Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan go public pada...
-
Upload
muhammad-ramlan -
Category
Economy & Finance
-
view
6.067 -
download
4
Transcript of Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan go public pada...
ANALISIS KESULITAN KEUANGAN
(FINANCIAL DISTRESS) PERUSAHAAN GO PUBLIC
PADA BURSA EFEK INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
MUHAMMAD RAMLAN
11.010.35.570
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Financial distress dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan
untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang dapat
menyebabkan kebangkrutan perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005:101).
Financial distress terjadi sebelum kebangkrutan. Financial distress berbeda
dengan kondisi insolvency. Perusahaan yang mengalami financial distress
berada di antara status solvent dan insolvent. Financial distress dinyatakan
bahwa perusahaan dalam kondisi cash flow yang sangat minimum sehingga
menyebabkan terjadinya “deadweight losses”, tidak berarti sudah sampai pada
tahap insolvent. Sehingga dapat dikatakan bahwa financial distress berarti
perusahaan dalam kondisi illiquid, tetapi masih solvent. Kejadian insolvency,
dapat dilihat dari nilai assets perusahaan lebih rendah dari hutangnya. Kejadian
ini memberikan konsekuensi bahwa pemberi kredit akan melakukan kontrol
langsung atas kegiatan perusahaan.
Perusahaan yang berada pada negara yang sedang mengalami kesulitan
ekonomi akan lebih cepat mengalami financial distress bahkan kebangkrutan,
karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya perusahaan
mengalami keadaan financial distress. Perusahaan yang berkategori sehatpun
akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan dana untuk kegiatan operasional
perusahaan akibat adanya krisis ekonomi tersebut. Namun demikian, keadaan
financial distress suatu perusahaan tentu saja tidak semata-mata disebabkan
oleh faktor ekonomi saja, tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain yang
sifatnya non ekonomi.
3
Darsono dan Ashari (2005:104) mendeskripsikan bahwa secara garis
besar penyebab financial distress bisa dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian
internal manajemen perusahaan. Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari
faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan atau faktor
perekonomian secara makro. Faktor internal yang bisa menyebabkan financial
distress meliputi :
1. Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus-
menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat
membayar kewajibannya. Ketidakefisien ini diakibatkan oleh
pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian
manajemen.
2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah hutang-
piutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan
biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa
menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan
merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga
tidak menghasilkan pendapatan.
3. Adanya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan.
Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Kecurangan tersebut bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun
memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau
investor.
Sedangkan faktor eksternal financial distress bisa berasal dari faktor yang
berhubungan langsung dengan perusahaan seperti pelanggan, supplier, debitur,
4
kreditur, pesaing maupun dari pemerintah atau dapat pula disebabkan oleh faktor
yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi kondisi
perekonomian secara makro ataupun faktor persaingan global. Faktor-faktor
eksternal yang bisa mengakibatkan financial distress adalah:
1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh
perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi
penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut
perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan
dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan
pelanggan.
2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi
kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk
mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin
hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan
kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko
kekurangan bahan baku dapat diatasi.
3. Faktor debitur juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitur
tidak melakukan kecurangan atas hutang-piutang. Terlalu banyak
piutang yang diberikan debitur dengan jangka waktu pengembalian
yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang
tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian
yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan
keadaan debitur supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap
aktiva perusahaan.
5
4. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditur juga bisa berakibat
fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam
undang-undang no.4 tahun 1998, kreditur bisa memfailitkan
perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus
bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan
baik dengan kreditur.
5. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar
selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan
lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya
persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk
yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi
pelanggan.
6. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi
oleh perusahaan. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan
negara-negara lain, perkembangan perekonomian global juga harus
diantisipasi oleh perusahaan.
Dari teori yang dikemukakan diatas maka faktor penyebab financial
distress baik faktor ekonomi internal maupun eksternal adalah faktor yang
mempengaruhi terjadinya suatu kebangkrutan jika pihak manajemen perusahaan
tidak sigap dalam mengatasinya dan membiarkan keadaan tersebut berlarut-
larut.
Lain halnya ketika suatu perusahaan telah mengalami financial distress.
Dalam hal ini sudah seyogianya menjadi kewajiban bagi tiap perusahaan untuk
mengatasi keadaan tersebut, agar tidak menjadi semakin parah akibat efek yang
6
ditimbulkan. Secara umum berikut beberapa akibat yang ditimbulkan dari
financial distress :
a. Resiko biaya financial distress mempunyai dampak negatif terhadap
nilai perusahaan yang mengoffset nilai pembebasan pajak (tax relief)
atas peningkatan level hutang.
b. Jika pun manajer perusahaan menghindarkan likuidasi ketika terjadi
financial distress, hubungannya dengan supplier, pelanggan, pekerja,
dan kreditur menjadi rusak parah.
c. Suplier penyedia barang dan jasa secara kredit mungkin lebih berhati-
hati, atau bahkan menghentikan pasokan sama sekali.
d. Para pelanggan akan mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama
dengan pihak lain.
Pada dasarnya berinvestasi saham di pasar modal memiliki resiko yang
cukup besar sehingga para investor sebelum berinvestasi harus mengetahui
dahulu faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga saham. Secara detail
dan terperinci banyak literatur-literatur yang membahas tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi harga saham, namun secara luas faktor-faktor tersebut ada
dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor
yang dapat dikendalikan oleh manajemen perusahaan, antara lain kinerja
perusahaan, pertumbuhan laba dan perkembangan perusahaan. Sedangkan
faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar perusahaan seperti tingkat
suku bunga bank, kebijakan pemerintah, kondisi perekonomian, gejolak politik,
indeks saham regional dan internasional, dan sebagainya.
Faktor internal yang mempengaruhi harga saham dapat dilihat melalui
kinerja suatu perusahaan yang dapat diukur melalui laporan keuangan
7
perusahaan. Laporan keuangan yang tersedia dapat dianalisis untuk membuat
suatu keputusan.
Laporan keuangan yang diterbitkan oleh suatu perusahaan merupakan
salah satu sumber informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui posisi
keuangan perusahaan, kinerja serta membantu dalam pengambilan keputusan
yang tepat sehingga diperlukan suatu alat analisis yang menghubungkan
beberapa rasio sekaligus untuk menilai kondisi keuangan perusahaan melalui
laporan keuangan perusahaan tersebut. Model yang paling sering digunakan
dalam melakukan analisis tersebut adalah dalam bentuk rasio-rasio keuangan.
Untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, maka
dilakukan penelitian mengenai manfaat laporan keuangan. Salah satu bentuk
penelitian dengan menggunakan beberapa rasio keuangan yaitu penelitian-
penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk memprediksi
kinerja perusahaan seperti memperkirakan adanya suatu keadaan financial
distress pada suatu perusahaan.
Model untuk menganalisis adanya suatu financial distress sangat perlu
untuk dikembangkan karena dengan mengetahui kondisi financial distress
perusahaan sejak dini diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat preventif yang bertujuan untuk mengantisipasi perusahaan ke arah
kebangkrutan, selain itu informasi ini dapat pula digunakan oleh para calon
investor sebagai bahan pertimbangan ketika akan menanam saham di suatu
perusahaan tertentu pada pasar modal.
Berikut dipaparkan data pasar modal Bursa Efek Indonesia baik yang
sudah terdaftar, baru terdaftar maupun perusahaan yang delisting dari tahun
2005-2011.
8
Tabel 1.1.
JUMLAH PERUSAHAAN YANG LISTING DI BEI S.D. DESEMBER 2011
s.d. Tahun Pelaporan
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Des 2011
Jumlah Listing Awal 331 336 344 383 396 398 420
Jumlah Terdaftar Baru 8 12 22 19 13 23 25
Jumlah Delisting 3 4 8 6 12 1 5
Jumlah Listing Akhir 336 344 383 396 398 420 440 *sumber idx.co.id
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan pasar modal
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, menurut data tersebut telah
tercatat selama tahun 2011 ada sekitar 440 perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Hal ini membuat jumlah investor baik berupa badan maupun
individu (perseorangan) terus bertambah, sehingga transaksi perdagangan
saham dalam bursa efek juga akan meningkat. Dengan bertambahnya investor
baik badan maupun individu akan berdampak pada meningkatnya volume
transaksi (trading volume) dari tahun ke tahun.
Semaraknya aktivitas pasar modal tidak terlepas dengan adanya pemain-
pemain pasar di bursa. Ada beberapa pemain yang meramaikan lantai bursa,
salah satunya adalah Investor. Menurut Sutrisno (2008:307-309) Investor, yakni
instansi atau individu yang melakukan jual beli instrumen pasar modal yang
tujuan pemilik efeknya untuk jangka panjang. Contohnya Yayasan dana pensiun,
perusahaan asuransi, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Berikut gambaran
investor secara umum :
Karakteristik : Mempunyai time frame jangka panjang, sehingga perputaran efek
yang dimiliki lambat dan tingkat risiko yang diambil brebdah
demikian pula tingkat keuntungannya.
9
Strategi : Membeli saham bila dinilai harganya wajar (fair value) dengan
jenis saham yang mempunyai trend meningkat, sehingga dalam
jangka panjang harga saham meningkat dan bila nantinya dijual
akan menapatkan capital gain. Analisis yang digunakan adalah
analisis fundamental, yakni melihat kinerja perusahaan yang
mengeluarkan efek.
Tujuan : Untuk mendapatkan deviden dan capital gain.
Tiap perusahaan yang listing pada pasar modal tentunya memiliki laporan
keuangan. Laporan keuangan yang diterbitkan oleh suatu perusahaan
merupakan salah satu sumber informasi yang dapat digunakan untuk
mengetahui posisi keuangan perusahaan, kinerja serta membantu dalam
pengambilan keputusan yang tepat sehingga diperlukan suatu alat analisis yang
menghubungkan beberapa rasio sekaligus untuk menilai kondisi keuangan
perusahaan melalui laporan keuangan perusahaan tersebut. Model yang paling
sering digunakan dalam melakukan analisis tersebut adalah dalam bentuk rasio-
rasio keuangan. Foster (Luciana:183-184) menyatakan empat hal yang
mendorong analisis laporan keuangan dilakukan dengan menggunakan rasio
keuangan adalah :
1. Untuk mengendalikan pengaruh perbedaan besaran antar
perusahaan atau antar waktu.
2. Untuk membuat data menjadi lebih memenuhi asumsi alat statistic
yang digunakan.
3. Untuk menginvestigasi teori yang terkait dengan rasio keuangan.
4. Untuk menguji hubungan empirik antara rasio keuangan dan estimasi
atau prediksi variabel tertentu (seperti financial distress).
10
Untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, maka
dilakukan penelitian mengenai manfaat laporan keuangan. Salah satu bentuk
penelitian dengan menggunakan beberapa rasio keuangan yaitu penelitian-
penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk memprediksi
kinerja perusahaan seperti memperkirakan adanya suatu keadaan financial
distress (kesulitan keuangan) pada suatu perusahaan.
Salah satu penelitian mengenai financial distress adalah seperti yang
dilakukan oleh Luciana S. Amalia & Kristijadi pada tahun 2002 dengan judul
penelitian Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Kondisi Financial
Distress Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta.
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah perusahaan dengan nilai net
operating income negatif dan tidak melakukan pembayaran deviden selama lebih
dari satu tahun. Luciana & Kristijadi mendasarkan kriteria sampel yang
digunakan pada penelitiannya dengan penelitian pendahulu yang dilakukan oleh
Hofer (1980), Whitaker (1999) dan Lau (1987). Dari hasil penelitian tersebut,
disimpulkan bahwa rasio-rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi
financial distress pada perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.
Dalam penelitian ini penulis memilih kriteria atas kemungkinan terjadinya
financial distress adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki net operating
income negatif dan tidak membayar deviden selama lebih dari satu tahun karena
menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Luciana & Kristijadi perusahaan
akan mengalami financial distress jika :
1. Beberapa tahun mengalami laba bersih (net income) negatif (dalam
penelitian Hofer (1980) dan Whitaker (1999), menggunakan laba
bersih operasi atau net operating income).
11
2. Selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden
(sesuai dengan penelitian Lau 1987).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Financial distress atau kesulitan
keuangan diartikan sebagai suatu kondisi dimana perusahaan secara keuangan
mengalami kemacetan (penurunan). Dalam hal ini penulis juga mencoba untuk
menghubungkan antara kondisi pada perusahaan berkategori net operating
income negatif dan tidak membayar deviden selama satu tahun lebih dengan
kemungkinan perusahaan tersebut mengalami financial distress.
Namun berbeda dengan yang dilakukan peneliti terdahulu, dalam hal ini,
model alat analisis yang digunakan adalah Multiple Discriminant Analysis Altman
atau biasa disebut Z-Score Model Altman, yang menggunakan rasio-rasio
keuangan seperti rasio likuiditas atau liquidity ratios, rasio laverage atau laverage
ratios, rasio aktivitas atau activity ratios, rasio keuntungan atau profitability ratios,
dan rasio pasar.
Dengan mendasarkan kepada rasio-rasio tersebut, Z-Score model Altman
diharapkan mampu digunakan untuk mengklasifikasikan perusahaan-perusahaan
yang memiliki beberapa kriteria khusus ke dalam kelompok yang mempunyai
kemungkinan tinggi untuk mengalami financial distress atau kelompok
perusahaan yang masuk ke dalam kategori grey zone.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
apakah perusahaan-perusahaan yang memiliki net operating income negatif dan
tidak membayar dividen selama lebih dari satu tahun masuk ke dalam kategori
perusahaan yang sedang mengalami financial distress, dengan menggunakan
Multiple Discriminant Analysis Altman atau biasa disebut Z-Score Model Altman.
12
Objek yang coba dikaji adalah perusahaan-perusahaan go public pada periode
2009-2011, dan akan dibahas dengan judul penelitian :
“Analisis Kesulitan Keuangan (Financial Distress) Perusahaan Go Public
Pada Bursa Efek Indonesia”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penulis mencoba mengangkat permasalahan lebih lanjut sebagai berikut:
“Apakah perusahaan yang memperoleh net operating income negatif dan tidak
melakukan pembayaran dividen selama lebih dari satu tahun adalah perusahaan
yang sedang mengalami Financial Distress?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
perusahaan-perusahaan yang memperoleh net operating income negatif dan
tidak melakukan pembayaran dividen selama lebih dari satu tahun dengan
keadaan kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk memberikan informasi gejala-gejala yang bisa menyebabkan
financial distress sebuah perusahaan.
2. Untuk memberikan informasi kepada perusahaan serta para pembaca
atas penelitian yang telah dilakukan.
3. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan
penelitian serupa.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Keuangan
2.1.1. Teori Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan meliputi seluruh aktifitas yang menyangkut
penarikan atau pengumpulan, penggunaan dan pengendalian dana yang
dihadapi oleh suatu perusahaan. Dalam penerapannya manajemen keuangan
tidak dapat berdiri sendiri. Manajemen keuangan selalu berkaitan erat dengan
berbagai disiplin ilmu. Pada awalnya pengertian manajemen keuangan hanya
terbatas pada usaha pencarian dana, namun kemudian berkemang pada
pengelolaan seluruh aspek modal.
Van Horne dan Wachowich (1998:5) mengatakan bahwa manajemen
keuangan adalah “Financial management is concerced the acquisition, financing
and management of asset with some overall good in mine”. Berdasarkan
pengertian tersebut yang memiliki arti bahwa “Manajemen keuangan adalah
segala aktifitas berhubungan dengan perolehan, pendanaan dan pengelolaan
aktiva dengan beberapa tujuan menyeluruh”.
Agus Sabardi (2000:2) memberikan definisi mengenai manajemen
keuangan sebagai berikut : “Manajemen keuangan dapat diartikan sebagai
manajemen yang membahas tentang investasi, pembelanjaan dan pengelolaan
aset-aset dengan beberapa tujuan menyeluruh yang direncanakan”.
Sedangkan R. Agus Sartono (2001:8) menyatakan bahwa :
“Manajemen Keuangan dapat diartikan sebagai manajemen dana yang
berkaitan dengan pengalokasian dana dalam berbagai bentuk investasi
secara efektif maupun usaha pengumpulan dana untuk pembiayaan
investasi atau pembelanjaan secara efisien.”
14
Dari beberapa definisi tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
manajemen keuangan selalu meliputi kegiatan perencanaan, penganggaran,
pemeriksaan, pengelolaan, pengendalian, pencarian dan penyimpanan dana
yang dimiliki oleh suatu organisasi atau perusahaan. Definisi-definisi tersebut
juga telah menjelaskan bahwa manajemen keuangan dapat dikelompokkan
menjadi dua kegiatan utama, yaitu dana yang berasal dari luar perusahaan
(external financing) atau dana yang berasal dari dalam perusahaan (internal
financing) yang disebut juga penarikan modal dari penggunaan modal.
Sutrisno (2008:3) menyatakan bahwa manajemen keuangan atau sering
disebut pembelanjaan dapat diartikan sebagai semua aktivitas perusahaan yang
berhubungan dengan usaha-usaha mendapatkan dana perusahaan dengan
biaya yang murah serta usaha untuk menggunakan dan mengalokasikan dana
tersebut secara efisien.
Agar pengelolaan dana berjalan efektif dan mendapatkan keuntungan
(profit), penting kiranya membuat perencanaan keuangan yang meliputi rencana
jangka pendek dan rencana jangka panjang dan korelasinya dengen kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki perusahaan.
2.1.2. Tujuan dan fungsi manajemen keuangan.
Dalam buku Manajemen Keuangan, Suad Husnan (2000:7) menyatakan:
“Secara normatif tujuan keputusan keuangan adalah untuk
memaksimumkan nilai perusahaan. Tujuan tersebut dipergunakan karena
dengan memaksimumkan nilai perusahaan maka pemilik perusahaan
akan menjadi lebih makmur (atau menjadi semakin kaya). Sedangkan
nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon
pembeli apabila perusahaan tersebut dijual.”
15
Sedangkan fungsi manajemen keuangan menurut Abas Kartadinata
(2000:48-50) dalam bukunya Pengantar Manajemen Keuangan, yaitu :
1. Membuat anggaran arus uang (forecasting cash flow)
Tujuan utamanya adalah untuk penyesuaian arus uang masuk
dengan arus uang keluar. Terutama bila membutuhkan tambahan
dana untuk membuat proyek baru, maka proyeksi arus uang dibuat
sebagai dasar evaluasi proyek tersebut.
2. Mencari dana (rising funds)
Manajer keuangan perlu mengetahui sumber-sumber dana dan
jumlah yang diperlukan/tersedia dari tiap sumber dan jangka waktu
lamanya dana tersebut diperlukan.
3. Mengelola dana arus perusahaan (managing the flow if internal funds)
Arus dana yang tersedia diberbagai tempat (bank) senantiasa diawasi
secara kontinyu, agar tercapai keseimbangan likuiditas sehingga
dapat membatasi pinjaman luar pada tingkat minimum.
4. Mengawasi biaya (cost control)
Pengendalian pengeluaran untuk berbagai biaya dilakukan agar
diperoleh laporan biaya yang akurat dan tepat dalam arti menghindari
kenaikan biaya yang disebabkan pemborosan, pemakaian peralatan
yang tidak efektif dan efisien dan lain sebagainya.
5. Menetapkan harga (pricing)
Untuk memutuskan kebijaksanaan harga yang menguntungkan
perusahaan dan tidak merugikan konsumen, perlu kiranya diketahui
tingkat biaya, fluktuasi dan tingkah laku konsumen pada berbagai
tingkat produksi, dan penjualan serta jumlah laba kotor yang ingin
dicapai.
6. Proyeksi laba rugi masa depan (forecasting future point)
Untuk mengetahui estimasi penjualan di masa yang akan dating,
diperlukan data-data sebagai berikut :
a) Tingkat biaya sekarang.
b) Perubahan-perubahan dalam biaya yang diproyeksikan terjadi
di masa yang akan datang.
c) Penilaian kemampuan dalam mencapai jumlah yang
diinginkan.
d) Kemampuan menjual produk dengan harga yang dikehendaki.
e) Dan sebagainya.
7. Menghitung biaya modal (measuring cost of capital)
Sumber-sumber perolehan akan berbeda dalam biaya penggunaan
(Cost of Capital). Karenanya penting untuk menyusun struktur modal
yang tepat dan menguntungkan (profitable).
16
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pembelanjaan perusahaan meliputi dua hal yakni kegiatan mendapatkan dana
dan menggunakan dana tersebut seefisien mungkin.
2.1.3. Kebijakan Dividen
Perusahaan akan tumbuh dan berkembang, kemudian pada waktunya
akan memperoleh keuntungan atau laba. Laba ini terdiri dari laba yang ditahan
dan laba yang dibagikan. Pada tahap selanjutnya laba yang ditahan merupakan
salah satu sumber dana yang paling penting untuk pembiayaan pertumbuhan
perusahaan. Makin besar pembiayaan perusahaan yang berasal dari laba yang
ditahan di tambah penyusutan aktiva tetap, maka makin kuat posisi finansial
perusahaan tersebut. Dari seluruh laba yang diperoleh perusahaan sebagian
dibagikan kepada pemegang saham berupa dividen. Mengenai penentuan
besarnya dividen yang akan dibandingkan itulah yang merupakan kebijakan
dividen dari pimpinan perusahaan.
Kebijakan dividen menurut Martono dan D. Agus Harjito (Kabo:2011) :
Merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keputusan
pendanaan perusahaan. Kebijakan dividen (dividend policy) merupakan
keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun
akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan
ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa
yang akan datang.
Sedangkan Kebijakan dividen dalam Werner R.Murhadi (Kabo:2011) :
Kebijakan dividen merupakan suatu kebijakan yang dilakukan dengan
pengeluaran biaya yang cukup mahal, karena perusahaan harus
menyediakan dana dalam jumlah besar untuk keperluan pembayaran
dividen. Perusahaan umumnya melakukan pembayaran dividen yang
stabil dan menolak untuk mengurangi pembayaran dividen. Hanya
perusahaan dengan tingkat kemampuan laba yang tinggi dan prospek ke
depan yang cerah, yang mampu untuk membagikan dividen. Banyak
17
perusahaan yang selalu mengkomunikasikan bahwa perusahaannya
memiliki prospektif dan menghadapi masalah keuangan sudah tentu akan
kesulitan untuk membayar dividen. Hal ini berdampak pada perusahaan
yang membagikan dividen, memberikan tanda pada pasar bahwa
perusahaan tersebut memiliki prospek kedepan yang cerah dan mampu
untuk mempertahankan tingkat kebijakan dividen yang telah ditetapkan
pada periode sebelumnya. Perusahaan dengan prospek ke depan yang
cerah, akan memiliki harga saham yang semakin tinggi.
