Acara II Kadar Amilosa

26
LAPORAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG MIE DAN PASTA ACARA II KADAR AMILOSA Disusun oleh: Kelompok 3 1. Andri Yuwono (H3112009) 2. Atik Dewi Restiana (H3112015) 3. Danang Prayitno (H3112021) 4. Diky Gusnanto W. (H3112026) 5. Gohan Fransiska M. (H3112039) 6. Gunawan Wibisono (H3112040) 7. Liliany Anggita P. (H3112050) 8. Siska Susilowati (H3112083)

Transcript of Acara II Kadar Amilosa

Page 1: Acara II Kadar Amilosa

LAPORAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG MIE DAN PASTA

ACARA II KADAR AMILOSA

Disusun oleh:

Kelompok 3

1. Andri Yuwono (H3112009)

2. Atik Dewi Restiana (H3112015)

3. Danang Prayitno (H3112021)

4. Diky Gusnanto W. (H3112026)

5. Gohan Fransiska M. (H3112039)

6. Gunawan Wibisono (H3112040)

7. Liliany Anggita P. (H3112050)

8. Siska Susilowati (H3112083)

PROGRAM STUDI D-III TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

Page 2: Acara II Kadar Amilosa

ACARA II

KADAR AMILOSA

A. Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum Acara II “Kadar Amilosa” adalah :

1. Mahasiswa mampu membuat kurva standar amilosa.

2. Mahasiswa mampu menentukan kadar amilosa pada tepung ubi, tepung

singkong dan tepung beras.

3. Mahasiswa dapat mengetahui kadar amilosa pada tepung ubi, tepung

singkong dan tepung beras.

B. Tinjauan Pustaka

Pati adalah bahan makanan yang memiliki atribut nilai tambah untuk

aplikasi industri yang tak terhitung banyaknya dan bersifat fleksibel. Sumber

yang paling umum dari pati yaitu jagung, kentang, gandum, ubi kayu atau

tapioka dan beras. Penggunaan Pati sekarang jauh melebihi desain aslinya

sebagai sumber energi biologis. Hampir setiap industri yang ada

menggunakan pati atau turunannya dalam satu bentuk atau lain. Dalam

makanan dan obat-obatan pati digunakan untuk mempengaruhi atau

mengendalikan karakteristik seperti tekstur, kelembaban, konsistensi dan

stabilitas. Hal ini dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi atau

membentuk film tahan minyak. Pati benar-benar berfungsi sebagai bahan

multifungsi dalam industri makanan (Akpa et al, 2012).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai

karbonnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri

dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut

amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai

struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin

mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari

berat total. Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat pada

serealia, contohnya pada beras. Semakin kecil kandungan amilosa atau

Page 3: Acara II Kadar Amilosa

semakin tinggi kandungan amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut. Beras

ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2%), sedang beras yang mengandung

amilosa lebih besar dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan

(Winarno, 1992).

Pati adalah cadangan makanan utama pada tanaman. Senyawa ini

sebenarnya merupakan campuran dari dua polisakarida yaitu amilosa dan

amilopektin. Molekul amilosa terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang

berikatan membentuk rantai lurus. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa.

Sedangkan molekul amilopektin terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang

berikatan membentuk struktur rantai bercabang. Pemeriksaan mikroskopik

menunjukkan bahwa pati pada tanaman terdapat sebagai granula-granula.

Lapisan luar dari setiap granula terdiri atas molekul-molekul pati yang

tersusun amat rapat sehingga tidak tertembus air dingin. Sumber pati asal

tanaman yang berbeda mempunyai ciri khas pada bentuk dan pada

penyebaran ukuran-ukuran granula pati itu (Gaman dan Sherrington, 1981).

Pati merupakan polimer alam yang terjadi di semua organisme

tumbuhan. Pati adalah komponen utama dari sebagian besar tanaman. Pati

disintesis dari glukosa, yang dibentuk dari dioksida dan air, pati merupakan

produk langsung dari fotosintesis, maka dari itu disebut bahan baku yang

dapat diperbaharui. Pati adalah polisakarida yang terdiri dari rantai

glukosa residu terikat dengan hubungan glikosidik, namun

struktur yang terbentuk adalah spasial dalam karakter. Proporsi fraksi amilosa

dan amilopektin tergantung pada asal botani pati. Kadar amilosa pati biasanya

berkisar 10-35%, meskipun dalam pati kandungan amilosanya dapat juga

mencapai 70%, dibandingkan dengan yang disebut "lilin" (high-amilopektin)

pati (Leszczynski, 2004).

