A. Landasan Teori
Teori – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti
“perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani
yang berarti “cara atau hasil pandang” – adalah suatu konstruksi di dalam cita
atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara refleksi
fenomena yang dijumpai di alam pengalaman.1
Ilmu apa pun, termasuk ilmu hukum dan ilmu sosial tentang hukum, tidak
hanya ada satu aliran atau mazhab. Masing-masing aliran atau mazhab itu
mempunyai paradigma, konsepsi, teori dan metodologi yang berbeda satu sama
lainnya. Para pengkaji hukum, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya memilih
paradigma, konsep hingga teori yang dianut dan kemudian dipergunakan
seseorang/sekelompok orang untuk berpikir dan menghasilkan judgement,
maupun untuk menjelaskan eksistensi hukum sebagai suatu kenyataan sosial.
Pilihan paradigma, konsep dan teorinya itu memiliki konsekuensi pada metode
dan praktik dari penggunanya.2
Dengan demikian maka landasan teori dalam penelitian hukum ini sangat
dibutuhkan dan bersifat fundamental untuk dapat mengkaji, menganalisa, dan
menemukan jawaban atas tujuan penelitian hukum ini. Dibawah ini adalah
merupakan landasan teori yang dipilih penulis sebagai alat untuk mencari
jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.
1. Pengertian Peninjauan Kembali
Secara gramatikal, peninjauan kembali terdiri dari dua kata yaitu
peninjauan dan kembali. Peninjauan berasal dari kata asal tinjau, yang
dapat disepadankan artinya dengan melihat, mengamati atau memeriksa.
Apabila digabungkan dengan utuh, peninjauan kembali dapat diartikan
dengan melihat/mengamati/memeriksa kembali sesuatu yang perlu
1 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Masalah, (Jakarta: Elsam dan Huma), hlm. 84.
2 Ibid, hal. 38
diulangi. Dalam bahasa hukum, Kata peninjauan kembali diterjemahkan
dari kata “Herziening”.
Pada awalnya, herzeining diatur di dalam Reglement of de
Strafvordering yang merupakan singkatan dari Reglement of de Strafvordering
voor de raden van justutie op java en het hooggerechtshof van Indonesie, yakni
peraturan mengenai hukum acara pidana bagi pengadilan-pengadilan
tinggi di Pulau Jawa dan bagi Mahkamah Agung Indonesia, yang
mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1848 dengan Staatsblad Tahun
1848 Nomor 40 juncto Nomor 57, dan telah diundangkan pada tanggal 14
September 1847 dalam Staatsblad Tahun 1847 Nomor 40.3
Dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana disebutkan bahwa pengertian upaya hukum itu adalah hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Adapun
maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah untuk
memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan untuk
kesatuan dalam peradilan.
Dengan adanya upaya hukum ini, ada jaminan bagi terdakwa maupun
masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan
sejauh mungkin seragam. Sedangkan menurut pandangan doktrina untuk
melaksanakan hukum yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk
tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan karena tidak puas dengan
penetapan atau putusan tersebut.4
Menurut pandangan doktrina upaya hukum pada pokoknya bertujuan :
1. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan
(operasi yustitie).
3 P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP; Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakart: Sinar Grafika, 2010), hlm.526
4 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 3.
2. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-
wenang dari hakim.
3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan.
4. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan
keterangan-keterangan baru (Novum).5
Secara profesional upaya hukum di sediakan oleh hukum acara sebagai
institusi yang dapat menguji suatu putusan pengadilan. Dalam penanganan
perkara pidana, baik putusan pengadilan maupun upaya hukum, keduanya
merupakan bagian/instrumen dalam sistem peradilan pidana. Pemahaman
mengenai keduanya tidak dapat dilepaskan dari desain sistem peradilan pidana
itu sendiri.
Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan
sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi criminal justice system
dalam Black’s Law Dictionary disebutkan sebagai,
“The system typically has three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors,defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, parole officers)”.6
Hukum pidana sebagai hukum materiil, dalam penegakannya
dilakukan berdasarkan hukum acara sebagai hukum formil. Hukum acara
merupakan urat nadi kehidupan hukum materil yang memberikan tuntunan
atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materil sehingga dapat memberikan
kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakan
hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting.7 Sebagaimana
telah diuraikan di atas, upaya hukum dalam penegakan hukum pidana 5 Djoko Prakoso, Upaya Hukum yang diatur di dalam KUHAP, ( Jakarta : Aksara Persada
Indonesia, 1987), hlm. 53.6 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul, MN : West
Group,2004) , hlm. 403 7 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), hlm. 4
merupakan salah satu hal yang diatur dalam KUHAP yang merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil di
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan KUHAP, upaya hukum dapat dibagi menjadi:8
1. Upaya hukum biasa (Gewone Rechtsmiddelen) terhadap putusan
pengadilan pada tingkat pertama, yaitu:
a. Perlawanan (verzet)
b. Banding (revisi/Hoger Beroep)
c. Terhadap putusan putusan peradilan tingkat banding (revisi/hoger
beroep) dapat diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.
2. Upaya hukum luar (Buitengewone Rechtsmiddelen) biasa terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berupa:
a. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (Cassatie in het
belang van het recht) atau kasasi jabatan.
b. Peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2. Syarat-syarat Pengajuan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali di dalam KUHAP di atur dalam BAB XVIII di
bawah judul : upaya hukum luar biasa, pada bagian kedua “peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
yang terdiri dari 7 pasal yaitu Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Pasal 263
KUHAP merumuskan sebagai berikut:9
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
8 H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm.. 9-10.
9 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hlm. 7.
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan tetap terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) merupakan syarat formil dalam
mengajukan permintaan upaya hukum peninjauan kembali, yaitu:10
1. Dapat dimintakan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde);
2. Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, apakah itu putusan
pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi atau terhadap putusan tingkat
kasasi selama putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
3. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;
Menurut pasal ini, yang dapat mengajukan peninjauan kembali hanyalah
terpidana atau ahli warisnya, sedangkan mengenai pihak lain apakah itu
penuntut umum, saksi korban ataupun pihak ketiga yang berkepentingan
tidak ada diatur dalam KUHAP.
10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),(Jakarta: Sinar Grafika,2003), hlm. 613-614.
4. Hanya terhadap putusan yang menghukum/memidana saja.
Meskipun KUHAP membolehkan untuk mengajukan peninjauan kembali
terhadap semua putusan pengadilan, namun KUHAP mengecualikan
terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslag rechts vervolging). Hal ini memang logis, karena tidak
mungkin terdakwa yang sudah di putus bebas atau lepas akan mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali.
Selanjutnya mengenai syarat materil terdapat dalam ayat (2) yaitu
sebagai berikut:
1. Apabila terdapat keadaan baru atau “novum”;
Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari
permintaan adalah keadaan baru atau novum yang mempunyai sifat dan
kualitas “menimbulkan dugaan kuat”:11
a. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan
dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi factor
dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, atau
b. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang
berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan
putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima, atau
11 Ibid, hlm. 619.
c. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan, yakni
apabila dalam pelbagai putusan terdapat:12
a. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti;
b. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu
dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara;
c. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang
dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu
dengan yang lainnya.
3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.
