LAPORAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG MIE DAN PASTA
ACARA II KADAR AMILOSA
Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Andri Yuwono (H3112009)
2. Atik Dewi Restiana (H3112015)
3. Danang Prayitno (H3112021)
4. Diky Gusnanto W. (H3112026)
5. Gohan Fransiska M. (H3112039)
6. Gunawan Wibisono (H3112040)
7. Liliany Anggita P. (H3112050)
8. Siska Susilowati (H3112083)
PROGRAM STUDI D-III TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
ACARA II
KADAR AMILOSA
A. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum Acara II “Kadar Amilosa” adalah :
1. Mahasiswa mampu membuat kurva standar amilosa.
2. Mahasiswa mampu menentukan kadar amilosa pada tepung ubi, tepung
singkong dan tepung beras.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kadar amilosa pada tepung ubi, tepung
singkong dan tepung beras.
B. Tinjauan Pustaka
Pati adalah bahan makanan yang memiliki atribut nilai tambah untuk
aplikasi industri yang tak terhitung banyaknya dan bersifat fleksibel. Sumber
yang paling umum dari pati yaitu jagung, kentang, gandum, ubi kayu atau
tapioka dan beras. Penggunaan Pati sekarang jauh melebihi desain aslinya
sebagai sumber energi biologis. Hampir setiap industri yang ada
menggunakan pati atau turunannya dalam satu bentuk atau lain. Dalam
makanan dan obat-obatan pati digunakan untuk mempengaruhi atau
mengendalikan karakteristik seperti tekstur, kelembaban, konsistensi dan
stabilitas. Hal ini dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi atau
membentuk film tahan minyak. Pati benar-benar berfungsi sebagai bahan
multifungsi dalam industri makanan (Akpa et al, 2012).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
karbonnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri
dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut
amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari
berat total. Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat pada
serealia, contohnya pada beras. Semakin kecil kandungan amilosa atau
semakin tinggi kandungan amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut. Beras
ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2%), sedang beras yang mengandung
amilosa lebih besar dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan
(Winarno, 1992).
Pati adalah cadangan makanan utama pada tanaman. Senyawa ini
sebenarnya merupakan campuran dari dua polisakarida yaitu amilosa dan
amilopektin. Molekul amilosa terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang
berikatan membentuk rantai lurus. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa.
Sedangkan molekul amilopektin terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang
berikatan membentuk struktur rantai bercabang. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan bahwa pati pada tanaman terdapat sebagai granula-granula.
Lapisan luar dari setiap granula terdiri atas molekul-molekul pati yang
tersusun amat rapat sehingga tidak tertembus air dingin. Sumber pati asal
tanaman yang berbeda mempunyai ciri khas pada bentuk dan pada
penyebaran ukuran-ukuran granula pati itu (Gaman dan Sherrington, 1981).
Pati merupakan polimer alam yang terjadi di semua organisme
tumbuhan. Pati adalah komponen utama dari sebagian besar tanaman. Pati
disintesis dari glukosa, yang dibentuk dari dioksida dan air, pati merupakan
produk langsung dari fotosintesis, maka dari itu disebut bahan baku yang
dapat diperbaharui. Pati adalah polisakarida yang terdiri dari rantai
glukosa residu terikat dengan hubungan glikosidik, namun
struktur yang terbentuk adalah spasial dalam karakter. Proporsi fraksi amilosa
dan amilopektin tergantung pada asal botani pati. Kadar amilosa pati biasanya
berkisar 10-35%, meskipun dalam pati kandungan amilosanya dapat juga
mencapai 70%, dibandingkan dengan yang disebut "lilin" (high-amilopektin)
pati (Leszczynski, 2004).
