Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam PengambilanKeputusan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa
(The basis of Equal Sovereignty Principles and Veto Arrangement in the United Nations SecurityCouncil Decision Making)
SETYO WIDAGDODosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl.MT.Haryono Nomor 169 Malang 65145E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The UN Principle is included in Section 2 Article 1 the UN Charter, which states that UN is basedon an equal sovereignty of all its members. This principle means that there must be nodiscrimination in the UN. However, in Section 27 Article 3 the UN Charter, there is a rule whichgives a special right given to the five members of the UN Security Council called a ‘veto’.Therefore, there is a kind of contradiction to the rule stated in the charter. This article would liketo discuss the problem and the reasons why the equal sovereignty principles become the basis ofthe decision making by the UN Security Council as well as the reasons which legitimate the vetoof the five members of the UN Security Council. Moreover, the importance of the equalsovereignty principles to be respected by all members as well as the history of veto of the UNSecurity Council will also be described.
Key words: kedaulatan (sovereignty), hak veto (veto) , DK PBB (UN Secutity Council)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahPerserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disingkat PBB) merupakan organisasi yang paling
besar selama ini dalam sejarah pertumbuhan kerjasama semua negara di dunia di dalam berbagai sektorkehidupan internasional. Organisasi ini telah meletakkan kerangka konstitusionalnya melalui instrumenpokok berupa Piagam dengan tekad semua anggotanya untuk menghindari terulangnya ancaman perangdunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia. Di sampingitu, Piagam PBB juga telah meletakkan tujuan dan prinsip yang mulia dalam rangka memeliharaperdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan bersahabat dan mencapai kerjasamainternasional di semua bidang, termasuk adanya kewajiban-kewajiban internasional semua negarauntuk : (1) Menghormati persamaan kedaulatan bagi semua negara; (2) Tidak menggunakan ancamanatau kekerasan terhadap kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara; (3) Tidakmencampuri urusan dalam negeri suatu negara; dan (4) Berusaha menyelesaikan pertikaian antarnegara secara damai.1
Sebagai organisasi internasional yang bersifat universal, PBB diharapkan mampu memeliharaperdamaian dan keamanan internasional agar tidak terjadi lagi perang terbuka antar negara dan mampumenciptakan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, kemanusiaan dan lainsebagainya.
Dalam Mukadimah Piagam PBB ditegaskan bahwa PBB bertekad untuk menyelamatkangenerasi yang akan datang dari kesengsaraan yang disebabkan perang, PBB juga memperteguhkepercayaan pada hak-hak asasi manusia, pada harkat dan martabat manusia, persamaan hak bagi priamaupun wanita dan bagi segala bangsa besar maupun kecil. Selanjutnya PBB juga bertekadmenegakkan keadaan dimana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbuldari perjanjian-perjanjian dan lain-lain sumber hukum internasional dapat terpelihara. Tidak lupa pulaPBB bertekad meningkatkan kemajuan sosial dan memperbaiki tingkat kehidupan dalam alamkebebasan yang lebih luas.2
Untuk mencapai tekad tersebut, maka bangsa-bangsa di dunia akan hidup bersama denganpenuh toleransi dan akan hidup bersama dalam suasana perdamaian seperti halnya dalam bertetanggabaik dan mempersatukan kekuatan untuk menegakkan perdamaian dan keamanan internasional.
1 Sumaryo Suryokusumo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, , hlm.1.2 Lihat Mukadimah Piagam PBB.
Kekuatan senjata tidak akan dipergunakan kecuali untuk kepentingan bersama. Disamping itu,kerjasama internasional diperlukan untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial semua bangsa. PBBdidirikan untuk memperbaiki hubungan antar bangsa-bangsa dan memberi hak-hak dan kesempatanyang layak bagi tiap bangsa di dunia untuk maju dan sejahtera dalam suasana kerukunan kerjasama danperdamaian satu sama lain. Tiap perselisihan bangsa yang dapat mengganggu perdamaian harusdiselesaikan secara damai.3
Namun demikian dalam perkembangannya selama 62 tahun ini, PBB dinilai hanya mampusebagai cap stempel saja, bahkan ada yang mengatakan PBB tidak berdaya, sehingga terjadi disfungsiPBB dan penyimpangan dari tujuan dan cita-cita semula, terutama dalam upaya penyelesaianpersoalan-persoalan politik dan keamanan internasional, walaupun pada bidang-bidang lainnya PBBdinilai telah banyak membantu.4
Hal tersebut disebabkan karena pengaruh yang kuat dari negara-negara besar yang menjadianggota tetap Dewan Keamanan (selanjutnya disingkat dengan DK) PBB, terutama dari AmerikaSerikat (selanjutnya disingkat AS).
DK merupakan badan atau organ utama PBB yang dinilai paling kuat dan berpengaruhdiantara badan atau organ-organ PBB yang lain, bahkan ada yang mengatakan bahwa DK PBB inimerupakan “roh”nya PBB. Hal ini karena adanya hak istimewa yang dimiliki oleh 5 anggota tetap DKPBB, yang disebut dengan hak veto, yaitu hak untuk membatalkan keputusan atau resolusi yangdiajukan PBB atau DK PBB. Hak veto dimiliki oleh negara-negara anggota tetap DK PBB, yakni AS,Inggris, Rusia (dulu Uni Sovyet), Perancis dan RRC yang merupakan warisan Perang Dunia II.
Dalam perkembangannya hak veto dinilai merupakan alat penghambat dalam upayapemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, karena 5 (lima) negara anggota tetap DK selalumenggunakan untuk mencapai kepentingan nasional negara masing-masing. Dengan demikian hak vetodi DK PBB dinilai sangat “politis” bahkan dianggap sangat mencerminkan “ketidakadilan” negara-negara besar terhadap negara-negara kecil. Setiap persoalan yang dibawa ke DK PBB selalu mengalamiperdebatan dan bahkan konflik internal di DK PBB yang mengakibatkan proses penyelesaian persoalaninternasional menjadi terhambat dan berlarut-larut, karena jika ada satu negara saja menggunakan hakveto (tidak setuju atau menolak) maka resolusi atau keputusan yang diambil menjadi tidak dapatdilaksanakan.
Perdebatan tentang hak veto tersebut sesungguhnya telah berlangsung lama dan telah menyitawaktu, tenaga dan pikiran dan belum selesai hingga saat ini. Perdebatan itu selalu muncul diantaraanggota PBB dan masyarakat internasional pada umumnya, yaitu setiap kali terjadi pemungutan suaradi DK PBB, karena disinilah keadilan dan persamaan hak selalu dipertanyakan.
