Distress Mitokondria
description
Transcript of Distress Mitokondria
-
1BAB I
PENDAHULUAN
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human
immunodeficiency virus (HIV). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi virus
HIV.1,2,3
Secara global, pada akhir tahun 2011 sekitar 34 juta orang hidup dengan HIV.
Diperkirakan 0,8% orang dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan
HIV meskipun angka ini bervariasi di setiap negara. Sub-Sahara Afrika adalah
wilayah dengan prevalensi tertinggi dengan hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa
(4,9%) yang hidup dengan HIV dan merupakan 69% dari kasus HIV di seluruh
dunia.4 Di Indonesia kasus HIV & AIDS sejak pertama kali ditemukan di Bali pada
tahun 1987 hingga akhir Desember 2012 mencapai 98.390 kasus HIV dan 45.499
kasus AIDS. Di Sumatera Selatan, jumlah kasus HIV/AIDS sejak pertama kali
ditemukan tahun 1995 hingga 2012 sebanyak 1199/322 kasus, dengan prevalensi 18
per 100.000 penduduk.5
Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat yang akan mendorong pada
keadaan hipermetabolik. Kondisi ini akan menyebabkan gangguan stres oksidatif
pada mitokondria dengan target kerusakan DNA mitokondria (mtDNA). Seperti
diketahui, mitokondria memiliki dua peran dalam kehidupan sel yaitu fungsi
fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan energi dalam bentuk adenosine triphosphate
(ATP) dengan produk samping yang potensial berbahaya yaitu reactive oxygen
species (ROS) dan peran pada apoptosis.6-9 Berbagai protein genom HIV juga dapat
meningkatkan permeabilitas membran luar mitokondria sehingga menyebabkan
terlepasnya berbagai molekul pro apoptosis yang berakhir pada kematian sel.10,11
Sejak diperkenalkannya antiretroviral terapi (ART), harapan hidup pasien
terinfeksi HIV meningkat dengan pesat. Namun, penggunaan kronis obat
antiretroviral juga menyebabkan komplikasi jangka panjang dari terapi ini. Toksisitas
-
2mitokondria diakui sebagai efek samping utama dari pengobatan dengan nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI). NRTI merupakan terapi lini pertama dan
sentral dalam terapi antiretroviral. Obat ini sangat efektif dalam menghambat
replikasi HIV karena memiliki afinitas tinggi untuk enzim reverse transcriptase virus
(polimerase DNA virus). Namun, NRTI juga dapat mengikat DNA polimerase
manusia lainnya yaitu DNA polimerase , yang secara eksklusif bertanggung jawab
untuk replikasi mtDNA. Toksisitas mitokondria ini menyebabkan miopati, neuropati
perifer dan steatosis hati dengan asidosis laktat yang dapat mengancam jiwa.7,8
Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang toksisitas mitokondria akibat
infeksi virus HIV maupun akibat penggunaan antiretroviral golongan NRTI. Semoga
dapat menambah pengetahuan kita bersama.
-
3BAB II
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME ( HIV/AIDS )
2.1 Definisi
AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh HIV yang menimbulkan infeksi
oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis.1,8
2.2 Struktur
HIV merupakan suatu virus RNA bentuk sferis dengan diameter 1000
angstrom yang termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus dengan berat molekul 9,7 kb (gambar 1).1-3,8
Gambar 1. Struktur HIV12
Molekul RNA dikelilingi oleh suatu kapsid berlapis dua dan suatu membran
selubung yang mengandung protein. Komponen membran luar tersusun dari dua lapis
-
4lipid dan terdapat glikoprotein spesifik yang terdiri atas gp120 yang mampu
berinteraksi dengan reseptor CD4 serta koreseptor CXCR4 dan CCR5 yang terdapat
pada sel target dan gp41 yang mendorong terjadinya fusi membran HIV dengan
membran sel target. Glikoprotein tersebut mempunyai peranan penting dalam proses
infeksi karena mempunyai afinitas yang besar dengan reseptor CD4 dan koreseptor
CXCR4 dan CCR5 sel target. Bagian inti HIV tersusun dari rangkaian protein matriks
p17, rangkaian nukleokapsid dari protein p24, protein inti terdiri atas genom RNA
dan enzim reverse transcriptase yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada
proses replikasi.2,3,8
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983 dan
HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi
HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan HIV-2 tidak terlalu
luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.2,3,8,13
Gambar 2. Struktur genom HIV2,3
-
5Genom HIV terdiri dari 2 RNA yang identik. Gen dari genom HIV ini
berfungsi mengkode 9 protein yang esensial untuk replikasi HIV (gambar 2), yaitu :8
1. Gag, mengkode struktur protein inti nukleokapsid
2. Pol, mengkode enzim reverse transcriptase, protease, integrase dan
ribonuklease
3. Env, mengkode protein selubung virus
4. Tat, mengkode aktivator transkripsi kuat
5. Rev, mengkode regulator ekspresi gen struktural
6. Nef, berfungsi sebagai promoter intrinsik pengendali apoptosis, juga
diperlukan untuk patogenesis in vivo
7. Vif, mengkode peningkatan infektivitas virus bebas
8. Vpu, mengkode agar pembentukan tunas virus dan pengolahan selubung virus
lebih efisien
9. Vpr, mengkode aktivator transkripsi dan replikasi
2.3 Epidemiologi
Retrovirus sebagai penyebab AIDS dikemukakan oleh Barre-Sinoussi dkk di
institut Pasteur pada tahun 1983, sedangkan HIV-2 pertama dilaporkan di Senegal
Afrika Barat pada tahun 1985.8 Pada tahun 2012, 186 negara melaporkan adanya
infeksi HIV/AIDS dari berbagai penjuru dunia.4
Menurut UNAIDS, secara global, 34 juta orang hidup dengan HIV di akhir
tahun 2011. Lebih dari 35 juta telah meninggal sejak awal epidemi. Diperkirakan
0,8% orang dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV, meskipun
angka ini bervariasi antar daerah dan negara. Sub-Sahara Afrika tetap terkena dampak
paling parah, hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa (4,9%) hidup dengan HIV dan
angka ini merupakan 69% dari orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia.
