Usul penelitian Nugget tempe
-
Upload
putu-tessa-fadhila -
Category
Documents
-
view
78 -
download
17
description
Transcript of Usul penelitian Nugget tempe
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola konsumsi masyarakat dewasa ini semakin berubah. Masyarakat kini
lebih menyukai makanan yang praktis dan siap disajikan dalam waktu singkat.
Hal tersebut dilakukan untuk efisiensi waktu disela kesibukan sehari-hari.
Menurut survei yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa konsumsi
makanan cepat saji oleh orang dewasa sebesar 37% sedangkan pada anak-anak
mencapai 42% (Paeratakul et al, 2003). Satu diantara makanan cepat saji yaitu
nugget. Nugget merupakan produk olahan gilingan daging yang dicetak, dimasak
dan dibekukan dengan penambahan bahan-bahan tertentu yang diijinkan (SNI,
2002).
Nugget dapat dibuat dari berbagai macam daging, diantaranya adalah
daging ayam, sapi, udang dan ikan. Akan tetapi hingga saat ini produk nugget
lebih banyak terbuat dari daging ayam dikarenakan daging ayam merupakan salah
satu sumber protein hewani yang digemari oleh masyarakat dan mudah
didapatkan (Cahyaningrum et al., 2011). Standar gizi nugget ayam meliputi kadar
air maksimum 60%, kadar protein minimum 12%, kadar lemak maksimum 20%
dan kadar karbohidrat maksimum 25% (SNI, 2002). Selain pangan hewani,
nugget juga dapat dibuat dari pangan nabati. Pangan nabati sangat cocok
dikembangkan untuk tujuan diversifikasi pangan.
Salah satu pangan nabati yang dapat menggantikan daging adalah tempe.
Tempe mengandung lebih banyak kadar protein terlarut, nitrogen terlarut, asam
1
amino bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor protein yang lebih
tinggi dibanding produk-produk berbasis kedelai lainnya. Adanya kandungan
antioksidan yang tinggi pun menjadikan tempe menjadi pangan fungsional yang
banyak dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat modern saat ini (Mayasari, 2010).
Tingginya nilai gizi yang terkandung dalam nugget (baik nugget hewani
maupun nugget nabati seperti nugget tempe) menjadikan produk ini cepat rusak
karena terjadinya peningkatan pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba dapat
terjadi apabila terdapat kandungan zat gizi yang cukup tinggi dalam bahan
pangan. Effendi (2009) menyatakan bahwa komposisi gizi pangan dapat ikut
menentukan mikroba mana yang tumbuh di dalamnya, karena hal ini menentukan
jumlah zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba. Salah satu upaya
untuk meminimalisir terjadinya kerussakan bahan pangan karena adanya
pertumbbuhan mikroba adalah dengan melakukan pengawetan. Tujuan dari
pengawetan adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan pangan,
mempertahankan mutu bahan, menghindari terjadinya keracunan dan
mempermudah penanganan serta penyimpanan (Fatih, 2005).
Pengawetan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Secara garis besar
pengawetan dibagi menjadi tiga, yakni secara fisika, kimi dan mikrobiologi.
Pengawetan secara fisika dilakukan dengan cara pengeringan, suhu rendah, suhu
tinggi, serta radiasi. Pengawetan secara kimia dilakukan dengan menambahakan
bahan-bahan kimia (food additive) baik bersifat organik meupun anorganik ke
dalam makanan. Secara mikrobiologi, pengawetan dilakukan dengan melibatkan
2
mikroba dalam peroses pengawetan makanan. Pengawetan secara mikrobiologi
dikenal dengan nama fermentasi (Effendi, 2009).
Pengawetan secara kimia dengan menambahkan zat aditif berupa
pengawet pada bahan pangan merupakan salah satu teknik pengawetan yang
sering dilakukan. Menurut SK. Menkes R.1 No. 722 Tahun 1988 tentang Bahan
Tambahan Pangan (Naufalin dan Herastuti, 2012) pengawet pangan adalah bahan
tambahan pangan yang mencegah atau menghambat peruaraian terhadap makanan
yang disebabkan ole mikroba. Penggunaan pengawet sintetis pada makanan
mendapat perhatian khusus oleh pemerintah karena berkaitan dengan keamanan
pangan untuk masyarakat. Saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan
pengawet sintetis pada pangan seperti formalin dan boraks.
Menurut Winarno (2004), penggunaan formalin pada pangan sangat tidak
dianjurkan karena formalin mengandung zat formaldehid yang bersifat racun,
karsinogenik, mutagen dan dapat menyebabkan iritasi lambung, sehingga perlu
upaya untuk menemukan bahan pengawet dari bahan alami. Penyalahgunaan
kedua jenis pengawet sintetis tersebut pada pangan menimbulkan keresahan
masyarakat dan menurunkan kesehatan bahkan meningkatkan kematian untuk
jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan pencarian
bahan-bahan alami yang dapat berpotensi sebagai pengawet untuk bajan pangan.
Salah satu yang memiliki potensi tersebut adalah tanaman kecombrang (Nicolaia
speciosa Horan).
Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan salah satu jenis
tanaman rempah-rempah yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia
3
sebagai obat-obatan. Bagian tanaman kecombrang yang dapat digunakan sebagai
pengawet alami diantaranya yaitu batang, bunga, buah, daun dan akar. Kelima
bagian tanaman kecombrang tersebut memiliki senyawa antimikroba yang diduga
berasal dari senyawa fenolik yang terkandung didalamnya. Bagian batang, bunga,
daun dan rimpang dari tanaman kecombrang mengandung zat aktif saponin dan
flavonoid. Selain itu rimpangnya mengandung polifenol dan minyak atsiri yang
merupakan senyawa antimikroba (Naufalin et al., 2005).
Penelitian mengenai potensi antibakteri bunga kecombrang membuktikan
bahwa petal bunga optimal berpotensi sebagai senyawa antimikroba. Pengujian
aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram positif (Bacillus subtilis)
dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli) (Naufalin dan Rukmini, 2012).
Komponen bunga kecombrang terdiri dari alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid,
saponin dan minyak atsiri. Senyawa tersebut mengandung senyawa antimikroba
yang bersifat antiseptik, mematikan kuman dan fungisida (Tampubolon et
al.,1983).
Setiyani (2011) menambahkan bahwa buah berasal dari bunga yang
mengalami pendewasaan sehingga buah kecombrang memiliki komponen bioaktif
yang menyerupai fitokimia dalam bunga kecombrang yang didominasi oleh
alkaloid, triterpenoid, dan steroid yang berfungsi sebagai antimikroba. Bagian
kulit buah kecombrang yang berwarna merah muda dengan konsentrasi 50%
memiliki aktivitas antibakteri lebih tinggi dibanding bagian biji buah. Senyawa
antimikroba inilah yang mampu memperpanjang umur simpan makanan yang
diaplikasikan. Tidak hanya senyawa antimikroba, kelima bagian tanaman
4
kecombrang tersebut juga memiliki senyawa antioksidan. Meski demikian, bagian
tanaman kecombrang yang sering digunakan yaitu batang dan bunga yang
biasanya digunakan sebagai pemberi citarasa pada masakan, seperti urab, pecel,
sambal dan masakan lain. Batangnya digunakan sebagai pemberi citarasa pada
masakan daging.
