SML Dalam Pengelolaan Dan Pengolahan Limbah B3 RS
-
Upload
vieaqlysatyawan -
Category
Documents
-
view
733 -
download
5
Transcript of SML Dalam Pengelolaan Dan Pengolahan Limbah B3 RS
TUGAS MATA KULIAH
PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN
SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN DALAM PENGOLAHAN DAN
PENGELOLAAN LIMBAH B3 PADAT DAN CAIR RUMAH SAKIT
Oleh:
MUHAMMAD AQLY SATYAWAN
H1E108056
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2012
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,
dan berkat Rahmat serta Karunia-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang pengolahan kualitas lingkungan dengan judul
Sistem Manajemen Lingkungan dalam Pengolahan dan Pengelolaan Limbah
B3 Padat dan Cair Rumah Sakit.
Mengingat adanya keterkaitan berbagai pihak yang mendukung
penyelesaian makalah ini, maka melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan banyak terima kasih kepada Ibu Ranti Apriliantari Selaku dosen
pengajar mata kuliah Pengelolaan Kualitas Lingkungan. Dan juga kepada seluruh
pihak yang telah membantu hingga tugas perencanaan ini dapat terselesaikan.
Namun demikian, penulis menyadari sepenuhnya akan masih banyaknya
kekurangan dalam penyusunan dan pembuatan tugas ini, oleh karena itu kritik dan
saran selalu penulis harapkan, sehingga menjadi perhatian demi penyempurnaan.
Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak.
Banjarbaru, Juni 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan sebagai upaya untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat tersebut. Rumah sakit
sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan tidak hanya terdiri dari balai
pengobatan dan tempat praktik dokter saja, tetapi juga ditunjang oleh unit-unit
lainnya, seperti ruang operasi, laboratorium, farmasi, administrasi, dapur, laundry,
pengolahan sampah dan limbah, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Selain membawa dampak positif bagi masyarakat, yaitu sebagai tempat
menyembuhkan orang sakit, rumah sakit juga memiliki kemungkinan membawa
dampak negatif. Dampak negatifnya dapat berupa pencemaran dari suatu proses
kegiatan, yaitu bila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik.
Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan
masyarakat, yaitu limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium
Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya
sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan
rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit
bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa
pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian.
Pencemaran tersebut merupakan agen-agen kesehatan lingkungan yang dapat
mempunyai dampak besar terhadap manusia.
Limbah rumah sakit bisa digolongkan sebagai limbah B3. Karena jenis
limbah yang dihasilkan dari rumah sakit termasuk dalam kategori biohazard yaitu
jenis limbah yang sangat membahayakan lingkungan, dimana disana banyak
terdapat buangan virus, bakteri maupun zat zat yang membahayakan lainnya,
sehingga harus dimusnahkan dengan jalan dibakar dalam suhu diatas 800 derajat
celcius. Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
Maxpell Technology yang merupakan salah satu teknologi untuk mengurangi,
mendaur ulang atau memusnahkan dari limbah rumah sakit yang digolongkan
sebagai limbah B3.
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah setiap bahan yang karena sifat
atau konsenterasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta mahluk hidup lain (Pasal 1 (17) UU No. 23 1997) . B3 dalam
ilmu bahan dapat berupa bahan biologis (hidup/mati) atau zat kimia. Zat kimia B3
dapat berupa senyawa logam (anorganik) atau senyawa organik, sehingga dapat
diklasifikasikan sebagai B3 biologis, B3 logam dan B3 organik.
Tujuan pengolahan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3
serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga
sesuai dengan fungsinya kembali. Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha
yang berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul, pengangkut,
pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan
dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Dan apabila terjadi
pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3, harus dilakukan
upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui macam-macam limbah rumah sakit yang dikategorikan
sebagai limbah B3.
b. Untuk mengetahui dampak – dampak yang dapat ditimbulkan limbah
rumah sakit bagi lingkungan
c. Untuk mengetahui pengelolaan limbah B3 rumah sakit
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada makalah ini adalah pengolahan limbah B3 yang
dihasilkan oleh kegiatan di rumah sakit pada umumnya.
BAB II
ISI
Kegiatan penyimpanan limbah B3 dimaksudkan untuk mencegah
terlepasnya limbah B3 ke lingkungan sehingga potensi bahaya terhadap manusia
dan lingkungan dapat dihindarkan. Untuk meningkatkan pengamanannya, maka
sebelum dilakukan penyimpanan limbah B3 harus terlebih dahulu dikemas.
Mengingat keragaman karakteristik limbah B3, maka dalam pengemasannya perlu
pula diatur tata cara yang tepat sehingga limbah dapat disimpan dengan aman.
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa
benda cair, padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari
kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah
rumah sakit.
