SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP … · dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm ........
Transcript of SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP … · dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm ........
SKRIPSI
PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN
BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU
FORMALINNYA
Oleh:
TEDDY
F24103118
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
iii
Teddy. F24103118. Pengaruh Konsentrasi Formalin dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalin dan Keawetan Bakso. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Joko Hermanianto. 2007.
Ringkasan
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable). Daging diolah menjadi produk-produk olahan daging dengan tujuan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai tambahnya. Produk olahan daging yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah bakso. Bakso umumnya memiliki umur simpan hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari pada suhu ruang. Dalam upaya memperpanjang umur simpan bakso, pihak industri kerap kali menambahkan formalin saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso.
Penelitian ini bertujuan mengurangi kadar formalin (deformalinisasi) pada bakso daging sapi, sehingga memenuhi kriteria sebagai berikut (1) residu formalin pada bakso ≤ 0.05 ppm, (2) memiliki keawetan ≥ 4 hari pada suhu kamar, dan (3) nilai Total Plate Count (TPC) dengan batas maksimal menurut SNI sebesar 1.0 x 105 koloni/gram.
Perlakuan deformalinisasi dilakukan dengan cara merendam bakso yang mengandung formalin dalam air panas yang diikuti proses perebusan selama 10 menit atau penggorengan dan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif kadar residu formaldehid pada bakso dengan metode spektrofotometri dan analisis total mikroba (TPC),serta dilakukan uji keawetan secara visual (warna, bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (4 hari) pada suhu ruang.
Hasil pengamatan uji keawetan yang telah dilakukan, sampel bakso kontrol tanpa formalin memiliki umur simpan hanya 1 hari, sampel bakso yang direbus dengan penambahan formalin 0.05 ppm memiliki umur simpan 2 hari, yang direbus dengan penambahan formalin 50 ppm memiliki umur simpan 3 hari, yang direbus dengan penambahan formalin 150 ppm memiliki umur simpan 5 hari, dan yang direbus dengan penambahan formalin 250 ppm memiliki umur simpan 6 hari. Perlakuan penambahan formalin dapat menghambat pertumbuhan mikroba dengan demikian dapat memperpanjang umur simpan bakso tersebut pada suhu ruang.
Hasil pengamatan parameter Total Plate Count (TPC) pada sampel bakso kontrol tanpa formalin pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.7 x 105 koloni/gram, sedangkan bakso dengan perlakuan penambahan formalin dengan konsentrasi 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut: sampel pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.4 x 104 koloni/gram, sampel pada hari ke-4 memiliki nilai TPC sebesar 1.7 x 106 koloni/gram, dan sampel pada hari ke-6 memiliki nilai TPC sebesar 1.4 x 107 koloni/gram. Hasil ini menunjukkan keefektifan sifat bakteriostatik dari formalin karena kemampuannya untuk memperlambat laju pertumbuhan mikroba pada bakso yang disimpan pada suhu ruang.
Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan konsentrasi formaldehid 150 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut : pada sampel sebelum dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 45.42
iv
mg/kg bb, sampel A1B1C1 sebesar 39.58 mg/kg bb, sampel A1B2C1 sebesar 34.00 mg/kg bb, sampel A1B3C1 sebesar 24.53 mg/kg bb, sampel A1B4C1 sebesar 13.55 mg/kg bb, sampel A1B1C2 sebesar 43.88 mg/kg bb, sampel A1B2C2 sebesar 41.07 mg/kg bb, sampel A1B3C2 sebesar 37.89 mg/kg bb, dan sampel A1B4C2 sebesar 33.76 mg/kg bb. Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut : pada sampel sebelum dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 63.23 mg/kg bb, sampel A2B1C1 sebesar 58.12 mg/kg bb, sampel A2B2C1 sebesar 45.23 mg/kg bb, sampel A2B3C1 sebesar 32.68 mg/kg bb, sampel A2B4C1 sebesar 18.12 mg/kg bb, sampel A2B1C2 sebesar 61.2485 mg/kg bb, sampel A2B2C2 sebesar 59.70 mg/kg bb, sampel A2B3C2 sebesar 54.16 mg/kg bb, dan sampel A2B4C2 sebesar 51.12 mg/kg bb.
Dari hasil yang diperoleh, perlakuan perendaman bakso dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan perebusan selama 10 menit (A4) merupakan perlakuan deformalinisasi yang paling efektif, yang dapat menurunnya kandungan formaldehid awal dari 63.23 mg/kg bb mencapai 18.07 mg/kg bb atau menurun ± 70.76% dari kandungan formaldehid awal pada bakso dengan perlakuan penambahan formaldehid 250 ppm pada perebusan. Walaupun demikian, kadar residu formaldehid pada bakso masih melebihi batas safety yaitu 0.05 ppm (MFL Inc., 2004).
Bakso dengan umur simpan ≥ 4 hari pada penyimpanan suhu ruang dapat diperoleh dengan cara menambahkan formalin 36.5% pada air rebusan bakso sebanyak 150 atau 250 ppm. Bakso dengan umur simpan 4-5 hari memang memiliki nilai TPC lebih besar dari batas maksimum SNI yaitu 1.0 x 105 koloni/gram; namun, tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan mutu sensoris bakso. Bakso berformalin tersebut mulai berlendir pada hari ke-6 dengan nilai TPC 1.4 x 107 koloni/gram. Upaya deformalinisasi bakso dengan cara merendam bakso dalam air panas dapat dikatakan efektif, namun upaya tersebut tidak dapat mencapai standar residu formaldehid berdasarkan MFL yaitu ≤ 0.05 ppm pada bakso. Hal ini dikarenakan kemampuan formaldehid membentuk ikatan silang dengan protein pada bakso.
Sebuah Karya ini saya persembahkan untuk Orangtua dan Adik saya tercinta
Jikalau Aku dapat memimpikanya, Maka Aku pasti dapat melakukannya (Teddy)
PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN
BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU
FORMALINNYA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
TEDDY
F24103118
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN
BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU
FORMALINNYA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
TEDDY
F24103118
Dilahirkan pada tanggal 14 April 1985
Di Jakarta
Tanggal lulus: April 2007
Menyetujui,
Bogor, April 2007
Dr. Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
v
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian yang berjudul ”Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap Keawetan
Bakso dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya”.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis, baik secara
langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini terutama kepada:
1. Keluarga tercinta, Mami, Papi, dan Ferry yang senantiasa menemani, mendukung,
mendoakan, dan memberikan kekuatan moral pada penulis.
2. Dr. Ir. Joko Hermanianto sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan,
bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan, penelitian
maupun penyusunan tugas akhir.
3. Ir. Subarna Msi. dan Dr. Ir. M. Arpah Msi. selaku dosen penguji yang telah
menyumbangkan kritik dan saran yang membangun dalan penyelesaian skripsi ini.
4. Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Sidik, Pak Wahid, Teh Ida, Pak Rozak, Pak
Solihin, Pak Yahya, Mas Dodithea, dan semua laboran di laboratorium Departemen
ITP atas bantuan dan arahannya.
5. Ratih Ardianita yang telah memberikan dukungan moral dan motivasi yang sangat
besar selama kuliah.
6. Hafidha Kusumaningrum yang telah menemani penulis selama kuliah saat senang,
susah, sedih, dan tertawa bersama. Canda tawamu sangat menghibur hati.
Terimakasih banyak atas perhatian lebih dan sayangnya dari “adikku” yang lucu.
7. Teman-teman satu bimbingan: Este, Bangun, Ajeng, Rizky, Denny Angga, Cici,
Dodi, dan Indri. Serta semua mahasiswa ITP 40.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Bogor, 14 April 2007
Penulis
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Teddy, dilahirkan di
Jakarta pada tanggal 14 April 1985 dari keluarga
pasangan Benjamin Tanudjaya (Ayah) dan
Minggawati (Ibu). Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar
penulis diawali pada tahun 1991-1997 di SD
Maria Fransiska. Tahun 1997 penulis melanjutkan
pendidikan ke tingkat SLTP di Pax Ecclesia
Bekasi Selatan dan lulus pada tahun 2000. Pada
tahun 2000-2003 penulis menempuh pendidikan di
SMU Marsudirini Kemang Pratama, Bekasi Timur. Pada tanggal 14 Agustus 2003
penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non akademis. Penulis
berpengalaman menjadi Asisten Praktikum MK. Kimia Dasar pada tahun 2004, Asisten
Praktikum MK. Penerapan Komputer pada tahun 2005-2006, Asisten Praktikum MK.
Biokimia dan Kimia Pangan pada tahun 2005-2006, Asisten Praktikum MK. Evaluasi
Sensori pada tahun 2006-2007, Asisten Praktikum MK. Teknologi Pengalengan Pangan
dan Technical Assistence divisi Software Maintenance di CCFT, Laboratorium Komputer
Departemen Ilmu dan teknologi Pangan pada tahun 2004-2007. Selain itu, penulis juga
aktif dalam berbagai kegiatan futsal, bilyard, Game PC dan pecinta alam.
Tugas akhir penelitian berjudul ”Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap
Keawetan Bakso dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya” di
bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ........................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... x
I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 4
A. Bakso Daging Sapi .............................................................. 4
B. Pembuatan Bakso Daging Sapi .......................................... 5
C. Formalin ............................................................................... 8
D. Pengawetan dengan Formalin ............................................. 11
III. BAHAN DAN METODE .......................................................... 15
A. Bahan dan Alat .................................................................... 15
B. Metode Penelitian ................................................................ 15
C. Rancangan Percobaan ........................................................ 17
D. Pengamatan .......................................................................... 18
E. Prosedur Analisis ................................................................ 18
1. Analisis kuantitatif Formaldehid ........................ 18
2. Analisis Mikrobiologi Produk Hewani ............... 19
3. Uji Keawetan Bakso .............................................. 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 21
A. Hasil Uji Keawetan Bakso secara Visual ........................... 21
B. Hasil Analisis Total Mikroba .............................................. 24
C. Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Residu Formaldehid .... 27
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 36
LAMPIRAN ........................................................................................... 39
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia ...................... 3
Tabel 2. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi ....................... 4
Tabel 3. Kriteria Mutu Sensori Bakso ..................................................... 5
Tabel 4. Hasil pengamatan penggunaan Bahan Tambahan Makanan
pada bakso ................................................................................... 7
Tabel 5. Karakteristik formaldehid.......................................................... 9
Tabel 6. Penilaian Mutu Sensoris Bakso .................................................. 20
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kurva hasil uji keawetan secara sensoris pada sampel
bakso dengan beberapa variasi konsentrasi formalin ........ 22
Gambar 2. Hasil analisis Total Plate Count pada sampel bakso
dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm .......................... 24
Gambar 3. Jumlah kandungan mikroba produk pangan sebagai
indikator kebusukan .............................................................. 25
Gambar 4. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan
perebusan dan penggorengan dengan residu formaldehid
pada bakso 150 ppm ............................................................... 28
Gambar 5. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan
perebusan dan penggorengan dengan residu formaldehid
pada bakso 250 ppm ............................................................... 29
Gambar 6. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan
perlakuan deformalinisasi pada bakso 150 ppm ................. 30
Gambar 7. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan
perlakuan deformalinisasi pada bakso 250 ppm ................. 31
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso ........................ 39
Lampiran 2. Metabolisme formaldehid dalam tubuh manusia ........ 40
Lampiran 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan ........... 41
Lampiran 4. Metode pembuatan kurva standar formalin ................. 42
Lampiran 5. Hasil perhitungan hurva standar formalin dengan
konsentrasi larutan 150 ppm .......................................... 43
Lampiran 6. Hasil perhitungan hurva standar formalin dengan
konsentrasi larutan 250 ppm .......................................... 43
Lampiran 7. Hasil analisis kuantitatif formalin pada
bakso 150 ppm ................................................................. 44
Lampiran 8. Hasil analisis kuantitatif formalin pada
bakso 250 ppm ................................................................. 45
Lampiran 9. Hasil Perhitungan Residu Formaldehid dalam Bakso . 46
Lampiran 10. Hasil pengamatan uji mikrobiologi pada bakso
250 ppm .......................................................................... 47
Lampiran 11. Hasil Pengamatan uji keawetan bakso pada
berbagai konsentrasi ..................................................... 48
Lampiran 12. Hasil Pengolahan Data dengan menggunakan
software SPSS 11.5 ......................................................... 49
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut undang-undang RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pada
Bab II mengenai Keamanan Pangan, pasal 10 tentang Bahan Tambahan
Makanan dicantumkan, (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan
pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal
yang telah ditetapkan . (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang
dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam
kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal
sebagaimana pada ayat (1).
