bab 2

44
A. Landasan Teori Teori – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti “cara atau hasil pandang” – adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara refleksi fenomena yang dijumpai di alam pengalaman. 1 Ilmu apa pun, termasuk ilmu hukum dan ilmu sosial tentang hukum, tidak hanya ada satu aliran atau mazhab. Masing-masing aliran atau mazhab itu mempunyai paradigma, konsepsi, teori dan metodologi yang berbeda satu sama lainnya. Para pengkaji hukum, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya memilih paradigma, konsep hingga teori yang dianut dan kemudian dipergunakan seseorang/sekelompok orang untuk berpikir dan menghasilkan judgement, maupun untuk menjelaskan eksistensi hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Pilihan paradigma, konsep dan teorinya itu memiliki konsekuensi pada metode dan praktik dari penggunanya. 2 Dengan demikian maka landasan teori dalam penelitian hukum ini sangat dibutuhkan dan bersifat 1 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Masalah, (Jakarta: Elsam dan Huma), hlm. 84. 2 Ibid, hal. 38

Transcript of bab 2

Page 1: bab 2

A. Landasan Teori

Teori – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti

“perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani

yang berarti “cara atau hasil pandang” – adalah suatu konstruksi di dalam cita

atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara refleksi

fenomena yang dijumpai di alam pengalaman.1

Ilmu apa pun, termasuk ilmu hukum dan ilmu sosial tentang hukum, tidak

hanya ada satu aliran atau mazhab. Masing-masing aliran atau mazhab itu

mempunyai paradigma, konsepsi, teori dan metodologi yang berbeda satu sama

lainnya. Para pengkaji hukum, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya memilih

paradigma, konsep hingga teori yang dianut dan kemudian dipergunakan

seseorang/sekelompok orang untuk berpikir dan menghasilkan judgement,

maupun untuk menjelaskan eksistensi hukum sebagai suatu kenyataan sosial.

Pilihan paradigma, konsep dan teorinya itu memiliki konsekuensi pada metode

dan praktik dari penggunanya.2

Dengan demikian maka landasan teori dalam penelitian hukum ini sangat

dibutuhkan dan bersifat fundamental untuk dapat mengkaji, menganalisa, dan

menemukan jawaban atas tujuan penelitian hukum ini. Dibawah ini adalah

merupakan landasan teori yang dipilih penulis sebagai alat untuk mencari

jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.

1. Pengertian Peninjauan Kembali

Secara gramatikal, peninjauan kembali terdiri dari dua kata yaitu

peninjauan dan kembali. Peninjauan berasal dari kata asal tinjau, yang

dapat disepadankan artinya dengan melihat, mengamati atau memeriksa.

Apabila digabungkan dengan utuh, peninjauan kembali dapat diartikan

dengan melihat/mengamati/memeriksa kembali sesuatu yang perlu

1 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Masalah, (Jakarta: Elsam dan Huma), hlm. 84.

2 Ibid, hal. 38

Page 2: bab 2

diulangi. Dalam bahasa hukum, Kata peninjauan kembali diterjemahkan

dari kata “Herziening”.

Pada awalnya, herzeining diatur di dalam Reglement of de

Strafvordering yang merupakan singkatan dari Reglement of de Strafvordering

voor de raden van justutie op java en het hooggerechtshof van Indonesie, yakni

peraturan mengenai hukum acara pidana bagi pengadilan-pengadilan

tinggi di Pulau Jawa dan bagi Mahkamah Agung Indonesia, yang

mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1848 dengan Staatsblad Tahun

1848 Nomor 40 juncto Nomor 57, dan telah diundangkan pada tanggal 14

September 1847 dalam Staatsblad Tahun 1847 Nomor 40.3

Dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana disebutkan bahwa pengertian upaya hukum itu adalah hak terdakwa

atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Adapun

maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah untuk

memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan untuk

kesatuan dalam peradilan.

Dengan adanya upaya hukum ini, ada jaminan bagi terdakwa maupun

masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan

sejauh mungkin seragam. Sedangkan menurut pandangan doktrina untuk

melaksanakan hukum yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk

tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan karena tidak puas dengan

penetapan atau putusan tersebut.4

Menurut pandangan doktrina upaya hukum pada pokoknya bertujuan :

1. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan

(operasi yustitie).

3 P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP; Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakart: Sinar Grafika, 2010), hlm.526

4 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 3.