Amilum yang dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai zat pati
atau zat tepung, yang merupakan suatu glukosan dan cadangan persediaan
makanan bagi tanaman. Dalam tanaman, amilum terutama terdapat pada akar,
umbi atau biji tanamana. Poliosa ini merupakan sumber kalori yang sangat
penting untuk tubuh, karena sebagian besar karbohidrat dalam makanan
terdapat dalam bentuk amilum. Rasa amilum tidak manis dan terbentuk pada
proses asimilasi dalam tanaman. Tanaman yang banyak mengandung amilum
antara lain ubi kayu, kentang, sagu dan jenis gandum. Amilum praktis tidak
larut dalam air dingin, tetapi apabila dipanaskan dengan air yang cukup,
ternyata zat ini terdiri atas dua fraksi. Fraksi yang larut disebut amilosa dan
fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Kadar amilosa dalam berbagai
jenis amilum umumnya tidak sama sekitar 10-25%. Kadar amilosa dalam
beras ketan sangat kecil. Amilosa dengan penambahan iodium memberikan
warna biru yang segera hilang bila dipanaskan dan timbul kembali setelah
didinginkan (Sumardjo, 2009).
Tepung beras dibedakan menjadi dua berdasarkan kandungan amilosa
yang mempengaruhi sifat-sifat pemasakan dan kualitas rasa, yaitu tepung
beras dan tepung beras ketan. Tepung beras ketan kadar amilosanya berkisar
antara 17-32%, akan berpengaruh pada hasil pemasakan, beras ketan akan
tetap lunak walaupun dibiarkan satu malam setelah dimasak. Sedangkan
tepung beras umumnya kadar amilosanya kurang dari 25%, pengaruhnya
setelah pemasakan, volume beras akan besar tetapi akan keras bila sudah
dingin (Utomo, 2005).
Pati bereaksi dengan iod dengan adanya iodida yang akan membentuk
suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi-
konsentrasi iod yang sangat rendah. Kepekaan reaksi warna ini adalah
sedemikian sehingga warna biru akan terlihat bila konsentrasi iod adalah
2x10-5 M dan konsentrasi iodida lebih besar daripada 4x10-4 M pada 20oC.
Kepekaan warna berkurang dengan naiknya temperatur larutan. Pada suhu
50oC yaitu kira-kira sepuluh kali kurang peka dibandingkan pada suhu 25oC.
Kepekaan berkurang pada penambahan pelarut-pelarut seperti etanol. Tidak
akan dapat diperoleh warna dalam larutan yang mengandung etanol 50% atau
lebih. Pati tidak dapat digunakan dalam medium yang sangat asam karena
akan terjadi hidrolisis dari pati tersebut. pati dapat dipisah menjadi dua
komponen utama, amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam proporsi
berbeda-beda dalam berbagai tumbuh-tumbuhan. Amilosa merupakan suatu
senyawa berantai lurus dan terdapat berlimpah dalam pati kentang, memberi
warna biru dengan iod dan rantainya mengambil bentuk spiral. Amilopektin
yang mempunyai struktur rantai bercabang, membentuk suatu produk
berwarna ungu-merah yang mungkin dengan adsorpsi (Bassett et al, 1994).
Penetapan kadar berdasarkan reaksi antara amilosa dengan senyawa
iod yang menghasilkan warna biru. Sebelumnya dilakukan pembuatan kurva
standar amilosa yang menunjukkan hubungan antara nilai penyerapan cahaya
dengan penyerapan amilosa. Kurva standar dibuat dengan cara pati kentang
sebanyak 40 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian
ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan
dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100° C selama 7 menit. Larutan
selanjutnya dipipet ke dalam labu ukur 100 mL masing-masing sebanyak 1;
2; 3; 4 dan 5 mL. Masing-masing larutan kemudian ditambahkan dengan 0,2;
0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod 2%, larutan
diencerkan sampai volume 100 mL, larutan dikocok dan didiamkan selama 20
menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 625 nm. Zat uji sebanyak 100 mg ditempatkan
dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9
mL NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih hingga terbentuk
gel dan selanjutnya seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Gel
ditambahkan dengan air lalu dikocok, kemudian dicukupkan hingga 100 mL
dengan air. Sebanyak 10 mL larutan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
yang berisi 60 mL air dan ditambah dengan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL
larutan iod 2%, larutan diencerkan sampai volume 100 mL, larutan dikocok
dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa
dihitung berdasarkan persamaan kurva standar amilosa (Lukman dkk, 2013).