Meskipun hak veto tersebut hanya ada dalam DK PBB saja, namun karena terlalu luasnyaperanan dan kewenangan dari DK PBB, maka terkesan bahwa hak veto ini merupakan hak istimewayang dimiliki oleh kelima anggota tetap DK PBB secara mutlak dan dapat digunakan di seluruh bagianorganisasi PBB. Kesan lain juga timbul bahwa dengan adanya hak veto ini, seolah-olah kelima anggotatetap DK PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan yang lebih tinggi serta superior diantaranegara-negara anggota PBB yang lain. Selain itu, struktur DK PBB yang terdiri dari 5 anggota tetapdengan hak istimewa atau hak veto dan 10 anggota tidak tetap sebetulnya sudah tidak sesuai lagidengan perkembangan zaman. DK PBB pascaperang dingin di tahun 1990-an ternyata sudah tidakmampu mencegah perilaku negara-negara besar melakukan invasi ke negara-negara kecil dan lemah.5
Padahal dalam Pasal 2 butir 1 Piagam PBB yang merupakan asas-asas PBB menyatakan, bahwa “ PBBberdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya”. Tentu disini dapat diartikan bahwa semuaanggota PBB tanpa kecuali memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama didalam menjalankanroda organisasi PBB.
Dari situlah pertanyaan dikalangan para ahli selalu terjadi bahwa apakah benar DK PBBberhasil memelihara perdamaian dan keamanan internasional? atau bahkan sebaliknya negara-negarayang memiliki hak veto justru telah menciptakan ketidakamanan dan ketidakdamaian pada duniainternasional, karena perdamaian dan keamanan internasional selalu didasarkan pada standarkepentingan masing-masing negara pemegang hak veto, terutama AS yang memiliki kepentingan besarhampir di seluruh sudut dunia ini. Lantas bagaimanakah dengan prinsip persamaan kedaulatan yangtertuang sebagai asas PBB? Tidakkah hak veto telah bertentangan dengan prinsip tersebut? Disinilah
3 Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta,hlm.265.
4 Saiman, Dewan Keamanan PBB dan Perdamaian Dunia, makalah disampaikan pada sosialisasi“Indonesia di Dewan Keamanan” oleh Ditjen Multilateral Deplu RI bekerjasama dengan JurusanHubungan Internasional FISIP UMM, 4 April 2007.
5 Eddy Maszudi, Reformasi DK PBB Gagal,dalam Suara Merdeka, 27 Oktober 2005.
nampak ada semacam konflik yuridis antara ketentuan hak veto dengan asas/prinsip yang ada dalamPiagam PBB.B. Perumusan Masalah
Tulisan ini bermaksud mengupas dan membahas apakah yang menjadi landasan digunakannyaprinsip/asas persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB dan apakah yang menjadi
alasan pembenar secara yuridis bahwa hak veto dapat digunakan, mengingat hak ini bertentangandengan prinsip persamaan kedaulatan?
PEMBAHASANA. Tujuan Dan Prinsip-Prinsip PBB
Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan PBB antara lain :1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;2. Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan prinsip-prinsip
persamaan derajat;3. Mencapai kerjasama interrnasional dalam memecahkan persoalan internasional di bidang
ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalah kemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia;4. Menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam
mencapai tujuan bersama.Adapun asas-asas PBB termuat dalam Pasal 2 Piagam PBB yang digunakansebagai dasar untuk
mencapai tujuan PBB tersebut diatas, antara lain :1. PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya;2. Kewajiban untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum
dalam Piagam;3. Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak
terancam;4. Mempergunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu
negara harus dihindarkan;5. Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil sesuai dengan
Pigam PBB dan larangan membantu negara di mana negara tersebut oleh PBB dikenakantindakan-tindakan pencegahan dan pemaksaan;
6. Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan Piagam PBBapabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional;
7. PBB tidak akan campur tangan dalam masalah persoalan dalam negeri (domesticjurisdiction) dari negara-negara anggotanya.
1. Prinsip Persamaan KedaulatanPasal 2 butir 1 Piagam PBB memuat asas yang menyatakan bahwa PBB berdasarkan asas
persamaan kedaulatan semua negara anggotanya. Asas ini sangat penting bagi semua negara anggota,karena dengan demikian PBB bukanlah organisasi internasional yang bersifat “supranasional”. Selainitu asas ini juga berkaitan dengan asas colectivity atau asas kegotongroyongan, artinya tindakan-tindakan yang dijalankan atas nama PBB sifatnya kolektif, bergotong royong sesuai dengan asas-asasdemokrasi. Hal yang demikian mengharuskan dijalankannya asas koordinasi, artinya bahwa segalatindakan dan kegiatan bangsa-bangsa ke arah perdamaian harus diselaraskan dan dipersatukan.6
Asas persamaan kedaulatan yang tercantum dalam Pasal 2 butir 1 Piagam PBB tersebuttermasuk asas hukum umum. Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, maka asas-asas hukum umum merupakan sumber hukum internasional yang ketiga. Yang dimaksudkan denganasas-asas hukum umum adalah asas-asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sedangkanyang dimaksud dengan sistem hukum modern adalah sistem positif yang didasarkan atas asas-asas danlembaga-lembaga hukum negara barat, yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi.7
Perlu ditegaskan disini bahwa yang menjadi sumber hukum internasional adalah asas-asashukum hukum umum dan bukan hanya asas-asas hukum internasional. Brierly mengatakan bahwa asas-asas hukum umum ini meliputi spektrum yang luas, yang juga meliputi asas-asas hukum perdata yangditerapkan oleh peradilan nasional yang kemudian dipergunakan untuk kasus-kasus hubunganinternasional.8 Dengan demikian, yang termasuk ke dalam asas-asas hukum umum ini antara lain, asaspacta sunt servanda, asas bonafides, asas penyalahgunakan hak (abus de droit), serta asas adimpletinon est adiplendum dalam hukum perjanjian. Tentu saja termasuk juga di dalamnya asas hukum
6 Sri Setianingsih Suwardi, op.cit, hlm.270.7 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, hlm.138.8 Chairul Anwar, 1988, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta,hlm.16.
internasional, misalnya asas kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaannegara, asas nonintervensi dan asas persamaan kedaulatan negara.
