1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, LNRI Tahun 2001 No. 112 TLNRI No. 4132
yang diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, LNRI Tahun 2004
No. 115, TLNRI No. 4430 (selanjutnya ditulis UUY)
dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang
Yayasan (PP No. 63), LNRI Tahun 2008 No. 134,
TLNRI No. 4894 yang diubah dengan PP No. 2 Tahun
2013 (PP No. 2) Tentang Perubahan Atas PP No. 63
Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan UU tentang
Yayasan, LNRI Tahun 2013, No 2, TLNRI No. 5387
merupakan langkah maju Pemerintah Indonesia
dalam menata Yayasan. Dengan kehadiran UU dan
PP tersebut perdebatan para ahli hukum tentang
apakah Yayasan merupakan badan hukum atau
bukan menjadi berakhir1. Ini disebabkan adanya
penegasan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 16 Tahun
2001 Tentang Yayasan yang menyatakan bahwa:
1 Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial), Cipta
Aditya Bhakti, Bandung, Cet. Ke-I, 2002, hal 39.
2
“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mem-punyai anggota.”
Dengan menjadi badan hukum, maka yayasan yang
sudah ada maupun yang akan ada kemudian, berpe-
luang mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan
kepastian hukum tentang status hukum yayasan
beserta kegiatan yang dilakukannya.
Pembentukan UUY merupakan jawaban pemerin-
tah atas amburadulnya pengelolaan Yayasan di
Indonesia. Banyak Yayasan sebelumnya cenderung
mengklaim motivasi dan tujuan pendiriannya untuk
kepentingan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan,
namun dalam kenyataannya justru merupakan
kegiatan bisnis bertujuan mencari laba.
Banyak yang memilih mendirikan Yayasan
sebagai badan usahanya karena statusnya yang
dipersamakan dengan badan hukum tetapi dengan
proses pendirian dan pengurusan yang tidak terlalu
rumit seperti pada Perseroan Terbatas.2 Usaha
2 Salah satunya ialah menyangkut modal. Dalam Perseroan
terbatas sebagai persekutuan modal, para pendiri diharuskan mengambil bagian dalam bentuk modal, saham, yang sudah harus
dilaksanakan saat perseroan didirikan. (lih. M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Cet. Pertama, Juli 2009,
hal. 173.). Dalam mendirkan yayasan tidak ada keharusan
menyediaan modal seperti pada PT, baik modal dasar maupun
3
semacam itu berlindung di balik status badan
hukum Yayasan3, yang tidak hanya digunakan
sebagai wadah untuk kegiatan sosial, keagamaan
dan kemanusiaan, tetapi juga untuk kegiatan ekono-
mi, mencari laba, menghindari pajak, atau memer-
kaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas4.
Yayasan di bidang pendidikan dan rumah sakit
umpamanya selalu mengekspos dirinya sebagai ya-
yasan sosial, bahkan nir laba. Namun, apa yang
dinyatakan dalam Anggaran Dasar bukanlah jamin-
an bahwa lembaga tersebut mengelola pendidikan
dan rumah sakit murni untuk tujuan sosial tanpa
mencari laba. Dari waktu ke waktu, kedua lembaga
itu malahan sering menjadi sasaran kritik karena
modal ditempatkan dan modal disetor. (lih. Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Griya Media, Cet.1, Februari 2011, hal.77-78)
3 Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi,
Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan, Pen. Prenada Media Grup, cet. ke-1, Maret 2010, hal. 6.
4 L. Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara Fungsi Karitatif dan Komersial, CV. Novindo Pustaka Mandiri,
Jakarta 2001, hal. 3. Lihat juga Penjelasan UU RI No 16 tahun
2001, serta Todung Mulya Lubis dalam kolomnya di Tempo
interakif, 18 September 2000, yang mengatakan tidak semua
Yayasan beroperasi seperti layaknya Yayasan, yaitu sebagai organisasi nirlaba untuk tujuan-tujuan sosial. Cukup banyak
terjadi penyalahgunaan Yayasan karena dipakai sebagai kedok
untuk melakukan berbagai bisnis, terutama yang bersinggungan
dengan kekuasaan dan pemegang kekuasaan.
4
dinilai lebih mengedepankan aspek komersial dari-
pada aspek sosial5.
Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, ke-
beradaan Yayasan banyak yang salah arah. Yayasan
yang didirikan atas nama kepedulian sosial dan
kemanusiaan justru menjadi sarana pengumpulan
dana dari para pengusaha dan digunakan oleh
pengurusnya untuk kepentingan ekonomi mereka.
