Winda-pbl 1 Ulkus Peptikum
-
Upload
fitri-yulianti -
Category
Documents
-
view
127 -
download
1
Transcript of Winda-pbl 1 Ulkus Peptikum
LAPORAN PBL I BLOK DIGESTIVE
Tutor:
dr. Alfi Muntafiah
Disusun Oleh:
KELOMPOK XIII
1. Sarah maulina Oktavia G1A009015
2. Gita Ika Irsatika G1A009030
3. Dias Isnanti G1A009034
4. Prabawa Yogaswara G1A009048
5. Yanuari Tejo Buntolo G1A009062
6. Herlinda Yudi Saputri G1A009080
7. Fitri Yulianti G1A009093
8. Setyo Adi Kusumo B G1A009094
9. Arfin Heri Indarto G1A009117
10. Winda Tryani G1A009128
11. Triyani Desi P G1A007114
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FKIK JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan, kekuatan, kesempatan dan kelancaran dalam pembuatan
laporan Problem Based Learing Blok Digestive ini. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih pada dr. Alfi Muntafiah yang telah membimbing kelompok delapan
dalam melaksanakan PBL 1 dan seluruh anggota kelompok delapan yang telah
meluangkan waktunya dan bekerjasama dengan baik dalam penyusunan laporan
ini.
Laporan diskusi ini disusun berdasarkan tugas dari pengelola blok
digestive dengan tujuan agar mahasiswa lebih mengetahui dan mendalami
kelainan atau berbagai masalah dengan penyakit saluran cerna yang berhubungan
dengan Blok Digestive. Dalam laporan PBL yang pertama ini dengan kasus Ulkus
Peptikum.
Dalam laporan ini kami menyadari masih banyak kekurangan, salah
satunya yaitu baik berupa salah ketik, kesalahan dalam bahasa, maupun
pembahasan masalah yang masih jauh dari sempurna. Akhir kata kelompok
delapan sangat berterimakasih atas partipasi seluruh pihak yang terlibat dalam
pembuatan laporan PBL pertama ini, semoga materi yang dibahas dalam laporan
ini dapat bermanfaat.
Purwokerto , Juni 2011
Kelo
mpok VIII
DAFTAR ISI
BAB I(MB.DESI)
Berisi :
A. Keseluruhan kasus dan informasinya.
B. Penulisan semua informasi pada point a disusun secara sistematis
(misalnya untuk kasus mengenai pasien dengan penyakitnya,maka
informasi yang ditulis berurutan dari anamnesis,pemeriksaan fisik
hingga terapi dan edukasi)
BAB II
A. Klarifikasi istilah
B. Batasan masalah
C. Analisis masalah
1. Anatomi digest
2. Histologi digest
3. Fisiologi digest
4. Patofisiologi muntah darah
5. Patofisiologi kembung
6. Patofisiologi nyeri kepala
7. Mekanisme kerja antasida
8. Mekanisme kerja asam mefenamat
9. Efek stress
10. Efek merokok
11. Helicobacter pylori
D. Pemecahan masalah
1. Anatomi digest
a. Saluran cerna (Sherwood, 2006) :
1) Mulut
2) Faring
3) Esofagus
4) Gaster
5) Duodenum
6) Jejunum
7) Illeum
8) Colon
9) Rectum
10) Anus
b. Organ pencernaan (Sherwood, 2006) :
1) Kelenjar ludah
2) Pankreas
3) Hepar
2. Histologi digest (SARAH)
a. Cavum Oris : epitel squamous complex non keratin
b. Lidah : epitel squamous complex non keratin dan
berkerratin
Papila Foliata
Papila Fungiformis
Papila Filiformis
Papila Circumvalata
c. Faring : epitel squamous complex non keratin
d. Esophagus : epitel squamous simplex non keratin
e. Gaster : epitel columnar simplex
Sel yang terdapat disini : Surface lining cell,
mucous neck cell, parietal cell, chief cell
f. Duodenum : Plicae circularis of Kerckring dengan vili
epitel columnar simplex + sel goblet
Kripte Lieberkhun
kelenjar Brunner
g. Jejunum : Vili + epitel columnar simplex + sel goblet
h. Illeum : Vili + epitel columnar simplex + sel goblet
Plaque Payer
i. Colon : Tidak punya vili
Epitel columnar simplex + sel goblet
Noduli Limfatisi
3. Fisiologi digest
Pencernaan makanan merupakan suatu proses biokimia yang
bertujuan mengolah makanan yang dimakan menjadi zat-zat yang mudah
diserap oleh selaput-selaput lendir usus, bilamana zat-zat tersebut
dibutuhkan oleh tubuh (Hadi, 2002)
Didalam tubuh kita terjadi beberapa proses, diantaranya proses
pengunyahan, proses penelanan, proses pencairan dan pencernaan serta
proses penyerapan (Hadi, 2002).
c. Proses pengunyahan
Proses pengunyahan terjadi didalam mulut, dimana makanan
dicampur aduk dengan saliva hingga akhirnya makanan tersebut
menjadi bolus (Hadi, 2002).
d. Proses penelanan
Proses penelanan yang terjadi terdiri dari 3 fase yaitu :
1) Fase I penelanan
Fase I dimulai saat bolus dari mulut masuk ke dalam farinks
yangdibantu oleh gerakan lidah. Fase ini berjalan sangat cepat
yaitu hanya membutuhkan waktu sekitar 0,3 detik oleh karena
pengaruh saraf-saraf otak dan dengan kesadaran (Hadi, 2002).
