t Adpen 0808262 Chapter2
-
Upload
hendra-baharuddin-kholis -
Category
Documents
-
view
16 -
download
5
description
Transcript of t Adpen 0808262 Chapter2
14
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Peningkatan Mutu Pembelajaran dalam Konteks Administrasi
Pendidikan
Konsep administrasi pendidikan memegang peranan yang sangat penting
dalam proses peningaktan kwalitas sumber daya manusia, maka pemerintah
bersama kalangan swasta masyarakat dan orang tua murid secara bersama-sama
terus berupaya melakukan berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih
berkualitas antara lain melalui pengembangan perbaikan kurikulum olrh pihak
yang terkait dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan peningkatan
kwalitas pembelajaran, pengembangan dan pengadaan materi pembelajaran, serta
pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan. Maka secara otomatis lembaga
pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu
sebagaimana yang diharapkan (Umaedi, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan di Kabupaten Tasikmalaya
maenya, dalam proses peningkatan mutu pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar
cukup baik berdasarkan hasil UAN tahun 2008\2009 dari 26 kecamatan yang
termasuk kelompok baik Kecamatan Manonjaya, Kelompok sedang Kecamatan
Singaparna, Kecamatan Mangunreja dan kurang Kecamatan Cipatujah, ini
disebabkan jarak antara Kabupaten sangat jauh dan ada di daerah terpencil, tetapi
dari data Dinas Kabupaten Tasikmalaya dapat dikelompokan kategori baik, hanya
perlu pemerataan pembenahan dan pengelolaan sumber daya di dalam meliputi :
14
15
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengawasi atau membina
sumber daya manusia dan sumber daya belajar (Kurikulum dan fasilitas).
Komponen yang esensial dalam administrasi pendidikan adalah sumber daya
manusia, sarana prasarana, kurikulum, fasilitas pendidikan, alat dan bahan belajar.
Apabila diperlukan dari sisi keluasan ruang lingkupnya, administrasi
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu administrasi pendidikan secara
makro, dan administrasi pendidikan secara mikro. Administrasi pendidikan makro
yaitu administrasi pendidikan pada lembaga birokrat pendidikan seperti
Departemen Pendidikan Nasional atau Dinas Pendidikan. Sedangkan administrasi
pendidikan mikro adslah administrasi pendidikan yang dilaksanakan pada
lembaga satuan pendidikan seperti sekolsh. Pengertian yang dikemukakan oleh
Engkoswara, lebih mengarah kepada administrasi pendidikan makro pada
lembaga birokrasi pendidikan.
Baik secara makro maupun secara mikro administrasi pendidikan
merupakan cara atau media atau upaya yang sistematis untuk mencapai tujuan
pendidikan, oleh sebab itu untuk mencapai tujuan pendidikan khususnya di
sekolah diperlukan adanya administrasi pendidikan. Oteng Sutisna (1989:289)
memberikan pengertian administrasi mikro di sekolah bahwa “Administrasi
pendidikan di sekolah mungkin dapat dilukiskan sebagai keseluruhan proses
seperti pengambilan keputusan, pekerjaan yang bersifat manajerial, perencanaan,
organisasi dan koordinasi, komunikasi, pengawasan dan penilaian diperlukan
untuk menyelesaikan pekerjaan dalam melayani anak didik”. Oteng Sutisna lebih
menyoroti administrasi pendidikan di sekolah sebagai lembaga yang langsung
16
melayani anak didik sehingga tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui
administrasi pendidikan juga yang langsung berkaitan dengan anak didik.
Untuk mewujudkan makna administrasi pendidikan secara operasional
maka perlu dipahami fungsi-fungsi pokok manajemen dan prinsip-prinsip
manajemen/Administrasi. Fungsi pokok manajemen atau administrasi pendidikan
yang paling utama adalah perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, ketiga
fungsi pokok ini bukan satu-satunya konsep, tetapi masih banyak konsep lain dan
pandangan lain yang dikategorikan oleh para ahli administrasi pendidikan,
perbedaan konsep atau jumlah dalam fungsi pokok manajemen pendidikan tidak
perlu dipermasalahkan tetapi yang paling utama adalah yang tiga fungsi pokok
tersebut diatas, paling mudah dipahami dan paling popular, walaupun bukan
berarti yang paling baik.
Selanjutnya untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang pengertian
administrasi pendidikan, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi dari
para ahli sebagai berikut :
Jesse B. Sear (1950) dalam Daryanto HM (2006) mengemukakan
pengertian administrasi pendidikan yaitu : Education administration is the pracess
as including the following activities planning, organization, direction,
coordination, and control. Selanjutnya Oteng Sutisna (1989:19) mengemukakan
bahwa : “Administrasi pendidikan adalah keseluruhan proses dengan mana
sumber-sumber daya manusia dan material yang cocok dibuat tersedia dan efektif
untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien”.
17
Kemudian Ngalim Purwanto (2007:3) mengemukakan bahwa :
Administrasi pendidikan ialah segenap pengerahan dan pengintegrasian segala
sesuatu, baik personal, sepritual maupun material yang bersangkut paut dengan
pencapaian tujuan pendidikan. Jadi di dalam proses administrasi pendidikan
segenap usaha orang-orang yang terlibat di dalam proses pencapaian tujuan
pendidikan itu diintegrasikan diorganisasikan dan dikoordinasikan secara efektif,
dan semua materi yang diperlukan dan yang telah ada dimanfaatkan secara
efisien.
Dari buku “Kurikulum Usaha-usaha Perbaikan dalam Bidang Pendidikan
dan Administrasi Pendidikan dari Departemen P dan K dalam Ngalim Purwanto
(2007:”4) disebutkan :
Administrasi pendidikan adalah suatu proses keseluruhan, kegiatan bersama dalam bidang pendidikan yang meliputi perencaaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, pembiayaan, dan pelaporan dengan menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang tersedia, baik personal, material, maupun sepiritual untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Daryanto (2006:8-9) mengemukakan pengertian administrasi pendidikan
sebagai berikut :
Administrasi pendidikan ialah cara bekerja dengan orang-orang dalam rangka usaha mencapai tujuan pendidikan yang efektif yang berarti mendatangkan hasil yang baik dan tepat, sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Administrasi pendidikan dapat pula diartikan sebagai pelaksanaan pimpinan yang mewujudkan aktivitas kerjasama yang efektif bagi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Administrasi pendidikan adalah semua kegiatan sekolah dari yang meliputi usaha-usaha besar seperti perumusan kebijakan, pengarahan usaha, koordinasi, korespondensi, kontrol dan seterusnya, sampai kepada usaha-usaha kecil dan sederhana seperti menjaga sekolah menyapu halaman dan sebagainya.
18
Made Pidarta (2004:4) mengemukakan pengertian administrasi yang
menyamakan dengan pengertian manajemen sebagai berikut :
Dalam pendidikan, manajemen itu dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya, dipilih manajemen sebagai aktivitas, bukan sebagai individu, agar konsisten dengan istilah administrasi dengan administrator sebagai pelaksanaannya dan supervisi dengan supervisor sebagai pelaksanaannya, kepala sekolah misalnya, dapat berperan sebagai administrator, sebagai manajer dalam memadukan sumber-sumber pendidikan, dan sebagai supervisor dalam membina guru-guru pada proses belajar mengajar,. Setelah melihat beberapa definisi administrasi pendidikan seperti di atas
jelaslah bahwa administrasi pendidikan merupakan segenap usaha yang
melibatkan berbagai aspek untuk melakukan pengelolaan segala sumber daya
pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan supaya tercapai
tujuan pendidikan. peningkatan mutu pembelajaran disekolah merupakan bagian
yang sangat penting dalam administrasi pendidikan dalam melaksanakan
pemberdayaan segala sumber belajar di sekolah untuk mencapai tujuan
pendidikan, peningkatan mutu pembelajaran di sekolah merupakan bagian yang
sangat penting dalam upaya mempeningkatan mutu pendidikan. Definisi
administrasi pendidikan di atas, apabila dilihat secara seksama mengarah kepada
dua lingkup kegiatan administrasi pendidikan yaitu administrasi pendidikan secara
makro pada lembaga birokrasi pendidikan dan administrasi pendidikan secara
mikro pada lembaga satuan pendidikan (sekolah). Definisi administrasi
pendidikan yang dikemukakan oleh Daryanto HM. Lebih jelas lagi memilah
administrasi pendidikan pada birokrasi pendidikan dan administrasi pendidikan di
sekolah.
19
Dari pengertian administrasi pendidikan di atas, dapat diambil intinya
yaitu : bahwa adminisrasi pendidikan itu merupakan keseluruhan proses dari
kegiatan yang harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dari masa ke masa bisa berubah
sesuai dengan perkembangan kehidupan dan tuntutan kebutuhan manusia. Proses
peningkatan mutu pembelajaran merupakan upaya untuk lebih mendekatkan
antara hasil penyelenggaraan pendidikan terhadap tujuan pendidikan. Dalam
melaksanakan kegiatan administrasi pendidikan mencakup kegiatan perencanaan,
pengorgansiasian, pengarahan, dan pengawasan baik pada tingkat birokrasi
pendidikan maupun di tingkat sekolah.
1. Tujuan dan Sasaran Administrasi Pendidikan
Tujuan pelaksanaan administrasi pendidikan adalah untuk melaksanakan
proses peningkatan mutu pembelajaran sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan secara optimal. “Tujuan manajemen pendidikan adalah untuk
memfasilitasi pembelajaran siswa sebagai sebuah bentuk proses pembelajaran”.
(Tony Bush & Mariene Colleman, 2006:20). Tujuan administrasi pendidikan
adalah untuk memfasilitasi atau memberikan kemudahan kepada manajer
pendidikan baik pada tingkat birokrasi pendidikan maupun pada tingkat satuan
pendidikan/ sekolah agar dapat melakukan pengelolaan pendidikan secara
sistematis, terencana, terorganisir dan terkontrol dalam mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Di dalam administrasi pendidikan dan terdapat
fungsi pengorganisasian yang menyangkut pembagian wewenang dan tanggung
jawab untuk masing-masing anggota organisasi dalam mewujudkan tujuan. Dalam
20
definisi administrasi pendidikan sudah nampak jelas bahwa tujuan administrasi
pendidikan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan
memberdayakan segala potensi pembelajaran yang tersedia untuk mendukung
tercapainya tujuan pendidikan.
Sergiovanni dan Carver dalam Daryanto HM. (2006) menyampaikan
“empat tujuan administrasi yaitu, efektifitas produksi efisiensi, kemampuan
adaptasi, dan kepuasan kerja”. Keempat tujuan tersebut oleh Daryanto HM.
digunakan untuk menjelaskan tujuan administrasi pendidikan. Efektivitas
produksi, berarti bahwa sekolah dapat menghasilkan lulusan pendidikan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan dan tuntutan kurikulum yang berlaku. Efisiensi
dalam mencapai tujuan yang berarti sekolah dengan segala sumber dana dan
sumber daya yang ada dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Menghasilkan kemampuan adaptasi berarti sekolah mendidik siswa agar
memberikan bekal untuk melakukan adaptasi dengan lingkungannya, baik
lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerjanya. Menghasilkan kepuasan
kerja, artinya sekolah dapat menciptakan suasana yang kondusip untuk siswa
belajar sehingga mencapai prestasi dan hasil belajar yang memuaskan.
Tujuan administrasi pendidikan lebih kepada menyediakan fasilitas atau
tata aturan yang standar yang dapat digunakan dalam melaksanakan penataan
fasilitas, sarana, tenaga, materi, bahan dan alat pelajaran dalam melaksanakan
pengelolaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan akhir dari
tujuan administrasi pendidikan adalah mengupayakan tercapainya tujuan
pendidikan, untuk tujuan administrasi pendidikan dalam birokrasi pendidikan
21
adalah mencapai tujuan pendidikan secara makro sesuai dengan level agregasi
birokrasi pendidikan, dan untuk tujuan administrasi pendidikan di sekolah adalah
untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah masing-masing.
Di Indonesia sekolah merupakan subsistem pendidikan nasional, maka
tujuan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah juga bersumber dari tujuan
pendidikan nasional. Tercapainya tujuan pendidikan nasional dibangun oleh
tercapainya tujuan dari masing-masing lembaga persekolahan. Tujuan pendidikan
nasional yang paling terkenal adalah yang digariskan dalam GBHN 1993, adalah :
Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab pembangunan bangsa. Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional :
….bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jelaskan bahwa tujuan administrasi pendidikan di sekolah adalah
mempersiapkan situasi di sekolah, agar proses belajar mengajar dapat terlaksana
dengan baik, sehingga tercapai tujuan pendidikan di sekolah. Tujuan administrasi
pendidikan di sekolah adalah untuk menciptakan situasi yang memungkinkan
anak didik mempunyai pengetahuan dasar yang kuat untuk melanjutkan
pendidikannya, mempunyai suatu kecakapan dan keterampilan khusus untuk dapat
hidup sendiri dan hidup dalam masyarakat serta mempunyai sikap hidup untuk
mengabdi kepada masyarakat Indonesia.
22
Tujuan administrasi pendidikan pada lembaga birokrasi pendidikan adalah
agar tujuan pendidikan di sekolah tercapai secara relative sama atau dengan
perbedaan yang tidak terlalu jauh, dengan mengupayakan pemerataan mutu
fasilitas, mutu sarana prasarana, mutu bahan dan alat pelajaran, dengan upaya
pemerataan semua itu diharapkan akan melahirkan pemerataan mutu lulusan.
Tujuan administrasi pendidikan pada lembaga birokrasi pendidikan itu dapat
tercapai apabila tujuan pendidikan di sekolah sudah tercapai dengan upaya
peningkatan mutu sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan yang sesuai
dengan standar kebutuhan belajar sia di sekolah.
2. Bidang Kegiatan Administrasi Pendidikan
Bidang garapan administrasi pendidikan, baik dalam lembaga birokrasi
pendidikan maupun pada lembaga sekolah adalah menjadi tugas dan
tanggungjawab administrator untuk melaksanakannya. Burhanudin (1994:57)
menjelaskan ruang lingkup administrasi pendidikan di sekolah mencakup 7
lingkup kerja yaitu : 1) administrasi pengajaran, 2) administrasi kesiswaan, 3)
administrasi personalia, 4) administrasi keuangan, 5) administrasi peralatan
pengajaran; 6) administrasi perlengkapan sekolah; 7) administrasi hubungan
sekolah dengan masyarakat”.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Ngalim Purwanto MP,
(2007: 10-12) bahwa ruang lingkup administrasi pendidikan meliputi 1)
administrasi dan tatalaksana murid/kesiswaan, 4) supervise pengajaran, 5)
23
administrasi pelaksanaan dan pembinaan kurikulum 6) administrasi sarana dan
prasarana 7) administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat.
Kedua pendapat di atas, lebih mengarah kepada ruang lingkup kegiatan
administrasi pendidikan mikro di sekolah yang menjadi tanggungjawab manajerial
kepala sekolah. Administrasi pendidikan sangat penting dilaksanakan di sekolah
karena sekolah merupakan ujung tombak atau garda depan pembangunan
pendidikan nasional. Pusat perhatian pada penelitian ini lebih diarahkan ke
sekolah karena sekolah merupakan pelaksana langsung yang berhadapan dengan
anak didik dalam pengelolaan pendidikan. Mutu pendidikan pada tingkat nasional
sepenuhnya ditentukan oleh mutu pendidikan dan mutu pembelajaran (input-
proses-output) di tingkat sekolah.
Pandangan yang lebih umum dan lebih luas mengenai bidang garapan
administrasi pendidikan dikemukakan oleh Engkoswara (2001:2) menggambarkan
ruang lingkup manajemen/administrasi pendidikan digambarkan dalam bentuk
bagan yang memuat matrik antara bidang garapan kerja administrasi pendidikan
dan fungsi administrasi pendidikan sebagai berikut :
Bagan 2.1. Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
Garapan Fungsi
SDM SB SFD
Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan
Kelembagaan
TPP
24
Menurut Engksowara bahwa ruang lingkup manajemen merupakan
perpaduan antara fungsi administrasi pendidikan dengan bidang garapan
administrasi pendidikan. Fungsi utama dalam administrasi pendidikan adalah
kegiatan perencaaan, pelaksanaan, dan pengawasan, di lain pihak bidang garapan
administrasi pendidikan adalah Sumber Daya Manusia (SDM), sumber belajar
(SB), dan Sumberdaya Fasilitas dan Dana (SFD). Dengan demikian untuk masing-
masing bidang garapan administrasi pendidikan akan mengandung tiga fungsi
utama administrasi pendidikan. Bidang garapan pengembangan sumber daya
manusia di dalamnya harus dilaksanakan fungsi perencanaan SDM, pelaksanaan
pengembangan SDM, dan pengawasan SDM. Bidang garapan pengembangan
sumber daya belajar di dalamnya harus dilaksanakan fungsi perencanaan sumber
belajar, pelaksanaan pengembangan sumber belajar dan pengawasan sumber
belajar, bidang garapan pengembangan sumber daya fasilitas dan dana (SFD). Di
dalamnya harus dilaksanakan tiga fungsi yaitu fungsi perencanaan SFD, fungsi
pelaksanaan pengembangan SFD, dan fungsi pengawasan SFD.
