1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan...

16
Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (The basis of Equal Sovereignty Principles and Veto Arrangement in the United Nations Security Council Decision Making) SETYO WIDAGDO Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl.MT.Haryono Nomor 169 Malang 65145 E-mail: [email protected] ABSTRACT The UN Principle is included in Section 2 Article 1 the UN Charter, which states that UN is based on an equal sovereignty of all its members. This principle means that there must be no discrimination in the UN. However, in Section 27 Article 3 the UN Charter, there is a rule which gives a special right given to the five members of the UN Security Council called a ‘veto’. Therefore, there is a kind of contradiction to the rule stated in the charter. This article would like to discuss the problem and the reasons why the equal sovereignty principles become the basis of the decision making by the UN Security Council as well as the reasons which legitimate the veto of the five members of the UN Security Council. Moreover, the importance of the equal sovereignty principles to be respected by all members as well as the history of veto of the UN Security Council will also be described. Key words: kedaulatan (sovereignty), hak veto (veto) , DK PBB (UN Secutity Council) PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disingkat PBB) merupakan organisasi yan g paling besar selama ini dalam sejarah pertumbuhan kerjasama semua negara di dunia di dalam berbagai sektor kehidupan internasional. Organisasi ini telah meletakkan kerangka konstitusionalnya melalui i nstrumen pokok berupa Piagam dengan tekad semua anggotanya untuk menghindari terulangnya ancaman pera ng dunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia. Di sa mping itu, Piagam PBB juga telah meletakkan tujuan dan prinsip yang mulia dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan bersahabat dan mencapai kerjasa ma internasional di semua bidang, termasuk adanya kewajiban-kewajiban internasional sem ua negara untuk : (1) Menghormati persamaan kedaulatan bagi semua negara; (2) Tidak menggunakan ancama n atau kekerasan terhadap kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara; (3) Tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara; dan (4) Berusaha menyelesaikan pertik aian antar negara secara damai. 1 Sebagai organisasi internasional yang bersifat universal, PBB diharapkan mampu memelih ara perdamaian dan keamanan internasional agar tidak terjadi lagi perang terbuka antar negara da n mampu menciptakan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, kemanusia an dan lain sebagainya. Dalam Mukadimah Piagam PBB ditegaskan bahwa PBB bertekad untuk menyelamatkan

Transcript of 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan...

Page 1: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam PengambilanKeputusan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa

(The basis of Equal Sovereignty Principles and Veto Arrangement in the United Nations SecurityCouncil Decision Making)

SETYO WIDAGDODosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Jl.MT.Haryono Nomor 169 Malang 65145E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The UN Principle is included in Section 2 Article 1 the UN Charter, which states that UN is basedon  an  equal  sovereignty   of  all  its  members.  This  principle   means  that  there   must   be  nodiscrimination in the UN. However, in Section 27 Article 3 the UN Charter, there is a rule whichgives  a  special  right  given  to  the  five  members  of  the  UN  Security  Council  called  a  ‘veto’.Therefore, there is a kind of contradiction to the rule stated in the charter. This article would liketo discuss the problem and the reasons why the equal sovereignty principles become the basis ofthe decision making by the UN Security Council as well as the reasons which legitimate the vetoof   the  five  members  of   the  UN  Security   Council.  Moreover,  the  importance  of   the  equalsovereignty  principles  to be  respected  by  all  members  as  well  as  the  history  of  veto  of  the  UNSecurity Council will also be described.

Key words: kedaulatan (sovereignty), hak veto (veto) , DK PBB (UN Secutity Council)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahPerserikatan  Bangsa-Bangsa  (selanjutnya  disingkat  PBB)  merupakan  organisasi  yang  paling

besar selama ini dalam sejarah pertumbuhan kerjasama semua negara di dunia di dalam berbagai sektorkehidupan internasional. Organisasi ini telah meletakkan kerangka konstitusionalnya melalui instrumenpokok berupa Piagam dengan tekad semua anggotanya untuk menghindari terulangnya ancaman perangdunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia. Di sampingitu,  Piagam  PBB  juga  telah  meletakkan  tujuan  dan  prinsip  yang  mulia  dalam  rangka  memeliharaperdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan bersahabat dan mencapai kerjasamainternasional  di  semua  bidang,  termasuk  adanya  kewajiban-kewajiban  internasional  semua  negarauntuk : (1) Menghormati persamaan kedaulatan bagi semua negara; (2) Tidak menggunakan ancamanatau  kekerasan  terhadap  kemerdekaan,  kedaulatan  dan  keutuhan  wilayah  suatu  negara;  (3)  Tidakmencampuri  urusan  dalam  negeri  suatu  negara;  dan  (4)  Berusaha  menyelesaikan  pertikaian  antarnegara secara damai.1

Sebagai organisasi internasional yang bersifat universal, PBB diharapkan mampu memeliharaperdamaian dan keamanan internasional agar tidak terjadi lagi perang terbuka antar negara dan mampumenciptakan  kerjasama  internasional  di  bidang  ekonomi,  sosial,  kebudayaan,  kemanusiaan  dan  lainsebagainya.

Dalam  Mukadimah  Piagam  PBB  ditegaskan  bahwa  PBB  bertekad  untuk  menyelamatkangenerasi   yang  akan  datang   dari  kesengsaraan   yang  disebabkan  perang,  PBB   juga   memperteguhkepercayaan pada hak-hak asasi manusia, pada harkat dan martabat manusia, persamaan hak bagi priamaupun   wanita   dan   bagi   segala   bangsa   besar   maupun   kecil.   Selanjutnya   PBB   juga   bertekadmenegakkan keadaan dimana  keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbuldari perjanjian-perjanjian dan lain-lain sumber hukum internasional dapat terpelihara. Tidak lupa pulaPBB   bertekad   meningkatkan   kemajuan   sosial   dan   memperbaiki   tingkat   kehidupan   dalam   alamkebebasan yang lebih luas.2

Untuk  mencapai  tekad  tersebut,  maka  bangsa-bangsa  di  dunia  akan  hidup  bersama  denganpenuh toleransi dan akan hidup bersama dalam suasana perdamaian seperti halnya dalam bertetanggabaik   dan   mempersatukan   kekuatan   untuk   menegakkan   perdamaian   dan   keamanan   internasional.

1 Sumaryo Suryokusumo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, , hlm.1.2 Lihat Mukadimah Piagam PBB.

Page 2: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

Kekuatan   senjata   tidak   akan   dipergunakan   kecuali   untuk   kepentingan   bersama.   Disamping   itu,kerjasama internasional diperlukan untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial semua bangsa. PBBdidirikan  untuk  memperbaiki  hubungan  antar  bangsa-bangsa  dan  memberi  hak-hak  dan  kesempatanyang layak bagi tiap bangsa di dunia untuk maju dan sejahtera dalam suasana kerukunan kerjasama danperdamaian  satu  sama  lain.  Tiap perselisihan  bangsa  yang  dapat  mengganggu  perdamaian  harusdiselesaikan secara damai.3

Namun  demikian  dalam  perkembangannya  selama  62  tahun  ini,  PBB  dinilai  hanya  mampusebagai cap stempel saja, bahkan ada yang mengatakan PBB tidak berdaya, sehingga terjadi disfungsiPBB   dan   penyimpangan   dari   tujuan   dan   cita-cita   semula,   terutama   dalam   upaya   penyelesaianpersoalan-persoalan  politik  dan  keamanan  internasional,  walaupun  pada  bidang-bidang  lainnya  PBBdinilai telah banyak membantu.4

Hal  tersebut  disebabkan  karena  pengaruh  yang  kuat  dari  negara-negara  besar  yang  menjadianggota  tetap  Dewan  Keamanan  (selanjutnya  disingkat  dengan  DK)  PBB,  terutama  dari  AmerikaSerikat (selanjutnya disingkat AS).