Tanggung jawab sosial dan kemanusiaan atas dana-
dana yang dikumpulkan dari masyarakat tidak
dikelola secara transparan. Banyak Yayasan pendi-
dikan yang didirikan dalam prakteknya mirip
dengan perusahaan milik para pendiri dan pengu-
rus. Sisa penghasilan dari pungutan uang sumbang-
an, uang sekolah, atau komponen lain yang
dipungut dari orang tua siswa semestinya dipakai
melulu untuk mengembangkan pendidikan. Kenya-
taannya tidak demikian. Malahan dianggap sebagai
keuntungan usaha yang dapat dipakai oleh Pendiri
atau Pengurus untuk kepentingan mereka sendiri.
Di beberapa Yayasan yang didirikan oleh Presiden
Suharto atau keluarga dan koleganya, para pendiri
dan pengurus malahan menyalahgunakan kekuasa-
an untuk menghimpun dana dari para pengusaha
5 Hikmahanto Juwana, Pengelolaan Yayasan di Indonesia dan RUU Yayasan,http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/index.php?option=c
om_content&view=article&id=236:pengelolaan-Yayasan-di-
indonesia-dan-ruu-Yayasan&catid=57:artikel&Itemid=80
5
untuk dan atas nama Yayasan. Pengumpulan dana
tersebut terkesan benar karena didasarkan pada
ketentuan hukum. Di antaranya ialah Kepmenkeu
Nomor 333/KMK.011/1978 Tentang Pengaturan
Lebih Lanjut Penggunaan 5% (lima persen) Dari
Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara atau Kepres
No. 90 Tahun 1995 Tentang Perlakuan Pajak Peng-
hasilan Atas Bantuan Yang Diberikan Untuk Pem-
binaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejah-
tera I.
Dalam Pasal 1 ayat (1), Kepres No. 90 Tahun
1995 dinyatakan bahwa Wajib Pajak Badan maupun
Orang Pribadi dapat6 membantu pembinaan Keluar-
ga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I dengan
menyalurkan dana antara lain kepada Yayasan
Dana Sejahtera Mandiri bentukan Suharto terse-
but7. Besarnya setoran dipatok sampai dengan
setinggi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau
penghasilan setelah Pajak Penghasilan yang dipero-
leh dalam 1 (satu) tahun pajak. Ketentuan ini
berlaku bagi mereka yang memeroleh laba atau
penghasilan bersih di atas Rp 100 juta.
Tak dapat disangkal bahwa gagasan dasar
pendirian Yayasan bentukan Suharto relatif baik.
6 Setahun kemudian, kata dapat itu diubah menjadi wajib (lihat
Pasal 2 Kepres No 92 Tahun 1996).
7 Indra Ismawan, Harta dan Yayasan Soeharto, Kontroversi tentang Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soharto, Medpress, Cet-2, 2008;
6
Semua Yayasan tersebut dimaksudkan untuk tuju-
an sosial. Yang menjadi persoalan ialah gagasan
tersebut tidak diaplikasikan secara konsisten,
bahkan cenderung menyimpang. Cenderung diman-
faatkan menjadi sarana untuk memerkaya diri
keluarga Suharto. Di antaranya yang sering dikritik
yaitu Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti
Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bakti
(Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila,
Yayasan Serangan Umum 1 Maret. Yayasan-Yayasan
tersebut tampaknya lebih bernuansa bisnis yang
dikemas dalam bentuk Yayasan. Beberapa di anta-
ranya justru memiliki dan mengelola perusahaan
dengan orientasi profit seperti PT Nusamba, PT
Indocement Tunggal Prakasa, PT Indofood Sukses
Makmur, PT Teh Sumba, PT Gunung Madu Planta-
tions, dan sebagainya8.
8 Dari Ratusan Yayasan yang didirikan dan dikelola oleh Suharto dan keluarganya, 12 Yayasan di antaranya langsung diketuai oleh
Suharto, 8 yang diketuai oleh Ibu Tien, dan 10 Yayasan yang
dikelola oleh saudara dekat Soeharto (Sudwikatmono dan
Probosutedjo), dan puluhan lainnya dilelola oleh putra-putri
Suharto, kolega, dan ABRI. Dari Yayasan yang diketuai langsung oleh Suharto itu, tiga di antaranya (Yayasan Supersemar, Dakab,
dan Dharmais), baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
memiliki 21 perusahaan. Antara lain di antaranya ialah PT
Nusamba PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Indofood Sukses
Makmur, PT Teh Sumba, PT Gunung Madu Plantations, PT Gula
Putih Mataram, PT Kertas Kraft Aceh, PT Kiani Lestari, PT Kiani Murni,dst. Selanjutnya, Yayasan yang diketuai langsung oleh Ibu
Tien seperti Yayasan Purna Bakti Pertiwi merupakan pemegang
saham PT Citra Marga Nusaphala Persada, yang menangani proyek
jalan tol. Sedangkan Yayasan Harapan Kita dengan Yayasan
7
Kondisi itu makin diperparah dengan makin
banyaknya yayasan yang didirikan oleh badan atau
lembaga-lembaga pemerintah seperti Yayasan Kese-
jahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI), Yayas-
an dalam Lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Yayasan ini memang diberi label Yayasan, namun
bila visi dan misi serta kegiatannya dicermati
nampak bahwa ia lebih bernuansa bisnis untuk
tujuan pencarian laba demi meningkatkan kesejah-
teraan pegawai atau mantan pegawai dari lembaga
itu.