Setelah sub-Sahara Afrika, daerah yang paling terpengaruh adalah Karibia, Eropa
Timur dan Asia Tengah, dimana 1,0% dari orang dewasa hidup dengan HIV pada
tahun 2011.4 Di Indonesia kasus HIV & AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada
-
6tahun 1987. Hingga akhir Desember 2012 tercatat 98.390 kasus HIV dan 45.499
kasus AIDS. Di Sumatera Selatan, jumlah kasus HIV/AIDS sejak tahun 1995 sampai
2012 adalah 1199/322 kasus, dengan prevalensi 18 per 100.000 penduduk.5
2.4 Patogenesis
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual. Begitu HIV masuk ke dalam tubuh manusia, 4-11
hari setelah paparan virus ini dapat dideteksi dalam darah.8 Perjalanan infeksi HIV
dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Perjalanan infeksi HIV8
HIV mempunyai tropisme pada berbagai sel target. Terdapat berbagai sel
target infeksi HIV terutama sel-sel yang mampu mengekspresi reseptor CD4.8,13-17
Pada awal kejadian infeksi, interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4
akan mendorong terjadinya ikatan lebih lanjut dengan reseptor kemokin yang
bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 atau X4 dan CCR5 atau R5 yang juga
terdapat pada membran sel target. Spesifik karena masing-masing sel target
mempunyai koreseptor khusus, misalnya HIV yang T-cell-tropic strains mengikat
pada koreseptor CXCR4 (lymphocytotropic) sedangkan macrophag-tropic strains
mengikat pada koreseptor CCR5 (monocytotropic). Oleh karena itu, CCR5 dan
CXCR4 ikut menentukan nasib sel target. Kinerja CCR5 maupun CXCR4 dipandu
gen pemegang kendali yang menentukan kerentanan terhadap infeksi HIV. Mutasi
gen pengkode CCR5 dapat merupakan protektor atau resisten terhadap infeksi HIV,
Infeksi primer Infeksi pada jaringan limfoid Viremia HIV respon imun spesifik
Sitokin(IL1, IL6, TNF1)Aktivasi imunReplikasi HIVDestruksisistem imun
-
7maka pada individu yang homozigot cenderung resisten terhadap infeksi, sedangkan
yang heterozigot lebih rentan terhadap infeksi HIV.8,13-17
Interaksi beruntun antara gp120 virus dengan reseptor CD4 dan koreseptor
CXCR4 serta CCR5 sel target tersebut tidak begitu saja memuluskan proses
internalisasi HIV ke dalam sel target, karena masih diperlukan peran gp41 yang
terdapat pada selubung virus. Glikoprotein 41 pada selubung virus berperan penting
dalam proses peleburan atau fusi membran virus dengan membran sel target, karena
gp41 berpengaruh terhadap penyatuan kedua membran. Berikutnya seluruh
komponen inti HIV masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan
masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.8,13-17
Begitu internalisasi berlangsung akan disusul oleh proses transkripsi genom
ssRNA ke double stranded DNA melalui virion RNA-dependent DNA polymerase,
dengan bantuan enzim reverse transcriptase. DNA yang terbentuk dipolimerisasi
menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase.8,13-17
Dari sitoplasma kemudian berintegrasi ke dalam inti sel target dengan
menyelip ke dalam DNA sel target dengan bantuan enzim integrase terbentuk
provirus. Transkriptase mRNA virus dari DNA proviral oleh polimerase RNA akan
diterjemahkan kedalam urutan asam amino yang sesuai melalui proses translasi ke
berbagai protein.8,13-17
Prekursor protein virus diintegrasikan ke dalam membran plasma dan
kemudian dimodifikasi secara proteolitik. Tat, menstimulasi replikasi virus. Rev-
dependent messenger RNA menghasilkan sambungan untaian tunggal RNA (mRNA)
melalui efek molekuler signal chaperone dari Rev yang menyampaikan pesan dari
inti ke sitoplasma. Di dalam sitoplasma pesan tersebut diterjemahkan melalui proses
translasi ke struktur protein, seperti Gag, Pol dan Env pada akhir replikasi. Aktivitas
poliprotein Gag dan Pol ditentukan oleh protease yang dikode virus, sedangkan
terjadinya lekukan poliprotein Env dikendalikan oleh protease seluler. Poliprotein
Gag mengendalikan formasi protein utama inti (p24), protein matriks (p17) dan
beberapa protein dengan ukuran yang lebih kecil. Protein Pol mengendalikan enzim
-
8reverse transcriptase, integrase dan protease. Untuk maturasi virion yang imatur
didukung poliprotein dari sitoplasma sehingga menjadi virion matur yang infeksius,
melakukan budding pada sel membran. Siklus ini diakhiri dengan pengikatan dan
pelepasan virus baru yang matang dan siap menginfeksi sel target lain. Dalam satu
hari replikasi HIV dapat menghasilkan virus baru yang jumlahnya mencapai sekitar
1-100 miliar virus.8,13-17 Secara ringkas, siklus hidup HIV di dalam sel host dapat
dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Siklus hidup HIV dalam sel host18
-
92.5 Respon imun terhadap HIV
Ketika HIV masuk ke dalam tubuh akan dihadapi oleh sistem imun non
spesifik dan sistem imun spesifik. Sel dendritik (SD) merupakan sel sistem imun non
spesifik pertama yang terinfeksi pada mukosa. ssRNA dari HIV mengaktifkan SD
dan monosit melalui Toll-like receptor (TLR) 7 dan 8 sehingga mensekresi IFN-
alpha, IL-6, TNF-alpha, and IL-1. Sel ini kemudian bermigrasi ke jaringan limfoid
dan memungkinkan HIV menginfeksi sel CD4. Selama infeksi primer, jumlah dan
fungsi SD mulai menurun. Komplemen akan berusaha memusnahkan virus melalui
opsonisasi.8,13-17
Gambar 5. Jumlah CD4, beban virus dan perjalanan infeksi HIV2,3
Sel yang terpapar juga akan dimusnahkan oleh sel natural killer (NK) melalui
sitolisis langsung maupun dengan bantuan antibody dependent cell cytotoxicity
(ADCC). Infeksi yang tidak diobati progresif dikaitkan dengan perubahan ekspresi
gen, hilangnya fungsi dan peningkatan apoptosis sel NK.8,13-17
Selama infeksi akut, replikasi virus terjadi sangat cepat, menghasilkan kadar
virus tertinggi selama infeksi. Dalam minggu-minggu pertama infeksi terjadi deplesi
-
10
masif sel T dalam mukosa usus. Hal ini diikuti dengan hilangnya sel CD4 dalam
darah perifer secara progresif yang merupakan ciri khas penyakit ini (gambar 5).