Selanjutnya Engksowara menjelaskan bahwa yang dimaksud
pengembangan SDM dalam bidang garapan administrasi pendidikan adalah
pengembangan SDM peserta didik, tenaga kependidikan dan masyarakat pemakai
jasa pendidikan. Sumber daya belajar adalah alat, media, dan bahan pelajaran,
serta rencana kegiatan dan kurikulum. Sumber daya fasilitas dan adalah factor
pendukung yang memungkinkan pendidikan berjalan dengan baik. Fungsi dan
bidang garapan manajemen pendidikan itu merupakan media untuk mencapai
tujuan pendidikan secara produktif (TPP). Kriteria keberhasilan pelaksana
manajemen pendidikan adalah produktifitas pendidikan.
25
Gambaran Engkoswara tentang ruang lingkup manajemen/administrasi
pendidikan sangat umum, artinya dapat diaplikasikan pada kegiatan di lembaga
birokrat pendidikan dan dapat pula diaplikasikan pada kegiatan di sekolah. Secara
umum garapan atau sasaran administrasi pendidikan adalah pengelolaan sumber
daya manusia, sumber belajar dan sumber daya fasilitas dan dana. Wujud
pengelolaan dalam administrasi pendidikan dilaksanakan minimal dengan tiga
fungsi administrasi yaitu perencanaan, pelaksanaan, ada pengawasan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan yaitu hasil belajar yang produktif.
Sejalan dengan pandangan Engkoswara bahwa manajemen pendidikan itu
dari sisi lingkup keluasannya dilaksanakan secara makro pada lembaga birokrat
pendidikan, dan dilaksanakan secara mikro pada lembaga satuan pendidikan.
Apabila dilihat dari model atau bentuk pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintahan secara umum yaitu dilaksanakan secara terpusat atau
dikenal dengan istilah “Sentralisasi”, atau dilakukan pelimpahan tanggungjawab
dan wewenang kepada pemerintah yang ada di bawahnya (pemerintah daerah
otonomi atau kabupaten/kota) yang dikenal dengan istsilah “desentralisasi”.
Pemerintahan Daerah, pengelolaan pendidikan di Indonesia dilaksanakan
dengan model desentralisasi. Artinya pemerintah pusat melimpahkan sebagian
tanggungjawab dan wewenangnya dalam pengelolaan pendidikan kepada
pemerintah kabupaten/kota, dan tanggungjawab dan wewenang operasional
penyelenggaraan pendidikan dilimpahkan kepada sekolah. Untuk lebih jelasnya
kaitan antara administrasi pendidikan dan desentralisasi pendidikan dapat
digambarkan pada bacaan di bawah ini.
26
Bagan 2.2. Sasaran dan Model Pelaksanaan Administrasi Pendidikan
Model Pelaksanaan
Sasaran Pelaksanaan
Sentralisasi Desentralisasi
Lembaga Birokrasi Pendidikan
Sekolah
Berdasarkan bagan di atas diketahui bahwa desentralisasi pendidikan
merupakan salah satu model pelaksanaan administrasi pendidikan. Sasaran
pelaksanaan administrasi pendidikan adalah lembaga birokrasi pendidikan dan
lembaga satuan pendidikan. Pilihan untuk melaksanakan model administrasi
pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan dalam pemerintahan. Karakteristik
yang sangat menonjol dalam model pelaksanaan administrasi pendidikan secara
sentralistik bahwa pelaksanaan pengelolaan pendidikan sampai pada tingkat
sekolah dilaksanakan dengan cara yang seragam berdasarkan kebijakan
pemerintah pusat. Dasar pelaksanaan pengelolaan pendidikan ditentukan dengan
petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknik (juknis) yang dibuat secara
seragam oleh pemerintah pusat. Hampir semua pengelola sumber daya manusia,
sumber belajar, maupun sumber daya fasilitas dan dana, belum dilaksanakan
apabila juklak dan juknisnya belum ada. Dengan pengelolaan secara sentralisasi
pemerintah kabupaten/kota dan sekolah hampir tidak bisa memanfaatkan potensi
lokal secara optimal sekalipun lebih baik, karena akan dipandang sebagai
pelanggaran apabila tidak ada dalam juklak dan juknis.
27
Kebijakan desentralisasi pendidikan membuka kesempatan kepada semua
pengelola pendidikan di Kabupaten/Kota sampai pada tingkat sekolah untuk
melakukan kreativitas dalam melaksanakan penyelenggaraan pendidikan yang
efektif. Pemerintah pusat telah melimpahkan sebagian tanggung jawab dan
wewenangnya kepada pemerintah kabupaten/kota dan sekolah untuk
melaksanakan peningkatan mutu pendidikan di masing-masing daerahnya dengan
memanfaatkan potensi wilayah masing-masing sesuai dengan kepentingan
masyarakatnya. Karakteristik yang paling menonjol pada model administrasi
pendidikan yang dilaksanakan secara desentralisasi adalah tidak lagi harus
menunggu juklak dan juknis, tetapi lembaga birokrasi pendidikan harus menyusun
perencanaan sendiri untuk dilaksanakan sendiri serta melakukan evaluasi, dan
melaksanakan perbaikan sendiri sesuai dengan visi dan misi pendidikan di
kabupaten/kota dan sekolah masing-masing. Dalam kebijakan desentralisasi
pendidikan di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota diwajibkan memiliki visi dan
misi pembangunan pendidikan di daerahnya serta meyusun Rencana Strategis
(Renstra) Pendidikan Kabupaten/Kota. Demikian juga sekolah harus punya visi
dan misi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta berkewajiban menyusun
perencanaan sekolah seperti RAPBS. Penyusun perencanaan pendidikan baik di
Dinas Pendidikan maupun di sekolah merupakan salah satu kriteria kemandirian
dalam pengelolaan pendidikan.
3. Desentralisasi Pendidikan
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2004 tentang
28
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah
membawa perubahan paradigma pada sistem pengelolaan pendidikan. Pada
bidang pemerintahan diberlakukan otonomi daerah dalam bidang pemerintahan,
maka dalam bidang pendidikan diberlakukan desentralisasi dalam pengelolaan
pendidikan.
Pada masa desentralsiasi pendidikan, salah satu model penyelenggaraan
pendidikan di sekolah yang digagas oleh Departemen Pendidikan Nasional adalah
model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu model
manajemen pendidikan yang berbasis kepada otonomi atau kemandirian sekolah
dan aparat pemerintah daerah dalam menentukan arah, serta jalannya pendidikan
di daerah masing-masing. MBS juga bertujuan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan semua stakholder pendidikan di sekolah
sehingga tercipta rasa memiliki terhadap sekolah.
Sejalan dengan kebijakan ortonomi daerah dalam bidang pemerintahan,
yang diikuti dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi dalam pengelolaan
pendidikan, walaupun secara konseptual agak berbeda dengan otonomi
pemerintahan daerah, namun demikian telah menjadi momentum yang sangat
tepat bagi dunia pendidikan untuk melakukan penataan ke arah yang lebih
demokrasi. Secara teoritis dengan diturunkannya kewenangan pengelolaan
pendidikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, maka akan semakin
mendekatkan para pengambil keputusan di daerah dengan persoalan riil yang
29
terjadi di dalam bidang pendidikan. Itu berarti, semakin terbukanya kesempatan
bagi para pengambil keputusan maupuan komunitas pendidikan di daerah untuk
bersama-sama mengembangkan model pengelolaan pendidikan yang lebih
demokratis.
Peluang yang mendorong ke arah terciptanya demokratisasi pendidikan
tentu akan melahirkan semangat partisipasi dalam masyarakat. Dalam konsep
desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai pihak yang juga dapat
menentukan pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan di setiap daerah
dan satuan pendidikan. Masyarakat adalah sumber inspirasi sekaligus sebagai
sasaran yang mendapat pelayanan dari sistem pendidikan di daerah. Masyarakat
juga merupakan sumber daya dan dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap
daerah, diluar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah.
Lebih dari itu, masyarakat adalah stakeholder dari sistem pendidikan, atau pihak
yang paling menentukan terhadap sistem dan proses pendidikan.
Pengertian desentralisasi pendidikan dapat dibagi dua walaupun berbeda
tetapi tetap berada dalam koridor yang sama. Pertama, desentralsiasi pendidikan
pada tingkat lembaga birokrasi pendidikan yaitu pelimpahan wewenang yang
lebih besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonomi untuk
melaksanakan pengelolaan pendidikan sesuai dengan kebutuhan stakholder
pendidikan, potensi wilayah, dan karakteristik daerah masing-masing. Konsep
desentralsiasi pendidikan lebih mengarah kepada pelimpahan wewenang dalam
pelaksnaan pengelolaan pendidikan yang sebelumnya dikelola secara sentralistik,
30
sekarang beberapa kewenangan dilimpahkan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Kedua, desentralisasi pada tingkat satuan pendidikan yaitu otonomi pada
tingkat satuan pendidikan yang menuju kepada kemandirian sekolah agar kepala
sekolah dan guru mampu mengidentifikasi berbagai permasalahan yang
dihadapinya serta mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Sekolah diberikan
kewenangan untuk menyusun visi dan misi sekolahnya untuk meningkatkan mutu
pendidikan di sekolahnya agar lebih sesuai dengan kebutuhan stakeholder
pendidikan di sekolah.
Pengertian desentralsiasi pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa :
Desentralsiasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah otonomi untuk mengantar dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (pasal 1 ayat 7). Menurut Koswara (1996) yang dikutif Hasbullah (2007:10), pengertian
desentralisasi pendidikan adalah sebagai berikut :
Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang serta tanggung jawab pemerintah daerah.
Namun demikian desentralisasi pendidikan bulan tanpa batas, atau bebas
sebebas-bebasnya, tapi sebagian tanggung jawab dan wewenang dalam rangka
NKRI, seperti yang diingatkan oleh Aan Kumariah dan Cepi Triatna (2008:69:70)
bahwa :
31
Pengembangan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan nasional bukan berarti setiap daerah mengembangkan program pendidikan masing-masing dengan melepaskan diri dari pemerintah pusat, pengembangan desentralisasi disini dimaksudkan bahwa pemerintah pusat memberikan pengakuan yang lebih besar terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kepentingan masing-masing daerah. Desentralisasi adalah penyebaran atau pelimpahan secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan ke tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah. Desentralisasi dalam sistem manajemen di Indonesia merupakan salah satu wujud otonomi.
Konsep desentralisasi pendidikan menurut Unit Fasilitas Desentralisasi
Pendidikan Depdiknas (2002:30) adalah :
...desentralisasi pemerintahan dalam bidang pendidikan dapat diidentifikasi dalam pendelegasian kewenangan di bidang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi pendidikan nasional dibangun atas dasar pemikiran bahwa masyarakat di daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas SDM nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri, dan mereka itulah yang harus berperan lebih besar sebagai pemegang kebijakan operasinonal serta bertanggung jawab sebagai pelaksana terdepan dalam pengelolaan pendidikan. Inti dari pengertian desentralisasi pendidikan di atas adalah harus adanya
pendelegasian atau pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam
pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom,
agar hasil pendidikan lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, dan
potensi wilayah di masing-masing daerah. Pengertian desentralisasi pendidikan
yang dikemukakan oleh Unit Fasilitas Desentralisasi Pendidikan Depdiknas sudah
mengarah kepada peningkatan mutu pendidikan atau pengembangan kualitas
SDM, agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Wewenang dalam
pengelolaan dan pembangunan pendidikan didelegasikan dari Pemerintah Pusat
32
kepada Pemerintah Daerah dengan maksud agar setiap daerah otonom memiliki
kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan pelayanan pendidikan secara lebih
efektif. Fungsi-fungsi daerah otonom dalam melakukan pelayanan pendidikan
harus didukung oleh sumber daya manusia, fasilitas, serta anggaran pendidikan
yang memadai baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pendapatan asli
daerah, maupun yang bersumber dari masyarakat. Pelayanan pada sektor
pendidikan di daerah otonom dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota.
Pengertian desentralisasi pendidikan dari UFDP-Depdiknas mengandung
makna bahwa kebijakan operasional yang berkaitan dengan variasi keadaan
daerah serta pelaksanana pengelolaan pendidikan sehari-hari didelegasikan kepada
kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam desentralisasi pejabat daeah
pada masing-masing daerah otonom diberikan keleluasaan untuk membangun dan
memberdayakan pembangunan pendidikan serta mengelola faktor-faktor
pendukung seperti pengelolaan, alokasi, pemeliharaan, serta pendayagunaan
sumber-sumber daya pendidikan secara efisien.
Desentralisasi pendidikan selain pelimpahan wewenang kepada
pemerintah daerah otonom, lebih jauhnya adalah pelimpahan wewenang sampai
pada tingkat satuan pendidikan. Desentralisasi pendidikan pada tingkat pendidikan
diarahkan untuk membangun kemandirian sekolah dalam melaksanakan
pelayanan pendidikan yang bermutu. ”Konsep desentralisasi pendidikan
berorientasi terhadap perwujudan satuan-satuan pendidikan yang otonom, yaitu
satuan pendidikan yang mampu menyelenggarakan layanan pendidikan yang
bermutu secara mandiri...” (UFDP-Depdiknas:33). Pelaksanaan desentralisasi
33
pendidikan pada lembaga birokrasi pendidikan yang diselenggarakan oleh Dinas
Pendidikan Kabupaten/kota didampingi oleh Dewan Pendidikan sebagai wadah
kepedulian masyarakat dalam bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
Sedangkan pelaksanaan desentralisasi atau otonom pada tingkat satuan
pendidikan didampingi oleh Komite Sekolah sebagai wadah kepedulian
masyarakat dalam bidang pendidikan di tingkat sekolah.
a. Tujuan Desentralisasi Pendidikan
Apabila pelaksanaan otonomi daerah dalam bidang pemerintahan
diarahkan untuk mempercepat kesejaheraan kepada masyarakat melalui
peningkatan pelayanan yang optimal. Diberlakukannya otonomi daerah, ternyata
telah memberi dampak yang begitu besar dalam pengelolaan pendidikan di
daerah. Tantangan tersebut terasa pada sebagian besar daerah, terutama pada
daerah dengan kemampuan yang terbatas, sehingga pendidikan kurang mendapat
prioritas. Sementara itu bagi daerah yang mampu, persoalan pendidikan justru
mendapat tantangan terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Kesenjangan mutu pendidikan di atas terjadi karena sumber-sumber
pendidikan yang tidak merata, sumber daya manusia (tenaga kependidikan) yang
kreativitas, sistem pendidikan yang terlalu sentralistik dan over-regulated, serta
pelaksanaan pendidikan yang ditandai dengan span of control yang terlalu jauh.
Faktor-faktor seperti mobilisasi kekuatan daerah, akuntabilitas, serta aspek-aspek
yang menyangkut otnomi dan profesionalisasi menjadi faktor yang memiliki
dampak penting terhadap mutu pendidikan. Dengan demikian desentralisasi
34
pendidikan menjadi pilihan yang paling relevan dalam mengatasi kesenjangan
mutu pendidikan.
Diberlakukannya desentralisasi pendidikan bertujuan untuk
memberdayakan potensi daerah yang beranekaragam untuk mengelola pendidikan
yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan tetap mengacu kepada
peningkatan kualitas dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia
dalam persaingan global. Dalam desentralisasi pendidikan, daerah diberi
kewenangan dan urusan untuk memenuhi standar mutu pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dengan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara
efisien.
Urusan dalam pengelolaan dan pembangunan pendidikan didelegasikan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan maksud agar setiap
daerah otonom memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan
pelayanan pendidikan secara lebih efektif. Fungsi-fungsi daerah otonom dalam
melakukan pelayanan pendidikan harus didukung oleh sumber daya manusia,
fasilitas serta anggaran pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah pusat,
pendapatan asli daerah, maupun dari sumber-sumber lain dari masyarakat.
Kepemimpinan negara dalam pengelolaan pendidikan amatlah terbatas, karena itu
peran serta dan partisipasi masyarakat menjadi kebutuhan yang tak terelakan lagi,
tidak terbatas pada persoalan pembiayaan pendidikan saja namun bagaimana
peran dan partisipasi masyarakat itu menjadi suatu perwujudan semangat dan
kebersamaan masyarakat untuk membangun akuntabiliast pendidikan.
35
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan
melalui pemberian kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah otonom
agar lebih menyelesaikan sesuai dengan kebutuhan di daerahnya serta mampu
menghadapi masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain tujuan desentralisasi
pendidikan adalah untuk lebih mendekatkan persoalan-persoalan yang dihadapi
dalam pengelolaan pendidikan kepada pengambil keputusan, sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik permasalahan yang dihadapinya.
Tujuan desentralisasi pendidikan menurut Depdiknas (2002:30) dalam
buku Unit Fasilitasi Desentralisasi Pendidikan Depdiknas (UFDP) disebutkan
bahwa :
....desentralisasi pemerintah dalam bidang pendidikan dapat diidentifikasi dalam pendelegasian kewenangan di bidang pendidikan dari pemerintah usat kepada pemerintah daerah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas dan mutu pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan di daerah. Desentralisasi pemerintahan bidang pendidikan bertujuan untuk memberdayakan potensi daerah yang beranekaragam untuk pengelolaan pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan tetap mengacu kepada peningkatan kualitas dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Idonesia dalam persaingan global.