Berdasarkan keadaan di atas tampak bahwa
kehadiran UUY menjadi penting. Ia merupakan alat
bagi pemerintah untuk menata keberadaan Yayasan.
Pertama, memulihkan fungsi Yayasan sebagai lem-
baga yang kegiatannya terbatas pada bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan tanpa mengutama-
kan pencarian laba. Kedua, menjadi alat peme-
rintah untuk mengendalikan, menertibkan pertum-
buhan dan kegiatan yayasan baru setelah UUY.
Ketiga, mencegah para pendiri, pengurus, dan peng-
Trikora tercacat sebagai pemilik perusahaan antara lain PT
Bogasari Flour Mills, PT Fatex Tory, PT Kaldhold Utama, PT Gula
Putih Mataram, PT Gunung Madu Platations, dst. Sedangngkan
Yayasan yang dikelola Sudwikatmono dan Probosutedjo memiliki
beberapa perusahaan, antara lain PT Gunung Ngadeg Jaya, PT Semen Nusantara, PT Kabelmetal Indonesia. Selebihnya adalah
Yayasan yang dikelola oleh putra-putri Suharto, kolega, Yayasan
ABRI dibawah pengaruh keluarga Suharto. http://www.tempo.co.
id/ang/min/03/14/table-harta.htm
8
awas Yayasan dari tindakan-tindakan melawan
hukum seperti menghindari pajak. Hal ini diuraikan
secara gamblang dalam alinea dua penjelasan UU
No. 16 Tahun 20019.
UUY tidak melulu diadakan untuk mengatur dan
menertibkan Yayasan baru, tetapi juga yayasan yang
ada sebelumnya. Yayasan-yayasan tersebut dapat
diakui sebagai badan hukum dengan syarat bahwa
setiap Yayasan menyesuaikan Anggaran Dasar (AD)-
nya dengan UUY.
Dalam Pasal 14 ayat (2) UUY dikemukakan
bahwa ada 11 komponen minimal isi AD yang harus
dipenuhi oleh yayasan, baik yang telah berdiri
sebelum UUY, maupun yang didirikan setelahnya,
yaitu :
a. nama dan tempat kedudukan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. jangka waktu pendirian; d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari
kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang
atau benda; e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
9 Dalam penjelasan UU No 16 Tahun 2001 ditegaskan adanya tiga
hal pokok yang menjadi tujuan diterbitkannya Undang-Undang
Yayasan, yaitu, pertama, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan; kedua, menjamin
kepastian hukum; Ketiga, mengembalikan fungsi Yayasan sebagai
pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
9
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengu-rus, dan Pengawas;
h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayas-
an; i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran
Dasar; j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan k. penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau
penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembu-baran.
Untuk mendapatkan status badan hukum,
Yayasan yang sudah berdiri sebelum terbitnya UUY
berkeharusan menyesuaiakan AD-nya terhadap ke-
12 komponen tersebut. Empat komponen di antara-
nya, dapat disebut sebagai faktor kunci, yaitu:
1. Maksud dan tujuan Yayasan serta kegiatan yang
boleh dilaksanakan untuk mencapai maksud dan
tujuan tersebut. Dalam hal ini, UUY menegaskan
bahwa yayasan hanya boleh melaksanakan
kegiatan yang bertujuan sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan. Selain itu, untuk menjamin ke-
langsungan dan perkembangannya, yayasan
dibolehkan melaksanakan kegiatan usaha10.
10 Menurut Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2001, usaha tersebut dapat
berupa pendirian badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan
maksud dan tujuan Yayasan atau berupa penyertaan dalam
berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan
10
2. Organ yayasan dengan pembagian tugas dan
kewenangannya masing-masing. Yang ditekankan
pada bagian ini ialah bahwa Yayasan wajib
memiliki tiga organ Yayasan, yaitu Pembina,
Pengurus, dan Pengawas. Masing-masing organ
memiliki batasan tugas dan kewenangan secara
terpisah dan orang-organ tersebut tidak boleh
merangkap jabatan.