DK  merupakan  badan  atau  organ  utama  PBB  yang  dinilai  paling  kuat  dan  berpengaruhdiantara  badan  atau  organ-organ  PBB  yang  lain,  bahkan  ada  yang  mengatakan  bahwa  DK  PBB  inimerupakan “roh”nya PBB. Hal ini karena adanya hak istimewa yang dimiliki oleh 5 anggota tetap DKPBB,  yang  disebut  dengan  hak  veto,  yaitu  hak  untuk  membatalkan  keputusan  atau  resolusi  yangdiajukan PBB atau DK PBB. Hak veto dimiliki oleh negara-negara anggota tetap DK PBB, yakni AS,Inggris, Rusia (dulu Uni Sovyet), Perancis dan RRC yang merupakan warisan Perang Dunia II.

Dalam   perkembangannya   hak   veto   dinilai   merupakan   alat   penghambat   dalam   upayapemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, karena 5 (lima) negara anggota tetap DK selalumenggunakan untuk mencapai kepentingan nasional negara masing-masing. Dengan demikian hak vetodi  DK  PBB  dinilai  sangat  “politis”  bahkan  dianggap  sangat  mencerminkan  “ketidakadilan”  negara-negara besar terhadap negara-negara kecil. Setiap persoalan yang dibawa ke DK PBB selalu mengalamiperdebatan dan bahkan konflik internal di DK PBB yang mengakibatkan proses penyelesaian persoalaninternasional menjadi terhambat dan berlarut-larut, karena jika ada satu negara saja menggunakan hakveto  (tidak  setuju  atau  menolak)  maka  resolusi  atau  keputusan  yang  diambil  menjadi  tidak  dapatdilaksanakan.

Perdebatan tentang hak veto tersebut sesungguhnya telah berlangsung lama dan telah menyitawaktu,  tenaga  dan  pikiran  dan  belum  selesai  hingga  saat  ini.  Perdebatan  itu  selalu  muncul  diantaraanggota PBB dan masyarakat internasional pada umumnya, yaitu setiap kali terjadi pemungutan suaradi DK PBB, karena disinilah keadilan dan persamaan hak selalu dipertanyakan.

Meskipun  hak  veto  tersebut  hanya  ada  dalam  DK  PBB  saja,  namun  karena  terlalu  luasnyaperanan dan kewenangan dari  DK PBB, maka terkesan bahwa hak veto ini merupakan hak istimewayang dimiliki oleh kelima anggota tetap DK PBB secara mutlak dan dapat digunakan di seluruh bagianorganisasi PBB. Kesan lain juga timbul bahwa dengan adanya hak veto ini, seolah-olah kelima anggotatetap  DK  PBB  memiliki  kedudukan  dan  atau  kedaulatan  yang  lebih  tinggi  serta  superior  diantaranegara-negara anggota PBB yang lain. Selain itu, struktur  DK PBB yang terdiri dari 5 anggota tetapdengan  hak  istimewa  atau  hak  veto  dan  10  anggota  tidak  tetap  sebetulnya  sudah  tidak  sesuai  lagidengan  perkembangan  zaman.  DK  PBB  pascaperang  dingin  di  tahun  1990-an  ternyata  sudah  tidakmampu mencegah perilaku negara-negara besar melakukan invasi ke negara-negara kecil dan lemah.5

Padahal dalam Pasal 2 butir 1 Piagam PBB yang merupakan asas-asas PBB menyatakan, bahwa “ PBBberdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya”. Tentu disini dapat diartikan bahwa semuaanggota PBB tanpa kecuali memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama didalam menjalankanroda organisasi PBB.

Dari  situlah  pertanyaan  dikalangan  para  ahli  selalu  terjadi  bahwa  apakah  benar  DK  PBBberhasil  memelihara  perdamaian dan  keamanan  internasional?  atau  bahkan sebaliknya  negara-negarayang  memiliki  hak  veto  justru  telah  menciptakan  ketidakamanan  dan  ketidakdamaian  pada  duniainternasional,   karena   perdamaian   dan   keamanan   internasional   selalu   didasarkan   pada   standarkepentingan masing-masing negara pemegang hak veto, terutama AS yang memiliki kepentingan besarhampir  di  seluruh  sudut  dunia  ini.  Lantas  bagaimanakah  dengan  prinsip  persamaan  kedaulatan  yangtertuang sebagai asas PBB?  Tidakkah hak veto telah bertentangan dengan prinsip tersebut?  Disinilah

3 Sri  Setianingsih  Suwardi,  2004,  Pengantar  Hukum  Organisasi  Internasional,  UI  Press,  Jakarta,hlm.265.

4 Saiman,  Dewan  Keamanan  PBB  dan  Perdamaian  Dunia,  makalah  disampaikan  pada  sosialisasi“Indonesia  di  Dewan  Keamanan” oleh  Ditjen  Multilateral  Deplu  RI  bekerjasama  dengan  JurusanHubungan Internasional FISIP UMM, 4 April 2007.

5 Eddy Maszudi, Reformasi DK PBB Gagal,dalam Suara Merdeka, 27 Oktober 2005.

nampak ada  semacam  konflik  yuridis antara  ketentuan hak veto dengan asas/prinsip yang ada  dalamPiagam PBB.B. Perumusan Masalah

Tulisan ini bermaksud mengupas dan membahas apakah yang menjadi landasan digunakannyaprinsip/asas persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB dan apakah yang menjadi

Page 3: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

alasan  pembenar  secara  yuridis  bahwa  hak  veto  dapat  digunakan,  mengingat  hak  ini  bertentangandengan prinsip persamaan kedaulatan?

PEMBAHASANA. Tujuan Dan Prinsip-Prinsip PBB

Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan PBB antara lain :1.   Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;2.   Mengembangkan   hubungan   persahabatan   antar   bangsa   berdasarkan   prinsip-prinsip

persamaan derajat;3.   Mencapai kerjasama interrnasional dalam memecahkan persoalan internasional di bidang

ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalah kemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia;4.   Menjadi   pusat   bagi   penyelenggaraan   segala   tindakan-tindakan   bangsa-bangsa   dalam

mencapai tujuan bersama.Adapun asas-asas PBB termuat dalam Pasal 2 Piagam PBB yang digunakansebagai dasar untuk

mencapai tujuan PBB tersebut diatas, antara lain :1.   PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya;2.   Kewajiban  untuk  memenuhi  kewajiban-kewajiban  sesuai  dengan  apa  yang  tercantum

dalam Piagam;3.   Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak

terancam;4.   Mempergunakan  kekerasan  terhadap  integritas  wilayah  atau  kemerdekaan  politik  suatu

negara harus dihindarkan;5.   Kewajiban  untuk  membantu  PBB  terhadap  tiap  kegiatan  yang  diambil  sesuai  dengan

Pigam PBB dan larangan membantu negara di mana negara tersebut oleh PBB dikenakantindakan-tindakan pencegahan dan pemaksaan;

6.   Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan Piagam PBBapabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional;

7.   PBB   tidak   akan   campur   tangan   dalam   masalah   persoalan   dalam   negeri   (domesticjurisdiction) dari negara-negara anggotanya.

