1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat.
Komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal
antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku. Jumlah simbol-
simbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara
spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami
komunikasi pun seolah tidak ada habisnya, mengingat komunikasi sebagai suatu
proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah satunya mengenai
komunikasi antar budaya.
Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai kebijakan tentang
sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi merupakan satu-satunya
jalan untuk membentuk kebersamaan itu. Komunikasi, seperti kata Robert E Park
(1996) adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih
pasti. Sebuah pengertian bersama diantara individu - individu sebagai anggota
kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi
juga unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat.
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang
tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dari generasi ke
2
generasi. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses pembagian informasi,
gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang budayanya.
Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui
bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atupun bantuan hal lain di sekitarnya
yang memperjelas pesan.
Kadangkala adanya perbedaan budaya mampu menimbulkan konflik antara
komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang diperoleh
mengalami ketidakpastian. Seperti yang di ungkapkan oleh Gudykunst dan Kim
dalam Liliweri (2002:19) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling
kenal selalu berusaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian melalui
peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Ketidakpastian tersebut bisa
dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu melakukan proses
komunikasi yang efektif.
Selain itu, Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi
dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Menurut Devito dalam
buku Mulyana (2001:168), persepsi adalah proses dimana kita menjadi sadar
akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Komunikasi apapun
bentuk dan konteksnya, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator
dengan komunikan. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada
umumnya komunikasi yang terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang
menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda.
Dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi
3
antar budaya sering tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma-
norma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya. Semakin
besar derajat pebedaan antar budaya, maka semakin besar kehilangan peluang
untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.
Dalam sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Ellingsworth dalam
Gundykuntst (1983), dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi
kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individu
memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang
tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai atau norma antarpribadi termasuk antar
budaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan
nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan antar pribadi, atau
nilai norma yang difungsional atau tidak mendukung hubungan antar pribadi.
Berbicara soal perbedaan budaya, Indonesia adalah salah satu negara
kepulauan, dimana dari setiap pulau mempunyai suatu kebudayaan yang menjadi
ciri khas dari pulau tersebut. Oleh karena itu, komunikasi antar budaya sering
terjadi pada masyarakat Indonesia. Terkait dengan Komunikasi antar budaya,
perkumpulan mahasiswa Sumbawa yang ada di malang adalah salah satu
organisasi yang dibuat untuk menjalin silaturahmi antara mahasiswa sumbawa
dengan mahasiswa sumbawa sendiri serta mahasiswa sumbawa dengan
mahasiswa dari daerah lain. Hal ini dilakukan karena mereka mempunyai latar
belakang kebudayaan yang berbeda-beda dan perbedaan tersebut sangat terlihat
4
jelas pada saat mahasiswa - mahasiswa tersebut saling berkomunikasi satu sama
lain.
Sebagai contoh mahasiswa Sumbawa dengan mahasiswa dari daerah lain.
Universitas Muhammadiyah Malang yang terletak di Jawa Timur mengakibatkan
sebagian besar mahasiswanya adalah berasal dari jawa, akan tetapi karena
kredibilitas UMM yang cukup bagus di seluruh Indonesia, maka mengakibatkan
banyak warga Sumbawa dan warga daerah lain ikut serta menuntut ilmu disana.
Karena setiap hari manusia tidak dapat untuk tidak berkomunikasi, sehingga
disini, sering terjadi komunikasi antara mahasiswa Sumbawa dengan mahasiswa
dari daerah lain, dan hal inilah yang membuat komunikasi antar budaya tidak
dapat dihindarkan oleh keduanya, dan tak jarang pula sering terjadi perbedaan
persepsi diantara mereka karena perbedaan budaya tersebut.