Desentralisasi dalam biroklrasi pendidikan, dapat digaris bawahi dua inti
dari tujuan desentralisasi pendidikan, yaitu : pertama untuk meningkatkan
efektivitas dan mutu pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan, kedua
untuk memberdayakan potensi daerah dalam pengeloloaan pendidikan yang lebih
sesuai dengan kebutuhan daerah. Tujuan sekolah, yang bisa diartikan sebagai
desentralisasi atau otonomi sekolah yang menuju potensi daerah dalam
36
pengelolaan pendidikan yang bisa diartikan sebagai desentralisasi pada lembaga
birokrasi pendidikan.
b. Sasaran Desentralisasi Pendidikan
Dalam era demokrasi yang partisipatif, akuntabilitas pendidikan tidak
hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada
masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Dewan pendidikan pada tingkat
kabupaten/kota pada menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat
untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai
prestasi belajar siswa pada setiap jenas dan jenjang pendidikan, bahkan dapat
mengajukan “protes” kepada Dinas Pendidikan jika hasil-hasil pendidikan tidak
memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan. Peran Dewan pendidikan di
tingkat kabupaten/kota hampir sama dengan peran dan fungsi komite sekolah pada
tingkat satuan pendidikan.
Sasaran desentralisasi pendidikan menurut buku Unit Fasilitas
Desentralisasi Pendidikan yang dikeluarkan oleh Depdiknas (2002:1:20) adalah a)
menuju keunggulan dalam bidang pendidikan,. B) pembentukan karakter bangsa,
c) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, d) memperkokoh integrasi
bangsa, e) menuju sistem pembelajaran yang efektif, f) meningkatkan prioritas
pembangunan pendidikan dari pemerataan ke mutu pendidikan.
Sasaran kebijakan desentralisasi pendidikan secara umum adalah
kemandirian daerah otonom (kabupaten/kota) dan lembaga sistem pendidikan
(sekolah) dalam melaksanakan penyelenggaraan pendidikan. Secara lebih dari
37
sasaran kebijakan desentralisasi pendidikan seperti yang dijelaskan oleh UFDP-
Depdiknas ada 5 sasaran khusus. Pertama, menuju keunggulan dalma bidang
pendidikan, hal ini ditempuh dengan mendoorng kemandirian pada tingkat
sekolah agar proses peningkatan mutu pendidikan dilaksanakan oleh masing-
masing sekolah. Sekolah membuat program sekolah atau perencanaan sekolah
minimal untuk setiap tahun untuk dilaksanakan sendiri, dengan
mempertimbangkan berbagai kebutuhan masyarakat, serta potensi daerah yang
ada ditambah dengan memanfaatkan segala sumber daya pendidikan untuk
meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.
Pada era globalisasi, dimana persaingan tenaga kerja bukan hanya terjadi
pada negara masing-masing tetapi, persaingan akan terjadi pada antar negara, baik
persaingan produksi, maupun persaingan jasa atau tenaga kerja. Tenaga kerja
Indonesia tanpa memiliki keunggulan komperatif dalam bidang tertentu, maka
tidak akan memiliki daya saing relatif terhadap tenaga dari negara lain. Untuk
menghadapi tantangan persaingan bebas tersebut pendidikan harus menitik
beratkan kiprahnya untuk menciptakan pendidikan yang bermutu, baik dari segi
masukan, proses, maupun hasil pendidikannya. Pendidikan yang bermutu
diharapkan dapat mengahsilkan keunggulan sumber daya manusia, tidak hanya
dari aspek akademik, tetapi juga dalam hal seni, olahraga, disiplin, dan
keterampilan untuk hidup dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan
cepat.
Kedua, pembentukan karakter bangsa. Bangsa Indonesia sedang
mengalami krisis kepercayaan disamping krisis ekonomi yang mengakibatkan
38
kesengsaraan yang berat. Sering terjadi kecurigaan antar etnis yang berbeda,
bahkan sering terjadi kerusuhan karena saling curiga. Masalah korupsi terjadi
hampir pada setiap sektor pemerintahan yang menggambarkan mentalitas dan
moralitas bangsa yang mengalami kemerosotan. Pendidikan yang dilandasi
dengan cinta kasih, kewibawaan, dan disiplin yang diperlukan untuk melahirkan
generasi yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, bermoral dan bermental kuat.
Bangsa yang berkarakter baik akan dihasilkan melalui pendidikan yang
baik. Pendidikan yang diharapkan tidak saja menghasilkan manusia memiliki
kemampuan IPTEK yang tinggi, tetapi juga harus dilandasi dengan keimanan dan
ketakwaan yang kuat, cinta tanah air, dan berbudi pekerti luhur, toleran dengan
pluralitas bangsa, bahkan pendidikan yang menghargai keanekaragaman budaya.
Ketiga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendidikan yang
bermutu harus menyesuaikan dengan kemajuan itu. Pendidikan bukan hanya
menekankan kepada penguasaan konsep, tetapi bersaman dengan itu perlu aplikasi
nyata dalam bentuk teknologi. Penguasaan IPTEK tersebut sejalan dengan
semangat desentralisasi pendidikan, maka harus lebih disesuaikan dengan
kebutuhan dan potensi wilayah, sehingga pendidikan dapat bermanfaat secara
langsung dalam pembangunan di daerah.
Keempat, memperoleh integrasi bangsa. Dalam semangat desentralisasi
pengelolaan pendidikan, harus tetap mengacu kepada kurikulum nasional
sehingga pendidikan diselenggarakan dalam konteks pendidikan nasional. Lulusan
pendidikan yang dihasilkan pada suatu daerah dapat melanjutkan atau mutasi pada
39
lembaga pendidikan di daerah lain. Pendidikan sebagaimana tujuan utamanya
yaitu untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia sebagaimana yang kita
harapkan bersama, seyogyanya akan dapat berperan sebagai pilar untuk menjalin
kembali tali persatuan dan kesatuan yang kini mengalami keretakan.
Kelima, menuju sistem pembelajaran yang efektif. Pendidikan nasional
menghadapi tantangan yang cukup berat, karena dihadapkan kepada perubahan
sistem pembelajaran dan hasil penilaian yang menyangkut perubaan perilaku.
Untuk itulah maka perubahan sistem pembelajaran dan penilaian hasil belajar
harus menjadi bagian yang integral dari perubahan yang menyeluruh yang
dilakukan oleh semua stakeholder pendidikan. Dengan demikian perubahan itu
harus disadari sebagai kebutuhan, yang pada jangka panjang akan memberikan
manfaat yang lebih baik bagi anak didik. Sasaran ini lebih kepada individu
sekolah untuk melaksanakan peningkatan mutu pembelajaran pada tingkat satuan
pendidikan.
Keenam, meningkatkan prioritas pembangunan pendidikan dari
pemerataan ke mutu pendidikan. Dengan kebijakan desentralisasi pendidikan
kebijakan pembangunan pendidikan dalam hal peningkatan mutu pendidikan akan
lebih cepat terealisasikan karena pengelolaan pendidikan lebih dekat dengan
lembaga pendidikan sehingga pemecahan masalahnya akan lebih cocok secara
kasuatik berdasarkan karakter kedaerahan. Dalam kebijakan sentralisasi
pengelolaan pendidikan lebih mengutamakan pemerataan pendidikan karena
masih terdapat ketimpangan pendidikan yang sangat besar antar daerah, dan
dilakukan pemerataan dengan standar nasional. Demikian pula di sekolah dengan
40
otonomi pada tingkat sekolah diharapkan untuk meningkatkan mutu
pembelajaran.
Ketujuh, sasaran kebijakan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan
tersebut di atas, diharapkan menjadi pilar yang kokoh dalam melaksanakan
pembangunan pendidikan nasional. Ketujuh sasaran desentralisasi pendidikan
tersebut merupakan sarana atau fasilitas untuk mencapai tujuan dalam
mewujudkan pembangunan pendidikan nasional dengan prioritas peningkatan
mutu pendidikan, pemerataan, efisiensi, akuntabilitas dan pencitraan publik.
c. Otonomi Pada Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah
Konsep desentralisasi pendidikan berorientasi terhadap perwujudan
satuan-satuan pendidikan yang otonom, yaitu satuan pendidikan yang mampu
menyelenggarakan layanan pendidikan yang bermutu secara mandiri dan atas
tanggungjawabnya sendiri. Untuk itu diperlukan langkah-langkah capacity
building, yang secara sistematis melakukan pengembangan kemampuan setiap
satuan pendidikan untuk dapat melakukan praktek-praktek terbaik (best practies)
penyelenggaraan sistem pendidikan yang bermutu atas dasar kebebasannya dalam
membuat keputusan sendiri. Mengingat setiap satuan pendidikan bervariasi
kemampuannya dalam menyelenggarakan layanan pendidikan yang bermutu,
maka capacity building tidak dapat dilakukan dengan strategi yang sama. Dengan
kata lain perlu dilakukan secara bertahap terhadap kelompok satuan pendidikan
yang masing-masing memiliki tahap perkembangan yang setara.
41
Desentralisasi pendidikan pada tingkat sekolah merupakan satu bentuk
desentralisasi yang sasarannya secara langsung adalah peningkatan mutu
pembelajaran di sekolah melalui otonomi pengelolaan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan. Dalam kerangka ini, Kantor Cabang Dinas Pendidikan
Kecamatan, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota lebih memiliki peran sebagai
fasilitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian,
sementara itu sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif di
sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu,
bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan
oleh sekolah, dengan didampingi oleh komite sekolah sebagai wadah
pemberdayaan peran serta masyarakat. Dan dengan menerapkan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara
nyata di dalam masyarakat.
Agar dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah
harus dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan
suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah
sebabnya maka konsep MBS mengandung makna sebagai manajemen partsipatif
yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan
yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai
keberhasilan bersama. Dengan demikian prinsip kemandirian dalam MBS adalah
kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari
prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu
42
mekanisme yang menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergi yang
mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan
dengan pengembangan masyarakat.
Dalam masa desentralisasi pendidikan, melalui konsep MBS sekolah-
sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur
pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan
pada satuan pendidikan dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk
menggunakan sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala
sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan
mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumber daya pendidikan sendiri-sendiri
asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar yang sudah ditetapkan. Oleh karena
karakteristik setiap siswa juga berbeda-beda secara indikator maka pendekatan
pembelajaran juga dimungkinkan berbeda untuk masing-masing sekolah yang
berlainan.
Dalam keadaan seperti itu, maka komite sekolah akan dapat melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran
yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing
sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari
kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka
melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitas bagi guru-
guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin, sehingga mutu pembelajaran
menjadi semakin bermutu. Komite sekolah bisa ikut serta untuk meneliti dalam
berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok
43
maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan
pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya.
Komite sekolah tidak perlu melaksanakan kegiatan studi atau penilaian
pendidikan secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan data-data yang
tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada sebagai bahan untuk
menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyartakat terhadap Dinas
Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian diperlukan
suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu peraturan
daerah di bidang pendidikan, khususnya sebagai landasan hukum bagi komite
sekolah, suspaya dapat melaksanakan kinerja yang lebih efektif. Komite sekolah
sebagai lembaga independen yang mewadahi aspirasi, peran serta dan prakarsa
masyarakat, menjadi lembaga yang mewakili masyarakat pengguna layanan
penyelenggaraan pendidikan, bukan sebaliknya mewakili kepentingan lembaga
pendidikan untuk memungut iuran dari orangtua.
Dalam rangka pemberdayaan dan meningkatkan peran serta masyarakat,
sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orangtua siswa dan masyarakat,
menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan
warga sekolah. Itulah sebabnya maka manajemen berbasis sekolah yang harus
dilaksanakan di sekolah mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang
melibatkan peran serta masyarakat. Dalam MBS semua kebijakan dan keputusan
yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama untuk mencapai
keberhasilan bersama. Dengan demikian prinsip kemandirian dalam MBS adalah
kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari
44
prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu
mekanisme yang menekankan kepada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang
mengarah kepada suatu tujuan pencapaian tujuan pendidikan melalui peningkatan
mutu pembelajaran di sekolah.
Unit Fasilitasi Desentralisasi Pendidikan Depdiknas, menjelaskan langkah-
langkah menuju otonomi pada tingkat satuan pendidikan dalam tujuh langkah
yaitu : a) menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi, b) menetapkan kewenangan,
c) menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, d) menetapkan
pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, e) penghapusan barang dilakukan
oleh sekolah, f) menetapkan proses belajar mengajar, dan g) menetapkan teknis
efukatif.
Langkah-langkah untuk menuju otonomi pada tingkat satuan pendidikan
sekolah harus meulai dengan menetapkan visi, misi, strategi dan tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Hal ini sangat penting sebagai modal dasar yang
harus dimiliki oleh sekolah untuk menetapkan arah dan acuan kegiatan yang
dilakukan di sekolah. Setiap sekolah sebaiknya dimulai dan sudah memiliki visi,
misi, strategi dan tujuan pendidikan yang jelas yang disusun bersama komite
sekolah. Hal ini menjadi bukti awal kemandirian sekolah yang harus ditunjukan
oleh sekolah dalam rangka manajemen berbasis sekolah. Apabila dimasa lalu
sekolah menjadi kepanjangan tangan birokrasi pendidikan yang selalu menunggu
perintah dan petunjuk dari atas, dalam era desentralsiasi pendidikan ini sekolah
harus memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa
ketergantungan pada pihak manapun.
45
Hal yang harus ditempuh pada langkah ini sekolah harus menjalin
kerjasama sebaik mungkin dengan orang tua siswa dan masyarakat sebagai mitra
kerjanya. Bentuk kerjasama yang ditempuh dalam menyusun program kerja
sekolah sebagai penjabaran dari visi, misi, strategi, dan tujuan pendidikan sekolah
tersebut, perlu melibatkan masyarakat dan orang tua siswa yang tergabung dalam
wadah organisasi komite sekolah. Dari pihak sekolah harus melibatkan secara
aktif seluruh warga sekolah dalam menyusun program sekolah dan Rencana
Anggaran dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Sekolah harus menetapkan kewenangan sekolah diantaranya menetapkan
kewenangan dalam melaksanakan penerimaan siswa baru sesuai dengan daya
tampung yang ada, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh
stakeholder pendidikan di sekolah. Berdasarkan sumber daya pendukung yang
dimilikinya sekolah secara bertanggungjawab harus dapat menentukan sendiri
jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan
persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu beberapa persyaratan yang
ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota perlu mendapat pertimbangan
secara bijak.
Menetapkan kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler dalam program
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini dengan
mempertimbangkan kepentingan daerah atau potensi wilayah demi masa depan
lulusannya. Sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurukulum
nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum
dengan meminta pertimbangan kepada komite sekolah. Dalam menetapkan
46
kurikulum muatan lokal, dapat mengambil kebijakan untuk menambah mata
pelajaran seperti Bahasa Inggris atau komputer setelah mendapat pertimbangan
dari komite sekolah. Dalam menetapkan kegiatan ekstrakurikuler sekolah juga
perlu meminta pendapat siswa sebelum menentukan dan melaksanakan kegiatan.
Oleh karena itu sekolah dapat melaksanakan pengelolaan biaya
operasional sekolah, baik dari dana yang bersumber dari Pemerintah kabupaten/
kota, maupun dana yang bersumber dari masyarakat. Untuk mendukung program
sekolah yang telah disepakati oleh komite sekolah dalam pelaksanaanya
diperlukan penetapan waktu yang tepat dalam pencairan dana dari Pemda
Kabupaten/kota.
Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan termasuk pengadaan buku
pelajaran dapat dilakukan oleh sekolah dengan memperhatikan standar dan
ketentuan yang ada. Misalnya, buku pelajaran siswa tidak seenaknya berganti-
ganti setiap tahun. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di
sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan mengacu kepada standar yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.
Penghapusan barang inpentaris harus dapat dilaksanakan sendiri oleh
pihak sekolah. Penghapusan barang dapat dilakukan dengan mengikuti pedoman
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sekolah sering merasa tidak berani
melakukan aktifitas belajar siswa, bahkan sering terjadi, sekolah tidak melakukan
penghapusan barang walaupun barangnya sudah tidak berguna bahkan
menghalangi aktifitas belajar siswa, bahkan sering terjadi, sekolah tidak
melakukan penghapusan barang walapun barangnya sudah tidak ada.
47
Sekolah harus menetapkan proses kegiatan belajar mengajar di
sekolahnya. Hal ini harus dinilai sebagai kewenangan profesional sejati yang
dimiliki oleh lembaga pendidikan/sekolah. Kepala sekolah dan guru-guru secara
bersama-sama merancang proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa
dapat belajar dengan baik dan berhasil. Proses pembelajaran yang bermutu, aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran
yang akan dilaksanakan oleh sekolah.
Pada masa desentralisasi pendidikan tidak lagi menganut proses belajar
mengajar yang diatur secara rinci dari Jakarta melalui Petunjuk Pelaksanaan
(juklak) dan Petunjuk Teknis (juknis) yang ditetapkan secara seragam. Dengan
diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekolah dituntut
untuk kreatif memikirkan program kegiatannya sendiri sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya. Kemampuan untuk merancang dan menetapkan kegiatan
belajar mengajar oleh sekolah adalah langkah pokok dalam melaksanakan
kemandirian sekolah.