2) Fase II penelanan
Pada fase ini bolus akan melalui farinkske dalam esophagus
yang terjadi karena rangsangan. Fase II penelanan terjadi juga
sangat cepat yaitu sekitar 0,1 detik (Hadi, 2002).
3) Fase III penelanan
Fase III penelanan terjadi didalam esophagus, namun jalannya
fase ini lebih lambat dari fase-fase sebelumnya. Setelah
makanan didalam esophagus maka akan terjadi gelombang
peristaltik. Makanan padat untuk sampai di bagian bawah dari
esophagus memakan waktu sekitar 5 detik, sedangkan makanan
cair memerlukan waktu sekitar 1 detik dengan atau tanpa
peristaltik (Hadi, 2002).
e. Proses pencairan dan pencernaan
Proses pencairan ini bertujuan agar makanan mudah ditelan
dan memudahkan proses pencernaan serta penyerapan oleh dinding-
dinding usus dimana proses pencairan ini sudah mulai terjadi di dalam
mulut yaitu dengan mengeluarkan getah saliva ± 1.500 cc/hari.
Didalam saliva tersebut terkandung enzim ptialin,lisozime, kallikrein
dan mukoprotein (Hadi, 2002).
f. Proses penyerapan
Proses ini terutama terjadi di usus halus (intestinum). Pada
duodenum dan bagian atas jejenum merupakan intestinum yang paling
aktif untuk melakukan absorpsi KH, lemak dan protein. Agar proses
penyerapan terjadi cepat dan sempurna maka permukaan usus harus
seluas-luasnya, hal ini dikarenakan mukosa usus yang berlipat-lipat
(plica sirkularis) dan adanya villi intestinalis (Hadi, 2002).
Penyerapan makanan dapat terjadi secara absorpsi aktif yang
sampai sekarang belum diketahui dengan jelas serta absorpsi pasif
yang terjadi karena difusi, perbedaan kepekatan bahan dalam lumen
millieu interiur dan sebagainya (Hadi, 2002).
4. Patofisiologi muntah darah (ARFIN,TEJO,GITA,SARAH)
Hematemesis merupakan muntah darah yang berasal dari saluran
cerna bagian atas (esophagus, lambung atau duodenum bagian proksimal)
dengan warna merah terang atau hitam dengan penampakan seperti kopi.
Warna merah terang yang dihasilkan tersebut diatas terjadi karena
tidak ada reaksi dengan HCL atau menandakan perdarahan yang massif.
Sedangkan warna hitam dengan penampakan seperti kopi tersebut
menandakan bahwa masih adanya reaksi dengan HCl yang terdapat di
lambung.
Namun apabila terdapat gangguan pada M. Sphingter esophagus
inferior maka didapatkan kemungkinan asam lambung tersebut akan naik
ke atas sehingga memungkinkan terjadinya Gastro esophageal disease
dan apabila terjadi gangguan pada M. sphingter pylorus maka didapatkan
kemungkinan asam lambung tersebut akan turun ke bawah dan
memungkinkan terjadinya Ulkus peptikum.
NSAID
Merusak mukosa lambung
Mengubah permeabilitas sawar epitel
Difusi balik asam klorida ke sel mukosa
Akibat sifat korosif asam lambung, sel mukosa rusak
Inflamasi
pelepasan histamin
Merangsang sel parietal mengeluarkan asam lambung dan merangsang chief sell
mensekresikan pepsin
Edema,peningkatan permeabilitas kapiler
Mukosa kapiler rusak
Perdarahan dikapiler
Muntah darah
Mukosa lambung yang teriritasi
Merangsang simpatis sebagai aferen
Mengantar impuls ke bilateral pusat muntah di medula oblongata melalui saraf
kranial V, VII, IX, X dan XII ke tract gastrointestinal bagian atas
Dan juga melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen
Diawali inspirasi dalam dan penutupan glotis, diafragma kontraksi menekan
lambung, otot abdomen menekan rongga abdomen
Tekanan intraabdomen meningkat
Isi lambung terdorong ke dalam esofagus Keluar melalui mulut
(Silbernagl, 2006)
5. Patofisiologi kembung ((ARFIN)
Adanya udara yang tertelanGas yang dihasilkan dari fermentasi bakteri
Proses pelepasan ion hidrogen yang berlebihan
Di dalam rongga abdomen
Kembung
6. Patofisiologi nyeri kepala (SARAH)
Stress/lembur
Peningkatan saraf simpatis
Vasokonstriksi pembuluh darah sistemik
aktivasi Prostatglandin
Vasodilatasi lokal pembuluh darah otak
Menekan saraf-saraf di sekitarnya
Nyeri kepala
7. Mekanisme kerja antasida (TEJO, WINDA)
8. Mekanisme kerja asam mefenamat (FITRI, DIAS)
AINS menyebabkan jejas saluran cerna karena defisiensi prostaglandin
mukosa. Defisiensi tersebut akan menyebabkan gangguan lapisan mucus,
sekresi menurun dari bikarbonase sebagai pelindung, vasokonstriksi yang
menyebbakan hipoksia local dan efek local akibat AINS terperangkap di
dalam membrane sel yang kana menyebabkan nekrosis epitel superficial.