1.  Prinsip Persamaan KedaulatanPasal  2  butir  1  Piagam  PBB  memuat  asas  yang  menyatakan  bahwa  PBB  berdasarkan  asas

persamaan kedaulatan semua negara anggotanya. Asas ini sangat penting bagi semua negara anggota,karena dengan demikian PBB bukanlah organisasi internasional yang bersifat “supranasional”. Selainitu  asas  ini  juga  berkaitan  dengan  asas  colectivity  atau  asas  kegotongroyongan,  artinya  tindakan-tindakan yang dijalankan atas nama PBB sifatnya kolektif, bergotong royong sesuai dengan asas-asasdemokrasi.  Hal  yang  demikian  mengharuskan  dijalankannya  asas  koordinasi,  artinya  bahwa  segalatindakan dan kegiatan bangsa-bangsa ke arah perdamaian harus diselaraskan dan dipersatukan.6

Asas  persamaan  kedaulatan  yang  tercantum  dalam  Pasal  2  butir  1  Piagam  PBB  tersebuttermasuk asas hukum umum. Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, maka asas-asas  hukum  umum  merupakan  sumber  hukum  internasional  yang  ketiga.  Yang  dimaksudkan  denganasas-asas  hukum  umum  adalah  asas-asas  hukum  yang  mendasari  sistem  hukum  modern.  Sedangkanyang dimaksud dengan sistem hukum modern adalah sistem positif yang didasarkan atas asas-asas danlembaga-lembaga  hukum  negara   barat,  yang  sebagian besar  didasarkan atas  asas-asas  dan lembaga-lembaga hukum Romawi.7

Perlu  ditegaskan  disini  bahwa  yang  menjadi  sumber  hukum  internasional  adalah  asas-asashukum hukum umum dan bukan hanya asas-asas hukum internasional. Brierly mengatakan bahwa asas-asas hukum umum ini meliputi spektrum yang luas, yang juga meliputi asas-asas hukum perdata yangditerapkan   oleh   peradilan   nasional   yang   kemudian   dipergunakan   untuk   kasus-kasus   hubunganinternasional.8 Dengan demikian, yang termasuk ke dalam asas-asas hukum umum ini antara lain, asaspacta  sunt servanda,  asas  bonafides,  asas  penyalahgunakan hak (abus  de  droit),  serta  asas  adimpletinon  est  adiplendum  dalam  hukum  perjanjian.  Tentu  saja  termasuk  juga  di  dalamnya  asas  hukum

6 Sri Setianingsih Suwardi, op.cit, hlm.270.7 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, hlm.138.8 Chairul Anwar, 1988, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta,hlm.16.

internasional,   misalnya   asas   kelangsungan   negara,   penghormatan   kemerdekaannegara,   asas   nonintervensi dan asas persamaan kedaulatan negara.

Jika dihubungkan dengan persoalan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) negara anggota tetapDK  PBB,  maka  pertanyaan  yang timbul  adalah apakah berarti  hak veto kelima  negara  anggota  tetapDK PBB itu bertentangan dengan asas hukum umum? Untuk menjawab ini tentu kita telusuri terlebihdahulu  tentang  bagaimana  awal  mula  munculnya  hak  veto  dan  bagaimana  pula  proses  pemungutansuara di DK PBB.2. Prinsip- prinsip Dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB

Pengambilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya PBB dapat dilakukan baikmelalui  pemungutan  suara  ataupun  tidak.  Keputusan  yang  diambil  tanpa  pemungutan  suara  dapatmelalui  konsensus atau aklamasi, baik  yang dilakukan atas saran  ketua  sidang yang bersifat ”ruling”

Page 4: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak.9 Hal ini dapat dimungkinkan jika memang benar-benar   dapat   memberikan   sumbangan   bagi   penyelesaian   yang  efektif   dan   kekal  bagi   perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian dapat memperkokoh wewenang PBB. Beberapa aturan tata cara(rules of procedure) bahkan memungkinkan Ketua Sidang untuk mengupayakan konsensus bagi usul-usul.

Kadang-kadang  penerimaan  konsensus  diartikan  bagi  sesuatu  negara  atau  beberapa  negaratidak ingin menghambat jalannya keputusan, walaupun tidak menyetujui usul yang diajukan. Dalam haldemikian negara-negara tersebut dapat menyatakan keberatan-keberatannya untuk tidak merasa terikatoleh keputusan yang diambil secara konsensus tersebut.10

Sistem dasar di dalam PBB mengenai persuaraan (pemungutan suara) tercermin dalam Pasal-Pasal  18,  19,  20  dan  27  Piagam  PBB,  dua  sistem  diantaranya  telah  digunakan secara  umum.  Disatupihak  didasarkan  atas  prinsip  ”one  nation  one  vote”  dan  dilain  pihak  didasarkan  atas  nilai-nilaiekonomi,  geografis,  dan  lain-lain  yang  disebut  ”weighted  voting”.  Sistem  ini  memberikan  kepadanegara-negara besar, yaitu lima anggota tetap DK PBB suatu hak veto secara eksklusif di DK.

Pengambilan  keputusan  melalui  pemungutan  suara  di  DK  PBB  terhadap  semua  masalahkecuali  yang bersifat  prosedural  memerlukan dukungan  suara  bulat dari  kelima  negara  anggota  tetapDK PBB sebagai syarat utama sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Sedangkanbadan-badan PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun mayoritasmutlak.

Keputusan melalui mayoritas mutlak atau mayoritas dua pertiga adalah menyangkut masalah-masalah penting seperti :11(a).  Rekomendasi mengenai pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional;(b). Pemilihan keanggotaan tidak tetap DK PBB, anggota ECOSOC dan anggota Dewan Perwalian

menurut Pasal 86 ayat (1e)(c). Masuknya negara baru anggota PBB;(d). Penanggulangan hak-hak dan keistimewaan keanggotaan;(e) Pengeluaran anggota dengan paksa;(f). Masalah-masalah yang berkaitan dengan beroperasinya sistem perwalian; dan(g). Masalah-masalah anggaran.

Sedangkan masalah masalah lainnya diluar ketentuan diatas akan diputuskan dengansuara mayoritas dari negara-negara anggota yang memberikan suara, baik secara afirmatif(mendukung) maupun secara negatif (menolak). Namun negara yang menyatakan abstain tidak dihitungdalam pemungutan suara.12 Ini diartikan sebagai mayoritas sederhana yaitu mayoritas sekecil mungkinyang lebih dari setengah suara yang dihitung.13

Ada pula yang disebut mayoritas bersyarat (qualified majority) dimana keputusan ditetapkanatas  dasar  persentase  suara  yang  biasanya  lebih besar  dari  mayoritas  sederhana.  Mayoritas  bersyaratyang paling umum adalah dua pertiga tetapi mayoritas bersyarat lainnya, seperti tiga perempat atau tigaperlima juga digunakan.14

Sementara itu, terhadap masalah-masalah non prosedural, pengambilan keptusan yang dianutdi DK PBB adalah berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Dalam pasal tersebut diatur bahwa dari

9 Sumaryo Suryokusumo, 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung, hlm.151-152.

10 Ibid., hlm.152.11 Lihat Pasal 18 ayat (2) Piagam PBB dan Rule 83 dari Rule of Procedure Majelis Umum.12 Lihat Pasal 18 ayat (3) Piagam PBB dan Rule 85 dari Rule of Procedure Majelis Umum13 Henry  G.  Schermers,  1980,  International  Institution  Law,  Sijthoff  &  Noordhoff,  Maryland  USA,

hlm. 406.14 Ibid.

15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara afirmatif (dukungan), termasuk suara dari 5 anggota tetap DKPBB, inilah yang sering disebut sebagai hak veto anggota tetap DK PBB, sebab jika satu saja anggotatetap tidak menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.

Dalam  pengambilan  keputusan  diluar  masalah-masalah  prosedural  (non  prosedural)  di  DKPBB dijumpai beberapa permasalahan, antara lain :15(a). Jika 5 negara anggota tetap seluruhnya membe rikan suara afirmatif sedangkan tidak mencapai 9

suara  afirmatif  karena  sebuah  atau  lebih  negara  anggota  tidak  tetap  memberikan  suara  negatif(menolak), maka keputusan tidak dapat diambil.

(b).  Jika  tercapai  9  suara  afirmatif  tetapi  ada  sebuah  negara  anggota  tetap  DK  yang  menyatakanmenolak,  maka  satu suara  negatif  ini  membuat  batalnya  keputusan  karena  hakikatnya  veto telahdijatuhkan.