Demikian juga sekolah harus menetapkan urusan teknis edukatif lainnya.
Sekolah sejalan dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan
pelaksanana kurikulum KTSP harus menentukan teknis edukatif yang berkaitan
dengan kegiatan belajar mengajar seperti menentukan jadwal pelajaran,
menetapkan pembagian jam mengajar untuk masing-masing guru, serta
menentukan jadwal piket sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen Diantaranya Pasal 7 ayat 1.b berbunyi bahwa guru ”memiliki komitmen
48
untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia”.
”Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas profesiona;l”. (pasal 7 ayat 1.e).
B. Konsep Peningkatan Mutu Pembelajaran
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, maka pendidikan
memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang
terintergrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka
pemerintah bersama kalangan sastra secara bersama-sama telah dan terus
berupaya melakukan berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih
berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum, dan
sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, peningkatan kualitas pembelajaran,
pengembangan dan pengadaan materi ajar. Serta pelatihan bagi guru dan tenaga
kependidikan lainnya.
Strategi pembangunan pendidikan yang dilaksanakan selama ini lebih
bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi
bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-
buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, maka secara otomatis lembaga
pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu
sebagaimana yang diharapkan. Ternyata starategi input-output yang diperkenalkan
oleh teori education production function (Umaedi, (1999), tidak berfungsi
sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam
institusi ekonomi dan industri.
49
Masalah di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa
pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input
pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan, input
pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi
tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu output
pendidikan (school resources are necessary but not suffcient condition to improve
student achievent). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana
pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang
memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda
satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan
perannya untuk mengupayakan peningkatan mutu pembelajaran. Hal ini akan
dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan
kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi
lingkungan dan kebutuhan anak didiknya.
Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan
mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara
nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu output
tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya
pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu output pendidikan harus
berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan.
Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih
50
bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Qialuity
Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antar sekolah, masyarakat
dan pemerintah dengan tanggungjawabnya masing-masing ini, berkembang
didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk
ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas
pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus
mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta
memahami kondisi lingkungannya (kelebihan dan kekurangan) untuk kemudian
melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam
kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus
dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi
dan misinya masing-masing.sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun
berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mandiri tetapi masih dalam kerangka
acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai,
memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
1. Pengertian Mutu Pembelajaran
”Dalam kerangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat)
keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa;
baik yang tangible maupun yang intangible” Umaedi (1993:3). Menurut Isye
Mulyani (2005: 39) yang mengutip pendapat Jerome Arcaro (2005) mengatakan
bahwa ”mutu adalah perubahan”. Maksudnya konsep mutu tidak tetap berlaku
51
untuk seumur hidup, tetapi konsep mutu akan selalu dinamis sesuai dengan
tantangan jaman. Tetapi memang bukan perubahan semuanya tanpa aturan.
Perubahan yang dimaksud adalah dinamis, dan akan berubah ketika perubahan
memang diperlukan sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat.
Pengertian mutu dalam konteks pembelajaran, dalam hal ini mengacu pada proses
pembelajaran di sekolah dan hasil belajar yang mengikuti kebutuhan dan harapan
stakeholder pendidikan. Mutu dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan
dalam mutu input, mutu proses dan mutu output pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran yang bermutu terlibat berbagai input
pembelajaran seperti; siswa (kognotif, afektif, tau psikomotorik), bahan belajar,
metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan
administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan
suasana yang kondusif. Mutu proses pembelajaran ditentukan dengan metode,
input, suasana, dan kemampuan melaksanakan manajemen proses pembelajaran
itu sendiri. Mutu proses pembelajaran akan ditentukan dengan seberapa besar
kemampuan memberdayakan sumber daya yang ada untuk siswa belajar secara
produktif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan
berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi
(proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa, dan sarana pendukung di kelas
maupuun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik
dalam substansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang
mendukung proses pembelajaran.
52
Mutu dalam konteks hasil pembelajaran mengacu pada prestasi yang
dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu,
akhir tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pembelajaran (student achivement)
dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (hasil ulangan umum, EBTA, atau
UN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga,
seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis
teknis, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang diukur dengan
angka (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati dan
kebersihan.
Sesungguhnya antara proses dan hasil pembelajaran yang bermutu akan
saling berhubungan, akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka
mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan
harus jelas target yang akan dicapainya. Berbagai input dan proses harus selalu
mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung
jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses,
tetapi tanggungjawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Aan Komariah dan
Cepi Triana (2008:57) menyatakan bahwa :
Layanan pembelajaran merupakan urusan utama sekolah yang menjadi patokan terjadi atau tidaknya perubahan kemampuan siswa sebagai representasi dari upaya-upaya yang dilakukan guru dan manajemen sekolah. Oleh karena itu layanan pembelajaran sekolah yang efektif pada penciptaan sekolah sebagai organisasi pembelajaran (learning organization). Dari pendapat di atas diambil maknanya bahwa aspek utama yang harus
dilaksanakan oleh sekolah sebagai lembaga pengembangan SDM adalah layanan
pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan
53
kapasitas organisasi sekolah untuk mencapai keberhasilan dalam menghadapi
berbagai perubahan zaman. Tujuan pembelajaran itu sendiri harus mampu
menyesuaikan dan harus siap dengan perubahan sesuai dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan zaman.
Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang
menyangkut aspek kemampuan akademik atau ”kognitif” dapat dilakukan
benchmarking (menggunakan titik acuan standar). Benchmarking untuk
kompetensi akademis telah dirumuskan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah aik yang
sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan
ekstrakurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan
dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pembelajaran tahun
berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu
yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, seragamnya kebutuhan guru
dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan
sekolah satu dengan lainya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat
akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk
memperoleh lulusan sekolah sebagai tenaga kerja yang bermutu, berdampak
kepada keharusan bagi setiap invididu terutama pimpinan lembaga pendidikan
untuk merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses
pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses
54
pengambilan keputusuan untuk peningkatan mutu pembelajaran di sekolah
mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, persepktif dan kerangkan acuan
(fremework) dengan meliebatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang
memiliki kepedulian kepada pendidikan di sekolah. Karena sekolah berada pada
bagian terdepan dari pada proses kegiatan pendidikan dan pembelajaan, maka hal
ini memberi konsekuensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam
proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
Sementara masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami proses
pembelajaran di sekolah, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai
pendukung dalam hal menentukan kerangka kebijakan pendidikan
Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan
suatu perubahan cara berfikir yang bersifat rasional,normatif dan pendekatan
preskitif di dalam pengambilan keputusan pendidikan pendidikan kepada suatu
kesadaran akan kompleknya pengambilan keputusan di dalam pengambilan
keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat
diapresiasikan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian
mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen
penikatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang
merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah di kembangkan.
Dari pengertian mutu pembelajaran di atas secara umum menjelaskan
bahwa mutu pembelajaran dapat tercermin dari kemampuan sekolah dalam
memberdayakan segala sumber belajar untuk mutu hasil belajar seperti mutu
lulusan yang dapat melanjutkan pendidikan.selanjutnya mutu pendidikan yang di
55
kemukakan oleh Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah (2004:119) memandang
bahwa ”mutu pendidikan supaya dapat ditingkatkan dan dikembangkan ke arah
yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna hasil pendidikan, maka
mutu pendidikan berdasarkan tingkatannya dengan kriteria yang berbeda dalam
melakukan pengukurannya.
Pengertian mutu pendidikan dalam kontek desentralisasi pendidikan untuk
tingkat pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota dapat diartikan sebagai
kemampuan melakukan pengelolaan sumber daya pendidikan yang meliputi
pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan sumber belajar, dan pengelolaan
sumber fasilitas dan dana, secara relatif merata dan berkeadilan untuk masing-
masing lembaga pendidikan. Mutu pendidikan pada tingkatan ini dibangun oleh
mutu pendidikan pada masing-masing satuan pendidikan sehingga penekanannya
kepada pengelolaan sebagai sumber daya pendidikan yang didistribusikan secara
relatif dan berkeadilan kepada sekolah-sekolah untuk di manfaatkan dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Pengertian peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat disamakan
artinya dengan peningkatan mutu pembelajaran yaitu kemampuan lembaga
pendidikan (guru dan kepala sekolah) dalam mengatur dan mengelola sumber
belajar secara efisien agar dapat meningkatkan kemampuan belajar
siswa.pengertian peningkatan mutu pembelajaran penekanannya lebih kepada
pemberdayaan segala sumber belajar dan penciptaan suasana yang kondusif agar
siswa bisa belajar dengan lebih baik sehingga tercapai peningkatan belajar siswa.
Pada tingkatan ini peningkatan mutu pembelajaran lebih di arahkan kepada
56
pengolahan sumber belajar dan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan
belajar siswa.
Inti dari peningkatan mutu pembelajaran adalah sebagaimana siswa
supaya memiliki kemampuan belajar, kemampuan belajar siswa dalam berbagai
kondisi dan situasi merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Kemampuan
belajar siswa secara mandiri dan secara tin adalah tujuan yang paling pokok dalam
kegiatan pembelajaran. Seperti menurut pandangan Ace Suryadi dan Dasim
Budimansyah bahwa ”kemampuan belajar adalah kemampuan tertinggi dari
seseorang”. Kemampuan belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan belajar
dalam berbagai situasi, kemampuan belajar dalam berbagai macam fasilitas dan
sarana, serta kemampuan belajar dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
dan teknologi yang baru. Kemampuan tertiggi dalam diri individu adalah
kemampuan belajar dengan cepat tepat dan terus menerus. Pendidikan sepanjang
hayat pada dasarnya untuk menumbuhkan kemampuan belajar pada diri individu,
karena setelah seseoang memiliki kemampuan belajar yang tinggi, maka dalam
menghadapi berbagai kesulitan dan masalah, yang bersangkutan akan mampu
menemukan solusinya dengan kemampuan belajarnya.
Hasil studi Ace Suryadi (1993:23) menyatakan bahwa : mutu
pembelajaran di SD pada daerah perkotaan cenderung lebih dipengaruhi oleh
variabel-variabel masyarakat, sedangkan mutu pendidikan di SD pada daerah
pedesaan cenderung lebih dipengaruhi oleh variabel-variabel sekolah”. Hasil studi
ini lebih lanjut menekankan bahwa efek dari faktor-faktor sekolah terhadap
prestasi belajar tampaknya memiliki keterbatasan, yaitu sejauh atau sebesar yang
57
dapat ditentukan oleh kelengkapan fasilitas pedidikan. Perbedaan prestasi belajar
murid diperkotaan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar sekolah,
diantaranya aspirasi pendidikan, pengalaman pendidikan taman kanak-kanak, dan
keadaan sosial ekonomi orang tua. Pengaruh faktor sekolah seperti guru, buku
paket, buku bacaan, dan alat belajar bagi siswa SD di perkotaan pengaruhnya
lebih kecil.
”Bagi siswa SD dipedesaan faktor-faktor yang memebrikan pengaruh lebih
kuat terhadap prestasi belajar siswa diantaranya adalah kelengkapan buku
pelajaran, alat pelajaran, dan kehadiran guru dalam mengajar”. Ace Suryadi
(1993:23). Hal ini terjadi karena untuk masyarakat perkotaan sekolah bukan
merupakan satu-satunya sumber belajar siswa, dan guru bukan satu-satunya
sumber informasi bagi siswa. Berbeda dengan siswa SD di daerah pedesaan,
dimana kelengkapan fasilitas belajar di sekolah merupakan sumber belajar satu-
satunya, dimana sumber belajar lain tidak ditemukan di lingkungan keluarga,
terlebih lagi apabila latar belakang pendidikan orang tuanya sangat rendah bahkan
tidak pernah sekolah.
Konsep mutu pembelajaran diambil berdasarkan pendekatan produksi
dalam industri yaitu digambarkan dengan mutu input, mutu proses, dan mutu
output. Dalam konteks produksi apabila mutu input bagus, diolah dengan proses
yang bagus, maka outputnya hampir dapat dipastikan bagus. Apabila diterapkan
dalam dunia pendidikan asumsi di atas bisa mengandung kebenaran dengan syarat
tidak ada faktor lain yang mengganggu. Mutu pembelajaran di sekolah dalam hal
ini diasumsikan sebagai sejumlah karakteristik mutu yang perlu dimiliki sekolah,
58
yaitu mutu input pembelajaran, mutu proses pembelajaran, dan mutu output
pembelajaran, kesemuanya dapat digunakan untuk menggambarkan peningkatan
mutu pembelajaran secara keseluruhan.
Pertama mutu input pembelajaran yaitu segala hal berkaitan dengan
masukan untuk proses pembelajaran disekolah merupakan input pembelajaran.
Input pembelajaran dapat berupa material dan non material. Berikut ini adalah
beberapa indikator yang dapat dioperasikan sebagai input pembelajaran di tingkat
persekolahan, yaitu (1) memiliki kebijakan mutu, (2) tersedia sumber daya yang
siap, (3) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (4) berfokus pada stakeholder
(khususnya peserta didik), (5) memiliki input manajemen.
Kedua mutu proses pembelajaran. Berkaitan dengan proses pelajaran di
sekolah, dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator mutu pembelajaran.
Indikator yang dapat dioperasionalkan untuk melihat mutu sebuah sekolah dalam
menjalankan Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu : (1) efektifitas proses belajar
mengajar tinggi, (2) kepemimpinan sekolah yang kuat (3) pengelolaan tenaga
kependidikan yang efektif, (4) sekolah memiliki budaya mutu, (5) sekolah
memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis, (6) sekolah memiliki
kewenangan (kemandirian), (6) partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi,
(7) sekolah memiliki keterbukaan (transparansi manajamen), dan (8) sekolah
melakukan evaluasi dan perbaikan.
Ketiga mutu output pembelajaran. Output adalah kinerja sekolah, kinerja
sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses pembelajaran.kinerja
sekolah diukur dari mutunya, efektifitasnya, produktivitasnya, efisensinya,
59
inovasinya, mutu kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Pada umumnya
indikator output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu otput pencapaian
akademik (academic achievement) dan output pencapaian non akademik (non
akademic achievement).
2. MBS dan Peningkatan Mutu Pembelajaran
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS) atau sekarang
dikenal dengan istilah (MBS) merupakan alternatif baru dalam pengelolaan
pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sebagai sarana dalam upaya
meningkatkan profesionalisme dan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang otonom ”dituntut
kemandirian dan kreativitasnya dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran
dibalik otonomi yang dimilikinya”. (Mulyasa E, 1997:14). Konsep ini
diperkenalkan oleh teori efektive school yang lebih memfokuskan diri pada
perbaikan proses pendidikan. Umaedi (1999:4) mengutip pendapat (Edmond,
1979) menjelaskan beberapa indikator ang menunjukkan karakter dari konsep
manajemen ini santara lain sebagai berikut (1) lingkungan sekolah yang aman dan
tertib, (2) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (3) sekolah
memiliki kepemimpinan yang kuat, (4) adanya harapan yang tinggi dari
profesional sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk
berprestasi, (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai
tuntutan IPTEK, (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap
60
berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk
penyempurnaan. Perbaikan mutu dan (7) adanya komunikasi dan dukungan
intensif dari orang tua murid / masyarakat.
Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan
kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan
kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif
kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan.
Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh
komponen sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga/.staf administrasi termasuk
orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami., membantu sekaligus
sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan
sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi
yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan
sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab
untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan
dan fungsi setiap personil sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang
telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan
masyarakat, sekolah arus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping
harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang
sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari
sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam
61
masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses
perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total
dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri
maupun sekolah lain.
Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas
total yaitu : (1) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus menerus
mengumandangkan peningkatan mutu, (2) kualitas/mutu harus ditentukan oleh
pengguna jasa sekolah, (3) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi
bukan dengan pemaksaan aturan, (4) sekolah harus menghasilkan siswa yang
memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter dan
memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong
sekolah untuk terus menerus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan
dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel
sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua sumber daya
termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan
secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi
peningkatan mutu pembelajaran khususnya. Sementara itu kebijakan makro yang
dirumuskan oleh pemrintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan
dalam rangka menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas
yang berlingkup nasional.
Pelaksanaan program MBS merupakan program pemerintah untuk
melaksanakan otonomi pada tingkat satuan pendidikan sebagai sarana untuk
meningkatkan profesionalisme dan kemandirian sekolah. Program ini merupakan
62
program tahap awal yang harus dilanjutkan dengan program lain sebagai program
operasionalnya. Karena program MBS bertumpu kepada pemberdayaan segala
sumber belajar yang ada di sekolah untuk siswa dengan baik, maka perlu
mendapat perhatian adalah SDM sebagai pelaksana pemberdayaan sumber belajar
itu, yaitu guru. Program lanjutan dari program MBS adalah program
profesionalisme guru, salah satunya melalui program sertifikasi, kemudian
didukung dengan kurikulum KTSP, yang semuanya mendukung program MBS.
