi terutama masyarakat Raja Ampat dan Sorong (DKP Raja Ampat 2009).

    Masyarakat lokal merasa peduli terhadap pentingnya perlindungan sehingga

    mereka berperan aktif dalam upaya konservasi. Salah satunya adalah dengan

    kegiatan patroli untuk menjaga kawasan ini dari kerusakan. Sistem patroli yang

    diterapkan adalah pengawasan dengan menggunakan sebuah speed boat untuk

    melakukan pengontrolan kurang lebih dua kali seminggu.

    Dampak dari penetapan Teluk Mayalibit sebagai kawasan konservasi antara

    lain, kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi bagi keberlangsungan

    hidup lebih meningkat; kegiatan over fishing dan penangkapan yang merusak

  • 57

    telah menurun drastis; telah terdapat zona inti dan kawasan konservasi kampung

    seluas 20 ha; terbentuknya 10 Kelompok Penggiat Konservasi Kampung (KPKK)

    se-Distrik Telma dengan jumlah personil sebanyak 175 orang.

    5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL)

    Setiap kampung dapat membuat DPL yang diatur dalam peraturan kampung,

    dengan tujuan menjaga dan melindungi sumberdaya laut di masing-masing

    wilayah. Pengelolaan DPL dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan

    kondisi ekologi dan melibatkan peran serta masyarakat. Berdasarkan data terakhir

    Tahun 2009, jumlah Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk di Kabupaten Raja

    Ampat berjumlah 19 DPL, dan menyebar di kampung-kampung. Adapun daftar

    nama DPL, luas, dan lokasinya dapat terlihat pada tabel berikut.

    Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja Ampat

    No. Nama DPL Kampung Lokasi Luas (Ha)

    1. Fiaduru Yenbeser Waigeo Selatan 65,000

    2. Gurabessy Saonek Waigeo Selatan 168,155

    3. Yenmangkwan Saporkren Waigeo Selatan 32,200

    4. Kordiris Friwen Waigeo Selatan 155,013

    5. Mursika Mutus Waigeo Barat 791,790

    6. Bianci Bianci Waigeo Barat 60,605

    7. Kapsarau Waisilip Waigeo Barat 84,987

    8. Masadimmawa Meosmanggara Waigeo Barat 111,777

    9. Manfakwak Manyaifun Waigeo Barat 47,999

    10. Mansilo Selpele Waigeo Barat 39,512

    11. Warasmus Yenbuba Meosmansar 43,000

    12. Yendersner Kurkapa Meosmansar 37,000

    13. Imburnos Sawandarek Meosmansar 15,000

    14. Tanadi Kapisawar Meosmansar 33,000

    15. Kormansiwin Yenwaupnor Meosmansar 80,000

    16. Mansaswar Sawinggrai Meosmansar 85,000

    17. Ikwan Iba Yenbekwan Meosmansar 65,000

    18. Indip Arborek Meosmansar 32,500

    19. Mambarayup Arborek Meosmansar 32,500

    Sumber : Coremap II Raja Ampat (2009)

    Kampung Saporkren memiliki satu Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang

    diberi nama DPL Yenmangkwan. Luas kawasan ini adalah 32,2 ha dan berada

    tidak jauh dari kawasan perkampungan masyarakat. Jika dianalisis, rezim

  • 58

    kepemilikan sumberdaya laut di Kampung Saporkren tergolong rezim komunal

    atau masyarakat. Hal ini ditandai dengan hak kepemilikan yang sifatnya sudah

    turun temurun di dalam masyarakat Saporkren. Sebelum adanya DPL, masyarakat

    lokal telah menerapkan sistem pengelolaan laut yang dikenal dengan istilah Sasi

    Gereja. Model pengelolaan tersebut dipercaya sebagai salah satu tindakan untuk

    menjaga hasil laut dan dengan menerapkan aturan-aturan lokal yang bersifat

    keagamaan, masyarakat dituntut untuk mematuhinya. Hal ini didukung dengan

    pernyataan salah satu tokoh adat, PD (67 tahun) :

    sebelum ada DPL, kami juga sudah buat aturan sendiri yang sering kami bilang Sasi Gereja. Semua dilarang untuk mengambil hasil laut kalo

    Sasi itu jalan, tapi biasanya tong hanya atur sampe 1 tahun, habis itu boleh lagi ambil. Kalo pas mau Sasi dilakukan, torang buat acara adat

    trus doa juga biar berhasil.

