UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KAJIAN ......Pelayanan farmasi klinis di apotek belum dilaksanakan...
Transcript of UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KAJIAN ......Pelayanan farmasi klinis di apotek belum dilaksanakan...
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP
PASIEN DM TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN
KONSELING DI APOTEK KECAMATAN JATIASIH DAN
BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA BEKASI
SKRIPSI
HESTI SULISTIORINI
NIM : 1113102000004
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2019
UIN SYARIH HIDAYATULLAH JAKARTA
KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP
PASIEN DM TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN
KONSELING DI APOTEK KECAMATAN JATIASIH DAN
BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA BEKASI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
HESTI SULISTIORINI
NIM : 1113102000004
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2019
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Hesti Sulistiorini
Program studi : Farmasi
Judul : Kajian Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Pasien DM Tipe 2
Ditinjau Dari Edukasi dan Konseling di Apotek Kecamatan
Jatiasih dan Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi
Berdasarkan Permenkes RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Klinik
di Apotek, Apoteker memiliki tugas dalam memberikan pelayanan farmasi klinis.
Pasien diabetes melitus memenuhi kriteria untuk mendapatkan pelayanan farmasi
klinis oleh Apoteker di apotek. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran pelayanan farmasi klinis yang meliputi Pemberian Informasi Obat dan
Konseling. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan simulasi pasien
terhadap 53 apotek terpilih apotek di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan dengan
sasaran penelitian Apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Alat bantu
penelitian ini adalah scenario, lembar checklist dan resep yang ditulis oleh dokter.
Data penelitian ini berasal dari lembar checklist yang diisi setelah berkunjung ke
apotek terpilih. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata persentase kehadiran
Apoteker di apotek Kecamatan Jatiasih 74,66% (sedang) dan Kecamatan Bekasi
Selatan 70,52% (sedang). Pelayanan farmasi klinis di apotek belum dilaksanakan
seluruhnya oleh Apoteker, hasil menunjukkan bahwa pemberi pelayanan farmasi
klinis di Apotek Kecamatan Jatiasih 66,7% dilakukan oleh Apoteker dan 33%
dilakukan oleh petugas apotek, sedangkan di Apotek Kecamatan Bekasi Selatan
50% dilakukan oleh Apoteker, 45% dilakukan oleh petugas apotek dan 5%
dilakukan oleh Apoteker dan petugas apotek secara bersamaan. Selama pelayanan
farmasi klinis di Apotek, 60% kegiatan dispensing berupa penyerahan obat
dilakukan sesuai resep.
Kata kunci : pelayanan farmasi klinis, diabetes mellitus, peran apoteker
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Hesti Sulistiorini
Study Program: Farmasi
Title : Kajian Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Pasien DM Tipe 2
Ditinjau Dari Edukasi dan Konseling di Apotek Kecamatan
Jatiasih dan Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi
According to Permenkes of RI No. 35 year 2014 about the standard of pharmacy
services in drug stores that pharmacists has duties in clinical pharmacy services.
Patient with diabetes mellitus is one of patients who match the citeria for clinical
service. The aim of this research is to describe clinical pharmacy service about drug
information and counseling in pharmacy. This research was conducted by survey
method and patient simulation of 53 pharmacies selected in the Kecamatan Jatiasih
and South Bekasi with the aim of the study were pharmacists and non-pharmacists.
The tools of this research are scenarios, checklist sheets and prescriptions written
by doctors. The data were conducted from the checklist sheet that was filled after
visiting the selected pharmacy. The results showed the average percentage of the
presence of Pharmacists in pharmacies in Kecamatan Jatiasih was 74.66%
(moderate) and Kecamatan Bekasi Selatan was 70.52% (moderate). Clinical
pharmacy services in pharmacies have not been fully implemented by Pharmacists,
the results show that clinical pharmacy service providers in Pharmacy in Kecamatan
Jatiasih 66.7% are conducted by Pharmacists and 33% are conducted by non
pharmacists, while in Pharmacy in Kecamatan Bekasi Selatan 50% are conducted
by Pharmacists, 45 % is conducted by non pharmacists and 5% is conducted by
pharmacists and non pharmacists. During clinical pharmacy services at the
Pharmacy, 60% of dispensing activities in the form of drug delivery are according
to a prescription.
Keyword : pharmacy clinical service, diabetes mellitus, the role of pharmacists
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan
segala rahmat-Nya kepada kita semua. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian
Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Pasien DM Tipe 2 Ditinjau dari Edukasi
dan Konseling di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan Wilayah Kota
Bekasi” yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Farmasi.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt. selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, kesabaran
dalam membimbing, memberikan saran dan dukungan untuk penulis dalam
menuangkan ide serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung
hingga tersusunnya skripsi ini.
2. Bapak Dr. H, Arif Sumantri, S.KM., M.Kes., selaku Dekan FKIK UIN
Jjakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.
3. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt. selaku penasehat akademik yang telah
memberikan waktu dan saran dalam membantu perbaikan skripsi ini.
4. Ibu Delina Hasan, M.Kes., Apt. dan Bapak Hendri Aldrat, Ph.D., Apt.
selaku penguji yang telah memberikan waktu dan saran dalam membantu
perbaikan skipsi ini.
5. Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan Pengurus Cabang IAI Kota Bekasi yang
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kota Bekasi.
6. Kedua orang tua tercinta, ayah Budi Setiono dan mama Suswati yang selalu
menjadi orang tua terhebat dalam setiap doa yang mereka panjatkan. Kakak
dan adik yang sangat saya sayangi M. Syifa Wicaksono dan M. Irfandi
Wibisono. Support system terbaik yang selalu ikhlas memberikan dukungan
berupa moril, materil dan nasehat. Mereka adalah sebuah titipan terindah
yang diberikan oleh Allah SWT, semoga berkah hidup, kebahagiaan dan
kesehatan selalu mengiringi kehidupannya di dunia dan akhirat.
7. Teman-teman di Program Studi Ffarmasi 2013, khususnya Bukhoriah,
Ervina, Ambar, Zuha dan Batari. Terima kasih telah menjadi sahabat yang
memberikan bantuan dan dukungan semangat di kala suka maupun duka.
8. Erfian Ahmad yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang tidak
pernah henti.
9. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Akhir
kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Ciputat, Agustus 2019
Penulis
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang betandatangan di bawah ini :
Nama : Hesti Sulistiorini
NIM : 1113102000004
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya
dengan judul
KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP PASIEN DM
TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN KONSELING DI APOTEK
KECAMATAN JATIASIH DAN BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA
BEKASI
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat denagn sebenar-
benarnya.
Dibuat di : Ciputat
Tanggal : Agustus 2019
Yang menyatakan,
Hesti Sulistiorini
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................. i
DAFTAR TABEL ................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................ 6
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 6
1.5.1. Secara Teoritis ........................................................................................ 6
1.5.2. Secara Metodologi .................................................................................. 6
1.5.3. Secara Aplikatif ...................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8
2.1. Perkembangan Profesi Kefarmasian ................................................................ 8
2.2. Apoteker ......................................................................................................... 10
2.2.1. Peran Apoteker ..................................................................................... 10
2.2.1.1. Peran Apoteker Menurut WHO ..................................................... 10
2.2.1.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia .......................... 12
2.3. Asisten Apoteker ............................................................................................ 14
2.4. Apotek ............................................................................................................ 14
2.5. Pelayanan Kefarmasian di Apotek ................................................................. 16
2.5.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai ..................................................................................................... 16
2.5.2. Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek .................................................... 19
2.6. Pelayanan Informasi Obat (PIO) .................................................................... 23
2.6.1. Definisi PIO .......................................................................................... 23
2.7. Konseling ....................................................................................................... 25
2.7.1. Definisi Konseling ................................................................................ 25
2.7.2. Tujuan dan Manfaat Konseling ............................................................ 26
1.7.3. Prinsip Dasar Konseling ....................................................................... 27
1.7.4. Tahap Kegiatan Konseling ................................................................... 28
1.7.5. Konseling Pasien Rawat Jalan .............................................................. 29
1.7.6. Masalah dalam Konseling .................................................................... 30
1.7.7. Evaluasi Mutu Pelayanan ..................................................................... 31
1.8. Metode Simulasi Pasien ................................................................................. 31
1.9. Diabetes Melitus ............................................................................................ 34
2.9.1. Pendahuluan.......................................................................................... 34
2.9.2. Prevalensi Diabetes Melitus ................................................................. 34
2.9.3. Penatalaksanaan Diabetes ..................................................................... 35
2.9.4. Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes ..................................... 37
2.9.5. Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus ................... 39
2.10.Gambaran Umum Kota Bekasi ..................................................................... 43
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .............. 42
3.1. Kerangka Konsep ........................................................................................... 42
3.2. Definisi Operasional ...................................................................................... 43
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 53
4.1. Alur Kerja ...................................................................................................... 53
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 54
4.2.1. Lokasi ................................................................................................... 54
4.2.2. Waktu Penelitian................................................................................... 54
4.3. Rancangan Penelitian ..................................................................................... 54
4.3.1. Metode Simulasi Pasien........................................................................ 54
4.4. Populasi dan Sampel ...................................................................................... 55
4.4.1. Populasi ................................................................................................ 55
4.4.2. Sampel .................................................................................................. 55
4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi.......................................................................... 57
4.5.1. Kriteria Inklusi ...................................................................................... 57
4.5.2. Kriteria Eksklusi ................................................................................... 57
4.6. Langkah Penelitian ......................................................................................... 57
4.6.1. Penelitian Pendahuluan ......................................................................... 57
4.6.2. Persetujuan Etik .................................................................................... 57
4.6.3. Perizinan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) .......................................... 58
4.6.4. Instrumen Penelitian ............................................................................. 58
4.6.5. Validasi Instrumen ................................................................................ 60
4.6.6. Pengumpulan Data ................................................................................ 61
4.6.7. Pengolahan Data ................................................................................... 62
4.6.8. Analisis Data......................................................................................... 63
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 64
5.1. Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Kecamatan
Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi ............................................................. 66
5.2. Gambaran Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek Kecamatan Jatiasih
dan Kecamatan Bekasi Selatan ...................................................................... 70
5.3. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek Kecamatan
Jatiasih dan Bekasi Selatan ............................................................................ 72
5.3.1. Gambaran Pelaksanaan Pemberian Obat dan Jenis yang jumlahnya
sama sesuai dengan Resep di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi
Selatan .................................................................................................. 73
5.3.2. Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek Kecamatan Jatiasih dan
Bekasi Selatan....................................................................................... 74
5.4. Gambaran Kualitas Pelayanan farmasi klinis Apotek di Kecamatan Jatiasih
dan Bekasi Selatan ......................................................................................... 80
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 86
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Apoteker ........................................ 28
Tabel 2. Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 ...................................................... 35
Tabel 3. Penatalaksanaan Diabetes .......................................................................... 36
Tabel 4. Definisi Operasional Penelitian ................................................................. 43
Tabel 5.1. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker ............................................ 66
Tabel 5.4 Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan farmasi klinis Apotek ... 80
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Check List ............................................................................................ 91
Lampiran 2. Komposisi resep .................................................................................. 96
Lampiran 3. Protokol Penelitian .............................................................................. 97
Lampiran 4. Skenario Simulasi Pasien .................................................................... 98
Lampiran 5. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker ....................................... 99
Lampiran 6. Perhitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek
............................................................................................................................... 102
Lampiran 7. Perhitungan persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep .. 105
Lampiran 8. Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang dilaksanakan Apoteker
............................................................................................................................... 106
Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinis di Kecamatan Jatiasih
dan Bekasi Selatan ................................................................................................. 107
Lampiran 10. Surat Persetujuan Izin dan Rekomendasi Penelitian dari IAI Cabang
Kota Bekasi ........................................................................................................... 117
Lampiran 11. Surat Izin Penelitian ........................................................................ 118
Lampiran 12. Surat Persetujuan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi .... 119
persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep .......................................... 105
DAFTAR SINGKATAN
ACCP : American College of Clinical Pharmacy
ADA :American Diabetes Association
APA : Apoteker Pengelola Apotek
CVD : Cardio Vaskular Disease
Depkes : Departemen Kesehatan
Dinkes : Dinas Kesehatan
DM : Diabetes Mellitus
DRP : Drug Related Problem
ESO : Efek Samping Obat
FEFO : First Expired First Out
FIFO : First In First Out
HbA1c : Hemoglobin A1c
IAI : Ikatan Apoteker Indonesia
IDF : International Diabetes Federation
MESO : Monitoring Efek Samping Obat
MTO : Masalah Terapi Obat
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan
PIO : Pelayanan Informasi Obat
PTO : Pemantauan Terapi Obat
PP : Peraturan Pemerintah
RPK : Rencana Pelayanan Kefarmasian
SDM : Sumber Daya Manusia
SIP : Surat Izin Praktek
WHO : World Health Organization
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan sangat diperlukan bagi masyarakat untuk
menjamin kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat
meliputi pelayanan Rumah Sakit (RS), Puskesmas (pusat kesehatan
masyarakat), dokter dan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab
langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2004). Kesehatan merupakan hak setiap
warga negara Indonesia. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan, khususnya
Apoteker, wajib memberikan pelayanan terbaik untuk menunjang kesehatan
warga negara Indonesia melalui praktek pelayanan kefarmasian.
Pelayanan farmasi klinis dalam Permenkes RI Nomor 35 Tahun 2014
mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO),
konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care),
pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (M
enkes RI, 2014). Peraturan tersebut merupakan upaya agar Apoteker dapat
melaksanakan praktek kefarmasian dengan baik dan dengan tujuan sebagai
pedoman praktek Apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi
dalam menjalankan praktek kefarmasian (Sudibyo et. al, 2011).
Peran apoteker yang berada di apotek (apoteker komunitas) di
Indonesia sangat strategis. Apotek merupakan tempat praktek profesi yang
paling banyak menampung apoteker. Namun, peran penting apoteker
komunitas tersebut sampai saat ini masih banyak dipertanyakan. Beberapa
media massa memberitakan tentang peran apoteker tersebut, antara lain
Radar Banyumas online (Desember 2015) melaporkan “Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas menyatakan ada 18 apotek yang saat ini harus berhenti
beroperasi. Mereka belum mengantongi Surat Izin Penanggung Jawab
Apotek (SIPA) yang dimiliki oleh seorang apoteker.”; Banjarmasin
Tribunnews (November 2016) melaporkan “Dinas Kesehatan Palangkaraya
menutup 2 apotek karena diketahui apotekernya tidak ada.”; Radar Sorong
online (Januari 2017) melaporkan “Di kota Sorong, tenaga apoteker masih
sangat minim, masih banyak apotek yang tidak memiliki apoteker.”
Dari beberapa berita di atas, dapat diketahui bagaimana pentingnya
peran apoteker komunitas di apotek yang bertanggung jawab. Sehingga
adanya penutupan apotek di beberapa daerah yang tidak memiliki apoteker
saat apotek tersebut sedang dalam jam operasionalnya. Padahal, apoteker
memainkan peran penting dalam mengoptimalkan penggunaan obat dan
meningkatkan hasil kesembuhan pada pasien, mencegah penyalahgunaan
obat dan mengurangi biaya obat. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan
konseling pada pasien. Konseling merupakan proses interaktif antara
Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku
dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien
(Menkes RI, 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Apoteker yang
memberikan konseling pada pasien akan meningkatkan hasil klinis, kualitas
hidup, pengetahuan tentang obat dan penyakit, kepuasan pasien dengan
layanan, dan penghasilan secara ekonomi. Terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa adanya intervensi Apoteker komunitas seperti konseling dapat
meyakinkan pasien akan penggunaan obat-obatan secara tepat dan mencegah
permasalahan yang terkait dengan obat (Alaqeel & Abanmy, 2015).
Dalam pelaksanaan pemberian konseling ini diperlukan kehadiran
Apoteker selaku pemberi pelayanan. Namun beberapa penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan tingkat kehadiran Apoteker di Apotek masih rendah,
menurut penelitian Kwando, didapatkan hasil bahwa rata-rata dari persentase
kehadiran Apoteker di apotek wilayah Surabaya Timur adalah 63,33%,
sedangkan rata-rata pelayanan kefarmasian yang terjadi di apotek adalah
42,05% (Kwando, 2014) Hasil penelitian dari Rizza Suci Permana
menyatakan persentase kehadiran Apoteker di apotek kecamatan Tarogong
Kaler, Garut adalah 30%dan juga persentase kualitas pelayanan farmasi klinis
berupa PIO di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan oleh petugas
apotek (non Apoteker) adalah 57,14% dan hasil tersebut dikategorikan buruk
(Suci, 2015). Di Padang, penelitian yang dilakukan oleh Dwi Dominica
secara keseluruhan skor persentase kehadiran Apoteker di apotek kota Padang
58,67% (Dominica, 2016) . Kehadiran Apoteker ini menjadi penting karena
dengan meningkatnya frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek maka akan
meningkatkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek (Kwando,
2014). Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati terhadap tingkat kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat antidiabetes di Surabaya tahun 2014
ditemukan bahwa sebanyak 52,7% pasien tidak patuh dalam penggunaan obat
(Trisnawati, 2014). Masalah yang terjadi seperti di atas seharusnya dapat
dikurangi atau diatasi dengan adanya optimalisasi peran apoteker di tempat
prakteknya.Diabetes melitusadalah salah satu penyakit yang biasanya
memerlukan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) untuk mengatasi atau
mencegah komplikasi (Sujit Rambhade, 2012)
Diabetes merupakan penyakit yang sering di derita oleh sebagian besar
orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes
ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah),
akibatkurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan
pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2)
(International Diabetes Federation, 2011). Penyakit diabetes ini 90% di
dominasi oleh diabetes melitus tipe 2 (WHO, 2013). Permasalahan penyakit
diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat ke empat dan di Jawa
Barat prevalensinya mencapai 1,3% (Riskesdas, 2013).
Ditinjau dari sifat penyakitnya, diabetes melitus merupakan penyakit
seumur hidup (lifelong disease) dengan resiko komplikasi yang tinggi
sehingga menyebabkan kematian, maka diperlukan perhatian lebih dalam
perawatannya. Peningkatan kepedulian pasien diabetes sendiri diperlukan
dalam menjaga dan mengontrol kondisinya agar tetap dapat hidup lebih
panjang dan sehat (Sutandi Aan, 2012). Selain itu pengetahuan tentang obat
diperlukan oleh pasien untuk dapat menggunakan obat dengan benar, dengan
tujuan memperoleh terapi yang maksimal dan efek samping obat yang
minimal (Amor et al, 2010 dan Mitchel et al, 2011 dikutip dalam Nita, Yuda
and Nugraheni, 2012). Hal tersebut menjadi bagian peran apoteker dalam segi
pelayanan klinis dalam pemberian informasi obat dan konseling yang harus
dilakukan terutama untuk pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit
kronis seperti diabetes mellitus (Menkes RI, 2014).
Dalam Islam, kata “amal” bertebaran dalam Al Quran. Etos kerja
menjadi hal kunci yang cukup mendapat banyak perhatian. Tak hanya kerja
untuk kehidupan akhirat kelak, tapi juga kerja untuk keberlangsungan hidup
di dunia. Islam melarang umatnya berpangku tangan atau menunggu belas
kasihan orang. Sebaliknya, agama Islam selalu menekankan pentingnya kerja
keras dan profesionalitas.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, umat Islam diarahkan oleh
agamanya agar meningkatkan kualitas takwa dan keimanannya secara terus
menerus dan berkesinambungan. Meningkatkan kualitas taqwa, seorang
muslim pasti akan meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran
agamanya secara baik dan lebih sempurna. Islam mengarahkan umatnya agar
memiliki etos kerja yang tinggi dan mengarah pada profesionalisme.
Manusia yang beriman dan bekerja dengan baik, sehingga melahirkan
karya-karya besar yang bermanfaat bagi sesamanya, disebutkan Al Quran
sebagai manusia yang paling baik dan terpuji. Sesungguhnya manusia yang
paling mulia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesamanya
dan makhluk lain secara menyeluruh. Tak terkecuali dengan Apoteker
komunitas yang harus bekerja dalam melakukan pelayanan farmasi klinis
secara professional dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Allah SWT berfirman :
ت أ إن لح ئك هم خير ٱلبرية ٱلذين ءامنوا وعملوا ٱلص ول
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan melakukan pekerjaan yang
baik, mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”(QS Al Bayyinah, 98:7)
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode simulasi pasien. Metode simulasi pasien digunakan untuk
menentukan bagaimana Apoteker komunitas saat ini menyediakan layanan
konseling pasien. Puspitasari et. al mengevaluasi penelitian yang
dipublikasikan di 1993-2007 dan melaporkan bahwa di antara semua metode
penelitian, simulasi-pasien adalah metode yang lebih dapat diandalkan untuk
mengevaluasi praktek konseling di apotek (dikutip dalam Ibrahim et al.,
2016).
Dari paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
gambaran pelaksanaan konseling kepada pasien di apotek Kecamatan Jatiasih
dan Bekasi Selatan wilayah Kota Bekasi. Peneliti memandang penting untuk
meneliti sejauh mana apoteker telah memenuhi perannya dalam
melaksanakan pemberian konseling oleh apoteker komunitas sesuai Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
memperbaharui hasil penelitan yang pernah ada dan menambah data-data
informasi akan peran apoteker khususnya di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi
Selatan wilayah Kota Bekasi.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelayanan resep terhadap edukasi dan konseling di apotek
kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih terhadap resep diabetes melitus?
2. Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 telah diterapkan oleh apotek-
apotek khususnya di kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan wilayah Kota
Bekasi?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pelayanan farmasi klinis terhadap pasien
DM tipe 2 di apotek kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih wilayah Kota
Bekasi.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran kehadiran Apoteker di tempat kerja
(Apotek) di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan wilayah Kota
Bekasi.
b. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pelayanan farmasi klinis
terhadap pasien DM tipe 2 ditinjau dari edukasi dan konseling.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup diperlukan untuk membuat pokok bahasan menjadi
lebih terarah.Penelitian ini dilakukan dengan metode simulasi pasien dengan
instrument yang digunakan adalah lembar check list. Lembar check list berisi
informasi tentang tahapan-tahapan dari konseling.