Pemanfaatan kecombrang sebagai pengawet alami produk pangan dapat
diaplikasikan dalam bentuk ekstrak, bubuk maupun nanoenkapsulan. Diantara
ketiga bentuk tersebut yang lebih efektif menghambat pertumbuhan mikroba
adalah bentuk bubuk. Selain itu, proses pembuatannya tidak terlalu rumit dan
tidak pula membutuhkan biaya yang tinggi sehingga bentuk bubuk kecombrang
ini lebih cocok dipilih untuk diaplikasikan pada produk seperti nugget, sehingga
membantu masyarakat dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Meski demikian, pemberian bubuk kecombrang sebagai pengawet nugget tidak
dapat diberikan dalam jumlah yang banyak. Menurut Hikmah (2010),
penambahan bubuk bunga kecombrang menghasilkan adonan kehitaman, sehinga
aplikasi pada nugget ayam menggunakan konsentrasi dengan batas maksimal 3%.
Penelitian tentang kecombrang telah banyak dilakukan, diantaranya yaitu
hasil penelitian Istianto (2008) yang menunjukkan bahwa bagian-bagian tanaman
kecombrang seperti bunga, batang dan rimpang memiliki aktivitas antimikroba
terhadap bakteri maupun kapang yang dapat merusak tanaman pangan. Selain itu,
penelitian Setiyani (2010) menunjukkan bahwa buah kecombrang berwarna merah
muda bagian kulit dengan konsentrasi 50% memiliki aktivitas antibakteri lebih
tinggi dibanding bagian biji buah, baik terhadap Bacillus cereus maupun
5
Eschericia coli. Ningtyas (2010) menambahkan dari hasil penelitiannya mengenai
ekstrak air daun kecombrang. Hasil pengujian ekstrak air daun kecombrang
terhadap S. Aureus pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%
menunjukkan adanya zona hambat sebesar 8,663mm, 14,223mm, 15,33mm,
20,08mm, dan 21, 36mm. Sedangkan penghambatan pada E. Coli hanya terjadi
dalam konsentrasi 100% dimana zona hambatnya sebesar 10mm.
Aplikasi bubuk kecombrang pada produk nugget telah banyak dilakukan.
Namun, aplikasinya pada nugget berbahan dasar tempe belum pernah ada. Selain
itu, belum terdapat penelitian yang mengkaji tentang perbandingan penggunaan
bubuk kecombrang dari bagian bunga, batang maupun buah dengan konsentrasi
berbeda pada nugget tempe. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian mengenai hal
tersebut. Bagian tanaman dan konsentrasi pengawet diteliti untuk mnegetahui
aktivtas pengawet alami kecombrang yang terbaik dari kombinasi perlakuan
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagian tanaman kecombrang
dan konsentrasinya sebagai pengawet alami kecombrang pada nugget tempe agar
mampu meningkatkan kualitas nugget tempe dilihat dari sifat kimia,
mikrobiologis dan sensoris. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi
informasi mengenai pengawet alami bubuk kecombrang dari berbagai bagian
tanamannnya. Penelitian ini juga diharapakan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai pengaruh bagian tanaman dan konsentrasi pengawet alami kecombrang
terhadap sifat kimia, mikrobiologis dan sensoris nugget tempe.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi bubuk kecombrang terhadap umur
simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan sensori nugget tempe yang dihasilkan?
2. Bagaimana pengaruh variasi bagian tanaman kecombrang terhadap umur
simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan sensori nugget tempe yang dihasilkan?
3. Bagaimanakah kombinasi perlakuan terbaik antara variasi bagian tanaman
kecombrang dan variasi konsentrasi bubuk kecombrang agar menghasilkan
nugget tempe yang memiliki umur simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan
sensori terbaik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi bubuk kecombrang terhadap umur
simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan sensori nugget tempe yang dihasilkan.
2. Mengetahui pengaruh variasi bagian tanaman kecombrang terhadap umur
simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan sensori nugget tempe yang dihasilkan.
3. Mengetahui kombinasi perlakuan terbaik antara variasi bagian tanaman
kecombrang dan variasi konsentrasi bubuk kecombrang agar menghasilkan
7
nugget tempe yang memiliki umur simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan
sensori terbaik.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat diantaranya
yaitu:
1. Memberikan informasi tentang pembuatan nugget berbahan dasar tempe
sebagai produk pangan fungsional sekaligus upaya dalam meningkatkan
potensi pertanian.
2. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi bagian tanaman
kecombrang terhadap umur simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan sensori
nugget tempe yang dihasilkan.
3. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi bagian tanaman
kecombrang terhadap umur simpan, sifat kimia, mikrobiologi dan sensori
nugget tempe yang dihasilkan.
4. Memberikan informasi mengenai kombinasi perlakuan terbaik antara variasi
bagian tanaman kecombrang dan variasi konsentrasi bubuk kecombrang agar
menghasilkan nugget tempe yang memiliki umur simpan, sifat kimia,
mikrobiologi dan sensori terbaik.
8
II. KERANGKAN PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Pemikiran
Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari daging
giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dan dilapisi dengan
tepung berbumbu (battered dan braded) (Maghfiroh, 2000). Nugget merupakan
salah satu bentuk produk makanan beku siap saji, yaitu produk yang telah
mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked), kemudian
dibekukan (Afrisanti, 2010).
Pembuatan nugget membutuhkan beberapa bahan tambahan seperti bahan
pengikat, bahan pengisi, serta bumbu-bumbu untuk menambah citarasa. Bahan
pengikat memilik kandungan protein yang lebih tinggi dan dapat meningkatkan
emulsifikasi lemak dibandingkan dengan bahan pengisi. Bahan pengikat dalam
adonan emulsi dapat berfungsi sebagai bahan pengemulsi (Afrisanti, 2010).
Afrisanti (2010) menambahkan, bahan pengikat juga berfingsi mengurasgi
penyusutan pada waktu pengolahan dan meningkatkan daya ikat air. Protein
dalam bentuk tepung dipercaya dapat memberikan sumbangan terhadap sifat
pengikatan. Pengikat dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan.
Bahan pengisi merupakan sumber pati yang ditambahkan dalam produk
untuk menambahka bobot produk dengan mensubtitusi sebagian daging (Rahayu,
2007). Bahan pengisi yang umum digunakan digunakan pada pembuatan nugget
adalah tepung (Afrisanti, 2010). Menurut Winarno (2004), pati terdiri atas dua
fraksi yang dapat terpisah dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
9
fraksi tak terlarut disebut amilopektin. Fraksi amilosa berperan sangat penting
dalam stabilitas gel, karena sifat hidrasi amilosa dalam pati yang dapat mengikat
molekul air kemudian membentuk massa elastis. Stabilitas ini dapat hilang dengan
penambahan air yang berlebihan.