Dalam pelaksanan program MBS diperlukan SDM guru yang profesional.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung profesionalisme guru
dilakukan dalam dua bentuk. Pertama dilakukan untuk guru sebelum menduduki
jabatan sebagai guru, yaitu dengan menetapkan syarat latar belakang akademik
sebagai calon guru. Kedua melakukan sertifikasi kepada guru dalam jabatan
melalui penilaian portofolio dan atau diklat sertifikasi. Profesionalisasi tenaga
pendidikan seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional bahwa “Pendidikan merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat…”.
Selanjutnya Udin S. Suad (2009:97) menjelaskan ciri-ciri guru yang
profesional adalah sebagai berkut :
….guru profesional paling tidak memiliki ciri-ciri berikut ini : (1) mempunyai komitmen pada proses belajar siswa, (2) menguasai secara mendalam materi pelajaran dan cara mengajarkannya, (3) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (4) merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
63
profesioanalnya yang memungkinkan mereka untuk selalu meningkatkan profesionalnya. Guru profesional sangat berperan dalam pelaksanaan program MBS,
karena guru semakin dituntut untuk mampu menjabarkan keinginan dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan melalui kompetensi yang
dimilikinya, demikian juga dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menutut profesionalisme guru untuk menjabarkannya dengan
proses pembelajaran. Dalam semangat otonomi pada tingkat satuan pendidikan
kemampuan profesional guru dan kepala sekolah menjadi pertaruhan, karena
kualitas sekolah akan sangat ditentukan oleh komponen guru dan kepala sekolah.
Walaupun guru bukan satu-satunya yang mempengaruhi mutu pembelajaran tetapi
seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung
kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa”. (Udin S. Suad 2009:97).
Selanjutnya Nanang Fattah (2004:85) mengemukakan bahwa “manajemen kelas
yang menajdi otoritas guru berfungsi mensinkronkan berbagai input atau
mensinergikan semua komponen dalam proses belajar mengajar”.
Tujuan pelaksanan MBS adalah untuk lebih mendekatkan proses dan hasil
pembelajaran kepada kepentingan masyarakat pengguna layanan pendidikan
dengan memanfaatkan sebesar-bearnya potensi lokal yang ada. Bagi sekolah hal
ini memacu untuk lebih profesional dan kreatif, serta mandiri. Pelaksanaan
program pendidikan di sekolah disesuaikan dengan visi, misi dan tujuan
pendidikan yang ingin dicapai oleh sekolah. Tujuan pendidikan di sekolah dapat
berupa target yang ingin dicapai yang pada setiap tahun dapat ditingkatkan.
64
Kinerja sekolah akan dapat terus ditingkatkan, sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan masyarakat, serta sumber belajar yang tersedia.
Tujuan MBS menurut Mulyana E. (2007:25) ”merupakan proses
pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat, bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. MBS bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi diantaranya adalah untuk menyederhanakan birokrasi
pendidikan yang dilimpahkan wewenang dan tanggung jawabnya kepada
pemerintah kabupaten/kota dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Dalam hal peningkatan mutu dapat diperoleh dengan keterlibatan
masyarakat dan profesionalisme guru dan kepala sekolah. “Perlu diperhatikan
oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dalam melaksanakan upaya perbaikan dan
peningkatan mutu berkelanjutan, adalah memberikan wewenang kepada guru
dalam meningkatkan mutu proses belajar mengajar...” (Nanang Fatah, 2004:85).
Hal pemerataan pendidikan diperoleh karena kebijakan pendidikan di sekolah
ditentukan oleh pihak sekolah dan masyarakat.
Pelaksanaan program MBS berpengaruh langsung kepada proses
pembelajaran, karena guru di dalam kelas dituntut mengelola pembelajaran secara
kreatif dan profesional. Dijelaskan oleh Nanang Fatah (2004:4) bahwa model
MBS telah dicoba di Amerika, berasal dari karya Edwars E. Lawler dan kawan-
kawannya : “ternyata telah membawa dampak terhadap peningkatan kualitas
belajar mengajar”.
65
3. Manajemen Mutu Dalam Konteks Peningkatan Mutu Pembelajaran
Manajemen mutu pendidikan adalah manajemen mutu terpadu atau total
quality management (TQM) dalam bidang pendidikan. Pada awalnya konsep
manajemen mutu dikembangkan untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan
organisasi di dunia bisnis, sebagai dampak dari semakin tajamnya persaingan
dalam bidang usaha mereka. Namun kemudian, konsep ini diterapkan dalam
bidang industri, jasa dan bidang pendidikan. Secara umum istilah manajemen
mutu terpadu ternyata memiliki makna ganda, yaitu sebagai filosofi yang
melandasi kegiatan berpikir dan sebagai metode untuk meningkatkan kegiatan
praktis operasional serta menjalankan manajemen perubahan.
Dalam bidang pendidikan ”untuk mendukung tercapainya sasaran program
peningkatan mutu dan daya saing, diterapkan konsep manajemen mutu terpadu
atau total quality management (TQM)” (Renstra Ditjen Mandikdasmen : 2006).
Penerapan kebijakan manajemen mutu pendidikan pada saat sekarang yang
dikenal dengan istilah ”manajemen mutu terpadu”, yang berasal dari dunia bisnis.
Jika penerapan TQM dalam satu organsiasi merupakan suatu kelajiman, maka
penerapan dalam bidang pendidikan merupakan suatu tantangan besar yang harus
dijawab secara sistematis dan sistemik.
Filosofi manajemen mutu terpadu merupakan landasan pemikiran yang
harus dipertimbangkan oleh organisasi, demi tercapainya keberhasilan
pelaksanaan peningkatan mutu. Filosofi dan implementasi manajemen mutu
memiliki care value sebagai indikator utama dalam tercapainya kepuasan dan
loyalitas semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam bidang
66
pendidikan, untuk mencapai keberhasilan tersebut selayaknya implemntasi
manajemen mutu harus berorientasi pada komitmen terhadap budaya mutu dengan
menekankan pada cara kerja yang bersifat zero deffect (tanpa cacat), dan adaptive
to shange. Cara kerja yang berorirntasi pada budaya mutu harus terus ditingkatkan
agar dapat menciptakan standar kualitas yang mampu bersaing. Cara kerja yang
berorientasi pada budaya mutu dapat diterapkan dalam peningkatan mutu
pembelajaran di sekolah.
Tingkat keberhasilan penerapan TQM dalam dunia bisnis, secara
konseptual keberhasilan akhirnya dapat diterapkan pada lembaga pendidikan
persekolahan. Namun
Demikian penerapan konsep manajemen mutu dalam bidang pendidikan
memerlukan modifikasi dan penyesuaian dengan karateristik bidang pendidikan
yang memiliki fungsi pelayaan publik. Seperti pendapat Edwar Sallis (1993:12)
mengemukakan aspek-aspek yang menentukan dalam manajemen mutu
pendidikan di sekolah adalah sebagai berikut :
Well mainated building, outstanding teacher, high moral value, excellent examination result, specification the support of parent, bussiness and local community, plantiful resarces, the aplication of the lates tecnology, strong and pupaseful leadership, the care and concern for pupils and student, a well balanced curiculum, or same combination of the fators. Dari pendapat Edwar Sallis di atas, aspek yang paling menentukan dalam
manajemen mutu adalah bagaimana kepala sekolah menjalankan manajemen mutu
pendidikan di sekolah masing-amsing. Sejalan dengan konsep tersebut Dirjen
Mandikdasmen Depdiknas (2006) menggambarkan penerapan manajemen mutu
pendidikan bahwa “ukuran sekolah yang baik bukan semata-mata dilihat dari
67
kesempurnaan komponennya dan kekuatan yang dimilikinya, melainkan diukur
juga dari kemampuan sekolah untuk mengantisipasi perubaan, konflik, serta
kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya”.
Dengan demikian untuk mengukur manajemen mutu pendidikan di
sekolah dapat mempergunakan tiga model perbandingan yaitu : (1) diukur atau
dibandingkan dengan kriteria ideal yang telah dietapkan, (2) dibandingkan dengan
kondisi sekolah yang bersangkutan dari waktu ke waktu, dan (3) dibandingkan
dengan kondisi sekolah atau daerah lain. Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan
di sekolah pada dasarnya merupakan suatu proses berkesinambungan untuk
mencapai hasil/tujuan pendidikan yang bermutu. Peran manajemen mutu
pendidikan yang profesional dan menghantarkan lembaga pendidikan dalam
merealisasikan tujuan pendidikan secara ideal.
Kepala sekolah sebagai seorang manajer pendidikan harus menunjukkan
perilaku yang kondusif bagi pencapaian output yang bermutu. Hal yang lebih
pokok adalah bahwa kepala sekolah memahami visi dan misi secara benar
sehingga mampu memahami tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu kepala
sekolah harus memiliki motivasi yang tinggi untuk merealisasikan visi dan misi,
serta tujuan sekolahnya. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja yang
kondusif harus bertindak sebagai manajer yang melakukan pendekatan-
pendekatan partisipatif dalam gaya kepemimpinannya. Kepala sekolah sebagai
tenaga profesional yang memiliki kewenangan untuk memajukan dan
mengembangkan sekolah yang dipimpinnya, agar mampu menghadapi suasana
68
yang penuh dengan persaingan sehingga harus melengkapi dirinya dengan
kemampuan sebagai pemikir dan pengembang.
Pengertian TQM menurut pandangan Tony Bush dan Mariance Colleman
(2006:191) dari West Burnham, (1995:13( yaitu :
…mutu terpadu adalah sebuah filosofi dengan alat-alat dan proses-proses implementasi praktis yang praktis yang ditunjukkan untuk mencapai sebuah kultur perbaikan terus menerus yang digerakan oleh semua pekerja sebuah organsiasi, dalam rangka memuaskan pelanggan. Dari pengertian TQM di atas, implikasinya untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan khususnya dipersekolahan adalah : (1) manajemen menekankan pada
totalitas pada semua karyawan di sekolah kepala sekolah, tenaga pendidik, dan
tenaga non kependidikan, (2) terdapat pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan
implikasinya pada kepemimpinan dan tipe manajemen di sekolah, (3) dilakukan
sebuah proses perencanaan yang mengantarkan pada implementasi dalam
melaksanakan program-program pendidikan, (4) Alat-alat dan proses-proses yang
mencakup pengawasan dan evaluasi, yang lebih menekankan pada pencegahan
dari pada inspeksi, (5) kepentingan stakeholder pendidikan menjadi perhatian
utama dari pada kepentingan sekolah.
Strategi pengembangan manajemen mutu pendidikan dalam menggunakan
manajemen mutu terpadu adalah institusi pendidikan menghadapi keberhasilan
TQM dengan cara memposisikan dirinya sebagai institusi (industri) jasa layanan
pendidikan. Sekolah memposisikan dirinya sebagai insititusi jasa layanan
pedidikan yang berusaha memenuhi kepentingan stakeholder pendidikan.
Layanan pendidikan yang diinginkan oleh stakeholder pendidikan, sudah barang
tentu layanan pendidikan yang bermutu yang sesuai dengan tuntutan kehidupan
69
masyarakat, sehingga diperlukan suatu sistem manajemen yang mampu
memberdayakan institusi pendidikan agar lebih bermutu.
C. Komite Sekolah sebagai Wadah Kepedulian Masyarakat Dalam
Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah
1. Pengertian Komite Sekolah
Pendidikan yang bermutu akan selalu menjadi kebutuhan masyarakat
pengguna layanan pendidikan, sehingga upaya peningkatan mutu pembelajaran di
sekolah akan selalu mendapat dukungan dari masyarakat. Pembentukan komite
sekolah bertujuan untuk mengembalikan kepedulian masyarakat terhadap
pendidikan. Komite Sekolah merupakan wadah partisipasi dan kepedulian
masyarakat terhadap sekolah yang berada di lingkungannya. Organisasi Komite
Sekolah dengan segala peran dan fungsinya dibentuk sebagai pengganti BP3
(Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan). Peran dan fungsi BP3 telah
menyimpang dari tujuannaya. Banyak orang tua siswa yang kecewa dengan BP3
karena identik dengan pungutan uang BP3 dan tidak memberikan sumbangan
yang bermakna terhadap proses peningkatan mutu pembelajaran dan mutu
pendidikan. Komite Sekolah berbeda dengan BP3 dengan peran dan fungsinya
untuk bekerjasama dengan kepala sekolah dalam melakukan peningkatan mutu
pembelajaran yang diharapkan oleh masyarakat pengguna layanan pendidikan.
Komite Sekolah merupakan badan atau organsiasi yang independen
sebagai mitra sejajar kepala sekolah yang secara bersama-sama berupaya untuk
memajukan atau meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Sebagaimana
70
dijelaskan dalam Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002,
bahwa :
”Komite Sekolah adlah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan prasekoah, jalur pendidikan seklolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Nama Komite Sekolah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majlis Sekolah, Majlis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati”.
Pengertian Komite Sekolah sebenarnya berbeda dengan BP3, apabila BP3
merupakan perwakilan dari orang tua siswa, sedangkan Komite Sekolah
merepresentasikan keterwakilan seluruh stakeholder pendidikan, keterwakilan
skateholder pendidikan ditunjukkan dengan keanggotaan Komite Sekolah yang
terdiri dari unsur-unsur. ”perwakilan orang tua/wali siswa, tokoh masyarakat,
anggota masyarakat peduli pendidikan, pejabat pemerintah setempat, dunia usaha/
industri pakar pendidikan, organisasi profesi tenaga kependidikan, perwakilan
siswa, dan perwakilan (forum) alumni”. (Panduan Umum Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah : 2005:26).
Sebuah nama akan mengandung konsekuensi terhadap peran dan fungsi
serta tempat dimana nama organisasi itu berada, walaupun mendapat kebebasan
untuk menyepakati nama sebuah organisasi Komite Sekolah. Nama Komite
Sekolah hanyalah sebuah nama generik, apabila sudah disepakati sebuah nama
sebelumnya dan nama tersebut sudah dikenal oleh masyarakat maka Kepmen
Diknas di atas memberikan kebebasan untuk melanjutkan nama tersebut untuk
dikukuhkan. Sebagai contoh di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, nama
71
Komite Sekolah sudah ada sebelum Kepmen Diknas No. 044/U/2002 terbit,
sehingga sampai sekarang digunakan nama ”Majlis Sekolah dan Majlis
Madrasah”. (Sulaiman Darwis, 2004:22).
2. Tujuan Organisasi Komite Sekolah
Komite Sekolah sebagai lembaga independen yang merepresentasikan
keterwakilan seluruh stakeholder pendidikan tujuan akhirnya adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah melalui kepedulian masyarakat untuk
bersama-sama lembaga pendidikan dalam mewujudkan produk atau lulusan
sekolah yang bersangkutan agar lebih memenuhi harapan kebutuhan konsumen
konsumen atau penggunanya.lembaga Komite Sekolah memang tidak perlu
terlibat dalam masalah PBM di dalam kelas, memberikan dukungan peningkatan
pembelajaran, serta melakukan terhadap mutu pendidikan agar bisa memenuhi
harapan masyarakat.
Tujuan Komite Sekolah berdasarkan lampiran II Keputusan Mendiknas
Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai berikut :
a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam
melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan;
b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
c. Menciptakan suasana dan kondisi transportasi, akuntabilitas dan demokratisasi
dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan
pendidikan.
72
3. Kinerja Komite Sekolah
Dalam mengukur kinerja Komite Sekolah pada penelitian ini dilakukan
dengan melihat pelaksanaan peran dan fungsi Komite Sekolah. Sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Depdiknas (Tim DPKS:2006) bahwa kinerja Komite Sekolah
dapat digambarkan dengan seberapa jauh organsiasi Komite Sekolah
melaksanakan peran dan fungsi organisasinya. Organisasi Komite Sekolah
merupakan lembaga independen yang bersifat foluntir (sukarela) tanpa mendapat
imbalan yang berupa gaji pegawai, maka kinerja Komite Sekolah akan tergambar
dari pelaksanaan peran dan fungsinya dalam membantu lembaga sekolah dalam
meningkatkan mutu pembelajaran.
Terdapat kecenderungan yang menarik, dimana hubungan antara sekolah
dan Komite Sekolah cukup berpengaruh terhadap kinerja yang dapat dilaksanakan
oleh anggota Komite Sekolah. Semakin baik hubungan antara keduanya semakin
banyak pula peran dan fungsi yang dapat dilaksanakan oleh anggota Komite
Sekolah. Sebaliknya ketika hubungan antara keduanya kurang harmonis, maka
peran dan fungsi Komite Sekolah sangat minim.
Seperti yang telah disinggung di atas, Komite Sekolah mempunyai peran
yang cukup strategis dalam pemberdayaan sekolah dan masyarakat. Peran dan
fungsi Komite Sekolah merupakan suatu bentuk kesatuan integral dari empat
peran dan fungsinya, yaitu peran pengontrol dalam implementasi kebijakan dan
program-program yang dilakukan oleh sekolah (controling agency), dan peran
untuk menjembatani kepentingan sekolah dan kepentingan masyarakat pengguna
layanan pendidikan (mediator agency). Keempat peran dan fungsi Komite
73
Sekolah dalam pelaksanaannya tidak bisa dilaksanakan secara terpisah-pisah, juga
tidak bisa dilaksanakan peran yang satu dulu kemudian yang lainnya menyusul,
tetapi harus dilaksanakan secara kesatuan dan disesuaikan dengan masalah yang
dihadapi dan kebutuhan sekolah masing-masing.