Page 3: bab 2

2. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-

wenang dari hakim.

3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan.

4. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan

keterangan-keterangan baru (Novum).5

Secara profesional upaya hukum di sediakan oleh hukum acara sebagai

institusi yang dapat menguji suatu putusan pengadilan. Dalam penanganan

perkara pidana, baik putusan pengadilan maupun upaya hukum, keduanya

merupakan bagian/instrumen dalam sistem peradilan pidana. Pemahaman

mengenai keduanya tidak dapat dilepaskan dari desain sistem peradilan pidana

itu sendiri.

Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan

sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi criminal justice system

dalam Black’s Law Dictionary disebutkan sebagai,

“The system typically has three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors,defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, parole officers)”.6

Hukum pidana sebagai hukum materiil, dalam penegakannya

dilakukan berdasarkan hukum acara sebagai hukum formil. Hukum acara

merupakan urat nadi kehidupan hukum materil yang memberikan tuntunan

atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materil sehingga dapat memberikan

kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakan

hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting.7 Sebagaimana

telah diuraikan di atas, upaya hukum dalam penegakan hukum pidana 5 Djoko Prakoso, Upaya Hukum yang diatur di dalam KUHAP, ( Jakarta : Aksara Persada

Indonesia, 1987), hlm. 53.6 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul, MN : West

Group,2004) , hlm. 403 7 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 1995), hlm. 4

Page 4: bab 2

merupakan salah satu hal yang diatur dalam KUHAP yang merupakan

rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil di

Indonesia.

Berdasarkan ketentuan KUHAP, upaya hukum dapat dibagi menjadi:8

1. Upaya hukum biasa (Gewone Rechtsmiddelen) terhadap putusan

pengadilan pada tingkat pertama, yaitu:

a. Perlawanan (verzet)

b. Banding (revisi/Hoger Beroep)

c. Terhadap putusan putusan peradilan tingkat banding (revisi/hoger

beroep) dapat diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.

2. Upaya hukum luar (Buitengewone Rechtsmiddelen) biasa terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berupa:

a. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (Cassatie in het

belang van het recht) atau kasasi jabatan.

b. Peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

2. Syarat-syarat Pengajuan Peninjauan Kembali.

Peninjauan Kembali di dalam KUHAP di atur dalam BAB XVIII di

bawah judul : upaya hukum luar biasa, pada bagian kedua “peninjauan

kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

yang terdiri dari 7 pasal yaitu Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Pasal 263

KUHAP merumuskan sebagai berikut:9

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

8 H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm.. 9-10.

9 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hlm. 7.

Page 5: bab 2

2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,

bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

b. Apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan tetap terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Ketentuan Pasal 263 ayat (1) merupakan syarat formil dalam

mengajukan permintaan upaya hukum peninjauan kembali, yaitu:10

1. Dapat dimintakan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (in kracht van gewijsde);

2. Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, apakah itu putusan

pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi atau terhadap putusan tingkat

kasasi selama putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

3. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;

Menurut pasal ini, yang dapat mengajukan peninjauan kembali hanyalah

terpidana atau ahli warisnya, sedangkan mengenai pihak lain apakah itu

penuntut umum, saksi korban ataupun pihak ketiga yang berkepentingan

tidak ada diatur dalam KUHAP.

10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),(Jakarta: Sinar Grafika,2003), hlm. 613-614.

Page 6: bab 2

4. Hanya terhadap putusan yang menghukum/memidana saja.

Meskipun KUHAP membolehkan untuk mengajukan peninjauan kembali

terhadap semua putusan pengadilan, namun KUHAP mengecualikan

terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan

hukum (onslag rechts vervolging). Hal ini memang logis, karena tidak

mungkin terdakwa yang sudah di putus bebas atau lepas akan mengajukan

upaya hukum peninjauan kembali.

Selanjutnya mengenai syarat materil terdapat dalam ayat (2) yaitu

sebagai berikut:

1. Apabila terdapat keadaan baru atau “novum”;

Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari

permintaan adalah keadaan baru atau novum yang mempunyai sifat dan

kualitas “menimbulkan dugaan kuat”:11

a. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan

dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi factor

dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari

segala tuntutan hukum, atau

b. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang

berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan

putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat

diterima, atau

11 Ibid, hlm. 619.

Page 7: bab 2

c. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan

menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan, yakni

apabila dalam pelbagai putusan terdapat:12

a. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti;

b. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu

dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara;

c. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang

dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu

dengan yang lainnya.