Selain bahan pengikat dan bahan pengisi, juga ditambahkan bumbu-
bumbu. Bumbu-bumbu adalah bahan yang sengaja ditambahkan dan berguna
untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, dan memantapkan bentuk
dan rupa produk (Erawaty, 2001). Pembuatan nugget memerlukan bahan
pembantu yaitu garam, gula, bawang putih dan merica. Garam merupakan
komponen bahan makanan tambahan yang digunakan sebagai penegas cita rasa
dan bahan pengawwet. Penggunaan garam tidak boleh terlalu banyak karena akan
menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk jadi asin.
Konsentrasi garam yang ditambahkan biasanya sekitar 2-3% dari berat daging
yang digunakan (Aswar, 2005).
Bawang putih (Allium sativum L.) berfungsi sebagai penambah aroma serta
untuk meningkatkan citarasa produk. Bawang putih merupakan bahan alami yang
ditambahkan ke dalam bahan makanan guna meningkatkan selera makan serta
untuk meningkatkan daya awet bahan makanan (bersifat fungiostatik dan
fungisidal). Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatil yang
mengandung komponen sulfur (Palungkun et al, 1992). Merica atau lada
(Paperningrum) sering ditambahkan dalam bahan pangan. Tujuan penambahan
merica adalah sebagai penyedap masakan dan memperpanjang daya awet
makanan. Merica sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasa
10
pedas dan aroma khas. Rasa pedas merica disebabkan oleh adanya zat piperin dan
piperanin, serta chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan
alkaloida (Rismunandar, 2003).
Tahapan pembuatan nugget bermula dari penggilingan yang disertai
pencampuran bahan tambahan pangan serta bumbu-bumbu, pengukusan dan
pencetakan, pelapisan perekat tepung dan pelumuran tepung roti, penggorengan
awal (pre-frying) dan pembekuan (Aswar, 2005). Produk beku siap saji ini hanya
memerlukan waktu penggorengan selama 1 menit pada suhu 150º C. Tekstur
nugget tergantung dari bahan asalnya (Astawan, 2008).
Standarisasi kualitas untuk nugget meliputi sifat kimia dan organoleptik.
Persyaratan untuk menguji kualitas bahan pangan menurut Badan Standarisasi
Nasional (2002) menggunakan uji kualitas kimia meliputi kadar lemak, air, abu,
protein dan karbohidrat. Uji kualitas organoleptik meliputi aroma, rasa, dan
tekstur. Badan Standarisasi Nasional (BSN) (2002) pada SNI.01-6683-2002
mendefinisikan nugget ayam sebagai produk olahan ayam yang dicetak, dimasak,
dibuat dari campuran daging ayam giling yang diberi bahan pelapis dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan. Syarat mutu nugget mengacu pada nugget dengan bahan dasar daging
ayam menurut BSN (2002) tercantum dalam tabel 1 berikut.
11
Tabel 1. Standarisasi nugget berbahan daging ayam
No Jenis Uji Satuan Persyaratan1 Keadaan
1.1 Aroma - Normal, sesuai label1.2 Rasa - Normal, sesuai label1.3 Tekstur - Normal
2 Benda asing - Tidak boleh ada3 Air %, b/b Maks. 604 Protein %, b/b Min. 125 Lemak %, b/b Maks. 206 Karbohidrat %, b/b Maks. 257 Kalsium (Ca) mg/100 g Maks. 308 Bahan tambahan makanan
8.1 Pengawet - Sesuai dengan8.2 Pewarna - SNI 01-0222-1995
9 Cemaran logam9.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,09.2 Tembaga mg/kg Maks. 20,09.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,09.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,09.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03
10 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,011 Cemaran mikroba
11.1 Angka lempeng Total Koloni/g Maks. 5x 104
11.2 Coliform APM/g Maks. 1011.3 E.Coli APM/g <311.4 Salmonella /25 g Negatif11.5 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks. 1x 102
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2002), SNI 01-6683-2002
Nugget dapat dibuat dari berbagai macam daging, diantaranya adalah
daging ayam, sapi, udang dan ikan. Akan tetapi hingga saat ini produk nugget
lebih banyak terbuat dari daging ayam dikarenakan daging ayam merupakan salah
satu sumber protein hewani yang digemari oleh masyarakat dan mudah
didapatkan (Cahyaningrum et al., 2011).
12
Kandungan lemak yang tinggi pada daging ayam dapat diganti dengan
sumber bahan pangan nabati. Salah satu pangan nabati yang dapat menggantikan
daging adalah tempe. Tempe mengandung lebih banyak kadar protein terlarut,
nitrogen terlarut, asam amino bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor
protein yang lebih tinggi dibanding produk-produk berbasis kedelai lainnya
(Mayasari, 2010). Adanya kandungan antioksidan yang tinggi pun menjadikan
nugget tempe menjadi pangan fungsional yang banyak dicari dan dibutuhkan oleh
masyarakat modern saat ini.
Tempe merupakan produk olahan kedelai hasil fermentasi jamur Rhizopus
sp. yang bernilai gizi tinggi dan disukai citarasanya. Cita rasa langu yang secara
alami terdapat pada biji kedelai dapat dieliminasi selama proses pengolahan tempe
(Ginting dkk, 2009). Selain merupakan bahan pangan lokal yang murah, tempe
juga memiliki nilai gizi tinggi. Kandungan lemak tempe sebesar 2,89 g / 100 g
didominasi asam lemak tidak jenuh rantai panjang. Selain itu kadar protein tempe
sebesar 18,3 g /100 g dengan nilai cerna yang lebih tinggi, yaitu 83%
dibandingkan dengan kedelai yang hanya 75%.
Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavor
spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-
miselia jamur yang menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut. Terjadinya
degradasi komponen-komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya
flavor spesifik setelah fermentasi (Kasmidjo, 1990; dalam Dwinaningsih 2010).
13
Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan
derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh
majemuk (polyunsaturated fatty acids = PUFA) meningkat jumlahnya. Dalam
proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan,
sedangkan kenaikan terjadi pada asam lemak oleat dan linolenat. Asam lemak
tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum,
sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh. Dua kelompok
vitamin yang terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B kompleks) dan larut
lemak (vitamin A, D, E, dan K) (Mayasari, 2010).
Almatsier (2005) juga menjelaskan bahwa kandungan protein tempe bisa
dikatakan sama dengan daging. Begitu juga dengan mutunya.Tempe mengandung
kesembilan asam amino esensial dalam jumlah cukup, kecuali metionin yang
sedikit berada di bawah pola acuan patokan FAO/WHO, yaitu 78%. Kandungan
lemak tempe jauh lebih rendah daripada daging. Kalsium yang diperlukan untuk
pembentukan tulang dan mencegah kerapuhan tulang, lebih banyak ditemukan di
dalam tempe daripada daging. Di samping itu, ketersediaan kalsium yang dapat
diserap meningkat karena proses fermentasi.