3. Kekayaan dan aset Yayasan. Hal ini meliputi
sumber kekayaan Yayasan, administasi keuang-
an, aset, serta perpajakan Yayasan.
4. Pengelolaan organisasi yayasan. Hal ini meliputi
proses pengambilan keputusan mengikat oleh
organ-organ Yayasan serta pertanggungjawaban
kegiatan Yayasan secara internal dan eksternal.
Pasal 71 UUY menegaskan bahwa proses penye-
suaian AD Yayasan dengan UUY untuk mendapat-
kan status badan hukum, setiap Yayasan diwajib-
kan menempuh langkah-langkah yang telah ditetap-
kan dalam PP No. 63 jo PP No 2 sesuai dengan
status yayasan pada saat melakukan penyesuaian,
yaitu:
1. Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Ne-
geri dan diumumkan dalam Tambahan lembaran
seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima
persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
11
Negara dan/atau mempunyai ijin melakukan
kegiatan dari instansi terkait, tetap diakui se-
bagai badan hukum dengan syarat wajib menye-
suaikan AD dengan UUY paling lambat tanggal 6
Oktober 2008 atau 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan
sejak UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan berlaku
atau 3 (tiga) tahun sejak UU No. 28 Tahun 2004
dinyatakan berlaku.11
2. Yayasan yang telah menyesuaikan AD dengan
UUY wajib memberitahukannya kepada Menteri
paling lambat satu tahun setelah penyesuaian.
3. Yayasan yang tidak memenuhi ketentuan pada
nomor 1 masih dimungkinkan memeroleh status
badan hukum. Persyaratannya ialah yayasan
yang bersangkutan perlu menyesuaikan AD de-
ngan UUY dan mengajukan permohonan kepada
Menteri dalam kurun waktu paling lambat 1
(satu) tahun terhitung sejak UU No. 28 Tahun
2004 berlaku atau tanggal 6 Oktober 2006.
Yayasan yang tidak menyesuaikan AD berdasar-
kan ketentuan di atas diberi sanksi berupa larangan
mengunakan kata “Yayasan” di depan namanya,12
11 UU No 16 Tahun 2001 mulai berlaku tanggal 6 Agustus 2002,
sementara UU No 28 Tahun 2004 mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2005
12 Kata “yayasan” di depan nama sebuah yayasan dapat dikatakan
sangat penting karena kata tersebut menunjukkan identitas dan
status hukum kelembagaan. Tanpa kata tersebut, sebuah lembaga
12
bahkan yayasan dapat dibubarkan berdasarkan
putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan
atau pihak yang berkepentingan. Pada Pasal 39 PP
No 63, sanksi tersebut dinyatakan lebih tegas
dengan istilah harus melikuidasi kekayaannya serta
menyerahkan sisa hasil likuidasi kepada yayasan
lain atau badan hukum lain yang mempunyai
kegiatan yang sama dengan Yayasan yang bersang-
kutan atau kepada Pemerintah yang penggunaannya
dilakukan sesuai dengan Yayasan bersangkutan.13
Sejak diberlakukannya UUY, banyak Yayasan
yang bergerak di bidang sosial, khususnya lembaga
pendidikan, melakukan penyesuaian AD dengan
ketentuan UUY, tetapi ada yang melakukan hal lain,
yaitu mengubah bentuk lembaganya dari yayasan
menjadi Perkumpulan14. Motivasi mereka yang
melakukan penyesuaian AD ternyata beragam. Di
antaranya, ada yang sekedar memenuhi persyaratan
penerimaan bantuan Pemerintah dan ada yang
sekedar memenuhi persyaratan administrasi guna
dapat mengacaukan pemahaman masyarakat tentang keberadaan
lembaga dan kegiatan yang dilaksanakannya dapat menimbulkan
berbagai masalah hukum.
13 Lihat Pasal 68 UU No. 16 tahun 2001 jo UU No 28 Tahun 2004.
14 Salah satu contohnya ialah Yayasan Pendidikan Nasional
(YAPENAS) 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Yayasan ini didirikan tanggal 1 Juni 1966. Setelah diberlakukannya UU No. 16 Tahun
2001, YAPENAS mengubah bentuknya menjadi Perkumpulan
Gema Pendidikan Nasional (PERPENAS) 17 Agustus 1945
Banyuwangi.
13
mendapatkan pengesahan Kemendikbud atau
Dirjend Dikti terhadap berbagai kegiatan lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan.
Dengan terbitnya PP No 2, pengaturan tersebut
menjadi kacau. Batasan waktu penyesuaikan AD
yayasan dengan UUY tidak lagi disinggung.