3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.

Hakim sebagai manusia tentunya tidak luput dari kekhilafan dan

kekeliruan, kekhilafan dan kekeliruan itu bisa saja terjadi dalam semua

tingkat pengadilan. Kekhilafan yang diperbuat Pengadilan Negeri sebagai

peradilan pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding dan kekhilafan

dalam tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat

kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding dan

tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan

kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah.13

Ada dua alasan penting secara doktriner yang tidak dapat ditinggalkan

dalam pembahasan mengenai peninjauan kembali, dan hal demikian telah

dimuat dalam KUHAP, yakni conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang

pertama adalah terdapatnya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan-

keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang disebut berikutnya ialah adanya

suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika diketahui

keadaan itu, pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa

12 Ibid, hlm. 621. 13 Ibid, hlm. 622.

Page 8: bab 2

putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut

Umum tidak dapat diterima dan juga terhadap perkara itu diterapkan

ketentuan pidana yang lebih ringan.14

3. Acara Peninjauan Kembali

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa syarat-syarat formil

dan materil pengajuan Peninjauan Kembali dicantumkan dalam Pasal 263

KUHAP. Selanjutnya mengenai prosedur pengajuan peninjauan kembali

dimuat dalam Pasal 264 dan 265 KUHAP. Selengkapnya Pasal 264 KUHAP

merumuskan sebagai berikut:

1) Permintaan Peninjauan Kembali oleh Pemohon sebagaimana di maksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pangadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.

2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan Peninjauan Kembali.

3) Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.

4) Dalam hal pemohon Peninjauan Kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan Peninjauan Kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.

5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan Peninjauan Kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.

Sementara Pasal 265 merumuskan sebagai berikut:

1) Ketua Pengadilan setelah menerima permintaan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan Peninjauan Kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan Peninjauan Kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).

2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

14 Oemar Seno Adji, Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik, (Jakarta : Erlangga, 1981), hlm. 38-29.

Page 9: bab 2

3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat dan ditandatangani oleh hakim dan panitera.

4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.

5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

Dari bunyi kedua Pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa tata cara

mengajukan permintaan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:15

1. Permintaan diajukan kepada Panitera;

2. Panitera membuat akta permintaan peninjauan kembali;

3. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa;

4. Hakim yang ditunjuk melakukan pemeriksaan sidang yang difokuskan

kepada objek Peninjauan Kembali (keadaan baru) dan hanya berwenang

menilai secara formal belaka dan akan dituangkan dalam “berita acara

pendapat”;

5. Hakim yang memeriksa tidak berwenang menilai alasan yang diajukan

secara materiil, karena yang berwenang menilai secara materiil adalah

Mahkamah Agung;

6. Sifat pemeriksaan persidangan adalah resmi dan terbuka untuk umum dan

dihadiri oleh pemohon dan jaksa;

15 M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 624-634.

Page 10: bab 2

7. Semua pendapat dan keadaan yang timbul dalam pemeriksaan sidang

dicatat oleh panitera dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani

oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera;

8. Pengadilan Negeri kemudian melanjutkan permintaan Peninjauan

Kembali kepada Mahkamah Agung, dengan mengirimkan hal-hal sebagai

berikut:

a. Surat permintaan peninjauan kembali;

b. Berkas perkara semula selengkapnya, termasuk berita acara

pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang, segala

surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta segala putusan

yang berhubungan dengan perkara tersebut;

c. Berita acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali;

d. Berita acara pendapat.

9. Oleh Mahkamah Agung kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan

pada berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan permintaan

peninjauan kembali dan berita acara pendapat;

10. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Peninjauan Kembali.

Dalam hal alasan Peninjauan Kembali tidak memenuhi ketentuan yang

disyaratkan oleh perundang-undangan, maka Mahkamah Agung akan

menyatakan permintaan Peninjauan Kembali tidak dapat diterima. Dengan

demikian putusan Mahkamah Agung dalam hal permintaan peninjauan

kembali akan berupa :

1. Pernyataan tidak dapat diterimanya permintaan peninjauan kembali untuk

diperiksa;

2. Menolak permintaan peninjauan kembali;

3. Membatalkan putusan sebelumnya dan menjatuhkan putusan berupa :

a. Putusan bebas;

Page 11: bab 2

b. Lepas dari segala tuntutan hukum;

c. Tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

d. Menerapkan pidana yang lebih ringan.