Sejauh ini pembahasan dividen hanya menyangkut aspek-aspek teoritis
dari kebijakan dividen. Namun, ketika perusahaan menetapkan suatu kebijakan
dan memperhatikan sejumlah hal, pertimbangan-pertimbangan ini harus
dikaitkan kembali ke teori pembayaran dividen dan penilaian perusahaan. Berikut
beberapa pertimbangan manajer dalam pembayaran dividen menurut Martono
dan D. Agus Harjito (Kabo:2011) antara lain:
1. Kebutuhan dana bagi perusahaan
Semakin besar kebutuhan dana perusahaan berarti semakin kecil
kemampuan untuk membayar dividen. Penghasilan perusahaan akan
digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi dananya baru sisanya untuk
pembayaran dividen.
2. Likuiditas perusahaan
Likuiditas perusahaan merupakan salah satu pertimbangan utama dalam
kebijakan dividen. Karena dividen merupakan arus kas keluar, maka
semakin besar jumlah kas yang tersedia dan likuiditas perusahaan,
semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.
Apabila manajemen ingin memelihara likuiditas dalam mengantisipasi
adanya ketidakpastian dan agar mempunyai fleksibilitas keuangan,
kemungkinan perusahaan tidak akan membayar dividen dalam jumlah
yang besar.
3. Kemampuan untuk meminjam
Posisi likuiditas bukanlah satu-satunya cara untuk menunjukkan
fleksibilitas dan perlindungan terhadap ketidakpastian. Apabila
perusahaan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan
pinjaman, hal ini merupakan fleksibilitas keuangan yang tinggi sehingga
kemampuan untuk membayar dividen juga tinggi. Jika perusahaan
memerlukan pendanaan melalui hutang, manajemen tidak perlu
mengkhawatirkan pengaruh dividen kas terhadap likuiditas perusahaan.
18
4. Pembatasan-pembatasan dalam perjanjian hutang
Ketentuan perlindungan dalam suatu perjanjian hutang sering
mencantumkan pembatasan terhadap pembayaran dividen. Pembatasan
ini digunakan oleh para kreditur untuk menjaga kemampuan perusahaan
tersebut membayar hutangnya. Biasanya, pembatasan ini dinyatakan
dalam persentase maksimum dari laba kumulatif. Apabila pembatasan ini
dilakukan, maka manajemn perusahaan dapat menyambut baik
pembatasan dividen yang dikenakan para kreditur, karena dengan
demikian manajemen tidak harus mempertanggungjawabkan penahanan
laba kepada para pemegang saham. Manajemen hanya perlu mentaati
pembatasan tersebut.
5. Pengendalian perusahaan
Apabila suatu perusahaan membayar dividen yang sangat besar, maka
perusahaan mungkin menaikkan modal di waktu yang akan datang
melalui penjualan sahamnya untuk membiayai kesempatan investasi
yang menguntungkan.
Dividen diumumkan secara priodik oleh dewan direktur. Biasanya tiap
setengah tahun atau tiap satu tahun. Pembayaran dividen menjadi sulit karena
komposisi pemegang saham berubah-ubah. Pengukuran jual-beli saham sangat
cepat berubah-ubah. Karena cepatnya perpindahan pemegang saham maka sulit
untuk dipantau daftar pemegang saham. Dividen mengkin dapat diberikan
kepada pemegang saham baru lima hari kerja setelah pembelian saham
Sedangkan beberapa faktor yang menentukan dan mempengaruhi dalam
pembuatan kebijakan dividen menurut Dermawan Sjahrial (Kabo:2011) antara
lain:
1. Posisi likuiditas perusahaan.
Makin kuat posisi likuiditas perusahaan makin besar dividen yang
dibayarkan.
2. Kebutuhan dana untuk membayar hutang.
Apabila sebagian besar laba digunakan untuk membayar hutang maka
sisanya yang digunakan untuk membayar dividen makin kecil
3. Rencana perluasan usaha.
Makin besar perluasan usaha perusahaan, makin berkurang dana yang
dapat dibayarkan untuk dividen.
19
4. Pengawasan terhadap perusahaan.
Kebijakan pembiayaan: untuk ekspansi dibiayai dengan dana dari sumber
intern antara lain: laba. Dengan pertimbangan: apabila dibiayai dengan
penjualan saham baru ini akan melemahkan kontrol dari kelompok
pemegang saham dominan. Karena suara pemegang saham mayoritas
berkurang.
Sutrisno (2008:267) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen adalah:
1. Posisi Solvabilitas Perusahaan
Apabila perusahaan dalam kondisi insolvensi atau solvabilitasnya kurang
menguntungkan, biasanya perusahaan tidak membagikan laba. Hal ini
disebabkan laba yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk
memperbaiki posisi struktur modalnya.
2. Posisi Likuiditas Perusahaan
Cash devidend merupakan arus kas keluar bagi perusahaan, oleh karena
itu bila perusahaan membayarkan deviden berarti harus bisa
menyediakan uang kas yang cukup banyak dan ini akan menurunkan
tingkat kualitas perusahaan. Bagi perusahaan yang tingkat kualitasnya
kurang baik, biasanya devident payout rationya kecil, sebab sebagian
besar laba digunakan untuk menambah likuiditas. Namun perusahaan
yang sudah mapan dengan likuiditas yang baik cenderung memberikan
deviden yang lebih besar.
3. Kebutuhan untuk melunasi hutang
Salah satu sumber dana perusahaan adalah dari kreditor berupa hutang
baik berjangka pendek maupun berjangka panjang. Hutang-hutang ini
harus segera dibayar pada saat jatuh tempo, dan untuk membayar
hutang-hutang tersebut harus disediakan dana. Semakin banyak hutang
yang harus dibayar semakin besar dana yang harus disediakan sehingga
akan mengurangi jumlah deviden yang akan dibayarkan kepada
pemegang saham. Disamping itu dengan jatuh temponya hutang, berarti
dana hutang tersebut harus diganti. Alternatif mengganti dana hutang
bisa dengan mencari hutang baru atau meroll-over hutang, danjuga bisa
dengan sumber dana intern dengan cara memperbesar laba ditahan. Hal
ini tentunya akan memperkecil devidend payout ratio.
4. Rencana perluasan
Perusahaan yang berkembang ditandai dengan semakin pesatnya
pertumbuhan perusahaan, dan hal ini bisa dilihat dari perluasan yang
dilakukan oleh perusahaan. Semakin pesat pertumbuhan perusahaan,
juga semakin pesat perluasan yang dilakukan. Konsekuensinya semakin
besar kebutuhan dana untuk membiayai kebutuhan tersebut. Kebutuhan
dana dalam rangka ekspansi tersebut bisa dipenuhi baik dari hutang,
20
menambah modal sendiri yang berasal dari pemilik, dan salah satunya
juga bisa diperoleh dari internal resources berupa memperbesar laba
yang ditahan. Dengan demikian semakin pesat perluasan yang dilakukan
perusahaan semakin kecil devidend payout rationya.
5. Kesempatan investasi
Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi
besarnya deviden yang akan dibagi. Semakin terbuka kesempatan
investasi semakin kecil deviden yang dibayarkan sebab dananya
digunakan untuk memperoleh kesempatan investasi. Namun bila
kesempatan investasi kurang baik, maka dananya lebih banyak akan
digunakan untuk membayar deviden.
6. Stabilitas pendapatan
Bagi perusahaan yang pendapatannya stabil, deviden yang akan
dibayarkan kepada pemegang saham lebih besar dibanding dengan
perusahaan yang pendapatannya tidak stabil. Perusahaan yang
pendapatannya stabil tidak perlu menyediakan kas yang banyak untuk
berjaga-jaga, sedangkan perusahaan yang pendapatannya tidak stabil
harus menyediakan uang kas yang cukup besar untuk berjaga-jaga.
7. Pengawasan terhadap perusahaan
Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap
perusahaan. Apabila perusahaan mencari sumber dana dari modal
sendiri, kemungkinan akan masuk investor baru dan ini tentunya akan
mengurangi kekuasaan pemilik lama dalam mengendalikan perusahaan.
Jika dibelanjai dari hutang resikonya cukup besar. Oleh karena itu
perusahaan cenderung tidak membagi devidennya agar pengendalian
tetap berada ditangannya.
Kebijakan dividen stabil menurut Dermawan Sjahrial (Kabo:2011) adalah
jumlah dividen per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya relatif lengkap
selama jangka waktu tertentu meskipun laba per lembar saham per tahunnya
berfluktuatif.
Menurut Dermawan Sjahrial (Kabo:2011) alasan-alasan dilaksanakannya
kebijakan pembayaran dividen stabil adalah:
1. Memberikan penjelasan kepada para investor bahwa perusahaan
mempunyai prospek yang baik di masa-masa mendatang.
2. Banyak pemegang saham yang hidup dari pendapatan yang diterima
dari dividen.
3. Pada banyak Negara dalam ketentuan pasar modalnya, hanya
diijinkan menanamkan dananya dalam saham-saham yang
21
dikeluarkan oleh perusahaan yang menjalankan kebijakan
pembayaran dividen yang stabil.
Dari uraian tersebut, ternyata kebijakan dividen tersebut menimbulkan
dua akibat yang bertentangan, oleh karena itu penentuan besarnya dividen yang
dibagikan kepada pemegang saham menjadi sangat penting dan merupakan
tugas manajer keuangan yang harus mampu menentukan kebijakan yang akan
menyeimbangkan dividen saat ini dan tingkat pertumbuhan dividen di masa yang
akan datang agar memaksimumkan harga saham.
Menurut J. Fred Weston dan Thomas E. Copeland (Kabo:2011) Deviden
dipengaruhi oleh banyak variabel. Contoh, arus kas dan kebutuhan investasi
suatu perusahaan mungkin berubah-ubah dengan cepat sehingga sulit untuk
menentukan jumlah dividen tetap yang tinggi. Di pihak lain, perusahaan mungkin
menginginkan pembayaran dividen yang tinggi untuk menyalurkan dana yang
tidak di butuhkan untuk investasi
Hubungan positif antara kebijakan pembayaran deviden dan pergerakan
harga saham telah didokumentasikan oleh beberapa peneliti. Studi klasik yang
dilakukan oleh Linter (1956) dalam Werner R. Murhadi (2008) memperoleh hasil
sebagai berikut :
1) Perusahaan lebih menekankan pembayaran deviden yang stabil, dan
2) Earning merupakan faktor penentu utama dalam kebijakan deviden.
2.2. Analisis Laporan Keuangan
2.2.1. Laporan Keuangan
Pihak yang berkepentingan atas perkembangan suatu perusahaan sangat
perlu untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Kondisi keuangan dari
suatu perusahaan dapat diketahui dari keputusan laporan keuangan perusahaan
22
tersebut. Laporan ini diperlukan oleh pihak yang berkepentingan, antara lain
manajer perusahaan, pemilik perusahaan, banker, kreditor, investor, pemerintah
dan lembaga lain.
Laporan keuangan merupakan produk akhir dari proses atau kegiatan
akuntansi suatu kesatuan usaha. Laporan keuangan pada dasarnya adalah akhir
dari proses aktif yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data
keuangan atau aktifitas suatu perusahaan dengan pihak yang berkepentingan
dengan data keuangan tersebut. Laporan ini diperlukan oleh pihak yang
berkepentingan seperti yang telah disebutkan di atas.
Kondisi keuangan suatu perusahaan akan dapat diketahui dari laporan
keuangan. Posisi keuangan memerikan gambaran tentang bagaimana susunan
kekayaan yang dimiliki perusahaan dan bagaimana sumber-sumber keuangan
tersebut didapat. Perubahan posisi keuangan menunjukkan kemajuan
perusahaan, memberikan gambaran apakah perusahaan memperoleh laba
dalam melaksanakan kegiatannya dan apakah perusahaan mengalami
perkembangan yang menunjukkan manajemen telah mengelola perusahaan
dengan baik.
Pengertian laporan keuangan menurut Soemarso (2005:356) bahwa :
“Laporan keuangan adalah media komunikasi yang biasa digunakan perusahaan
untuk pihak luar. Di dalamnya tercantum sebagian besar informasi keuangan
yang bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan”.
Sedangkan pengertian laporan keuangan menurut John J. Wild and
Friend (2005;83) yang diterjemahkan oleh Yavini S. Bachtiar dkk, bahwa :
“Laporan keuangan merupakan produk proses pelaporan keuangan yang diatur
23
oleh standar dan aturan akuntansi, intensif manajer, serta mekanisme
pelaksanaan dan pengawasan perusahaan”.
Berdasarkan pengertian laporan keuangan yang telah dikemukan di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa laporan keuangan adalah hasil akhir dari
proses akuntansi yang mempunyai fungsi sebagai media informasi dan
komunikasi antara pihak intern (perusahaan) dengan pihak ekstern (pihak lain)
yang mempunyai kepentingan dengan data atau laporan dari hasil kegiatan
perusahaan yang disajikan.
Tujuan laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
(2009:5) disebutkan bahwa:
“Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang
menyangkut posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat
bagi sebagian besar pemakai dalam pengambilan keputusan.”
Menurut Dwi Prastowo dan Rifka Julianty (Saifullah:2011), tujuan laporan
keuangan adalah sebagai berikut :
1. Menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja
dan perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat
bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan
ekonomi.
2. Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja dan
perubahan posisi keuangan sangat diperlukan untuk dapat melakukan
evaluasi atas kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas
(setara kas), dan waktu serta kepastian dari hasil tersebut.
3. Menyediakan informasi kinerja perusahaan, terutama profitabilitas
diperlukan untuk menilai perubahan potensial sumberdaya ekonomi
yang mungkin dikendalikan di masa depan, sehingga dapat
memprediksi kapasitas perusahaan dalam menghasilkan kas serta
untuk merumuskan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan
tambahan sumber daya.
4. Menyediakan informasi perubahan posisi keuangan perusahaan
bermanfaat untuk menilai aktivitas investasi, pendanaan dan operasi
perusahaan selama periode pelaporan.
24
Laporan keuangan terdiri dari data-data yang merupakan hasil dari suatu
kombinasi antara :
1. Fakta yang telah dicatat (recorded fact)
2. Prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan dalam akuntansi (accounting
confention and postulate)
3. Pendapat pribadi (personal judgement)
Pada PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 1 revisi 1998,
komponen keuangan lngkap terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
Perusahaan dapat juga menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai
lingkungan hidup dan laporan nilai tambah khususnya bagi industry dimana
faktor lingkungan hidup memegang peranan penting.
Sedangkan menurut PSAK No. 1 revisi 2009 yang disahkan pada tanggal
15 Desember 2009 dan mulai efektif berlaku untuk periode tahun buku yang
dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011, laporan keuangan yang
lengkap harus meliputi komponen laporan posisi keuangan pada akhir periode,
laporan laba rugi komprehensif selama periode, laporan perubahan ekuitas
selama periode, laporan arus kas selama periode, catatan atas laporan
keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan
lain; dan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan
ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau
membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas
mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
25
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada
dasarnya laporan keuangan yang utama terdiri dari neraca dan laporan laba rugi,
sedangkan laporan keuangan lainnya hanya merupakan laporan pelengkap yang
sifatnya memberikan penjelasan lebih lanjut.
Pada pembahasan di sini hanya memberikan penjelasan mengenai kedua
pokok penting dalam laporan keuangan, penjelasan dari masing-masing laporan
keuangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Neraca
Menurut PSAK No.1 tahun 2007 menjelaskan bahwa :
“ Neraca adalah sebuah laporan keuangan yang menyajikan aktiva
lancar, aktiva tidak lancar dan kewajiban jangka pendek dengan
kewajiban jangka panjang kecuali untuk industri tertentu yang diatur
dalam standar akuntansi keuangan khusus. Aktiva lancer disajikan
menurut ukuran likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut jatuh
temponya.”
Jumlah kekayaan disajikan pada sisi aktiva sedangkan jumlah kewajiban
disajikan pada sisi pasiva. Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa pada
dasarnya suatu neraca terdiri dari tiga komponen pokok yaitu aktiva, kewajiban
dan modal.
Suad Husnan (2000:36) mendefinisikan neraca sebagai: “Neraca adalah
laporan keuangan yang melaporkan jumlah keuangan, kewajiban keuangan dan
modal sendiri pada waktu tertentu”. Dalam pengertian, aktiva tidak terbatas pada
benda yang berwujud saja, tetapi juga termasuk pengeluaran-pengeluaran yang
belum dialokasikan (deffered charges) atau biaya yang masih harus dialokasikan
pada penghasilan yang akan datang serta aktiva tidak berwujud lainnya misalnya
goodwill, hak paten, hak menerbitkan dan sebagainya.
26
Pada kebanyakan perusahaan dagang dan jasa, aktiva dibagi dalam dua
kelompok, yaitu aktiva lancer dan aktiva tetap. Aktiva lancer (current asset)
adalah uang tunai dan aktiva lainnya yang dalam jangka waktu satu tahun atau
dalam perputaran kegiatan perusahaan yang normal akan menjadi uang tunai.
Aktiva tetap adalah kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang digunakan
dalam operasi perusahaan secara permanen (lebih dari satu periode
akuntansi/tahun).
Adapun pasiva dibagi dalam tiga kelompok, yaitu utang lancer, utang
jangka panjang dan modal. Utang lancer (current liabilities) adalah kewajiban
keuangan perusahaan yang harus dibayar dalam waktu kurang dari satu tahun.
Sedangkan utang jangka panjang (long term liabilities) adalah kewajian
keuangan perusahaan yang jangka waktu pembayarannya lebih dari satu tahun.
Modal (equity) merupakan hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik
perusahaan. Di dalam perusahaan perseorangan yang dimaksud modal
hanyalah modal pribadi, sedangkan dalam perseroan terbatas (PT) yang
termasuk dalam modal adalah modal saham, laba ditahan dan cadangan.
Neraca menjadi penting sebagai salah satu laporan keuangan karena
dapat memberikan informasi-informasi sebagai berikut:
1. Likuiditas besar hasil operasi tahun lalu, yang dapat digunakan sebagai
sumber dana untuk membantu usaha ekspansi perusahaan dan
mengurangi ketergantungan dari sumer ekstern.
2. Memberikan gambaran tentang komposisi aktiva dengan jumlah masing-
masing kategori baik itu aktiva lancer, aktiva tetap maupun aktiva lainnya.
3. Jumlah total hutang relatif terhadap modal sendiri (komposisi relatif total
hutang terhadap modal sendiri), secara umum semakin tinggi jumlah
27
hutang relatif terhadap modal sendiri maka semakin tinggi resiko
keuangan perusahaan tersebut.
b. Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi merupakan suatu laporan sistematis tentang
penghasilan, biaya-biaya, laba rugi yang diperoleh oleh perusahaan selama
periode tertentu.
Menurut Zaki Baridwan (2005:30) laporan laba rugi diartikan :
“Laporan laba rugi adalah suatu bentuk laporan yang menunjukkan
pendapatan-pendapatan dan biaya-biaya dari suatu unit usaha untuk
suatu periode tertentu. Selisih antara pendapatan dan biaya merupakan
laba yang diperoleh atau rugi yang diderita perusahaan.”
Bentuk laba rugi yang umum digunakan adalah sebagai berikut :
1. Bentuk single step yaitu dengan menggabungkan semua penghasilan
menjadi satu kelompok sehingga untuk menghitung laba rugi bersih
hanya memerlukan satu langkah yaitu mengurangi total biaya
terhadap total pendapatan.
2. Bentuk multiple step dalam bentuk ini dilakukan pengelompokkan
yang lebih teliti sesuai dengan prinsip yang digunakan secara umum.
Menurut Arthur J. Keown dalam buku Dasar-Dasar Manajemen Keuangan
(2001:82 ), laporan laba rugi diartikan :
“Laporan laba rugi merupakan ringkasan dari empat jenis kegiatan yaitu:
1. Menjual produk atau jasa, 2. Beban produksi atau untuk mendapatkan
barang/jasa yang dijual, 3. Beban yang timbul dalam memasarkan dan
mendistribusikan produk, 4. Beban keuangan dalam menjalankan bisnis”.
Laporan laba rugi merupakan ringkasan kegiatan perusahaan selama
periode tertentu dan dipandang sebagai laporan akuntansi yang penting. Karena
dengan adanya laporan laba rugi dapat diketahui jumlah keuntungan/kerugian
28
yang diderita oleh suatu perusahaan selama periode tertentu. Tiga komponen
laporan ini adalah pendapatan, beban, laba dan rugi.
1. Pendapatan (revenue) adalah kenaikan aktiva suatu badan usaha
atau pelunasan hutang atau kombinasi keduanya selama satu periode
yang berasal dari penyerahan atau pembuatan barang, penyerahan
jasa atau dari kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama badan
usaha.
2. Beban (expenses) adalah arus keluar atau penggunaan lain atas
harta atau terjainya kewajiban selama satu periode dari penyerahan
atau produksi barang. Pemberian jasa atau aktivitas lain yang
merupakan operasi pokok atau utama yang berkelanjutan dari
kesatuan tersebut.
3. Laba (gains) adalah kenaikan modal yang berasal dari transaksi
sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha
dan dari suatu periode kecuali yang timbul dari pendapatan atau
investasi oleh pemilik.
4. Rugi (loses) adalah penurunan modal dari transaksi sampingan atau
transaksi yang jarang terjadi dari satu badan usaha selama satu
periode tertentu kecuali yang timul dari biaya atau distibusi pemilik.
Sedangkan laba rugi menurut Eugene F. Brigham (2001:42) diartikan: “Laporan
laba rugi adalah laporan yang mengikhtisarkan pendapatan dan beban
perusahaan selama periode akuntansi tertentu, yang umumnya setiap kuartal
atau satu tahun”.
29
2.2.2. Kinerja Keuangan
Peranan manajer keuangan adalah sangat luas, keterlibatannya meliputi
keseluruhan dari kegiatan perusahaan. Saat ini manajer keuangan juga terlibat di
dalam general manajemen, yang sebenarnya hanya bertugas untuk memperoleh
dana yang diutuhkan dan mengelola posisi kas keuangan. Dengan adanya
pergeseran persaingan yang semakin kuat, pengaruh inflasi, perubahan
teknologi, kepedulian terhadap lingkungan hidup, energi, masalah sosial,
peraturan-peraturan pemerintah serta adanya tuntunan dari sistem perdagangan
bebas, manajer keuangan dituntut pula untuk semakin akurat dalam bertindak
sesuai dengan tujuan atau sasaran perusahaan.