Amilum yang dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai zat pati

atau zat tepung, yang merupakan suatu glukosan dan cadangan persediaan

makanan bagi tanaman. Dalam tanaman, amilum terutama terdapat pada akar,

umbi atau biji tanamana. Poliosa ini merupakan sumber kalori yang sangat

penting untuk tubuh, karena sebagian besar karbohidrat dalam makanan

Page 4: Acara II Kadar Amilosa

terdapat dalam bentuk amilum. Rasa amilum tidak manis dan terbentuk pada

proses asimilasi dalam tanaman. Tanaman yang banyak mengandung amilum

antara lain ubi kayu, kentang, sagu dan jenis gandum. Amilum praktis tidak

larut dalam air dingin, tetapi apabila dipanaskan dengan air yang cukup,

ternyata zat ini terdiri atas dua fraksi. Fraksi yang larut disebut amilosa dan

fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Kadar amilosa dalam berbagai

jenis amilum umumnya tidak sama sekitar 10-25%. Kadar amilosa dalam

beras ketan sangat kecil. Amilosa dengan penambahan iodium memberikan

warna biru yang segera hilang bila dipanaskan dan timbul kembali setelah

didinginkan (Sumardjo, 2009).

Tepung beras dibedakan menjadi dua berdasarkan kandungan amilosa

yang mempengaruhi sifat-sifat pemasakan dan kualitas rasa, yaitu tepung

beras dan tepung beras ketan. Tepung beras ketan kadar amilosanya berkisar

antara 17-32%, akan berpengaruh pada hasil pemasakan, beras ketan akan

tetap lunak walaupun dibiarkan satu malam setelah dimasak. Sedangkan

tepung beras umumnya kadar amilosanya kurang dari 25%, pengaruhnya

setelah pemasakan, volume beras akan besar tetapi akan keras bila sudah

dingin (Utomo, 2005).

Pati bereaksi dengan iod dengan adanya iodida yang akan membentuk

suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi-

konsentrasi iod yang sangat rendah. Kepekaan reaksi warna ini adalah

sedemikian sehingga warna biru akan terlihat bila konsentrasi iod adalah

2x10-5 M dan konsentrasi iodida lebih besar daripada 4x10-4 M pada 20oC.

Kepekaan warna berkurang dengan naiknya temperatur larutan. Pada suhu

50oC yaitu kira-kira sepuluh kali kurang peka dibandingkan pada suhu 25oC.

Kepekaan berkurang pada penambahan pelarut-pelarut seperti etanol. Tidak

akan dapat diperoleh warna dalam larutan yang mengandung etanol 50% atau

lebih. Pati tidak dapat digunakan dalam medium yang sangat asam karena

akan terjadi hidrolisis dari pati tersebut. pati dapat dipisah menjadi dua

komponen utama, amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam proporsi

berbeda-beda dalam berbagai tumbuh-tumbuhan. Amilosa merupakan suatu

Page 5: Acara II Kadar Amilosa

senyawa berantai lurus dan terdapat berlimpah dalam pati kentang, memberi

warna biru dengan iod dan rantainya mengambil bentuk spiral. Amilopektin

yang mempunyai struktur rantai bercabang, membentuk suatu produk

berwarna ungu-merah yang mungkin dengan adsorpsi (Bassett et al, 1994).

Penetapan kadar berdasarkan reaksi antara amilosa dengan senyawa

iod yang menghasilkan warna biru. Sebelumnya dilakukan pembuatan kurva

standar amilosa yang menunjukkan hubungan antara nilai penyerapan cahaya

dengan penyerapan amilosa. Kurva standar dibuat dengan cara pati kentang

sebanyak 40 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian

ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan

dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100° C selama 7 menit. Larutan

selanjutnya dipipet ke dalam labu ukur 100 mL masing-masing sebanyak 1;

2; 3; 4 dan 5 mL. Masing-masing larutan kemudian ditambahkan dengan 0,2;

0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod 2%, larutan

diencerkan sampai volume 100 mL, larutan dikocok dan didiamkan selama 20

menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer

pada panjang gelombang 625 nm. Zat uji sebanyak 100 mg ditempatkan

dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9

mL NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih hingga terbentuk

gel dan selanjutnya seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Gel

ditambahkan dengan air lalu dikocok, kemudian dicukupkan hingga 100 mL

dengan air. Sebanyak 10 mL larutan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL

yang berisi 60 mL air dan ditambah dengan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL

larutan iod 2%, larutan diencerkan sampai volume 100 mL, larutan dikocok

dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur

dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa

dihitung berdasarkan persamaan kurva standar amilosa (Lukman dkk, 2013).