Kadar amilosa menurun seiring dengan bertambahnya umur panen
pada produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan amilosa yang terkandung
didalam pati tersebut mengalami titik jenuh. Tingginya kadar amilosa pada
tepung karena tepung memiliki kandungan pati tinggi dan diduga pati tersebut
memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang lebih panjang dibandingkan dengan
tepung lainnya. Semakin panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung
didalam pati, maka semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung
didalamnya. Selain itu perbedaan kadar amilosa pada tepung juga tergantung
pada bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung (Susilawati dkk, 2008).
Peran amilopektin dalam sifat fungsionalnya sangat sulit untuk
ditentukan karena amilopektin memiliki kecenderungan untuk membentuk
kumpulan tidak larut air. Oleh karena itu, amilosa merupakan hal yang paling
banyak diteliti dalam memperkirakan karakter pati dari beras. Kadar amilosa
mempengaruhi sifat fisikokimia beras dan dapat digunakan untuk mendeteksi
tingkat kepulenan serta kelengketan nasi yang dihasilkan. Kandungan amilosa
mempunyai korelasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan
volume nasi selama pemasakan. Jadi, apabila kandungan amilosa di dalam
beras banyak maka beras tersebut apabila dimasak mudah mengembang
(Masniawati dkk, 2012).
C. Metodologi
1. Alat
a. Neraca analitik
b. Pipet 1 ml
c. Pipet 10 ml
d. Propipet
e. Panci
f. Kompor
g. Labu takar 100 ml
h. Spektrofotometer
i. Tabung reaksi
j. Alat vortex
k. Alat penjepit
l. Stopwatch
m. Penangas air
2. Bahan
a. Tepung singkong
b. Tepung ubi
c. Tepung beras
d. Amilosa murni (amilosa kentang)
e. Ethanol 95 %
f. Larutan NaOH
g. Aquadest
h. Asam asetat
i. Larutan iod
j. Air
3. Cara Kerja
a. Pembuatan Kurva Standar Amilosa
b. Penentuan Kadar Amilosa
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2.1 Pembuatan Kurva Standarml Larutan Konsentrasi (ml) Ao (Y)
1 0,4 0,0992 0,8 0,1873 1,2 0,2414 1,6 0,3565 2,0 0,468
Sumber : Laporan SementaraKeterangan :a = - 1,9 x 10-3b = 0,22675r = 0,9922
Berdasarkan Tabel 2.1 Pembuatan Kurva Standar dengan
menggunakan 40 mg amilosa murni (amilosa kentang) setelah dilakukan
pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 625 nm pada 1 ml larutan dengan penambahan asam asetat 0,4 ml
diperoleh absorbansi sebesar 0,099; pada 2 ml larutan dengan penambahan
asam asetat 0,8 ml diperoleh absorbansi sebesar 0,187; pada 3 ml larutan
dengan penambahan asam asetat 1,2 ml diperoleh absorbansi sebesar 0,241;
pada 4 ml larutan dengan penambahan asam asetat 1,6 ml diperoleh
absorbansi sebesar 0,356 dan pada 5 ml larutan dengan penambahan asam
asetat 2,0 ml diperoleh absorbansi sebesar 0,468.
Tabel 2.2 Kadar Amilosa Berbagai Macam Tepung
No Kelompok Jenis TepungAbsorben
(Y)Rata-rata X
% Amilosa(Rata-rata x 100%)
1 1 dan 2 Tepung ubi0,335
0,315 1,398 31,50,295
2 3 dan 4Tepung
singkong0,328
0,381 1,689 38,10,434
3 5 dan 6 Tepung beras0,234
0,234 1,040 23,40,086
Sumber : Laporan Sementara
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
karbonnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri
dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut
amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari
berat total. Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan
amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut (Winarno, 1992). Molekul
amilosa terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang berikatan membentuk
rantai lurus. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa. Sedangkan molekul
amilopektin terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk
struktur rantai bercabang. Sementara itu, kadar amilosa merupakan suatu
teknik atau cara pengujian untuk mengetahui seberapa banyak kandungan
amilosa pada suatu bahan (Gaman dan Sherrington, 1981).