Ketentuan Pasal 39 PP No. 63 yang disempurnakan
pada PP No. 2 malahan memunculkan aturan baru,
yaitu Yayasan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal
71 ayat (3) dan ayat (4) tetap diberi peluang untuk
mendapatkan status badan hukum asalkan yayasan
yang bersangkutan tetap melakukan kegiatan berda-
sarkan AD-nya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
Persoalan hukum yang mungkin timbul ialah
aturan mana yang dijadikan acuan hukum mengi-
ngat pengaturan Pasal 39 PP No 63 PP No. 2
mengandung unsur pengaturan baru yang tidak
sejalan dengan pengaturan Pasal 71 UUY. Pemun-
culan ketentuan waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut
menimbulkan persoalan hukum tentang titik awal
dan akhir perhitungan, kemudian apa status hukum
Yayasan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 71
tetapi tetap melakukan kegiatannya selama tiga
tahun berturut-turut? Hal ini tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2013.
Persoalan berikutnya ialah asumsi keberadaan
Yayasan yang dikonstruksi dan diatur dalam UUY.
14
Semua Yayasan diasumsikan sama dalam segala
aspeknya. Yayasan yang didirikan oleh perorangan
dan badan, termasuk badan hukum publik, bentuk-
an perusahaan diasumsikan sama. Anggapan ini
tampak dari tidak adanya pengklasifikasian Yayasan
dalam UUY maupun PP. Pada tataran aplikasi UUY,
asumsi tersebut dapat menimbulkan masalah hu-
kum menyangkut keadilan, kepastian, dan keman-
faatan UUY.
Kenyataannya, yayasan yang ada cukup bera-
gam. Dari sisi pendirian, ada yayasan yang didirikan
dengan Akta Notaris dan ada yang tanpa Akta
Notaris. Ada yang mendaftarkan diri di Pengadilan
Negeri, bahkan mengumumkan dalam Berita
Negara, dan ada yang tidak. Dari sisi motivasi dan
tujuan, ada yang didirikan untuk menangani anak-
anak terlantar, yatim piatu, janda, mengurus
kematian, ada pula yang didirikan oleh perusahaan
dan badan-badan pemerintah melulu untuk kepen-
tingan karyawan atau mantan karyawannya. Yang
lebih parah adalah adanya kegiatan usaha yang
didirikan berkedok yayasan untuk mendapat banyak
kemudahan atau menghindari pajak. Hal tersebut
merupakan konsekuensi logis belum adanya aturan
hukum yang pasti tentang Yayasan sebelum UU15,
yang juga belum terakomodasi dalam UUY.
15 Anwar Barohima, Op.cit. hal. 34-36
15
Bertitik tolak dari uraian di atas, nampak bahwa
UUY masih menyimpan sejumlah persoalan. Ada
persoalan yang terkait dengan aturan hukumnya,
asumsi yang digunakan tentang keberadaan
Yayasan, dasar fisolofi yang melatari UUY, ketegasan
sikap pembuat Undang-Undang terhadap pengatur-
an yayasan, maupun proses penegakkan hukum
atas UUY sebagai norma hukum positif.
Dengan demikian ada beberapa kemungkinan
respon masyarakat terhadap ketentuan UUY, yaitu:
1. Ada yayasan yang menyesuaikan AD tepat waktu
sesuai dengan ketentuan Pasal 71 UUY;
2. Ada yayasan yang menyesuaikan AD tetapi se-
telah batas waktu berakhir sebagaimana ditetap-
kan pada Pasal 71;
3. Ada Yayasan yang tidak menyesuaikan AD
dengan ketentuan UUY tetapi tetap menggunakan
kata Yayasan di depan namanya dan melakukan
kegiatan Yayasan seperti biasanya.
4. Ada Yayasan yang mengubah bentuk lembaganya
menjadi Perkumpulan.
Dari empat kemungkinan itu terdapat situasi
dilematis yang menyulitkan penegakan hukum atau
paling sedikit pemberian sanksi. Misalnya, sebuah
yayasan tidak menyesuaikan AD dengan UUY, tetapi
16
secara konsisten melakukan kegiatan yang sesuai
dengan ketentuan UUY dan diperlukan masyarakat.
Yayasan tersebut seharusnya dikenakan sanksi,
berupa larangan memakai kata “Yayasan” di depan
namanya, pembubaran atau dilikuidasi.16 Namun,
apakah sanksi tersebut begitu penting dikenakan
pada yayasan semacam itu? Lagi pula, proses
hukum untuk kasus dimaksud tidak diatur lebih
lanjut dalam UUY.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas,
maka penulis menilai perlu dilakukan kajian terha-
dap Ketentuan (aturan) Peralihan UUY dengan judul
“Eksekutabilitas Ketentuan peralihan Undang-
undang Yayasan”. Yang dimaksud dengan eksekuta-
bilitas dalam hal ini adalah keterlaksanaan sanksi
atas pelanggaran ketentuan peralihan bagi Yayasan
yang tidak memenuhi Pasal 71 UUY berdasarkan
putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan
atau pi-hak yang berkepentingan.