(c).  Lain halnya dengan suara abstain yang diberikan oleh sebuah atau lebih negara anggota tetap DKyang tidak diperhitungkan dalam rangka Pasal 27 ayat (3) Piagam, sehingga dalam pengambilankeputusan haruslah  dicari tambahan  paling sedikit  suara  dari anggota  tidak tetap sejumlah suaranegara anggota tetap DK yang menyatakan abstain.

(d).  Jika  salah  satu  anggota  DK  baik  anggota  tetap  maupun  tidak  tetap  terlibat  dalam  pertikaian,menurut Bab IV dan Pasal 52 ayat (3) Piagam PBB, maka para pihak tersebut haruslah abstain dan

Page 5: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

dengan  sendirinya  memerlukan  penggantian  suara  afirmatif  dari  negara  anggota  lainnya  untukmencapai 9 suara afirmatif.

B. Hak Veto1. Pengertian

Hak veto merupakan hak istimewa  yang dimiliki oleh 5 negara besar anggota tetap DK PBB,yang lazim disebut ”the big five”. Kelima negara tersebut adalah AS, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia(sebagai pengganti Uni Sovyet). Hak istimewa tersebut adalah hak untuk menolak atau membatalkansuatu keputusan DK PBB.

Walaupun  istilah  veto  ini  sendiri  tidak  terdapat  dalam  Piagam  PBB,  tetapi  kelima  anggotatetap DK PBB memiliki apa yang dinamakan ”veto” Jadi apabila salah satu dari negara anggota tetapDK  PBB  menggunakan hak vetonya  untuk menolak suatu  keputusan  yangb telah  disepakati  anggotayang lain, maka keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.16

Keberadaan hak veto ini sangat erat  kaitannya  dengan kedudukan dan kewenangan dari  DKPBB yang sangat luas. Kewenangan-kewenangan itu antara lain adalah :(a).  Kewenangan  untuk  memilih  Ketua  Majelis  Umum  yang  mana  Majelis  Umum  ini  memiliki  arti

yang sangat penting dalam kelangsungan hidup PBB;(b).  Kewenangan merekomendasikan suatu negara untuk masuk sebagai anggota PBB yang baru;(c).  Kewenangan merekomendasikan suatu negara agar keluar dari keanggotaan PBB;(d).  Kewenangan untuk mengamandemen Piagam PBB;(e). Kewenangan untuk memilih para hakim yang akan duduk dalam Mahkamah Internasional.2. Sejarah, Latar Belakang dan Perkembangan Hak Veto

Hak  veto  yang  dimiliki  oleh  negara-negara  besar,  pada  awalnya  dibicarakan  secara  teraturpada  waktu  merumuskan  Piagam  PBB,  baik  di  Dumbarton  Oaks  maupun  di  Yalta,  dan  di  SanFransisco.   Bahwasanya   kepada   kelima   negara   yang   dianggap   sangat   bertanggung   jawab   padapenyelesaian  Perang  Dunia  II  akan  merupakan  anggota  tetap  DK  dan  kepada  mereka  diberikan  hakveto,   hal  ini  adalah   merupakan  imbalan  dari  tanggung   jawab   mereka  terhadap  perdamaian  dankeamanan internasional (primary responsibilities)17

Secara hukum kekuasaan yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB ini merupakan previlegesyang  diberikan  kepada  mereka.  Namun  secara  hukum  mereka  tidak  mempunyai  kewajiban  atautanggung jawab yang berbeda dengan negara anggota PBB lainnya. Piagam hanya menentukan bahwatanggung  jawab  utama  (primary  responsibilities)  untuk  perdamaian  dan  keamanan  internasional  adapada pihak DK dan bukan pada anggota tetap DK.18

Pada pembicaraan di Dumbarton Oaks terdapat perbedaan perumusan tentang pasal mengenaiveto. AS menghendaki supaya ada aturan yang membatasi penggunaan veto, misalnya dalam soal tatatertib. Demikian juga supaya suara dari negara yang menjadi pihak dalam sengketa yang dibicarakan diDK tidak mempunyai hak suara, juga bagi negara anggota tetap DK, maka negara tersebut tidak dapat

15 Sumaryo Suryokusumo, op.cit., hlm. 154.16 Soeprapto,  Hubungan  Internasional,  Sistem,  Interaksi  dan  Perilaku,  PT  Raja  Grafindo  Persada,

Jakarta, 1995, hlm.387.17 Sri Setianingsih Suwardi, op. cit., hlm.291.18 Pasal  24  (1)  Piagam  PBB,  Lihat  pula   Hans  kelsen,  The  Law  of  the  United nations,  sebagaimana

dikutip oleh Sri Setianingsih Suwardi, op.cit., hlm. 291.

menggunakan hak vetonya. Uni Sovyet waktu itu menolak pendapat AS dan menghendaki veto penuhtanpa pembatasan.19

Di Yalta pembicaraan tentang veto ini berlanjut, pembahasannya dititik beratkan pada anggotatetap DK. Anggota tetap DK yang memiliki hak veto diwajibkan abstain dalam pemungutan suara yangdiambil  untuk  penyelesaian  sengketa  di  mana  mereka  merupakan  pihak  yang  berselisih.  Uni  Sovyetberjuang   dengan   gigih   untuk   dapat   mempergunakan   hak   vetonya   di   dalam   segala   kasus   tanpamemperhatikan  konsep  yang  ideal  dalam  hukum  bahwa  tidak  ada  seorangpun  yang  dapat  menjadihakim dalam masalahnya sendiri. Akhirnya Uni Sovyet menerima saran AS, bahwa anggota tetap DKharus abstain bila ada pemungutan suara  yang harus diambil tentang suatu sengketa  di  mana merekaadalah salah satu pihak dalam sengketa.20

Dalam  Pasal  27  ayat  1  Piagam  PBB  dikatakan  bahwa  setiap  anggota  DK  mempunyai  satusuara.  Jika  ketentuan  Pasal  27  ayat  1  ini  dihubungkan  dengan  Pasal  27  ayat  3,  maka  akan  nampakperbedaan hak suara antara anggota tetap DK dengan anggota tidak tetap DK. Perbedaan ini terletakpada masalah non prosedural dan masalah prosedural.

Dalam masalah non prosedural ditetapkan bahwa keputusan harus diputuskan oleh minimal 9suara,   termasuk   suara   bulat   dari   lima   anggota   tetap   DK.   Sedangkan   untuk   masalah   proseduralditetapkan bahwa keputusan akan diambil minimal oleh 9 suara anggota DK (tidak harus dengan suarabulat  anggota  tetap DK).21  Ketentuan ini  menunjukkan betapa  besarnya  peran dan  pengaruh anggotatetap   DK   dalam   proses   pengambilan   keputusan,   karena   untuk   masalah-masalah   penting   yangmenyangkut  perdamaian dan keamanan internasional (non prosedural) harus atas persetujuan merekasecara bulat. (tanpa veto)

Kekuatan hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yangmemadai,  dalam  prakteknya  telah  menyimpang  dari  maksud  semula.  Ternyata  penggunaan  hak  veto

Page 6: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

oleh kelima negara anggota tetap DK, terutama AS telah digunakan dengan tidak ada batasnya. Dengandemikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkan kelima negara anggota tetapDK  PBB  memiliki  kedudukan  dan  atau  kedaulatan  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  negara-negara  anggota  PBB  lainnya.  Namun  justru  konsep  tersebut  bertentangan  dengan  asas  persamaankedaulatan (principle of the sovereign equality).