Kadar amilosa menurun seiring dengan bertambahnya umur panen

pada produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan amilosa yang terkandung

didalam pati tersebut mengalami titik jenuh. Tingginya kadar amilosa pada

tepung karena tepung memiliki kandungan pati tinggi dan diduga pati tersebut

Page 6: Acara II Kadar Amilosa

memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang lebih panjang dibandingkan dengan

tepung lainnya. Semakin panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung

didalam pati, maka semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung

didalamnya. Selain itu perbedaan kadar amilosa pada tepung juga tergantung

pada bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung (Susilawati dkk, 2008).

Peran amilopektin dalam sifat fungsionalnya sangat sulit untuk

ditentukan karena amilopektin memiliki kecenderungan untuk membentuk

kumpulan tidak larut air. Oleh karena itu, amilosa merupakan hal yang paling

banyak diteliti dalam memperkirakan karakter pati dari beras. Kadar amilosa

mempengaruhi sifat fisikokimia beras dan dapat digunakan untuk mendeteksi

tingkat kepulenan serta kelengketan nasi yang dihasilkan. Kandungan amilosa

mempunyai korelasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan

volume nasi selama pemasakan. Jadi, apabila kandungan amilosa di dalam

beras banyak maka beras tersebut apabila dimasak mudah mengembang

(Masniawati dkk, 2012).

C. Metodologi

1. Alat

a. Neraca analitik

b. Pipet 1 ml

c. Pipet 10 ml

d. Propipet

e. Panci

f. Kompor

g. Labu takar 100 ml

h. Spektrofotometer

i. Tabung reaksi

j. Alat vortex

k. Alat penjepit

l. Stopwatch

m. Penangas air

2. Bahan

Page 7: Acara II Kadar Amilosa

a. Tepung singkong

b. Tepung ubi

c. Tepung beras

d. Amilosa murni (amilosa kentang)

e. Ethanol 95 %

f. Larutan NaOH

g. Aquadest

h. Asam asetat

i. Larutan iod

j. Air

Page 8: Acara II Kadar Amilosa

3. Cara Kerja

a. Pembuatan Kurva Standar Amilosa

b. Penentuan Kadar Amilosa

Page 9: Acara II Kadar Amilosa

D. Hasil dan Pembahasan

Page 10: Acara II Kadar Amilosa

Tabel 2.1 Pembuatan Kurva Standarml Larutan Konsentrasi (ml) Ao (Y)

1 0,4 0,0992 0,8 0,1873 1,2 0,2414 1,6 0,3565 2,0 0,468

Sumber : Laporan SementaraKeterangan :a = - 1,9 x 10-3b = 0,22675r = 0,9922

Berdasarkan Tabel 2.1 Pembuatan Kurva Standar dengan

menggunakan 40 mg amilosa murni (amilosa kentang) setelah dilakukan

pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer dengan panjang

gelombang 625 nm pada 1 ml larutan dengan penambahan asam asetat 0,4 ml

diperoleh absorbansi sebesar 0,099; pada 2 ml larutan dengan penambahan

asam asetat 0,8 ml diperoleh absorbansi sebesar 0,187; pada 3 ml larutan

dengan penambahan asam asetat 1,2 ml diperoleh absorbansi sebesar 0,241;

pada 4 ml larutan dengan penambahan asam asetat 1,6 ml diperoleh

absorbansi sebesar 0,356 dan pada 5 ml larutan dengan penambahan asam

asetat 2,0 ml diperoleh absorbansi sebesar 0,468.