Dengan demikian maka sampailah pada dasar ilmu komunikasi, yaitu bahwa
apabila suatu message tidak mencapai efek yang diinginkan, maka yang bersalah
adalah pihak komunikator (Susanto, 1974 : 404). Berdasarkan hal-hal di atas,
penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dengan penelitian. Bentuk penelitian
menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni perilaku komunikasi sangatlah
penting dalam menciptakan upaya adaptasi yang baik antara budaya-budaya yang
berbeda. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengamati bagaimana proses
adaptasi budaya yang dilakukan oleh mahasiswa sumbawa terhadap budaya lain.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana perilaku komunikasi antar budaya
mahasiswa sumbawa dalam upaya adaptasi budaya” ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perilaku komunikasi antar
budaya mahasiswa Sumbawa dalam upaya adaptasi budaya.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, dapat diungkapkan bahwa penelitian
ini memiliki kegunaan:
1. Manfaat Akademis
Memberikan konstribusi positif serta dapat menambah wawasan
pengetahuan dalam mengembangkan penelitian Ilmu Komunikasi,
khususnya dalam perilaku komunikasi dalam upaya adaptasi budaya
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermakna
dalam bentuk refrensi tentang perilaku komunikasi dalam adaptasi
budaya.
6
E. Kajian Pustaka
E.1 Komunikasi Antar Budaya
Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Orang
berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan, dengan siapa,
berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung pada budaya dari
orang-orang yang berinteraksi. Melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar
berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku
tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-
orang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan
label-label yang dihasilkan budaya mereka (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24).
Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya yang
melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat kompleks, abstrak dan luas. Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi
atau akal. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi atau akal. Istilah “culture”berasal dari kata colere yang artinya
adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian
mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata “colore”, kemudian berubah
menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk
mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).
7
Komunikasi antar budaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri
antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar
belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian
komunikasi antar budaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu: Proses
komunikasi antar budaya sama seperti proses komunikasi lainnya, yakni suatu
proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri, 2004: 24).
Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan
berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan
bahwa interaksi antar budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi
antar budaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antar
budaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan; 1. komunikasi antar budaya
dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara
komunikator dengan komunikan. 2. dalam komunikasi antar budaya terkandung
isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi
antarpribadi 4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi tingkat
ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. efektivitas
antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antar budaya. Antarbudaya
menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk
memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan
memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat
kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi
dan mengurangi konflik.
8
Komunikasi antar budaya dalam konteks ini menunjuk kepada komunikasi
interpersonal, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi berasal dari kelompok-kelompok personal yang berbeda. Sub-sub
budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, yang
menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai
untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam
satu kesatuan budaya atau masyarakat.
Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi
antarbudaya mempunyai objek formal, yakni mempelajari komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen pesan
dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari kebudayaan
lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan timbal balik antara
sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi, kebudayaan pada gilirannya
menghasilkan sifat-sifat komunikasi antarbudaya.
E.1.1 Model Komunikasi Antar Budaya
9
Model ini mengasumsikan dua orang yang sejajar dalam berkomunikasi,
masing-masing dari mereka sebagai pengirim sekaligus penerima, atau keduanya
sebagai penyandi (encoding) dan penyandi balik (decoding). Karena hal itulah,
kita dapat melihat bahwa pesan dari seseorang merupakan umpan balik untuk
yang lainnya. Pesan atau umpan balik diantara mereka diwakilkan oleh sebuah
garis dari sandi seseorang kepada sandi balik dari yang lainnya. Dua garis itu
menunjukan bahwa setiap orang dari kita itu berkomunikasi. Kita menyandi dan
menyandi balik pesan dalam satu waktu. Dengan kata lain, komunikasi bukanlah
hal yang statis, kita tidak akan menyandi sebuah pesan dan melakukan apapun
sampai kita mendapat umpan balik.
Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian dan penyandian balik terhadap
pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter‐filter
konseptual yang dikategorikan menjadi factor‐faktor kultur, sosiokultur dan
10
psikokultur yang nampak pada lingkaran dengan garis putus‐putus. Garis putus‐
putus itu sendiri menggambarkan bahwa ketiga factor ini saling berhubungan dan
mempengaruhi. Selain itu, kedua individu yang terlibat juga terletak dalam suatu
kotak dengan garis putus‐putus yang berarti mewakili pengaruh lingkaran. Hal
ini sekali lagi menggambarkan bahwa lingkaran tersebut bukanlah suatu sistem
tertutup. Pengaruh kultur dalam model ini meliputi penjelasan mengenai
kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia, bahasa, sikap kita
terhadap manusia (individualisme atau kolektivisme). Sebab ini
akanmempengaruhi perilaku komunikasi kita.