(Scheiman, 2009)
Efek samping dari asam mefenamat sebenarnya didasari oleh
mekanisme kerjanya yakni menghambat biosintesis prostaglandin yang
merupakan salah satu mediator inflamasi. Selain itu, obat ini bersifat
asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam
misalnya lambung, ignjal dan jaringan inflamasi. Sehingga efek obat
maupun efek sampingnya akan lebih nyata pada daerah yang tingkat
keasamannya tinggi (Wilmana, 2007).
Pada lambung, obat ini dapat menyebabkan iritasi lambung
melalui dua mekanisme :
a. Iritasi lokal
Iritasi yang bersifat lokal menimbulkan difusi kembali asam
lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan
(Wilmana, 2007).
b. Iritasi sistemik
Iritasi sistemik terjadi melalui hambatan biosintesis progtaglandin.
Progtaglandin banyak ditemukan di mukosa lambung dengan
fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi
mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Apabila biosistesis
progtaglandin terhambat, maka sekresi asam lambung menjadi
kurang terkontrol. Selain itu, sekresi mukus yang melindungi
menjadi dihambat sehingga tidak ada pelindung bagi dinding
terhadap asam lambung (Wilmana, 2007).
9. Efek stress (DIAS)
10. Efek merokok (SARAH)
Merokok akan menyebakan peningkatan sekresi asam lambung dan
gangguan sekresi bikarbonat oleh duodenum dan pancreas sehingga
beban asam lambung pada duodenum meningkat. Peningkatan asam
lambung akan menyebabkan perlukaan pada dinding mukosa lambung
sehingga dapat menimbulkan perdarahan dan reflek muntah darah
11. Helicobacter pylori (DIAS)
E. APA YA?
F. Sasaran belajar
1. Hubungan muntah dan pusing
2. Patofisiologi nyeri ulu hati
3. Patofisiologi muntah
4. Perbedaan muntah darah dan batuk darah
5. Interpretasi perkusi (terutama perbedaan redup dan pekak)
6. Indikasi, kontraindikasi serta komplikasi dari pemeriksaan penunjang
berupa :
a. Endoskopi
b. Kuljar
c. Histo PA
d. USG
e. UREASE
f. Biopsi
7. Diagnosis banding
a. Gastritis kronik
b. Varises esofagus
c. Ulkus peptikum
G. Pemecahan sasaran belajar
1. Hubungan muntah dan nyeri kepala (SARAH)
Gerakan dirasakan oleh otak melalui 3 jalur pada sistem saraf, yang akan
mengirim signal dari telinga bagian dalam (perasaan terhadap gerakan,
percepatan, gravitasi), dari mata (penglihatan), dan jaringan lebih dalam
pada permukaan tubuh manusia (yang disebut proprioceptors). Ketika
tubuh digerakkan dengan sengaja, misalnya kita jalan, input dari ketiga
jalur tadi akan dikoordinasikan oleh otak. Ketika terjadi gerakan yang
tidak disengaja, seperti ketika mengendarai mobil, kadang otak tidak bisa
mengkordinasikan ketiga input tadi dengan baik. Adanya konflik dalam
koordinasi 3 input tadi diduga menyebabkan orang merasa mabuk jalan
atau motion sickness, dengan gejala mual, pusing, sampai muntah.
Konflik input dalam otak ini diduga melibatkan level neurotransmiter
yaitu histamin, asetilkolin, dam norepinefrin. Karena itu, obat yang
bekerja melawan motion sickness adalah obat yang mempengaruhi atau
menormalkan lagi level neurotransmiter ini di otak.
2. Patofisiologi nyeri ulu hati (DIAS)
Produksi HCl dan pepsin yang tinggi, konsumsi NSID dan alkohol,
infeksi H. pilory defek barier mukosa difusi balik ion H+
histamin meningkat inflamasi nyeri ulu hati
(EMM, 2008 )
3. Patofisiologi muntah (AWA)
4. Perbedaan muntah darah dan batuk darah (TEJO)
5. Interpretasi perkusi
Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketukan yang terdengar pada
pemeriksaan fisik saat perkusi dapat bermacam-macam, diantaranya
(Rumende, 2009).:
a. Sonor (resonant)
Bunyi ini ditemukan bila pada media berisi udara.
b. Hipersonor (hiperrsonant)
Bunyi ini ditemukan bila pada media berisi udara yang jauh lebih
banyak dari sonor.
c. Redup (dull)
Bunyi ini ditemukan bila pada media yang bagian padat lebih banyak
daripada udara.
d. Pekak (flat/stony dull)
Bunyi ini ditemukan bila pada media yang tidak mengandung udara.
e. Timpani
Bunyi ini ditemukan akibat getaran udara
6. Indikasi, kontraindikasi serta komplikasi dari pemeriksaan penunjang
berupa :
a. Endoskopi
1) Definisi
Pemeriksaan endoskopi : pemeriksaan penunjang dengan
memakai alat endoskop (alat yg digunakan untuk memeriksa
organ di dalam tubuh manusia visual dgn cara mengintip dgn
alat tsb atau lgsung melihat pada layar monitor), untuk
mendiagnosis kelainan organ didalam tubuh antara lain saluran
cerna, kemih, rongga mulut, rongga abdomen, dll (Sudoyo,
2009).