Hasil studi efektivitas kinerja Komite Sekolah yang dilaksanakan oleh
PPIM UIN Jakarta, dan Dikdasmen Depdiknas (2004), berusaha melihat
efektivitas kinerja Komite Sekolah dari pelaksanan peran dan fungsinya sebagai
badan yang bertugas untuk mewadahi, menyuarakan aspirasi dan prakarsa
masyarakat, meningkatkan tanggungjawab dan peran serta seluruh lapisan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Kinerja Komite Sekolah dapat
dilihat dari tingkat pelaksanaan peran dan fungsinya dalam bekerjasama dengan
kepala sekolah dalam melaksanakan peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.
Komite Sekolah dalam menjalankan organsiasinya memiliki empat peran,
keampat peran Komite Sekolah tersebut adalah :
a. Peran Sebagai Badani Pertimbangan (advisoy agency)
Peran Komite Sekolah sebagai badan pemberi pertimbangan apabila
dijabarkan dalam bentuk fungsinya adalah merupakan pertimbangan dan
rekomendasi kepada sekolah dalam menentukan langkah-langkah kebijakan dan
program pelayanan pendidikan di sekolah. Wujud fungsinya bisa dalam bentuk
nasehat, memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan
pendidikan mengenai, kebijakan dan program pendidikan RAPBS (Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Kriteria kinerja satan pendidikan,
kriteria tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan dan hal-hal lain yang
74
terkait dengan fungsi penyeleggaraan prendidikan (Tim Pengembangan
DPKS:2005:23).
Dari peran dan fungsi pertimbanagn (advisory) dapat dijabarkan dalam
bentuk kegiatan operasional Komite Sekolah. Maka kegiatan operasional Komite
Sekolah ini dapat diukur dan diteliti. Kegiatan operasional Komite Sekolah dari
peran pertimbangan di antaranya adalah : (1) melakukan pendataan terhadap
kondisi sosial ekonomi keluarga dari orang tua siswa dan sumber daya pendidikan
di masyarakat, (2) menganalisis hasil pendataan sebagai bahan pemberian
masukan, pertimbangan atau rekomendasi secara tertulis kepala sekolah dengan
tembusan kepala Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan tentang kebijakan dan
program kegiatan sekolah (4) memberikan pertimbangan kepada sekolah dalam
rangka pengembangan kurikulum muatan lokal, (5) memberikan pertimbangan
kepada sekolah untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran yang
menyenangkan dalam kaitannya dengan hasil UN, (6) memberikan masukan
kepada sekolah dalam menyusun visi, misi, tujuan kebijakan, dan kegiatan
sekolah.
Peran pertimbangan dari Komite Sekolah yang diwujudkan dalam bentuk
memberikan masukan tentang peningkatan mutu pembelajaran, memberikan
masukan dalam masalah PAKEM, dan memberikan masukan tentang RAPBS.
b. Peran Pendukung (Suporting Agency)
Komite Sekolah dalam melaksanakan peran pendukung, dapat dijabarkan
dalam tiga fungsi yaitu (1) memberikan dorongan kepada orang tua dan
75
masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, (2)
melakukan penggalangan dana masyarakat dan dunia usaha/industri dalam rangka
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, dan (3) mendorong tumbuhnya
perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu.
Masing-masing fungsi tersebut di atas dapat dijabarkan lagi ke dalam
bentuk kegiatan operasional. Fungsi yang pertama dapat dijabarkan ke dalam 6
kegiatan operasional yaitu (a) mengadakan rapat atau pertemuan secara berkala
dan insidental dengan orang tua siswa dan anggota masyarakat, (b) mencari
bantuan dana dari dunia usaha dan industri untuk biaya pembebasan uang sekolah
bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, (c) menghimbau dan
mengadakan pendekatan kepada orang tua siswa dan masyarakat yang dipandang
mampu untuk dapat menjadi narasumber dalam kegiatan instrakurikuler bagi
siswa, (d) memberikan dukungan untuk pemeriksaan kesehatan anak, (e)
memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam
memberantas penyebarluasan narkoba di sekolah, dan (f) memberikan dukungan
kepada sekolah dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Fungsi yang kedua menggalang dana masyarakat dan dunia usaha dapat
dijabarkan ke dalam empat kegiatan operasional yaitu (a) melakukan verifikasi
terhadap RAPBS yang diajukan oleh kepala sekolah, (b) melakukan pengesahan
kepada RAPBS setelah dilakukan proses verifikasi dalam rapat pleno Komite
Sekolah, (c) memberikan motivasi kepada masyarakat kalangan menengah ke atas
untuk meningkatkan komitmennya bagi upaya peningkatan mutu pembelajaran di
76
sekolah, dan (d) membantu sekolah dalam rangka penggalangan dana masyarakat
dan dunia usaha untuk pengumpulan dana. Fungsi ketiga untuk mendorong
tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu dapat dijabarkan dalam tiga kegiatan operasional yaitu :
a) Melaksanakan konsep subsidi silang dalam penarikan sumbangan dari para
dermawan dan orang tua siswa, (b) mengadakan kegiatan inovatif untuk
meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat misalnya dalam bentuk
panggung hiburan untuk sekolah dan masyarakat, (c) membantu sekolah dalam
menciptakan hubungan dan kerjasama antar sekolah dengan orang tua siswa dan
masyarakat.
c. Peran Sebagai Badan Pengawasan (Controlling Agency)
Peran kontrol Komite Sekolah dapat dijabarkan dalam fungsinya yaitu
melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan. Selanjutnya dapat dijabarkan ke dalam
empat bentuk kegiatan operasional yaitu : (a) mengadakan rapat atau pertemuan
secara rutin atau insidental dengan kepala sekolah dan dewan guru, (b) sering
mengadakan kunjungan atau silaturahmi ke sekolah, atau dengan dewan guru di
sekolah, (c) meminta penjelasan kepada sekolah tentang hasil belajar siswa, (d)
bekerjasama dengan sekolah dalam kegiatan penelusuran alumni.
Peran kontrol Komite Sekolah mungkin bukan masalah yang terlalu sulit
untuk dilaksanakan, namun demikian Komite Sekolah dalam menjalankan peran
ini, sangat rentan karena bisa mengganggu kehamonisan hubungan antara kepala
77
sekolah dan Komite Sekolah. “Munculnya konsep Komite Sekolah antar lain
dilandasi pada kebutuhan untuk mengontrol penyelenggaraan sekolah di era
otonomisasi pendidikan. Kontrol itu menjadi penting karena akuntabilitas
merupakan bukti keotonomian sekolah, termasuk dalam hal pertanggungjawaban
keuangan kepada stakeholder pendidikan”. (Kompas.com.3September2005). di
sisi lain Komite Sekolah dianggap sebuah lembaga yang tidak struktural dan
formal, sehingga posisi tawarnya menjadi sangat lemah. “Eksistensi Komite
Sekolah perlu didukung oleh peraturan daerah (Perda) sehingga aspek legalitas
dan mekanisme kontrol semakin kuat. Pembentukan Komite Sekolah yang
memiliki kekuatan hukum akan menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam
penyelenggaraan pendidikan”. (www.waspada.co.id.25April2006).
d. Peran Sebagai Badan Penghubung (Mediator agency)
Peran mediator Komite Sekolah dapat dijabarkan dalam dua fungsi yaitu
(1) melakukan kerjasama dengan masyarakat, (2) menampung dan menganalisis
aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh
masyarakat. Dari dua fungsi tersebut masing-masing dapat dijabarkan ke dalam,
tiga bentuk kegiatan operasional. Fungsi melakukan kerjasama dengan masyarakat
dapat dijabarkan ke dalam bentuk kegiatan (a) membina hubungan dan kerjasama
yang harmonis dengan seluruh stakeholder pendidikan, khususnya dengan dunia
usaha dan industri, (b) mengadakan penjajagan tentang kemungkinan untuk dapat
mengadakan kerjasama atau MOU dengan lembaga lain untuk memajukan
78
sekolah dan (c) melakukan kerjasama dengan sekolah dalam melakukan
sosialisasi program-program pendidikan di sekolah, serta sumber pendanaannya.
Fungsi menampung dan menganalisasi aspirasi masyarakat dapat
dijabarkan dalam tiga bentuk kegiatan operasional yaitu (a) menyebarkan
kuesioner untuk mendapatkan masukan, saran, dan ide kreatif dari masyarakat, (b)
menyampaikan laporan kepada sekolah secara tertulis, tentang hasil
pengamatannya terhadap sekolah, dan (c) menampung menjembatani dan
menyampaikan berbagai aspirasi masyarakat seperti keluhan masyarakat dalam
masalah penerimaan siswa baru dan masalah hasil UN.
Pada dasarnya peran mediator Komite Sekolah adalah peran yang paling
ditunggu-tunggu oleh semua elemen masyarakat, lebih khusus lagi paling
diharapkan oleh kelompok masyarakat kelas bawah. Sering terjadi perbedaan
kepentingan antar pihak sekolah dengan pihak masyarakat, seperti dalam
penerimaan siswa baru, dimana tempat yang tersedia di sekolah untuk siswa baru
sangat terbatas, tetapi pihak masyarakat sangat memerlukan bahkan berebut
tempat yang terbatas sehingga sering terjadi gesekan. Dalam hal ini Komite
Sekolah harus berperan sebagai mediator yang bijak, sehingga tidak terjadi
masalah yang merugikan pihak manapun.
Penelitian tentang kinerja Komite Sekolah didasarkan pada asumsi bahwa
kelembagaan adalah bagian dari upaya peningkatan partisipasi masyarakat
terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan. Partisipasi masyarakat tersebut
diyakini sebagai prasyarat bagi terwujudnya “good govermance”, dalam bidang
pendidikan. Partisipasi masyarakat yang diwakili oleh lembaga Komite Sekolah
79
tersebut dapat tergambarkan dalam empat peran dan fungsi Komite Sekolah, yaitu
sebagai badan pemberi pertimbangan (advisory agency), sebagai badan pemberi
dukungan (supporting agency) sebagai badan penghubung yang menjembatani
kepentingan sekolah dan kepentingan masyarakat (mediatting agency) dan sebagai
badan yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan pelayanan pendidikan
(controlling agency).
Dalam kerangka partisipasi ini, institusi Komite Sekolah dengan keempat
peran fungsinya, idealnya merupakan perwujudan dari kepedulian dan kesadaran
warga masyarakat akan hak-hak kewarganegaraannya. Kelembagaan Komite
Sekolah merupakan penjelmaan dari kesadaran dan kerelaan (valunteerism)
masyarakat untuk berkontribusi terhadap penciptaan dan perbaikan masyarakatnya
sendiri.
Secara rinci penelitian terhadap kinerja Komite Sekolah ingin menemukan
dan menganalisis beberapa bentuk kinerja Komite Sekolah seperti di bawah ini.
1. Ingin menemukan adanya indikasi yang kuat bahwa lembaga Komite Sekolah
dibangun sebagai bentuk kepedulian, kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan adalah
mereka yang tergolong kelas menengah dan berada di wilayah perkotaan.
Apakah Komite Sekolah yang baik memang memiliki hubungan kerjasama
yang sangat baik dengan orang tua dan anggota stakeholder lain?
2. Ingin mengetahui apakah Komite Sekolah yang kurang efektif atau kurang
berperan baik dalam pengembangan sekolah itu sebagai akibat dari pendirian
80
lembaga Komite Sekolah yang belum dirasakan sebagai kebutuhan oleh
masyarakat melainkan lebih mewakili kepentingan sekolah dan pemerintah.
3. Ingin mengetahui kecenderungan apakah kelembagaan Komite Sekolah lebih
sesuai didirikan untuk sekolah-sekolah negeri ketimbang sekolah swasta.
Apakah sekolah yang membutuhkan keterlibatan masayarakat baik sebagai
pengawas, penasehat, pengontrol atau pendukung sesungguhnya adalah usaha
mewujudkan “good govermance”, dalam bidang pendidikan, dan lebih
disebabkan oleh karena lembaga publik yang menggunakan fasilitas dan
anggaran pemerintah sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah kepada
rakyatnya. Bagi sekolah swasta dengan adanya kelembagan yayasan yang
menaungi sekolah-sekolah merupakan bukti tanggungjawab masyarakat yang
sangat besar terhadap pendidikan.
D. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Konteks Peningkatan Mutu
Pembelajaran
1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan tugas hidup manusia, dimana setiap manusia
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawabannya.
Kepemimpinan adalah konsep pengelolaan tanggung jawab seseorang dalam
melaksanakan kewajibannya mulai dari lingkup yang paling sederhana sampai
pada lingkup yang paling kompleks. ”Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena
disatu pihak memliki kemampuan untuk memimpin:. (Miftah Thoha,2007:257).
Dalam kontek interaksi pada organisasi atau dalam kaitannya dengan orang lain
81
yang dipimpinnya, dimana pemimpin harus mampu mengarahkan dan
mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan pada
anggota kelompok.
Proses perilaku Kepemimpinan adalah perbuatan seorang pemimpin dalam
mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan bersama
dalam organisasi atau kelompok. Praktik Kepemimpinan berkaitan dengan cara
atau kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku atau perasaan orang lain baik
secara individu maupun kelompok dalam arahan tertentu, sehingga proses
Kepemimpinan merupakan kegiatan pengarahan atau memobilisasi orang atau
ide-idenya. Terdapat beberapa macam alat yang digunakan orang untuk
menggerakkan orang lain diantaranya dengan ancaman, penghargaan atau upah,
otoritas, dan atau bujukan. Dari beberapa perbedaan alat atau pendekatan dalam
menggerakan orang lain, maka Kepemimpinan dapat memiliki definisi yang
berbeda-beda seperti di bawah ini.
Pengertian Kepemimpinan menurut Vaintzal Rivai (2007:5-6) adalah
sebagai berikut :
Kepemimpinan terkadang dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakan
dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan merupakan sebuah alat, sacara atau
proses untuk membujuk orang agar bersedia untuk melakukan sesuatu secara
sukarela.
Konsep Kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan kekuasaan pemimpin dalam memperoleh alat untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya. Pada dasarnya kemampuan untuk mempengaruhi orang atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan tersebut ada unsur kekuasaan.
82
Pengertian Kepemimpinan menurut Aidar John (2007:33) adalah sebagai
berikut :
Pada hakekatnya Kepemimpinan terletak pada penetapan fungsi-fungsi penting bagi sebuah kelompok untuk menunaikan tugasnya dan menyatukan tim kerja. Karena itu, penetapan fungsi ini sangat mendasar. Kepemimpinan ibarat ”perak” yang belum dipoles yang pembentukannya dapat dibagi dan dianalisis berdasarkan fungsi. Namun dalam realitanya Kepemimpinan selalu muncul dalam bentuk khusus atau seperti ”bejana” yang berbeda bentuknya. Bentuk ini terutama mengikuti karakteristik situasi kerja kelompok atau organisasi induk. Dalam lingkungan militer, bentuk yang disandang Kepemimpinan sangat dikenal sebagai ”komando”. Dalam bidang industri dan perniagaan dikenal sebagai ”manajemen”. Karena kedua cabang itu berasal dari pohon yang sama, keduanya dapat dengan mudah dirancukan walaupun seharusnya tidak dirancukan. Ngalim Purwanto (2007:26) mendefinisikan Kepemimpinan yang
membedakannya dengan pengertian kepala sebagai berikut :
....bahwa Kepemimpinan adalah sekumpulan dan serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat dan kegembiraan batin, serta tidak merasa terpaksa. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat diketahui bahwa
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, sebagai sarana atau alat untuk menggerakan orang lain secara individu
atau secara kelompok, dalam mengerjakan tugas-tugas atau kewajiban dalam
organsiasi. Bahwa kemampuan Kepemimpinan merupakan alat atau senjata untuk
memimpin orang lain atau organisasi tanpa kemampuan ini, maka seorang
pemimpin tidak dapat berhasil. Kemampuan atau sifat-sifat kepribadian
Kepemimpinan harus memiliki oleh seorang pemimpin sebelum menjalankan
tugas Kepemimpinan. ”Kepemimpinan atau sifat-sifat kepribadian Kepemimpinan
83
sebenarnya dapat dipelajari bahkan dapat dibentuk dengan pendidikan dan
pelatihan khusus”. (Aidar John, 2007).
2. Kepemimpinan Kepala Seklolah
Kepemimpinan kepala sekolah adalah Kepemimpinan dalam satuan
organisasi pendidikan yang disebut sekolah atau madrasah. Kepala Sekolah adalah
pemimpin formal yang ditetapkan oleh pemerintah mulai dari pengangkatan,
pemberhentian penematan, sampai tunjangan jabatannya ditentukan dengan
keputusan pemerintah (SK). Namun demikian Kepala Sekolah apabila tidak
dimiliki kemampuan kepemimpinan, maka dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pemimpin tidak akan bahagia, bahkan mungkin akan
mengalami kebingungan dan kegagalan. Pemimpin dan Kepala Seklolah relatif
sama tetapi ada perbedaan. Persamaannya keduanya menuntut kemampuan
kepemimpinan yang sama, menuntut tanggung jawab, dan menghadapi atau
memimpin kelompok. Perbedaannya Kepala Sekolah bertanggungjawab kepada
pihak ketiga sedangkan pemimpin bertangungjawab kepada yang dipimpinnya
atau bawahannya.