Pada  saat  ini  opini  yang  berkembang  pada  masyarakat  internasional  terutama  pada  negara-negara dunia ketiga, mengatakan bahwa keberadaan kelima negara anggota tetap DK PBB dengan hakvetonya  itu  perlu  ditinjau  kembali,  karena  perkembangan  dunia  yang  sudah  semakin  global  dandemokrasi yang semakin berkembang, serta berlarut larutnya upaya penyelesaian sengketainternasional yang membawa dampak pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak veto.22

Argumentasi   lain   adalah   bahwa   hak   veto   merupakan   warisan   Perang   Dunia   II   yangmemberikan keistimewaan kepada  negara-negara kuat sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masaglobalisasi dan letika peta politik internasional sudah berubah. Karenanya PBB perlu di restrukturisasiatau  di   reformasi,   terutama   organ   DK,   agar   dapat   mengakomodasi   perkembangan   internasional,khususnya negara-negara dari dunia ketiga.Untuk keperluan tersebut, Pasal 108 dan 109 Piagam PBBmengatur tentang perubahan terhadap ketentuan Piagam yang dianggap tidak relevan lagi.

Pasal 108 Piagam PBB menyebutkan :“Perubahan-perubahan yang diadakan terhadap Piagam ini berlaku bagi semua anggota PBBapabila  hal  itu  telah  diterima  oleh  suara  dua  pertiga  dari  anggota  anggota  Majelis  Umumdan diratifikasi sesuai dengan proses-proses perundang-undangan dari dua pertiga anggota-anggota PBB termasuk semua anggota tetap DK”

Pasal 109 Piagam PBB menyebutkan :1.   Suatu konferensi Umum dari anggota PBB yang bermaksud meninjau Piagam yang telah

ada, dapat diselenggarakan pada waktu dan tempat yang disetujui oleh dua pertiga suaraanggota  Majelis  Umum  serta  sembilan  suara  anggota  manapun  dari  DK  PBB.  Setiapanggota PBB hanya mempunyai satu suara dalam konferensi tersebut.

2.   Setiap  perubahan  dari  Piagam  yang  ada,  disepakati  oleh  dua  pertiga  suara  dari  sidangakan  berlaku  apabila  diratifikasi  sesuai  dengan  proses-proses  konstitusional  oleh  duapertiga dari anggota-anggota PBB termasuk segenap anggota tetap DK.

3.   Apabila  sidang  seperti  tersebut  di  atas  belum  diadakan  sebelum  sidang  tahunan  yangkesepuluh  dari  Majelis  Umum  sesudah  berlakunya  Piagam  yang  sekarang,  maka  usuluntuk mengadakan sidang tersebut agar dicantumkan dalam agenda sidang Majelis Umum

19 Ruslan Abdulgani, 25 Tahun Indonesia di PBB, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 27.20 Kompromi  yang dicapai ini kemudian dirumuskan dalam Pasal 27 Piagam PBB.21 Lihat Pasal 27 ayat 2 Piagam PBB.22 Saiman, op.cit., hlm. 6.

PBB dan sidangakan diadakan apabila ditetapkan demikian berdasarkan suara terbanyakdari anggota Majelis Umum serta tujuh suara anggota manapun dari DK.

Amandemen terhadap Piagam PBB tentang DK sebenarnya  sudah pernah dilakukan,  namunamandemen  tersebut  hanya  mengamandemen  terhadap  penambahan  jumlah  anggota  tidak  tetap  DKPBB,  tidak  mengenai  atau  menyentuh  hak veto.  Karenanya  kinilah saatnya  masyarakat  internasionalharus mendesak PBB untuk melakukan reformasi terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap DK.C.  Dasar  Pengaturan  Prinsip/Asas  Persamaan  Kedaulatan  Dalam  Pengambilan  Keputusan  di

DK PBBDalam  struktur  organisasi  PBB,  DK  merupakan  salah  satu  organ  utama  selain  lima  organ

utama yang lain. Dengan demikian asas dan tujuan PBB merupakan juga asas dan tujuan seluruh organPBB.

Di bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB tercantumsuatu  asas  yang  amat  penting,  yaitu  asas  “persamaan  kedaulatan”  atau  “the  principle  of  sovereignequality”. Asas ini memperlihatkan dengan jelas sifat kelembagaan politik dari PBB dan berdasarkanasas ini pula sesuatu negara anggota tidak dapat dipaksa ataupun didesak untuk menyetujui sesuatu danmenjalankan   hal-hal   yang   bertentangan   dengan   kedaulatan   negara   dan   kepentingan   nasionalnya(national interest). Di pihak lain asas ini sering menjadi batu sandungan dan hambatan bagi kelancaranpenyelesaian masalah-masalah politik di tingkat internasional.23

Starke24 juga mengatakan :“Pasal  2  Piagam  PBB  juga  mengemukakan  prinsip-prinsip  tertentu.  Dua  dari  prinsip  iniditetapkan  untuk  ketaatan  organik  oleh  PBB  sendiri,   yakni  bahwa  dasar  PBB  adalahpersamaan  kedaulatan  dari  semua  anggotanya  dan  bahwa  PBB tidak akan  campur  tangan(kecuali  bila  diperlukan  “tindakan  pemaksaan”)  dalam  persoalan  yang  “pada  dasarnya”berada dalam yurisdiksi dalam negeri suatu negara…”

Dengan  demikian  sesungguhnya  prinsip  atau  asas  “persamaan  kedaulatan”  dapat  dikatakansebagai  suatu  norma  dasar  hukum  internasional  umum  atau  jus  cogens,  yaitu  suatu  norma  yangditerima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidakboleh dilanggar dan yang hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yangbaru  yang  mempunyai  sifat  yang  sama.25 Oleh  karena  itu  asas  tersebut  sejajar  dengan  asas  tentang

Page 7: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

larangan agresi (non agression), asas non discrimination, asas self determination dan sebagainya,  yangsemuanya itu merupakan jus cogens.26

Menurut Schwarzenberger27 untuk  membentuk  jus  cogens  atau  premptory  norm  ofgeneral international law, suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universalatau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas yang bersangkutan harus mempunyai arti pentingluar  biasa  (exceptionally  significent)  dalam  hukum  internasional  disamping  arti  penting  istimewadibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas tersebut merupakan bagian essensial daripadasistem  hukum  internasional  yang  ada  atau  mempunyai  karakteristik  yang  merupakan  refleksi  darihukum   internasional   yang   berlaku.   Apabila   sifat-sifat   ini   diterapkan,   akan   timbul   tujuan   asasfundamental  dalam  tubuh  hukum  internasional,  yaitu  kedaulatan,  pengakuan,  permufakatan,  itikadbaik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas.

Prinsip  kedaulatan  merupakan  suatu  hak  yang  tidak  dapat  dicabut,  karena  merupakan  cirihakiki  yang  harus  dipunyai  oleh  setiap  negara  apabila  negara  itu  berkeinginan  untuk  tetap  “exist”dalam pergaulan masyarakat internasional. Kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus melekat padanegara.   Dalam   perkara   Wemblendon   (1929),   Permanent   Court   Of   International   Justice   (PCIJ)membenarkan dan menguatkan hak kekuasaan negara yang berdaulat untuk melaksanakankedaulatannya.  Demikian  pula  dalam  Piagam  PBB  terdapat  asas-asas  kedaulatan  negara  yang  harusdihormati oleh PBB sendiri sebagai suatun organisasi dunia terbesar pada saat ini.28

23 Pareira Mandalangi, 1986, Segi-Segi Hukum Organisasi Internasional, Binacipta, Bandung, hlm.70.24 Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Sumitro,  Aksara Persada  indonesia,  hlm.

320 dan 321.25  Yudha   Bhakti   Ardhiwisastra,   2003,   Hukum   Internasional,   Bunga   Rampai,   Alumni,Bandung,

hlm.166.26 Lihat Ian Brownlie, 1979, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, Oxford,

hlm.417. Lihat pula Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 MengenaiHukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah  FH-UNPAD, Bandung, hlm.118.