Jika dihubungkan dengan persoalan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) negara anggota tetapDK PBB, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah berarti hak veto kelima negara anggota tetapDK PBB itu bertentangan dengan asas hukum umum? Untuk menjawab ini tentu kita telusuri terlebihdahulu tentang bagaimana awal mula munculnya hak veto dan bagaimana pula proses pemungutansuara di DK PBB.2. Prinsip- prinsip Dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB
Pengambilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya PBB dapat dilakukan baikmelalui pemungutan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapatmelalui konsensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat ”ruling”
maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak.9 Hal ini dapat dimungkinkan jika memang benar-benar dapat memberikan sumbangan bagi penyelesaian yang efektif dan kekal bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian dapat memperkokoh wewenang PBB. Beberapa aturan tata cara(rules of procedure) bahkan memungkinkan Ketua Sidang untuk mengupayakan konsensus bagi usul-usul.
Kadang-kadang penerimaan konsensus diartikan bagi sesuatu negara atau beberapa negaratidak ingin menghambat jalannya keputusan, walaupun tidak menyetujui usul yang diajukan. Dalam haldemikian negara-negara tersebut dapat menyatakan keberatan-keberatannya untuk tidak merasa terikatoleh keputusan yang diambil secara konsensus tersebut.10
Sistem dasar di dalam PBB mengenai persuaraan (pemungutan suara) tercermin dalam Pasal-Pasal 18, 19, 20 dan 27 Piagam PBB, dua sistem diantaranya telah digunakan secara umum. Disatupihak didasarkan atas prinsip ”one nation one vote” dan dilain pihak didasarkan atas nilai-nilaiekonomi, geografis, dan lain-lain yang disebut ”weighted voting”. Sistem ini memberikan kepadanegara-negara besar, yaitu lima anggota tetap DK PBB suatu hak veto secara eksklusif di DK.
Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara di DK PBB terhadap semua masalahkecuali yang bersifat prosedural memerlukan dukungan suara bulat dari kelima negara anggota tetapDK PBB sebagai syarat utama sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Sedangkanbadan-badan PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun mayoritasmutlak.
Keputusan melalui mayoritas mutlak atau mayoritas dua pertiga adalah menyangkut masalah-masalah penting seperti :11(a). Rekomendasi mengenai pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional;(b). Pemilihan keanggotaan tidak tetap DK PBB, anggota ECOSOC dan anggota Dewan Perwalian
menurut Pasal 86 ayat (1e)(c). Masuknya negara baru anggota PBB;(d). Penanggulangan hak-hak dan keistimewaan keanggotaan;(e) Pengeluaran anggota dengan paksa;(f). Masalah-masalah yang berkaitan dengan beroperasinya sistem perwalian; dan(g). Masalah-masalah anggaran.
Sedangkan masalah masalah lainnya diluar ketentuan diatas akan diputuskan dengansuara mayoritas dari negara-negara anggota yang memberikan suara, baik secara afirmatif(mendukung) maupun secara negatif (menolak). Namun negara yang menyatakan abstain tidak dihitungdalam pemungutan suara.12 Ini diartikan sebagai mayoritas sederhana yaitu mayoritas sekecil mungkinyang lebih dari setengah suara yang dihitung.13
Ada pula yang disebut mayoritas bersyarat (qualified majority) dimana keputusan ditetapkanatas dasar persentase suara yang biasanya lebih besar dari mayoritas sederhana. Mayoritas bersyaratyang paling umum adalah dua pertiga tetapi mayoritas bersyarat lainnya, seperti tiga perempat atau tigaperlima juga digunakan.14
Sementara itu, terhadap masalah-masalah non prosedural, pengambilan keptusan yang dianutdi DK PBB adalah berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Dalam pasal tersebut diatur bahwa dari
9 Sumaryo Suryokusumo, 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung, hlm.151-152.
10 Ibid., hlm.152.11 Lihat Pasal 18 ayat (2) Piagam PBB dan Rule 83 dari Rule of Procedure Majelis Umum.12 Lihat Pasal 18 ayat (3) Piagam PBB dan Rule 85 dari Rule of Procedure Majelis Umum13 Henry G. Schermers, 1980, International Institution Law, Sijthoff & Noordhoff, Maryland USA,
hlm. 406.14 Ibid.
15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara afirmatif (dukungan), termasuk suara dari 5 anggota tetap DKPBB, inilah yang sering disebut sebagai hak veto anggota tetap DK PBB, sebab jika satu saja anggotatetap tidak menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.
Dalam pengambilan keputusan diluar masalah-masalah prosedural (non prosedural) di DKPBB dijumpai beberapa permasalahan, antara lain :15(a). Jika 5 negara anggota tetap seluruhnya membe rikan suara afirmatif sedangkan tidak mencapai 9
suara afirmatif karena sebuah atau lebih negara anggota tidak tetap memberikan suara negatif(menolak), maka keputusan tidak dapat diambil.
(b). Jika tercapai 9 suara afirmatif tetapi ada sebuah negara anggota tetap DK yang menyatakanmenolak, maka satu suara negatif ini membuat batalnya keputusan karena hakikatnya veto telahdijatuhkan.
(c). Lain halnya dengan suara abstain yang diberikan oleh sebuah atau lebih negara anggota tetap DKyang tidak diperhitungkan dalam rangka Pasal 27 ayat (3) Piagam, sehingga dalam pengambilankeputusan haruslah dicari tambahan paling sedikit suara dari anggota tidak tetap sejumlah suaranegara anggota tetap DK yang menyatakan abstain.
(d). Jika salah satu anggota DK baik anggota tetap maupun tidak tetap terlibat dalam pertikaian,menurut Bab IV dan Pasal 52 ayat (3) Piagam PBB, maka para pihak tersebut haruslah abstain dan
dengan sendirinya memerlukan penggantian suara afirmatif dari negara anggota lainnya untukmencapai 9 suara afirmatif.
B. Hak Veto1. Pengertian
Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh 5 negara besar anggota tetap DK PBB,yang lazim disebut ”the big five”. Kelima negara tersebut adalah AS, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia(sebagai pengganti Uni Sovyet). Hak istimewa tersebut adalah hak untuk menolak atau membatalkansuatu keputusan DK PBB.