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang sangat
populer. Banyak orang menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa.
Meski bakso sangat memasyarakat, ternyata pengetahuan masyarakat
mengenai bakso yang aman dan baik untuk dikonsumsi, masih kurang. Hal ini
terbukti dengan masih banyak beredarnya bakso yang menggunakan formalin
dan tetap dikonsumsi.
Maraknya penggunaan formalin pada bahan makanan merupakan berita
yang sangat mengejutkan pada penghujung tahun 2005 dan awal tahun 2006,
walaupun sebenarnya masalah tersebut sudah muncul ke permukaan sejak
beberapa tahun lalu. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM)
telah melakukan uji laboratorium pada 761 sampel makanan di beberapa kota
besar di Indonesia. Hasilnya beberapa jenis makanan olahan, yaitu mie basah,
bakso, tahu, dan ikan asin, positif mengandung formalin. Hal yang
memprihatinkan adalah kenyataan bahwa formalin tidak saja ditemukan pada
bahan makanan yang dijual di pasar tradisional, tetapi juga ditemukan pada
bahan makanan yang dijual di beberapa supermarket besar (Anonim, 2006).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), bakso adalah produk
makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging
ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50%.
2
Pemasaran bakso di pasar tradisional umumnya dilakukan pada kondisi
suhu ruang dan lingkungan yang kurang saniter. Kondisi tersebut didukung
oleh faktor internal bakso yaitu kandungan protein yang tinggi, pH mendekati
netral, Kadar air sekitar 80%, dan aw sebesar 0.95 menyebabkan masa
simpannya sangat singkat yaitu umumnya hanya mencapai 12 jam atau
maksimal 1 hari (Widyaningsih, 2006). Di lain pihak industri bakso umumnya
memiliki target masa penyimpanan bakso pada suhu ruang adalah 4 hari, yaitu
1 hari di pabrik, 1 hari di pedagang grosir, 1 hari di pedagang menengah, dan
1 hari di pedagang keliling. Bahan pengawet sering kali ditambahkan pada
saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso, misalnya formalin.
Ada beberapa hal yang menyebabkan peningkatan pemakaian formalin
sebagai bahan pengawet makanan, antara lain (1) harganya sebesar Rp.
7000/liter, jauh lebih murah dibanding pengawet lainnya, seperti natrium
benzoat Rp. 20000/kg atau potasium sorbat Rp.70000/kg, (2) jumlah yang
digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, misalnya 1 liter formalin
komersil (37-40%) untuk 10 ton ikan laut sedangkan untuk dosis penggunaan
natrium benzoat sebesar 0.1% dari bahan yang akan diawetkan, (3) mudah
digunakan untuk proses pengawetan karena bentuknya larutan, pada
umumnya 0.15-0.25 ml formalin komersil per 10 liter air, (4) waktu
pemrosesan pengawetan lebih singkat, (5) mudah didapatkan di toko kimia
dalam jumlah besar, dan (6) rendahnya pengetahuan masyarakat produsen
tentang bahaya formalin (Widyaningsih, 2006).
Formalin bukan Bahan Tambahan Makanan, karena dapat
membahayakan kesehatan manusia. Pengaruh-pengaruh formalin atau
formaldehid bagi kesehatan manusia dapat dilihat pada tabel 1.
3
Tabel 1. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia
Pengaruh Bagi Kesehatan Konsentrasi formaldehid (ppm)
Tidak ada pengaruh ≤ 0.05
Ambang batas bau (Odor threshold) 0.05 – 1.00
Iritasi Mata* 0.01 – 2.00
Iritasi dan kesulitan pernapasan 0.10 – 25.00
Kerusakan kronis paru – paru 5.00 – 30.00
Pembengkakan dan peradangan pada
paru-paru
50.00 – 100.00
kematian >100.00
* iritasi pada 0.01 ppm terjadi karena percampuran formaldehid dan polutan lain
Sumber : Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc., 2004
Menurut Sukesi (2006), deformalinisasi pada bahan pangan cukup
mudah dilakukan, misalnya untuk deformalinisasi ikan asin dapat dilakukan
dengan cara merendam ikan asin tersebut dalam 3 macam larutan, yakni air,
air garam, dan air leri. Menurut hasil penelitian Sukesi (2006), perendaman
ikan asin dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin
sampai 61.25%, dengan air leri (air cucian beras) mencapai 66,03%, dan
dengan air garam mampu menurunkan kadar formalin hingga 89,53%. Pada
penelitian ini dilakukan deformalinisasi pada bakso daging sapi yang
mengandung formalin dengan cara merendam bakso tersebut pada air panas,
lalu dikombinasikan dengan penggorengan atau perebusan bakso selama 10
menit.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengurangi kadar formalin (deformalinisasi)
pada bakso daging sapi, sehingga memenuhi kriteria sebagai berikut (1) residu
formalin pada bakso ≤ 0.05 ppm, (2) memiliki keawetan ≥ 4 hari pada suhu
kamar, dan (3) nilai Total Plate Count (TPC) dengan batas maksimal menurut
SNI sebesar 1.0 x 105 koloni/gram.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKSO DAGING SAPI
Menurut SNI, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan
atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging
tidak kurang dari 50%, sedangkan menurut Widyaningsih (2006), bakso
merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan
maupun udang.
Menurut Wibowo (2005), bakso daging sapi memiliki komposisi
kimia (prosimat) sebagai berikut kadar air 77.85%, kadar protein 6.95%,
kadar lemak 0.31% dan kadar abu 1.75%. Sedangkan menurut Hultin (1976),
daging sapi memiliki kadar air 70-73%, kadar protein 20-22%, kadar lemak
4-8%, dan kadar abu 1%.
Menurut SNI, bakso daging sapi yang aman dikonsumsi harus
memenuhi syarat mutu seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Air % b/b Maks 70.0
2 Abu % b/b Maks 3.0
3 Protein % b/b Min 9.0
4 Lemak % b/b Maks 2.0
5 Boraks - Tidak boleh ada
6 Cemaran Mikroba
6.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 1.0 x 105
6.2 Escherichia coli APM/g < 3
6.3 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 1.0 x 102
Menurut Wibowo (2005), cara paling mudah untuk menilai mutu
bakso adalah dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya.
Paling tidak, ada 5 parameter sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu
penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Kriteria mutu sensori bakso dapat
dilihat pada tabel 3.
5
Tabel 3. Kriteria Mutu Sensori Bakso
Parameter Bakso daging
Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam. Sedikit pun tidak tampak
berjamur, dan tidak berlendir.
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
cokelat muda hingga cokelat muda agak keputihan atau
abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang
mengganggu (jamur)
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik,
asam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa
asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah
berair, dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, 2005
Elviera (1988) menyatakan bahwa bakso yang beredar umumnya
menggunakan daging sapi. Hasil survey yang telah dilakukan Andayani
(1999) menunjukkan bahwa karakteritik bakso sapi yang disukai konsumen
adalah rasanya yang gurih, agak asin, memiliki rasa daging kuat, berwarna
abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus serta memiliki tekstur yang
empuk dan agak kenyal.
B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI Bahan-bahan yang umum digunakan dalam pembuatan bakso yaitu
daging segar, tepung tapioka, bumbu-bumbu, es atau air es, dan bahan
pengawet.
Mutu bakso sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran dari daging.
Semakin segar daging yang digunakan semakin bagus mutu bakso yang
dihasilkan (Sunarlim, 1992). Selain itu, kandungan lemak pada daging yang
digunakan tidak lebih dari 2% b/b dan tidak banyak urat. Lemak dan urat yang
6
terdapat pada daging sebaiknya dipisahkan dulu. Namun, untuk membuat
bakso urat justru dilakukan penambahan urat atau seratnya sebesar 11-20%
dari berat adonan (Wibowo, 2005).
Bahan lain yang diperlukan adalah bahan pengisi, umumnya digunakan
tepung tapioka. Fungsi bahan pengisi adalah untuk memperbaiki sifat emulsi,
mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan
citarasa, serta menurunkan biaya produksi (Kramlich,1971). Menurut Wibowo
(2005), untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi,
jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15% dari berat
daging. Idealnya, tepung tapioka yang ditambahkan sebanyak 10% dari berat
daging.
Bumbu-bumbu yang sering ditambahkan adalah garam dapur halus dan
MSG. Menurut Wibowo (2005), Garam berfungsi sebagai pelarut protein dan
meningkatkan daya ikat protein otot. Jumlah garam yang dibutuhkan sebesar
2.5% dari berat daging. Menurut Pearson dan Tauter (1984), Monosodium
glutamat (MSG) digunakan sebagai pembangkit citarasa. Menurut Wibowo
(2005), sebaiknya tidak menggunakan MSG sebagai penyedap rasa karena
sejauh ini masih diperdebatkan dan dicurigai menjadi penyebab berbagai
kelainan kesehatan seperti kanker. Untuk menggantikan MSG dapat
ditambahkan bumbu penyedap yang dibuat dari campuran bawang putih dan
merica. Jumlah bumbu penyedap yang ditambahkan sebesar 2% dari berat
daging.
Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Menurut Wibowo
(2005), selama proses penggilingan, es atau air es berfungsi untuk
mempertahankan suhu agar tetap rendah sehingga protein daging tidak
terdenaturasi, memperlancar ekstraksi protein, menambahkan air ke adonan
sehingga tekstur adonan tidak kering, dan meningkatkan rendemen.
Penambahan es sebanyak 10-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari
berat daging.
Menurut Widyaningsih (2006), Sodium Tri PoliPhospat (STPP) dapat
digunakan sebagai bahan pengeyal dan pengemulsi yang aman digunakan.
STPP berfungsi mempertahankan kelembapan, integritas urat daging,
7
meningkatkan keempukan, daya ikat partikel daging, tekstur, gelatinisasi pati-
protein, menstabilkan flavor, aroma, dan warna, serta dapat menurunkan
aktivitas air (aw) sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang dapat
menyebabkan kerusakan bakso. Penggunaan STPP dalam pembuatan adonan
bakso sebesar 0.25% dari berat adonan bakso.
