sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id
Transcript of sinta.unud.ac.id IV V VI.pdfsinta.unud.ac.id
78
BAB IV
MASYARAKAT DAN BAHASA USING
DI KABUPATEN BANYUWANGI
4.1 Sejarah Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi mempunyai akar sejarah yang
cukup panjang. Pada masa lampau daerah ini menjadi pusat kegiatan politik kerajaan
Blambangan dan menduduki posisi penting dalam perkembangan sejarah Indonesia.
Kerajaan Blambangan yang luas wilayahnya sama dengan wilayah Kabupaten
Banyuwangi sekarang ini sering menjadi wilayah rebutan kerajaan-kerajaan di
wilayah Jawa dan Bali (Lekkerker, 1923:332). Riwayat kerajaan Blambangan tidak
dapat dilepaskan dari kerajaan Majapahit khususnya dengan penobatan Raden Wijaya
yang bergelar Kertarajasa Jayawardana (Slametmulyana dalam Suparman, 1987:11).
Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Blambangan menjadi salah satu
daerah kekuasaannya. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, wilayah Blambangan
menjadi rebutan kerajaan-kerajaan yang ada di Bali, Pasuruan, dan Mataram Islam.
Sejak Sultan Agung menyerbu Blambangan pada tahun 1639, kerajaan ini menjadi
kekuasaan Mataram Islam (Suprapto, 1984: 9). Tampaknya, Mataram tidak dengan
mudah menguasai Blambangan karena beberapa kali dihambat oleh kekuasaan
beberapa raja Bali seperti penguasa Gelgel, Klungkung, Mengwi, dan Buleleng
walaupun Mataram kembali bercokol di daerah Blambangan pada tahun 1697
(Suprapto, 1984: 9).
78
79
Kerajaan Blambangan tidak pernah tenang. Di samping karena dikuasai oleh
Mataram Islam dan beberapa kerajaan Bali, secara silih berganti, perebutan
kekuasaan antaranggota keluarga kerajaan sering terjadi. Hal ini tidak
menguntungkan Mataram, sehingga pada tahun 1743, Paku Buwana dari Mataram
mengadakan perjanjian dengan VOC atas kekuasaannya di wilayah Blambangan.
Pada tahun 1765 Blambangan diserbu oleh VOC. Rakyat Blambangan yang memiliki
sifat gemar berperang (warlike) bertempur mati-matian untuk mempertahankan
wilayahnya di bawah pimpinan Pangeran Agung Willis. Untuk menakhlukkan
Blambangan, VOC melibatkan pasukan dari beberapa bupati di wilayah Jawa Timur,
seperti Bupati Madura Barat, Sumenep, Surabaya, Pasuruan, Bangil, dan
Probolinggo. Perlawanan sengit melawan VOC yang dipimpin oleh Pangeran
Rempeg, yang bergelar Pangeran Jagadipati yang dipercaya sebagai titisan dari
Pangeran Agung Willis, berlangsung dari tahun 1771-1772 dan puncaknya terjadi
pada tanggal 18 Desember 1771 yang dikenal dengan nama Puputan Bayu
(Suprapto,1984:25)
Lekkerker (1923) mengungkapkan bahwa Puputan Bayu adalah peperangan
terbesar yang pernah dialami oleh VOC selama menjajah Indonesia karena banyak
korban jiwa dan harta dari kedua belah pihak. Bagi rakyat Blambangan, peperangan
ini merupakan perjuangan heroik dalam rangka mempertahankan tanah leluhurnya.
Akibat perang ini Blambangan mengalami kehancuran dan penduduknya banyak
yang hilang karena gugur dalam pertempuran dan mengungsi ke Bali atau ke
80
wilayah pegunungan di sebelah selatan dan barat daya. Hal ini menyebabkan daerah
Blambangan sebagian besar dihuni oleh penduduk lapisan bawah. Walaupun sudah
dalam keadaan hancur, rakyat Blambangan yang tersisa menolak bekerja untuk
Belanda di perkebunan-perkebunan milik mereka. Sikap rakyat Blambangan ini
menyebabkan pemilik perkebunan mendatangkan pekerja dari daerah Jawa Tengah
(Kebumen dan Banyumas) dan Jawa Barat (Cirebon). Dapat dipastikan pada saat
inilah rakyat Blambangan bersentuhan dengan Wong Kulonan sekitar akhir abad ke18
atau awal abad ke 19. Sementara itu, persentuhan mereka dengan Bali terjadi pada
saat penguasa Blambangan meminta bantuan raja Bali untuk mempertahankan diri
dari serangan kerajaan Pasuruan (Notodiningrat dalam Herusantosa, 1987:81-84).
Persentuhan dengan Bali berdampak pada beberapa corak budaya dan kesenian
Using yang dapat diamati hingga kini.
4.2 Topografi dan Demografi
Kabupaten Banyuwangi, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, secara
administratif di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso, di sebelah Timur
berbatasan dengan Selat Bali, dan di sebelah Selatan terdapat Samudra Indonesia.
Jikalau dilihat dari letak geografisnya, pada zaman dulu Kabupaten
Banyuwangi merupakan daerah yang terisolasi karena di sebelah barat dan utara
dibatasi oleh pegunungan, sedangkan di sebelah timur dan selatan berbatasan dengan
81
laut. Hasan Ali (1991: 2) mengatakan bahwa pada zaman dulu, wilayah Banyuwangi
merupakan daerah tertutup dan kemudian terbuka dari isolasi setelah dibukanya jalan
Anyer-Penarukan dari arah utara dan jalan tembus dari Jember dari arah barat pada
pertengahan abad ke 20.
Berdasarkan garis batas koordinat, Kabupaten Banyuwangi terletak di antara
70 43‘ – 8
o 46‘ Lintang Selatan dan 113
o 53‘ – 114
o 38‘ Bujur Timur. Secara umum,
daerah di bagian selatan, barat, dan utara merupakan daerah pegunungan dengan
tingkat kemiringan 400. Sementara itu, dataran rendah yang terbentang dari bagian
utara hingga ke selatan, dengan 35 daerah aliran sungai (DAS), kemiringan tanah
kurang dari 15o, dan curah hijan yang cukup tinggi menyebabkan Kabupaten
Banyuwangi merupakan salah satu daerah pertanian dan perkebunan tersubur di
Provinsi Jawa Timur sehingga daerah ini merupakan daerah penghasil berbagai hasil
pertanian dan perkebunan yang sangat terkenal. Di samping itu, karena kesuburan
tanahnya daerah ini merupakan tempat potensial untuk hidup dan berkembangnya
berbagai jenis flora dan fauna yang mencerminkan bahwa wilayah ini memiliki
keberagaman hayati (biodiversity) yang tinggi yang diikuti oleh keberagaman
leksikon yang mengacunya.
Di samping sebagai nama kabupaten, Banyuwangi merupakan salah satu di
antara 24 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan luas dan kepadatan
penduduk yang berbeda-beda. Berikut adalah nama-nama kecamatan beserta jumlah
penduduknya.
82
Tabel 4.1
Situasi Demografi Kabupaten Banyuwangi
No Kecamatan Luas Wilayah (km2) Jumlah Penduduk (jiwa)
1 Pesanggaran 802,50 45.811
2 Siliragung 95,15 50.455
3 Bangorejo 137,43 61.732
4 Purwoharjo 200,30 67.783
5 Tegaldlimo 1.341,43 63.397
6 Muncar 146,07 130.319
7 Cluring 97,44 72.362
8 Gambiran 66,77 46.832
9 Tegalsari 65,23 60.151
10 Glenmore 421,98 71.582
11 Kalibaru 406,76 61.695
12 Genteng 82,04 85.167
13 Srono 100,77 89.811
14 Rogojampi 102,33 94.734
15 Kabat 107,20 67.604
16 Singojuruh 59,89 48.938
17 Sempu 174,83 74.120
18 Songgon 301,84 53.145
19 Glagah 76,75 28.677
20 Licin 169,25 33.974
21 Banyuwangi 30,13 108.591
22 Giri 21,31 28.250
23 Kalipuro 310,03 68.722
24 Wongsorejo 464,80 73.281
Jumlah 5.782,50 1.610.909
Sumber: Banyuwangi dalam Angka (2010:55-72)
Berdasarkan hasil Registrasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sampai
dengan akhir 2009 penduduk Kabupaten Banyuwangi berjumlah 1.610.909 dengan
83
laju pertumbuhan penduduk 0,24%/tahun. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan
oleh Basri, secara kasar pada awal tahun 2009, penduduk yang merupakan GTBU
adalah sebesar kurang lebih 53% dari seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi
yang berjumlah 1.608.135 jiwa (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka, 2009:50).
Secara administratif, saat ini GTBU berdomisili di sepuluh kecamatan, yakni
Kecamatan Cluring, Srono, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Kabat, Giri, Glagah,
Sempu, dan Banyuwangi. Di luar kecamatan-kecamatan tersebut, etnis Using
merupakan komunitas kecil, seperti di Kecamatan Muncar, Bangorejo, Kalipuro,
Tegaldlimo, dan Pesanggaran (Sutarto, 2010:264).
4.3 Masyarakat Using
Masyarakat etnis apa pun di dunia ini memiliki ciri-ciri khusus sebagai
penanda jati diri mereka. Ciri-ciri khusus ini dapat berupa bahasa, sistem sosial,
budaya, adat istiadat, kesenian, mata pencaharian, dan sebagainya. GTBU adalah
komunitas yang merupakan penduduk asli yang mendiami sebagian wilayah
Kabupaten Banyuwangi. Mereka merupakan kelompok etnis yang diposisikan
sebagai penduduk asli Banyuwangi. Istilah Using berasal dari kata sing ‗tidak‘ yang
sering juga diucapkan using, osing, atau hing. Secara historis, lare using atau wong
Banyuwangen adalah orang-orang yang tidak (sing) ikut mengungsi ketika terjadi
perang Puputan Bayu (19771-1772) di Blambangan (Banyuwangi). Mereka tetap
memilih tinggal di ujung paling timur Pulau Jawa. Di samping itu, istilah using
84
mengandung resistensi budaya yang bermakna bahwa orang Using/Osing/
Banyuwangi tidak mau menjadi Bali (tidak mau menjadi dominasi kerajaan Bali) dan
tidak mau menjadi Jawa (tidak mau menerima dominasi kerajaan Mataram-Islam)
(Sutarto, 2010:263).
Struktur masyarakat Using bersifat horizontal egaliter, dalam arti struktur
sosial tidak dipahami secara hierarkis seperti masyarakat Jawa pada umumnya.
Prinsip hormat bersifat penghargaan dalam kesetaraan, bukan vertikal hierarkis.
Perwujudan egaliterisme juga tampak pada tradisi slametan menjelang hajatan,
seperti perkawinan atau sunatan. Dalam penyelenggaraan hajatan perkawinan, GTBU
khususnya yang berdomisili di Desa Kemiren, semua orang diperlakukan dan
dihormati dengan cara yang sama, tidak memandang status sosial, ekonomi, atau
jabatan seseorang dan mereka saling bantu satu sama lain. Pengertian saling
membantu dalam konteks ini tidak saja dalam bentuk materi (disebut arisan), tetapi
juga dalam bentuk tenaga (disebut resayan) (Subaharianto, 2002). Prinsip kesetaraan
dalam interaksi sosial itu juga tercermin pada struktur dialek (bahasa) Using yang
tidak mengenal pelapisan bahasa atau tingkat tuturan (speech level)(Zainuddin,
1996:6-7).
Masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya
sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani yang berdomisili tersebar hampir
di beberapa kecamatan. Hal ini merepresentasikan bahwa kehidupan mereka sangat
dekat dengan alam sehingga kehidupan sosial budaya mereka terkait dengan alam.
85
Mereka bercocok tanam padi (baik pada lahan basah atau padi basah maupun pada
lahan kering atau padi ladang), jagung, palawija (kedelai, kacang tanah, kacang
hijau) dan juga pola tumpang sari. Di samping hasil pertanian, Kabupaten
Banyuwangi juga sebagai penghasil beberapa jenis buah-buahan, di antaranya yang
cukup terkenal adalah pisang, mangga, jeruk, rambutan, dan nangka. Sementara itu,
jenis sayur yang dihasilkan dari ladang-ladang yang subur di wilayah ini adalah
kacang panjang, cabe besar, cabe kecil, dan labu siam. Di samping untuk dikonsumsi
sendiri, hasil-hasil pertanian ini juga dikirim ke daerah sekitar seperti Kabupaten
Jember, Situbondo dan Bali (Banyuwangi dalam Angka, 2010: 143-158).
Bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani, tanah merupakan
penyangga kehidupan dan penghidupan GTBU secara sosial, ekonomi, dan budaya.
GTBU sangat jarang menjual tanah (baik lahan sawah maupun lahan kebun). Jikalau
pun hal itu dilakukannya, mereka menjualnya kepada kerabat dekat karena mereka
berkeyakinan bahwa dari kerabatlah pertolongan akan datang, apabila suatu saat nanti
mereka mengalami kesulitan dalam hidup. Di samping itu, menjual sawah atau kebun
merupakan perbuatan yang memalukan bagi GTBU. Fenomena ini berdampak pada
kecilnya alih fungsi lahan sehingga lahan pertanian masih terjaga (Hasil wawancara
dengan Drs.Aekanu Haryono, M.Pd., budayawan dan pemerhati Budaya Using, pada
tanggal 12 Agustus 2011). Terkait dengan kepemilikan lahan pertanian atau
perkebunan dikenal istilah, seperti sanggan, yaitu lahan sawah atau kebun yang
dimiliki dan diolah sendiri oleh pemilik lahan dan yasan apa bila tanah yang
86
dikerjakan milik orang lain. Sementara itu, terkait dengan sistem pembagian hasil
dalam tanah yasan antara pemilik tanah dan penggarap dikenal sistem maro (pemilik
memperoleh separo ‗setengah‘ demikian juga si penggarap) dan sistem mertelu yaitu
hasil sawah atau kebun dibagi tiga, penggarap mendapat dua bagian, sedangkan
pemilik mendapat sepertiga (Rahayu dan Haryanto, 2008:6-8).
Sebagai masyarakat agraris, segala kegiatan dalam kehidupan GTBU
ditopang oleh hasil pertanian. Dalam aktivitas mengolah lahan pertanian seperti
membajak dan meratakan lahan masih banyak di antara mereka yang melakukan
secara tradisional yaitu dengan bantuan tenaga hewan peliharaan seperti sapi dan
kerbau, walaupun belakangan ini tractor tangan telah di kenal oleh para petani yang
tinggal di lahan pertanian yang datar. Dalam hal bercocok tanam, pola penanaman,
dan pemeliharaan juga dilakukan secara tradisional. Karakter GTBU ini membuat
hidup mereka terkait erat dengan lingkungan alam. Ketergantungan terhadap alam
atau hukum-hukum alam seperti mangsa rendeng (musim hujan) dan mangsa ketiga
(musim kemarau) menentukan pola hidup mereka sehari-hari.
Guyub tutur bahasa Using yang berlatar belakang budaya agraris (khususnya
golongan dewasa dan tua) sangat percaya terhadap kekuatan alam atau gaib yang
dapat memengaruhi kehidupan dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka
sangat mendambakan kesuburan lahan pertanian, kelestarian lingkungan, dan
kedamaian hidup. Untuk mencapai harapan tersebut, GTBU melakukan berbagai
aktivitas dalam bentuk ritual-ritual yang dilakukan dalam waktu-waktu tertentu.
87
Terkait dengan fenomena ini, GTBU masih memegang teguh warisan leluhurnya
mengenai ritual-ritual yang terkait dengan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan
Yang Maha Esa dan pelestarian lingkungan, khususnya tentang pertanian karena
fenomena serupa tidak lagi ditemukan pada masyarakat agraris muslim lainnya.
Banyak ritual sebagai rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta dalam wujud
Dewi Sri dan kepada roh para leluhur yang masih dilakukan oleh GTBU hingga saat
ini. Ritual-ritual ini masih secara turun temurun dilakukan oleh GTBU, khususnya
yang berdomisili di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, yang menurut beberapa
peneliti dianggap homogen etnis Using. Ritual-ritual yang dimaksud di antaranya
adalah sebagai berikut.
1) Rebo Wekasan
Uapacara yang dilaksanakan terkait dengan menjaga kelestarian sumber air
(mata air, sungai, sumur, sumber mata air alam, bahkan air PDAM). Ritual ini
berfungsi untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menjaga sumber
air, yakni Nabi Kadhir. Ritual Rebo wekasan dilaksanakan pada setiap Rabu
terakhir bulan Sapar dimana pada hari tersebut masyarakat Using di Desa
Kemiren tidak diperbolehkan mengambil air di semua sumber air mulai
sebelum matahari terbit hingga matahari tepat di atas kepala (duhur). GTBU
percaya bahwa pada hari tersebut Nabi Kadhir mulai pulul 6 pagi hingga kira-
kira pukul 12 siang berada di semua mata air untuk membersihkan diri dan
GTBU harus menghormati aktivitas tersebut. Di samping tidak mengambil
88
air, pada hari itu GTBU membawa persembahan berupa sesaji yang terdiri
atas: (a) Sega golong: nasi putih yang dilengkapai dengan lauk pauk (daging,
ikan, telur, sambal); (2) Jajan pasar yang terdiri atas rengginang, nagasari,
kripik, dan sebagainya; (3) Pecel ramban/serakat berupa rebusan berbagai
jenis sayur; (4) Jenang abang dan putih (bubur merah dan bubur putih) ; dan
(5) kemenyan (bakaran kulit atau kayu berbau harum yang diletakkan di atas
dulang kecil). Sebelum dibawa ke sumber air, kepala rumah tangga berdoa di
rumah. Persembahan sajian ini bertujuan agar penunggu sumber air tidak
marah dan membuat bencana.
2) Adeg-adeg/Labuh tandur
Adeg-adeg atau labuh tandur adalah upacara yang dilaksanakan sebelum padi
ditanam oleh petani Using untuk memohon keberkahan kepada roh halus/
kekuatan gaib penjaga/pelindung suatu desa) dan Dewi Sri agar tanaman padi
terhindar dari hama. Ritual ini diselenggarakan secara berkelompok oleh para
petani yang sawahnya berdekatan dengan susunan kegiatan sebagai berikut:
(1) pembakaran kemenyan dan persembahan sega urap (nasi dan sayur urap
beserta lauknya); (2) pembacaan doa/ mantra yang dipimpin oleh salah
seorang petani yang dituakan; (3) menikmati sega urap bersama-sama; dan
(4) penanaman padi oleh salah satu petani sebagai simbol dimulainya kegiatan
menanam.
89
3) Nyelameti Pari
Ritual nyelameti pari adalah upacara yang dilakukan pada saat padi bunting
(menjelang buah padi menyembul) dengan tujuan agar bulir-bulir padi bernas
dan hasil panen melimpah. Ritual yang diselenggarakan untuk memuja Dewi
Sri ini dilengkapi dengan sajian berupa pecel pithik (ayam panggang yang
diberi bumbu urap), telampik (sayap ayam), dan berutu (bagian ekor ayam).
Dari semua sajian ada sajian yang tidak boleh dimakan oleh pemiliknya,
namun dibagi-bagikan kepada para tetangga sawah yang juga melaksanakan
upacara yang sama dan sebaliknya tetangga sawah juga melakukan hal yang
sama (biasanya dilakukan secara bersamaan dalam satu area persawahan).
4) Nggampung
Nggampung ialah upacara yang dilaksanakan waktu panen yang bertujuan
menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dalam perwujudan Dewi Sri
atas anugrah- Nya berupa hasil panen yang bagus kepada para petani. Adapun
yang dipersembahkan dalam ritual ini meliputi: (1) ayam pethetheng tanpa
nasi, (2) darah ayam yang dimasukkan ke wadah lalu dipanggang, dan (3)
kinangan (terdiri atas daun sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih) ditambah
bunga telasih yang diikat menjadi satu dengan kinangan dengan
menggunakan benang. Semua sajian ini diletakkan pada uwangan, yaitu pintu
air masuk pada petak sawah pertama, sedangkan kinangan beserta elemennya
diikatkan pada rumpun padi yang tumbuh di tempat tersebut. (Di daerah
90
tertentu seperti di Desa Kemiren dan sekitarnya, bagi petani yang ―mampu‖
ada yang nanggap angklung paglak/sawahan, yakni seperangkat alat musik
pukul yang terbuat dari bambu yang biasa dimainkan di atas dangau yang
menjulang tinggi di tengah-tengah area persawahan yang juga terbuat dari
bambu).
5) Saparan
Sementara itu, rebo wekasan diselenggarakan oleh GTBU yang bertempat
tinggal di daerah pedalaman, upacara saparan dilaksanakan oleh mereka
yang tinggal di lingkungan pesisir Banyuwangi sebagai ungkapan rasa syukur
atas nikmat dan karunia yang diberikan Tuhan yang telah memberikan pantai
yang indah dan air yang bersih sehingga mereka dapat menikmati keindahan
laut beserta pantainya untuk mencari nafkah. Upacara ini dilaksanakan di
beberapa pantai di Banyuwangi, seperti Pantai Sukojati dan Pondok Nangka
(Kecamatan Kabat), Pantai Santen (Kecamatan Banyuwangi), dan Pantai
Cacalan (Kecamatan Kalipuro).
6) Ider Bumi
Ritual yang dilakukan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, bertujuan
memohon keselamatan agar bencana tidak menimpa desa tersebut. Ritual ini
dilakukan dengan cara berkeliling desa untuk membuat ―pagar‖ sebagai
penangkal bencana, wabah, atau musibah yang dapat mengganggu kehidupan
masyarakat, lahan pertanian, dan lingkungan alam sekitar mereka. Sesajian
91
berupa tumpeng pethetheng, jajanan pasar, dan berbagai hasil pertanian
seperti pala kependhem, pala gumandhul, dan pala bungkil. Persembahan
yang berupa jajanan pasar dan berbagai hasil bumi ini melambangkan
kesuburan tanah.
Terkait dengan kehidupan religi, GTBU adalah pemeluk agama Islam.
Walaupun demikian, mereka masih tetap memelihara tradisi para leluhurnya dengan
baik dan tidak pernah mempertentangkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai tradisi
yang ada dan bahkan keduanya saling melengkapi. Memadukan banyak hal yang
berbeda dan menjadikannya sesuatu yang baru merupakan keahlian GTBU yang
besifat terbuka. Hal ini dikemukakan oleh Singodimayan, sesepuh dan budayawan
Using (dalam Kompas, edisi Jumat, 29 Juli 2011 dan edisi Sabtu, 1 Maret 2014),
bahwa dalam GTBU banyak terjadi transformasi yang keterbukaannya merupakan
akar dari semuanya. Beberapa bentuk budaya, kesenian, dan tari merupakan
alkuturasi antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan Bali. Budaya dalam bentuk
kesenian tari bahkan juga makanan yang masuk akan diserap lalu dipadukan dengan
budaya setempat lalu muncul format budaya baru. Dalam hal makanan, misalnya, di
lingkungan tempat tinggal GTBU dikenal rawon pecel. Seperti diketahui, rawon
berasal dari Surabaya sedangkan pecel merupakan masakan asal Madiun dan GTBU
menciptakan jenis makanan baru rawon pecel yang merupakan penggabungan dari
kedua makanan ini. Sementara itu, dalam hal kesenian GTBU juga menyerap
beberapa unsur kesenian Bali khususnya tari. Tari panyembarama (tari ucapan
92
selamat datang) dimodifikasi dan disesuaikan dengan gerakan tari lokal lalu
menghasilkan tari semboran.
Dalam bidang seni dan budaya masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya
dan GTBU khususnya memiliki potensi seni budaya dan adat istiadat yang sangat
kaya. Hampir semua etnis yang berdomisili di wilayah ini sangat perduli dan terus
mengembangkan seni tradisional mereka di samping ada pula yang beralkulturasi
dengan seni tradisi dan budaya lain dan seni modern. Walaupun demikian, tidak
sedikit didapati unsur agama atau kepentingan agama mewarnai produk-produk
kesenian Using yang tidak saja bersifat menghibur, tetapi banyak juga mengandung
nilai-nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang merugikan yang
terjadi pada masa lampau. Di samping itu, produk kesenian Using ini memiliki dua
warna, yakni bernuansa agraris dan produk yang bercitra patriotik. Produk-produk
kesenian Using yang bernuansa agraris dimanfaatkan sebagai perekat dalam
kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat
digunakan untuk membangun nasionalisme (Hasil wawancara dengan Hasnan
Singodimayan, budayawan Banyuwangi, pada tanggal 14 Oktober 2009).
Interaksi penduduk asli Banyuwangi dengan kaum pendatang selama
bertahun-tahun membentuk struktur kebudayaan yang hidup dan berkembang di
lingkungan GTBU. Hal ini dapat dilihat pada beberapa jenis kesenian yang
merupakan alkulturasi dengan budaya kaum pendatang, seperti terlihat pada uraian
berikut.
93
1) Seni pertujukan tradisional yang berhubungan dengan religi animisme-
dinamisme antara lain Seblang, Singa Barong, dan Gandrung.
2) Seni pertunjukan tradisional Using yang berhubungan dengan Bali antara lain
Bali-balian, dan Damarwulan (Jinggoan)
3) Seni pertunjukan tradisinal Using yang berhubungan dengan religi Islam
antara lain Kuntulan, Macaan Lontar, Macaan Campursari,
Rengganis/Praburara, dan Patrol Using.
4) Seni pertunjukan tradisional Using yang berhubungan dengan kesenian Jawa
antara lain Kendang Kempul, Campursari, Ketoprak, dan Wayang Kulit.
5) Seni pertunjukan tradisinal Using Profan antara lain Angklung Paglak dan
Kendang Kempul Blambangan (seni musik) dan Tari Tradisional Using
Modifikasi (seni tari).
Gambaran kedekatan GTBU dengan alam tidak saja tercermin dalam kehidupan
sehari-hari dan seni tari, namun juga dapat diamati pada seni batik. Terkait dengan
seni batik, ada kurang lebih 15 motif batik yang semuanya bertema alam. Motif-motif
batik yang dimaksud, di antaranya: (1) alas kobong ‘hutan terbakar‘, (2) belarakan
‘daun kelapa kering‘, (3) gajah oling ‗belalai gajah‘, (4) galaran ‗bilah-bilah bambu
untuk alas kasur‘, (5) jajang sebarong ‗serumpun bambu‘, (6) jenu ‗tumbuhan yang
akarnya dapat dipakai racun ikan‘, (7) kangkung setingkes ‗kangkung seikat‘, (8) kopi
pecah ‗kopi terbelah‘, (9) mas‘un ‗pucuk tumbuhan‘, (10) mata pitik ‗mata ayam‘,
(11) paras gempal ‗batu padas pecah‘, (12) sekar jagat ‗bunga setaman‘, (13)
94
sembruk cacing ‗cacing bergerombol‘, (14) seretan ‗kulit pohon pisang kering‘, dan
(15) sisik papak ‘sisik ikan‘.
4.4 Bahasa Using
4.4.1 Sejarah Bahasa Using
Bahasa Using merupakan bahasa ibu bagi penduduk asli Kabupaten
Banyuwangi. Tentang statusnya, ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan BU
itu dahulunya adalah Bahasa Jawa yang dalam pejalanan sejarahnya digunakan oleh
orang-orang Jawa yang berpindah ke arah timur Pulau Jawa. Ketika tiba di wilayah
Banyuwangi sekarang, mereka terisolasi oleh hutan lebat, gunung, dan pegunungan
di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali dan di
sebelah selatan adalah Samudra Indonesia. Hal ini membuat mereka benar-benar
terisolasi terutama dari masyarakat Jawa yang ada di bagian barat sehingga Bahasa
Jawa yang digunakan di Banyuwangi tetap menggunakan bentuk-bentuk lama (lihat
Bolinger, 1975:355) dan kemudian mengalami perkembangan sendiri menjadi
bahasa Using seperti dikenal sekarang ini yang banyak leksikon-leksikonnya berasal
dari bahasa Jawa Kuna, seperti isun ‗saya‘, sira ‗engkau‘, paran ‗apa‘, dan hang
‗yang‘, dan sebagainya (Marwoto dkk., 1999: 23).
Pendapat lain beranggapan bahwa BU merupakan sebuah bahasa dan ada
pula yang beranggapan bahwa BU merupakan salah satu dialek bahasa Jawa. Karena
secara geografis Banyuwangi terletak jauh dari budaya Jawa (Solo dan Jogyakarta),
95
pada masa lalu secara sosial politis Banyuwangi merupakan masyarakat dan wilayah
politik pinggiran yang berdampak pada perkembangan BU yang terlepas dari
perkembangan bahasa Jawa baku (bahasa induk) (Zainuddin, 1999).
Sebagai bahasa pinggiran, penuturnya merasa bahwa BU lebih rendah dari
bahasa Jawa (BJ) dari segi prestise. Berdasarkan kajian diglosia yang dilakukan oleh
Arifin dan Zainuddin (1999) dan Sariono (2002) ditemukan bahwa BU merupakan
low language dibandingkan dengan BJ baik BJ ngoko maupun BJ kromo. Sebagai
masyarakat pinggiran, dalam berkomunikasi dengan etnis Jawa Kulon, etnis Using
merasa harus menguasai BJ. Fenomena ini biasa terjadi bahwa masyarakat pinggiran,
kelompok minoritas, atau masyarakat dengan prestise rendah cenderung menguasai
lebih banyak varietas bahasa dibandingkan dengan masyarakat pusat, mayoritas, dan
berprestise lebih tinggi (lih. Poedjosoedarmo, 1996). Di samping itu, mereka
cenderung berorientasi pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang berprestise
lebih tinggi.
4.4.2 Karakteristik Ejaan Bahasa Using
BU memiliki ejaan sedikit berbeda dengan BJ. Ejaan leksikon pada kajian ini
didasarkan pada ejaan yang ditemukan pada buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Using yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Blambangan. Adapun ejaan BU yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Huruf i dan u
96
a. Huruf i pada posisi akhir tuturan diwujudkn dengan bunyi [ai]
laki [lakai] ‗suami‘
legundi [legundai]
b. Huruf u pada posisi akhir tuturan diwujudkan dengan bunyi [au]
milu [milau] ‗ikut‘
deringu [deringau] ‗jerangu‘
2) Huruf e, a, dan o
a. Huruf e pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [e?]
jambu mente [jambau mente?]
sate [sate?] ‗sate‘
b. Huruf a pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [O?]
delima [delimO?] ‗delima‘
kura [kurO?] ‗kura-kura‘
c. Huruf o pada posisi akhir diwujudkan dengan bunyi [U?]
ijo [ijU?] ‗hijau‘
3) Huruf b, d, dh, g, m, n, ng, l, bila diikuti huruf a [a] atau e [E] dalam
realisasinya terjadi palatalisasi.
a. Huruf b
kembang [kembyan] ‗bunga‘
kabeh [kabyEh] ‗semua‘
b. Huruf d
97
dami [dyami] ‗jerami‘
renden [rendyEn] ‗daun pisang‘
c. Huruf dh
dhangu [dyangu] ‗tangkai buah kelapa‘
gedhang [gedyang] ‗pisang‘
d. Huruf g
degan [degyan] ‗kelapa muda
garek [gyarEk] ‗cacing yang berkaki banyak‘
4.5 Situasi Kebahasaan di Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi dihuni oleh tiga etnis dominan, yakni etnis Using,
Jawa, dan Madura dengan bahasa daerah mereka masing-masing. Masing-masing
etnik ini secara dominan berdomisili dan menggunakan bahasa mereka masing-
masing di kecamatan-kecamatan tertentu. Misalnya, bahasa Using, menurut hasil
perhitungan yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Blambangan pada tahun 1985,
secara dominan dipakai di 9 kecamatan dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten
Banyuwangi pada waktu itu (sekarang terdapat 24 kecamatan setelah adanya
pemekaran beberapa kecamatan yang ada di bagian utara Kabupaten Banyuwangi).
Ali (1990:18) secara lebih rinci mengatakan bahwa BU dipakai di 125 desa dari 175
desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah penutur 58% dari penduduk
Kabupaten Banyuwangi.
98
Sutrisno dkk. (1976:274—281) menemukan bahwa dari 175 desa yang ada di
Kabupaten Banyuwangi, penutur BU dominan ditemukan di 95 desa, penutur BJ di
35 desa, penutur BM di 8 desa, sedangkan penutur campuran dari ketiga bahasa
tersebut ditemukan di 37 desa.
Dari segi ranah penggunaan bahasa terungkap beberapa fenomena.
Herusantosa (1987) dan Subyatiningsih dkk. (1999) menemukan tingkat penggunaan
bahasa di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan ranah sebagai berikut.
Tabel 4.2
Perbandingan Pemilihan Bahasa berdasarkan Ranah antara
Herusantosa (1987) dan Subjatiningsih (1999)
Ranah Herusantosa (1987) Subjatiningsih (1999)
Pilihan Bahasa Pilihan Bahasa
BU
(%)
BJ
(%)
BI
(%)
BU
(%)
BJ
(%)
BI
(%)
1. Keluarga
2. Ketetangaan
3. Transaksi
4. Agama
5. Seni, tradisi, dan budaya
6. Pendidikan
7. Pemerintahan
75
-
50,8
28
73,5
39,5
9
22,3
-
33
55
15,8
42,5
36,8
0
-
4,3
2,7
0
0
39,5
62,4
62,2
32,4
18,7
37,9
24,8
20,9
22,5
24,4
21,1
26
41,6
17,3
23
14,5
12,8
46,1
38,8
16
57,4
56,1
Rata-rata 45,9 34,2 7,7 37 25 34,5
Jikalau hasil kedua penelitian tersebut dibandingkan, dalam jangka 12 tahun
terjadi pergeseran penggunaan bahasa dalam semua ranah.
99
4.6 Status Kebahasaan Bahasa Using
Mengenai status kebahasaan BU hingga saat ini masih menjadi perdebatan di
kalangan linguis BJ khususnya. Ada dua anggapan tentang status kebahasaan BU.
Pendapat pertama berasal dari kalangan peneliti yang menjadikan BU sebagai objek
kajiannya. Menurut mereka BU adalah salah satu dialek BJ (lih. Penelitian, antara
lain oleh Poerwadarminta, 1953; Hutomo, 1970; Sudjito, 1979; dan Sutoko, 1980,).
Pendapat kedua berasal dari masyarakat Using dan para budayawan Kabupaten
Banyuwangi. Menurut mereka, BU merupakan bahasa yang mandiri, lepas , dan
bukan merupakan varian BJ. Untuk memperkuat argumen mereka, sejak awal tahun
1970-an beberapa aktivis budaya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, dan industri
media lokal menjadikan BU objek perhatian mereka. Masing-masing kelompok ini
membuat gebrakan untuk tujuan politik kebahasaan mereka melalui media cetak,
audio, dan audio visual. Dengan cara yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan,
mereka ikut membangun sebuah sosio-kultural yang kompleks dan bergerak cepat
yang dapat dianggap sebagai pembuatan bahasa, sehingga dalam beberapa kurun
waktu ―Bahasa Using‖ yang dianggap merupakan salah satu dialek BJ menjadi
bahasa daerah resmi di Banyuwangi, merupakan salah satu mata pelajaran muatan
lokal yang diajarkan di seluruh kabupaten di Banyuwangi, dan sebagai wahana
wacana media yang hidup dan digemari masyarakat (Arps dalam Moriyama dan
Budiman, ed., 2010:226—227)
100
Bernard Arps, guru besar dalam bidang bahasa dan budaya Indonesia dan
Jawa pada Universitas Leiden, Belanda, menulis sebuah tulisan terkait dengan
sejarah terwujudnya BU yang dikenal masyarakat luas seperti sekarang ini. Arps
dalam Moriyama dan Budiman (ed., 2010:230) mengamati pencitraan
Bahasa/Dialek Using. Arps menemukan bahwa ada lima periode proses dalam
pencitraan tersebut, seperti terlihat dalam uraian berikut.
(1) Periode masa ―prasejarah‖, yaitu masa sebelum tahun 1970-an.
Arps mengutip pendapat Lekkerkerker (1923) mengenai masyarakat yang
mendiami ujung timur Pulau Jawa yang memiliki adat, kepribadian, dan
bahasa yang berbeda dengan orang Jawa. Menurutnya, kemungkinan
kelompok ini dianggap dan menganggap dirinya bukan orang Jawa. Keadaan
ini berlangsung hingga tahun 1970-an dan sekarang pun kategorisasi ini masih
terdengar, terutama di daerah pedesaan.
(2) Periode 1970-an sampai Sarasehan Bahasa Using Pertama (1990).
Pada awal tahun 1970-an berkembang sebuah ―wacana kehilangan‖ identitas
sebagai sebuah masyarakat yang berotonomi terhadap sebuah bahasa (beserta
sastra dan budayanya) sehingga dipandang perlu adanya langkah-langkah
konkret untuk ―penemuan kembali‖ sesuatu yang hilang tersebut. Langkah-
langkah konkret tersebut diawali dengan diterbitkannya sebuah buku berjudul
Sekedar Petunjuk untuk Dapat Berbicara Bahasa Osing hasil karya
Abdurahman (1974). Kemudian terbit buku Selayang Pandang Blambangan
101
karangan Sutrisno, dkk. (1976). Dalam buku ini dicantumkan data historis dan
etnografis yang bertujuan untuk mendukung pencapaian kejayaan daerah
Blambangan.
(3) Periode awal 1991 sampai pengajaran BU di sekolah (1997)
Periode ini diawali dengan langkah konkret untuk menunjang citra BU
sebagai bahasa dewasa dengan diterbitkannya pedoman ejaan BU (1991)
yang disusun oleh Hasan Ali. Selain itu, untuk menunjang usaha ini dia juga
mempresentasikan makalah mengenai bahasa dan sastra Using pada
Sarasehan Bahasa Jawa I pada tahun 1991di Semarang yang bertujuan untuk
memancing para ahli BJ berdiskusi sehingga terbuka jalan ke arah pengajaran
BU sebagai muatan lokal. Pada Kongres Bahasa Jawa II tahun 1996 di Batu
Malang, Hasan Ali mengambil langkah radikal yang pada akhirnya dapat
meyakinkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan juga Kepala Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur bahwa BU
dapat disejajarkan dengan bahasa-bahasa daerah lain, seperti Bahasa Bali,
Bahasa Jawa, dan Bahasa Sunda sehingga BU dapat diajarkan sebagai muatan
lokal. Puncak dari periode ini ditandai dengan dikeluarkannya rekomendasi
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur dan DPRD
Kabupaten Banyuwangi bahwa BU boleh diajarkan pada pendidikan dasar.