Dalam mengambil keputusan manajemen, maka diperlukan informasi-
informasi tentang keadaan perusahaan. Informasi yang dimaksud adalah kinerja
keuangan perusahaan. Sedangkan kinerja keuangan perusahaan mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam mengelola operasional perusahaan. Kinerja yang
baik akan memberikan pengharapan yang baik pula bagi para pengambil
keputusan investasi.
Secara umum pengertian kinerja yaitu sesuai yang ingin dicapai atau
prestasi yang diperlihatkan.
Kusnadi (2002:54) mengartikan kinerja keuangan sebagai :
“Kinerja keuangan adalah setiap gerakan, perbuatan, pelaksanaan,
kegiatan atau tidakan sadar yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan
atau target tertentu, dalam hal ini adalah laba perusahaan. Tanpa adanya
kinerja berarti tidak ada upaya untuk mencapai hasil atau target.”
Kinerja keuangan menjadi indikasi apakah strategi perusahaan,
implementasi dan segala inisiatif perusahaan memperbaiki laba perusahaan.
Tentunya diadakan evaluasi kerja dimana proses-proses dengan para manajer
30
dari segala tingkatan memperoleh informasi tentang tugas di dalam perusahaan
dan menilai kinerja itu terhadap kriteria yang telah dibuat sebelumnya,
sebagaimana disusun dalam anggaran-anggaran, neraca-neraca dan tujuan-
tujuan. Dari kualitas kinerja inilah nantinya yang akan berpengaruh kepada hasil,
kualitas kinerja berkorelasi positif dengan hasil.
Adapun tujuan dari pengukuran kinerja keuangan perusahaan menurut S.
Munawir (2000:116) adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan suatu perusahaan
untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi, atau
kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban pada saat ditagih.
2. Untuk mengetahui tingkat solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut
dilikuidasi baik kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka
panjang.
3. Mengetahui tingkat rentabilitas yaitu kemempuan perusahaan untuk
menghasilkan laba pada periode tertentu.
4. Mengetahui stabilitas usaha yaitu kemampuan perusahaan untuk
malakukan usahanya dengan stabil dan mempertimbangkan kemampuan
perusahaan untuk membayar dividen secara teratur.
2.2.3. Analisis Rasio Keuangan
Guna menilai kondisi dan prestasi keuangan suatu perusahaan, analisis
memerlukan adanya suatu ukuran tertentu. Ukuran yang sering digunakan
adalah rasio atau indeks dari dua unsur data keuangan.
Menurut Arthur J. Keown (2001:98), “Rasio keuangan merupakan alat
analisis yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut untuk menjelaskan
hubungan tertentu antara elemen yang satu dengan elemen yang lain dalam
suatu laporan keuangan”.
Sutrisno (2008:214) mendefinisikan bahwa: “Analisis rasio keuangan
adalah suatu proses menghubung-hubungkan elemen-elemen yang ada dalam
laporan keuangan.”
31
Sedangkan Suad Husnan dalam buku Manajemen Keuangan (2000:358)
menyatakan: “ Rasio keuangan adalah indeks yang menghubungkan dua angka
akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka yang lain.”
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis rasio
keuangan adalah sebuah proses menganalisis laporan keuangan dengan
menggunakan angka-angka pembanding yang diperoleh dari pembagian angka-
angka lain dalam laporan keuangan.
Adapun tujuan dari analisis laporan keuangan adalah :
1. Digunakan sebagai alat penyaringan awal dalam memilih alternatif
investasi atau merger.
2. Sebagai alat forecasting mengenai kondisi dan kinerja keuangan di
masa yang akan datang.
3. Sebagai bahan diagnosis terhadap masalah-masalah manajemen,
operasi atau masalah lainnya.
4. Sebagai alat evaluasi terhadap manajemen.
Menurut Eugene F. Brigham dan Michael C. Enrhardt (2005:463) pada
umumnya yang menggunakan analisis rasio adalah :
Ratio analisys is used by three main groups : 1. Managers, who employ
ratios to help analyze, control, and thus improve their firms’ operations. 2.
Credit analists, including bank loan officers and bond rating analists, who
analyze ratios to help ascertain a company’s ability to pay its debts, and
3. Stock analysts, who are interested in a company’s efficiency, risk, and
growth prospect.
Sutrisno mengelompokkan rasio keuangan kedalam dua jenis, yaitu :
1. Rasio menurut sumber darimana rasio dibuat, dikelompokkan
menjadi:
a. Rasio-rasio Neraca (Balance Sheet Ratios), merupakan rasio-
rasio yang menghubungkan elemen-elemen yang ada pada
neraca saja. Seperti current ratio, cash ratio, debt to equity dan
lainnya.
32
b. Rasio-rasio laporan laba rugi (Income Statement Ratio), yaitu rasio
yang menghubungkan elemen-elemen yang ada pada laporan
laba rugi saja, seperti profit margin, operating ratio dan lainnya.
c. Rasio-rasio antar laporan (Inter Statement Ratios), yaitu yang
menghubungkan elemen-elemen yang ada pada dua laporan ,
naraca dan laporan laba rugi, seperti Return on Investment,
Return on Equity, asset turnover dan lainnya.
2. Rasio berdasarkan tujuan penggunaan rasio yang bersangkutan,
dikelompokkan menjadi :
a. Rasio Likuiditas atau Liquidity Ratios, yaitu rasio-rasio yang
digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang-hutang jangka pendeknya.
b. Rasio Laverage atau Laverage Ratios, yaitu rasio-rasio yang
digunakan untuk mengukur seberapa jauh aktiva perusahaan
dibiayai dengan hutang.
c. Rasio Aktivitas atau Activity Ratios, yaitu rasio-rasio yang
digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam
memanfaatkan sumber dananya.
d. Rasio Keuntungan atau Profitability Ratios, merupakan rasio yang
digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam
mendapatkan keuntungan.
e. Rasio Penilaian atau Valuation Ratios, merupakan rasio-rasio
untuk mengukur kemampuan manajemen untuk menciptakan nilai
pasar agar melebihi biaya modalnya.
2.2.4. Kesulitan Keuangan (Financial Distress)
a. Pengertian Financial Distress
Kesulitan keuangan atau Financial Distress adalah suatu kondisi dimana
perusahaan sedang terancam akan kebangkrutan. Cameron (Helmi:2008)
menyatakan mengenai suatu perusahaan sakit yakni : “Perusahaan dikatakan
sakit jika perusahaan secara absolut dan substansi mengalami sumber daya
dalam satu periode.” Sekalipun definisi tersebut ringkas, akan tetapi telah
mengandung elemen kritis yang memadai. Kesimpulan dari pernyataan Cameron
tersebut adalah yang mengalami penurunan sumber daya bukan lingkungan
bisnisnya, akan tetapi lebih pada perusahaannya.
33
Menurut Darsono dan Ashari (2005:101), Financial distress dapat
diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban
keuangannya pada saat jatuh tempo yang dapat menyebabkan kebangkrutan
perusahaan.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
financial distress adalah kondisi sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan
apabila perusahaan tidak mengambil tindakan-tindakan yang bersifat preventif
atas masalah-masalah financial distress.
b. Penyebab Financial Distress
Darsono dan Ashari (2005:104) mendeskripsikan bahwa secara garis
besar penyebab financial distress bisa dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian
internal manajemen perusahaan. Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari
faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan atau faktor
perekonomian secara makro. Faktor internal yang bisa menyebabkan financial
distress meliputi :
4. Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus-
menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat
membayar kewajibannya. Ketidakefisien ini diakibatkan oleh
pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian
manajemen.
5. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah hutang-
piutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan
biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa
34
menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan
merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga
tidak menghasilkan pendapatan.
6. Adanya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan.
Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Kecurangan tersebut bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun
memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau
investor.
Sedangkan faktor eksternal financial distress bisa berasal dari faktor yang
berhubungan langsung dengan perusahaan seperti pelanggan, supplier, debitur,
kreditur, pesaing maupun dari pemerintah atau dapat pula disebabkan oleh faktor
yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi kondisi
perekonomian secara makro ataupun faktor persaingan global. Faktor-faktor
eksternal yang bisa mengakibatkan financial distress adalah:
7. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh
perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi
penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut
perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan
dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan
pelanggan.
8. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi
kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk
mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin
hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan
35
kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko
kekurangan bahan baku dapat diatasi.
9. Faktor debitur juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitur
tidak melakukan kecurangan atas hutang-piutang. Terlalu banyak
piutang yang diberikan debitur dengan jangka waktu pengembalian
yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang
tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian
yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan
keadaan debitur supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap
aktiva perusahaan.
10. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditur juga bisa berakibat
fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam
undang-undang no.4 tahun 1998, kreditur bisa memfailitkan
perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus
bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan
baik dengan kreditur.
11. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar
selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan
lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya
persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk
yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi
pelanggan.
12. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi
oleh perusahaan. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan
36
negara-negara lain, perkembangan perekonomian global juga harus
diantisipasi oleh perusahaan.
Sementara Gerald I. White (2000:646), memberikan pandangan
mengenai faktor yang mempengaruhi financial distress yaitu :
Some Factors Influencing the Risk of Financial Distress Costs
The susceptibility to financial distress varies from company to company.
Here are some influences:
1. The sensitivity of the company's revenues to the general level of
economic activity. If a company is highly responsive to the ups and
downs in the economy, shareholders and lenders may perceive a
greater risk of liquidation and/or distress and demand a higher return
in compensation for gearing compared with that demanded for a firm
which is less sensitive to economic events.
2. The proportion of fixed to variable costs. A firm which is highly
operationally geared, and which also takes on high borrowing, may
find that equity and debt holders demand a high return for the
increased risk
3. The liquidity and marketability of the firm's assets. Some firms invest
in a type of asset which can be easily sold at a reasonably high and
certain value should they go into liquidation. This is of benefit to the
financial security holders and so they may not demand such a high-
risk premium.
4. The cash-generative ability of the business. Some firms produce a
high regular flow of cash and so can reasonably accept a higher
gearing level than a firm with lumpy and delayed cash inflows.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa faktor yang mendorong
terjadinya financial distress banyak berasal dari internal perusahaan.
c. Prediksi Financial Distress (Z-Score Altman)
Seperti yang telah diketahui bahwa Z Score Altman adalah model prediksi
untuk financial distress yang paling banyak digunakan. Jhon J. Wild dan K. R.
Subramanyam (2010:288) menjelaskan Z Score sebagai berikut :
“Altman Z Score uses multiple ratios to generate a predictor of financial
distress. Altman Z Score uses a statistical technique to produce a
predictor that is a linear function of several explanatory variabels. This
37
prediction classifies or predicts the likelihood of bankruptcy or non
bankruptcy. Five financial ratios are included in the Z Score, X1 =Working
Capital / Total Asset, X2 = Retained Earnings / Total Asset, X3 = EBIT /
Total Asset, X4 = Market Value Equity / Book Value Debt, X5 = Sales /
Total Asset. We can view X1, X2, X3, X4, X5 as reflecting 1). Liquidity, 2).
Age of firm and cumulative Profitability, 3). Profitability, 4). Financial
Structure, and 5). Capital turn over rate.”
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa analisis Z Score menggunakan lima
rasio keuangan, dan kelima rasio keuangan itu merefleksikan likuiditas, usia
perusahaan dan profitabilitas kumulatif, profitabilitas, struktur keuangan dan
tingkat perputaran modal.
Rumus Z Score Altman yang biasa digunakan salah satunya oleh Gerald
I. White (2006) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Rumus Z Score Altman
Variations of Altman’s Z Score
For Private Firm
Z’ =
For Service Sector
Z’ =
0,717 x Working Capital/Total Asset
+ 0,847 x Retained Earnings/Total Asset
+ 3,107 x EBIT/Total Asset
+ 0,420 x Book Value Equity/Book Value
Debt
+ 0,998 x Sales/Total Asset
6,56 x Working Capital / Total Asset
+ 3,26 x Retained Earnings / Total Asset
+ 6,72 x EBIT / Total Asset
+ 1,05 x Book Value of Equity / Book
Value of Debt
Z Score Indication Z Score Indication
< 1, 20 Distress area
1,20 – 2,90 Grey area
> 2,90 Safe area
< 1, 10 Distress area
1,10 – 2,60 Grey area
> 2,90 Safe area
Sumber : The Analysis and Use of Financial Statement oleh Gerald I White (2006)
38
Sementara teori mengenai model Z Score Altman menurut Mamduh M.
Hanafi dan Abdul Halim (2009:274-275) untuk perusahaan yang telah go public
memakai model sebagai berikut :
Zi = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
Dimana :
X1 = (Aktiva lancar – Hutang lancar)/Total Aktiva
X2 = Laba Yang Ditahan/Total Aset
X3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak/Total Aset
X4 = Nilai pasar saham biasa dan preferen/Nilai buku total hutang
X5 = Penjualan/Total Aset
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyak perusahaan
yang tiddak go public, dan dengan demikian tidak mempunyai nilai pasar. Untuk
beberapa negara seperti Indonesia, perusahaan semacam itu merupakan bagian
terbesar yang ada. Altman kemudian mengembangkan model alternatif dengan
menggantikan variabel X4 (Nilai pasar saham preferen dan biasa/nilai buku total
hutang). Dengan cara demikian model tersebut bisa dipakai baik untuk
perusahaan yang go public maupun yang tidak go public. Persamaan yang
diperoleh dengan cara semacam itu adalah sebagai berikut :
Zi = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
Dimana :
X1 = (Aktiva lancar – Hutang lancar)/Total Aktiva
X2 = Laba Yang Ditahan/Total Aset
X3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak/Total Aset
X4 = Nilai buku saham biasa dan preferen/Nilai buku total hutang
X5 = Penjualan/Total Aset
39
Titik cut-off yang dilaporkan Altman adalah berikut ini :
Dengan Nilai Pasar Dengan Nilai Buku
Safe area (Z >) 2,99 2,90
Distress area (Z <) 1,81 1,20
Grey area 1,81-2,99 1,20-2,90
Sumber: Analisis Laporan Keuangan Mamduh M. Hanafi & Abdul Halim (2009:274-275)
Menurut Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim (2009:261), prediksi
financial distress perusahaan menjadi perhatian dari banyak pihak. Pihak-pihak
yang menggunakan model tersebut meliputi:
1. Pemberi Pinjaman (seperti pihak Bank). Informasi financial deistress
bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi
pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor
pinjaman yang ada.
2. Investor. Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu
perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya
kemungkinan financial distress atau tidaknya perusahaan yang
menjual surat berharga tersebut. Investor yang menganut strategi aktif
akan mengembangkan model prediksi financial distress untuk melihat
tanda-tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian
mengantisipasi kemungkinan tersebut.
3. Pihak Pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembagapemerintah
mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha
tersebut (misal sektor perbankan). Juga pemerintah mempunyai
badan-badan usaha (BUMN) yang harus selalu diawasi.lembaga
pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda
40
kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa
dilakukan lebih awal.
4. Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi
kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan
going concern suatu perusahaan.
5. Manajemen. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan maka
perusahaan akan menanggung biaya langsung (fee akuntan dan
pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian penjualan atau
kerugian paksaan akibat ketetapan pengadilan). Sehingga dengan
adanya model prediksi financial distress diharapkan perusahaan
dapat menghindari kebangkrutan dan otomatis juga dapat
menghindari biaya langsung dan tidak langsung dari kebangkrutan.
Sementara beberapa akibat yang ditimbulkan dari financial distress
adalah sebagai berikut:
e. Risiko biaya kesulitan keuangan mempunyai dampak negatif terhadap
nilai perusahaan yang mengoffset nilai pembebasan pajak (tax relief)
atas peningkatan level hutang.
f. Jika pun manajer perusahaan menghindarkan likuidasi ketika terjadi
kesulitan keuangan, hubungannya dengan supplier, pelanggan,
pekerja, dan kreditor menjadi rusak parah.
g. Suplier penyedia barang dan jasa secara kredit mungkin lebih berhati-
hati, atau bahkan menghentikan pasokan sama sekali.
h. Para pelanggan akan mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama
dengan pihak lain.
41
2.2.5. Hubungan Rasio-rasio Keuangan yang dipakai dalam Model Altman Z-
Score dengan Financial Distress.
Menurut Edward I. Altman dalam The jurnal of finance, 1968 (594:596)
variabel-variabel yang berkaitan dalam penelitian ini serta hubungannya dengan
financial distress adalah sebagai berikut :
1. Working Capital / Total Assets (Modal Kerja / Total Aktiva)
Rasio pertama yang digunakan sebagai alat diskriminan adalah
rasio modal kerja terhadap total aktiva, ini sering kali dijumpai dalam studi
kasus permasalahan perusahaan, ini adalah ukuran bersih pada aktiva
lancar perusahaan terhadap modal perusahaan.
Modal kerja bersih adalah selisih antara aktiva lancar dikurangi
hutang lancar. Karakteristik likuiditas benar benar ditentukan secara jelas
biasanya sebuah perusahaan yang mengalami kerugian operasi yang
terus menerus akan menyusutkan aktiva lancar sehubungan dengan total
aktiva.
Diantara penilaian terhadap rasio likuiditas, rasio ini terbukti paling
berharga. Pemasukan variabel ini sesuai dengan studi Merwin yang
menilai modal kerja bersih pada rasio total aktiva sebagai indikator terbaik
terhadap penghentian terakhir.
2. Retained Earning / Total Assets (Laba yang Ditahan / Total Aktiva)
Adalah ukuran dari profitabilitas kumulatif lewat waktu disebutkan
pada awalnya sebagai satu dari rasio baru. Usia perusahaan dinyatakan
secara implisit dalam rasio ini, sebagai contoh, sebuah perusahaan baru
relatif mungkin akan menunjukan rasio laba ditahan/total aktiva yang
rendah karena tidak adanya waktu untuk menambah laba kumulatifnya.
Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa perusahaan baru nampak
berbeda dari analisis ini, dan kesempatan/peluang untuk diklasifikasikan
dalam golongan bangkrut relatif lebih tinggi dari yang lainnya, dari pada
perusahaan perusahaan yang lebih tua, jika hal-hal lain diasumsikan tidak
mempengaruhi (cateris paribus). Tapi, ini merupakan keadaan yang
sesungguhnya di dunia nyata. Timbulnya kegagalan lebih tinggi dalam
tahun-tahun awal perusahaan.
3. Earning Before Interest and Taxes / Total Assets (Laba Sebelum Bunga
dan Pajak / Total Aktiva)
Rasio ini dihitung dangan membagi total aktiva perusahaan
dengan penghasilan sebelum bunga dan potongan pajak dibagi dengan
total aktiva. Pada pokoknya, merupakan ukuran produktivitas dari aktiva
perusahaan yang sesungguhnya terlepas dari pajak atau faktor leverage.
Sejak keberadaan pokok perusahaan didasarkan pada kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva aktivanya, rasio ini muncul menjadi yang
42
paling utama sesuai untuk studi yang berhubungan dengan kegagalan
perusahaan.
Selanjutnya keadaan bangkrut dalam pengertian kebangkrutan
terjadi saat total kewajiban melebihi penilaian wajar perusahaan terhadap
aktiva perusahaan dengan nilai ditentukan oleh kemampuan aktiva
menghasilkan laba.
4. Market Value of Equity / Book Value of Debt (Nilai Buku Saham Biasa
dan Saham Preferen / Nilai Buku Total Utang)
Modal diukur melalui gabungan nilai pasar dan keseluruhan
lembar saham preferen dan biasa. Sementara hutang meliputi hutang
lancar dan hutang jangka panjang. Ukuran tersebut menunjukan
seberapa banyak aktiva perusahaan dapat menurun nilainya (diukur dari
nilai pasar modal ditambah hutang) sebelum kewajiban (hutang) melebihi
aktiva dan perusahaan menjadi bangkrut.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan dengan nilai pasar dari
modalnya sebesar 1.000 dollar dan hutang 500 dollar dapat mengalami
2/3 penurunan nilai aktiva sebelum kebangkrutan, bagaimanapun
perusahaan yang sama dengan modal 250 dollar akan bangkrut jika
penurunannya hanya 1/3 nilainya. Rasio ini menambahkan dimensi nilai
pasar yang tidak ditentukan oleh studi mengenai kebangkrutan lainnya.
Rasio ini juga tampak menjadi penentu kebangkrutan yang lebih efektif
dari pada rasio serupa yang lebih umum digunakan.
5. Sales / Total Asset (Penjualan / Total Aktiva)
Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang
menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva
perusahaan merupakan suatu ukuran dari kemampuan manajemen
dalam menghadapi kondisi yang kompetitif. Rasio akhir ini cukup penting,
walaupun dalam faktanya signifikan dari ukuran rasio ini tidak dapat
ditampakkan semuanya tapi karena relasi yang unik diantara variabel
dalam model ini, rasio penjualan atau total aktiva menjadi rangking kedua
dalam kontribusi keseluruhan ketepatan model diskriminan.
Adapun beberapa penelitian yang memakai Model Altman Z-Score dan
menggunakan rasio-rasio seperti yang telah dijelaskan di atas, mengenai analisis
financial distress yang dilakukan di Indonesia sampai pada tahun 2011 antara
lain :
43
TABEL 2.2.
MATRIKS PENELITIAN EMPIRIS TERDAHULU 2005-2011
NO TAHUN NAMA
PENELITI
JUDUL
PENELITIAN KESIMPULAN
1 2005 YULIA
PURWANTI
ANALISIS RASIO
KEUANGAN
DALAM
MEMPREDIKSI
KONDISI
KEUANGAN
FINANCIAL
DISTRESS
PERUSAHAAN
MANUFAKTUR
YANG
TERDAFTAR DI
BURSA EFEK
JAKARTA
Metode yang digunakan untuk
membuktikan apakah benar rasio
keuangan (di luar model Altman)
berpengaruh signifikan terhadap
kondisi financial distress adalah regresi
logit.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak ada rasio keuangan lain
yang dapat digunakan sebagai alat
untuk memprediksi kondisi financial
distress perusahaan selain rasio –
rasio keuangan yang digunakan dalam
model Altman.