Menurut Wibowo (2005), bakso memiliki masa simpan maksimal satu
hari pada suhu kamar, maka diperlukan penambahan bahan pengawet. Untuk
memperpanjang daya awet dilakukan pencelupan bakso ke dalam larutan
formalin, hal ini menyebabkan tekstur bakso lebih kenyal dan aroma khas
daging rebus dari bakso tidak akan tercium, Perbandingan hasil produk bakso
yang menggunakan Bahan Tambahan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengamatan penggunaan Bahan Tambahan Makanan pada
bakso
Pengamatan Bakso
Kontrol
Bakso dgn
STPP
Bakso dgn
Boraks
Bakso dgn
Formalin
Kekenyalan ++ +++ +++ ++++
Tekstur Agak kasar Halus dan
kompak
Halus dan
kompak
Lebih halus dan
kompak
Warna Abu-abu
normal
Abu-abu
normal
Lebih terang Lebih terang
Daya Simpan 1 hari 1-2 hari 3 hari 3 hari
Sumber : Winarno, 1994
Prinsip pembuatan bakso dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu
penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan perebusan (wilson
et al., 1981).
Menurut Wilson et al. (1981), daging yang benar-benar segar,
dipisahkan lemak dan uratnya. Setelah itu, daging dihancurkan dengan
mencacah (mincing), mencincang (chopping) ataupun menggiling (grinding).
Penghancuran ini bertujuan memudahkan pembentukkan adonan dan memecah
dinding sel serabut otot daging sehingga aktin dan miosin yang merupakan
pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak mungkin. Wibowo (2005)
8
menambahkan, jika daging yang digunakan sudah sempat dilayukan maka
ditambahkan polifosfat (sebaiknya digunakan natrium tripolifosfat) sebanyak
0.75% dan garam dapur 4% dari berat daging.
Pembuatan adonan yaitu dengan menggiling daging yang telah
dihaluskan bersama-sama es batu dan garam dapur, baru kemudian
ditambahkan bahan lain dan tepung tapioka hingga diperoleh adonan yang
homogen. Pembuatan adonan ini umumnya menggunakan silent cutter.
Menurut Wibowo (2005), semakin tinggi kecepatan mesin, makin bagus
adonan yang terbentuk.
Menurut Widyaningsih (2006), biasanya ada tiga ukuran bakso, yaitu
ukuran besar, sedang, dan kecil. Bakso besar berukuran 40, yaitu satu kilogram
berisi 40 butir dengan berat 25 g/butir. Bakso sedang berukuran 50 (50
butir/kg) dengan berat rata-rata 20 g/butir. Bakso yang kecil berukuran 60 (60
butir/kg) dengan berat sekitar 15-17 g/butir. Dalam membentuk bola bakso
sebaiknya ukurannya diusahakan seragam, sehingga bakso dapat matang
bersamaan dan mempermudah pengendalian proses.
Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih. Jika
bakso sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan
perebusan dihentikan. Menurut Wibowo (2005), umumnya bahan pengawet
seperti formalin ditambahkan pada perebusan akhir yang dilakukan selama 15
menit.
C. FORMALIN
Menurut Hart (1983), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan
baunya sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas
formaldehid dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah
terjadinya polimerisasi formaldehid.
Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana.
Formaldehid bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan
mudah dipolimerisasi pada suhu ruang. Formadehid bersifat larut di dalam air,
aseton, benzene, dietil eter, kloroform, dan etanol (IARC, 1982). Pada suhu
150ºC, formaldehid mudah terdekomposisi menjadi metanol dan karbon
9
monoksida. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfer
membentuk asam format, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida oleh
sinar matahari (WHO, 2002). Karakteristik fisiko kimia formaldehid dapat
dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik formaldehid
Nama Formaldehid, metanal, metil aldehid,
metilen oksida
Struktur
Rumus kimia H2CO
Berat molekul 30.03
Titik leleh -118 to -92 ºC
Titik didih -21 to -19 ºC
Triple point 155.1 K (-118.0 ºC)
Densitas 1.13 x 103 kg/m3
Tekanan Uap (Pa, 25ºC) 516000
Kelarutan (mg/liter, 25ºC) 400000 - 550000
Faktor konversi 1 ppm = 1.2 mg/m3
Sumber : World Health Organization (WHO), 2002
Formaldehid merupakan produk metabolisme normal yang penting bagi
biosintesis beberapa asam amino di dalam tubuh. Level formaldehid pada
jaringan endogenous yang secara metabolik membentuk formaldehid adalah 3-
12 mg/g jaringan. Formaldehid endogenous berasal dari proses inhalasi, asupan
oral, dan melalui kulit. Formaldehid yang diasup secara oral akan diserap oleh
saluran gastrointestinal. Formaldehid yang diinhalasi akan diserap oleh saluran
pernafasan bagian atas tetapi tidak didistribusikan ke seluruh tubuh karena
metabolismenya yang cepat (Heck et al., 1985).
Menurut Owen et al (1990), Hati manusia mampu mengubah 22 mg
formaldehid menjadi CO2/menit, penyerapan formaldehid melalui darah tidak
menyebabkan akumulasi formaldehid di dalam tubuh karena proses konversi
10
menjadi asam format cepat terjadi. Namun kandungan asam format yang tinggi
dapat meningkatkan keasaman darah.
Menurut Bardana dan Montanaro (1991), metabolisme formaldehid di
dalam tubuh terdiri dari 4 jalur yaitu :
1. Formaldehid dimetabolisme menjadi asam format, kemudian diubah
menjadi CO2 dan dikeluarkan melalui pernafasan.
2. Formaldehid dimetabolisme menjadi asam format, kemudian diubah
menjadi garam (garam natrium dan garam format) atau tetap sebagai asam
format untuk dibuang sebagai urin. Jalur metabolisme formaldehid menjadi
asam format tergantung konsentrasi glutation didalam tubuh.
Mekanismenya dapat dilihat pada lampiran 2.
3. Formaldehid dimetabolisme menjadi asam format, kemudian
diinkorporasikan ke dalam one-carbon pool (metabolisme yang
menggunakan karbon tunggal dalam biosintesis). Jalur metabolisme ini
tergantung dari jumlah konsentrasi folat di dalam tubuh karena one-carbon
pool memerlukan tetrahidrofolate yang disintesis dari folat.
4. Formaldehid keluar dari jalur metabolisme dan bereaksi dengan
makromolekul seperti DNA, RNA, dan protein.
Menurut United States Environmental Protection Agency (US EPA)
(1991), Formaldehid yang diasup secara oral, pernafasan, atau melalui kulit
masih dapat dimetabolisme pada nilai Acceptable Daily Index (ADI) 0.2 mg/kg
berat badan. Hasil penelitian secara epidemilogi mengenai paparan
formaldehid telah direview oleh International Agency for Research on Cancer
(IARC) dan WHO, beberapa menunjukkan kasus yang terjadi sangat sedikit
dan menunjukkan formaldehid tidak menyebabkan tingkat kanker yang
berlebih.
Formaldehid merupakan metabolit yang dimetabolisme secara cepat di
dalam tubuh dan mampu menyebabkan tumor hanya pada dosis tinggi yang
bersifat sitotoksik. Karena tidak terdapat bukti karsinogenitas melalui jalur
oral, faktor ekstra ketidakpastian tidak digunakan (Federal Provincial-
Territorial Committee on Drinking Water, 1997). Nilai batasan formaldehid
11
pada air minum yang didasari pertimbangan kesehatan dapat diturunkan dari
Tolerable Daily Intake (TDI) berikut ini :
Keterangan :
0.15 mg/kg berat badan adalah nilai TDI
70 kg adalah berat badan rata – rata orang dewasa
0.05 adalah proporsi asupan harian yang dialokasikan untuk air minum
1.5 L/hari adalah konsumsi air rata –rata per hari untuk orang dewasa
Formalin adalah bahan yang sangat diperlukan dalam industri. Dalam
bidang industri, formalin digunakan dalam produksi pupuk, bahan fotografi,
parfum, kosmetika, pencegahan korosi, perekat kayu lapis, bahan pembersih,
insektisida, plastik, cermin, serta kaca (Widyaningsih, 2006). Formalin juga
diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi dan desinfektan yang dapat
membunuh algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain dengan konsentrasi
akut letal berkisar 0.3-22 mg/L (WHO, 1989).
Menurut Trezl et al. (1996), bahan pangan secara alami mengandung
formaldehid, dengan level 1 mg/kg sampai 90 mg/kg. Kontaminasi terhadap
pangan bisa terjadi melalui fumigasi, bahan tambahan pangan, atau
pemasakan. Asupan dari makanan tergantung komposisi makanan itu sendiri.
Bagi orang dewasa, jumlahnya berkisar 1.5-14 mg/hari. Kandungan
formaldehid pada beberapa bahan pangan dapat dilihat pada lampiran 3.
D. PENGAWETAN DENGAN FORMALIN
Penggunaan formalin dimaksudkan untuk memperpanjang umur simpan,
karena formalin adalah senyawa antimikroba yang efektif dalam membunuh
bakteri, bahkan virus sekalipun. Selain itu, interaksi antara formaldehid
(senyawa kimia dalam formalin) dengan protein dalam pangan menghasilkan
tekstur yang tidak rapuh yang untuk beberapa produk pangan seperti tahu, mie
basah, ikan segar, ikan asin dan bakso memang dikehendaki oleh konsumen.
0.15 mg/kg berat badan per hari x 70 kg x 0.05 = 0.35 mg/L
1.5 L/hari
12
Pada umumnya formalin digunakan dalam pangan yang mengandung
banyak air atau tinggi aktivitas air (aw) nya. Produk-produk dengan aw lebih
dari 0.85 sangat disukai oleh mikroba termasuk mikroba pembusuk sehingga
secara alami produk tersebut mudah rusak (perishable) dan tidak dapat
disimpan pada suhu ruang dalam jangka waktu lama.
Umur simpan tersebut menjadi semakin pendek apabila jumlah mikroba
awal sangat tinggi karena proses pengolahannya yang tidak mengindahkan
praktek-praktek yang baik (good practices) serta penerapan sanitasi yang baik.
Sebagai contoh, idealnya bakso yang memiliki aw sebesar 0.95 dapat memiliki
umur simpan sampai dengan 24 jam. Akan tetapi, pada kenyataannya waktu
penyimpanan produk bakso tersebut sudah mulai rusak sebelum 24 jam karena
jumlah bakteri awal yang tinggi.
Menurut WHO (2002), formaldehid terdapat dalam produk makanan
karena kegunaannya sebagai zat bakteriostatik yaitu dapat menghambat
pertumbuhan mikroba dalam produk pangan sehingga umur simpan produk
tersebut meningkat.
Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif melawan bakteri
vegetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri.
Formaldehid bereakdi dengan protein, dan hal tersebut mengurangi aktivitas
mikroorganisme. Efek sporosidnya yang meningkat tajam dengan adanya
kenaikan suhu. Larutan formaldehid 0,5% dalam waktu 6-12 jam dapat
membunuh bakteri dan dalam waktu 2-4 hari dapat membunuh spora,
sedangkan larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18
jam (WHO, 2002).
Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari
kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan
asam amino bebas dalam protein menjadi hidrokoloid. Kemampuan dari
formaldehid meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006).
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi
dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang
berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut
(Barnen and Davidson, 1983).
13
Formaldehid dapat merusak bakteri karena bakteri adalah protein.
Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada
protoplasma sel, merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein (Fazier dan
Westhoff, 1988).
Menurut Barnen and Davidson (1983), pada reaksi formaldehid dengan
protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amina pada posisi dari lisin di
antara gugus-gugus polar dari peptidanya. Formaldehid menyerang gugus ε-
NH2 dari lisin dan selain itu juga pada gugus ε-NH2 histidin dan tirosin.
Pengikatan formaldehid pada gugus ε-NH2 dari lisin berjalan lambat dan
merupakan reaksi yang searah, sedangkan ikatannya dengan gugus asam amino
bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak-balik. Ikatan formaldehid
dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak dapat dihilangkan dengan dianalisis
sehingga ikatan ini turut menyokong kestabilan struktur molekul (Marquie et
al.,1997). Bentuk hasil ikatan silang antara formaldehid dengan asam amino
lisin dari protein dapat digambarkan sebagai berikut:
Protein ─ Lys – NH – CH2 – NH – Lys ─ Protein
Menurut Cahyadi (2006), sifat penetrasi formaldehid cukup baik, tetapi
gerakan penetrasinya lambat hingga walaupun formaldehid dapat digunakan
untuk mengawetkan sel-sel tapi tidak dapat melindunginya secara sempurna,
kecuali bila diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras.
Selain bakso, terdapat sejumlah produk pangan lainnya yang secara
sengaja ditambahkan formalin sebagai pengawet. Menurut Widyaningsih
(2006), tanda-tanda produk pangan yang mengandung formalin adalah sebagai
berikut:
• Tahu
Bentuknya sangat bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari
dan tidak mudah busuk. Bau agak menyengat dan aroma kedelai sudah tak
tercium lagi.
• Mie Basah
Lebih kenyal, awet beberapa hari dan tidak mudah basi dibandingkan
dengan yang tidak mengandung formalin. Mie tampak mengkilat (seperti
berminyak), liat (tidak mudah putus), dan tidak lengket.
14
• Ikan asin
Daging kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa
formalin agak berwarna coklat dan lebih tahan lama.
• Ikan segar
Warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah
segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.
• Ayam potong
Berwarna putih bersih, lebih awet dan tidak mudah busuk.
15
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi dan
tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan bakso, bahan tambahan yang
terdiri dari garam, STPP, dan es batu serta bumbunya seperti bawang merah,
bawang putih, merica bubuk, dan MSG yang diperoleh dari salah satu tempat
produksi bakso. Bahan pengawet yang digunakan adalah formaldehid 36.5%
yang berasal dari Ruang Stock Departemen ITP, Bogor. Bahan-bahan lainnya
adalah bahan untuk analisis kimia, yaitu Nashmenits reagent (campuran 15 g
NH4CH3COO, 0.3 ml CH3COOH, dan 0.2 ml asetil aseton dalam akuades)
yang didapat dari Laboratorium Jasa Analisis Departemen ITP Bogor dan
bahan untuk analisis mikrobiologi, yaitu larutan pengencer, alkohol 70%, dan
media PCA yang didapat dari Ruang Stock Departemen ITP, Bogor.
Alat yang digunakan adalah peralatan untuk membuat bakso seperti
kompor dan panci perebusan serta peralatan untuk analisis kimia seperti
neraca analitik, destilator, peralatan gelas dan spektrofotometer dan uji
mikrobiologi seperti bunsen, cawan petri, pipet, stomacher, otoklaf dan
inkubator.
B. Metode penelitian
1. Penelitian pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan survey untuk mengamati bakso dengan
penambahan formalin yang biasa dilakukan di industri, sehingga bisa
dijadikan acuan penelitian selanjutnya.
2. Penelitian utama
Penelitian utama dilakukan setelah diketahui kadar formalin pada
bakso yang biasa ditambahkan oleh industri. Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan bakso dan penambahan formalin pada air perebusan dengan
variasi konsentrasi sebagai berikut : 0.00 ppm, 0.05 ppm, 50 ppm, 150 ppm
dan konsentrasi aktual pada industri sebesar 250 ppm. Variasi kadar
formalin ini berdasarkan MFL inc. (2004), yang menyatakan bahwa pada
16
konsentrasi formaldehid ≤ 0.05 ppm tidak mempengaruhi kesehatan
manusia.
Pada tahap ini juga dilakukan deformalinisasi dan uji kuantitatif
kadar residu formalin, analisis total mikroba sehingga bakso dapat
dikatakan aman untuk dikonsumsi, dan uji keawetan secara visual (warna,
bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (7 hari)
pada suhu ruang.
Perlakuan teknik deformalinisasi yang dilakukan seperti perlakuan
perendaman dengan air panas yang mengacu pada penelitian Sukesi (2006),
perendaman ikan asin dalam air selama 60 menit mampu menurunkan
kadar formalin sampai 61.25% dan menurut Wibowo (2006), pada
umumnya bakso mengalami perlakuan tambahan sebelum dikonsumsi
seperti penggorengan dan perebusan selama 10 menit. Perlakuan yang
dilakukan dengan variasi sebagai berikut :
A1B1C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 0 menit
+ perebusan 10 menit
A1B2C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 15 menit
+ perebusan 10 menit
A1B3C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 30 menit
+ perebusan 10 menit
A1B4C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 60 menit
+ perebusan 10 menit
A1B1C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 0 menit
+ penggorengan
A1B2C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 15 menit
+ penggorengan
A1B3C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 30 menit
+ penggorengan
A1B4C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 60 menit
+ penggorengan
A2B1C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 0 menit
+ perebusan 10 menit
17
A2B2C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 15 menit
+ perebusan 10 menit
A2B3C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 30 menit
+ perebusan 10menit
A2B4C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 60 menit
+ perebusan 10menit
A2B1C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 0 menit
+ penggorengan
A2B2C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 15 menit
+ penggorengan
A2B3C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 30 menit
+ penggorengan
A2B4C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 60 menit
+ penggorengan
C. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan acak faktorial sebanyak 3 faktor.
Keterangan : Y(ijk)n = respon faktor karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor ke A dan
taraf ke-j faktor B
µ = pengaruh rata-rata
Ai = pengaruh perlakuan A konsentrasi formalin (150 dan 250 ppm) pada
taraf ke-i
Bj = pengaruh perlakuan B waktu perendaman (0, 15, 30 dan 60 menit) pada
taraf ke-j
Ck = pengaruh perlakuan C pengolahan bakso (perebusan 10 menit dan
pengorengan) pada taraf ke-k
Ai Bj = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
AiCk = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-k faktor C
BjCk = pengaruh interaksi taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C
Y(ijk) = µ + Ai + Bj + Ck + Ai Bj + AiCk + BjCk + ABCijk + εijk
18
ABCijk = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B dan taraf
ke-k faktor C
εijk = pengaruh kesalahan percobaan pada ulangan ke-n karena pengaruh Ai,
Bj, Ck dan ABijk
D. PENGAMATAN
1. Kadar Residu Formaldehid pada Bakso setelah Deformalinisasi
2. Total Plate Count dari Bakso berformalin
3. Umur Simpan atau Keawetan Bakso pada Suhu Ruang
4. Mutu Organoleptik Bakso sebelum dan selama Penyimpanan
E. PROSEDUR ANALISIS
1. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)
Sebanyak 1-2 gram bahan ditambah 100 ml air kemudian
dihancurkan. Hancuran dimasukkan ke alat destilasi dan dibiarkan
mendidih selama 15 menit. Destilat kemudian ditampung.
Nashmenits reagent dibuat dengan cara melarutkan 15 g
NH4CH3COO, 0.3 ml CH3COOH, dan 0.2 ml asetil aseton ke dalam
akuades sampai volume total 100 ml. Larutan formaldehid standar dibuat
dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm. Pembuatan konsentrasi larutan
formaldehid standar yaitu sebagai berikut: 1 ppm = 0.1 ml larutan
formaldehid 50 ppm +5 gr destilat sampel yang akan diuji, 2 ppm = 0.1 ml
larutan formaldehid 100 ppm+5 gr destilat sampel yang akan diuji, 3 ppm =
0.1 ml larutan formaldehid 150 ppm+5 gr destilat sampel yang akan diuji, 4
ppm = 0.1 ml larutan formaldehid 200 ppm+5 gr destilat sampel yang akan
diuji, dan 5 ppm = 0.1 ml larutan formaldehid 250 ppm+5 gr d destilat
sampel yang akan diuji. Masing-masing konsentrasi formaldehid standar
dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi 1 ml H2O dan 2
ml Nashmenits reagent. Sampel disiapkan dengan cara memipet 1 ml
destilat sampel ke dalam tabung reaksi berisi 1 ml H2O dan 2 ml
Nashmenits reagent. Blanko dibuat dengan cara mengganti destilat sampel
dengan akuades sejumlah volume yang sama. Seluruh tabung dipanaskan
19
dalam penangas air 38ºC untuk menimbulkan warna kuning. Larutan diukur
absorbansinya pada 415 nm. Konsentrasi formaldehid dalam sampel
ditentukan dengan menggunakan kurva standar.
Persamaan kurva standar : Y = aX + b
Keterangan : X = konsentrasi formaldehid standar (mg/l)
Y = absorbansi formaldehid standar
2. Uji Mikrobiologi Produk Hewani (Fardiaz, 1992)
Sampel yang digunakan adalah sampel bakso yang memenuhi
kriteria sebagai berikut (1) memiliki kadar residu formalin sebesar ≤ 0.05
ppm, (2) memiliki umur simpan › 4 hari atau bakso yang paling awet, dan
(3) memiliki kualitas yang baik yaitu bakso masih terlihat segar.
Sebanyak 10 gram sampel yang ditimbang secara aseptik
dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril. Kemudian ditambahkan 90
ml larutan pengencer dan stomacher selama 1 menit.
Sampel yang telah di stomacher kemudian dilakukan pengenceran
hingga 10-4 dan dilakukan inokulasi simplo 10-4 dan 10-5.
Penambahan media PCA cair untuk menguji total mikroba dan
biarkan media membeku. Setelah membeku, inkubasikan pada suhu 30ºC
selama 2 hari dengan posisi terbalik.
Hitung koloni total dengan metode Harrigan seperti dibawah ini:
Keterangan :
Batas koloni yang dihitung = 25-250 cfu
N = Total koloni per ml atau gr sampel
C = Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan
Kadar formaldehid sampel= X x Volume destilat (ml) Bobot sampel (g)
N = C [(1 * n1) + (0.1 * n2)] * (d)
20
3. Uji Sensori Bakso
Sampel bakso diamati secara visual dan dilakukan penilaian setiap
hari selama 7 hari. Parameter-parameter yang menunjukkan mutu bakso
yang buruk adalah (1) adanya lendir, (2) teksturnya rapuh, (3) adanya
jamur, dan (4) berbau asam dan tengik. Penilaian kriteria mutu sensoris
bakso mengacu pada tabel 6 yang merupakan hasil dari pengamatan
peneliti.