Hal ini diperkuat oleh turunnya izin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
102
tahun 1977 tentang pengajaran BU di sekolah-sekolah khususnya
pendididikan dasar.
(4) Periode terbitnya buku tata bahasa (1997) sampai kamus Using (2002)
Perjuangan untuk memperoleh bukti bahwa BU merupakan bahasa yang
mandiri secara geneologis dan kemufakatan para budayawan Banyuwangi
telah mebuahkan hasil dan Hasan Ali (motor perjuangan) melanjutkan usaha
pendeskripsian dan pembakuan BU dengan diterbitkannya Tata Bahasa Baku
Bahasa Using Jilid I yang membahas fonologi, sedangkan buku yang
berkaitan denga morfologi dan sintaksis BU belum terbit. Di samping buku
tentang fonologi BU, Hasan Ali sejak tahun 1980 menyusun kamus namun
baru bisa terbit 2002 dengan judul Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia.
(5) Periode sejak 2002 sampai 2009
Masa ini dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi yang ditandai dengan
dicetak ulangnya buku pelajaran dan kamus BU dan juga terbitnya majalah
berbahasa Using yang berisi puisi-puisi, cerpen-cerpen, budaya dan sejarah.
Namun, di tengah-tengah konsolidasi timbul kecaman dari berbagai pihak
terutama menyangkut apa yang disebut dengan ―Usingisasi‖ Kabupaten
Banyuwangi yang sebenarnya dihuni oleh berbagai etnis dengan berbagai
bahasa. Pengajaran BU sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah diprotes di
beberapa kecamatan yang mayoritas penduduknya bukan penutur BU. Di
samping itu, timbul perdebatan tentang status kebahasaan BU karena ada yang
103
tidak menyukai sebutan ‗Bahasa Using‘ karena dianggap berasal dari
pendatang di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan berkonotasi negatif
(Moriyama dan Budiman, ed., 2010: 231—232).
Mencemati uraian tentang tahapan-tahapan yang dilalui BU selama kurang
lebih empat dasawarsa, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini status kebahasaan
BU adalah sebuah bahasa daerah di nusantara yang keberadaannya diakui secara sah
oleh pemerintah karena belum ada Surat Keputusan Pemerintah yang mencabut surat
keputusan sebelumnya yang melegalisasi status kebahasaan BU. Dengan demikian,
dalam kajian ini yang dimaksud BU adalah bahasa daerah yang dipakai oleh
sekelompok masyarakat yang berdomisili di beberapa kecamatan di Kabupaten
Banyuwangi.
104
BAB V
KEBERAGAMAN LEKSIKON LINGKUNGAN ALAM BAHASA USING
5.1 Pengantar
Sebelum sampai pada pembahasan keberagaman leksikon lingkungan
alam BU, pada bagian ini terlebih dahulu ditampilkan pemabahasan tentang
bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU, dalam hal ini yang berkaitan
dengan bahasan secara morfologis seperti terlihat pada bagian berikut.
5.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, bentuk-bentuk
lingual leksikon lingkungan alam BU terdiri dari atas empat wujud, yakni
berwujud kata dasar, kata turunan, kata ulang, dan kata majemuk. Berikut adalah
uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
5.2.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang
Berwujud Kata Dasar
Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang
menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985: 45),
sedangkan Chaer (2012: 159) menyebutkan bentuk dasar (base) sebuah bentuk
yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberikan afiks tertentu
dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam proses reduplikasi , atau bisa digabung
dengan morfem lain dalam suatu proses pemajemukan. Bentuk dasar tersebut
104
105
berupa morfem tunggal tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (bdk.
Katamba, 1993:45).
Bentuk dasar yang dimaksud pada subbab ini adalah bentuk dasar yang
berupa morfem dasar tunggal. Sebenarnya, untuk menyatakan bentuk dasar yang
tunggal ada istilah bentuk asal. Istilah itu tidak digunakan karena bentuk asal
dapat berupa morfem pangkal, sedangkan morfem pangkal yang sudah dijelaskan
di atas merupakan bentuk terikat. Tabel berikut adalah tentang leksikon
lingkungan alam BU yang berupa bentuk dasar.
Tabel 5.1
Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam
Bahasa Using yang Berwujud Kata Dasar
No. Leksikon
BU
Gloss dalam BI Kategori
lingkungan
Kategori kata
Biotik Abiotik N V Adj
1. menir beras kecil-kecil, hasil sampingan
penyosohan beras
- + + - -
2. lemi kotoran buah jagung - + + - -
3. ledhebog batang pisang yabg sudah
ditebang
- + + - -
4. bagu daun muda pohon melinjo - + + - -
5. welit daun kelapa kering yang disusun
untuk atap bangunan
- + + - -
6. singkek Alat pemikul terbuat dari bilahan
bambu, bagian depan dan
belakang berbentuk segitiga
- + + - -
7. penjalin pohon rotan + - + - -
8. semprul irisan daun tembakau yang berasal
dari daun tembakau empat daun
terbawah, biasanya berbau apek
- + - -
9. bojog Kera + - + - -
10. asu anjing + - + - -
11. cekeker kaki unggas atau burung - + + - -
12. nyambit biawak + - + - -
13. rengit nyamuk + - + - -
14. nilem ikan nila + - + - -
15. deleg ikan gabus + - + - -
16. logrog gugur berjatuhan (tentang bunga
atau buah)
- - - + -
17. mekrog mekar (tentang bunga) - - - + -
106
Berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan, leksikon lingkungan
alam BU yang berupa bentuk dasar lebih banyak berkategori nomina. Dari 17 data
yang tertera dalam tabel di atas, data (1--15), yakni menir ‗beras kecil-kecil, hasil
sampingan dari penyosohan beras‘; lemi ‘kotoran buah jagung‘; gedhebog ‘batang
pisang yang sudah ditebang‘; bagu ‗daun muda pogon melinjo‘; welit ‗daun
pohon kelapa kering yang disusun untuk atap bangunan‘; singkek ‗alat pemikul
terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang berbentuk segitiga‘;
penjalin ‗pohon rotan‘; semprul ‗Irisan daun tembakau yang berasal dari daun
tembakau empat daun terbawah, biasanya berbau apek‘; bojog ‗kera‘; asu
‗anjing‘; cekeker ‗kaki unggas atau burung‘; nyambit ‗biawak‘; rengit ‗nyamuk‘;
nilem ‗ikan nila‘; dan deleg ‗ikan gabus‘ merupakan leksikon dengan kategori
nomina. Sementara itu, data (16—17) , yaitu logrog ‗gugur berjatuhan (tentang
bunga atau buah) dan mekrog ‗mekar (tentang bunga)‘ adalah leksikon
berkategori verba. Bentuk-bentuk dasar tersebut tidak dapat dipecah lagi ke dalam
bentuk yang lebih kecil. Jika bentuk-bentuk di atas dipecah maka masing-masing
pecahannya tidak memiliki makna (lihat Kridalaksana, 1996:164, bdk. Katamba,
1993: 45).
5.2.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang
Berwujud Kata Turunan
Pada umumnya, bahasa-bahasa yang termasuk rumpun Austronesia
memiliki bentuk turunan berafiks, bentuk turunan kata ulang, dan bentuk turunan
berupa kata majemuk (Kridalaksana, 1996). Berdasarkan data yang berhasil
107
dikumpulkan, leksikon lingkungan alam BU juga memiliki ketiga bentuk turunan
tersebut. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
5.2.2.1 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
yang Berwujud Kata Turunan Berafiks
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, leksikon
lingkungan alam BU yang memiliki bentuk turunan berafiks lebih banyak
ditemukan pada leksikon verba. Ada dua jenis bentuk turunan berafiks, yakni
bentuk turunan berprefiks {-} dan bentuk turunan berimbuhan gabung {-/-i}.
Uraian berikut adalah uraian tentang masing-masing bentuk turunan yang
dimaksud.
(1) Bentuk turunan berprefiks {-}
Berdasarkan temuan di lapangan, leksikon verba lingkungan alam BU
yang berwujud kata turunan berprefiks {-} cukup banyak ditemukan. Sejumlah
leksikon yang tertera pada tabel berikut merupakan contoh leksikon lingkungan
alam BU yang berkategori verba berwujud kata turunan dengan prefiks {-}.
Akan tetapi, jikalau diperhatikan masing-masing data tampak mempunyai bentuk
yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Data ( 18) mbebeng ‗menutup saluran air‗ berasal dari bentuk dasar
bebeng; data (19) melar ‗membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan
kering‘ berasal dari bentuk dasar pelar; data (20) negor ‗menebang (tentang
pohon)‗ berasal dari bentuk dasar tegor; data (21) ndekung ‗mencangkok
tanaman‘; data (22) nyacal ‗menggemburkan tanah sawah/ladang/pekarangan
dengan menggunakan cangkul bukan bajak‘ berasal dari bentuk dasar cacal; data
108
(23) nyebar ‗menebarkan sesuatu (tentang benih)‘ berasal dari bentuk dasar sebar;
data (24) ngempet ‗menahan aliran air dengan menggunakan jerami atau benda
lainnya‘ berasal dari bentuk dasar empet; data (25) ngurit ‗menyemai benih padi‘
berasal dari bentuk dasar urit; data (26) nggagas ‗mengambil sisa-sisa padi atau
gabah setelah panen‘ berasal dari bentuk dasar gagas; data (27) ngokok
‗mengeluarkan suara oleh ayam betina sehabis bertelur‘ berasal dari bentuk dasar
kokok: data (28) ngerimbas ‗‗membuang kulit pohon dan membentuk kayunya
menjadi balok-balok kayu‘ berasal dari bentuk dasar rimbas; dan data (29)
ngeludes ‗menggemburkan tanah yang dilalukan oleh binatang khususnya babi‘
berasal dari bentuk dasar ludes.
Berdasarkan uraian data tersebut di atas, terlihat bahwa leksikon
lingkungan alam dengan bentuk turunan berprefik {-) memiliki lima buah
alomorf, yaitu alomorf [m-/, /n-/, /ň-/, /-/, dan /-/. Penggunaan masing-masing
alomorf tersebut tergantung pada fonem awal bentuk dasarnya. Dengan kata lain,
dapat disebutkan bahwa penggunaan masing-masing alomorf tersebut tergantung
pada fonem awal bentuk dasarnya yang memiliki daerah artikulasi mirip dengan
masing-masing alomorfnya.
109
Tabel 5.2
Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
yang
Berwujud Kata Turunan Berafiks {-}
No. Leksikon
BU
Gloss dalam BI Bentuk
Dasar
Kategori Kata
N V Adj
18. mbebeng menutup saluran air bebeng - + -
19. melar membajak sawah atau kebun dalam keadaan
kering
Pelar - + -
20. negor menebang (tentang pohon) Tegor - + -
21. ndekung ‗mencangkok tanaman dekung - + -
22. nyacal menggemburkan tanah sawah atau ladang atau
pekarangan dengan menggunakan cangkul bukan
bajak
Cacal - + -
23. nyebar menebarkan benih padi atau palawija Sebar - + -
24. ngempet menahan aliran air dengan menggunakan jerami
atau benda lainnya
Empet - + -
25. ngurit menyemai benih padi Urit - + -
26. nggagas ‗mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah
panen
- + -
27. ngokok mengeluarkan suara oleh ayam betina sehabis
bertelur
kokok
‗suara
ayam
betina‘
- + -
28. ngerim-
bas
membuang kulit pohon dan membentuk kayunya
menjadi balok-balok kayu
Rimbas - + -
29. ngeludes menggemburkan tanah yang dilalukan oleh
binatang khususnya babi-
ludes - + -
Jikalau dat-data pada tabel diperhatikan, terlihat bahwa data (18-19), yakni
mbebeng ‗menutup saluran air‘ dan melar ‗membajak lahan sawah atau kebun
dalam keadaan kering‘ bentuk dasarnya diawali oleh fonem /b, p/, sehingga
alomorf yang digunakan adalah /m-/. Perlu dijelaskan bahwa prefiks {- } apabila
bergabung dengan bentuk dasar yang diawali fonem /b/ maka alomorfnya
dilekatkan langsung pada awal bentuk dasar, sedangkan apabila bentuk dasarnya
berawal dengan /p/ maka fonem /p/ nya akan luluh diganti dengan alomorf /m- /.
Contoh lain dari data sejenis adalah mbalong ‗menggenangi petakan-
petakan sawah dengan air yang cukup dalam sambil menunggu waktu tanam‗
bentuk dasarnya adalah balong ‗kolam/palung‘; mberubuk ‗membuat tanah
110
menjadi gembur‗ dengan bentuk dasar berubuk; mbeseh ‗menyayat kulit pohon‘
yang bentuk dasarnya adalah beseh; medhok ‗bertempat tinggal sementara di
area sawah atau kebun selama musim panen‗ yang berbentuk dasar pedhok; majeg
‗menaruh cairan aren (bahan gula) pada cetakan yang terbuat dari gelang bambu
atau daun lontar‗ yang bentuk dasarnya adalah pajeg; pintal ‗memintal kapas
untuk dijadikan benang‘ yang memiliki bentuk dasar pintal; mepe ‗menjemur
sesuatu (bahan kopra atau ikan hasil tangkapan nelayan) dengan cara
menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik‘ dengan bentuk dasar
pepe; dan matun ‗membersihkan gulma di sela-sela tanaman padi‘ yang bentuk
dasarnya patun. Jikalau data-data di atas dicermati, tampak bahwa sebagian besar
bentuk dasar dari bentuk turunan berafiks {-} berasal dari morfem pradasar atau
praketgorial (lihat Verhaar, 2012: 99) karena bentuk-bentuk dasar tersebut tidak
bisa berdiri sendiri untuk memunculkan makna kecuali melalui proses
pengimbuhan (afiksasi).
Selanjutnya, apabila prefiks {-} bergabung dengan bentuk dasar yang
diawali oleh fonem /t,d/ maka digunakan alomorf /n-/. Hal itu tampak pada data
(21--22). Data (21) menunjukkan bahwa prefiks {-} apabila bergabung dengan
bentuk dasar yang diawali dengan fonem /t/, maka fonem /t/ akan luluh,
sedangkan apabila bergabung dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /d/
maka alomorfnya langsung dilekatkan pada bentuk dasar, seperti tampak pada
data (8). Contoh lain dari proses serupa, yakni nanceb ‗menanam pagar hidup
untuk kebun atau pekarangan‗ dengan bentuk dasar tanceb; notor ‗memotong
ranting atau dahan pohon‗ yang bentuk dasarnya adalah totor; neba ‗hinggap
111
secara bersamaan yang dilakukan oleh kawanan burung di atas tanah atau dahan
pohon‗ dengan bentuk dasar teba; dan nderes ‘menyadap tuak atau nira dari
pohon enau‘ yang berbentuk dasar deres.
Sementara itu, alomorf /ň-/ digunakan apabila alomorf tersebut bergabung
dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /c, s/. Hal itu tampak pada uraian
data (23—24), di samping digunakan alomorf /ň-/ juga terjadi peluluhan fonem
awal /c,s / dari bentuk dasarnya. Contoh lain dari proses ini ditemukan pada
leksikon verba, yaitu nyumbat ‗menguliti kelapa dengan menggunakan sumbat‘
dengan bentuk dasar sumbat ‗peralatan yang terbuat dari besi yang berujung tajam
yang digunakan untuk menguliti serabut kelapa‘; nyeruh ‗memutihkan beras
dengan cara menumbuknya kembali‘ bentuk dasarnya seruh; nyelisir ‗berjalan
menelusuri bibir pantai atau sungai‘ yang bentuk dasarnya selisir; nyuluh
‗mencari ikan atau burung pada malam hari dengan menggunakan obor pada
malam hari‘ dengan bentuk dasar suluh ‗obor‘, nyeker ‗mengais-ngais tanah
dengan menggunakan kaki yang dilakukan oleh ayam untuk mendapatkan
makanan‘ yang bentuk dasarnya adalah ceker ‗kaki ayam atau unggas lainnya‘;
nyangrab ‗membersihkan pohon dari ranting-rantingnya‘ dengan bentuk dasarnya
cangkrab; dan nyenggot ‗mengambil air dari sumur dengan menggunakan
senggotan ‗timba yang dianggkat dengan galah‘ bentuk dasarnya adalah senggot
‗tangkai/tongkat‘.
Selanjutnya, alomorf yang keempat, yaitu /-/, digunakan pada bentuk
dasar yang diawali oleh fonem vokal /e,u/; konsonan /g, k/. Hal itu tampak pada
uraian data (25—26). Penggunaan alomorf /-/ disertai dengan peluluhan fonem
112
awal bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /k/, sedangkan bentuk dasar yang
diawali oleh fonem vokal dan konsonan /g/ langsung dilekati. Contoh lainnya
adalah nguter ‗memindahkan bibit dari tempat persemaian ke tempat penanaman
permanen‘ dengan bentuk dasar uter; ngunduh ‗memetik sesuatu (tentang buah
atau bunga)‘ yang bentuk dasarnya adalah unduh; dan nggebros ‗memanen atau
mengetam padi‘ dengan bentuk dasar gebros; nggejig ‗membuat lubang pada
tanah untuk menanam benih‘ dengan bentuk dasarn gejig; nggulud ‗meninggikan
tanah sawah atau kebun/membuat gundukan‘ yang berbentuk dasar gulud; dan
ngguyang ‗mandi di dalam air atau lumpur yang dilakukan oleh ternak‘ dengan
bentuk dasarnya guyang.
Alomorf yang terakhir, yaitu /-/, digunakan apabila melekat dengan
bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /r, l/. Hal itu tampak pada uraian data
(28--29). Untuk penggunaan alomorf ini tidak ada perubahan bentuk. Alomorf
langsung dilekatkan pada bentuk dasar. Contoh lain dari proses serupa dapat
dilihat pada bentuk-bentuk, seperti ngeregeb ‗berendam di kubangan lumpur yang
dilakukan oleh kerbau‘ dengan bentuk dasar regeb; dan ngeludes
‗menggemburkan tanah dengan menggunakan moncongnya yang dilakukan oleh
babi/babi hutan‘ yang bentuk dasarnya adalah ludes.
Perlu diketahui bahwa penggunaan alomorf /-/ diangkat sebagai setatus
morfem, yaitu morfem {-}, karena morfem ini memiliki distribusi paling banyak
jikakalau dibandingkan dengan alomorf-alomorf lainnya.
(2) Bentuk turunan berwujud imbuhan gabung {-/-i}
113
Berdasarkan analisis data leksikon lingkungan alam BU yang berupa
bentuk turunan dengan imbuhan gabung ditemukan hanya satu jenis, yaitu yang
berimbuhan gabung {-/-i} dengan jumlah yang tidak begitu banyak, seperti
terlihat pada tabel berikut.
Tabel 5.3
Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan
Kata Turunan Berwujud Imbuhan Gabung {N-/-i}
No. Leksikon
BU
Gloss dalam BI Bentuk Dasar Kategori Kata
N V Adj
30. nambaki menahan aliran air ke petak
sawah berikutnya‘
tambak ‗pematang
atau tanggul‘
- + -
31. macaki mengupas serabut kelapa
dengan menggunakan kapak
Pacak - + -
32. ngileni mengairi sawah ilen-ilen ‗aliran air‘ - + -
33. ngeremponi meratakan tanah sawah
sebelum ditanmi
rempon ‗perataan
tanah
- + -
34. nggepluki memebelah buah kelapa
dengan menggunakan kapak
Gepluk - + -
35. ngonceti menguliti sesuatu (tentang
buah)
Oncet - + -
Data (30--35) adalah contoh data yang menunjukkan adanya penggunaan
imbuhan gabung berupa prefiks {-} dan sufiks {-i}. Realisasi penggunaan
alomorf-alomorfnya sesuai dengan prefiks {-} pada uraian (a), yakni
penggunaan alomorf /-/ disertai dengan peluluhan fonem awal bentuk dasar yang
diawali oleh konsonan /p, t, g/ seperti terlihat pada kata-kata turunan macaki
‗mengupas serabut kelapa dengan menggunakan kapak‘ dengan bentuk dasar
pacak‘; nambaki ‗menahan aliran air ke petak sawah /-/berikutnya‘ dengan
bentuk dasar tambak‘; dan nggepluki ‗mengupas serabut kelapa dengan
menggunakan kapak‘ dengan bentuk dasar gepluk. Sementara itu, alomorf
digunakan apabila melekat dengan bentuk dasar yang diawali oleh konsonan /r/
seperti terlihat pada kata turunan ngeremponi ‗meratakan tanah sawah sebelum
114
ditanami‘ dengan bentuk dasar rempon. Hal itu tampak pada uraian data (33).
Untuk penggunaan alomorf ini tidak ada perubahan bentuk. Alomorf langsung
dilekatkan pada bentuk dasar. Selanjutnya, untuk kata dasar yang diawali dengan
fonem vokal (i,o), prefiks {-} langsung melekat pada bentuk dasar, seperti
terlihat pada kata turunan ngileni ‗mengairi sawah‘ dengan bentuk dasar ilen dan
ngonceti ‗menguliti sesuatu (tentang buah)‘ dengan bentuk dasar oncet. Untuk
semua contoh di atas sufiks {-i} dilekatkan langsung di akhir kata tanpa ada
perubahan.
5.2.2.2 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
yang Berwujud Kata Ulang
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu bentuk
turunan dari leksikon lingkungan alam BU adalah reduplikasi (pengulangan).
Reduplikasi adalah proses pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya atau
sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, serta hasil pengulangannya
disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar (lihat
Kridalaksana 1996: 93—103 dan bdk Verhaar, 2012: 152--153). Berdasarkan data
yang terkumpul, leksikon lingkungan alam BU yang berbentuk kata ulang
ditemukan hanya empat buah, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 5.4
Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam
Bahasa Using yang Berwujud Kata Ulang
No. Leksikon
BU
Gloss dalam BI Bentuk
Dasar
Kategori Kata
N V Adj
36. giblas-
giblas
mengepak-ngepakkan sayap yang dilakukan oleh
unggas agar kering
giblas - + -
37. keblak-
keblak
mengepak-ngepakkan sayap sambil berkokok yang
dil akukan oleh ayam jantan
keblak - + -
38. ason-ason berburu binatang dengan menggunakan anjing ason - + -
115
39. angkut-
angkut
sejenis serangga yang sarangnya terbuat dari tanah
yang biasanya menempel pada dinding atau langit-
langit bangunan seolah-olah tersangkut
angkut + - -
40. uceng-
uceng
sejenis ikan air tawar yang hidup di sungai uceng + - -
41. iles-iles Iles-iles iles + - -
42. ngampar-
ampar
Menyambar-nyambar (tentang petir atau kilat) ampar - + -
43. urang-
aring
urang-aring, jenis tumbuhan yang daunnya untuk
penyubur rambut
urang + - -
44. kolang-
kaling
buah pohon enau kolang + - -
45. lung-
lungan
leng-lengan, sejenis timbuhan untuk obat diare lung + - -
Kalau diperhatikan data (36--41), keenam data tersebut merupakan kata ulang
penuh karena yang diulang adalah bentuk dasarnya secara utuh. Data (36) giblas-
giblas berasal dari bentuk dasar giblas, data (37) keblak-keblak berasal dari
bentuk dasar keblak; sedangkan data (41—42) merupakan kata ulang yang
dihasilkan dengan mengulang bentuk dasar, tetapi terjadi perubahan fonem pada
bentuk ulangnya. Data (40) ngampar-ampar berasal dari bentuk dasar ampar
mengalami pengulangan yang disertai penambahan prefiks {-} pada bentuk
ulangnya, sedangkan data (38) ason-ason merupakan kata ulang yang dihasilkan
dari bentuk asu ‗anjing‘ yang direduplikasi yang disertai sufiks {-an}. Pada
bentuk ini terjadi proses morfofonemik berupa perubahan fonem, yaitu fonem
/u/, sebagai akhir kata bergabung dengan akhiran yang diawali fonem /a/ berubah
menjadi fonem /o/.
5.2.2.3 Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
yang Berwujud Kata Majemuk.
Menurut Verhaar (2012: 154) kata majemuk (compound) adalah kata yang
dihasilkan melalui proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar atau
116
(pradasar) sebagai komponen pembentuknya (lihat Ramlan, 1993: 78—79 dan
bdk. Katamba, 1993:54). Sebuah kata majemuk dibentuk oleh komponen inti
(head) dan pewatas (modifier). Komponen mana yang menjadi inti tergantung
artinya (Verhaar, 2012: 155). Berdasarkan temuan di lapangan, leksikon
lingkungan alam BU yang berbentuk turunan yang berwujud kata majemuk lebih
banyak berpola N-N dan N-Adj, hanya dua data ditemukan masing-masing
berpola N-Num dan V-N. Data tersebut disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.5
Bentuk-bentuk Lingual Leksikon Lingkungan Alam
Bahasa Using yang Berwujud Kata Majemuk
No Leksikon
majemuk
BU
Gloss dalam BI Unsur Pembentuk Kategori
Kata
Inti Pewatas N V Adj
Leksi-
kon
Kate-
gori
Leks-
kon
Kate-
gori
46. jeruk
sambel
Jenis jeruk yang dipakai
campuran sambal ulek agar
rasanya mantap
jeruk N sambel N + - -
47. poh madu Jenis mangga yang rasanya manis
seperti madu
poh N madu N + - -
48. bango
kebo
Jenis burung bangau yang
mencari kutu untuk dimakan di
punggung kerbau
bango N kebo N + - -
49. ketan
cemeng
Ketan hitam ketan N cemeng Adj + - -
50. duren
abang
Jenis durian yang daging buahnya
berwarna merah
duren N abang Adj + - -
51. gedhang
sewu
Jenis pisang yang satu tandannya
berisi banyak buah seolah-olah
jumlahnya seribu
gedhang N sewu Num + - -
52. tapak
liman
Jenis tanaman obat yang
batangnya tumbuh menempel di
permukaan tanah dan helaian
daunnya menyebar seperti jari-
jari manusia yang berjumlah lima
tapak N lima (n) Num + - -
53. smbung
nyawa
Jenis tumbuhan obat untuk orang
sakit keras agar nyawanya
tersambung kembali
sambung V nyawa N + - -
54. pecah
beling
Bunga pecah seribu pecah V beling N + - -
Data (46--48) dibentuk oleh kategori N-N, yaitu data (46) yang oleh jeruk
sambel. Begitu juga data (47) yang dibentuk oleh poh dan madu dan data (48)
117
dibentuk oleh bango dan kebo. Keenam kata yang membentuk tiga kata majemuk
di atas termasuk kategori nomina karena secara sintaktik kategori nomina dapat
menduduki fungsi subjek atau objek pada tataran klausa dan kalimat. Contoh kata
majemuk lain yang berpola N-N adalah gedhang raja ‗pisang raja‘ yang
dibentuk oleh leksikon gedhang dan raja; kara pedhang ‗sejenis kacang kara
yang bentuk buahnya melengkung menyerupai pedang‘ dibentuk oleh leksikon
kara dan pedhang; jamur menur ‗sejenis jamur/cendawan yang bentuk dan
warnanya seperti bunga melati, putih dan kecil-kecil‘ dibentuk oleh leksikon
jamur dan menur; wedhus kendit ‘jenis kambing yang memiliki lingkaran putih di
bagian pinggangnya sehingga menyerupai kendit ‘sabuk‘ dibentuk oleh leksikon
wedhus dan kendhit. Sementara itu, data (49—50) dibentuk oleh kategori N-Adj,
yakni data (49) ketan cemeng yang dibentuk oleh leksikon ketan dan cemeng dan
data (50) duren abang dibentuk oleh leksikon duren dan abang. Untuk dapat
membuktikan bahwa suatu bentuk termasuk kategori Adj adalah dengan cara
melihat bentuk itu dalam konstruksi yang lebih tinggi. Untuk kategori Adj dapat
dilihat pada tataran frasa, yaitu biasanya dapat dijelaskan dengan kata sangat dan
sekali (bahasa Indonesia). Contoh lain dari leksikon lingkungan alam BU yang
berwujud leksikon majemuk dengan pola N-Adj adalah kacang ijo ‗kacang hijau‘
yang dibentuk oleh kacang dan ijo; bawang abang ‗bawang merah‘ yang
dibentuk oleh bawang dan abang; dan lempuyang wangi ‗lempuyang wangi‘
yang dibentuk oleh lempuyang dan wangi. Sementara itu, berdasarkan temuan di
lapangan leksikon lingkungan alam BU yang berupa kata majemuk dengan pola
N-Num ditemukan hanya dua, yakni data (51—52). Data (51) gedhang sewu
118
dibentuk oleh gedhang yang berkategori nomina dan sewu berkategori numeralia
dan leksikon pada data (52) tapak liman yang dibentuk oleh tapak dan lima(n).
Selanjutmya, leksikon yang berpola V-N ditemukan pada data (53) sambung
nyawa yang dibentuk oleh sambung (morfem pradasar) yang berkategori verba
dan nyawa yang berkategori nomina dan data (54) pecah beling yang dibentuk
oleh inti pecah yang berkategori verba dan beling yang berkategori nomina.
5.3 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
Keberagaman leksikon lingkungan alam BU tergantung pada
kompleksitas sumber daya lingkungan tempat bahasa ini digunakan. Kategori dan
jumlah leksikon BU mencerminkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
dan keterampilan teknologi tradisional GTBU dalam memanfaatkan dan
mengolah sumber daya lingkungan melalui proses leksikalisasi dan kulturalisasi
(pembudidayaan dan pembudayaan ) yang mereka lakukan, di samping karena
kedalaman dan kebermaknaan interaksi dan interpendensi GTBU dengan
lingkungannya, serta potensi dan karakteristik ecoregion area ini ( lihat Skutnabb-
Kangas & Phillipson, 2001).
Pembahasan keberagaman leksikon lingkungan alam BU pada bagian ini
dianalisis berdasarkan hal-hal, seperti (1) keberagaman berdasarkan kategori
katannya; (2) keberagaman cara penamaan entitas acuannya; dan (3) dan
keberagaman berdasarkan relasi makna antara leksikon. Berikut adalah uraian dari
masing-masing bagian yang dimaksud.
119
5.3.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berdasarkan
Kategori Katanya
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa leksikon
lingkungan alam BU yang dikaji pada penelitian ini hanyalah leksikon yang
berkategori nomina dan verba saja karena berdasarkan temuan di lapangan
leksikon-leksikon pada kedua kategori tersebut paling banyak ditemukan, seperti
lazimnya fenomena yang terjadi pada banyak bahasa di dunia. Keberagaman
leksikon lingkungan alam berdasarkan ketegori katanya dapat dilihat pada urain
berikut.
5.3.1.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using Berkategori
Nomina
Lingkungan tempat tinggal GTBU, baik di daerah dataran tinggi maupun
di daerah dataran rendah merupakan wilayah yang sangat subur karena faktor
topografis dan kondisi geografisnya. Secara biologis, hal ini sangat menentukan
keberagaman flora dan fauna yang hidup di wilayah ini dengan tingkat populasi,
kekuatan, serta persaingan hidup yang berbeda-beda.
Ada beberapa jenis flora dan fauna yang memiliki nilai sosial ekonomi
yang penting dalam kehidupan GTBU sehingga jenis-jenis flora dan fauna ini
dipelihara dan dibudiyakan oleh GTBU. Fenomena ini menyebabkan adanya
interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara entitas-entitas yang
ada dan GTBU khususnya. Mereka mengodekan semua entitas-entitas tersebut
secara lingual sehingga terciptalah keberagaman leksikon-leksikon nomina
kealaman BU, baik tentang flora maupun fauna. Uraian berikut adalah tentang
120
keberagaman leksikon kealaman BU terkait dengan leksikon flora dan fauna
beserta kelompok-kelompoknya.
1) Keberagaman leksikon flora bahasa Using
Eksistensi beberapa jenis tanaman di suatu ecoregion tidak terlepas dari
adanya faktor biologis, sosiologis, dan ideologis. Secara biologis, beberapa
tanaman ini dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan baik karena tanah yang
subur, iklim yang sesuai, dan juga karena keberadaan tanaman lain di ecoregion
tersebut. Interdipendensi sebuah masyarakat terhadap tanaman-tanaman
tersebut menyebabkan adanya kedalaman (intensitas) interaksi dan interelasi
mereka dengan entitas tersebut sehingga masyarakat juga mengenal secara detail
entitas yang diakrabi dan dikenalnya. Karena adanya interpedensi, interelasi , dan
interaksi mereka dengan tanaman-tanaman tersebut, melalui ideologi yang
mereka miliki, suatu guyub tutur memberi nama, membudidayakan, dan
mengadakan penelitian-penelitian baru untuk menemukan jenis-jenis entitas baru
untuk beberapa jenis tanaman untuk mendapatkan jenis yang lebih unggul yang
semuanya dikodekan dalam bentuk leksikon.
Pada bagian ini dipaparkan keberagaman leksikon flora kealaman BU
yang dikelompokan berdasarkan kebermanfaatannya pada kehidupan manusia
umumnya dan GTBU khususnya. Pengelompokkan menjadi kelompok leksikon
yang secara semantik merujuk pada tanaman bahan pangan, buah-buahan, sayur-
sayuran, obat/bumbu, bunga, kelapa, bambu, dan tanaman lainnya. Di samping
leksikon-leksikon utama suatu entitas, pada beberapa tabel juga dipaparkan
beberapa leksikon yang mengacu pada bagian-bagian entitas tersebut seperti
121
yang ditemukan pada kelompok leksikon kelapa ‘kelapa‘, jajang ‘bambu‘,
gedhang ‘pisang‘, dan sebagainya. Berikut adalah uraian dari masing-masing
kelompok leksikon yang dimaksud.
(1) Keberagaman leksikon tanaman bahan pangan bahasa Using
Leksikon bahan pangan dalam kajian ini terdiri atas beberapa kelompok,
seperti kelompok leksikon padi dan jenisnya, bagian-bagian tanaman padi, sesuatu
yang terkait dengan padi, tanaman jagung dan bagian-bagiannya, serta tanaman
bahan pangan lainnya. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa
GTBU adalah masyarakat agraris. Seperti masyarakat agraris di wilayah
Indonesia lainnya, pari ‘padi‘, jagung ‗jagung‘ dan puhung ‘ketela pohon‘
merupakan hasil utama dari lahan pertanian mereka. Ketiga jenis entitas ini
tumbuh subur di wilayah ini karena letak geografis, kondisi topografis dan iklim
yang sangat sesuai. Secara sosiologis, pari dan jagung merupakan bahan makanan
pokok dan memegang peran sangat penting dalam kehidupan GTBU yang
dikenal sejak zaman dahulu. Di samping itu, pari ‗padi‘ (dalam bentuk beras)
khususnya juga merupakan tanda persaudaraan terutama pada saat Hari Raya Idul
Fitri dan pada sebuah keluarga mengadakan hajatan. Sebagai tanda
persaudaraan pada Hari Raya Idul Fitri maksudnya bagi setiap GTBU yang
masih ada hubungan darah, mereka biasanya saling bersilaturahmi dan saling
bertukar bahan kebutuhan pokok dan salah satu jenisnya dan bahkan yang utama
adalah beras. Sementara itu, sebagai tanda persaudaraan pada saat sebuah
keluaraga mengadakan hajatan maksudnya setiap keluarga GTBU biasanya
menyumbang paling sedikit 2 kilogram beras untuk keluarga yang mengadakan
122
hajatan (dan jumlahnya semakin besar apabila mereka masih ada hubungan
darah).
Di samping pari dan jagung, GTBU yang tinggal di daerah pegunungan
juga mengenal beberapa jenis umbian-umbian yang dapat dijadikan sebagai
sebagai pengganti beras dan jagung, seperti puhung ‘ketela pohon‘, sabrang ‘ubi
jalar‘, kentang jembut ‘kentang jawa (berukuran kecil dan berambut)‘, gadhung
‘gadung (tanaman melilit, berduri, dan berumbi serta sagunya mengandung
racun‘), ganyong ‘tanaman berumbi yang bunganya menyerupai bunga kana,
umbinya direbus dan dapat dimakan‘ dan sebagainya. Pada musim-musim
tertentu semua entitas ini tumbuh subur di lingkungan tempat tinggal GTBU,
khususnya di wilayah Kecamatan Glagah yang topografisnya terdiri atas lahan
perkebunan dengan kemiringan hampir mencapai 450. Karena adanya
interdependensi, interaksi, dan interelasi yang tinggi terhadap keberagaman
entitas di lingkungan alam sekitar mereka, semua pengetahuan (kompetensi) yang
luas dan dalam terhadap sumber daya alam lingkungannya terekam dalam memori
GTBU dalam wujud satuan-satuan lingual berupa leksikon-leksikon yang mereka
wariskan, baik secara lisan maupun tulisan kepada generasi berikutnya. Tabel
berikut menunjukkan keberagaman leksikon bahan pangan BU.