Fungsi penambahan larutan iod pada saat pengujian kadar amilosa
yaitu pati akan bereaksi dengan iod dengan adanya iodida yang akan
membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada
konsentrasi-konsentrasi iod yang sangat rendah. Kepekaan reaksi warna ini
adalah sedemikian sehingga warna biru akan terlihat bila konsentrasi iod
adalah 2x10-5 M dan konsentrasi iodida lebih besar daripada 4x10-4 M pada
20oC. Kepekaan warna berkurang dengan naiknya temperatur larutan. Pada
suhu 50oC yaitu kira-kira sepuluh kali kurang peka dibandingkan pada suhu
25oC. Kepekaan berkurang pada penambahan pelarut-pelarut seperti etanol.
Tidak akan dapat diperoleh warna dalam larutan yang mengandung etanol
50% atau lebih. Amilosa akan memberikan warna biru dengan penambahan
iod sedangkan amilopektin membentuk suatu produk yang berwarna ungu-
merah (Bassett et al, 1994).
Menurut Lukman dkk (2013) penetapan kadar amilosa berdasarkan
reaksi antara amilosa dengan senyawa iod yang menghasilkan warna biru.
Sebelumnya dilakukan pembuatan kurva standar amilosa yang menunjukkan
hubungan antara nilai penyerapan cahaya dengan penyerapan amilosa. Kurva
standar dibuat dengan cara pati kentang sebanyak 40 mg dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan dengan 1 mL etanol 95%
dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100° C
selama 7 menit. Larutan selanjutnya dipipet ke dalam labu ukur 100 mL
masing-masing sebanyak 1; 2; 3; 4 dan 5 mL. Masing-masing larutan
kemudian ditambahkan dengan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL asam asetat 1 N
dan 2 mL larutan iod 2%, larutan diencerkan sampai volume 100 mL, larutan
dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Zat uji
sebanyak 100 mg ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan
dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam
air mendidih hingga terbentuk gel dan selanjutnya seluruh gel dipindahkan ke
dalam labu takar 100 mL. Gel ditambahkan dengan air lalu dikocok,
kemudian dicukupkan hingga 100 mL dengan air. Sebanyak 10 mL larutan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL yang berisi 60 mL air dan ditambah
dengan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod 2%, larutan diencerkan
sampai volume 100 mL, larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit.
Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persamaan
kurva standar amilosa.
Pada peneraan sampel dengan spektrofotometer digunakan panjang
gelombang (𝝺) 625 nm karena hal tersebut sesuai dengan warna yang dapat
diserap oleh reagen yaitu biru, pengamatan tersebut menggunakan jenis
spektrofotometri visible, pada spektrofotometri ini yang digunakan sebagai
sumber sinar/energi adalah cahaya tampak (visible). Cahaya visible termasuk
spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh mata manusia. Panjang
gelombang sinar tampak adalah 400 sampai 750 nm. Sehingga semua sinar
yang dapat dilihat oleh kita, seperti putih, merah, biru, hijau, atau apapun.
Selama dapat dilihat oleh mata, maka sinar tersebut termasuk ke dalam sinar
tampak (Triyati, 1985).