Tabel 2.2 Kadar Amilosa Berbagai Macam Tepung

No Kelompok Jenis TepungAbsorben

(Y)Rata-rata X

% Amilosa(Rata-rata x 100%)

1 1 dan 2 Tepung ubi0,335

0,315 1,398 31,50,295

2 3 dan 4Tepung

singkong0,328

0,381 1,689 38,10,434

3 5 dan 6 Tepung beras0,234

0,234 1,040 23,40,086

Sumber : Laporan Sementara

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai

karbonnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri

dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut

amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai

Page 11: Acara II Kadar Amilosa

struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin

mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari

berat total. Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan

amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut (Winarno, 1992). Molekul

amilosa terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang berikatan membentuk

rantai lurus. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa. Sedangkan molekul

amilopektin terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk

struktur rantai bercabang. Sementara itu, kadar amilosa merupakan suatu

teknik atau cara pengujian untuk mengetahui seberapa banyak kandungan

amilosa pada suatu bahan (Gaman dan Sherrington, 1981).

Fungsi penambahan larutan iod pada saat pengujian kadar amilosa

yaitu pati akan bereaksi dengan iod dengan adanya iodida yang akan

membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada

konsentrasi-konsentrasi iod yang sangat rendah. Kepekaan reaksi warna ini

adalah sedemikian sehingga warna biru akan terlihat bila konsentrasi iod

adalah 2x10-5 M dan konsentrasi iodida lebih besar daripada 4x10-4 M pada

20oC. Kepekaan warna berkurang dengan naiknya temperatur larutan. Pada

suhu 50oC yaitu kira-kira sepuluh kali kurang peka dibandingkan pada suhu

25oC. Kepekaan berkurang pada penambahan pelarut-pelarut seperti etanol.

Tidak akan dapat diperoleh warna dalam larutan yang mengandung etanol

50% atau lebih. Amilosa akan memberikan warna biru dengan penambahan

iod sedangkan amilopektin membentuk suatu produk yang berwarna ungu-

merah (Bassett et al, 1994).

Menurut Lukman dkk (2013) penetapan kadar amilosa berdasarkan

reaksi antara amilosa dengan senyawa iod yang menghasilkan warna biru.

Sebelumnya dilakukan pembuatan kurva standar amilosa yang menunjukkan

hubungan antara nilai penyerapan cahaya dengan penyerapan amilosa. Kurva

standar dibuat dengan cara pati kentang sebanyak 40 mg dimasukkan ke

dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan dengan 1 mL etanol 95%

dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100° C

selama 7 menit. Larutan selanjutnya dipipet ke dalam labu ukur 100 mL

Page 12: Acara II Kadar Amilosa

masing-masing sebanyak 1; 2; 3; 4 dan 5 mL. Masing-masing larutan

kemudian ditambahkan dengan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL asam asetat 1 N

dan 2 mL larutan iod 2%, larutan diencerkan sampai volume 100 mL, larutan

dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk

diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Zat uji

sebanyak 100 mg ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan

dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam

air mendidih hingga terbentuk gel dan selanjutnya seluruh gel dipindahkan ke

dalam labu takar 100 mL. Gel ditambahkan dengan air lalu dikocok,

kemudian dicukupkan hingga 100 mL dengan air. Sebanyak 10 mL larutan

dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL yang berisi 60 mL air dan ditambah

dengan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod 2%, larutan diencerkan

sampai volume 100 mL, larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit.

Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persamaan

kurva standar amilosa.

Pada peneraan sampel dengan spektrofotometer digunakan panjang

gelombang (𝝺) 625 nm karena hal tersebut sesuai dengan warna yang dapat

diserap oleh reagen yaitu biru, pengamatan tersebut menggunakan jenis

spektrofotometri visible, pada spektrofotometri ini yang digunakan sebagai

sumber sinar/energi adalah cahaya tampak (visible). Cahaya visible termasuk

spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh mata manusia. Panjang

gelombang sinar tampak adalah 400 sampai 750 nm. Sehingga semua sinar

yang dapat dilihat oleh kita, seperti putih, merah, biru, hijau, atau apapun.

Selama dapat dilihat oleh mata, maka sinar tersebut termasuk ke dalam sinar

tampak (Triyati, 1985).