    Kemudian pada Tahun 2006, pihak Pemerintah Daerah bersama pihak

    konservasi mendatangi kampung ini dan memulai dengan tahap Mensosialisasikan

    program DPL. Adapun tahapan pembentukan dan pengelolaan DPL

    Yenmangkwan meliputi Sosialisasi pembentukan DPL, survai lokasi calon DPL,

    dan penetapan DPL.

    Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren

    5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL

    Sosialisasi awal pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan

    dilakukan dalam bentuk Sosialisasi kepada masyarakat tentang materi potensi laut

    yang ada di Kampung Saporkren, permasalahan kerusakan terumbu karang dan

    sumberdaya laut lainnya, serta pentingnya suatu cara penjagaan yang sifatnya

    berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Saat itu pula diadakan pemutaran video

    tentang terumbu karang dan kerusakan yang terjadi saat-saat ini. Kegiatan ini

    dilaksanakan pada Tahun 2006 sebagai langkah awal pendekatan kepada

    Sosialisasi

    pembentukan

    DPL

    Survai

    lokasi calon

    DPL

    Penetapan

    DPL

  • 59

    masyarakat. Selain itu, diperkenalkan pula konsep Daerah Perlindungan Laut.

    yang meliputi, pengertian DPL, tujuan dan manfaat DPL, sistem pengelolaan

    DPL, dan topik lainnya yang berkaitan dengan materi DPL.

    5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL

    Tahap ini diawali dengan Forum Group Discussion (FGD) dimana Coremap

    bersama masyarakat duduk bersama membicarakan kesepakatan lokasi yang akan

    ditetapkan sebagai area DPL. Agenda utama yang dibicarakan antara lain

    penggambaran bersama calon lokasi DPL, penentuan besar luasan lokasi tersebut,

    pemetaan sumberdaya yang akan dilindungi dan stakeholder yang bertanggung

    jawab terhadap lokasi DPL, serta penandatanganan penyerahan lokasi sebagai

    wilayah DPL.

    Survai lokasi calon DPL dilakukan berdasarkan pemetaan potensi yang telah

    dilakukan oleh masyarakat. Lokasi yang dipilih adalah lokasi dengan tutupan

    karang yang baik dan cukup baik, tidak jauh dari pemukiman masyarakat agar

    memudahkan masyarakat dalam pengawasan terhadap lokasi DPL. Lokasi yang

    dipilih ditetapkan sebagai daerah larang ambil atau no take zone.

    5.3.3 Penetapan DPL

    Setelah dilakukan survai lokasi DPL, maka ditetapkanlah Daerah

    Perlindungan Laut dan diberi suatu nama yakni Yenmangkwan yang artinya

    adalah pasir panjang. Penetapan DPL dikukuhkan dengan peraturan kampung No.

    001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

    Berbasis Masyarakat (DPL-BM).

    Berdasarkan peraturan kampung yang telah disepakati bersama,

    pembentukan DPL ini bertujuan untuk menjaga terumbu karang dan ekosistem di

    dalam laut serta mensejahterakan masyarakat. Proses penetapan DPL melibatkan

    beberapa pihak khususnya masyarakat, dan saat itu masyarakat diminta

    menandatangani surat persetujuan atau kesepakatan bersama sebagai bukti

    pengesahan pembentukan DPL.

  • 60

    5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

    5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary)

    Pembatasan wilayah Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dimulai dari

    pangkal rataan terumbu yang berupa garis pantai hingga ke ujung tubir terumbu,

    sehingga bentuk wilayahnya tidak begitu berbentuk persegi pada umumnya. Pada

    garis pantai, bentuk batas DPL mengikuti lekuk garis pantai dan pada wilayah

    tubir terumbu polanya mengikuti bentuk batas terumbu. Pemasangan tanda batas

    dengan pelampung dilakukan pada empat titik penempatan sehingga nantinya

    membentuk formasi persegi panjang. Pemasangan batas pelampung menggunakan

    dana yang diberikan untuk proses pembentukan Daerah Perlindungan Laut.

    Namun saat ini, hingga peneliti melakukan penelitian, batas-batas tersebut tidak

    nampak lagi karena dicabut oleh orang-orang yang tidak dikenal pada saat

    masyarakat tidak dalam penjagaan (saat masyarakat lokal tertidur). Batas-batas

    tersebut kemudian digantikan dengan batangan kayu panjang yang menancap di

    keempat titik tersebut.