Sebagaimana tercakub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang
Pokok-pokok Kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi
pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan
pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai
macam cara, yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan
lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta
pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya
pencemaran lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus.
Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang
melaksanakan pelayanan kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan
rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan
cacat badan serta jiwa .
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa
benda cair, padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari
kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah
rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan
pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu:
Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.
Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.
Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang
diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan
menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-
pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan
kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu secara bertahap dan
berkesinambungan Departemen Kesehatan mengupayakan instalasi pengelolaan
limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah
telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk
disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit
masih perlu ditingkatkan lagi).
2.1. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap,
pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non medik yang dalam melakukan
proses kegiatan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial, budaya dan
dalam menyelenggarakan upaya dimaksud dapat mempergunakan teknologi yang
diperkirakan mempunyai potensi besar terhadap lingkungan.
Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan
masyarakat, yaitu limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium
Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya
sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan
rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit
bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa
pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian.
Pencemaran tersebut merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang dapat
mempunyai dampak besar terhadap manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan
menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan
usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan penyakit pencegahan
dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan
pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya. Usaha peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan
dan penanggulangan pencemaran diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-
cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran limbah rumah sakit antara lain
adalah melalui:
Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.
Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.
Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya
berfungsi menerima limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair,
menyalurkan melalui instalasi saluran pembuangan dalam gedung selanjutnya
melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan
buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan yang sudah diolah mengalir saluran
pembuangan ke perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota. Limbah
padat yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya
baik yang medis maupun non medis perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga
kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat
terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah
sakit tersebut.
2.2. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997
diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat
tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-
rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan
produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih
jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik
sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen.
Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089
ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari
gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari
lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan
penyakit.Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa
diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah
limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari.
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan
jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan
rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap
pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat
diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan
bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan
rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi
pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak
lagi kekurangan lainnya. Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah
sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis
limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai
atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian
terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun
non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta
meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui
pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran,
pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat.
2.3. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta
Lingkungan
Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin
timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan
sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana pengorganisasian
yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan. Limbah rumah Sakit bisa mengandung
bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat
pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat
mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter
BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas
sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah-
limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau
bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat
tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan
kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan
terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi
yang masib buruk .
Sampah Non Medis
Sampah non medis memiliki pengertian bahwa sampah adalah segala zat
padat, semi padat yang terbuang atau tidak berguna baik yang dapat
membusuk maupun yang tidak dapat membusuk .
Sampah biasanya ditampung di tempat produksi sampah untuk beberapa lama.
Untuk itu setiap unit hendaknya disediakan tempat penampungan dengan
bentuk, ukuran dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis dan jumlah sampah
serta kondisi setempat. Kriteria alat penampung sampah antara lain: Bahan
tidak mudah berkarat, Kedap air terutama untuk menampung sampah basah,
Bertutup rapat, Mudah dibersihkan, Mudah dikosongkan atau diangkut, tidak
menimbulkan bising,tahan terhadap benda tajam dan runcing Pengangkutan
sampah dimulai dengan pengosongan bak sampah di setiap unit dan diangkut
ke pengumpulan lokal atau ke tempat pemusnahan. Alat pengangkutan
sampah di rumah sakit dapat berupa gerobak atau troli dan kereta yang harus
harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Depkes RI sebagai berikut :
1. Memiliki wadah yang mudah dibersihkan bagian dalamnya serta
dilengkapi dengan penutup
2. Harus kedap air dan mudah untuk diisi dan dikosongkan
3. Setiap keluar dari pembuangan akhir selalu dalam kondisi bersih
Untuk pembuangan sampah non-medis atau biasa disebut sampah
domestik diperlukan suatu konstruksi tempat pengumpulan sampah sementara
yang terbuat dari dinding semen atau dengan kontainer logam yang yang
sesuai dengan persyaratan umum yaitu kedap air, mudah dibersihkan dan
berpenutup rapat. Ukuran hendaknya tidak terlalu besar sehingga mudah
dikosongkan. Apabila jumlah sampah yang ditampung cukup banyak, maka
perlu penambahan jumlah kontainer. Kontainer terbuat dari bahan besi
ataupun plastik.
Sampah Medis
Penggolongan kategori limbah medis dapat diklasifikasikan berdasarkan
potensi bahaya yang tergantung didalamnya, serta volume dan sifat
persistensinya yang menimbulkan masalah:
1. Limbah benda tajam seperti jarum, perlengkapan intravena, pipet Pasteur,
pecahan gelas, dll.
2. Limbah infeksius, memiliki pengertian sebagai Limbah yang berkaitan
dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan
intensif) dan Limbah laboratorium.