Pada penelitian ini digunakan resep untuk pasien diabetes melitus,
dengan obat yang digunakan adalah metformin. Pelayanan farmasi klinis
yang diteliti hanyalah mencangkup edukasi dan konseling. Penelitian ini
dimulai bulan Januari – Juli 2018 di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi
Selatan wilayah Kota Bekasi.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan serta
wawasan tentang pelayanan resep antidiabetes terhadap edukasi dan
konseling di apotek.
1.5.2. Secara Metodologi
Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan
pada penelitian farmasi klinis sejenis di Apotek daerah lain.
1.5.3. Secara Aplikatif
Hasil penelitian berupa gambaran pelayanan resep antidiabetes
terhadap edukasi dan konseling di Apotek ini dapat digunakan menjadi
informasi tentang sejauh mana penerapan pelayanan farmasi klinis yang
berpusat pada pasien telah terlaksana di Apotek dan menjadi masukan
tersendiri untuk para ahli profesi farmasi dalam melaksanakan
peranannya sebagai tenaga kesehatan. Dapat juga digunakan oleh IAI
(Ikatan Apoteker Indonesia) dalam upaya meningkatkan pelayanan
kefarmasian terutama pada bagian edukasi dan konseling di apotek
serta melindungi masyarakat dari pelayanan kefarmasian yang tidak
profesional. Dan digunakan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk
memperbaiki dan lebih mengontrol apotek-apotek di Kota Bekasi agar
dapat memenuhi standar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Profesi Kefarmasian
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasiaan
dapat dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo,
1999):
1. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini
farmasi muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat.
Apoteker membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat
sendiri, kemudian dijual dari apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke
apoteker untuk membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan
dan penggunaan obat yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara
dengan industri farmasi saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai
sosial yang jelas.
2. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada
saat yang sama pembuatan resep obat oleh dokter sedang meningkat,
sehingga pekerjaan utama apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan
berpindah ke peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang
disesuaikan dengan resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke apotek
untuk mendapatkan obat dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran
apoteker masih memiliki nilai sosial yang jelas.
3. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama apoteker mengalami penyimpangan.
Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus
utama peran apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien
menjadi memudar. Hal tersebut juga didorong oleh adanya Kode Etik
Asosiasi Farmasi Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA
Code of Ethics) mulai tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk
mendiskusikan efek terapi atau komposisi resep dengan pasien.
4. Tahap 4 : Akibat perubahan fokus farmasis terhadap produk (obat) maka
muncul berbagai laporan tentang kegagalan terapi, hal ini memicu untuk
farmasis mengisi kembali bidang pelayanan kefarmasian. Sehingga pada
tahap keempat, Apoteker kembali berperan dalam pemberian informasi
obat, saran dan konseling pasien.
Gambar 1. Tahapan perubahan praktik kefarmasian Sumber: Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999
2.2. Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No.
51, 2009). Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan kefarmasiaan yang
bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi
wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait
erat dengan hak dan kewajiban (Ikatan Apoteker Indonesia, 2011).
Berdasarkan Peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1,
pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi dari obat kepada pasien yang
mengacu kepada pharmaceutical care (pelayanan kefarmasiaan) maka
Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Pemerintah RI,
2009).
Dalam pengelolaan apotek, Apoteker harus memiliki kemampuan
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan
yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri
sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM
secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi
pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes
RI, 2004).
2.2.1. Peran Apoteker
2.2.1.1. Peran Apoteker Menurut WHO
Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan,
apoteker butuh intelektual untuk melakukan fungsi-fungsi
yang berbeda. WHO menyebutkan tentang peran apoteker
dalam pelayanan kesehatan dengan istilah 8 bintang (Eight-
Star Pharmacist), yaitu (Wiedenmeyer dkk., 2006):
1. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan
kepada pasien, memberi informasi obat kepada
masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.
2. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil
keputusan, tidak hanya mampu mengambil keputusan
dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil
keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada
pasien, sebagai contoh ketika pasien tidak mampu
membeli obat yang ada dalam resep maka apoteker dapat
berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk pemilihan
obat dengan zat aktif yang sama namun harganya lebih
terjangkau.
3. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi
dengan baik dengan pihak ekstern (pasien atau
customer) dan pihak intern (tenaga profesional
kesehatan lainnya).
4. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang
pemimpin di apotek. Sebagai seorang pemimpin,
apoteker merupakan orang yang terdepan di apotek,
bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari
manajemen pengadaan, administrasi, manajemen SDM
serta bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan
hidup apotek.
5. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek
dengan baik dalam hal pelayanan, pengelola manajemen
apotek, pengelolaan tenaga kerja dan adinistrasi
keuangan. Untuk itu apoteker harus mempunyai
kemampuan manaerial yang baik, yaitu keahlian dalam
menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen.
6. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus
menggali ilmu pengetahuan, senantiasa belajar,
menambah pengetahuan dan keterampilannya serta
mampu mengembangkan kualitas diri.
7. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru,
pembimbing bagi stafnya, harus mau meningkatkan
kompetensinya, harus mau menekuni profesinya, tidak
hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, namun
harus dapat melaksanakan profesinya dengan baik.
8. Researcher, berkaitan dengan peran sebagai life long
learner, apoteker dituntut untuk selalu mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dengan melakukan
penelitian baru yang bermanfaat bagi dunia kesehatan.
2.2.1.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945 pada pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3,
mendapat pelayanan kesehatan menjadi hak setiap warga
negara dan negara menjadi penanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak (UUD RI, 1945). Pelayanan
Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan
Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker,
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga
Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi,
Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja. Dalam melakukan
Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan
peran yaitu (Menkes RI, 2014) :
1. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus
berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus
mengintegrasikan pelayanannya pada sistem
pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam
mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh
sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien
maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan
terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai
kemampuan berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan
meliputi keberanian mengambil keputusan yang
empati dan efektif, serta kemampuan
mengomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya
manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif.
Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi
informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.
6. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan
berkelanjutan (Continuing Professional Development/
CPD).
7. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah
ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan
farmasi dan pelayanan kefarmasian serta
memanfaatkannya dalam pengembangan dan
pelaksanaan pelayanan kefarmasiaan.
2.3. Asisten Apoteker
Asisten Apoteker adalah tenaga teknis kefarmasian yang membantu apoteker
dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian terdiri
atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Menkes RI, 2014). Asisten apoteker
memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005):
1. Fungsi pembelian meliputi: mendata kebutuhan barang, membuat
kebutuhan pareto barang, mendata pemasok, merencanakan dan
melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan
lain dari APA dan memeriksa harga.
2. Fungsi gudang meliputi: menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik
barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.
3. Fungsi pelayanan meliputi: melakukan penjualan dengan harga yang
telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani
konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan
pelanggan.
2.4. Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek memiliki tugas dan
fungsi sebagai :
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan
yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek untuk menunjang
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi
(Menkes RI, 2014):
1. Ruang penerimaan
Resep Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari
tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set
komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling
depan dan mudah terlihat oleh pasien.
2. Ruang pelayanan
Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) Ruang
pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas
meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan,
timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat,
bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko
salinan resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan
cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan
pendingin ruangan (air conditioner).
3. Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat
digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi
konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan
pasien.
5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan
rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,
lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu. 6. Ruang
arsip Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka
waktu tertentu.
2.5. Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinis.Kegiatan tersebut
harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana (Menkes RI,
2014).
2.5.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan
(Menkes RI, 2014).
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan.
Merupakan suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedianya
sediaan farmasi dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan
kebutuhan pelayanan. Kriteria yang harus dipenuhi dalam
pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah
(Menkes RI, 2014) :
1. Apotek hanya membeli sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan yang telah memiliki izin edar atau nomor regristrasi.
2. Mutu sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dari
jalur resmi, yaitu pedagang besar farmasi, industri farmasi, dan
apotek lain.
4. Dilengkapi dengan persyaratan administrasi seperti faktur.
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan
pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi
dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan
tanggal kadaluwarsa.
2. Semua obat atau bahan obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memerhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First expire first out)
dan FIFO (First In First Out).
e. Pemusnahan
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh
dinas kesehatan kabupaten atau kota. Pemusnahan obat selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat
izin praktek atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan
dengan berita acara pemusnahan menggunakan formulir satu
sebagaimana terlampir.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh
apoteker disaksikan sekurang-kurangnya petugas lain di
apotek dengan cara dibakar atau pemusnahan lain yang
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan dan selanjutnya
dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa
persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan
internal dan eksternal. pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan,
barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan
narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.
2.5.2. Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 35 tahun 2014, pelayanan farmasi klinis di Apotek merupakan
bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinis
meliputi :
1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis. a. Kajian administratif
meliputi:
1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
2) Nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat,
nomor telepon dan paraf.
3) Tanggal penulisan resep
4) Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. Bentuk dan kekuatan sediaan
b. Stabilitas
c. Kompatibilitas (ketercampuran obat)
5) Pertimbangan klinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi dan dosis obat
b. Aturan, cara dan lama penggunaan obat
c. Duplikasi dan/atau polifarmasi
6) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping
obat, manifestasi klinis lain)
7) Kontra indikasi dan interaksi
8) Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil
pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter
penulis resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan
permintaan resep, melakukan peracikan obat bila diperlukan,
memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat
dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan
menghindari penggunaan yang salah. Apoteker di Apotek juga
dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi.
Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan
memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai
Rincian standar praktik Apoteker Indonesia berupa dispensing
juga dijelaskan lebih rinci oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Rincian praktik tersebut ada pada standar 3 praktik Apoteker (IAI,
2013):
a. Apoteker menerapkan cara dispensing yang baik
b. Apoteker memastikan resep yang diterima berasal dari dokter
c. Memastikan resep yang diterima sesuai dengan nama pasien
yang dimaksud.
d. Apoteker memastikan obat yang tertera dalam resep sesuai
dengan tujuan penggunaan obat pasien.
e. Memastikan resep tidak berpotensi menimbulkan masalah
DRP.
f. Apoteker berkomunikasi dengan dokter.
g. Apoteker melakukan dispensing obat sitostatika secara tepat.
h. Apoteker melakukan pemeriksaan ulang dan dokumentasi
terhadap sediaan obat hasil dispensing.
i. Apoteker melakukan pengecekan ulang terhadap identitas
pasien.
j. Apoteker menyelesaikan dispensing tepat waktu.
k. Memastikan pasien paham bila terjadi penggantian merek
obat.
l. Memastikan pasien memahami tentang obat yang diterimanya
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO) (dijelaskan lebih lanjut pada sub
bab PIO)
4. Konseling (dijelaskan lebih lanjut pada sub bab konseling)
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah
yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi:
a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan.
b. Identifikasi kepatuhan pasien. Pendampingan pengelolaan
obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara
pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.
c. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
d. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan
penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.
e. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah
dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes
RI, 2014).
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria
pasien:
d. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
e. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
f. Adanya multidiagnosis.
g. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
h. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
i. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi
obat yang merugikan.
Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan
pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan
obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien
atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.
c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait
obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi,
pelayanan obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat,
dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat
yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien
dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau
berpotensi akan terjadi
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang
berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan
pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki.
f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang
telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan
tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat
dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes
RI, 2014).
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan:
a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko
tinggi mengalami efek samping obat.
b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
dengan menggunakan Formulir 10.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat
(Menkes RI, 2014).
2.6. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
2.6.1. Definisi PIO
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien
atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat
bebas dan herbal (Menkes RI, 2014).
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute
dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan
alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui,
efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau
kimia dari obat dan lain-lain.
Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi (Menkes
RI, 2014).
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan).
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa
farmasi yang sedang praktik profesi.
5. Melakukan penelitian penggunaan obat.
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
7. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk
membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat
dengan menggunakan formulir sesuai format yang telah ditetapkan.
Dalam standar praktik kefarmasian yang dijelaskan dalam IAI
Pelayanan Informasi Obat adalah bagian dari Konseling dimana dalam
pelaksanaannya harus memperhatikah hal-hal seperti berikut (Ikatan
Apoteker Indonesia, 2014) :
a. Apoteker melakukan komunikasi dan interaksi yang baik.
b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang
diberikan kepada pasien.
c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan keluarga.
d. Melakukan konseling sesuai informasi terkini dan berbasis bukti.
e. Apoteker menggunakan berbagai macam metode komunikasi
untuk menjamin efektifitas konseling.
f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi.
g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling.
h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk
memberikan pelayanan informasi obat.
i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang
relevan untuk mendukung pelayanan.
j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat.
2.7. Konseling
2.7.1. Definisi Konseling
Sherzer & Stone (1974) mendefenisikan konseling adalah suatu
proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu
yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat
diatasinya sendiri dengan seorang pekerja profesional, yaitu orang yang
terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mengenai
pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi.
Bahwa konseling adalah pemberian nasihat atau penasihatan kepada
orang lain secara individual yang dilakukan secara berhadapan dari
seorang yang mempunyai kemahiran (konselor) kepada seseorang yang
mempunyai masalah (klien).
Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan
saran, melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah
suatu kegiatan bertemu dan berdiskusinya seseorang yang
membutuhkan (klien) dan seseorang yang memberikan (konselor)
dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien memperoleh
keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah.
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan
elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang
ini tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja,
tetapi juga harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya dimana dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat
disimpulkan bahwa pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan
farmasi yang mempunyai tanggung jawab etika serta medikasi legal
untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan obat.
Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari
apoteker mengingat perlunya pemberian konseling karena pemakaian
obat-obat dengan cara penggunaan khusus, obat-obat yang
membutuhkan terapi jangka panjang sehingga perlu memastikan untuk
kepatuhan pasien meminum obat. Konseling yang diberikan atas
inisiatif langsung dari apoteker disebut konseling aktif. Selain
konseling aktif dapat juga konseling terjadi jika pasien datang untuk
berkonsultasi kepada apoteker untuk mendapatkan penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan pengobatan, bentuk
konseling seperti ini disebut konseling pasif (Departemen Kesehatan
RI, 2007)
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien atau keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan.
2.7.2. Tujuan dan Manfaat Konseling
1. Tujuan Konseling
Tujuan Umum :
a. Meningkatkan keberhasilan terapi.
b. Memaksimalkan efek terapi meminimalkan resiko efek
samping.
c. Meningkatkan cost effectiveness.
d. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.
Tujuan Khusus :
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan
pasien.
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien.
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya.
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan
penyakitnya.
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
f. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem.
g. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan
masalahnya sendiri dalam hal terapi.
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien (Departemen Kesehatan RI, 2007)
2. Manfaat Konseling
Bagi pasien :
a. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan.
b. Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya.
c. Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri.
d. Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu.
e. Menurunkan kesalahan penggunaan obat.
f. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi.
g. Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan.
h. Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan.
Bagi Apoteker :
a. Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan.
b. Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai
tanggung jawab profesi apoteker.
c. Menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan
penggunaan obat (Medication error) Suatu pelayanan tambahan
untuk menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam
memasarkan jasa pelayanan (Departemen Kesehatan RI, 2007).
1.7.3. Prinsip Dasar Konseling
Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi
antara pasien dengan apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku
pasien secara sukarela. Pendekatan Apoteker dalam pelayanan
konseling mengalami perubahan model pendekatan dari pendekatan
“Medical Model” menjadi Pendekatan “Helping model” (Depkes
RI,2007).
1.7.4. Tahap Kegiatan Konseling
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui
Three Prime Questions, yaitu :
a. Apa yang disampaikan Dokter tentang obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang cara pemakaian obat
Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang hasil yang
diharapkan setelah Anda menerima terapi obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan obat.
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
(Menkes RI, 2014).
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam pemberian informasi
obat (PIO) dan konseling menurut standar praktek kefarmasian IAI
2014:
a. Apoteker melakukan komunikasi dan interaksi yang baik.
Medical Model Helping Model
1. Pasien passive
2. Dasar dari kepercayaan ditunjukkan
berdasarkan citra profesi
3. Mengidentifikasi masalah dan
menetapkan solusi
4. Pasien bergantung pada petugas
kesehatan
5. Hubungan seperti ayah-anak
1. Pasien terlibat secara aktif
2. Kepercayaan didasarkan dari
hubungan pribadi yang
berkembang setiap saat
3. Menggali semua maslah dan
memilih cara pemecahan masalah
4. Pasien mengembangkan rasa
percaya dirinya untuk
memecahkan masalah
5. Hubungan setara (Seperti teman)
Sumber : Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Di
Sarana Kesehatan, Depkes RI, 2007
Tabel 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Apoteker
b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang
diberikan kepada pasien.
c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan atau
keluarga.
d. Apoteker melakukan konseling sesuai informasi terkini dan
berbasis bukti (evidence based).
e. Apoteker menggunakan berbagai macam metoda komunikasi
untuk menjamin efektifitas konseling.
f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi.
g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling.
h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk
memberikan pelayanan informasi obat.
i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang
relevan untuk mendukung pelayanan.
j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat.
1.7.5. Konseling Pasien Rawat Jalan
Pemberian konseling untuk pasien rawat jalan dapat diberikan pada saat
pasien mengambil obat di apotek, puskesmas dan di sarana kesehatan lain.
Kegiatan ini bisa dilakukan di counter pada saat penyerahan obat tetapi
lebih efektif bila dilakukan di ruang khusus yang disediakan untuk
konseling. Pemilihan tempat konseling tergantung dari kebutuhan dan
tingkat kerahasiaan atau kerumitan akan hal-hal yang perlu
dikonselingkan ke pasien. Konseling pasien rawat jalan diutamakan pada
pasien yang (Departemen Kesehatan RI, 2007):
a. Menjalani terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka
panjang. (Diabetes, TBC, epilepsi, HIV/AIDS, dll).
b. Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan cara
pemakaian yang khusus. Misal : suppositoria, enema, inhaler, injeksi
insulin dll.
c. Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yg khusus. Misal :
insulin dll.
d. Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit, misalnya
: pemakaian kortikosteroid dengan tapering down.
e. Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah, misalnya :
geriatrik, pediatri.
f. Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, phenytoin,
dll).
g. Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak
(polifarmasi).
1.7.6. Masalah dalam Konseling
Penyebab ketidakpatuhan dalam penggunaan obat Beberapa
penyebab dari ketidak patuhan pasien dalam penggunaan obat dapat
disebabkan karena faktor pasien sendiri maupun faktor-faktor yang lain
(Departemen Kesehatan RI, 2007).
Faktor Penyakit :
a. Keparahan atau stadium penyakit, kadang orang yang merasa sudah
lebih baik kondisinya tidak mau meneruskan pengobatan.
b. Lamanya terapi berlangsung, semakin lama waktu yang diberikan
untuk terapi, tingkat kepatuhan semakin rendah.
Faktor Terapi :
a. Regimen pengobatan yang kompleks baik jumlah obat maupun
jadwal penggunaan obat.
b. Kesulitan dalam penggunaan obat, misalnya kesulitan menelan obat
karena ukuran tablet yang besar.
c. Efek samping yang ditimbulkan, misalnya : mual, konstipasi dll.
d. Rutinitas sehari-hari yang tidak sesuai dengan jadwal penggunaan
obat.
Faktor Pasien :
a. Merasa kurang pemahaman mengenai keseriusan dari penyakit dan
hasil yang didapat jika tidak diobati.
b. Menganggap pengobatan yang dilakukan tidak begitu efektif.
c. Motivasi ingin sembuh.
d. Kepribadian/perilaku, misalnya orang yang terbiasa hidup teratur
dan disiplin akan lebih patuh menjalani terapi.
e. Dukungan lingkungan sekitar / keluarga.
f. Sosio-demografi pasien : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll
Faktor Komunikasi :
a. Pengetahuan yang kurang tentang obat dan kesehatan.
b. Kurang mendapat instruksi yang jelas tentang pengobatannya.
c. Kurang mendapatkan cara atau solusi untuk mengubah gaya
hidupnya.
d. Ketidakpuasan dalam berinteraksi dengan tenaga ahli kesehatan.
e. Apoteker tidak melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan.
1.7.7. Evaluasi Mutu Pelayanan
Merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di
apotek yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM),
pengelolaan perbekalan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, dan
pelayanan kefarmasian kepada pasien. Indikator mutu pelayanan di
apotek antara lain: kepuasan pasien, kebutuhan pasien dan keberhasilan
pengobatan.
Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi
seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan
sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Untuk
mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu indikator yang
mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan
cara angket (Menkes RI, 2014).
1.8. Metode Simulasi Pasien
Simulasi pasien merupakan ‘‘aktor-pasien’’, yang telah dilatih untuk
memainkan peran pada situasi pra-determined dalam hal mengajar atau
evaluasi. Dalam literatur, simulasi pasien juga dikenal sebagai
pseudopatients, standardized patients, pseudo-customer, shopper patient dan
mystery patient dan lainnya. Apoteker atau penelitian yang dilakukan dengan
pendekatan ini mungkin atau tidak mungkin menyadari identitas pasien
simulasi dan tujuannya (Mesquita et al., 2010).
Metode ini sudah semakin digunakan sebagai pendekatan yang efektif
untuk mengevaluasi praktek farmasi saat ini dan mengidentifikasi wilayah
untuk kemajuan. Seorang pasien simulasi didefinisikan sebagai seseorang
yang terlatih untuk melakukan kunjungan rahasia ke apotek untuk
memberlakukan skenario dan laporan tentang perilaku staf apotek tanpa staf
tersebut menyadari bahwa mereka sedang dievaluasi. Sebuah alat/ instrumen
standarpengumpulan data digunakan untuk semua kunjungan guna
mengurangi resiko bias. Seorang pasien simulasi yang melakukan kunjungan
rahasia dipastikan mengurangi gejala yang dikenal sebagai gejala Hawthorne
atau Observer Effect (perubahan perilaku pada objek sebagai akibat dari telah
mengetahui bahwa mereka sedang diamati). Interaksi pasien simulasi dengan
staf farmasi mengakibatkan terjadinya kondisi yang kurang erat yang
tercermin pada praktek farmasi saat ini.Perekaman suara secara rahasia saat
kunjungan dapat digunakan untuk memvalidasi data yang dilaporkan sendiri.