27 Schwanzerberger,  1960, International  Law And  Order, Stevens and  Sons,  London,  hlm.30-31  dan43-47.

28 Yudha Bhakti, op.cit, hlm. 172.

1. Kekuasaan DK PBB Tidak Tak TerbatasPBB bukanlah organisasi supra negara atau supra nasional, hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat

(1)  Piagam  PBB  bahwa  badan  dunia  tersebut  didirikan  atas  dasar  prinsip  persamaan  kedaulatandiantara  semua  negara  anggotanya.  PBB  juga  bukanlah  suatu  badan  yang  berdaulat,  tidak  sepertinegara yang menurut sistem hukum internasional dapat bertindak apa saja asalkan tidak bertentanganprinsip-prinsip hukum secara umum atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam suatu perjanjian.Karena itu walaupun DK dikatakan mempunyai kekuasaan yang berlebihan (ultra vires), hal itu tidakberarti kekuasaannya tidak terbatas, melainkan ada pembatasan-pembatasan secara hukum. Oleh sebabitu DK tidak dapat bertindak diluar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 24 ayat (2)dan Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB.29

Sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) semua tindakan DK PBB yang dilakukan termasuk tindakandalam rangka pengenaan sanksi, baik sanksi ekonomi maupun sanksi militer haruslah tetap didasarkanatas  prinsip-prinsip/asas-asas  dan  tujuan  PBB,  yaitu  tetap  menghormati  persamaan  kedaulatan,  haknegara  untuk  mempertahankan  kemerdekaan  politik  dan  keutuhan  wilayah  sesuatu  negara.  Dalamrangka  memelihara  perdamaian  dan  keamanan  internasional  melalui  langkah-langkah  secara  kolektifuntuk mengatasi adanya ancaman dan pelanggaran perdamaian maupun tindakan agresi terhadap suatunegara, tindakan DK PBB sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) tersebut haruslah didasarkan prinsip-prinsipkeadilan dan hukum internasional tanpa merugikan kepentingan nasional sesuatu negara.

Dari   uraian   diatas   nampaknya   jelas   bahwa   yang   menjadi   dasar   pengaturan   persamaankedaulatan  dalam  pengambilan  keputusan  di  DK  PBB  adalah  Pasal  2  ayat  (1)  Piagam  PBB  yangmerupakan  asas atau  prinsip dari  PBB dan seluruh  organ-organnya.  Artinya, DK PBB  sebagai  salahsatu   organ   utama   harus   menempatkan   persamaan   kedaulatan   sebagai   landasan   dalam   setiappengambilan keputusan.2. Kekuasaan DK PBB dalam Praktek dan Gagasan Melakukan Reformasi

Dalam  kenyataannya,  DK  PBB  yang  seharusnya  menurut  ketentuan  memiliki  kekuasaanyang tidak tak terbatas, sebagaimana  yang telah diuraikan diatas,  namun dalam prakteknya  DK PBBseringkali bertindak seolah dengan kewenangan tak terbatas. Dalam perjalannya, kinerja DK PBB telahdisorot  dengan tajam.  Metode  kerja  DK  PBB  dianggap  tidak transparan  dan  sejumlah  keputusannyaseringkali diputuskan melalui konsultasi informal atau “di balik layar”. DK PBB   juga dianggap tidakmemiliki  prosedur   yang  jelas  ketika  bertindak  dalam  hal   yudisial  atau  kuasi   yudisial.30  Hal  inidisebabkan  pengaruh  Amerika  Serika  serikat  (AS)  yang  sangat  kuat  di  PBB,  tepatnya  di  DK  PBB.Bahkan terkesan PBB atau DK PBB memiliki ketergantungan terhadap AS. Hal ini dapat dibuktikandengan  seringnya   AS   dan   negara   anggota  tetap   DK   PBB   melakukan   veto   terhadap   keputusan-keputusan   yang   merugikan   kepentingan   mereka   dan   sebaliknya,   AS   juga   sering   memaksakankepentingannya   melalui   keputusan   DK   PBB.   Dengan   kata   lain   AS   sering   mencari   legitimasi

Page 8: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

kepentingannya dengan berlindung dibalik keputusan DK PBB.Oleh  karena  itulah  di  tahun  2005  muncul  isu-isu  dan  gagasan  tentang  perlunya  melakukan

reformasi  terhadap PBB.  Salah satu topik  yang menjadi fokus dari pembahasan reformasi PBB ialahorgan utamanya, yaitu DK PBB. Selama kurang lebih 60 tahun usia PBB, DK PBB telah memainkanperanan  yang  sangat  penting  dalam  pemeliharaan  perdamaian  dan  keamanan  internasional.  Otoritasyang  dimiliki  DK  PBB  selama  ini  untuk  memberikan  sanksi  pada  suatu  negara  yang  dianggapmengancam  perdamaian  dan  keamanan  internasional  telah  memberikan  bobot  power  secara  riil  ditatanan  internasional  kepada  lembaga  ini.  Karena  itu  sangat  wajar  bila  DK  PBB  dianggap  sebagaiorgan PBB yang terpenting dan menjadi fokus utama dari wacana reformasi PBB.31

Aspek yang menjadi sorotan utama dalam reformasi DK PBB adalah masalah keanggotaantetap DK. Sejak berdirinya PBB   tahun 1945, anggota tetap DK PBB terdiri dari 5 negara pemenangPerang  Dunia  II  yaitu  AS,  Inggris,  Perancis,  Rusia  dan  Cina.  Anggota  tetap  inilah  yang  sebenarnyamemiliki  kekuatan  paling  menentukan  dalam  DK  PBB  mengingat  mereka  memiliki  hak  veto  yangdapat menentukan pembicaraan atau keputusan terhadap setiap masalah internasional di DK PBB.

Kini,  seiring  dengan  dinamika  percaturan  politik  dan  ekonomi  dunia,  kian  dirasakan  betapakondisi  ini  tidak lagi  dapat  memenuhi  aspirasi  masyarakat  internasional  secara  keseluruhan.  Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II, seperti Jepang dan Jerman, telah bangkit dari kekalahannyadan tumbuh menjadi negara kekuatan ekonomi dunia yang tidak dapat diabaikan suaranya.

Sebaliknya,  negara-negara  pemenang  Perang  Dunia  II  seperti  Inggris,  Perancis  dan  Rusiatidak lagi memiliki bobot kekuatan seperti seusai Perang Dunia II dulu. Selain itu, telah muncul pula

29 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus . . .   op.cit, hlm. 166.30 Nadirsyah  Hosen,  Antara  United  Nations  dan  United  States,  http//media  isnet.org,  diakses  tgl  22

Oktober 2007.31 Rivai H, Reformasi PBB dan Diplomasi Indonesia, dalam Suara Pembaharuan, 19 September 2005.

negara-negara seprti India, Brazil, dan Nigeria sebagai kekuatan baru di kalangan negara berkembang.Kondisi-kondisi ini beserta seruan tentang perlunya  keseimbangan perwakilan secara  geografis, telahsemakin mendorong isu reformasi, khususnya menyangkut anggota tetap DK PBB.