Sebelum terjadi penurunan jumlah, terjadi abnormalitas fungsi sel CD4 seperti
berkurangnya respon proliferasi, penurunan produksi IL-2, penurunan ekspresi IL-2
reseptor (CD 25) dan molekul kostimulator CD 28. Mekanisme disfungsi ini belum
diketahui dengan jelas, diduga adanya induksi anergi sel T akibat tingginya kadar
antigen, apoptosis yang diinduksi antigen, gangguan presentasi antigen maupun
variasi sekuensial virus pada epitop CD4. 8,13-17
Gambar 6. Respon imun terhadap HIV8
Berbagai riset terakhir menunjukkan peran sel CD8 dalam infeksi HIV.
Peran sel CD8 adalah melisis sel yang terinfeksi virus dengan mengeluarkan perforin.
Telah diketahui bahwa masa hidup CD8 spesifik HIV lebih pendek dibandingkan
CD8 spesifik virus lainnya. Hal ini mungkin dikaitkan dengan meningkatnya
apoptosis selama infeksi HIV.19
Respon antibodi pada HIV dapat muncul dalam satu bulan setelah infeksi
awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi dalam 6 bulan setelah pajanan.
Namun, antibodi HIV tidak menetralisasi HIV atau menimbulkan perlindungan
-
11
terhadap infeksi lebih lanjut. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap gp120 dan
gp41. Deteksi antibodi digunakan sebagai dasar uji HIV misalnya ELISA. Di dalam
darah dijumpai imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi
seiring menurunnya titer IgM, titer IgG tetap tinggi sepanjang infeksi.8,13-17
Salah satu paradoks infeksi HIV adalah virus ini memicu respon imun yang
luas namun tidak sepenuhnya melindungi tubuh dari replikasi virus yang sedang
berlangsung. Disfungsi imun ini mungkin karena HIV menginfeksi sel-sel sistem
imun itu sendiri, seperti sel-sel CD4, makrofag dan sel dendritik. Infeksi kronis
menyebabkan aktivasi umum sistem kekebalan tubuh, yang menghasilkan
peningkatan ekspresi sitokin pro inflamasi (TNF , IL-6, IL1), redistribusi
subpopulasi limfosit, peningkatan turn over sel, disfungsi seluler dan apoptosis.8,13-17
2.6 Diagnosis
Menurut WHO, manifestasi klinis penderita HIV/AIDS dewasa dibagi
menjadi empat stadium, seperti terlihat pada tabel 1. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan
adanya infeksi HIV sebelum menjadi AIDS tidak mudah karena individu yang
terpapar masih asimptomatis, yang secara klinis tentunya tidak mudah dikenali.
Meskipun demikian perlu dipahami adanya berbagai faktor resiko. Ada 2 kelompok
risiko terinfeksi HIV yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Termasuk kelompok risiko
tinggi adalah homoseksual, laki-laki dengan biseksual, heteroseksual dengan
berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba intravena dengan jarum suntik yang
dipakai bergantian, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV dan tidak mendapat
terapi antiretroviral, resipien donor darah maupun komponen darah tanpa tes
penapisan terhadap HIV. Termasuk kelompok risiko rendah adalah petugas kesehatan
termasuk dokter, dokter gigi, perawat dan petugas laboratorium.8,13-17
-
12
Tabel 1. Manifestasi klinis penderita HIV/AIDS dewasa20
Stadium Gambaran KlinisInfeksi primer Asimptomatik
Sindrom retroviral akutStadium klinis I Asimptomatik
Limfadenopati generalisataStadium klinis II Berat badan menurun < 10%
ISPA berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, and faringitis)Herpes zooster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (angular cheilitis)Ulkus mulut berulangDermatitis seboroikRuam kulit yang gatal (papular pruritic eruptions)Infeksi jamur kuku
Stadium klinisIII
Berat badan menurun > 10%Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulanDemam yang berkepanjangan lebih dari 1 bulanKandidiasis orofaringealOral hairy leukoplakiaTB paru dalam tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis dll)Ulserasi nekrotikan akut stomatitis, gingivitis atau periodontitisAnemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (Hb
-
13
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium
mulai dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV misalnya
dengan ELISA yang kemudian dilanjutkan dengan uji kepastian dengan pemeriksaan
yang lebih spesifik yaitu uji Western blot. Uji Western blot lebih spesifik karena
mampu mendeteksi komponen-komponen yang terkandung pada HIV antara lain gp
120, gp41, p17, p18, p24, p31, p36. Di Indonesia mengingat uji Western blot belum
merata dilakukan secara rutin, maka dianjurkan pemeriksaan laboratorium dengan
tiga metode yang berbeda. Dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan
laboratorium dari metode yang berbeda-beda tersebut semuanya menunjukkan hasil
reaktif. Tes diagnostik HIV terlihat pada tabel 2.8,13-17
Tabel 2. Tes diagnostik untuk infeksi HIV8
SkriningEnzyme-linked immunoassay (EIA, ELISA) untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanyaAglutinasi latek untuk HIV-1
KonfirmasiWestern blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIV-1Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk HIV-1
Lain-lainELISA untuk HIV-1 p24 antigenPolymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1
2.7 Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan dan pengendalian progresivitas HIV ke AIDS
dilakukan melalui :8
1. Terapi antiretroviral (ART)
2. Terapi infeksi oportunistik serta malignansi
3. Dukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien
4. Konseling terhadap penderita maupun keluarganya
5. Membudayakan pola hidup sehat
-
14
2.7.1 Terapi antiretroviral
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis HIV. Rekomendasi memulai ARV pada
penderita dewasa dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa21
Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 RekomendasiODHA dewasa Stadium klinis 1 dan 2 > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
Monitor gejala klinisdan jumlah sel CD4setiap 6-12 bulan
< 350 sel/mm3 Mulai terapiStadium klinis 3 dan 4 Berapapun jumlah sel
CD4Mulai terapi
Pasien dengan ko-infeksi TB
Apapun stadium klinis Berapapun jumlah selCD4
Mulai terapi
Pasien dengan ko-infeksi Hepatitis BKronik aktif
Apapun stadium klinis Berapapun jumlah selCD4
Mulai terapi
Wanita Hamil Apapun stadium klinis Berapapun jumlah selCD4
Mulai terapi
Tujuan terapi antiretroviral :8,21
- Menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan kematian akibat
AIDS
- Memperbaiki kualitas hidup, skor Karnofsky mendekati 100
- Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal, dengan
CD4 diatas 500
- Menekan replikasi virus serendah mungkin sehingga kadar kalam plasma < 50
kopi/ml
Obat-obat antiretroviral yang tersedia saat ini dapat dilihat pada tabel 4. Setiap
golongan antiretroviral tersebut bekerja pada siklus hidup tertentu virus HIV (gambar
7).