Tabel 5.6
Keberagaman Leksikon Tanaman Bahan Pangan Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Bioti
k
Abiotik
Padi dan
jenisnya
pari padi Oryza sativa + -
pari singgang tunas padi yang tumbuh dari batang padi
yang telah dipotong
+ -
123
pari sogel jenis padi yang cepat berbuah + -
pari unthup jenis padi yang bulirnya tidak bermiang + -
pari gaga jenis padi yang ditanam di lahan tadah
hujan + -
pari genjah
harum
jenis padi yang berasnya pulen dan berbau
harum
+ -
sambulan jenis padi lain yang tumbuh di sela-sela
padi utama
+ -
ketan cemeng ketan hitam + -
ketan putih
ketan (putih) + -
winih benih (padi) + -
Bagian- bagian
tanaman padi
menir beras kecil-kecil hasil sampingan dari
menumbuk atau menyosoh beras
- +
elas bulir padi - +
dami jerami - +
merang tangkai buah padi yang dikeringkan - +
sekem sekam, kulit padi/abah setelah padi
disosoh/ ditumbuk
- +
belubon padi yang baru dipotong, belum kering dan
sudah diikat-ikat (pada jaman dulu padi ini
di jemur di sawah atau di pinggir jalan)
- +
tugih bulu padi/ rambut yang terdapat pada
ujung biji padi-padian - +
Sesuatu terkait
dengan padi
rantap penyakit pada daun padi muda + -
palawija tanaman (kebanyakan dari jenis kacang-
kacangan) yang ditanam di sawah
pengganti tanaman padi
+ -
tumpang sari tanaman yang ditanam di sela-sela
tanaman utama ( kacang panjang/kecipir
yang ditanam di pematang sawah setelah
musim tanam)
+ -
Tanaman
jagung dan
bagian-
bagiannya
jagung jagung Zea mays + -
janggel tongkol buah jagung - +
kelobot kulit buah jagung yang sudah dikeringkan
dipakai pembukus rokok
- +
lemi kotoran buah jagung - +
tebon batang pohon jagung - +
Bahan pangan
lain
kentang kentang jawa (ukuran kecil-kecil dan ada
rambutnya)
+ -
sabrang ubi jalar Ipomoea
batatas
+ -
gadhung gadung (tanaman melilit dan berduri
dengan umbi dan sagunya mengandung
Dioscorea
hispida
+ -
124
racun)
arus tumbuhan yang umbinya dapat dibuat
tepung
+ -
ganyong tanaman umbi yang batangnya menyerupai
batang bunga kana, umbinya dapat direbus
dan dimakan
Canna edulis + -
kajar birah putih Remusa-tia
vivapara
+ -
suweg tanaman yang umbinya dapat direbus dan
dimakan dengan daun seperti bunga
bangkai
Amorpho-palu
Campanula-
tus
+ -
puhung ketela pohon + -
Di samping beberapa leksikon generik dan spesifik dari beberapa entitas,
GTBU juga mengenal leksikon khusus yang mengacu pada bagian-bagian dari
entitas pari dan jagung, yang merupakan bukti lain dari interaksi dan
interdipendensi mereka dengan entitas-entitas tersebut. Fenomena ini dapat
berbeda dengan di wilayah lain, baik sesama lingkungan tempat tinggal GTBU
maupun di luar wilayah tersebut, yang memiliki kondisi topografis dan letak
geogafris, serta sumber daya alam yang berbeda.
(2) Keberagaman leksikon tanaman buah-buahan bahasa Using.
Topografi suatu wilayah tidak saja menentukan bentuk permukaan,
namun juga berpengaruh pada ragam vegetasi yang tumbuh di atasnya
(Poerwanto, 2008), di samping cuaca, curah hujan, dan iklim. Kabupaten
Banyuwangi umumnya dan daerah tempat tinggal GTBU khususnya adalah
sebuah wilayah yang terdiri dari wilayah dataran rendah dan dataran tinggi
dengan kemiringan hampir mencapai 400
disertai curah hujan yang tinggi
merupakan wilayah yang sangat cocok tempat untuk berbagai jenis buah tropis
(Banyuwangi dalam Angka, 2010:138-140). Dengan karakteristik ecoregion di
atas, beragam jenis buah-buahan tumbuh subur di daerah ini, utamanya jenis
poh/epoh ‘mangga‘ (mangifera indica) dan gedhang ’pisang‘. Ada kurang lebih
125
sebelas jenis poh ‘mangga‘ ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal
GTBU dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. Tingkat interdependensi dan
interaksi mereka terhadapnya juga berberda-beda, tergantung pada nilai ekonomis
yang diembannya sehingga ada beberapa jenis epoh/poh yang dibudidayakant,
seperti poh gadhung, poh manalagi, poh golek, dan poh madhu sedangkan jenis
lainnya, seperti poh koweni, poh kopyor, dan poh kotak tumbuh liar di kebun-
kebun atau di pinggiran hutan.
Di samping poh ‘mangga‘ (mangifera indica), tumbuhan gedhang
‘pisang‘ tumbuh dengan sangat subur di Kabupaten Banyuwangi umumnya, di
lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya. Fenomena ini membuat Kabupaten
dan Kota Banyuwangi menjadi sangat terkenal sehingga dijuluki kota ―pisang‖.
Julukan ini tidak berlebihan karena ada kurang lebih sembilan belas jenis pisang
yang tumbuh di lingkungan ini dengan tingkat populasi yang berbeda-beda
tergantung pada manfaatnya pada perekonomian masyarakat. Entitas dengan
nilai ekonomis tinggi cenderung populasinya banyak karena guyub tutur
membudidayakannya di lingkungan yang tepat. Di antara jenis pisang ditemukan
di wilayah ini yang populasinya cukup banyak adalah gedhang keluthuk, gedhang
kethip, gedhang susu/selakat, gedhang raja, dan gedhang saba. Di samping
karena bernilai ekonomis tinggi, entitas gedhang-gedhang di atas, tumbuh subur
dan gampang berbuah serta buahnya banyak sehingga interaksi, interelasi,
interdependensi GTBU terhadaonya sangat tinggi, sedangkan terhadap entitas-
entitas, seperti gedhang sewu, gedhang sempring, gedhang kidhang, gedhang
keladi, gedhang welut, dan gedhang sri nyonyah populasinya sedikit karena tidak
126
dapat tumbuh di sembarang tempat, kurang bernilai ekonomi tinggi, serta jumlah
buahnya tidak banyak kecuali gedhang sewu. Khusus untuk gedhang berlin dan
gedhang lempeneng populasinya tidak begitu banyak, namun kedua jenis gedhang
ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena diolah menjadi keripik pisang yang
memiliki rasa yang lezat yang tidak ditemukan di daerah lainnya.
Dikenalnya beragam jenis pisang, dinamainya bagian-bagian dari pohon
pisang serta diciptakannya beberapa wadah/peralatan terbuat dari daun pisang
merepresentasikan adanya interaksi, interdependensi, pengetahuan, dan
keakraban antara GTBU dan lingkungan yang ada entitas pisangnya sebagai
sumber daya lingkungan tersebut. Tentu semua ini terekam dalam ranah
kebahasaan mereka yang menghadirkan keberagaman leksikon tentang gedhang
yang turut memperkaya khasanah leksikon kealaman BU yang mungkin sangat
berbeda dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di nusantara ini. Tabel berikut
menunjukkan keberagaman flora dari jenis buah-buahan yang tumbuh di
lingkungan tempat tinggal GTBU yang secara semantik refernsial (Verhaar: 2007,
318) diacu oleh leksikon masing-masing.
Tabel 5.7
Keberagaman Leksikon Tanaman Buah-buahan Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Mangga dan
jenisnya
poh mangga Mangifera
indica
+ -
poh manalagi mangga manalagi + -
poh golek mangga golek + -
poh kuweni mangga wani. + -
poh kates mangga yang rasanya renyah seperti
kates mengkal
+ -
poh madu mangga madu + -
127
poh ganda ganda ‗lain rasa‘ yaitu jenis mangga
yang waktu muda rasanya kecut,
namun ketika sudah matang rasanya
manis sekali
+ -
poh kenyut mangga yang cara makannya
dikenyut ‗dihisap‘ (tidak dikupas
seperti lasimnya cara makan jenis
mangga lainnya)
+ -
poh kopyor mangga kopyor, jenis mangga yang
daging buahnya tidak padat dan
sedikit encer
+ -
poh kotak mangga yang buahnya berbentuk
persegi empat (kotak)
+ -
poh endhog mangga yang buahnya berbentuk
lonjong seperti telur
+ -
poh kecik kecik ‗tak bisa besar ‗ artinya
mangga muda dan tua ukurannya
hampir sama.
+ -
Jambu dan
jenisnya
jambu jambu Eugenia + -
jambu mente jambu mente. Anacardium
occidentale
+ -
jambu keluthuk jambu biji Psidium
guajava
+ -
jambu kelampok jambu kelampok, jenis jambu yang
tumbuhnya selalu berkelompok.
Jambosa alba + -
jambu lante jenis jambu yang biasanya ditanam di
dekat teras rumah. (Lante = tikar
yang terbuat dari anyaman rotan yang
biasanya digelar di teras rumah untuk
santai atau menerima tamu)
+ -
jambu darsono jambu darsono, jambu yang berwarna
merah keputihan
+ -
jambu semarang jambu semarang + -
jambu wer Syzygium
aqueum
-
Nangka dan
bagian-
bagiannya
nangka nangka Artocarpus
integrifolia
+ -
pucil bakal buah nangka + -
babal buah nangka muda -
tombol buah nangka yang dipakai sayur + -
empik kelopak buah nangka + -
bethon biji nangka + -
Rambutan dan
jenisnya
rambutan rambutan Nepheliun
lappoceum
+ -
rambutan aceh rambutan aceh. -
rambutan rapiah rambutan rapiah. + -
rambutan lebak jenis rambutan yang rambutnya lebih + -
128
bulus pendek dari rambutan lainnya
Duren dan
jenisnya
duren durian Durio
zibentinus
+ -
duren putih durian (putih) Durio
zibentinus
+ -
duren abang durian merah, yaitu jenis durian yang
daging buahnya berwarna merah.
Durio
zibentinus
+ -
Jeruk dan
jenisnya
jeruk jeruk + -
jeruk sambel jeruk sambal, jeruk yang dipakai
tambahan sambal sehingga rasanya
menjadi lebih mantap
Citrus
aurantifolia
+ -
jeruk purut jeruk purut, jeruk yang dapat dipakai
untuk obat urut
Citrus hystrix + -
jeruk manis jeruk manis Citrus
aurantium
+ -
jeruk limo jeruk limau Triphasia
trifoliate
+ -
jeruk kikit jeruk dengan buah kecil-kecil dan
rasanya masam sekali
Triphasia
aurantiola
+ -
Delima dan
jenisnya
+ -
delima delima Punica
granatum
+ -
delima putih delima putih Punica
granatum
+ -
delima abang delima merah + -
Pisang dan
jenisnya
gedhang pisang Musa
paradisiacal
+ -
gedhang sempring pisang yang buahnya panjang dan
lurus seperti pring ‘bambu‘
+ -
gedhang agung pisang agung. Jenis pisang dengan
ukuran buah besar-besar dan satu
tandan hanya terdiri dari beberapa
sisir.
+ -
gedhang berlin pisang yang buahnya kecil-kecil dan
harganya mahal (seperti berlian).
+ -
gedhang ambon pisang ambon + -
gedhang emas pisang emas + -
gedhang keladi pisang keladi + -
gedhang ijo pisang hijau +
gedhang
lempeneng
pisang lempeneng (pisang yang
buahnya gepeng ‗pipih‘
-
gedhang keluthuk pisang batu Musa
branchycarpa
+ -
gedhang sri
nyonyah
pisang kulitnya putih (agak pucat)
seperti kulit perempuan Cina
+ -
gedhang raja
nangka
pisang raja yang rasanya seperti buah
nangka
+ -
129
gedhang kapuk pisang kapuk -
gedhang
selakat(susu)
pisang susu + -
gedhang sewu pisang yang satu tandannya terdiri
dari puluhan sisir dan satu sisir juga
berisi puluhan biji buah yang
jumlahnya seolah-olah berjumlah
seribu.
+ -
gedhang welut pisang belut (pisang yang tumbuh
dengan baik di daerah yang berair)
+ -
gedhang raja pisang raja + -
gedhang saba pisang kapok + -
Bagian-bagian
dari pohon
pisang
gedhebog batang pisang yang sudah ditebang + -
peret /serat tali terbuat dari serat batang pisang + -
papah pelepah pisang + -
kelaras daun pisang kering + -
ontong bunga pisang + -
pupus pucuk daun pisang yang masih muda
dan menggulung, berwarna hijau
terang
+ -
tandan kelompok buah pisang yang terdiri
dari beberapa sisir
+ -
godhogan setandan pisang yang sudah matang
beserta sebagian batangnya yang
diletakkan di depan rumah orang
punya hajatan/pernikahan
+ -
Peralatan dari
daun pisang
samir daun pisang yang dipotong
sedemikian rupa untuk alas kue,
tumpeng , dan sebagainya
+ -
pincuk daun pisang yang dibentuk
sedemikian rupa digunakan sebagai
alas sesuatu
+ -
suru sendok terbuat dari sobekan daun
pisang dengan cara dilipat.
+ -
takir wadah terbuat dari lipatan daun
pisang
+ -
Jenis buah
lainnya
manggis manggis Garcinia
Mangostana
+ -
wuni buni Antidesma
bunisius
+ -
kedondong kedondong Spondia
Spinnata
+ -
kentul sentul (buah kecapi) Sandronicum
koetjape
+ -
tai lampah tumbuhan dengan buah menyerupai
buah kayu bunut dan rasanya manis
+ -
belimbing manis belimbing Averrhoa + -
130
carabola
langsat langsat Lansium
domesticum
+ -
duku duku Lansium
domesticum
+ -
cerème crème Euphorbia-
ceae
+ -
nanas nenas Ananas
comosus
+ -
kates papaya Carica papaya + -
pace mengkudu Morinda
citrifolia
+ -
belewah belewah Cucumis melo + -
belungking semangka Citrulus
vulgaris
+ -
Di samping poh/epoh ‗mangga‘ dan gedhang ‗pisang‘, dan jambu
‗jambu‘ merupakan tanaman buah-buahan yang memiliki banyak jenis, baik yang
dibudidayakan seperti jambu menthe, jambu lante, jambu dharsana,dan jambu
semarang maupun yang tumbuh liar seperti jambu wer dan jambu kelampok.
Sementara itu, jeruk ‗jeruk‘ yang juga memiliki beragam jenis, namun tidak
sebanyak gedhang ‗pisang‘, juga ditemukan banyak tumbuh di lingkungan
tempat tinggal GTBU. Salah satu jenis tanaman buah yang satu-satunya
ditemukan di salah satu desa (Desa Kemiren) di Kecamatan Glagah adalah duren
abang ‗durian merah‘. Durian yang menurut pemiliknya sudah berumur lebih dari
200 tahun lebih dan tidak ditemukan di wilayah lainnya ini berbuah setahun
sekali. Keberadaan duren abang ‗durian merah‘ di lingkunan tempat tinggal
GTBU sudah barang tentu memperkaya sumber daya lingkungan dan khasanah
leksikon kealaman BU yang membuatnya berbeda dengan bahasa daerah lain dari
segi leksikon.
(3) Keberagaman leksikon tanaman sayur-sayuran bahasa Using
131
Keberagaman leksikon kealaman BU tentang sayur mayur
merepresentasikan keberagaman tanaman sayuran yang ada di sumber daya
lingkungan alam BU yang dilatari oleh tanah yang subur karena kesuburan
sebuah wilayah dapat diprediksi dari berbagai jenis sayur mayur yang
dihasilkannya. Tingkat pengetahuan, pemahaman, dan interaksi GTBU pun
berbeda-beda terhadap masing-masing jenis karena perbedaan interpendensi.
Keberagaman jenis sayuran disertai juga keberagaman pemanfaatannya. Seperti
misalnya ada jenis sayuran yang dimanfaatkan bunganya (turi putih dan turi
abang), buah/umbinya (semua jenis kara, labu, dan kacang, gambas, kelentang,
terong, timun, dan sebagainya), dan daaunnya (beberapa jenis bayem, kangkung,
gundha, kelor, genjer, dan sebagainya).
Keberagaman pemanfaatan, cara pengolahan, dan penamaan terhadap
entitas sayur-sayuran merepresentasikan kedalaman pengetahuan tradisonal
(indegenius knowledge) dan interaksi GTBU dengan sumber daya lingkungan
yang entitas sayur-sayurannya ada di dalamnya. Tabel berikut menunjukkan
keberagaman leksikon sayur-sayuran dalam BU.
Tabel 5.8
Keberagaman Leksikon Tanaman Sayur-sayuran Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abioti
k
turi turi + -
turi abang turi yang bunganya berwarna merah
dengan daun berwarna hijau keabu-abuan
Sesbanea
grandifora
+ -
turi putih turi yang bunganya putih Sesbanea
grandifora
+ -
Labu dan
jenisnya
labu labu + -
labu abang labu merah Cucurbita + -
132
moschata
labu kuning waluh Cucurbita pepo
labu putih bligo Lagrnaria
leucantha
+ -
labu siyem manisa Sechium edule + -
Kara dan
jemisnya
+ -
kara jenis polong-polongan dengan batang
merambat
Dolichos lablab
kara benguk jenis kara yang baunya benguk ‗langu‘ Mucuna
pruriens
+ -
kara abang kara merah (kulit buah berwarna merah) + -
kara ijo kara hijau (kulit buah berwarna hijau) + -
kara putih kara putih, kulit buah berwarna putih + -
kara komak kara komak, pada ujung biji ada guratan
seperti tanda ‗koma‘
+ -
kara pedang kara pedang, bentuk memanjang dan
melengkung seperti pedang.
+ -
kara utek kara otak, berbiji lembut dan apabila
dimasak warnanya putih seperti warna
otak dan rasanya gurih.
+ -
Kacang dan
jenisnya
+ -
kacang kacang + -
kacang brol kacang tanah Arachis
hypogeal
kacang ijo kacang hijau Phaseolus
radiates
+ -
kacang jangan kacang panjang Vigna sinensis + -
kacang kapri kacang kapri Pisum sativum + -
kacang
tunggak
kacang beras (kacang yang tingginya
setinggi tunggak yaitu ranjau yang terbuat
dari bilah bambu sebagai perangkap
Pisum vulgaris + -
kacang
usi(ose)
jenis kacang yang mengandung banyak
minyak karena rasanya empuk seperti uson
‗limpa‘ sapi.
+ -
Bayam dan
jenisnya dan
jenisnya
+ -
bayem bayam Amarantus
Lividus
+ -
bayem cina bayam cina. Jenis bayam yang warna
daunnya agak keputihan menyerupai kulit
orang keturunan Cina
Amrantus
melancholicus
bayem abang bayam merah. Bayam yang daunnya
berwarna kemerahan
Amarantus
spinosus
+ -
bayem eri bayam yang batangnya berduri + -
bayem kul baybam kul. Jenis bayam yang daunnya
bulat, kecil-kecil menyerupai kul ‗siput‘
+ -
bayem menir bayam menir (daun kecil-kecil seperti
menir)
+ -
ayem raja bayam raja (daunnya lebar-lebar dan
ukuran batang paling tingggi dibandingkan
dengan jenis lainnya)
+ -
133
bayem sapi bayam sapi (jenis bayam yang tumbuh
pada kotoran sapi)
+ -
bayem pasir bayam pasir (ketika dikonsumsi, ada rasa
seperti pasir)
+ -
Jamur dan
jenisnya
+ -
jamur + -
jamur dami jenis jamur yang biasanya ditemukan
tumbuh pada jerami
Monilia
javanica
jamur merang jenis jamur yang biasanya ditemukan
tumbuh pada merang padi
Hydnum fragile + -
jamur kepong jenis jamur yang biasanya ditemukan
tumbuh pada kepong ‗kotoran sapi‘ dan
tidak dapat dikonsumsi karena beracun
+ -
jamur kuping jenis jamur yang bentuknya seperti kuping Hirneola
tureecelaria
+ -
jamur ulan jenis jamur yang bentuknya bulat seperti
bulan
+ -
jamur menur jenis jamur berukuran kecil yang bentuk
dan warnanya seperti bunga melati.
+ -
jamur manuk jenis jamur yang tumbuhnya berkelompok-
kelompok seperti burung, berwarna putih
keci-kecil. Pada saat memetik seseorang
harus barteriak-teriak seperti menghalau
burung, supaya lebih banyak lagi
tumbuh/bermunculan di tanah
+ -
jamur gerigit jenis jamur yang cara makannya dengan
cara digigit (gerigit) karena sangat kenyal
+ -
jamur impes jenis jamur yang digunakan sebagai obat
puser bayi agar supaya lekas impes
‗kempes‘
Calvita bosvita + -
jamur lot jamurnya alot (liat/sulit) sehingga ketika
memetiknya harus dipukul-pukul agar
cepat terlepas.
+ -
jamur gajih jenis jamur dengan warna putih dan rasa
gurih seperti gajih (lemak)
+ -
Jenis sayur
lainnya
+ -
buncis buncis Glysin max + -
dhangsul kacang kedelai Luffa cylidrical
Gambas oyong Momordica
charantia
-
pare pare Momordica
chrantia
+ -
kelentang nuah kelor + -
tegok kecipir Psophacarpus
tetragonolobus
+ -
terong terong Solanum nigrum + -
timun mentimun Cucumis sativus + -
belimbing
wuluh
belimbing sayur Averrhoa
bilimbi
+ -
gundha jenis tumbuhan sayur yang ditanam di
sawah (di sela padi)
Sphaenoclea
zeylanica
+ -
katu daun katuk Saurapus + -
134
androgynus
kangkung kangkung Ipomoea
reptans
+ -
kelor kelor/marungga Moringa
oleifera
-
genjer genjer Limnocharis
flava
+ -
bagu daun muda pohon melinjo (melinjo) Eugenia
polyantha
+ -
manting pohon salam Syzygium
polyanthum
+ -
kemangi kemangi Ucimum
basilicum
+ -
kenikir kenikir Cosmos
caudatus
+ -
keningar keningar Cinnamomum
verum
+ -
lembayung + -
lucu kecombrang Nicolaia
speciosa
+ -
semanggi semanggi Marcilea
crenata
+ -
Di samping jenis sayuran yang dikenal secara luas, seperti buncis
(Phaseolus vulgaris), kangkung (Ipomoea reptans ), bayem (Amaratus tricolor),
dan sebagainya, di wilayah ini juga tumbuh jenis sayuran lokal yang juga
ditemukan tumbuh di daerah Jawa umumnya, seperti daun katu (Saurapus
androgynus), kenikir (Cosmos caudatus), keningar (Cinnamomum verum),
lembayung, genjer (Limnocharis flava), kelor (Moringa oleifera), dan semanggi
(Marcilea crenata) dengan tingkat populasi yang tinggi karena karakter
lingkungan dan topografi wilayah ini sangat cocok untuk semua jenis sayuran ini.
GTBU mengenal dengan baik khasiat dan lingkungan tempat tumbuh entitas-
entitas tersebut hingga saat ini.
Di antara jenis sayur-sayuran tersebut di atas, kelor ‗marungga‘, baik daun
maupun batangnya, memiliki peran penting dalam kehidupan sosial GTBU. Selain
digunakan sebagai bahan sayur sehari-hari, daun kelor dipakai sebagai penurun
135
panas badan dan penghilang luka memar, sedangkan batangnya dipakai sebagai
penolak bala. Entitas ini banyak ditemukan di pekarangan rumah penduduk.
Sementara itu, kenikir, keningar, lembayung, dan bunga turi adalah bahan sayur
urap yang dipakai dalam tumpeng serakat, selain pecel pithik. Dimilikinya
pengetahuan tentang sumber daya alam lingkungan, manfaat masing-masing jenis
sayuran, dan adanya kepercayaan tertentu tentang fungsi sayuran oleh GTBU
mempresentasikan adanya interaksi dan interdipendensi GTBU dengan
lingkungan alam dan juga pemahaman terhadap leksikon-leksikon yang mengacu
pada entitas-entitas sayuran tersebut.
(4) Keberagaman leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat bahasa Using
Banyak jenis tanaman obat dan bumbu yang tumbuh dengan baik di
lingkungan tempat tinggal GTBU. Dari semua kelompok tanaman obat dan
bumbu yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, ada yang
dimanfaatkan bunganya, batangnya, daunnya, atau umbi/akarnya. Pada bagian ini
leksikon-leksikon tanaman obat dan bumbu dibahas dalam satu bagian, karena
beberapa jenis entitas ada yang berfungsi ganda, bisa dipakai obat dan juga bisa
dipakai bumbu, seperti kunir ‘kunyit‘, temu kunci ‘temu kunci‘, kencur
‘kencur‘, laos ‘lengkuas‘ dan sebagainya. Banyak jenis tanaman obat dan
bumbu yang tumbuh dengan baik di lingkungan tempat tinggal GTBU dan jenis
sangat beragam, demikian juga leksikon-leksikon yang merepresenitasikannya. Di
antara jenis tanaman obat yang cukup dikenal di lingkungan GTBU adalah
kelompok temu dan jenisnya dengan khasiatnya masing-masing. Tumbuhan temu
ini paling banyak tumbuh liar di kebun-kebun penduduk, namun ada pula yang
136
dibudidayakannya dalam pot. Di antara jenis temu yang dikenal oleh masyarakat,
temu kunci adalah yang paling populer terutama di kalangan ibu rumah tangga
karena temu ini merupakan salah satu elemen bumbu dalam pembuatan sayur
bening, di samping kemangi dan bumbu lainnya. Sementara itu, temu cemeng dan
temu putih walaupun populasinya sedikit, namun cukup dikenal karena khasiatnya
sebagai boreh untuk bagian tubuh yang memar/bengkak karena benturan. Tabel
berikut menunjukkan beberapa nama dan jenis tanaman bumbu dan obat yang
tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang sekaligus mencerminkan
keberagaman leksikon yang mewadahinya.
Tabel 5.9
Keberagaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat
Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Temu dan
jenisnya
temu temu + -
temu cemeng temu hitam Curcuma
aeroginusa
-
temu kunir temu kunyit/kuning Curcuma
domestica
+ -
temu putih temu putih Curcuma
zedoaria
+
temu rapet temu rapat Kaempferia
rotunda
+ -
temu kunci temu kunci Kaempferia
pandurata
+ -
temu giring temu giring Curcuma
heyneana
+ -
Jenis
tanaman obat
dan bumbu
lainnya
bawang abang bawang merah Allium ceppa + -
bawang putih bawang putih Allium sativum +
bakung tumbuhan berumpun berbunga putih
yang hidup dipinggir kali yang
menyerupai sempol
Crinum asiaticum + -
bangle tumbuhan berumpun menyerupai
lengkuas yang umbinya berasa pahit
Zingiber
cassummunar
+ -
137
yang dapat digunakan sebagai obat
iles-iles iles-iles Arum masculatum + -
lempuyang lempuyang Zingiber
Americana
+ -
lempuyang
wangi
lempuyang wangi Zingiber
aromaticum
+ -
lempuyang
gajah
lempuyang gajah Zingiber
zerumber
+ -
jae jahe Zingiber
officinale
+ -
kencur kencur Kaempferia
galangal
+ -
kunir kunyit Curucuma
domestica
+ -
laos lengkuas Alpina galangal + -
sempol sempol,tumbuhan seperti lengkuas,
berbunga putih dan air bunganya dapat
dipakai sebagai obat tetes mata
Hedychium
coronarium
+ -
kembang
bintang
tumbuhan berbunga putih dengan
mahkota bunga berjumlah lima
tersusun menyerupai bintang.
+ -
Adas tumbuhan bergetah yang bijinya dapat
dijadikan obat/jamu
Foeniculum
vulgare
+ -
mahkota dewa mahkota dewa + -
kemiri kemiri Aleurites
mollucana
+ -
cabe cabe jawa Piper
retrofractum
+ -
cabe merah cabe merah Capsicum
annuum
+ -
cabe rawit cabe rawit Cartamus
frutescens
+ -
pulasari pulasari Alyxia stellate + -
Jinten jintan Coleus
amboinicus
+ -
kapulaga kapulaga Amomum
cardamomum
+ -
jemukus kemukus, tumbuhan rambat jenis lada-
ladaan/ lada berekor
Piper cubeba + -
cengkeh cengkeh Syzygium
aromaticum
+ -
sambiloto sambiloto, tumbuhan yang tinggi
batang hamper sama dandaunnya
sangat pahit dan dapat dipakai obat
panas dalam
Andrographis
paniculata
+ -
sembung sembung Bumea
balsamifera
+ -
deringu jerangu, yaitu jenis rumput-ruputan
yang tumbuh dengan subur di daerah
yang lembab, akar maupaun daunnya
dapat dipakai obat boreh
Acorus calamus + -
dilem tumbuhan dengan daun berbulu halus
dan berbau harum, dipakai untuk
campuran boreh bayi
Pogostemon
cablin
+ -
138
kayu putih tumbuhan yang daun dan kulit
batangnya disuling untuk bahan
minyak kayu putih
Melaleuca
leucadendra
+
kayu manis tumbuhan yang kulit batang pohonnya
berbau harum dan dipakai untuk
pemberi aroma dalam minuman atau
kue
Cinnamomum
verum
+ -
kumis kucing kumis kucing Orthosiphon
stamineus/
grandiflorus
+ -
legundi tumbuhan semak yang daunya
berwarna abu-abu keunguan yang
dapat digunakan sebagai obat pengusir
nyamuk.
Vitex trifolia + -
lidah buaya lidah buaya, tumbuhan untuk pencegah
panas dalam
Polygala
glamerata
+ -
luntas beluntas Pluchea indica + -
mangkokan umbuhan dengan daun menyerupai
mangkok dan berkhasiat untuk
menyuburkan rambut
Nothopanax
scutellarium
+ -
meniran jenis tanaman yang banyak ditemukan
di pekaranagn atau tegalan yang
dipakai untuk campuran jamu
penambah stamina
Phyllantus
urinaria/ niruri
+ -
tapak dara tumbuhan dengan bentuk bunga
menyerupai paruh burung merpati
Chataranthus
roseus
+ -
tapak liman tumbuhan yang tumbuhmenempel di
tanah dengan helai daun membentang
seperti jari-jari manusia
Elephantopus
scaber
+ -
sambung
nyawa
tumbuhan yang daunnya berkhasiat
sebagai obat untuk ‗menyambung
nyawa orang yang sudah sekarat‘
Gynura
procumbens
+ -
pecah beling pecah beling/peceh seribu Sthrobilanthes
crispus
+ -
urang-aring tumbuhan yang banyak ditemukan di
pematang atau saluran air di sawah
untuk penyuburkan rambut
Eclipta prostrate + -
sereh sereh Andropogon
citriodium
+
pule jenis tumbuhan yang getah dan kulit
pohonnya sangat pahit dan dipakai obat
Alsetonia
scholaris
+ -
teki rumput teki, jenis rumput yang akarnya
dapat dipakai boreh.
Cyperus rotundus + -
Di samping beberapa jenis temu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa
masih ada cukup banyak tanaman obat dan bumbu yang tumbuh di wilayah ini
dengan fungsi dan khasiatnya masing-masing, di samping tingkat populasinya
juga berbeda-beda. GTBU, khususnya generasi dewasa dan tua, mengetahui
dengan sangat baik ecoregion masing-masing entitas yang mana kebanyakan
139
ditemukan tumbuh di lahan kering seperti di lingkungan pekarangan rumah, di
pinggir jalan, semak belukar, kebun, dan sawah kecuali sempol ‘sempol‘
(Hedychium coronarium) dan urang aring ‘urang-aring‘ (eclipta prostrate) yang
tempat tumbuhnya di lahan basah (pinggir saluran air/parit). Di samping
berdasarkan tempat tumbuhnya, GTBU juga membedakan jenis tanaman
bumbu/obat berdasarkan jenis batangnya, yaitu ada yang berbatang tegak, perdu,
rumpun, menempel di tanah atau merambat. Tanaman yang termasuk berbatang
tegak adalah pule ‘pule‘ dan cengkeh ‘cengkeh‘; sedangkan yang tergolong
tanaman berumpun, di antaranya adalah kunir ‘kunyit‘, laos ‘lengkuas‘, temu
‘temu‘, sempol ‘sempol‘, dan jae ‘jahe‘. Tapak liman ‘tapak liman‘ dan , teki
‘teki‘ tumbuh menempel di tanah. Sementara itu, sambilata ‘sambiloto‘, legundi
‘legundi‘, kumis kucing ‘kumis kucing‘ dan luntas ‘beluntas‘ di antaranya
termasuk tanaman perdu. Pengetahuann mereka tentang banyak hal terkait dengan
tumbuhan obat dan bumbu ini, tentunya disertai dengan penngetahuan tentang
leksikon-leksikon pengacunya, mencerminkan adanya interaksi dan
interdependensi mereka terhadap entitas-entitas ini, di samping keberadaannya di
lingkungan hidup GTBU yang menjadi sumber daya lingkungan itu sendiri.
(5) Keberagaman leksikon tanaman bunga bahasa Using
Dengan kondisi topografis dan geografis yang begitu ideal, Kabupaten
Banyuwangi umumnya, dan daerah lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya,
sebenarnya merupakan ecoregion yang sangat cocok untuk tumbuhnya berbagai
jenis bunga, baik di wilayah dataran tinggi maupun dataran rendahnya. Namun,
pada kenyataannya, tidak banyak ditemukan tumbuhan bunga yang tumbuh, baik
140
secara liar maupun yang dibudidayakan, di wilayah ini. Jikalau pun ada,
fungsinya hanya sebagai tanaman hias yang ditanam di sekitar rumah atau
bahkan tumbuh liar di semak-semak. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya
interaksi dan interdipendensi kehidupan GTBU akan bunga. Walaupun
demikian, fenomena yang berbeda terjadi pada tiga jenis bunga, seperti wangsa
‘kenanga‘ (canangium odoratum), mawar ‘mawar‘ (rosa pamascena), pecari
’cempaka‘ (michelia alba/champaka), dan sundel ’sedap malam‘ (polyanthes
tuberose). Interaksi dan interelasi GTBU dengan ketiga entitas itu cukup tinggi.
Hal ini disebabkan oleh peran penting yang disandang oleh ketiga jenis bunga ini
dalam ritual slametan dan santet. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis
bunga yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU yang
mendukung keberagaman leksikon BU.
Tabel 5.10
Keberagaman Leksikon Tanaman Bunga Bahasa Using
Leksikon
BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiot
ik
pecari
putih
cempaka putih Michelia alba + -
pecari
kuning
cempaka kuning Michelia
champaka
+ -
peciring bunga gardena. Tumbuhan dengan mahkota
bunga berwarna putih dan majemuk.
Gardenia
augusta
+ -
pembang
gantil
kembang sepatu + -
kembang
merak
bunga merak, jenis bunga yang tangkai
sarinya menyerupai ekor burung merak
+ -
kembang
bojog
bunga dengan bentuk memanjang berwarna
merah seperti ekor monyet
+ -
menur bunga melati Yasminum
sambac
+ -
seruni Seruni Chrysantium
indicum
+ -
kembang
kertas
bugenfil Bougainvillea
spectabilis
+ -
141
serngenge bunga matahari Helianthus
annuus
+ -
kembang
sundel
bunga sedap malam Polyanthes
tuberose
+ -
mawar bunga mawar Rosa
pamascena
+ -
pacar pacar inai Lawsonia
incernis
+ -
Tunjung teratai Nymphaea lotus + -
widuri
putih
widuri putih Calotropis
gigantean
+ -
widuri biru widuri biru Calotropis
gigantean
+ -
kembang
bacin
bunga yang baunya seperti bacin ‗kotoran
manusia‘
Amorphophallus
variabilis
+ -
kembang
bangah
bunga bangkai Raflesiaceae + -
kembang
tembelekan
bunga tembelekan Lantana camara + -
kembang
kecubung
bunga dengan bentuk mahkota seperti
terompet dan bijinya memabukkan
+ -
tikul
balung
tikul balung Vitis quan-
drangularis
+ -
pecah
beling
pecah beling Sericocalyx
crispus
+ -
kemuning kemuning Muraya
paniculata
+ -
kembang
wangsa
kenanga Canangium
odoratum
+ -
sembuja bunga kamboja Plumiera
acuminate
+ -
Di samping ketiga jenis bunga tersebut, pecari ’cempaka‘ (michelia
alba/champaka) khususnya yang berwarna putih juga memegang peranan penting
dalam kehidupan GTBU karena bunga ini merupakan salah satu elemen (selain
kembang wangsa ‘bunga kenanga‘ dan kembang sundel ‘bunga sedap malam) dari
kembang dirma 3 yang disajikan untuk ‘dijual‘ pada saat pementasan tari ritual
Seblang. 4 .
Walaupun kebutuhan akan kembang wangsa, pecari, sundel, dan mawar
cukup banyak di wilayah , namun populasi keempatnya tidak banyak sehingga
pengetahuan yang dimilki oleh GTBU tentang bunga-bunga tersebut bukan karena
142
populasinya banyak, melainkan karena inetraksi mereka melalui ritual slametan.
Sementara itu, sembuja ‘kamboja‘ (plumiera acuminate) dan kembang menur
‘bunga melati‘ (yasminum sambac) juga cukup dikenal dan populasi keduanya
cukup banyak karena peran budaya yang diembannya, yakni keduanya terkait
dengan siklus hidup manusia. Sembuja ‘kamboja‘ banyak ditemukan di daerah
pekuburan yang terkait dengan kematian, sedangkan menur ‘bunga melati‘
dipakai penghias sanggul pengantin yang terkait dengan pernikahan. Peran apa
pun yang diemban oleh masing-masing bunga yang tumbuh di lingkungan tempat
tinggal GTBU, sudah pasti keberadaannya turut memperkaya keberagaman
khasanah leksikon BU yang membuatnya mungkin berbeda dengan leksikon-
leksikon bahasa daerah lainnya.
(6) Keberagaman leksikon tanaman kelapa bahasa Using
Karena kesuburannya, Kabupaten Banyuwangi menjadi tempat yang
sangat cocok untuk tempat tumbunya tanaman kelapa ‘kelapa‘ (cocos
municifera). Tanaman kelapa dapat dijumpai tumbuh di hampir semua wilayah
kabupaten ini. Kabupaten Banyuwangi merupakan penghasil kelapa terbesar di
Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Banyuwangi dalam Angka, 2009:146). Ada
beberapa jenis kelapa ditemukan tumbuh di wilayah ini, seperti kelapa bunyuk,
kelapa ijo, kelapa kopyor, kelapa puyuh, dan kelapa gadhing namun dengan
tingkat populasi yang berbeda-beda.