Perbandingan kadar amilosa dan amilopektin dari masing-masing

sampel bila dibandingkan dengan hasil praktikum adalah sebagai berikut :

berdasarkan langkah-langkah seperti yang dijelaskan diatas setelah dilakukan

pengukuran absorbansi pada tepung ubi, tepung singkong dan tepung beras

seperti pada Tabel 2.2 diperoleh nilai absorbansi dan kadar amilosa sebagai

Page 13: Acara II Kadar Amilosa

berikut : pada kelompok 1 dan 2 dengan menggunakan tepung ubi nilai

absorbansi rata-ratanya sebesar 0,315 dan kadar amilosanya sebesar 31,5%.

Hal tersebut tidak sesuai dengan teori menurut Oktavia dkk (2013) dimana

kadar amilosa pada tepung ubi yaitu sebesar 46,96% sedangkan kadar

amilopektinnya sebesar 52,25%. Pada kelompok 3 dan 4 dengan

menggunakan tepung singkong nilai absorbansi rata-ratanya sebesar 0,381

sehingga kadar amilosanya sebesar 38,1%. Hasil pada praktikum tersebut

juga tidak sesuai dengan teori menurut Ben dkk (2006) dimana kadar amilosa

yang menyusun pati singkong sebesar 17-21%, sedangkan kadar amilopektin

dalam tepung singkong yaitu sekitar 75-85%. Untuk kelompok 5 dan 6

dengan menggunakan tepung beras nilai absorbansi rata-ratanya sebesar

0,315 dan kadar amilosanya sebesar 31,5%. Hasil tersebut sudah sesuai

dengan teori menurut Utomo (2005) dimana kadar amilosa pada beras kurang

dari 25%, sedangkan kadar amilopektinnya sekitar 75%. Dari data tersebut

dapat diketahui bahwa nilai kadar amilosa yang paling rendah yaitu pada

tepung beras sebesar 23,4%; selanjutnya yaitu tepung ubi dengan nilai kadar

amilosa sebesar 31,5% dan nilai kadar amilosa tertinggi pada tepung

singkong yaitu sebesar 38,1%. Sedangkan jika menurut teori seperti yang

sudah dijelaskan diatas nilai kadar amilosa terendah yaitu pada tepung

singkong sebesar 17-21% (Ben dkk, 2006), selanjutnya yaitu kadar amilosa

pada tepung beras yang kurang dari 25% (Utomo, 2005), dan kadar amilosa

yang paling tinggi yaitu pada tepung ubi sebesar 46,96% (Oktavia dkk, 2013).

Tingginya kadar amilosa pada tepung ubi karena tepung memiliki kandungan

pati tinggi dan diduga pati tersebut memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang

lebih panjang dibandingkan dengan tepung lainnya. Semakin panjang rantai α

1,4 D-glikosida yang terkandung didalam pati, maka semakin tinggi kadar

amilosa yang terkandung didalamnya (Susilawati dkk, 2008).

Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan terjadi penyimpangan.

Faktor-fakor yang menyebabkan penyimpangan tersebut diantaranya yaitu

kurang telitinya praktikan dalam menambahkan aquadest, dimana seharusnya

penambahan aquadest sampai tanda tera tapi ditambahkan melebihi atau

Page 14: Acara II Kadar Amilosa

kurang dari tanda tera tersebut, sehingga saat dilakukan pengukuran

absorbansi tidak didapatkan data yang valid, praktikan yang kurang mahir

dalam menggunakan spektrofotometer juga dapat menyebabkan kurang

akuratnya dalam pengukuran absorbansi. Selain itu, kadar amilosa menurun

seiring dengan bertambahnya umur panen pada produk. Penurunan kadar

amilosa disebabkan amilosa yang terkandung didalam pati tersebut

mengalami titik jenuh (Susilowati dkk, 2008).

Kadar amilosa dan amilopektin pada masing-masing sempel

menentukan sifat fisikokima sampel itu sendiri. Tingginya kadar amilosa

pada tepung ubi menyebabkan tepung tersebut stabil dan tidak mudah putus

saat pemasakan (Susilowati dkk, 2008). Pada tepung singkong pengaruh

kadar amilosa yang terkandung pada masing-masing pati yaitu temperatur

gelatinasi akan meningkat dengan turunnya kadar amilosa. Penurunan kadar

amilosa juga menyebabkan pembengkakan granula menjadi lebih rendah

karena asosiasi molekul jadi lemah, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih

lama untuk mencapai titik viskositas yang maksimum (Ben dkk, 2006).