Walaupun istilah veto ini sendiri tidak terdapat dalam Piagam PBB, tetapi kelima anggotatetap DK PBB memiliki apa yang dinamakan ”veto” Jadi apabila salah satu dari negara anggota tetapDK PBB menggunakan hak vetonya untuk menolak suatu keputusan yangb telah disepakati anggotayang lain, maka keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.16
Keberadaan hak veto ini sangat erat kaitannya dengan kedudukan dan kewenangan dari DKPBB yang sangat luas. Kewenangan-kewenangan itu antara lain adalah :(a). Kewenangan untuk memilih Ketua Majelis Umum yang mana Majelis Umum ini memiliki arti
yang sangat penting dalam kelangsungan hidup PBB;(b). Kewenangan merekomendasikan suatu negara untuk masuk sebagai anggota PBB yang baru;(c). Kewenangan merekomendasikan suatu negara agar keluar dari keanggotaan PBB;(d). Kewenangan untuk mengamandemen Piagam PBB;(e). Kewenangan untuk memilih para hakim yang akan duduk dalam Mahkamah Internasional.2. Sejarah, Latar Belakang dan Perkembangan Hak Veto
Hak veto yang dimiliki oleh negara-negara besar, pada awalnya dibicarakan secara teraturpada waktu merumuskan Piagam PBB, baik di Dumbarton Oaks maupun di Yalta, dan di SanFransisco. Bahwasanya kepada kelima negara yang dianggap sangat bertanggung jawab padapenyelesaian Perang Dunia II akan merupakan anggota tetap DK dan kepada mereka diberikan hakveto, hal ini adalah merupakan imbalan dari tanggung jawab mereka terhadap perdamaian dankeamanan internasional (primary responsibilities)17
Secara hukum kekuasaan yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB ini merupakan previlegesyang diberikan kepada mereka. Namun secara hukum mereka tidak mempunyai kewajiban atautanggung jawab yang berbeda dengan negara anggota PBB lainnya. Piagam hanya menentukan bahwatanggung jawab utama (primary responsibilities) untuk perdamaian dan keamanan internasional adapada pihak DK dan bukan pada anggota tetap DK.18
Pada pembicaraan di Dumbarton Oaks terdapat perbedaan perumusan tentang pasal mengenaiveto. AS menghendaki supaya ada aturan yang membatasi penggunaan veto, misalnya dalam soal tatatertib. Demikian juga supaya suara dari negara yang menjadi pihak dalam sengketa yang dibicarakan diDK tidak mempunyai hak suara, juga bagi negara anggota tetap DK, maka negara tersebut tidak dapat
15 Sumaryo Suryokusumo, op.cit., hlm. 154.16 Soeprapto, Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1995, hlm.387.17 Sri Setianingsih Suwardi, op. cit., hlm.291.18 Pasal 24 (1) Piagam PBB, Lihat pula Hans kelsen, The Law of the United nations, sebagaimana
dikutip oleh Sri Setianingsih Suwardi, op.cit., hlm. 291.
menggunakan hak vetonya. Uni Sovyet waktu itu menolak pendapat AS dan menghendaki veto penuhtanpa pembatasan.19
Di Yalta pembicaraan tentang veto ini berlanjut, pembahasannya dititik beratkan pada anggotatetap DK. Anggota tetap DK yang memiliki hak veto diwajibkan abstain dalam pemungutan suara yangdiambil untuk penyelesaian sengketa di mana mereka merupakan pihak yang berselisih. Uni Sovyetberjuang dengan gigih untuk dapat mempergunakan hak vetonya di dalam segala kasus tanpamemperhatikan konsep yang ideal dalam hukum bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menjadihakim dalam masalahnya sendiri. Akhirnya Uni Sovyet menerima saran AS, bahwa anggota tetap DKharus abstain bila ada pemungutan suara yang harus diambil tentang suatu sengketa di mana merekaadalah salah satu pihak dalam sengketa.20
Dalam Pasal 27 ayat 1 Piagam PBB dikatakan bahwa setiap anggota DK mempunyai satusuara. Jika ketentuan Pasal 27 ayat 1 ini dihubungkan dengan Pasal 27 ayat 3, maka akan nampakperbedaan hak suara antara anggota tetap DK dengan anggota tidak tetap DK. Perbedaan ini terletakpada masalah non prosedural dan masalah prosedural.
Dalam masalah non prosedural ditetapkan bahwa keputusan harus diputuskan oleh minimal 9suara, termasuk suara bulat dari lima anggota tetap DK. Sedangkan untuk masalah proseduralditetapkan bahwa keputusan akan diambil minimal oleh 9 suara anggota DK (tidak harus dengan suarabulat anggota tetap DK).21 Ketentuan ini menunjukkan betapa besarnya peran dan pengaruh anggotatetap DK dalam proses pengambilan keputusan, karena untuk masalah-masalah penting yangmenyangkut perdamaian dan keamanan internasional (non prosedural) harus atas persetujuan merekasecara bulat. (tanpa veto)
Kekuatan hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yangmemadai, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto
oleh kelima negara anggota tetap DK, terutama AS telah digunakan dengan tidak ada batasnya. Dengandemikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkan kelima negara anggota tetapDK PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun justru konsep tersebut bertentangan dengan asas persamaankedaulatan (principle of the sovereign equality).
Pada saat ini opini yang berkembang pada masyarakat internasional terutama pada negara-negara dunia ketiga, mengatakan bahwa keberadaan kelima negara anggota tetap DK PBB dengan hakvetonya itu perlu ditinjau kembali, karena perkembangan dunia yang sudah semakin global dandemokrasi yang semakin berkembang, serta berlarut larutnya upaya penyelesaian sengketainternasional yang membawa dampak pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak veto.22
Argumentasi lain adalah bahwa hak veto merupakan warisan Perang Dunia II yangmemberikan keistimewaan kepada negara-negara kuat sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masaglobalisasi dan letika peta politik internasional sudah berubah. Karenanya PBB perlu di restrukturisasiatau di reformasi, terutama organ DK, agar dapat mengakomodasi perkembangan internasional,khususnya negara-negara dari dunia ketiga.Untuk keperluan tersebut, Pasal 108 dan 109 Piagam PBBmengatur tentang perubahan terhadap ketentuan Piagam yang dianggap tidak relevan lagi.