2) Teknik Endoskopi
a) Diagnostik dan terapeutik
b) Pemeriksaan saluran cerna bagian atas : Gastro
Duodenoscopi (EGD)
c) Pemeriksaan saluran cerna bagian bawah : kolonoscopi
(Sudoyo, 2009)
3) Jenis Pemeriksaan saluran cerna bagian Atas
a) Diagnostik (Sudoyo, 2009):
(1) Esofagogastrosduodenescopi dan biopsy
(2) Jenunoscopi dan biopsy
(3) Enteroscopi dan biopsy
(4) Kapsul endoscopi
b) Terapeutik (Sudoyo, 2009):
(1) Skleroterapi dan ligasi varises esophagus
(2) Skleroterapi histoacryl varises lambung
(3) Pemasangan stent esophagus
(4) Pemasangan flowcare
(5) Pemasangan percutaneus endoscopic gastrotomy
(6) Pemasangan selang makanan/ NGT
(7) Endoscopic mucosal resection (EMR)
(8) Terapi laser pd tumor, perdarahan
4) Jenis Pemeriksaan saluran cerna bagian bawah
a) Diagnostik (Sudoyo, 2009):
(1) Enteroskopi dan biopsy
(2) Kapsul endoskopi
(3) Anoskopi
(4) Ilei-konoskopi dan biopsy.
b) Terapeutik (Sudoyo, 2009):
(1) Skleroterapi dan ligasi hemoroid
(2) Polipeptomi polip kolon
(3) Pemasangan stent kolon.
5) Indikasi dan Kontraindikasi Perdarahan SCBA
Indikasi (Sudoyo, 2009):
a) Menentukan dgn lebih pasti kelainan radiologis yg
didapatkan pd esophagus, lambung/ duodenum
b) Despepsia, disfagia, odinofagi, muntah2
c) Memantau penyembuhan tukak yg junak dan pd pasien2
dgn tukak yg dicurigai adanya keganasan
d) Nyeri dada tak khas
e) Kecurigaan obstruksi outlet
f) Pasien pascagastrectomi
g) Polipektomi, pemasangan selang makanan, akalasia.
Kontraindikasi :
a) Absolute (Sudoyo, 2009):
(1) Pasien tdk kooperatif/menolak prosedur
(2) Renjatan ok perdarahan
(3) Oklusi koroner akut
(4) Gagal jantung berat
(5) Koma
(6) Emfisema
(7) Alergi obat premedikasi
b) Relative (Sudoyo, 2009):
(1) Aneurisma aorta, aritmia jantung berat
(2) Kifoskoliosis berat
(3) Gg kesadaran
(4) Tumor mediastinum
(5) Sesak nafas, infeksi akut.
6) Indikasi dan Kontraindikasi Perdarahan SCBA
Indikasi (Sudoyo, 2009):
a) Radang usus besar (crohn, colitis ulserosa)
b) Keganasan dan polip kolon (ditegakkan dgn histopatologi)
c) Evaluasi diagnosis keganasan rectum
d) Kolonoscopi pasca bedah, evaluasi anastomosis.
Kontra indikasi (Sudoyo, 2009):
a) Divertikulisis akut dgn gejala sistemik (nyeri hebat pd
abdomen, peritonitis)
b) Kehamilan trimester pertama, pnyakit radang panggul
c) Penyakit anal atau perianal akut
d) Aneurisma aorta abdominal
e) Gg kardiopulmoner berat
7) Komplikasi
a) Komplikasi berasal dr anestesi local, sedasi dan atau alat
endoskopi tsb
(1) Anestesi local : dgn cara semprot tenggorokan dgn
lidokain => alergi, efek samping jantung, aspirasi
(2) Obat sedasi n analgesic : (benzodiazepine): pneumonia
aspirasi
Narkotik : hipotensi n bradikardia
(3) Komplikasi langsung endoskopi: perforasi, perdarahan dan
infeksi.
3 faktor yg nyebabkan infeksi : penularan infeksi (dr
penderita ke penderita melalui salmonellae, H pillory),
kesalahan prosedur (pembersihan dan sterilisasi), resiko yg
dihubungkan dgn penderita (anomaly jantung, penggunaan
katup buatan n pemakaian imunosupresi) (Block, 2004).
b) SCBA
Pneumonia aspirasi, perforasi, perdarahan, gg kardiopulmoner,
instrumental impaction (Sudoyo, 2009).
c) SCBB
Perforasi kolon, reaksi vasovagal, perdarahan, flebitis, flovulus,
distensi pascakolonoskopi (Sudoyo, 2009).
b. Kuljar
Oleh karena cara untuk memperoleh bakteri adalah dengan
menggunakan endoskopi, maka indiaksi, kontraindikasi maupun
komplikasi merupakan akibat dari penggunaan endoskopi.