2 2005 APRILIA NUGRAHENI
ANALISIS KETEPATAN PREDIKSI POTENSI KEBANGKRUTAN MELALUI ALTMAN Z-SCORE DAN HUBUNGANNYA DENGAN HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG LISTING DI BURSA EFEK JAKARTA
Sampel dalam penelitian ini adalah 17 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1999-2003. Dua variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah Altman Z-Score dan harga saham. Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi yang diambil dari laporan keuangan perbankan dan buku-buku yang menunjang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Altman Z-Score dan Korelasi Product Moment dari Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama lima tahun berturut-turut nilai Z-Score yang dimiliki oleh semua perusahaan perbankan masih dibawah 1,2 sehingga berada di wilayah ketiga yaitu yang diprediksi mengalami kebangkrutan. Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa potensi kebangkrutan Altman Z-Score berhubungan dengan harga saham dengan adanya korelasi sebesar 22,6 % dengan taraf kepercayaaan 95 %. Kesimpulan hasil penelitian ini bahwa Altman Z-Score bisa diterapkan untuk memprediksi potensi kebangkrutan di
44
Indonesia
3 2008 SINTA KARTIKA WATI
ANALISIS Z-SCORE DALAM MENGUKUR KINERJA KEUANGAN UNTUK MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN PADA TUJUH PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI
BURSA EFEK
JAKARTA
Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan, kinerja serta membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan metode Altman Z-Score. Kesimpulan dari Skripsi ini adalah PT.
Gudang Garam Tbk dan PT. Kimia
Farma Tbk berada pada kondisi sehat,
PT. Kalbe Farma Tbk berada pada
kondisi sehat namun sempat berada
pada kondisi bangkrut dan gray area.
PT. Indofood Sukses Makmur Tbk
berada pada kondisi gray area. PT.
Ultrajaya Milk Tbk berada pada kondisi
gray area dan sempat dikatakan
bangkrut. PT. Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk berada pada kondisi
gray area dan sempat dikatakan
bangkrut. PT. Mayora Indah Tbk
mempunyai kondisi keuangan yang
naik turun. Secara metodologi
penggunaan metode Altman Z-Score
dapat mengidentifikasi keadaan suatu
perusahaan.
4 2008 ENDRI
PREDIKSI KEBANGKRUTAN BANK UNTUK MENGHADAPI DAN MENGELOLA PERUBAHAN LINGKUNGAN BISNIS: ANALISIS MODEL
ALTMAN‟S Z-
SCORE
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan tiga sampel Islam bank Indonesia. Studi ini berlaku Z-Score Altman Model selama periode 2005-2007 dan hasilnya menunjukkan bahwa semua Bank-bank Islam di sampel diperkirakan akan bangkrut. Penelitian ini membawa implikasi bagi
manajemen bank untuk memperbaiki
keuangan kinerja untuk masa depan
untuk menghindari prediksi peluang
kebangkrutan.
5 2008 ARRY PRATAMA RUDYAWAN DAN I DEWA NYOMAN
OPINI AUDIT GOING CONCERN: KAJIAN BERDASARKAN
Penilaian going concern harus disampaikan oleh auditor dan ditambahkan ke dalam opini audit. Auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah ada keraguan
45
BADERA
MODEL PREDIKSI KEBANGKRUTAN, PERTUMBUHAN PERUSAHAAN, LEVERAGE, DAN
REPUTASI
AUDITOR
substansial tentang kemampuan entitas untuk terus beroperasi untuk jangka waktu yang wajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model prediksi kebangkrutan altman, pertumbuhan perusahaan, leverage, dan reputasi auditor pada kekhawatiran akan opini audit. Hasilnya menunjukkan bahwa model prediksi kebangkrutan altman mempengaruhi akurasi masalah opini going concern. Namun, pertumbuhan perusahaan, leverage, dan reputasi auditor tidak melakukannya.
6 2008 DIANA ATIM IFLAHA
ANALISIS FINANCIAL DISTRESS DENGAN METODE Z-SCORE UNTUK MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN.
(Studi Pada
Perusahaan
Restoran, Hotel
dan Pariwisata
yang Listing di
Bursa Efek
Indonesia Periode
2003-2007)
Zscore adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk memprediksi pekerjaan keuangan dan posisi keuangan dalam perusahaan masing-masing. Pencapaian terburuk keuangan memicu kebangkrutan. Metode yang digunakan untuk menganjurkan metode Z-Score adalah analisis tren. penelitian yang digunakan perusahaan sembilan restoran, hotel dan pariwisata yang telah menerbitkan laporan keuangan dalam lima tahun terakhir sebagai objek. yang diambil.analisis tren nemukan bahwa salah satu perusahaan mengalami berfluktuasi tren. Jadi semua perusahaan berada dalam posisi trend berfluktuasi.
7 2009 NUNUNG ARIANI
ANALISIS PERBANDINGAN MODEL ALTMAN (Z SCORE) DAN MODEL ZAVGREN (LOGIT) UNTUK MEMPREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PADA PERUSAHAAN YANG LISTING DI BURSAEFEK INDONESIA (BEI)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan adalah: menghitung financial distress dengan cara membandingkan rasio operating profit/interest expense, menghitung nilai altman (z-score) dan mengklasifikasikan berdasarkan titik cut off, menghitung nilai zavgren (logit) dan mengklasifikasikan berdasarkan rentang interval, membandingkan antara kedua model untuk mengetahui model yang lebih baik dalam memprediksi financial distress.
8 2011 GABRIELLA
ANALISIS PREDIKSI KEBANGKRUTAN PADA
Prediksi kebangkrutan menggunakan analisis z-score altman dan melihat bagaimana keadaan perusahaan manufaktur secara individu
46
PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA
perusahaan maupun secara keseluruhan dengan melihat laporan keuangan perusahaan pada tahun 2009-2010.
Diolah dari berbagai sumber skripsi dan jurnal
2.3. Pasar Modal
2.3.1. Pengertian Pasar Modal
Pasar modal merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penawaran
umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek
yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Pasar Modal menyediakan berbagai alternatif bagi para investor selain alternatif
investasi lainnya, seperti: menabung di bank, membeli emas, asuransi, tanah dan
bangunan, dan sebagainya. Pasar Modal bertindak sebagai penghubung. Pasar
Modal bertindak sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan
ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen melalui jangka
panjang seperti obligasi, saham, dan lainnya.
Setiap perusahaan membutuhkan pasar keuangan (financial market)
untuk mendukung sumer dananya. Pasar keuangan terdiri dari pasar uang
(money market) dan pasar modal (capital market). Pasar uang berkaitan dengan
penyediaan dana-dana berjangka panjang.
Pengertian pasar modal secara umum menurut Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 1548/KMK/1990 Tentang Peraturan Pasar Modal adalah :
“Suatu sistem keuangan yang terorganisir, termasuk di dalamnya adalah
bank-bank komersial dan semua lembaga perantara di bidang jasa keuangan,
serta keseluruhan surat-surat berharga yang beredar.”
47
Sedangkan dalam arti sempit pasar modal adalah “suatu tempat dalam
pengertian fisik yang mengorganisasikan transaksi penjualan efek yang disebut
sebagai bursa efek”.
Pengertian pasar modal menurut Undang-undang Pasar Modal Nomor 8
Tahun 1995 pasal 1, “Pasar modal sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan
penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan public yang berkaitan
dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan
dengan efek”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pasar modal merupakan
tempat bertemunya pihak yang mengalami kekurangan modal dengan pihak
yang mengalami kelebihan modal yang saling membutuhkan dan melakukan
berbagai permintaan dan penawaran.
2.3.2. Fungsi Pasar Modal
Pasar modal memiliki beberapa fungsi strategis yang menyebabkan
lembaga ini mempunyai daya tarik bagi pihak yang membutuhkan dana, pihak
yang memiliki dana, maupun pemerintah. Pemenintah sangat berkepentingan
dalam pembinaan pasar modal, karena dengan membaiknya kondisi pasar modal
bisa mencegah terjadinya capital flight atau pelarian modal ke luar negeri.
Sutrisno dalam bukunya Manajemen Keuangan Teori, Konsep dan
Aplikasi (2008:301) memaparkan beberapa fungsi strategis dari pasar modal
yaitu :
1. Sebagai Sumber Penghimpunan Dana
Kebuluhan dana perusahaan bisa dipenuhi dari berbagai sumber
pembiayaan. Salah satu sumber dana yang bisa dimanfaatkan oleh
perusahaan adalah pasar modal, selain sistem perbankan yang
selama lni dikenal sebagal media perantara keuangan secara
konvensional. Ada beberapa keterbatasan apabila perusahaan
48
memanfaatkan bank sebagai sumber dana. Keterbatasan tersebut
adalah jumlah dana yang bisa ditarik dari perbankan terbatas, karena
pada industri perbankan dikenal dengan adanya Legal Lending Limit
atau Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK). Sehingga bila
perusahaan ingin menggalang dana yang jumlahnya relatif besar
akan terhambat dengan aturan perbankan tersebut. Oleh karena itu
perusahaan bisa masuk ke pasar modal untuk menggalang dana
yang besarnya sesuai dengan yang diharapkan tanpa ada batasan
besarnya dana.
2. Sebagai Sarana Investasi
Pada umumnya perusahaan yang menjual surat berharga (saham
atau obligasi) ke pasar modal adalah perusahaan yang sudah
mempunyai reputasi bisnis yang baik dan kredibel, sehingga efek-efek
yang dikeluarkan akan laku dijualbelikan di bursa. Sementara, pemilik
dana atau investor jika tidak ada pilihan lain mereka akan
menginvestasikan pada perbankan yang notabene mempunyai tingkat
keuntungan yang relatif kecil. Dengan adanya surat berharga yang
mudah dijualbelikan, maka bagi investor merupakan alternatif
instrument investasi. Investasi di pasar modal leblh fleksibel, sebab
setiap investor bisa dengan mudah memindahkan dananya dan satu
perusahaan ke perusahaan lainnya atau dan satu industri ke industri
lainnya. Oleh karena itu pasar modal sebagai salah satu alternatif
instrumen penempatan dana bagi investor selain di perbankan atau
investasi langsung lainnya.
3. Pemerataan Pendapatan
Pada dasarnya apabila perusahaan tidak melakukan go public,
pemilik perusahaan terbatas pada personal-personal pendiri
perusahaan yang bersangkutan. Dengan go publicnya perusahaan
memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk ikut serta
memiliki perusahaan tersebut. Dengan demikian akan memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menikmati keuntungan
dan perusahaan berupa bagian keuntungan atau dividen, sehingga
semula hanya dinikmati oleh beberapa orang permilik, akhirnya bisa
dinikmati oleh masyarakat artinya ada pemerataan pendapatan
kepada masyarakat.
4. Sebagai Pendorong lnvestasi
Sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk memajukan
pembangunan dan perekonomian negaranya. Untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan memajukan pembangunan membutuhkan
investasi besar. Pemerintah tidak akan mampu untuk melakukan
investasi sendiri tanpa dibantu oleh pihak swasta nasional dan asing.
Untuk mendorong agar pihak swasta dan asing mau melakukan
investasi baik secara langsung maupun tidak langsung, pemerintah
harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi mereka.
49
Salah satu iklim investasi yang kondusif adalah likuidnya pasar modal.
Semaki baik pasar modal, semakin banyak perusahaan yang akan
masuk.
2.3.3. Penggolongan Pasar Modal
Penjualan saham yang dilakukan oleh perusahaan yang go public kepada
masyarakat bisa dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan jenis pasar dan
sekuiritas yang akan dijual. Jenis-jenis pasar tersebut adalah :
a. Pasar Perdana
Pasar perdana menurut Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia adalah penawaran efek dari emiten kepada para
pemodal selama masa tertentu sebelum efek-efek tersebut dicatatkan
di bursa. Biasanya dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 6 hari
kerja.
Pada pasar perdana, penjamin emisi dibantu para agen
penjualan untuk menyebarkan prospectus, melayani pemesanan
saham, penjatahan saham dan pengembalian uang pemesanan
apabila pemesan tidak memperoleh jatah saham. Jika masa
penawaran perdana selesai, selanjutnya efek-efek tersebut dapat
diperdagangkan di pasar sekunder.
b. Pasar Sekunder
Pasar sekunder adalah perdaganan efek setelah melewati
masa penawaran pada pasar perdana dalam waktu selambat-
lambatnya 90 hari setelah ijin emisi diberikan maka efek tersebut
harus dicatatkan di bursa. Sejak pencatatanini maka perdagangan
efek dilakukan di bursa dimana transaksi dilakukan melalui
perdagangan efek dan pedagang efek yang menjadi anggota bursa.
50
Tempat terjadinya pasar sekunder terdapat 2 tempat, yaitu :
1. Bursa Reguler
Bursa regular adalah bursa efek resmi, seperti Bursa Efek Jakarta
(BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES).
2. Bursa Paralel
Bursa parallel atau over the counter adalah suatu sistem
perdagangan efek yang terorganisisr di luar bursa efek resmi,
dengan bentuk pasar sekunder yang diatur dan diselenggarakan
oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE),
diawasi dan diina oleh Bapepam. Disebut over the counter karena
pertemuan antara penjual dan pembeli tidak dilakukan di suatu
tempat tertentu tapi tersebar di antara kantor para broker atau
dealer.
2.3.4. Pelaku Pasar Modal
Semaraknya aktivitas pasar modal tidak terlepas dengan adanya pemain-
pemain pasar di bursa. Menurut Sutrisno (2008:307-309) Ada beberapa pemain
yang meramaikan lantai bursa, yaitu:
1) Investor, yakni instansi atau individu yang melakukan jual beli
instrumen pasar modal yang tujuan pemilik efeknya untuk jangka
panjang. Contohnya Yayasan dana pensiun, perusahaan asuransi,
dan perusahaan-perusahaan lainnya.
2) Spekulator, adalah instansi atau individu yang melakukan jual beli
instrumen investasi pasar modal untuk tujuan jangka pendek.
Biasanya pemain ini di bursa lebih banyak.
51
3) Acquisitor, merupakan instansi yang tujuan dalam pembelian saham
untuk ikut mengendalikan perusahaan yang mengeluarkan saham.
Biasanya acquisitor ini akan masuk pasar modal bila terjadi penjualan
saham secara besar-besaran melalui tender over, sehingga bisa
membeli dalam porsi yang besar dan bisa ikut dalam manajemen
perusahaan.
Dari ketiga pemain tersebut di atas yang lebih banyak terlibat dalam
transaksi sehari-hari adalah spekulator dan investor. Bila dibandingkan antara
investor dan spekulator, maka perbedaannya bisa dilihat dari :
Table 2.3.
Perbedaan antara Investor dan Spekulator
No Sisi Perbedaan Investor Spekulator
1 Karkteristik Mempunyai time frame jangka
panjang, sehingga perputaran efek
yang dimiliki lambat dan tingkat risiko
yang diambil rendah demikian pula
tingkat keuntungannya.
Mempunyai time frame
berjangka pendek, sehingga
perputaran efek yang dimiliki
cepat. Tingkat risikonya
tinggi namun tingkat
keuntungannya juga tinggi.
2 Strategi Membeli saham bila dinilai harganya
wajar (fair value) dengan jenis
saham yang mempunyai trend
meningkat, sehingga dalam jangka
panjang harga saham meningkat dan
bila nantinya dijual akan menapatkan
capital gain. Analisis yang digunakan
adalah analisis fundamental, yakni
melihat kinerja perusahaan yang
mengeluarkan efek.
Memilih saham yang
harganya bergejolak atau
price movement, dan akan
membeli saham pada saat
harga rendah (under value)
dan menjualnya pada saat
harga tinggi. Sedangkan
analisis investasi yang
digunakan adalah analisis
teknikal.
3 Tujuan Untuk mendapatkan dividen dan
capital gain.
Hanya mengharapkan
keuntungan dari capital gain.
Sumber : Manajemen Keuangan Teori, Konsep dan Aplikasi oleh Sutrisno (2008:307-309)
52
2.3.5. Saham
a. Pengertian saham
Menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1995 “Saham
bursa efek adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak
suara yang sama”.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Dan Peraturan Pasar Modal No.8
Tahun 1995: “Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat
berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek dan setiap derivatif dari efek”.
Menurut John Downes dan Jordan Elliot Goodman (1994: 213): “Saham
(stock) adalah kepemilikan suatu perseroan yang diwakili oleh saham yang
merupakan klaim atas penghasilan dan aktiva perusahaan”.
Menurut Anatoli Karvof (2004:33): “Saham adalah surat penyertaan atas
kepemilikan dari suatu perusahaan”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Suad Husnan (2000:115) pengertian
saham adalah :
Saham merupakan sekuiritas yang memberikan penghasilan yang tidak
tetap bagi pemiliknya. Pemilik saham akan menerima penghasilan dalam
bentuk dividen dan perubahan harga saham. Jika harga saham
meningkat dari harga beli, maka pemodal dikatakan memperoleh capital
gains, apabila sebaliknya disebut capital loss.
Definisi tentang saham pada dasarnya hampir sama, yaitu
mengemukakan bahwa saham merupakan bukti kepemilikan seseorang pada
suatu perusahaan. Membeli saham berarti membeli perusahaan atau memiliki
hak suara di dalam perusahaan tersebut.
Dalam makalah seminar Training of Stock Exchange (2007), keuntungan,
hak dan resiko pemegang saham adalah sebagai berikut :
53
Keuntungan dari pemegang saham :
a. Selisih positif harga jual dikurangi harga beli (capital gain)
b. Dividen (tunai atau saham) yang dibagikan kepada pemegang saham
c. Saham bonus (jika ada)
Hak pemegang saham :
a. Dividen
b. Hak suara dalam RUPS
c. Mendapat bagian jika perusahaan dilikuidasi
Resiko pemegang saham :
a. Turunnya harga saham pada saat menjual kembali (capital loss)
b. Bila emiten rugi kemungkinan tidak ada pembagian dividen
c. Bila emiten dinyatakan bangkrut hak klaim pemegang saham adalah
terakhir.
b. Jenis saham
Menurut Sutrisno (2005:4-6) saham-saham dapat dibedakan menurut
tingkatannya dalam perdagangan saham, yaitu :
1. Saham Utilitas.
2. Saham Blue Chip.
Saham yang dikategorikan dalam jenis ini adalah saham-saham dari
perusahaan-perusahaan besar yang sudah sangat mapan, misalnya
perusahaan multinasional seperti IBM, General Electic dan sebagainya di
Indonesia dapat dikatakan antara lain PT. Telkom tbk, PT Astra
Internasional tbk, dan Bank Mandiri. Namun demikian bukan tanpa resiko
menanamkan modal diperusahaan tersebut. Dengan besarnya
perusahaan, maka biasanya deviden yang diterima para pemodal akan
kecil jumlah persahamnya, sehingga bagi pemodal-pemodal kecil tidak
begitu menguntungkan.
3. Saham Establish Growth.
4. Saham Emerging Growth.
5. Saham Penny.
2.3.6. Delisting
a. Pengertian Delisting
Delisting atau penghapusan pencatatan saham adalah adalah kebijakan
yang dilakukan oleh bursa efek untuk mengeluarkan emiten dari bursa, artinya
saham-saham emiten tersebut sudah tidak tercatat lagi di bursa efek. Pada
54
dasarnya delisting berhubungan dengan fakta yang menunjukkan bahwa
perusahaan tercatat (di bursa efek) sesungguhnya memiliki kondisi ekonomi,
likuiditas, dan kepatuhan terhadap peraturan pasar modal yang lebih buruk dari
kondisi sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa perusahaan yang terkena delisting
adalah perusahaan yang mempunyai masalah serius.
Ada sejumlah indikator yang dijadikan pegangan dalam menilai kondisi
delisting. Misalnya dalam hal laporan perkembangan setiap bulan, indikator yang
perlu diperhatikan mulai dari kepatuhan melakukan kewajiban dalam bentuk
laporan keuangan dan kejadian-kejadian penting perusahaan, frekuensi dan
volume transaksi, jumlah pemegang saham hingga kapitalisasi pasar.
b. Kriteria Delisting
Bursa mengapus pencatatan saham emiten sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Berikut adalah kondisi-kondisi dimana bursa bisa menghapus
pencatatan saham emiten di bursa yaitu :
1. Pernyataan pendaftaran yang telah menjadi efektif dibatalkan atau
dibekukan oleh Bapepam.
2. Perusahaan yang menggabungkan diri dengan perusahaan lain atau
melakukan peleburan perusahaan.
3. Perusahaan dilikuidasi.
4. Diputuskan pailit oleh Penadilan Niaga.
5. Dibekukan izin usaha yang memberikan kontribusi penjualan atau
pendapatan utama.
55
6. Harga teoritis saham hasil stock split, saham bonus, dan atau saham
dividen, atau penerbitan efek bersifat ekuitas selain saham kurang dari 20
x fraksi.
7. Laporan keuangan emiten memperoleh pendapat adverse pada tahun
buku terakir.
8. Tidak menyampaikan corporate plan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan bursa.
9. Mengalami kerugian usaha dan atau mengalami kerugian setelah pajak
selama 4 tahun berturut-turut (setelah tercatat di bursa).
10. Memiliki ekuitas negative selama tiga tahun berturut-turut (setelah tercatat
di bursa).
11. Perdagangan saham dihentikan (suspensi) selama 12 bulan berturut-turut
karena alas an apapun.
12. Tidak terjadi transaksi di pasar reguler selama Sembilan bulan berturut-
turut (tidak termasuk masa suspensi).
13. Harga rata-rata penutupan saham yang terjadi selama 3 bulan berturut-
turut kurang dari Rp 50 (lima puluh rupiah).
14. Rata-rata volume transaksi di pasar reguler selama 12 bulan berturut-
turut kurang dari sepuluh ribu saham perbulan.
15. Jumlah saham yang dimiliki pemegang saham minor (bukan majority
shareholders) kurang dari 5% dari modal disetor dan kurang dari sepuluh
juta saham dalam jangka waktu 6 bulan terakhir berturut-turut.
16. Jumlah pemegang saham yang memiliki minimal satu tahun perdagangan
kurang dari 100 pemegang saham dalam jangka waktu 6 bulan terakhir
berturut-turut.
56
17. Emiten tidak lagi memenuhi persyaratan umum pencatatan apabila
bidang usahanya baik langsung maupun tidak langsung dilarang oleh
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan emiten yang
bersangkutan memberikan kontribusi pendapatan lebih dari 50% kepada
anak/induk perusahaannya dimana anak/induk perusahaan tersebut juga
merupakan emiten di bursa.