Tabel 6. Penilaian Mutu Sensoris Bakso
Nilai
Parameter
Penampakan Warna Bau Rasa Tekstur
2
Bulat halus dan
tidak ada lendir
Abu-abu
cerah
Khas daging
segar rebus
(+++++)
Enak dan rasa
daging dominan
Kompak,
elastis, dan
kenyal
1
Mulai berlendir
(+)
Abu-abu
kusam
Khas daging
segar rebus
(+++)
Enak tapi mulai
sedikit hambar
Mulai
lengket dan
basah (+)
0
berlendir
(++)
Abu-abu
kecoklatan
(+)
Bau asam
dan basi
Sudah tidak
enak dan basi
Lengket
(++) tapi
tidak rapuh
Keterangan : +++++ sangat banyak
++++ lebih banyak
+++ cukup
++ lebih sedikit
+ sangat sedikit
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak
(perishable). Daging diolah menjadi produk-produk olahan daging dengan tujuan
memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai tambahnya. Produk olahan
daging yang sangat dikenal oleh masyarakat adalah bakso. Bakso merupakan
produk pangan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging
ternak, dengan kadar daging tidak kurang dari 50%. Menurut Widyaningsih
(2006), faktor internal bakso yaitu kandungan protein yang tinggi, pH mendekati
netral, Kadar air sekitar 80%, dan aw sebesar 0.95 menyebabkan masa simpannya
sangat singkat yaitu umumnya hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari.
Dalam upaya memperpanjang umur simpan bakso, pihak industri kerap
kali menambahkan formalin saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso
sebanyak tiga sendok makan kedalam 50 liter air untuk 50 kg bakso atau sekitar
250 ppm. Namun menurut Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc. (2004),
batas konsentrasi formaldehid yang tidak berpengaruh terhadap kesehatan
manusia hanyalah sebesar ≤ 0.05 ppm. Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan perlakuan deformalinisasi dengan cara merendam bakso yang
mengandung formalin dalam air panas yang diikuti proses perebusan selama 10
menit atau penggorengan dan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif kadar residu
formaldehid pada bakso dan analisis total mikroba sehingga bakso tersebut dapat
dikatakan aman untuk dikonsumsi, serta dilakukan uji keawetan secara visual
(warna, bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (4 hari)
pada suhu ruang.
A. Hasil Uji Keawetan Bakso secara Visual
Uji keawetan bakso secara visual merupakan uji kuantitatif mutu
sensoris dari bakso yang dilakukan dengan mengacu pada tabel 6 nilai mutu
sensoris bakso yang dibuat dengan cara mengamati dan mencatat perubahan
atribut penampakan, warna, rasa, bau, dan tekstur selama batas waktu yang
ditentukan. Pada tiap industri bakso bisa saja memiliki tabel nilai mutu sensoris
yang berbeda baik skala maupun penilaian terhadap atribut-atribut yang
diamati tergantung kebijakan QA/QC pada industri tersebut. Uji keawetan
22
bakso secara visual ini sangat erat hubungannya dengan kelayakan bakso
secara organoleptik untuk dikonsumsi.
Pada penelitian ini, peneliti mengamati sampel bakso segar tanpa
formalin yang kemudian dikonversikan menjadi nilai-nilai mutu sensoris yang
dijadikan acuan dalam penilaian uji keawetan sampel bakso secara visual.
Nilai-nilai mutu sensoris yang dijadikan acuan peneliti dapat dilihat pada tabel
6. Hasil pengamatan uji keawetan sampel bakso pada beberapa variasi kadar
formalin yang ditambahkan dapat dilihat pada gambar 1.
1
2
3
5
6
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0.05 50 150 250
Dosis Penambahan Formalin pada air rebusan (ppm)
Um
ur s
impa
n (h
ari)
Gambar 1. Kurva hasil uji keawetan secara sensoris pada sampel bakso
dengan beberapa variasi konsentrasi formalin.
Selama penyimpanan, mutu sensoris bakso yang dapat dikatakan baik
adalah bakso yang memiliki penampakan bulat halus tanpa lendir, warna abu-
abu cerah, bau khas daging rebus, rasa daging dominan dan enak, serta tekstur
yang kompak, elastis dan kenyal. Sedangkan mutu bakso yang buruk adalah (1)
adanya lendir, (2) teksturnya rapuh, (3) adanya jamur, dan (4) berbau asam dan
tengik.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, sampel bakso kontrol memiliki
umur simpan hanya 1 hari, sampel bakso dengan formalin 0.05 ppm memiliki
umur simpan 2 hari, sampel bakso dengan formalin 50 ppm memiliki umur
simpan 3 hari, sampel bakso dengan formalin 150 ppm memiliki umur simpan
5 hari, dan sampel bakso dengan formalin 250 ppm memiliki umur simpan 6
hari.
23
Konsentrasi formaldehid yang ditambahkan dalam air perebusan akhir
dalam pembuatan bakso sangat mempengaruhi besarnya kadar formaldehid
yang terserap kedalam bakso dan umur simpan bakso tersebut pada suhu ruang.
Semakin besar kadar formaldehid yang terserap maka umur simpan bakso
tersebut pada suhu ruang akan semakin lama. Hal ini erat kaitannya dengan
fungsi formaldehid sebagai antimikroba. Formaldehid dapat merusak bakteri.
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah formaldehid berkombinasi
dengan asam amino bebas dari protein pada protoplasma sel, merusak nukleus,
dan mengkoagulasi protein sehingga mikroba tidak dapat berkembangbiak
(Fazier dan Westhoff, 1988).
Perlakuan penambahan formalin juga mempengaruhi tingkat kekenyalan
bakso tersebut, dimana perlakuan penambahan formalin membuat tekstur
bakso menjadi lebih kenyal. Mekanismenya adalah jika formaldehid bereaksi
dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang
berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut
(Barnen and Davidson, 1983). Bakso memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi sehingga semakin banyak formaldehid yang berikatan dengan protein
tersebut akan menyebabkan kekenyalan bakso meningkat. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Oktaviani (2005), kekenyalan mie yang diberi perlakuan
penambahan formaldehid 300 ppm meningkat, hal ini disebabkan formaldehid
bereaksi membentuk ikatan silang dengan gugus ε-NH2 dari asam amino lisin.
Penelitian kemampuan formaldehid dalam melakukan ikatan silang pada
protein telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Biopolimer yang berasal dari
film tepung biji kapas akan memiliki daya sobek maksimum (maximum
puncture force) yang tinggi jika ditambahkan formaldehid. Formaldehid dapat
bereaksi dengan lisin dan menghasilkan ikatan silang protein yang akan
memperkuat struktur biopolimer film tepung biji kapas (Marquie et al.,1997).
Marquie et al. (1997) juga menambahkan bahwa perubahan sifat mekanis dari
film gluten gandum juga disebabkan oleh ikatan silang metilen yang terbentuk
akibat reaksi formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin. Bentuk ikatan
silang metilen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Protein ─ Lys – NH – CH2 – NH – Lys ─ Protein
24
B. Hasil Analisis Total Mikroba
Analisis mikrobiologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah Total
Plate Count (TPC) (bakteri, kapang dan khamir) dari sampel yang
ditumbuhkan pada media Plate Count Agar (PCA) dengan suhu inkubasi 30ºC
selama 2 hari.
Parameter Total Plate Count (TPC) pada produk pangan sangat penting
diperhatikan karena parameter ini erat hubungannya dengan keamanan produk
pangan tersebut untuk dikonsumsi dan tingkat kerusakan produk pangan . Oleh
karena kesadaran betapa pentingnya parameter ini, hampir semua produk
pangan memiliki regulasi batasan maksimal Total Plate Count (TPC) yang
terdapat di dalam SNI. Menurut SNI 01-3818 (1995), bakso daging sapi
memiliki batas maksimal Total Plate Count (TPC) sebesar 1.0 x 105
koloni/gram.
Pada penelitian ini, analisis total mikroba dilakukan pada sampel bakso
dengan kadar formalin yang ditambahkan sebesar 250 ppm karena konsentrasi
ini merupakan konsentrasi aktual di industri bakso dan bakso dengan
konsentrasi formalin 250 ppm memiliki umur simpan pada suhu ruang terlama
yaitu 6 hari. Hasil analisis total mikroba dapat dilihat pada gambar 2.
2.40E+04
2.70E+05
1.70E+06
1.40E+07
1.00E+00
1.00E+01
1.00E+02
1.00E+03
1.00E+04
1.00E+05
1.00E+06
1.00E+07
1.00E+08
kontrol (Ho) sampel (Ho) sampel (H4) sampel (H6)
Tota
l Mik
roba
(kol
oni/g
ram
)
Gambar 2. Hasil analisis Total Plate Count pada sampel bakso dengan
konsentrasi formaldehid 250 ppm
Hasil pengamatan parameter Total Plate Count (TPC) pada sampel
bakso dengan perlakuan penambahan konsentrasi formalin 250 ppm
25
menunjukkan hasil sebagai berikut: untuk kontrol pada hari ke-0 memiliki nilai
TPC sebesar 2.7 x 105 koloni/gram, sampel pada hari ke-0 memiliki nilai TPC
sebesar 2.4 x 104 koloni/gram, sampel pada hari ke-4 memiliki nilai TPC
sebesar 1.7 x 106 koloni/gram, dan sampel pada hari ke-6 memiliki nilai TPC
sebesar 1.4 x 107 koloni/gram.
Nilai TPC pada kontrol dan sampel hari ke-0 menunjukkan nilai total
mikroba awal pada produk bakso tersebut. Nilai total mikroba awal dari suatu
produk pangan sangat mempengaruhi umur simpan dari produk tersebut. Nilai
total mikroba awal dari produk bakso menjadi hal penting yang harus diamati
karena bakso memiliki sifat keasaman rendah, pH yang tinggi, Aw > 0,85 dan
kadar air yang tinggi sehingga bakteri mudah berkembang.
Pengamatan pada kontrol hari ke-1 permukaannya sudah mulai
berlendir, mulai terdeteksi bau kurang enak dan teksturnya sedikit lengket.
Sedangkan pada sampel dengan penambahan formalin hari ke-6 permukaannya
mulai berlendir dan sampel hari ke-7 sudah ditumbuhi kapang. Menurut Frazier
dan Westhoff (1988), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir
adalah 3.0 x 106 sampai 3.0 x 108 koloni/gram sampel dan jumlah populasi
mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2 x 106 sampai 108.
Keterangan :
a =Kerusakan mikrobial umumnya belum terdeteksi, kecuali pada susu segar yang kemungkinan asam pada kisaran 105-106.
b = Beberapa produk pangan telah menunjukkan tanda-tanda awal kerusakan. c = Timbul off-odor pada daging yang disimpan dalam kondisi aerobik, serta sayur-sayuran. d = Hampir semua produk menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang nyata. Pembentukkan
lendir banyak terjadi pada daging yang disimpan pada kondisi aerob. e = Pada tahap ini terjadi perubahan struktur produk.
Gambar 3. Jumlah kandungan mikroba produk pangan sebagai indikator
kebusukan (Jay, 1996)
26
Dari fenomena diatas, dapat dijelaskan bahwa formaldehid lebih bersifat
bakteriostatik daripada bakterisidal karena kemampuannya untuk
memperlambat laju pertumbuhan mikroba dan reaksi dari formaldehid tersebut
berjalan lambat.
Pada umumnya mikroba pembentuk lendir termasuk genus
Pseudomonas, Achomobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus,
Micrococcus dan beberapa species Lactobacillus (Frazier dan Westhoff, 1988).
Formaldehid memiliki daya antimikroba yang cukup luas, yaitu terhadap
Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas
aerogenosa, pseudomonas florescens, Candida albicans, Aspergillus niger,
atau Penicillium notatum (Cahyadi, 2006).
Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari
kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan
asam amino bebas dalam protein menjadi turunan hidroksimetil. Kemampuan
dari formaldehid meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006).
Mekanisme formalin sebagai pengawet juga dijelaskan oleh Fazier dan
Westhoff (1988), jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga
membentuk rangkaian-rangkaian antar protein yang berdekatan. Akibat dari
reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut. Formaldehid
berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada protoplasma sel,
merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein.
Formaldehid dapat merusak bakteri. Pada reaksi formaldehid dengan
protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amina pada posisi dari lisin di
antara gugus-gugus polar dari peptidanya. Formaldehid selain menyerang
gugus ε-NH2 dari lisin juga menyerang residu tirosin dan histidin (Barnen and
Davidson, 1983). Reaksi antara formaldehid dengan beberapa asam amino lisin
dapat diilustrasikan pada reaksi berikut:
2(Prot-C4H8-NH3) + HCOH Prot-C4H8-NH-CH-NH-C4H8-Prot + H2O (Lisin) (Formaldehid) (rangkaian protein) (air)
Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif melawan bakteri
vegetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri.
Formaldehid bereaksi dengan protein, dan hal tersebut mengurangi aktivitas
27
mikroorganisme. Larutan formaldehid 0.5% dalam waktu 6-12 jam dapat
membunuh bakteri dan dalam waktu 2-4 hari dapat membunuh spora.
Sedangkan larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18
jam (Barnen and Davidson, 1983).
C. Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Residu Formaldehid
Analisis kuantitatif kadar residu formaldehid dilakukan dengan tujuan
mengetahui kadar formaldehid yang terkandung pada sampel bakso setelah
mengalami deformalinisasi dan proses pengolahan tambahan seperti perebusan
selama 10 menit atau penggorengan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis kuantitatif formaldehid ini
adalah pembuatan kurva standar formaldehid yang bersifat spesifik, karena
dalam penentuan konsentrasi standarnya melibatkan destilat dari sampel yang
akan di analisis, contohnya untuk larutan dengan konsentrasi 1 ppm pada
kurva standar merupakan hasil campuran dari 0,1 ml larutan formaldehid
standar 50 ppm + 5 gram destilat sampel yang akan di analisis. Langkah-
langkah pembuatan kurva standar dan contoh kurva standar yang diperoleh
dapat dilihat pada lampiran 4.
Pada penelitian ini, sampel yang dianalisis hanyalah sampel bakso
dengan konsentrasi formaldehid 150 ppm dan 250 ppm karena hanya sampel
dengan konsentrasi tersebut saja yang memiliki umur simpan ≥ 4 hari pada
suhu ruang yaitu sampel bakso dengan konsentrasi formaldehid 150 ppm
memiliki umur simpan 5 hari dan sampel bakso dengan konsentrasi
formaldehid 250 ppm memiliki umur simpan 6 hari pada suhu ruang.
Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan penambahan
formaldehid 150 ppm pada air rebusan menunjukkan persamaan grafik linier
sebagai berikut Y = 0.0159X + 0.0223 dengan R = 0.97, dimana Y =
absorbansi formaldehid standar, X = konsentrasi formaldehid standar (mg/l).
Persamaan garis tersebut digunakan untuk mengkonversi absorbansi sampel
yang dianalisis sehingga diperoleh hasil sebagai berikut : pada sampel sebelum
dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 45.42 mg/kg bb,
sampel A1B1C1 sebesar 39.58 mg/kg bb, sampel A1B2C1 sebesar 34.00 mg/kg
28
bb, sampel A1B3C1 sebesar 24.53 mg/kg bb, sampel A1B4C1 sebesar 13.55
mg/kg bb, sampel A1B1C2 sebesar 43.88 mg/kg bb, sampel A1B2C2 sebesar
41.07 mg/kg bb, sampel A1B3C2 sebesar 37.89 mg/kg bb, dan sampel A1B4C2
sebesar 33.76 mg/kg bb. Kurva hubungan antara perlakuan-perlakuan diatas
dengan residu formaldehid dapat dilihat pada gambar 4.
13.55
43.8737.89
24.53
34.0039.58
33.7541.07
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.0050.00
0 15 30 60
Waktu Perendaman (menit)
Resi
du F
orm
alde
hid
(ppm
)
Perebusan Penggorengan
Gambar 4. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan perebusan dan
penggorengan dengan konsentrasi formaldehid pada bakso 150
ppm
Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan konsentrasi
formaldehid 250 ppm menunjukkan persamaan grafik linier sebagai berikut
Y = 0.0141X + 0.0463 dengan R = 0.99%, dimana Y = absorbansi
formaldehid standar, X = konsentrasi formaldehid standar (mg/l). Persamaan
garis tersebut digunakan untuk mengkonversi absorbansi sampel yang
dianalisis sehingga diperoleh hasil sebagai berikut : pada sampel sebelum
dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 63.23 mg/kg bb,
sampel A2B1C1 sebesar 58.12 mg/kg bb, sampel A2B2C1 sebesar 45.23 mg/kg
bb, sampel A2B3C1 sebesar 32.68 mg/kg bb, sampel A2B4C1 sebesar 18.12
mg/kg bb, sampel A2B1C2 sebesar 61.2485 mg/kg bb, sampel A2B2C2 sebesar
59.70 mg/kg bb, sampel A2B3C2 sebesar 54.16 mg/kg bb, dan sampel A2B4C2
sebesar 51.12 mg/kg bb. Kurva hubungan antara perlakuan-perlakuan diatas
dengan residu formaldehid dapat dilihat pada gambar 5.
29
58.06
18.07
61.26 60.03
51.10
45.23
32.65
54.17
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
0 15 30 60
Waktu Perendaman (menit)
Resi
du F
orm
alde
hid
(ppm
)
Perebusan Penggorengan
Gambar 5. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan perebusan dan
penggorengan dengan konsentrasi formaldehid pada bakso 250
ppm
Hasil survei Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diwilayah
Bandung menunjukkan bahwa beberapa produk pangan seperti mie basah, ikan
segar dan ikan asin yang beredar di beberapa pasar tradisional dan pasar induk
positif mengandung formalin. Kadar formalin yang terdapat pada ikan asin
cumi-cumi berkisar 3.87-1907.44 ppm, ikan asin sepat sebesar 0.33 ppm, ikan
asin jambal berkisar 0.37-4.8 ppm, ikan basah berkisar 0.0010-0.9262 ppm,
dan mie basah berkisar antara 10.39-117.51 ppm.
Penelitian deformalinisasi produk pangan yang telah diawetkan dengan
formalin telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Menurut Sukesi (2006),
proses deformalinisasi ikan asin dapat dilakukan dengan cara merendam ikan
asin tersebut dalam 3 macam larutan yaitu air panas, air leri, dan air garam.
Perendaman ikan asin dalam air panas selama 60 menit mampu menurunkan
kadar formalin sampai 61.25%, dengan air leri (air cucian beras) mencapai
66.03%, dan dengan air garam mencapai 89.53%.
Teknik deformalinisasi pada bakso memiliki trendline yang sama pada
kondisi konsentrasi yang berbeda. Trendline penurunan residu formaldehid
pada bakso dengan interval waktu perlakuan deformalinisasi selama 60 menit
dapat dilihat pada gambar 6 dan 7. Pada perlakuan deformalinisasi sampel
bakso dengan perlakuan penambahan formalin 150 ppm didapat bahwa residu
30
formaldehid dari perlakuan A1 sebesar 87.14%, residu formaldehid dari
perlakuan A2 sebesar 74.86%, residu formaldehid dari perlakuan A3 sebesar
54.00%, residu formaldehid dari perlakuan A4 sebesar 29.82%, residu
formaldehid dari perlakuan B1 sebesar 96.60%, residu formaldehid dari
perlakuan B2 sebesar 90.43%, residu formaldehid dari perlakuan B3 sebesar
83.42%, dan residu formaldehid dari perlakuan B4 sebesar 74.33%. Pada
perlakuan deformalinisasi sampel bakso dengan perlakuan penambahan
formalin 250 ppm didapat bahwa residu formaldehid dari perlakuan A1 sebesar
91.91%, residu formaldehid dari perlakuan A2 sebesar 71.52%, residu
formaldehid dari perlakuan A3 sebesar 51.68%, residu formaldehid dari
perlakuan A4 sebesar 28.65%, residu formaldehid dari perlakuan B1 sebesar
96.86%, residu formaldehid dari perlakuan B2 sebesar 94.41%, residu
formaldehid dari perlakuan B3 sebesar 85.66%, dan residu formaldehid dari
perlakuan B4 sebesar 80.85%.
54.00
87.14
29.82
74.86
96.6090.43
83.4274.33
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
0 15 30 45 60
Waktu Perendaman (menit)
Res
idu
Form
alde
hid
(%)
Perebusan Penggorengan
Gambar 6. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan perlakuan
deformalinisasi pada bakso 150 ppm
31
28.65
51.68
71.52
91.91 85.6680.85
94.4196.86
0
20
40
60
80
100
0 15 30 45 60
Waktu Perendaman (menit)
Res
idu
Form
alde
hid
(%)
Perebusan Penggorengan
Gambar 7. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan perlakuan
deformalinisasi pada bakso 250 ppm
Data-data residu formaldehid pada bakso setelah dideformalinisasi,
kemudian dijadikan input untuk uji ANOVA dengan menggunakan Software
SPSS 11.5. Tabel output dari SPSS dapat dilihat pada lampiran 12.
Dari kedua tabel output ANOVA, didapatkan nilai sig. SAMPEL sebesar
0.000 ‹ α uji 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlakuan
deformalinisasi yang telah dilakukan pada bakso berbeda nyata pada taraf uji α
0.05. Perbedaan yang nyata tiap perlakuan itu disebabkan oleh konsentrasi
awal formaldehid yang berdifusi ke dalam bakso, lamanya perendaman bakso
berformalin dalam air panas, besarnya suhu dari air panas yang digunakan
untuk deformalinisasi dimana kecepatan formaldehid membentuk ikatan
hidrogen dengan air akan meningkat pada suhu tinggi, dan perlakuan
tambahan seperti perebusan 10 menit dan penggorengan dimana formaldehid
yang bersifat polar akan larut dengan baik pada air karena air bersifat polar
dan tidak larut pada minyak karena minyak bersifat non polar.
Dari hasil yang diperoleh, perlakuan perendaman bakso dalam air panas
selama 60 menit dan dilanjutkan perebusan selama 10 menit (A4) merupakan
perlakuan deformalinisasi yang paling efektif. Hal ini dapat dibuktikan dengan
hilangnya ± 70.76% kandungan formaldehid pada bakso. Walaupun demikian,
kadar residu formaldehid pada bakso masih melebihi batas safety yaitu 0.05
ppm.
32
Mekanisme berkurangnya sebagian besar kandungan formaldehid pada
bakso dapat dijelaskan sebagai berikut: formaldehid bersifat polar dan dapat
larut dengan baik dalam air. Sifatnya yang mudah larut dalam air dikarenakan
adanya elektron bebas pada oksigen sehingga dapat mengadakan ikatan
hidrogen molekul air. Pernyataan ini diperkuat dengan bukti pada perlakuan
perendaman bakso dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan
penggorengan (B4) hanya dapat mengurangi kandungan formaldehid sebesar
± 22.41%, pengurangan formaldehid ini hanya terjadi saat perendaman dalam
air panas selama 60 menit, sedangkan saat penggorengan kecil kemungkinan
formaldehid dapat terlepas dari bakso karena minyak bersifat non polar.