Pasal 108 Piagam PBB menyebutkan :“Perubahan-perubahan yang diadakan terhadap Piagam ini berlaku bagi semua anggota PBBapabila hal itu telah diterima oleh suara dua pertiga dari anggota anggota Majelis Umumdan diratifikasi sesuai dengan proses-proses perundang-undangan dari dua pertiga anggota-anggota PBB termasuk semua anggota tetap DK”
Pasal 109 Piagam PBB menyebutkan :1. Suatu konferensi Umum dari anggota PBB yang bermaksud meninjau Piagam yang telah
ada, dapat diselenggarakan pada waktu dan tempat yang disetujui oleh dua pertiga suaraanggota Majelis Umum serta sembilan suara anggota manapun dari DK PBB. Setiapanggota PBB hanya mempunyai satu suara dalam konferensi tersebut.
2. Setiap perubahan dari Piagam yang ada, disepakati oleh dua pertiga suara dari sidangakan berlaku apabila diratifikasi sesuai dengan proses-proses konstitusional oleh duapertiga dari anggota-anggota PBB termasuk segenap anggota tetap DK.
3. Apabila sidang seperti tersebut di atas belum diadakan sebelum sidang tahunan yangkesepuluh dari Majelis Umum sesudah berlakunya Piagam yang sekarang, maka usuluntuk mengadakan sidang tersebut agar dicantumkan dalam agenda sidang Majelis Umum
19 Ruslan Abdulgani, 25 Tahun Indonesia di PBB, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 27.20 Kompromi yang dicapai ini kemudian dirumuskan dalam Pasal 27 Piagam PBB.21 Lihat Pasal 27 ayat 2 Piagam PBB.22 Saiman, op.cit., hlm. 6.
PBB dan sidangakan diadakan apabila ditetapkan demikian berdasarkan suara terbanyakdari anggota Majelis Umum serta tujuh suara anggota manapun dari DK.
Amandemen terhadap Piagam PBB tentang DK sebenarnya sudah pernah dilakukan, namunamandemen tersebut hanya mengamandemen terhadap penambahan jumlah anggota tidak tetap DKPBB, tidak mengenai atau menyentuh hak veto. Karenanya kinilah saatnya masyarakat internasionalharus mendesak PBB untuk melakukan reformasi terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap DK.C. Dasar Pengaturan Prinsip/Asas Persamaan Kedaulatan Dalam Pengambilan Keputusan di
DK PBBDalam struktur organisasi PBB, DK merupakan salah satu organ utama selain lima organ
utama yang lain. Dengan demikian asas dan tujuan PBB merupakan juga asas dan tujuan seluruh organPBB.
Di bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB tercantumsuatu asas yang amat penting, yaitu asas “persamaan kedaulatan” atau “the principle of sovereignequality”. Asas ini memperlihatkan dengan jelas sifat kelembagaan politik dari PBB dan berdasarkanasas ini pula sesuatu negara anggota tidak dapat dipaksa ataupun didesak untuk menyetujui sesuatu danmenjalankan hal-hal yang bertentangan dengan kedaulatan negara dan kepentingan nasionalnya(national interest). Di pihak lain asas ini sering menjadi batu sandungan dan hambatan bagi kelancaranpenyelesaian masalah-masalah politik di tingkat internasional.23
Starke24 juga mengatakan :“Pasal 2 Piagam PBB juga mengemukakan prinsip-prinsip tertentu. Dua dari prinsip iniditetapkan untuk ketaatan organik oleh PBB sendiri, yakni bahwa dasar PBB adalahpersamaan kedaulatan dari semua anggotanya dan bahwa PBB tidak akan campur tangan(kecuali bila diperlukan “tindakan pemaksaan”) dalam persoalan yang “pada dasarnya”berada dalam yurisdiksi dalam negeri suatu negara…”
Dengan demikian sesungguhnya prinsip atau asas “persamaan kedaulatan” dapat dikatakansebagai suatu norma dasar hukum internasional umum atau jus cogens, yaitu suatu norma yangditerima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidakboleh dilanggar dan yang hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yangbaru yang mempunyai sifat yang sama.25 Oleh karena itu asas tersebut sejajar dengan asas tentang
larangan agresi (non agression), asas non discrimination, asas self determination dan sebagainya, yangsemuanya itu merupakan jus cogens.26
Menurut Schwarzenberger27 untuk membentuk jus cogens atau premptory norm ofgeneral international law, suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universalatau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas yang bersangkutan harus mempunyai arti pentingluar biasa (exceptionally significent) dalam hukum internasional disamping arti penting istimewadibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas tersebut merupakan bagian essensial daripadasistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi darihukum internasional yang berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuan asasfundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu kedaulatan, pengakuan, permufakatan, itikadbaik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas.
Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena merupakan cirihakiki yang harus dipunyai oleh setiap negara apabila negara itu berkeinginan untuk tetap “exist”dalam pergaulan masyarakat internasional. Kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus melekat padanegara. Dalam perkara Wemblendon (1929), Permanent Court Of International Justice (PCIJ)membenarkan dan menguatkan hak kekuasaan negara yang berdaulat untuk melaksanakankedaulatannya. Demikian pula dalam Piagam PBB terdapat asas-asas kedaulatan negara yang harusdihormati oleh PBB sendiri sebagai suatun organisasi dunia terbesar pada saat ini.28
23 Pareira Mandalangi, 1986, Segi-Segi Hukum Organisasi Internasional, Binacipta, Bandung, hlm.70.24 Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Sumitro, Aksara Persada indonesia, hlm.
320 dan 321.25 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni,Bandung,
hlm.166.26 Lihat Ian Brownlie, 1979, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, Oxford,
hlm.417. Lihat pula Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 MengenaiHukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah FH-UNPAD, Bandung, hlm.118.
27 Schwanzerberger, 1960, International Law And Order, Stevens and Sons, London, hlm.30-31 dan43-47.
28 Yudha Bhakti, op.cit, hlm. 172.
1. Kekuasaan DK PBB Tidak Tak TerbatasPBB bukanlah organisasi supra negara atau supra nasional, hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat
(1) Piagam PBB bahwa badan dunia tersebut didirikan atas dasar prinsip persamaan kedaulatandiantara semua negara anggotanya. PBB juga bukanlah suatu badan yang berdaulat, tidak sepertinegara yang menurut sistem hukum internasional dapat bertindak apa saja asalkan tidak bertentanganprinsip-prinsip hukum secara umum atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam suatu perjanjian.Karena itu walaupun DK dikatakan mempunyai kekuasaan yang berlebihan (ultra vires), hal itu tidakberarti kekuasaannya tidak terbatas, melainkan ada pembatasan-pembatasan secara hukum. Oleh sebabitu DK tidak dapat bertindak diluar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 24 ayat (2)dan Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB.29
Sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) semua tindakan DK PBB yang dilakukan termasuk tindakandalam rangka pengenaan sanksi, baik sanksi ekonomi maupun sanksi militer haruslah tetap didasarkanatas prinsip-prinsip/asas-asas dan tujuan PBB, yaitu tetap menghormati persamaan kedaulatan, haknegara untuk mempertahankan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah sesuatu negara. Dalamrangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional melalui langkah-langkah secara kolektifuntuk mengatasi adanya ancaman dan pelanggaran perdamaian maupun tindakan agresi terhadap suatunegara, tindakan DK PBB sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) tersebut haruslah didasarkan prinsip-prinsipkeadilan dan hukum internasional tanpa merugikan kepentingan nasional sesuatu negara.
Dari uraian diatas nampaknya jelas bahwa yang menjadi dasar pengaturan persamaankedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB adalah Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB yangmerupakan asas atau prinsip dari PBB dan seluruh organ-organnya. Artinya, DK PBB sebagai salahsatu organ utama harus menempatkan persamaan kedaulatan sebagai landasan dalam setiappengambilan keputusan.2. Kekuasaan DK PBB dalam Praktek dan Gagasan Melakukan Reformasi
Dalam kenyataannya, DK PBB yang seharusnya menurut ketentuan memiliki kekuasaanyang tidak tak terbatas, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, namun dalam prakteknya DK PBBseringkali bertindak seolah dengan kewenangan tak terbatas. Dalam perjalannya, kinerja DK PBB telahdisorot dengan tajam. Metode kerja DK PBB dianggap tidak transparan dan sejumlah keputusannyaseringkali diputuskan melalui konsultasi informal atau “di balik layar”. DK PBB juga dianggap tidakmemiliki prosedur yang jelas ketika bertindak dalam hal yudisial atau kuasi yudisial.30 Hal inidisebabkan pengaruh Amerika Serika serikat (AS) yang sangat kuat di PBB, tepatnya di DK PBB.Bahkan terkesan PBB atau DK PBB memiliki ketergantungan terhadap AS. Hal ini dapat dibuktikandengan seringnya AS dan negara anggota tetap DK PBB melakukan veto terhadap keputusan-keputusan yang merugikan kepentingan mereka dan sebaliknya, AS juga sering memaksakankepentingannya melalui keputusan DK PBB. Dengan kata lain AS sering mencari legitimasi
kepentingannya dengan berlindung dibalik keputusan DK PBB.Oleh karena itulah di tahun 2005 muncul isu-isu dan gagasan tentang perlunya melakukan
reformasi terhadap PBB. Salah satu topik yang menjadi fokus dari pembahasan reformasi PBB ialahorgan utamanya, yaitu DK PBB. Selama kurang lebih 60 tahun usia PBB, DK PBB telah memainkanperanan yang sangat penting dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Otoritasyang dimiliki DK PBB selama ini untuk memberikan sanksi pada suatu negara yang dianggapmengancam perdamaian dan keamanan internasional telah memberikan bobot power secara riil ditatanan internasional kepada lembaga ini. Karena itu sangat wajar bila DK PBB dianggap sebagaiorgan PBB yang terpenting dan menjadi fokus utama dari wacana reformasi PBB.31
Aspek yang menjadi sorotan utama dalam reformasi DK PBB adalah masalah keanggotaantetap DK. Sejak berdirinya PBB tahun 1945, anggota tetap DK PBB terdiri dari 5 negara pemenangPerang Dunia II yaitu AS, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina. Anggota tetap inilah yang sebenarnyamemiliki kekuatan paling menentukan dalam DK PBB mengingat mereka memiliki hak veto yangdapat menentukan pembicaraan atau keputusan terhadap setiap masalah internasional di DK PBB.
Kini, seiring dengan dinamika percaturan politik dan ekonomi dunia, kian dirasakan betapakondisi ini tidak lagi dapat memenuhi aspirasi masyarakat internasional secara keseluruhan. Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II, seperti Jepang dan Jerman, telah bangkit dari kekalahannyadan tumbuh menjadi negara kekuatan ekonomi dunia yang tidak dapat diabaikan suaranya.
Sebaliknya, negara-negara pemenang Perang Dunia II seperti Inggris, Perancis dan Rusiatidak lagi memiliki bobot kekuatan seperti seusai Perang Dunia II dulu. Selain itu, telah muncul pula
29 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus . . . op.cit, hlm. 166.30 Nadirsyah Hosen, Antara United Nations dan United States, http//media isnet.org, diakses tgl 22
Oktober 2007.31 Rivai H, Reformasi PBB dan Diplomasi Indonesia, dalam Suara Pembaharuan, 19 September 2005.
negara-negara seprti India, Brazil, dan Nigeria sebagai kekuatan baru di kalangan negara berkembang.Kondisi-kondisi ini beserta seruan tentang perlunya keseimbangan perwakilan secara geografis, telahsemakin mendorong isu reformasi, khususnya menyangkut anggota tetap DK PBB.