Namun, dalam perekaman suara secara rahasia dalam penelitian ini, pasien
simulasi tidak perlu meminta izin dari staf farmasi sebelum merekam.
Penelitian ini disetujui oleh La Trobe University Human Ethics Commitee
(Byrne, Wood, & Spark, 2018).
Metode simulasi pasien merupakan metode pengumpulan data dengan
menggunakan seseorang yang telah terlatih berperan sebagai pasien yang
mengunjungi apotek untuk memerankan sebuah skenario untuk menguji atau
mengetahui tingkah laku spesifik dari apoteker ataupun staf apotek (Watson,
Norris, & Granas, 2006). Sebenarnya ada metode lain yang bisa digunakan
dalam penelitian ini, seperti bertanya penyedia layanan untuk
menggambarkan kebiasaan mereka atauterapi yang paling sering untuk tipe
kasus tertentu (Madden et al, 1997). Selain itu juga bisa menggunakan metode
pengamatan atau observasi (Notoatmodjo, 1997). Pada penelitian ini, metode
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simulasi pasien
(simulated patient) yang merupakan metode observasi tertutup (covert)
(Watson et al, 2004). Dipilih metode simulasi pasien karena memiliki
keuntungan yang tidak dimiliki oleh metode lain, yaitu memberikan
kesempatan untuk merekam praktek yang sebenarnya tanpa disadari oleh
orang yang sedang diteliti dan merupakan metode yang praktis untuk menilai
praktek secara nyata (Madden et al, 1997).
Data yang penting untuk disiapkan pada saat peneliti melakukan
kunjungan ke apotek antara lain adalah riwayat kesehatan yang akan
ditanyakan, pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, keputusan yang akan
dibuat, saran, dan informasi yang akan diberikan. Dalam melakukan
penelitian harus diperhatikan situasi dari tempat, waktu penelitian, atau aspek
komunikasi seperti bahasa, nada dan sikap. Persiapan yang dilakukan pada
saat pengambilan data seperti metode, pilot pengujian, perbaikan yang
mungkin perlu dilakukan, dan pelatihan untuk pelaku di lapangan
(Rismawati, 2011).
Peneliti harus dilatih dalam memainkan skenario agar meyakinkan pada
saat melakukan kunjungan ke apotek sehingga dapat mengumpulkan data
yang akurat. Untuk itu peneliti harus sudah bertemu dengan pasien
sebenarnya untuk berbicara atau menanyakan kondisi pasien dan
menyaksikan konsultasi yang sebenarnya (Madden et al, 1997).
Seperti metode yang lain, metode simulasi pasien ini juga memiliki
keterbatasan antara lain adalah :
a Skenario yang digunakan hanya dapat mengekstrak informasi bagian
kecil suatu penyedia pelayanan. Sulit untuk mengeneralisasi dalam
masalah kesehatan lain walaupun masalahnya sama hanya berbeda
dalam gejala yang timbul.
b Metode ini biasanya tidak melibatkan pengguna pelayanan sebenarnya
(pasien sebenarnya) ataupun pemberi pelayanan. Dengan demikian,
metode ini memberikan sedikit wawasan atau tidak menunjukan
karakteristik, pemahaman teknis, pendapat, dan motivasi dari penyedia
dan pengguna yang sebenarnya.
c Sulit untuk mengetahui apakah kunjungan dapat mewakili dari kasus
yang serupa.
d Skenario yang rumit pada kasus-kasus tertentu akan sulit dalam
mengolah data, sehingga memerlukan tenaga lapangan dan analis yang
terlatih. e. Seperti metode penelitian yang lain, metode penelitian ini
terbatas dalam jenis dan kualitas informasi yang dikumpulkan (Madden
et al, 1997).
1.9. Diabetes Melitus
2.9.1. Pendahuluan
Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi
prioritas ke empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama
dengan penyakit cardiovascular disease (CVD), yang mencakup
serangan jantung, stroke, kanker dan penyakit pernapasan kronis.
Diabetes melitus merupakan penyakit yang sering diderita oleh
sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya
mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya
kadar glukosa dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan
dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat
resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation,
2011)
2.9.2. Prevalensi Diabetes Melitus
Berdasarkan data WHO, 347 juta penduduk dunia mengidap
penyakit diabetes yang didominasi oleh diabetes tipe 2 sebanyak 90%.
Diprediksi bahwa pada tahun 2030 penyakit diabetes ini akan menjadi
7 penyakit terbesar di dunia yang menyebabkan kematian. Kematian
akibat diabetes 80% akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah, dengan usia penduduk antara 35-64 tahun. Total kematian
akibat diabetes diproyeksikan meningkat lebih dari 50% dalam 10
tahun kedepan (WHO, 2013).
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan prevalensi
diabetes melitus yang tinggi dengan menduduki peringkat ke tujuh dari
semua negara di dunia dengan didominasi oleh penduduk usia 20-79
tahun. (International Diabetes Federation, 2013). Di Indonesia sendiri
berdasarkan hasil survei Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013
mengenai prevalensi penyakit tidak menular yang dilakukan pada
responden dengan umur > 15 tahun didapatkan hasil bahwa prevalensi
diabetes mellitus menduduki peringkat ke empat di Indonesia.
2.9.3. Penatalaksanaan Diabetes
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai
2 target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013) :
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan diabetes.
Gula darah
terkontrol
Prediabetes Diabetes Melitus
(DM)
GDP (Glukosa
Darah Puasa < 100 mg/dL 100 – 125 mg/dL ≥ 126 mg/dL
Kadar glukosa 2
jam setelah
makan
< 140 mg/dL 140 – 199 mg/dL ≥ 200 mg/dL
GDS (Glukosa
Darah Sewaktu)
≥ 200 mg/dL +
gejala
Hemoglobin A1c < 5,7 % 5,7 – 6,4 % ≥ 6,5 %
(Sumber : Farmakoterapi Diabetes, 2013)
Tabel 2. Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013
Parameter Glikemik
GDP 70 – 130 mg/Dl
Kadar glukosa 2 jam setelah makan <180 mg/dL
Hemoglobin A1c <7%
Parameter Non Glikemik
Tekanan Darah <130/80 mg/dL
LDL <100 mg/dL
<70 mg/dL (dengan penyakit
kardiovaskular)
HDL >40 mg/dL (pria)
>50 mg/dL (wanita)
Trigliserida <150 mg/dL
Terapi non farmakologi seperti pengaturan pola hidup sangat penting
dilakukan kepada pasien diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2
untuk mengontrol konsentrasi glukosa darah agar tetap normal (Sweetman.S.,
2009). Pengontrolan pola makan terutama dilakukan dengan menjaga asupan
karbohidrat dan lemak (Wells Barbara G., 2009). Pengaturan pola makan ini
pada intinya adalah dengan menerapkan pola konsumsi yang sehat dan
kadungan gizi yang seimbang (Sweetman.S., 2009). Pola latihan fisik seperti
aerobik juga sangat direkomendasikan. Latihan fisik ini diperlukan karena
dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat, meningkatkan sensitivitas
terhadap insulin dan meningkatkan fungsi kardiovaskular (Sweetman.S.,
2009).
Bila dalam 3 bulan pemberian terapi non farmakologi tidak
menunjukkan perubahan pada pasien diabetes melitus maka penambahan
terapi farmakologi berupa pemberian obat antidiabetes oral bisa dilakukan.
Terdapat dua golongan utama obat antidiabetes oral yang bisa diberikan yaitu
kelas sulfonilurea dan kelas biguanid (Sweetman.S, 2009).
(Sumber : Farmakoterapi Diabetes, 2013)
Tabel 3. Penatalaksanaan Diabetes
Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah
kombinasi dari perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat
(Marić, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah
namun mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang
mengalami kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan
glukosa darah dengan cara menghambat produksi glukosa hepatik dan
menurunkan resistensi terhadap insulin. Penggunaan metformin secara
tunggal, mampu menurunkan HbA1c sampai 1,5% (Marić, 2010).
Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau
850 mg satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009).
Metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping
yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini
mampu mengalami interaksi bila digabungkan dengan obat lain, contohnya
simetidin. Penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa
menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa
menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan
dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin
untuk mencegah interaksi tersebut (Karen Baxter, 2008).
2.9.4. Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes
Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap
yang harus dilaksanakan secara berurutan (Departemen Kesehatan RI,
2005):
a. Penyusunan informasi dasar atau database pasien
Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur,
berat badan pasien serta terapi yang diberikan yang tertera pada
resep. Mengenai masalah medis (diagnosis, gejala) yang
selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien dan dokter bila
perlu. Riwayat alergi, riwayat obat (riwayat penggunaan obat satu
bulan terakhir). Hal ini diperlukan untuk memprediksikan efek
samping dan efek yang disebabkan masalah terapi obat lainnya,
serta untuk membantu pemilihan obat.
b. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)
Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi
masalah yang berkaitan dengan terapi obat. Pelaksanaan evaluasi
dilakukan dengan membandingkan problem medik, terapi, dan
database yang telah disusun, kemudian dikaitkan dengan
pengetahuan tentang farmakoterapi, farmakologi dan ilmu
pengetahuan lain yang berkaitan.
c. Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK)
Rekomendasi terapi, rencana monitoring (monitoring
efektivitas terapi, Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB)) dan
rencana konseling).
d. Implementasi RPK dan monitoring implementasi
Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan Rencana
Pelayanan Kefarmasian (RPK) yang sudah disusun. Rekomendasi
terapi yang sudah disusun dalam RPK, selanjutnya
dikomunikasikan kepada dokter penulis resep, lalu lakukan
monitoring.
e. Tindak Lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan yang menjamin
kesinambungan pelayanan kefarmasian sampai pasien dinyatakan
sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan yang dilakukan
dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik
perkembangan kondisi klinis maupun perkembangan terapi obat
dalam rangka mengidentifikasi ada atau tidaknya Masalah Terapi
Obat (MTO) yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka
selanjutnya apoteker menyusun atau memodifikasi RPK.
Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah
memantau hasil atau outcome yang dihasilkan dari rekomendasi
yang diberikan. Hal ini sangat penting bagi Apoteker dalam menilai
ketepatan rekomendasi yang diberikan. Kegiatanfollow-upmemang
sulit dilaksanakan di lingkup farmasi komunitas, kecuali pasien
kembali ke Apotek yang sama, apoteker secara aktif menghubungi
pasien atau pasien menghubungi Apoteker melalui telepon.
2.9.5. Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan
penyakit, berarti mencakup terapi obat dan non-obat (Departemen
Kesehatan RI, 2005) :
a. Mengidentifikasi dan Menilai Kesehatan pasien
Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak
menyadari kalau mereka menderita diabetes. Identifikasi
mentargetkan pasien-pasien dengan resiko tinggi, termasuk pasien
obesitas, pasien > 40 tahun, pasien dengan tekanan darah tinggi atau
dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga diabetes, dan pasien
yang mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak
dengan berat badan > 4,5 kg.
b. Merujuk pasien
Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk
pasien kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi,
poliklinis mata, pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi
juga sering dijumpai pada pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk
ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan.
c. Memantau Penatalaksanaan diabetes
Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker
pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita
menebus obat, atau dengan melakukan hubungan telepon.
Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk
menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong
penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan
yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker juga harus
memantau tingkat kenormalan :
1. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg).
2. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)
3. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan
resiko jantung
4. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)
5. Vaksinasi influenza dan pneumokokal
Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan
pasien mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting
dalam terapi pencegahan komplikasi yang bisa memperburuk
penyakit.
d. Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal
terapi
Ada 6 langkah yang dapat dilakukan :
1. Libatkan pasien, ciptakan suasana dimana pasien menjadi
peduli dan bersedia untuk membantu menangani masalah yang
berhubungan dengan obat.
2. Spesifik, dapatkan rincian spesifik bila pasien mendiskusikan
masalah obatnya.
3. Identifikasi hambatan utama yang mempengaruhi kepatuhan
pasien dalam minum obatnya.
4. Simpulkan masalah pasien. Memecahkan masalah dengan
memberi saran pada pasien seperti berikut :
a) Meminum obat sesuai dengan yang diresepkan.
b) Untuk mendapatkan hasil optimal, jadwal meminum obat
harus dipatuhi.
c) Bila anda masalah dengan efek samping yang dialami,
kekhawatiran biaya obat sehingga mengharapkan obat
alternatif lain yang lebih murah maka harus dibicarakan
pada dokter.
d) Bila regimen obat terlalu susah, menjadi beban, atau
membingungkan tanyakan ke dokter atau Apoteker.
e) Jumlah obat yang anda minum bukanlah pertanda betapa
sehat atau tidak sehatnya anda. Lebih baik anda diskusi
dengan Dokter atau Apoteker tentang target pengobatan
seharusnya (misalnya target kadar gula, tekanan darah,
kadar kolesetrol dsb).
f) Bila anda merasa depresi atau tertekan dengan ruwetnya
penanganan diabetes anda, bicarakan dengan dokter atau
apoteker.
e. Akhiri pertemuan, tanyakan langkah apa yang akan dilakukan
pasien setelah diskusi dengan apoteker.
f. Membantu penderita mencegah dan mengatasi komplikasi ringan.
g. Menjawab pertanyaan penderita dan keluarga mengenai DM.
Biasanya pertanyaan berkisar tentang penyebab penyakit dan
gejala-gejala yang harus diwaspadai, pemeriksaan diagnostik yang
harus dilakukan, hal-hal apa yang harus dihindari untuk mencegah
atau memperlambat perkembangan penyakit, tentang terapi obat
dan efek samping obat, tentang komplikasi dan pencegahannya,
sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi dan lain
sebagainya.
h. Memberikan Pendidikan dan Konseling
Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan
pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi
dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
tidak pernah mendapat pendidikan mengenai diabetes, resiko untuk
komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Materi inti untuk
pendidikan yang komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien
diabetes (Sumber: National Standard for diabetes self-management
education, Diabetes Care 2005) terdiri dari definisi diabetes, proses
penyakit, dan pilihan pengobatan, terapi nutrisi, aktivitas fisik,
penggunaan obat, memonitor kadar gula sendiri, mencegah,
mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan kronis,
target untuk mencapai hidup sehat, menyesuaikan sendiri perawatan
dalam kehidupan sehari-hari (problem solving) serta penyesuaian
psikososial dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan kepada pasien
dapat diberikan dalam 3 tahap :
1. Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien di diagnosa dengan
DM sehingga dapat membantu mengatasi kebingungan, syok,
terkejut dan lain sebagainya. Apoteker berusaha membantu
pasien memahami dan menerima diagnosis.
2. Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan
berfokus pada masalah yang telah teridentifikasi sewaktu
menilai pasien (misalnya peripheral neuropathy) dan hal-hal
lain yang mungkin dapat diantisipasi (misalnya mengatasi
reaksi hipoglikemi). Kegunaan dan cara minum obat yang benar
harus dijelaskan.
3. Tahap III : Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk
menekankan konsep, meningkatkan dan menjaga motivasi, dan
berupaya agar pasien dapat mengurus dirinya dan peduli
terhadap kesehatannya.
Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan
memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan
keluarganya antara lain :
a. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan
kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan
keniscayaan. Seseorang yang dapat bertahan hidup tetapi dengan
kualitas hidup yang rendah, akan menggangggu kebahagiaan dan
ketenangan keluarga.
b. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri,
sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan,
selain itu juga agar jumlah hari sakit dapat ditekan.
c. Agar penderita DM dapat berfungsi dan berperan optimal dalam
masyarakat.
d. Agar penderita DM dapat lebih produktif dan bermanfaat.
e. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara
pribadi, keluarga ataupun negara.
Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan
kepatuhan dan kerjasama penderita dan keluarganya terhadap program
penatalaksanaan diabetes dapat disampaikan dalam konseling. Namun
dalam penyampaiannya harus mempertimbangkan kondisi penderita,
baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya
(Departemen Kesehatan RI, 2005).
2.10. Gambaran Umum Kota Bekasi
Kota Bekasi adalah wilayah yang secara geografis berdekatan dengan
Kota Depok, Bogor dan DKI Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Kota Bekasi
memiliki luas wilayah sekitar 210,49 km2 dengan batasan sebelah utara
dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan dengan Kabupaten Bogor dan
Kota Depok, sebelah timur dengan Kabupaten Bekasi dan sebelah barat
dengan Provinsi DKI Jakarta. Kota bekasi memiliki 12 Kecamatan dengan
jumlah penduduk > 2,2 juta jiwa (Pemerintah Kota Bekasi).
Menurut Dinas Kesehatan Kota Bekasi, jumlah seluruh Apotek di Kota
Bekasi pada tahun 2016 adalah 495 Apotek. Distribusi Apotek terbesar
berada di Kecamatan Bekasi Selatan sebanyak 83 Apotek, Kecamatan Jatiasih
sebanyak 34 Apotek.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
INPUT
a. Pelaksanaan
pelayanan
kefarmasian di
apotek
PROSES
a. Dispensing
b. PIO/Konseling
OUTPUT
Pelaksanaan pelayanan farmasi
klinis ditinjau dari edukasi dan
konseling pada pasien di
Apotek.
- Dilakukan
- Tidak dilakukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukuran Skala
1. Kehadiran di Apotek Keberadaan Apoteker di tempat
kerja/apotek saat apotek buka
Check list
Alat perekam
a. Skor 5
Apoteker hadir setiap hari, pagi sampai sore
b. Skor 4
Apoteker hadir setiap hari, tapi tak bisa
ditentukan
c. Skor 3
Apoteker hadir 3 kali seminggu
d. Skor 2
Apoteker hadir 2 kali seminggu
e. Skor 1
Apoteker hadir 1 minggu sekali
f. Skor 0
Lainnya
Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata
persentase dan digolongkan dalam kategori
sebagai berikut (Harianti, dkk. 2006) :
a. 90% - 100% = amat baik
b. 80% - 90% = baik
c. 70% - 80% = sedang
d. 60% -70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Skala nominal
Skala ordinal
2. Apoteker/petugas apotek
(non Apoteker) yang saat
Check list a. Skor 2
Apoteker yang meberikan pelayanan
b. Skor 1
Skala nominal
Tabel 4. Definisi Operasional Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penelitian melakukan
pelayanan kefarmasian
Asisten Apoteker yang memberikan
pelayanan
c. Skor 0
Petugas apotek (Bukan Apoteker/Asisten
Apoteker)
3. Dispensing Kesesuaian obat baik dari jenis dan
jumlah, sesuai dengan resep yang
dilakukan oleh pemberi pelayanan
kefarmasian di apotek.
Check list a. Skor 1
Sesuai
b. Skor 0
Tidak sesuai
Skala nominal
4. Pelayanan Informasi Obat
(PIO)
Pemberian informasi obat yang
berkaitan dengan obat antidiabetes
yang dilakukan oleh
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) di apotek.
Check list Hasil perhitungan skor dari ketepatan menjawab
pertanyaan yang ada dalam pertanyaan yang ada
dalam chek list tiap Apoteker/petugas apotek
akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan
dalam kategori sebagai berikut (Harianti, dkk.
2006) :
a. 90% - 100% = amat baik
b. 80% - 90% = baik
c. 70% - 80% = sedang
d. 60% -70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Skala ordinal
a. Tujuan penggunaan Informasi yang diberikan Apoteker
atau petugas apotek (non Apoteker)
tentang maksud penggunaan
masing-masing obat yang ada
dalam resep. Informasi dinyatakan
tepat bila informasi obat yang
diberikan sesuai dengan tujuan
umum seperti :
- Metformin digunakan untuk
menurunkan gula darah atau
mengontrol gula darah
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Simetidin digunakan untuk
menurunkan asam lambung
b. Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tetang waktu obat harus
dikonsumsi dari segi waktu.
Jawaban dinyatakan tepat bila
informasi yang disampaikan :
- Metformin digunakan pada pagi
dan sore hari atau digunakan 2
kali sehari dengan selang waktu
12 jam
- Simetidin digunakan pada pagi
dan malam hari
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
c. Waktu penggunaan
(sebelum/saat/sesudah)
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tetang waktu obat harus
dikonsumsi dari segi jam. Jawaban
dinyatakan tepat bila informasi
yang disampaikan :
- Metformin digunakan sesudah
makan
- Simetidin digunakan 1 jam
sebelum makan atau 2 jam
sesudah makanan
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
d. Jumlah frekuensi
penggunaan
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tetang waktu obat harus
dikonsumsi dalam penggunaan satu
hari. Jawaban dinyatakan tepat bila
informasi yang disampaikan adalah
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masing-masing obat digunakan 2
kali sehari
e. Jumlah obat sekali
minum
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang jumlah obat yang
harus dikonsumsi dalam sekali
minum. Jawaban dinyatakan tepat
bila informasi yang disampaikan
adalah masing-masing 1 tablet obat
yang dikonsumsi sekali minum
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
f. Nama obat Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang sebutan nama
obat berdasarkan tulisan yang
tertera dalam kemasan obat.
Jawaban dinyatakan tepat bila
informasi yang disampaikan adalah
metformin dan simetidin
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
g. Indikasi Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang kondisi penyakit
yang memerlukan penggunaan obat
dalam resep. Jawaban dinyatakan
tepat bila informasi yang
disampaikan adalah :
- Metformin: digunakan untuk DM
tipe 2 atau digunakan untuk DM
tahap awal
- Simetidin: digunakan untuk
mengatasi sakit lambung.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h. Interaksi obat Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang kemungkinan
terjadinya pengaruh antara obat satu
dengan obat yang lainnya. Jawaban
dinyatakan tepat bila informasi
yang disampaikan adalah :
- Penggunaan simetidin akan
mempengaruhi ekskresi
metformin.