Model Gudykunst dan Kim sebenernya merupakan model komunikasi
antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya
berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini
pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap muka, khususnya antara 2 orang.
Meskipun disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan
orang asing, model komunikasi tersebut dapat merepresentasikan komunikasi
antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada 2 orang yang mempunyai
budaya sosialbudaya dan psikobudaya yang persis sama.
E.2 Perilaku Komunikasi
Dalam proses komunikasi selalu ada yang namanya pengharapan
(expectation). Jika expectation menjadi lebih positif, maka ketidakpastian dan
11
kecemasan akan berkurang atau rendah (Gudykunst & Gueverro, 1990).
Pengharapan kita mempunyai konsekuensi yang sanagt besar dengan komunikasi
yang kita lakukan dengan orang lain
Misalkan saja, ketika kita sudah mengenal seseorang dengan baik maka kita
akan cenderung memiliki harapan dalam proses komunikasi kita. Semenjak
pertama kali bertemu dan berkenalan mungkin kita masih setengah ragu dengan
pengharapan kita, apakah akan sesuai dengan pengharapan kita atau tidak. Akan
tetapi setelah komunikasi antara kita dengan dia sudah berjalan lama dan kita
telah mengetahui karakternya, maka pengharapan kita terhadapnya akan
cenderung tinggi. Akan tetapi, jika dalam pertengahan jalan ternyata orang yang
kita kenal itu melakukan kesalahan pada diri kita dan menyebabkan kita sakit
hati, maka pengaharapan kita pada seseorang itu akan berkurang atau mungkin
bisa hilang dan tidak ada sama sekali.
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku
pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.
Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan.
Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar
tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan
Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari
individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang
diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial,
12
kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media
massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru.
Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi
adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi
dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak
manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi
pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan
keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.
Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya,
perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan
dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi
adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak
atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam
mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di
dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007).
Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat
kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi: (1) sekedar
bicara ringan, (2) saling ketergantungan (independen), (3) tenggang rasa
(empaty), (4) saling interaksi (interaktif). Berlo juga mengungkapkan bahwa
perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi.
Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu
dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai
13
dengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan bahwa komunikasi,
kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui
pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang
berkomunkasi tentang masalah tertentu.
E.3 Adaptasi
Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat
belajar. Apa yang kita pelajaripada umumnya dipengaruhi oleh kekuata –
kekuatan sosial budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi
merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal
lewat respon- respon komunikasi terhadap rangsangan lingkungan. Kita harus
menyandi dan menyandi balik pesan – pesan sehingga pesan – pesan tersebut
akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu – individu yang berinteraksi
dengan kita. Kegiatan – kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk
menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005:137).
Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap individu
dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka
setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang
harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi
termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk
mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan
14
antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsionalkan atau tidak mendukung
hubungan antarpribadi.
Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu
digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang.
Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai dan
norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk
menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga; (2)
bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun
nonverbal masyarakat tuan rumah?
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep
mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu
sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi
terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat
pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-
pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-
15
pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya
untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu
dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan
menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan
bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi
masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan
dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan
tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Oleh
karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat,
2005: 137-140).
Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat
dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi
terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam
perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika
seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan
berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka,
seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui tiga proses yang saling
berhubungan, yakni komunikasi persona, komunikasi sosial dan lingkungan
komunikasi.
16
1. komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses mental
yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan
dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara
melihat, mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu
variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah
kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan
pribumi. Faktor yang erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif
adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan sistem-sistem
komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi
penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa
dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel
persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran
yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya.
Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat
memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada
kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan
diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.
2. komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu
mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang
lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi
antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati
17
melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona
dengan anggota masyarakat pribumi.
3. lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi sosial
seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat
sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan
komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang
sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah
adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh
komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat
kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk
memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-
lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi
antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan Rakhmat,
2005: 141-144).
E.4 Budaya
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,
penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemprosesan informasi
dan pengalihan pola – pola konvensi pikiran, perkataan dan perbuata/tindakan
yang dibagiakn diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial
dalam suatu masyarakat.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
18
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep
alam semesta, objek – objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar
orang lain dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.
Budaya menampakan diri dalam pola – pola bahasa dan dalam bentuk –
bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model – model dan tindakan
– tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang –
orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu
pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.