Namun demikian, gagasan tentang reformasi PBB, khususnya terhadap DK PBB yangpernah diusulkan oleh sebagian besar anggota PBB dan masyarakat internasional telah mengalamikegagalan. Kegagalan reformasi terhadap DK PBB itu disebabkan lima hal32, yaitu :Pertama, AS sebagai negara adidaya tunggal dan merasa membiayai 25 % operasional lembaga PBBtersebut tidak memberikan lampu hijau terhadap reformasi struktural di DK PBB, sebab bagi AS, PBBadalah sebuah lembaga internasional yang dijadikan alat untuk memaksimalkan kepentingan nasionalAS. Dengan adanya ketergantungan finansial PBB dari AS, maka lembaga internasional ini tidak akanmampu bersikap independen ketika berhadapan dengan kepentingan AS dan sekutunya. Belum lagiditambah sekretariat PBB berada di AS serta mayoritas pekerja di lembaga internasional ini adalahwarga negara AS, sehingga lengkaplah sudah cengkeraman AS ini terhadap lembaga internasional yangpaling bergengsi.Kedua, China sebagai anggota tetap DK PBB yang merupakan wakil dari dunia ketiga ternyata tidakmau berbagi kekuasaan dengan negara lain. Bagi China jika Jepang menjadi anggota tetap DK PBBkarena kekuatan ekonomi dan teknologinya, maka power yang dimiliki China akan berkurang. Apalagisepanjang sejarah peradaban bangsa China dengan Jepang selalu bersaing untuk menjadi pusatnya Asiadan Dunia. Sikap konservatif China sebetulnya sangat disayangkan, sebab dunia sekarang inimembutuhkan kekuatan penyeimbang AS yang suka berbuat unilateral dan suka meninggalkan PBB.Ketiga, negara-negara Afrika yang baru mengalami kemerdekaan di abad 20 ternyata tidak mempunyaipower yang cukup untuk berhadapan dengan negara-negara barat. Selain disebabkan oleh kemiskinan,rendahnya SDM, perang saudara, bangsa Afrika kurang bersatu dan sangat tergantung kepada negara-negara maju, baik itu dalam bidang ekonomi, maupun dukungan terhadap rezim yang berkuasa.Keempat, negara-negara Eropa seperti Perancis, Inggris merasa ketakutan jika Jerman menjadi anggotatetap DK PBB. Jerman yang pernah menguasai Eropa dengan nazi nya sampai sekarang tetap menjadihantu bagi sebagian besar negara Eropa.Kelima, Islam sebagai kekuatan alternatif yang “menantang” Barat pasca tumbangnya Uni Sovyetternyata juga tidak bisa bersatu. Negara-negara Islam dalam berhubungan internasional selalumengedepankan kepentingan nasional negara masing-masing, sehingga posisi tawarnya lemah.
Dengan demikian kegagalan reformasi DK PBB yang pernah diusulkan oleh mayoritasnegara anggota PBB lebih banyak disebabkan kurang bersatunya kekuatan baru di panggunginternasional. Hal ini juga sekaligus membuktikan kegagalan menempatkan prinsip persamaankedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB, sebab setiap upaya melakukan reformasi ditubuh DK PBB, AS dan sekutunya selalu memveto.
Jika dihubungkan dengan permasalahan pertama dalam penelitian ini, bahwa mengapa prinsippersamaan kedaulatan harus menjadi landasan dalam pengambilan keputusan di DK PBB? , makajawabannya adalah bahwa persamaan kedaulatan itu merupakan prinsip atau asas bagi PBB, termasukbagi organ-organ utamanya, seperti DK PBB, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) PiagamPBB. Selain itu, keharusan menerapkan prinsip persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan diDK PBB itu dimaksudkan agar tidak terjadi dominasi negara-negara tertentu, yang pada akhirnya
terrjadi kesewenang-wenangan , ketidak seimbangan dan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan.D. Alasan Pembenar Secara Yuridis Digunakannya Hak Veto
Dalam Piagam PBB, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa kelimanegara anggota tetap DK PBB memiliki hak veto, namun secara implisit (tersirat), hak veto itu munculdari penafsiran Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB, yang menyatakan :
“Keputusan-keputusan DK mengenai hal-hal lainnya (non prosedural) akan ditetapkandengan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bulat dari anggota-anggota tetap, dengan ketentuan bahwa dalam keputusan-keputusan dibawah Bab VI dandibawah ayat (3) pasal 52 pihak yang berselisih tidak diperkenankan memberikan suaranya.
Yang dimaksud “suara bulat anggota tetap” dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB tersebut diatasadalah berarti “hak veto”. Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana menetapkan suatupersoalan termasuk “prosedural” atau “non prosedural” ?
Bila diamati, dalam Piagam PBB sendiri tidak terdapat perumusan yang merupakan masalahprosedural ataupun non prosedural. Pada pertemuan di San Fransisco, keempat negara besar (AS, UniSovyet, Inggris dan Cina) telah membuat daftar, mana yang termasuk masalah prosedural, sebagaicontoh keputusan yang didasarkan pada persoalan tata tertib (Pasal 28-32 Piagam), pertanyaan yangsehubungan dengan agenda penundaan rapat. Sedangkan yang termasuk masalah non prosedural adalah
32 Eddy Maszudi, Reformasi DK PBB Gagal, Suara Merdeka, 27 Oktober 2005, hlm. 4.
rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dan keputusan untuk tindakan dan kekerasan. Dalam haladanya keragu-raguan apakah suatu kasus termasuk perkara prosedural atau non proswedural, makamasalah tersebut menjadi masalah non prosedural.33
Jika kita cermati, maka kewenangan anggota tetap DK PBB untuk melakukan veto terhadapmasalah-masalah non prosedural, lebih bersifat politis, sehingga memang secara politis eksisitensi hakveto kiranya dapat dibenarkan. Hal ini sebagaimana diuraikan terdahulu, dapat dijelaskan bahwa alasansah bagi pemberian status luar biasa (hak veto) kepada kelima negara anggota tetap DK PBB adalahsehubungan dengan dibebankannya tanggung jawab yang berat kepada kelima negara anggota tetaptersebut dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karena itu kepada merekaharus diberikan hak suara final dan sekaligus penentu tentang bagaimana tanggung jawab itu harusdilaksanakan. Kiranya asumsi dan alasan ini merupakan suatu keputusan yang sangat politis sekali.
Padahal hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yangmemadai, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak vetooleh kelima negara anggota tetap DK, terutama AS telah digunakan dengan tidak ada batasnya.Lihatlah praktek penggunaan hak veto selama in, yang telah digunakan sebanyak 261 kali, sebagianbesar diantaranya (123 kali) oleh Uni Sovyet/Rusia sampai pertyengahan dasawarsa 1990 an. Sebagianbesar diantaranya (59 dan 43) digunakan untuk mencegat anggota baru dan pencalonan SekretarisJenderal. Dalam 5 tahun belakangan ini, AS tercatat sebagai negara yang paling sering menggunakanhak veto (10 kali)34. Dengan demikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkankelima negara anggota tetap DK PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan yang lebih tinggidibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun justru konsep tersebut bertentangandengan asas persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality).
Dengan demikian, jika ada anggapan oleh sebagian besar anggota PBB bahwa secara yuridiseksistensi hak veto ini telah melanggar atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasionalumum, seperti persamaan kedaulatan, maka anggapan itu benar adanya. Oleh karena itu secara tegasdapat dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada alasan pembenar secara yuridis terhadap penggunaanhak veto, selain dalam Pigam PBB juga tidak ada ketentuan secara eksplisit.1. Penggunaan Veto Dalam Praktek
Kekuatan veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK PBB mempunyai kekuatanyang manjur, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak vetooleh negara yang mempunyai hak itu sering dipergunakan dengan tidak ada batasnya. Dalam praktekanggota DK PBB lebih senang memilih abstain daripada menggunakan suara negatifnya dalam hal DKPBB harus memutuskan suatu masalah.