c. Histo PA (SURYO)
Pada pemeriksaan histopatologi, biopsy atau sampel diambil melalui
endoskopi. Sampel yang diambil kemudian akan diberi warna
dengan pewarnaan giemsa. Setelah pewarnaan tersebut sudah jadi,
maka segera diamati pada mikroskop. Pada pengamatan secara
mirksokopis, akan didapatkan gambaran histologik yang bervariasi
sesuai aktivitas, kronisitas dan derajat penyembuhan. Pada ulkus
kronis, maka akan didapatkan empat zona atau lapisan. Zona
pertama, dasar dan tepi memiliki sebuah lapisan tipis debris fibrinoid
nekrotik, kemudian zona kedua suatu zona infiltrate peradangan non
spesifik aktif dengan predominasi neutrofil, zona ketiga jaringan
granulasi, zona keempat adalah jaringan parut fibrosa kolagenosa
yang menyebar luas dari tepi ulkus. Pembuluh darah yang
terperangkap dalam zona keempat ini, atau pada jaringan parut ini
biasanya akan mengalami penebalan dinding atau bahkan pelebaran
pembuluh darah yang akan menyebabkan terjadinya thrombosis
bahkan sampai terjadinya perdarahan. Kemudian, infeksi dari H.
Pylori hamper selalu dapat ditemukan dalam gambaran patologi ini
(Kumar, 2007).
Sumber : suryo
d. USG
USG merupakan imaging diagnostik untuk pemeriksaan alat-alat
tubuh terutama di rongga abdomen. Prinsipnya USG ini
menggunakan gelombang suara yang frekuensinya 20-20.000 Hz.
Prosedur penggunaan USG ini yaitu pemeriksa menekankan sebuah
alat kecil ke dinding perut dan mengarahkan gelombang suara ke
berbagai bagian perut, gambaran dari rongga perut ini dpat terlihat
pada layar monitor. Dalam penggunaan USG sebenarnya tidak
diperlukan persiapan khusus. Walaupun demikian pada penderita
dengan obstipasi,sebaiknya semalam sebelumnya diberikan
laksansia. Untuk pemeriksaan rongga perut bagian atas sebaiknya
dilakukan dalam keadaan puasa dan pagi hari dilarang mkan dan
minumyang dapat menimbulkan gas dalam perut karena akan
mengaburkan gambar. Untuk pemeriksaan empedu dianjurkan puasa
sekurang-kurangnya 6 jam sebelum pemeriksaan. Tidak ada
kontraindikasi dalama pemakain USG. Indikasi dalama pemakain
klinis yaitu utuk menentukan berbagai kelainan antara lain
menemukan dan menentukan letak massa dalam rongga perut. USG
ini tidak digunakan dalam mendiagnosis ulkus peptikum
(Rasad,2005).
e. Urease (WINDA)
UJI C-urease didasarkan pada adanya kuman H. Pilori yang dapat
memproduksi urease. Urease adalah enzim yang dapat memecah
urea menjadi amonia dan karbondioksida . urea dengan label C13
atau C14 dimakan oleh penderita dan menyebar melalui mukosa
menuju pembuluh darah yang mensuplai mukosa dan H.pilori.
Ketika sudah mendekati epitel pembuluh darah yang mensuplai
mukosa beberapa menit kemudian isotop carbondioksida akan
tampak pada pernafasan. Uji C-urease napas merupakan uji
diagnostik yang relibel dan merupakan pilihan pertama dan dapat
digunakan sebagai evaluasi terapi. Kedua cara ini merupakan cara
yang mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95 %-98 % dan spesifitas
98%-100% (Sacher, 2004 ).
f. Biopsi (MB. DESI)
7. Diagnosis banding
a. Gastritis kronik
1) Definisi (AWA)
2) Gejala klinis (AWA,SARAH)
3) Perubahan histologi (AWA)
4) Penyebab (SARAH, ,ARFIN)
a) Infeksi kuman Helicobacter pylori.
Gastritis dapat disebabkan oleh infeksi kuman Helicobacter
pylori yang merupakan kausa gastritis yang amat penting,
selain itu gastritis juga dapat disebabkan oleh antibiotik,
gangguan fungsi imun, virus, jamur, obat anti inflamasi non
steroid dan kafein (Hirlan, 2009).
b) Antibiotika, terutama untuk infeksi paru.
Mempengaruhi penularan kuman karena mampu
mengeradikasi infeksi Helicobacter pylori.
c) Gangguan fungsi imun → gastritis kronik
Pasien gastritis kronik yang mengandung antibody sel
parietal dalam serum dan menderita anemia pernisiosa
(sejenis anemia megaloblastik yang disebabkan gangguan
absorbsi usus terhadap vitamin B12 akibat tidak ada faktor
intrinsik), mempunyai cirri khusus secara histologik
menunjukan gambaran:
(1) Gastritis kronik atopik
(2) Predominasi korpus
(3) Pada pemeriksaan darah menunjukan hipergastrinemia
(kadar gastrin darah yang sangat tinggi).
d) Virus, misalnya:
(1) Enteric rotavirus, calicivirus → menimbulkan
gastroenteritis (peradangan akut lapisan lambung dan
usus, ditandai dengan anoreksia, rasa mual, diare, nyeri
abdomen, dan kelemahan), tapi secara histopatologik
tidak spesifik.