-
15
Tabel 4. Klasifikasi ARV22
Klasifikasi Nama Obat (singkatan)Nucleoside and nucleotidereverse transcriptase inhibitor(NRTI)
Abacavir (ABC)Didanosine (ddI)Emtricitabine (FTC)Lamivudine (3TC)Stavudine (d4T)Tenofovir (TDF)Zalcitabine (ddC)Zidovudine (ZDV, AZT)
Non-nucleoside reversetranscriptase inhibitor (NNRTI)
Delavirdine (DLV)Efavirenz (EFV)Nevirapine (NVP)Rilpivirine (RPV)
Protease inhibitor (PI) Amprenavir (APV)Atazanavir (ATV)Darunavir (DRV)Fosamprenavir (FPV)Indinavir (IDV)Lopinavir/ritonavir (LPV/r)Nelfinavir (NFV)Ritonavir (RTV)Saquinavir (SQV)Tipranavir (TPV)
Fusion inhibitor Enfuvirtide (T-20)Integrase inhibitor Raltegravir (RAL)CCR5 antagonist Maraviroc (MVC)Fixed dose combination Zidovudine + Lamivudine
Zidovudine + Lamivudine + AbacavirLamivudine + AbacavirEmtricitabine + TenofovirEmtricitabine + Tenofovir + Efavirenz
Terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi tiga obat dan dipantausecara ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping sertakemungkinan timbulnya resistensi. Rejimen pengobatan terdiri dari base danbackbone. Yang digunakan sebagai base adalah baik NNRTI atau PI. Backbone
-
16
biasanya terdiri dari dua NRTI. Panduan untuk terapi lini pertama di Indonesiaadalah dua golongan NRTI dan satu golongan NNRTI.21
Gambar 7. Siklus hidup HIV dan intervensi antiretroviral23
-
17
BAB III
TOKSISITAS MITOKONDRIA PADA INFEKSI HIV/AIDS
3.1 Mitokondria
3.1.1 Struktur mitokondria
Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua
membran, yaitu membran luar (outer membrane) dan membran dalam (inner
membrane). Mitokondria memiliki dua kompartemen yaitu matriks dan ruang antar
membran. Membran luar permeabel terhadap ion atau molekul kecil sedangkan
membran dalam bersifat impermeabel. Pada membran dalam terdapat kompleks
protein rantai respirasi, ATP sintase dan transporter membran. Ruang matriks
mengandung enzim, ribosom, DNA mitokondria, dimana sebagian besar reaksi
metabolisme berlangsung (Gambar 8).24-26
Gambar 8. Struktur Mitokondria26
-
18
Membran dalam dan matriks mitokondria terkait erat dengan aktivitas utama
mitokondria yang terlibat dalam siklus asam trikarboksilat (siklus TCA), oksidasi
asam lemak dan pembentukan energi. Proporsi kandungan protein pada membran
dalam (sekitar 21% dari total protein mitokondria). Berdasarkan fungsinya protein
membran dalam dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu (1) protein yang telibat
dalam reaksi oksidasi pada proses respirasi, (2) protein enzim ATP sintase yang
berfungsi membentuk ATP pada matriks mitokondria dan (3) protein transpor yang
mengatur lalu lintas metabolit keluar masuk matriks mitokondria melewati membran
dalam.24,25
Membran dalam memiliki struktur molekul, melipat kedalam ke bagian
matriks mitokondria, dikenal sebagai krista. Struktur molekul-molekul ini sangat
membantu dalam meningkatkan luas permukaan membran dalam sehingga
meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi ATP. Pada sel hati misalnya,
proporsi membran dalam mitokondria mencapai sepertiga dari total membran sel.
Jumlah krista juga bervariasi tergantung jenis sel. Jumlah krista mitokondria sel otot
jantung misalnya mencapai tiga kali jumlah krista mitokondria sel hati. Hal ini diduga
terkait dengan tingginya kebutuhan ATP pada sel otot jantung. Struktur krista yang
melekuk ke bagian matriks juga membantu mempercepat komponen matriks
mencapai membran dalam.24,25
Sebagian besar (sekitar 67%) protein mitokondria dijumpai pada bagian
matriks. Pada matriks terdapat campuran ratusan jenis enzim dengan konsentrasi
sangat tinggi. Enzim-enzim ini dibutuhkan untuk proses oksidasi piruvat, oksidasi
asam lemak dan menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks mitokondria juga
mengandung sejumlah salinan identik DNA genom mitokondria. Selain itu, pada
matriks juga terdapat ribosom mitokondria, tRNA dan berbagai jenis enzim yang
diperlukan untuk ekspresi gen mitokondria.24,25
Mitochondrial permeability transition pore (MPTP) merupakan kompleks
multiprotein yang mampu membentuk porus atau lubang yang non selektif pada
membran dalam mitokondria. Pada keadaan fisiologis, membran dalam mitokondria
-
19
impermeabel terhadap metabolit maupun ion-ion. Tetapi pada keadaan stres MPTP
akan membuka. Apabila porus ini membuka maka akan menimbulkan kegoncangan
homeostasis di dalam sel maupun di membran dalam mitokondria yang berakibat
kerusakan sel yang reversibel maupun yang ireversibel.25-27
Jumlah mitokondria di dalam sel bervariasi dari beberapa hingga ribuan dalam
satu sel tergantung dari jumlah kebutuhan sel akan energi. Sel dengan kebutuhan
energi yang besar mengandung banyak mitokondria.25
3.1.2 Fungsi mitokondria
Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk
ATP. Energi yang dihasilkan ini digunakan sel untuk homeostasis, regulasi,
pembelahan, motilitas dan apoptosis. Secara garis besar, reaksi pembentukan ATP
yang berlangsung di mitokondria dibagi menjadi tiga tahap :24,25
1. Reaksi oksidasi piruvat (asam lemak) menjadi CO2. Reaksi ini terkait dengan
reduksi NAD+ dan FAD menjadi NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini
berlangsung di ruang matriks mitokondria.
2. Transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rentetan reaksi ini
berlangsung pada membran dalam dan terkait dengan pembentukan proton
motive force atau gradien elektokimia lintas membran dalam mitokondria.
3. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien elektrokimia untuk
memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalis oleh kompleks enzim F0-F1 ATP
sintase yang berlokasi pada membran dalam.
Mitokondria bertanggungjawab terhadap berbagai rantai reaksi metabolisme
intermedia penting seperti siklus krebs, siklus urea dan biosintesis asam lemak
(gambar 9).
3.1.2.1 Rantai respirasi
Rantai respirasi tersusun atas empat kompleks enzim multipeptida : kompleks
I (NADH-ubikuinon reduktase); kompleks II (suksinat-ubikuinon reduktase);
-
20
kompleks III (ubikuinol-sitokrom c oksidoreduktase) dan kompleks IV (sitokrom
oksidase) dan dua karier elektron yang bebas bergerak: ubikuionon dan sitokrom c.
Bersama dengan kompleks kelima yaitu ATP sintase (kompleks V) mereka menyusun
sistem fosforilasi oksidatif. Semua kompleks ini berada pada membran dalam dan
mereka bisa dicapai oleh substrat baik yang berada pada membran maupun yang
berada pada matriks.24,25
Gambar 9. Reaksi metabolik pada mitokondria27
3.1.3 Genom mitokondria
Selain genom yang terletak di inti, manusia memiliki DNA di luar inti yang
terdapat dalam mitokondria (gambar 10). DNA mitokondria (mtDNA) berbentuk
lingkaran heliks tertutup yang terdapat di dalam matrik, urutan nukleotidanya telah
diketahui secara lengkap dan dapat diakses melalui GenBank Accesion: M63933.
-
21
MtDNA mempunyai 2 untai yaitu untai Heavy (H) yang kaya dengan guanin dan
untai Light (L) yang kaya dengan sitosin. MtDNA merupakan DNA yang padat gen
dan hampir tidak mempunyai intron, berukuran sebesar 16.569 pasang basa (bp) yang
membentuk 37 gen. Untai H menyandi 13 polipeptida untuk protein kompleks rantai
respirasi, 22 tRNA dan 2 rRNA (12S dan 16S) yang berfungsi dalam proses sintesis
protein mitokondria. Ketiga belas polipeptida meliputi tujuh subunit (ND1, 2, 3, 4,
4L, 5 dan 6) dari kompleks I rantai respirasi, satu subunit (apositokrom b) dari
kompleks III, tiga sub unit (CO I, II, III) dari kompleks IV dan dua sub unit (ATP ase
6 dan ATP ase 8) dari kompleks V.28,29
Gambar 10. Genom mitokondria manusia26
DNA mitokondria diwariskan secara maternal dan memiliki sifat unik yaitu
laju mutasinya yang sangat tinggi sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini dikarenakan
mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein
histon dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat
berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal bebas sebagai
produk samping. DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA
polimerase yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses perbaikan
-
22
dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan
mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan
replikasi. Replikasi mtDNA yang tidak akurat ini akan menyebabkan mutasi mudah
terjadi.28,29
3.2 Peran mitokondria pada apoptosis
Mitokondria bukan saja penting bagi kehidupan sel yaitu sebagai penghasil
energi, tetapi juga penting bagi kematian sel itu sendiri. Mitokondria turut
menentukan apakah sebuah sel sudah saatnya memasuki proses kematian baik secara
nekrosis maupun melalui apoptosis. Dalam memicu apoptosis mitokondria
melepaskan sitokrom C. Selain itu, mitokondria juga diketahui berperan dalam
homeostasis ion kalsium.24-29
Apoptosis atau kematian sel terprogram adalah serangkaian proses yang
sangat terkoordinasi dan terkontrol ketat dimana terjadi pengikatan ligan kepada
reseptor (kematian) spesifik atau aksi sitotoksik yang menyebabkan aktivasi beberapa
protease dan enzim-enzim hidrolitik lain, sehingga terjadi proteolisis, fragmentasi
DNA, dan kondensasi kromatin. Apoptosis dapat dimulai baik melalui jalur ekstrinsik
maupun intrinsik tergantung pada stimulusnya (gambar 11). Sinyal ekstrinsik
(sitokin TNF , fas ligan, glukokortikoid) berikatan dengan reseptor mereka dan
memicu pensinyalan intraselular yang menyebabkan aktivasi caspase-8. Jalur TNF
dan fas ligan dapat menimbulkan apoptosis maupun kelangsungan hidup sel
bergantung kepada jalur pensinyalan intraselular apa yang mereka induksi dan
keseimbangan berkaitan dengan aktivasi faktor nuklear-kB.9,29
Pada jalur apotosis intrinsik sinyal proapoptosis (seperti famili protein pro-
apoptosis Bcl-2, Bax dan Bak) bertranslokasi ke mitokondria, menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran mitokondria. Hal ini akan menyediakan rute
bagi pelepasan Endo G dan Smac/DIABLO (second mitochondria-derived activator
of caspase/ direct IAP binding protein with a low pI) ke dalam sitosol. Setelah
berada dalam sitosol, sitokrom c membantu formasi apoptosom, suatu platform
-
23
molekuler untuk aktivasi caspase-9. Apoptosom juga termasuk apoptosis protease
activating factor 1 (APAF-1) dan ATP/ d ATP. Pada gilirannya, caspase-9 yang aktif
mengkatalisasi aktivasi proteolitik dari efektor caspase. Hal ini berlanjut kepada
ekspresi dari dua fenotip kunci apoptosis, yaitu paparan fosfatidilserin (PS) pada
permukaan luar dari membran plasma dan fragmentasi serta degradasi DNA. Studi
terbaru menunjukkan bahwa caspase 3 mungkin juga berperan untuk
melipatgandakan sinyal kematian awal dengan membantu meningkatkan pelepasan
sitokrom c lebih lanjut dari mitokondria. Smac/DIABLO memicu apoptosis secara
tidak langsung dengan berikatan dan mengantagonis anggota dari inhibitor apoptosis
protein (IAP). Di sisi lain, AIF dan Endo G bertranslokasi dari sitosol ke
kompartemen nuklear, menyebabkan suatu fragmentasi DNA dan kondensasi
kromatin.9,29
Mekanisme tentang bagaimana protein ruang intermembran dilepaskan dari
mitokondria masih kontroversial. Secara umum, ada dua mekanisme telah dijelaskan,
terjadinya salah satu mekanisme mungkin bergantung pada sifat stimulus apoptosis.