Namun demikian,  gagasan  tentang  reformasi  PBB,  khususnya  terhadap  DK  PBB  yangpernah  diusulkan  oleh  sebagian  besar  anggota  PBB  dan  masyarakat  internasional  telah  mengalamikegagalan. Kegagalan reformasi terhadap DK PBB itu disebabkan lima hal32, yaitu :Pertama, AS sebagai negara adidaya tunggal dan merasa membiayai 25 % operasional lembaga PBBtersebut tidak memberikan lampu hijau terhadap reformasi struktural di DK PBB, sebab bagi AS, PBBadalah sebuah lembaga internasional  yang dijadikan alat untuk memaksimalkan kepentingan nasionalAS. Dengan adanya ketergantungan finansial PBB  dari AS, maka lembaga internasional ini tidak akanmampu  bersikap  independen  ketika  berhadapan  dengan  kepentingan  AS  dan  sekutunya.  Belum  lagiditambah  sekretariat  PBB  berada  di  AS  serta  mayoritas  pekerja  di  lembaga  internasional  ini  adalahwarga negara AS, sehingga lengkaplah sudah cengkeraman AS ini terhadap lembaga internasional yangpaling bergengsi.Kedua, China sebagai anggota tetap DK PBB yang merupakan wakil dari dunia ketiga ternyata tidakmau berbagi  kekuasaan dengan negara  lain.  Bagi China  jika  Jepang menjadi  anggota  tetap DK PBBkarena kekuatan ekonomi dan teknologinya, maka power yang dimiliki China akan berkurang. Apalagisepanjang sejarah peradaban bangsa China dengan Jepang selalu bersaing untuk menjadi pusatnya Asiadan   Dunia.   Sikap   konservatif   China   sebetulnya   sangat   disayangkan,   sebab   dunia   sekarang   inimembutuhkan kekuatan penyeimbang AS yang suka berbuat unilateral dan suka meninggalkan PBB.Ketiga, negara-negara Afrika yang baru mengalami kemerdekaan di abad 20 ternyata tidak mempunyaipower yang cukup untuk berhadapan dengan negara-negara barat. Selain disebabkan oleh kemiskinan,rendahnya SDM, perang saudara, bangsa Afrika kurang bersatu dan sangat tergantung kepada negara-negara maju, baik itu dalam bidang ekonomi, maupun dukungan terhadap rezim yang berkuasa.Keempat, negara-negara Eropa seperti Perancis, Inggris merasa ketakutan jika Jerman menjadi anggotatetap DK PBB. Jerman yang pernah menguasai Eropa dengan nazi nya sampai sekarang tetap menjadihantu bagi sebagian besar negara Eropa.Kelima,  Islam  sebagai  kekuatan  alternatif  yang  “menantang”  Barat  pasca  tumbangnya  Uni  Sovyetternyata   juga   tidak   bisa   bersatu.   Negara-negara   Islam   dalam   berhubungan   internasional   selalumengedepankan kepentingan nasional negara masing-masing, sehingga posisi tawarnya lemah.

Dengan  demikian  kegagalan  reformasi  DK  PBB  yang  pernah  diusulkan  oleh  mayoritasnegara   anggota   PBB   lebih   banyak   disebabkan   kurang   bersatunya   kekuatan   baru   di   panggunginternasional.   Hal   ini   juga   sekaligus   membuktikan   kegagalan   menempatkan   prinsip   persamaankedaulatan  dalam  pengambilan  keputusan  di  DK  PBB,  sebab  setiap  upaya  melakukan  reformasi  ditubuh DK PBB, AS dan sekutunya selalu memveto.

Jika dihubungkan dengan permasalahan pertama dalam penelitian ini, bahwa mengapa prinsippersamaan  kedaulatan  harus  menjadi  landasan  dalam  pengambilan  keputusan  di  DK  PBB?  ,  makajawabannya adalah bahwa persamaan kedaulatan itu merupakan prinsip atau asas bagi PBB, termasukbagi organ-organ utamanya, seperti DK PBB, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) PiagamPBB. Selain itu, keharusan menerapkan prinsip persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan diDK  PBB  itu  dimaksudkan  agar  tidak  terjadi  dominasi  negara-negara  tertentu,  yang  pada  akhirnya

Page 9: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

terrjadi kesewenang-wenangan , ketidak seimbangan dan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan.D. Alasan Pembenar Secara Yuridis Digunakannya Hak Veto

Dalam  Piagam  PBB,  tidak  ada  ketentuan  yang  secara  eksplisit  menyatakan  bahwa  kelimanegara anggota tetap DK PBB memiliki hak veto, namun secara implisit (tersirat), hak veto itu munculdari penafsiran Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB, yang menyatakan :

“Keputusan-keputusan  DK mengenai  hal-hal  lainnya  (non  prosedural)  akan  ditetapkandengan  dengan  suara  setuju  dari  sembilan  anggota  termasuk  suara  bulat  dari  anggota-anggota  tetap,  dengan  ketentuan  bahwa  dalam  keputusan-keputusan  dibawah  Bab  VI  dandibawah ayat (3) pasal 52 pihak yang berselisih tidak diperkenankan memberikan suaranya.

Yang dimaksud “suara bulat anggota tetap” dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB tersebut diatasadalah  berarti  “hak  veto”.  Persoalan  yang  kemudian  timbul  adalah  bagaimana  menetapkan  suatupersoalan termasuk “prosedural” atau “non prosedural” ?

Bila diamati, dalam Piagam PBB sendiri tidak terdapat perumusan yang merupakan masalahprosedural ataupun non prosedural. Pada pertemuan di San Fransisco, keempat negara besar (AS, UniSovyet,  Inggris  dan  Cina)  telah  membuat  daftar,  mana  yang  termasuk  masalah  prosedural,  sebagaicontoh  keputusan  yang didasarkan  pada  persoalan tata  tertib  (Pasal  28-32 Piagam),  pertanyaan  yangsehubungan dengan agenda penundaan rapat. Sedangkan yang termasuk masalah non prosedural adalah

32 Eddy Maszudi, Reformasi DK PBB Gagal, Suara Merdeka, 27 Oktober 2005, hlm. 4.

rekomendasi  untuk  penyelesaian  sengketa  dan  keputusan  untuk  tindakan  dan  kekerasan.  Dalam  haladanya  keragu-raguan  apakah  suatu  kasus  termasuk  perkara  prosedural  atau  non  proswedural,  makamasalah tersebut menjadi masalah non prosedural.33

Jika kita cermati, maka kewenangan anggota tetap DK PBB untuk melakukan veto terhadapmasalah-masalah non prosedural, lebih bersifat politis, sehingga memang secara politis eksisitensi hakveto kiranya dapat dibenarkan. Hal ini sebagaimana diuraikan terdahulu, dapat dijelaskan bahwa alasansah bagi pemberian status luar biasa (hak veto) kepada  kelima negara anggota tetap DK PBB adalahsehubungan  dengan  dibebankannya  tanggung  jawab  yang  berat  kepada  kelima  negara  anggota  tetaptersebut  dalam  memelihara  perdamaian  dan  keamanan  internasional.  Oleh  karena  itu  kepada  merekaharus  diberikan  hak  suara  final  dan  sekaligus  penentu  tentang  bagaimana  tanggung  jawab  itu  harusdilaksanakan.  Kiranya  asumsi  dan  alasan  ini  merupakan  suatu  keputusan  yang  sangat  politis  sekali.

Padahal hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yangmemadai,  dalam  prakteknya  telah  menyimpang  dari  maksud  semula.  Ternyata  penggunaan  hak  vetooleh  kelima  negara  anggota  tetap  DK,  terutama  AS  telah  digunakan  dengan  tidak  ada  batasnya.Lihatlah  praktek penggunaan hak  veto  selama  in,  yang telah  digunakan  sebanyak 261  kali,  sebagianbesar diantaranya (123 kali) oleh Uni Sovyet/Rusia sampai pertyengahan dasawarsa 1990 an. Sebagianbesar  diantaranya  (59  dan  43)  digunakan  untuk  mencegat  anggota  baru  dan  pencalonan  SekretarisJenderal. Dalam 5 tahun belakangan ini, AS tercatat sebagai negara yang paling sering menggunakanhak veto (10 kali)34.   Dengan demikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkankelima  negara  anggota  tetap  DK  PBB  memiliki  kedudukan  dan  atau  kedaulatan  yang  lebih  tinggidibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun justru konsep tersebut bertentangandengan asas persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality).