- Metformin akan menurun
ekskresinya akibat interaksi
dengan simetidin.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
i. Pencegahan interaksi
obat yang terjadi
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang cara menghindari
kemungkinan interaksi obat antara
obat yang satu dengan yang lainnya
terjadi. Informasi dinyatakan tepat
bila hal yang disampaikan adalah :
Gunakan metformin dalam dosis
yang lebih kecil bila penggunaan
kedua obat harus dalam waktu yang
sama atau konsultasikan dengan
dokter tentang obat pilihan mag lain
yang tidak berinteraksi dengan
metformin. Gunakan simetidin
diberi jeda 2 jam setelah
mengonsumsi metformin, karena
simetidin akan mempengaruhi
ekskresi metformin.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
j. Efek samping obat
(ESO)
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang reaksi yang tidak
diharapkan terjadi akibat dari
penggunaan obat. Informasi
dinyatakan tepat bila hal yang
disampaikan adalah metformin
memiliki efek samping utamanya
berupa gangguan gastrointestinal
berupa diare, mual, muntah, nyeri
perut sedangkan simetidin efek
sampingnya cenderung aman
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
k. Pencegahan efek
samping obat
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang cara mencegah
dan menghindari kemungkinan
terjadinya efek samping obat.
Informasi dinyatakan tepat bila hal
yang disampaikan adalah efek
samping obat metfomin dapat
dicegah dengan menggunakan
metformin dibarengi dengan
makanan (sesudah makan).
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
l. Gejala efek samping
obat
Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang ciri-ciri gejala
bila efek samping obat terjadi.
Informasi dinyatakan tepat bila hal
yang disampaikan adalahh saat
timbul efek samping obat
metformin maka akan menimbulkan
rasa tidak enak pada perut seperti
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sakit mag atau cenderung sering
buang air besar
m. Makanan dan minuman
yang harus dihindari
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) menyarankan untuk
menghindari kosumsi makanan dan
minuman yang dapat mengganggu
keseimbangan gula darah dalam
tubuh. Informasi dinyatakan tepat
bila hal yang disampaikan adalah :
- Untuk menjaga agar gula darah
terkontrol maka disarankan
pasien untuk menghindari
makanan dengan kandungan
tinggi gula, karbohidrat yang
berlebihan.
- Untuk mencegah parahnya
penyakit mag yang dialami
pasien maka hindari makanan
yang pedas, asam, minuman
berkafein atau beralkohol.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
n. Cara penyimpanan Informasi yang diberikan
Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) tentang tata cara
penyimpanan dan penempatan obat.
Informasi dinyatakan tepat bila hal
yang disampaikan adalah simpan
obat di tempat yang tertutup, suhu
ruangan 25o C dan terjaga dari
cahaya matahari serta dijauhkan
dari tempat yang lembab dan basah.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Konseling Bentuk pelayanan kefarmasian di
mana Apoteker/petugas apotek (non
Apoteker) yang saat memberikan
informasi obat melakukan tahapan
konseling kepada pasien dengan
mencoba menggali pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan pasien untuk kemudian
diberikan saran dan nasehat.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
a. Membuka komunikasi
antara Apoteker
dengan pasien/keluarga
pasien
Apoteker/Asisten Apoteker
berperilaku aktif memulai
pembicaraan kepada
pasien/keluarga pasien.
Apoteker/Asisten Apoteker
mempekenalkan diri dan
mengkonfirmasi ulang identitas
pasien/keluarga pasien.
Apoteker/Asisten Apoteker
bertanya waktu luang untuk
melakukan konseling.
Check list
Check list
Check list
a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
b. Menilai pemahaman
pasien tentang
penggunaan obat
Apoteker/Asisten Apoteker
menanyakan “three prime
question” :
1. Apa yang disampaikan oleh
dokter tentang obat Anda?
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Apa yang dijelaskan oleh
dokter tentang cara pemakaian
obat Anda?
3. Apa yang dijelaskan oleh
dokter tentang hasil yang
diharapkan setelah Anda
menerima obat tersebut?
c. Menggali informasi
lebih lanjut tentang
masalah penggunaan
obat
Apoteker/Asisten Apoteker
menanyakan adakah permasalahan
dalam penggunaan obat tersebut.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
d. Memberikan
penjelasan kepada
pasien untuk
menyelesaikan masalah
penggunaan obat
Apoteker/Asisten Apoteker
memberikan saran bagaimana cara
untuk mengatasi permasalahan obat
atau memberikan himbauan untuk
tetap melanjutakan pengobatan
yang sesuai dengan aturan
penggunaan obat agar gula darah
dalam tubuh tetap terkontrol.
Check list a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
e. Melakukan verifikasi
akhir untuk
memastikan
pemahaman pasien
Apoteker/Asisten Apoteker
menanyakan kembali apa saja yang
telah disampaikan dan hal-hal yang
mungkin tidak dimengerti pasien
a. Skor 1
Dilakukan
b. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
f. Menutup konseling Apoteker/Asisten Apoteker
menutup sesi konseling dengan
pasien dan memberikan nomor
telepon untuk pasien agar dapat
menghubunginya dan bertanya jika
ada yang lupa atau tidak dimengerti.
a. Skor 1
Dilakukan
c. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. Menutup konseling Apoteker/Asisten Apoteker
menutup sesi konseling dengan
pasien dan memberikan nomor
telepon untuk pasien agar dapat
menghubunginya dan bertanya jika
ada yang lupa atau tidak dimengerti.
b. Skor 1
Dilakukan
d. Skor 0
Tidak dilakukan
Skala nominal
Sumber : Permenkes No. 35 Tahun 2014
Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Di Sarana Kesehatan,
2007
Rizza Permana Suci, 2015
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Alur Kerja
Penelitian Pendahuluan
Pendataan jumlah apotek pada wilayah
Kota Bekasi dengan surat izin
penelitian dan pengambilan data di
Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Kemudian diteruskan ke Bidang
Sumber Daya Kesahatan Seksi Farmasi
Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Pengambilan data dilakukan.
Persiapan Proposal
Persiapan Instrumen
- Skenario
- Lembar Resep
- Protokol Penelitian
- Check List
Persetujuan Kode Etik Penelitian
Persetujuan kode etik penelitian dilakukan di Komisi Etik Penelitian
Kesehatan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perizinan Penelitian
Dilakukan perizinan penelitian ke IAI cabang Kota Bekasi sebagai organisasi profesi
kefarmasian di Indonesia dan Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Validasi Instrumen
- Validasi Isi
- Validasi Rupa
Pengumpulan Data
Dengan menggunakan metode simulasi pasien yaitu interaksi
langsung dengan apoteker sebagai keluarga pasien. Karakteristik
apotek penelitian yang diperoleh dari lembar kuisioner.
Pengolahan Data
Editing, Coding, Entry Data, CleaningData
Analisis Data
Analisis univariat dengan program Microsoft Excel 2013
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di kecamatan Bekasi Selatan dan
Jatiasih wilayah Kota Bekasi. Alasan pemilihan Lokasi ini adalah
dikarenakan distribusi apotek terbanyak di wilayah tersebut.
4.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan Februari
2017 dan waktu pengumpulan data, pengolahan dan pembahasan
dilakukan pada bulan Januari – Juli 2018.
4.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian non-eksperimental. Ditinjau dari
metode, penelitian ini adalah penelitian jenis survei dimana peneliti tidak
melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel-
variabel yang diteliti dan menurut tingkat eksplanasi (penjelasan) penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif dimana penelitian yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau
lebih (independent) tanpa membuat perbandingan, atau penghubungan
dengan variabel yang lain (Siregar Syofian, 2013).
Sumber data dari penelitian ini adalah sumber data primer. Data primer
adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber
pertama atau tempat objek penelitian (Siregar Sofyan, 2013). Metode
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah berupa
wawancara terstruktur dan observasi dengan metode simulasi pasien.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan
berpedoman pada sebuah check list kemudian hasil wawancara diisikan pada
lembar check list dengan membubuhkan tanda (check) yang berarti bernilai
satu pada kolom yang sesuai dan observasi yang dilakukan berupa pegamatan
langsung terhadap kondisi lingkungan objek penelitian (Siregar Sofyan,
2013).
4.3.1. Metode Simulasi Pasien
Dalam penelitian ini, menggunakan metode survei non-
tradisional yang telah diadopsi (yaitu, metode pasien simulasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan pasien/customer rahasia). Metode ini juga sederhana dan
merupakan metode untuk menilai praktek dispensing apoteker
masyarakat. Metode pasien simulasi, yang juga dijelaskan dalam
literatur sebagai teknik customer misterius, dan merupakan metode
yang efektif dapat digunakan untuk mempelajari perspektif praktek dan
perilaku profesional. Metode ini telah diuji dan diterima untuk
digunakan dalam mengevaluasi perilaku apoteker masyarakat yang
profesional (Ibrahim, 2016)
Metode simulasi pasien yang digunakan adalah untuk
menentukan bagaimana apoteker masyarakat saat ini menyediakan
layanan konseling pasien. Metode ini telah digunakan secara ekstensif
di apotek berbasis praktek penelitian. (Alaqeel and Abanmy, 2015).
4.4. Populasi dan Sampel
4.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh apotek yang berada
di kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih wilayah Kota Bekasi.
Sedangkan populasi sasaran dari penelitian ini adalah Apoteker atau di
seluruh apotek yang berada di kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih
wilayah Kota tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Bekasi hingga tahun 2016 di dapat jumlah populasi Apotek di dua
kecamatan tersebut sebanyak 117 apotek. Dengan rincian sebagai
berikut :
a. Jumlah populasi apotek di kecamatan Bekasi Selatan adalah 83
apotek.
b. Jumlah populasi apotek di kecamatan Jatiasih adalah 34 apotek.
4.4.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah apotek yang terpilih dengan
simple random sampling dengan unit sampel (sasaran penelitian) adalah
apoteker dan petugas non apoteker.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Notoatmodjo (2005) untuk sampel yang jumlah
populasinya sudah diketahui, maka jumlah sampel dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
𝑛 =𝑁 . 𝑍𝛼² . 𝑝 . 𝑞
𝑑²(𝑁 − 1) + 𝑍𝛼² . 𝑝 . 𝑞
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi apotek
p = prevalensi kejadian sebesar 0,76
q = 1 - P
Zα2 = Nilai kurva normal yang tergantung dari α
(α = 5% maka Z = 1,96)
d = Toleransi kesalahan (10 %)
117 . 1,96² . 0,5 . (1 − 0,5)
0,1²(117 − 1) + 1,96 ². 0,5. (1 − 0,5)= 53
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi, diketahui
jumlah populasi yang ada pada dua kecamatan tersebut jumlahnya
sebanyak 117 Apotek, maka jumlah unit sampel Apotek dapat dihitung
dengan menggunakan rumus (Lwanga dan Lemeshow, 1991 dikutip
dari Jurnal umi athiyah et al., 2014)
Berdasarkan hasil perhitungan maka didapat hasil 45 apotek
sebagai jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini.
Apotek dengan unit sampel (sasaran penelitian) Apoteker. Sampel
apotek yang diambil pada setiap wilayah adalah:
1. Apotek di kecamatan Bekasi Selatan : 83
117× 53 = 38 Apotek
2. Apotek di kecamatan Jatiasih : 34
117× 53 = 15 Apotek
Setelah jumlah sampel ditetapkan pada tiap wilayah, kemudian
dilanjutkan dengan pengambilan sampel (Apotek) pada tiap kecamatan
secara random.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.5.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah persyaratan umum yang harus dipenuhi
oleh subyek penelitian atau populasi agar dapat diikut sertakan dalam
penelitian (Sudibyo, 2014).
1. Apotek yang terletak di kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih
wilayah Kota Bekasi.
2. Apotek yang memiliki surat izin resmi dan terdata di Dinas
Kesehatan Kota Bekasi.
3. Apotek yang masih beroperasi ketika dilakukan penelitian
4. Apotek yang terdapat apoteker ketika dilakukan penelitian
4.5.2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikut sertakan
dalam penelitian (Sudibyo, 2014).
1. Apotek yang berada di bawah naungan rumah sakit atau klinis.
2. Apotek yang stafnya mengetahui sedang berhadapan dengan
peneliti ketika dilakukan penelitian dengan metode simulasi
pasien.
4.6. Langkah Penelitian
4.6.1. Penelitian Pendahuluan
Sebelum dilakukan penelitian, dilakukan survei pendahuluan
terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya survei pendahuluan adalah untuk
memastikan jumlah pasti di wilayah Kota Bekasi. Penelitian
pendahuluan ini dilakukan pada bulan Februari 2017 dengan cara
meminta data apotek resmi yang sudah memiliki perizinan di wilayah
Kota Bekasi dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi Bidang Bangdiklat.
Kemudian dari Bidang Bangdiklat diteruskan ke Bidang Sumber Daya
Kesehatan Seksi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
4.6.2. Persetujuan Etik
Penelitian dengan menggunakan metode simulasi pasien ini
melibatkan pengamatan perilaku apoteker dan tidak mengganggu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perawatan pasien. Penelitian ini telah ditinjau dan disetujui oleh Komite
Etik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatulah
Jakarta. Informasi yang diperoleh adalah tercatat dalam sedemikian
rupa sehingga apoteker yang terlibat tidak dapat diidentifikasi dan
hasilnya dilaporkan dengan cara anonim. Hal ini untuk memastikan
bahwa setiap apoteker yang berpartisipasi tidak memiliki resiko atas
tanggung jawab pidana atau perdata, dan tidak merusak pekerjaan atau
reputasi mereka. (Alaqeel and Abanmy, 2015).
4.6.3. Perizinan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI)
Penelitian ini telah melakukan perizinan dari Ikatan Apoteker Indonesia
cabang Kota Bekasi sebagai organisasi profesi kefarmasian di
Indonesia yang memiliki wewenang dalam membina, menjaga dan
meningkatkan profesional-isme Apoteker sehingga mampu
menjalankan praktek kefarmasian secara bertanggung jawab.
4.6.4. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian adalah alat yang digunakan dalam
pengumpulan data penelitian, juga terkait dengan bahan penelitian
(Supardi, 2014). Instrumen dalam penelitian ini adalah :
a. Protokol Penelitian
Protokol penelitian ini adalah selama penelitian peneliti tidak
diperbolehkan menunjukkan check list saat mengajukan
pertanyaan dan peneliti tidak ikut serta membantu atau
menambahkan jawaban dari narasumber di Apotek. Hal ini
dilakukan agar jawaban yang didapatkan murni berasal dari
narasumber di Apotek. Peneliti harus bersikap objektif dalam
menggambarkan keadaan setiap Apotek dan Apoteker yang ada
di dalamnya. Peneliti juga dituntut untuk memberi perlakuan
yang sama pada setiap Apotek yang didatangi sehingga data yang
dihasilkan bersifat objektif.
Protokol penelitian berisi hal-hal yang harus dipatuhi atau
dilaksanakan pada saat peneliti berperan sebagai pasien atau
keluarga pasien seperti, menjawab pertanyaan dari staf apotek
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan singkat, menahan diri untuk tidak bertanya atau memulai
pertanyan dengan staf apotek (Svarstad et al, 2004).
Protokol penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Peneliti membuat dan mempelajari skenario.
2. Dilakukan training pada peneliti yang akan berperan sebagai
keluarga pasien. Training dilakukan dengan teman sesama
peneliti dan dosen pembimbing yang berperan sebagai staf
apotek, serta dilakukan kunjungan uji coba ke apotek (pilot
visit).
3. Peneliti sebelum melakukan kunjungan ke apotek harus
menandatangani pernyataan kerahasiaan.
4. Tanggal pada lembar resep diisi sendiri oleh peneliti, tanggal
yang ditulis adalah satu hari sebelum kunjungan ke apotek.
5. Sebelum melakukan kunjungan ke apotek peneliti harus
menyiapkan checklist, resep, daftar apotek yang akan
dikunjungi, dan uang untuk membayar obat yang akan dibeli.
6. Peneliti hanya menjawab pertanyaan terbuka yang diberikan
oleh staf apotek dengan singkat dan sopan sesuai dengan
pertanyaan yang diajukan serta sesuai skenario.
7. Peneliti hanya menjawab pertanyan tertutup yang diberikan
oleh staf apotek dengan jawaban ya atau tidak.
8. Peneliti tidak memberikan pertanyaan kepada staf apotek.
9. Peneliti bersifat pasif selama berinteraksi dengan staf apotek.
10. Peneliti menerima semua informasi baik secara lisan ataupun
tertulis oleh staf apotek.
11. Peneliti membayar secara tunai obat yang telah diberikan oleh
staf apotek.
12. Peneliti segera mengisikan informasi yang didapatkan dalam
check list yang sudah disiapkan setelah keluar dari apotek.
13. Peneliti akan mengambil obat setengah resep apabila harga
obat melebihi harga maksimal yaitu Rp 5.000,00 atau obat
tidak tersedia dan diganti dengan obat lain dengan kandungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bahan aktif yang sama dengan persetujuan peneliti terlebih
dahulu.
b. Resep
Resep yang akan digunakan dalam penelitian merupakan resep
yang sesuai dengan skenario dan merupakan resep asli yang
ditulis oleh dokter yang sudah bersedia terlibat dalam penelitian
serta bersedia mengisi surat pernyataan kesediaan (lampiran 2),
resep tersebut adalah sebagai berikut:
c. Skenario
Skenario dalam penelitian ini menempatkan peneliti sebagai
keluarga pasien yang ingin menebus obat antidiabetes untuk salah
satu keluarga peneliti yang terjangkit penyakit diabetes melitus.
Pasien diabetes melitus tersebut merupakan seorang wanita
berumur 40 tahun, baru terdiagnosis diabetes melitus tipe 2,
pasien ini memiliki keluhan berupa sakit maag. Dalam skenario
ini dipilih obat glibenklamid 5 mg untuk diresepkan pada pasien.
Skenario obat ini kemudian di tuliskan dalam resep. Resep yang
digunakan dalam penelitian ini adalah resep yang dituliskan oleh
dokter, dimana dokter menjadi pihak yang membantu dalam
melengkapi instrumen penelitian.
d. Check list
Check list yang digunakan dalam penelitian diambil dari jurnal
Profil Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan
Glibenklamid di Apotek Wilayah Surabaya yang dibuat Umi
Athiyah dkk (2014) karena mampu menggambarkan peran
apoteker dalam pemberian informasi obat, telah tervalidasi dan
sesuai garis besar informasi obat yang harus disampaikan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014.
4.6.5. Validasi Instrumen
Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian adalah validitas
rupa dan isi. Validitas isi ditentukan dari kesesuaian antara instrumen
yaitu check list dan skenario dengan tinjauan dari pustaka dan variabel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang ingin diteliti. Instrumen penelitian dikatakan valid karena telah
sesuai dengan acuan Peraturan MenteriKesehatan Republik Indonesia
No.35 tahun 2014 dan mampu mengiterpretasikan hal-hal yang ingin
dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian. Validitas rupa menunjukkan
apakah alat pengukur/instrumen penelitian dari segi rupanya mampu
mengukur apa yang ingin di ukur, validitas ini lebih mengacu pada
bentuk dan penampilan instrument. Menurut Djamaludin Ancok
validitas rupa amat penting dalan pengukuran kemampuan individu
seperti pengukuran kejujuran, kecerdasan, bakat dan keterampilan
(Siregar Syofian, 2013). Metode simulasi pasien memiliki validitas
rupa bila penyedia layanan kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi
keluarga pasien (Watson et .al, 2004 dikutip dari jurnal Umi Athiyah,
2014). Validitas dalam penelitian ini sangat bergantung pada
kemampuan dari peneliti sebagai bagian dari simulasi pasien diamana
poisi peneliti sebagai keluarga pasien. Untuk memastikan kemampuan
pasien cukup maka dilakukan pilot atau uji coba langsung pada suatu
apotek (Watson et.al, 2006 dikutip dari Umi Athiyah, 2014). Validitas
penelitian ini ditingkatkan dengan penggunaan alat perekam dalam
melakukan pengumpulan data, sehingga kemungkinan kehilangan
informasi menjadi berkurang (Madden et.al, 1997 dikutip dari umi
athiyah et al., 2014)
4.6.6. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
dengan metode simulasi pasien dan teknik observasi. Wawancara
dilakukan dengan cara berinteraksi langsung dengan apoteker atau
petugas Apotek di Apotek terpilih. Metode simulasi pasien ini
digunakan untuk mempelajari perilaku penyedia layanan kesehatan
untuk meminimalkan bias karena pengamatan (Madden et al, 1997
dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Tujuannya adalah untuk menguji
perilaku tertentu dari apoteker atau petugas apotek (Watson et.al, 2006
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Observasi pada penelitian ini
dilakukan dengan mengamati keadaan Apotek dalam segi sarana,
pemberian pelayanan dan pelaksanaan pelayanan.
Dalam metode ini peneliti memposisikan diri sebagai keluarga
pasien yang menebus obat dengan membawa resep obat antidiabetes.
Peneliti akan menyerahkan resep kepada petugas Apotek kemudian
mengajukan pertanyaan sesuai check list yang telah dipersiapkan
sebelumnya namun tanpa menunjukkan check list tersebut dan setiap
jawaban dicatat dalam check list. Pencatatan dilakukan saat peneliti
keluar dari Apotek dengan tujuan mencegah kecurigaan
Apoteker/petugas Apotek tentang adanya simulasi pasien.
Selama pengajuan pertanyaan ini peneliti dituntut memiliki
kemampuan dan keahlian dalam mengajukan pertanyaan sehingga tidak
menimbulkan kecurigaan pada pihak Apotek sehingga jawaban yang di
dapat merupakan jawaban yang menggambarkan keadaan sebenarnya.
4.6.7. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah upaya mengolah data yang dikumpulkan
menjadi informasi yang yang dibutuhkan. Proses pengolahan data
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1) Editing
Editing adalah pemeriksaan atau koreksi data kembali kelengkapan
jawaban responden pada kuisioner yang mencakup kelengkapan
jawaban, relevansi dan konsistensi jawaban, dan sebagainya.