18. Perusahaan yang tercatat sebagai perusahaan pertambangan tidak lagi
mempunyai :
a. Kuasa penambangan atau surat izin penambangan daerah.
b. Jumlah cadangan (deposit) tidak lagi memenuhi persyaratan
ekonomis.
c. Direktur yang memiliki kemampuan teknis yang berpengalaman di
bidang pertambangan sesuai dengan kegiatan usaha perusahaan
selama 6 bulan berturut-turut.
c. Prosedur Delisting
Bila emiten yang mengalami minimal satu kondisi delisting yaitu :
a. Pernyataan pendaftarannya dibatalkan atau dibekukan oleh Bapepam
b. Emiten mengalami merger
c. Akuisisi
d. Emiten dilikuidasi, maka bursa paling lambat pada hari bursa
berikutnya mengumumkan di lantai bursa tentang penghapusan
saham tersebut
Bila emiten mengalami salah satu kondisi yang mengarah delisting di luar
dari empat kondisi di atas, maka prosedur delisting dilakukan sebagai berikut :
57
a. Bursa memberitahukan mengenai keputusan delisting dan jadwal
pelaksanaannya kepada emiten yang bersangkutan pada hari bursa yang
sama saat dikeluarkannya keputusan tersebut dengan tembusan kepada
Bapepam.
b. Bursa mengumumkan mengenai keputusan delisting tersebut termasuk
jadwal pelaksanaannya. Pengumuman dilakukan paling lambat pada saat
hari bursa berikutnya setelah adanya keputusan delisting tersebut.
c. Saham emiten di atas dapat diperdagangkan di bursa pada pasar
negoisasi selama 20 hari bursa terhitung sejak berakhirnya masa
suspense dan penyelesaian transaksinya tidak dilakukan KPEI.
d. Penghapusan pencatatan saham emiten dari daftar efek yang tercatat di
bursa berlaku efektif pada hari bursa berikutnya setelah berakirnya masa
perdagangan.
e. Paling lambat lima hari bursa sebelum berakhirnya masa perdagangan,
maka bursa menggunakan tanggal efektif delidting saham emiten
tersebut.
d. Dampak Delisting Perusahaan
1. Bagi Investor
Pada kondisi tertentu kebijaksanaan delisting memang bisa
merugikan investor karena beberapa alasan yaitu :
a. Delisting menyebabkan investor kehilangan cara untuk
memperdagangkan sahamnya secara efisien dan transparan.
58
b. Delisting menyebabkan investor kehilangan informasi tentang
besarnya modal perusahaan, tingkat operasi perusahaan dan
jumlah pemegang sahamnya.
c. Delisting menyebabkan investor kesulitan dalam mendapatkan
market information yang mempengaruhi perkembangan harga
saham.
2. Bagi Kreditur
Delisting menyebabkan kreditur kehilangan informasi tentang
kinerja perusahaan, sehingga akan kesulitan dalam pemberian kredit
kepada perusahaan tersebut.
3. Bagi perusahaan yang di-delist
Dengan tidak tercatatnya perusahaan di bursa efek, akan menyebabkan
perusahaan yang bersangkutan mengalami kesulitan dalam melakukan
restrukturisasi keuangan yang telah dilakukannya.
2.4. Definisi Konsepsional
Untuk dapat mempelajari permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis akan menjelaskan definisi konsepnya. Berdasarkan uraian dari latar
belakang dan dasar teori, maka penulis memberikan batasan definisi
konsepsional pada penulisan ini sehingga dapat diperoleh arah dan pengertian
yang jelas.
Kesulitan keuangan (Financial Distress) diartikan sebagai suatu kondisi
dimana perusahaan secara keuangan mengalami kemacetan (penurunan).
Dalam hal ini penulis mencoba untuk menghubungkan antara kondisi financial
distress pada perusahaan berkategori net operating income negatif dan dalam
59
satu tahun lebih tidak melakukan pembayaran dividen dengan kemungkinan
perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Dimana alat analisis yang
digunakan adalah Z Score model Altman modifikasi 1983.
Dalam perkembangannya Z Score Altman sendiri mengalami beberapa
perubahan. Sehingga dari hasil perkembangan itu, menghasilkan beberapa
bentuk perhitungan.
Rasio Likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka
pendeknya.
Rasio-rasio yang dipakai dalam Model Altman Z-Score yang hubunganya
terhadap financial distress telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut :
1. Rasio likuiditas atau Liquidity ratios
Rasio-rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
2. Rasio laverage atau Laverage ratios
Rasio-rasio yang digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh
aktiva perusahaan diiayai dengan hutang.
3. Rasio aktivitas atau Activity ratios
Rasio-rasio untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam
memanfaatkan sumber dananya.
4. Rasio keuntungan atau Profitability ratios
Adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
profitabilitas.
60
Perusahaan adalah organisasi yang terstruktur yang melakukan kegiatan
bisnis meliputi proses manajemen dan produksi yang tujuan utamanya (main
purpose) adalah memperoleh keuntungan (profit).
Bursa Efek Indonesia adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem atau sarana untuk perdagangan efek saham yang
berkedudukan di Jakarta.
Tabel 2.4.
Rumus Z Score Altman
Modifikasi tahun 1983
Zi = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
X1 = (Aktiva lancar – Hutang lancar)/Total Aktiva
X2 = Laba Yang Ditahan/Total Aset
X3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak/Total Aset
X4 = Nilai buku saham biasa dan preferen/Nilai buku total hutang
X5 = Penjualan/Total Aset
Titik cut-off yang dilaporkan Altman adalah berikut ini :
Dengan Nilai Buku
Distress area (Z <) 1,20
Grey area 1,20-2,90
Safe area (Z >) 2,90
Sumber: Analisis Laporan Keuangan Mamduh M. Hanafi & Abdul Halim (2009:274-275)
61
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai klasifikasi nilai Z dari model Altman Z-
Score :
a. Distress area disini berarti perusahaan memperoleh nilai Z yang
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sedang mengalami kesulitan
keuangan dan berpotensi pada kebangkrutan.
b. Grey area berarti perusahaan memperoleh nilai Z yang menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut masuk ke dalam zona abu-abu atau berada
pada kondisi keuangan diantara financial distress dan kondisi keuangan
yang aman.
c. Safe area berarti perusahaan memperoleh nilai Z yang menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut sedang dalam kondisi keuangan yang aman
atau tidak sedang mengalami financial distress.
62
2.5. Kerangka Pikir
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Manajemen Keuangan :
- Laporan Keuangan
- Kinerja Keuangan
- Financial Distress
- Kebijakan Deviden
Bursa Efek Indonesia :
Pasar Modal di Indonesia
- Laporan Keuangan
- Kinerja Keuangan
Rumusan Masalah
Apakah kondisi pada perusahaan yang memiliki NOI negatif dan tidak
melakukan pembayaran dividen lebih dari satu tahun dapat mengalami
Financial Distress?
Alat Analisis Z Score Model Altman
Z’ = 0,717 (X1) + 0,847 (X2) + 3,107 (X3) + 0,420 (X4) + 0,998 (X5)
Hasil Penelitian
Grey Area
Distress Area
Safe Area
63
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Untuk memudahkan pengertian tentang maksud dan tujuan penelitian ini
maka penulis merasa perlu untuk memerikan definisi operasional sehubungan
dengan judul penelitian ini tentang analisis financial distress pada perusahaan-
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Financial Distress adalah suatu kondisi kesulitan keuangan yang terjadi
karena ketidakseimbangan hutang terhadap nilai aktiva perusahaan pada suatu
waktu tertentu.
Bursa Efek Indonesia adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem atau sarana untuk perdagangan efek saham yang
berkedudukan di Jakarta.
Perusahaan adalah objek dari penelitian yang dalam hal ini dibatasi yaitu
hanya pada perusahaan yang mengalami Net Operating Income (laba bersih
operasi) negatif dan lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen.
Z Score Altman adalah model prediksi financial distress yang
dikembangkan oleh Edward I Altman yang menggunakan rasio keuangan untuk
menghitungnya, mencakup rasio likuiditas, rasio laverage dan rasio profitabilitas.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
X1 = (Aktiva lancar – Hutang lancar) / Total Aktiva
X2 = Laba Yang Ditahan / Total Aset
X3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak / Total Aset
X4 = Nilai buku saham biasa dan preferen / Nilai buku total hutang
X5 = Penjualan / Total Aset
64
Tetapi untuk mempermudah para pembaca, maka penulis mencoba untuk
menyesuaikan istilah-istilah yang di pakai pada laporan keuangan perusahaan-
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, beserta penjelasannya
sebagai berikut :
X1 = (Current Asset - Current Liability) / Total Asset
1. Selisih antara Current Asset dengan Current Liability
menunjukkan Working Capital (Modal Kerja) perusahaan dalam
periode tertentu.
2. Total Asset adalah jumlah keseluruhan asset yang dimiliki oleh
perusahaan, meliputi Current Asset, dan Non-Current Asset.
X2 = Retained Earning / Total Asset
1. Retained Earning diperoleh dari jumlah Retained Earning pada
neraca.
2. Total Asset adalah jumlah keseluruhan asset yang dimiliki oleh
perusahaan, meliputi Current Asset, dan Non-Current Asset.
X3 = Earning Before Interest and Taxes / Total Assets
1. EBIT diperoleh dari Gross Profit – (Operating Expenses + Other
Income (Expenses)).
2. Total Asset adalah jumlah keseluruhan asset yang dimiliki oleh
perusahaan, meliputi Current Asset, dan Non-Current Asset.
X4 = Book Value of Equity / Book Value to Total Debt
1. Dimana Book Value of Equity diperoleh dari Closing Price (harga
saham setahun) dikali dengan Total Listed Shares (jumlah
lembar saham yang terdaftar) tahun bersangkutan.
65
2. Book value to total debt adalah jumlah liabilities pada neraca,
atau hasil penjumlahan dari Current Liabilities dan Non-Current
Liabilities.
X5 = Sales / Total Asset
1. Sales adalah net sales hasil operasional dari perusahaan itu,
jika operasional utamanya adalah jasa maka penjualan disini
adalah pendapatan.
2. Total Asset adalah jumlah keseluruhan asset yang dimiliki oleh
perusahaan, meliputi Current Asset, dan Non-Current Asset.
Menurut Edward I. Altman dalam The Journal of Finance, 1968 (594:596)
hubungan antara variabel-variabel yang berkaitan dalam penelitian ini dengan
financial distress adalah sebagai berikut :
6. Working Capital / Total Assets (Modal Kerja / Total Aktiva)
Rasio pertama yang digunakan sebagai alat diskriminan adalah
rasio modal kerja terhadap total aktiva, ini sering kali dijumpai dalam studi
kasus permasalahan perusahaan, ini adalah ukuran bersih pada aktiva
lancar perusahaan terhadap modal perusahaan.
Modal kerja bersih adalah selisih antara aktiva lancar dikurangi
hutang lancar. Karakteristik likuiditas benar benar ditentukan secara jelas
biasanya sebuah perusahaan yang mengalami kerugian operasi yang
terus menerus akan menyusutkan aktiva lancar sehubungan dengan total
aktiva.
Diantara penilaian terhadap rasio likuiditas, rasio ini terbukti paling
berharga. Pemasukan variabel ini sesuai dengan studi Merwin yang
menilai modal kerja bersih pada rasio total aktiva sebagai indikator terbaik
terhadap penghentian terakhir.
7. Retained Earning / Total Assets (Laba yang Ditahan / Total Aktiva)
Adalah ukuran dari profitabilitas kumulatif lewat waktu disebutkan
pada awalnya sebagai satu dari rasio baru. Usia perusahaan dinyatakan
secara implisit dalam rasio ini, sebagai contoh, sebuah perusahaan baru
relatif mungkin akan menunjukkan rasio laba ditahan/total aktiva yang
rendah karena tidak adanya waktu untuk menambah laba kumulatifnya.
Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa perusahaan baru nampak
berbeda dari analisis ini, dan kesempatan/peluang untuk diklasifikasikan
66
dalam golongan bangkrut relatif lebih tinggi dari yang lainnya, dari pada
perusahaan perusahaan yang lebih tua, jika hal-hal lain diasumsikan tidak
mempengaruhi (cateris paribus). Tapi, ini merupakan keadaan yang
sesungguhnya di dunia nyata. Timbulnya kegagalan lebih tinggi dalam
tahun-tahun awal perusahaan.
8. Earning Before Interest and Taxes / Total Assets (Laba Sebelum Bunga
dan Pajak / Total Aktiva)
Rasio ini dihitung dangan membagi total aktiva perusahaan
dengan penghasilan sebelum bunga dan potongan pajak dibagi dengan
total aktiva. Pada pokoknya, merupakan ukuran produktivitas dari aktiva
perusahaan yang sesungguhnya terlepas dari pajak atau faktor leverage.
Sejak keberadaan pokok perusahaan didasarkan pada kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva aktivanya, rasio ini muncul menjadi yang
paling utama sesuai untuk studi yang berhubungan dengan kegagalan
perusahaan.
Selanjutnya keadaan bangkrut dalam pengertian kebangkrutan
terjadi saat total kewajiban melebihi penilaian wajar perusahaan terhadap
aktiva perusahaan dengan nilai ditentukan oleh kemampuan aktiva
menghasilkan laba.
9. Book Value of Equity / Book Value of Debt (Nilai Buku Saham Biasa dan
Saham Preferen / Nilai Buku Total Utang)
Modal diukur melalui gabungan nilai pasar dan keseluruhan
lembar saham preferen dan biasa. Sementara hutang meliputi hutang
lancar dan hutang jangka panjang. Ukuran tersebut menunjukan
seberapa banyak aktiva perusahaan dapat menurun nilainya (diukur dari
nilai pasar modal ditambah hutang) sebelum kewajiban (hutang) melebihi
aktiva dan perusahaan menjadi bangkrut.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan dengan nilai pasar dari
modalnya sebesar 1.000 dollar dan hutang 500 dollar dapat mengalami
2/3 penurunan nilai aktiva sebelum kebangkrutan, bagaimanapun
perusahaan yang sama dengan modal 250 dollar akan bangkrut jika
penurunannya hanya 1/3 nilainya. Rasio ini menambahkan dimensi nilai
pasar yang tidak ditentukan oleh studi mengenai kebangkrutan lainnya.
Rasio ini juga tampak menjadi penentu kebangkrutan yang lebih efektif
dari pada rasio serupa yang lebih umum digunakan.
10. Sales / Total Asset (Penjualan / Total Aktiva)
Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang
menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva
perusahaan merupakan suatu ukuran dari kemampuan manajemen
dalam menghadapi kondisi yang kompetitif. Rasio akhir ini cukup penting,
walaupun dalam faktanya signifikan dari ukuran rasio ini tidak dapat
ditampakkan semuanya tapi karena relasi yang unik diantara variabel
dalam model ini, rasio penjualan atau total aktiva menjadi rangking kedua
dalam kontribusi keseluruhan ketepatan model diskriminan.
67
3.2. Unit Analisis, Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah total dari seluruh unit/elemen di mana peneliti
tertarik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan go public yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sementara sampel adalah bagian tertentu
yang dipilih dari populasi.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.
Metode purposive sampling yaitu teknik pengambilan data dengan batasan-
batasan dan tujuan tertentu yang diharapkan dari penelitian ini. Pelaksanaan
pengambilan sampel secara purposive ini yaitu dengan menentukan terlebih
dahulu apa kriteria-kriteria sampel yang akan diambil. Kemudian peneliti
menetapkan berdasarkan pertimbangannya sebagian dari anggota populasi
menjadi sampel penelitian, sehingga teknik pengambilan sampel secara
porposive ini didasarkan pada kelengkapan laporan keuangan yang dibutuhkan
untuk memenuhi rasio-rasio yang dibutuhkan dalam analisis model Altman Z-
Score.
Sampel dalam penelitian ini adalah 20 perusahaan go public dari berbagai
macam industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011 dengan
kriteria, memiliki net operating income negatif dan selama lebih dari satu tahun
tidak melakukan pembayaran deviden.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber
lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Sumber data dalam
penulisan skripsi ini adalah dari berbagai sumber buku, jurnal dan penelitian
terdahulu, internet dan media lainnya yang mendukung penelitian. Sedangkan
68
untuk sumber data yang akan diolah dalam analisis penelitian dari buku
Indonesian Capital Market Dictionary (ICMD) tahun 2009 sampai dengan tahun
2011, dan situs web resmi Bursa Efek Indonesia www.idx.co.id.
Beberapa rincian data yang diperlukan dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut:
1. Gambaran umum PT. Bursa Efek Indonesia.
2. Struktur Bursa Efek Indonesia.
3. Neraca perusahaan-perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia untuk tahun 2009 – 2011.
4. Laporan laba-rugi perusahaan-perusahaan go public yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia untuk tahun 2009 – 2011.
5. Informasi lain yang diperlukan.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
digunakan teknik pengumpulan data, sebagai berikut :
1. Penelitian Lapangan (field work research)
Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan objek penelitian itu sendiri. Adapun teknik yang dilakukan dalam
penelitian lapangan ini adalah wawancara, observasi, serta teknik-teknik
pengumpulan data lainnya.
2. Penelitian Kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku
literatur, majalah, buletin, artikel yang berhubungan dengan penelitian yang
dimaksud untuk menambah perbendaharaan teori tentang permasalahan
yang dibahas.
69
3.5. Alat Analisis
Perusahaan yang akan diteliti adalah perusahaan swasta yang masih
terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia hingga tahun 2011, dengan kriteria
perusahaan tersebut mengalami laba operasi bersih atau Net Operating Income
negatif dan lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen. Periode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah periode 2009-2011.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multiple
Discriminant Model Altman atau biasa disebut Z Score model Altman yang
mengalami penyempurnaan terakhir pada tahun 1983 dengan formula sebagai
berikut :
Tabel 3.1.
Rumus Z Score Altman
Modifikasi tahun 1983
Zi = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
X1 = (Aktiva lancar – Hutang lancar) / Total Aktiva
X2 = Laba Yang Ditahan / Total Aset
X3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak / Total Aset
X4 = Nilai buku saham biasa dan preferen / Nilai buku total hutang
X5 = Penjualan / Total Aset
70
Berdasarkan analisa ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih
kecil dari 1,20 maka perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan dan
beresiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,20 sampai
dengan 2,90 dikatakan masih memiliki resiko mengalami kesulitan keuangan
bahkan kebangkrutan, bila di atas nilai 2,90 atau Z > 2,90 maka perusahaan
masuk dalam kategori aman.
Titik cut-off yang dilaporkan Altman adalah berikut ini :
Dengan Nilai Buku
Distress area (Z <) 1,20
Grey area 1,20-2,90
Safe area (Z >) 2,90
Sumber: Analisis Laporan Keuangan Mamduh M. Hanafi & Abdul Halim (2009:274-275)
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai klasifikasi nilai Z dari model Altman Z-
Score :
a. Distress area disini berarti perusahaan memperoleh nilai Z yang
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sedang mengalami kesulitan
keuangan dan berpotensi pada kebangkrutan.
b. Grey area berarti perusahaan memperoleh nilai Z yang menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut masuk ke dalam zona abu-abu atau berada
pada kondisi keuangan diantara financial distress dan kondisi keuangan
yang aman.
c. Safe area berarti perusahaan memperoleh nilai Z yang menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut sedang dalam kondisi keuangan yang aman
atau tidak sedang mengalami financial distress.
71
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Singkat Bursa Efek Indonesia
Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia
merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda
dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan
pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada
beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan
kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan
berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan
sebagimana mestinya.
Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada
tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami
pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan
pemerintah.
Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat
dilihat sebagai berikut:
72
Tabel 4.1. Perkembangan BEI (1912 - 2009)
Desember 1912 Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda
1914 – 1918 Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I
1925 – 1942 Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya
1939 Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup .
1942 – 1952 Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II
1956 Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif
1956 – 1977 Perdagangan di Bursa Efek vakum
10 Agustus
1977
Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM
(Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal.
Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong
sebagai emiten pertama19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
1977 – 1987 Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24.
Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal
1987 Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan
bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di
Indonesia
1988 – 1990
Paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk
asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat
2 Juni 1988 Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang
dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer
Desember 1988 Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan
perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar
modal
16 Juni 1989
Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta
yaitu PT Bursa Efek Surabaya
13 Juli 1992
Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini
diperingati sebagai HUT BEJ
22 Mei 1995
Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta
Automated Trading Systems)
10 November
1995
Pemerintah mengeluarkan Undang –Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-
Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996
1995 Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya
2000 Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal
Indonesia
2002 BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading)
2007 Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama
menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI)
02 Maret 2009 Peluncuran Perdana Sistem Perdagangan Baru PT Bursa Efek Indonesia: JATS-NextG
Sumber : www.idx.co.id
73
4.2. Sejarah Singkat Perusahaan
Telah dijelaskan di depan bahwa dalam penelitian ini, perusahaan yang
menjadi objek adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki net operating
income negatif dan tidak melakukan pembayaran deviden selama lebih dari satu
tahun. Dari kriteria tersebut diperoleh 20 perusahaan dari berbagai bidang
industri. Berikut ringkasan dari perusahaan-perusahaan tersebut :
1. PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
Perusahaan yang didirikan pada tahun 1979 ini adalah
perusahaan yang bergerak dalam bisnis Transportation Service.
First issue dilakukan pada tanggal 22 Juni 2005 dengan jumlah
lembar saham sebanyak 500.000.000 lembar. Perusahaan ini
beralamat di Apol Building, Jl. Abdul Muis No. 50, Jakarta 10160
2. PT ATPK Resources Tbk.
Perusahaan yang beralamat di Wisma GKBI 39th Floor, Jl.
Jend. Sudirman No. 28, Jakarta 10210 ini didirikan pada tahun
1988 dan bergerak dalam bisnis Mining and Mining Service. First
issue pada tanggal 17 April 2002 dengan jumlah lembar saham
sebanyak 275.000.000 lembar.
3. PT Argo Pantes Tbk.
Perusahaan yang berkantor pusat di Wisma Argo
Manunggal 2nd Floor, Jl. Jend. Gatot Subroto No. 95, Kav. 22,
Jakarta Selatan 12930 ini bergerak dalam bisnis Textile Mill
Products. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1977 dan sejak
1991 telah terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya. First
74
issue pada tanggal 7 Januari 1991 dengan jumlah lembar saham
sebanyak 15.882.000 lembar.
4. PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk.
Perusahaan yang bergerak dalam bisnis Real Estate and
Property ini didirikan pada tanggal 21 Desember 1981. First issue
pada tanggal 23 Oktober 1995, dengan jumlah lembar saham
sebanyak 40.000.000 lembar.
5. PT Bank Pundi Indonesia Tbk.
Perusahaan yang berkantor pusat di Jl. RS. Fatmawati No.
12, Jakarta Selatan ini berdiri pada tahun 1992 dan mulai tercatat
pada bursa efek pada tahun 2001. First issue pada tanggal 13 Juli
2001 dengan jumlah lembar saham sebanyak 277.500.000
lembar. Perusahaan ini bergerak dalam bisnis Banking.