(2) Cytomegalovirus → mempunyai gambaran
histopatologik yang khas, terutama pada
imunocompromized (kelemahan system imun).
e) Jamur, misalnya:
(1) Candida species
(2) Histoplasma capsulatum
(3) Mukonacea
Hanya menginfeksi pada pasien imunocompomized. Pasien
yang system imunnya baik biasanya tidak terinfeksi.
f) Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) → gastropati
(1) Keluhan nyeri uluhati
(2) Tukak peptik dengan komplikasi perdarahan saluran
cerna bagian atas.
5) Penegakan diagnosis SARAH
a) Anamnesis
(1) Tanpa gejala
(2) Nyeri panas dan pedih di uluhati
(3) Mual dan muntah
(4) Anoreksia
(5) Berserdawa
(6) Perdarahan
(7) Hematimasis
Penderita gastritis kebanyakan tanpa gejala. Keluhannya
biasanya tidak khas, yang sering dihubungkan dengan
gastritis diantaranya adalah nyeri panas dan pedih di ulu
hati disertai mual kadang sampai muntah. Namun keluhan
tersebut tidak berkolerasi baik dengan gastritis dan tidak
dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan
pengobatan (Hirlan, 2009).
b) Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik juga tidak dapat memberikan informasi
untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis gastritis ini
ditegakkan melalui pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi. Pada pemeriksaan endoskopi nantinya akan
ditemukan gambaran eritema, eksudatif, flat-erosion, raised
erosion, perdarahan dan edematous rugae. Sedangkan pada
pemeriksaan histopatologi akan ditemukan perubahan-
perubahan degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi
netrofil, inflamasi sel mononuklear, folikel limpoid, atropi,
intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan
sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga
menyertakan pemeriksaan kuman Helicobacter pylori.
Walaupun begitu, pada beberapa kasus serign ditemukan
adanya nyeri tekan di daerah epigastric (Hirlan, 2009).
c) Pemeriksaan Penunjang :
(1) Gambaran endoskopi:
(a) Eritema
(b) Eksudatif
(c) Flat- erosion
(d) Raised erosion
(e) Perdarahan
(f) Endematous rugae
(2) Gambaran histopatologi:
Perubahan morfologi:
(a) Degradasi epitel
(b) Hyperplasia foveolar
(c) Infiltrasi netrofil
(d) Inflamasi sel mononuclear
(e) Folikel limfoid
(f) Atropi
(g) Intestinal metaplasia
(h) Hyperplasia sel endokrin
(i) Kerusakan sel parietal
Perubahan yang mendasari:
(a) Otoimun
(b) Respon adaptif mukosa lambung
(3) Pemeriksaan kuman Helicobacter pylori
6) Patofisiologi (WINDA)
Gastritis Kronik memiliki beberapa fase:
a) Fase Gasteritis Superfisialis
(1) Perubahan terbatas pada lamina propria permukaan
mukosa dengan edema dan infiltrate seluler terpisah
dari kelenjar gaster.
(2) Penurunan mucus dari sel mukosa dan penurunan
mitosis sel kelenjar.
b) Fase Gastritis Atrofi
Infiltrat radang meluas lebih dalam ke mukosa dengan
distrosi dan distruksi kelenjar.
c) Fase Akhir (Atrofi Gaster)
(1) Struktur kelenjar hilang dan terdapat pengurangan
infiltrate radang.
(2) Mukosa lebih tipis.
7) Tipe
d) Gastritis kronis type A
Type A ini disebut juga gastritis atrofik atau fundal karena
mengenai fundus lambung. Gastritis type ini merupakan
suatu penyakit autoimun yang disebabkan karena adanya
autoantibody terhadap sel parietal kelenjar lambung dan
berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan sel chief
yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan tingginya
kadar gastrin (Price,2005)
e) Gastritis kronis type B
Type B ini disebut juga gastriris antral karena umumnya
mengenai daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi
jika di bandingkan dengan type A. type ini sering terjadi
pada penderita yang berusia tua. Penyebab utama gastritis
kronis type B ini adalah infeksi kronis oleh H pylori dan
factor lainnya adalah asupan alcohol yang berlebih,
merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor H
pylori (Price,2005)
8) Kaitannya dengan kasus
Oleh karena ditemukannya ulkus pada dinding gaster
berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, maka diagnosis
gastritis dapat disingkirkan.
b. Varises esofagus
MB. DESI
c. Ulkus peptikum
1) Definisi (TEJO)
2) Gejala klinis (Kumar, 2007)
a) Perdarahan (keluhan utama)
b) Rasa perih, panas dan nyeri tumpul epigastrium
c) Nyeri biasanya pada malam hari atau 1-3 jam setelah makan
d) Nyeri mereda dengan alkali atau makanan
e) Mual dan muntah
f) Bersendawa
g) Penurunan berat badan secara signifikan
3) Patofisiologi (FITRI)
Mekanisme Pertahanan Dinding Lambung (Kumar, 2007)
a) Sekresi mukus oleh sel epitel permukaan
b) Sekresi bikarbonat ke dalam mukus permukaan untuk
menciptakan lingkungan permukaan mikro yang bersifat
penyangga
c) Sekresi cairan cairan yang mengandung asam dan pepsin
dari gastric pits sebagai semburan menembus lapisan
mukus, masuk ke lumen secara langsung tanpa kontak
dengan epitel permukaan
d) Regenerasi epitel lambung yang cepat
e) Aliran darah mukosa yang deras, untuk menyapu ion
hidrogen yang berdifusi balik ke dalam mukosa dari lumen
dan untuk mempertahankan aktivitas metabolik dan
regeneratif sel yang tinggi
f) Pengeluaran prostaglandin oleh mukosa, yang membantu
mempertahankan aliran darah mukosa.