Hakim sebagai manusia tentunya tidak luput dari kekhilafan dan
kekeliruan, kekhilafan dan kekeliruan itu bisa saja terjadi dalam semua
tingkat pengadilan. Kekhilafan yang diperbuat Pengadilan Negeri sebagai
peradilan pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding dan kekhilafan
dalam tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat
kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding dan
tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan
kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah.13
Ada dua alasan penting secara doktriner yang tidak dapat ditinggalkan
dalam pembahasan mengenai peninjauan kembali, dan hal demikian telah
dimuat dalam KUHAP, yakni conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang
pertama adalah terdapatnya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan-
keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang disebut berikutnya ialah adanya
suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika diketahui
keadaan itu, pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa
12 Ibid, hlm. 621. 13 Ibid, hlm. 622.
putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut
Umum tidak dapat diterima dan juga terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan.14
3. Acara Peninjauan Kembali
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa syarat-syarat formil
dan materil pengajuan Peninjauan Kembali dicantumkan dalam Pasal 263
KUHAP. Selanjutnya mengenai prosedur pengajuan peninjauan kembali
dimuat dalam Pasal 264 dan 265 KUHAP. Selengkapnya Pasal 264 KUHAP
merumuskan sebagai berikut:
1) Permintaan Peninjauan Kembali oleh Pemohon sebagaimana di maksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pangadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan Peninjauan Kembali.
3) Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
4) Dalam hal pemohon Peninjauan Kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan Peninjauan Kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan Peninjauan Kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.
Sementara Pasal 265 merumuskan sebagai berikut:
1) Ketua Pengadilan setelah menerima permintaan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan Peninjauan Kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan Peninjauan Kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
14 Oemar Seno Adji, Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik, (Jakarta : Erlangga, 1981), hlm. 38-29.
3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat dan ditandatangani oleh hakim dan panitera.
4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Dari bunyi kedua Pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa tata cara
mengajukan permintaan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:15
1. Permintaan diajukan kepada Panitera;
2. Panitera membuat akta permintaan peninjauan kembali;
3. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa;
4. Hakim yang ditunjuk melakukan pemeriksaan sidang yang difokuskan
kepada objek Peninjauan Kembali (keadaan baru) dan hanya berwenang
menilai secara formal belaka dan akan dituangkan dalam “berita acara
pendapat”;
5. Hakim yang memeriksa tidak berwenang menilai alasan yang diajukan
secara materiil, karena yang berwenang menilai secara materiil adalah
Mahkamah Agung;
6. Sifat pemeriksaan persidangan adalah resmi dan terbuka untuk umum dan
dihadiri oleh pemohon dan jaksa;
15 M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 624-634.
7. Semua pendapat dan keadaan yang timbul dalam pemeriksaan sidang
dicatat oleh panitera dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani
oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera;
8. Pengadilan Negeri kemudian melanjutkan permintaan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung, dengan mengirimkan hal-hal sebagai
berikut:
a. Surat permintaan peninjauan kembali;
b. Berkas perkara semula selengkapnya, termasuk berita acara
pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang, segala
surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta segala putusan
yang berhubungan dengan perkara tersebut;
c. Berita acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali;
d. Berita acara pendapat.
9. Oleh Mahkamah Agung kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan
pada berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan permintaan
peninjauan kembali dan berita acara pendapat;
10. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Peninjauan Kembali.
Dalam hal alasan Peninjauan Kembali tidak memenuhi ketentuan yang
disyaratkan oleh perundang-undangan, maka Mahkamah Agung akan
menyatakan permintaan Peninjauan Kembali tidak dapat diterima. Dengan
demikian putusan Mahkamah Agung dalam hal permintaan peninjauan
kembali akan berupa :
1. Pernyataan tidak dapat diterimanya permintaan peninjauan kembali untuk
diperiksa;
2. Menolak permintaan peninjauan kembali;
3. Membatalkan putusan sebelumnya dan menjatuhkan putusan berupa :
a. Putusan bebas;
b. Lepas dari segala tuntutan hukum;
c. Tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d. Menerapkan pidana yang lebih ringan.
Hal-hal yang diuraikan di atas diatur dalam Pasal 266 ayat (1) dan (2)
KUHAP, sedangkan ayat (3) nya berbunyi : ”pidana yang dijatuhkan dalam
putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan
dalam pidana semula”. Ketentuan ini menjadi berlebihan karena permintaan
peninjauan kembali hanya dimaksudkan untuk meringankan atau
membebaskan terpidana dari pidana yang berat bukan sebaliknya.