Pada mekanisme pertama, MPTP terbuka di sisi membran dalam, menyebabkan air
pada molekul-molekul berukuran sampai 1,5 kDa melewatinya. Pembukaan MPTP
menghasilkan suatu keseimbangan ion-ion yang melewati membran dalam
mitokondria dengan hilangnya potensial transmembran mitokondria () dan
pembengkakan matriks karena masuknya air. Masuknya air ini akan menyebabkan
pembengkakan yang cukup untuk merobek membran luar. Bagian membran
mitokondria yang pecah akan mengeluarkan molekul proapoptotik termasuk sitokrom
c, Smac/Diablo, apoptotic induced factor (AIF) yang mempercepat kematian sel
melalui jalur caspase. MPTP yang terbuka akan menyebabkan terhentinya sintesis
ATP disertai meningkatnya penggunaan ATP untuk mengembalikan gradien proton.
Pada keadaan ini MPTP merubah fungsi mitokondria dari produsen ATP menjadi
pengguna ATP, sehingga sel kekurangan ATP dan akhirnya mati. Terbukanya MPTP
dipengaruhi oleh kalsium, status redoks, voltase dan pH. Pada keadaan fisiologis,
-
24
kalsium dan status redoks merupakan faktor yang penting untuk pembukaan
MPTP.9,29
Mekanisme kedua dimediasi oleh anggota famili Bcl-2 yang bekerja langsung
pada membran luar mitokondria. Pada proses ini oligomerisasi dari anggota famili
pro-opoptotik Bcl-2 Bax dan Bak memainkan peran esensial dalam permeabilisasi
membran luar mitokondria. Translokasi Bax/Bak ke mitokondria menyebabkan
pembentukan ROS dan oksidasi kardiolipin (CL) di dalam mitokondria. Pada sel
yang mengalami double knock out Bax/Bak, produksi ROS dan oksidasi CL-nya
berkurang. Sel-sel ini, bukan sel yang hanya kekurangan salah satu dari protein ini,
diketahui menjadi lebih resisten terhadap berbagai stimulus apoptosis termasuk
oksidan yang beroperasi melalui jalur mitokondria. Terlepas dari mekanismenya,
permeabilisasi membran luar mitokondria dianggap sebagai titik ireversibel pada
apoptosis karena pelepasan dari aktivator caspase seperti sitokrom c.9,29
Gambar 11. Jalur ekstrinsik dan intrinsik apoptosis29
-
25
Mitokondria tampaknya terlibat pada jalur apoptosis intrinsik dan ekstrinsik.
Jalur apoptosis intrinsik adalah jalur yang dependen mitokondria, sel-sel menjalani
kematian terprogram via jalur ekstrinsik dapat diklasifikasikan sebagai tipe I atau II
tergantung apakah mitokondria terlibat atau tidak. Pada sel-sel tipe I, eksekusi
apoptosis terjadi tanpa peran signifikan dari mitokondria. Kematian sel macam ini
mungkin berperan penting bagi remodeling jaringan developmental. Pada sel-sel tipe
II, mitokondria terlibat dalam eksekusi apoptosis sebagai lingkaran (loop) kedua.