GTBU memiliki pengetahuan yang cukup dalam terhadap entitas kelapa
tersebut. Hal ini dapat diamati dari banyaknya leksikon tentang kelapa yang
mereka kenal. Di samping leksikon tentang kelima jenis kelapa, GTBU juga
143
mengenal leksikon yang mengacu pada bagian-bagian tanaman tersebut, seperti
janur ‘daun kelapa yang masih muda‘, belarak ‘daun kelapa kering‘ jeliring ‘lidi
daun kelapa‘, dan bongkok ‘tangkai daun kelapa‘. Selain jenisnya yang beragam,
GTBU khususnya juga memberikan nama-nama spesifik pada bagian-bagian
pohon kelapa. Hal ini disebabkan oleh interaksi,interelasi, dan interdepenensi
mereka yang tinggi dengan entitas ini. Tabel berikut menunjukkan keberagaman
leksikon BU tentang kelapa dan turunannya.
Tabel 5.11
Keberagaman Leksikon Tanaman Kelapa Bahasa Using
Leksikon
BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama
Latin
Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Kelapa dan
jenisnya
Kelapa kelapa Cocos
nucifera
+ -
kelapa
bunyuk
jenis kelapa yang tidak memiliki tapuk buah atau
gundul (bunyuk ‗gundul‘)
+ -
kelapa
kopyor
jenis kelapa yang daging buahnya encer + -
kelapa
puyuh
kelapa puyuh. + -
kelapa ijo kelapa yang tapuk buahnya selalu berwarna hijau
walaupun sudah kering
+ -
kelapa
gadhing
kelapa yang kulit buahnya berwarna kuning
(gading)
+ -
Bagian-
bagian
pohon
kelapa
janur daun kelapa yang masih muda + -
belarak daun kelapa yang sudah kering + -
bongkok tangkai daun kelapa + -
jeliring lidi daun kelapa + -
pol pangkal pelepah kelapa yang masih sangat muda
dan dapat dimakan
+ -
beluluk buah kelapa yang masih sangat muda + -
bathok tempurung buah kelapa + -
belangkokan tempurung beserta serabut kelapa + -
cikilan potongan buah kelapa + -
tombong daging yang tumbuh di tengah-tengah buah
kelapa yang sangat tua dan berwarna putih
+ -
dangu tangkai buah kelapa + -
144
mayang bunga pohon kelapa + -
tapas serabut pembungkus tangkai daun kelapa + -
tali papah tali terbuat dari serat pelepah daun kelapa + -
ruyung batang kelapa yang sudah ditebang dan siap untuk
bahan bangunan
+ -
Peralatan
terbuat dari
bagian
pohon
kelapa
+
Kepang anyaman silang miring terbuat dari daun kelapa + -
kisa wadah terbuat dari anyaman daun kelapa (tempat
ayam)
+ -
rinjing wadah berbentuk persegi empat terbuat dari
anyaman daun kelapa
+ -
sapu sapu + -
tepis alat untuk menepis nyamuk/lalat yang terbuat
dari ikatan lidi daun kelapa
kurih sapu kecil dan pendek terbuat ikatan lidi kelapa
untuk membersihkan wajan setelah selesai
menyangrai kopi/jagung
+ -
welit daun kelapa kering yang disusun untuk atap + -
sepet sikat yang terbuat dari serabut kelapa + -
bencorong tempurung kelapa untuk takaran beras + -
canting alat pencedok air berukuran kecil yang terbuat
dari tempurung kelapa yang diberi tangkai
+ -
siwur gayung terbuat dari batok kelapa yang diberi
tangkai
+ -
irus cedok/ sendok yang terbuat dari tempurung kelapa
untuk mengambil nasi
+ -
patar lekukan yang yang dibuat pada batang pohon
kelapa tempat injakan kaki ketika memanjat
+ -
Olahan
terbuat
buah kelapa
+ -
gulali penganan terbuat dari gula kelapa yang dimasak
hingga liat
+
koyah parutan kelapa yang disangrai + -
koprah kopra/ kelapa yang dijemur hingga kering
sebagai bahan dasar untuk minyak kelapa
+ -
sawur parutan kelapa yg diberi bumbu dan disangngrai + -
Bagian-bagian kelapa (khususnya janur,,
ruyung, dan buah kelapa
)
memiliki nilai ekonomi dan budaya yang sangat penting bagi GTBU. Secara
ekonomis, buah kelapa dan janur dapat dijual sehingga menghasilkan uang
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Kabupaten Banyuwangi
merupakan pemasok, khususnya buah kelapa untuk beberapa kabupaten kota di
145
Jawa Timur, seperti Surabaya, Mojokerto, Lamongan, dan sebagainya) dan juga
buah kelapa diolah menjadi beberapa jenis penganan seperti lidrik,sawur, gulali,
dan sebagainya. Sementara itu, ruyung ‘batang pohon kelapa yang sudah
ditebang‘ dapat dijual karena merupakan bahan bangunan yang kokoh.
Di samping peran ekonomi, buah kelapa dan janur juga memiliki peran
budaya dalam kehidupan GTBU karena keterpakaiannya dalam kegiatan adat
dan budaya yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu di beberapa desa di
beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Buah kelapa dipakai sebagai
bumbu pecel pitk, salah satu sajian dalam berbagai macam upacara slametan.
Sementara itu, janur dipakai sebagai hiasan rumah dan penjor pada acara
hajatan, khususnya upacara pernikahan, di samping juga dipakai kulit ketupat.
Di samping mengenal dan meleksikalisasikan setiap bagian dari pohon
kelapa secara rinci, dengan menggunakan pengetahuan dan peralatan
tradisionalnya, GTBU juga sangat kreatif dalam menciptakan peralatan yang
terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa. Pada tabel di atas terlihat bahwa lebih
dari sepuluh peralatan tradisional tercipta dengan memanfaatkan bagian-bagian
dari pohon kelapa. Dari lidi kelapa tercipta tiga peralatan yang fungsinya sama
yaitu sebagai alat untuk membersihkan namun berbeda dari segi ukuran. Sapu
adalah sebuah peralatan yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa yang berukuran
genggaman tangan orang dewasa‘ untuk membersihkan lantai atau halaman
rumah ; tepis adalah alat yang terbuat dari ikatan lidi daun kelapa dengan ukuran
lebih kecil dari sapu untuk menepis ‗memukul‘ nyamuk/lalat atau untuk
membersihkan tempat tidur; dan welit adalah sebuah alat seperti sapu kecil dan
146
pendek terbuat dari ikatan lidi kelapa untuk membersihkan wajan setelah selesai
menyangrai kopi/jagung. Dari fenomena ini tercermin interdipendensi dan
interaksi GTBU dengan entitas kelapa sangat tinggi, yang berdampak pada
keberagaman leksikon BU.
(7) Keberagaman leksikon tanaman bambu bahasa Using
Bambu yang dalam BU disebut jajang merupakan salah satu jenis
tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan mudah dan subur di daerah dataran
rendah, baik di lahan kering maupaun di lahan basah. Demikian halnya di
lingkungan tempat tinggal GTBU. Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan kunci dan pengamatan di lapangan kurang lebih ada lima belas jenis
bambu yang ditemukan tumbuh di daerah ini, seperti jajang apus, benel, peting,
petung, gabug, kuning, cemeng, wuluh, ori, pelet, surat dan sebagainya. Ada
beberapa jenis bambu yang memegang peranan penting dalam kehidupan GTBU
khususnya, seperti jajang petung dan jajang meluwuk. Kedua jenis jajang ini
memiliki diameter batang mencapai 30 cm sehingga sering digunakan untuk
tiang rumah atau katir jukung karena kokoh dan bentuk batangnya lurus.
Sementara itu, jajang pelet banyak dibudidayakan karena jajang ini merupakan
bahan dasar barang-barang kerajinan, seperti kursi tamu, dinding rumah, dan
beberapa barang kerajinan lainnya.
Dilihat dari segi kuantitas, jajang gabug populasinya terbanyak. Jajang
ini mudah tumbuh, namun tidak memiliki nilai ekonomi kecuali untuk kayu bakar
dan tiang bendera (umbul-umbul) karena dinding ruasnya tipis dan mudah patah
(berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan Bapak Seraj, budayawan
147
Using, pada 12 September 2010 di Dusun Krajan, Desa Kemiren, Kecamatan
Glagah). Keberagaman leksikon BU tentang bambu dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 5.12
Keberagaman Leksikon Tanaman Bambu Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Bambu dan
jenisnya
Jajang bambu + -
jajang apus jenis bambu dengan batang kuat dan
lentur sehingga sangat cocok untuk bahan
pengikat.
Giganto-
chloa apus
+ -
jajang benel jenis bambu yang benar-benar bambu
karena banyak manfaatnya
+ -
jajang peting jenis bambu ini ukurannya sama dengan
jajang benel. Dinamai demikian karena
jenis bambu ini sangat ‗penting‘ untuk
bangunan rumah karena kuat.
+ -
jajang petung jajang petung adalah jajang peting
dengan ukuran sangat besar dan sering
kali dipakai untuk katir jukung
Giganto-
chloa atter
+ -
jajang gabug gabug artinya kosong atau tidak berguna.
jenis _bambu ini dipakai hanya untuk
tangkai umbul-umbul dan kayu bakar
karena dinding ruasnya sangat tipis dan
mudah patah
+ -
jajang kuning bambu kuning Bambusa
vulgaris
+ -
jajang cemeng bambu hitam + -
jajang wuluh jenis bambu yang batangnya lurus
dengan dinding ruas sangat tipis dan
warnanya tidak kuning dan tidak hijau.‘
+ -
jajang ori jenis bambu yang berduri pada batang
dan rantingnya.
Bambusa
arundine-
ceae
+ -
jajang pellet bambu yang ada colet-colet ‗tutul-tutul‘
pada batangnya
+ -
jajang surat bambu yang ada guratan-guratan atau
garis-garis pada batangnya
+ -
jajang tutul bambu dengan ada bintik-bintik pada
batangnya
Bambusa
vulgaris
+ -
jajang meluwuk jenis bambu yang ukuran batangnya
melebihi ukuran jenis bambu-bambu
lainnya baik dari segi lingkar maupun
tinggi batangnya dan banyak dipakai
tiang rumah atau katir jukung/sampan)
+ -
jajang tali bambu yang sangat alot (kuat) dan + -
148
biasanya dipakai untuk tali pengikat
jajang watu bambu yang berdinding sangat tebal dan
dipakai pikulan singkek untuk
mengangkut batu.
Dendrocala-
mus strictus
+ -
jajang ampel bambu yang ditanam oleh Sunan Ampel,
atas suruhan Sunan Bonang pada saat
menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa
+ -
Bagian-bagian
batang bambu
barongan sekumpulan pangkal batang rumpun
bambu dari jenis apa saja
+ -
celumpring kelopak batang pohon bambu + -
ebung rebung/ bakal pohon bambu + -
serit bulu/duri halus pada batang/ kelopak
bambu
+ -
Peralatan
terbuat dari
batang bambu
kelakah bilah-bilah bambu yang dipakai sebagai
atap rumah
+ -
geladhag lantai terbuat dari bambu + -
irig wadah berbentu bulat yang berlubang-
lubang dibuat dari anyaman bamboo
+ -
galar bilah-bilah _bambu yang dianyam
sebagai alas dipan/tempat tidur
+ -
seseg dinding dari anyaman bambu + -
langkab anyaman bambu yang dipakai untk
dinding rumah dari bilah-bilah bambu
yang dianyam
+ -
lothek bilah-bilah kecil/tipis dari bambu + -
kemarang bakul nasi dari anyaman bambu yang
bentuk bingkai dan alasnya sama
+ -
keranjang bakul besar yang terbuat dari anyaman
bambu
+ -
kereneng keranjang kecil pembungkus buah-
buahan terbuat dari anyaman bambu
+ -
kicir bubu (anyaman bambu untuk menangkap
ikan)
+ -
nyiru alat terbuat dari anyaman bambu untuk
menampi beras
+ -
sawu tangguk penangkap ikan terbuat dari
bambu
+ -
seser jaring kecil untuk menangkap ikan di
sawah atau di parit/sungai
+ -
kukusan kukusan + -
beronjong keranjang besar dan panjang terbuat dari
anyaman bambu.
+ -
budhag wadah (bakul) besar yang terbuat dari
anyaman bambu untuk menyimpan hasil
panen (padi, kedelai, jagung, dan
sebaginya).
+ -
tumbu bakul bertutup terbuat dari anyaman
bambu untuk tempat nasi kala bepergian
+ -
tedhok wadah (tempat buah) terbuat dari + -
149
anyaman bambu berbentuk segi empat
tenong wadah terbuat dari anyaman bambu
dengan bingkai rotan
+ -
golong tabung yang terbuat dari ruas-ruas
bambu untuk mengangkut air sebelum
dikenalnya jerigen atau ember plastik
+ -
katir alat penyeimbang perahu yang terbuat
dari bambu
+ -
kentongan kentongan + -
berajag bilah-bilah bambu yang ujungnya
diruncingi dan dirangkai untuk
penghalang
+ -
beranding tali yang terbuat dari sayatan-sayatan
bambu
+ -
cokop bambu yang dibelah ujungnya lalu
dianyam dipakai untuk memetik jambu
atau mangga
+ -
cantuk pangkal batang bambu yang dipakai
untuk melumatkan bumbu
+ -
singkek alat pemikul terbuat dari bilahan bambu
yang bagian depan dan belakangnya
berbentuk segitiga
+ -
penguluran galah bambu tempat manggungkan
burung aduan
+ -
Di samping menampilkan beberapa leksikon dari berbagai jenis bambu,
tabel di atas juga mengandung sejumlah leksikon tentang bagian-bagian tanaman
bambu dan peralatan yang dibuat dengan bahan dasar bambu. Tampaknya,
tanaman bambu yang melimpah menumbuhkan kreativitas GTBU dari generasi
terdahulu dalam menciptakan barang-barang baru yang memperkaya
keberagaman leksikon BU. Karena modernisasi yang melanda kehidupan GTBU,
beberapa perlengkapan yang terbuat dari bambu tidak lagi dapat ditemukan di
tengah-tengah kehidupan mereka karena fungsinya sudah tergantikan oleh
produk-produk baru yang berbahan baku logam atau plastik yang lebih praktis
penggunaannya. Misalnya, tumbu/besek, yaitu sebuah bakul bertutup terbuat dari
anyaman bambu yang digunakan sebagai wadah nasi ketika bepergian fungsinya
telah digantikan oleh rantang plastik karena lebih praktis penggunaanya,
sedangkan tenong, yaitu suatu wadah terbuat dari anyaman bambu dengan bingkai
150
rotan saat ini fungsinya sudah digantikan oleh keranjang/ember plastik yang lebih
multifungsi. Demikian halnya yang terjadi pada kelat, yaitu alat pemotong dari
cabang batang bambu yang salah satu ujungnya diiris tipis, pada masa lalu dipakai
sebagai alat potong tali pusar bayi yang baru lahir, sekarang tidak lagi ditemukan
di tengah-tengan masyarakat karena sudah ada gunting sebagai penggantinya.
Sebaliknya, ada dua peralatan yang terbuat dari bambu yang masih ada dan
dipakai dalam kehidupan sehari-hari GTBU karena hampir setiap keluarga
memilikinya, yakni kemarang‘bakul tempat nasi yang terbuat dari anyaman
bambu‘ dan singkek/cingkek, yaitu alat pemikul (rumput, kayu bakar, atau hasil
sawah dan kebun lainnya) terbuat dari bilahan bambu, bagian depan dan belakang
berbentuk segitiga.
Dikenalnya berbagai jenis bambu, dinamainya bagaian-bagian bambu
secara detail, dan terciptanya berbagai peralatan yang berbahan dasar bambu
mengindikasikan adanya interaksi, interelasi, dan interidependensi antara GTBU
dan lingkungannya, di samping kedalaman pengetahuan lokal mereka tentang
perbambuan.
(8) Keberagaman leksikon tanaman lain bahasa Using
Selain beberapa tumbuhan yang telah disebutkan sebelumnya, di
lingkungan tempat tinggal GTBU ditemukan pula beberapa jenis tanaman lain
dengan manfaat dan tingkat populasi yang berbeda-beda. Kelompok tanaman
yang ditampilkan pada bagian ini umumnya yang ada kaitannya secara langsung
dengan kehidupan GTBU. Misalnya , lirang ‘enau‘, bagi GTBU entitas ini
memiliki peran penting dalam kehidupan mereka. Di samping dicari niranya,
151
kedhuk ‘ijuk‘ dari lirang ini diperlukan untuk menyaring air yang keluar dari
dalam tanah sebelum dialirkan ke kolam penampungan atau pancuran, sedangkan
daunnya, oleh kelompok masyarakat di daerah tertentu, dikeringkan untuk
pembukus tembakau untuk rokok. Hal yang sama juga terjadi pada penjalin
‘rotan‘ (calmus sp.). GTBU memanfaatkan penjalin untuk bingkai peralatan yang
terbuat dari bambu, seperti keranjang, tenong, tedhok, dan sebagainya, pelepah
daun dari entitas ini dulu dipakai ―mata‖ alat pemarut kelapa, sebelum fungsinya
digantikan oleh parutan yang terbuat dari besi atau logam lainnya.
Sementara itu, suruh ‘sirih (piper betle), di samping untuk perlengkapan
nginang bagi beberapa orang dewasa dan bagi hampir semua orang tua, juga
suruh kinang memiliki peran budaya, yaitu sebagai salah satu elemen dari ragi
kinang yang dipakai pada upacara slametan. Entitas ini biasanya dibudidayakan di
kebun-kebun atau di pekarangan rumah.
Tumbuhan lain yang cukup banyak populasinya dan dikenal oleh GTBU
yang hampir semuanya merupakan tumbuhan liar, yakni bungur ‘bungur‘
(lagerstoemia speciosa ) , kepuh ‘pohon kepuh‘ (bombax malaborium), kesambi
‘pohon kesambi‘ (schclechera oleosa), ketepeng kecil ‘petai cina‘ (cassia tora),
ketepeng kebo ‘lamtoro gung‘ (cassia alata), waru ‘pohon waru‘ (hibiscus
tiliaccus), dan sebagainya. Sementara itu, kelompok jati ‘pohon jati‘ (tectonia
grandis) baik jati emas ‘pohon jati emas‘ maupun jati landa ‘pohon jati belanda‘
(guazoma ulmifiola), cukup dikenal oleh GTBU karena nilai ekonomisnya tinggi
sehingga jenis ini dibudiyakan di lahan pertanian atau kebun. Tabel berikut
152
menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang tumbuhan selain kelompok-
kelompok yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Tabel 5.13
Kelompok Leksikon Tanaman Lain Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Enau dan bagian-
bagian dari
tanaman
lirang enau Arenga
pinnata
+ -
kedhuk ijuk + -
kolang-kaling buah pohon enau + -
mancung bungkus bunga pohon enau + -
manggar tangkai bunga pohon enau + -
kawung daun enau yang dikeringkan untuk
pembungkus rokok
+ -
sodho kulit pembalut bunga mayang enau + -
Lontar dan
bagian-bagiannya
gebyong/etal pohon lontar Borassus
flabellifer
+ -
siwalan buah pohon lontar + -
Rotan dan bagian-
bagiannya
penjalin pohon rotan Calmus sp. + -
geronong puah pohon rotan + -
doni daun pohon rotan + -
Pinang dan
bagian-bagiannya
pinang pinang Areca cathecu + -
mayang bunga pinang + -
upih kelopak tangkai daun pinang + -
Kapuk dan
bagian-bagiannya
randu pohon kapuk Ceiba
pentandra
+ -
karuk bunga pohon kapuk + -
pelenteng biji kapuk + -
Asam dan bagian-
bagiannya
asem pohon asam Tamarindus
indica
+ -
tempalok buah asam setengah matang
(mengkal)
+ -
kelingsi biji asam + -
asem kamal buah asam yang diawetkan + -
godhong asem daun asam + -
Jati dan jenisnya
153
jati pohon jati Tectonia
grandis
+ -
jati mas pohon jati emas + -
jati landa pohon jati belanda Guazoma
ulmifiola
+ -
Tembakau dan
jenis irisan
daunnya
bako tembakau + -
semprul irisan tembakau yang terbuat dari
daun tembakau empat daun terbawah
dan biasanya berbau apek
+ -
kerosok irisan tembakau kasar dan terbuat
dari daun tembakau sisa-sisa panen
+ -
Jenis tanaman
lainnya
bungur tumbuhan berbatang tegak yang dapat
dipakai untuk kerangka rumah
dengan bunga berwarna ungu, merah
muda atau putih
Lagerstroemia
speciosa
+ -
kepuh pohon kepuh/ randu alas Bombax
malaborium
+ -
Kesambi pohon kesambi Schleichera
oleosa
+ -
ketepeng kecil etai cina Cassia tora + -
ketepeng kebo lamtoro gung Cassia alata + -
putat pohon putat, jenis tumbuhan
berbatang tegak, pada musim tertentu
pohonny menjadi gundul karena
seleuh daunnya dimakan oleh ulat
berbulu abu-abu kekuningan
Barringtonia
spiccata
+ -
santen pohon santan , jenis tumbuhan yg
sering dipakai bahan pagar kebun
atau pekarangan
Toona sinensis + -
rau tumbuhan dengan buah sebesar bola
pingpong dan rasanya manis
+ -
weringin beringin, jenis tumbuhan berdahan
dan berdaun rindang serta berwarna
hijau tua dan beranting kecil-kecil
Ficus
benjamina
+ -
wunut bunut, jenis tumbuhan yang
menyerupai pohon beringin akan
tetapi berdaun lebih lebar
Focus indica + -
cemara pohon cemara Casuarinas
eqnisetifolia
+ -
kedawung kedaung Parkia
biglobosa
+ -
kenari kenari Canarium
commun
+ -
waru pohon waru, jenis tumbuhan berdaun
lebar yang sering digunakan untuk
makanan ternak
Hibiscus
tiliaccus
+ -
suruh sirih, jenis tanaman merambat yang
daunnya berguna untuk jamu
Piper betle + -
suruh kinang sirih untuk nginang Piper betle + -
154
suruh temu ros jenis suruh dengan tulang daun saling
bertemu, daunnya dapat dipakai
untuk obat
+ -
galing sejenis tumbuhan merambat,
getahnya dapat dipakai obat serta
dunnya dapat dipakai sebagai
makanan ternak
Vitis trifolia + -
simbukan tumbuhan melilit dan daunnya berbau
busuk, dapat dipakai untuk umpan
menangkap ikan dengan
menggunakan bubu
Saprosma
arboretum
+ -
sri wangkat jenis tanaman merambat yang
daunnya dipakai untuk sayur pada
tumpeng serakat
+ -
lung-lungan leng-lengan Leucas
lavandulifolia
+ -
Di samping itu, tabel di atas juga memperlihatkan beberapa nama dan jenis
tanaman lain yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU dengan tingkat
populasi dan manfaat yang berbeda-beda. Pinang ‗pinang‘, misalnya, adalah
tanaman yang tumbuh liar yang dengan mudah dapat ditemukan karena
populasinya banyak. Secara ekonomis, tanaman ini tidak memiliki nilai, namun
secara budaya perannya cukup penting, sebagai salah satu elemen kinang8.
Ada satu fenomena menarik terjadi pada entitas yang diacu oleh leksikon
semprul. Dikaitkan dengan bako ‗tembakau‘, leksikon semprul berarti irisan
tembakau yang berbau apek yang berasal dari daun tembakau sisa. Jika dikaitkan
dengan sifat manusia semprul berarti seseorang yang dapat membuat orang lain
merasa tidak senang/jengkel.
Pembudidayaan jenis entitas tertentu, dikenalnya ecoregion beberapa jenis
entitas, dan dimanfaatkannya bagian dari entitas tertentu sebagai peralatan
tradisonal untuk memudahkan hidup mereka, mencerminkan bahwa ada saling
ketergantungan antara GTBU dan lingkungan di sekitarnya. Dari interaksi,
155
interrelasi, dan interdependensi GTBU dengan lingkungannya, tercipta leksikon-
leksikon unik yang turut memperkaya khazanah leksikon BU.
2) Keberagaman leksikon fauna bahasa Using
Di samping kaya akan aneka ragam flora, Kabupaten Banyuwangi juga
kaya dengan berbagai jenis fauna. Hal ini dapat dilihat dari ditemukannya
berbagai jenis fauna, baik yang dipelihara maupun yang tidak dipelihara (liar).
Pengelompokan terhadap fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat
tinggal GTBU, dalam kajian ini, secara garis besar dibagi menjadi kelompok
mamalia, kelompok unggas, kelompok burung, kelompok reptil, kelompok ikan
air tawar, dan kelompok serangga. Berikut adalah uraian dari masing-masing
kelompok yang dimaksud.
(1) Keberagaman leksikon mamalia bahasa Using
Dalam hal keragaman fauna, khususnya kelompok mamalia, jumlahnya
tidak sebanyak kelompok fauna lainnya. Jenis fauna yang ditemukan hidup di
wilayah ini hampir sama dengan fauna yang hidup di wilayah Indonesia pada
umumnya. Walaupun demikian, ada keunikan dalam penamaan jenis fauna
tertentu sehingga menghasilkan leksikon-leksikon spesifik yang unik. Penamaan
pada jenis wedhus ‗kambing‘, misalnya, GTBU mengenal dan menamai wedhus
‗kambing‘ dengan sangat beragam, yang mungkin pada etnis lain tidak dikenal.
GTBU memberi nama
wedhus berdasarkan perbedaan penampilan fisik binatang ini. Misalnya,
GTBU membedakan wedhus gimbal dengan wedhus gibas berdasarkan bulunya.
Wedhus gibas berbulu lebih panjang yang selalu di-gibas-gibas-kan, sedangkan
156
wedhus gimbal berbulu sedikit lebih pendek dan bentuknya seperti rambut gimbal.
GTBU juga membedakan dan memberi nama wedhus berdasarkan ukuran tubuh,
yakni wedhus yang ukuran tubuhnya kecil dinamai wedhus kacangan (disamakan
ukurannya seolah-olah sebesar biji kacang), sementara yang bertubuh besar
disebut wedhus menggala (menggala artinya utama atau besar). Wedhus kendit
dibedakan dari wedhus lainnya melalui bulu putih melingkar dipinggang yang
menyerupai ikat pinggang yang dalam BU disebut kendhit. Fenomena ini juga
mencerminkan tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan
lingkungan dan entitas yang diacu oleh leksikonnya masing-masing. Tabel
berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU terkait dengan fauna dari
kelompok mamalia.
Tabel 5.14
Keberagaman Leksikon Mamalia Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Tikus dan
jenisnya
tikus tikus + -
tikus curut tikus bermulut runcing, berbadan kecil, dan
biasanya penglihatan kabur sehingga
berjalan selalu menepi
+ -
tikus kerot tikus rumah yang biasanya menggerogoti
bagian-bagian dan perabot rumah
+ -
tikus langu tikus yang selalu mengeluarkan bau anyir
dengan ukuran tubuh kecil
+ -
tikus got tikus yang hidupnya di ‗got‘ atau comberan
dan biasanya ukuran tubuhnya lebih besar
dibandingkan dengan ukuran tubuh tikus
lainnya
+ -
Kambing dan
jenisnya
wedhus kambing + -
wedhus
gimbal
jenis kambing dengan bulu gimbal + -
wedhus
kendhit
jenis kambing yang memiliki lingkaran
putih pada pinggang yang menyerupai sabuk
(ikat pinggang).
+ -
157
wedhus
kacangan
jenis kambing dengan ukuran tubuh kecil
yang diumpamakan seperti biji kacang
+ -
wedhus
menggala
jenis kambing berbadan besar dan telinga
panjang.
+ -
wedhus gibas berbulu/berambutn panjang yang sering di-
gibas-gibas’kan dan biasanya berbau apek
+ -
wedhus etawa jenis kambing hasil blasteran antara
kambing lokal dan kambing menggala
+ -
wedhus jawa kambing lokal + -
Jenis
binatang
lainnya
asu anjing Canis
familiaris
+ -
kirik anak anjing + -
jaran kuda Equus
caballus
-
kucing kucing + -
sapi sapi + -
bojog monyet Anthropoi-
dea
+ -
bantongan kera besar Macacus
synomolgus
+ -
celeng babi hutan Babyrausa + -
cuwut kera besar Macacus
synomolgus
+ -
delundheng linsang Prionodon
gracilis
+ -
garangan musang Paradoxurus
hermaphro-
ditus
+ -
kidhang kijang Muntiacus
muntjak
+ -
macan harimau Filis tigris + -
Walaupun GTBU hampir seluruhnya merupakan masyarakat Muslim, di
tengah-tengah mereka juga ditemukan populasi asu ‗anjing‘ walaupun dengan
jumlah yang sangat sedikit. Asu-asu ini dipelihara oleh mereka yang memiliki
lahan kebun untuk menjaga kebun mereka dari gangguan maling. Di samping itu,
masyarakat Banyuwangi umumnya dan GTBU khususnya sangat akrab dengan
leksikon asu ‗anjing‘ karena keterpakaiannya dalam umpatan ABC yang
merupakan singkatan dari asu ‗anjing‘, babi ‘babi‘,dan celeng ‗babi hutan‘.
Umpatan ini, tidaklah bersifat betul-betul mengumpat, melainkan hanya
158
spontanitas di antara mereka yang akrab satu sama lain. Singodimayan (81 tahun),
budayawan Using, menjelaskan bahwa umpatan ini dulunya merupakan kode
nama pasukan gerilyawan pada saat masyarakat Banyuwangi berperang melawan
Belanda pada jaman penjajahan. Nampaknya istilah ini masih dipakai oleh
anggota masyarakat tertentu, khususnya kelompok dewasa dan tua, untuk
menunjukkan keakraban. Sementara itu mamalia lainnya, yakni sapi ‗sapi‘, kebo
‗kerbau‘, dan jaran ‗kuda‘ memiliki peran sangat penting dalam kehidupan
GTBU. Sebagai masyarakat agraris, yang masih mengolah tanah secara
tradisional, GTBU membutuhkan tenaga hewan sapi dan kerbau untuk membantu
mereka dalam mengolah tanah sawah. Sebelum pengolahan sawah dimulai, sapi
atau kerbau ini dibuatkan slametan yang ditujukan kepada para leluhur dan roh
halus agar menjaga hewan peliharaan ini dan pengolahan sawah lancar, dan hasil
panen berhasil. Hal yang sama juga dilakukan setelah musim pengolahan sawah
dan musim tanam selesai.
Sementara itu, jaran ‗kuda‘ cukup dikenal oleh GTBU karena perannya
sebagai jaran kencak pada arak-arakan pengantin atau karnaval-karnaval lainnya.
Agar kondisinya prima jaran kencak-jaran kencak ini di-jamoni secara rutin di
samping diberikan makanan yang bermutu. Sama seperti yang dilakukan terhadap
sapi dan kebo mereka, pemilik jaran kencak juga membuat slametan paling
sedikit enam bulan sekali dengan tujuan agar kuda-kuda ini dilindungi oleh
leluhur dan roh-roh halus sehingga selalu berpenampilan prima dalam setiap
karnaval yang diikutinya.
159
Pengetahuan yang dimiliki GTBU tentang mamalia, interaksi, interelasi,
dan interdependensi mereka dengan beberapa mamalia merepresentasikan
kekayaan verbal GTBU dan kedalaman pengetahuan mereka terhadap sumber
daya alam karena kelompok mamalia maenjadi salah satu dari bagiannya.
(2) Keberagaman leksikon unggas bahasa Using
Hampir sama dengan di wilayah pulau Jawa lainnya, di wilayah komunitas
Using ditemukan juga hidup dan berkembang berbagai kelompok unggas beserta
jenisnya, seperti banyak ‗angsa‘, bebek ‗itik‘, bangsong ‗itik manila/mentok‘ dan
pithik ‗ayam‘ Di antara jenis unggas ini ada yang dibudidayakan, seperti pithik,
bebek, sedangkan bebek banyon ‗itik yang hidup di rawa-rawa hutan‘ dan pithik
alas ‗ayam hutan‘ adalah kelompok unggas yang hidup liar. Bebek ‘itik‘ sangat
banyak populasinya karena luasnya lahan persawahan sebagai tempat untuk
mengembalakannya. Baik bebek maupun pitik dibudidayakan lebih banyak untuk
menopang perekonomian GTBU.
Di samping nilai ekonomis yang diperankannya, unggas juga memiliki
peran kultural, khususnya pithik ‗ayam‘ yang berbulu putih dan tidak cacat. Ayam
putih mulus ini disajikan dalam bentuk pecel pithik, yang merupakan salah satu
unsur dalam beberapa upacara slametan. Tabel berikut menunjukkan
keberagaman leksikon BU tentang unggas.
Tabel 5.15
Keberagaman Leksikon Unggas Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Ayam dan
jenisnya
pitik ayam (secara umum) + -
160
pitik walik ayam dengan bulu terbalik, melengkung
keluar (seperti rambut keriting)
+ -
pitik cemara ayam dengan bulu seperti daun cemara + -
bangkok ayam keturunan ayam Bangkok + -
pitik alas ayam hutan + -
bekisar ayam bekisar + -
babon induk ayam + -
sawung ayam jantan/pejantan + -
Angsa dan
jenisnya
banyak angsa
berengul anak angsa + -
Bebek dan
jenisnya
+ -
bebek itik
bebek
banyong
itik yang hidup di rawa-rawa di hutan + -
bangsong itik manila + -
Bagian-
bagian tubuh
unggas
+ -
cekeker kaki unggas
cengger jengger unggas + -
cucuk paruh unggas + -
telampik sayap unggas + -
berutu bagian ekor unggas + -
(3) Keberagaman leksikon burung bahasa Using
Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu, lingkungan tempat tinggal
GTBU masih asri. Lahan persawahan dan kebun masih terbentang luas karena
sangat sedikit terjadi alih fungsi lahan. Karena keasrian lingkungannya, berbagai
kelompok burung dan jenisnya masih dengan mudah ditemukan. Akan tetapi,
jenis burung tertentu populasinya tinggal sedikit karena berbagai faktor, seperti
pemakaian pestisida untuk memberantas hama padi menyebabkan jenis bango
‗bangau‘ mati karena memakan bangkai belut atau binatang yang mati karena
pestisida yang digunakan petani. Di samping itu, perburuan terhadap jenis burung,
seperti jalak cemeng, bethet, bango, dan kacer mempunyai peran terhadap
sedikitnya populasi burung-burung tersebut.
161
GTBU sangat mengenal karakter beberapa jenis burung yang hidup di
lingkungan mereka. Hal ini tercermin pada nama yang diberikan pada entitas-
entitas tersebut. Misalnya, pengetahuan mereka terhadap kelompok burung pipit
(emprit), mereka dapat membedakan yang mana emprit uban ‗burung pipit
dengan bulu putih di bagian kepala‘, dan yang mana emprit gantil ‗burung pipit
yang sarangnya bergantung di dahan pohon‘. Jenis emprit yang disebut terakhir
ini memiliki julukan emprit priyayi atau emprit sugih karena di dalam sarangnya
terdapat lapisan-lapisan yang menyerupai kasur yang empuk. Hal ini tentu turut
memperkaya khasanah leksikon kealaman BU tentang kelompok emprit dan juga
terhadap kelompok burung lainnya. Kekayaan leksikon BU tentang burung dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.16
Keberagaman Leksikon Burung Bahasa Using
Leksikon
BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abiotik
Bango dan
jenisnya
bango bangau + -
bango kebo jenis bangau pemakan serangga yang hidup di
tubuh kerbau
Egretta alba + -
bango
thongthong
jenis bangau pemakan hewan di sawah, seerti
belut, katak, ikan kepala timah dan
sebagainya
Leptoptil
javanicus
+ -
bango
wedhus
burung bangau yang mencari makan di tubuh
kambing
Egretta ibis
intermedia
+ -
belekok jenis burung bangau bertubuh kecil Ardeola
speclosa
+ -
kuntul jenis burung bangau berbulu putih mulus dan
berkaki hitam, pemakan ikan, katak, dsb
Agretta
garzetta
+ -
Meliwis burung belibis Dendrozygn
a javanicus
+ -
Jalak dan
jenisnya
jalak burung jalak + -
jalak bali burung jalak berwarna putih, kecuali pada
bagian dada berwarna coklat muda
+ -
jalak burung jalak hitam, kecuali pada bagian + -
162
cemeng kepala berwarna putih
jalak suren burung jalak yang mencari makan pada bulu
kuda yang dikuncir setelah disisir (di-suren)
+ -
Pipit dan
jenisnya
emprit burung pipit + -
emprit
uban/bodol
burung pipit dengan bagian kepala berbulu
putih (seperti orang ubanan)
+ -
emprit
gantil
burung pipit yang sarangnya bergantung
(gantil) di dahan pohon
+ -
emprit
peking
jenis pipit dengan suara yang melingking dan
pemakan serangga-serangga kecil
+ -
emprit kaji jenis burung pipit dengan bulu berwarna –
warni, yang diumpamakan seperti orang kaya
(kaji atinya harga diri/kehormatan)
+ -
Jenis
burung
lainnya
ancel-ancel
angin
jenis burung yang gerakannya seperti orang
bersetubuh. (ancel artinya besetubuh)
+ -
belkatuk burung pelatuk, jenis burung yang membuat
sarang pada batang pohon yang sudah mati
dan rapuh dengan cara mematuk-matukan
paruhnya
+ -
bence burung berkicau yang pandai menirukan
kicauan burung lain
+ -
cucak rawa cucak rawa + -
culik burung kulik-kulik, jenis burung yang keluar
mencari makan menjelang malam hari.