3. Limbah patologi (jaringan tubuh) adalah jaringan tubuh yang terbuang dari
oroses bedah atau autopsi
4. Limbah Citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan bat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau
tindakan terapi citotoksik
5. Limbah farmasi berasal dari obatobat yang kadaluarsa, yang sudah tidak
diperlukan
6. Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis,
veterinary, labratorium, proses sterilisasi dan riset.
7. Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop
yang berasal dari pengguanan medis atau riset radionuklida
Masalah utama dalam mengatasi limbah infeksius adalah resiko penularan
oleh agen infeksius yang berasal dari limbah ini. Resiko penularan akan
muncul saat pembuangan dari sumbernya, proses pengumpulan,
pengangkutan, penyimpanan hingga penanganan baik onsite maupun offsite,
hal ini merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan wadah
atau kontainer untuk limbah infeksius. Pertimbangan penggunaan wadah juga
dibedakan sesuai tipe limbah infeksius, dimana dapat digolongkan menjadi
tiga tipe, yaitu : limbah benda tajam, limbah padat dan cair. Ketiganya
memiliki perbedaan besar secara fisik, kimia, dan resiko yang dapat
ditimbulkan sehingga persyaratan dalam pewadahan dan penanganannyapun
berbeda. Pada prinsipnya limbah medis harus sesegera mungkin ditreatmen
setelah dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir bila limbah
benar-benar tidak dapat langsung diolah. Faktor penting dalam penyimpanan,
melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau penutup, menjaga agar
areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan limbah non-medis,
membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang dapat memasuki area
serta, lebeling dan pemilihan tempat penyimpanan yang tepat Dalam strategi
pengolahan dan pembuangan limbah rumah sakit terdapat beberapa sistem,
antara lain :
• Autoclaving
• Desinfeksi dengan bahan kimia
• Insinerator.
Limbah medis berasal dari kegiatan di rumah sakit. Bentuknya padat
maupun cair. Limbah ini dapat berupa potongan badan manusia, sisa darah,
cairan tubuh, botol infus bekas pakai, selang infus bekas pakai, sisa antibiotik,
sisa obat serta obat kedaluarsa, jarum suntik bekas pakai, cairan radioaktif,
maupun buangan laboratorium. Macam-macam limbah medis tersebut mudah
meledak, terbakar, reaktif, beracun, dan korosif.
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika
dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam berbagai kategori. Untuk
masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang
berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh
mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). Jenis-jenis
limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini :
2.1 Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan
dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan
mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff
rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko
tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang
kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan
semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
2.2 Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf
sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label
biohazard.
2.3 Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan
plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak
menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena
memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.
2.4 Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai
serangga seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan
gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
2.5 Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian
infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur dengan
baik.
2.4 Pengelolaan Limbah Padat B3 dan Non B3 Rumah Sakit dengan
Insinerator
Insenerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combusite
(bahan bakar) seperti halnya limbah organik melalui pembakaran, kemudian
dihasilkan gas/partikulat, residu non combusite, dan abu. Gas/partikulat tersebut
dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara
yang sesuai. Disamping pengurangan massa dan volume, sasaran utama
insenerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu
sendiri, misalnya dalam proses detoksifikasi. Beberapa parameter operasional
yang akan mempengaruhi terjaminnya destruksi panas antara lain. Temperatur,
waktu tinggal turbulensi, pasokan udara, bahan konstruksi, perlengkapan
tambahan. Insinerator untuk mengolah limbah infeksius hingga saat ini telah
dibuat dengan berbagai nama seperti insinerator medis, insinerator infeksius
ataupun insinerator limbah patologi. Tetapi 90% dari instalasi yang dibangun
untuk mengatasi limbah rumah sakit selama dua dekade ini menggunakan prinsip
Controlled Air Incinerator. Menurut, komponen-komponen utama dalam
insinerator ini terdiri dari Primary Combustion Chamber, Secondary Combustion
Chamber, Boiler, Air Pollution Control Devices, Stack. Pada umumnya
incinerator dengan primary chamber mengkonversi limbah sehingga
menghasilkan emisi berupa partikulat. Untuk itu perlu pollution control device
berupa wet dan dry scrubbers pada insinerator rumah sakit yang manfaatnya
adalah mengurangi emisi partikel (0,01 –0,03 gr/ft3), mengurangi gas asam
(HCL), mengurangi sifat patogen, mencegah racun terbebas di udara. Beberapa
jenis insinerator diantaranya adalah :
a. Insinerator dengan injeksi cair (liquid injection incinerator)
Metode insinerasi untuk limbah berbahaya yang paling umum adalah
didasarkan atas injeksi cair, baik horizontal, vertikal, maupun tangensial.