6. PT Central Proteinaprima Tbk.
Perusahaan yang bergerak dalam bisnis Animal Feed and
Husbandry ini berdiri pada tahun 1980. First issue pada tanggal 28
November 2006 dengan jumlah lembar saham sebanyak
3.000.000.000 lembar. Perusahaan ini berkantor pusat di Wisma
GKBI 19th Floor, Jl. Jend. Sudirman No. 28, Jakarta 10210
7. PT Davomas Abadi Tbk.
Perusahaan yang berdiri pada tahun 1990 ini bergerak
dalam bisnis Food ang Beverages. First issue dilakukan pada
tanggal 22 Desember 1994 dengan jumlah lembar saham
sebanyak 17.250.000 lembar. Perusahaan ini beralamat di Jl.
Pangeran Jayakarta 117 Blok B/35-39, Jakarta 10730.
75
8. PT Delta Dunia Makmur Tbk
Perusahaan ini didirikan pada tanggal 26 November 1990
sebagai investasi asing dan bernama PT. Daeyu Poleko Indonesia
dan mengubah status investasi menjadi investasi lokal pada 14
Mei 1998. First issue pada tanggal 15 Juni 2001 dengan jumlah
lembar saham sebanyak 72.020.000 lembar. Perusahaan
inibergerak dalam bisnis Mining and Mining Service berkantor di
Cyber II Tower 28th Floor, Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 No. 13,
Jakarta 12950.
9. PT Fortune Mate Indonesia Tbk.
Perusahaan yang berkantor pusat di Gedung Bank Yudha
Bhakti 3rd Floor, Jl. Raya Darmo No. 54-56, Surabaya 60265,
Jawa Timur ini didirikan pada tanggal 24 Juni 1989. First issue
dilakukan pada tanggal 30 Juni 2000 dengan jumlah lembar
saham sebanyak 66.000.000 lembar. Perusahaan ini bergerak
dalam bisnis Real Estate and Property.
10. PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk.
Perusahaan yang didirikan pada tanggal 26 Juni 1991 ini
bergerak dalam bisnis Stone, Clay, Glass and Concrete Products.
First issue dilakukan pada tanggal 4 Juni 1997 dengan jumlah
lembar saham sebanyak 100.000.000 lembar. Perusahaan ini
berkantor pusat di Jl. Pangeran Jayakarta No. 133, Jakarta 10730.
11. PT Indonesia Air Transport Tbk.
Perusahaan ini bergerak dalam bisnis Transportation
Service. Maskapai ini didirikan dan mulai beroperasi pada tahun
76
1968. First issue dilakukan pada tanggal 13 September 2006
dengan jumlah lembar saham sebanyak 432.000.000 lembar.
Perusahaan ini berkantor pusat di Jl. Marsma Hardadi M.S-South
Apron, Halim Perdanakusuma Airport.
12. PT Onix Capital Tbk.
Perusahaan yang bergerak dalam bisnis Securities ini
berdiri pada tanggal 6 Oktober 1989 dan melakukan first issue
pada tanggal 3 Desember 2007 dengan jumlah lembar saham
sebanyak 273.200.000 lembar. Perusahaan ini berkantor pusat di
Deutsche Bank Building # 15-04, Jl. Imam Bonjol No. 80, Jakarta
10310.
13. PT Nusantara Infrastructure Tbk.
Perusahaan ini dibentuk pada tanggal 1 September 1995
dengan nama PT Sawita Bersama Darma. First issue dilakukan
pada tanggal 18 Juli 2001 dengan jumlah lembar saham sebanyak
60.000.000 lembar. Perusahaan ini bergerak dalam bisnis
Wholesale and Retail Trade dan beralamat di Equity Tower 38th
Floor, Sudirman Central Business District (SCBD), Jl. Jend.
Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190.
14. PT Panasia Filament Inti Tbk.
Perusahaan yang berkantor pusat di Jl. Garuda No.
153/74, Bandung 40184, Jawa Barat ini bergerak dalam bisnis
Textile Mill Products. Berdiri pada tanggal 31 Desember 1987, dan
mulai berproduksi secara komersial pada tahun 1998. First issue
77
dilakukan pada tanggal 22 Juli 1997 dengan jumlah lembar saham
sebanyak 50.000.000 lembar.
15. PT Smartfren Telecom Tbk.
Perusahaan ini didirikan pada tanggal 18 Juli 2007 dengan
nama awal PT Mobile-8 Telecom Tbk. First issue dilakukan pada
tanggal 29 November 2006 dengan jumlah lembar saham
sebanyak 3.900.000.000 lembar. Perusahaan ini bergerak dalam
bisnis Telecommunication dan berkantor pusat di Jl. H. Agus Salim
No. 45, Menteng, Jakarta Pusat 10340.
16. PT Panca Wiratama Sakti Tbk.
Perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak
dalam bisnis Real Estate and Property. Berdiri pada tanggal 1
september 1986, dan melakukan first issue pada tanggal 10 Maret
1994 dengan jumlah lembar saham sebanyak 10.500.000.
Perusahaan ini berkantor pusat di Perkantoran Ciputat Indah
Permai Blok B-6, Jl. Ir. H. Juanda No. 50, Ciputat15419, Banten.
17. PT Rimo Catur Lestari Tbk.
Perusahaan yang berdiri pada tanggal 25 Maret 1987 ini
bergerak dalam bisnis Wholesale and Retail Trade. Melakukan
first issue pada tanggal 10 November 2000 dengan jumlah lembar
saham 100.000.000 lembar. Perusahaan ini berkantor pusat di
Rukan Sentra Niaga Puri Indah, Blok T2 No. 9, Jakarta 11610.
18. PT Siwani Makmur Tbk.
Perusahaan yang berkantor pusat di Jl. Teluk Betung No.
38, Jakarta 10310 ini berdiri pada tahun 1985. First issue pada
78
tanggal 3 Juni 1994 dengan jumlah lembar saham 5.000.000
lembar. Perusahaan ini bergerak dalam bisnis Plastics and Glass
Products.
19. PT Surya Intrindo Makmur Tbk.
Perusahaan yang bergerak dalam bisnis Real Estate and
Property ini didirikan pada tahun 1990. First issue dilakukan pada
tanggal 28 Maret 2000 dengan jumlah lembar saham sebanyak
60.000.000 lembar. Perusahaan ini berkantor pusat di Jl. Raya
Tambak Sawah No. 8, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur.
20. PT Zebra Nusantara Tbk.
Perusahaan ini didirikan pada tanggal 8 Januari 1987 dan
bergerak dalam bisnis Transportation Services. First issue
dilakukan pada tanggal 1 Agustus 1991 dengan jumlah lembar
saham sebanyak 850.800 lembar.
4.3. Laporan Keuangan Perusahaan
Ringkasan laporan keuangan dapat dilihat di lampiran di bagian akhir
skripsi ini. Laporan keuangan terdiri dari Neraca dan Laporan Laba Rugi serta
informasi mengenai rasio keuangan perusahaan selama kurun waktu 3 tahun,
yaitu dari tahun 2009 sampai tahun 2011.
Berikut adalah ringkasan mengenai nilai Net Operating Income
perusahaan dari tahun 2009 sampai tahun 2011.
79
Tabel 4.2
Ringkasan nilai Net Operating Income (dalam jutaan rupiah)
No Perusahaan Net Operating Income
2009 2010 2011
1 PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. (670.605) (1.652.808) (2.098.337)
2 PT ATPK Resources Tbk. (35.681) (25.694) (24.850)
3 PT Argo Pantes Tbk. (75.744) (125.017) (108.482)
4 PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk. (21.808) (5.422) (20.183)
5 PT Bank Pundi Indonesia Tbk. (134.870) (90.161) (117.991)
6 PT Central Proteinaprima Tbk. (217.171) (636.053) (2.038.223)
7 PT Davomas Abadi Tbk. (226.749) (26.486) (122.140)
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. (160.106) (158.672) (352.477)
9 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. (9.007) (5.315) (2.729)
10 PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. (35.593) (39.209) (50.623)
11 PT Indonesia Air Transport Tbk. (34.774) (39.623) (33.546)
12 PT Onix Capital Tbk. (2.286) (1.797) (5.102)
13 PT Nusantara Infrastructure Tbk. (41.791) (37.748) (27.731)
14 PT Panasia Filament Inti Tbk. (13.656) (90.966) (57.362)
15 PT Smartfren Telecom Tbk. (724.396) (1.401.813) (2.400.248)
16 PT Panca Wiratama Sakti Tbk. (13.721) (3.523) (1.785)
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. (28.475) (11.187) (12.756)
18 PT Siwani Makmur Tbk. (10.004) (9.251) (31.953)
19 PT Surya Intrindo Makmur Tbk. (8.755) (18.878) (7.028)
20 PT Zebra Nusantara Tbk. (7.659) (9.424) (9.334)
Sumber : Indonesia Capital Market Directory Tahun 2012
4.4. Analisis Variabel Penelitian
1. Langkah Perhitungan
1) Menghitung X1 (Current Assets - Current Liabilities) / Total Assets
Current Assets - Current Liabilities akan menunjukkan Working capital
perusahaan.
80
Contoh : Nilai X1 untuk PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
= (Current Assets - Current Liabilities) / Total Assets
= (1.506.487 - 2.517.965) / 6.771.973 = -0,15
Hasil perhitungan untuk perusahaan yang lain dapat dilihat pada tabel
berikutnya.
2) Menghitung X2 (Retained Earning / Total Assets)
Retained earning diperoleh dari jumlah laba ditahan yang terdapat
dalam neraca.
Contoh : Nilai X2 untuk PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
= Retained Earning / Total Assets
= 15.735 / 6.771.973 = 0,002
Hasil perhitungan untuk perusahaan yang lain dapat dilihat pada tabel
berikutnya.
3) Menghitung X3 (Earning Before Interest and Taxes / Total Assets)
EBIT diperoleh dari Gross Profit – (Operating Expenses + Other
Income (Expenses)).
Contoh : Nilai X3 untuk PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
= Earning Before Interest and Taxes / Total Assets
= 627.731 / 6.771.973 = 0,09
Hasil perhitungan untuk perusahaan yang lain dapat dilihat pada tabel
berikutnya.
4) Menghitung X4 (Book Value of Equity / Book Value to Total Debt)
Book Value of Equity diperoleh dari Closing Price (harga saham
setahun) dikali dengan Total Listed Shares (jumlah lembar saham
yang terdaftar) tahun bersangkutan.
81
Book value to total debt adalah jumlah liabilities pada neraca
Contoh : Nilai X4 untuk PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
= Book Value of Equity / Book Value to Total Debt
= (215 x 7.171,18) / 5.960.343 = 0,26
Hasil perhitungan untuk perusahaan yang lain dapat dilihat pada tabel
berikutnya.
5) Menghitung X5 (Sales / Total Assets)
Nilai sales diperoleh dari nilai penjualan bersih dari tahun n.
Contoh : Nilai X5 untuk PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
= Sales / Total Assets
= 1.717.602 / 6.771.973 = 0,25
Hasil perhitungan untuk perusahaan yang lain dapat dilihat pada tabel
berikutnya.
6) Memasukkan hasil perhitungan ke dalam rumus Z Score.
Contoh : Nilai Z Score untuk PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.
= 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
= 0,717(-0,15) + 0,847(0,002) + 3,107(0,09) + 0,42(0,26) +
0,998(0,25)
= -0,11 + 0,002 – 0,29 + 0,11 + 0,25
= -0,03
Masing-masing hasil dapat dilihat pada tabel berikut :
82
Tabel 4.3. Perhitungan X1 (Dalam Jutaan Rupiah)
No Perusahaan
(Current Assets - Current Liabilities) / Total Assets
2009 Hasil
X1 2009 2010
Hasil
X1 2010 2011
Hasil
X1 2011
1 PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk.
(1.506.487 – 2.517.965) :
6.771.973 -0,15
(693.340 – 3.462.647) :
5.505.205 -0,50
(772.242 – 3.021.795) :
4.265.546 -0,53
2 PT ATPK Resources Tbk. (115.989 – 41.311) :
172.325 0,43
(132.416 – 56.539) :
147.158 0,51
(101.253 – 69.298) :
111.660 0,29
3 PT Argo Pantes Tbk. (176.894 – 284.959) :
1.461.056 -0,07
(197.514 – 324.297) :
1.428.234 -0,09
(298.332 – 290.768) :
1.452.871 0,005
4 PT Bhuwanatala Indah
Permai Tbk.
(20.989 – 91.852) :
195.068 -0,36
(20.376 – 94.319) :
191.368 -0,39
(17.628 – 95.134) :
197.343 -0,39
5 PT Bank Pundi Indonesia
Tbk.
(94.374 – 1.308.017) :
1.425.576 -0,85
(343.976 – 1.159.818) :
1.561.622 -0,52
(560.002 – 5.322.511) :
5.993.039 -0,79
6 PT Central Proteinaprima
Tbk.
(3.994.309 – 2.101.798) :
8.702.005 0,22
(3.962.595 - 5.456.023)
: 8.433.444 -0,18
(3.422.950 - 6.095.011)
: 7.062.598 -0,38
7 PT Davomas Abadi Tbk. (730.511 – 6.424) :
2.806.017 0,26
(1.028.828 - 18.709) :
2.857.205 0,35
(1.050.877 - 19.403) :
2.692.276 0,38
8 PT Delta Dunia Makmur
Tbk.
(2.732.188 – 963.758) :
6.563.553 0,27
(2.491.335 - 1.896.141)
: 7.637.438 0,08
(4.367.499 - 2.019.204)
: 10.819.779 0,22
9 PT Fortune Mate Indonesia
Tbk.
(54.901 – 22.580) :
307.232 0,10
(48.502 - 68.953) :
347.820 -0,06
(55.209 - 102.940) :
351.808 -0,13
10 PT Intikeramik Alamasri
Industri Tbk.
(312.494 – 382.246) :
764.903 -0,09
(221.986 - 297.107) :
643.788 -0,12
(138.819 - 245.736) :
548.790 -0,19
11 PT Indonesia Air Transport
Tbk.
(157.377 – 188.752) :
562.170 -0,05
(194.983 - 252.411) :
593.413 -0,1
(155.796 - 132.600) :
598.977 0,04
83
12 PT Onix Capital Tbk. (10.582 - 0) : 48.368 0,22 (6.036 - 0) : 56.562 0,11 (20.007 - 0) : 83.459 0,24
13 PT Nusantara Infrastructure
Tbk.
(89.727 – 22.883) :
1.451.391 0,05
(556.815 - 37.126) :
1.909.038 0,27
(350.360 - 111.239) :
1.835.150 0,13
14 PT Panasia Filament Inti
Tbk.
(110.633 – 165.831) :
463.842 -0,12
(17.954 - 58.647) :
352.371 -0,11
(49.134 - 90.633) :
296.051 -0,14
15 PT Smartfren Telecom Tbk. (441.063 - 1.269.211) :
4.756.935 -0,17
(446.531 - 3.099.634) :
4.483.610 -0,59
(794.529 - 2.075.185) :
12.296.579 -0,1
16 PT Panca Wiratama Sakti
Tbk.
(90.840 – 574.207) :
274.703 -1,76
(90.741 - 597.898) :
274.339 -1,85
(90.728 - 598.356) :
274.910 -1,85
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. (4.817 – 29.030) : 16.900 -1,43 (5.501 - 40.783) :
17.383 -2,03
(3.421 - 46.490) :
10.483 -4,11
18 PT Siwani Makmur Tbk. (8.338 – 31.781) : 53.430 -0,44 (5.994 - 37.626) :
50.432 -0,63
(5.081 - 14.678) :
47.684 -0,2
19 PT Surya Intrindo Makmur
Tbk. (284 - 65) : 60.038 0,004 (271 - 138) : 42.908 0,003 (2.760 - 661) : 42.729 0,05
20 PT Zebra Nusantara Tbk. (10.093 – 30.116) :
70.587 -0,28
(8.798 - 30.824) :
62.199 -0,35
(9.285 - 33.310) :
56.650 -0,42
Hasil olahan data dari Indonesia Capital Market Directory 2012
84
Tabel 4.4. Perhitungan X2 (Dalam Jutaan Rupiah)
No Perusahaan
Retained Earning / Total Assets
2009 Hasil
X2 2009 2010
Hasil
X2 2010 2011
Hasil
X2 2011
1 PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk. 15.735 : 6.771.973 0,002 (1.637.239) : 5.505.205 -0,3 (3.735.551) : 4.265.546 -0,87
2 PT ATPK Resources Tbk. (144.076) : 172.325 -0,84 (175.808) : 147.158 -1,19 (194.621) : 111.660 -1,74
3 PT Argo Pantes Tbk. (832.602) : 1.461.056 -0,57 (657.420) : 1.428.234 -0,46 (765.902) : 1.452.871 -0,53
4 PT Bhuwanatala Indah
Permai Tbk. (720.459) : 195.068 -3,69 (725.881) : 191.368 -3,79 (746.063) : 197.343 -3,78
5 PT Bank Pundi Indonesia
Tbk. (139.735) : 1.425.576 -0,1 (341.617) : 1.561.622 -0,22 (459.608) : 5.993.039 -0,08
6 PT Central Proteinaprima
Tbk. (923.805) : 8.702.005 -0,11 (1.559.858) : 8.433.444 -0,18 (3.598.081) : 7.062.598 -0,51
7 PT Davomas Abadi Tbk. (175.137) : 2.806.017 -0,06 343.388 : 2.857.205 0,12 221.249 : 2.692.276 0,08
8 PT Delta Dunia Makmur
Tbk. (145.099) : 6.563.553 -0,02 (209.500) : 7.637.438 -0,03 609.818 : 10.819.779 0,06
9 PT Fortune Mate Indonesia
Tbk. 15.617 : 307.232 0,05 9.832 : 347.820 -0,03 (20.168) : 351.808 -0,06
10 PT Intikeramik Alamasri
Industri Tbk. (16.790) : 764.903 -0,02 (56.247) : 643.788 -0,09 (109.863) : 548.790 -0,2
85
11 PT Indonesia Air Transport
Tbk. (70.499) : 562.170 -0,12 (110.123) : 593.413 -0,18 (143.668) : 598.977 -0,24
12 PT Onix Capital Tbk. (27.111) : 48.368 -0,56 (28.908) : 56.562 -0,51 (34.010) : 83.459 -0,41
13 PT Nusantara Infrastructure
Tbk. 207.173 : 1.451.391 0,14 (87.224) : 1.909.038 -0,04 (114.955) : 1.835.150 -0,06
14 PT Panasia Filament Inti
Tbk. (340.254) : 463.842 -0,73 (431.220) : 352.371 -1,22 (488.581) : 296.051 -1,65
15 PT Smartfren Telecom Tbk. -2596044/4756935 -0,54 -4002022/4483610 -0,89 (4.396.971) : 12.296.579 -0,36
16 PT Panca Wiratama Sakti
Tbk. (417.722) : 274.703 -1,52 (421.245) : 274.339 -1,53 (423.030) : 274.910 -1,54
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. (119.567) : 16.900 -7,07 (130.755) : 17.383 -7,52 (143.511) : 10.483 -13,69
18 PT Siwani Makmur Tbk. (30.146) : 53.430 -0,56 (39.397) : 50.432 -0,78 (71.350) : 47.684 -1,5
19 PT Surya Intrindo Makmur
Tbk. (127.026) : 60.038 -2,11 (145.905) : 42.908 -3,4 (152.932) : 42.729 -3,58
20 PT Zebra Nusantara Tbk. (38.947) : 70.587 -0,55 (48.370) : 62.199 -0,78 (57.704) : 56.650 -1,09
Hasil olahan data dari Indonesia Capital Market Directory 2012
86
Tabel 4.5. Perhitungan X3 (Dalam Jutaan Rupiah)
No Perusahaan
Earning Before Interest and Taxes / Total Assets
2009 Hasil
X3 2009 2010
Hasil
X3 2010 2011
Hasil
X3 2011
1 PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk. (627.731) : 6.771.973 -0,09 (1.596.191) : 5.505.205 -0,29 (2.048.709) : 4.265.546 -0,48
2 PT ATPK Resources Tbk. (30.282) : 172.325 -0,17 (18.251) : 147.158 -0,12 (24.407) : 111.660 -0,22
3 PT Argo Pantes Tbk. (97.883) : 1.461.056 -0,07 58.205 : 1.428.234 0,04 (166.111) : 1.452.871 -0,11
4 PT Bhuwanatala Indah
Permai Tbk. (19.857) : 195.068 -0,1 (3.387) : 191.368 -0,02 (17.974) : 197.343 -0,09
5 PT Bank Pundi Indonesia
Tbk. (112.691) : 1.425.576 -0,08 (112.691) : 1.425.576 -0,11 (171.575) : 5.993.039 -0,03
6 PT Central Proteinaprima
Tbk. (203.779) : 8.702.005 -0,02 (731.385) : 8.433.444 -0,09 (2.234.387) : 7.062.598 -0,32
7 PT Davomas Abadi Tbk. (924.588) : 2.806.017 -0,33 (41.867) : 2.857.205 -0,01 (149.032) : 2.692.276 -0,05
8 PT Delta Dunia Makmur
Tbk. 621971 : 6.563.553 0,09 31.848 : 7.637.438 0,004 (40.284) : 10.819.779 -0,004
9 PT Fortune Mate
Indonesia Tbk. 11.234 : 307.232 0,04 (6.768) : 347.820 -0,02 351 : 351.808 0,001
10 PT Intikeramik Alamasri
Industri Tbk. (32.124) : 764.903 -0,04 (34.457) : 643.788 -0,05 (43.358) : 548.790 -0,08
87
11 PT Indonesia Air
Transport Tbk. (42.361) : 562.170 -0,07 (46.662) : 593.413 -0,08 (38.497) : 598.977 -0,06
12 PT Onix Capital Tbk. (2.327) : 48.368 -0,05 (1.855) : 56.562 -0,03 (5.141) : 83.459 -0,06
13 PT Nusantara
Infrastructure Tbk. (62.967) : 1.451.391 -0,04 (73.199) : 1.909.038 -0,04 (20.245) : 1.835.150 -0,01
14 PT Panasia Filament Inti
Tbk. (13.656) : 463.842 -0,03 (90.966) : 352.371 -0,26 (57.429) : 296.051 -0,19
15 PT Smartfren Telecom
Tbk. (674.674) : 4.756.935 -0,14 (1.363.764) : 4.483.610 -0,30 (2.649.495) : 12.296.579 -0,21
16 PT Panca Wiratama Sakti
Tbk. (14.038) : 274.703 -0,05 (3.529) : 274.339 -0,01 (2.382) : 274.910 -0,009
17 PT Rimo Catur Lestari
Tbk. (29.596) : 16.900 -1,75 (11.055) : 17.383 -0,63 (13.841) : 10.483 -1,32
18 PT Siwani Makmur Tbk. (13.032) : 53.430 -0,24 (11.951) : 50.432 -0,24 (32.110) : 47.684 -0,67
19 PT Surya Intrindo Makmur
Tbk. (4.654) : 60.038 -0,08 (5.678) : 42.908 -0,13 (6.353) : 42.729 -0,15
20 PT Zebra Nusantara Tbk. (12.112) : 70.587 -0,17 (12.315) : 62.199 -0,2 (9.870) : 56.650 -0,17
Hasil olahan data dari Indonesia Capital Market Directory 2012
88
Tabel 4.6. Perhitungan X4 (Dalam Jutaan Rupiah, *kecuali Closing Price)
No Perusahaan
Book Value of Equity / Book Value to Total Debt
2009 Hasil
X4 2009 2010
Hasil
X4 2010 2011
Hasil
X4 2011
1 PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk.
(*215 x 7.171,18) :
5.960.343 0,26
(120 x 7.171,18) :
6.346.550 0,13
(120 x 7.171,18) :
7.089.736 0,12
2 PT ATPK Resources Tbk. (225 x 992,02) :
43.270 5,16
(187 x 992,02) :
60.412 3,07 (166 x 992,02) : 73.017 2,25
3 PT Argo Pantes Tbk. (1.300 x 335,56) :
1.424.333 0,31
(1.300 x 335,56) :
1.216.330 0,36
(1.100 x 335,56) :
1.349.448 0,27
4 PT Bhuwanatala Indah
Permai Tbk.