Istilah Eksekutabilitas berasal dari kata dalam
bahasa Inggris execute (kata kerja), artinya menja-
lankan, melaksanakan. Dari kata ini muncul kata
bentukan executable yaitu perihal dapatnya atau
mampunya suatu tindakan dilaksanakan dan
executability, yaitu keadaan atau hal pelaksanaan
atau keterlaksanaan sebuah tindakan. Dalam baha-
16 Lihat Pasal 39 PP 63 Tahun 2008 jo PP No 2 Tahun 2013.
17
sa Indonesia kata ini dilafalkan dengan eksekutabili-
tas. Jadi, frase eksekutabilitas ketentuan peralihan,
mengandung pengertian perihal keterlaksanaannya
atau tertegakkannya ketentuan yang telah ditetap-
kan dalam ketentuan peralihan. Hal ini dibuktikan
dengan tindakan eksekusi sanksi bagi yayasan yang
melakukan pelanggaran atas apa yang telah ditetap-
kan dalam ketentuan peralihan.
Eksekutabilitas tersebut penting diungkap kare-
na konsekuensi hukum bagi yayasan yang tidak
memenuhi ketentuan peralihan cukup serius. Yang
utama, ialah yayasan tidak memiliki status hukum.
Akibatnya, yayasan dimaksud tidak memiliki dasar
hukum menyelenggarakan kegiatan, sehingga kalau
hal itu dilaksanakan, maka kegiatan dan hasil dari
kegiatannya tidak sah atau ilegal17. Hal ini akan
menimbulkan berbagai masalah hukum serta meru-
gikan masyarakat. Salah satu di antaranya ialah
ijazah yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan
yang diselenggarakan oleh yayasan ilegal misalnya,
tidak diakui atau tidak memiliki efek sipil (lihat bab
III. C.1., halaman 138-139).
Untuk mencegah timbulnya masalah yang meru-
gikan masyarakat, maka sepatutnya yayasan sema-
cam itu dikenakan sanksi sebagaimana telah diatur
17 Uraian lebih lanjut tentang akibat hukum dibahas pada Bab III.
C.1., hal 114
18
dalam Pasal 71 ayat (4) UUY. Sanksi tersebut dapat
berupa larangan memakai kata “Yayasan” di depan
namanya, atau dibubarkan, atau bahkan dilikuidasi
berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan
kejaksanaan atau pihak lain yang berkepentingan.
Proses eksekusi yang dimaksudkan dalam hal ini
dimulai dari pemberian kuasa khusus oleh
pemerintah18 kepada Kejaksaan untuk mengajukan
permohonan putusan kepada Pengadilan terhadap
yayasan yang melanggar ketentuan peralihan UUY,
kemudian setelah Pengadilan menetapkan putusan,
pihak kejaksaan mengeksekusi putusan tersebut
terhadap yayasan dimaksud.
Jika eksekusi sanksi tersebut tidak dilaksanakan
sampai batas akhir masa penyesuaian AD pada
tanggal 6 Oktober 2008, sementara yayasan tetap
dibiarkan melakukan kegiatan, baik karena tidak
adanya tindakan hukum dari pemerintah daerah
sampai pada pihak pengadilan yang disebabkan
kelalaian maupun karena pertimbangan sosial dan
politik atas akibat yang timbul bila yayasan dibubar-
kan, maka ketentuan peralihan UUY tidak memiliki
18 Pemerintah dalam hal ini adalah gubernur atau bupati/walikota.
Pemberian kuasa khusus oleh pemerintah kepada kejaksaan
merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu bahwa di
bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
19
kekuatan hukum. Masa keberlakuannya mengatur
proses peralihan telah terlampaui.
Dalam kondisi semacam ini, eksekusi ketentuan
peralihan berupa pemberian sanksi bagi yayasan
yang belum melakukan penyesuaian AD tidak memi-
liki urgensi. Fungsinya sebagai pengatur proses
peralihan keberlakuan hukum dari ketentuan lama
ke ketentuan baru tidak terwujud. Pengertian inilah
yang dimaksudkan dengan istilah eksekutabilitas
dalam tesis ini.
Berdasarkan jalan pikiran itu, maka persoalan
pokok yang hendak diungkap dalam tesis ini ialah
akibat-akibat hukum serta menelusuri apakah
eksekusi sanksi tersebut di atas begitu penting guna
mencapai tujuan hukum dalam UUY serta
bagaimana proses hukumnya.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengarahkan kajian selanjutnya penulis
merumuskan masalah yang hendak diteliti sebagai
berikut:
1. Apakah akibat hukum bagi Yayasan yang tidak
memenuhi ketentuan Pasal 71 UUY?