Masalah yang lebih sulit adalah apabila DK PBB harus memutuskan suatu masalah dengantidak hadirnya anggota tetap DK PBB. Bila masalah yang diputuskan adalah masalah prosedural, makatidak hadirnya anggota tetap DK PBB tidak menjadi masalah, tetapi jika keputusan yang harus diambilmenyangkut masalah non prosedural, baru timbul masalah, karena masalah non prosedural harusdiputus dengan suara 9 anggota DK PBB termasuk lima anggota tetap.
Dalam praktek masalah veto ini telah diperlunak. Penafsiran Pasal 27 (3) Piagam secaragramatika bahwa semua anggota tetap Dewan Kemanan harus memberikan suaranya agar suatu drafresolusi Dewan Kemanan dapat diputuskan; abstain dianggap suatu veto. Tetapi sejak permulaanberdirinya PBB telah ada praktik yang konsisten yang tidak menganggap bahwa absen sebagai veto danini telah diakui dalam praktik (lihat keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Namibia).Dampak dari ketidakhadiran anggota tetap Dewan Kemanan dalam pemungutan suara terjadi tahun1950 ketika Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan, ketika Dewan Keamanan akan mengambilkeputusan tentang masalah Korea. Korea Utara mengadakan invasi ke Korea Selatan, Dewan
Keamanan mengambil resolusi yang menetapkan negara anggota dapat mengirimkan bantuan ke KoreaSelatan. Pada waktu Dewan Keamanan mengambil keputusan Uni Soviet tidak hadir dalampemungutan suara, karena Uni Soviet tidak setuju Taiwan menggantikan kedudukan Cina di DewanKeamanan. Uni Soviet mengatakan bahwa keputusan Dewan Keamanan untuk kasus Korea tidak sah,karena diputus tanpa persetujuan Uni Soviet. Sebaliknya Uni Soviet Dipersalahkan melanggar Pasal 28(1) Piagam, dimana anggota Dewan Keamanan mempunyai kewajiban untuk menghadiri sidang DewanKeamanan. Berdasarkan alasan ini maka Dewan Keamanan dapat mengambil keputusan walaupunsalah satu anggota tetap tidak hadir. Sejak itu belum ada anggota tetap Dewan Keamanan memboikotDewan Keamanan.
33 Sri Setianingsih Suwardi, loc.cit., hlm.293.34 Kusnanto Anggoro, Prioritas Dan Strategi Indonesia di DK PBB, Kompas, 30 Januari 2007, hlm. 5.
Di dalam praktiknya saat ini, kewajiban untuk abstain pada salah satu pihak yang terlibatdalam sengketa anggota tetap Dewan Keamanan sering diabaikan. Salah satu contoh adalah ResolusiDewan Keamanan dalam Kasus Lockerbie, dimana Dewan Keamanan telah mengambil keputusanterhadap Libia, dimana Inggris, Amerika Serikat dan Perancis mengambil bagian dalam pemungutansuara.35
Dilihat dari praktik veto sebagaimana diuraikan diatas, maka nampak sekali muatan politisdari digunakannya veto tersebut dalam pengambilan keputusan, sehingga pertimbangan politis lebihmenonjol ketimbang pertimbangan-pertimbngan yuridisnya, bahkan kadang-kadang malah agakbertentangan dengan aspek yuridis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan pembenar secara yuridisdigunakannya hak veto, tetapi jika ditelusuri, digunakannya hak veto itu ditafsirkan secara implisit daripasal 27 ayat (3) Piagam PBB.
PENUTUPA. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan dalam Bab IV terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Bahwa dasar pengaturan prinsip atau asas persamaan kedaulatan secara tegas diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB dan ketentuan tersebut merupakan asas dari pelaksanaanfungsi PBB sebagai suatu organisasi internasional, termasuk menjadi landasan bagipelaksanaan fungsi-fungsi organ-organ utamanya. Oleh karena itu prinsip atau asas iniharus menjadi landasan bagi pengambilan keputusan dalam DK PBB.
2. Tidak ada alasan pembenar secara yuridis tentang penggunaan hak veto oleh negaraanggota tetap DK PBB, sebab dalam ketentuan Piagam PBB, hak veto tidak diatur secaraeksplisit, namun hanya menafsirkan dari ketentuan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Tetapisebagai pengemban untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, DK PBBsecara politis dibenarkan menggunakan Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB yang ditafsirkansebagai hak veto.
B. SaranMasyarakat internasional harus terus menerus mengupayakan dilakukannya reformasi
terhadap PBB, terutama terhadap DK PBB untuk menata kembali kewenangan-kewenangan DK PBByang selama ini dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKAA. LiteraturAbdulgani, Ruslan, 25 Tahun Indonesia di PBB, Gunuing Agung, Jakarta.Anwar, Chairul, 1988, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta.Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung.Brownlie, Ian, 1979, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, Oxford.Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung.Komar, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian
Internasional, Bahan Kuliah FH-UNPAD, Bandung.Saiman, Dewan Keamanan PBB dan Perdamaian Dunia, makalah disampaikan pada sosialisasi
“Indonesia di Dewan Keamanan” oleh Ditjen Multilateral Deplu RI bekerjasama dengan JurusanHubungan Internasional FISIP UMM, 4 april 2007.
Schermers,Henry G., 1980, International Institution Law, Sijthoff & Noordhoff, Maryland USA.Schwanzerberger, 1960, International Law And Order, Stevens and Sons, London.Soeprapto, 1995, Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.Suryokusumo, Sumaryo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta.___________________, 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung.
Suwardi, Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta.Piagam PBB
B. Surat Kabar
Anggoro, Kusnanto, Prioritas Dan Strategi Indonesia di DK PBB, Kompas, 30 Januari 2007.
Maszudi, Eddy, Reformasi DK PBB gagal, dalam Suara Merdeka, 27 Oktober 2005.
Rivai H, Reformasi PBB dan Diplomasi Indonesia, dalam Suara Pembaharuan, 19 September 2005.
35 Op.cit., hlm. 296-297
C. InternetHosen, Nadirsyah, Antara United Nations dan United States, http//media isnet.org, diakses tgl 22
Oktober 2007.
Top Related