(50 x 1.638,22) :
95.160 0,86
(50 x 1.638,22) :
96.882 0,84
(50 x 1.638,22) :
123.039 0,66
5 PT Bank Pundi Indonesia
Tbk.
(9166 x 95) :
1.472.270 0,59
(9166 x 165) :
1.305.059 1,16
(9166 x 116) :
5.529.798 0,19
6 PT Central Proteinaprima
Tbk.
(60 x 67.798,82) :
5.481.815 0,74
(53 x 67.798,82) :
5.849.307 0,61
(53 x 67.798,82) :
6.516.684 0,55
7 PT Davomas Abadi Tbk. (50 x 12.403,71) :
2.359.073 0,26
(50 x 12.403,71) :
1.891.736 0,33
(50 x 12.403,71) :
1.848.947 0,33
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. (1.690 x 7.909,28) :
6.370.341 2,1
(1.610 x 7.909,28) :
7.501.452 1,7
(670 x 7.909,28) :
9.864.475 0,54
9 PT Fortune Mate Indonesia
Tbk. (90 x 2.721) : 22.580 10,84 (90 x 2.721) : 68.953 3,55 (103 x 2.721) : 102.940 2,72
10 PT Intikeramik Alamasri
Industri Tbk.
(1.100 x 791,38) :
454.263 1,92
(147 x 791,38) :
303.913 0,38
(142 x 791,38) :
259.914 0,43
11 PT Indonesia Air Transport
Tbk.
(50 x 4.188,75) :
375.630 0,56
(50 x 4.188,75) :
412.447 0,51
(50 x 4.188,75) :
392.305 0,53
89
12 PT Onix Capital Tbk. (460 x 273,2) : 21.218 5,92 (260 x 273,2) : 31.321 2,27 (325 x 273,2) : 63.208 1,4
13 PT Nusantara Infrastructure
Tbk.
(110 x 13.694,15) :
883.059 1,7
(330 x 13.694,15) :
890.476 5,07
(205 x 13.694,15) :
831.149 3,38
14 PT Panasia Filament Inti
Tbk.
(250 x 1.611,07) :
501.226 0,8
(250 x 1.611,07) :
480.991 0,84
(250 x 1.611,07) :
482.032 0,83
15 PT Smartfren Telecom Tbk. (5932 x 50) :
3.964.402 0,07
(5932 x 50) :
4.603.093 0,06 (5932 x 50) : 9.027.607 0,03
16 PT Panca Wiratama Sakti
Tbk. (54 x 82,5) : 611.114 0,007 (53 x 82,5) : 614.285 0,007 (61 x 82,5) : 616.641 0,008
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. (50 x 340) : 30.378 0,56 (50 x 340) : 42.263 0,4 (50 x 340) : 48.119 0,35
18 PT Siwani Makmur Tbk. (137 x 92,5) : 33.202 0,38 (128 x 92,5) : 39.454 0,3 (128 x 92,5) : 68.659 0,17
19 PT Surya Intrindo Makmur
Tbk. (148 x 1000) : 87.065 1,7 (148 x 1000) : 88.812 1,67 (148 x 1000) : 95.661 1,55
20 PT Zebra Nusantara Tbk. (50 x 655,67) : 32.857 0,998 (50 x 655,67) : 34.022 0,96 (50 x 655,67) : 38.143 0,86
Hasil olahan data dari Indonesia Capital Market Directory 2012
90
Tabel 4.7. Perhitungan X5 (Dalam Jutaan Rupiah)
No Perusahaan
Sales / Total Assets
2009 Hasil
X5 2009 2010
Hasil
X5 2010 2011
Hasil
X5 2011
1 PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk. 1.717.602 : 6.771.973 0,25 1.388.775 : 5.505.205 0,25 1.300.701 : 4.265.546 0,3
2 PT ATPK Resources Tbk. 283 : 172.325 0,002 61.168 : 147.158 0,41 135.461 : 111.660 1,21
3 PT Argo Pantes Tbk. 754.957 : 1.461.056 0,52 664.257 : 1.428.234 0,46 848.308 : 1.452.871 0,58
4 PT Bhuwanatala Indah
Permai Tbk. 30.513 : 195.068 0,16 29.953 : 191.368 0,16 25.432 : 197.343 0,13
5 PT Bank Pundi Indonesia
Tbk. 193.560 : 1.425.576 0,13 142.774 : 1.561.622 0,09 593.473 : 5.993.039 0,1
6 PT Central Proteinaprima
Tbk. 6.832.754 : 8.702.005 0,78 6.243.876 : 8.433.444 0,74 7.529.439 : 7.062.598 1,07
7 PT Davomas Abadi Tbk. 406.063 : 2,806.017 0,14 1.610.836 : 2.857.205 0,56 729.449 : 2.692.276 0,27
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 6.350.639 : 6.563.553 0,97 5.798.902 : 7.637.438 0,76 6.820.719 : 10.819.779 0,63
9 PT Fortune Mate Indonesia
Tbk. 16.959 : 307.232 0,05 11.034 : 347.820 0,03 23.783 : 351.808 0,07
10 PT Intikeramik Alamasri
Industri Tbk. 225.837 : 764.903 0,29 228.717 : 643.788 0,35 210.970 : 548.790 0,38
91
11 PT Indonesia Air Transport
Tbk. 239.365 : 562.170 0,42 214.645 : 593.413 0,36 221.833 : 598.977 0,37
12 PT Onix Capital Tbk. 2.059 : 48.368 0,04 5.140 : 56.562 0,09 4.067 : 83.459 0,05
13 PT Nusantara Infrastructure
Tbk. 193.099 : 1.451.391 0,13 187.618 : 1.909.038 0,1 232.000 : 1.835.150 0,13
14 PT Panasia Filament Inti
Tbk. 247.056 : 463.842 0,53 27.204 : 352.371 0,08 88.083 : 296.051 0,3
15 PT Smartfren Telecom Tbk. 504.492 : 4.756.935 0,11 376.511 : 4.483.610 0,08 954.331 : 12.296.579 0,08
16 PT Panca Wiratama Sakti
Tbk. 1.785 : 274.703 0,006 453 : 274.339 0,002 0 : 274.910 0
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. 70.545 : 16.900 4,17 13.841 : 17.383 0,8 6.650 : 10.483 0,63
18 PT Siwani Makmur Tbk. 1.715 : 53.430 0,03 2.019 : 50.432 0,04 3.401 : 47.684 0,07
19 PT Surya Intrindo Makmur
Tbk. 4.219 : 60.038 0,07 0 : 42.908 0 4.266,48 : 42.729 0,1
20 PT Zebra Nusantara Tbk. 23.828 : 70.587 0,34 23.176 : 62.199 0,37 19.854 : 56.650 0,35
Hasil olahan data dari Indonesia Capital Market Directory 2012
92
Tabel 4.8. Perhitungan Z Score Tahun 2009
No Perusahaan Formula Z Score
Z Score 2009 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
1 PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. -0,11 0,002 -0,29 0,11 0,25 -0,03
2 PT ATPK Resources Tbk. 0,31 -0,71 -0,54 2,17 0,002 1,22
3 PT Argo Pantes Tbk. -0,05 -0,48 -0,21 0,13 0,51 -0,1
4 PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk. -0,26 -3,13 -0,32 0,36 0,16 -3,19
5 PT Bank Pundi Indonesia Tbk. -0,61 -0,08 -0,24 0,25 1,13 -0,55
6 PT Central Proteinaprima Tbk. 0,15 -0,09 -0,07 0,31 0,78 1,09
7 PT Davomas Abadi Tbk. 0,18 -0,05 -1,02 0,11 0,14 -0,64
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 0,19 -0,02 0,29 0,88 0,96 2,31
9 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. 0,07 0,04 0,11 4,55 0,05 4,84
10 PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. -0,06 -0,02 -0,13 0,8 0,29 0,88
11 PT Indonesia Air Transport Tbk. -0,04 -0,11 -0,23 0,23 0,42 0,28
12 PT Onix Capital Tbk. 0,16 -0,47 -0,15 2,49 0,04 2,06
13 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,03 0,12 -0,13 0,72 0,13 0,87
14 PT Panasia Filament Inti Tbk. -0,08 -0,62 -0,09 0,34 0,53 0,07
15 PT Smartfren Telecom Tbk. -0,12 -0,46 -0,44 0,03 0,10 -0,89
16 PT Panca Wiratama Sakti Tbk. -1,26 -1,29 -0,16 0,003 0,006 -2,7
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. -1,03 -5,99 -5,44 0,23 4,16 -8,06
18 PT Siwani Makmur Tbk. -0,31 -0,48 -0,76 0,16 0,03 -1,36
19 PT Surya Intrindo Makmur Tbk. 0,003 -1,79 -0,24 0,71 0,07 -1,25
20 PT Zebra Nusantara Tbk. -0,2 -0,47 -0,53 0,41 0,34 -0,45
Sumber : Tabel 4.3 – Tabel 4.7 perhitungan X1, X2, X3, X4, X5 (Tahun 2009-2011)
93
Tabel 4.9. Perhitungan Z Score Tahun 2010
No Perusahaan Formula Z Score
Z Score 2010 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
1 PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. -0,36 -0,25 -0,9 0,06 0,25 -1,2
2 PT ATPK Resources Tbk. 0,37 -1,01 -0,38 1,29 0,41 0,68
3 PT Argo Pantes Tbk. -0,06 -0,39 0,13 0,15 0,46 0,29
4 PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk. -0,28 -3,2 -0,05 0,35 0,16 -3,03
5 PT Bank Pundi Indonesia Tbk. -0,37 -0,18 -0,33 0,49 0,09 -0,31
6 PT Central Proteinaprima Tbk. -0,13 -0,16 -0,27 0,26 0,74 0,44
7 PT Davomas Abadi Tbk. 0,25 0,1 -0,04 0,14 0,56 1,01
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 0,05 -0,02 0,01 0,71 0,76 1,52
9 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. -0,04 -0,02 -0,06 1,49 0,03 1,4
10 PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. -0,08 -0,07 -0,17 0,16 0,35 0,19
11 PT Indonesia Air Transport Tbk. -0,07 -0,16 -0,24 0,21 0,36 0,1
12 PT Onix Capital Tbk. 0,08 -0,43 -0,10 0,95 0,09 0,58
13 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,19 -0,04 -0,12 2,13 0,1 2,27
14 PT Panasia Filament Inti Tbk. -0,08 -1,04 -0,8 0,35 0,08 -1,49
15 PT Smartfren Telecom Tbk. -0,42 -0,76 -0,94 0,03 0,08 -2,01
16 PT Panca Wiratama Sakti Tbk. -1,32 -1,3 -0,04 0,003 0,002 -2,66
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. -1,45 -6,37 -1,97 0,17 0,79 -8,84
18 PT Siwani Makmur Tbk. -0,45 -0,66 -0,74 0,13 0,04 -1,68
19 PT Surya Intrindo Makmur Tbk. 0,002 -2,88 -0,41 0,7 0 -2,59
20 PT Zebra Nusantara Tbk. -0,25 -0,66 -0,61 0,4 0,37 -0,75
Sumber : Tabel 4.3 – Tabel 4.7 perhitungan X1, X2, X3, X4, X5 (Tahun 2009-2011)
94
Tabel 4.10. Perhitungan Z Score Tahun 2011
No Perusahaan Formula Z Score
Z Score 2011 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
1 PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. -0,38 -0,74 -1,49 0,05 0,3 -2,26
2 PT ATPK Resources Tbk. 0,2 -1,48 -0,68 0,95 1,21 0,21
3 PT Argo Pantes Tbk. 0,004 -0,45 -0,35 0,11 0,58 -0,1
4 PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk. -0,28 -3,2 -0,28 0,28 0,13 -3,35
5 PT Bank Pundi Indonesia Tbk. -0,57 -0,06 -0,09 0,08 0,1 -0,54
6 PT Central Proteinaprima Tbk. -0,27 -0,43 -0,98 0,23 1,06 -0,39
7 PT Davomas Abadi Tbk. 0,27 0,07 -0,17 0,14 0,27 0,58
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 0,15 0,05 0,01 0,22 0,63 1,05
9 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. -0,1 -0,05 0,003 1,14 0,07 1,07
10 PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. -0,14 -0,17 -0,24 0,18 0,38 0,01
11 PT Indonesia Air Transport Tbk. 0,03 -0,2 -0,2 0,22 0,37 0,22
12 PT Onix Capital Tbk. 0,17 -0,34 -0,19 0,59 0,05 0,27
13 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,09 -0,05 -0,03 1,42 0,13 1,55
14 PT Panasia Filament Inti Tbk. -0,1 -1,4 -0,6 0,35 0,3 -1,45
15 PT Smartfren Telecom Tbk. -0,07 -0,3 -0,67 0,01 0,08 -0,95
16 PT Panca Wiratama Sakti Tbk. -1,32 -1,3 -0,03 0,003 0 -2,65
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. -2,94 -11,59 -4,1 0,15 0,63 -17,86
18 PT Siwani Makmur Tbk. -0,14 -1,27 -2,09 0,07 0,07 -3,36
19 PT Surya Intrindo Makmur Tbk. 0,03 -3,03 -0,46 0,65 0,1 -2,71
20 PT Zebra Nusantara Tbk. -0,3 -0,86 -0,54 0,36 0,35 -0,1
Sumber : Tabel 4.3 – Tabel 4.7 perhitungan X1, X2, X3, X4, X5 (Tahun 2009-2011)
95
Tabel 4.11. Hasil Z Score
No Perusahaan 2009 2010 2011
Nilai Z Area Nilai Z Area Nilai Z Area
1 PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. -0,03 Distress -1,2 Distress -2,26 Distress
2 PT ATPK Resources Tbk. 1,22 Grey 0,68 Distress 0,21 Distress
3 PT Argo Pantes Tbk. -0,1 Distress 0,29 Distress -0,1 Distress
4 PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk. -3,19 Distress -3,03 Distress -3,35 Distress
5 PT Bank Pundi Indonesia Tbk. -0,55 Distress -0,31 Distress -0,54 Distress
6 PT Central Proteinaprima Tbk. 1,09 Distress 0,44 Distress -0,39 Distress
7 PT Davomas Abadi Tbk. -0,64 Distress 1,01 Distress 0,58 Distress
8 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 2,31 Grey 1,52 Grey 1,05 Distress
9 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. 4,84 Safe 1,4 Grey 1,07 Distress
10 PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. 0,88 Distress 0,19 Distress 0,01 Distress
11 PT Indonesia Air Transport Tbk. 0,28 Distress 0,1 Distress 0,22 Distress
12 PT Onix Capital Tbk. 2,06 Grey 0,58 Distress 0,27 Distress
13 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,87 Distress 2,27 Grey 1,55 Grey
14 PT Panasia Filament Inti Tbk. 0,07 Distress -1,49 Distress -1,45 Distress
15 PT Smartfren Telecom Tbk. -0,89 Distress -2,01 Distress -0,95 Distress
16 PT Panca Wiratama Sakti Tbk. -2,7 Distress -2,66 Distress -2,65 Distress
17 PT Rimo Catur Lestari Tbk. -8,06 Distress -8,84 Distress -17,86 Distress
18 PT Siwani Makmur Tbk. -1,36 Distress -1,68 Distress -3,36 Distress
19 PT Surya Intrindo Makmur Tbk. -1,25 Distress -2,59 Distress -2,71 Distress
20 PT Zebra Nusantara Tbk. -0,45 Distress -0,75 Distress -0,1 Distress
Sumber : Tabel 4.8 – Tabel 4.10 perhitungan Z Score (Tahun 2009-2011)
96
Tabel 4.12. Klasifikasi Nilai Z Score
Tahun Safe area
Nilai > 2,9
Grey area
Nilai 1,20 – 2,90
Distress area
Nilai <1,20
2009 1 Perusahaan 3 Perusahaan 16 Perusahaan
2010 0 Perusahaan 3 Perusahaan 17 Perusahaan
2011 0 Perusahaan 1 Perusahaan 19 Perusahaan
Sumber : Tabel 4.11. Hasil Z Score
4.5. Pembahasan
Hasil penelitian terhadap kurang lebih 448 perusahaan go public yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada kurun waktu 3 tahun yaitu tahun 2009-
2011 menghasilkan 20 perusahaan dengan nilai net operating income negatif
dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden. Secara
umum nilai operating income perusahaan bervariasi dari tahun ke tahun. Ada
perusahaan yang terus meningkat nilai net operating income negatifnya, namun
adapula perusahaan yang mengalami penurunan nilai net operating income
negatifnya meskipun demikian nilai penurunannya tidak terlalu berpengaruh
signifikan terhadap kondisi perusahaan. Nilai net operating income negatif inilah
yang menjadi acuan untuk melakukan tahap analisis selanjutnya, yaitu
menghitung nilai variabel penelitian yang kemudian dari nilai tersebut akan
dimasukkan ke dalam rumus Z Score untuk mendapatkan indeks Z Score-nya.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan pada 20 perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011, telah diperoleh nilai Z Score
yang diinginkan. Dari 20 perusahaan terdapat 15 perusahaan yang selalu
mengalami financial distress. Berikut penggolongan ke-15 perusahaan yang
selalu mengalami financial distress selama 3 tahun berturut-turut:
97
Tabel 4.13. Hasil Z Score (Financial Distress Selama 2009-2011)
No Perusahaan 2009 2010 2011
Nilai Z Area Nilai Z Area Nilai Z Area
1 PT Arpeni Pratama Ocean
Line Tbk. -0,03 Distress -1,2 Distress -2,26 Distress
2 PT Argo Pantes Tbk. -0,1 Distress 0,29 Distress -0,1 Distress
3 PT Bhuwanatala Indah
Permai Tbk. -3,19 Distress -3,03 Distress -3,35 Distress
4 PT Bank Pundi Indonesia
Tbk. -0,55 Distress -0,31 Distress -0,54 Distress
5 PT Central Proteinaprima
Tbk. 1,09 Distress 0,44 Distress -0,39 Distress
6 PT Davomas Abadi Tbk. -0,64 Distress 1,01 Distress 0,58 Distress
7 PT Intikeramik Alamasri
Industri Tbk. 0,88 Distress 0,19 Distress 0,01 Distress
8 PT Indonesia Air Transport
Tbk. 0,28 Distress 0,1 Distress 0,22 Distress
9 PT Panasia Filament Inti
Tbk. 0,07 Distress -1,49 Distress -1,45 Distress
10 PT Smartfren Telecom Tbk. -0,89 Distress -2,01 Distress -0,95 Distress
11 PT Panca Wiratama Sakti
Tbk. -2,7 Distress -2,66 Distress -2,65 Distress
12 PT Rimo Catur Lestari Tbk. -8,06 Distress -8,84 Distress -17,86 Distress
13 PT Siwani Makmur Tbk. -1,36 Distress -1,68 Distress -3,36 Distress
14 PT Surya Intrindo Makmur
Tbk. -1,25 Distress -2,59 Distress -2,71 Distress
15 PT Zebra Nusantara Tbk. -0,45 Distress -0,75 Distress -0,1 Distress
Sumber: Tabel 4.11. Hasil Z Score
98
Dari hasil tersebut dapat kita lihat ada beberapa perusahaan yang
memiliki nilai Z Score yang bergerak naik dan turun, dan selebihnya bergerak
terus menurun di setiap tahunnya. Namun hal tersebut tidak berpengaruh
signifikan terhadap kategori dari nilai Z Score tersebut.
Perusahaan-perusahaan yang mengalami financial distress pada sample
penelitian ini memiliki komposisi keuangan yang kurang baik. Sebagai contoh
yaitu memiliki nilai current liabilities yang lebih besar dari current asset, sehingga
nilai working capital-nya menjadi negatif, memiliki nilai expenses yang lebih
besar dari penjualan sehingga menyebabkan earning before tax-nya menjadi
negatif. Hal tersebut tentu akan memperkecil nilai Z dari perusahaan-perusahaan
tersebut dan akan membuat perusahaan berada pada kondisi financial distress.
pernyataan di atas menunjukkan bahwa ternyata perusahaan yang
memiliki net operating income negatif dan tidak membayar deviden selama lebih
dari satu tahun akan memiliki nilai Z yang cenderung kecil di setiap tahunnya dan
mengarah pada kondisi financial distress, karena pada kenyatannya ke-20
perusahaan tersebut beresiko mengalami financial distress.
Selain ke-15 perusahaan tersebut, ada beberapa perusahaan yang
menarik untuk dibahas karena pergerakannya yang bervariabel dari tahun ke
tahun, yaitu PT ATPK Resources Tbk, PT Delta Dunia Makmur Tbk, PT Fortune
Mate Indonesia Tbk, PT Onix Capital Tbk, dan PT Nusantara Infrastucture Tbk.