Walaupun formaldehid dapat larut dengan baik dalam air, kadar residu
formaldehid pada bakso tidak dapat mencapai angka 0%. Hal ini dikarenakan
kemampuan formaldehid untuk bereaksi dengan protein pada bakso dan
membentuk ikatan silang.
Pengikatan formaldehid pada gugus ε-NH2 dari lisin berjalan lambat dan
merupakan reaksi yang searah, sedangkan ikatannya dengan gugus amino
bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak-balik. Ikatan formaldehid
dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak dapat dihilangkan dengan dianalisis
sehingga ikatan ini turut menyokong kestabilan struktur molekul (Acheson,
1984). Reaksi tidak reversibel antara formaldehid dan protein pada suhu ruang
dan pH yang netral berlangsung sangat lambat. Mekanisme reaksi formaldehid
dapat berupa pembentukan ikatan silang kovalen. Namun, formaldehid mampu
mendenaturasi protein miofibrillar tanpa pembentukan ikatan silang kovalen
(Sotelo et al., 1995).
Residu formaldehid yang masih ada pada bakso menunjukkan bahwa
masih ada formaldehid yang masuk ke dalam tubuh kita jika kita
mengkonsumsi bakso yang telah dideformalinisasi (direbus/digoreng), tapi
formaldehid yang dikonsumsi tersebut adalah formaldehid yang telah berikatan
dengan protein pada bakso. Oleh karena tidak bisa dihindari, maka beberapa
organisasi menetapkan batas konsentrasi formalin yang bisa ditoleransi.
Misalnya, American Conference of Governmental Industrial Hygienists
(ACGIH) menetapkan batas paparan maksimum untuk jangka panjang 1 ppm
33
dan jangka pendek 2 ppm sedangkan Manitoba Federation of Labour (MFL)
Inc., menetapkan batas paparan yang tidak berpengaruh buruk bagi kesehatan
manusia sebesar 0.05 ppm.
Saat formalin dipakai mengawetkan makanan, gugus aldehid spontan
bereaksi dengan protein-protein dalam makanan. Jika semua formaldehid habis
bereaksi, sifat racun formalin hilang. Protein makanan yang telah bereaksi
dengan formalin tidak beracun dan tidak perlu ditakuti. Namun, nilai gizi
makanan itu menjadi rendah, karena proteinnya berubah. Protein-protein dalam
tahu berformalin, misalnya, menjadi sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan (tripsin) (Judarwanto, 2006).
Menurut Judarwanti (2006), minum susu murni secara teratur dapat
menawarkan racun dari bahan kimia termasuk formalin.
Menurut Owen et al (1990), Hati manusia mampu mengubah 22 mg
formaldehid menjadi CO2/menit, penyerapan formaldehid melalui darah tidak
menyebabkan akumulasi formaldehid di dalam tubuh karena proses konversi
menjadi asam format cepat terjadi. Namun kandungan asam format yang tinggi
dapat meningkatkan keasaman darah.
Sedangkan menurut Cahyadi (2006), jika formaldehid terakumulasi
dalam jumlah besar didalam tubuh, akan bereaksi secara kimia dengan hampir
semua zat di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan
kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh dan bahkan bisa
menyebabkan kanker.
Khusus mengenai sifatnya yang karsinogenik, formalin termasuk ke
dalam karsinogenik golongan IIA. ”Golongan I adalah yang sudah pasti
menyebabkan kanker, berdasarkan uji lengkap. Sedangkan golongan IIA baru
taraf diduga, karena data hasil uji pada manusia masih kurang lengkap”. Dalam
jumlah sedikit, formalin akan larut dalam air, serta akan dibuang ke luar
bersama cairan tubuh. ” Itu sebabnya formalin sulit dideteksi keberadaannya di
dalam darah” (Judarwanto, 2006).
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil uji keawetan menunjukan data sebagai berikut: sampel bakso
kontrol memiliki umur simpan hanya 1 hari, sampel bakso yang direbus
dengan formalin 0.05 ppm memiliki umur simpan 2 hari, yang direbus dengan
formalin 50 ppm memiliki umur simpan 3 hari, yang direbus dengan formalin
150 ppm memiliki umur simpan 5 hari, dan yang direbus dengan formalin 250
ppm memiliki umur simpan 6 hari.
Hasil pengamatan parameter Total Plate Count (TPC) pada sampel
bakso kontrol tanpa formalin pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.7 x
105 koloni/gram, sedangkan bakso dengan perlakuan penambahan formalin
dengan konsentrasi 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut: sampel
bakso H0 memiliki nilai TPC sebesar 2.4 x 104 koloni/gram, sampel bakso H4
memiliki nilai TPC sebesar 1.7 x 106 koloni/gram, dan sampel bakso H6
memiliki nilai TPC sebesar 1.4 x 107 koloni/gram.
Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan konsentrasi
formaldehid 150 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut : pada sampel
sebelum dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 45.42
mg/kg bb, sampel bakso mengalami perendaman dalam air panas selama 60
menit dan dilanjutkan perebusan 10 menit memiliki kadar residu formaldehid
sebesar 13.55 mg/kg bb, dan sampel bakso mengalami perendaman dalam air
panas selama 60 menit dan dilanjutkan penggorengan memiliki kadar residu
formaldehid sebesar 33.76 mg/kg bb. Hasil analisis kuantitatif formaldehid
untuk sampel dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm menunjukkan hasil
sebagai berikut : pada sampel sebelum dideformalinisasi memiliki konsentrasi
formaldehid sebesar 63.23 mg/kg bb sampel bakso mengalami perendaman
dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan perebusan 10 menit memiliki
kadar residu formaldehid sebesar 18.12 mg/kg bb, dan sampel bakso
mengalami perendaman dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan
penggorengan memiliki kadar residu formaldehid sebesar 51.12 mg/kg bb.
Dari hasil yang diperoleh, perlakuan perendaman bakso dalam air
panas selama 60 menit dan dilanjutkan perebusan selama 10 menit merupakan
perlakuan deformalinisasi yang lebih efektif dibandingkan perlakuan
35
perendaman bakso dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan
penggorengan. Hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan kandungan
formaldehid pada bakso yang direbus sebanyak ± 70.76%, sedangkan
penurunan kandungan formaldehid pada bakso yang digoreng hanya ±
22.41%.
Bakso dengan umur simpan ≥ 4 hari pada penyimpanan suhu ruang
dapat diperoleh dengan cara menambahkan formalin 36.5% pada air rebusan
bakso sebanyak 150 dan 250 ppm. Bakso dengan umur simpan 4-5 hari
memang memiliki nilai TPC lebih besar dari batas maksimum SNI yaitu 1.0 x
105 koloni/gram. Namun, tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan mutu
sensoris bakso. Bakso berformalin tersebut mulai berlendir pada hari ke-6
dengan nilai TPC 1.4 x 107 koloni/gram. Upaya deformalinisasi bakso dengan
cara merendam bakso dalam air panas dapat dikatakan efektif, namun upaya
tersebut tidak dapat mencapai standar residu formaldehid menurut MFL inc.
yaitu ≤ 0.05 ppm pada bakso. Hal ini dikarenakan kemampuan formaldehid
membentuk ikatan silang dengan protein pada bakso.
B. Saran
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik penelitian ini perlu didukung
dengan :
1. Uji in vivo untuk mengetahui apakah residu formaldehid pada bakso yang
telah dideformalinisasi dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap
kesehatan manusia.
2. Teknik deformalinisasi yang lain yaitu dengan cara perendaman pada
larutan garam dan Lysin.
3. Selain dengan teknik perendaman, perlu dicoba juga dengan teknik
penyiraman menggunakan air panas.
36
DAFTAR PUSTAKA
Acheson, E.D., M.J. Gardner, B. Pannett, H.R. Barnes, C. Osmond and C.P. Taylor. 1984. Formaldehyde in the British Chemical Industry. The Lancet. p. 611-615.
Andayani, R. Y. 1999. Standarisasi Mutu Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan
Konsumen (Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anonim. 2006. Formalin Terus Digunakan Karena Pasar Mendukung.
http://www.kompas.com. [14 Maret 2006] AOAC. 1995. Official Methods of Analysis on The Association of Official
Agricultural Chemist. Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC.
Bardana E. J., Jr. and A. Montaro. 1991. Formaldehyde: an analysis of its
respiratory, cotaneous, and immunological effect. Branen, A. L. and P. M. Davidson. 1983. Antimicrobials in food. Marcel Dekkers,
Inc., New York. Cahyadi, W. 2006. Kajian dan Analilis Bahan Tambahan Pangan. Edisi Pertama.
Bumi Aksara, Jakarta. Elveira, G. 1988. Pengaruh Pelayuan Daging Sapi Terhadap Mutu Bakso. Skripsi
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. IPB Press, Bogor. Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water. 1997.
Formaldehyde. Guidelines for Canadian Drinking Water Quality, Canada. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th Edition. Mc
Graw Hill, Inc., USA. Hart H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Heck, Casanova S., P. B. Dodd, E. N. Schachter, T. J. Witek and T. Tosun. 1985.
Formaldehyde concentration in the blood of human and fischer-344 rats exposed to CH2O under controlled conditions. J. Am. Ind. Hyg. Assoc. 46: 1-3.
Hultin, R.O. 1976. Characteristic of Muscle Tissue. Di dalam : O. R. Fennema
(ed.). 1976. Food Chemistry. Marcel and Dekker Inc., New York.
37
Ima. 2006. BPOM: Ikan Paling Banyak Pakai Formalin. http://www.kompas.com. [14 Maret 2006]
International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials
Chemicals and Drystuffs. IARC Monograph. International Agency for Research on Cancer (IARC). 1995. Formaldehyde. In:
Wood Dust and Formaldehyde. IARC Monograps on the Evaluations of the Carcinogenic Risk of Chemicals to Humans, Vol. 62.
Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. Chapman and Hall, New York. Judarwanto, W. 2006. Pengaruh Formalin Bagi Sistem Tubuh..
http://www.suarapembaruan.com/ News/2006/01/14 index.html. [20 Desember 2006]
Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1977. Processed Meat. AVI
Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. Marquie, C., A. M. Tessier, C. Aymard, and S. Guilbert. 1997. HPLC
Determination of The Reactive Lysine Content of Rotton Seed Protein Films to Monitor The Extent of Cross-Linking by Formaldehyde, Glutaraldehyde, and Glyoxal. J. Agric. Food Chem. 45: 922-926.
MFL Occupational Healthcare Inc. 2004. Formaldehyde.
http://www.mflohc.mb.ca. [14 Maret 2006] Michigan Department of Labour and Economic Growth. 2004. The Toxicology of
Formaldehyde. http://www.michigan.gov/cis. [14 Maret 2006] Oktaviani. 2005. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Mentah
yang Mengandung Formaldehid dan Borax. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Owen, B. A., C. S. Dudney, E. L. Tan, and C. E. Easterly. 1990. Formaldehyde In
Drinking Water. Regul. Toxicol. Pharmacol. 11: 220-236. SNI 01-3818. 1995. Bakso Daging Sapi. Dewan Standarisasi Nasional. Sotelo, C. G., C. Pineiro, and R.I.P. Martin. 1995. Denaturation of Fish Proteins
during Frozen Storage: Role of Formaldehyde. Z. Lebensm Unters und Forsch. 200: 14-23.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh
Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan Mutu. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
38
Sukesi. 2006. Upaya Deformalinisasi Dalam Makanan yang Telah Diawetkan dengan Formalin. http://www.ITS-Online.com. [14 Maret 2006]
Trezl, L., A. Csiba, S. Juhasz, M. Szentyorgyi, G. Lombai, and L. Hullan. 1997.