Berdasarkan pemikiran tersebut, komunikasi antarbudaya merupakan
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang
berbeda, bahkan dalam suatu bangsa sekalipun.
Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan maka langkah selanjutnya
merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran rasional yang
bersifat kritis dalam memperkirakan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi,
1991:40). Maka komponen penelitian yang akan diteliti adalah:
1. Komunikasi Antarbudaya
a) Pertukaran pesan antarbudaya yang mungkin terjadi baik pesan
verbal maupun non verbal
b) Komponen dari komponen komunikasi
Motivasi : hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat
dan efektif dengan orang lain.
19
Pengetahuan : kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa
yang kita butuhkan untuk dilakukan agar komunikasi berjalan
secara efektif dan tepat.
Kemampuan : kemampuan kita dalam mengolah perilaku
yang perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif
(Gudykunst dan Kim 2003: 275)
c) Masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya:
Pencarian kesamaan usaha untuk mencari orang yang memiliki
kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu
kelompok.
Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba
menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.
Pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi
ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa
yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.
Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan
kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial,
gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru
yang berbeda budaya.
2. Adaptasi Budaya
20
a) Bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk menerima
kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga
b) Bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal
maupun non verbal masyarakat tuan rumah.
E.5 Adaptasi Budaya
Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap individu
dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka
setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang
harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi
termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk
mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan
antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsionalkan atau tidak mendukung
hubungan antarpribadi.
Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu
digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang.
Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai dan
norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk
menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga; (2)
bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun
nonverbal masyarakat tuan rumah?
21
Adaptasi antarbudaya merupakan suatu proses panjang penyesuaian diri
untuk memperoleh „kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru.
Dalam “Intercultural Communication Theories”, Gudykunst (2002:183)
memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori
akomodasi dan adaptasi. Salah satu teori yang dikemukakan dalam paparan itu
adalah teori adaptasi antarbudaya dari Ellingsworth.
Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam
interkultural diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam gaya
komunikasi. Gaya adalah tingkah laku atau perilaku komunikasi. Menurut
Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif.
Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi
perseptual, kognitif, dan perilaku.
Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan
Gile. Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication
accomodation theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan.
Menurut teori ini, pembicara menggunakan strategi linguistik untuk mencapai
persetujuan atau untuk menunjukkan perbedaan dalam interaksinya dengan orang
lain.
Adaptasi budaya merupakan sebuah proses yang berjalan secara alamiah dan
tidak dapat dihindari dimana seorang individu berusaha untuk mengetahui segala
sesuatu tentang budaya dan lingkungannya yang baru sekaligus memahaminya.
22
Le vine (1973) menyatakan bahwa budaya sebagai seperangkat aturan
terorganisasikan mengenai cara – cara yang dilakukan individu – individu dalam
masyarakat berkomunikasi satu sama lain dan cara mereka berfikir tentang diri
mereka dan lingkungan mereka.
Akulturasi merupakan sebuah proses yang dilakukan manusia untuk
menyesuaikan diri dan pada akhirnya akan mengarah kepada asimilasi. Asimilasi
merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seseorang. Akulturasi terjadi
melalui identifikasi dan internalisasi lambang – lambang masyarakat yang
signifikan. Seseorng akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui
dalam berhubungan dengan orang lain. Dan itu dilakukan lewat komunikasi.
Proses trial and eror selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan.
Namun, proses ini tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mulus, bahkan
dapat membuat individu merasa terganggu karenanya. Budaya yang baru
biasanya dapat menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima nilai –
nilai budaya tersebut sangat berbeda dengan nilai – nilai budaya yang kita miliki.
Biasanya seseorang akan melalui beberapa tahap sampai dia akhirnya bisa
bertahan dan menerima budaya dan lingkungannya yang baru.
E.6 Culture Shock
Culture shock diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1958 untuk
menggambarkan kecemasan yang dihasilkan ketika seseorang pindah ke
23
lingkungan yang sama sekali baru. Istilah ini mengungkapkan kurangnya arah
perasaan tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana melakukan hal-hal di
lingkungan baru, dan tidak tahu apa yang cocok atau tidak. Rasa kejutan budaya
umumnya merasuk setelah beberapa minggu pertama datang ke tempat baru.