Sementara pada tepung beras peran amilopektin dalam sifat fungsionalnya

sangat sulit untuk ditentukan karena amilopektin memiliki kecenderungan

untuk membentuk kumpulan tidak larut air. Oleh karena itu, amilosa

merupakan hal yang paling banyak diteliti dalam memperkirakan karakter

pati dari beras. Kadar amilosa mempengaruhi sifat fisikokimia beras dan

dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat kepulenan serta kelengketan nasi

yang dihasilkan. Kandungan amilosa mempunyai korelasi positif dengan

jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi selama pemasakan.

Jadi, apabila kandungan amilosa di dalam beras banyak maka beras tersebut

apabila dimasak mudah mengembang (Masniawati dkk, 2012).

Kadar amilosa yang berbeda-beda pada masing-masing tepung

tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur panen

produk. Kadar amilosa menurun seiring dengan bertambahnya umur panen

pada produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan amilosa yang terkandung

didalam pati tersebut mengalami titik jenuh. Tingginya kadar amilosa pada

Page 15: Acara II Kadar Amilosa

tepung karena tepung memiliki kandungan pati tinggi dan diduga pati tersebut

memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang lebih panjang dibandingkan dengan

tepung lainnya. Semakin panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung

didalam pati, maka semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung

didalamnya. Selain itu perbedaan kadar amilosa pada tepung juga tergantung

pada bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung dan lokasi penanaman

atau pertumbuhannya (Susilawati dkk, 2008).

Page 16: Acara II Kadar Amilosa

E. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum Acara II “ Kadar Amilosa”

adalah :

1. Kadar amilosa merupakan suatu teknik atau cara pengujian untuk

mengetahui seberapa banyak kandungan amilosa pada suatu bahan

2. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi

terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin.

3. Amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa

sebanyak 4-5% dari berat total, molekul amilopektin terdiri hingga

100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk struktur rantai bercabang

4. Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan

amilopektinnya, semakin lekat tepung tersebut.

5. Prinsip penghujian amilosa yaitu pati akan bereaksi dengan iod dengan

adanya iodida yang akan membentuk suatu kompleks yang berwarna biru

kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi-konsentrasi iod yang sangat

rendah.

6. Nilai kadar amilosa yang paling rendah yaitu pada tepung beras sebesar

23,4%; selanjutnya yaitu tepung ubi dengan nilai kadar amilosa sebesar

31,5% dan nilai kadar amilosa tertinggi pada tepung singkong yaitu

sebesar 38,1%.

7. Kadar amilosa yang berbeda-beda pada masing-masing tepung tersebut

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur panen produk,

panjang atau pendeknya rantai α 1,4 D-glikosida serta bahan yang

digunakan dalam pembuatan tepung dan lokasi penanaman atau

pertumbuhan bahan tersebut.

Page 17: Acara II Kadar Amilosa

DAFTAR PUSTAKA

Akpa, et al. 2012. Modification of Cassava Starch for Industrial Uses. International Journal of Engineering and Technology Vol. 2 (6).

Bassett, J., et al. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Ben, Elfi Sahlan dkk. Studi Awal Pemisahan Amilosa dan Amilopektin Pati Singkong dengan Fraksinasi Butanol Air. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Vol. 11 (2).

Gaman, P.M dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Leszczynski, Waclaw. 2004. Resistant Starch : Classification, Structure, Production. Polish Journal of Food and Nutrition Sciences Vol. 13 (54).

Lukman, Anita dkk. 2013. Pembuatan dan Uji Sifat Fisikokimia Pati Beras Ketan Kampar yang Dipragelatinasi. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia Vol.1 (2).

Masniawati, A. dkk. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra Produksi Beras Di Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Vol. 1 (1).

Oktavia, Astrid Devita dkk. 2013. Studi Awal Pemisahan Amilosa dan Amilopektin Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lam) dengan Variasi n-Butanol. Jurnal Kimia Pangan Vol. 2 (3).

Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Susilawati, dkk. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Ubi Kayu (Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan Umur Panen Berbeda. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol. 13 (2).

Triyati, Etty. 1985. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Sinar Tampak Serta Aplikasinya dalam Oseanologi. Oseana. Vol. 10. (1).

Utomo, Hendra. 2005. Resep Eksklusif Jajan Pasar. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.