Pemeriksaan dan putusan yang diambil Mahkamah Agung dalam
perkara peninjauan kembali, hakekatnya bukanlah merupakan pemeriksaan
tingkat ketiga, tetapi untuk memeriksa apakah pengadilan bawahan telah salah
menerapkan hukum atau tidak dilaksanakannya hukum ataupun melampaui
batas wewenangnya. Demikian juga Mahkamah Agung tidak akan memeriksa
judex factie karena merupakan wewenang Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi, tetapi karena ada alasan-alasan yang baru diketahui sesudah putusan
menjadi tetap ataupun putusan itu bertentangan satu dengan dengan lainnya,
ataupun putusan pengadilan sebelumnya mengandung kesilapan yang dengan
sendirinya akan memengaruhi penerapan hukum atau tidak dilaksanakannya
hukum sebagaimana mestinya.16
4. Hierarki Perundang-undangan di Indonesia
Kata hierarkis berart; 1. Urutan tingkatan atau jenjang jabatan, 2.
Organisasi dengan tingkat wewenang dari yang bawah sapai yang paling atas,
16 Parman Soeparman, op.cit. hlm. 88.
3. Bio, deretan tataran biologis, seperti family, genus, spesies, 4. Kat,
kumpulan pembesar Gereja yang diatur menurut pangkat.17
Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan dalam system
ketatanegaraan Indonesia merupakan penjenjangan setiap jenis peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.18
Hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
selalu mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pada zaman Orde Baru, pengaturan tentang hierarki
perundang-undangan didasarkan pada Tap MPR nomor XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Hierarki itu meliputi:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR RI;
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan Pelaksana Lainnya, seperti Peraturan Mentri, Instruksi Mentri,
dan lain-lain.
TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, telah diatur tentang tata urutan
perundang-undangan Republik Indonesia. Tata urutan itu, meliputi:
1. UUD 1945;
17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hierarki (Indonesia)-Kamus sabda, http://Kamus. sabda. Org/kamus/ hierarki., hlm. 1.
18 Bandingkan juga dengan arti hierarki yang termuat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.
2. Ketetapan MPR RI;
3. UU;
4. PERPPU;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden dan
7. Peraturan Daerah.
Sementara itu bdengan berlakuknya Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka hierarki
perundang-undangan tidak lagi mengikuti Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966.
Namun, dalam ketentuan itu, telah ditentukan hierarki perundang-undangan.
Hierarki perundang-undangan itu meliputi:
1. UUD 1945
2. UU/PERPPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.
Hierarki perundang-undangan yang tercantum dalam undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundangundangan,
kini telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Pasal 7 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan telah ditentukan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undanan
yang berlaku di Indonesia. Jenis dan hierarki itu meliputi:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/PERPPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Undang-undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan Negara. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam siding-sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang-undang adalah peraturan perundang-undanan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah peraturan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur. Perturan Daerah nKabupaten/Kota adalah peraturan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kbupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan
hierarkinya. Jenis peraturan perundang-undangan selai itu mencakup
peraturan yag ditetapkan oleh:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4. Mahkamah Agung (MA);
5. Mahkamah Konstitusi (MK);
6. Badan Perwakilan Keuangan (BPK);
7. Komisi udisial (KY);
8. Bank Indoesia (BI);
9. Menteri
10. Badan
11. Lembaga; atau
12. Komisi.
Melalui uraian diatas tentang hierarki peraturan perundang-undangan
dapat dikemukakan persamaan dan perbedaannya dari sejak tahun 1966
sampai dengan saat ini. Hierarki ini dituangkan dalam table berikut;
Tabel 1. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
No Dasar
Hukum
Tap MPR No.
XX/MPRS/1966
Tap MPR No.
III/MPR/2000
UU No. 10 Th.
2004
UU No. 12 Th.