Kita dapat menggambarkan culture shock sebagai ketidaknyamanan fisik
dan emosional satu menderita ketika datang untuk hidup di daerah lain atau
tempat yang berbeda dari tempat asal. Seringkali, cara kita hidup sebelum tidak
diterima sebagai atau dianggap seperti biasa di tempat baru. Semuanya berbeda,
misalnya, tidak berbicara bahasa.
Perbedaan antara budaya lama dan baru menjadi jelas dan dapat
menimbulkan kecemasan. Bahwa perasaan senang akhirnya akan memberi jalan
kepada perasaan yang baru dan tidak menyenangkan dari frustrasi dan
kemarahan. Anda terus mengalami pertemuan yang tidak menguntungkan yang
menyerang anda sebagai aneh, ofensif, dan tidak dapat diterima. Ini reaksi
biasanya berpusat pada kendala bahasa yang hebat serta perbedaan mencolok
dalam: kebersihan publik, keselamatan lalu lintas, jenis dan kualitas makanan. Ini
periode yang sangat sulit bagi orang-orang yang perlu menyesuaikan diri dengan
budaya baru, terutama bagi siswa yang belajar di daerah lain sendiri tanpa
keluarga. Pada periode ini, orang mungkin merasa bahwa gaya hidup mereka
benar-benar dipengaruhi. jam biologis mereka dalam kekacauan karena
perbedaan waktu, mereka tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak bisa istirahat
dengan baik baik. Selain itu, mereka mungkin merasa sakit dan malas, mereka
24
mungkin mendapatkan apa-apa melakukan lelah tidak peduli betapa mudahnya.
Apa lagi, perubahan yang paling penting pada periode adalah komunikasi.
Orang-orang yang menyesuaikan suatu budaya baru akan merasa kesepian dan
rindu karena mereka harus terbiasa dengan lingkungan baru dan bertemu orang
dengan siapa mereka tidak terbiasa setiap hari. Mereka tidak pandai bahasa asing
sehingga sulit untuk terlibat dalam sebuah hubungan sosial yang baru. Mereka
harus berpikir masak-masak sebelum mereka berbicara untuk menghindari
kecerobohan linguistik, dan mereka juga harus mendengarkan dengan cermat
setiap kata yang dikatakan orang lain untuk memahami dengan benar. Oleh
karena itu, sebagian besar mahasiswa pendatang di jawa khususnya mahasiswa
sumbawa di UMM merasa cemas dan memiliki tekanan yang lebih tinggi dalam
mengatur budaya baru.
Konsep culture shock menurut Furinham dan bochuner adalah ketika
seseorang tidak mengenal kebiasaan – kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika
ia mengenalnya maka ia sudah dapat atau tidak bersedia menyampaikan perilaku
yang sesuai dengan aturan tersebut. Definisi ini menyebutkan bahwa culture
shock adalah gangguan yang sangat kuat rutinitas, ego, dan self image individu.
Dengan demikian terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh salah satu
atau lebih dari tiga penyebab berikut:
1. Kehilangan cues atau tanda – tanda yang dikenal. Padahal cues adalah
bagian dari kehidupan sehari – hari seperti tanda – tanda, gerakan
bagian – bagian tubuh, ekspresi wajah ataupun kebiasaan – kebiasaan
25
yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya
bertindak dalam situasi tertentu.
2. Putusnya komunikasi antarpribadi baik pada tingkat yang disadari yang
mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah
penyebut jelas dari gangguan ini.
3. Krisis identitas, dengan pergi keluar negeri seseorang akan kembali
mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
F. Metode Penelitian
F.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif,
yakni adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong
2002:3) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam
ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
pada manusia dalam kawasannya sendiri berhubungan dengan orang – orang
tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
F.2 Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang
menggunakan laporan yang berisi kutipan data untuk memberi gambaran
26
penyajian laporan. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata – kata, gambaran.
Hal ini disebabkan dengan adanya penerapan metode kualitatif
(Moleong,1989:11)
Menurut bogdan dan Biklen (Emzir, 2010:31), dengan data yang mencakup
transkrip wawancara, catatan lapangan, fotografi, video tape, dokumen, memo,
dan rekaman. Dalam pencarian mereka untuk pemahaman, peneliti kualitatif
tidak mereduksi halaman demi halaman dari narasi dan data lain. Mencoba
menganalisis data dan sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkrip.