Dengan demikian, jika ada anggapan oleh sebagian besar anggota PBB bahwa secara yuridiseksistensi  hak veto ini  telah  melanggar atau tidak  sesuai  dengan prinsip-prinsip hukum  internasionalumum, seperti persamaan kedaulatan, maka anggapan itu benar adanya. Oleh karena itu secara tegasdapat dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada alasan pembenar secara yuridis terhadap penggunaanhak veto, selain dalam Pigam PBB juga tidak ada ketentuan secara eksplisit.1. Penggunaan Veto Dalam Praktek

Kekuatan  veto  yang  semula  dimaksudkan  sebagai  alat  agar  DK  PBB  mempunyai  kekuatanyang manjur, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak vetooleh negara yang mempunyai hak itu sering dipergunakan dengan tidak ada batasnya. Dalam praktekanggota DK PBB lebih senang memilih abstain daripada menggunakan suara negatifnya dalam hal DKPBB harus memutuskan suatu masalah.

Masalah  yang lebih sulit  adalah apabila  DK PBB  harus  memutuskan  suatu  masalah dengantidak hadirnya anggota tetap DK PBB. Bila masalah yang diputuskan adalah masalah prosedural, makatidak hadirnya anggota tetap DK PBB tidak menjadi masalah, tetapi jika keputusan yang harus diambilmenyangkut  masalah  non  prosedural,  baru  timbul  masalah,  karena  masalah  non  prosedural  harusdiputus dengan suara 9 anggota DK PBB termasuk lima anggota tetap.

Dalam  praktek  masalah  veto  ini telah  diperlunak.  Penafsiran  Pasal  27  (3)  Piagam  secaragramatika  bahwa  semua  anggota  tetap Dewan Kemanan  harus  memberikan suaranya  agar suatu drafresolusi  Dewan  Kemanan  dapat  diputuskan;  abstain  dianggap  suatu  veto.  Tetapi  sejak  permulaanberdirinya PBB telah ada praktik yang konsisten yang tidak menganggap bahwa absen sebagai veto danini  telah  diakui  dalam  praktik  (lihat  keputusan  Mahkamah  Internasional  dalam  kasus  Namibia).Dampak  dari  ketidakhadiran  anggota  tetap  Dewan  Kemanan  dalam  pemungutan  suara  terjadi  tahun1950  ketika  Uni  Soviet  memboikot  Dewan  Keamanan,  ketika  Dewan  Keamanan  akan  mengambilkeputusan   tentang   masalah   Korea.   Korea   Utara   mengadakan   invasi   ke   Korea   Selatan,   Dewan

Page 10: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

Keamanan mengambil resolusi yang menetapkan negara anggota dapat mengirimkan bantuan ke KoreaSelatan.   Pada   waktu   Dewan   Keamanan   mengambil   keputusan   Uni   Soviet   tidak   hadir   dalampemungutan  suara,  karena  Uni  Soviet  tidak  setuju  Taiwan  menggantikan  kedudukan  Cina  di  DewanKeamanan. Uni Soviet mengatakan bahwa keputusan Dewan Keamanan untuk kasus Korea tidak sah,karena diputus tanpa persetujuan Uni Soviet. Sebaliknya Uni Soviet Dipersalahkan melanggar Pasal 28(1) Piagam, dimana anggota Dewan Keamanan mempunyai kewajiban untuk menghadiri sidang DewanKeamanan.  Berdasarkan  alasan  ini  maka  Dewan  Keamanan  dapat  mengambil  keputusan  walaupunsalah satu anggota tetap tidak hadir. Sejak itu belum ada anggota tetap Dewan Keamanan memboikotDewan Keamanan.

33 Sri Setianingsih Suwardi, loc.cit., hlm.293.34 Kusnanto Anggoro, Prioritas Dan Strategi Indonesia di DK PBB, Kompas, 30 Januari 2007, hlm. 5.

Di  dalam  praktiknya  saat  ini,  kewajiban  untuk  abstain  pada  salah  satu  pihak  yang  terlibatdalam sengketa anggota tetap Dewan Keamanan sering diabaikan. Salah satu contoh adalah ResolusiDewan  Keamanan  dalam  Kasus  Lockerbie,  dimana  Dewan  Keamanan  telah  mengambil  keputusanterhadap Libia,  dimana  Inggris, Amerika  Serikat  dan Perancis  mengambil  bagian dalam pemungutansuara.35

Dilihat  dari  praktik  veto  sebagaimana  diuraikan  diatas,  maka  nampak  sekali  muatan  politisdari  digunakannya  veto  tersebut  dalam  pengambilan  keputusan,  sehingga  pertimbangan  politis  lebihmenonjol   ketimbang   pertimbangan-pertimbngan   yuridisnya,   bahkan   kadang-kadang   malah   agakbertentangan dengan aspek yuridis.

Dengan   demikian,   dapat   dikatakan   bahwa   tidak   ada   alasan   pembenar   secara   yuridisdigunakannya hak veto, tetapi jika ditelusuri, digunakannya hak veto itu ditafsirkan secara implisit daripasal 27 ayat (3) Piagam PBB.

PENUTUPA. Kesimpulan

Dari uraian  pembahasan dalam Bab IV terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Bahwa dasar pengaturan prinsip atau asas persamaan kedaulatan secara tegas diatur dalam

Pasal  2  ayat  (1)  Piagam  PBB  dan  ketentuan  tersebut  merupakan  asas  dari  pelaksanaanfungsi  PBB  sebagai  suatu  organisasi  internasional,  termasuk  menjadi  landasan  bagipelaksanaan  fungsi-fungsi  organ-organ  utamanya.  Oleh  karena  itu  prinsip  atau  asas  iniharus menjadi landasan bagi pengambilan keputusan dalam DK PBB.

2. Tidak  ada  alasan  pembenar  secara  yuridis  tentang  penggunaan  hak  veto  oleh  negaraanggota tetap DK PBB, sebab dalam ketentuan Piagam PBB, hak veto tidak diatur secaraeksplisit, namun hanya menafsirkan dari ketentuan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Tetapisebagai  pengemban  untuk  menjaga  perdamaian  dan  keamanan  internasional,  DK  PBBsecara  politis  dibenarkan  menggunakan Pasal  27 ayat (3)  Piagam PBB  yang ditafsirkansebagai hak veto.

B. SaranMasyarakat   internasional   harus   terus   menerus   mengupayakan   dilakukannya   reformasi

terhadap PBB, terutama terhadap DK PBB untuk menata kembali kewenangan-kewenangan   DK PBByang selama ini dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip hukum internasional.

DAFTAR PUSTAKAA. LiteraturAbdulgani, Ruslan, 25 Tahun Indonesia di PBB, Gunuing Agung, Jakarta.Anwar, Chairul, 1988, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta.Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung.Brownlie, Ian, 1979, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, Oxford.Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung.Komar, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi  Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian

Internasional, Bahan Kuliah  FH-UNPAD, Bandung.Saiman,  Dewan  Keamanan  PBB  dan  Perdamaian  Dunia,  makalah  disampaikan  pada  sosialisasi

“Indonesia di Dewan Keamanan” oleh Ditjen Multilateral Deplu RI bekerjasama dengan JurusanHubungan Internasional FISIP UMM, 4 april 2007.

Schermers,Henry G., 1980, International Institution Law, Sijthoff & Noordhoff,  Maryland USA.Schwanzerberger, 1960, International Law And Order, Stevens and Sons, London.Soeprapto, 1995, Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta.Suryokusumo, Sumaryo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta.___________________, 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung.

Suwardi, Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta.Piagam PBB

B. Surat Kabar

Page 11: 1. Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan Dan Hak Veto Dalam Pengambilan Keputusan Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Setyo Widagdo

Anggoro, Kusnanto, Prioritas Dan Strategi Indonesia di DK PBB, Kompas, 30 Januari 2007.

Maszudi, Eddy, Reformasi DK PBB gagal, dalam Suara Merdeka, 27 Oktober 2005.

Rivai H, Reformasi PBB dan Diplomasi Indonesia, dalam Suara Pembaharuan, 19 September 2005.

35 Op.cit., hlm. 296-297

C. InternetHosen,  Nadirsyah,  Antara  United  Nations  dan  United  States,  http//media  isnet.org,  diakses  tgl  22

Oktober 2007.