2) Coding
Coding adalah kegiatan mengubah data berbentuk huruf pada
kuisioner menjadi bentu angka dalam upaya memudahkan
pengolahan atau analisis data di komputer.
3) Entry data
Entry data adalah pengetikan kode angka ke dalam program
pengolahan data.
4) Cleaning data
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Cleaning data adalah pemeriksaan kembali data hasil entry data
pada komputer agar terhindar dari ketidaksesuaian antara data
komputer dengan koding kuisioner
4.6.8. Analisis Data
Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis
univariat. Analisis univariat merupakan analisis jenis variabel yang
dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara
ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007). Analisis data
dilakukan dengan menggunakan program Microsoft excel 2007. Data
disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.
Analisis yang dilakukan meliputi:
1. Kehadiran Apoteker di tempat kerja (apotek).
2. Gambaran pemberi pelayanan farmasi klinis di Apotek.
3. Gambaran pelaksanaan pelayanan farmasi klinis di Apotek.
4. Gambaran kualitas pelayanan farmasi klinis ditinjau dari
pemberian informasi obat dan konseling terhadap resep
antidiabetes di Apotek
Analisis yang dilakukan didasarkan dari hasil wawancara
langsung menggunakan check list dengan skala guttman dan observasi
di Apotek. Skala Guttman digolongkan sebagai skala yang berdimensi
tunggal yaitu skala yang menghasilkan kumulatif jawaban yang butir
soalnya berkaitan satu dengan yang lain. Skala ini bersifat tegas karena
setiap jawaban dari pertanyaan yang ada di check list diberi skor 0 untuk
jawaban tidak dan 1 untuk jawaban ya (Windiyani Tustiyana, 2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan
kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut
untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat
melaksanankan interaksi langsung dengan pasien.
Salah satu pelayanan kefarmasian adalah pelayanan farmasi klinis di Apotek
yang meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO),
konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care), pemantauan
terapi obat (PTO) dan monitoring efek samping obat (MESO). Namun dalam
penelitian ini hanya dilakukan survei dengan melakukan wawancara terstruktur dan
observasi dengan metode simulasi pasien untuk melihat dan mendeskripsikan
pelayanan farmasi klinis berupa kesesuaian penyerahan obat dengan resep,
pemberian informasi obat terhadap resep antidiabetes dan konseling. Diabetes
sendiri merupakan penyakit yang disebakan oleh tingginya kadar gula darah akibat
gangguan pada pankreas dan insulin. Di Indonesia, data Riskesdas menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan prevalensi Diabetes di Indonesia dari 5,7% tahun 2007
menjadi 6,9% atau sekitar sekitar 9,1 juta pada tahun 2013. Data International
Diabetes Federation tahun 2015 menyatakan jumlah estimasi penyandang
Diabetes di Indonesia diperkirakan sebesar 10 juta. Khususnya di Kota Bekasi
sendiri, prevalensi diabetes pasien rawat jalan pada tahun 2012 sebesar 1,1% (Profil
Kesehatan Kota Bekasi, 2014). Kelebihan dari metode simulasi pasien ini adalah
hasil data yang didapatkan lebih objektif, mampu menggambarkan keadaan nyata
dan sebenarnya karena minimnya bias yang terjadi akibat pengamatan.
Kota Bekasi merupakan salah satu pusat kawasan perindustrian dan
perdagangan terbesar di Jawa Barat yang juga berbatasan langsung dengan DKI
Jakarta, Kota Depok dan Kabupaten Bogor. Kota ini memiliki 12 kecamatan dan
151 kelurahan dengan jumlah penduduk ≥ 2,2 juta jiwa pada tahun 2016.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Dinas Kesehatan Kota Bekasi, jumlah seluruh apotek di Kota Bekasi
pada tahun 2016 adalah 495 apotek. Penelitian hanya dilakukan pada dua
kecamatan yaitu Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan. Distribusi apotek terbesar
berada di Kecamatan Bekasi Selatan sebanyak 83 apotek dan Kecamatan Jatiasih
sebanyak 34 apotek. Jumlah keseluruhan populasi apotek yang terdapat di
Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan adalah sebanyak 117 apotek. Dari 117
apotek tersebut dilakukan sampling menggunakan rumus Issac dan Michael dan
didapatkan hasil sampling sebanyak 53 apotek dengan rincian yaitu apotek
Kecamatan Jatiasih 15 apotek dan apotek Kecamatan Bekasi Selatan 38 apotek.
Data Pemerintah Daerah Kota Bekasi pada tahun 2013 menunjukkan jumlah
penduduk di Kecamatan Bekasi Selatan 198.317 jiwa dan jumlah penduduk di
Kecamatan Jatiasih 169.289 jiwa. Apabila dianalogikan satu apotek memiliki 1
apoteker, dan hal ini digunakan sebagai indikator pelayanan apotek, maka akses
pelayanan dapat dihitung dengan rasio apoteker terhadap 100.000 penduduk.
Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui apakah jumlah apoteker terhadap
100.000 penduduk sudah memadai sesuai standar yang dibutuhkan oleh kementrian
kesehatan (12:100.000) dan WHO (50:100.000) (Adelina, BR, 2009). Rasio standar
yang dirumuskan oleh kementrian kesehatan tersebut dapat juga diidentikkan
dengan setiap apotek melayani 83.333 atau 1:83.333, sementara standar WHO
identik dengan pengertian bahwa setiap apotek melayani 2.000 atau 1:2000
(Sukamdi, Dyani Primasari, 2015). Rasio apotek terhadap jumlah penduduk di
Kecamatan Bekasi Selatan adalah 1:2.389 dan di Kecamatan Jatiasih 1:4.979. Data
tersebut menggambarkan bahwa rasio Apotek terhadap jumlah penduduk di
Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan sudah sesuai standar Kementerian
Kesehatan namun belum sesuai dengan standar WHO.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1. Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Jatiasih dan
Kecamatan Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data tentang
frekuensi kehadiran apoteker dari tenaga kefarmasian yang berada di Apotek
selama penelitian, baik Apoteker atau petugas apotek lain (non apoteker).
Perhitungan data ini dapat dilihat secara detail pada lampiran 5.
1. Kecamatan Jatiasih
Pada saat penelitian berlangsung, 10 dari 15 apotek di Kecamatan
Jatiasih yang memberikan pelayanan kefarmasian adalah Apoteker.
Sedangkan sisanya sebanyak 5 apotek yang memberikan pelayanan
kefarmasian adalah petugas apotek. Dari data yang didapatkan, maka
dilakukan perhitungan rata-rata persentase kehadiran Apoteker
berdasarkan dari skor yang telah ditentukan.
Tabel 5.1. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker
a. Frekuensi kehadiran Apoteker berdasarkan Apoteker yang
memberikan pelayanan kefarmasian
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 6 4 0 0 0 0
b. Frekuensi kehadiran Apoteker berdasarkan Petugas Apotek yang
memberikan pelayanan kefarmasian
c. Rata-rata persentase frekuensi kehadiran Apoteker di Kecamatan
Jatiasih
Kegiatan Skor Kehadiran
5 4 3 2 1 0
74,66% Frekuensi Kehadiran Apoteker 6 5 2 0 0 2
Total 40% 26,6% 8% - - 0%
Kategori Sedang
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 0 1 2 0 0 2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Kecamatan Bekasi Selatan
Pada saat penelitian berlangsung, 21 dari 38 apotek di Kecamatan
Jatiasih yang memberikan pelayanan kefarmasian adalah Apoteker.
Sedangkan sisanya sebanyak 17 apotek yang memberikan pelayanan
kefarmasian adalah petugas apotek. Dari data yang didapatkan, maka
dilakukan perhitungan rata-rata persentase kehadiran Apoteker berdasarkan
dari skor yang telah ditentukan. Perhitungan ini dapat dilihat secara detail
pada lampiran 5.
Tabel 5.1. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker
a. Frekuensi kehadiran Apoteker berdasarkan Apoteker yang memberikan
pelayanan kefarmasian
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 12 9 0 0 0 0
b. Frekuensi kehadiran Apoteker berdasarkan Petugas Apotek yang
memberikan pelayanan kefarmasian
c. Rata-rata persentase frekuensi kehadiran Apoteker di Kecamatan Bekasi
Selatan
Kegiatan Skor Kehadiran
5 4 3 2 1 0
70,52% Frekuensi Kehadiran
Apoteker 12 12 6 4 0 4
Total 31,57% 25,26% 9,47% 4,21% - 0%
Kategori Sedang
Keterangan :
a. Skor 5 : Apoteker hadir setiap hari, pagi sampai sore
b. Skor 4 : Apoteker hadir setiap hari, tapi tak bisa ditentukan
c. Skor 3 : Apoteker hadir 1 kali seminggu
d. Skor 2 : Apoteker hadir 2 kali seminggu
e. Skor 1 : Apoteker hadir 3 minggu sekali
f. Skor 0 : Tidak bisa ditentukan
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006) :
a) 90%-100% = amat baik
b) 80%-90% = baik
c) 70%-80% = sedang
d) 60%-70% = kurang baik
e) <60% = buruk
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 0 3 6 4 0 4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel di atas menjelaskan kehadiran Apoteker yang dinilai saat
apoteker yang memberikan pelayanan farmasi klinis secara langsung. Saat
penelitian berlangsung, kehadiran Apoteker terlihat dari penggunaan jas
apoteker dan label nama serta profesi apoteker tersebut. Sedangkan apabila
yang melayani petugas apotek (non apoteker) akan dikonfirmasi kehadiran
apoteker dengan bertanya kepada petugas apotek (non apoteker) dan
menanyakan berapa kali apoteker hadir di apotek tersebut. Dalam tabel
tersebut dijelaskan bahwa rata-rata persentase kehadiran Apoteker di Apotek
wilayah Kecamatan Jatiasih adalah 74,66% dan Apotek wilayah Kecamatan
Bekasi Selatan adalah 70,52% dan hasil tersebut dapat dikategorikan sedang.
Pengkategorian mengacu pada penelitian Harianti dkk (Harianto, Angki
Purwati, 2006).
Kewajiban kehadiran apoteker di apotek telah dijelaskan pada PP 25
tahun 1980 yang menyatakan bahwa salah satu tugas/fungsi apotek adalah
tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan, oleh karena itu apoteker yang tidak hadir pada jam buka
apotek telah melanggar peraturan tersebut. Sanksi terhadap APA yang tidak
hadir di apotek telah diatur dalam PP nomor 1332/MENKES/SK/X/2002
1332/MENKES/SK/X/2002 dan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Dalam pasal 19 ayat 2 dinyatakan bahwa
apabila Apoteker Pengelola Apotek, berhalangan melakukan tugasnya lebih
dari 2 (dua) tahun secara terus-menerus, Surat Izin Apotek atas nama
Apoteker bersangkutan dicabut. Dalam pasal 26 dari PP tersebut dijelaskan
mengenai pelaksanaan pencabutan izin apotek.
Ketidakhadiran Apoteker pada saat jam kerja atau pada saat operasional
apotek berlangsung merupakan pelanggaran ketenagakerjaan. Jam Kerja,
waktu Istirahat kerja, waktu lembur diatur khususnya dalam pasal 77 sampai
pasal 85 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk
karyawan yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam
dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Sedangkan untuk karyawan dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari
dan 40 jam dalam 1 minggu. Dalam penerapannya, terdapat pekerjaan yang
dijalankan terus-menerus yang dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke
dalam shift-shift. Menurut Kepmenakertrans No.233/Men/2003, yang
dimaksud dengan pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus disini
adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau
dijalankan secara terus menerus atau dalam keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha. Contoh-contoh pekerjaan
yang jenis dan sifatnya harus dilakukan terus menerus adalah : pekerjaan
bidang jasa kesehatan, pariwisata, transportasi, pos dan telekomunikasi,
penyediaan listrik, pusat perbelanjaan, media massa, pengamanan dan lain
lain yang diatur dalam Kep.233/Men/2003 pasal 2.
Kehadiran Apoteker ini akan mempengaruhi pelayanan farmasi klinis
di Apotek karena syarat utama pelayanan farmasi klinis di Apotek dapat
berjalan adalah adanya kehadiran Apoteker di Apotek selaku pelaksana
pelayanan farmasi klinis dan tugas ini tidak dapat dialihkan kepada petugas
Apotek yang lain termasuk Asisten apoteker. Dalam penelitian Rendy Ricky
Kwando dijelaskan bahwa frekuensi kehadiran Apoteker di tempat kerja
berkorelasi dengan pelayanan kefarmasian (Kwando, 2014). Semakin tinggi
frekuensi kehadiran Apoteker di tempat kerja maka pelaksanaan pelayanan
kefarmasian akan semakin meningkat. Peningkatan pelayanan kefarmasian
akan menyebabkan peningkatan daya saing Apotek terutama dalam menarik
pelanggan. Hal ini sesuai dengan penelitian Erlin Aurelia bahwa konsumen
akan berlangganan di Apotek bila Apotek tersebut dapat memberi kepuasan
dalam segi pelayanan dan harga obat (Aurelia, 2013). Peningkatan pelanggan
di Apotek akan menyebabkan peningkatan pendapatan Apotek sehingga
gaji/upah Apoteker lebih meningkat. Peningkatan upah kerja ini akan mampu
meningkatkan kehadiran Apoteker di Apotek hal tersebut sesuai dengan
penelitian Erik Darmasaputra yang menyatakan salah satu alasan utama
ketidakhadiran Apoteker di Apotek adalah masalah upah/gaji Apoteker
(Darmasaputra, 2014). Dari pemaparan tersebut maka jelas tergambarkan
bahwa ada hubungan sebab akibat antara kehadiran Apoteker terhadap
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pelayanan klinis, pelayanan klinis terhadap kepuasan pelanggan dan
kepuasan pelanggan terhadap peningkatan upah Apoteker.
Karena pelaksanaan pelayanan klinis ini tidak bisa dialihkan kepada
pihak lain selain Apoteker maka Apoteker Pengelola Apotek (APA) wajib
mengangkat seorang Apoteker pendamping untuk membatu pelaksanaan
kefarmasian di Apotek terutama saat APA tidak dapat hadir di Apotek. Hal
tersebut sesuai telah dijelaskan dalam PP No.51 tahun 2009 pasal 24 tentang
keharusan Apoteker mengangkat seorang Apoteker pendamping dalam
membantu pelaksanaan pekerjaan kefarmasian.
5.2. Gambaran Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek Kecamatan
Jatiasih dan Kecamatan Bekasi Selatan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh rincian data
yang dapat menggambarakan petugas apotek yang berperan sebagai pemberi
pelayanan farmasi klinis di Apotek,dilihat pada gambar berikut ini : (Untuk
perhitungan data dapat dilihat secara detail pada lampiran 6)
Pemberi pelayanan farmasi klinis di Apotek tidak seluruhnya dilakukan
oleh Apoteker. Hal ini dapat dilihat dari grafik distribusi pemberi pelayanan
farmasi klinis di Apotek. Di mana grafik tersebut menggambarkan bahwa
pemberi pelayanan farmasi klinis di apotek wilayah kecamatan Jatiasih 66,7%
0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
100.00%
Kecamatan
Jatiasih
Kecamatan
Bekasi
Selatan
Apoteker
Petugas Apotek (non apoteker)
Apoteker dan Petugas Apotek
(non apoteker)
Gambar 5.3. Gambaran Distribusi Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek
66,7%
33,3%
0%
50% 45%
5%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan oleh Apoteker dan 33,3% dilakukan oleh petugas apotek lain (non
apoteker) sedangkan di apotek kecamatan Bekasi Selatan 50% dilakukan oleh
Apoteker, 45% dilakukan oleh petugas apotek lain (non apoteker) dan 5%
dilakukan oleh Apoteker dan Petugas apotek secara bersamaan. Pelayanan
farmasi klinis yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Apoteker ini serupa
dengan hasil penelitian Erlin Aurelia yang menyatakan bahwa yang biasanya
melayani pasien atau pelanggan di Apotek adalah Asisten apoteker (48,12%),
diikuti pegawai apotek (28,30%), baru kemudian Apoteker (13,21%)
(Aurelia, 2013).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saat Apoteker tidak
berada di Apotek secara otomatis pelayanan farmasi klinis diambil alih oleh
petugas apotek (non Apoteker). Suasana Apotek yang cenderung ramai tanpa
diimbangi tenaga kefarmasian yang memadai juga mempengaruhi tidak
terpenuhinya peran Apoteker sebagai pemberi pelayanan farmasi klinis di
Apotek. Beberapa apotek yang memberikan pelayanan farmasi klinis adalah
seorang petugas apotek (non apoteker), padahal di apotek tersebut sebenarnya
Apotekernya hadir namun tidak memberikan pelayanan terhadap pasien atau
pelanggan.
Hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran dalam
pelaksanaan pelayanan farmasi klinis sekaligus pelanggaran yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemenuhan tugasnya di Apotek. Hal tersebut sesuai
dengan pembahasan peraturan kewajiban apoteker dalam memberikan
informasi obat oleh Sri Yustina Hartini bahwa pelayanan informasi obat
merupakan salah satu bentuk pelayanan farmasi klinis di Apotek (Hartini,
2009). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa dalam UU No.23 tahun
1992 tentang kesehatan pada penjelasan pasal 53, UU No.8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen pasal 7, PP No.32 tahun 1996 tentang tenaga
kesehatan pasal 22, Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 15 ayat 4 dan
Kepmenkes No.1027 thn 2004. Sanksi terhadap tidak dilaksanakannya
pemberian informasi obat diatur dalam PP No.32 tahun 1996 pasal 35 yakni
dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Masing-
masing peran Apoteker dan petugas apotek lain seperti Asisten Apoteker
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam pelayanan farmasi klinis telah dijelaskan dalam peraturan. Salah
satunya adalah Permenkes Republik Indonesia Nomor
376/MENKES/PER/V/2009 tentang petunjuk teknis jabaran fungsional
Asisten apoteker dan angka kreditnya yang menjelaskan bahwa tugas Asisten
apoteker sebatas menyiapkan hal-hal yang diperlukan dalam kegiatan
pelayanan farmasi klinis dan bertugas dalam menyiapkan obat. Sedangkan
pemberi pelayanan farmasi klinis adalah tugas Apoteker, hal ini diperkuat
oleh Permenkes Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang menjelaskan
bahwa Apotekerlah yang wajib berkomunikasi dengan pasien dan
memberikan informasi obat pada pasien.
Mendapatkan pelayanan farmasi klinis berupa pemberian informasi
obat dari Apoteker merupakan suatu hak dari pasien. Namun sepertinya hak
tersebut tidak sepenuhnya disadari oleh pasien karena berdasarkan hasil
pengamatan peneliti di Apotek saat penelitian tidak ditemukan pasien lain
yang meminta pelayanan serupa dengan peneliti lakukan kepada pihak
Apoteker. Kemungkinan masih kurangnya eksistensi Apoteker sebagai
tenaga kesehatan yang dapat dijadikan narasumber dalam setiap permasalah
obat masih kurang, hal tersebut dipertegas oleh penelitian Arhayani yang
menyatakan 2,81% saja pengunjung Apotek yang menjadikan Apoteker
sebagai sumber informasi obat (Arhayani, 2007). Oleh sebab itu diperlukan
sarana penunjang eksistensi Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dapat
diandalkan. Berdasarkan hasil rapat kerja nasional pertama IAI tahun
kepengurusan 2014-2018 di Novortel, Jakarta salah satu sarana yang mampu
menunjang peran Apoteker adalah pemasangan papan praktik apoteker dan
penggunaan jas praktik selama jam kerja di Apotek (Anwar Firdaus, 2014).
5.3. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek
Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan
Pelaksanaan pelayanan farmasi klinis di Apotek yang dibahas dalam
penelitian ini mencakup pemberian informasi obat dan konseling.
Pelaksanaan pelayanan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014.. Berikut adalah pemaparan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan.
5.3.1. Gambaran Pelaksanaan Pemberian Obat dan Jenis yang
jumlahnya sama sesuai dengan Resep di Apotek Kecamatan
Jatiasih dan Bekasi Selatan
Salah satu pelayanan farmasi klinis di Apotek adalah kegiatan
dispensing. Dalam penelitian ini peneliti menganalisis kegiatan
dispensing dalam segi kesesuaian obat yang diberikan oleh pihak
Apotek dengan obat yang tertera dalam resep baik dari segi jenis dan
jumlah. Berikut grafik dari hasil penelitian yang telah dilakukan
(untuk melihat perhitungan data secara detail dapat dilihat pada
lampiran 7.
Resep yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua
jenis obat dalam satu resep, yaitu obat metformin untuk antidiabetes
dan obat simetidin untuk gangguan pencernaan (maag). Dari 60%
penyerahan obat yg sesuai, 5,6% obat simetidin diganti menjadi
ranitidin dan 1,9% obat simetidin diganti menjadi omeprazole. Dan
penyerahan obat tidak sesuai dengan resep sebanyak 40%, di mana
obat yang diberikan hanya metformmin dan simetidin tidak tersedia
di apotek tersebut. Dari 40% penyerahan obat tidak sesuai dengan
resep, 15,5% resep diberi keterangan “det/detur” untuk obat yang
telah diserahkan dan 24,5% tidak diberi keterangan “ne det/ne detur”
untuk obat yang belum diserahkan.
60%
40%Penyerahan obatsesuai dengan resep
Penyerahan obat tidaksesuai dengan resep
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa 5,6% Apotek tidak
melakukan dispensing sesuai dengan resep, di mana Apoteker
sebagai pemberi pelayanan mengganti obat simetidin generik
menjadi ranitidin generik dan mengganti simetidin menjadi
omeprazole pada apotek wilayah Kecamatan Bekasi Selatan.Dari
hasil tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Apoteker dan
petugas apotek (non apoteker) masih melakukan pelanggaran dalam
kegiatan dispensing obat.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak semua apotek
yang dikunjungi saat survei penelitian berlangsung memiliki
ketersediaan obat-obatan yang lengkap. Hal ini menjadikan
Penggantian obat generik ke obat paten akan menyebabkan
penambahan beban biaya pasien dalam menebus obat. Ketiga kasus
penggantian obat tersebut pada umumnya dilakukan tanpa
persetujuan peneliti sebagai pelanggan Apotek. Penggantian obat
dalam resep tanpa sepengetahuan pasien ini sendiri merupakan
bentuk penyimpangan terhadap PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan
kefarmasian pasal 24 yang berbunyi bahwa mengganti obat merek
dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat
merek dagang lain harus atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
Karena penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang
sama dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien
yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat membeli obat
dengan mutu yang baik.