Dasar penelitian yang digunakan adalah dasar naturalistik, dimana penelitian
kualitatif memiliki latar aktual sebagai sumber langsung dan data peneliti
merupakan instrumen kunci. Peneliti masuk untuk mempelajari proses adaptasi
budaya yang terjadi pada mahasiswa di organisasi mahasiswa sumbawa yang
tergabung dalam SPMS-M. Selain naturalistik, juga menggunakan pendekatan
yang hanya lebih berurusan dengan proses. Jadi peneliti lebih berkonsentrasi
pada proses daripada hasil dikarenakan peranan proses yang sangat besar dalam
penelitian ini, membuat beberapa bagian yang diteliti menjadi jelas.
F.3 Fokus Penelitian
Spradley mengatakan bahwa fokus penelitian merupakan domain yang
terkait dari situasi sosial (Sugiyono 2010:208). Dalam sebuah penelitian
diperlukan adanya batasan masalah, yang kemudian disebut dengan fokus
27
penelitian. Fokus penelitian lebih didasarkan pada inti masalah yang akan
dipecahkan juga memperhatikan keterbatasan tenaga waktu dan dana.
Untuk menghindari penelitian yang terlalu luas maka penelitian ini di
fokuskan mengenai proses komunikasi mendasari proses akulturasi yang
dilakukan seorang imigran. Dalam hal ini mahasiswa sumbawa sebagai pelaku
komunikasi. Penelitian ini menganalisa bagaimana mahasiswa sumbawa
beradaptasi terhadap wilayah baru yang mereka tempati, serta sejauh mana
kesadaran dan pengetahuan mereka dalam melakukan komunikasi dengan orang
asing.
Sasaran dari penelitian ini adalah mahasiswa sumbawa yang tergabung
dalam organisasi yakni SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-
Malang) dan aktif dalam organisasi kampus.
F.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian tersebut akan
dilaksanakan untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti. Dengan demikian maka dipilih asrama
mahasiswa sumbawa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Mahasiswa
Sumbawa – Malang (SPMS-M) yang beralamat di Jl. Bareng Tenis 4a Malang
sebagai lokasi penelitian dikarenakan tempatnya strategis di tengah – tengah kota
malang. Serta lokasi tersebut dapat dijangkau oleh mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi yang ada di kota malang.
28
F.5 Subyek Penelitian
Penetapan subyek dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan
data primer yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik purposive sampling yakni peneliti memiliki pertimbangan
khusus dalam menentukan subyek untuk di wawancarai. Menurut Sugiyono
(2008:219) bahwa purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel
sumber data dengan pertimbangan tertentu. Adapun karakteristik subyek dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Mahasiswa sumbawa yang lahir dan besar di Sumbawa
2) Mahasiswa asli Sumbawa yang sudah berdomisili di Malang selama 1
tahun terakhir dan berinteraksi dengan mahsiswa dari daerah lain
3) Aktif dalam organisasi kemahasiswaan
Dari karateristik yang telah ditentukan, peneliti menetapkan delapan orang
subyek penelitian yaitu ketua SPMS-M, wakil ketua, ketua bidang pendidikan
dan anggota.
Berkaitan dengan judul penelitian, maka peneliti menetapkan mahasiswa
daerah lain sebagai informan penelitian. Penetapan informan penelitian dalam
penelitian ini untuk mendapatkan data sekunder sebagai kroscek dari data yang
didapatkan.
F.6 Teknik Pengumpulan Data
29
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Wawancara
Merupakan bentuk komunikasi dua orang, melibatkan seseorang yang
ingin memperoleh informasi dari orang lain dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2008
:180). Teknik wawancara dipilih jika peneliti menginginkan data berupa
cerita rinci dan bahasa hasil konstruksi dari para responden, misalnya
tentang pengetahuan, pengalaman, pandapatan atau pandangan hidup.
Peneliti memilih wawancara tidak struktur yakni wawancara yang
bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang
telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono,2008). Metode ini
bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua
responden. Wawancara tak struktur bersifat luwes, dengan sususnan
pertanyaan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan sesuai kondisi pada
saat wawancara.. Adapaun alasan peneliti menggunakan teknik
wawancara diantaranya yaitu :
Peneliti dapat bertemu dan berhadapan langsung (face to face) dengan
informan.