Hal-hal yang diuraikan di atas diatur dalam Pasal 266 ayat (1) dan (2)

KUHAP, sedangkan ayat (3) nya berbunyi : ”pidana yang dijatuhkan dalam

putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan

dalam pidana semula”. Ketentuan ini menjadi berlebihan karena permintaan

peninjauan kembali hanya dimaksudkan untuk meringankan atau

membebaskan terpidana dari pidana yang berat bukan sebaliknya.

Pemeriksaan dan putusan yang diambil Mahkamah Agung dalam

perkara peninjauan kembali, hakekatnya bukanlah merupakan pemeriksaan

tingkat ketiga, tetapi untuk memeriksa apakah pengadilan bawahan telah salah

menerapkan hukum atau tidak dilaksanakannya hukum ataupun melampaui

batas wewenangnya. Demikian juga Mahkamah Agung tidak akan memeriksa

judex factie karena merupakan wewenang Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi, tetapi karena ada alasan-alasan yang baru diketahui sesudah putusan

menjadi tetap ataupun putusan itu bertentangan satu dengan dengan lainnya,

ataupun putusan pengadilan sebelumnya mengandung kesilapan yang dengan

sendirinya akan memengaruhi penerapan hukum atau tidak dilaksanakannya

hukum sebagaimana mestinya.16

4. Hierarki Perundang-undangan di Indonesia

Kata hierarkis berart; 1. Urutan tingkatan atau jenjang jabatan, 2.

Organisasi dengan tingkat wewenang dari yang bawah sapai yang paling atas,

16 Parman Soeparman, op.cit. hlm. 88.

Page 12: bab 2

3. Bio, deretan tataran biologis, seperti family, genus, spesies, 4. Kat,

kumpulan pembesar Gereja yang diatur menurut pangkat.17

Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan dalam system

ketatanegaraan Indonesia merupakan penjenjangan setiap jenis peraturan

perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.18

Hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

selalu mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Pada zaman Orde Baru, pengaturan tentang hierarki

perundang-undangan didasarkan pada Tap MPR nomor XX/MPRS/1966

tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia dan Tata urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Hierarki itu meliputi:

1. UUD 1945;

2. Ketetapan MPR RI;

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(Perppu);

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden;

6. Peraturan Pelaksana Lainnya, seperti Peraturan Mentri, Instruksi Mentri,

dan lain-lain.

TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan, telah diatur tentang tata urutan

perundang-undangan Republik Indonesia. Tata urutan itu, meliputi:

1. UUD 1945;

17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hierarki (Indonesia)-Kamus sabda, http://Kamus. sabda. Org/kamus/ hierarki., hlm. 1.

18 Bandingkan juga dengan arti hierarki yang termuat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Page 13: bab 2

2. Ketetapan MPR RI;

3. UU;

4. PERPPU;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden dan

7. Peraturan Daerah.

Sementara itu bdengan berlakuknya Undang-undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka hierarki

perundang-undangan tidak lagi mengikuti Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966.

Namun, dalam ketentuan itu, telah ditentukan hierarki perundang-undangan.

Hierarki perundang-undangan itu meliputi:

1. UUD 1945

2. UU/PERPPU

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah.

Hierarki perundang-undangan yang tercantum dalam undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundangundangan,

kini telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Pasal 7 Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan telah ditentukan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undanan

yang berlaku di Indonesia. Jenis dan hierarki itu meliputi:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. UU/PERPPU

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

Page 14: bab 2

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Undang-undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara

Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam

penyelenggaraan Negara. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam siding-sidang

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Undang-undang adalah peraturan perundang-undanan yang dibentuk

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah peraturan yang

ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan

oleh Presiden untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.

Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan

oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan yang lebih tinggi.

Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan

bersama Gubernur. Perturan Daerah nKabupaten/Kota adalah peraturan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kbupaten/Kota dengan

persetujuan bersama Bupati.