5.3.2. Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek Kecamatan
Jatiasih dan Bekasi Selatan
Pemberian informasi obat merupakan bagian dari isi
pembahasan dalam kegiatan konseling oleh sebab itu Apoteker yang
telah memberikan pelayanan informasi obat berarti telah
melaksanakan kegiatan konseling begitu juga dengan petugas apotek
(non apoteker) yang telah melaksanakan pelayanan informasi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Idealnya, dalam kegiatan konseling ini Apoteker selaku pihak yang
wajib menjadi pelaksana pelayanan dituntut untuk berperan aktif
untuk memberikan saran, nasihat dan edukasi berkaitan dengan
pengobatan pasien agar pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan pasien dapat meningkat.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
35 tahun 2014 dijelaskan tentang kriteria yang diharuskan
mendapatkan pelayanan konseling ini, salah satunya adalah pasien
dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus. Peneliti yang
berperan sebagai keluarga pasien simulasi yang mengalami diabetes
melitus berarti seharusnya mendapatkan pelayanan ini sehingga
tanpa diminta seharusnya Apoteker secara aktif memberikan
pelayanan konseling. Secara ideal kegiatan konseling ini memiliki 5
tahapan dalam kegiatannya. Namun berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan tahapan konseling tersebut belum dilaksanakan
secara keseluruhan oleh Apoteker sedangkan petugas apotek (non
apoteker) tidak melakukan satupun tahapan konseling. Hal tersebut
ditunjukkan oleh gambar di bawah ini (perhitungan data dapat dilihat
secara detail pada lampiran 8):
Gambar 5.5. GambaranTahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker
dan Non Apoteker
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
100%
40% 43,33%
0% 0%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan :
a. Tahap 1 : membuka komunikasi dengan pasien
b. Tahap 2 : menilai pemahaman tentang penggunaan obat
c. Tahap 3 : menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat
d. Tahap 4 : memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan obat
e. Tahap 5 : melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Dari grafik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian
Apoteker melaksanakan beberapa tahapan konseling. Hal ini tepat
dilakukan karena pelaksanaan pelayanan farmasi klinis merupakan
tugas dari Apoteker. Sedangkan petugas apotek (non apoteker) sama
sekali tidak melanjutkan pelayanan farmasi klinis berupa konseling.
Asisten apoteker dalam penelitian ini sebatas menjawab pertanyaan
peneliti dan tidak melakukan analisa lebih lanjut terhadap keadaan
pasien. Hal ini dianggap wajar karena tugas pelaksanaan konseling
ini bukan bagian dari petugas apotek yang lain.Dalam penelitian
yang dilakukan, didapatkan hasil tahap 1 yaitu membuka
komunikasi dengan pasien sebesar 100%. Di mana di dalam tahap 1
pun yang dilakukan oleh apoteker hanyalah menanyakan apa yang
bisa dibantu dan identitas pasien atau pelanggan. Menurut Pedoman
Konseling (2007), tahap 1 yang dilakukan adalah pembukaan.
Pembukaan konseling yang baik antara apoteker dan pasien dapat
menciptakan hubungan yang baik, sehingga pasien akan merasa
percaya untuk memberikan informasi kepada Apoteker. Apoteker
harus memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum memulai sesi
konseling. Selain itu apoteker harus mengetahui identitas pasien
(terutama nama) sehingga pasien merasa lebih dihargai. Karena
hubungan yang baik antara apoteker dan pasien dapat menghasilkan
pembicaraan yang menyenangkan dan tidak kaku. Tahap 2 dalam
konseling yaitu Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan
Obat melalui Three Prime Questions. Pada tahap ini tidak ada satupun
Apoteker yang menggali pemahaman pasien/pelanggan mengenai obat
yang diberikan oleh dokter melalui Three Prime Question. Selanjutnya
tahap 3 yaitu menggali pasien/pelanggan lebih lanjut tentang masalah
penggunaan obat. Pada tahap ini pun tidak ada satu pun apoteker yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bertanya mengenai riwayat pengobatan pasien yang pernah dijalani.
Kemudian lanjut pada tahap 4 yaitu memberikan penjelasan kepada
pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat. Pada tahap ini,
sebanyak 40% Apoteker memberikan penjelasan tentang penggunaan
obat. Penjelasan tersebut pun rata-rata hanya pemberian informasi yang
mencakup tentang nama obat, indikasi, waktu penggunaan dan jumlah
frekuensi penggunaan serta jumlah obat sekali minum. Pemberian
informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh Apoteker karena
melalui pemberian informasi obat, Apoteker dapat meminimalisasi
terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada
saat pasien mengonsumsi obat. Pada tahap 5, hanya 43,33% apoteker
maupun petugas apotek yang menutup pelayanan dengan baik dan
beberapa menanyakan apakah ada informasi yang kurang jelas.
Semua Apoteker yang berinteraksi dengan peneliti tidak
berperan aktif untuk membuka komunikasi dengan peneliti sebagai
pelanggan. Salah satu kegiatan dalam konseling adalah pemberian
informasi obat. Peneliti dalam hal ini sebagai pelanggan Apotek
menjadi pasif dalam menggali informasi obat yang diperlukan
kepada Apoteker. Dan Apoteker tersebut tidak menawarkan
pemberian pelayanan konseling. Hal ini berarti menggambarkan
bahwa bila peneliti sebagai pelanggan Apotek tidak meminta
pelayanan konseling kepada petugas Apotek baik Apoteker atau
petugas apotek (non Apoteker), maka peneliti tidak akan
mendapatkan pelayanan tersebut. Hasil penggambaran tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Arhayani yang menunjukkan bahwa
6,17% pengunjung Apotek yang memperoleh pelayanan informasi,
dan 62,7% tidak pernah menerima pelayanan informasi obat di
Apotek yang dimana sebagian besar pengunjung Apotek (95%)
membutuhkan pelayanan tersebut dan baru sebagian kecil yang
meminta pelayanan informasi obat (Arhayani, 2007).
Ketidak-idealan pemenuhan pelayanan farmasi klinis di
Apotek dalam segi pelayanan informasi obat dan konseling ini
berarti menggambarkan bahwa pelayanan farmasi klinis di Apotek
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berpusat pada pasien (patient oriented) belum terlaksana di
Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan. Keadaan ini sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rini Sasanti Handayani dkk
yang menyatakan bahwa semua Apotek yang disurvei wilayah
Jakarta, Yogyakarta dan Makassar belum memprioritaskan
pelayanan kefarmasian dengan pendekatan personal kepada pasien
(masih berorientasi pada obat) atau pelayanan dengan pendekatan
personal kepada pasien belum dikenal masyarakat (Handayani,
Gitawati, & Muktiningsih, 2006).
Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan, kegiatan
konseling di tiap Apotek tidak dilakukan di tempat khusus,
melainkan dilakukan di tempat etalase jual beli di Apotek. Padahal
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35
tahun 2014 dinyatakan bahwa setiap Apotek wajib mempunyai
ruang khusus konseling yang tertutup yang dilengkapi dengan meja
dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. hal
ini dilakukan untuk menjaga privasi dari pasien dan menghindarkan
dari gangguan yang dapat menurunkan keefektifan kegiatan
konseling.
Pelayanan farmasi klinis berupa pelayanan konseling tidak
dijalankan di Apotek bisa dikarenakan kemampuan apoteker dalam
segi pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi yang masih
kurang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Rini Sasanti
Handayani yang menyatakan bahwa pengetahuan Apoteker di
Apotek mengenai obat untuk penyakit kronik terbatas hanya
meliputi nama obat dan indikasinya saja sedangkan Apoteker yang
bekerja di rumah sakit lebih baik pengetahuannya di bidang
farmakologi/farmakokinetik (Handayani et al., 2006).
Pelayanan konseling yang tidak dijalankan dalam suatu
Apotek juga dapat berkaitan dengan kemampuan Apoteker dalam
melayani pasien atau pelanggan. Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan, diperoleh gambaran bahwa setiap Apotek yang pelayanan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
farmasi klinisnya dilakukan oleh Apoteker umumnya hanya bekerja
sendiri tanpa adanya Apoteker pendamping. Berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan
bahwa waktu kerja adalah 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam
1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Berdasarkan peraturan tersebut maka kemampuan tenaga apoteker
dalam bekerja terbatas. Agar pelayanan farmasi klinis di Apotek
dapat terlaksana baik dalam keadaan ramai ataupun dalam keadaan
APA tidak dapat melaksanakan tugasnya di Apotek maka diperlukan
Apoteker pendamping agar Apoteker jumlahnya lebih dari satu di
setiap Apotek.
Pelayanan farmasi klinis di Apotek berupa pelayanan
informasi obat dan konseling penting dilakukan terutama terhadap
penyakit kronis seperti diabetes melitus. Pasien yang diberi
konseling akan lebih mengetahui bahaya dari penyakitnya dan
mengetahui pentingnya ketepatan dalam penggunaan obat terhadap
penyakitnya. Pengetahuan yang lebih dalam dari pasien tentang
bahaya penyakitnya dapat meningkatkan kepedulian pasien untuk
menjaga pola hidup yang sehat, pola penggunaan obat sesuai dengan
ketentuan yang telah diinformasikan apoteker dan kepatuhannya
dalam pengobatan dapat meningkat. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Andriani Sesilia Keban dkk yang
menunjukkan bahwa peran Apoteker terhadap konseling
berpengaruh pada pasien DM sehingga meningkatkan kepatuhan
dalam pengobatan sehingga gula darah pasien menjadi lebih
terkontrol. Hal tersebut dibuktikan secara klinis dengan meninjau
penurunan HbA1C terhadap responden yang diberi konseling
dibanding dengan responden yang tidak diberi konseling (Keban &
Purnomo, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.4. Gambaran Kualitas Pelayanan farmasi klinis Apotek di Kecamatan
Jatiasih dan Bekasi Selatan
Pemberian informasi obat yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien
terutama kepada pasien penyakit kronis seperti diabetes melitus sangatlah
penting. Hal tersebut berhubungan dengan sifat penyakitnya, sifat penyakit
diabetes melitus ini seumur hidup (lifelong disease), resiko komplikasi tinggi
dan pembiayaan juga tinggi, di mana hal tersebut telah dinyatakan dalam
International Diabetes Federation (IDF) (2011). Maka peran Apoteker dalam
pemberian informasi obat yang relevan dengan kebutuhan pasien dan
berkualitas merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah atau
mengatasi komplikasi yang terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat dan
pembiayaan yang tinggi tanpa hasil yang maksimal.
Gambaran kualitas pelayanan farmasi klinis yang akan dipaparkan
dapat menunjukan perbedaan kualitas pelayanan farmasi klinis ditinjau dari
pemberi pelayanan. Gambaran tersebut terlihat dari tabel di bawah ini (untuk
perhitungan data dapat dilihat secara detail pada lampiran 10) :
Tabel 5.4 Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan farmasi klinis
Apotek
No. Kecamatan Pemberi Pelayanan Persentase
(%)
Kategori
1 Jatiasih Apoteker 27,67% Buruk
Petugas apotek (non apoteker) 23,92% Buruk
2 Bekasi Selatan
Apoteker 27,09% Buruk
Petugas apotek (non apoteker) 21,63% Buruk
Apoteker + Petugas apotek
(non apoteker) 33,92% Buruk
Keterangan hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut
(Harianti dkk, 2006) :
a) 90%-100% = amat baik
b) 80%-90% = baik
c) 70%-80% = sedang
d) 60%-70% = kurang baik
e) <60% = buruk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel di atas menunjukkan bahwa persentase kualitas pelayanan
farmasi klinis berupa pemberian informasi obat dan konseling di apotek
Kecamatan Jatiasih persentase yang diberikan oleh apoteker adalah 27,67%
sedangkan yang diberikan oleh petugas apotek (non apoteker) adalah 23,92%
dan hasil tersebut termasuk kategori buruk. Hasil persentase kualitas
pelayanan farmasi klinis berupa pemberian informasi obat dan konseling di
apotek wilayah Kecamatan Bekasi Selatan yang diberikan oleh Apoteker
adalah 27,09%, sedangkan yang diberikan oleh petugas apotek (non
Apoteker) adalah 21,63% dan yang diberikan oleh keduanya (Apoteker dan
pettugas apotek (non apoteker) adalah 33.92% dan hasil tersebut
dikategorikan buruk.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kehadiran Apoteker di
Apotek di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan yang tergolong sedang
tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan farmasi klinis yang
diberikan baik oleh Apoteker maupun petugas apotek (non apoteker). Padahal
peran Apoteker dalam pemberian informasi obat yang relevan dengan
kebutuhan pasien dan berkualitas merupakan hal yang sangat penting untuk
mencegah atau mengatasi komplikasi yang terjadi akibat pengobatan yang
tidak tepat dan pembiayaan yang tinggi tanpa hasil yang maksimal.
Pemahaman Apoteker yang baik terkait obat akan menimbulkan kepercayaan
pasien terhadap profesi Apoteker sebagai sumber informasi tentang obat. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Erlin Aurelia yang menyatakan bahwa
pasien yang mendapatkan pelayanan langsung dari Apoteker cenderung
mempercayai Apoteker sebagai sumber informasi terkait kesehatan mereka.
Apoteker yang merupakan profesi berkapasitas ilmu tentang obat,
bertanggung jawab atas terciptanya kualitas hidup pasien yang lebih baik
(Aurelia, 2013).
Dalam penelitian, pertanyaan yang diajukan dalam penilaian kualitas
pelayanan klinis dari segi pelayanan informasi obat disesuaikan dengan check
list. Informasi dalam check list tersebut perlu disampaikan kepada pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyakitn kronis dengan penggunaan obat jangka lama seperti diabetes
melitus. Hal tersebut didukung oleh penelitian Rini Sasanti
Handayani menyatakan bahwa informasi lengkap mengenai
penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek samping, tindakan bila efek
samping timbul/keracunan obat dan bila terjadi salah dosis, pantangan obat
dengan penyakit tertentu atu makanan saat makan obat tersebut perlu
disampaikan kepada pasien (Handayani et al., 2006).
Kualitas pelayanan klinis ini ditinjau dari segi ketepatan pemberian
informasi obat kepada pasien di Apotek. Semakin banyak pertanyaan yang
dijawab dengan tepat maka nilai kualitas pelayanan klinis akan meningkat.
Berikut adalah paparan grafik yang menggambarkan kesalahan jawaban
selama pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh Apoteker atau petugas
apotek (non Apoteker) sehingga menurunkan kualitas pelayanan klinis.
Kurangnya motivasi apoteker dalam bekerja akan berpengaruh pada
kualitas pelayanan farmasi klinis yang diberikan oleh apoteker kepada pasien.
Motivasi yang baik perlu diciptakan sehingga berdampak pada prestasi kerja
karyawan dalam bentuk produktivitas kerja setinggi mungkin untuk mewujudkan
tujuan apotek. Dengan meningkatnya produktivitas diharapkan akan tercapai
tujuan dari suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, yaitu memberikan
pelayanan kefarmasian yang baik sehingga tujuan pengobatan pasien dapat
tercapai dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penelitian serupa
pernah dilakukan yang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek adalah motivasi Apoteker
(Harianto, Angki Purwati, 2006).
Motivasi Apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian sebagai
salah satu bentuk perilaku kesehatan berdasarkan teori Lawrence Green
dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan
faktor penguat. Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan Apoteker, sikap
Apoteker dan gaji. Faktor pemungkin terdiri dari omset apotek, bonus yang
diberikan perusahaan, fasilitas apotek, jumlah pasien yang berkunjung, jumlah
lembar resep yang masuk per hari serta situasi dan hubungan kerja antar pegawai
di apotek. Dan faktor penguat terdiri dari pelatihan yang pernah diikuti oleh
Apoteker terkait pelayanan kefarmasian, peraturan yang berhubungan dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kualitas pelayanan kefarmasian serta peran IAI dalam mengawasi dan
membimbing apoteker untuk dapat menjalankan perannya melakukan pelayanan
kefarmasian yang berkualitas.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Kehadiran apoteker di apotek pada saat penelitan diperoleh hasil rata-rata
persentase kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Kecamatan Jatiasih
adalah 74,66% dan Apotek wilayah Kecamatan Bekasi Selatan adalah
70,52% dan hasil tersebut dapat dikategorikan sedang. Pengkategorian
mengacu pada penelitian Harianti, Angki Purwanti dan Sudibyo Supardi
(2006).
2. Pada metode simulasi pasien yang dilakukan bahwa pemberi pelayanan
farmasi klinis di apotek wilayah Kecamatan Jatiasih 66,7% dilakukan
oleh Apoteker dan 33,3% dilakukan oleh petugas apotek lain (non
apoteker) sedangkan di apotek Kecamatan Bekasi Selatan 50% dilakukan
oleh Apoteker, 45% dilakukan oleh petugas apotek lain (non apoteker)
dan 5% dilakukan oleh Apoteker dan Petugas apotek secara bersamaan.
3. Berdasarkan dari penyerahan resep, dari 60% penyerahan obat yg sesuai,
5,6% obat simetidin diganti menjadi ranitidin dan 1,9% obat simetidin
diganti menjadi omeprazole. Dan penyerahan obat tidak sesuai dengan
resep sebanyak 40%, di mana obat yang diberikan hanya metformin dan
simetidin tidak tersedia di apotek tersebut. Dari 40% penyerahan obat
tidak sesuai dengan resep, 15,5% resep diberi keterangan “det/detur”
untuk obat yang telah diserahkan dan 24,5% tidak diberi keterangan “ne
det/ne detur” untuk obat yang belum diserahkan.
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan No 35 Tahun
2014 tentang Pelayanan Kefarmasian di Apotek terhadap apoteker yang
bekerja di apotek.
2. Sosialisasi terhadap masyarakat terkait keberadaan dan peran apoteker
perlu dilakukan.
3. Diperlukan adanya pengawasan terhadap kinerja apoteker yang bekerja
diapotek.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Penelitian lebih lanjut terkait peran apoteker perlu dilakukan di wilayah
kecamatan lain di Kota Bekasi perlu dilakukan agar mampu
menggambarkan peran Apoteker dalam cakupan Kota Bekasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, BR, G. (2009). Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Di
Kota Medan Tahun 2008, 2009.
Alaqeel, S., & Abanmy, N. O. (2015). Counselling practices in community
pharmacies in Riyadh, Saudi Arabia: A cross-sectional study. BMC Health
Services Research, 15(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12913-015-1220-6
Arhayani. (2007). Perencanaan Dan Penyiapan Pelayanan Konseling Obat Serta
Pengkajian Resep Bagi Penderita Rawat Jalan Di Rumah Sakit Immanuel
Bandung. Journal of Experimental Psychology: General, 136(1), 23–42.
Aurelia, E. (2013). Harapan Dan Kepercayaan Konsumen Apotek Terhadap Peran
Apoteker Yang Berada Di Wilayah Surabaya Barat, 2(1), 20.
Banjarmasin Tribunnews. “Dinkes Palangkaraya Tutup Dua Apotek Tanpa Apoteker”.
http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/11/04/dinkes-palangkaraya-tutup-dua-
apotek-tanpa-apoteker(Diakses pada tanggal 07 April 2017)
Byrne, G. A., Wood, P. J., & Spark, M. J. (2018). Non-prescription supply of
combination analgesics containing codeine in community pharmacy: A
simulated patient study. Research in Social and Administrative Pharmacy,
14(1), 96–105. https://doi.org/10.1016/j.sapharm.2017.01.005
Cipolle, R.J., Strand, L.M., and Morley, P.C., (1998). Pharmaceutical Care Practice.
New York: McGraw-Hill.
Darmasaputra, E. (2014). Pemetaan Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian
Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker Di Apotek Di Surabaya Barat, 3(1), 1–
7.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus, 55.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di
Sarana Kesehatan, 4–25.
Dominica, D. et al. (2016). Pengaruh Kehadiran Apoteker Terhadap Pelayanan
Kefarmasian di Apotek di Kota Padang. Jurnal Sains Farmasi Dan Klinis,
3(1), 99–107.
Handayani, R. S., Gitawati, R., & Muktiningsih, S. R. (2006). Eksplorasi Pelayanan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Informasi Penyakit Kronik Dan Degeneratif. Majalah Ilmu Kefarmasian,
III(1), 38–46.
Harianto, Angki Purwati, S. S. (2006). Faktor-faktor yang berhubungan dengan
pelaksanaan draft standar pelayanan kefarmasian di apotek di DKI Jakarta.
Buletin Penelitian Kesehatan, 34(2), 83–92.
Hartini, Y. S. (2009). Relevansi Peraturan Dalam Mendukung Praktek Profesi
Apoteker di AApotek, VI(2), 97–106. https://doi.org/10.1016/S0099-
2399(06)81631-6
Ibrahim, M. I. B. M., Palaian, S., Al-Sulaiti, F., & El-Shami, S. (2016). Evaluating
community pharmacy practice in Qatar using simulated patient method: Acute
gastroenteritis management. Pharmacy Practice, 14(4), 1–8.
https://doi.org/10.18549/PharmPract.2016.04.800
Ikatan Apoteker Indonesia. (2011). Buku Standar Kompetensi Apoteker Indonesia.
Ikatan Apoteker Indonesia. (2014). Surat Keputusan Pengurus Pusat Ikatan
Apoteker Indonesia No. PO. 005/PP.IAI/1418/VII/2014 Tentang Peraturan
Organisasi Tentang Papan Nama Praktik Apoteker, 5–9.