Cahyadi (2006) menambahkan bahwa tempe juga mengandung
superoksida desmutase yang dapat menghambat kerusakan sel dan proses
penuaan. Dalam sepotong tempe terkandung berbagai unsur yang bermanfaat
seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin, enzim. Tempe juga
mengandung komponen antibakteri dan zat antioksidan yang berkhasiat sebagai
14
obat, diantaranya genestein, daidzein, fitosterol, asam ftat, asam fenolat, lesitin
dan inhibitor protease.
Kandungan zat besi tempe juga lebih tinggi daripada daging. Ketersediaan
zat besi tempe juga lebih baik dari kedelai. Zat Besi diperlukan untuk mencegah
dan menanggulangi anemia. Tempe juga mengandung mineral-mineral lain
dengan ketersediaan yang baik seperti seng (Zn) dan tembaga (Cu). Kedua
mineral ini merupakan bagian dari enzim-enzim yang berperan dalam berbagai
aspek metabolisme, fungsi kekebalan, pembentukan sel darah merah dan sebagai
antioksidan. Syarat mutu tempe dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Syarat mutu tempe kedelai menurut SNI 01-3144-1992Kriteria uji PersyaratanKeadaan :BauWarnaRasa
Normal (khas tempe)NormalNormal
Air (%b/b) Maks 65Abu (%b/b) Maks 1,5Protein (%b/b) (Nx6,25) Min 20Cemaran mikroba :E. coliSalmonela
Maks 10Negatif
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992).
Menurut penelitian terdahulu, penambahan tepung tempe 25% pada
produk nugget daging kelinci mempunyai kadar protein sebesar 87,45%.
Penggunaan tempe yang ditepungkan selain bertujuan untuk memudahkan
pencampuran juga untuk memperpanjang umur simpan. Tempe memiliki daya
simpan kurang dari 2 hari sehingga untuk memperpanjang daya simpan perlu
adanya pengolahan (Estiningtyas, 2014).
15
Upaya memeperpanjang umur simpan produk pangan disebut sebagai
pengawetan makanan. Naufalin dan Herastuti (2012) mengatakan bahwa
pengawetan pangan adalah perlakuan yang diberikan terhadap bahan pangan
untuk memperpanjang umur simpannya. Pengawetan pangan bertujuan untuk
mengurangi atau mencegah kerusakan-kerusakan dengan mengendalikan
komposisi pangan melalui modifikasi proses dan pengemasan.
Prinsip pengawetan menurut Naufalin dan Herastuti (2012) adalah sebagai
berikut:
1. Menghambat atau memeperlambat dekomposisi makanan oleh mikroa dengan
cara menghindari kontaminasi makanan oleh mikroba, menghilangkan
mikroba yang terdapat dalam bahan pangan, menghambat pertumbuhan dan
aktivitas mikroba serta membunuh mikroba.
2. Menghambat atau memeperlambat dekomposisi kimia pada bahan pangan
dengan cara destruksi atau inaktivasi enzim pangan, menghambat atau
memperlambat reaksi kimia.
3. Menghambat kerusakan pangan yang disebabkan oleh serangga, hewan,
benturan fisik dan sebagainya.
Cara pengawetan yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan
mikroba pada umumnya juga efektif dalam mengendalikan aktivitas enzim atau
reaksi kimia di dalam makanan. Akan tetapi, cara pengawetan seperti pengeringan
atau oenggunaan suhu rendah terkadang memungkinkan terjadinya dekomposisi
kimia, kecuali jika dikombinasikan dengan perlakuan lainnya (Naufalin dan
Herastuti, 2012).
16
Penggunaan bahan pengawet dalam upaya memperpanjang umur simpan
bahan pangan telah banyak dilakukan sejak dahulu. Penggunaan zat-zat tersebut
tergantung pada jenis makanan dan umumnya dilakukan dengan
mengombinasikan satu sama lain, karena zat-zat tersebut memunyai efektivitas
yang berbeda terhadap mikroba (Jay, 1986; dalam Naufalin dan Herastuti, 2012).
Zat pengawet secara umum dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni
pengawet sintetis dan pengawet alami (Naufalin dan Herastuti, 2012).
Penggunaan zat pengawet alami saat ini menjadi hal yang menarik di
kalangan masyarakat maupun industri pangan, karena penggunaan zat pengawet
sintetik yang berlebihan maupun dikonsumsi secara terus-menerus memberikan
efek negatif bagi kesehatan tubuh (Afrianti, 2010). Banyak penelitian mengenai
aktivitas antibakteri dari tanaman, baik dalam bentuk ekstrak maupun minyak
atsirinya menunjukkan bahwa banyak tanaman mempunyai aktivitas antimikroba
terhadap bakteri, kapang, dan mikroba penyebab kerusakan pangan (Rahayu,
2000).
Kemampuan bahan pengawet dalam mencegah pertumbuhan mikroba
bergantung pada senyawa antimikroba di dalamnya. Brannen (1993) dalam
Naufalin dan Herastuti (2012) mengatakan bahwa senyawa antimkroba
merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Senyawa antimikroba dapaat diperoleh dari berbagai bagian
tanaman seperti umbi, batang, kulit, daun, rimpang dan biji. Bagian tanaman
tersebut mengandung senyawa antimikroa yang baik jenis dan efektivitas
17
penghambatannya berbeda-beda (Nychas, 1995; dalam Naufalin dan Herastuti,
2012).
Senyawa antimikroba yang terkandung dalam berbagai ekstrak tanaman
diketahui dapat menghambat beberapa mikroba patogen maupun perusak pangan.
Senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui
merupakan hasil metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan fenolik dan
terpena dalam minyak atsiri. Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari
banyak metabolit primer seperti asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat dan
metabolit antara (Herbert, 1995; dalam Naufalin dan Herastuti, 2012).
Fardiaz (1989) menambahkan dalam Naufalin dan Herastuti (2012) bahwa
zat antimikrobia dalam rempah-rempah dapat bersifat bakterisidal yaitu
membunuh bakteri, bakteristatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri,
fungisidal, fungistatik, dan menghambat germinasi spora bakteri. Kemampuan
suatu senyawa antimikrobia dalam menghambat pertumbuhan mikroba
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi; waktu penyimpanan; suhu
lingkungan; sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis, konsentrasi, umur dan
keadaan mikroba; serta sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH,
jenis dan jumlah senyawa di dalamnya.
Zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa
kriteria ideal. Beberapa kriteria tersebut yakni tidak bersifat racun bagi bahan
pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa dan aroma
makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen
makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan sebaliknya membunuh
18
dibanding menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988 dalam
Naufalin dan Herastuti 2012)
Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, gangguan pada senyawa
penyusun dinding sel. Mekanisme ini disebabkan karena adanya akumulasi
komponen lipofilat yang terdapat pada dinding atau membran sel sehingga
menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Terjadinya akumulasi
senyawa antimikroba dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosiasi. Pada konsentrasi
rendah molekul-molekul phenol yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan
berbentuk tak terdisosiasi, lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik
membran protein, dan dapat melarut baik pada fase lipid dari membran bakteri
(Arya, 2012).
Kedua, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan
kehilangan komponen penyusun sel. Komponen bioaktif dapat mengganggu dan
mempengaruhi integritas membran sitoplasma, yang dapat mengakibatkan
kebocoran materi intraseluler, seperti senyawa phenol dapat mengakibatkan lisis
sel dan meyebabkan deaturasi protein, menghambat pembentukan protein
sitoplasma dan asam nukleat, dan menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel.
Ketiga, menginaktivasi enzim, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material
genetik Mekanisme yang terjadi menunjukkan bahwa kerja enzim akan terganggu
dalam mempertahankan kelangsungan aktivitas mikroba, sehingga mengakibatkan
enzim akan memerlukan energi dalam jumlah besar untuk mempertahankan
kelangsungan aktivitasnya. Akibatnya energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
19
menjadi berkurang sehingga aktivitas mikroba menjadi terhambat atau jika
kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba terhenti
(inaktif) (Arya, 2012).
Aktivitas antimikroba dari tanaman telah banyak diteliti dan ditemukan
oleh para ahli mikrobiologi. Salah satu tanaman yang berpotensi menjadi bahan
pengawet karena kemampuan antimikrobanya adalah tanaman kecombrang
(Nicolaia speciosa Horan). Tanaman kecombrang termasuk salah satu anggota
famili Zingiberaceae dan merupakan sejenis tumbuhan rempah. Kecombrang
(Nicolaia speciosa Horan) merupakan tanaman yang hidupnya tahunan dengan
ketinggian 1-3m. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah pegunungan atau
daerah-daerah rindang dekat dengan air dengan ketinggian 800mdpl. Kecombrang
memiliki beberapa nama sesuai daerah tempat tumbuhna yaitu kalo (Gayo), puwa
kijung (Minangkabau), katinbung (Makasar), dll. Sedangkan dalam Bahasa
Inggris disebut sebagai ginger bud (Naufalin dan Herastuti, 2012).
Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan salah satu jenis
tanaman rempah-rempah yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia
sebagai obat-obatan. Bagian tanaman kecombrang yang dapat digunakan sebagai
pengawet alami diantaranya yaitu batang, bunga, buah, daun dan akar. Kelima
bagian tanaman kecombrang tersebut memiliki senyawa antimikroba yang diduga
berasal dari senyawa fenolik yang terkandung didalamnya. Bagian batang, bunga,
daun dan rimpang dari tanaman kecombrang mengandung zat aktif saponin dan
flavonoid. Selain itu rimpangnya mengandung polifenol dan minyak atsiri yang
merupakan senyawa antimikroba (Naufalin et al., 2005).
20
Penelitian mengenai potensi antibakteri bunga kecombrang membuktikan
bahwa petal bunga optimal berpotensi sebagai senyawa antimikroba. Pengujian
aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram positif (Bacillus subtilis)
dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli) (Naufalin dan Rukmini, 2012).
Komponen bunga kecombrang terdiri dari alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid,
saponin dan minyak atsiri. Senyawa tersebut mengandung senyawa antimikroba
yang bersifat antiseptik, mematikan kuman dan fungisida (Tampubolon et
al.,1983).
Setiyani (2011) menambahkan bahwa buah berasal dari bunga yang
mengalami pendewasaan sehingga buah kecombrang memiliki komponen bioaktif
yang menyerupai fitokimia dalam bunga kecombrang yang didominasi oleh
alkaloid, triterpenoid, dan steroid yang berfungsi sebagai antimikroba. Bagian
kulit buah kecombrang yang berwarna merah muda dengan konsentrasi 50%
memiliki aktivitas antibakteri lebih tinggi dibanding bagian biji buah. Senyawa
antimikroba inilah yang mampu memperpanjang umur simpan makanan yang
diaplikasikan. Tidak hanya senyawa antimikroba, kelima bagian tanaman
kecombrang tersebut juga memiliki senyawa antioksidan. Meski demikian, bagian
tanaman kecombrang yang sering digunakan yaitu batang dan bunga yang
biasanya digunakan sebagai pemberi citarasa pada masakan. Batangnya digunakan
sebagai pemberi citarasa pada masakan daging.
Penelitian mengenai potensi kecombrang sebagai pengawet alami telah
banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian Istianto (2008) yang
menunjukkan bahwa bagian-bagian tanaman kecombrang seperti bunga, batang
21
dan rimpang memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri maupun kapang
yang dapat merusak tanaman pangan. Selain itu, penelitian Setiyani (2010)
menunjukkan bahwa buah kecombrang berwarna merah muda bagian kulit dengan
konsentrasi 50% memiliki aktivitas antibakteri lebih tinggi dibanding bagian biji
buah, baik terhadap Bacillus cereus maupun Eschericia coli.
Ningtyas (2010) menambahkan dari hasil penelitiannya mengenai ekstrak
air daun kecombrang. Hasil pengujian ekstrak air daun kecombrang terhadap S.
Aureus pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% menunjukkan adanya
zona hambat sebesar 8,663mm, 14,223mm, 15,33mm, 20,08mm, dan 21, 36mm.
Sedangkan penghambatan pada E. Coli hanya terjadi dalam konsentrasi 100%
dimana zona hambatnya sebesar 10mm.
B. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, masalah, dan tujuan penelitian ini maka
hipotesis yang dihasilkan adalah :
1. Perbedaan konsentrasi bubuk kecombrang mempengaruhi umur simpan dan
karakter sensoris nugget tempe. Konsentrasi tertinggi akan memberikan umur
simpan lebih lama dan mempengaruhi karakter sensoris nugget tempe lebih
kuat.
2. Perbedaan bagian tanaman kecombrang mempengaruhi umur simpan dan
karakter sensoris nugget tempe.
3. Ada interaksi antara konsentrasi bubuk kecombrang dan bagian tanaman
kecombrang terhadap umur simpan dan karakter sensoris nugget tempe.
22
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan, Laboratorium
Manajemen dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Teknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Penelitian ini
akan dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Februari 2015.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam pembuatan nugget tempe yaitu batang,
buah, dan bunga kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan), tempe yang dibeli di
Paser Cerme Purwokerto, tepung tapioka (Rose Brand), tepung terigu (Segitiga
Biru), putih telur, crumb breader, garlic powder, garam (Refina), lada bubuk
(Koki), STPP. Bahan yang digunakan untuk keperluan analisis yakni akuades
steril, medium PCA (Plate Count Agar) (Oxoid), alkohol, NaCl (Merck,
Germany) 0,85%, NA (Nutrient Agar) (Merck, Germany), PDA (Potato Dextrose
Agar) (Merck, Germany), NaOH, dan indikator PP (phenolphtalein).
Alat yang diperlukan dalam pembuatan nugget tempe terdiri atas: pisau,
baskom, loyang, talenan, sendok, panci, kompor, alat penggorengan, refrigerator,
timbangan analitik (AND, Japan), timbangan digital, dan cabinet dryer. Alat yang
digunakan untuk keperlua analisis yakni timbangan analitik (AND, Japan), cawan
porselen, autoclave (All American, American), spatula, inkubator (Memmert),
23
mikropipet (Gilson), kapas, oven (Memmert), lampu bunsen, kertas label, tissue,
mikropipet (Gilson), laminer, seperangkat peralatan gelas yang terdiri atas pipet
tetea, pipet 5ml, Erlenmeyer (Pyrex, Germany), tabung reaksi (Pyrex, Germany),
cawan petri (CMSI), gelas ukur, dan labu ukur.
C. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor
yang diteliti yaitu:
1. Bagian tanaman kecombrang yang digunakan (B) terdiri dari 3 jenis, yaitu:
B1 = Batang kecombrang
B2 = Bunga kecombrang
B3 = Buah kecombrang (biji dan cangkang)
2. Konsentrasi bubuk kecombrang yang digunakan (K) terdiri dari 3 taraf, yaitu:
K1 = 1%
K2 = 2%
K3 = 3%
Faktor tersebut disusun dalam bentuk rancangan faktorial sehingga
diperoleh 9 kombinasi perlakuan, yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 3. Kombinasi perlakuan pada penelitian Bagian Tanaman
(B)Konsentrasi Bubuk (K)
K1 K2 K3B1 B1K1 B1K2 B1K3B2 B2K1 B2K2 B2K3B3 B3K1 B3K2 B3K3
Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga
24
diperoleh 27 unit percobaan dan ditambah dengan 1 unit faktor luar sebagai
kontrol (B0K0) setiap ulangannya sehingga diperoleh total unit percobaan yaitu
30 unit. Tiap unit percobaan dibuat sebanyak 100gram. Denah pengacakan tiap
unit percobaan ditampilkan dalam lampiran 1.
D. Variabel Pengukuran
Variabel yang akan diamati dalam penelitian ini meliputi dua macam
variabel, yaitu variabel parametrik dan nonparametrik. Variabel parametrik terdiri
atas yang terdiri atas kadar air (%bb), total asam tertitrasi, total mikroba, total
bakteri, total kapang dan khamir. Variabel nonparametrik yaitu warna, aroma khas
tempe, aroma khas kecombrang, rasa, flavor khas tempe, flavor khas kecombrang,
tekstur dan kesukaan. Pengujian variabel parametrik dilakukan pada minggu 0, 1
dan 2 untuk mengetahui umur simpan produk. Pengajuian dilakukan selama 2
minggu berturur-tururt karena produk nugget tempe diketahui merupakan produk
semi basah yang pada umumnya memiliki umur simpan yang tidak terlalu
panjang. Selama 2 minggu pegujian produk disimpan dalam refigerator.
4. Penentuan kadar air cara pemanasan (AOAC 1970, Rangana 1979)
Penentuan kadar air dilakukan dengan menimbang sampel nugget
tempe yang telah dihaluskan sebanyak 2 gram dalam cawan yang telah
diketahui beratnya. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven pada suhu
100-105°C selama 3-5. Kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang; perlakuan ini diulangi hingga tercapai berat konstan (selisih
penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2mg). Pengurangan berat
25
merupakan banyaknya air dalam bahan. Perhitungan kadar air dilakukan
dengan menggunakan rumus:
Kadar air (%bb) = b−c
a x 100%
Keterangan :
a = berat sampel awal (g)
b = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)
c = berat cawan dan sampel akhir setelah dikeringkan (konstan) (g)
5. Pengujian total bakteri, kapang dan khamir, serta mikroba (Fardiaz, 1993)
a. Sterilisasi alat dan bahan
Alat-alat yang terbuat dari bahan gelas yang digunakan disterilisasi
terlebih dahulu menggunakan oven dengan suhu 200°C selama 2 jam.
Alat-alat yang terbuat dari logam dapat disterilkan dengan menggunakan
etanol 70% dan nyala lampu bunsen. Bahan-bahan yang digunakan
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 2 atm
selama 15 menit.
b. Pembuatan media
1) NA (Nutrient Agar) untuk media uji total bakteri
Media NA dibuat dengan cara melarutkan bubuk media NA
sebanyak 28 gram dalam 1 liter aquades, kemudian merebusnya
hingga mendidih (bening), selanjutnya disterilisasi menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
2) PDA (Potato Dextrose Agar) untuk media uji total kapang dan khamir
26
Media PDA dibuat dengan cara melarutkan bubuk media PDA
sebanyak 39 gram dalam 1 liter aquades, kemudian merebusnya hingga
mendidih (bening), selanjutnya disterilisasi menggunakan autoklaf
pada sushu 121°Cselama 15 menit.
3) PCA (Plate Count Agar) untuk media uji total mikroba
Media PCA dibuat dengan cara melarutkan bubuk media PCA
sebanyak 23,4 gram dalam 1 liter aquades, kemudian merebusnya
hingga mendidih (bening), selanjutnya disterilisasi menggunakan
autoklaf pada sushu 121°Cselama 15 menit.
c. Hitungan cawan dengan media tuang
Sebanyak 1 gram sampel diambil, kemudian ditambahkan 9 ml
larutan NaCl 0,85% yang telah steril, lalu dihanncurkan hingga homogen
sehingga diperoleh larutan dengan pengenceran 10-1. Larutan tersebut
diambil 1ml dengan menggunakan mikropipet steril untuk selanjutnya
dimasukkan ke dalam tabung berisi 9ml larutan NaCl 0,85% steril
sehingga diperoleh larutan dengan pengenceran 10-2. Pengenceran
berikutnya dilakukan degan cara yang sama, yaitu dengan pengambilan
1ml larutan hasil pengenceran sebelumnya (10-2), lalu dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi 9ml larutan NaCl 0,85% sehingga
diperoleh larutan dengan pengenceran 10-3, dan seterusnya.
1) Proses pemupukan untuk pengujian total bakteri
Proses pemupukan dilakukan dengan mengambil 1ml sampel dari
hasil pengenceran dengan pipet steril dan dipindahkan ke dalam dua
27
cawan Petri steril (duplo). Setiap cawan Petri selanjutnya ditambahkan
±15ml media NA yang tersedia dan dogoyang-goyangkan hingga merata,
lalu didiamkan sampai media menjendal. Cawan Petri tersebut kemudian
disimpan dengan posisi terbalik di dalam inkubator pada sushu 37°C
selama 24 jam.
2) Proses pemupukan untuk pengujian total kapang dan khamir
Proses pemupukan dilakukan dengan mengambil 1ml sampel dari
hasil pengenceran dengan pipet steril dan dipindahkan ke dalam dua
cawan Petri steril (duplo). Setiap cawan Petri selanjutnya ditambahkan
±15ml media PDA yang tersedia dan dogoyang-goyangkan hingga
merata, lalu didiamkan sampai media menjendal. Cawan Petri tersebut
kemudian disimpan dengan posisi terbalik di dalam inkubator pada sushu
37°C selama 48 jam.
3) Proses pemupukan untuk pengujian total mikroba
Proses pemupukan dilakukan dengan mengambil 1ml sampel dari
hasil pengenceran dengan pipet steril dan dipindahkan ke dalam dua
cawan Petri steril (duplo). Setiap cawan Petri selanjutnya ditambahkan
±15ml media PCA yang tersedia dan dogoyang-goyangkan hingga
merata, lalu didiamkan sampai media menjendal. Cawan Petri tersebut
kemudian disimpan dengan posisi terbalik di dalam inkubator pada sushu
37°C selama 48 jam.
Perhitungan jumlah mikroba, bakteri, kapang dan khamir dilakukan
pada setiap cawan pengenceran mengacu pada suatu standar yaitu
28
“Standard Plate Count” (SPC). Ketentuan SPC yaitu cawan yang dipilih
dan dihitung adalah cawan yang mengandung jumlah koloni antara 30-
300. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu
kumpulan koloni yang besar dapat dihitung sebagai satu koloni. Suatu
deretan koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai satu
koloni. Apabila perbandingan jumlah koloni antar pengenceran terendah
dan tertinggi ≤ 2, maka ditentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut
dengan memeperhatikan pengencerannya. Jumlah koloni dari pengenceran
terendah apabila hasil perbandingan antara pengenceran tertinggi dan
terendah ≥ 2. Koloni pada pengenceran terendah dihitung jika pada semua
pengenceran dihasilkan jumlah koloni lebih dari 30 koloni, namun jika
jumlah koloni lebih dari 300 koloni, maka hanya koloni pada pengenceran
tertinggi yang dihitung.
6. Pengujian Total Asam Tertitrasi
Sampel dihomogenkan dan ditimbang sebanyak 10 gram. Kemudian
dilarutkan dengan aquades sampai 100 ml. Selanjutnya disaring dengan kertas
saring dan diambil filtratnya sebanyak 20 ml. Filtrat ditetesi indikator
phenolphtalein (PP) 2-3 tetes dan kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N
sampai berubah warna menjadi pink dan tidak hilang selama 30 detik.
Rumus: Total asam tertitrasi = V NaOH x N NaOH
berat sampel awal(mg) x 100%
7. Pengujian sensoris nugget tempe dengan uji skoring atau skala hedonik
(Meillgard et al., 1999)
29
Pada penelitian ini, analisis sensoris terhadap produk akan dilakukan
melalui: 1) uji skoring terhadap warna, aroma tempe, aroma kecombrang, cita
rasa, dan tekstur nugget tempe; 2) uji hedonik atau penerimaan produk
berdasarkan tingkat kesukaan panelis. Panelis untuk uji sensori adalah panelis
semi terlatih sebanyak 15 orang. Kuisioner uji sensori dapat dilihat pada
lampiran 2.
Uji skoring dilakukan untuk mendapatkan gambaran atribut sensori
tertentu yang bervariasi dari sejumlah sampel. Pengujian dilakukan dengan
cara : 1) menyajikan sampel secara simultan atau sekuensial; 2) panelis
mendapat set sampel secara balanced randomized order, dan diminta untuk
melakukan skoring menggunakan skala tertentu yang ditetapkan; 3) set
sampel yang disajikan satu kali penyajian atau berkali-kali dengan kode
berbeda.
Uji hedonik (preferensi dan/atau penerimaan) digunakan untuk
menentukan kesukaan atau preferensi panelis terhadap keseluruhan produk
pangan suatu sampel dan untuk mengukur kesukaan atau preferensi terhadap
atribut-atribut tertentu dari suatu produk pangan seperti aroma, warna, tekstur
dan lain sebagainya. Uji hedonik yang dilakukan dengan metode uji
skoring/skala hedonik dilakukan dengan cara meyajikan sampel satu persatu
atau sekaligus. Panelis diminta memberikan penilaian tentang kesukaan atau
penerimaan terhadap sampel, tanpa harus membandingkan satu sama lain.
30
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan uji
ragam (uji F) pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan dalam masing-masing faktor perlakuan dan interaksinya terhadap
variabel yang diamati. Analisis lebih lanjur dilakukan apabila hasil analisis
menunjukan pengaruh yang nyata dengan menggunakan Duncan’s Multiple
Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% dan uji regresi. Data hasil uji
variabel nonparametrik yaitu uji sensori akan dianalisis menggunakan uji skoring,
dimana apabila terdapat keragaman maka akan diuji lanjut menngunakan uji
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%. Selain itu
data hasil uji sensori juga akan dianalisis menggunakan uji indeks evektivitas
untuk menentukan perlakuan terbaik.
F. Gambaran Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini meliputi persiapan pembuatan bubuk
kecombrang dari batang, buah dan bunganya. Ketiga jenis bubuk kecombrang ini
kemudian akan diaplikasikan pada pembuatan nugget tempe yang nantinya akan
diuji umur simpan, kadar air, total mikroba, total bakteri, total kapang dan khamir,
serta uji sensori.
1. Persiapan pembuatan bubuk kecombrang
Buah, bunga dan batang kecombrang yang telah dipetik/diambil dari
tanaman dibersihkan dengan air, kemudian ditiriskan. Selannjutnya
31
dilakukan sortasi untuk memisahkan bagian buah, bunga dan batang yang
tidak digunakan. Buah kecombrang yang digunakan yakni cangkang serta
biji kecombrang secara keseluruhan. Bunga kecombrang yang digunakan
yakni bagian helai kelopak bunga hingga bagian dalam, tanpa tangkai
bunganya. Bagian batang yang digunakan yakni hanya bagian empulur
(bagian homogen terdalam, merupakan bagian yang tidak berlapis).
2. Proses pembuatan bubuk kecombrang
Masing-masing bagian tanaman kecombrang yang telah dipreparasi
kemudian dikecilkan ukurannya dengan cara dibelah dan dipotong kecil-
kecil. Khusus untuk buah kecombrang, karena memiliki tekstur yang keras
maka sebelum dipotong kecil-kecil bisa dilakukan pemanasan dengan cara
steam blanching menggunakan autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit.
Masing-masing bagian tanaman kecombrang kemudian dimasukkan dalam
loyang dan dilakukan proses pengeringan menggunakan cabinet dryer
hingga kering patah. Kecombrang kering kemudian dihaluskan
menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh.
3. Aplikasi pada produk nugget tempe
Bubuk buah kecombrang, bubuk batang kecombrang dan bubuk bunga
kecombrang yang telah dihasilkan masing-masing akan ditambahkan pada
pembuatan nugget tempe dengan presentase sebesar 1%, 2% dan 3% dari
total adonan nugget yang digunakan. Proses pembuatan nugget tempe
disajikan pada Lampiran 3.
32
G. Jadwal Pelaksanaan
Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 6 bulan, mulai September
2014 sampai Februari 2015. Rencana kegiatan penelitian tercantum dalam Tabel 2
berikut.
Tabel 4. Jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian
NoJadwal kegiatan
Bulan1 2 3 4 5 6
1 Persiapan, trial dan penyusunan usulan penelitian
2 Pelaksanaan penelitian
3 Pengumpulan data dan analisis data
4 Penyusunan laporan
33
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, L.H. 2010. Pengawet Makanan Alami dan Sintetis. Bandung: Alfabeta.
Afrisanti, Dhevina Widhia. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelinci dengan Penambahan Tepung Tempe. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 66 hal.
Almatsier, S.2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Arya. 2012. Mekanisme Antimikroba. Online. http://aryaulilalbab-fkm12.web.unair.ac.id/artikel_detail-61973-Teknologi%20Hayati-Mekanisme%20Antimikroba.html Akses pada 8 Februari 2015.
Astawan, M. 2008. Nugget Ayam Bukan Makanan Sampah http://nasional.kompas.com/read/2008/10/28/10371776/ Nugget .Ayam.Bukan.Makanan.Sampah . Akses pada 8 Februari 2015.
Aswar.2005. Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila Merah (Oreochromish sp). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Instirut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Standardisasi Nasional.2002. Nugget Ayam. SNI 02-6683. Badan Standardisasi Nasional
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Bandung.
Cahyaningrum, N., Erni A., Yeyen P.W. 2011. Tingkat Kesukaan dan Kekenyalan Nugget Ayam dengan Variasi bahan Pegisi Berbagai Jenis Umbi. Prosiding Seminar Nasional. ISBN : 978-979-17342-0-2.
Effendi, H.M. dan Supli.2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta CV. Bandung. 202 hal.
Erawaty, R.W. 2001. Pengaruh Bahan Pengikat, Waktu Penggorengan dan Daya Simpan terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Produk Nugget Ikan Sapu – Sapu (Hyposascus pardalis). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Estiningtyas, Dian.2014. Kandungan Gizi Sosis Subtitusi Tepung Tempe Dengan Bahan Pengisis Ubi Jalar Kuning (Ipomoea Batatas) dan Bahan Penstabil Ekstrak Rumput Laut (Euchema cottonii) untuk PMT Ibu Hamil. Artikel
34
Penelitian. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. 36 hal.
Fardiaz, S.1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Fatih, M. 2005. Aktivitas Antimikrobia Kokon attacus atlas, L.J. Penelitian Sains & Teknologi 6 (1) : 35-48.
Ginting, Erliana,Sri Satya A dan Sri Widowati. 2009. Varietas Unggul Kedelai untuk Bahan Baku Industri Pangan. Jurnal. Litbang Pertanian, vol 28(3). Hal 79-87.
Istianto, T. 2008 Efektivitas Antimikroba Kecombrang (Nicaolaia speciosa Horan): Pengaruh Bagian-bagian Tanaman Kecombrang terhadap Bakteri Patogen Pangan dan Kapang Salak. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.(Tidak dipublikasikan). 61 hal.
Kasmidjo, R.B., 1990. TEMPE : Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Maghfiroh, I. 2000. Pengaruh Penambahan Bahan Pengikat Terhadap Karakteristik Nugget dari Ikan Patin (Pangasius hypothalamus). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Mayasari, Susan. 2010. Kajian Karakteristik Kimia dan Sensoris Sosis Tempe Kedelai Hitam (Glycine soja) dan Kacang (Phaseolus vulgaris) dengan Bahan Biji Berkulit dan Tanpa Kulit. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 73 hal.
Meillgard, G.V. Civille, and B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press, Boca Raton, pp. 387 hal.
Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi. Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan). 181 hal.
Naufalin, R., dan Herastuti S.R. 2012. Pengawet Alami Pada Produk Pangan. UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 132 hal.
Ningtyas, Rina. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Daun Kecombrang (Etlingera elatior(Jack) R.M. Smith)Sebagai Pengawet Alami Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan teknologi Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 70 hal.
35
Paeratakul, Sahasporn, et al. 2003. Fast-food Consumption among US Adults and Children: Dietary and Nutrient Intake Profile. Journal of THE AMERICAN DIETETIC ASSOCIATION. Vol3 No. 10 : 1332-1338.
Palungkun, R. dan A. Budiarti. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rahayu, R. Y. 2007. Komposisi Kimia Rabbit Nugget dengan Komposisi Filler Tepung Tapioka yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Rahayu, W. P. 2000. Aktivitas antimikrobia bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Buletin Teknologi dan Industri Pangan IX(2) : 25 – 28.
Rismunandar. 1993. Lada Budidaya dan Tataniaganya. Penebar Swadaya, Jakarta
Setiyani, T. 2011. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Buah kecombrang (Nicolaia speciosa Horan): Pengaruh Jenis, Bagian Buah, dan Konsentrasi Ekstrak Buah Kecombrang. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). 83 hal.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 2010. Prosedur Analisa Bahan makanan dan Pertanian. Lyberty. Yogyakarta. 160 hal.
Tampubolon, O.T., S. Suhatsyah, dan S. Sastrapradja. 1983. Penelitian Pendahuluan Kandungan Kimia Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) dalam Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 251 hal.
.
36
Lampiran 1. Denah percobaan hasil pengacakan unit-unit kombinasi perlakuan
37
Blok 1 Blok 2 Blok 3
B2K2 B2K1 B2K1
B3K3 B3K2 B1K1
B1K2 B1K3 B3K1
B2K1 B3K3 B1K2
B3K1 B2K3 B1K3
B1K1 B1K1 B2K3
B1K3 B1K2 B3K3
B3K2 B3K1 B3K2
B2K3 B2K2 B2K2
Lampiran 2. Kuisioner uji sensoris
KUISIONER UJI SENSORI
Nama/NIM : Tanggal :
No Hp : Tanda tangan :
Dihadapan anda disajikan sampel nugget tempe dengan pengawet alami
kecombrang. Anda diminta memberikan penilaian terhadap parameter yang telah
ada dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang tersedia.
1. Warna bagian dalam nugget
SkalaSampel
444 225 687 427 879 755 318 741 194 984Kuning keabuan 1Kuning kecoklatan 2Kuning 3Putih kekuningan 4
2. Aroma tempe
SkalaSampel
444 225 687 427 879 755 318 741 194 984Tidak terasa 1Agak terasa 2Terasa 3Sangat terasa 4
3. Aroma kecombrang
SkalaSampel
444 225 687 427 879 755 318 741 194 984Sangat kuat 1Kuat 2Agak kuat 3Tidak kuat 4
4. Tekstur
SkalaSampel
444 225 687 427 879 755 318 741 194 984Tidak kenyal 1
38
Agak kenyal 2Kenyal 3Sangat kenyal 4
5. Cita rasa
SkalaSampel
444 225 687 427 879 755 318 741 194 984Tidak enak 1Agak enak 2Enak 3Sangat enak 4
6. Kesukaan
SkalaSampel
444 225 687 427 879 755 318 741 194 984Tidak suka 1Agak suka 2Suka 3Sangat suka 4
39
Lampiran 3. Diagram alir pembuatan nugget tempe dengan pengawet kecombrang
Tempe
Ukuran diperkecil dengan dipotong-potong
Dikukus selama 30 menit
Dihaluskan dengan menggunakan mortar
Tempe halusTepung terigu 8%Tapioka 8%Garam 2%Bawang putih 2%Lada bubuk 1,25%Telur 5%STPP 0,5%Pengawet kecombrang
Diaduk sampai tercampur rata
Dikukus selama 30 menit
Dibiarkan dingin dan dibentuk/dipotong
Dicelupkan dalam adonan terigu
Dilumuri dengan tepung panir
Disimpan dalam freezer selama 24 jam
Digoreng selama 2 menit
Nugget tempe
40