Ngalim Purwanto (2007:62) menunjukkan perbedaan antara pemimpin dan
kepala dengan lima ciri yaitu :
- Kepala bertindak sebagai penguasa, sedangkan pemimpin bertindak sebagai organisator dan koordinator.
- Kepala bertanggungjawab pada pihak ketiga, pihak atasannya, pemimpin bertanggungjawab terhadap kelompok yang dipimpinnya
- Kepala tidak selalu merupakan bagian dari kelompok, sedangkan pemimpin merupakan bagian dari kelompok
84
- Kekuasaan kepala biasanya berasal dari peraturan-peraturan atau dari pihak ketiga, sedangkan kekuasaan pemimpin berasal dari kepercayaan anak buah / kelompoknya.
- Anak buah seorang kepala biasanya bukan atas kemauan sendiri, melainkan ditunjuk oleh peraturan-peraturan atau diangkat pihak ketiga, sedangkan pemimpin diangkat oleh anggota kelompok dan dianggap bagian atau anggota kelompok.
Menurut pendapat Ngalim Purwanto bahwa pemimpin berbeda dengan
kepala. Dalam konteks kepemimpinan Kepala Seklolah bahwa Kepala
Sekolah”...jika benar-benar ingin berhasil, harus berusaha memperoleh pengakuan
sebagai pemimpin”. Pendapat ini menunjukkan bahwa Kepala Sekolah harus
memiliki kemampuan kepemimpinan apabila ingin berhasil dalam mengelola
lembaga pendidikan yang dikepalainya. Walaupun Kepala Sekolah diangkat oleh
pihak ketiga (pemerintah) tetapi harus berusaha untuk memiliki kemampuan
kepemimpinan supaya berhasil dalam melakanakan tanggungjawabnya, menurut
John Aidar bahwa pemimpin itu bisa dilahirkan dengan pendidikan yang
menciptakan situasi untuk lahirnya pemimpin.
Dengan mencermati perbedaan pemimpin dan kepala, dapat disimpulkan
bahwa Kepala Sekolah harus mampu memiliki kedua-duanya. Pertama harus
mendapatkan kepercayaan dari pemerintah untuk diangkat sebagai Kepala
Sekolah, dan kedua harus mendapat pengakuan dari anggota kelompok yang
dipimpinnya sebagai pemimpin lembaga kependidikan dengan seperangkat
kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya. Pengertian kepemimpinan Kepala
Sekolah mengandung dua tugas yang menuntut dua kemampuan yang harus
dimiliki oleh kepala sekolah yaitu sebagai pemimpin dan sebagai kepala. Namun
demikian kedua tugas di atas menjadi satu yaitu melaksanakan pengelolaan
85
pendidikan di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
“Tugas utama yang diemban oleh Kepala Seklolah sebagai seorang pemimpin
merumuskan berbagai bentuk kebijakan yang berhubungan dengan visi, orientasi,
dan strategi pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efisien...sebagai komitmen
dalam meningkatkan mutu pendidikan...” (Saiful Sagala : 2007:88).
Dalam era kemandirian sekolah era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),
tugas dan tanggung jawab yang utama dari para pimpinan sekolah adalah
menciptakan sekolah yang mereka pimpin menjadi semakin efektif, dalam arti
menjadi semakin bermanfaat bagi sekolah itu sendiri dan bagi masyarakat luas.
Agar tugas dan tanggung jawab para pimpinan sekolah tersebut menjadi nyata,
kiranya mereka perlu memahami, mendalami dan menerapkan beberapa konsep
ilmu manajemen yang dewasa ini telah dikembangkan oleh pemikir-pemikir
dalam dunia bisnis. “Manakala diperdalam secara sungguh-sungguh, kiranya
konsep-konsep ilmu manajemen tersebut nemiliki nilai yang tidak akan
menjerumuskan dunia pendidikan kita ke arah bisnis yang dapat merugikan atau
mengecewakan masyarakat luas penggunanya”. (Thomas B. Santoso, 2001, Jurnal
“Manajemeni Sekolah di Masa Kini) dan ///www.depdiknas.go.id.).
Yang dewasa ini telah dikembangkan oleh pemikir kepemimpinan
merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai, mempertahankan dan
meningkatkan kinerja organisasi. Konseptual teori-teori kepemimpinan, telah
menarik perhatian dan diskusi panjang para penelitian dan para praktisi.
Desentralisasi dan otonomi pendidikan akan berhasil dengan baik, jika diiringi
pemberdayaan pola kepemimpinan Kepala Sekolah yang optimal. Pemberdayaan
86
berarti peningkatan kemampuan secar fungsional, sehingga Kepala Sekolah
mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Ngalim Purwanto, 2007:66)
menyatakan bahwa pemimpin pendidikan yang baik harus menjalankan peranan
sebagai berikut : ”ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri
handayani”. Maksudnya seorang pemimpin hendaknya dapat membentuk,
memperhatikan, memelihara dan menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada
bawahan dengan baik, mampu bekerja sama, mendapat tujuan bersama
(keberhasilan tim). Menyadari adanya peranan-peranan tersebut di atas kiranya
sangat berfaedah bagi Kepala Seklolah dan pemimpin-pemimpin pendidikan
lainnya untuk menjalankan tugasnya dengan lebih berhati-hati dari menuju ke
arah yang lebih baik lagi.
Kepemiminan Kepala Sekolah berbeda dengan pemimpin bisnis atau
pemimpin perusahaan atau kepemimpinan kemasyarakatan lainnya. Seorang
pemimpin harus mampu mengantisipasi akan terjadinya perubahan agar ia mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan agar organisasi yang dipimpinnya bisa survice.
”Kepala Sekolah menghadapi situasi dan kondisi yang relataif stabil. Siswa dapat
dengan cepat berubah, mereka sangat tergatung kepada susunan atau program
pengajaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Perubahan program pengajaran
hanya akan terjadi apabila pemerintah memulainya”. (Soebagio Atmodiwiro
2005:280). Artinya kepemimpinan Kepala Sekolah cukup stabil karena
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan, tetapi agar Kepala Sekolah
87
dapat eksis dalam melaksanakan kepemimpinannya, maka harus memiliki
kemampuan memimpin.
Kepemimpinan Kepala Seklolah sanat besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan peningkatan mutu pembelajaran. Iklim kerja di sekolah sangat
dipengaruhi oleh kepemimpinan Kepala Sekolah karena Kepala Sekolah berperan
dan berfungsi sebagai motor penggerak yang berkewajiban melaksanakan
perencanaan, pengorganisasian, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan
terhadap segala kegiatan di sekolah dalam memberdayakan segala potensi untuk
menciptakan kondisi yang kondusif untuk siswa belajar dengan baik. Hasil
penelitian Isye Mulyani (2006:124) menyimpulkkan bahwa ”Kepemimpinan
Kepala Sekolah merupakan kunci utama untuk meningkatkan prestasi belajar
siswa yang dalam hal ini merupakan kunci untuk meningkatkan prestasi belajar
sisiwa yang dalam hal ini akan meningkatkan pada mutu pendidikan”. Walaupun
prestasi belajar siswa hanya sebagian kecil yang menggambarkan kemampuan
belajar siswa tetapi sampai sat ini masih disepakati sebagai salah satu ukuran
keberhasilan belajar siswa.
3. Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Kepala Sekolah sebagai manajer pengelola pendidikan. :”Seorang Kepala
Sekolah di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk
pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus
menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan”. (www.akhmadsudrajat.
wordpress.com. 2008/05/02). Wyan Koster dalam akhmadsudrajat.wordpress.
88
com. Mengemukakan bahwa dalam konteks MPMBS, Kepala Seklolah dituntut
untuk memiliki kemampuan (1) menjabarkan sumber daya sekolah untuk
mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, (2) kepala administrasi, (3)
sebagai manajer perencanaan dan pemimpin pengajaran, dan (4) mempunyai tugas
untuk mengatur, mengorganisir dan memimpin keseluruhan pelaksanaan tugas-
tugas pendidikan di sekolah.
Kepala Sekolah sebagai administrasi, dimana Kepala Sekolah bertugas
untuk membangun manajemen sekolah serta bertanggung jawab dalam
pelaksanaan keputusan manajamen dan kebijakan sekolah. Sementara itu, menurut
pendapat Sanusi yang dikutip M. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2002)
bahwa : ”Perubahan dalam peranan dan fungsi sekolah dari yang statis di jaman
lampau kepada yang dinamis dan fungsiosnal-konstruktif di era globalisasi,
membawa tanggung jawab yang lebih luas kepada sekolah. Khususnya kepada
administrator sekolah”. Konsekuensinya Kepala Seklolah harus memiliki
pengelolaan yang cukup tentang kebutuhan nyata masyarakat serta kesediaan dan
keterampilan untuk mempelajari secara kontinyu perubahan yang sedang terjadi di
masyarakat sehingga sekolah melalui program-program pendidikan yang
senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan baru dan kondisi baru.
Menurut M. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat di atas, bahwa Kepala
Sekolah sebagai salah satu kategori administrator pendidikan perlu melengkapi
wawasan kepemimpinan pendidikannya dengan pengetahuan dan sikap yang
antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
termasuk perkembangan kebijakan makro pendidikan. Wujud perubahan dan
89
perkembangan yang paling aktual dapat ini adalah makin tingginya aspirasi
masyarakat terhadap pendidikan, dan gencarnya tuntutan kebijakan pendidikan
yang menjadi peningkatan aspek-aspek pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi
dan relevansi pendidikan.
Pada bagian lain, M. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2002)
dengan mengutip pemikiran Bogdan bahwa dalam persektif peningkatan mutu
pendidikan terdapat empat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin pendidikan yaitu : (1) kemampuan mengorganisasikan dan membantu
staf di dalam merumuskan perbaikan pengajaran di sekolah dalam bentuk program
yang lengkap (2) kemampuan untuk membangkitkan dan memupuk kepercayaan
pada diri sendiri dari guru-guru dan anggota staf sekolah lainnya (3) kemampuan
untuk membina dan memupuk kerjasama dalam mengajukan dan melaksanakan
program-program supervisi dan (4) kemampuan untuk mendorong dan
membimbing guru-guru serta segenap staf sekolah lainnya agar mereka dengan
penuh kerelaan dan tanggug jawab berpartisipasi secara aktif pada setiap usaha-
usaha sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan sekolah itu sebaik-baiknya.
Sudarwan Danom, (2002) mengemukakan bahwa salah satu proposisi
tentang kebijakan pendidikan bagi kepala sekolah atau kepala sekolah bahwa :
”Kompetensi minimal seorang kepala sekolah adalah memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang keadminstrasian sekolah, keterampilan hubungan
manusiawi dengan staf, ssiwa dan masyarakat, dan keterampilan teknis
instruksional dan non instruksional”. Hal serupa dikemukakan oleh Segiovanni
(Sudarwan Danim, 1995) bahwa dalam keseluruhan mekanisme kerja manajemen
90
sekolah sebagai proses sosial, mengemukakan tiga jenis keterampilan yang
seyogyanya dimiliki oleh kepala sekolah yaitu (1) keterampilan teknis, yakni
keterampilan yang berhubungan dengan pengetahuan, metode, dan teknik-teknik
tertentu dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu (2) keterampilan manusiawi
yakni keterampilan yang menunjukkan kemampuan seorang manajer di dalam
kerja dengan orang lain secara efektif dan efisien (3) keterampilan konseptual
yakni keterampilan yang berkenaan dengan cara kepala sekolah memandang
sekolah, keterkaitan sekolah dengan struktur di atasnya dan dengan pranata-
pranata kemasyarakatan serta program kerja sekolah secara keseluruhan.
Dilain pihak Fred Luthans (1995) mengemukakan lima jenis keterampilan
yang dibutuhkan oleh seorang manajer, yang mencakup (1) Cultrural flexibility,
(2) Communication skills (3) Human Resources Development skills, (4)
Creativity, dan (5) Self Management of learning. Kelima keterampilan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
Cultrural flexibility, merupakan keterampilan yang merujuk kepada
kesadaran dan kepekaan budaya, dimana seorang manajer dituntut untuk dapat
menghargai nilai keberagaman kultur yang ada di dalam organisasinya. Kepala
sekolah selaku manajer di sekolah sangat mungkin akan dihadapkan dengan
warga sekolah, dengan latar kultur yang beragam, baik guru, tenaga administrasi
maupun siswa. Oleh karenanya kepala sekolah dituntut untuk dapat menghargai
keberagaman kultur ini.
Communication skills merupakan keterampilan manajer yang berkenaan
dengan kemampuan untuk berkomunikasi, baik dalam bentuk lisan, tulisan,
91
maupun non verbal. Keterampilan komunikasi amat penting bagi seorang kepala
sekolah, karena hampir sebagian besar tugas dan pekerjaan kepala sekolah
senantiasa melibatkan dan berhubungan dengan orang lain. Komunikasi yang
efektif akan sangat membantu terhadap keberhasilan organisasi secara
keseluruhan.
Human Resources Development skills, merupakan keterampilan manajer
yang berkenaan dengan pengembangan iklim pembelajaran (learning elimate),
mendesain program pelatihan, pengembangan informasi dan pengalaman kerja,
penilaian kinerja, penyediaan konseling karier, menciptakan perubahan organisasi
dan penyediaan bahan-bahan pembelajaran. Dalam perspektif persekolahan,
kepala sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan dalam mengembangkan
sumber daya manusia yang tersedia di sekolahnya, sehingga mereka benar-benar
dapat diberdayakan dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan
pendidikan di sekolah.
Creativity, merupakan keterampilan manejer yang tidak hanya berkenaan
dengan pengembangan kreativitas dirinya sendiri, akan tetapi juga keterampilan
untuk menyediakan iklim yang mendorong semua orang untuk menjadi kreatif.
Sehubungan dengan hal ini, seorang kepala sekolah dituntut untuk memiliki
keterampilan dalam sekolah untuk mengembangkan berbagai kreativitas dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
Self Management of learning. Merupakan keterampilan manajer yang
merujuk kepada kebutuhan akan belajar yang berkesinambungan untuk
mendapatkan berbagai pengetahuan dan keterampilan baru. Dalam hal ini kepala
92
sekolah dituntut untuk senantisa berusaha memperbaharui pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya.
Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang
efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah
dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah
mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1)
perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pengarahan, dan (4) pengawasan.
Segi kepemimpinan seorang kepala sekolah mungkin perlu menghadapi
gaya kepemimpinan tranformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah
dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat
didefinisikan sebagai gaya
Kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau
mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem
yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai,
orang tua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan,
berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan
harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulai pendidikan kita secara tidak
langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang
terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan putra-putrinya pada sekolah.
Peserta didik dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitas
kepala sekolah. Seonggok aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasikan
93
oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah.
Singkatnya kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunikasi pendidikan membutuhkan
seorang figure pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada
dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah
sering dianggap satu atau identik, bahkan disejajarkan dengan wajah sekolah ada
pada kepala sekolahnya. Disini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya
seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru,
karyawan dan peserta didik, melainkan konseptor managerial yang bertanggung
jawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efisiensi
kelangsungan pendidikan, akhirnya kepala sekolah berperanan sebagai manager
yang mengelola sekolah.
Kedua peran di atas, yakni sebagai tokoh sentral dan manajer dalam
sekolah diharubirukan oleh ketidakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada
dalam sekolah, sehingga kepala sekolah harus tangguh “Ketangguhan kepala
sekolah akan menciptakan sekolah yang bermutu dan kompetif”. (Syaiful Sagala,
2007:89). Selanjutnya Syaiful Sagala menggambarkan bahwa ketangguhan ini
menggambarkan bahwa kepala sekolah itu memiliki (1) kekuatan teknis
penerapan fungsi-fungsi manajemen, (2) kekuatan manusia dalam memanfaatkan
potensi sosial sekolah, (3) kekuatan pendidikan dan kepemimpinan, (4) kekuatan
simbolik yaitu interaksi simbolik atas kedudukan profesional, dan (5) kekuatan
budaya sebagai sistem nilai yang berorientasi pada budaya mutu dan etos kerja
94
yang tinggi. Semua itu disebut sebagai kekuatan kepemimpinan Kepala Sekolah
dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen sekolah.
4. Standar Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Standar kompetensi Kepala Sekolah ini merupakan standar minimal untuk
seorang guru yang menjadi calon Kepala Sekolah sebelum diangkat, atau
kemampuan minimal yang harus dimiliki dalam melaksanakan jabatan Kepala
Sekolah. Departemen Pendidikan Nasional (2006) telah menetapkan standar
tersebut dalam buku ”Kompetensi profesioanl Kepala Sekolah sebagai manajer”.
Minimal memiliki enam kompetensi profesional yaitu : (1) mengelola tenaga
kependidikan, (2) mengelola kesiswaan (3) mengelola sarana dan prasarana (4)
mengelola kegiatan belajar mengajar, (5) ketatausahaan dan keuangan sekolah, (6)
mengelola hubungan sekolah dengan masyarakat.