Perbandingan kadar amilosa dan amilopektin dari masing-masing
sampel bila dibandingkan dengan hasil praktikum adalah sebagai berikut :
berdasarkan langkah-langkah seperti yang dijelaskan diatas setelah dilakukan
pengukuran absorbansi pada tepung ubi, tepung singkong dan tepung beras
seperti pada Tabel 2.2 diperoleh nilai absorbansi dan kadar amilosa sebagai
berikut : pada kelompok 1 dan 2 dengan menggunakan tepung ubi nilai
absorbansi rata-ratanya sebesar 0,315 dan kadar amilosanya sebesar 31,5%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan teori menurut Oktavia dkk (2013) dimana
kadar amilosa pada tepung ubi yaitu sebesar 46,96% sedangkan kadar
amilopektinnya sebesar 52,25%. Pada kelompok 3 dan 4 dengan
menggunakan tepung singkong nilai absorbansi rata-ratanya sebesar 0,381
sehingga kadar amilosanya sebesar 38,1%. Hasil pada praktikum tersebut
juga tidak sesuai dengan teori menurut Ben dkk (2006) dimana kadar amilosa
yang menyusun pati singkong sebesar 17-21%, sedangkan kadar amilopektin
dalam tepung singkong yaitu sekitar 75-85%. Untuk kelompok 5 dan 6
dengan menggunakan tepung beras nilai absorbansi rata-ratanya sebesar
0,315 dan kadar amilosanya sebesar 31,5%. Hasil tersebut sudah sesuai
dengan teori menurut Utomo (2005) dimana kadar amilosa pada beras kurang
dari 25%, sedangkan kadar amilopektinnya sekitar 75%. Dari data tersebut
dapat diketahui bahwa nilai kadar amilosa yang paling rendah yaitu pada
tepung beras sebesar 23,4%; selanjutnya yaitu tepung ubi dengan nilai kadar
amilosa sebesar 31,5% dan nilai kadar amilosa tertinggi pada tepung
singkong yaitu sebesar 38,1%. Sedangkan jika menurut teori seperti yang
sudah dijelaskan diatas nilai kadar amilosa terendah yaitu pada tepung
singkong sebesar 17-21% (Ben dkk, 2006), selanjutnya yaitu kadar amilosa
pada tepung beras yang kurang dari 25% (Utomo, 2005), dan kadar amilosa
yang paling tinggi yaitu pada tepung ubi sebesar 46,96% (Oktavia dkk, 2013).
Tingginya kadar amilosa pada tepung ubi karena tepung memiliki kandungan
pati tinggi dan diduga pati tersebut memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang
lebih panjang dibandingkan dengan tepung lainnya. Semakin panjang rantai α
1,4 D-glikosida yang terkandung didalam pati, maka semakin tinggi kadar
amilosa yang terkandung didalamnya (Susilawati dkk, 2008).
Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan terjadi penyimpangan.
Faktor-fakor yang menyebabkan penyimpangan tersebut diantaranya yaitu
kurang telitinya praktikan dalam menambahkan aquadest, dimana seharusnya
penambahan aquadest sampai tanda tera tapi ditambahkan melebihi atau
kurang dari tanda tera tersebut, sehingga saat dilakukan pengukuran
absorbansi tidak didapatkan data yang valid, praktikan yang kurang mahir
dalam menggunakan spektrofotometer juga dapat menyebabkan kurang
akuratnya dalam pengukuran absorbansi. Selain itu, kadar amilosa menurun
seiring dengan bertambahnya umur panen pada produk. Penurunan kadar
amilosa disebabkan amilosa yang terkandung didalam pati tersebut
mengalami titik jenuh (Susilowati dkk, 2008).
Kadar amilosa dan amilopektin pada masing-masing sempel
menentukan sifat fisikokima sampel itu sendiri. Tingginya kadar amilosa
pada tepung ubi menyebabkan tepung tersebut stabil dan tidak mudah putus
saat pemasakan (Susilowati dkk, 2008). Pada tepung singkong pengaruh
kadar amilosa yang terkandung pada masing-masing pati yaitu temperatur
gelatinasi akan meningkat dengan turunnya kadar amilosa. Penurunan kadar
amilosa juga menyebabkan pembengkakan granula menjadi lebih rendah
karena asosiasi molekul jadi lemah, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih
lama untuk mencapai titik viskositas yang maksimum (Ben dkk, 2006).