2. Apakah urgensinya eksekusi sanksi ketentuan
peralihan terhadap Yayasan yang tidak meme-
nuhi ketentuan Pasal 71 UUY?
20
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan setidak-tidaknya untuk:
1. Menjelaskan akibat-akibat hukum terhadap Ya-
yasan yang tidak memenuhi Pasal 71 UUY.
Akibat-akibat hukum tersebut terkait erat dengan
apa dan bagaimana Yayasan merespon ketentuan
pada Pasal 71 UUY serta Pasal 39 PP No. 63 jo PP
No. 2.
2. Menjelaskan urgensi eksekusi Ketentuan pera-
lihan UUY terhadap Yayasan yang tidak meme-
nuhi ketentuan Pasal 71 UUY. Penjelasan ini
didasarkan pada dan bertitik tolak dari tujuan
hukum. Untuk itu perlu dilakukan telaahan
tujuan hukum yang dikemukakan oleh para ahli
hukum yang secara umum telah diterima oleh
masyarakat, yaitu tujuan hukum dalam perspek-
tif etis, perspektif normatif-dogmatik, dan pers-
pektif sosial.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
secara praktis dan akademik. Secara praktis
berkaitan langsung dengan pihak-pihak yang terkait
dengan UUY dan secara akademis berkaitan dengan
pengembangan ilmu hukum di bidang badan hukum
Yayasan. Secara rinci hal itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
21
1. Bagi Pembuat UUY. Hasil kajian ini diharapkan
memberikan masukan bagi Pemerintah dan DPR
untuk melakukan tinjauan terhadap UUY dan PP
tentang Pelaksanaan UUY guna menghasilkan
UUY yang lebih aplikatif serta menjamin kepas-
tian hukum dan memberikan makna yang signi-
fikan dalam upaya mengembangkan Yayasan.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan Hukum. Diharapkan
pula agar hasil penelitian ini dapat menambah
koleksi kajian hukum tentang badan hukum
yang terus berkembang. Dengan demikian apa
yang dicapai dalam tesis ini dapat merupakan
salah satu langkah bagi langkah berikutnya
untuk melakukan studi hukum yang lebih luas
atau lebih mendalam terhadap UUY.
E. Keaslian Penelitian
Ada banyak tulisan tentang UUY yang tersebar
di berbagai media dan buku. Beberapa di antaranya
merupakan disertasi, misalnya tulisan Dr. Suharto,
SH., MM dengan bukunya berjudul “Membedah
Konfilk Yayasan, Menuju Konstruksi Hukum Ber-
martabat”, tulisan Dr. Chatamarrasjiid Ais, SH., M.H
berjudul “Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis
Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum
Sosial), tulisan Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH.,
berjudul Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan
Wakaf, tulisan Rita M – L & J Firm berjudul Risiko
22
Hukum Bagi Pembina, Pengawas, & Pengurus
Yayasan, atau tulisan Prof. Dr. Anwar Borahima,
SH., M.Hum dengan bukunya berjudul “Kedudukan
Yayasan di Indonesia, Eksistensi Tujuan, dan Tang-
gung Jawab Yayasan, dan masih banyak yang lain.
Tulisan-tulisan tersebut sebagian besar memba-
has anatomi UUY dan konsekuensi hukum bagi
penyelenggaraan Yayasan, kemungkinan pengem-
bangan keuangan Yayasan sesuai dengan UUY,
tugas dan tanggung jawab masing-masing organ
Yayasan, risiko yang dapat terjadi manakala
Yayasan tidak menyesuaikan diri dengan UUY atau
organ Yayasan melanggar kewenangannya dalam
mengelola Yayasan, kedudukan hukum yayasan
sebelum dan sesudah UUY. Sejauh pengetahuan
penulis belum ada tulisan yang membahas tentang
eksekutabilitas Yayasan dalam Ketentuan peralihan
Undang-undang Yayasan.
Oleh karena itu, penelitian ini merupakan eks-
plorasi hukum menyangkut eksekutabilitas ketentu-
an peralihan UUY untuk memerlengkapi tulisan-
tulisan yang ada tentang Yayasan.