30
Data yang diperoleh adalah data primer karena diperoleh langsung dari
subyek dan informan
Data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif dan cenderung
subyektif
Informan tidak terpaku pada pilihan jawaban yang disediakan oleh
peneliti. Informan akan lebih bebas menjabarkan atau menjelaskan
jawabannya.
Berdasarkan subyek penelitian dan informan yang telah ditentukan, dalam
penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada:
1. Ketua oraganisasi SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa
Sumbawa-Malang)
2. Wakil ketua SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-
Malang)
3. Ketua Bidang Pendidikan SPMS-M (Solidaritas Perjuangan mahasiswa
Sumbawa-malang)
4. Anggota SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-
Malang)
5. Mahasiswa dari daerah lain
2) Observasi
Cartwright dan Cartwright (dalam Herdiansyah, 2010:131)
mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati
31
serta merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Alasan
peneliti menggunakan metode observasi, yakni :
Peneliti datang dan melihat secara langsung sehingga peneliti dapat
mengetahui dan merasakan secara lansung.
Untuk memastikan hasil data yang didapat dari wawancara
Data yang didapat melengkapi data yang tidak didapat melalui metode
lain.
3) Dokumentasi
Menurut Patton (dalam Emzir, 2010:66) merupakan bahan dan dokumen
tulis lainnya dari memorandum organisasi, klinis, atau catatan program dan
coinformance, publikasi dan laporan resmi, catatan harian pribadi, surat-surat,
karya-karya artistik, foto serta memorabilia dan tanggapan tertulis untuk
survey terbuka. Terkadang dokumen ini digunakan untuk mendukung data
hasil wawancara dan observasi.
Adapun alasan peneliti menggunakan teknik dokumentasi diantaranya
yaitu:
1. menguatkan data yang didapatkan dari teknik yang lain
2. membuktikan data dari hasil wawancara.
32
F.7 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2011:246), mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktifitas dalam analisis data , yaitu data reduction, data display, dan
conclusion drawing/verification :
a) Data Reduction (Reduksi Data)
Semakin lama peneliti berada di lapangan, maka semakin banyak pula
data yang diperoleh. Maka diperlukan adanya pencatatan dan diperlukan
segera adanya analisis data dengan reduksi data. Menurut Sugiyono
(2008:247) mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.Dalam
mereduksi, peneliti dapat dibantu dengan menggunakan peralatan elektronik
seperti computer dan dengan memberikan kode-kode pada aspek-aspek
tertentu.
b) Data Display (penyajian data)
Setelah peneliti mereduksi data, langkah selanjutnya yang ditempuh
adalah mendisplay data. Peneliti akan menyajikan data dengan uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Miles dan
Huberman, (dalam Sugiyono, 2008:249) menyatakan “the most frequent
33
form of display data for qualitative research data in the past has been
narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif.
Dengan menggunakan data display maka diharapkan peneliti akan
diberi kemudahan untuk memahami apa yang terjadi, dan merencanakan
kerja selanjutnya dengan melihat apa yang telah dipahami sebelumnya.
c) Conclusion Drawing/verification
Langkah selanjutnya setelah mereduksi data dan penyajian data,
langkah yang ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan pada penelitian kualitatif diharapkan dapat menjawab yang ada
di rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal ditambah dengan
bukti-bukti atau data-data yang telah ada.
Skema teknik analisis data (interactive model ) :
Sugiyono (2008:247)
Data
colection Data
Display
Data
Reduction Conclusions
drawing / verifying
34
F.8 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Agar mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya, maka perlu dilakukan uji keabsahan data.
Untuk melakukan uji tersebut diperlukan cara untuk mengukur keabsahan data
yang biasa dikenal dengan teknik keabsahan data.
Merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi
yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua
pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil
penelitian yang dapat dipercaya, terdapat dua teknik pemeriksaan keabsahan data
yang diajukan adalah :
a) Meningkatkan ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih
cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian
data dan urutan peristiwa dapat direkam secara praktis dan sistematis.
b) Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber merupakan pengujian kredibilitas data yang
diperoleh melalui beberapa sumber
Top Related