Pada beberapa sistem yang dimediasi reseptor kematian membran, aktivasi caspase-8
oleh stimulus eksternal (seperti TNF- dan Fas ligan) melibatkan pensinyalan yang
dependen-mitokondria dan menghasilkan pembelahan famili protein proapoptosis
Bcl-2, yaitu Bid menjadi t-Bid. Translokasi dari T-Bid ke mitokondria dipercaya
sebagai salah satu sinyal yang memicu rangkaian kejadian di mitokondria selama
apoptosis.9,29
3.3 Toksisitas mitokondria akibat infeksi HIV
Toksisitas mitokondria adalah kerusakan yang menyebabkan berkurangnya
jumlah mitokondria. Bila jumlah mitokondria dalam sel terlalu sedikit, sel tersebut
dapat berhenti bekerja sebagaimana mestinya.7
Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat, berpengaruh luas terhadap
imunitas dan mendorong tubuh pada kondisi hipermetabolik. Kondisi ini menuntut
penyediaan energi dalam jumlah berlebih. Untuk itu tubuh akan memacu
mitokondria untuk menyediakan ATP dalam jumlah besar guna memenuhi tuntutan
tubuh tersebut. Beban mitokondria akan semakin berat dengan hadirnya
mikroorganisme selain HIV sebagai penyebab infeksi oportunistik. ATP harus
semakin banyak lagi yang disediakan. Produk samping ATP adalah terbentuknya
reactive oxygen species (ROS), meskipun semula hanya 1-2% dari produk ATP tetapi
akibat akumulasi lama-kelamaan kadarnya semakin meningkat. Peningkatan kadar
ROS tersebut bukan semata akibat peningkatan produksi saja tetapi juga akibat
-
26
menurunnya kemampuan eliminasi oleh scavenger enzyme (Superoxide dismutase
[SOD], katalase, Gluthation peroxidase [Gpx]) dari hepatosit. Dampak hiperaktivitas
mitokondria tersebut dapat menyebabkan mitokondria jatuh ke kondisi exhausted.7-
9,29
Beberapa tahun terakhir banyak penelitian dilakukan untuk melihat efek
komponen protein HIV terhadap fungsi mitokondria. Terdapat hasil penelitian yang
menyatakan HIV dapat mengganggu fungsi kompleks I dari rantai respirasi
sementara kemampuan HIV untuk menurunkan jumlah mtDNA masih dalam
perdebatan.7,9
Gambar 12. Mekanisme toksisitas mitokondria pada sel29
Beberapa penulis melaporkan deplesi mtDNA pada pasien HIV yang belum
pernah mendapat ARV dibandingkan dengan kontrol, setidaknya di peripheral
blood mononuclear cell (PBMC), menunjukkan bahwa penurunan mtDNA dapat
terjadi pada pasien ARV naive dan mendahului penggunaan NRTI dan bahwa produk
HIV atau sitokin yang dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi HIV (TNF )
mungkin membuat mitokondria lebih rentan terhadap NRTI (gambar 12).7,9,30
-
27
Gambar 13. Mekanisme molekuler stres oksidatif yang diinduksi HIV31
Sejumlah besar penelitian selama dua dekade terakhir telah menunjukkan
bahwa selama infeksi HIV, apoptosis adalah salah satu mekanisme utama deplesi
CD4. Dalam menanggapi berbagai rangsangan berbeda, baik CD4 + dan CD8 + dari
pasien HIV menunjukkan kerentanan yang tinggi, gangguan potensial membran
mitokondria (m) dan selanjutnya apoptosis. Kecenderungan seperti ini juga dapat
diamati pada fase awal infeksi (pada pasien dengan infeksi akut) dimana kemampuan
HIV untuk mengubah m dan menginduksi apoptosis pada sel darah perifer
memainkan peran penting dalam fenomena ini. Analisis intensif menunjukkan
aktivitas proapoptotik protein genom HIV nef, vpr dan tat (gambar 13). Protein nef
virus HIV juga dapat mengganggu mekanisme proteksi mitokondria alamiah
(telomerase dan mitofagi).7,9,30-34 Secara garis besar peranan infeksi HIV pada
mitokondria terlihat pada gambar 14.
-
28
Gambar 14. HIV, mitokondria dan mtDNA35
3.4 Toksisitas mitokondria akibat antiretroviral terapi : peran NRTI
Dengan menghambat DNA mitokondria (mtDNA) enzim polimerase-gamma,
NRTI dapat menyebabkan deplesi mtDNA, mengakibatkan disfungsi organel dan
penurunan fosforilasi oksidatif. mtDNA mengkode 13 polipeptida mitokondria yang
terlibat dalam rantai pernapasan yang penting untuk OXPHOS. Gangguan OXPHOS
menyebabkan hilangnya energi (penurunan ATP) dan peningkatan kebocoran
elektron dari rantai transpor elektron, yang meningkatkan produksi ROS. ROS, pada
gilirannya, menyebabkan kerusakan protein, lipid, dan mtDNA, yang mengarah ke
kaskade kerusakan oksidatif lebih lanjut dan peroksidasi lipid. mtDNA rentan
terhadap mutasi karena tidak memiliki intron atau histon.7,36-39
-
29
Gambar 15. Mekanisme toksisitas mitokondria akibat NRTI36
Ekspresi toksisitas mitokondria mungkin tidak terjadi sampai ambang biologis
spesifik disfungsi mitokondria telah tercapai. Timbulnya toksisitas mitokondria dapat
bervariasi tergantung pada jenis sel individu karena jumlah salinan mtDNA
bervariasi, serta ketergantungan pada produksi energi seluler. Mekanisme toksisitas
mitokondria akibat NRTI terlihat pada gambar 15. Apabila DNA polimerase
dihambat NRTI, maka seluruh protein mtDNA yang dikodekannya akan menghilang
pada generasi baru mitokondria sehingga sel yang baru hanya mengandung nDNA.
Gejala klinis toksisitas mitokondria akibat berbagai NRTI terlihat pada tabel 5.7,36-39
Standar emas untuk diagnosis efek toksik nukleosida terkait mitokondria
adalah biopsi otot dalam kasus miopati, atau biopsi hati dalam kasus dugaan asidosis
laktat dengan steatosis. Apabila terdapat tanda hiperlaktatemia atau asidosis laktat,
pemeriksaan kadar laktat serum diperlukan untuk diagnosis.7,36-39
-
30
Tabel 5. Manifestasi klinis toksisitas mitokondria akibat NRTI36
Gejala klinis NRTI
Polineuropati d4T, ddI, ddCMiopati AZTKardiomiopati AZT, d4TSteatosis hepatik, asidosis laktat AZT, ddI, d4TPankreatitis ddIPansitopenia AZTDisfungsi tubular proksimal (TDF)Lipodistrofi d4T, AZT
3.5 Antioksidan pada infeksi HIV
Radikal bebas yang terbentuk selama berlangsungnya infeksi secara endogen
dapat diredam oleh berbagai enzim dalam tubuh antara lain katalase, superoksid
dismutase (SOD), dan glutation (GSH). Enzim SOD di mitokondria mengandung