    Pembatasan wilayah DPL Yenmangkwan membuat perubahan pada wilayah

    tangkap nelayan Saporkren. Namun, sejak pembentukan DPL hingga saat ini tidak

    terjadi konflik yang besar terkait perubahan wilayah tangkap para nelayan. Hal ini

    dikarenakan masyarakatlah yang menjadi penentu dalam pembuatan batas-batas

    DPL. Adapun gambaran perubahan wilayah tangkapan nelayan Saporkren

    sebelum dan sesudah adanya DPL dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

    Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren

    Sebelum DPL Setelah DPL

  • 61

    Gambar 10 menggambarkan wilayah tangkap nelayan Saporkren sejak

    sebelum terbentuknya DPL dan setelah adanya DPL. Gambar tersebut diperoleh

    melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) diantara masyarakat.

    Masyarakat berkumpul lalu menggambarkan pemataan wilayah tangkap mereka

    sebelum DPL dan setelah adanya DPL. Sebelum DPL terbentuk, nelayan bebas

    menangkap di seluruh wilayah laut khususnya bagian laut yang dekat dengan

    perkampungan. Namun setelah adanya DPL nelayan tidak dengan bebas melaut

    karena ada batasan yang tidak boleh dilanggar, dan para nelayan hanya bisa

    melaut di sekitar DPL dan bahkan akan menangkap di daerah yang lebih jauh

    misalnya di daerah Tanjung Pisang. Namun, jika terjadi angin kencang maka

    wilayah tangkap alternatif bagi nelayan adalah wilayah laut yang berdekatan

    dengan Pulau Urai.

    5.4.2 Peraturan (Rules)

    Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut tidak terlepas dari aturan-aturan

    yang diberlakukan. Sejak pembentukan DPL Yenmangkwan, masyarakat duduk

    bersama untuk mendiskusikan aturan yang akan ditetapkan sebagai peraturan

    dalam pengelolaan kawasan ini. Berdasarkan Perkam (Peraturan kampung) No.

    001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

    Berbasis Masyarakat (DPL-BM), adapun hal-hal yang dilarang untuk dilakukan

    adalah sebagai berikut :

    1. Pemboman ikan dan bius/potas

    2. Penambangan karang dan pasir

    3. Pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan kapal

    4. Reklamasi dan buang jangkar

    5. Penebaran jala, pukat, atau sejenisnya

    6. Memancing segala jenis ikan

    7. Menangkap ikan dengan menggunakan alat panah/kalawai (tombak)

    8. Pengambilan kerang-kerangan dan jenis biota lainnya

    9. Menggunakan perahu berlampu (balobe)

    10. Berjalan di atas terumbu karang

  • 62

    11. Mengambil biota laut yang dilindungi oleh undang-undang

    12. Melintas di atas DPL

    Berdasarkan keputusan bersama antara pihak Coremap II dengan

    masyarakat, peraturan nomor 12 saat ini tidak diberlakukan lagi dengan alasan

    area DPL adalah area bagi masyarakat untuk menuju Waisai ataupun sebaliknya.

    Apabila aturan tersebut tetap diberlakukan, masyarakat harus menempuh jarak

    yang lebih jauh. Oleh karena itu, siapapun berhak melintas di atas DPL tetapi

    tidak boleh melakukan aktivitas apapun.

    Adapun kegiatan yang diperbolehkan di lokasi DPL yaitu :

    1. Kegiatan penelitian ilmiah/pendidikan

    2. Kegiatan pariwisata atau penyelaman terbatas

    3. Kegiatan monitoring atau pengawasan oleh kelompok pengelola

    5.4.3 Hak (Rights)

    Hak nelayan Saporkren sebelum adanya Daerah Perlindungan Laut terdiri

    dari hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi, sedangkan

    untuk hak alienasi tidak dikenal di dalam masyarakat karena menurut masyarakat

    setempat, laut adalah milik bersama. Artinya, tidak ada satu orang pun yang

    berhak menjual atau menyewakan hak yang dimiliki masyarakat kepada orang

    lain diluar masyarakat setempat. Kemudian sejak adanya DPL, seperangkat hak

    nelayan mengalami sedikit perubahan yakni perubahan pada hak pemanfaatan,

    karena DPL telah ditetapkan sebagai zona inti dari Kawasan Konservasi Laut

    Daerah (KKLD) dan itu artinya DPL merupakan area larang ambil. Ketiga tipe

    hak lainnya yaitu hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi tidak

    mengalami perubahan.

    5.4.4 Kewenangan (Authority)

    Sistem pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dikelola secara penuh oleh

    masyarakat, dengan asumsi masyarakat lokal yang lebih paham akan kondisi laut.

    Masyarakat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola DPL dengan

    menerapkan kearifan lokal yang telah dipegang sejak zaman dahulu. Masyarakat

  • 63

    bersama pemerintah daerah bekerjasama dalam proses perencanaan, pelaksanaan,

    dan evaluasi, artinya masyarakat juga memiliki kewenangan penuh untuk terlibat.