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan

hierarkinya. Jenis peraturan perundang-undangan selai itu mencakup

peraturan yag ditetapkan oleh:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

4. Mahkamah Agung (MA);

5. Mahkamah Konstitusi (MK);

6. Badan Perwakilan Keuangan (BPK);

Page 15: bab 2

7. Komisi udisial (KY);

8. Bank Indoesia (BI);

9. Menteri

10. Badan

11. Lembaga; atau

12. Komisi.

Melalui uraian diatas tentang hierarki peraturan perundang-undangan

dapat dikemukakan persamaan dan perbedaannya dari sejak tahun 1966

sampai dengan saat ini. Hierarki ini dituangkan dalam table berikut;

Tabel 1. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

No Dasar

Hukum

Tap MPR No.

XX/MPRS/1966

Tap MPR No.

III/MPR/2000

UU No. 10 Th.

2004

UU No. 12 Th.

2011

1. Hierarki

Perundang

-undangan

1. UUD1945

2. Tap MPR

3. UU/Perppu

4. PP

5. Kepres

6. Pelaksanaan

lainnya:

a. Peraturan

Mentri

b. Instruksi

Mentri

c. Lain-lain.

1. UUD 1945

2. Tap MPR

3. UU

4. Perppu

5. PP

6. Kepres

7. Peraturan

Daerah

1. UUD 1945

2. UU/Perppu

3. PP

4. Perpres

5. Perda.

1. UUD 1945

2. Tap MP

3. UU/Perpp

4. PP

5. Perpres

Peraturan

Daerah

Propinsi

6. Peraturan

Daerah

Kabupaten/

Kota

Sumber: H. Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, 2013: 51.

Page 16: bab 2

Perlunya tata urutan peraturan perundang-undangan adalah guna

untuk mewujudakan tatanan tertib hukum atara lain di bidang pembentukan

perundang-undangan. Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan

harus dirintis sejak saat perencanaan ampai dengan pengundangannya.

Dengan demikian, pemberlakuan peraturan perundang-undangan haruslah

sesuai dengan kaidah hukum yang ada. Ketentuan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.19

5. Tinjauan Teori Hierarki Norma Hans Kalsen

Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal

teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.

Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum

itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan)

dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif,

yaitu Norma Dasar (Grundnorm).

Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma

tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi

Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma

Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di

bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.20

Hans Kalsen, pengembang teori legislasi atau dikenal juga teori

Stufenbau, menyatakan bahwa:

“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karna suatu norma hukum menentukan cara membuat norma hukum yang lain, sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain. Karena hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan

19 Dr. Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 36.

20 Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 41.

Page 17: bab 2

oleh suatu norma hukum yang lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan hubungan antara superordinasi dengan subordinasi yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonofikasikan dalam bentuk Negara, bukanlah system norma yang satu sama lain yang harus dikordinasikan, yang berdiri sejajar dan sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma yang satu, yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar yanhg tinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi lagi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum ini.”.21

Esensi yang dikemukakan Hans Kalsen pada hierarki dari peraturan

perundang-undangan yang akan dibuat adalah perauran perundang-undangan

yang:

1. Lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih

tinggi; dan

2. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan

undang-undang yang lebih tinggi lagi.

Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan

berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga

menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah

daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang

tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di

21 Hans Kalsen, General Theory of Law and State (Teori Umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 179.

Page 18: bab 2

bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah

sistem norma yang ada di bawahnya.22

Teori Hans Kalsen dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky.

Hans Nawiasky mengembangkan teori yang disebut Die theorie vom

stufenordnung der rechtnormen, yakni:

1. Suatu norma hukum dari Negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang-

jenjang;

2. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi;

3. Norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi;

4. Pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yaitu

staatsfundamentalnorm.

Selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga

berkelompok –kelompok. Kelompok-kelompok norma hukum dalam suatu

Negara terdiri atas empat kelompok besar, meliputi;

1. Kelompok I : staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara)

2. Kelompok II : staatsgrundgesezt (aturan dasar Negara)

3. Kelompok III : formell gesezt (undang-undang formal)

4. Kelompok IV : verordnung & autonome satzung (aturan pelaksana dan

aturan otonom).23

Asas hukum yan berlaku dalam teori Hans Nawiasky, yaitu asas lex

superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yan

glebih tinggi tingkatannya mengesampingkan (menderogasi) peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah.

Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang

merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari

22 Farida Indrati Soeprapto, op. cit., hlm. 42.23 Ibid, hlm. 44-45.

Page 19: bab 2

suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat

hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu

konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya

konstitusi atau undang-undang dasar.24 Selanjutnya Hans Nawiasky

mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar

(basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai

staatsgrundnorm melainkan sta

Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau

bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu

dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan

sebagainya.25

Teori peringkatan hukum Kelsen tersebut dijabarkan lebih lanjut

dalam konteks Indonesia oleh A. Hamid S. At. Tamimi. Ia mengemukakan

bahwa:

“Secara hierarkis dai yang paling tinggi sampai yang paling rendah sebagai berikut, rechtsidee, staatsfundamentalnorm, staasgrundgesezt, formellgesezt, verordnung, dan autonomy satzung. Peringkatan hukum tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu cita hukum (rechtsidee), norma hukum antara (interval norm), dan norma hukum konkret (concrete norm)”.26

Cita hukum (rechtsidee) mengandung arti gagasan besasr suatu

masyarakat mengenai system hukum yang akan dianut oleh masyarakat

yang bersangkutan. Contohnya di Indonesia, sebagai cita hukumnya, yaitu

Pancasila. Kelima sila yang tercantum di dalamnya merupakan cita hukum

rakyat Indonesia didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara secara positif, memberikan bimbingan dan pedoman dalam

semua kegiatan, serta memberi isi kepada setiap peraturan perundang-

24 Ibid, hlm. 46.25 Ibid, hlm. 48.26 A. Hamid At. Tamimi, Cita Hukum dan Cita Negara, dalam Mimbar Hukum, Nomor 13,

(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1999), hlm. 9.

Page 20: bab 2

undangan. Staatsfundamentalnorm, yaitu terdapat dalam pembukaan UUD

1945. Verordnung dan autonome satzung, yaitu aturan pelaksanaan dan

aturan otonom, seperti peraturan pemerintah dan peraturan perundang-

undangan di bawahnya.

6. Teori Keadilan

Untuk menelaah lebih jelas tentang pengertian keadilan ini perlu

kiranya dirujuk pandangan hukum alam klasik yang diajarkan oleh Thomas

Aquinas. Dengan mengikuti pandangan Aristoteles, Thomas Aquinas

mengemukan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif (iustitia

distributiva) dan keadilan komulatif (iustitia commutativa). Dua macam

keadilan itu sebenarnya merupakan varian-varian persamaan, tetapi bukan

persamaan itu sendiri. Prinsip persamaan mengandung: “hal yang sama

harus diperlakukan sama dan yang tidak sama harus diperlakikan tidak

sama pula”. Tampaknya prinsip itu merupakan terjemahan yang keliru dari

ajaran ius suum cuique tribuere 27 karena ajaran ini tidak berkaitan dengan

masalah perlakuan. Ajaran mengenai keadilan dalam hal ini hanya

bersangkutan28 dengan apa ynag menjadi hak sesorang yang lain dan dalam

hubungan dengan masyarakat.29

Mengutip dari Kurt Wilk, Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa

bentuk keadilan pertama, yaitu keadilan distributif merujuk kepada adanya

persamaan di antara manusia didasarkan atas prinsip proporsionalitas. Gustav

Radbruch mengemukan bahwa pada keadilan distributif terdapat hubungan

yang bersifat superordinasi artinya antara yang mempunyai wewenang untuk

27 Dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa mengenai keadilan ini dapat dijumpai pada buku Aristoteles yang berjudul Rhethorica, yang oleh orang Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa latin ius suum cuique tribuere atau dalam bahasa Indonesia “setiap orang mendapat bagiannya”. Akan tetapi, keadilan tidak boleh disamakan dengan persamaan. Keadilan, tidak berarti setiap orang mendapatkan bagian yang sama. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 151.

28 Ibid.29 Ibid, hlm. 152.

Page 21: bab 2

membagi dan yang mendapat bagian.30 Untuk melaksanakan keadilan ini

diperlukan adanya pihak yang membagi yang bersifat superordinasi terhadap

lebih dari satu orang atau kelompok orang sebagai pihak yang menerima

bagian yang sama-sama mempunyai kedudukan yang bersifat subordinasi

terhadap yang membagi. Yang menjadi tolok ukur dalam prinsip

proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributif adalah jasa, prestasi,

kebutuhan, dan fungsi. Dengan adanya dua orang atau kelompok orang yang

berkedudukan sama sebagai subordinat terhadap pihak yang membagi dapat

dilihat apakah yang membagi telah berlaku adil berdasarkan tolok ukur

tersebut. Dalam dunia nyata, pihak yang membagi adalah negara dan yang

mendapat bagian adalah rakyatnya. Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari

keadilan distributif akah suatu negara telah membuat undang-undang yang

bersandarkan pada tolok ukur tersebut, apakah tindakan pemerintah juga

demikian dan pengadilan juga menjatuhkan putusan yang memerhatikan

ukuran-ukuran itu.31

Lebih lanjut sebagaimana yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki,

Kurt Wilk menyatakan bahwa dengan berpegang pada pandangan tersebut,

Radbruch lebih jauh menyatakan bahwa prinsip keadilan distributif bukanlah

berkaitan dengan siapa yang di32perlakukan sama dan siapa yang

diperlakukan tidak sama; persamaan atau ketidaksamaan itu sebenarnya

merupakan sesuatu yang telah terbentuk. Akhirnya, Radbruch bahwa keadilan

distributif hanya bersangkut paut dengan hubungan di antara manusia bukan

jenis perlakuan terhadap manusia yang berbeda sehingga keadilan distributif

tidak bersangkut paut dengan pemidanaan, misalnya apakah pencuri harus

digantung dan pembunuh harus digilas sampai mati atau pencuri cukup

didenda sedangkan pembunuh harus dipenjarakan.33

30 Ibid.31 Ibid.32 Ibid.33 Ibid, hal. 153.

Page 22: bab 2

Bentuk kedua keadilan oleh Kurt Wilk yang dikutip Peter Mahmud

Marzuki, yaitu keadilan komutatif terdapat pada hubungan yang bersifat

koordinatif di antara para pihak. Untuk melihat bekerjanya keadilan ini

diperlukan adanya dua pihak yang mempunyai kedudukan yang sama.

Contoh keadilan komutatif yang diberikan Aristoteles adalah antara kerja dan

upah dan antara kerugian dan ganti rugi. Mengenai keadilan komutatif ini,

Thomas Aquinas mengungkapkan bahwa dalam hubungan antara dua orang

yang bersifat koordinatif tersebut, persamaan diartikan sebagai ekuivalensi,

harmoni, dan keseimbangan.34

Meskipun Aristoteles menyatakan bahwa keadilan bukan persamaan,

bentuk-bentuk keadilan yang dikemukan olehnya, yaitu kedailan distributif

dan keadilan komutatif yang dielaborasi lebih lanjut oleh Thomas Aquinas

dan Gustav Radbruch mengindikasikan adanya persamaan. Hal ini sangat

berbeda dengan konsep ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan

kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya. Sebenarnya doktrin itu

pertama kali dikemukan oleh Ulpianus dan berbunyi: Iustitia est perpetua et

constans voluntas ius suum35 cuiquni tribuendi, yang kalau diterjemahkan

secara bebas keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap

untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi bagiannya. Jika konsep

ini ditelaah, keadilan tidak harus berkonotasi dengan persamaan seperti pada

keadilan distributif dan komutatif.36

7. Teori Kepastian Hukum

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman

perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan

34 Ibid.35 Ibid.36 Ibid, hlm. 154.

Page 23: bab 2

dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian

hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan

pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,

karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat

melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan

bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu

sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari

beberapa ahli.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu

adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta,

artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan

dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di

samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah

diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya

bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.

Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari

perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut

Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan

manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu

kurang adil.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M.

Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian

hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut37 :

37

Page 24: bab 2

1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan

mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-

aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat

kepadanya;

3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan

karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu

mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan

bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian

hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.

Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum

yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya

keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami

sistem hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan

bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat

memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun

kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik

dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat

menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan

tidak menyamaratakan.

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan

bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum

dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus

Page 25: bab 2

diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan

instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam

mengaktualisasikannya pada hukum positif.

Nurhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum

dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang

berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.

Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut : Pertama,

kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai

perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula.

Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan

perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah

atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang

dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang

mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-

undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-

undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan

antara satu dengan yang lain.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum

dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan

berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat

menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan

yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8

(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi,

maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain

harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai

berikut:

Page 26: bab 2

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak

berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan;

7. Tidak boleh sering diubah-ubah;

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada

kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah

memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi

bagaimana hukum positif dijalankan.