Berikut ini akan ditampilkan tabel pergerakan dari 5 perusahaan tersebut tahun
2009-2011:
99
Tabel 4.14. Perbandingan Antar Variabel (2009-2011)
No Nama Perusahaan
X1 (Current Assets - Current
Liabilities) / Total Assets
X2 Retained Earning / Total
Assets
X3 Earning Before Interest and
Taxes / Total Assets
X4 Book Value of Equity /
Book Value to Total Debt
X5 Sales / Total Assets
2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011
1 PT ATPK Resources Tbk. 0,43 0,51 0,29 -0,84 -1,19 -1,74 -0,17 -0,12 -0,22 5,16 3,07 2,25 0,002 0,41 1,21
2 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 0,27 0,08 0,22 -0,02 -0,03 0,06 0,09 0,004 -0,004 2,1 1,7 0,54 0,97 0,76 0,63
3 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. 0,10 -0,06 -0,13 0,05 -0,03 -0,06 0,04 -0,02 0,001 10,84 3,55 2,72 0,05 0,03 0,07
4 PT Onix Capital Tbk. 0,22 0,11 0,24 -0,56 -0,51 -0,41 -0,05 -0,03 -0,06 5,92 2,27 1,4 0,04 0,09 0,05
5 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,05 0,27 0,13 0,14 -0,04 -0,06 -0,04 -0,04 -0,01 1,7 5,07 3,38 0,13 0,1 0,13
Sumber : Tabel 4.3 – Tabel 4.7 perhitungan X1, X2, X3, X4, X5 (Tahun 2009-2011)
Tabel 4.15. Perbandingan Antar Variabel (2009-2011)
No Nama Perusahaan 0,717 X1 0,847 X2 3,107 X3 0,42 X4 0,998 X5
2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011
1 PT ATPK Resources Tbk. 0,31 0,37 0,2 -0,71 -1,01 -1,48 -0,54 -0,38 -0,68 2,17 1,29 0,95 0,002 0,41 1,21
2 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 0,19 0,05 0,15 -0,02 -0,02 0,05 0,29 0,01 0,01 0,88 0,71 0,22 0,96 0,76 0,63
3 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. 0,07 -0,04 -0,1 0,04 -0,02 -0,05 0,11 -0,06 0,003 4,55 1,49 1,14 0,05 0,03 0,07
4 PT Onix Capital Tbk. 0,16 0,08 0,17 -0,47 -0,43 -0,34 -0,15 -0,10 -0,19 2,49 0,95 0,59 0,04 0,09 0,05
5 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,03 0,19 0,09 0,12 -0,04 -0,05 -0,13 -0,12 -0,03 0,72 2,13 1,42 0,13 0,1 0,13
Sumber : Tabel 4.3 – Tabel 4.7 perhitungan X1, X2, X3, X4, X5 (Tahun 2009-2011)
100
Tabel 4.16. Klasifikasi Nilai Z Score (Perusahaan-Perusahaan di atas)
No Nama Perusahaan
2009 2010 2011
Nilai Z Area Nilai Z Area Nilai Z Area
1 PT ATPK Resources Tbk. 1,22 Grey 0,68 Distress 0,21 Distress
2 PT Delta Dunia Makmur Tbk. 2,31 Grey 1,52 Grey 1,05 Distress
3 PT Fortune Mate Indonesia Tbk. 4,84 Safe 1,4 Grey 1,07 Distress
4 PT Onix Capital Tbk. 2,06 Grey 0,58 Distress 0,27 Distress
5 PT Nusantara Infrastructure Tbk. 0,87 Distress 2,27 Grey 1,55 Grey
Sumber: Tabel 4.11. Hasil Z Score
Dari beberapa tabel di atas maka dapat kita ketahui bahwa perusahaan
yang memiliki pergerakan paling tidak stabil adalah PT Fortune Mate Indonesia
Tbk. yang jika dihitung nilai Z Score-nya pada tahun 2009 ternyata perusahaan
ini sedang tidak mengalami kesulitan keuangan dan masuk kategori safe area
dengan nilai Z = 4,84 meskipun memiliki net operating income negatif dan
selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden. Namun
kondisi ini berubah pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2010, karena pada
tahun tersebut PT Fortune Mate Indonesia Tbk. memiliki nilai Z = 1,4. Hal ini
menunjukkan bahwa keadaan keuangan perusahaan tersebut masuk ke dalam
kondisi grey area, yaitu suatu kondisi yang tidak bisa dipastikan apakah
perusahaan tersebut sedang mengalami financial distress atau tidak.
Perpindahan dari safe area ke grey area pada tahun 2009 ke tahun 2010 ini
dapat kita lihat pada tabel 4.13 yang menunjukkan bahwa seluruh variabel (X1,
X2, X3, X4, dan X5) yang dimiliki oleh PT Fortune Mate Indonesia Tbk. pada
tahun 2010 mengalami penurunan nilai dibandingkan nilai yang dimiliki pada
tahun 2009, sehingga terjadi penurunan nilai Z Score yang signifikan. Dan
ternyata pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2011 nilai Z Score dari perusahaan
ini adalah 1,07 dan berkategori distress area. Kondisi financial distress ini terjadi
dikarenakan nilai X4 pada tahun 2009 turun dengan sangat signifikan pada tahun
2010, dan mengalami penurunan nilai lagi pada tahun 2011. Sehingga kenaikan
nilai dari tiap variabel (X1, X2, X3, dan X5) pada tahun 2011 tidak dapat
menaikkan nilai Z dari perusahaan tersebut.
Selain PT Fortune Mate Indonesia Tbk. ada PT Delta Dunia Makmur Tbk.
yang juga mengalami pergerakan yang cukup signifikan, dari nilai Z Score pada
tahun 2009 perusahaan berada pada kondisi grey area dengan nilai Z = 2,31,
102
dan pada tahun berikutnya yaitu tahun 2010 perusahaan ini tetap berada pada
kondisi grey area, namun memiliki nilai Z yang bergerak menurun, yaitu Z = 1,52
dikarenakan nilai dari tiap variabel yang dimiliki oleh perusahaan mengalami
penurunan nilai, sehingga nilai Z yang diperoleh pun mengalami penurunan nilai.
Sampai pada tahun 2010 PT Delta Dunia Makmur Tbk. menunjukkan kondisi
yang tidak dapat ditentukan apakah berada pada kondisi kesulitan keuangan
atau tidak, namun pada tahun 2011 nilai Z dari perusahaan tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan sedang mengalami financial distress, yaitu Z =
1,05. Hal tersebut terjadi karena penurunan nilai tiap variabel yang terjadi pada
tahun 2010, dan ditambah lagi dengan penurunan nilai X3, X4, dan X5 pada
tahun 2011, sehingga kenaikan nilai X1, dan X2 pada tahun 2011 dari
perusahaan pun tidak dapat mempertahankan perusahaan pada kondisi grey
area.
Dari hasil pergerakan dua perusahaan di atas, menunjukkan
kecenderungan perusahaan yang berada dalam kondisi grey area lebih
mengarah kepada kondisi financial distress, penyebab kondisi keuangan ini
berbeda antara perusahaan satu dengan yang lainnya. Pada PT Fortune Mate
Indonesia Tbk. nilai variabel X1 dan X2 atau Modal Kerja / Total Aktiva (Working
Captal / Total Assets) dan Laba Yang Ditahan / Total Aset (Retained Earning /
Total Assets) yang paling berpengaruh membuat nilai Z Score-nya berada pada
level financial distress. Sedangkan pada PT Delta Dunia Makmur nilai X3 yaitu
Laba Sebelum Bungan dan Pajak / Total Aset (Earning Before Interest and Tax /
Total Assets) yang paling berpengaruh terhadap kondisi financial distress
tersebut.
103
Namun demikian ada juga perusahaan yang mengalami kenaikan nilai Z
Score meskipun memiliki pergerakan yang belum stabil dan tidak konsisten, yaitu
PT Nusantara Infrastructure Tbk. Pada tahun 2009 perusahaan ini mengalami
kondisi financial distress dengan nilai Z = 0,87, setahun kemudian yaitu tahun
2010 perusahaan mengalami kenaikan nilai Z yaitu 2,27 dan masuk ke dalam
kondisi grey area. perubahan area tersebut dikarenakan kenaikan nilai X4 dari
1,7 menjadi 5,07. Sehingga walaupun ada penurunan nilai dari beberapa variabel
yang tidak begitu berarti, namun variabel lain dari perusahaan tersebut mampu
untuk menaikkan nilai Z dan merubah kondisi dari distress area menjadi grey
area. Tahun berikutnya perusahaan tersebut tetap berada pada kondisi grey
area, namun nilai Z-nya mengalami penurunan nilai, yaitu 1,55. Kesamaan
kondisi pada tahun 2010 dan 2011 tersebut dikarenakan tidak stabilnya
pergerakan naik atau turunnya nilai dari tiap variabel di tahun tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa PT Nusantara Infrastructure mengalami kenaikan nilai Z
yang tidak stabil, meskipun tidak diketahui apakah perusahaan tersebut
mengalami financial distress atau tidak, dikarenakan sampai pada tahun 2011
perusahaan berada pada kategori grey area.
Selain ketiga perusahaan di atas, ada dua perusahaan lagi yang memiliki
pergerakan yang sama yaitu PT ATPK Resources Tbk. dan PT Onix Capital Tbk.
Kedua perusahaan tersebut mengalami kondisi grey area pada tahun 2009, dan
mengalami distress area pada tahun 2010 dan 2011, sehingga kedua
perusahaan tesebut juga mengalami financial distress pada dua tahun terakhir.
Kondisi ini dikarenakan nilai dari X2, dan X3 yang begitu kecil dan nilai dari X4
yang baik pada tahun 2009 mengalami penurunan nilai pada tahun-tahun
berikutnya.
104
Secara umum hasil analisis kelima variabel yang digunakan berpengaruh
signifikan terhadap kondisi keuangan perusahaan. Variabel X1 yang
membandingkan antara working capital terhadap total assets menunjukkan nilai
X1 yang negatif berarti bahwa perusahaan harus menanggung current liabilities
yang lebih besar dari current assets yang dimiliki perusahaan. Variabel X2 yang
membandingkan nilai retained earning terhadap total assets, jika menunjukkan
retained earning yang negatif, maka kondisi ini menyebabkan nilai X2 sebagian
besar juga menjadi negatif. Pada variabel X3 membandingkan nilai EBIT
terhadap total assets jika menunjukkan nilai EBIT yang negatif yang artinya
bahwa perusahaan mengalami kerugian, sehingga hasil X3 sebagian besar
perusahaan akan negatif pula. Untuk nilai X4 dan X5 tidak jauh berbeda dengan
nilai variabel lainnya yaitu beberapa perusahaan menunjukkan nilai negatif.
Penjelasan tersebut selaras dengan teori yang dipaparkan oleh Edward I.
Altman dalam The Journal of Finance, 1968 (594:596) yang menjelaskan
mengenai pentingnya tiap variabel (X1, X2, X3, X4, dan X5) dan diharapkan
mampu untuk memenuhi standar indeks Z serta hubungannya dengan financial
distress adalah sebagai berikut:
11. Working Capital / Total Assets (Modal Kerja / Total Aktiva)
Rasio pertama yang digunakan sebagai alat diskriminan adalah rasio
modal kerja terhadap total aktiva, ini adalah ukuran bersih pada aktiva
lancar perusahaan terhadap modal perusahaan. Modal kerja bersih
adalah selisih antara aktiva lancar dikurangi hutang lancar. Karakteristik
likuiditas benar benar ditentukan secara jelas. Biasanya sebuah
perusahaan yang mengalami kerugian operasi yang terus menerus akan
menyusutkan aktiva lancar sehubungan dengan total aktiva. Diantara
penilaian terhadap rasio likuiditas, rasio ini terbukti paling berharga.
12. Retained Earning / Total Assets (Laba yang Ditahan / Total Aktiva)
Adalah ukuran dari profitabilitas kumulatif lewat waktu disebutkan pada
awalnya sebagai satu dari rasio baru. Usia perusahaan dinyatakan secara
implisit dalam rasio ini, sebagai contoh, sebuah perusahaan baru relatif
mungkin akan menunjukkan rasio laba ditahan/total aktiva yang rendah
105
karena tidak adanya waktu untuk menambah laba kumulatifnya. Oleh
karena itu, dapat dibuktikan bahwa perusahaan baru nampak berbeda
dari analisis ini, dan kesempatan/peluang untuk diklasifikasikan dalam
golongan bangkrut relatif lebih tinggi dari yang lainnya, dari pada
perusahaan perusahaan yang lebih tua, jika hal-hal lain diasumsikan tidak
mempengaruhi (cateris paribus). Tapi, ini merupakan keadaan yang
sesungguhnya di dunia nyata. Timbulnya kegagalan lebih tinggi dalam
tahun-tahun awal perusahaan.
13. Earning Before Interest and Taxes / Total Assets (Laba Sebelum Bunga
dan Pajak / Total Aktiva)
Pada pokoknya, merupakan ukuran produktivitas dari aktiva perusahaan
yang sesungguhnya terlepas dari pajak atau faktor leverage. Sejak
keberadaan pokok perusahaan didasarkan pada kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva aktivanya, rasio ini muncul menjadi yang
paling utama sesuai untuk studi yang berhubungan dengan kegagalan
perusahaan. Selanjutnya keadaan bangkrut dalam pengertian
kebangkrutan terjadi saat total kewajiban melebihi penilaian wajar
perusahaan terhadap aktiva perusahaan dengan nilai ditentukan oleh
kemampuan aktiva menghasilkan laba.
14. Book Value of Equity / Book Value of Debt (Nilai Buku Saham Biasa dan
Saham Preferen / Nilai Buku Total Utang)
Ukuran tersebut menunjukan seberapa banyak aktiva perusahaan dapat
menurun nilainya (diukur dari nilai pasar modal ditambah hutang)
sebelum kewajiban (hutang) melebihi aktiva dan perusahaan menjadi
bangkrut.
15. Sales / Total Asset (Penjualan / Total Aktiva)
Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang
menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva
perusahaan yang merupakan suatu ukuran dari kemampuan manajemen
dalam menghadapi kondisi yang kompetitif. Rasio akhir ini cukup penting,
walaupun dalam faktanya signifikan dari ukuran rasio ini tidak dapat
ditampakkan semuanya tapi karena relasi yang unik diantara variabel
dalam model ini, rasio penjualan atau total aktiva menjadi rangking kedua
dalam kontribusi keseluruhan ketepatan model diskriminan.
Menurut analisis yang telah dilakukan, maka didapatkan nilai-nilai variabel
yang sebagian besar negatif dan menyebabkan sebanyak 16 perusahaan pada
tahun 2009 berada dalam kondisi financial distress, 3 perusahaan dalam kondisi
grey area dan 1 perusahaan dalam kondisi safe area. Pada tahun 2010
perusahaan yang mengalami financial distress bertambah menjadi 17
106
perusahaan, 3 perusahaan dalam kondisi grey area dan tidak ada perusahaan
yang masuk kategori safe area. Dan pada tahun 2011, sebanyak 19 perusahaan
mengalami financial distress, 1 perusahaan dalam kondisi grey area dan tidak
ada perusahaan berkategori safe area.
Dari penjelasan di atas yaitu 20 perusahaan yang menjadi objek
penelitian dengan kriteria yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya selama
tahun 2009 sampai 2011, ternyata sekitar 80-90% dari perusahaan-perusahaan
tersebut mengalami kondisi financial distress, yang berarti bahwa perusahaan
yang memiliki net operating income negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak
melakukan pembayaran deviden cenderung akan mengalami financial distress.
107
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan terhadap 20 perusahaan aneka
industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), dapat disimpulkan bahwa
perusahaan yang memperoleh net operating income negatif dan lebih dari satu
tahun tidak melakukan pembayaran deviden cenderung mengalami financial
distress. Ada beberapa penjelasan mengenai kesimpulan ini diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Perusahaan yang memperoleh net operating income negatif dan lebih
dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden ternyata
cenderung mengalami financial distress (kesulitan keuangan).
2. Telah didapatkan nilai-nilai variabel yang sebagian besar negatif dan
menyebabkan sebanyak 16 perusahaan pada tahun 2009 berada
dalam kondisi financial distress, 3 perusahaan dalam kondisi grey
area dan 1 perusahaan dalam kondisi safe area. Pada tahun 2010
perusahaan yang mengalami financial distress bertambah menjadi 17
perusahaan, 3 perusahaan dalam kondisi grey area dan tidak ada
perusahaan yang masuk kategori safe area. Dan pada tahun 2011,
sebanyak 19 perusahaan mengalami financial distress, 1 perusahaan
dalam kondisi grey area dan tidak ada perusahaan berkategori safe
area.
108
5.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan yang telah disajikan
sebelumnya, saran-saran yang bisa penulis berikan diantaranya :
1. Dikhususkan untuk ke-15 perusahaan yang selalu mengalami
financial distress selama 3 tahun berturut-turut disarankan untuk
memiliki pengendalian keuangan yang lebih baik. Lemahnya
pengawasan keuangan pada perusahaan-perusahaan diatas dapat
diartikan bahwa manajemen tidak memiliki kemampuan untuk deteksi
dini tentang kondisi keuangannya. Karena sebagian perusahaan yang
mengalami financial distress pada sample penelitian ini memiliki
komposisi keuangan yang kurang baik. Sebagai contoh yaitu memiliki
nilai current liabilities yang lebih besar dari current asset, sehingga
nilai working capital-nya menjadi negatif, memiliki nilai expenses yang
lebih besar dari penjualan sehingga menyebabkan earning before tax-
nya menjadi negatif.
2. Pada 5 Perusahaan yang memiliki kategori Z Score yang bervariabel
disarankan untuk perusahaan dalam kategori grey area mampu
melakukan tindakan antisipasi aktif sebelum perusahaan tersebut
benar-benar mengalami financial distress. Hal ini penting mengingat
keberlangsungan perusahaan dalam bisnis akan sangat ditentukan
oleh alternatif yang akan dipilih perusahaan dalam melakukan
antisipasi tersebut.
109
DAFTAR PUSTAKA
Altman Edward I., 1968, The Journal of Finance, Vol. 23, No. 4, pp. 589-609
American Finance Association.
Baridwan, Zaki, 2005, Intermediate Accounting, BPFE, Jakarta.
Brigham, Eguene F. and Michael C. Enhardt, 2005, Financial Management
Theory and Practice, Eleventh Edition, International Student Edition,
Thomson South-Western, Ohio
Darsono, dan Ashari. 2005. Pedoman Praktis Memahami Laporan Keuangan,
Andi, Yogyakarta
Downes, John dan Jordan Elliot Goodman, 2001, Kamus Istilah Keuangan dan
Investasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Hanafi, Mamduh M. & Abdul Halim. 2009. Analisis Laporan Keuangan. Edisi
Keempat. UPP STIM YKPN
Helmi, Syafrizal. 2008. Menjaga Perusahaan Agar Tetap Bugar.
http://shelmi.wordpress.com/2008/03/18/menjaga-perusahaan-agar-tetap-
bugar/, diakses tanggal 30 Mei 2013
Husnan, Suad, 2000, Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (Keputusan
Jangka Panjang)
Indonesia Stock Exchange, 2007, Indonesian Capital Market Directory
Indonesia Stock Exchange, 2011, Statistik Perusahaan. http://www.idx.co.id/,
diakses tanggal 25 Mei 2013
Indonesia Stock Exchange, 2013, Sejarah Bursa Efek Indonesia (1912 - 2009)
http://www.idx.co.id/id-id/beranda/tentangbei/sejarah.aspx, diakses pada
tanggal 19 Juni 2013
110
Kabo. 2011. Manajemen Keuangan. http://ekonomi.kabo.biz/2011/05/kebijakan-
dividen.html, diakses tanggal 30 Mei 2013
Kartadinata, Abas, 2001, Pengantar Manajemen Keuangan, Cetakan Ketiga,
Rineka Cipta, Jakarta
Keown, Arthur J, 2001, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Penerjemah:
Chaerul D. Djakman, Salemba Empat Jakarta
Kusnadi, 2002, Masalah Kerjasama, Konflik dan Kinerja (Kontemporer Islam),
Taroda Malang
Muhammad, Suwarsono, 2006, Strategi Penyehatan Perusahaan (Edisi Revisi),
UPP STIM YKPN, Yogyakarta
Munawir, S, 2000, Analisis Laporan Keuangan, Edisi Keempat, Liberty,
Yogyakarta
IAI (Ikatan Akuntansi Indonesia). 1998, 2007, 2009. PSAK (Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan) No 1, Salemba Empat, Jakarta
Sabardi, Agus, 2000, Manajemen Keuangan, cetakan ketiga, edisi pertama, UPP
AMP YKPN, Yogyakarta
Saifullah. 2011. Analisis Laporan Keuangan.
http://accountarona.blogspot.com/2011/05/analisis-laporan-
keuangan.html, diakses tanggal 30 Mei 2013
Sartono, R. Agus, 2001, Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi, Edisi
Keempat, BPFE Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Soemarso S. R. 2005, Akuntansi Suatu Pengantar. Buku I. Edisi Revisi. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat
Luciana & Kristijadi, 2003, Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Kondisi
Financial Distress Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Jakarta, JAAI Volume 7 no. 2, STIE PERBANAS, Surabaya
111
Stevenson R.A 1997, Fundamental of Finance I Edition International Student, Mc
Grow Hill International Book Company
Subramanyam, K. R. dan John J Wild, 2010, Analisis Laporan Keuangan
(Financial Statement Analysis), Buku 1, Edisi 10, Salemba Empat, Mc
Graw Hill Company, New York
2010, Analisis Laporan Keuangan (Financial Statement
Analysis), Buku 2, Edisi 10, Salemba Empat, Mc Graw Hill Company,
New York
Sutrisno, 2005, Manajemen Keuangan (Teori, Konsep dan Aplikasi), Ekonisia,
Yogyakarta
, 2008, Manajemen Keuangan (Teori, Konsep dan Aplikasi), Edisi
Keenam, Ekonisia, Yogyakarta
Van Horne, Charles C., 1998, Financial Management and Policy, Eight Edition,
Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey
White, Gerald I, 2006, The Analysis and Use of Financial Statement, Pearson
International Edition, New York
Weston, J Fred and Thomas E. Copeland, 2001, Manajemen Keuangan,
Terjemahan Dodo Suharto, Jilid Pertama, Edisi Kedelapan, Cetakan
Pertama, Erlangga, Jakarta
Wild. John J. 2005 and K. R Subramanyam, Financial Statement Analysis,
International Edition, McGraw Hill Company, New York
2007, Financial Statement Analysis, Ninth Edition,
International Edition, McGraw Hill Company, New York