    Terkait sistem pengelolaan, adapula lembaga pengelola DPL yang dibentuk

    sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap DPL, yaitu MK (Motivator

    Kampung), LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), dan

    Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas). Ketiga lembaga tersebut dibentuk

    berdasarkan pemilihan masyarakat dan anggotanya adalah masyarakat Kampung

    Saporkren. MK (Motivator Kampung) berperan sebagai fasilitator masyarakat

    khususnya terkait program DPL, menjadi pemandu masyarakat dalam

    melaksanakan tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung, dan

    memberikan laporan pengelolaan DPL kepada SETO yang bertanggung jawab di

    tingkat distrik. Sedangkan LPSTK dan Pokmaswas di Kampung Saporkren

    digabung menjadi satu kesatuan yang beranggotakan lima orang dan bertugas

    sebagai pengelola di lapang atau langsung di area DPL, serta wajib memberikan

    laporan kepada MK terkait pengelolaan DPL.

    5.4.5 Pengawasan (Monitoring)

    Pengawasan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan

    diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pemilik sumberdaya laut tersebut.

    Siapapun berhak mengawasi, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diberikan kepada

    Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang sekaligus menjadi anggota

    LPSTK. Teknik pengawasan yang diterapkan di kampung Saporkren adalah

    patroli dengan menggunakan perahu oleh anggota Pokmaswas/LPSTK. Mereka

    menjalankan tugasnya baik pada siang hari maupun malam hari sesuai jadwal

    pengawasan yang telah disusun bersama. Biasanya petugas mengawasi DPL

    sekaligus mereka menangkap ikan di luar area DPL. Selain anggota

    LPSTK/Pokmaswas, masyarakat yang non-anggota juga mengawasi DPL. Cara

    masyarakat mengawasi adalah memantau dari kampung dan ketika mereka sedang

    menangkap ikan di laut.

    Teknik pengawasan yang dilihat nampak sederhana tetapi cukup efektif

    dalam pengelolaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa

    responden dinyatakan bahwa banyak kasus yang mereka temui terkait pelanggaran

  • 64

    aturan dan pelakunya adalah nelayan dari kampung lain atau anak-anak kecil yang

    tidak mengetahui akan keberadaan DPL. Bagi pelanggar aturan akan diberikan

    sanksi yang telah disepakati oleh masyarakat Saporkren.

    5.4.6 Sanksi (Sanctions)

    Terkait aturan yang telah ditetapkan dalam proses penjagaan DPL, apabila

    ada yang melanggar peraturan-peraturan tersebut, maka sanksi yang diberikan

    adalah teguran oleh Pokmaswas, dimana teguran ini berupa teguran I, II, dan III,

    oleh MK atau LPSTK sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh. Apabila

    tersangka telah mendapatkan tiga kali teguran dan tetap melakukannya maka

    sanksi yang lebih berat akan diberikan yakni diserahkan ke kantor polisi dan

    penyitaan alat tangkap.

    Menurut responden, sejak ditetapkan peraturan untuk pengelolaan DPL,

    pelanggaran terhadap aturan tersebut tetap terjadi. Namun, hal itu lebih sering

    terjadi saat awal pembentukan DPL, khususnya bagi pihak yang kontra dan

    merasa hak mereka untuk menangkap ikan di DPL berubah secara drastis.

    Tindakan tersebut dianggap sebagai salah satu tindakan nelayan yang tidak

    menyetujui adanya Daerah Perlindungan Laut. Jika dibandingkan dengan

    intensitas pelanggaran di awal pembentukan DPL, saat ini sudah berkurang. Jika

    konflik terjadi hanyalah skala kecil, yaitu pelanggaran oleh nelayan dari kampung

    lain. Hal ini disebabkan oleh perubahan persepsi nelayan yang telah menerima

    keberadaan DPL Yenmangkwan. Apabila ada pelanggaran terjadi, pelakunya

    adalah nelayan dari kampung lain yang belum mengetahui keberadaan DPL. Salah

    satu kasus yang pernah dialami oleh salah satu responden, DS (29 tahun):

    sa pernah dapat satu orang yang lagi tangkap ikan dengan jaring, terus sa pergi tegur dia dan lapor dia ke LPSTK di kampung. nelayan ini

    orang dari Waisai yang lagi ambil ikan pas di DPL, padahal waktu itu sa

    baru pulang jual ikan dari Waisai, baru sa dapat dia. Pace ini tara mau ikut tapi sa paksa dia untuk ikut ke kampung sini supaya dapat tegur

    sedikit dulu, habis tanda besar-besar begini masa da tara liat.