Karen Baxter. (2008). Stockley’s Drug Interactions Eight edition.
https://doi.org/10.1345/aph.1G691
Keban, S. A., & Purnomo, L. B. (2013). Evaluasi Hasil Edukasi Farmasis Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Dr . Sardjito Yogyakarta (
Pharmacist ’ s Evaluation on Education Outcomes to Type 2 Diabetic Patients
in Dr . Sardjito Hospital Yogyakarta ). Jurnal Ilmu Kefarmasian, 11(1), 45–
52.
Kondisi Geografis Wilayah Kota Bekasi http://www.bekasikota.go.id/detail/87-16-
Kondisi-Geografis-Wilayah-Kota-Bekasi (Diakses pada tanggal 26 Februari
2017)
Kwando, R. R. (2014). Pemetaan Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian
Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker Di Apotek Di Surabaya Barat, 3(1), 1–
7.
Maclean dalam Sherzer & Stone. (1974). Fundamental of Counseling. Boston:
Houghton Mifflin Company.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Madden, J.M. Quick, J.D., Ross-Degnan, D., and Kafle, K.K. (1997). Undercover
Careseekers: Simulated Clients in the Study of Health Provider Behavior in
Developing Countries. Social Science & Medicine. Vol 45, Pages 1465- 1482.
Marić, A. (2010). Metformin – More Than “Gold Standard” In The Treatment Of
Type 2 Diabetes Mellitus, 95–104.
McEvoy, K. (2002). AHFS Drug Information. American Society of Health-System
Pharmacists : Wisconsin.
Menkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Apotek. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 35 Tahun 2014, 2008, 296.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Mesquita, A. R., Lyra, D. P., Brito, G. C., Balisa-Rocha, B. J., Aguiar, P. M., & de
Almeida Neto, A. C. (2010). Developing communication skills in pharmacy:
A systematic review of the use of simulated patient methods. Patient
Education and Counseling, 78(2), 143–148.
https://doi.org/10.1016/j.pec.2009.07.012
Nita, Y., Yuda, A., & Nugraheni, G. (2012). Pengetahuan Pasien Tentang Diabetes
dan Obat Antidiabetes Oral. Jurnal Farmasi Indonesia, 6(1), 38–47.
Notoatmodjo, S., (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Pemerintah RI. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Mycological Research, 113(2), 207–
221.
Radar Banyumas. “18 Apotek Terancam Ditutup.” http://radarbanyumas.co.id/18-
apotek-terancam-ditutup/(Diakses pada tanggal 07 April 2017)
Radar Sorong. “Tanpa Apoteker, Apotek Harus Ditutup.”
http://www.radarsorong.com/read/2017/01/23/48930/Tanpa-Apoteker-
Apotek-harus-Ditutup (Diakses pada tanggal 07 April 2017)
Rantucci, MJ. (2007). Komunikasi Apoteker-Pasien Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Kedokteran EGC.
Rismawati, E. (2011). Profil Pelayanan Resep Dengan Obat Glibenklamid Di
Apotek Wilayah Surabaya (Studi Dengan Metode Simulasi Pasien).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo. (1999). Transitions, part 1 : Beyond
Pharmaceutical Care. Am J Health-Syst Pharm Vol 56 Sep 1 1999
Siregar Sofyan. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana
Prenamedia Group
Sukamdi, Dyani Primasari. (2015). Analisis Distribusi Apotek dengan Sistem
Informasi Geografis. Diambil dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan
Farmasi Vol.5 No.1 Maret 2015. Diakses 5 Juli 2018 pada
http://jmpf.farmasi.ugm.ac.id/index.php/1/article/view/29/28.
Suci, R. P. (2015). Gambaran Pelayanan Klinis Terhadap Resep Antidiabetes Di
Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul Dan
Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut.
Sujit, Rambhade. (2012). A Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate
Medications. Toxicology International, 15, 68–73.
Sutandi Aan. 2012. Self Management Education (DSME) Sebagai Metode
Alternatif dalam Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus di dalam
Keluarga. Diambil dari http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/file_artikel_
abstrak/Isi_Artikel_615247532884.pdf2011. Diakses pada tanggal 31
November 2017.
Trisnawati, R. O. (2014). Gambaran Tingkat Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus
Dalam Mengkonsumsi Obat Antidiabetes Oral Di Rs Dan Klinis Gotong
Royong Surabaya.
Umar, M. (2005). Manajemen Apotek Praktis. Solo: CV.Ar-Rahman. Hal: 29-30,
49
Umi Athiyah, et al. (2014). Profil Informasi Obat Pada Pelayanan Resep Metformin
Dan Glibenklamid Di Apotek Di Wilayah Surabaya, 1(1), 6–11.
Watson, M., Norris, P., & Granas, A. (2006). A systematic review of the use of
simulated patients and pharmacy practice research. International Journal of
Pharmacy Practice, 14(2), 83–93. https://doi.org/10.1211/ijpp.14.2.0002
Wells Barbara G. (2009). Pharmacotherapy Handbook Seventh edition. The
McGraw-Hill Companies : United States.
World Health Organization. (2013). Diabetes facts sheet. Diambil dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en. Diakses pada tanggal
25 Maret 2017.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Check Listyang digunakan sebagai acuan selama wawancara dengan metode
simulasi pasien
Peran Apoteker dalam Pelayanan Farmasi Klinis Hasil Penilaian
Kehadiran Apoteker di Apotek
Pemberi Pelayanan
Farmasi Klinis di Apotek
Apoteker
Asisten Apoteker
Petugas Apotek (non
Apoteker)
Kesediaan Apoteker memberi pelayanan farmasi klinis
Pelayanan Farmasi Klinis Metformin Simetidin
Pelayanan
Informasi Obat
(PIO)
Nama obat
Indikasi obat
Kontraindikasi obat
Rute penggunaan obat
Waktu penggunaan obat
(pagi/siang/sore)
Waktu penggunaan obat
(sebelum/saat/setelah makan)
Jumlah frekuensi penggunaan
Jumlah obat sekali minum
Efek samping obat (ESO)
Gejala ESO
Pencegahan ESO
Interaksi obat
Pencegahan interaksi obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Makanan, minuman dan aktivitas
yang harus dihindari
Penyimpanan obat
Pembuangan obat yang
terkontaminasi atau yang telah
dihentikan
Konseling Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Konseling dilakukan optimal?
Keterangan :
Penilaian (skor) :
1. Sesuai literatur, nilai 1
2. Tidak sesuai literatur, nilai 0
Jawaban berdasarkan literatur :
1. Pelayanan informasi obat
a. Nama obat:
Skor 1:
Apoteker menyebutkan masing-masing nama obat yang akan diberikan.
Skor 0:
Apoteker tidak menyebutkan nama obat yang diberikan.
b. Indikasi:
Skor 1:
- Metformin digunakan untuk terapi pada pasien diabetes tidak tergantung insulin dengan
kelebihan dengan berat badan dimana kadar gula tidak bisa dikontrol dengan diet saja
dan untuk terapi tambahan pada pasien DM dengan ketergantungan terhadap insulin yang
gejalanya tak bisa dikontrol (Hexpharm jaya laboratories).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Simetidin digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan pencernaan (peptic ulcer
disease, duodenal ulcer disease, gastric bleeding) (Lacy Charles F et al, 2006)
Skor 0:
Apoteker tidak menjelaskan indikasi penggunaan obat
c. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam):
Skor 1:
- Metformin 500 mg diminum pagi dan sore dengan selang waktu 12 jam (Sweetman. S.
2009).
- Simetidin 800 mg digunakan saat akan tidur atau 400 mg 2 pagi dan malam (Lacy Charles
F et al, 2009).
Skor 0:
Jawaban tidak sesuai dengan literatur
d. Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan):
Skor 1:
- Metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang
berhubungan dengan pencernaan (McEvoy 2002).
- Simetidin digunakan bisa setelah atau sedudah makan karena ada tidaknya makanan tidak
mempengaruhi absorbsinya (Lacy Charles F et al, 2009).
Skor 0:
Jawaban tidak sesuai dengan literatur.
e. Jumlah frekuensi penggunaan:
Skor 1:
- Metformin 500 mg digunakan sehari dua kali (Sweetman, 2009)
- Simetidin digunakan 800 mg/hari (Lacy Charles F et al, 2009)
Skor 0:
Jawaban tidak sesuai dengan literatur.
f. Jumlah obat sekali minum :
Skor 1:
- Metformin diberikan sebanyak 1 butir untuk jumlah 500 mg (Lacy Charles F et al, 2009).
- Simetidin 1 butir untuk jumlah 400 mg (Lacy Charles F et al, 2009).
Skor 0:
Apoteker memberikan jawaban tidak tepat.
g. Interaksi:
Skor 1:
Penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi
metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini
harus di gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk mencegah interaksi tersebut (Karen Baxter, 2008). Bila interaksi obat terjadi dengan
menimbulkan laktat asidosis maka terapi cairan dan terapi insulin menjadi penanganannya
(Gotera Wira dan Dewa Gede Agung Budiyasa, 2010)
Skor 0:
Apoteker tidak menjelaskan interaksi yang terjadi
h. Efek samping obat (ESO):
Skor 1:
- Metformin menyebabkan diare, mual, muntah, kembung, kram dan nyeri abdominal,
flatulensi dan anoreksia (McEvoy, 2002) dan dalam dosis berlebih bisa menyebabkan
hipoglikemia.
- Simetidin umumnya mempunyai efek samping berupa sakit kepala atau pusing yang
bersifat reversibel. (Lacy Charles F et al, 2006)
Skor 0:
Apoteker tidak menjelaskan sesuai literatur.
i. Pencegahan ESO:
Skor 1:
- Efek samping metformin bisa ditangani dengan penggunaan obat bersama makanan,
memulai terapi dengan dosis yang rendah serta peningkatan dosis secara perlahan
(MsEvoy, 2002),
Skor 0:
Penjelasan informasi efek samping tidak sesuai dengan literatur.
j. Gejala ESO:
Skor 1:
- Gejala efek akibat interaksi obat adalah muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, takikardia
(Gotera Wira dan Dewa Gede Agung Budiyasa, 2010)
Skor 0:
Apoteker tidak menjelaskan gejala efek samping obat.
k. Makanan, minuman dan aktivitas yang harus dihindari:
Skor 1:
- Pasien diabetes sebaiknya kurangi makanan ber-karbohidrat tinggi, makanan berlemak
tinggi, dan snack,dan sangat disarankan untuk menjaga agar makanan yang dikonsumsi
mengansung gizi yang seimbang untuk mencegah timbulnya gangguan pencernaan
seperti peptic ulcer disease maka hindari makanan pedas, makanan dengan kandungan
asam tinggi, cafein dan alkohol (Wells Barbara G. 2009).
Skor 0:
Apoteker tidak memberikan informasi sesuai literatur.
l. Cara penyimpanan:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Skor 1:
- metformin ataupun simetidin disimpan pada suhu kamar (25-30oC), dalam wadah
tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari (Hexpharm Jaya Laboratoies dan
informasi obat, 2013).
Skor 0:
Apoteker tidak menjelaskan cara penyimpanan
m. Pembuangan obat yang terkontaminasi atau yang telah dihentikan
Obat sisa yang tidak digunakan untuk pengobatan lagi, sebaiknya disimpan di suatu tempat obat
yang terpisah dari penyimpanan barangbarang lain dan tidak mudah dijangkau anak-anak.
Tetapi apabila obat tersebut telah rusak, sebaiknya dibuang. Obat yang rusak dibuang dengan
cara dihancurkan dan ditimbun di dalam tanah.
2. Tahapan dan isi konseling berisi:
a. Tahap 1: Membuka komunikasi antara apoteker dan pasien
b. Tahap 2: Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime
Questions
c. Tahap 3: Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengeksplorasi masalah penggunaan Obat.
d. Tahap 4: Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan
Obat
e. Tahap 5: Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien dan menutup
konseling
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Komposisi resep yang diberikan oleh pasien
Metformin 500 mg
No. X
S b dd 1
Simetidin 300 mg
No. X
S 4 dd 1
R/
R/
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Protokol Penelitian yang digunakan selama pengambilan data
1) Peneliti membuat dan mempelajari skenario.
2) Dilakukan training pada peneliti yang akan berperan sebagai keluarga pasien. Training
dilakukan dengan teman sesama peneliti dan dosen pembimbing yang berperan sebagai
staf apotek, serta dilakukan kunjungan uji coba ke apotek (pilot visit).
3) Peneliti sebelum melakukan kunjungan ke apotek harus menandatangani pernyataan
kerahasiaan.
4) Tanggal pada lembar resep diisi sendiri oleh peneliti, tanggal yang ditulis adalah satu hari
sebelum kunjungan ke apotek.
5) Sebelum melakukan kunjungan ke apotek peneliti harus menyiapkan checklist, resep,
daftar apotek yang akan dikunjungi, dan uang untuk membayar obat yang akan dibeli.
6) Peneliti hanya menjawab pertanyaan terbuka yang diberikan oleh staf apotek dengan
singkat dan sopan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan serta sesuai skenario.
7) Peneliti hanya menjawab pertanyan tertutup yang diberikan oleh staf apotek dengan
jawaban ya atau tidak.
8) Peneliti tidak memberikan pertanyaan kepada staf apotek.
9) Peneliti bersifat pasif selama berinteraksi dengan staf apotek.
10) Peneliti menerima semua informasi baik secara lisan ataupun tertulis oleh staf apotek.
11) Peneliti membayar secara tunai obat yang telah diberikan oleh staf apotek.
12) Peneliti segera mengisikan informasi yang didapatkan dalam check list yang sudah
disiapkan setelah keluar dari apotek.
13) Peneliti akan mengambil obat setengah resep apabila harga obat melebihi harga
maksimal yaitu Rp 5.000,00 atau obat tidak tersedia dan diganti dengan obat lain dengan
kandungan bahan aktif yang sama dengan persetujuan peneliti terlebih dahulu.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4.Skenario Simulasi Pasien
Tahap Kegiatan
I. Masuk ke apotek dan memberitahu apa yang
terjadi
Masuk ke apotek target dan menyapa apoteker
(bukan staf apoteker) dan berbicara sebagai berikut :
“saya ingin menebus resep obat ini.”
II. Menunggu respon dari pemberi pelayanan
farmasi klinis (apoteker/asisten
apoteker/petugas apotek(non apoteker))
Pasien simulasi menunggu respon dari petugas
apoteker. Jika petugas apotek hanya menyerahkan
obat tanpa melakukan konseling, maka peneliti akan
menanyakan keberadaan apoteker dan pelayanan
konseling.
III. Menerima konseling Pasien simulasi mengamati kegiatan yang dilakukan
oleh apoteker dalam cara yang berurutan :
a. Jika tersedia pelayanan konseling, dan apoteker
melakukan patient assasment maka skenario yang
digunakan peneliti adalah :
Pasien : Tn. Budi Setiono
Jenis kelamin : Pria
Usia : 51 tahun
Hubungan dengan peneliti : Bapak
Alamat : Jl. Gambang 1, No. 203
Pekerjaan : Karyawan BUMN
Pasien terkadang mengalami sakit maag.
b. Jika apoteker melakukan penilaian pemahaman
peneliti melalui three prime question, peneliti
menjawab tidak tahu.
Setiap saran (jika diberikan)
Jenis saran non-farmakologis yang
diberikan
Rincian tentang obat-obatan yang
diresepkan
jenis obat apa? Indikasi untuk penyakit apa?
Bagaimana label? Memadai? Kualitas?
c. Jika apoteker bertanya masalah yang dihadapi
pasien terkait penggunaan obat maka peneliti
menjawab pasien mengonsumsi kapsul brotowali.
d. Lihat respon Apoteker.
IV. Mengucapkan terima kasih Sebelum pergi, ucapkan terima kasih
V. Dokumentasi penelitian dari form
pengumpulan data
Setelah pergi, dan jarak dengan apotek sudah
lumayan jauh, barulah mencatat semua informasi
yang tadi didapatkan di lokasi yang aman.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Wilayah
Kota Bekasi
A. Perhitungan Tabel 1.1. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apotek di Apotek
Kecamatan Jatiasih
No. Kode Apotek Skor Kehadiran
Berdasarkan Apoteker
1 001 5
2 003 5
3 004 5
4 005 5
5 006 4
6 007 4
7 009 5
8 012 5
9 014 4
10 015 4
Berdasarkan Petugas Apotek
11 002 4
12 008 3
13 010 0
14 011 0
15 013 3
Berdasarkan Apoteker
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 6 4 0 0 0 0
Berdasarkan Petugas Apotek
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 0 1 2 0 2 0
Rata-rata persentase kehadiran di Kecamatan Jatiasih
Kegiatan Skor
Kehadiran 5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 6 5 2 0 0 2 74,66%
Kategori sedang
Rumus :
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟× 100% = 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 % 𝑘𝑒ℎ𝑎𝑑𝑖𝑟𝑎𝑛
Keterangan :
a. Skor 5 = Apoteker hadir setiap hari, pagi sampai sore
b. Skor 4 = Apoteker hadir setiap hari, tapi tak bisa ditentukan
c. Skor 3 = Apoteker hadir 3 kali seminggu
d. Skor 2 = Apoteker hadir 2 kali seminggu
e. Skor 1 = Apoteker hadir 1 minggu sekali
f. Skor 0 = Tidak bisa ditentukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Apoteker hadir setiap hari (pagi – sore) = 6×5
75× 100% = 40%
- Apoteker hadir setiap hari (jam tidak bisa ditentukan) = 5×4
75× 100% = 26,66%
- Apoteker hadir 3 kali dalam seminggu = 2×3
75× 100% = 8%
- Apoteker hadir tidak bisa ditentukan = 2×0
75× 100% = 0%
Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Jatiasih adalah 74,66%
(6 × 5) + (5 × 4) + (2 × 3) + (2 × 0)
75 × 100% = 74,66%
Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut
(Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian, maka rata-rata persentase kehadiran Apotek dikategorikan
sedang.
