TraumaCase
-
Upload
lanny-ardianny-omorfi -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
description
Transcript of TraumaCase
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Bara
KEPANITERAAN KLINIKSTATUS ILMU BEDAHHari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : TRAUMARUMAH SAKIT : BayukartaNama : Ayu NataliaNIM : 11-2014-318 Tanda Tangan
Pembimbing / Penguji : dr. C. Ronald Tanggo, Sp.U .......................
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. IS Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat / tanggal lahir : Karawang, 28 Sept 1986 Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : sudah menikah Pendidikan : SMA
Alamat : jl. Wijaya Kusumah I/16, Karawang Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta Tanggal masuk RS : 09-06-2015
II. ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal : 09-06-2015 , Jam : 11:00 WIB
Keluhan Utama: Perdarahan di bagian depan pergelangan tangan kanan akibat tertimpa plat
besi tajam sejak 30 menit SMRS.
Anamnesis :
Os datang ke IGD RS Bayukarta dengan perdarahan di bagian depan pergelangan
tangan kanan sejak 30 menit SMRS. Os mengatakan pergelangan tangan kanannya tertimpa
plat besi tajam saat sedang bekerja 30 menit SMRS. Terlihat darah mengucur deras dari
pergelangan tangan kanan. Os sudah mencoba menghentikan perdarahan dengan membebat
lengan bagian atas menggunakan ikat pinggang tetapi darah tetap menetes. Os dalam keadaan
sadar penuh dan berteriak kesakitan.
1
Mechanism of Injury :
Tiga puluh menit SMRS os tertimpa plat besi tajam dan mengenai bagian depan
pergelangan tangan kanannya saat sedang bekerja. Saat plat mengenai pergelangan tangan
kanannya, os refleks menarik tangannya sehingga menimbulkan luka robek cukup dalam
sampai memotong pembuluh darah dan tendon. Darah mengucur deras. Pasien datang ke RS
dalam keadaan sadar penuh.
Primary Survey
Airway : Clear
Breathing : Adekuat/spontan.
Circulation : Nadi 72 kali/menit, TD 120/80 mmHg.
Disability : GCS 15 (E4 V5 M6), compos mentis/Alert.
Exposure : -
Secondary Survey
Allergic : pasien tidak memiliki riwayat alergi
Medication : pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu
Past illness : tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya
Last meal : pasien terakhir makan 4 jam yang lalu
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital : TD : 120/80 N : 72 x/menit RR : 20 x/menit S : 36,1 0C
Kepala : dalam keadaan normal
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil
bulat, isokor.
Telinga : Bentuk normal, sekret -/-, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, sekret -/-, krepitasi(-)
Mulut : Simetris
Leher : Bentuk normal
2
Thorax :
Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Tidak teraba adanya kelainan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler (+/+), wheezing(-/-), Ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba ics V midclavicula line sinistra, kuat angkat
Perkusi : batas atas : ics II parasternal line sin.
batas kanan : midsternal line
batas kiri : ics V midclavicula line sin.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak terdapat luka post op, ataupun kelainan lainnya
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) di daerah perut
bawah, defense muskular(-)
Perkusi : Timpani, meteorismus (-), pekak (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Kanan Kiri
Tonus : normotonus normotonus
Massa : normotrofi normotrofi
Sendi : normal normal
Gerakan : normal normal
Kekuatan : 5 5
Edem : (-) (-)
STATUS LOKALIS
Ruptur arteri radialis + ruptur tendon flexor digitorum superficialis & profunda
Look : terlihat darah mengucur deras (di OK terlihat arteri dan tendon yg ruptur)
Feel : teraba aliran darah mengucur dari luka
Move : ROM menurun, tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan
3
III. DIAGNOSIS
Ruptur arteri radialis + ruptur tendon flexor digitorum superficialis & profunda
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
DARAH RUTIN
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
LED/BSE
Trombosit
Eritrosit
14,4
10
43
7
223
5,08
11,5-18
4,6-10,2
37-54
0-20
150-400
3,8-6,5
g/dl
K/uL
%
mm/1jam
K/uL
M/uL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil
Eosinofil
Batang/stat
Limfosit
Monosit
Segmen
0
3
0
47
7
44 [K]
0-1
0-3
0-5
25-50
2-10
50-80
%
%
%
%
%
%
Nilai eritrosit rata-rata
VER (MCV)
HER (MCH)
KHER (MCHC)
84,3
28,3
33,6
80-100
26-32
31-36
fL
pg
g/dl
4
Faktor Pembekuan
Masa Perdarahan
Masa Pembekuan
3
9
1-6
4-15
Menit
Menit
V. RINGKASAN
Laki-laki, 28 tahun mengalami kecelakaan kerja yaitu tertimpa plat besi tajam pada
bagian depan pergelangan tangan kanannya sejak 30 menit SMRS. Terlihat darah
mengalir cukup deras dari area luka.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tanda-tanda
vital : Nadi 72 kali/menit, TD 120/80 mmHg, RR 20 x/menit, suhu: 36,1°C.
VI. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
-
VII. PENATALAKSANAAN
- Infus RL 20 tpm
- ATS injeksi
- Ketorolac 1 ampul
- Vit K 1 ampul
- Observasi TTV setiap setengah jam.
- Pro eksplorasi + repair vascular + repair tendon
VIII.RENCANA TATALAKSANA
Tindakan : Eksplorasi + repair vascular + repair tendon
Post Operasi : infuse RL : Futrolit 2:2
Terfacef 2x1 gr
Ottozol 1x1 amp
Torasic 3x1 amp
IX. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN
Observasi post operasi.
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
5
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA VASKULAR
Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup
bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan
penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma vaskular
dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak
terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi iskemia
akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan kegagalan organ multipel.
Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka
iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti
syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada
ekstremitas.
Mekanisme Trauma
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul. Trauma
tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi dengan kecepatan
tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran dan separasi jaringan.
Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan memudahkan untuk
melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan dengan beberapa faktor,
yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE) yang
disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan (V), dan
dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2/2. Rumus ini berlaku baik untuk trauma
tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan
dengan perubahan pada massa.
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi titik
trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab trauma.
6
Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang disebabkan
oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi
anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi baik
sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal
(teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur
jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan
oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini
dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh pemindahan
jaringan.
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.
Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit. Transeksi
komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal dan distal
pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat
menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial,
seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat berujung kepada
trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan
penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut
sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki
risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan
vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.
Tipe Trauma Gejala Klinis
Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia
Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal
Dapat progresif menjadi thrombosis
Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur
diluruskan
7
Diagnosis
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah yang
secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka
tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan dengan
fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya trauma,
mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia, hematoma
pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering
pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri terus-
menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan fisik yang lengkap,
mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya
tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui
denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut berupa hard
sign dan soft sign.
Hard Sign Soft Sign
Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal
Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang
Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama
Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis
8
Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas
Hematoma yang meluas
Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan gejala
soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis adalah dengan
ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya trauma arteri.
Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma penetrasi
ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi harus
dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk
mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah
tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit
neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris
pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga
ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak
menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun penting
untuk menentukan viabilitas jaringan.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler
ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum memberikan
hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam
mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang
tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga
akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila
terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga
dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi
kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan
perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama
berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan karena
minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya
9
trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan
fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan
adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien
dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai
ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi namun tetap
perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara yang
ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk diagnosis
awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.Ultrasonografi color-
flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan
arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri.
Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat,
maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah
tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah.
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:
Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan
yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya pertolongan
pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah
perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan.
Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut
10
terbendung.
Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas
terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap
adanya iskemia.
Penatalaksanaan Operasi
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh
ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang
sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena. Pada
umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang cedera
dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.
Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri
proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu
dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal. Terkadang
diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent plastic tube) untuk
mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy,
reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru. Pemakaian heparin secara
sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil yang
diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat mencegah terbentuknya trombus.
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi cedera
pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-to-end
anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft berguna pada
pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada
anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya
graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena
pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.
Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan prostetik
sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap
infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi
ketika digunakan pada posisi di atas lutut.
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan
rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya dilakukan
11
penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi terutama pada
vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat menolong untuk
mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada penderita trauma vaskular
dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta membantu memperbaiki aliran
arteri.
Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini diharapkan terjadinya
perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur
arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren.
Pada oklusi parsial (robekan intima), bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang
tidak sempurna dan iskemia otot menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan waktu
12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu.
Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur
ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai kerusakan jaringan
lunak.
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas
pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang terhambat
dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan
jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan
tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah
proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya akan
jauh lebih memuaskan.
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft (35%),
dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko independen
yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri adalah oklusi
bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi arteri.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan angka
amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.
12
Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi
pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat. Komplikasi
yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma
palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca
operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama.
Rekonstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti
sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan pasca
bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa
amputasi, atau terjadi emboli paru.
a. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang paling
sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat pada waktu
rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis segera setelah
anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian
graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis
ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa kesalahan teknis yang dapat
menyebabkan terjadinya trombosis:
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding arteri,
dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya dalam
kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus balik saja
tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena
aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering
dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada anastomosis
yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan perbandingan 1:500 dapat
dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa bekuan
darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah distal agar
arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang
tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon Fogarthy sejauh
13
mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persediaan
ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan thrombus
yang masih tersisa.
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding
pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila
pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke ujung tetap
dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk melakukan graft
dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang
memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat
mengganggu aliran darah laminar.
5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft sintesis
biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai
pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini dapat
dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu dilapiskan
adventisia.
Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau tidak
adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada, karena
pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu panjang. Apabila
pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera melakukan operasi kedua
untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai
sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya
dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai keadaan umum mengizinkan
karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi.
Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan
Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran
kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari sumbatan.
Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan adanya
trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah keragu-raguan dalam
menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau robekan pada
intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi memang spasme arteri dapat
terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian
Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%.
14
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan
menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga terjadi
kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.
b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma
vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk
membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan,
pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan pembuluh
vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian nutrisi yang baik secara sistemik
penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada
kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin
dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja karena
tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga berbahaya untuk
kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi. Yang harus
dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah infeksi. Beberapa
hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot,
membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic secara teratur dan terus-menerus serta
pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah penyebab kedua dari kegagalan
rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.
c. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):
1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau
pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak cukup.
Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri
tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang
akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.
2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau
bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.
d. Fistula arteri vena
Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus yang
mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari arteri
ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri yang
15
kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.
Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan mengalir
melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini menyebabkan
menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan menurun dan denyut
jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik, sedangkan arus darah di
tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini
akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume
darah yang melalui pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian
rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan
payah jantung karena curahnya yang bertambah.
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam,
adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi terdengar bissng
seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh arteri dengan
pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal dari fistula adalah
klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan disertai warna
kulit yang agak kebiruan.
e. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan dinding
pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan
pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang disebabkan oleh
jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus pulposus dan fraktur
ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma tumpul juga dapat
menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik mengandung
banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan tamponade terhadap
hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru yang berasal dari pinggir luka
lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.
Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini terletak di
bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada seluruh benjolan
ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi bersamaan dengan fistula
arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai
pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat pula menolong untuk menentukan
16
besar serta letak aneurisma palsu ini.
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini,
maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan beberapa
jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara spontan
sangat kecil.
f. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi
menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot.
Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor, dan
paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:
1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia
Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan
kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera
remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah
sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi
lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan
sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada
tekanan darah lebih tinggi.
2. Kerusakan akibat reperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung
lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan
akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu
dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.
TRAUMA TENDON
Ruptur tendon merupakan pecahnya atau terpisahnya serabut tendon sehingga tendon
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya. Tendon adalah bagian tubuh yang menyatukan tulang
dengan otot/muskulus. Tendon terdiri atas 30% kolagen dan 2% elastin yang terdapat di
matriks proteoglikan ekstraseluler dan terdiri atas 58-70% air. Kolagen berjalan pararel satu
sama lain dan bergabung di tendon achilles. Bagian terkecil dari kolagen adalah kolagen
fibril dan tenosit. Beberapa kolagen fiber terikat bersama membentuk lapisan dalam tendon
17
disebut fascia. Endotenon mengelilingi fascia untuk menstabilkan dan mengikat tendon
achiles. Endotenon terikat bersama oleh lapisan tendon terakhir yang disebut peritendon.
Peritendon di bentuk oleh 3 lapisan, epitenon, mesotenon dan paratenon. Epitenon merupakan
lapisan terdalam yang paling dekat dengan endotenon yang terdiri dari saraf, pembuluh darah
dan limfatik. Paratenon merupakan lapisan terluar.
Paratenon terdiri atas beberapa membran tipis dan membentuk area tipis antara
tendon dan fascia crura. Fascia crura di tutup oleh jaringan subkutan dan kulit. Pada sisi
ventral, paratenon terdiri atas jaringan areolar lemak dan terdiri atas pembuluh darah dan
jarinan konektivus. Bagian ventral sampai tendon achilles merupakan suatu triangular pre-
achilles fat pad yang dikenal sebagai kager’s fat pad.
Paratenon memiliki lapisan viseral dan parietal. Paratenon ini analog dengan
sinovium yang menyediakan nutrisi untuk tendon, tapi karena tendon achilles tidak berubah
sumbu gerak, maka tidak digunakan untuk pelumasan seperti fungsi sinovium. Paratenon
ini di proksimal berhubungan dengan fascia dan didistal dengan periosteum calcaneus.
Dua lapisan jaringan fibrosa dengan pembuluh darah mesotendal internal membuat
paratenon bergerak keatas. Serat anyaman paratenon membuat tendon 6 meregang
hingga beberapa sentimeter dan menyebabkan tendon bergeser beberapa derajat.
Anatomi Tendon Fleksor Tangan
Terdapat 8 tendon otot fleksor digitorum superfisial dan profunda tendon fleksor
pollicis longus dan tendon fleksor carpi radialis yang melewati carpal tunnel sampai tulang-
tulang carpal atau jari-jari dan terinsersi ke dalam tulang yang terkait. Sinovial dan selaput
fibrosa membungkus permukaan dalam dan luar masing-masing tendon, secara berturut-turut.
Selaput sinovial fleksor utama (bursa ulnaris) berada di dalam carpal tunnel dan meluas
sampai pertengahan tulang metacarpal di tengah palmar. Bursa ulnaris ini menyelubungi 8
tendon fleksor digitorum superfisialis dan profunda. Sisi ulnarisnya berlanjut sebagai selaput
sinovial tendon untuk jari kelingking. Selaput sinovial jari dari 3 jari medial menyelubungi
secara terpisah dari proksimal metacarpal sampai insersinya ke phalanx distal. Tendon fleksor
pollicis longus masuk ke permukaan anterior dari proksimal phalanx distal ibu jari.
Sedangkan tendon fleksor digitorum profunda memasuki selaput fibrosa pada proksimal
metacarpal dan ujungnya melebar untuk masuk ke permukaan volar dari proksimal phalanx
distal dari 4 jari medial. Tendon fleksor digitorum superfisial juga masuk ke selaput fibrosa
pada tempat yang sama dan ujungnya melebar. Setiap tendon fleksor digitorum superfisial
18
terbagi menjadi 2 sarung tendon pada corpus phalanx media untuk melewatkan tendon
fleksor digitorum profunda dan masuk ke sisi ulnar dan radiusnya pada phalanx media dari
keempat jari.
Dalam upaya untuk menggambarkan trauma tendon secara akurat, Kleinert dan
Verdan mengklasifikasikan trauma tendon berdasar zona anatomi:
Zona I: Zona trauma avulsi FDP (Jersey finger): Letaknya antara bagian medial
phalanx media sampai ujung jari dan terdiri hanya satu tendon yakni fleksor digitorum
profunda. Laserasi tendon biasanya sangat dekat dengan insersinya dan perbaikan
tendon ke tulang lebih dibutuhkan daripada perbaikan tendon ke tendon.
Zona II: No mans land: Letaknya dari caput metacarpal ke pertengahan phalanx
media. Terdapat 2 tendon pada zona ini yakni fleksor digitorum superfisial dan
profunda. Pada fleksi jari, 2 bagian fleksor digitorum superfisial bergerak ke tengah
dan menjepit tendon fleksor digitorum profunda.4 Disebut no mans land oleh Bunnel
karena tendensi terbentuknya adhesi dan terjadi pembatasan fungsi setelah perbaikan
tendon pada zona ini.
Zona III: Lipatan palmar distal: Letaknya antara ligamentum carpal transversum dan
sisi proksimal pembentukan selaput tendon.
Zona IV: Ligamentum carpal transversum: Letaknya di bawah ligamentum carpal
transversum. Trauma tendon pada zona ini jarang terjadi karena proteksi dari
ligamentum carpal transversum yang kuat.
19
Zona V: Proksimal: Letaknya di proksimal ligamentum carpal transversum. Bagian
proksimal zona ini tepat pada tautan muskulotendinosa.
Pemeriksaan klinis
Meski deformitas berat tidak ditemukan, posisi tangan sering memberi petunjuk
tendon fleksor mana yang terpotong. Posisi normal tangan menunjukkan jari telunjuk dalam
posisi sedikit fleksi dan jari kelingking paling fleksi.9 Jika kedua tendon jari terpotong, maka
jari akan berada dalam posisi hiperekstensi.
Fungsi tendon biasanya dievaluasi dengan gerakan aktif volunter jari, biasanya secara
langsung oleh pemeriksa. Tindakan manuver yang dilakukan dahulu pada tangan pemeriksa
atau tangan penderita yang sehat sebelum pada tangan yang terluka dapat membantu. Jika
luka pada distal pergelangan, jari yang terluka ditahan untuk memperoleh gerakan sendi
spesifik. Dengan sendi proksimal interphalanx ditahan, fleksor digitorum profunda diduga
terpotong jika sendi distal interphalanx tidak dapat fleksi secara aktif. Jika sendi proksimal
interphalanx dan distal interphalanx keduanya tidak dapat fleksi secara aktif dengan tahanan
pada sendi metacarpophalangeal, maka kedua tendon fleksor mungkin terpotong.
Pada ibu jari, untuk pemeriksaan tendon fleksor pollicis longus, sendi
metacarpophalangeal ibu jari ditahan. Jika tendon fleksor pollicis longus terpotong, fleksi
pada sendi interphalangeal tidak ada. Sedangkan jika luka terletak pada pergelangan, sendi
jari dapat fleksi secara aktif meskipun tendon jarinya terpotong. Hal ini dikarenakan
interkomunikasi tendon fleksor digitorum profunda pada pergelangan, khususnya jari manis
dan kelingking. Pada ruptur tendon parsial biasanya tetap berfungsi, namun gerakan jari
dibatasi oleh nyeri.
Penatalaksanaan
Pada saat cedera atau setelahnya, tubuh memulai proses penyembuhan. Penyembuhan
tendon adalah proses yang sangat kompleks dengan interaksi antara darah dan selasal
jaringan, mediator inflamasi dan matriks molekul. Tujuannya adalah menyembuhkan dan
memperbaiki proses untuk mencapai hemostasis, integritas jaringan dan dapat memberikan
dukungan terhadap beban.6
Proses penyembuhan dapat dibagi menjadi tiga tahap penyembuhan. Tahap pertama
mencakup hemostasis yang berlangsung selama beberapa hari. Fase ini dimulai segera setelah
20
cedera. Terjadi pembentukan bekuan darah, trombosit aktif dan terjadi vasodilatasi. Terdapat
kaskade mediator pro-inflamasi yang mengarah ke angiogenesis dan perekrutan sel inflamasi
ke daerah cedera dan sel-sel ini mulai dengan penghancuran bekuan darah dan debris. Tahap
kedua, dikenal sebagai proliferasi atau perbaikan, dimulai hari ke dua setelah cedera dan
berlangsung hingga 6-8 minggu. Fase ini ditandai dengan aktifitas sintetis oleh makrofag dan
fibroblas. Terjadi pada beberapa hari setelah cedera dan menyebabkan perekrutan sel dan
melepaskan faktor pertumbuhan. Fibroblas memproduksi sebagian besar kolagen tipe III
untuk stabilitas sementara. Tahap ketiga, yang dikenal sebagai renovasi atau fase 18
pematangan. Dimulai pada bulan 1-2 setelah cedera dan dapat berlangsung selama lebih dari
satu tahun. Selama fase ini, kolagen tipe I mulai mendominasi dan struktur menjadi lebih
teratur. Pada akhir fase ini jaringan parut matur terbentuk, namun tendon akan menyembuh
lambat namun mungkin tidak lengkap.6
Penanganan Trauma Tendon Fleksor
Mekanisme trauma fleksor tangan dan jari tidak lagi diterapi dengan rekonstruksi
tertunda karena perbaikan primer langsung dan tertunda memberi hasil yang baik sampai
sempurna, meski dilakukan pada jari tengah. Hasil yang memuaskan dilaporkan pada 75 – 98
% pasien.
Zona I: Sebagaimana laserasi tendon pada jari umumnya, luka harus diperluas ke
proksimal dan distal untuk memudahkan visualisasi. Beberapa ahli bedah memilih
jahitan jarum Keith melalui phalanx distal dengan volar ke sudut dorsal daripada
kedua sisi tulang.
Zona II: Kedua laserasi tendon direkonstruksi pada zona II. Jahitan 4-strand dengan
jahitan epitenon. Rekonstruksi Kessler modifikasi Strickland dilakukan dengan
menggunakan 2 poros jahitan untuk tendon fleksor digitorum profunda.
Zona III: Rekonstruksi tendon menggunakan teknik jahitan yang sama dengan yang
dijelaskan sebelumnya. Pemaparan tendon lebih mudah dan hasilnya lebih baik
karena tidak adanya selaput fibroosseus pada zona ini.
Zona IV: Tendon direkonstruksi dengan teknik sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnnya, selama tidak ada trauma saraf medianus yang terletak di superfisial
tendon.
21
Zona V: Trauma pada tautan muskulotendinosa dapat sulit direkonstruksi karena
jaringan otot akan tidak dapat menahan jahitan. Sering jahitan matras multipel
dibutuhkan jika tautan muskulotendinosa tidak mampu menahan poros jahitan.
Rehabilitasi Post-operatif
Kunci keberhasilan perbaikan tendon fleksor sangat terkait dengan regimen terapi
program rehabilitasi tangan. Protokol rehabilitasi setelah perbaikan tendon fleksor ada, yakni:
Latihan gerakan aktif.
Gerakan pasif dengan teknik Kleinert maupun Duran.
Immobilisasi dibutuhkan untuk anak usia kurang 10 tahun dan bagi pasien yang tidak
dapat mengikuti program rehabilitasi. Immobilisasi dengan pergelangan fleksi 10
derajat, sendi metacarpophalangeal fleksi 70 derajat dan sendi interphalanx netral
selama 4 – 6 minggu.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2008. H:50-65.
2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier
Saunders. 2004.
3. Kvist M, Jarvinen M. The operative treatmen of chronic calcaneal peritonitis. J Bone
Joint Surg (Br): 1980; 62: 353-57
4. Schweitzer ME, Karasick D. MR imaging of disorders of the Achilles tendon. AJR:
2000; 175: 613-25
5. Rekant M. Flexor tendon injuries. Dalam: Trumble TE, Budoff JE, dan Cornwall R
editors. Hand, elbow & shoulder: core knowledge in orthopaedics. Philadelphia.
Mosby elsevier. 2006. p. 189-199
23