Mayoritas dari insinerator adalah melalui nozel-pengatoman ke ruang
pembakaran. Pemasok bahan bakar tambahan (gas dan cair) atau auxiliary fuel
digunakan biasanya antara 1500-3000º F (815-1650º C). Limbah cair dengan
pengatoman disemburkan ke dalam ruang pembakaran dengan ukuran partikel
antara 40-100 µm. Efesiensi destruksi ditentukan oleh banyaknya
pengembunan dan uap yang bereaksi.
b. Insinerator rotary kiln
Jenis insinerator rotary kiln sering digunakan dalam menangani limbah
berbahaya (padat maupun cair) karena kemampuannya yang baik. Limbah
padat atau limbah cair dalam drum biasanya dipasok dengan sistem conveyor
atau ram, limbah cair atau lumpur yang dapat terpompa diinjeksi melalui
nozel.
Kelebihan rotary kiln adalah kemampuannya untuk menerima limbah yang
bervariasi, dioperasikan pada temperatur tinggi dan pencampurannya yang
menerus. Insinerator ini dapat dioperasikan pada temperatur tinggi dan
pencampurannya yang menerus. Insinerator ini dapat dioperasikan dalam
kondisi kekurangan oksigen.
c. Insinerasi dengan media terfluidasi (flidized bed)
Proses temperatur tinggi dengan fluidized bed telah digunakan lama dalam
industri. Teknologi fluidized bed ini diadapsi dalam berbagai proses karena
teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan derajat turbulensi yang
tinggi, area transfer panas yang besar untuk mencampur limbah berbahaya,
oksigen dan media terfluidasi. Dengan pencamouran yang baik antara media
inert (biasanya pasir) akan memberikan hasil insinerasi yang baik, dengan
udara berlebih rendah dan gradien temperatur yang minimal di seluruh media.
Waktu tinggal yang digunakan antara 5-8 detik atau lebih, pada temperatur
1400-1600 º F (760-870 º C).
d. Insinerator di lautan
Insinerator ini mula-mula dikembangkan di Jerman (1967) dengan
menggunakan coastal tanker guna membakar limbah yang berkhlor
menghasilkan HCL. Sejak saat itu beberapa negara Eropa dan Amerika
Serikat mengembangkan insinerator jenis ini terutama untuk limbah organik
berkhlorinasi.
Sifat laut yang alkalin akan menetralisir asam yang keluar dari cerobong bila
berkontak dengan air laut, sehingga tidak dibutuhkan scrubber, dengan
demikian akan mengurangu biaya. Namun di Amerika jenis insinerator ini
mendapat kritik, salah satu alasannya karena sulit dipantau dampaknya sebab
tidak menetap di satu titik.
e. Insinerator kamar-jamak
Rancangan insinerator tradisional yang biasa digunakan adalah insinerator
kamar-jamak. Dikenal dua jenis, yaitu in-line hearth dan retort hearth. Pada
model in-line, gas pembakaran mengalir lurus melalui incinerator, dan
membelok secara vertikal ke atas, sedang pada model retort aliran gas
disamping berbelok secara vertical tetapi juga berbelok ke samping. Model in-
line berfungsi baik pada kapasitas di atas 340 kg/jam, sedang model retort
berfungsi baik pada kapasitas di bawah 340kg/jam, dan biasa digunakan untuk
limbah rumah sakit.
f. Insinerator dengan kontrol udara
Jenis insinerator yang sekarang banyak dikembangkan, misalnya untuk
insinerasi limbah rumah sakit adalah dari jenis controlled air, yang dikenal di
pasaran sebagai pembakaran secara starved air atau secara modular atau secara
pyroltic. Sistem ini disebut demikian karena jenis ini dioperasikan dengan dua
ruangan yang bekerja secara seri. Ruangan pertama (bagian limbah padat)
difungsikan pada kondisi substoichiometris (beberapa jenis dijumpai juga pada
model kiln), sedang ruangan ke dua (bagian limbah gas) difungsikan pada
kondisi udara berlebih.
Jumlah udara pembakar pada ruangan pertama dikontrol secara ketat, biasanya
dipasok sebagai udara underfire. Proses terjadi pada ruangan ini adalah kadar
air limbah akan diuapkan, lalu bagian volatil dari limbah akan tervolatisasi dan
gas-gas volatile akan mengalir ke ruangan kedua, kemudian dibakar lagi
dengan udara berlebih sehingga pembakaran terjadi sempurna akibat adanya
turbulensi pada temperatur tinggi. Dengan cara ini, waktu tinggal di ruangan
kedua karena laju udara yang dipasok relatif lebih sedikit sehingga akan
mengurangi emisi partikulat yang dibuang ke lingkungan.