B. Perhitungan Tabel 1.2. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan
Bekasi Selatan
No. Kode
Apotek
Skor
Kehadiran
Berdasarkan Apoteker
1 016 5
2 017 5
3 018 4
4 019 4
5 023 4
6 026 5
7 027 4
8 028 5
9 029 4
10 030 4
11 032 5
12 033 4
13 037 4
14 039 5
15 041 5
16 043 5
17 044 5
18 045 5
19 046 4
20 049 5
21 052 5
Keterangan :
a. Skor 5 = Apoteker
hadir setiap hari,
pagi sampai sore
b. Skor 4 = Apoteker
hadir setiap hari, tapi
tak bisa ditentukan
c. Skor 3 = Apoteker
hadir 3 kali
seminggu
d. Skor 2 = Apoteker
hadir 2 kali
seminggu
e. Skor 1 = Apoteker
hadir 1 minggu
sekali
f. Skor 0 = Tidak bisa
ditentukan
No. Kode
Apotek
Skor
Kehadiran
Berdasarkan Petugas Apotek
22 020 3
23 021 3
24 022 4
25 024 0
26 025 0
27 031 2
28 034 0
29 035 2
30 036 3
31 038 2
32 040 0
33 042 3
34 047 4
35 048 4
36 050 2
37 051 3
38 053 3
22 020 3
23 021 3
24 022 4
25 024 0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan Apoteker
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 12 9 0 0 0 0
Berdasarkan Petugas Apotek
Kegiatan Skor
5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 0 3 6 4 0 4
Rata-rata persentase kehadiran di Kecamatan Jatiasih
Kegiatan Skor
Kehadiran 5 4 3 2 1 0
Frekuensi Kehadiran Apoteker 12 12 6 4 0 4 70,52%
Kategori Sedang
Rumus : 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟× 100% = 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 % 𝑘𝑒ℎ𝑎𝑑𝑖𝑟𝑎𝑛
- Apoteker hadir setiap hari (pagi – sore) = 12×5
190× 100% = 31,57%
- Apoteker hadir setiap hari (jam tidak bisa ditentukan) = 12×4
190× 100% = 25,26%
- Apoteker hadir 3 kali dalam seminggu = 6×3
190× 100% = 9,47%
- Apoteker hadir 2 kali dalam seminggu = 4×2
190× 100% = 4,21%
- Apoteker hadir tidak bisa ditentukan = 4×0
190× 100% = 0%
Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Bekasi Selatan adalah 70,51%
(12 × 5) + (12 × 4) + (6 × 3) + (4 × 2) + (4 × 0)
190× 100% = 70,51%
Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut
(Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian, maka rata-rata persentase kehadiran Apotek dikategorikan
sedang.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Perhitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek
**Rumus yang digunakan untuk mencari persentase pemberi pelayanan farmasi klinis di apotek per kecamatan
adalah :
1. Pelayanan farmasi klinis di apotek dilakukan oleh apoteker
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑑𝑖 𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛× 100%
= 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟
2. Pelayanan farmasi klinis di apotek dilakukan oleh apoteker dan petugas apotek (non apoteker)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑡𝑢𝑔𝑎𝑠 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 (𝑛𝑜𝑛 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑑𝑖 𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
× 100% = 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟
3. Pelayanan farmasi klinis di apotek dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑢𝑔𝑎𝑠 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟 (𝑛𝑜𝑛 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑑𝑖 𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
× 100% = 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑝𝑜𝑡𝑒𝑘𝑒𝑟
A. Persentase Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek Wilayah Kecamatan Jatiasih, Bekasi
No. Kode Apotek Pemberi Pelayanan
1 001 Apoteker
2 002 Petugas Apotek (non apoteker)
3 003 Apoteker
4 004 Apoteker
5 005 Apoteker
6 006 Apoteker
7 007 Apoteker
8 008 Petugas Apotek (non apoteker)
9 009 Apoteker
10 010 Petugas Apotek (non apoteker)
11 011 Petugas Apotek (non apoteker)
12 012 Apoteker
13 013 Petugas Apotek (non apoteker)
14 014 Apoteker
15 015 Apoteker
- Pelayanan farmasi klinis di kecamatan Jatiasih yang dilakukan oleh Apoteker
10
15× 100% = 66,66%
- Pelayanan farmasi klinis di kecamatan Jatiasih yang dilakukan oleh petugas apotek (non
apoteker)
5
15× 100% = 33,33%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
B. Persentase pemberi pelayanan farmasi klinis di apotek wilayah Kecamatan Bekasi Selatan
No. Kode Apotek Pemberi Pelayanan
1 016 Apoteker
2 017 Apoteker
3 018 Apoteker + Petugas Apotek (non apoteker)
4 019 Apoteker
5 020 Petugas Apotek (non apoteker)
6 021 Petugas Apotek (non apoteker)
7 022 Petugas Apotek (non apoteker)
8 023 Apoteker
9 024 Petugas Apotek (non apoteker)
10 025 Petugas Apotek (non apoteker)
11 026 Apoteker
12 027 Apoteker
13 028 Apoteker
14 029 Apoteker Petugas Apotek (non apoteker)
15 030 Apoteker
16 031 Petugas Apotek (non apoteker)
17 032 Apoteker
18 033 Apoteker
19 034 Petugas Apotek (non apoteker)
20 035 Petugas Apotek (non apoteker)
21 036 Petugas Apotek (non apoteker)
22 037 Apoteker
23 038 Petugas Apotek (non apoteker)
24 039 Apoteker
25 040 Petugas Apotek (non apoteker)
26 041 Apoteker
27 042 Petugas Apotek (non apoteker)
28 043 Apoteker
29 044 Apoteker
30 045 Apoteker
31 046 Apoteker
32 047 Apoteker
33 048 Petugas Apotek (non apoteker)
34 049 Apoteker
35 050 Petugas Apotek (non apoteker)
36 051 Petugas Apotek (non apoteker)
37 052 Apoteker
38 053 Petugas Apotek (non apoteker)
- Pelayanan farmasi klinis di kecamatan Bekasi Selatan yang dilakukan oleh Apoteker
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Pelayanan farmasi klinis di kecamatan Bekasi Selatan yang dilakukan oleh Petugas Apotek (non
apoteker)
- Pelayanan farmasi klinis di kecamatan Bekasi Selatan yang dilakukan oleh Apoteker dan Petugas
Apotek (non apoteker)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Perhitungan persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep
Rumus mencari persentase kesesuaian penyerahan obat yang sesuai dengan resep :
jumlah penyerahan obat yang sesuai
jumlah total penyerahan obat bila semua penyerahan sesuai× 100%
= persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep
35
53 × 100% = 66%
Dari 66% penyerahan obat yg sesuai, 5,6% obat simetidin diganti menjadi ranitidin dan 1,9%
obat simetidin diganti menjadi omeprazole. Dan penyerahan obat tidak sesuai dengan resep
sebanyak 40%, di mana obat simetidin tidak tersedia di apotek tersebut. Dari 40% penyerahan
obat tidak sesuai dengan resep, 15,5% resep diberi keterangan “-det” dan 24,5% tidak diberi
keteranan “-det”. Persentase penyerahan obat yang tidak sesuai dengan resep adalah 100%-
66% = 44%
No. Kode
Apotek Kesesuaian Disepensing
1 001 1
2 002 1
3 003 1
4 004 1
5 005 0
6 006 1
7 007 1
8 008 1
9 009 0
10 010 0
11 011 0
12 012 1
13 013 0
14 014 1
15 015 1
16 016 0
17 017 1
18 018 1
19 019 1
20 020 0
21 021 1
22 022 0
23 023 1
24 024 1
25 025 0
26 026 0
27 027 0
28 028 1
29 029 1
30 030 1
31 031 0
32 032 1
33 033 1
34 034 0
No. Kode
Apotek Kesesuaian Disepensing
35 035 1
36 036 1
37 037 1
38 038 1
39 039 1
40 040 1
41 041 1
42 042 1
43 043 1
44 044 1
45 045 0
46 046 1
47 047 1
48 048 1
49 049 0
50 050 0
51 051 0
52 052 1
53 053 0
Jumlah 35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8.Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang dilaksanakan Apoteker
No. Kode Apotek Skor Pelaksanaan Tahapan Konseling
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5
1 001 1 1 0 0 1
2 003 1 0 0 0 0
3 004 1 1 0 0 0
4 005 1 0 0 0 1
5 006 1 0 0 0 0
6 009 1 0 0 0 0
7 012 1 1 0 0 1
8 014 1 0 0 0 0
9 015 1 0 0 0 0
10 016 1 1 0 0 1
11 017 1 1 0 0 1
12 018 1 0 0 0 1
13 019 1 1 0 0 0
14 023 1 0 0 0 0
15 026 1 0 0 0 0
16 027 1 0 0 0 1
17 028 1 0 0 0 0
18 029 1 1 0 0 0
19 030 1 0 0 0 1
20 032 1 0 0 0 1
21 033 1 0 0 0 0
22 037 1 0 0 0 0
23 039 1 1 0 0 0
24 041 1 0 0 0 1
25 043 1 0 0 0 1
26 044 1 1 0 0 1
27 045 1 1 0 0
28 046 1 1 0 0 0
29 049 1 1 0 0 0
30 052 1 0 0 0 1 Jumlah 30 12 0 0 13
Persentase(%) 100% 40% 0% 0% 43,33%
Keterangan: a. Tahap 1 : membuka komunikasi dengan pasien
b. Tahap 2 : menilai pemahaman tentang penggunaan obat
c. Tahap 3 : menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat
d. Tahap 4 : memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
e. Tahap 5 : melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
f. Nilai 1 : melakukan konseling
g. Nilai 0 ; tidak melakukan konseling
Rumus :
jumlah apoteker yang melakukan tahapan konseling
jumlah apoteker yang melakukan pelayanan konseling × 100% = rata − rata persentase pelaksanaan tahapan konseling
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinis di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan
a. Hasil skor PIO setiap Apotek di Kecamatan Jatiasih
Hasil pengolahan skor dari check list
No. Isi Konseling
Kode Apotek
001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015
A PA A A A A A PA A PA PA A PA A A
M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S
1 Nama Obat 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - - - - - 2 2 2 2
2 Indikasi 1 2 - - 2 - 2 2 - - 2 2 - - 2 2 - - - - 2 - - - - - 2 2 2 -
3 Kontra Indikasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 Waktu Penggunaan (pagi/siang/sore/malam)
- - - - - - - - - - - - - - 2 - - - 2 - - - - - - - 2 2 - 2
5 Waktu Penggunaan (Sebelum/Saat/Setelah)
2 - 2 2 - - 2 2 2 - - - - - - - - - 2 - 2 - - - 2 - 2 2 2 2
6 Jumlah Frekuensi penggunaan 2 2 1 1 2 2 2 2 2 - 1 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 2 2 - 2 2 2 2
7 Jumlah obat sekali minum 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 2 2 - 2 2 2 2
8 Efek Samping Obat 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 - 2 -
9 Gejala ESO 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
10 Pencegahan ESO 2 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
11 Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
12 Pencegahan Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
13 Makanan, minuman dan aktivitas yang harus dihindari
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
14 Penyimpanan Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah skor 15 8 7 8 8 6 10 10 8 0 7 8 6 6 10 8 6 0 10 0 10 0 4 4 6 0 14 12 12 10
Keterangan:
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = Metformin
S = Simetidin
2 = Jawaban tepat
1 = Jawaban tidak tepat
0 = Tidak dijelaskan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
I. Hasil persentase kualitas pelayanan farmasi klinis di Apotek Kecamatan Jatiasih
A. Apoteker
No. Kode Apotek Persentase Kualitas Pelayanan Farmasi Klinis
(%)
Kategori
1 001 41,07% Buruk
2 003 25% Buruk
3 004 35,71% Buruk
4 005 14,28% Buruk
5 006 26,78% Buruk
6 007 21,42% Buruk
7 009 10,71% Buruk
8 012 14,28% Buruk
9 014 46,42% Buruk
10 015 41,07% Buruk
B. Petugas apotek (non apoteker)
No. Kode Apotek Persentase Kualitas Pelayanan Farmasi Klinis
(%)
Kategori
1 002 26,78% Buruk
2 008 46,42% Buruk
3 010 17,85% Buruk
4 011 17,85% Buruk
5 013 10,71% Buruk
Cara perhitungan
Rumus persentase kualitas pelayanan farmasi klinis per apotek : jumlah persentase kualitas pelayanan farmasi klinis seluruh apotek di kecamatan yg diberikan apoteker
jumlah apoteker yang memberikan pelayanan di apotek
× 100%
= persentase kualitas pelayanan farmasi klinis di apotek yang diberikan apoteker
1. Apotek 001 = 23
56 × 100% = 41,07%
2. Apotek 002 = 15
56 × 100% = 26,78%
3. Apotek 003 = 14
56 × 100% = 25%
4. Apotek 004 = 20
56 × 100% = 35,71%
5. Apotek 005 = 8
56 × 100% = 14,28%
6. Apotek 006 = 15
56 × 100% = 26,78%
7. Apotek 007 = 12
56 × 100% = 21,42%
8. Apotek 008 = 18
56 × 100% = 46,42%
9. Apotek 009 = 6
56 × 100% = 10,71%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10. Apotek 010 = 10
56 × 100% = 17,85%
11. Apotek 011 = 10
56 × 100% = 17,85%
12. Apotek 012 = 8
56 × 100% = 14,28%
13. Apotek 013 = 6
56 × 100% = 10,71%
14. Apotek 014 = 26
56 × 100% = 46,42%
15. Apotek 015 = 23
56 × 100% = 41,07%
Hasil persentase kualitas pelayanan klinis apotek di Kecamatan Jatiasih
berdasarkan pemberi pelayanan klinis:
a. Persentase kualitas pelayanan klinis yang diberikan oleh Apoteker
persentase kualitas pelayanan seluruh apotek di kecamatan yang diberikan apoteker
jumlah apotek yang memberikan pelayanan farmasi klinis di Apotek
= persentase kualitas pelayan farmasi klinis di Apotek yang diberikan Apoteker
41,07 + 25 + 35,71 + 14,28 + 26,78 + 21,42 + 10,71 + 14,28 + 46,42 + 41,07
10= 27,67%
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006) :
f) 90%-100% = amat baik
g) 80%-90% = baik
h) 70%-80% = sedang
i) 60%-70% = kurang baik
j) <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinis di Apotek
Kecamatan Jatiasih yang diberikan Apoteker dapat dikategorikan buruk.
b. Persentase kualitas pelayanan klinis yang diberikan oleh petugas apotek (non
apoteker)
persentase kualitas pelayanan seluruh apotek di kecamatan yang diberikan apoteker
jumlah apotek yang memberikan pelayanan farmasi klinis di Apotek
= persentase kualitas pelayan farmasi klinis di Apotek yang diberikan Apoteker
26,78 + 46,42 + 17,85 + 17,85 + 10.71
5= 23,92%
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006) :
f) 90%-100% = amat baik
g) 80%-90% = baik
h) 70%-80% = sedang
i) 60%-70% = kurang baik
j) <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinis di Apotek Kecamatan
Jatiasih yang diberikan Petugas Apotek (non apoteker) dapat dikategorikan buruk.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Hasil skor PIO setiap Apotek di Kecamatan Bekasi Selatan
Hasil pengolahan skor dari check list
No. Isi Konseling
Kode Apotek
016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030
A A A+PA A PA PA PA A PA PA A A A A+PA A
M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S
1 Nama Obat 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - - - - - 2 2 2 - 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 - -
2 Indikasi 2 - - - 2 2 2 2 - - - - 2 - - - - - - - 2 - - - 2 2 2 2 - -
3 Rure Penggunaan - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 Waktu Penggunaan
(pagi/siang/sore/malam) - - - - 2 - - - - - - - - - - - 2 - - - - - 2 2 - - - - - -
5 Waktu Penggunaan
(Sebelum/Saat/Setelah) 2 - 2 2 2 2 - - - - - 2 - - - - 2 - 2 2 2 2 - - - - - - 2 2
6 Jumlah Frekuensi penggunaan 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7 Jumlah obat sekali minum 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
8 Efek Samping Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
9 Gejala ESO - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
`10 Pencegahan ESO - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
11 Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
12 Pencegahan Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
13 Makanan, minuman dan
aktivitas yang harus dihindari - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
14 Penyimpanan Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah 10 2 8 8 12 10 8 8 6 4 4 6 6 4 6 6 10 0 8 6 10 8 8 8 8 8 8 8 6 6
Keterangan:
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = Metformin
S = Simetidin
2 = Jawaban tepat
1 = Jawaban tidak tepat
0 = Tidak dijelaskan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No. Isi Konseling
Kode Apotek
031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045
PA A A PA PA PA A PA A PA A PA A A A
M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S
1 Nama Obat 2 - 2 2 2 - - - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 -
2 Indikasi - - 2 2 2 - - - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 1 2 - - 2 - 2 2 - -
3 Kontra Indikasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4 Waktu Penggunaan
(pagi/siang/sore/malam) - - - - - - - - 2 2 2 2 2 2 - - 2 2 2 - - - - - - - - - - -
5 Waktu Penggunaan
(Sebelum/Saat/Setelah) - - - - - - - - - - 2 2 2 2 - - 2 2 2 2 2 - 2 2 - - 2 2 2 -
6 Jumlah Frekuensi penggunaan - - 2 2 2 - - - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 -
7 Jumlah obat sekali minum - - 2 2 2 - - - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 -
8 Efek Samping Obat - - - - - - - - - - - - - - - - 2 - - - 2 - - - - - - - - -
9 Gejala ESO - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 - - - - - - - - -
10 Pencegahan ESO - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 - - - - - - - - -
11 Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
12 Pencegahan Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
13 Makanan, minuman dan
aktivitas yang harus dihindari - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
14 Penyimpanan Obat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah 2 0 8 8 8 0 0 0 10 10 12 12 12 12 8 8 14 12 12 8 15 8 7 8 8 6 10 10 8 0
Keterangan:
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = Metformin
S = Simetidin
2 = Jawaban tepat
1 = Jawaban tidak tepat
0 = Tidak dijelaskan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No. Isi Konseling
Kode Apotek
046 047 048 049 050 051 052 053
A A PA A PA PA A PA
M S M S M S M S M S M S M S M S
1 Nama Obat 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - - - - -
2 Indikasi 2 2 - - 2 2 - - - - 2 - - - - -
3 Kontra Indikasi - - - - - - - - - - - - - - - -
4 Waktu Penggunaan
(pagi/siang/sore/malam) - - - - 2 - - - 2 - - - - - - -
5 Waktu Penggunaan
(Sebelum/Saat/Setelah) - - - - - - - - 2 - 2 - - - 2 -
6 Jumlah Frekuensi penggunaan 1 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 2 2 -
7 Jumlah obat sekali minum 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 2 2 -
8 Efek Samping Obat - - - - - - - - - - - - - - - -
9 Gejala ESO - - - - - - - - - - - - - - - -
10 Pencegahan ESO - - - - - - - - - - - - - - - -
11 Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - -
12 Pencegahan Interaksi Obat - - - - - - - - - - - - - - - -
13 Makanan, minuman dan
aktivitas yang harus dihindari - - - - - - - - - - - - - - - -
14 Penyimpanan Obat - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah 7 8 6 6 10 8 6 0 10 0 10 0 4 4 6 0
Keterangan:
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = Metformin
S = Simetidin
2 = Jawaban tepat
1 = Jawaban tidak tepat
0 = Tidak dijelaskan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
II. Hasil persentase kualitas pelayanan farmasi klinis di Apotek Kecamatan Bekasi Selatan
A. Apoteker
No. Kode Apotek Persentase Kualitas Pelayanan Farmasi Klinis
(%) Kategori
1 016 21,42% Buruk
2 017 36% Buruk
3 019 28,57% Buruk
4 023 21,42% Buruk
5 026 32,14% Buruk
6 027 28,57% Buruk
7 028 28,57% Buruk
8 030 21,42% Buruk
9 032 28,57% Buruk
10 033 14,28% Buruk
11 037 35,71% Buruk
12 039 46,42% Buruk
13 041 42,85% Buruk
14 043 21,42% Buruk
15 044 35,71% Buruk
16 045 32,14% Buruk
17 046 28,57% Buruk
18 049 10,71% Buruk
19 052 14,28% Buruk
B. Petugas Apotek
No. Kode Apotek Persentase Kualitas Pelayanan Farmasi Klinis
(%) Kategori
1 020 17,85% Buruk
2 021 17,85% Buruk
3 022 17,85% Buruk
4 024 17,85% Buruk
5 025 25,00% Buruk
6 031 3,57% Buruk
7 034 0,00% Buruk
8 035 35,71% Buruk
9 036 42,85% Buruk
10 038 28,57% Buruk
11 040 32,14% Buruk
12 042 28,57% Buruk
13 047 21,42% Buruk
14 048 32,14% Buruk
15 050 17,85% Buruk
16 051 17,85% Buruk
17 053 10,71% Buruk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Apoteker dan Petugas Apotek
No. Kode Apotek Persentase Kualitas Pelayanan (%) Kategori
1 018 35,71% Buruk
2 029 28,57% Buruk
Cara perhitungan
Rumus persentase kualitas pelayanan farmasi klinis per apotek :
jumlah persentase kualitas pelayanan farmasi klinis seluruh apotek di kecamatan yg diberikan apoteker
jumlah apoteker yang memberikan pelayanan di apotek
× 100%
= persentase kualitas pelayanan farmasi klinis di apotek yang diberikan apoteker
1. Apotek 016 = 12
56× 100% = 21,42%
2. Apotek 017 = 16
56× 100% = 28,57%
3. Apotek 018 = 22
56× 100% = 39,28%
4. Apotek 019 = 16
56× 100% = 28,57%
5. Apotek 020 = 10
56× 100% = 17,85%
6. Apotek 021 = 10
56× 100% = 17,85%
7. Apotek 022 = 10
56× 100% = 17,85%
8. Apotek 023 = 12
56× 100% = 21,42%
9. Apotek 024 = 10
56× 100% = 17,85%
10. Apotek 025 = 14
56× 100% = 25%
11. Apotek 026 = 18
56× 100% = 32,14%
12. Apotek 027 = 16
56× 100% = 28,57%
13. Apotek 028 = 16
56× 100% = 28,57%
14. Apotek 029 = 16
56× 100% = 28,57%
15. Apotek 030 = 12
56× 100% = 21,42%
16. Apotek 031 = 1
28× 100% = 3,57%
17. Apotek 032 = 8
28× 100% = 28,57%
18. Apotek 033 = 4
28× 100% = 14,28%
19. Apotek 034 = 0
28× 100% = 0%
20. Apotek 035 = 10
28× 100% = 35,71%
21. Apotek 036 = 12
28× 100% = 42,85%
22. Apotek 037 = 10
28× 100% = 35,71%
23. Apotek 038 = 8
28× 100% = 28,57%
24. Apotek 039 = 13
28× 100% = 40,42%
25. Apotek 040 = 9
28× 100% = 32,14%
26. Apotek 041 = 12
28× 100% = 42,85%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27. Apotek 042 = 8
28× 100% = 28,57%
28. Apotek 043 = 6
28× 100% = 21,42%
29. Apotek 044 = 10
28× 100% = 35,71%
30. Apotek 045 = 4
28× 100% = 32,14%
31. Apotek 046 = 8
28× 100% = 28,57%
32. Apotek 047 = 6
28× 100% = 21,42%
33. Apotek 048 = 9
28× 100% = 32,14%
34. Apotek 049 = 3
28× 100% = 10,71%
35. Apotek 050 = 5
28× 100% = 17,85%
36. Apotek 051 = 5
28× 100% = 17,85%
37. Apotek 052 = 4
28× 100% = 14,28%
38. Apotek 053 = 3
28× 100% = 10,71%
Hasil persentase kualitas pelayanan klinis apotek di Kecamatan Jatiasih
berdasarkan pemberi pelayanan klinis:
a. Persentase kualitas pelayanan klinis yang diberikan oleh Apoteker
persentase kualitas pelayanan seluruh apotek di kecamatan yang diberikan apoteker
jumlah apotek yang memberikan pelayanan farmasi klinis di Apotek
= persentase kualitas pelayan farmasi klinis di Apotek yang diberikan Apoteker
21,42 + 28,57 + 28,57 + 21,42 + 32,14 + 28,57 + 28,57 + 21,42 + 28,57 +14,28 + 35,71 + 40,42 + 42,85 + 21,42 + 35,17 + 32,14 + 28,57 + 10,71 + 14,28
19= 27,09%
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006) :
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinis di Apotek Kecamatan
Bekasi Selatan yang diberikan Apoteker dapat dikategorikan buruk.
b. Persentase kualitas pelayanan klinis yang diberikan oleh petugas apotek (non
apoteker)
persentase kualitas pelayanan seluruh apotek di kecamatan yang diberikan apoteker
jumlah apotek yang memberikan pelayanan farmasi klinis di Apotek
= persentase kualitas pelayan farmasi klinis di Apotek yang diberikan Apoteker
17,85 + 17,85 + 17,85 + 17,85 + 25 + 3,57 + 0 + 35,71 + 42,85 + 28,57 + 32,14 + 28,57 + 32,14 + 17,85 + 17,85 + 10,71
17= 21,63%
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006) :
a. 90%-100% = amat baik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinis di Apotek Kecamatan
Bekasi Selatan yang diberikan Petugas Apotek (non apoteker) dapat dikategorikan buruk.
c. Persentase kualitas pelayanan klinis yang diberikan oleh Apoteker dan petugas
apotek (non apoteker) persentase kualitas pelayanan seluruh apotek di kecamatan yang diberikan A + PA
jumlah apotek yang memberikan pelayanan farmasi klinis di Apotek
= persentase kualitas pelayan farmasi klinis di Apotek yang diberikan Apoteker + PA
39,28 + 28,57
2= 33, %
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006) :
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pengkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinis di Apotek Kecamatan
Bekasi Selatan yang diberikan Petugas Apotek (non apoteker) dapat dikategorikan buruk.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Surat Persetujuan Izin dan Rekomendasi Penelitian dari IAI Cabang
Kota Bekasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Surat Izin Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Surat Persetujuan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi