TraumaCase

35
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Bara KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : TRAUMA RUMAH SAKIT : Bayukarta Nama : Ayu Natalia NIM : 11-2014-318 Tanda Tangan Pembimbing / Penguji : dr. C. Ronald Tanggo, Sp.U ....................... I. IDENTITAS PASIEN Nama lengkap : Tn. IS Jenis kelamin : Laki-laki Tempat / tanggal lahir : Karawang, 28 Sept 1986 Suku bangsa : Jawa Status perkawinan : sudah menikah Pendidikan : SMA Alamat : jl. Wijaya Kusumah I/16, Karawang Agama : Islam Pekerjaan : Karyawan Swasta Tanggal masuk RS : 09-06- 2015 II. ANAMNESIS Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal : 09-06-2015 , Jam : 11:00 WIB 1

description

medicine

Transcript of TraumaCase

Page 1: TraumaCase

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Bara

KEPANITERAAN KLINIKSTATUS ILMU BEDAHHari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : TRAUMARUMAH SAKIT : BayukartaNama : Ayu NataliaNIM : 11-2014-318 Tanda Tangan

Pembimbing / Penguji : dr. C. Ronald Tanggo, Sp.U .......................

I. IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Tn. IS Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat / tanggal lahir : Karawang, 28 Sept 1986 Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : sudah menikah Pendidikan : SMA

Alamat : jl. Wijaya Kusumah I/16, Karawang Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan Swasta Tanggal masuk RS : 09-06-2015

II. ANAMNESIS

Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal : 09-06-2015 , Jam : 11:00 WIB

Keluhan Utama: Perdarahan di bagian depan pergelangan tangan kanan akibat tertimpa plat

besi tajam sejak 30 menit SMRS.

Anamnesis :

Os datang ke IGD RS Bayukarta dengan perdarahan di bagian depan pergelangan

tangan kanan sejak 30 menit SMRS. Os mengatakan pergelangan tangan kanannya tertimpa

plat besi tajam saat sedang bekerja 30 menit SMRS. Terlihat darah mengucur deras dari

pergelangan tangan kanan. Os sudah mencoba menghentikan perdarahan dengan membebat

lengan bagian atas menggunakan ikat pinggang tetapi darah tetap menetes. Os dalam keadaan

sadar penuh dan berteriak kesakitan.

1

Page 2: TraumaCase

Mechanism of Injury :

Tiga puluh menit SMRS os tertimpa plat besi tajam dan mengenai bagian depan

pergelangan tangan kanannya saat sedang bekerja. Saat plat mengenai pergelangan tangan

kanannya, os refleks menarik tangannya sehingga menimbulkan luka robek cukup dalam

sampai memotong pembuluh darah dan tendon. Darah mengucur deras. Pasien datang ke RS

dalam keadaan sadar penuh.

Primary Survey

Airway : Clear

Breathing : Adekuat/spontan.

Circulation : Nadi 72 kali/menit, TD 120/80 mmHg.

Disability : GCS 15 (E4 V5 M6), compos mentis/Alert.

Exposure : -

Secondary Survey

Allergic : pasien tidak memiliki riwayat alergi

Medication : pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu

Past illness : tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya

Last meal : pasien terakhir makan 4 jam yang lalu

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda-tanda vital : TD : 120/80 N : 72 x/menit RR : 20 x/menit S : 36,1 0C

Kepala : dalam keadaan normal

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil

bulat, isokor.

Telinga : Bentuk normal, sekret -/-, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, sekret -/-, krepitasi(-)

Mulut : Simetris

Leher : Bentuk normal

2

Page 3: TraumaCase

Thorax :

Paru-paru :

Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)

Palpasi : Tidak teraba adanya kelainan

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler (+/+), wheezing(-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba ics V midclavicula line sinistra, kuat angkat

Perkusi : batas atas : ics II parasternal line sin.

batas kanan : midsternal line

batas kiri : ics V midclavicula line sin.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Datar, tidak terdapat luka post op, ataupun kelainan lainnya

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) di daerah perut

bawah, defense muskular(-)

Perkusi : Timpani, meteorismus (-), pekak (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Kanan Kiri

Tonus : normotonus normotonus

Massa : normotrofi normotrofi

Sendi : normal normal

Gerakan : normal normal

Kekuatan : 5 5

Edem : (-) (-)

STATUS LOKALIS

Ruptur arteri radialis + ruptur tendon flexor digitorum superficialis & profunda

Look : terlihat darah mengucur deras (di OK terlihat arteri dan tendon yg ruptur)

Feel : teraba aliran darah mengucur dari luka

Move : ROM menurun, tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan

3

Page 4: TraumaCase

III. DIAGNOSIS

Ruptur arteri radialis + ruptur tendon flexor digitorum superficialis & profunda

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

DARAH RUTIN

Hemoglobin

Leukosit

Hematokrit

LED/BSE

Trombosit

Eritrosit

14,4

10

43

7

223

5,08

11,5-18

4,6-10,2

37-54

0-20

150-400

3,8-6,5

g/dl

K/uL

%

mm/1jam

K/uL

M/uL

Hitung Jenis Leukosit

Basofil

Eosinofil

Batang/stat

Limfosit

Monosit

Segmen

0

3

0

47

7

44 [K]

0-1

0-3

0-5

25-50

2-10

50-80

%

%

%

%

%

%

Nilai eritrosit rata-rata

VER (MCV)

HER (MCH)

KHER (MCHC)

84,3

28,3

33,6

80-100

26-32

31-36

fL

pg

g/dl

4

Page 5: TraumaCase

Faktor Pembekuan

Masa Perdarahan

Masa Pembekuan

3

9

1-6

4-15

Menit

Menit

V. RINGKASAN

Laki-laki, 28 tahun mengalami kecelakaan kerja yaitu tertimpa plat besi tajam pada

bagian depan pergelangan tangan kanannya sejak 30 menit SMRS. Terlihat darah

mengalir cukup deras dari area luka.

Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tanda-tanda

vital : Nadi 72 kali/menit, TD 120/80 mmHg, RR 20 x/menit, suhu: 36,1°C.

VI. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

-

VII. PENATALAKSANAAN

- Infus RL 20 tpm

- ATS injeksi

- Ketorolac 1 ampul

- Vit K 1 ampul

- Observasi TTV setiap setengah jam.

- Pro eksplorasi + repair vascular + repair tendon

VIII.RENCANA TATALAKSANA

Tindakan : Eksplorasi + repair vascular + repair tendon

Post Operasi : infuse RL : Futrolit 2:2

Terfacef 2x1 gr

Ottozol 1x1 amp

Torasic 3x1 amp

IX. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN

Observasi post operasi.

X. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

5

Page 6: TraumaCase

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA VASKULAR

Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup

bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan

penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma vaskular

dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak

terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi iskemia

akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan kegagalan organ multipel.

Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka

iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti

syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada

ekstremitas.

Mekanisme Trauma

Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul. Trauma

tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi dengan kecepatan

tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran dan separasi jaringan.

Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan memudahkan untuk

melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan dengan beberapa faktor,

yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.

Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE) yang

disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan (V), dan

dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2/2. Rumus ini berlaku baik untuk trauma

tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan

dengan perubahan pada massa.

Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi titik

trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab trauma.

6

Page 7: TraumaCase

Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang disebabkan

oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi

anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi baik

sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal

(teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur

jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan

oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini

dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh pemindahan

jaringan.

Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.

Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit. Transeksi

komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal dan distal

pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat

menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial,

seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat berujung kepada

trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan

penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut

sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki

risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan

vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis

Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan

Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia

Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal

Dapat progresif menjadi thrombosis

Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur

diluruskan

7

Page 8: TraumaCase

Diagnosis

Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah yang

secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka

tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan dengan

fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya trauma,

mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.

Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia, hematoma

pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering

pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri terus-

menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan fisik yang lengkap,

mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya

tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui

denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut berupa hard

sign dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign

Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal

Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang

Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama

Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis

8

Page 9: TraumaCase

Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas

Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan gejala

soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis adalah dengan

ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya trauma arteri.

Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma penetrasi

ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.

Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi harus

dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk

mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah

tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit

neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris

pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga

ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak

menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun penting

untuk menentukan viabilitas jaringan.

Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler

ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum memberikan

hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam

mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang

tertinggal.

Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga

akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila

terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga

dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi

kolateral yang ada.

Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan

perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama

berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan karena

minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya

9

Page 10: TraumaCase

trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan

fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan

adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien

dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai

ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi namun tetap

perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.

Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara yang

ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk diagnosis

awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.Ultrasonografi color-

flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan

arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri.

Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat,

maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah

tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah.

Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

Penatalaksanaan

Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan

yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya pertolongan

pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah

perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan.

Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut

10

Page 11: TraumaCase

terbendung.

Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas

terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap

adanya iskemia.

Penatalaksanaan Operasi

Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh

ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang

sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena. Pada

umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang cedera

dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.

Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri

proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu

dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal. Terkadang

diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent plastic tube) untuk

mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy,

reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru. Pemakaian heparin secara

sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil yang

diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat mencegah terbentuknya trombus.

Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi cedera

pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-to-end

anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft berguna pada

pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.

Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada

anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya

graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena

pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.

Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan prostetik

sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap

infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi

ketika digunakan pada posisi di atas lutut.

Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan

rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya dilakukan

11

Page 12: TraumaCase

penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi terutama pada

vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat menolong untuk

mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada penderita trauma vaskular

dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta membantu memperbaiki aliran

arteri.

Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka sebaiknya

dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini diharapkan terjadinya

perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur

arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren.

Pada oklusi parsial (robekan intima), bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang

tidak sempurna dan iskemia otot menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.

Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan waktu

12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu.

Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur

ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai kerusakan jaringan

lunak.

Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas

pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang terhambat

dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan

jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan

tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah

proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya akan

jauh lebih memuaskan.

Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft (35%),

dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko independen

yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri adalah oklusi

bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi arteri.

Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan angka

amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:

a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan

b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin

c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal

d. Pemakaian heparin yang sepantasnya

e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.

12

Page 13: TraumaCase

Komplikasi

Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi

pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat. Komplikasi

yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma

palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca

operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama.

Rekonstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti

sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan pasca

bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa

amputasi, atau terjadi emboli paru.

a. Trombosis

Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang paling

sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang memuaskan.

Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat pada waktu

rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis segera setelah

anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian

graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis

ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa kesalahan teknis yang dapat

menyebabkan terjadinya trombosis:

1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding arteri,

dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.

2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya dalam

kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus balik saja

tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena

aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering

dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.

3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada anastomosis

yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan perbandingan 1:500 dapat

dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa bekuan

darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah distal agar

arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang

tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon Fogarthy sejauh

13

Page 14: TraumaCase

mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persediaan

ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan thrombus

yang masih tersisa.

4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang

berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding

pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila

pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke ujung tetap

dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk melakukan graft

dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang

memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat

mengganggu aliran darah laminar.

5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft sintesis

biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai

pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini dapat

dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu dilapiskan

adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau tidak

adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada, karena

pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu panjang. Apabila

pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera melakukan operasi kedua

untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai

sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya

dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai keadaan umum mengizinkan

karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi.

Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan

Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran

kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari sumbatan.

Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan adanya

trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah keragu-raguan dalam

menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau robekan pada

intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi memang spasme arteri dapat

terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian

Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%.

14

Page 15: TraumaCase

Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan

menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga terjadi

kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.

b. Infeksi

Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma

vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk

membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan,

pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan pembuluh

vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian nutrisi yang baik secara sistemik

penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada

kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin

dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.

Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja karena

tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga berbahaya untuk

kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi. Yang harus

dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah infeksi. Beberapa

hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot,

membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic secara teratur dan terus-menerus serta

pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah penyebab kedua dari kegagalan

rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.

c. Stenosis

Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):

1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau

pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak cukup.

Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri

tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang

akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.

2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau

bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.

d. Fistula arteri vena

Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus yang

mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari arteri

ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri yang

15

Page 16: TraumaCase

kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.

Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan mengalir

melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini menyebabkan

menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan menurun dan denyut

jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik, sedangkan arus darah di

tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini

akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume

darah yang melalui pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian

rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan

payah jantung karena curahnya yang bertambah.

Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam,

adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi terdengar bissng

seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh arteri dengan

pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal dari fistula adalah

klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan disertai warna

kulit yang agak kebiruan.

e. Aneurisma Palsu

Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan dinding

pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan

pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang disebabkan oleh

jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus pulposus dan fraktur

ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma tumpul juga dapat

menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.

Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik mengandung

banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan tamponade terhadap

hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru yang berasal dari pinggir luka

lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.

Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.

Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini terletak di

bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada seluruh benjolan

ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi bersamaan dengan fistula

arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai

pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat pula menolong untuk menentukan

16

Page 17: TraumaCase

besar serta letak aneurisma palsu ini.

Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini,

maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan beberapa

jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara spontan

sangat kecil.

f. Sindrom Kompartemen

Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada

kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi

menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot.

Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor, dan

paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:

1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia

Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan

kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera

remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah

sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi

lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan

sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada

tekanan darah lebih tinggi.

2. Kerusakan akibat reperfusi

Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung

lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang

ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan

akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu

dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.

TRAUMA TENDON

Ruptur tendon merupakan pecahnya atau terpisahnya serabut tendon sehingga tendon

tidak dapat lagi menjalankan fungsinya. Tendon adalah bagian tubuh yang menyatukan tulang

dengan otot/muskulus. Tendon terdiri atas 30% kolagen dan 2% elastin yang terdapat di

matriks proteoglikan ekstraseluler dan terdiri atas 58-70% air. Kolagen berjalan pararel satu

sama lain dan bergabung di tendon achilles. Bagian terkecil dari kolagen adalah kolagen

fibril dan tenosit. Beberapa kolagen fiber terikat bersama membentuk lapisan dalam tendon

17

Page 18: TraumaCase

disebut fascia. Endotenon mengelilingi fascia untuk menstabilkan dan mengikat tendon

achiles. Endotenon terikat bersama oleh lapisan tendon terakhir yang disebut peritendon.

Peritendon di bentuk oleh 3 lapisan, epitenon, mesotenon dan paratenon. Epitenon merupakan

lapisan terdalam yang paling dekat dengan endotenon yang terdiri dari saraf, pembuluh darah

dan limfatik. Paratenon merupakan lapisan terluar.

Paratenon terdiri atas beberapa membran tipis dan membentuk area tipis antara

tendon dan fascia crura. Fascia crura di tutup oleh jaringan subkutan dan kulit. Pada sisi

ventral, paratenon terdiri atas jaringan areolar lemak dan terdiri atas pembuluh darah dan

jarinan konektivus. Bagian ventral sampai tendon achilles merupakan suatu triangular pre-

achilles fat pad yang dikenal sebagai kager’s fat pad.

Paratenon memiliki lapisan viseral dan parietal. Paratenon ini analog dengan

sinovium yang menyediakan nutrisi untuk tendon, tapi karena tendon achilles tidak berubah

sumbu gerak, maka tidak digunakan untuk pelumasan seperti fungsi sinovium. Paratenon

ini di proksimal berhubungan dengan fascia dan didistal dengan periosteum calcaneus.

Dua lapisan jaringan fibrosa dengan pembuluh darah mesotendal internal membuat

paratenon bergerak keatas. Serat anyaman paratenon membuat tendon 6 meregang

hingga beberapa sentimeter dan menyebabkan tendon bergeser beberapa derajat.

Anatomi Tendon Fleksor Tangan

Terdapat 8 tendon otot fleksor digitorum superfisial dan profunda tendon fleksor

pollicis longus dan tendon fleksor carpi radialis yang melewati carpal tunnel sampai tulang-

tulang carpal atau jari-jari dan terinsersi ke dalam tulang yang terkait. Sinovial dan selaput

fibrosa membungkus permukaan dalam dan luar masing-masing tendon, secara berturut-turut.

Selaput sinovial fleksor utama (bursa ulnaris) berada di dalam carpal tunnel dan meluas

sampai pertengahan tulang metacarpal di tengah palmar. Bursa ulnaris ini menyelubungi 8

tendon fleksor digitorum superfisialis dan profunda. Sisi ulnarisnya berlanjut sebagai selaput

sinovial tendon untuk jari kelingking. Selaput sinovial jari dari 3 jari medial menyelubungi

secara terpisah dari proksimal metacarpal sampai insersinya ke phalanx distal. Tendon fleksor

pollicis longus masuk ke permukaan anterior dari proksimal phalanx distal ibu jari.

Sedangkan tendon fleksor digitorum profunda memasuki selaput fibrosa pada proksimal

metacarpal dan ujungnya melebar untuk masuk ke permukaan volar dari proksimal phalanx

distal dari 4 jari medial. Tendon fleksor digitorum superfisial juga masuk ke selaput fibrosa

pada tempat yang sama dan ujungnya melebar. Setiap tendon fleksor digitorum superfisial

18

Page 19: TraumaCase

terbagi menjadi 2 sarung tendon pada corpus phalanx media untuk melewatkan tendon

fleksor digitorum profunda dan masuk ke sisi ulnar dan radiusnya pada phalanx media dari

keempat jari.

Dalam upaya untuk menggambarkan trauma tendon secara akurat, Kleinert dan

Verdan mengklasifikasikan trauma tendon berdasar zona anatomi:

Zona I: Zona trauma avulsi FDP (Jersey finger): Letaknya antara bagian medial

phalanx media sampai ujung jari dan terdiri hanya satu tendon yakni fleksor digitorum

profunda. Laserasi tendon biasanya sangat dekat dengan insersinya dan perbaikan

tendon ke tulang lebih dibutuhkan daripada perbaikan tendon ke tendon.

Zona II: No mans land: Letaknya dari caput metacarpal ke pertengahan phalanx

media. Terdapat 2 tendon pada zona ini yakni fleksor digitorum superfisial dan

profunda. Pada fleksi jari, 2 bagian fleksor digitorum superfisial bergerak ke tengah

dan menjepit tendon fleksor digitorum profunda.4 Disebut no mans land oleh Bunnel

karena tendensi terbentuknya adhesi dan terjadi pembatasan fungsi setelah perbaikan

tendon pada zona ini.

Zona III: Lipatan palmar distal: Letaknya antara ligamentum carpal transversum dan

sisi proksimal pembentukan selaput tendon.

Zona IV: Ligamentum carpal transversum: Letaknya di bawah ligamentum carpal

transversum. Trauma tendon pada zona ini jarang terjadi karena proteksi dari

ligamentum carpal transversum yang kuat.

19

Page 20: TraumaCase

Zona V: Proksimal: Letaknya di proksimal ligamentum carpal transversum. Bagian

proksimal zona ini tepat pada tautan muskulotendinosa.

Pemeriksaan klinis

Meski deformitas berat tidak ditemukan, posisi tangan sering memberi petunjuk

tendon fleksor mana yang terpotong. Posisi normal tangan menunjukkan jari telunjuk dalam

posisi sedikit fleksi dan jari kelingking paling fleksi.9 Jika kedua tendon jari terpotong, maka

jari akan berada dalam posisi hiperekstensi.

Fungsi tendon biasanya dievaluasi dengan gerakan aktif volunter jari, biasanya secara

langsung oleh pemeriksa. Tindakan manuver yang dilakukan dahulu pada tangan pemeriksa

atau tangan penderita yang sehat sebelum pada tangan yang terluka dapat membantu. Jika

luka pada distal pergelangan, jari yang terluka ditahan untuk memperoleh gerakan sendi

spesifik. Dengan sendi proksimal interphalanx ditahan, fleksor digitorum profunda diduga

terpotong jika sendi distal interphalanx tidak dapat fleksi secara aktif. Jika sendi proksimal

interphalanx dan distal interphalanx keduanya tidak dapat fleksi secara aktif dengan tahanan

pada sendi metacarpophalangeal, maka kedua tendon fleksor mungkin terpotong.

Pada ibu jari, untuk pemeriksaan tendon fleksor pollicis longus, sendi

metacarpophalangeal ibu jari ditahan. Jika tendon fleksor pollicis longus terpotong, fleksi

pada sendi interphalangeal tidak ada. Sedangkan jika luka terletak pada pergelangan, sendi

jari dapat fleksi secara aktif meskipun tendon jarinya terpotong. Hal ini dikarenakan

interkomunikasi tendon fleksor digitorum profunda pada pergelangan, khususnya jari manis

dan kelingking. Pada ruptur tendon parsial biasanya tetap berfungsi, namun gerakan jari

dibatasi oleh nyeri.

Penatalaksanaan

Pada saat cedera atau setelahnya, tubuh memulai proses penyembuhan. Penyembuhan

tendon adalah proses yang sangat kompleks dengan interaksi antara darah dan selasal

jaringan, mediator inflamasi dan matriks molekul. Tujuannya adalah menyembuhkan dan

memperbaiki proses untuk mencapai hemostasis, integritas jaringan dan dapat memberikan

dukungan terhadap beban.6

Proses penyembuhan dapat dibagi menjadi tiga tahap penyembuhan. Tahap pertama

mencakup hemostasis yang berlangsung selama beberapa hari. Fase ini dimulai segera setelah

20

Page 21: TraumaCase

cedera. Terjadi pembentukan bekuan darah, trombosit aktif dan terjadi vasodilatasi. Terdapat

kaskade mediator pro-inflamasi yang mengarah ke angiogenesis dan perekrutan sel inflamasi

ke daerah cedera dan sel-sel ini mulai dengan penghancuran bekuan darah dan debris. Tahap

kedua, dikenal sebagai proliferasi atau perbaikan, dimulai hari ke dua setelah cedera dan

berlangsung hingga 6-8 minggu. Fase ini ditandai dengan aktifitas sintetis oleh makrofag dan

fibroblas. Terjadi pada beberapa hari setelah cedera dan menyebabkan perekrutan sel dan

melepaskan faktor pertumbuhan. Fibroblas memproduksi sebagian besar kolagen tipe III

untuk stabilitas sementara. Tahap ketiga, yang dikenal sebagai renovasi atau fase 18

pematangan. Dimulai pada bulan 1-2 setelah cedera dan dapat berlangsung selama lebih dari

satu tahun. Selama fase ini, kolagen tipe I mulai mendominasi dan struktur menjadi lebih

teratur. Pada akhir fase ini jaringan parut matur terbentuk, namun tendon akan menyembuh

lambat namun mungkin tidak lengkap.6

Penanganan Trauma Tendon Fleksor

Mekanisme trauma fleksor tangan dan jari tidak lagi diterapi dengan rekonstruksi

tertunda karena perbaikan primer langsung dan tertunda memberi hasil yang baik sampai

sempurna, meski dilakukan pada jari tengah. Hasil yang memuaskan dilaporkan pada 75 – 98

% pasien.

Zona I: Sebagaimana laserasi tendon pada jari umumnya, luka harus diperluas ke

proksimal dan distal untuk memudahkan visualisasi. Beberapa ahli bedah memilih

jahitan jarum Keith melalui phalanx distal dengan volar ke sudut dorsal daripada

kedua sisi tulang.

Zona II: Kedua laserasi tendon direkonstruksi pada zona II. Jahitan 4-strand dengan

jahitan epitenon. Rekonstruksi Kessler modifikasi Strickland dilakukan dengan

menggunakan 2 poros jahitan untuk tendon fleksor digitorum profunda.

Zona III: Rekonstruksi tendon menggunakan teknik jahitan yang sama dengan yang

dijelaskan sebelumnya. Pemaparan tendon lebih mudah dan hasilnya lebih baik

karena tidak adanya selaput fibroosseus pada zona ini.

Zona IV: Tendon direkonstruksi dengan teknik sebagaimana yang dijelaskan

sebelumnnya, selama tidak ada trauma saraf medianus yang terletak di superfisial

tendon.

21

Page 22: TraumaCase

Zona V: Trauma pada tautan muskulotendinosa dapat sulit direkonstruksi karena

jaringan otot akan tidak dapat menahan jahitan. Sering jahitan matras multipel

dibutuhkan jika tautan muskulotendinosa tidak mampu menahan poros jahitan.

Rehabilitasi Post-operatif

Kunci keberhasilan perbaikan tendon fleksor sangat terkait dengan regimen terapi

program rehabilitasi tangan. Protokol rehabilitasi setelah perbaikan tendon fleksor ada, yakni:

Latihan gerakan aktif.

Gerakan pasif dengan teknik Kleinert maupun Duran.

Immobilisasi dibutuhkan untuk anak usia kurang 10 tahun dan bagi pasien yang tidak

dapat mengikuti program rehabilitasi. Immobilisasi dengan pergelangan fleksi 10

derajat, sendi metacarpophalangeal fleksi 70 derajat dan sendi interphalanx netral

selama 4 – 6 minggu.

22

Page 23: TraumaCase

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2008. H:50-65.

2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier

Saunders. 2004.

3. Kvist M, Jarvinen M. The operative treatmen of chronic calcaneal peritonitis. J Bone

Joint Surg (Br): 1980; 62: 353-57

4. Schweitzer ME, Karasick D. MR imaging of disorders of the Achilles tendon. AJR:

2000; 175: 613-25

5. Rekant M. Flexor tendon injuries. Dalam: Trumble TE, Budoff JE, dan Cornwall R

editors. Hand, elbow & shoulder: core knowledge in orthopaedics. Philadelphia.

Mosby elsevier. 2006. p. 189-199

23