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri.
insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 –
1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas
yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula
memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah
sakit yang berasal dari rumah sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja
memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah
klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak
terpakai.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan
kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang
berikut :
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
Tambahkan lapisan kapur.
Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai
ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.
2.5 Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit
2.5.1 Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis
Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit umumnya banyak
mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat
membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah sakit tersebut. Dari
sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium paling
perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji
laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-
bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus, sehingga harus disterilisasi
atau dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto
rontgen misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup
berbahaya. Setelah bahan ini digunakan. limbahnya dibuang.
2.5.2 Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan Extended Aeration
Air limbah yang berasal dari rumah sakit merupakan salah satu sumber
pencemaran air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena air limbah rumah
sakit mengandung senyawa organik yang cukup tinggi, mengandung senyawa-
senyawa kimia yang berbahaya serta mengandung mikroorganisme pathogen yang
dapat menyebabkan penyakit Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair
yang berasal dari hasil proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi : limbah
domestik cair yakni buangan kamar mandi, dapur, air bekas pencucian pakaian,
limbah cair klinis yakni air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit
misalnya air bekas cucian luka, cucian darah. dan lainnya, air limbah
laboratorium, dan lain-lain (Said, 2003).
Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas
dari dukungan pengelolaan limbah cairnya. Suatu pengelolaan
limbah cair yang baik sangat dibutuhkan dalam mendukung hasil
kualitas effluent sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran
pada lingkungan sekitar.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Nomor KEP-58/MENLH/12/1995, tentang baku mutu limbah cair bagi
kegiatan rumah sakit, bahwa rumah sakit diwajibkan menyediakan sarana
pengelolaan limbah cair maupun limbah padat agar seluruh limbah yang akan
dibuang ke saluran umum memenuhi baku mutu limbah yang ditetapkan menurut
peraturan yang berlaku.
Sistem extended aeration termasuk dalam proses pertumbuhan biomassa
tersuspensi. Pada proses pertumbuhan biomassa tersuspensi, mikroorganisme
bertanggung jawab atas kelangsungan jalannya proses dalam kondisi suspensi
liquid dengan metode pengadukan/pencampuran yang tepat. Biomassa yang ada
dinamakan dengan lumpur aktif, karena adanya mikroorganisme aktif yang
dikembalikan ke bak/unit aerasi untuk melanjutkan biodegradasi zat organik yang
masuk sebagai influen. Proses extended aeration mirip dengan proses
konvensional plug-flow, hanya saja extended aeration beroperasi dalam fase
respirasi endogenous pada kurva pertumbuhan, yang membutuhkan beban organik
(organic loading) yang rendah dengan waktu aerasi yang lebih lama (Reynolds,
1982). Diagram Extended Aeration disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Digram Proses Extended Aeration
(Sumber : Tchobanoglous, 1991)
Kelebihan dari sistem pengolahan biologi dengan teknik extended
aeration adalah lahan yang disediakan untuk IPAL tidak terlalu luas, mudah dan
sederhana dalam pengoperasiannya. Alasan lain adalah alasan ekonomi karena
sistem ini termasuk murah.
Di dalam pengolahan limbah cair di Rumah Sakit dengan menggunakan
sistem extended aeration, pada awalnya air limbah dialirkan ke dalam bak
pengumpul yang dilengkapi dengan screen. Dalam proses penyaluran ke bak
pengumpul ini bahan padat dapat masuk ke sistem penyaluran. Jika bahan padat
masuk ke sistem penyaluran dan mencapai unit pengolahan maka proses
pengolahan limbah cair dapat terganggu. Oleh karena itu, pada bak pengumpul
dilakukan pengolahan pendahuluan yaitu melalui proses penyaringan dengan bar
screen. Air limbah dialirkan melalui saringan besi untuk menyaring sampah yang
berukuran besar. Sampah yang tertahan oleh saringan besi secara rutin diangkut
untuk menghindari terjadinya penyumbatan. Selanjutnya dalam operasinya air
limbah diolah dalam equalizing tank. Di dalam equalizing tank, air limbah dibuat
menjadi homogen dan alirannya diatur dengan flow regulator. Flow regulator
yang terdapat pada bak ekualisasi ini dan dapat mengendalikan fluktuasi jumlah
air limbah yang tidak merata, yaitu selama jam kerja air diperlukan dalam jumlah
banyak, dan sedikit sekali pada malam hari. Flow regulator juga dapat
mengendalikan fluktuasi kualitas air limbah yang tidak sama selama 24 jam
dengan menggunakan teknik mencampur dan mengencerkan. Dengan dibantu
oleh diffuser, air limbah dari berbagai sumber teraduk dan bercampur menjadi
homogen dan siap diolah. Selain itu, diffuser juga dapat menghilangkan bau busuk
pada air limbah.