2011
1. Hierarki
Perundang
-undangan
1. UUD1945
2. Tap MPR
3. UU/Perppu
4. PP
5. Kepres
6. Pelaksanaan
lainnya:
a. Peraturan
Mentri
b. Instruksi
Mentri
c. Lain-lain.
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU
4. Perppu
5. PP
6. Kepres
7. Peraturan
Daerah
1. UUD 1945
2. UU/Perppu
3. PP
4. Perpres
5. Perda.
1. UUD 1945
2. Tap MP
3. UU/Perpp
4. PP
5. Perpres
Peraturan
Daerah
Propinsi
6. Peraturan
Daerah
Kabupaten/
Kota
Sumber: H. Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, 2013: 51.
Perlunya tata urutan peraturan perundang-undangan adalah guna
untuk mewujudakan tatanan tertib hukum atara lain di bidang pembentukan
perundang-undangan. Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan
harus dirintis sejak saat perencanaan ampai dengan pengundangannya.
Dengan demikian, pemberlakuan peraturan perundang-undangan haruslah
sesuai dengan kaidah hukum yang ada. Ketentuan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.19
5. Tinjauan Teori Hierarki Norma Hans Kalsen
Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal
teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum
itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan)
dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif,
yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi
Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma
Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.20
Hans Kalsen, pengembang teori legislasi atau dikenal juga teori
Stufenbau, menyatakan bahwa:
“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karna suatu norma hukum menentukan cara membuat norma hukum yang lain, sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain. Karena hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan
19 Dr. Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 36.
20 Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 41.
oleh suatu norma hukum yang lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan hubungan antara superordinasi dengan subordinasi yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonofikasikan dalam bentuk Negara, bukanlah system norma yang satu sama lain yang harus dikordinasikan, yang berdiri sejajar dan sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma yang satu, yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar yanhg tinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi lagi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum ini.”.21
Esensi yang dikemukakan Hans Kalsen pada hierarki dari peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat adalah perauran perundang-undangan
yang:
1. Lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih
tinggi; dan
2. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan
undang-undang yang lebih tinggi lagi.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang
tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di
21 Hans Kalsen, General Theory of Law and State (Teori Umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 179.
bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah
sistem norma yang ada di bawahnya.22
Teori Hans Kalsen dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky.
Hans Nawiasky mengembangkan teori yang disebut Die theorie vom
stufenordnung der rechtnormen, yakni:
1. Suatu norma hukum dari Negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang-
jenjang;
2. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi;
3. Norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi;
4. Pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yaitu
staatsfundamentalnorm.
Selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga
berkelompok –kelompok. Kelompok-kelompok norma hukum dalam suatu
Negara terdiri atas empat kelompok besar, meliputi;
1. Kelompok I : staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara)
2. Kelompok II : staatsgrundgesezt (aturan dasar Negara)
3. Kelompok III : formell gesezt (undang-undang formal)
4. Kelompok IV : verordnung & autonome satzung (aturan pelaksana dan
aturan otonom).23
Asas hukum yan berlaku dalam teori Hans Nawiasky, yaitu asas lex
superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yan
glebih tinggi tingkatannya mengesampingkan (menderogasi) peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.
Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari
22 Farida Indrati Soeprapto, op. cit., hlm. 42.23 Ibid, hlm. 44-45.
suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat
hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya
konstitusi atau undang-undang dasar.24 Selanjutnya Hans Nawiasky
mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar
(basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatsgrundnorm melainkan sta
Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau
bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu
dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan
sebagainya.25
Teori peringkatan hukum Kelsen tersebut dijabarkan lebih lanjut
dalam konteks Indonesia oleh A. Hamid S. At. Tamimi. Ia mengemukakan
bahwa:
“Secara hierarkis dai yang paling tinggi sampai yang paling rendah sebagai berikut, rechtsidee, staatsfundamentalnorm, staasgrundgesezt, formellgesezt, verordnung, dan autonomy satzung. Peringkatan hukum tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu cita hukum (rechtsidee), norma hukum antara (interval norm), dan norma hukum konkret (concrete norm)”.26
Cita hukum (rechtsidee) mengandung arti gagasan besasr suatu
masyarakat mengenai system hukum yang akan dianut oleh masyarakat
yang bersangkutan. Contohnya di Indonesia, sebagai cita hukumnya, yaitu
Pancasila. Kelima sila yang tercantum di dalamnya merupakan cita hukum
rakyat Indonesia didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara secara positif, memberikan bimbingan dan pedoman dalam
semua kegiatan, serta memberi isi kepada setiap peraturan perundang-
24 Ibid, hlm. 46.25 Ibid, hlm. 48.26 A. Hamid At. Tamimi, Cita Hukum dan Cita Negara, dalam Mimbar Hukum, Nomor 13,
(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1999), hlm. 9.
undangan. Staatsfundamentalnorm, yaitu terdapat dalam pembukaan UUD
1945. Verordnung dan autonome satzung, yaitu aturan pelaksanaan dan
aturan otonom, seperti peraturan pemerintah dan peraturan perundang-
undangan di bawahnya.
6. Teori Keadilan
Untuk menelaah lebih jelas tentang pengertian keadilan ini perlu
kiranya dirujuk pandangan hukum alam klasik yang diajarkan oleh Thomas
Aquinas. Dengan mengikuti pandangan Aristoteles, Thomas Aquinas
mengemukan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif (iustitia
distributiva) dan keadilan komulatif (iustitia commutativa). Dua macam
keadilan itu sebenarnya merupakan varian-varian persamaan, tetapi bukan
persamaan itu sendiri. Prinsip persamaan mengandung: “hal yang sama
harus diperlakukan sama dan yang tidak sama harus diperlakikan tidak
sama pula”. Tampaknya prinsip itu merupakan terjemahan yang keliru dari
ajaran ius suum cuique tribuere 27 karena ajaran ini tidak berkaitan dengan
masalah perlakuan. Ajaran mengenai keadilan dalam hal ini hanya
bersangkutan28 dengan apa ynag menjadi hak sesorang yang lain dan dalam
hubungan dengan masyarakat.29
Mengutip dari Kurt Wilk, Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa
bentuk keadilan pertama, yaitu keadilan distributif merujuk kepada adanya
persamaan di antara manusia didasarkan atas prinsip proporsionalitas. Gustav
Radbruch mengemukan bahwa pada keadilan distributif terdapat hubungan
yang bersifat superordinasi artinya antara yang mempunyai wewenang untuk
27 Dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa mengenai keadilan ini dapat dijumpai pada buku Aristoteles yang berjudul Rhethorica, yang oleh orang Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa latin ius suum cuique tribuere atau dalam bahasa Indonesia “setiap orang mendapat bagiannya”. Akan tetapi, keadilan tidak boleh disamakan dengan persamaan. Keadilan, tidak berarti setiap orang mendapatkan bagian yang sama. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 151.
28 Ibid.29 Ibid, hlm. 152.
membagi dan yang mendapat bagian.30 Untuk melaksanakan keadilan ini
diperlukan adanya pihak yang membagi yang bersifat superordinasi terhadap
lebih dari satu orang atau kelompok orang sebagai pihak yang menerima
bagian yang sama-sama mempunyai kedudukan yang bersifat subordinasi
terhadap yang membagi. Yang menjadi tolok ukur dalam prinsip
proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributif adalah jasa, prestasi,
kebutuhan, dan fungsi. Dengan adanya dua orang atau kelompok orang yang
berkedudukan sama sebagai subordinat terhadap pihak yang membagi dapat
dilihat apakah yang membagi telah berlaku adil berdasarkan tolok ukur
tersebut. Dalam dunia nyata, pihak yang membagi adalah negara dan yang
mendapat bagian adalah rakyatnya. Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari
keadilan distributif akah suatu negara telah membuat undang-undang yang
bersandarkan pada tolok ukur tersebut, apakah tindakan pemerintah juga
demikian dan pengadilan juga menjatuhkan putusan yang memerhatikan
ukuran-ukuran itu.31
Lebih lanjut sebagaimana yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki,
Kurt Wilk menyatakan bahwa dengan berpegang pada pandangan tersebut,
Radbruch lebih jauh menyatakan bahwa prinsip keadilan distributif bukanlah
berkaitan dengan siapa yang di32perlakukan sama dan siapa yang
diperlakukan tidak sama; persamaan atau ketidaksamaan itu sebenarnya
merupakan sesuatu yang telah terbentuk. Akhirnya, Radbruch bahwa keadilan
distributif hanya bersangkut paut dengan hubungan di antara manusia bukan
jenis perlakuan terhadap manusia yang berbeda sehingga keadilan distributif
tidak bersangkut paut dengan pemidanaan, misalnya apakah pencuri harus
digantung dan pembunuh harus digilas sampai mati atau pencuri cukup
didenda sedangkan pembunuh harus dipenjarakan.33
30 Ibid.31 Ibid.32 Ibid.33 Ibid, hal. 153.
Bentuk kedua keadilan oleh Kurt Wilk yang dikutip Peter Mahmud
Marzuki, yaitu keadilan komutatif terdapat pada hubungan yang bersifat
koordinatif di antara para pihak. Untuk melihat bekerjanya keadilan ini
diperlukan adanya dua pihak yang mempunyai kedudukan yang sama.
Contoh keadilan komutatif yang diberikan Aristoteles adalah antara kerja dan
upah dan antara kerugian dan ganti rugi. Mengenai keadilan komutatif ini,
Thomas Aquinas mengungkapkan bahwa dalam hubungan antara dua orang
yang bersifat koordinatif tersebut, persamaan diartikan sebagai ekuivalensi,
harmoni, dan keseimbangan.34
Meskipun Aristoteles menyatakan bahwa keadilan bukan persamaan,
bentuk-bentuk keadilan yang dikemukan olehnya, yaitu kedailan distributif
dan keadilan komutatif yang dielaborasi lebih lanjut oleh Thomas Aquinas
dan Gustav Radbruch mengindikasikan adanya persamaan. Hal ini sangat
berbeda dengan konsep ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya. Sebenarnya doktrin itu
pertama kali dikemukan oleh Ulpianus dan berbunyi: Iustitia est perpetua et
constans voluntas ius suum35 cuiquni tribuendi, yang kalau diterjemahkan
secara bebas keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap
untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi bagiannya. Jika konsep
ini ditelaah, keadilan tidak harus berkonotasi dengan persamaan seperti pada
keadilan distributif dan komutatif.36
7. Teori Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan
34 Ibid.35 Ibid.36 Ibid, hlm. 154.
dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian
hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan
pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,
karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan
menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat
melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu
sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari
beberapa ahli.
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu
adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta,
artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan
dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di
samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah
diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya
bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut
Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan
manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu
kurang adil.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M.
Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian
hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut37 :
37
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan
mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum
yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya
keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami
sistem hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan
tidak menyamaratakan.
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan
bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum
dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus
diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan
instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam
mengaktualisasikannya pada hukum positif.
Nurhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum
dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang
berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.
Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut : Pertama,
kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai
perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula.
Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah
atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang
dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang
mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-
undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-
undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan
antara satu dengan yang lain.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum
dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat
menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan
yang harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8
(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi,
maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain
harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada
kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah
memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
bagaimana hukum positif dijalankan.
Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka
kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat
dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung
keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan
hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga
tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum
suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir,
tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu
menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya
masyarakat yang ada.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
1. Kajian Yuridis Putusan mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Mengenai
Pembatalan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, Dian Puspita, Tesis, Fakultas Hukum
Brawijaya Malang.38
Penelitian ini menjelaskan dan menganalisis dasar-dasar atau asas-asas
yang melandasi urgensi permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
hanya dilakukan satu kali saja, serta untuk mendeskripsikan dan menganalisis
implikasi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
mengenai pembatalan pasal 268 ayat (3).
Relevansi dengan penelitian penulis ialah bahwa, dalam jurnal ini juga
membahas mengenai urgensi peninjauan kembali atas satu putusan hanya
dapat diajukan satu kali. Dalam pembahasanya menyimpulkan, permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya bisa dilakukan satu kali adalah
demi tegaknya kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum itu sendiri, dengan
harapan ketika kepatian hukum sudah tercapai maka dalam kepastian itu akan
ada keadilan. Disisi lain ketentuan tersebut juga sesuai dengan asas peradilan
pidana cepat, sederhana dan biaya ringan dan secara teknis dapat
meningkatkan kualitas putusan, memudahkan MA melakukan pemetaan
permasalahan hukum dan mengurangi jumlah perkara di tingkat kasasi yang
berarti mengurangi beban kerja MA.
2. Analisis Yuridis Mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal
268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (Putusan Mahkamah
Konstitusi No.34/Puu-Xi/2013 Tentang Peninjauan Kembali), Muh. Djaelani
Prasetya, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2014.39
38 Dian Puspita, Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Mengenai Pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, Tesis, Universitas Brawijaya Malang. 2014
39 Muh. Djaelani Prasetya, Analisis Yuridis Mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/Puu-Xi/2013 Tentang Peninjauan Kembali), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2014.
Pada penelitian Skripsi ini, Muh. Djailani menggunakan dua rumusan
maslalah. Pertama, menganalisis makna terkandung di dalam pasal 268 ayat
(3) sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XI/2013.
Kedua, menganalisis pertimbangan hukum dalam memutus perkara pada
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XI/2013.
Relevansi dengan penelitian penulis yaitu berkenaan dengan penggaturan PK,
yang mana dalam skripsi tersebut merekomendasikan agar Mahkamah Agung
untuk mengeluarkan SEMA sebagai solusi pengaturan PK yang bisa terjadi
berkali-kali dan hilangnya kepastian hukum.
C. Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir diperlukan agar suatu studi terarah dan fokus, karena
kerangka pemikiran berfungsi sebagai pedoman atauarah pembahasan dalam
rangkaian kegiatan penelitian.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP, menyatakan bahwa pengajuan permohonan
PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Namun, pada 6 Maret
2014 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut dengan putusan MK No.
13/PUU-XI/2013. Dengan keluarnya putusan MK tersebut maka pengajuan PK
dapat dilakukan lebih dari sekali.
Pada perkembangannya, Mahkamah Agung merespon putusan MK
tersebut dengan melayangkan surat edaran (SEMA) No. 7 tahun 2014 yang
menegaskan kembali pengajuan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Munculnya sema ini didasarkan atas pasal Pasal 24 (2) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 66 (1) UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung.
Adanya dua regulasi pengaturan PK ini menimbulkan kerancuan dan
ketidak pastian hukum. Maka penting dalam penelitian ini penulis membahas
tentang kedudukan dan kekutatan SEMA dalam tata peraturan perundang-
undangan di Indonesia serta untuk mencari bentuk pengaturan ideal PK pasca
terbit SEMA No. 7 Tahun 2014.
Gambar 1. Kerangka penelitian.
Kedudukan SEMA dalam tata perturan perundang-undangan di Indonesia.
Pengaturan PK pasca terbit SEMA No. 7 Tahun
2014
Putusan MK No. 13/PUU-XI/2013
Pasal 268 (3) KUHAP
SEMA No. 7 Tahun 2014
Pasal 24 (2) UU No. 48/2009
Kekuasaan Kehakiman
Pasal 66 (1) UU No. 3 2009 Mahkamah
Agung