Patogenesis :
a) H. pylori sekresi fosfolipase menguraikan kompleks
glikoprotein-lemak di mukus lambung
b) H. pylori memicu pelepasan sitokin proinflamasi (IL-1,
IL-6, IL-8, TNF) mengundang neutrofil reaksi radang
c) NSAID inhibisi pembentukan prostaglandin sekresi
asam lambung meningkat, mengurangi pembentukan
bikarbonat dan musin.
d) Sindrom Zollinger Ellison sekresi gastrin berlebihan
sekresi asam lambung berlebihan
4) Faktor resiko (Soll A, 2009)
a) Merokok
b) Konsumsi alcohol
c) Faktor Psikologi
5) Kaitannya dengan kasus
Oleh karena hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya
ulkus pada dinding gaster, maka ulkus peptikum bisa dijadikan
diagnosis kerja.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Berdasarkan info-info yang sudah didapatkan, maka diagnosis kerja untuk
kasus ini adalah Ulkus Peptikum et causa penggunaan NSAID. Selanjutnya akan
dibahas mengenai ulkus peptikum secara lebih lengkap.
A. Definisi (TEJO)
B. Gejala klinis (Kumar, 2007) :
1. Perdarahan (keluhan utama)
2. Rasa perih, panas dan nyeri tumpul epigastrium
3. Nyeri biasanya pada malam hari atau 1-3 jam setelah makan
4. Nyeri mereda dengan alkali atau makanan
5. Mual dan muntah
6. Bersendawa
7. Penurunan berat badan secara signifikan
C. Patofisiologi (FITRI)
Mekanisme Pertahanan Dinding Lambung (Kumar, 2007)
1. Sekresi mukus oleh sel epitel permukaan
2. Sekresi bikarbonat ke dalam mukus permukaan untuk menciptakan
lingkungan permukaan mikro yang bersifat penyangga
3. Sekresi cairan cairan yang mengandung asam dan pepsin dari gastric pits
sebagai semburan menembus lapisan mukus, masuk ke lumen secara
langsung tanpa kontak dengan epitel permukaan
4. Regenerasi epitel lambung yang cepat
5. Aliran darah mukosa yang deras, untuk menyapu ion hidrogen yang
berdifusi balik ke dalam mukosa dari lumen dan untuk mempertahankan
aktivitas metabolik dan regeneratif sel yang tinggi
6. Pengeluaran prostaglandin oleh mukosa, yang membantu
mempertahankan aliran darah mukosa.
Patogenesis (Kumar, 2007):
1. pylori sekresi fosfolipase menguraikan kompleks glikoprotein-
lemak di mukus lambung
2. pylori memicu pelepasan sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF)
mengundang neutrofil reaksi radang
3. NSAID inhibisi pembentukan prostaglandin sekresi asam lambung
meningkat, mengurangi pembentukan bikarbonat dan musin.
4. Sindrom Zollinger Ellison sekresi gastrin berlebihan sekresi asam
lambung berlebihan
D. Faktor resiko (Soll A, 2009)
1. Merokok
2. Konsumsi alcohol
3. Faktor Psikologi
E. Klasifikasi (LINDA)
1. Ulkus Duodenal
Insiden: Usia 30-60 tahun
Gambaran klinis:
a. Dapat mengalami penurunan berat badan
b. Nyeri terjadi setelah 2-3 jam makan, sering terbangun dari tidur
antara jam 1 dan 2 pagi.
c. Makan makanan menghilangkan nyeri (Price, 2005).
2. Ulkus Lambung
Insiden: Biasanya lebih dari 50 tahun
Obstruksi: jarang
Gambaran klinis:
a. Penurunan berat badan dapat terjadi
b. Nyeri terjadi 1/2 sampai 1 jam setelah makan
c. Makan makanan tidak membantu dan kadang meningkatkan nyeri
(Price, 2005).
F. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa (ARFIN,TEJO) (Price, 2005)
a. Istirahat fisik dan emosional
b. Diet makanan halus, porsi sedikit namun sering
c. Menghindari alcohol, rokok, kafein
2. Medikamentosa (ARFIN, TEJO,WINDA) (Price, 2005) (Katsung, 2004)
a. Anatasida : untuk menetralkan asam lambungdengan
mempertahankan pH cukup tinggi supaya pepsin tidak diaktifkan.
Contoh :
b. Penghambat H2 : mengurangi sekresi asam
Contoh : simetidin, ranitidine, femotidin
c. Antibiotic
Contoh: amoxisilin
d. antimitetik
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari tukak peptik diantaranya adalah :
1. Perdarahan
Perdarahan ini dapat terjadi sedikit demi sedikit atau sekaligus
banyak. Apabila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit maka tidak
banyak memberi keluhan, dan terlihat anemi, anemia hipokromik.
Sebaliknya bila perdarahan sekaligus banyak, maka akan terjadi
hematemesis dan melena hingga penderita akan mengalami syok. Tukak
lambung sering menimbulkan hematemesis sedangkan pada tukak
duodeni sering menimbulkan melena (Hadi, 2002).
2. Perforasi
Perforasi dapat dibagi menjadi 3 tahap, diantaranya (Hadi, 2002):
a. Tahap I
Pada tahap ini penderita mengeluh nyeri hebat dan perut tegang yang
disebabkan karena cairan lambung dan makanan masuk ke dalam
kavum peritonii. Selain itu penderita juga akan mengeluh nausea,
vomitus, kulit menjadi dingin, frekuensi inspirasi biasanya
bertambah dangkal, pernapasan kostal, nadi normal atau bertambah
cepat, tekanan darah biasanya normal dan pada auskultasi abdomen
tidak ditemukan bisisng usus.
b. Tahap II
Tahap ini terjadi sekitar 2-6 jam setelah perforasi. Penderita akan
merasakan nyeri yang bertambah berat, kulit panas, dinding
abdomen keras seperti papan (bourd like abdominal regidity),
disertai pernapasan kostal.
c. Tahap III
Tahap ini terjadi sekitar 6-12 jam setelah perforasi, yaitu timbulnya
peritonotis generalisata. Hal in disebabkan oleh karena invasi bakteri
ke dalam kavum peritonii. Keluhan yang dirasakan penderita
bertambah berat, perut bertambah tegang dan nyeri, suhu naik,
takikardi, pernapasan bertambah cepat dan dangkal.
3. Obstruksi
Akibat terjadinya obstruksi pilorus maka vomitus akan bertambah hebat,
lama kelamaan dapat terjadi dehidrasi, sehingga serum Cl, Na, dan K
akan menurun. Kemudian dehidrasi ini akan berlanjut menjadi
hemokonsentrasi serta peningkatan kadar urea didalam darah (Hadi,
2002).
4. Stenosis pilorus
Stenosis pilorus ini merupakan komplikasi dari tukak duodeni, namun
tukak lambung yang lokasinya dekat pilorus juga dapat menyebabkan
stenosis pilorus (Hadi, 2002).
H. Prognosis
Apabila penyebab yang mendasari dari tukak peptik ini diatasi maka akan
memberikan prognosa yang bagus.Kebanyakan penderita sembuh dengan
terapi untuk infeksi H.Pylori,menghindari OAINS dan meminum obat
antisekretorus pada lambung. Ulkus peptikum ini juga berkaitan dengan
meningkatnya factor resiko kanker lambung (Price,2005).
BAB IV
KESIMPULAN
Berisi :
Kesimpulan MB DESI
Daftar Pustaka
Hadi, Sujono. 2002. Faal Gastrointestinal. Dalam : Gastroenterologi. Edisi 2.
Bandung : PT alumni.
Hirlan. 2009. Gastritis. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
FKUI.
Rumende, Cleopas Martin. 2009. Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru. Dalam: Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: FKUI.
Rasad, Sjahriar, 2005. Radiologi diagnosik ultrasonografi.edisi II. Jakarta: FKUI
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol 1. Ed.6. Jakarta: EGC
Silbernagl, Stefan. 2006. Teks & atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC
Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S. Robbins, Stanley L. 2007. Karsinoma Pankreas
dalam Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta : EGC.
Scheiman JM .2009. Balancing risks and benefits of cyclooxygenase-2 selective
nonsteroidal anti-inflamatory drugs. Gastroenterol Clin North Am, vol. 38
: 305-14
Soll A, Graham D. 2009.Peptic ulcer disease. In: Yamada T, editor. Textbook of
Gastroenterology.5th ed. Oxford : Blackwell Publishing Ltd, p.936-81
EMM, Keohane J. 2008. Dyspepsia. Diakses dari (http:/www.medscape.com/viewarticle/584173. Pada tanggal 22 Februari 2011Patofisiologi muntah (AWA)
http://zulliesikawati.wordpress.com/tag/motion-sickness/
Doxon MF Genta RM, Yardley JH, Correa P. Classification and grading of
gastritis, the Update Sydney System. International Workshop on the
Histopatology of Gastritis, Houston 1995. Am J Surg Pathol.
1996;20:1131.
Hirlan. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV: Gastritis. Jakarta:
FK UI. 335-337.
Price A Sylvia, Wilson M Lorraine. 2006. Patofisiologi Vol.1 Edisi 6: Gangguan
Lambung dan Duodenum. Jakarta: EGC. 422-423.
Contoh :
1. Siregar, R.S. 2005. Penyakit Virus. Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit
Edisi 2. Jakarta: EGC. (84-86)
2. Tyring, S K Beutner, KR Tucker, BA Anderson, W C Crooks, R J. Antiviral
Therapy for Herpes Zoster. Arch Fam Med. 2000;9:863-869
3. Lubis, Ramonna Dumasari. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. FK USU.
Diakses di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3425/1/08E00895.pdf. pada
12 November 2010.