Setelah itu, proses pengolahan secara biologis terjadi di dalam bak
aeration dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah
didekomposisikan oleh microorganisme menjadi produk yang lebih sederhana
sehingga menyebabkan bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam
hal ini bahan buangan organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel
baru (protoplasma) serta diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti
karbondioksida, air, dan ammonia. Massa dari protoplasma dan bahan organik
baru yang dihasilkan, mengendap bersama-sama dengan endapan dalam lumpur
aktif.
Kemudian air limbah beserta lumpur hasil proses biologis tadi dialirkan
kedalam clarifier tank agar dapat mengendap.Lumpur yang sudah mengendap di
bagian paling bawah dipompakan kembali ke bak aerasi dan lumpur pada air
limbah yang baru datang dibiarkan turun mengendap ke bawah sehingga terjadi
pergantian. Lumpur yang telah mengendap pada dasar bak clarifier dikembalikan
ke bak aerasi tanpa ada yang diambil keluar atau dilakukan pengolahan lumpur
lebih lanjut. Air limbah dari bak clarifier yang sudah lebih jernih dialirkan ke bak
effluent. Sebelum masuk ke effluent tank, air limbah diberikan khlorin untuk
mengendalikan jumlah populasi bakteri pada ambang yang tidak membahayakan.
Sebagai mata rantai terakhir, air limbah ditampung di dalam effluent tank yang
pada akhirnya akan dibuang ke parit dan bermuara ke sungai.
Jadi, unit pengolahan pada IPAL terdiri dari terdiri dari bak pengumpul,
screening, bak aerasi, bak sedimentasi, dan bak pengumpul lumpur.Untuk bak
pengumpul ini dimaksudkan untuk menampung seluruh limbah cair yang masuk.
Agar proses pengolahan limbah cair pada bak pengumpul dapat berjalan dengan
baik maka limbah harus melewati proses screening, yang memisahkan limbah cair
dari sampah-sampah kasar yang dapat menghambat kerja unit-unit. Dimensi dari
bak Pengumpul adalah Panjang = 1,5 meter, Lebar = 3,6 meter, Kedalaman = 4
meter, Tebal dinding = 20 cm ,Bak pengumpul tersebut terbuat dari beton
bertulang yang berbentuk rectangular. Screen yang dipakai berbahan stainless
steel dengan tipe inclined (fixed). Bak pengumpul dan screen merupakan tahap
awal (pretreatment) unit IPAL.
Pada bak aerasi unit IPAL berbentuk rectangular dengan konstruksi beton,
yang dimensinya adalah Panjang = 4,5 m, Lebar = 3,6 m, Kedalaman = 3,5 m,
Inlet bak aerasi terdapat pipa GIP (Galvanized Iron Pipe) dengan diameter 4”,
juga terdapat manhole dengan ukuran 60cm x 60 cm. Bak aerasi menggunakan
diffuser sebanyak 12 buah dengan jenis fine bubble diffuser. Outlet bak aerasi
menuju bak sedimentasi berupa pipa PVC dengan diameter 4”. Bak aerasi pada
unit IPAL berfungsi meningkatkan kandungan oksigen dalam air buangan. Peavy
(1985) menyatakan bahwa aerasi digunakan untuk menambahkan oksigen ke
dalam air buangan. Bak aerasi IPAL menggunakan diffuser sebanyak 12 buah. Air
limbah akan melewati kisi penyaring untuk memisahkan limbah cair dari buangan
padat agar proses pengolahan dapat berlangsung lebih cepat. Air buangan
kemudian turun ke bak aerasi dan bergabung dengan flok aktif yang kembali dari
bak pengendap. Udara dihembuskan blower melalui diffuser. Diffuser yang
dipilih adalah anti sumbat dengan lubang kecil agar didapat pembagian udara
yang merata. Bak aerasi dan diffuser dibuat/dipasang sedemikian rupa yaitu terdiri
dari beberapa bak terpisah yang dihubungkan dengan pipa-pipa, sehingga terjadi
efek pencampuran dan pengadukan yang cukup agar seluruh bagian air terkena
kontak dengan oksigen terlarut (DO) dan tidak terjadi pengendapan zat padat
dalam bak ini. Lamanya periode aerasi bergantung pada jumlah BOD. Dalam
suasana aerobik, lumpur aktif yang datang dari bak pengendap akan segera
berubah dari bahan organik tak stabil (secara biologis) menjadi bahan mudah
tercampur yang kemudian menjadi makanan bakteri. Akibat proses pengadukan
dalam bak ini, bahan koloid dan bahan organik tersuspensi yang diserap sel
bakteri akan
Membentuk flok lumpur aktif yang cenderung mengendap jika kondisinya
memungkinkan. Campuran lumpur yang diaktifkan ini kemudian mengalir ke bak
pengendap yang kondisinya akan memungkinkan berlangsungnya proses
pengendapan untuk memisahkan lumpur/zat padat dari air.