Chalcococyx
honorata
+ -
gemek burung puyuh, burung yang tidak berekor + -
jegug enis burung hantu bertubuh besar dengan
sorotan mata yang sangat tajam dan
bertengger seperti orang njegugu ‗jongkok‘
+ -
kukuk
beluk
jenis burung hantu dengan ukuran tubuh lebih
kecil
+ -
kacer jenis burung berkicau + -
kakak tua burung kakak tua + -
kepodang burung kepodang + -
perenjak jenis burung berkicau + -
serigunting urung seri gunting, jenis burung berbulu hitam
dan berekor panjang terbelah dua menyerupai
gunting)
+ -
seriti burung walet + -
sikatan burung sikatan + -
tinil burung tinil + -
tuwu burung tuwu- tuwu + -
alap-alap burung buas pemakan burung kecil + -
bangkrak Burung pemakan ikan, berbulu hijau berparuh
merah
Geopelia
striata
+ -
betet burung betet (jenis kakak tua bertubuh lebih
kecil berbulu hijau dan berekor panjang
+ -
gagak burung gagak Carvus
macroryncus
+ -
gedhubug sejenis elang, bertubuh besar + -
163
samber
ulung
sejenis elang, bertubuh agak kecil, bermata
sangat tajam, ketika sangat ulung ketika
menyambar mangsanya
+ -
bidhol elang berjambul, pemakan reptil seperti ular + -
dara burung merpati + -
manyar burung manyar, jenis burung berkicau yang
membuat sarang pada pohon-pohon yang
berduri.
Ploceus
hypoxanthus
+ -
perkutut burung perkutut Geopelia
striata
+ -
gelatik burung gelatik, jenis burung berbulu berwarna
abu-abu kehitaman dengan hiasan merah pada
mata
Munia
oryzivora
+ -
Pengetahuan GTBU yang dalam tidak hanya terhadap kelompok emprit
saja, tetapi juga terhadap kelompok burung lainnya, seperti jalak. GTBU
mengenal dan dapat membedakan dengan baik masing-masing jenis burung ini.
Hal ini menandakan interaksi mereka dengan entitas ini berjalan denga baik pula
sehingga muncullah nama jalak putih ‗jalak yang bulunya berwarna putih di
selruh tubuhnya‘, jalak cemeng ‗jalak berbulu hitam di hampir seluruh tubuhnya
kecuali bagian dada yang berwarna putih. Sementara itu, jalak suren adalah
burung jalak yang mereka temukan mencari kutu pada bulu kuda yang disisir
(disuren). Sementara itu, penamaan terhadap burung lainnya hampir sama dengan
nama dalam BI, kecuali nama gemek ‗burung puyuh‘ yaitu sejenis burung yang
dulu ditemukan hidup liar di sawah namun sekarang banyak dibudidayakan oleh
masyarakat karena telurnya yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi.
Sementara itu, GTBU juga mengenal burung manyar, yaitu jenis burung
yang bersarang pada pohon-pohon berduri dan sekarang populasinya semakin
berkurang karena diburu untuk dijual. Beberapa anggota masyarakat menjuluki
burung ini burung arsitek karena bentuk sarangnya yang indah dan banyak bilik
untuk berkembang biak secara berkelompok. Kreativitas dalam penamanan
164
beberapa jenis burung mengindikasikan tingkat interaksi yang baik dengan
lingkungan hidup burung-burung ini sehingga berdampak pada bertambahnya
keberagaman leksikon BU tentang burung.
(4) Keberagaman leksikon reptil bahasa Using
Sama seperti di wilayah Indonesia pada umumnya, di lingkungan tempat
tinggal GTBU khususnya juga ditemukan berbagai macam reptil beserta jenisnya,
namun dengan tingkat populasi yang berbeda-beda. Sebagai daerah pertanian
lahan basah, di wilayah ini banyak ditemukan reptil dari jenis ular dan katak.
GTBU mengenal delapan belas jenis ular dan mereka menamai ular-ular tersebut
berdasarkan perbedaan ciri fisik, warna, dan sifat. Berdasarkan warnanya, ada
ula luwuk ‗ular hijau‘ dan ula gadhung ‗ular hijau kekuning-kuningan seperti
warna kulit mangga gadung‘. Berdasarkan tempat hidupnya, ada ula sawa ‗ular
sawah‘, sedangkan nama ular berdasarkan sifat ada ula kelasa ‗bergerak
menggulung seperti kelasa tikar dan ula silara ‗kalau terinjak dia merasa lara
‗sakit‘ baru menggigit orang yang menginjaknya. Sementara itu, ula jali, ula
cinde, dan ula walur adalah nama-nama ular berdasarkan ciri fisiknya. Penamaan
ular yang sangat cermat dan kreatif sangat memperkaya leksikon BU. Tabel
berikut menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang reptil.
165
Tabel 5.17
Keberagaman Leksikon Reptil Bahasa Using
Leksikon
BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Bioti
k
Abiotik
Kodok dan
jenisnya
bangkrak jenis katak yang kulitnya berwarna coklat dan
beracun
+ -
bangkong kodok besar -
Kentus sejenis katak + -
Ular dan
jenisnya
ula
gadhung
jenis ular dengan warna sisik hijau seperti warna
mangga gadung (tidak hijau dan tidak kuning)
+ -
ula dhawu ular dengan panjang melebihi ukuran panjang
dari ular-ular lainnya (dhawu=dhawa ‗panjang‘
+ -
ula irus ular kobra, jenis ular dengan bentuk kepala
menyerupai irus ‗sendok dari tempurung kelapa‘
Naja
sputatrix
+ -
ula jali jenis ular yang sisiknya bermotif jali, alur hitam
dengan lintang putih
+ -
ula lanang ular jantan dari ular kayu, warna ½ kuning
(kepala), dan setengah hitam (badan). Selalu
jantan
+ -
ula lumbu jenis ular yang kulitnya berbintik-bintik seperti
daun tumbuhan lumbu
+ -
ula sungu jenis ular yang memiliki sungu ‗sungut‘ atau
benjolan yang menyerupai tanduk pada kepala
+ -
ula walur jenis ular yang sisiknya ada bintik-bintik putih
yang menyerupai tumbuhan walur yaitu nama
tumbuhan yang hidup di hutan (alas).
+ -
ula welang ular yang bentuk fisiknya seperti ular jali, tetapi
ukurannya besar dan sisiknya berwarna belang-
belang
Bungarus
fusciatus
+ -
ula
gadhung
warna sisiknya hijau seperti warna mangga
gadung (tidak hijau dan tidak kuning)
+ -
ula lampar jenis ular yang sisiknya berwarna seperti lampar
‗wuluh‘ karena warna ular ini kuning seperti
buluh dijemur
+ -
ula luwuk jenis ular yang berwarna luwuk ‗hijau‘ dengan
ekor merah
+ -
ula kayu jenis ular yang warna sisiknya seperti kayu,
keabuan dan ukurannya panjang
Trimeresurus
albolabris
+ -
ula kelasa jenis ular yang bergerak dengan cara
menggelundung seperti menggulung tikar.
+
ula sawa jenis ular yang hidup di daerah persawahan dan
pemakan tikus hama padi.
+ -
ulo silara jenis ular yang kalau tidak diganggu dan tidak
merasa lara ‗sakit, tidak akan menggigit.
+ -
ula weling jenis ular yang sisik dan ukurannya hampir sama
dengan ula jali dan kalau diinjak, ular ini akan
mengingatkan (eling)kita akan kehadirannya
+ -
166
dengan cara melilit sambil menggigit kaki kita.
Jenis reptil
lainnya
bajul buaya Crocodiles
porosus
+ -
nyambit biawak Valaranus
salvator
+ -
kura kura-kura Testudini-dae + -
kadal bengkarung Tachy-
dromus
seclineatus
+ -
cecek cicak Hemidactylus
frenatus
+ -
tekek tokek + -
(5) Keberagaman leksikon serangga bahasa Using
Berbagai macam fauna ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal
GTBU dan kelompok serangga merupakan kelompok fauna yang paling banyak
dari segi jenis dan jumlah. Berbeda dengan kelompok fauna lainnya, hampir
semua serangga memiliki banyak jenis sehingga khasanah leksikon yang
mengacunya juga menjadi beragam. GTBU mengenal enam jenis ulat yang
penamaannya berdasarkan beberapa hal, seperti berdasarkan efek yang
ditimbulkannya ada uler genit dan uler senggeni; dan berdasarkan ciri fisiknya
ada uler jaran, ula jembut, dan uler wulu.
Berbeda dari segi jumlah jenisnya dibandingkan dengan uler ‗ulat‘, GTBU
mengenal kurang lebih empat belas jenis dudhuk ‗capung‘ dengan berbagai latar
belakang penamaan. Ada yang diberi nama berdasarkan warnanya, seperti dudhuk
abang, dudhuk kuning; ada diberi nama berdasarkan ciri fisik, seperti duduk
edhom (ekornya runcing seperti edom ‗jarum yang ujungnya runcing‘, dudhuk
cutrik ‗capung yang sangat kurus seperti cantri/petruk), dan dudhuk macan
‗guratan kulitnya loreng-loreng seperti macan‘. Sementara itu, dudhuk cilik,
dudhuk menggala, dan dudhuk ruyung adalah nama-nama capung berdasarkan
167
ukuran tubuhnya, sedangkan dudhuk maling adalah penamaan berdasarkan cara
hidupnya, yaitu keluar hanya pada malam hari seperti maling. Tabel berikut
menunjukkan keberagaman leksikon BU tentang serangga.
Tabel 5.18
Keberagaman Leksikon Serangga Bahasa Using
Leksikon
BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama
Latin
Kategori lingkungan
Biotik Abiotik
Ulat dan
jenisnya
uler ulat + -
uler geni ulat yang bulunya apabila mengenai kulit terasa
panas seperti terbakar api
+ -
uler
senggenit
ulat yang bulunya apabila mengenai kulit terasa
genit ‗gatal‘
+ -
uler jaran ulat yang bersungut dua, bagian badan datar
seperti sadel kuda. Ulat dewasa memiliki ekor
seperti kuda
+ -
uler wulu ulat dengan banyak bulu + -
uler
jembut
ulat yang warna bulunya hitam seperti warna
rambut
+ -
uler keket ulat yang berbulu warna-warni, kalau dipegang
mengeluarkan suara ket-ket
+ -
Capung
dan
jenisnya
dudhuk capung + -
dudhuk
cutrik
capung yg sangat kurus seperti cantrik/ petruk + -
dudhuk
edhom
capung yang ekornya seperti dom (jarum) + -
dudhuk
abang
capung merah + -
dudhuk
kuning
capung kuning + -
dudhuk
macan
capung macan, warna guratan kulitnya, loreng-
loreng spt macan
+ -
dudhuk
ruyung
capung yang warnanya seperti warna pohon
kelapa kering dengan bingkai putih
+ -
dudhuk
terasi
jenis capung yang warnanya ungu kehitaman,
seperti warna terasi
+ -
dudhuk
cilik
capung yang badannya berukuran kecil dan
hidup di atas permukaan air yang mengalir
+ -
dudhuk
gerobok
capung gajah, ukurannya paling besar, untuk
menangkapnya digunakan capung kecil, sambil
mengucapkan drok, drok, drok
+ -
dudhuk
menggala
capung besar (manggala), berwarna merah tua
dan sangat galak
+ -
dudhuk
maling
capung yg keluarnya pada malam hari seperti
maling ‗pencuri‘, makanannya berupa lemud,
+ -
168
serangga kecil bertubuh lunak yang biasa
beterbangan menjelang malam.
udhuk
entelong
capung yang gerakannya entelong-entelong
‘mengendap-endap‘ di atas permukaan air
sambil membuang telurnya
+ -
Tawon
dan
jenisnya
tawon tawon + -
tawon
sruk
tawon yang bersarang di tempat yang jeru
‘dalam‘ di dalam (tanah)
+ -
tawon
kenceng
tawon yang bersarang pada reng atau langit-
langit rumah
+ -
tawon
keroso
tawon yang bentuk sarangnya seperti keroso
‗wadah terbuat dari anyaman daun kelapa
berbentuk bulat lonjong‘.
+ -
tawon
gung
tawon dengan ukuran sarang sangat besar + -
tawon
kunir
tawon yang warnanya kuning seperti kunyit
gigitannya menyebabkan gatal, dan ukuran
tubuhnya kecil
+ -
tawon
terasi/
gagak
tawon yang warnanya hitam seperti
gagak/terasi
+
tawon
macan
jenis tawon yang warna tubuhnya loreng-
loreng seperti macan
+
tawon
menggala
enis tawon yang ukuran tubuhnya paling besar
dan sangat ganas. Kalau merasa terganggu,
tawon ini akan mengejar
lawanya/pengganggunya di manapun
sembunyi
+ -
tawon
rowan
lebah madu -
Belalang
dan
jenisnya
walang belalang + -
walang
gancong
jenis belalang yang tubuhnya berbentuk pipih
seperti salah satu sisi mata gancong yaitu
sejenis cangkul yang bermata dua, yang satu
ujungnya pipih, sedangkan yang lainnya
runcing
+ -
walang
jaran
jenis belalang yang punggungnya datar
menyerupai pelana kuda
+ -
walang
kalung
jenis belalang yang memiliki lingkaran kuning
pada lehernya yang menyerupai kalung
+
walang
godhong
belalang daun, jenis belalang yang banyak
ditemukan pada daun pepohonan yang tumbuh
di semak-semak.
+ -
walang
kadhung
enis belalang yang gerakannya menyerupai
orang madhung ‗memanggul‘ kayu.
+ -
walang
kayu
jenis belalang yang berwarna abu-abu
kecoklatan seperti warna kayu
+ -
walang jenis belalang dengan ukuran tubuh kecil, + -
169
watu berwarna hitam seperti batu dan hidup di air
kali-kali/sungai
walang
keretek
jenis belalang yang mengeluarkan bunyi
keretek-keretek di malam hari
+ -
walang
pari
jenis belalang yang makan daun padi sehingga
tanaman padi tidak dapat tumbuh dengan
sempurna
+ -
walang
sangit
jenis belalang yang kencingnya berbau ‗sangit‘
yang dapat menyebabkan daun padi menjadi
layu
+ -
walang
selethet
belalang yang gigitannya nyelethet + -
walang
gebog
jenis belalang yang selalu ditemukan hidup
berkelompok (gebog artinya seikat/ segulung)
+ -
Kupu-
kupu dan
jenisnya
kupu kupu-kupu + -
kupu
abang
kupu-kupu yang sayapnya berwarna merah + -
kupu ijo kupu-kupu yang sayapnya berwarna hijau + -
kupu
kuning
kupu-kupu yang sayapnya berwarna kuning +
kupu
putih
kupu-kupu yang sayapnya berwarna putih + -
kupu
cedhung
kupu-kupu bertubuh besar + -
kupu kithi kupu-kupu bertubuh kecil + -
Semut
dan
jenisnya
semut semut + -
semut
abang
semut merah Plagio-
lepsis
longipes
+ -
semut
cemeng
semut hitam -
semut
gatel
semut kecil-keci berwarna coklat kehitaman,
dan gigitannya meneyebabkan gatal
+ -
semut
geni
semut api, jenis semut yang gigitannya
menyebabkan panas seperti kena api
Tetra-
ponera
rufonigra
-
semut
angkrang
semut berjalan dengan cara melangkrang
‗merangkak‘
Occphylla
smaragina
+ -
semut
pudhak
jenis semut yang ditemukan pada pudhak
(sejenis pandan yang bunganya berbau sangat
harum) .
Topinoma
melano-
cephalum
+ -
Lalat dan
jenisnya
laler lalat + -
laler lalat rumah + -
170
cemeng
laler ijo/
buyung
lalat hijau + -
Kumban
g dan
jenisnya
kuwang-
wang
kumbang kelapa + -
Kutis kumbang tahi + -
bapak
pucung
kumbang daun + -
gasir kumbang yang mengorek-ngorek tanah untuk
membuat sarang
+ -
ancruk kumbang/ serangga pemakan daun kelapa yang
masih muda, yang dapat mematikan pohon
kelapa
+ -
samber
ilen
umbang janti, sejenis kumbang bertubuh
sedang dan sayapnya berwarna hijau berkilau-
kilau.
+ -
Jenis
serangga
lainnya
-
Keremi kutu ayam yang muncul pada saat ayam
bertelur hingga menetas
+ -
lingsa telur kutu kepala + -
limpit jenis kutu yang ditemukan pada ternak + -
kala
jengking
jenis serangga yang bergerak sambil njengking
‗nungging‘
+ -
kala supit jenis serangga/kala jengking yang sepitnya
lebih besar
+ -
tumo rerangga yang hidup pada lipatan-lipatan kain
yang sudah lusuh
+ -
rengit nyamuk + -
berecung jentik-jentik nyamuk + -
pucung serangga kecil yang berwarna merah + -
angkut-
angkut
sejenis serangga yang membuat sarang dari
tanah dan menempelkan sarangnya pada
dinding bangunan atau pohon-pohon sehingga
seperti tersangkut
+ -
lare
angon
serangga yang hidup di permukaan air sawah
(banyak muncul menjelang musim tanam padi).
+ -
tengu tungau, kutu kecil yang sering ditemukan pada
ayam
-
kunang kunang-kunang + -
kengkrik jangkrik -
jekethit sejenis jangkrik dengan ukuran tubuh lebih
kecil
+ -
Di samping capung dan ulat, tabel di atas juga memperlihatkan bahwa
GTBU juga mengenal banyak jenis tawon dan belalang. Ada sembilan jenis tawon
171
dan dua belas jenis belalang yang mereka kenal dengan tempat hidup dan populasi
yang berbeda-beda. Tawon kenceng adalah tawon yang banyak ditemukan
bersarang pada langit-langit rumah sangat banyak populasinya sehingga hampir
semua masyarakat dengan mudah dapat menemukannya. Sebaliknya, tawon sruk
sangat sulit ditemukan karena bersarang di dalam tanah pada kedalaman tertentu.
Sesuatu yang unik, yakni GTBU memberikan julukan tawon menggala dengan
sebutan tawon kirapa karena tawon jenis ini sangat ganas dan akan menyerang
musuhnya tanpa ―kira-kira‖, dimana pun musuhnya bersembunyi selalu dikejar
dan dapat menimbulkan kematian karena keganasan racunnya.
Sementara itu, dari kelompok belalang yang sangat dikenal adalah walang
sangit. Di samping bau kencingnya yang sangat menyengat, keterkenalan belalang
ini juga karena kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman padi yang bisa
menyebabkan petani mengalami kerugian yang sangat besar. Walaupun walang
pari juga merusak padi karena memakan daunnya, kerusakan yang ditimbulkan
tidak separah kerusakan yang ditimbulkan oleh walang sangit karena membuat
bulir padi gabug ‗kosong‘. Walang lain yang juga cukup dikenal adalah walang
kadhung, yaitu jenis belalang berkaki panjang dengan kaki depan yang selalu
dilipat seperti orang madhung ‗memikul‘ sesuatu. Belalang ini sering dipakai
mainan oleh anak-anak karena gerakan-gerakannya yang lucu.
(6) Keberagaman leksikon ikan air tawar bahasa Using
Air yang berlimpah merupakan tempat yang baik untuk berkembang
biaknya berbagai jenis ikan air tawar, baik yang dibudidayakan maupun yang
hidup liar. Fenomena ini juga terjadi di wilayah tempat tinggal GTBU terutama di
172
beberapa wilayah kecamatan, seperti Kecamatan Glagah dan Kabat tempat
terdapatnya banyak mata air karena GTBU sangat menjaga kelestarian mata air
ini dengan baik sesuai dengan petunjuk leluhur mereka. Untuk menunjukkan rasa
terima kasih mereka kepada leluhur dan juga kepada Tuhan karena telah
menciptakan mata air serta menjaganya untuk anak cucu, GTBU mengadakan
sebuah upacara yang dinamai Rebo Wekasan.
Banyak jenis ikan air tawar yang hidup di perairan di lingkunganan tempat
tinggal GTBU khususnya dan di Kabupaten Banyuwangi umumnya. Di antara
jenis ikan air tawar yang cukup terkenal melalui pembudidayaan karena memiliki
nilai ekonomi cukup tinggi adalah wader, sengkaring, gurame, mujaher, tombro,
lele, dan welut (Banyuwangi dalam Angka, 2009:166-170). Sementara itu, jenis-
jenis ikan yang cukup terkenal, namun tidak dibudidayakan di antaranya adalah
deleg, cokol, uceng, dan kuniran (hasil wawancara dengan informan kunci dan
pengamatan). Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon BUtentang ikan
air tawar.
Tabel 5.19
Keberagaman Leksikon Ikan Air Tawar Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin Kategori
lingkungan
Biotik Abioti
k
sepat ikan sepat, ikan air tawar bersisik
halus, sebagai bahan dasar ikan kering
Trichogaster
thichopterus
+ -
badher ikan wader + -
gurameh ikan gurami Osphromenus
olfa
+ -
sengkaring ikan sengkaring + -
tombro ikan tombro + -
lele lele Clarius
melanoderma
+ -
mujaher ikan mujaher Tiapia mas + -
tawes ikan tawes Puntius javanicus + -
nilem kan nila + -
173
bedhul ikan bedul dan hidup di sungai + -
cokol ikan di sungai berwarna kehitaman + -
deleg ikan gabus Ophiocephalus
striatus
+ -
geruyu ketam (kepiting) yang hidup di
sungai
+ -
mendhil ikan bertubuh kecil yang ditemukan
hidup di parit-parit atau sungai
+ -
meniran ikan air tawar dengan ukuran tubuh
kecil seperti menir
+ -
telekan ikan yang ditemukan hidup di sungai
dengan warna sisik hijau kehitaman
+ -
uceng-uceng ikan uceng + -
kuniran ikan yang hidup di sungai yang badan
bagian bawah berwarna kekuning-
kuningan
+ -
welut belut Monopterus
albus
+ -
encit ikan air tawar yang warna tubuhnya
transparan
+ -
bibis ikan bibis + -
oling ikan oling + -
urang udang air tawar Crustacean + -
5.3.1.2 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
Berkategori Verba
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, leksikon suatu bahasa
secara keseluruhan merupakan inventaris tentang semua objek atau benda-benda,
pemikiran, kepentingan, dan aktivitas/tindakan yang dianggap penting dalam
kehidupan sebuah guyub tutur. Semua hal yang dianggap penting tersebut diberi
label atau nama dalam bahasa mereka dalam bentuk leksikon-leksikon yang
bermakna yang merepresentasikan budaya mereka. Fenomena ini juga terjadi
dalam guyub tutur GTBU.
174
Leksikon kealaman BU tidak saja beragam dari jenis leksikon nominanya
tetapi, juga dari jenis leksikon verbanya. Leksikon-leksikon verba ini merupakan
rekaman dari berbagai aktivitas GTBU terkait dengan kehidupan sehari-hari dan
lingkungan tempat tinggal mereka. Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah
dengan kondisi topografis dataran tinggi dan dataran rendah yang subur dengan
air yang berlimpah serta keadaan geografis dengan curah hujan yang tinggi, tentu
sangat banyak aktivitas yang dilakukan GTBU terhadap lingkungan mereka. Hal
ini terekam dalam leksikon verba BU.
Leksikon verba pada bagian ini dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
yakni leksikon verba BU terkait dengan aktivitas di lahan pertanian dan lahan
perkebunan, leksikon verba BU tentang aktivitas sosial, dan leksikon verba
tentang aktivitas fauna. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang
dimaksud.
5.3.2.1 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang
Aktivitas di Lahan Pertanian dan Kebun
Seperti diketahui bahwa mayoritas dari GTBU bermata pencaharian
petani khususnya petani lahan basah. Hal ini sangat sesuai dengan keadaan
topografis, letak geografis, dan kesuburan lahan di wilayah tersebut. Sangat
banyak aktivitas yan mereka lakukan di lahan pertanian maupun kebun mereka,
baik terkait dengan flora, fauna, dan lingkungan yang mereka kenal dan akrabi.
Semua aktivitas tersebut terekam dalam memori mereka dan dikodekan secara
lingual sehingga melahirkan leksikon-leksikon verba tentang lingkungan alam
yang beragam yang memperkaya khasanah leksikon kealaman BU yang
175
membuatnya berbeda dengan BD lainnya yang ada di wilayah nusantara.Tabel
berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU terkait dengan aktivitas
GTBU di lahan pertanian dan kebun.
Tabel 5.20
Keberagaman Leksikon Bahasa Using tentang Aktivitas
di Lahan Pertanian dan Kebun
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI
mbebeng menutup saluran air
nyirati menyirami sesuatu dengan air
mbubak memecah tanah dengan menggunakan bajak atau cangkul (setelah habis
panen)
nambaki menahan alira air ke petak sawah berikutnya
nyacal menggemburkan tanah sawah, kebun atau pekarangan dengan
menggunakan cangkul bukan bajak
ngempet menahan saluran air dengan menggunakan jerami atau benda-benda
lainnya
nggagas mengambil sisa-sisa padi atau gabah setelah panen dilakukan
nggebros/nggampung memanen atau mengetam padi
nggejig membuat lubang dalam tanah untuk menanam benih
nggulud meninggikan tanah sawah atau kebun (membuat gundukan)
ngileni (tentang
sawah)
mengairi sawah
mbalong menggenangi petakan-petakan sawah dengan air yang cukup dalam untuk
menunggu ditanami
melar membajak tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering
ngeremponi meratakan tanah sawah sebelum ditanami
matun embersihkan gulma di sela-sela tanaman padi
nyebar menebar benih padi, palawija, dan sebagainya di lading atau sawah
ngurit enyemai bakal benih
nguter memindahkan benih dari tempat pembenihan ke tempat penanaman
permanent
mberubuk membuat tanah menjadi gembur
nggrujug menyirami seseuatu dengan air
ngunduh memetik sesuatu (tentang buah, bunga)
mbeseh menyayat kulit pohon
ndekung mencangkok tanaman
nderes menyadap tuak/nira dari pohon enau
ngenam menganyam sesuatu (daun kelapa, bilah-bilah bamboo)
nggepluki memebelah buah kelapa dengan kapak
ngonceti menguliti sesuatu (tentang buah)
ngorag/ngureg mengoyang-goyangkan batang pohon agar buahnya berjatuhan (tentang
pohon mangga, jambu, dsb)
majeg/nebas menaruh cairan aren (bahan gula di dalam cetakan yang terbuat dari
gelang-gelang bamboo atau daun lontar)
macaki mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak
nyumbat menguliti kelapa dengan sumbat
ngerimbas membuang kulit pohon dan membentuk kayunya menjadi balok-balok
176
kayu
nyelogrok menjolok (tentang buah)
nyangkrab membersihkan pohon dari ranting-rantingnya
nanceb menanam pagar hidup untuk kebun atau pekarangan rumah
notor memotong ranting atau dahan pohon
mepe menjemur kelapa bahan kopra dengan cara menebarkannya di atas
anyaman bambu atau tikar plastik
Jikalau diperhatikan dengan saksama, tabel di atas menunjukkan bahwa
ada 20 leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan kebun, dari mulai
mengairi sawah, mengolah tanahnya hingga memanen padi, seperti mbebeng
‗menutup saluran air‘, mbubak ‗memecah tanah dengan menggunakan bajak atau
cangkul setelah panen selesai‘, melar membajak tanah sawah atau kebun dala
keadaan kering‘, nyacal ‗menggemburkan tanah sawah, ladang atau pekarangan
dengan menggunakan cangkul bukan bajak‘, dan seterusnya, hingga leksikon
verba nggebros/ggampung ‗memanen padi‘. Hal ini menandakan bahwa GTBU
mengodekan secara detail aktivitas-aktivitas mereka tentang pertanian khususnya
padi sehingga BU menjadi sangat kaya akan leksikon-leksikon verba tentang
pertanian yang membuatnya berbeda dengan BD lain yang guyub tuturnya tidak
bermata pencaharian petani.
Di samping memuat leksikon-leksikon verba tentang aktivitas di lahan
pertanian, tabel di atas juga memuat leksikon-leksikon verba tentang aktivitas di
lahan kebun. Dari 15 leksikon verba tentang aktivitas di lahan kebun, 6 leksikon
di antaranya terkait dengan kelapa ‗kelapa‘, seperti ngunduh ‗memetik sesuatu
(tentang buah), nggepluki ‗membelah buah kelapa dengan kapak‘ , macaki
‗mengupas buah kelapa dengan menggunakan kapak‘, nyumbat ‗menguliti kelapa
dengan sumbat‘, mepe ‘menjemur kelapa bahan kopra dengan cara
menebarkannya di atas anyaman bambu atau tikar plastik‘, dan mbeseh ‗menyayat
177
batang kelapa untuk dicari kayu intinya‘. Hal ini mencerminkan bahwa GTBU
memiliki interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan entitas ini. Kondisi
berbeda akan ditemukan di ecoregion yang tidak ada entitas kelapanya, sehingga
guyub tutur yang berdomisili di lingkungan tersebut tidak mengenal leksikon
verba tentang kelapa seperti yang dimiliki BU.
5.3.2.2 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang
Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya
Keberagaman leksikon suatu bahasa, menggambarkan keberagaman lingkungan
ragawi dan lingkungan sosial guyub tuturnya karena leksikon-leksikon suatu
bahasa merekam buah pikiran, ide-ide, aktivitas-aktivitas penting dalam
kehidupan guyub tuturnya. Demikian halnya yang terjadi dalam BU. Yang
dimaksud dengan aktivitas sosial dalam hal ini adalah segala aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap entitas fauna dan entitas-entitas lainnya yang
dilakukan di lingkungan tempat tinggal mereka, seperti leksikon verba yang diacu
oleh aktivitas berburu, mengambil air di sumur, menumbuk, hingga aktivitas
melempar. Tabel berikut menunjukkan keberagaman leksikon verba BU terkait
dengan aktivitas sosial mereka.
Tabel 5.21
Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang
Aktivitas terhadap Fauna dan Isi Alam Lainnya
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI
ngangsu mengambil air di sumur dengan timba
nyenggot mengambil air di sumur dengan ‗senggotan‘ (timba yang dianggkat dengan
galah)
ason-ason berburu binatang dengan menggunakan anjing (asu)
mbelor berburu babi hutan dan rusa pada malam hari dengan menggunakan lampu
sorot
nggeladag berburu binatang hutan
178
ngantih memintal kapas untuk dijadikan benang
mbebek menumbuk (tentang padi atau kopi)
mbelasak memasuki wilayah yang penuh dengan tumbuhan semak beelukar
mbenem membenamkan sesuatu di abara api (tentang pisang, ketela, dsb).
mbleteti mengeluarkan isi perut hewan semblihan
mbombong menyabung ayam aduan
nyancang menambatkan binatang ternak
nyekoki/njamoni memberi jamu hewan peliharaan (tentang kuda, sapi, kerbau)
nyeruh memutihkan beras dengan cara menumbuknya kembali
ngangon mengembalakn bintang peliharaan
nggetes menumbuk kuat-kuat supaya pecah (tentang kemiri)
ngileni (tentang
jangkrik)
membuat jangkrik geli dengan menggunakan bunga rumput tertentu
medhok bertempat tinggal semetara di sawah atau di kebun selama musim panen
ngersaya bergotong royong mengerjakan tanah sawah atau kebun
majeg (tentang
hasil kebun)
membeli hasil kebun atau sawah secara borongan
nyelisir berjalan menelusuri pinggir sungai atau pantai
nyerimpung melempar dengan batang kayu
mbentuk melempar sesuatu (tentang buah-buahan) dengan batang kayu atau batu
nyerawat melemparkan sesuatu
nyuluh Mencari ikan atau burung pada malam hari dengan menggunakan obor
Jika tabel di atas dicermati, terdapat sejumlah leksikon verba tentang
aktivitas-aktivitas, seperti berburu, memberi jamu pada hewan peliharaan,
mengambil air di sumur, menumbuk, hingga leksikon verba melempar. Untuk
leksikon verba berburu, GTBU membedakan antara leksikon verba berburu
secara umum dan berburu dengan menggunakan peralatan tertentu sehingga ada
tiga jenis leksikon verba terkait dengan aktivitas berburu, yakni nggeladag
‗berburu binatang hutan‘, ason-ason ‗berburu binatang dengan menggunakan
anjing (asu)‘, dan mbelor ‗berburu babi hutan atau rusa pada malam hari dengan
menggunakan lampu sorot‘. Fenomena serupa juga terjadi pada leksikon verba
ngangsu ‗mengambil air di sumur dengan menggunakan timba yang diangkat
dengan menggunakan tangan‘ dan nyenggot ‗mengambil air di sumur dengan
senggot (galah yang digunakan untuk mengangkat timba dengan cara
mengungkitnya‘. Semua fenomena tersebut merepresentasikan bahwa di
179
lingkungan tempat tinggal GTBU ada entitas kelapa dan GTBU memiliki
pengetahuan cara mengolah dan memanfaatkan bagian-bagian dari entitas
tersebut. Demikian halnya kehadiran leksikon-leksikon verba lainnya dengan
aktivitas-aktivitas yang diacunya juga turut memberi ciri pada budaya GTBU
yang membedakan mereka dari etnis lainnya.
5.3.2.3 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang
Aktivitas Fauna
Lingkungan tempat tinggal GTBU merupakan lingkungan yang masih asri
karena tidak terlalu banyak alih fungsi lahan sehingga merupakan ecoregion yang
sangat bagus untuk hidupnya beberapa jenis fauna. Eksistensi dari fauna-fauna
dan juga flora tertentu di lingkungan mereka menyebabkan adanya interaksi,
interelasi, dan interelasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara
GTBU dan entitas-entitas yang ada di lingkungan tersebut, di samping mereka
memiliki pengetahuan tentang entitas-entitas tersebut. GTBU tidak saja
mengodekan aktivitas mereka terhadap alam, tetapi juga aktivitas flora, fauna,
dan alam di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman leksikon verba
yang mengacu pada berbagai aktivitas dari entitas-entitas yang ada di lingkungan
mereka. Pada bagian ini ditampilkan leksikon verba yang terkait dengan aktivitas
hewan, unggas dan burung, reptil dan serangga. Tabel berikut menunjukkan
keberagaman leksikon verba tentang beberapa aktivitas dari entitas-entitas yang
dimaksud.
180
Tabel 5.22
Keberagaman Leksikon Verba Lingkungan Alam Bahasa Using
tentang Aktivitas Fauna
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI
Aktivitas hewan
ngeludes menggemburkan tanah dengan moncong (tentang babi hutan)
Kedrangen berlari sambil berlompatan kesana kemari yang dilakukan oleh anak sapi
ngguyang mandi yang dilakukan oleh ternak di air atau lumpur
Ngeregeb berendam dalam kubangan lumpur yang dilakukan oleh kerbau
nyeludug menyeruduk dengan tanduk (tentang kambing)
Aktivitas unggas
dan burung
nyeker mengais-ngais tanah yang dilakukan oleh ayam untuk mendapatkan
makanan
ngendhat berhenti bertelur sementara (tentang itik atau ayam)
ngentit bertelur di luar sarang yang sudah disediakan (tentang ayam)
keblak-keblak mengepak-ngepakkan sayap sambil berkokok yang dilakukan oleh ayam
jantan
ngokok mengeluarkan suara yang dilakukan oleh ayam betina (dilakukan sebelum
bertelur atau sedahnya)
neba hinggap secara bersamaan yang dilakukan secara bersamaan oleh
sererombolan burung di atas tanah atau dahan pohon
metingkring bertengger di atas sesuatu (tentang burung)
giblas-giblas mengepak-ngepakkan sayap agar kering
nyisil menguliti bulir padi/kacang yang dilakukan oleh tikus atau burung
nyeblak memukul-mukul dengan sayap (tentang ayam aduan)
Aktivitas
serangga
yenget menyengat
Aktivitas reptile
nyeloyor melata (tentang ular)
Karena kedekatannya dengan lingkungan alam sekitarnya, GTBU sangat
akrab dengan aktivitas binatang yang ada di sekeliling mereka. Aktivitas binatang-
binatang diverbalkan secara rinci, seperti perilaku ayam/burung. Burung/unggas
yang mengepak-ngepakkan sayap disebut keblak-keblak, jika mereka
membersihkan air dari bulu disebut nyisil, berhenti bertelur sementara disebut
ngendat, dan bertelur di luar sarang disebut ngentit. Hal ini turut memperkaya
kekayaan leksikon verba BU, khususnya tentang aktivitas fauna yang
membuatnya berbeda denagn BD lain.
181
5.3.2.4 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang
Aktivitas Alam
Aktivitas yang dimaksud pada bagian ini adalah segala aktivitas yang
terjadi yang bukan dilakukan oleh manusia. Karena interaksi. interelasi, dan
interdependensi mereka dengan alam, GTBU juga mengodekan secara verbal atau
lingual aktivitas-aktivitas tersebut yang menciptakan leksikon verba yang
beragam yang mengacu pada aktivitas-aktivitas tersebut. Tabel berikut
menunjukkan keberagaman leksikon verba BU yang mengacu pada aktivitas-
aktivitas alam yang dikenal dan diakrabi oleh GTBU.
Tabel 5.23
Keberagaman Leksikon Verba Lingkungan Alam Bahasa Using
tentang Aktivitas Alam
Leksikon BU Gloss dalam BI
ngampar-ampar menyambar-nyambar (tentang petir)
ngungkreg berguncang/bergetar dengan keras (tentang tanah karena gempa bumi
mencorong bersinar terang (tentang matahari)
Aktivitas alam
mberojol terlepas dari ikatannya (tentang buah atau padi)
nggerontol gugur berjatuhan (tentang buah)
nggeluntung menggulung (tentang dedaunan) karena teriknya sinar matahari
logrog gugur berjatuhan (tentang bunga atau buah)
mekrog mekar (tentang bunga)
meldhog merekah karena kekeringan (tentang tanah)
mergodog menguning pada bagian yang sudah tua (tentang tanaman padi)
merkatak menyembul serentak (tentang buah padi)
mecukul munculnya bakal tanaman dari biji kacang-kacangan
methukul munculnya tunas dari dahan yang habis dipotong
melethek merekah karena terlalu matang/tua (tentang kulit buahbuah)
Karena kedekatannya dengan alam, GTBU tidak saja mengodekan secara
lingual aktivitas yang mereka lakukan sendiri terhadap lingkungannya dan
aktivitas fauna yang ada di sekitar mereka, mereka juga melakukan hal yang sama
terhadap aktivitas alam di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat munculnya
leksikon verba, seperti merkatak yang mengacu pada aktivitas tentang buah padi
182
menyembul serentak, methukul yang mengacu pada proses keluarnya bakal
tanaman di sela-sela biji kacang-kacangan, mecukul untuk tumbuhnya tunas dari
dahan yang dipotong, dan melethik yang mengacu pada proses munculnya buah
yang merekah karena terlalu matang, dan sebagainya. Di samping itu, dalam tabel
di atas juga terlihat leksikon verba yang mengacu pada beberapa perubahan daun
tumbuhan.