Pertama, pengelolaan tenaga kependidikna. Dalam melaksanakan
pengelolaan tenaga kependidikan, Kepala Sekolah harus melakukan perencanaan,
menetapkan jumlah kebutuhan, dan melakukan pembinaan terhadap tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan. Sebelum tahun ajaran baru dilaksanakan
Kepala Sekolah harus sudah merencanakan kebutuhan guru dan tenaga
kependidikan, menginventarisasi karateristik guru dan tenaga kependidikan,
memelihara dokumen personil sekolah, kemudian melakukan penempatan yang
sesuai dengan kompetensinya. Dalam melaksanakan pembinaan terhadap guru dan
tenaga kependidikan Kepala Sekolah memfasilitasi pengembangan profesional,
melakukan penempatan dan pemeliharan, serta menilai kinerja tenaga
95
kependidikan. Pembinaan dalam operasional pekerjaan dilakukan pengembangan
sistem pembinaan karier, memberikan motivasi, dan membina hubungan kerja
yang harmonis. Pembinaan dalam memelihara hubungan kerja yang harmonis
dilakukan pengelolaan konplik antar tenaga pendidik, memberikan apresiasi,
empati dan simpati terhadap tenaga kependidikan.
Kedua, mengelola kesiswaan. Kemmapuan profsioanl Kepala Sekolah
dalam mengelola kesiswaan dapat diaplikasikan dalam hal penerimaan siswa baru.
Mengembangkan potensi siswa sesuai dengan minat dan bakatnya, menerapkan
sistem bimbingan konseling, memelihara disiplin, dan melaksanakan pelaporan
perkembangan siswa. Mengelola kesiswaan dimulai sejak penerimaan siswa baru,
dimana kegiatan PSB dilaksanakan dan dikoordinir oleh Tim atau panitia PSB
seusai dengan peraturan yang berlaku. Setelah siswa diterima di sekolah,
dilakukan pengembangan potensinya seusai dengan minat, bakat, kreativitas, dan
kemampuannya. Dalam mengantisipasi dan atau menangani permasalahan yang
dihadapi siswa dilaksanakan pengembangan sistem bimbingan dan konseling
sesuai dengan program pengembangan siswa. Siswa dalam menjalani
pendidikannya di sekolah harus memelihara disiplin dengan ditetapkannya tata
tertib siswa, dan menindaklanjuti pelanggaran apabila terjadi. Perkembangan
pengelolaan sisa tersebut di atas, harus dilaporkan dan disosialisasikan kepada
semua pihak yang berkepentingan (stakeholder pendidikan).
Ketiga, mengelola sarana dan prasarana. Tugas profesional Kepala
Sekolah dalam mengelola sarana dan prasarana pendidikan adalah mulai dari
menyusun kebutuhan fasilitas, melaksanakan pengadaan, melaksanakan
96
pemeliharaan, melakukan inventarisasi, melakukan penghapusan inventaris,
sampai mengelola perpustakaan, dalam kegiatan penyusunan kebutuhan dan
pelaksanaan pengadaan fasilitas atau sarana dan prasarana pendidikan Kepala
Sekolah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dari Kabupaten/kota dan pihak-
pihak lain yang berwenang. Pada kegiatan pemeliharaan fasilitas, sepenuhnya
merupakan kewajiban sekolah di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah untuk
melaksanakannya, mulai dari penempatan fasilitas, melakukan pemeliharaan dan
perbaikan, sampai mendokumentasikan kegiatan pengelolaan fasilitas. Melakukan
inventarisasi fasililitas mulai dari mengklasifikasikan dan mengelompokkan,
membukukan, kemudian menyusun laporan inventarisasi secara reguler. Apabila
terdapat barang yang sudah habis masa pakainya atau terdapat barang yang
mengalami kerusakan parah, maka dilakukan penghapusan inventarisasi sesuai
dengan prosedur yang berlaku. Tidak kalah pentingnya kegiatan pengelolaan
perpustakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, dilakukan penataan,
pemeliharaan buku, dan pengadaan buku baru sesuai dengan kebutuhan.
Keempat, mengelola kegiatan belajar mengajar. Kegiatan pokok di sekolah
adalah kegiatan belajar mengajar, sesuai dengan tujuan pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan belajar siswa, dimana Kepala Sekolah harus dapat
menciptakan suasana yang kondusip untuk siswa belajar dengan baik. Pengelolaan
kegiatan belajar mengajar meliputi, pengembangan kurikulum, mengelola
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dan megelola pelaporan hasil belajar.
Dalam kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah, Kepala Sekolah harus
memberdayakan tim pengembangan kurikulum, memfasilitasi pengembangan
97
kurikulum muatan lokal, dan melakukan evaluasi hasil pelaksanaan kurikulum,.
Dalam pelaksanaan kurikulum dilakukan fasilitas terhadap guru dalam menyusun
bahan pelajaran, serta memfasilitasi guru dalam menentukan buku sumber.
Mengelola pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, diantaranya adalah
mengkooordinasi jadwal dan waktu dan evaluasi, memfasilitasi guru untuk
membuat rencana pembelajaran, memfasilitasi guru untuk menyusun bahan ajar,
memfasilitasi guru untuk menyiapkan alat bantu pembelajaran dan
mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran. Dalam mengelola pelaporan hasil
belajar diantaranya adalah memfasilitasi guru untuk menyusun instrumen evaluasi
pembelajaran, mengkoordinasikan kegiatan evaluasi pembelajaran, dan
mengkoordinasikan pelaporan hasil belajar.
Kelima, ketatausahaan dan keuangan sekolah. Kepala sekolah dalam
mengelola ketatausahaan sekolah dengan menyelenggarakan tatalaksana
persuratan, tatalaksana kepegawaian, tatalaksana kesiswaan, tatalaksana fasilitas,
tatalaksana pembelajaran, dan tatalaksana program sekolah. Kompetensi
profesional kepada sekolah dalam mengelola keuangan sekolah dilaksanakan
dengan menyusun dan melaksanakan RAPBS secara transparan, menggali sumber
dana dari masyarakat (dermawan) dan dunia usaha/industri, keuangan.
Keenam, mengelola hubungan sekolah dengan masyarakat. Kompetensi
profesi kepala sekolah dalam mengelola hubungan sekolah dan masyarakat dapat
memanfaatkan organisasi independen komite sekolah sebagai badan pendukung
atau superting agency, sebagai badan pertimbangan, sebagai mediator antara
sekolah dan stakeholder pendidikan, sekaligus sebagai badan pengontrol. Kepada
98
sekolah berkewajiban membuat program kerjasama dengan masyarakat,
mengidentifasi dukungan masyarakat, dan memfasilitas kegiatan-kegiatan yang
melibatkan masyarakat yang sesuai dengan program yang dikembangkan, serta
melakukan evaluasi dan menindaklanjut program pelaksanaan kerjasama dengan
masyarakat. Disisi lain juga perlu membina hubungan kerjasama dengan lembaga
pemerintah, swasta dan masyarakat, karena sekolah akan selalu memerlukan
dukungan masyarakat, dan masyarakat akan memerlukan sekolah yang sesuai
dengan kepentingan masyarakat.
Untuk menunjang kompetensi profesional tersebut di atas, Kepala Sekolah
perlu memiliki keterampilan yang mendukung pelaksanaan tugasnya sebagai
Kepala Sekolah yaitu (1) keterampilan konseptual (2) keterampilan teknis (3)
keterampilan hubungan manusia. Ketiga kemampuan di atas, sangat diperlukan
oleh Kepala Sekolah sebagai manajer lembaga pendidikan.
99
1. upaya peningkatan mutu pendidikan telah terlaksana dengan baik pada sekolah
dasar di Kabupaten Tasikmalaya. Konsep mutu pembelajaran berdasarkan
ilmu ekonomi dengan pendekatan produksi dalam industri yaitu digambarkan
dengan mutu input, mutu proses, dan mutu output. Dalam konteks produksi
apabila mutu input bagus, diolah dengan proses yang bagus, maka outputnya
hampir dapat dipastikan bagus. Apabila diterapkan dalam dunia pendidikan
asumsi di atas bisa mengandung kebenaran dengan syarat tidak ada faktor lain
yang mengganggu. Mutu pembelajaran sekolah dalam hal ini diasumsikan
sebagai sejumlah karakteristik mutu pembelajaran yang perlu dimiliki sekolah,
yaitu mutu input pembelajaran, mutu proses pembelajaran, dan mutu output
pembelajaran. Kesemuanya dapat digunakan untuk menggambarkan mutu
pembelajaran secara keseluruhan. Kemampuan meningkatkan mutu
pembelajaran harus dimiliki oleh sekolah sebagai suatu sistem yang otonomi
tanpa tergantung pada atau dikendalikan oleh pihak luar, termasuk pada
pemerintah. “Peningkatan mutu erat kaitannya dengan kreativitas pengelola
satuan pendidikan dan guru dalam pengembangan kemampuan belajar siswa”.
(Suryadi A. Dan Budimansyah D. 2004:113).
2. Dari hasil analisis korelasional terhadap hipotesis I diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antar kinerja komite sekolah (X1) terhadap
peningkatan mutu pembelajaran pada sekolah dasar negeri di Kabupaten
Tasikmalaya (Y) dengan tingkat kepercayaan 0,01. Hal ini menunjukkan
bahwa organisasi komite sekolah yang telah dibentuk sebagai badan mandiri
pengganti BP3 perlu dipertahankan. Sejalan dengan tujuan pembentukan
100
komite sekolah untuk “....mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat
dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan, serta
menciptakan suasana dan kondisi transparansi, akuntabilitas, dan
demokratisasi dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang
bermutu di satuan pendidikan” (Permen 044/U/2002).
Kinerja komite sekolah apabila sudah melaksanakan peran dan fungsinya
sesuai dengan tujuannya, maka akan dapat memberikan pengaruh positif
terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Kontribusi kinerja komite sekolah
terhadap peningkatan mutu pembelajaran dapat diketahui dari hasil
perhitungan koefisien determinasi dengan nilai r2 sebesar 0,183, yang artinya
bahwa kontribusi kinerja komite sekolah terhadap peningkatan mutu
pembelajaran adalah sebesar 18,30% dan sisanya sebsar 81,70% dipengaruhi
oleh faktor lain diluar faktor kinerja komite sekolah.
Kontribusi kinerja komite sekolah terhadap peningkatan mutu pembelajaran
tidak secara langsung dengan melaksanakan kegiatan belajar mengajar, tetapi
melalui kerjasama yang harmonis dengan kepala sekolah. Kinerja komite
sekolah sejalan dengan peran dan fungsinya yaitu sebagai badan
pertimbangan, badan pendukung, badan pengawasan dan badan mediasi antara
kepentingan sekolah dengan kepentingan masyarakat. Hal ini sejalan dengan
hasil studi Tim PPIM UIN Jakarta, dan Dikdasmen tahun (2004:95) yang
menyatakan “Kerjasama yang harmonis antar komite sekolah dengan kepala
sekolah dalam melaksanakan peningkatan mutu pembelajaran di sekolah
101
adalah kemitaran yang diharapkan yang akan membentuk sinergi antara
lembaga sekolah dengan masyarakatnya”.
Hasil studi diatas menggambarkan bahwa kinerja komite sekolah yang baik
saja belum cukup, tetapi kinerja komite sekolah yang baik harus diwujudkan
dalam bentuk kerjasama kemitraan yang harmonis antara komite sekolah
dengan kepala sekolah. Komite sekolah sebagai perwujudan kepedulian
masyarakat dalam wadah organisasi independen, perlu saling bahu membahu
sekolah dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran.
3. Hasil analisis korelasional terhadap hipotesis II diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah (X2) dengan
peningkatan mutu pembelajaran (Y) sebesar (0,525) dan diterima pada tingkat
kepercayaan 0,01. Artinya bahwa kepemimpinan kepala sekolah pada sekolah
dasar negeri di Kabupaten Tasikmalaya sudah berjalan dengan dengan baik,
sehingga memberikan pengaruh langsung terhadap peningkatan mutu
pembelajaran. Kontribusi kepemimpinan kepala sekolah terhadap upaya
peningkatan mutu pembelajaran dapat diketahui dari koefisien determinasi
sebesar 0,275. artinya bahwa kepemimpinan kepala sekolah berkontribusi
terhadap peningkatan mutu pembelajaran adalah sebear 27,80%.
Kepemimpinan kepala sekolah perlu mengadopsi gaya kepemimpinan
transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi
secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai
gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau
mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar
102
sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru,
siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa
paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai tokoh sentral dan manajer dalam
sekolah sering diganggu oleh ketidakmampuan mengatasi aneka krisis yang
ada dalam sekolah, sehingga kepala sekolah harus tangguh. “Ketangguhan
kepala sekolah akan menciptakan sekolah yang bermutu dan kompetitif”,
(Syaiful Sagala:2007:89). Selanjutnya Syaiful Sagala menggambarkan bahwa
ketangguhan ini menggambarkan bahwa kepala sekolah itu memiliki : (1)
kekuatan teknis penerapan fungsi-fungsi manajemen, (2) kekuatan manusia
dalam memanfaatkan potensi sosial sekolah; (3) kekuatan pendidikan dan
kepemimpinan; (4) kekuatan simbolik yaitu interaksi simbolik atas kedudukan
profesional; dan (5) kekuatan budaya sebagai sistem nilai yang berorientasi
pada budaya mutu dan etos kerja yang tinggi. Semua itu disebut sebagai
kekuatan kepemimpinan kepala sekolah.
Hubungan kepemimpinan kepala sekolah peningkatan mutu pembelajaran
lebih besar bila dibandingkan dengan hubungan kinerja komite sekolah
terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Hal ini sangat wajar karena
pengaruh kinerja komite sekolah tidak semuanya secara lebih banyak
berpengaruh terhadap manajemen sekolah melalui kerjasama dengan kepala
sekolah yang secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan mutu
pembelajaran, baik mutu input pembelajaran, mutu proses pembelajaran
maupun mutu output pembelajaran, karena kebijakan kepala sekolah dapat
103
menentukan semuanya. Demikian juga interaksi kepala sekolah dengan guru
setiap hari akan berpengaruh langsung terhadap mutu pembelajaran.
Hubungan antara kinerja komite sekolah terhadap kepemimpinan kepala
sekolah sangat kuat dengan nilai korelasi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja komite sekolah terhadap kepemimpinan kepala sekolah sangat
berpengaruh, karena komite sekolah dibentuk untuk membantu kepala sekolah
dalam menyelenggarakan pendidikan yang transparansi dan akuntabel.
Hasil analisis korelasional terhadap hipotesis III diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kinerja komite sekolah (X1) dan
kepemimpinan kepala sekolah (X2) dengan peningkatan mutu pembelajaran
(Y) sebesar (0,525) dan di terima pada tingkat kepercayaan 0,01. artinya
variabel kinerja komite sekolah dan kepemimpinan kepala sekolah memiliki
hubungan yang sangat kuat terhadap peningkatan mutu pembelajaran di
sekolah.
Hasil penghitungan analisis regresi untuk memprediksi perubahan nilai
peningkatan mutu pembelajaran (Y) apabila variabel kinerja komite sekolah
(X1) dan varibel kepemimpinan kepala sekolah (X2) berubah. Dengan
persamaan Y = 4,550 + 0,051X + 0,395X2, konstanta sebesar 4,550
menyatakan bahwa jika tidak ada kinerja komite sekolah (X2), maka
peningkatan mutu pembelajaran (Y) adalah sebesar 4,550. artinya bahwa
apabila terjadi peningkatan sebesar 1 derajat kinerja komite sekolah maka
akan meningkatkan peningkatan mutu pembelajaran sebesar 0,051. dan
peningkatan 1 derajat pada variabel kepemimpinan kepala sekolah akan
meningkatkan mutu pembelajaran sebesar 0,395. dengan demikian upaya
104
peningkatan mutu pembelajaran di sekolah dapat di lakukan dengan
melakukan pembinaan terhadap kinerja komite sekolah dan pembinaan
kepemimpinan kepala sekolah.
Dengan analisis regresi di atas diketahui bahwa upaya peningkatan mutu
pembelajaran dapat dilakukan dengan pembinaan terhadap kinerja komite
sekolah dan melakukan pengembangan kompetensi kepemimpinan kepala
sekolah. Upaya pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap kinerja
komite sekolah yang dilakukan melalui organisasi dewan pendidikan di
tingkat kabupaten/kota, merupakan upaya yang perlu dilanjutkan. Pembinaan
ini dapat di teruskan oleh pemerintah daerah otonom, agar kinerja komite
sekolah lebih baik lagi.
Pembinaan kepemimpinan kepala sekolah selain oleh pemerintah pusat juga
dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan kabupaten/kota,
tetapi lebih bayak pembinaan yang berupa pembinaan dalam jabatan. Hal yang
lebih baik apabila pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan
kepemimpinan kepala sekolah sebelum menduduki jabatan kepala sekolah.
Komite sekolah secara langsung melaksanakan peningkatan mutu
pembelajaran keterlibatannya dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi bersama
kepala sekolah melakukan upaya-upaya untuk melakukan pemberdayaan
segala sumber daya pendidikan yang ada untuk belajar siswa dengan baik
melalui kerjasama yang harmonis antara komite sekolah berupaya untuk
menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi di sekolah.