Bak sedimentasi pada IPAL berbentuk rectangular, dengan konstruksi
beton , dan berdimensi Panjang = 1,7 m, Lebar = 3,6 m, Kedalaman = 3,5 m, Inlet
bak sedimentasi berupa pipa PVC dengan diameter 4”, terdapat pula selang untuk
sirkulasi air yang harus diolah kembali dalam bak aerasi. Dasar dari bak
sedimentasi berbentuk kerucut. Proses yang terjadi pada bak sedimentasi adalah
pengendapan terhadap hasil degradasi bahan organik secara biologi yang
terbentuk berupa lumpur melalui proses biologis aerob yang berlangsung di bak
aerasi. Lumpur yang terbentuk akan terkumpul di dasar bak sedimentasi lalu
dikeluarkan ke bak pengumpul lumpur.
Bak pengumpul lumpur pada IPAL berbentuk rectangular, dengan
konstruksi terbuat dari beton, dan berdimensi Panjang = 1,3 m, Lebar = 2,4 m,
Kedalaman = 3,5 m. Inlet bak pengumpul lumpur merupakan pipa PVC 4”.
Lumpur yang dihasilkan IPAL tidak banyak hanya 1/3 dari volume bak
pengumpul lumpur tersebut. Lumpur yang ada dalam bak pengumpul lumpur
diambil secara manual setiap satu tahun sekali oleh pegawai IPAL atau dengan
bantuan mobil penyedot lumpur. Bak pengumpul lumpur ini dimaksudkan untuk
menampung seluruh limbah cair yang masuk menuju IPAL. Agar proses
pengolahan limbah cair berjalan dengan baik maka melewati proses screening,
yang memisahkan limbah cair dari sampah-sampah kasar yang dapat menghambat
kerja unit-unit IPAL selanjutnya. Proses biologis membutuhkan debit yang
konstan, sehingga bak pengumpul disini juga digunakan sebagai tangki aliran
rata-rata (TAR). Kondisi dalam bak pengendap akan memungkinkan terjadinya
pengendapan untuk memisahkan zat padat dalam bentuk lumpur organik. Baffle
disediakan untuk memperkecil efek kejutan aliran dalam bak pengendap. Lumpur
akan mengendap dan terkumpul pada bagian kerucut di dasar bak dan langsung
dikembalikan ke bak aerasi, sehingga proses aerobik berlangsung secara
berkesinambungan.
2.6 Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit
Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit merupakan bagian dari
sistem manajemen terpadu yang meliputi pendekatan struktur organisasi, kegiatan
perencanaan, pembagian tanggung jawab dan wewenang, praktik menurut standar
operasional, prosedur khusus, proses berkelanjutan dan pengembangan sumber
daya manusia untuk mengembangkan, menerapkan, mencapai, mengkaji,
mengevaluasi, dan mensinergikan kebijakan lingkungan dengan tujuan rumah
sakit. Pengelolaan lingkungan rumah sakit merupakan satu rangkaian siklus dan
strategi manajemen rumah sakit untuk mengembangkan kapasitas pengelolaan
lingkungan rumah sakit sehingga memberikan manfaat langsung maupun tidak
langsung terhadap peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit secara
keseluruhan. Dalam pelaksanaan sistem manajemen lingkungan di rumah sakit
memerlukan adanya evaluasi agar mengetahui apakah sistem manajemen tersebut
sesuai dengan tujuan dari rumah sakit tersebut atau tidak.
Konsep pengelolaan lingkungan yang memandang pengelolaan lingkungan
sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang
dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan (Environment Management
System), melalui pendekatan ini, pengelolaan lingkungan tidak hanya meliputi
bagaimana cara mengolah limbah sebagai by product (output), tetapi juga
mengembangkan strategi-strategi manajemen dengan pendekatan sistematis untuk
meminimasi limbah dari sumbernya dan meningkatkan efisiensi pemakaian
sumber daya sehingga mampu mencegah pencemaran dan meningkatkan performa
lingkungan. Hal ini berarti menghemat biaya untuk remediasi pencemaran
lingkungan ( Adisasmito, 2007).