5.4 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using tentang Cara
Penamaan Entitas Acuan
Seperti disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ada dua teori terkait
dengan penamaan. Teori pertama mengatakan bahwa sebuah kata berkategori
nomina yang memiliki acuan (reference). Nama juga merupakan sebuah kata yang
mengekspresikan sesuatu yang ada di dalam benda atau makna yang ada dibalik
sebuah objek. Nama merupakan label yang diberikan untuk orang, tempat,
tumbuhan, hewan, dan sebagainya yang membuatnya berbeda satu sama lain
karena nama merupakan sesuatu yang spesifik yang mengandung asumsi
pembicara sehingga seseorang yang mendengarkannya dapat mengidentifikasikan
objek atau referen yang dimaksud pembicara.
Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, ed.,1971:91-94) memberi nama objek
khususnya binatang, berdasarkan hal-hal, seperti asal, ukuran, jenis makanan,
bunyi, bentuk, warna, ekspresi wajah, dan sebagainya. Sementara itu, Verheijen
(1984:3) memberi nama pada tumbuh-tumbuhan yang ditemukan tumbuh di
wilayah Manggarai, Flores, berdasarkan nama yang terkait dengan peristiwa
sejarah, nama pinjaman (dari bahasa lain), nama aetiologis, dan nama deskripsi.
183
Pada bagian ini, untuk penamaan flora dan fauna, khususnya yang
berbentuk leksikon majemuk (compound words), yang ditemukan di lingkungan
tempat tinggal GTBU diterapkan kedua model yang dikemukakan oleh kedua
ahli di atas, namun diadakan modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada
di lapangan.
5.4.1 Keberagaman Cara Penamaan Flora
Berdasarkan pengamatan dan analisis data ditemukan bahwa GTBU
menamai entitas atau objek yang berupa flora yang ada di sekeliling mereka
berdasarkan hal-hal berikut, yakni (1) penamaan secara umum, (2) penamaan
berdasarkan nama tempat, (3) penamaan berdasarkan bau, (4) penamaan
berdasarkan bentuk, (5) penamaan berdasarkan cara mengonsumsi, (6) penamaan
berdasarkan cara tumbuh, (7) penamaan berdasarkan jumlah, (8) penamaan
berdasarkan ciri fisik, (9) penamaan berdasarkan manfaat/fungsi, (10) penamaan
berdasarkan penemu/pemilik pertama, (11) penamaan berdasarkan persamaan
bunyi, (12) penamaan berdasarkan persamaan sifat, (13) penamaan berdasarkan
rasa, (14) penamaan berdasarkan sifat, (15) penamaan berdasarkan tempat
tumbuh, (16) penamaan berdasarkan ukuran, dan (17) penamaan berdasarkan
warna. Berikut adalah uraian dari masing-masing penamaan yang dimaksud.
1) Penamaan berdasarkan asal/nama tempat
Keberagaman flora yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU
memunculkan keberagaman leksikon flora BU yang juga disertai dengan
keberagaman nama jenis flora tersebut. Salah satu cara yang dipakai GTBU untuk
menamai beberapa jenis flora adalah berdasarkan asal/nama tempat. Di antara
184
jenis flora yang dimaksud adalah: kacang cina, yaitu kacang yang dibawa oleh
pedagang-pedagang asal negeri Cina (yang dahulu terkenal dengan sebutan
Tiongkok) yang berlabuh di Pelabuhan Pasuruan. Kacang ini terbawa oleh bala
tentara Kerajaan Pasuruan pada saat menyerang Kerajaan Blambangan. Entitas
lain yang diberi nama berdasarkan asal/nama tempat adalah jenis rambutan, yakni
rambutan lebak bulus dengan ciri yaitu bulu/rambut buahnya pendek-pendek,
sedangkan rambutan aceh rambut/bulunya lebih panjang. Sementara itu, jenis
jambu yang dinamai berdasarkan asal/nama tempat adalah jambu semarang, yaitu
jambu yang waktu muda berwarna hijau dan setelah matang berwarna coklat tua.
Contoh lainnya adalah gedhang ambon, yaitu sejenis pisang dengan ukuran
cukup besar, kulit selalu berwarna hijau, baik pada saat masih mentah maupun
sesudah matang.
2) Penamaan berdasarkan bau
Banyak flora dikenal oleh masyarakat karena baunya, baik bau yang
berasal dari daun, bunga, umbi, maupun dari kulit pohonnya. Terkait dengan
penamaan flora yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal GTBU, ditemukan
bahwa ada jenis flora tertentu dinamai berdasarkan baunya yang khas. Entitas
yang dimaksud di antaranya adalah kembang bacin adalah sejenis flora yang bau
bunganya menyerupai bacin ‗kotoran manusia‘. Contoh lainnya adalah kembang
bangah ‗bunga bangkai‘, yaitu tanaman berumbi dan getahnya menyebabkan gatal
serta bunganya berbau seperti bangkai, dan pandan wangi, yaitu jenis pandan
tanpa duri yang daunnya berbau wangi. Pandan ini, secara budaya, dipakai
185
campuran kembang kirim 2
dan juga sebagai pemberi aroma harum berbagai jenis
kue.
3) Penamaan berdasarkan bentuk
Ada beberapa jenis flora yang dinamai berdasarkan kemiripan bentuk
dengan objek lainnya yang bisa berupa flora, fauna atau benda-benda lainnya.
Jumlah jenis flora yang mempunyai kemiripan bentuk jumlahnya cukup banyak,
di antaranya dari kelompok buah-buahan, yakni poh endhog dan poh kotak, yaitu
jenis mangga yang penamaannya karena bentuknya lonjong seperti telur dan
hampir persegi empat menyerupai kotak. Sementara itu, dari kelompok sayur-
sayuran yang penamaannya berdasarkan kemiripan bentuk, yakni kara komak,
yaitu jenis kara yang bentuknya menyerupai tanda koma; kara pedang yaitu jenis
kara yang bentuknya mirip pedang; dan kara urang adalah jenis kara yang
bentuknya seperti udang, bungkuk dan melengkung pada bagian ujungnya.
Contoh lain dari kelompok sayur-sayuran adalah jamur kuping, yaitu jamur yang
bentunya mirip telinga manusia dan biasanya tumbuh pada batang-batang kayu
tua yang sudah lapuk, jamur wulan, yaitu jenis jamur yang bentuknya bulat dan
berwarna putih seperti bulan. Adapun contoh tanaman obat adalah kembang
bintang, yaitu jenis tanaman obat yang hidup di pinggir kali kecil bermahkota
bunga lima helai yang membentuk segi lima dan dipakai sebagai obat tetes mata
dan kumis kucing, yaitu tanaman obat berkhasiat untuk mengatasi susah buang air
kecil dengan sari bunganya menyerupai kumis kucing.
186
4) Penamaan berdasarkan cara mengonsumsinya
Tidak banyak jenis flora yang dinamai berdasarkan cara mengkonsumsi
bagian-bagian dari flora tertentu. Walaupun demikian, fenomena ini tetap
berperan dalam terciptanya keberagaman leksikon lingkungan alam BU. Contoh
flora yang dinamai berdasarkan cara mengonsumsi bagian-bagiannya adalah poh
kenyut yaitu jenis mangga yang buahnya tidak terlalu besar, berserat, dan
dikonsumsi dengan cara di-kenyut ‗dihisap‘, tidak dikupas seperti lazimnya cara
mengkonsumsi buah mangga pada umumnya. Flora lain yang penamaannya juga
dengan cara ini adalah jamur gerigit, yaitu salah satu jenis jamur yang apabila
setelah diolah menjadi masakan tertentu lalu dikonsumsi dengan cara digigit
karena jamur ini cukup kenyal walaupun sudah dimasak dengan matang.
5) Penamaan berdasarkan cara tumbuh
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, ada beberapa
jenis flora yang dinamai berdasarkan cara tumbuhnya, yakni sambulan, tumpang
sari, jambu kelampok, dan jamur manuk. Sambulan adalah jenis padi lain yang
tumbuh di sela-sela jenis padi utama yang dibudidayakan petani atau padi lain
yang tumbuh di sela-sela tanaman padi utama dan tingginya melebihi padi utama.
Keberadaan padi ini dianggap mengganggu sehingga sering dicabuti. Sementara
itu, tumpang sari adalah semua jenis tanaman yang ditanam secara ‗numpang‘ di
antara tanaman utama, seperti jagung yang ditanam di sela-sela tanaman kedeleai
atau kacang hijau, atau kecipir yang ditanam di pematang sawah sesaat stelah
musim tanam sehingga berbuah bersamaan dengan padi menguning. Jambu
kelampok adalah jenis jambu yang tumbuhnya secara berkelompok dan jarang
187
ditemukan terpisah dari tanaman sejenis. Hal ini terkait dengan cara berkembang
biaknya yang terjadi melalui perantara kelelawar. Entitas-entitas ini biasanya
tumbuh liar.
6) Penamaan berdasarkan jumlah
Keberagaman leksikon BU dari segi penamaan juga ditunjang oleh cara
penamaan berdasarkan jumlah buah, daun, bunga atau bagian-bagian lainnya dari
tumbuhan tersebut. Fenomena ini melahirkan leksikon baru untuk sebuah entitas
seperti yang terlihat pada penamaan salah satu jenis pisang, yakni gedhang sewu.
Pada saat berbuah, dalam satu tandannya terdapat belasan sisir pisang yang terdiri
atas puluhan biji. GTBU mengumpamakan bahwa pisang ini seolah-olah berbuah
seribu sehingga dinamakan gedhang sewu. Contoh lain untuk pengelompokan
penamaan dengan cara ini adalah tapak liman, yaitu jenis tanaman obat dengan
daun berwarna hijau tua dengan helai daun tumbuh melingkar mengelilingi batang
yang menempel rapat di atas permukaan tanah dengan jumlah seolah-olah lima.
7) Penamaan berdasarkan ciri fisik
Penamaan berdasarkan keadaan sebuah entitas yang dimaksud pada bagian
ini adalah penamaan berdasarkan ciri khusus yang dimiliki suatu entitas.
Fenomena ini terlihat pada contoh kelompok entitas, seperti pari sogel adalah
jenis padi lokal yang tidak berbulu pada setiap ujung bulirnya (gundul), jambu
menthe adalah jambu yang letak bijinya mencle ‗berada di luar daging buah, tidak
seperti lazimnya buah pada umumnya, kembang surngenge ‗bunga matahari‘
adalah jenis flora dengan bunga besar, bulat, dan selalu menghadap matahari, dan
kelapa kopyor dan mangga kopyor adalah jenis kelapa dan mangga dengan
188
daging buah yang selalu kopyor ‗encer‘. Gedhang saba ‗pisang kepok‘ adalah
salah satu jenis pisang yang paling mudah ditemukan dan paling dicari di
wilayah Kabupaten umumnya karena pisang ini memiliki nilai ekonomis tinggi di
samping keterpakaiannya sebagai bahan dasar berbagai penganan, seperti keripik,
kue, naga sari, pisang goring, gethuk, dan sebagainya, sedangkan jajang ori dan
bayem eri adalah dua entitas yang dinamai berdasarkan duri yang ada pada batang
di kedua entitas tersebut. Sementara itu, jajang pelet adalah jenis bambu yang
diberi nama demikian karena ada guratan-guratan pada batangnya dan jajang
surat karena adanya guratan-guratan/garis-garis pada batangnya.
8) Penamaan berdasarkan manfaat/fungsi
Di samping mengungkapkan bentuk, jumlah, rasa, dan sebagainya tentang
entitas acuannya, nama juga dapat merupakan sebuah kata yang
mengekspresikan fungsi/manfaat yang diemban oleh suatu tumbuhan karena
nama merupakan label yang diberikan pada tumbuhan yang membuatnya dapat
dikenali oleh manusia untuk diidentifikasi. Ada sejumlah flora yang dinamai
berdasarkan manfaat/fungsi yang diembannya terutama bagi kehidupan manusia,
seperti jeruk purut, yaitu jeruk yang dipakai ramuan tambahan dalam obat urut
bagi GTBU yang tinggal di daerah tertentu. Contoh flora lainnya adalah jajang
watu ‗bambu batu‘ yaitu jenis bambu yang sangat kuat sehingga dipakai sebagai
bahan dasar untuk pembuatan singkek untuk mengangkut batu kali. Sementara itu,
suruh kinang adalah jenis sirih yang dipakai untuk nginang dan untuk
perlengkapan kinangan. Selanjutnya, sambung nyawa adalah jenis tanaman obat
189
untuk ramuan yang diberikan kepada orang sakit (biasanya sakit parah) agar
―nyawanya tersambung kembali‖
9) Penamaan berdasarkan penemu/pemilik pertama
Di dunia internasional banyak ditemukan nama penemu sebuah objek
sama dengan nama objek itu sendiri, apakah nama gunung, pulau, tanjung,
tumbuhan, dan sebagainya. Fenomena ini juga ditemukan di tengah-tengah
GTBU. Sebagai contoh, jambu dharsono adalah salah satu jambu yang
dimiliki/diperkenalkan/ditanam pertama kali oleh Tuan Dharsono. Sementara itu,
ranbutan rapiah adalah salah satu jenis rambutan dengan rambut (duri) agak
pendek dibandingkan dengan rambutan aceh yang
diperkenalkan/ditanam/dibudidayakan pertama kali oleh Nyonya Rapiah dan
jajang ampel adalah jenis bambu dengan ruas pendek-pendek, dinding ruas tebal
dan ditanam pertama kali oleh Sunan Bonang atas perintah Sunan Ampel pada
saat penyebaran Syariat Islam di tanah Jawa.
10) Penamaan berdasarkan prsamaan bunyi
Persamaan bunyi yang dimaksud pada bagian ini adalah persamaan bunyi
konsonan atau vokal nama entitas fauna dengan bunyi konsonan/vokal leksikon
entitas yang menjadi referennya. Misalnya, bunyi til pada leksikon kembang sri
gantil ‗bunga kembang sepatu yang memiliki persamaan bunyi dengan bunga
yang sarinya intil-intil ‗sari yang bergelantungan‘, bunyi ja pada kembang
sembuja ‗bunga kamboja‘ (banyak ditanam di daerah pekuburan) memiliki
persamaan bunyi dengan puja ‗memuja‘ yang artinya bahwa sanak saudara orang
yang meninggal tetap mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar arwah orang
190
yang meninggal itu dapat diterima di sisi-Nya. Demikian halnya yang terjadi pada
bunyi sa pada leksikon kembang wangsa memiliki persamaan bunyi dengan
bunyi sa pada leksikon rumangsa ‗mawas diri‘, artinya kehadiran kembang
wangsa sebagai salah satu elemen dari kembang telonxx
‗bunga tiga jenis‘ pada
upacara slametan dengan harapan agar orang yang di-slameti selalu mawas diri
agar terhindar dari marabahaya dan godaan.
11) Penamaan berdasarkan persamaan sifat
Cara penamaan berdasarkan persamaan sifat antara flora dan sifat entitas
pembanding turut memperkaya keberagaman leksikon lingkungan alam BU dan
membedakannya dengan leksikon-leksikon kealaman BD lainnya. Dinamainya
satu jenis pisang dengan gedhang welu ‗pisan belut‘ karena pisang ini akan
tumbuh subur kalau ditanam di tempat yang ada airnya seperti pinggir parit atau
kali. GTBU menyamakan sifat jenis pisang ini dengan sifat belut yang tidak bisa
hidup tanpa air. Contoh lain, yakni kembang sundel dan kembang mawar yang
dipakai dalam ritual santet. Kembang sundel berbau harum dan dapat memikat
hati orang yang menciumnya, sedangkan sundel adalah perempuan yang sering
bertingkah laku tertentu untuk memikat hati orang terutama lawan jenis. Kembang
mawar yang berwarna merah dan berbau harum dapat memikat orang yang
memandangnya. Artinya bahwa orang mengadakan ritual santet juga dapat
memikat orang yang di di-santet. Pemberian nama berdasarkan persamaan sifat
juga dapat dilihat pada entitas jati mas ‗jati emas‘ dan gedhang berlin ‗pisang
berlin‘, dan widuri putih ‗bunga widuri putih‘. Dinamai jati mas karena harganya
mahal seperti harga emas dan dinamai gedhang berlin karena ukuran buahnya
191
kecil-kecil seperti berlian dan juga harganya mahal ibarat berlian (rasanya gurih
kalau diolah menjadi kripik pisang) dan penamaan terhadap jenis pisang yang
buahnya keras dan pada umumnya bentuk buahnya lurus dianggap bersifat sama
dengan kayu sehingga dinamai gedhang kayu. Sementara itu, widuri putih
‗(bunga) widuri putih‘ dipakai ramuan untuk anak yang sedang belajar berbicara
supaya bicaranya lancar seperti letupan-letupan bunga widuri kering apabila
terkena sinar terik matahari.
12) Penamaan berdasarkan rasa
Cukup banyak jenis flora yang ditemukan tumbuh di lingkungan tempat
tinggal GTBU dinamai berdasarkan terutama rasa buahnya dan secara kebetulan
kebanyakan penamaan model ini berasal dari kelompok buah-buahan. Poh madhu
yaitu jenis mangga yang rasanya manis seperti madu, gedhang raja nangka
adalah jenis gedhang raja yang memiliki rasa seperti rasa nangka, gedhang
kapuk, yaitu jenis pisang yang berbiji dan daging buahnya terasa empuk seperti
kapuk, jeruk manis, yaitu jenis jeruk yang rasanya manis, jamur gajih, yaitu jenis
jamur yang apabila diolah menjadi masakan rasanya gurih seperti gajih ‗lemak‘,
dan kacang usi, yaitu jenis kacang yang mengandung banyak minyak dan rasanya
empuk seperti uson ‗usus ternak‘ yang digoreng adalah contoh penamaan terhadap
entitas-entitas yang didasarkan pada rasa, serta bayem pasir, jenis bayam, apabila
dimakan rasanya seperti ada pasir.
192
13) Penamaan berdasarkan sifat
GTBU mempunyai berbagai cara untuk menamai tumbuhan atau flora
yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal mereka. Di samping penamaan dengan
cara-cara di atas, penamaan berdasarkan sifat entitas yang dinamai juga dilakukan.
Hal ini dapat dilihat pada nama jajang benel ‗bambu benel‘ yaitu jenis bambu
yang benar-benar dianggap bambu karena kegunaannya yang sangat banyak dan
jajang gabug, yaitu salah jenis bambu yang hanya bisa dipakai sebagai tiang
umbul-umbul dan kayu bakar yang bagi GTBU dianggap tidak berguna (gabug
artinya kosong, tidak berguna) karena dinding ruasnya sangat tipis.
14) Penamaan berdasarkan tempat tumbuh
Beda tumbuhan berbeda pula tempat tumbuhnya. Fenomena ini
menginspirasi GTBU untuk memberi nama tumbuhan tertentu berdasarkan tempat
tumbuhnya sehingga menambah keberagaman leksikon BU. Sebagai contoh,
jamur dami adalah jenis jamur yang ditemukan tumbuh di atas tumpukan jerami
atau jamur yang menggunakan media jerami untuk tumbuh. Jamur kepong adalah
jenis jamur yang banyak ditemukan tumbuh pada kepong ‗kotoran sapi‘ dan
bayem sapi adalah jenis bayam yang banyak tumbuh pada kotoran sapi di samping
merupakan jenis bayam yang sering dijadikan makanan sapi meskipun makanan
utamanya adalah rumput.
15) Penamaan berdasarkan ukuran
Penamaan flora yang merepresentasikan ukurannya tidak banyak
ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU jika dibandingkan dengan
karakteristik penamaan lainnya dan juga jika dibandingkan dengan jumlah sampel
193
flora yang dipakai. Berdasarkan analisis data, ada tiga jenis ukuran yang
direpresentasikan oleh cara penamaan flora, yakni ukuran besar, ukuran kecil, dan
ukuran merata. Untuk penamaan ukuran besar diwakili oleh entitas gedhang
agung dan ketepeng kebo. Gedhang agung adalah salah satu jenis pisang yang
ukuran buahnya jauh melebihi ukuran pisang pada umumnya yang jumlah sisirnya
dalam satu tandan dua atau tiga dan ketepeng kebo yang dalam BI disebut lamtoro
gung adalah jenis lamtoro yang buahnya lebih besar dibandingkan dengan
ketepeng (cilik) ‗petai cina‘ yang ranting beserta daunnya digunakan untuk
makanan ternak. Sementara itu, contoh entitas flora yang mengacu pada ukuran
kecil adalah menir, meniran, dan bayem menir. Menir adalah butiran beras
berukuran kecil yang didapat pada saat penyosohan beras; meniran adalah jenis
tumbuhan berdaun dan berbuah kecil-kecil yang diumpamakan sebesar menir; dan
bayem menir adalah jenis bayam yang tumbuh liar di pekarangan rumah atau
tegalan yang ukuran daunnya sangat kecil. Selanjutnya itu, sambilata ‗sambiloto‘
adalah jenis tanaman dengan daun berasa sangat pahit yang dinamai karena tinggi
batangnya merata yang biasanya ditemukan tumbuh di semak-semak atau
pekarangan rumah.
16) Penamaan berdasarkan warna
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, banyak tumbuhan
yang dinamai berdasarkan warna dari entitas-entitas tersebut. Tumbuhan-
tumbuhan yang dimaksud di antaranya adalah ketan cemeng, temu cemeng,
gedhang ijo, kelapa ijo, kacang ijo, kara ijo, ketan putih, temu putih, kara putih,
labu putih, labu kuning, jajang kuning, temu kuning, labu abang, duren abang,
194
turi abang, kara abang, dan sebagainya. Semua entitas di atas diberi nama sesuai
dengan warnanya. Di samping itu, ada penamaan berdasarkan warna yang mirip
dengan warna entitas lainnya, seperti kembang tembelekan, yaitu bunga yang
berwarna hitam seperti kotoran ayam yang warnanya hitam dan kemuning, yaitu
jenis tumbuhan yang daunnya apabila digerus akan berubah menjadi kuning.
Jikalau cara penamaan flora yang hidup di lingkungan tempat tinggal
GTBU diklasifikasikan maka akan terlihat seperti tabel berikut.
Tabel 5.24
Keberagaman Cara Penamaan Flora Acuan
Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
Leksikon BU Cara Penamaan Flora 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
rambutan lebak
bulus
+ + - - - - - - - - - - - - - - -
gedhang ambon + + - - - - - - - - - - - - - - -
ranbutan aceh + + - - - - - - - - - - - - - - -
jambu semarang + + - - - - - - - - - - - - - - -
kembang bacin + - + - - - - - - - - - - - - - -
kemabang bangah + - + - - - - - - - - - - - - - -
pandan wangi + - + - - - - - - - - - - - - - -
poh endog + - - + - - - - - - - - - - - - -
kara komak + - - + - - - - - - - - - - - - -
jamur kuping + - - + - - - - - - - - - - - - -
kembang bintang + - - + - - - - - - - - - - - - -
kumis kucing + - - + - - - - - - - - - - - - -
poh kenyut + - - - + - - - - - - - - - - - -
jamur gerigit + - - - + - - - - - - - - - - - -
sambulan + - - - - + - - - - - - - - - - -
tumpang sari + - - - - + - - - - - - - - - - -
jambu kelampok + - - - - + - - - - - - - - - - -
gedhang sewu + - - - - - + - - - - - - - - - -
tapak liman + - - - - - + - - - - - - - - - -
pari sogel + - - - - - - + - - - - - - - - -
jambu menthe + - - - - - - + - - - - - - - - -
kelapa kopyor + - - - - - - + - - - - - - - - -
bayem eri + - - - - - - + - - - - - - - - -
jajang pellet + - - - - - - + - - - - - - - - -
jeruk purut + - - - - - - - + - - - - - - - -
jajang watu + - - - - - - - + - - - - - - - -
suruh kinang + - - - - - - - + - - - - - - - -
sambung nyawa + - - - - - - - + - - - - - - - -
jambu dharsana + - - - - - - - - + - - - - - - -
rambutan rapiah + - - - - - - - - + - - - - - - -
jajang ampel + - - - - - - - - + - - - - - - -
sri gantil + - - - - - - - - - + - - - - - -
195
Keterangan: (1) Penamaan secara umum, (2) Penamaan berdasarkan nama tempat, (3) Penamaan
berdasarkan bau, (4) Penamaan berdasarkan bentuk, (5) Penamaan berdasarkan cara
mengkonsumsi, (6) Penamaan berdasarkan cara tumbuh (7) Penamaan berdasarkan jumlah, (8)
Penamaan berdasarkan cirri fisik, (9) Penamaan berdasarkan manfaat/fungsi, (10) Penamaan
berdasarkan penemu/pemilik pertama, (11) Penamaan berdasarkan persamaan bunyi, (12)
Penamaan berdasarkan persamaan sifat, (13) Penamaan berdasarkan rasa (14) Penamaan
berdasarkan sifat, (15) Penamaan berdasarkan tempat tumbuh, (16) Penamaan berdasarkan ukuran,
dan (17) Penamaan berdasarkan warna.
Keberagaman cara penamaan di atas, di samping mengindikasikan
kedalaman pemahaman dan pengetahuan GTBU terhadap sumber daya
lingkungan alam, fenomena tersebut juga menandakan adanya interaksi dengan
entitas-entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut yang turut dapat
memperkaya khasanah leksikon lingkungan alam BU, khususnya tentang flora.
kembang sembuja + - - - - - - - - - + - - - - - -
kembang wangsa + - - - - - - - - - + - - - - - -
gedhang welut + - - - - - - - - - - + - - - - -
gedhang berlin + - - - - - - - - - - + - - - - -
jati mas + - - - - - - - - - - + - - - - -
widuri putih + - - - - - - - - - - + - - - - -
gedhang raja
nangka
+ - - - - - - - - - - - + - - - -
jeruk manis + - - - - - - - - - - - + - - - -
jamur gajih + - - - - - - - - - - - + - - - -
kacang usi + - - - - - - - - - - - + - - - -
ajang benel + - - - - - - - - - - - - + - - -
jajang gabug + - - - - - - - - - - - - + - - -
jamur dami + - - - - - - - - - - - - - + - -
jamur kepong + - - - - - - - - - - - - - + - -
bayem sapi + - - - - - - - - - - - - - + - -
menir + - - - - - - - - - - - - - - + -
meniran + - - - - - - - - - - - - - - + -
bayem menir + - - - - - - - - - - - - - - + -
gedhang agung + - - - - - - - - - - - - - - + -
ketepeng kebo + - - - - - - - - - - - - - - + -
sambiloto + - - - - - - - - - - - - - - + -
ketam cemeng + - - - - - - - - - - - - - - - +
gedahing ijo + - - - - - - - - - - - - - - - +
duren abang + - - - - - - - - - - - - - - - +
kembang
tembelekan
+ - - - - - - - - - - - - - - - +
jajang kuning + - - - - - - - - - - - - - - - +
196
5.4.2 Keberagaman Cara Penamaan Fauna
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa di Kabupaten
Banyuwangi umumnya dan di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya hidup
berbagai jenis fauna. Keberagaman jenis fauna disertai juga keberagaman
leksikon yang diacunya karena adanya keberagaman cara penamaan yang
dilakukan oleh GTBU. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan
ditemukan bahwa ada sebelas cara penamaan terhadap fauna yang hidup di
wilayah ini. Berikut adalah uraian dari masing-masing cara penamaan fauna yang
dimaksud.
1) Penamaan berdasarkan bau yang dikeluarkan
Oleh karena adanya interaksi dengan biota yang ada di lingkungan mereka,
maka manusia dapat mengetahui ada tidaknya binatang tertentu di sekeliling
mereka karena bau yang dikeluarkan oleh binatang tersebut yang berfungsi untuk
mempertahankan diri dari musuh-musuhnya, seperti racun yang ada pada
serangga. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan
bahwa tikus langu dan walang sangit adalah jenis mamalia dan serangga yang
diberi nama berdasarkan bau yang dikeluarkannya. Tikus langu adalah jenis tikus
yang kencingnya berbau langu ‗tidak sedap‘. Sementara itu, walang sangit adalah
jenis belalang yang kencingnya yang sangit. Jenis belalang ini biasanya
menyerang padi yang baru berbuah dan jikalau kencing belalang mengenai bulir
padi maka dapat menyebabkan bulir-bulir padi tersebut menjadi gabug ‗kosong‘.
Jika serangan dari belalang-belalang ini pada daerah cukup luas maka
menimbulkan kerugian pada petani.
197
2) Penamaan berdasarkan ciri fisik
Beragam nama dan leksikon muncul karena keberagaman penamaan
berdasarkan ciri fisik. Ciri fisik yang dimaksud dalam hal ini adalah ciri khusus
yang ditemukan pada entitas fauna yang dibandingkan dengan sesuatu yang
ditemukan pada objek lain atau di lingkungan sekitarnya. Di antara jenis fauna
yang diberi nama berdasarkan ciri fisiknya, yakni dudhuk dom, kala supit, kul
buntet, samber ilen, ula cinde, wedhus gimbal, dan wedhus kendit. Dudhuk dom
adalah jenis capung bertubuh kurus, berekor runcing seperti dom ‗jarum‘,
berwarna ungu tua dan biasanya ditemukan di sekitar sungai atau parit. Kala supit
adalah sejenis serangga yang menyerupai kala jengking bersumpit lebih besar dan
ditemukan hidup di sawah. Kul buntet adalah jenis siput yang berukuruan kecil,
berkulit warna hijau kehitaman, dan tidak memiliki lubang (bunthet). Samber ilen
adalah serangga jenis kumbang kecil dengan sayap berwarna mingkilap (ilen) dan
sering ditemukan di sekitar rumah. Ula cinde adalah sejenis ular berbisa berwarna
hijau keabu-abuan yang memiliki lingkaran kuning di lehernya yang menyerupai
kalung (cinde). Sementara itu, wedhus gimbal ‗biri-biri‘ adalah jenis kambing
bertubuh sedang dan berbulu gimbal, dan wedhus kendit adalah jenis kambing
bertubuh sedang dan kebanyakan berbulu putih dengan lingkaran putih pada
bagian pinggang yang menyerupai sabuk.
3) Penamaan berdasarkan cara bergerak/gerakan
Banyak cara makhluk hidup untuk bergerak dari satu tempat ke tempat
lainnya. Berbeda makhluk berbeda pula cara bergeraknya. Misalnya, kebanyakan
jenis burung bergerak dengan cara terbang, seperti burung perkutut, burung
198
elang, burung pipit, dan sebagainya. Sementara itu, kebanyakan jenis reptil
bergerak dengan cara melata. Cara bergerak hewan-hewan yang hidup di
lingkungan tempat tinggal mereka menginspirasi GTBU untuk memberi nama
hewan-hewan tersebut berdasarkan gerakan mereka. Nama-nama hewan yang
diberi nama berdasarkan gerakannya, yakni wedhus gibas, manuk ancel-ancel
angin, dudhuk enthelong, kala jengking, semut angkrang, ula kelasa, dan walang
kadhung. Dudhuk enthelong adalah jenis capung yang berwarna kuning muda
dengan gerakan encelong-enchelong ‗mengendap-endap‘. Jikalau musim bertelur
tiba, gerakan ini biasanya dilakukannya sambil membuang telur. Kala jengking
adalah sejenis serangga yang berbisa dengan gerakan njengking ‗menungging‘.
Semut angkrang adalah jenis semut yang bergerak dengan cara ngangkrang
‗merangkak‘. Ula kelasa adalah jenis ular yang bergerak untuk mengelabui musuh
dengan cara menggulungkan tubuh seperti orang menggulung kelasa ‗tikar
pandan‘. Sementara itu, walang kadhung adalah jenis belalang yang memiliki
gerakan seperti orang madhung ‗menggotong‘ kayu.
4) Penamaan berdasarkan cara mempertahankan diri
Ada banyak cara yang dilakukan binatang untuk mempertahankan diri atau
menundukkan musuh-musuhnya. Gajah, misalnya, mempertahankan diri melalui
kekuatan fisik dan belalainya, sedangkan harimau mempertahankan diri melalaui
gigi yang tajam. Sementara itu, reptil tertentu, seperti ular mempertahankan diri
dengan bisa/racun dan belitan yang mematikan, sedangkan dengan warna tubuh
yang berubah-ubah merupakan cara memepertahankan diri yang dilakukan oleh
bunglon. Fenomena ini memberi inspirasi kepada GTBU untuk
199
menciptakan/memberi nama serangga tertentu berdasarkan efek yang ditimbulkan,
di antaranya uler geni, uler senggenit, semut geni, semut gatel, ula silara, dan ula
weling. Uler geni dan semut geni adalah jenis ulat dan semut yang masing-masing
bulunya dan gigitannya membuat orang merasa kepanasan seperti kena api.
Sementara itu, uler senggenit dan semut gatel adalah juga jenis ulat dan semut
yang masing-masing bulunya dan gigitannya dapat membuat orang merasa gatal.
Dari kelompok reptil, ada dua jenis ular yang dinamai oleh GTBU
berdasarkan efek yang ditimbulkan, yakni ula silara dan ula weling. Ula silara
adalah jenis ular yang kalau tidak merasa tersakiti (lara), tidak akan menggigit.
Sebaliknya, kalau tersakiti, misalnya terinjak, ular ini akan menggigit. Demikain
juga yang terjadi pada ula weling, yaitu jenis ular yang dapat melilit sambil
menggigit untuk mengingatkan (eling) musuhnya agar tidak mengganggunya.
5) Penamaan berdasarkan bersamaan/kemiripan bentuk fisik
Ada beberapa fauna dari kelompok serangga yang dinamai berdasarkan
kemiripan atau persamaan bentuk dengan entitas tertentu walaupun jumlahnya
tidak banyak. Entitas-entitas yang dimaksud adalah ula irus, uler jaran, tawon
keroso, dan walang jaran. Ula irus ‗ular kobra‘ adalah jenis ular yang dalam
keadaan tertentu, bentuk kepalanya menyerupai irus ‗sendok yang terbuat dari
tempurung kelapa‘. Uler jaran adalah sejenis ulat bersungut dua (menyerupai
telinga kuda), leher berwarna hitam, bagian punggung datar seperti pelana/sadel
kuda, dan ulat dewasa memiliki ekor. Tawon keroso adalah jenis tawon yang
bentuk sarangnya seperti keroso, wadah berbentuk bulat yang terbuat dari
anyaman daun kelapa yang pada zaman dulu dipakai untuk menaruh periuk nasi
200
atau sayur di dapur dan sarang tawon ini biasanya ditemukan menempel pada
cabang pohon yang cukup besar. Sementara itu, walang jaran adalah jenis
belalang yang tubuhnya hampir persegi empat dengan punggung datar menyerupai
pelana kuda.
6) Penamaan berdasarkan persamaan sifat/tingkah laku
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak banyak jenis fauna yang
dinamai karena persamaan sifat dengan entitas lainnya dibandingkan dengan cara
panamaan lainnya. Walaupun demikian, berdasarkan analisis data, ada dua jenis
entitas yang dinamai berdasarkan sifat/tingkah laku entitas tersebut, yakni dudhuk
maling dan emprit kaji. Dudhuk maling adalah jenis capung yang memiliki sifat
seperti maling, yakni keluar mencari makan pada saat hari mulai gelap. Emprit
kaji adalah salah satu jenis burung pipit yang bulunya berwarna-warni yang
mencari makan di pohon-pohon yang berupa semut atau ulat-ulat kecil. Nama kaji
diberikan karena, menurut GTBU, bagian bawah dari sarang burung ini terdiri atas
lapisan-lapisan yang menyerupai kasur empuk milik seorang kaji, yaitu seseorang
yang bergelar haji yang kaya, memiliki status sosial tinggi, dan terhormat.
7) Penamaan berdasarkan suara yang dikeluarkan
Hampir sama dengan cara penamaan berdasarkan tempat mencari makan,
berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, cara penamaan suatu
entitas berdasarkan suara yang dikeluarkannya juga sangat sedikit. Entitas-entitas
yang dinamai berdasarkan suara yang dikeluarkannya, yakni uler keket dan
walang keretek. Uler keket adalah jenis ulat yang biasanya hidup di daun pisang
dan apabila merasa terganggu akan mengeluarkan suara ket-ket-ket, sedangkan
201
walang keretek adalah jenis belalang yang biasanya hidup di pohon-pohon kayu di
hutan dengan ukuran tubuh cukup besar dan suara yang keras terutama pada
malam hari.
8) Penamaan berdasarkan tempat hidup
Beberapa hewan atau serangga yang penamaannya berdasarkan tempat
hidup hanya dapat ditemukan pada lingkungan tertentu saja. Misalnya, jenis
belalang banyak ditemukan pada tumbuhan berjenis rumput-rumputan, serangga
jenis kumbang pada umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan yang berbunga,
dan sebagainya. Terkait dengan penamaan berdasarkan tempat hidup hewan,
GTBU memberi nama beberapa hewan berdasarkan tempat hidup mereka, seperti
semut pudhak, tawon sruk, ula sawa, walang godhong, walang kayu, dan walang
pari. Semut pudhak adalah jenis semut yang banyak ditemukan pada bunga
pandan pudhak, yang berbau wangi dan airnya berasa manis. Tawon sruk adalah
jenis tawon berwarna hitam dengan pantat kuning yang bersarang di dalam tanah
yang sruk atau jeru ‗dalam‘. Ula sawa adalah jenis ular yang ditemukan hidup di
sawah-sawah dan memakan tikus sebagai hama pemakan batang dan buah padi,
sehingga ular ini dianggap sahabat petani karena membantu petani membasmi
hama tikus. Sementara itu, walang godhong, walang kayu, dan walang pari
adalah jenis belalang yang masing-masing ditemukan hidup pada dedaunan,
batang-batang kayu, dan daun-daun padi. Jenis belalang yang disebutkan terakhir
ini dapat menimbulkan kerugian pada petani karena serangga ini memakan daun
padi.