mangan (Mn), sedangkan dalam sitosol bekerjanya enzim SOD memerlukan bantuan
tembaga (Cu), seng (Zn) dan selenium (Se). Dengan demikian untuk pengendalian
radikal bebas selama infeksi, diperlukan bantuan mineral Mn, Cu, Zn dan Se yang
dapat membantu kinerja antioksidan endogen. Karena ke empat mineral tersebut
mendukung kinerja mitokondria dan sitosol, dengan demikian mereka juga berperan
sebagai anti apoptosis yang memotong proses apoptosis melalui mitochondrial
mediated pathway. Suplement tersebut juga dilengkapi dengan komponen beta-
karoten, vitamin C, dan vitamin E yang secara luas diketahui sebagai antioksidan
eksogen. Dengan berbagai keunggulan yang terkandung, maka suplemen tersebut
mempunyai potensi untuk proteksi terhadap mitokondria.8,40
Berbagai studi sedang dikembangkan untuk mempelajari berbagai senyawa
kimia yang dapat bertindak sebagai antioksidan dan mengembalikan keseimbangan
oksidatif pada pasien terinfeksi HIV. Senyawa kimia tersebut diantaranya adalah
tricyclodecan-9-il-xanthogenate (D609), penghambat fosfatidilkolin khusus
fosfolipase C, yang menunjukkan sifat serupa GSH. D609 juga memiliki kapasitas
-
31
untuk menghambat produksi TNF- yang diinduksi tat. Senyawa lain yang dapat
meningkatkan tingkat GSH adalah N-asetil-L-sistein (NAC), yang merangsang
produksi sistein (prekursor GSH).40 Berbagai analog NAC, termasuk N-(N-asetil-L-
cysteinyl)-S-acetylcysteamine, telah terbukti untuk meningkatkan tingkat GSH dan
menampilkan aktivitas anti-HIV.40
Banyak senyawa lain menggunakan sistem yang berbeda untuk mencegah
stres oksidatif, yaitu GPI 1046, memantine, Mn(III) tetrakis (4-benzoic acid)
porphyrin chloride (MnTBAP), epigallocatechin gallate, curcumin dan selegiline.40
3.6 Pengobatan toksisitas mitokondria akibat NRTI
Pengobatan untuk toksisitas mitokondria akibat NRTI akan tergantung pada
organ target yang terlibat. Pertimbangan cermat profil resistansi HIV perlu dievaluasi
setiap kali mengubah obat antiretroviral.36-39
Pasien terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala miopati saat mengkonsumsi
AZT harus beralih ke analog nukleosida alternatif. Selain penghentian obat,
suplemen karnitin juga dapat dipertimbangkan, meskipun tidak ada uji coba
pengobatan mendukung pendekatan ini. 36-39
Dalam kasus lipoatrofi, peningkatan bertahap lemak subkutan diamati dalam
beberapa penelitian ketika d4T beralih ke baik ZDV, abacavir atau tenofovir. Dalam
penelitian selanjutnya, beralih dari AZT terhadap abacavir atau tenofovir
memperlihatkan perbaikan moderat. Beberapa peneliti telah mengusulkan
menggunakan rejimen analog nukleosida-sparing untuk memperbaiki lipoatrofi.
Dalam sebuah penelitian kecil pada 67 pasien yang memakai dua analog nukleosida
plus lopinavir/ritonavir, setengah dialihkan ke nevirapine plus lopinavir/ritonavir
kombinasi dengan follow up dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA) scan, subset
dari pasien dari masing-masing kelompok juga dievaluasi untuk perubahan dalam
rasio DNA mitokondria dan DNA inti. Walaupun pasien yang beralih rejimen
mengalami perbaikan dalam parameter mitokondria mereka, tidak ada perbedaan
signifikan antara kelompok dalam DEXA scan pada minggu ke 48 dari follow up.36-39
-
32
Pasien yang mengalami neuropati perifer saat menggunakan ddI dan/atau d4T
mungkin memiliki perbaikan gejala dengan perubahan ke obat lain dari kelas yang
sama yang memiliki toksisitas kurang (misalnya lamivudine, emtricitabine, tenofovir,
abacavir). Sebuah percobaan koenzim Q untuk mengembalikan kapasitas oksidatif
pada pasien terinfeksi HIV yang memakai ART menyebabkan peningkatan nyeri
neuropatik pada pasien dengan neuropati perifer. 36-39
Pada hiperlaktatemia bergejala atau asidosis laktat, direkomendasikan bahwa
semua obat HIV harus dihentikan segera. Pasien dengan asidosis laktat atau
meningkatnya kadar hiperlaktatemia harus dipantau secara ketat di rumah sakit.
Setelah resolusi dari tanda-tanda dan gejala asidosis laktat, disarankan untuk
menggunakan NRTI dengan profil toksisitas yang lebih rendah (misalnya lamivudine,
emtricitabine, tenofovir atau abacavir). Pasien juga dapat diobati dengan dua protease
inhibitor, sebuah reverse transcriptase inhibitor nonnucleoside dan/atau inhibitor
integrase. Tidak disarankan penggunaan kembali ddI atau d4T pada pasien dengan
riwayat asidosis laktat yang berat, bahkan jika pilihan pengobatan terbatas, karena
risiko asidosis laktat berulang. Pada pasien yang dirawat dengan asidosis laktat yang
berat, disarankan penggunaan obat yang mendukung fungsi mitokondria (misalnya
riboflavin, L-karnitin atau tiamin). 36-39
-
33
BAB IV
RINGKASAN
Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat yang akan mendorong pada
keadaan hipermetabolik. Selama infeksi HIV dan pengobatannya, berbagai
mekanisme molekuler dan seluler dipicu untuk melindungi tubuh dari replikasi virus
yang sedang berlangsung. Sistem imun secara aktif melawan infeksi, dan dalam
kondisi infeksi virus, harus memusnahkan sel yang terinfeksi. Sejumlah besar
mekanisme kekebalan tubuh dipicu, termasuk produksi sitokin proinflamasi, salah
satunya TNF , yang mempunyai target utama mitokondria dan memiliki kemampuan
meningkatkan produksi ROS.
Pada sel-sel tubuh lain yang tidak terinfeksi (contohnya adiposit dan
hepatosit), fungsi mitokondria dapat terganggu baik oleh produk virus maupun
berbagai obat antiretroviral golongan NRTI. Selain itu, berbagai molekul yang
diproduksi sistem imun dapat mempengaruhi mitokondria dengan cara yang berbeda.
Sebagai hasil akhir, sejumlah besar sel yang tidak terinfeksi pada berbagai jaringan
dan organ juga ikut terkena dampak infeksi HIV dan pengobatannya dan mengalami
kerusakan yang irreversible atau bahkan kematian. Manifestasi klinik toksisitas
mitokondria diantaranya miopati, neuropati, lipoatrofi dan asidosis laktat.