Endogenous formladehyde level of foods and its biological significance. Z. Lebensm Unters Forsch 205: 300-304.
United States Environmental Protection Agency (US EPA). 1985. Guidance for
The Registration of Pesticide Products Containing Boric Acid and Boron Containing Salts as The Active Ingredient. Office of Pesticide Programs, Washington DC.
World Health Organization (WHO). 1989. Formaldehyde. Environmental Health
Criteria, Genewa. World Health Organization (WHO). 2002. Formaldehyde. Concise International
Chemical Assessment Document 40. Geneva. Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Penebar Swadaya,
Jakarta. Widyaningsih, T. D. dan E. S. Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya. Wilson, N. R. P., E. J. Dyett, R. B. Hughes, dan C. R. V. Jones. 1981. Meat and
Meat Products. Applied Science Publishing, London. Winarno, F. G. dan T. S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan
Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
39
Lampiran 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso
Standarisasi
Daging Sapi
Penggilingan I
Pencampuran dan Penggilingan II
Pembentukan bulatan bakso
Perebusan 100ºC, 15 menit (hingga bakso naik ke
permukaan)
Penirisan dan Pendinginan pada suhu ruang
Es Batu Garam
Tepung Tapioka atau Sagu aren
STPP dan Bumbu yang dihaluskan
Adonan bakso
Bakso
40
Lampiran 2. Metabolisme formaldehid dalam tubuh manusia (IARC, 1995)
Formaldehid
Glutation Reaksi langsung dengan
molekul biologis
Hidroksimetilglutation
NAD+ Formaldehid H2O2 dehidrogenase
katalase peroksimal NADH + H+
H2O S-Formilglutaion
Glutation S-Formilglutation hidrolase
Format
Siklus satu karbon Urin sebagai garam sodium CO2 + H2O Sintesis purin
41
Lampiran 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan (Trezl et al., 1997)
Sampel Formaldehid (ppm)Produk nabati: Apel summer Wortel Semangka Aprikot Plum Apel winter Tomat Pisang Kentang Anggur Beetroot kecil Beetroot besar Kembang kol Produk hewani:Susu segar Potongan daging Ham ayam Ham Sosis boy-scout Sosis casino Sosis peasant
6.3 6.8 9.0 9.5 11.2 12.5 13.3 16.3 19.5 22.4 22.5 35.0 26.9
0.8 2.9 3.8 12.4 12.9 13.1 20.7
42
Lampiran 4. Metode pembuatan kurva standar formalin
Hancurkan dengan mortar
Masukan sampel pada alat destilasi
(15 menit dari mendidih)
Larutan Standar
1 ppm : 0.1 ml larutan formaldehid 50 ppm + 5 gr destilat
2 ppm : 0.1 ml larutan formaldehid 100 ppm + 5 gr destilat
3 ppm : 0.1 ml larutan formaldehid 150 ppm + 5 gr destilat
4 ppm : 0.1 ml larutan formaldehid 200 ppm + 5 gr destilat
5 ppm : 0.1 ml larutan formaldehid 250 ppm + 5 gr destilat
1-2 gram sampel + 100 ml air
Destilat 28-30 ml
43
Lampiran 5. Hasil perhitungan hurva standar formalin dengan konsentrasi larutan 150 ppm.
konsentrasi Absorbansi
0 0 1 0.043 2 0.051 3 0.067 4 0.082 5 0.107
Kurva standar 150 ppm
y = 0.0159x + 0.0223R2 = 0.9679
0.000
0.100
0.200
0.300
0 1 2 3 4 5 6ko nsent rasi st and ar ( mg / L)
Lampiran 6. Hasil perhitungan hurva standar formalin dengan konsentrasi larutan
250 ppm.
konsentrasi Absorbansi0 0 1 0.061 2 0.073 3 0.089 4 0.101 5 0.118
Kurva standar 250 ppm y = 0.0141x + 0.0463
R2 = 0.9974
0
0.05
0.1
0.15
0 1 2 3 4 5 6
konsentrasi standar (mg/L)
Abs
orba
nsi
44
Lampiran 7. Hasil analisis kuantitatif formalin pada bakso 150 ppm
Ulangan 1 (150 ppm) Keterangan Bobot Abs Formalin (mg/l) Formalin (mg/kg bb)
sampel 2.0087 0.081 3.69 47.79 R - 0' 2.0092 0.069 2.94 38.01 R - 15' 2.0132 0.066 2.75 35.50 R - 30' 1.9781 0.050 1.74 22.90 R - 60' 2.0175 0.040 1.11 14.35 G - 0' 2.0109 0.079 3.57 46.11
G - 15' 2.0260 0.076 3.38 43.34 G - 30' 1.9702 0.067 2.81 37.10 G - 60' 2.0058 0.062 2.50 32.37
Ulangan ke-2 (150 ppm)
Keterangan Bobot Abs Formalin (mg/l) Formalin (mg/kg bb) sampel 2.0017 0.075 3.31 43.05 R - 0' 2.0148 0.073 3.19 41.15 R - 15' 1.9976 0.062 2.50 32.50 R - 30' 1.9821 0.054 1.99 26.15 R - 60' 2.0145 0.038 0.99 12.74 G - 0' 1.9917 0.073 3.19 41.63 G - 15' 2.0108 0.070 3.00 38.79 G - 30' 1.9744 0.069 2.94 38.68 G - 60' 2.0334 0.066 2.75 35.14
Keterangan : total destilat selama 15 menit : 26 ml.
Contoh perhitungan :
0.369 mg x 26 ml x 1000 g x 1 = 47.79 ppm 100 ml 1 kg 2.0087 g
45
Lampiran 8. Hasil analisis kuantitatif formalin pada bakso 250 ppm.
Pengukuran ke-1 (250 ppm) Keterangan Bobot Abs Formalin (mg/l) Formalin (mg/kg bb)
sampel 2.0621 0.112 4.66 63.27 R - 0' 1.9983 0.106 4.23 59.33 R - 15' 2.0098 0.095 3.45 48.12 R - 30' 1.9705 0.081 2.46 34.97 R - 60' 1.9989 0.062 1.11 15.60 G - 0' 2.0781 0.110 4.52 60.87
G - 15' 2.0615 0.108 4.38 59.43 G - 30' 2.0442 0.103 4.02 55.08 G - 60' 1.9189 0.095 3.45 50.40
Pengukuran ke-2 (250 ppm)
Keterangan Bobot Abs Formalin (mg/l) Formalin (mg/kg bb) sampel 2.0765 0.113 4.73 63.79 R - 0' 2.0025 0.108 4.38 61.19 R - 15' 1.9998 0.096 3.52 49.35 R - 30' 1.9051 0.077 2.18 32.00 R - 60' 2.0514 0.064 1.26 17.13 G - 0' 2.0467 0.111 4.59 62.78
G - 15' 1.9907 0.107 4.30 60.55 G - 30' 2.0795 0.102 3.95 53.19 G - 60' 1.9643 0.099 3.74 53.28
Pengukuran ke-3 (250 ppm)
Keterangan Bobot Abs Formalin (mg/l) Formalin (mg/kg bb) Sampel 2.0513 0.111 4.59 62.63
R - 0' 1.9137 0.098 3.67 53.65 R - 15' 2.0102 0.085 2.74 38.23 R - 30' 1.9039 0.076 2.11 30.98 R - 60' 2.0985 0.069 1.61 21.48 G - 0' 2.0711 0.109 4.45 60.12
G - 15' 2.0054 0.107 4.30 60.11 G - 30' 2.1127 0.104 4.09 54.23 G - 60' 1.9086 0.094 3.38 49.63
Keterangan : total destilat selama 15 menit : 28 ml.
Contoh perhitungan :
0.473 mg x 28 ml x 1000 g x 1 = 63.79 ppm 100 ml 1 kg 2.0765 g
46
Lampiran 9. Hasil Perhitungan Residu Formaldehid dalam Bakso
Konsentrasi formaldehid dalam bakso (150 ppm)
Keterangan Perlakuan ke- Rata-
rata Residu (%) 1 2 sampel (150ppm) 47.79 43.05 45.42 100.00
R - 0' 38.01 41.15 39.58 87.14 R - 15' 35.50 32.50 34.00 74.86 R - 30' 22.90 26.15 24.53 54.00R - 60' 14.35 12.74 13.55 29.82 G - 0' 46.11 41.63 43.87 96.60
G - 15' 43.34 38.79 41.07 90.43 G - 30' 37.10 38.68 37.89 83.42 G - 60' 32.37 35.14 33.75 74.33
Konsentrasi formaldehid dalam bakso (250 ppm)
Keterangan Perlakuan ke-
Rata-rata Residu (%) 1 2 3 sampel (250ppm) 63.27 63.79 62.63 63.23 100.00
R - 0' 59.33 61.19 53.65 58.06 91.91 R - 15' 48.12 49.35 38.23 45.23 71.52 R - 30' 34.97 32.00 30.98 32.65 51.68 R - 60' 15.60 17.13 21.48 18.07 28.65 G - 0' 60.87 62.78 60.12 61.26 96.86
G - 15' 59.43 60.55 60.11 60.03 94.41 G - 30' 55.08 53.19 54.23 54.17 85.66 G - 60' 50.40 53.28 49.63 51.10 80.85
47
Lampiran 10. Hasil pengamatan uji mikrobiologi pada bakso 250 ppm
Sampel Ulangan
Ke-
Tingkat pengenceran Total koloni
(koloni/gram) 10-2 10-3 10-4 10-5
Kontrol
(Ho)
1 183 56 8 0 2.4 x 104
2 208 73 10 1
Sampel
(Ho)
1 192 64 6 1 2.4 x 104
2 187 78 3 1
Sampel
(H4)
1 TBUD 278 156 31 1.7 x 106
2 TBUD 263 143 54
Sampel
(H6)
1 TBUD TBUD 281 149 1.4 x 107
2 TBUD TBUD 269 125
Contoh Perhitungan :
Keterangan :
Batas koloni yang dihitung = 25-250 cfu
N = Total koloni per ml atau gr sampel
C = Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan N = 183 + 208 + 56 + 73 = 2.4 x 104 koloni/gram sampel
[(1*2) + (0.1*2)] * 10-2
N = C [(1 * n1) + (0.1 * n2)] * (d)
48
Lampiran 11. Hasil Pengamatan uji keawetan bakso pada berbagai konsentrasi
Konsentrasi
Formalin (ppm)
Hari ke-
0 1 2 3 4 5 6 7
0.00 2 1 0
0.05 2 2 1 0
50 2 2 2 1 0
150 2 2 2 2 2 1 0
250 2 2 2 2 2 2 1 0
47
Lampiran 12. Hasil Pengolahan Data dengan menggunakan software SPSS 11.5
Untuk Penambahan Formalin 150 ppm Univariate Analysis of Variance
Untuk Penambahan Formalin 250 ppm Univariate Analysis of Variance
48