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka

kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak

menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat

dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan

hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga

tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum

suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir,

tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu

menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya

masyarakat yang ada.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:

Page 27: bab 2

1. Kajian Yuridis Putusan mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Mengenai

Pembatalan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, Dian Puspita, Tesis, Fakultas Hukum

Brawijaya Malang.38

Penelitian ini menjelaskan dan menganalisis dasar-dasar atau asas-asas

yang melandasi urgensi permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan

hanya dilakukan satu kali saja, serta untuk mendeskripsikan dan menganalisis

implikasi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

mengenai pembatalan pasal 268 ayat (3).

Relevansi dengan penelitian penulis ialah bahwa, dalam jurnal ini juga

membahas mengenai urgensi peninjauan kembali atas satu putusan hanya

dapat diajukan satu kali. Dalam pembahasanya menyimpulkan, permintaan

peninjauan kembali atas suatu putusan hanya bisa dilakukan satu kali adalah

demi tegaknya kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum itu sendiri, dengan

harapan ketika kepatian hukum sudah tercapai maka dalam kepastian itu akan

ada keadilan. Disisi lain ketentuan tersebut juga sesuai dengan asas peradilan

pidana cepat, sederhana dan biaya ringan dan secara teknis dapat

meningkatkan kualitas putusan, memudahkan MA melakukan pemetaan

permasalahan hukum dan mengurangi jumlah perkara di tingkat kasasi yang

berarti mengurangi beban kerja MA.

2. Analisis Yuridis Mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal

268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (Putusan Mahkamah

Konstitusi No.34/Puu-Xi/2013 Tentang Peninjauan Kembali), Muh. Djaelani

Prasetya, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2014.39

38 Dian Puspita, Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Mengenai Pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, Tesis, Universitas Brawijaya Malang. 2014

39 Muh. Djaelani Prasetya, Analisis Yuridis Mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/Puu-Xi/2013 Tentang Peninjauan Kembali), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2014.

Page 28: bab 2

Pada penelitian Skripsi ini, Muh. Djailani menggunakan dua rumusan

maslalah. Pertama, menganalisis makna terkandung di dalam pasal 268 ayat

(3) sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XI/2013.

Kedua, menganalisis pertimbangan hukum dalam memutus perkara pada

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XI/2013.

Relevansi dengan penelitian penulis yaitu berkenaan dengan penggaturan PK,

yang mana dalam skripsi tersebut merekomendasikan agar Mahkamah Agung

untuk mengeluarkan SEMA sebagai solusi pengaturan PK yang bisa terjadi

berkali-kali dan hilangnya kepastian hukum.

C. Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir diperlukan agar suatu studi terarah dan fokus, karena

kerangka pemikiran berfungsi sebagai pedoman atauarah pembahasan dalam

rangkaian kegiatan penelitian.

Pasal 268 ayat (3) KUHAP, menyatakan bahwa pengajuan permohonan

PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Namun, pada 6 Maret

2014 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut dengan putusan MK No.

13/PUU-XI/2013. Dengan keluarnya putusan MK tersebut maka pengajuan PK

dapat dilakukan lebih dari sekali.

Pada perkembangannya, Mahkamah Agung merespon putusan MK

tersebut dengan melayangkan surat edaran (SEMA) No. 7 tahun 2014 yang

menegaskan kembali pengajuan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja.

Munculnya sema ini didasarkan atas pasal Pasal 24 (2) UU No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 66 (1) UU No. 3 Tahun 2009 tentang

Mahkamah Agung.

Adanya dua regulasi pengaturan PK ini menimbulkan kerancuan dan

ketidak pastian hukum. Maka penting dalam penelitian ini penulis membahas

tentang kedudukan dan kekutatan SEMA dalam tata peraturan perundang-

undangan di Indonesia serta untuk mencari bentuk pengaturan ideal PK pasca

terbit SEMA No. 7 Tahun 2014.

Page 29: bab 2

Gambar 1. Kerangka penelitian.

Kedudukan SEMA dalam tata perturan perundang-undangan di Indonesia.

Pengaturan PK pasca terbit SEMA No. 7 Tahun

2014

Putusan MK No. 13/PUU-XI/2013

Pasal 268 (3) KUHAP

SEMA No. 7 Tahun 2014

Pasal 24 (2) UU No. 48/2009

Kekuasaan Kehakiman

Pasal 66 (1) UU No. 3 2009 Mahkamah

Agung