Ada beberapa konsep tentang pengelolaan lingkungan sebagai berikut :
1. Reduksi limbah pada sumbernya (source reduction)
2. Minimisasi limbah
3. Produksi bersih dan teknologi bersih
4. Pengelolaan kualitas lingkungan menyeluruh (total quality environmental
management/TQEM)
5. Continous quality improvement (CQI)
2.6.1 Pengelolaan Limbah di Rumah Sakit
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume,
konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui
proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya
pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume
bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengunangi
limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah. Program minimisasi
limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan
hal baru, yang tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan pengolahan
limbah yang masih mempunyainilai ekonomi. Berbagai upaya telah dipergunakan
untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang terbaik untuk pengolahan
limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah (waste
reduction), minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah
(waste abatement), pencegahan pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada
sumbemya (source reduction) .
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus
dilaksanakan pertama kali karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau
mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah
pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan
tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung
pada sumber pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan yakni
meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan limbah dan
pelaksanaannya relatif murah. Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi
limbah pada sumbernya adalah :
1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam
menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran,
tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan
sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah
menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaannya, sehingga dapat
mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan
limbah.
3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat
atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan
bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak
berlebihan sehingga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan
penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang
kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup
tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau
penggantian sebagian unitnya.
Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di
seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat
dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu
untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai BUKAN
limbah klinik.
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah
klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan
kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut:
1. Pemisahan limbah
Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas
Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang
menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau
dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga
sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat
secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini
dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong
dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain
2. Penyimpanan limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian.
Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas
Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau
dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat
tertentu untuk dikumpulkan
Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan
warna yang samatelah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan
hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
3. Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah
ditutup
Kantung dipegang pada lehernya
Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai
sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu
mengangkut kantong tersebut
Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang
bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya
(double bagging)
Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang
dapat mencederainya di dalma kantung yang salah
Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam
kantung limbah
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode
warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor,
limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran
khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan
yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan
dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung
limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat
dibuang ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus
dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan
ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak
sampai membusuk.
Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana
dibanding dengan limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas
dari upaya penyehatan ruangan dan bangunan khususnya dalam memelihara
kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan agar:
Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);
Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata
selama 24 jam.
Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas
kuman padao gen (khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora
gas gangrer. Ruang perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalori m3 udara
dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara
tidak melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
a. Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa
benda cair, padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian
dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit.
b. Sampah non medis adalah segala zat padat, semi padat yang terbuang atau
tidak berguna baik yang dapat membusuk maupun yang tidak dapat
membusuk
c. Limbah medis berasal dari kegiatan di rumah sakit. Bentuknya padat
maupun cair. Limbah ini dapat berupa potongan badan manusia, sisa
darah, cairan tubuh, botol infus bekas pakai, selang infus bekas pakai, sisa
antibiotik, sisa obat serta obat kedaluarsa, jarum suntik bekas pakai, cairan
radioaktif, maupun buangan laboratorium. Macam-macam limbah medis
tersebut mudah meledak, terbakar, reaktif, beracun, dan korosif.
d. Meode pengolahan limbah cair rumah sakit dapat dilakukan dengan cara
ozonisasi dan extended aeration sedangkan pengolahan limbah padat dapat
dilakukan dengan pembakaran di incinerator.
3.2 SARAN
Seiring dengan melajunya waktu dan berkembangnya penduduk, Naiknya
volume sampah jauh melebihi kapasitas sarana dan prasarana Dinas Kebersihan
Kota. Akibatnya banyak komunitas yang mencari jalan keluar sendiri dengan
membakarnya, atau malah membuang sendiri kesungai yang tentunya bukanlah
jalan keluar yang baik, karena akan lebih memperparah kerusakan lingkungan.
Maka diperlukan suatu teknologi alternatif telah dikembangkan untuk
menangani permasalahan sampah dalam skala mikro hingga makro.
DAFTAR PUSTAKA
Arixs. 2008. B3 Ancam Kesehatan Warga Limbah Medis Rumah Sakit Wangaya Bermasalah. http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod= publisher&op=viewarticle&artid=373.com
Bio, Shanty. 2004-2007. Penanganan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit. http://www.shantybio.transdigit.com/?Biology__Dasar_Pengolahan_Limbah:Penanganan_dan_Pengolahan_Limbah_Rumah_Sakit.com.
Gsianturi. 2003. Limbah Rumah Sakit Belum Dikelola dengan Baik. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1066703478,2145 gizi.com.
Maniksulistya, D dan I Made D. 2006. Gambaran Pengelolaan Limbah Cair Di Rumah Sakit X Jakarta Februari 2006. Makara, kesehatan, Vol. 10, No. 2.
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No. 2 , 129 -142.
Sumiyati.S dan Imaniar. 2007. Analisis Kinerja Pengolahan Air Limbah Pavilyun Kartika Rspad Gatot Soebroto Jakarta. Jurnal Presipitasi Vol. 2 No.1 Maret 2007, ISSN 1907-187X