F. Kerangka Teori
Dalam membahas masalah penelitian ini,
penulis menggunakan kerangka teori tujuan hukum
23
yang dikemukakan oleh Radbuch19. Teori ini dipilih
karena selain merupakan teori yang diterima oleh
banyak ahli hukum, teori tersebut tampaknya mirip
dengan tujuan hukum nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang paling menonjol dalam teori ini adalah
ditempatkannya apek keadilan dengan pendekatan
prioritas kasuistik dalam menghadapi masalah-
masalah hukum sebagai prioritas utama tanpa
mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian
hukum. Dengan pendekatan ini, tujuan akhir yang
hendak diwujudkan oleh hukum tidak terhenti pada
aspek keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hu-
kum semata, melainkan ketertiban dan keteraturan
yang membawa keadaan damai sejahtera bagi
masyarakat. Secara lebih detail, pendekatan ini
akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi tipe dan pendekatan penelitian sebaga-
imana terpapar di bawah.
1. Tipe Penelitian
19
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta, Edisi kedua, Cetakan ke-2, Agustus 2008 hal. 59-69.
24
Bertitik tolak dari tujuan yang disebutkan
sebelumnya, tipe penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan penelitian yuridis
normatif. Fokus kajian adalah eksekutabilitas
Ketentuan peralihan UUY sebagai norma hukum
positif yang wajib ditaati oleh setiap yayasan yang
sudah berdiri sebelum UUY.
2. Pendekatan Penelitian
Untuk melakukan kajian yang sesuai dengan
penelitian yuridis normatif, maka pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Perundang-undangan (statute appro-
ach). Hal ini dimulai dengan membahas pasal-
pasal tertentu dalam UUY yang terkait dengan
tema penelitian, dilengkapi tinjauan teori, tinjau-
an hasil penelitian, artikel opini, berita, serta tin-
juan empirik secara sepintas yang terkait dengan
tema penelitian. Dalam hal ini, UUY dipahami
sebagai sistem tertutup20 yang mengandung sifat-
sifat komprehensif, inklusif, dan sistematik.
Komprehensif artinya norma-norma hukum
yang ada dalam pasal-pasal UUY terkait satu
dengan yang lain secara logis; Inklusif artinya
semua norma hukum tersebut mampu menam-
20 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Cet. Keempat, Maret 2011, hal. 302-303
25
pung semua permasalahan yang ada dalam
Yayasan sehingga sedapat mungkin tidak ada
kekuarangan hukum; Sistematik artinya di
sampaing bertautan satu dengan yang lain,
norma-norma hukum itu juga tersusun secara
hirarkhis.
Terkait dengan itu turut digunakan pende-
katan lain yang mendukung dan memerjelas
analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian
normatif. Beberapa di antaranya ialah pendekat-
an konseptual, pendekatan analitis, pendekatan
historis, dan pendekatan teleologis yang yang
dipadu dengan tinjauan empirik terkait dengan
UUY.
3. Jenis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang digunakan terdiri
atas bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan
tertier.
A. Bahan hukum primer adalah UU No 12 Tahun
2011 Tentang Peraturan Pembentukan Perun-
dang-Undangan, UUY PP No. 63 Jo PP No 2;
UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
B. Bahan Hukum sekunder ialah bahan hukum
yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis
oleh para ahli hukum, terutama yang terkait
26
dengan teori-teori hukum, badan hukum, dan
pendapat para ahli hukum yang dipublikasi di
media massa dan on line.
C. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Yang termasuk dalam
bahan ini adalah berita menyangkut Yayasan
di berbagai media cetak, tulisan opini tentang
Yayasan di media cetak dan elektronik, kamus
hukum dan ensiklopedi hukum.
H. Langkah-langkah Penulisan Tesis
Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan
tesis ini sampai selesai, penulis merencanakan
langkah-langkah penelitian yang perlu ditempuh
sebagai berikut:
1. Melakukan studi lanjutan dari Proposal awal
sebagai bahan tugas akhir untuk mata kuliah
Metodologi Penelitian Hukum. Dalam studi ini
penulis membaca secara teliti UUY dan Peraturan
Pemerintah sebagai Aturan Pelaksanaan UUY,
membaca beberapa Buku tentang Yayasan yang
ditulis oleh beberapa Sarjana Hukum yang semu-
la berupa disertasi dan kemudian diterbitkan
menjadi buku.
27
2. Melakukan diskusi dengan Pembimbing menge-
nai ketertarikan penulis terhadap tema peneliti-
an.
3. Menyusun Proposal penelitian.
4. Melakukan diskusi dengan Pembimbing sebelum
diajukan pada ujian proposal tesis.
5. Ujian proposal tesis.
6. Melakukan studi mendalam terhadap bahan-
bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang
ada.
7. Melakukan penulisan setahap demi setahap sam-
bil terus melakukan diskusi dengan pembimbing.
8. Diskusi akhir dengan pembimbing atas hasil
penulisan lengkap tesis.
9. Ujian tesis.
Top Related