Sementara pada tepung beras peran amilopektin dalam sifat fungsionalnya
sangat sulit untuk ditentukan karena amilopektin memiliki kecenderungan
untuk membentuk kumpulan tidak larut air. Oleh karena itu, amilosa
merupakan hal yang paling banyak diteliti dalam memperkirakan karakter
pati dari beras. Kadar amilosa mempengaruhi sifat fisikokimia beras dan
dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat kepulenan serta kelengketan nasi
yang dihasilkan. Kandungan amilosa mempunyai korelasi positif dengan
jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi selama pemasakan.
Jadi, apabila kandungan amilosa di dalam beras banyak maka beras tersebut
apabila dimasak mudah mengembang (Masniawati dkk, 2012).
Kadar amilosa yang berbeda-beda pada masing-masing tepung
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur panen
produk. Kadar amilosa menurun seiring dengan bertambahnya umur panen
pada produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan amilosa yang terkandung
didalam pati tersebut mengalami titik jenuh. Tingginya kadar amilosa pada
tepung karena tepung memiliki kandungan pati tinggi dan diduga pati tersebut
memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang lebih panjang dibandingkan dengan
tepung lainnya. Semakin panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung
didalam pati, maka semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung
didalamnya. Selain itu perbedaan kadar amilosa pada tepung juga tergantung
pada bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung dan lokasi penanaman
atau pertumbuhannya (Susilawati dkk, 2008).
E. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum Acara II “ Kadar Amilosa”
adalah :
1. Kadar amilosa merupakan suatu teknik atau cara pengujian untuk
mengetahui seberapa banyak kandungan amilosa pada suatu bahan
2. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin.
3. Amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa
sebanyak 4-5% dari berat total, molekul amilopektin terdiri hingga
100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk struktur rantai bercabang
4. Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan
amilopektinnya, semakin lekat tepung tersebut.
5. Prinsip penghujian amilosa yaitu pati akan bereaksi dengan iod dengan
adanya iodida yang akan membentuk suatu kompleks yang berwarna biru
kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi-konsentrasi iod yang sangat
rendah.
6. Nilai kadar amilosa yang paling rendah yaitu pada tepung beras sebesar
23,4%; selanjutnya yaitu tepung ubi dengan nilai kadar amilosa sebesar
31,5% dan nilai kadar amilosa tertinggi pada tepung singkong yaitu
sebesar 38,1%.
7. Kadar amilosa yang berbeda-beda pada masing-masing tepung tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur panen produk,
panjang atau pendeknya rantai α 1,4 D-glikosida serta bahan yang
digunakan dalam pembuatan tepung dan lokasi penanaman atau
pertumbuhan bahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Akpa, et al. 2012. Modification of Cassava Starch for Industrial Uses. International Journal of Engineering and Technology Vol. 2 (6).
Bassett, J., et al. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ben, Elfi Sahlan dkk. Studi Awal Pemisahan Amilosa dan Amilopektin Pati Singkong dengan Fraksinasi Butanol Air. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Vol. 11 (2).
Gaman, P.M dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Leszczynski, Waclaw. 2004. Resistant Starch : Classification, Structure, Production. Polish Journal of Food and Nutrition Sciences Vol. 13 (54).
Lukman, Anita dkk. 2013. Pembuatan dan Uji Sifat Fisikokimia Pati Beras Ketan Kampar yang Dipragelatinasi. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia Vol.1 (2).
Masniawati, A. dkk. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra Produksi Beras Di Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Vol. 1 (1).
Oktavia, Astrid Devita dkk. 2013. Studi Awal Pemisahan Amilosa dan Amilopektin Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lam) dengan Variasi n-Butanol. Jurnal Kimia Pangan Vol. 2 (3).
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Susilawati, dkk. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Ubi Kayu (Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan Umur Panen Berbeda. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol. 13 (2).
Triyati, Etty. 1985. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Sinar Tampak Serta Aplikasinya dalam Oseanologi. Oseana. Vol. 10. (1).
Utomo, Hendra. 2005. Resep Eksklusif Jajan Pasar. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Top Related