202
9) Penamaan berdasarkan tempat mencari makan
Di samping cara-cara penamaan yang telah disebutkan sebelumnya,
penamaan berdasarkan tempat mencari makan dari entitas tertentu adalah cara
penamaan lainnya. Jumlah entitas yang dinamai berdasarkan model ini sangat
sedikit, yakni bango kebo, bango wedhus, dan jalak suren. Bango kebo adalah
salah satu dari jenis burung bangau yang hinggap pada punggung kerbau untuk
mencari kutu atau serangga lainnya yang menempel pada badan hewan peliharaan
tersebut. Sementara itu, bango wedhus adalah jenis bangau pemakan kutu atau
serangga lainnya yang menempel pada hewan kambing, sedangkan jalak suren
adalah salah satu jenis dari beberapa jenis burung jalak pemakan kutu atau
serangga lainnya yang hidup pada kuncir kuda yang disisir (di-suren). Penamaan
dengan cara ini turut memperkaya khasanah leksikon lingkungan alam BU,
khususnya tentang serangga.
10) Penamaan berdasarkan ukuran
Fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU
memiliki ukuran beragam, dari yang paling besar, seperti sapi ‗sapi‘ atau kebo
‘kerbau‘ hingga yang paling kecil, seperti semut ‗semut‘ atau rengit ‗nyamuk‘.
Berdasarkan keberagaman ukurannya ini, GTBU memberi nama beberapa jenis
fauna berdasarkan ukuran badan atau sesuatu yang terkait dengan entitas tersebut,
seperti dudhuk kacangan, wedhus kacangan, dan dudhuk menggala, wedhus
menggala, dan tawon menggala. Dudhuk kacangan dan wedhus kacangan adalah
jenis capung dan kambing yang tubuhnya berukuran lebih kecil dari ukuran tubuh
kambing pada umumnya. Dudhuk menggala, wedhus menggala, dan tawon
203
menggala adalah masing-masing jenis capung dan kambing yang memiliki
ukuran tubuh paling besar (manggala artinya utama). Sementara itu, tawon
menggala adalah jenis tawon yang berukuran paling besar dari segi sarang.
Beberapa GTBU menjuluki jenis tawon ini dengan tawon kirapa artinya tawon
yang tidak pernah pandang bulu terhadap lawannya karena keganasan serangan
dan sengatannya yang dapat mematikan lawan-lawannya. Dengan cara penamaan
seperti ini, membuat leksikon lingkungan alam BU menjadi unik dan berbeda dari
leksikon BD lainnya.
11) Penamaan berdasarkan warna
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan cukup banyak jenis
fauna yang ditemukan hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU yang diberi
nama berdasarkan warnanya. Beberapa jenis fauna yang dimaksud, di antaranya
adalah dudhuk kuning, dudhuk ruyung, kupu ijo, kupu kuning, laler ijo, laler
cemeng, semut cemeng, ula gadhung, ula kayu, ula luwuk, dan sebagainya.
Dudhuk kuning ‗capung kuning‘ adalah jenis capung yang berwarna kuning dan
biasanya ditemukan hidup di daerah persawahan, khususnya pada saat padi
berumur satu bulan. Dudhuk ruyung adalah jenis capung yang berwarna coklat tua
menyerupai warna ruyung ‗pohon kelapa yang dipakai untuk kayu bangunan
rumah. Kupu ijo dan kupu kuning adalah jenis kupu-kupu yang masing-masing
berwarna hijau dan kuning yang banyak ditemukan di daerah kebun atau daerah
yang banyak semak-semak yang berupa tanaman perdu. Laler ijo atau buyung
‗lalat hijau‘ adalah jenis lalat yang ditemukan hinggap pada sesuatu yang berbau
busuk. Laler cemeng ‗lalat hitam atau lalat rumah‘ adalah jenis lalat yang
204
ditemukan di lingkungan rumah dengan populasi paling banyak di antara semua
jenis lalat. Ula gadhung ‗ular gadhung‘ adalah jenis ular yang berwarna hijau
muda seperti kulit mangga gadhung yang ditemukan hidup melilit di dahan-
dahan pohon. Ula kayu ‗ular kayu‘ adalah jenis ular yang berwarna seperti kulit
pohon kayu dan ditemukan hidup pada batang-batang kayu dan ula dhawuk ‗ular
hijau (dhawuk) adalah jenis ular yang warnanya lebih tua, bisa/racunnya lebih
membahayakan dan ukuran tubuh lebih besar dari ula gadhung. Jika cara
penamaan fauna dalam BU disajikan dalam bentuk tabel, akan terlihat seperti
tabel berikut.
Tabel 5.25
Keberagaman Cara Penamaan Fauna Acuan
Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
Leksikon BU Cara Penamaan Fauna 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
tikus langu + + - - - - - - - - - -
walang sangit + + - - - - - - - - - -
dudhuk dom + - + - - - - - - - - -
kala supit + - + - - - - - - - - -
kul buntet + - + - - - - - - - - -
samber ilen + - + - - - - - - - - -
ula cinde + - + - - - - - - - - -
wedus kendit + - + - - - - - - - - -
dudhuk enthelong + - - + - - - - - - - -
kala jengking + - - + - - - - - - - -
semut angkrang + - - + - - - - - - - -
tikus celurut + - - + - - - - - - - -
ula kelasa + - - + - - - - - - - -
walang kadung + - - + - - - - - - - -
uler geni + - - - + - - - - - - -
uler senggenit + - - - + - - - - - - -
semut geni + - - - + - - - - - - -
semut gatel + - - - + - - - - - - -
ula silara + - - - + - - - - - - -
ula weling + - - - + - - - - - - -
ula jaran + - - - - + - - - - - -
tawon keroso + - - - - + - - - - - -
walang jaran + - - - - + - - - - - -
dudhuk maling + - - - - - + - - - - -
emprit kaji + - - - - - + - - - - -
uler keket + - - - - - - + - - - -
205
walang keretek + - - - - - - + - - - -
semut pudak + - - - - - - - + - - -
tawon sruk + - - - - - - - + - - -
ula sawa + - - - - - - - + - - -
walang godhong + - - - - - - - + - - -
walang kayu + - - - - - - - + - - -
walang pari + - - - - - - - + - - -
bango kebo + - - - - - - - - + - -
bango wedhus + - - - - - - - - + - -
jalak suren + - - - - - - - - + - -
dudhuk kacangan + - - - - - - - - - + -
wedhus kacangan + - - - - - - - - - + -
dudhuk menggala + - - - - - - - - - + -
tawon menggala + - - - - - - - - - + -
wedhus menggala + - - - - - - - - - + -
dudhuk kuning + - - - - - - - - - - +
dudhuk ruyung + - - - - - - - - - - +
kupu kuning + - - - - - - - - - - +
kupu ijo + - - - - - - - - - - +
laler ijo + - - - - - - - - - - +
laler cemeng + - - - - - - - - - - +
semut ireng + - - - - - - - - - - +
ula gadhung + - - - - - - - - - - +
ula kayu + - - - - - - - - - - +
ula luwuk + - - - - - - - - - - +
Keterangan: (1) Penamaan secara umum, (2) Penamaan berdasarkan bau yang dikeluarkan, (3)
Penamaan berdasarka cirri fisik, (4) Penamaan berdasarkan cara mempertahankan diri/efek yang
ditimbulkan, (5) Penamaan berdasarkan cara bergerak/gerakan, (6) Penamaan berdasarkan
kemiripan bentuk fisik, (7) Penamaan berdasarkan persamaan sifat/tingkah laku, (8) Penamaan
berdasarkan suara yang dikeluarkan, (9) Penamaan berdasarkan tempat hidup, (10) Penamaan
berdasarkan tempat mencari makan, (11) Penamaan berdasarkan ukuran, dan (12) Penamaan
berdasarkan warna.
Jika klasifikasi cara penamaan di atas dicermati, terlihat bahwa GTBU
secara rinci memberikan nama kepada entitas-entitas flora dan fauna yang mereka
temukan hidup di lingkungan mereka. Begitu rincinya cara mereka menamai
entitas-entitas acuan leksikon-leksikon yang ada menandakan bahwa adanya
kedalaman interaksi mereka dengan ecoregion tempat hidup fauna-fauna yang di
maksud sehingga BU memiliki leksikon yang unik dari segi nama-nama fauna
tertentu yang turut memberi warna pada keberagaman leksikon lingkungan alam
BU.
206
5.5 Keberagaman Leksikon Lingkungan Alam BU Berdasarkan
Relasi Maknanya
Ada berbagai cara yang dapat diterapkan untuk menunjukkan adanya relasi
semantis antara entitas yang diacu dan leksikonnya. Berdasarkan analisis data
dan temuan di lapangan ditemukan ada beberapa cara untuk menunjukkan hal
tersebut, di antaranya adalah melalui keberagaman penamaan sebuah entitas. Dari
leksikon-leksikon tentang nama-nama entitas yang ada terlihat bahwa nama
entitas mencerminkan adanya relasi semantis, seperti nama tempat, bau, bentuk
cara mengkonsumsi,cara tumbuh, ciri fisik, dan manfaat/fungsi entitas acuannya.
Di samping relasi makna antara leksikon dan entitas acuannya,
keberagaman relasi makna pada leksikon lingkungan alam BUjuga terlihat pada
adanya hubungan makna antara leksikon tertentu dan leksikon lainnya. Relasi
makna yang dimaksud, di antaranya dalam bentuk relasi makna paradigmatik
identitas dan inklusi, yang terdiri atas relasi makna hiponimi (hyponimy), dan
meronimi (meronimy). Berikut adalah uraian dari masing-masing relasi makna
yang dimaksud.
5.5.1 Relasi Makna Hiponimi
Relasi makna hiponimi merupakan relasi makna suatu ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Telaah terhadap data
menunjukkan bahwa cukup banyak leksikon yang memiliki hubungan semantis
jenis hiponimi yang ditemukan dalam leksikon lingkungan alam BU, baik dalam
kelompok flora maupun kelompok fauna. Fenomena ini terlihat pada hubungan
antara tataran leksikon generik dan leksikon spesik, yang merupakan usaha untuk
207
membuat klasifikasi terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan kelas-
kelas spesifik. Adanya keberagaman jenis pari ‘padi‘ dari kelompok bahan
pangan merupakan kelas spesifik dari leksikon generik pari; keberagaman jenis
mangga, pisang, jambu, dan jeruk dari kelompok buah-buahan merupakan
leksikon-leksikon generik dari leksikon generik masing-masing dari poh,
gedhang, jambu, dan jeruk ; keberagaman jenis bambu yang diacu oleh
leksikonnya masing-masing merupakan kelas spesifik dari leksikon generik
jajang; dan sebagainya, seperti tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.26
Relasi Makna Hiponimi Leksikon
Lingkungan Alam Flora BahasaUsing
Tumbuh-tumbuhan
Pari
pari gaga
pari genjah arum
pari singgang
pari sogel
pari untup
Sambulan
ketan cemeng
dsb.
Buah-buahan
poh
poh endhog
poh ganda
poh kecik
poh kenyut
poh kopyar
poh kotak
dsb.
gedhang
gedhang agung
gedhang berlin
gedhang kelutuk
gedhang lempeneng
gedhang raja nangka
gedhang welut
dsb.
Jambu
jambu dharsana
jambu kelampok
jambu lante
jambu semarang
dsb.
sentul
sai lampah
jamur dami
208
Sayur-sayuran
jamur
jamur gerigit
jamur impes
jamur kepon
jamur lot
jamur manuk
dsb.
Kara
kara abang
kara benguk
kara komak
kara pedang
kara utek
Dsb
Kenikir
Kemanggi
Tanaman
bumbu dan
tanaman obat
temu temu cemeng
temu kunci
temu rapet
dsb.
Bangle
Adas
mahkota dewa
sambung nyawa
Bunga
pecari pecari kuning
pecari putih
Sundel
Tunjung
Wangsa
Relasi makna di atas secara hierakis dapat disajikan dalam diagram di
bawah ini
tumbuhan
buah bunga dsb
gedhang poh dsb
gd.saba gd.sewu gd.mas dsb
Diagram 5.1
Hubungan Hierarkhis (Hiponimis) Flora dalam
Bahasa Using
209
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa buah yang ada pada paling atas
dalam tingkat hierakinya disebut superordinat, dan anggota-anggotanya yang
berupa gedhang, poh, dan sebagainya yang berada pada tingkat bawah merupakan
hiponim dari superodinat buah. Hubungan yang terdapat antara superordinat dan
hiponim adalah bersifat satu arah. Terdapat hubungan yang logis dalam hierarki
relasi makna hiponimi ini, artinya bahwa kalau sudah disebutkan hiponim
gedhang, maka sudah dapat dibayangkan kelompoknya, seperti gedhangsempring,
gedhang welut, gedhang saba, gedhang kidhang, gedhang berlin, gedhang sewu,
dan sebagainya. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa gedhang sewu,
gedhang saba, dan gedhang mas merupakan hiponim dari gedhang, gedhang
merupakan hiponim dari buah, dan buah merupakan hiponim dari tumbuhan.
Sementara itu, terkait dengan relasi semantis hiponimi yang ditemukan
pada kelompok leksikon fauna, pada tabel berikut terlihat bahwa tikus kerot, tikus
curut, dan tikus got merupakan hiponim dari tikus, tikus merupakan hiponim dari
mamalia, dan mamalia merupakan hiponim dari binatang. Hal ini tercermin pada
tabel berikut
Tabel 5.27
Relasi Makna Hiponimi Leksikon
Lingkungan Alam Fauna BU
mamalia
tikus
tikus curut
tikus kerot
tikus langu
dsb.
wedhus
wedhus kendit
wedhus menggala
wedhus etawa
dsb.
asu
bojog
pitik walik
pitik alas
210
Binatang
unggas
pitik bekisar
bangkok
dsb.
burung
bango
bango kebo
bango wedhus
bango tongtong
dsb.
emprit
emprit
uban/bondol
emprit kaji
emprit gantil
dsb.
gemek
kukuk beluk
reptil ula ula irus
ula jail
ula kelasa
ula sawa
dsb.
nyambit
kura
serangga
uler uler jaran
uler geni
uler keket
dsb.
dudhuk
dudhuk cutrik
dudhuk edom
udhuk maling
dudhuk entelong
dsb.
tawon
tawon kenceng
tawon gung
tawon rowan
dsb.
walang
walang jaean
walang kadhung
walang sangit
dsb.
semut
semut abang
semut angkrang
semut pudhak
dsb.
kuwangwang
angkut-angkut
Relasi makna di atas secara hierarkhis dapat disajikan dalam diagram di
bawah ini.
211
Diagram 5.2
Hubungan Hierarkis (Hiponimis) Fauna dalam Bahasa Using
5.5.2 Relasi Makna Meronimi
Selain relasi makna hiponimi, ada relasi makna lain yang ditemukan antara
leksikon BU dan leksikon BU lainnya, yakni relasi makna meronimi, yakni
hubungan inklusi unsur leksikon yang menggambarkan hubungan antara bagian
dan keseluruhan entitas. Berikut adalah tabel yang menunjukkan beberapa contoh
leksikon yang memiliki hubungan meronimi, baik pada leksikon flora maupun
pada leksikon fauna. Untuk melihat beberapa contoh relasi semantis meronimi
yang ada pada leksikon flora BU, perhatikan tabel berikut.
Tabel 5.28
Tabel Relasi Makna Meronimi Leksikon
Lingkungan Alam Flora Bahasa Using
pari
menir
elas
dami
merang
tugih
janggel
binatang
mamalia reptil dsb
wedhus jaran dsb
w.gibas w.etawa w.jawa dsb
212
Jagung kelobot
lemi
tebon
Gedhang
gedhebog
peret
papah
onthong
pupus
tandhan
Kelapa
belarak
janur
bongkok
jeliring
beluluk
pol
bathok
belangkokan
cikilan
tombong
dangu
Mayang
tali papah
Ruyung
Jajang
Barongan
Celumpring
Ebung
Serit
Hubungan inklusi antar-leksikon dalam satu kelompok, misalnya
kelompok jajang, yang terlihat pada tabel di atas menggambarkan bagian dan
keseluruhan, artinya jajang merupakan keseluruhan, sedangkan barongan,
celumpring, ebung, dan serit merupakan bagian. Demikian halnya yang terjadi
pada kelompok leksikon kelapa, kelapa merupakan keseluruhan, sedangkan
leksikon belarak, janur, belangkok, jeliring, beluluk, pol, bathok, belangkokan,
213
cikilan, tombong, dangu, mayang, dan ruyung merupakan bagian. Sementara itu,
relasi semantis meronimi yang ditemukan pada leksikon fauna adalah
Tabel 5.29
Relasi Makna Meronimi Leksikon
Lingkungan Alam BU tentang Fauna
pithik, bebek, burung
cekeker
cengger
cucuk
celampik
terutu
wulu
214
BAB VI
DINAMIKA PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN
LEKSIKON LINGKUNGAN ALAM
ANTARGENERASI GUYUB TUTUR BAHASA USING
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa lingkungan tempat tinggal
GTBU adalah lingkungan yang majemuk, baik secara lingual, sosial, maupun
kultural. Secara lingual, di tengah-tengah mereka digunakan beberapa BD, seperti
BJ, BM, dan sedikit BB. Sementara itu, secara sosial GTBU hidup berdampingan
terutama dengan penutur BJ dan BM dengan budaya mereka masing-masing di
sisi keberagaman profesi dan status sosial tradisional. Di samping karena adanya
perubahan lingkungan alam tempat GTBU bermukim, fenomena di atas berperan
dalam terjadinya perkembangan, perubahan, dan pergeseran bahasa, dalam hal ini,
pada tataran leksikon. Pada bagian ini dipaparkan profil tingkat pemahaman dan
penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU, serta perubahan
leksikon lingkungan alam BU. Tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan
leksikon-leksikon BU oleh ketiga kelompok responden ditampilkan dalam bentuk
persentase. Perbedaan persentase tingkat pemahaman dan penggunaan
antargenerasi terhadap leksikon-leksikon tersebut digunakan sebagai parameter
dinamika aspek tersebut. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang
dimaksud.
6.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU
Interaksi, interelasi, dan interdependensi antara GTBU dan lingkungan
alam tempat mereka bermukim terekam dalam alam pikiran dalam bentuk
214
215
gagasan-gagasan konseptual atau pengetahuan mereka tentang lingkungan alam
tersebut. Pengetahuan mereka tentang lingkungan alam ini direpresentasikan
dalam bentuk pemahaman leksikon-leksikon BU dari entitas-entitas yang secara
semantik referensial eksternal diacunya dalam komunikasi verbal mereka sehari-
hari. Penutur suatu bahasa tidak akan memahami leksikon-leksikon yang tidak
ada dalam gagasan konseptual mereka. Fenomena yang sama juga terjadi pada
GTBU. Di samping hal tersebut, interaksi, interelasi, dan interdependensi antara
GTBU dan lingkungannya juga berpengaruh pada tingkat pemahaman mereka
terhadap leksikon-leksikon lingkungan alam BU. Makin tinggi interaksi,
interelasi, atau interdependensi mereka terhadap keberagaman entitas lingkungan
mereka, maka makin tinggi pula tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon-
leksikon yang ada atau juga sebaliknya. Demikian juga halnya jikalau lingkungan
alam berubah, maka berubah pula pemahaman GTBU terhadap leksikon-leksikon
kealaman walaupun perubahan ini terjadi dalam waktu yang lama. Yang
dimaksud dengan tingkat pemahaman, dalam hal ini, adalah pengetahuan,
pemahaman, dan keeratan relasi dengan kekayaan leksikon yang dimiliki GTBU,
baik dalam bentuk leksikon-leksikon aktif maupun pasif. Akan tetapi sesuai
dengan permasalahan yang dikaji, maka jenis leksikon yang dikaji dalam
penelitian ini hanyalah leksikon lingkungan alam yang tergolong kelompok
nomina dan verba saja.
Tingkat pemahaman leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU pada
bagian ini, secara garis besar, dipilah menjadi tingkat pemahaman terhadap
leksikon kelompok nomina dan kelompok leksikon verba. Selanjutnya, kelompok
216
leksikon nomina dibedakan lagi menjadi kelompok leksikon flora dan kelompok
leksikon fauna. Secara lebih rinci, ulasan dari masing-masing kelompok leksikon
yang dimaksud dapat dilihat di bawah ini.
6.1.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Alam Antargenerasi GTBU Berkategori
Nomina
Khazanah leksikon nomina BU terkait dengan lingkungan alam sangat
bervariasi. Fenomena ini mengindikasikan keberagaman entitas acuannya yang
hidup di wilayah ini. Tingkat pemahaman terhadap leksikon nomina ini
dikelompokkan menjadi tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok flora
dan tingkat pemahaman terhadap leksikon kelompok fauna, seperti terlihat dalam
uraian berikut.
6.1.1.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Flora Antargenerasi GTBU
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dengan kesuburan tanahnya
anekamacam flora tumbuh subur di wilayah Kabupaten Banyuwangi sehingga
berbagai leksikon yang mengacunya juga beragam. Demikian juga tentang tingkat
pemahaman responden yang sangat bervariasi. Berikut adalah uraian dari masing-
masing tingkat pemahaman responden terhadap kelompok leksikon flora yang
ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU.
(1) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bahan pangan antargenerasi GTBU
Secara umum pemahaman responden terhadap leksikon tanaman bahan
pangan cukup tinggi, khususnya pada kelompok responden dewasa dan tua.
Walaupun demikian, ditemukan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden
217
yang mencapai 100% untuk leksikon yang entitas-entitasnya, di samping
populasinya sangat banyak, juga memiliki interaksi, interelasi, dan
interdependensi yang tinggi dengan kehidupan GTBU, yakni sebagai bahan
makanan pokok. Leksikon-leksikon yang dimaksud, di antaranya pari „padi‟, pari
ketan „padi ketan‟ dan jagung „jagung‟. Sementara itu, tingkat pemahaman
responden, khususnya golongan remaja, sangat rendah (rata-rata di bawah 30%)
terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada jenis-jenis padi, seperti leksikon
pari sogel „jenis padi yang cepat berbuah‟, pari gaga „jenis padi yang ditanam di
lahan tadah hujan‟, sambulan „padi liar yang tumbuh di sela-sela tanaman padi
utama‟, serta leksikon yang mengacu pada bagian-bagian tanaman padi, seperti
elas „bulir padi‟, belubon „padi yang baru dipotong dari sawah dan belum kering‟,
dan tugih „rambut yang terdapat pada ujung bulir padi‟. Khusus terhadap leksikon
elas, tingkat pemahaman responden remaja sebesar 9,6%, dewasa sebesar 25%,
dan tua sebesar 50%. Kecilnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon di
atas disebabkan oleh benak remaja tidak ingin dibebabni hal yang bersifat spesifik
dan kurang bermanfaat pada dunia mereka, di samping karena karena interaksi,
interelasi, dan intedependensi mereka lebih banya pada sesuatu yang besifat
generik. Khusus untuk leksikon elas, leksikon yang bersangkutan sudah
tergantikan oleh leksikon gabah/butir padi (dalam BI).
Sementara itu, tingkat pemahaman terhadap leksikon entitas jagung dan
bagian-bagiannya cukup tinggi kecuali untuk leksikon lemi „kotoran buah jagung‟
dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 52,4%, 65%, dan 86,%. Di
samping itu, fenomena ini disebabkan oleh kurangnya pengalihan pengetahuan
218
tentang entitas acuannya karena entitas ini tidak memiliki manfaat terhadap
kehidupan GTBU jika dibandingkan dengan bagaian-bagian tanaman jagung
lainnya. Misalnya, janggel „tongkol buah jagung‟ yang sudah kering dapat
dipakai kayu bakar; kelobot „kulit buah jagung yang dikeringkan untuk pembukus
rokok‟; serta tebon „batang pohon jagung‟, kalau yang masih mentah dapat
dipakai makanan ternak, yang sudah kering dapat dipakai kayu bakar. Tabel
berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap
leksikon-leksikon tanaman pangan yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal
GTBU.
Tabel 6.1
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bahan Pangan
Antargenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Padi dan
jenisnya
Sesuatu terkait
dengan padi
pari 100 100 100 rantap 57,1 80 86,4
pari singgang 47,6 70 90,9 palawija 90,5 100 100
pari sogel 28,6 55 81,8 tumpang sari 62 85 86,4
pari unthup 42,8 40 54,5 Jagung dan
bagian-
bagiannya
pari gaga 28,6 50 54,5 jagung 100 100 100
pari genjah
harum
76,2 95 100 Janggel 71,4 85 95,5
sambulan 28,6 70 90,9 kelobot 71,4 100 100
ketan cemeng 100 100 100 lemi 52,4 65 86,4
ketan putih 100 100 100 tebon 90,5 95 95,5
winih 100 100 100 Bahan pangan
lain
Bagian- bagian
tanaman padi
kentang jembut 100 100 100
menir 100 100 100 sabrang 100 100 100
elas 9,6 25 50 gadhung 95,2 100 100
dami 100 100 100 arus 52,4 75 95,5
merang 85.7 100 100 ganyong 42,9 70 100
sekem 90,5 95 100 kajar 19 30 59,1
belubon 23,8 50 63,6 suweg 47,6 75 90,9
tugih 23,8 30 63,6 puhung 100 100 100
219
Sementara itu, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon bahan
pangan lain cukup bervariasi dengan tingkat pemahaman tertinggi, yakni 100%
oleh ketiga kelompok responden yang ada pada leksikon kentang jembut „kentang
lokal yang ada rambutnya‟, sabrang „ubi jalar‟, dan puhung „ketela pohon‟,
sedangkan yang terendah ditemukan pada tingkat pemahaman leksikon kajar,
yakni sebesar 19%, 45%, dan 59,1%. Tingginya tingkat pemahaman terhadap
leksikon-leksikon di atas karena adanya interaksi, inetrelasi, dan interdependensi
yang tinggi terhadap entitas acuannya karena fungsinya sebagai makanan pokok
hampir sama dengan padi sehingga GTBU mempertahankannya dengan cara
membudidayakannya. Fenomena menarik terlihat pada tingkat pemahaman
yang cukup tinggi yakni dengan rerata di atas 95% terhadap leksikon gadhung
yaitu tanaman melilit dengan batang berduri yang umbinya beracun‟. Walaupun
populasi entitas ini tidak begitu banyak, ketiga kelompok responden berinteraksi
cukup tinggi dengan entitas acuannya karena keterpakaian umbi entitas ini sebagai
bahan campuran berbagai macam penganan.
(2) Tingkat pemahaman leksikon tanaman buah-buahan antargenerasi GTBU
Hampir sama dengan di wilayah Pulau Jawa lainnya, berbagai jenis buah
dapat ditemukan di wilayah ini. Karena adanya interaksi, interelasi, dan
interdependensi antara sejumlah entitas buah dengan GTBU, tingkat pemahaman
ketiga kelompok responden terhadap sejumlah leksikon buah secara umum cukup
tinggi, seperti terhadap leksikon-leksikon entitas jeruk tertentu, rambutan, dan
jenis buah lain (nanas, kedhondong, duren putih, manggis, dan pace) yang
220
disebabkan oleh banyaknya populasi karena entitasnya gampang tumbuh serta
faktor geografis dan totopgrafis, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 6.2
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Buah-buahan
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Mangga dan
jenisnya
Pisang dan
jenisnya
poh
100 100 100 gedhang 100 100 100
poh manalagi 100 100 100 gedhang sempring 57,1 60 100
poh golek 95,2 100 100 gedhang agung 47,6 85 100
poh kuweni 100 100 100 gedhang berlin 81 100 100
poh kates 23,8 65 72,7 gedhang ambon 95,2 100 100
poh madu 90,5 100 100 gedhang emas 81 100 100
poh ganda 52,4 90 90,9 gedhang keladi 52,4 90 90,9
poh kenyut 90,5 100 100 gedhang ijo 57,1 90 90,9
poh kopyor 42,9 70 72,7 gedhang
lempeneng
85,7 90 90,9
poh kotak 23,8 65 77,3 gedhang keluthuk 90,5 100 100
poh endhog 47,6 70 90,9 gedhang sri
nyonyah
66,7 90 96,4
poh kecik 71,4 75 81,8 gedhang raja
nangka
81 85 100
Jambu dan
jenisnya
gedhang kapuk 57,1 95 100
jambu 100 100 100 gedhang
selakat(susu)
100 100 100
jambu mente 100 100 100 gedhang sewu 52,4 95 100
jambu keluthuk 100 100 100 gedhang welut 71,4 85 90,9
jambu kelampok 42,7 55 77,3 gedhang raja 85,7 95 100
jambu lante 28,6 100 100 gedhang saba 100 100 100
jambu darsono 71,4 100 100 Bagian-bagian
dari pohon
pisang
jambu semarang 23,8 75 81,8 gedhebog 100 100 100
jambu wer 76,2 75 95,5 peret /serat 42,9 80 100
Nangka dan
bagian-
bagiannya
papah 66,7 100 100
nangka 100 100 100 kelaras 95,2 100 100
pucil 38,1 75 86,4 ontong 95,2 100 100
babal 38,1 75 86,4 pupus 66,7 80 82,7
tombol 72 100 100 tandan 42,9 100 100
empik 38,1 95 100 godhogan 28,6 80 100
bethon 100 100 100 Peralatan dari
221
daun pisang
Rambutan dan
jenisnya
samir 52,4 75 100
rambutan 100 100 100 pincuk 95,2 100 100
rambutan aceh 100 100 100 suru 90,5 100 100
rambutan rapiah 95,2 100 100 takir 81 80 100
rambutan lebak
bulus
76,2 80 90,9 Jenis buah
lainnya
Duren dan
jenisnya
manggis 100 100 100
duren 100 100 100 wuni 95,2 100 100
duren putih 100 100 100 kedondong 100 100 100
duren abang 71,4 100 100 kentul 81 85 100
Jeruk dan
jenisnya
tai lampah 47,6 75 100
jeruk 100 100 100 belimbing manis 95,2 100 100
jeruk sambel 100 100 100 langsat 100 100 100
jeruk purut 90,5 100 100 duku 100 95 90,9
jeruk manis 100 100 100 cerème 81 95 95,5
jeruk limo 85,7 100 100 nanas 100 100 100
jeruk kikit 57,1 60 63,6 kates 100 100 100
Delima dan
jenisnya
pace 100 100 100
delima 100 100 100 belewah 95,2 100 100
delima putih 95,2 100 100 belungking 71,4 90 100
delima abang 81 90 95.5
Dari tabel di atas terlihat tingkat pemahaman responden terhadap
kelompok leksikon gedhang, jambu dan poh sangat bervariasi dalam arti bahwa di
antara jenis entitas-entitas tersebut ada yang tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden mencapai 100%, namun ada juga yang di bawah 30% khususnya oleh
kelompok responden remaja, seperti terlihat pada tingkat pemahaman terhadap
leksikon poh kates, poh kotak, jambu lante, dan jambu semarang yang besarnya di
bawah 30%. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh populasi sedikit, interaksi
dan interdependensi rendah, dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi
pendahulu, serta entitas-entitas acuan dari leksikon-leksikon tersebut tidak
memiliki nilai penting bagi kehidupan remaja.
222
Sementara itu, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap
leksikon-leksikon entitas gedhang „pisang‟, khususnya terhadap gedhang
keluthuk, gedhang ambon, gedhang susu, gedhang raja, dan gedhang saba, tidak
menunjukkan perbedaan yang tinggi, yaitu berkisar antara 90% - 100%.
Tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon ini karena
adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara GTBU dan
entitas-entitas acuannya sehingga GTBU secara terus-menerus membudidayakan
entitas-entitas ini sehingga populasinya tetap banyak. Demikian halnya terhadap
leksikon duren abang ‘duren merah‟ yang entitasnya merupakan buah langka
yang hanya dapat ditemukan di satu keluarga di Desa Kemiren merupakan
fenomena unik yang terkait dengan tingkat pemahaman responden. Ketiga
kelompok responden memiliki pemahaman yang cukup tinggi terhadap entitas ini,
yakni masing-masing untuk remaja 71,4%, dewasa 100%, dan tua 100%.
Faktanya, populasi entitas ini sangat sedikit dan tumbuh hanya di satu tempat.
Adanya transfer pengetahuan tentang entitas ini dari generasi pendahulu
merupakan faktor penyebab dari fenomena ini.
(3) Tingkat pemahaman leksikon tanaman sayur-sayuran antargenerasi GTBU
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa beberapa wilayah
di Kabupaten Banyuwangi merupakan lahan yang sangat subur dan cocok untuk
tumbuhnya berbagai macam sayuran khususnya sayur-sayuran lokal, seperti
beberapa jenis kara, bayem, kacang, jamur, labu, dan sayuran lokal lainnya.
Keberagaman jenis entitas sayuran juga disertai keberagaman tingkat pemahaman
leksikon-leksikon spesifik yang mengacunya, sedangkan tingkat pemahaman
223
terhadap semua leksikon generiknya adalah 100%. Berdasarkan hasil analisis data
dan pengamatan di lapangan, tingkat pemahaman responden, khususnya
kelompok remaja, sangat rendah terhadap leksikon spesifik kelompok kara,
seperti kara benguk, kara pedang, dan kara utek yang masing-masing sebesar
33,3%, 33,3%, dan 19%; sedangkan terhadap kelompok leksikon bayam, yakni
bayem raja dan bayem pasir sebesar 14,3% dan 9,6%. Kecilnya tingkat
pemahaman, khususnya kelompok responden remaja jika dibandingkan dengan
tingkat pemahaman terhadap jenis sayuran lainnya di antaranya disebabkan oleh
tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka terhadap entitas-entitas
tersebut sangat rendah karena sedikitnya populasi dan juga karena beberapa jenis
sayuran yang di datangkan dari daerah lain, seperti kol, buncis, dan sawi hijau,
dengan mudah dapat dibeli di warung-warung karena lebih praktis. Tentang
tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon sayur-sayuran
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.3
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Sayur-sayuran
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Turi dan jenisnya Jamur dan
jenisnya
turi 100 100 100 jamur 100 100 100
turi abang 57,1 80 81,8 jamur dami 76,2 85 95,5
turi putih 100 100 100 jamur merang 66,7 90 95,5
Labu dan jenisnya jamur kepong 76,2 80 95,5
labu 100 100 100 jamur kuping 95,2 100 100
labu abang 38,1 50 68,2 jamur ulan 76,2 95 95,5
labu putih 57,1 95 95,5 jamur menur 71,4 85 86,4
labu siyem 66,7 100 100 jamur manuk 76,2 100 100
Kara dan jemisnya 33,3 90 90,9 jamur gerigit 42,9 75 86,4
kara jamur impes 28,6 40 77,3
224
kara benguk 100 100 100 jamur lot 90,5 95 95,5
kara abang 33,3 60 90,9 jamur gajih 47,6 65 90,9
kara ijo 42,6 70 100 Jenis sayur
lainnya
kara putih 66,7 75 95,5 buncis 100 100 100
kara komak 81 85 95,5 dhangsul 100 100 100
kara pedang 71,4 95 95,5 gambas 100 100 100
kara utek 66,7 85 100 pare 100 100 100
Kacang dan
jenisnya
33,3 75 95,5 kelentang 100 100 100
kacang 19 90 95 tegok 81 95 100
kacang brol terong 100 100 100
kacang ijo 100 100 100 timun 100 100 100
kacang jangan 90,5 100 100 belimbing
wuluh
100 100 100
kacang kapri 100 100 100 gundha 100 100 100
kacang tunggak 100 100 100 katu 100 100 100
kacang usi(ose) 90,5 100 100 kangkung 100 100 100
Bayam dan jenisnya
dan jenisnya
66,7 100 100 kelor 100 100 100
bayem 54,2 75 81,8 genjer 100 100 100
bayem cina bagu 81 95 100
bayem abang 100 100 100 manting 81 95 95,5
bayem eri 42,9 55 90,9 kemangi 100 100 100
bayem kul 66,7 75 90,9 kenikir 100 100 100
bayem menir 76,2 80 90,9 keningar 66,7 80 86,4
bayem raja 42,9 75 95,5 lembayung 95,2 100 100
bayem sapi 52,4 80 86,4 lucu 81 100 100
bayem pasir 14,3 40 77,3 semanggi 100 100 100
Berbeda dengan beberapa leksikon yang disebutkan di atas, tingkat
pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok sayuran lain,
khususnya sayuran lokal, seperti tegok, manting, kemangi, kelor, kelethang, dan
sebagainya di atas 80%. Berdasarkan pengamatan di lapangan, khususnya entitas
kelor dengan mudah ditemukan pada setiap rumah karena entitas ini memiliki
nilai budaya, yakni untuk penolak bala sehingga, di samping karena adanya
interaksi, interelasi, interdependensi terhadap entitas-entitas tersebut, juga
ecoregion yang sesuai, nilai ekonomis yang diembannya, dan adanya transfer
pengetahuan dari generasi pendahulu menyebabkan tingginya tingkat pemahaman
terhadap leksikon-leksikon tersebut. Khusus untuk leksikon sayuran lokal, seperti
225
kelor dan kelentang, tingginya tingkat pemahaman semua responden yang
mencapai 100%, di samping karena faktor-faktor tersebut di atas, keterpakaian
daun kelor sebagai salah satu elemen dalam ritual haturi dahar, membuat kedua
entitas ini begitu diakrabi oleh GTBU, khususnya yang berdomisili di beberapa
desa di Kecamatan Glagah.
(4) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi
GTBU
Di samping kaya akan berbagai jenis tanaman bahan pangan, buah-buahan,
dan sayur-sayuran, di Kabupaten Banyuwangi juga ditemukan tumbuh berbagai
jenis tanaman bumbu dan obat dengan tingkat populasi yang berbeda-beda, baik
yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Berdasarkan analisis data dan
pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden terhadap leksikon-leksikon yang entitasnya berfungsi, baik sebagai
obat tradisional maupun sebagai bumbu, seperti bawang abang, cengkeh, jahe,
kemiri, kencur, dan sebagainya hampir mencapai 100%. Hal ini disebabkan oleh
interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi terhadap entitas-entitas
acuannya karena keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan GTBU sehari-
hari. Di sisi lain, ada sejumlah leksikon dari entitas-entitas tanaman obat
tradisional yang tingkat pemahaman ketiga kelompok responden sangat rendah,
yakni untuk leksikon lempuyang wangi: 19%, 30%, dan 59,1%; lempuyang gajah:
19%, 25%, dan 59,1%; kembang bintang: 14,3%, 35%, dan 59,1%; dan sembung:
9,6%, 35%, dan 54,5%. Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden terhadap leksikon-leksikon tersebut di samping karena sedikitnya
populasi juga disebabkan oleh kurangnya interaksi, interelasi, dan interdependensi
226
terhadap entitas-entitas tersebut. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh
fungsinya sebagai tanaman obat sudah digantikan oleh obat yang bersifat kimiawi.
Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden
terhadap leksikon tanaman bumbu dan obat lainnya.
Tabel 6.4
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Temu dan
jenisnya
cabe merah 100 100 100
temu 95,2 100 100 cabe rawit 100 100 100
temu cemeng 81 90 100 pulasari 23,8 55 81,8
temu kunir 57,1 95 100 jinten 66,7 70 95,5
temu putih 52,4 80 81,8 kapulaga 71,4 90 95,5
temu rapet 33,3 75 81,8 jemukus 90,5 100 100
temu kunci 57,1 100 100 cengkeh 100 100 100
temu giring 33,3 55 59,1 sambiloto 62 80 100
Jenis tanaman
obat dan bumbu
lainnya
sembung 9,6 35 54,5
bawang abang 100 100 100 deringu 57,1 95 95,5
bawang putih 100 100 100 dilem 42,3 95 95,5
bakung 19 60 72,7 kayu putih 57,1 95 95,5
bangle 19 65 77,3 kayu manis 85,7 100 100
iles-iles 14,3 25 81,8 kumis kucing 90,5 100 100
lempuyang 76,2 100 100 legundi - 35 88,2
lempuyang wangi 19 30 59,1 lidah buaya 100 100 100
lempuyang gajah 19 25 59,1 luntas 76,2 100 100
jae 100 100 100 mangkokan 62 70 81,8
kencur 100 100 100 meniran 66,7 70 90,5
kunir 100 100 100 tapak dara 38,1 40 68,2
laos 100 100 100 tapak liman 42,6 40 68,2
sempol 19 35 72,7 sambung nyawa 28,6 60 68,2
kembang bintang 14,3 35 59,1 pecah beling 47,6 70 86,4
adas 23,8 80 81,8 urang-aring 66,7 70 90,5
mahkota dewa 76,2 80 86,4 sereh 100 100 100
kemiri 100 100 100 pule 33,3 45 90,9
cabe 100 100 100 teki 57,1 85 100
Sementara itu, fenomena menarik terjadi pada leksikon yang mengacu
pada entitas legundi, yaitu tumbuhan perdu dengan daun berwarna abu-abu
227
keunguan yang digunakan sebagai obat pengusir nyamuk, dengan tingkat
pemahaman responden remaja 0%, artinya bahwa tak satu pun dari mereka tahu
atau pernah mendengar leksikon tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
entitas ini populasinya masih ada namun karena tidak adanya interdependensi,
ketidaktahuan akan manfaatnya, fungsinya tergantikan oleh obat nyamuk bakar
atau obat nyamuk semprot buatan pabrik, serta tidak adanya transfer pengetahuan
dari generasi pendahulu menyebabkan responden remaja tidak paham dan tidak
pernah menggunakan leksikonnya dalam percakapan sehari-hari.
(5) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bunga antargenerasi GTBU
Tidak banyak ragam tanaman bunga yang ditemukan tumbuh di
lingkungan tempat tinggal GTBU, khususnya jenis bunga yang dibudidayakan.
Fenomena ini disebabkan oleh hampir tidak adanya interaksi, interelasi, dan
interdependensi antara GTBU dan entitas-entitas yang dimaksud. Hal ini
berdampak pada sedikitnya leksikon tentang tanaman bunga yang dikenal oleh
GTBU dari segi kuantitas.
Walaupun demikian, berdasarkan analisis data dan pengamatan di
lapangan ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok responden
secara umum cukup tinggi terhadap beberapa jenis leksikon bunga yang memiliki
hubungan dekat dengan kehidupan budaya GTBU khususnya. Kembang sundel,
mawar, kenanga (wangsa), dan pecari, misalnya merupakan elemen-elemen untuk
kembang telon yang dibutuhkan oleh GTBU dalam ritual santet dan slametan-
slametan lainnya. Tingkat pemahaman semua responden terhadap leksikon
keempat jenis bunga ini masing-masing untuk responden remaja: 47,6%, 90,5%,
228
95,5%, dan 72,2%; responden dewasa: 85%, 100%.100%, dan 90%; dan
responden tua: 95,5%, 100%, 100%, dan 100%. Rendahnya tingkat pemahaman
responden remaja terhadap leksikon kembang sundel, di samping karena
populasinya sedikit sehingga interaksi kurang, juga disebabkan oleh sedikitnya
keterlibatan mereka dalam ritual-ritual slametan yang biasanya didominasi oleh
kelompok tua. Beberapa besar tingkat pemahaman masing-masing kelompok
responden terhadap leksikon bunga, persentasenyadapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 6.5
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bunga
Antagenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
pecari putih 72,2 90 100 tunjung 28,6 60 100
pecari kuning 66,7 75 95,5 widuri putih 28,6 55 77,3
peciring 62 75 95,5 widuri biru 14,3 50 72,7
pembang gantil 71,4 80 90,9 kembang bacin 66,7 85 90,9
kembang merak 81 85 90,9 kembang bangah 28,6 50 63,6
kembang bojog 71,4 80 90,9 kembang
tembelekan
33,3 60 72,7
menur 71,4 85 90,9 kembang kecubung 52,4 85 90,9
seruni 85,7 100 100 tikul balung 47,6 70 86,4
kembang kertas 85,7 85 90,9 pecah beling 47,6 70 86,4
serngenge 90,5 100 100 kemuning 52,4 90 100
kembang sundel 72,2 100 100 kembang wangsa 90,5 100 100
mawar 90,5 100 100 sembuja 85,7 95 100
pacar 90,5 95 100
Sementara itu, tingginya tingkat pemahaman terhadap leksikon sembuja
yaitu sebesar 85,7% untuk responden remaja, 95% untuk responden dewasa, dan
100% untuk responden tua disebabkan oleh eksistensi entitas ini di lingkungan
makam sehingga sangat mudah dikenali dan terekam dalam memori GTBU yang
pasti pernah datang ke makam, sedangkan tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden terhadap leksikon kembang menur, yang masing-masing sebesar
229
85,7%, 100%, dan 100%, didukung oleh keterpakaian entitas ini pada riasan
pengantin, yang frekuensinya cukup tinggi.
(6) Tingkat pemahaman leksikon tanaman kelapa antargenerasi GTBU
Kabupaten Banyuwangi umumnya, dan Kecamatan Glagah, Giri, dan
Rogojampi khususnya memiliki lahan kebun kelapa yang sangat luas dan subur
sehingga kelapa merupakan salah satu tumbuhan yang populasinya sangat mudah
ditemukan di daerah ini di samping padi dan jagung. Di samping untuk
dikonsumsi sendiri, kelapa Banyuwangi juga diperdagangkan ke kabupaten atau
kodya lain di Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa GTBU khususnya
memiliki interaksi, interelasi, serta interdependensi yang tinggi terhadap entitas
kelapa sehingga berdampak pada terciptanya beraneka konsep di alam pikiran
mereka yang berdampak pada terciptanya beragam jenis leksikon tentang kelapa,
baik leksikon tentang jenis-jenis kelapa, bagian-bagian pohon kelapa maupun
peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa yang membuat BU sangat
berbeda dengan leksikon BD lain tentang kelapa.
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat
pemahaman ketiga kelompok responden leksikon-leksikon tentang entitas kelapa
secara umum cukup tinggi, seperti terlihat dalam tabel berikut
Tabel 6.6
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Kelapa
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Kelapa dan
jenisnya
tombong 95,2 95 100
kelapa 100 100 100 pol 95,2 100 100
kelapa bunyuk 23,8 50 63,6 mancung 95,2 100 100
230
kelapa kopyor 77,3 90 100 Peralatan
terbuat dari
bathok/
pohon kelapa
cengkir 71,4 75 100
kelapa ijo 90,5 100 100 irus 90,5 100 100
kelapa gadhing 66,7 95 90,9 kepang 66,7 85 100
kelapa puyuh 77,3 90 100
Bagian-bagian
pohon kelapa
kiso 66,7 90 100
bongkok 100 100 100 rinjing 23,8 60 86,4
bathok 100 100 100 riwur 90,5 100 100
belarak 100 100 100 patar 38,1 65 81,8
belangkokan 90,5 95 100 sapu 100 100 100
beluluk 76,2 100 100 tepis 90,5 100 100
cangkok 95,2 100 100 kurih 9,6 70 81,8
cikilan 90,5 100 100 sepet 100 90 100
celumpring 72,1 90 100 bencorong 66,7 90 95,5
dangu 76,2 75 100 canting 66,7 75 95,5
gelugu 66,7 80 100 welit 42,9 95 100
tali papah 57,1 85 100 Hasil olahan
dari buah
kelapa
janur 100 100 100 gulali 85,7 100 100
jeliring 76,2 90 100 koyah 66,7 80 86,4
mayang 57,1 90 100 koprah 66,7 95 100
ruyung 52,4 75 100 sawur 52,4 70 95,5
Tapas 28,6 75 100
Jika data tabel di atas dicermati, terlihat bahwa dari lima leksikon jenis
kelapa yang ada, tingkat pemahaman terhadap leksikon kelapa bunyuk
menunjukkan persentase paling rendah untuk ketiga kelompok responden, yaitu
masing-masing 23,8%, 50%, dan 63,6% yang merupakan tingkat pemahaman
terendah dibandingkan dengan tingkat pemahaman terhadap leksikon jenis kelapa
lainnya. Selain karena sedikitnya populasi, kebermanfaatan entitas ini yang diacu
oleh leksikon ini juga rendah sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi
GTBU juga rendah. Hal sebaliknya terlihat pada tingkat pemahaman ketiga
kelompok responden terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada nama-nama
bagian pohon kelapa, seperti belarak „daun kelapa kering‟, bongkok „tangkai daun
231
kelapa‟, dangu „tangkai buah kelapa‟, tombong „daging berwarna putih yang
tumbuh di tengah-tengah buah kelapa yang sudah tua‟, dan sebagainya dengan
persentase cukup tinggi yang menandakan bahwa interaksi GTBU terhadap
entitas-entitas yang diacunya juga tinggi kecuali untuk leksikon tapas yaitu
serabut pembungkus tangkai daun kelapa yang persentase tingkat pemahaman
kelompok responden remaja khususnya hanya 28,6% yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok dewasa (75%) dan kelompok tua (100%).
Fenomena ini disebabkan oleh ketidakbermanfaatan entitas ini pada kehidupan
modern saat ini dan tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke
generasi berikutnya, walaupun populsi entitas ini sama banyaknya dengan
populasi pohon kelapa.
Fenomena yang sedikit berbeda ditemukan pada tingkat pemahaman
responden terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada sejumlah nama
peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon kelapa. Dari 12 leksikon, ada 3
leksikon, yakni rinjing „wadah persegi empat yang terbuat dari anyaman daun
kelapa‟, kurih „sapu kecil dan pendek yang terbuat dari ikatan lidi kelapa ynag
digunakan untuk membersihkan wajan setelah menyangrai kopi/jagung‟, dan
patar „lekukan pada batang pohon kelapa sebagai tempat pijakan kaki ketika
sedang memanjat pohon kelapa‟ yang tingkat pemahamannya kurang, khususnya
pada responden remaja, yaitu masing-masing sebesar 23,6%, 9,6%, dan 38,1%.
Kurang dipahaminya ketiga entitas yang diacu oleh masing-masing leksikon di
atas, walaupun populasinya masih banyak, antara lain, disebabkan oleh
tergantikannya fungsi entitas-entitas tersebut oleh peralatan lain, seperti rinjing
232
digantikan oleh bakul bambu atau wadah terbuat dari plastik. Sementara itu,
leksikon sapu kecil dipakai sebagai pengganti kurih.
(7) Tingkat pemahaman leksikon tanaman bambu antargenerasi GTBU
Bambu yang dalam BU disebut jajang tumbuh subur di daerah Kabupaten
Banyuwangi umumnya dan di lingkungan tempat tinggal GTBU khususnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan ada lima belas jenis bambu yang ditemukan
tumbuh dari daerah dataran rendah hingga ke daerah perbukitan dengan lingkar
batang dari yang paling kecil, yakni jajang wuluh hingga yang paling besar,
yakni jajang meluwuk, yang biasanya dipakai katir perahu nelayan karena
kekuatan dan bentuk batang yang lurus.
Ada interaksi, interelasi, dan interdependensi yang cukup tinggi antara
GTBU, khususnya responden dewasa dan tua, dan beberapa jenis bambu tertentu.
Hal ini dapat dibuktikan melalui tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon-
leksikon perbambuan, baik terhadap entitas bambu itu sendiri maupun entitas-
entitas peralatan yang tercipta dari berbagai jenis bambu. Walaupun demikian,
berdasarkan analisis data, dari ke lima belas jenis bambu yang dikenal oleh
GTBU, ada empat entitas yang kurang dipahami leksikonnya oleh responden
muda dan dewasa dengan tingkat pemahaman masing-masing: jajang apus
(23,8%/35%), jajang gabug (19%/45%), jajang pelet (14,2%/35%), jajang watu
(4,8%/30%), dan jajang meluwuk (4,8%/10%). Kurang dipahaminya leksikon
dari entitas-entitas tersebut, di samping karena populasinya sedikit (kecuali jajang
gabug), ecoregion tempat tumbuhnya yang jauh dari lingkungan tempat tinggal
mereka, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu
233
merupakan faktor penyebab dari fenomena ini. Sementara itu, untuk jajang gabug
fenomena ini dilatarbelakangi oleh kemiripan bentuk fisik dari jajang ini dengan
jajang tali, namun yang membedakan keduanya adalah dinding ruas jajang tali
lebih tebal dan lebih lentur. Tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-
leksikon perbambuan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.7
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bambu
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
jajang 100 100 100 ganjur/sengget 95,2 95 100
jajang apus 23,8 35 77,3 golong/gunjo 19 50 86,4
jajang benel 47,6 60 77,3 irig 95,2 95 100
jajang kuning 76,2 90 100 katir 38,1 60 90,9
jajang ori 62 95 100 keranjang 100 100 100
jajang peting/
keting
33,3 70 90,9 kereneng 4,8 50 72,7
jajang petung 81 100 100 kicir 71,4 80 95,5
jajang meluwuk 4,8 10 54,5 langkab 33,3 55 100
jajang pellet 14,3 35 68,2 lothek 90,5 95 95,5
jajang surat 71,4 80 100 nyiru 100 100 100
jajang tali 57,1 75 100 kentongan 95,2 100 100
jajang wuluh 66,7 70 100 sawu 52,4 60 100
jajang tutul 81 90 100 Seser 71,4 75 90,9
jajang ampel 47,6 60 100 kukusan 100 100 100
jajang watu 4,8 35 68,2 berajag 4,8 35 72,7
jajang gabug 19 45 68,2 beranding 19 60 90,9
Bagian-bagian
dari pohon bambu
beronjong 28,6 35 86,4
barongan 90,5 95 100 budhag 9,6 55 72,7
celumpring 52,4 80 81,8 tumbu/besek 57,1 90 100
ebung 100 100 100 cokop 57,1 70 95,5
serit 66,7 85 90,9 cantuk 95,2 100 100
Peralatan terbuat
dari batang
bambu
tedhok 14,3 65 95,5
keser 23,8 45 68,2 tenong 85,7 95 100
galar 90,5 100 100 singkek 100 100 100
seseg 90,5 100 100 penguluran
/panggungan
66,7 85 90,9
geladhag 42,9 55 81,8
234
Di samping menampilkan persentase tingkat pemahaman responden
terhadap leksikon jenis-jenis bambu, tabel di atas juga memuat sejumlah leksikon
tentang nama-nama dari bagian pohon bambu dan peralatan yang terbuat dari
bambu yang masing-masing berjumlah empat dan dua puluh sembilan leksikon.
Jikalau dicermati, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden cukup tinggi
terhadap leksikon bagian-bagian tanaman bambu yaitu di atas 50%, sedangkan
untuk leksikon peralatan yang terbuat dari tanaman bambu, persentase tingkat
pemahamannya sangat bervariasi. Variasi tersebut tercermin pada perbedaan
tingkat pemahaman antarleksikon oleh satu kelompok responden dan variasi
antargenerasi yang mencerminkan rentangan persentase yang cukup jauh. Contoh
dari kelompok yang disebutkan pertama dengan persentase yang sangat rendah,
antara lain, ditunjukkan oleh tingkat pemahaman responden remaja terhadap
leksikon-leksikon: kelakah (19%), kereneng (4,8%), beronjong (28,6%), budhag
(9,6%), tedok (14,3%), golong/gunjo (19%), berajag (4,8%), beranding (19%),
dan keser (23,8%). Fenomena ini, selain disebabkan oleh ketiadaan entitas-entitas
yang diacu oleh masing-masing leksikon dimaksud di tengah-tengah kehidupan
GTBU karena fungsinya sudah digantikan oleh peralatan lain, juga disebabkan
oleh tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi
berikutnya.
Sementara itu, kelompok kedua dengan tingkat pemahaman antargenerasi
ditunjukkan oleh leksikon-leksikon, seperti kelakah (19%, 50%, dan 95,5%),
langkab (33,3%, 55%, dan 100%), beronjong (28,6%, 35%, dan 86,4%),
golong/gunjo (19%, 50%, dan 86,4%), dan berajag (4,8%, 35%, dan 72,7%).
235
Fenomena ini mengindikasikan keberagaman tingkat pemahaman antargenerasi
terhadap leksikon-leksikon tersebut yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Perbedaan interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka terhadap entitas
acuan dari leksikon-leksikon tersebut, yang disebabkan oleh perbedaan zaman
merupakan salah satu faktor penyebab fenomena.
(8) Tingkat pemahaman leksikon tanaman lain antargenerasi GTBU
Leksikon tanaman lain yang dimaksud pada bagian ini adalah leksikon-
leksikon yang diacu oleh jenis flora yang berada di luar kelompok yang telah
diulas pada bagian sebelumnya yang memiliki interaksi, interelasi, dan
interdependensi dengan kehidupan GTBU, baik pada masa sebelumnya maupun
masa sekarang. Kelompok leksikon ini mengacu pada beberapa jenis entitas
beserta leksikon-leksikon dari bagian entitas tersebut, seperti enau (lirang), lontar
(gebyong), rotan (penjalin), kapuk (randu), tembakau (bako), dan sebagainya.
Hasil analisis data dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok-kelompok
tanaman ini sangat bervariasi dengan tingkat pemahaman responden terhadap
leksikon inti sangat tinggi dengan rerata di atas 95% (kecuali untuk gebyong
„lontar‟ dengan rerata tingkat pemahaman 44,2%) , namun tidak demikian halnya
terhadap leksikon-leksikon yang mengacu pada bagian-bagian dari entitas tersebut
yang menunjukkan tingkat pemahaman yang bervariasi, baik terhadap
antarleksikon oleh satu generasi maupun antargenerasi terhadap sejumlah
leksikon. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
236
Tabel 6.8
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Lain
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Lirang dan
bagian-bagiannya
semprul 28,6 70 100
lirang 81
100 100 kerosok 9,6 30 59,1
kedhuk 62 80 90,9 Jenis tanaman
lainnya
kolang-kaling 100 100 100 bungur 28,6 70 77,3
mancung 66,7 80 100 kepuh 19 25 59,1
manggar 42,9 85 90,9 kesambi 42,9 50 59,1
kawung 38,1 40 72,7 ketepeng kecil 76,2 90 95,5
sodho 47,6 80 100 ketepeng kebo 19 35 40,1
upih 62 80 90,9 putat 28,6 70 77,3
Kapuk dan
bagian-bagiannya
santen 100 100 100
randu 100 100 100 rau 62 80 90,9
karuk 47,6 55 72,7 weringin 100 100 100
pelenteng 47,6 80 87,3 wunut 33,3 65 90,9
Asam dan bagian-
bagiannya
cemara 95,2 100 100
asem 100 100 100 kedawung 57,1 90 90,5
tempalok 57,1 65 95,5 kenari 76,2 75 95,5
kelingsi 76,2 85 95,5 waru 90,5 100 100
asem kamal 76,2 100 100 suruh 100 100 100
godhong asem 100 100 100 suruh kinang 100 100 100
Jati dan jenisnya suruh temu ros 81 85 90,9
jati 100 100 100 galing 19 35 72,7
jati mas 57,1 85 95,5 simbukan 95,2 100 100
jati landa 28,6 55 77,3 sri wangkat 42,9 55 86,4
Tembakau dan
jenis irisan
daunnya
lung-lungan 38,1 60 81,8
bako 100 100 100
Dari tabel di atas dapat diamati bahwa dari tingkat pemahaman responden
muda terendah ditemukan pada leksikon doni „daun pohon rotan‟, yaitu sebesar
4,8%, kemudian disusul oleh kerosok „daun tembakau sisa panen yang diiris
secara kasar‟ sebesar 9,6%, dan terendah ketiga, yakni kepuh, ketepeng kebo, dan
galing dengan tingkat pemahaman masing-masing sebesar 19%. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, populasi entitas acuan dari leksikon-leksikon tersebut
237
sangat banyak, tetapi karena kurangnya interaksi, intereasi, dan interdependensi
menyebabkan tingkat pemahaman mereka rendah. Fenomena yang sedikit berbeda
ditemukan pada responden dewasa dan tua dengan tingkat pemahaman terhadap
leksikon-leksikon tersebut rerata masing-masing 31,7% dan 57,3%. Lebih
tingginya tingkat pemahaman kedua kelompok responden ini karena mereka,
khususnya yang berprofesi petani, masih berinteraksi dengan entitas-entias
acuannya.
Sementara itu, ada dua jenis tumbuhan, baik leksikon maupun entitasnya
hanya dipahami dan diakrabi oleh GTBU yang berdomisili di Desa Kemiren, yaitu
lung-lungan dan sri wangkat. Fenomena ini disebabkan oleh keterpakaian kedua
entitas tersebut dalam ritual dimana ada tumpeng sri wangkat-nya.
6.1.1.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Fauna Antargenerasi GTBU
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa GTBU adalah masyarakat yang
muslim agraris sehingga jenis-jenis fauna tertentu yang ada kaitannya dengan
situasi sosial tersebut banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal mereka.
Adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi terhadap fauna-fauna tertentu
berdampak pada tingkat pemahaman GTBU terhadap leksikon-leksikon yang
diacu oleh entitas-entitas tersebut. Secara umum, tingkat pemahaman responden
terhadap leksikon-leksikon fauna lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pemahaman mereka terhadap leksikon-leksikon flora. Walaupun demikian,
berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data, ditemukan juga tingkat
pemahaman yang rendah terhadap beberapa jenis leksikon, khususnya leksikon-
leksikon spesifik dari entitas-entitas fauna tertentu. Untuk mengetahui tingkat
238
pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon fauna yang
ditemukan hidup di lingkungan tempat tingga GTBU, dapat dilihat pada uraian
berikut.
(1) Tingkat pemahaman leksikon mamalia antargenerasi GTBU
Jenis mamalia tertentu, seperti jaran, sapi, wedhus, dan kebo cukup
banyak ditemukan di wilayah tempat tinggal GTBU khususnya. Dipahami dan
diakrabinya objek dan leksikon dari entitas-entitas ini oleh masyarakat tidak
terlepas dari perannya dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi GTBU
sehingga interaksi, interelasi, dan interdependensi mereka pun cukup tinggi. Sapi
„sapi‟ dan kebo „kerbau‟ adalah dua jenis hewan yang berperan penting dalam
membantu GTBU mengolah lahan pertanian dan kebun hingga saat ini walaupun
mereka telah mengenal traktor. Semetara itu, wedhus „kambing‟ bagi GTBU
merupakan hewan penting yang memiliki peran budaya yakni untuk aqiqah-an
dan juga peran ekonomi, yakni untuk diperjualbelikan sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan mereka, sedangkan jaran „kuda‟ adalah jenis hewan
yang digunakan jaran kencak yaitu kuda yang didandani secantik mungkin yang
biasanya ditanggap pada acara kawinan atau sunatan. Beberapa peran penting
yang diemban oleh entitas-entitas di atas berdampak pada tingginya tingkat
pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon entitas-entitas tersebut
(kecuali terhadap leksikon-leksikon spesifik kelompok wedhus), yakni 100%.
Ditemukan fenomena menarik pada tingkat pemahaman responden
terhadap leksikon wedhus etawa, yaitu jenis kambing hasil kawin silang antara
kambing lokal dan kambing impor, yakni persentase tingkat pemahaman
239
responden tua terendah, yaitu sebesar 68,2%, dewasa, 85%, dan remaja 71,4%.
Ketidakmampuan mereka untuk membedakan bentuk fisik entitas ini dan
sedikitnya populasi sehingga kurangnya interaksi merupakan faktor-faktor
penyebab fenomena ini.
Untuk melihat persentase dan perbedaan tingkat pemahama ketiga
kelompok responden terhadap kelompok leksikon mamalia dapat dilihat dalam
tabel berikut.
Tabel 6.9
Tingkat Pemahaman Leksikon Mamalia Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
tikus 100 100 100 Jenis binatang
lainnya
tikus curut 81 95 95,5 asu 100 100 100
tikus kerot 52,4 50 72,7 kirik 100 100 100
tikus langu 66,7 95 95,5 jaran 100 100 100
tikus got 33,3 55 86,4 kucing 100 100 100
Kambing dan
jenisnya
sapi 100 100 100
wedhus 100 100 100 bojog 95,2 100 100
wedhus gimbal 57,1 75 95,5 bantongan 66,7 65 81,8
wedhus kendhit 19 50 72,7 celeng 95,2 100 100
wedhus kacangan 52,4 80 86,4 cuwut 90,5 100 100
wedhus menggala 33,3 65 81,8 delundheng 57,1 65 86,4
wedhus gibas 62 80 95,5 garangan 42,9 95 100
wedhus etawa 71,4 85 68,2 kidhang 90,5 100 100
wedhus jawa 66,7 75 90,9 macan 100 100 100
Ada fenomena unik yang terlihat pada tabel di atas, yakni pada leksikon
wedhus etawa „hasil persilangan antara kambing lokal dan kambing menggala‟
yang menunjukkan bahwa tingkat pemahaman generasi tua terhadap leksikon
tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan tingkat pemahaman pada generasi
dewasa dan generasi remaja. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada tingkat
pemahaman terhadap pada leksikon pada umumnya, yakni tingkat pemahaman
240
generasi tua adalah tertinggi. Fenomena ini disebabkan oleh kebaruan dari entitas
acuannya sehingga generasi tua kurang mengakrabi entitasnya, di samping ciri
fisik dari entitas ini memiliki kemiripin dengan wedhus menggala.
Di samping itu, selain terhadap leksikon hewan-hewan yang telah
disebutkan sebelumnya, tingkat pemahaman yang tinggi juga ditemukan pada
tingkat pemahaman terhadap leksikon asu „anjing‟, kirik „anak anjing‟, dan
celeng „babi hutan‟ yang masing-masing hampir mencapai 100%. Walaupun
GTBU merupakan masyarakat muslim dimana ketiga entitas ini merupakan hewan
yang “diharamkan”, di wilayah tertentu, khususnya asu dan kirik,cukup dikenal.
Diakrabinya, baik leksikon maupun entitas binatang ini, khususnya asu, karena
fungsinya untuk menjaga kebun dari gangguan pencuri dan monyet. Sementara
itu, dikenalnya entitas dan leksikon celeng „babi hutan‟ di samping merupakan
hewan perusak tanaman kebun, celeng juga merupakan kata umpatan yang
berfungsi sebagai sapaan kepada sahabat saat bertemu setelah lama berpisah.
(2) Tingkat pemahaman leksikon unggas antargenerasi GTBU
Hampir sama dengan wilayah Jawa Timur lainnya, di Kabupaten
Banyuwangi juga ditemukan berbagai jenis unggas yang hampir semuanya
dibudidayakan atau dipelihara di lingkungan pekarangan sehingga terdapat
interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi antara GTBU dan entitas-
entitas yang dimaksud sehingga tingkat pemahaman GTBU terhadap leksikon-
leksikonnya cukup tinggi pula. Kehadiran beberapa jenis unggas, seperti pitik
‘ayam‟, bebek „itik‟, dan banyak „angsa‟di tengah-tengah GTBU, di samping
memiliki nilai ekonomis, juga memiliki nilai budaya, khususnya pitik berbulu
241
putih mulus sebagai bahan dasar untuk pecel pitik. Leksikon-leksikon apa saja
yang terkait dengan unggas dan jenisnya dan bagaimana tingkat pemahaman
responden terhadap leksikon-leksikon tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 6.10
Tingkat Pemahaman Leksikon Unggas Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Ayam dan
jenisnya
berengul 76,2 85 95,5
pitik 100 100 100 Bebek dan jenisnya
pitik walik 85,7 90 100 bebek 95,2 100 100
pitik cemara 33,3 70 100 bebek banyong 66,3 85 95,5
bangkok 66,7 85 100 bangsong 52,4 70 86,4
pitik alas 95,2 95 100 Bagian-bagian
tubuh ungags
bekisar 71,4 80 95,5 cekeker 100 100 100
babon 71,4 80 95,5 cengger 100 100 100
bAngsa dan
jenisnya
71,4 80 95,5 cucuk 100 100 100
banyak telampik 100 100 100
Banyak 100 100 100 berutu 100 100 100
Selain beberapa leksikon unggas yang dipahami oleh GTBU, ada sejumlah
leksikon tentang bagian-bagian tubuh entitas tersebut yang tingkat pemahaman
ketiga kelompok responden mencapai 100%. Hai ini mengindikasikan bahwa
GTBU masih menggunakan leksikon BU untuk menyebut entitas-entitas yang
dimaksud.
(3) Tingkat pemahaman leksikon burung antargenerasi GTBU
Lingkungan alam yang asri dan lestari merupakan tempat yang nyaman
bagi burung untuk hidup dan berkembang biak. Berdasarkan pengamatan di
lapangan, ada cukup banyak jenis burung yang dikenal dan dipahami oleh GTBU
242
walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda, baik antarleksikon oleh
satu generasi maupun antargenerasi, terhadap sebuah leksikon.
Sama halnya seperti terhadap entitas-entitas lain yang memiliki leksikon
generik dan spesifik, tingkat pemahaman responden terhadap leksikon spesifik
selalu lebih rendah dari tingkat pemahaman terhadap leksikon generik.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan ada tiga jenis burung yang
memiliki leksikon generik dan spesifik, yakni bango „burung bangau‟, jalak
„burung jalak‟, dan emprit „burung pipit‟ dengan rata-rata tingkat pemahaman
responden remaja, dewasa, dan tua terhadap leksikon generik setiap entitas secara
berurutan, untuk bango: 71,4%, 100%, dan 100%; jalak: 90,5%, 100%, dan
100%; dan emprit: 100%, 100%, dan 100%. Sementara itu, tingkat pemahaman
terendah terhadap leksikon spesifik dari ketiga jenis burung tersebut ditemukan
pada tingkat pemahaman terhadap leksikon bango. Sedikitnya populasi karena
jenis burung itu mati akibat memakan bangkai hewan yang terkena pestisida dan
adanya perburuan terhadap jenis bangau tertentu serta ketidakmampuan GTBU
membedakan entitas dari masing-masing jenis secara fisik merupakan penyebab
rendahnya tingkat pemahaman terhadap leksikon-leksikon spesifik entitas ini.
Untuk mengetahui variasi tingkat pemahaman responden terhadap leksikon
burung lainnya, dalam hal ini persentasenya, dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 6.11
Tingkat Pemahaman Leksikon Burung Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Bango dan jenisnya culik 62 75 100
bango 71,4 100 100 gemek 81 90 95,5
bango kebo 14,3 40 63,6 jegug 42,9 65 86,4
243
bango thongthong 28,6 45 63,6 kukuk beluk 47,6 80 95,5
bango wedhus 14,3 25 40,1 kacer 52,4 65 81,8
belekok 81 85 95,5 kakak tua 95,2 100 100
kuntul 95,2 95 100 kepodang 66,7 85 100
meliwis 33,3 50 81,8 perenjak 71,4 95 95,5
Jalak dan jenisnya serigunting 28,6 75 95,5
jalak 90,5 100 100 seriti 33,3 90 100
jalak bali 47,6 75 90,9 sikatan 23,8 60 86,4
jalak cemeng 71,4 85 90,9 tinil 28,6 50 90,9
jalak suren 23,8 65 90,9 tuwu 19 65 100
Pipit dan jenisnya alap-alap 81 90 100
emprit 100 100 100 bangkrak 76,2 75 77,3
emprit uban/bodol 52,4 65 95,5 betet 66,7 75 90,9
emprit gantil 52,4 65 81,8 gagak 100 100 100
emprit peking 52,4 65 77,3 gedhubug 66,7 65 72,7
emprit kaji 42,9 50 59,1 samber ulung 19 55 100
Jenis burung
lainnya
bidhol 19 55 63,6
ancel-ancel angin 23,8 70 81,8 dara 100 100 100
belkatuk 81 90 95,5 manyar 28,6 90 90,9
bence 62 70 90,9 perkutut 85,7 90 100
cucak rawa 85,7 85 100 gelatik 66,7 75 100
Selain memperlihatkan variasi tingkat pemahaman responden terhadap
leksikon generik dan spesifik seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tabel di
atas juga memuat tingkat pemahaman responden terhadap jenis burung lain yang
tingkat pemahamannya juga bervariasi. Tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden cukup tinggi ditemukan pada leksikon-leksikon yang diacu oleh
entitas-entitas, seperti belkatuk: 81%, 90%, dan 95,5%; cucak rawa: 85,7%, 85%,
dan 100%; gemek: 81%, 90% dan 95,5%; kakak tua: 95,7%, 100%, dan 100%;
gagak: 100%, 100%, dan 100%; dan dara: 100%, 100%, dan 100%. Tingginya
tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang diacu oleh entitas
burung-burung tersebut, di antaranya populasi yang cukup banyak (cucak rawa,
gemek), tempat hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU (dara), terkait dengan
cerita rakyat/tahyul (gagak), dan sering menjadi berita di media, khususnya TV,
karena kemampuan berbicara dan keindahan bulunya (kakak tua).
244
Sebaliknya, tingkat pemahaman, khususnya responden remaja, yang
rendah ditemukan terhadap leksikon dari entitas-entitas yang habitatnya jauh dari
lingkungan tempat tinggal GTBU seperti ancel-ancel angin (22%) dan sikatan
(23,8%) yang hidup di lingkungan persawahan dan juga populasinya sedikit,
seperti tuwu, bidol, dan samber ulung dengan tingkat pemahaman masing-masing
sebesar19%. Kedua faktor tersebut berkontribusi terhadap rendahnya interaksi
responden remaja dengan entitas-entitas dimaksud.
(4) Tingkat pemahaman leksikon reptil antargenerasi GTBU
Hampir sama dengan di wilayah Kabupaten Banyuwangi lainnya, di
lingkungan tempat tinggal GTBU juga ditemukan beberapa jenis reptil. Di antara
semua jenis yang ada yang paling menonjol adalah kelompok ular yang dalam BU
disebut ula. Berdasarkan pengamatan di lapangan ada delapan belas leksikon
tentang ular dan entitasnya yang dipahami dan dikenal oleh GTBU walaupun
dengan tingkat pemahaman responden yang berbeda-beda. Leksikon dengan
tingkat pemahaman ketiga kelompok responden yang cukup tinggi, di antaranya
ditemukan pada leksikon-leksikon ula irus dan ula gadhung dengan tingkat
pemahaman masing-masing sebesar 90,5%, 100%, dan 100%, serta ula gadhung
sebesar 62%, 75%, dan 81,8%. Di samping karena populasinya masih cukup
banyak, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke generasi
berikutnya merupakan faktor penyebab dari fenomena ini.
Sebaliknya, tingkat pemahaman ketiga kelompok responden yang rendah
ditemukan pada leksikon-leksikon, seperti ula dhawu dengan tingkat
pemahaman masing-masing sebesar 9,6%, 30%, dan 50%, ula sungu sebesar
245
23,8%, 25%, dan 54,5%, ula walur sebesar 14,3%, 25%, dan 63,6%, dan ula
lumbu sebesar 23,8%, 40%, dan 59,1%. tingkat pemahaman 17,9% oleh remaja
dan 30% oleh kelompok dewasa, sedangkan tingkat pemahaman kelompok tua
terhadap entitas-entitas tersebut di bawah 60%. Rendahnya tingkat pemahaman
terhadap leksikon-leksikon dan entitas-entitas yang diacu disebabkan oleh
kurangnya interaksi terhadap habitat ular (seperti diketahui habitat hampir semua
jenis ular adalah semak belukar yang lokasinya berjauhan dengan pemukiman
penduduk, di samping ketidakmampuan responden untuk membedakan ciri-ciri
fisik dari entitas-entitas acuannya. Tabel berikut menunjukkan keberagaman
tingkat pemahaman responden terhadap leksikon reptile yang ditemukan hidup di
lingkungan tempat tinggal GTBU.
Tabel 6.12
Tingkat Pemahaman Leksikon Reptil Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Kodok dan jenisnya
bangkrak 76,2 80 81,8 ula lampar 47,6 50 63,6
bangkong 23,8 60 68,2 ula luwuk 57,1 85 90,9
kentus 19 25 54,5 ula kayu 28,6 55 59,1
Ular dan jenisnya ula kelasa 42,9 40 54,5
Ula 100 100 100 ula sawa 33,3 60 86,4
ula dhawu 9,6 30 50 ulo silara 23,8 50 86,4
ula irus 90,5 100 95,5 ula weling 33,3 50 81,8
ula jail 90,5 100 100 Jenis reptil
lainnya
ula lanang 28,6 50 59,1 bajul 90,5 100 100
ula lumbu 23,8 40 59,1 nyambit 100 100 100
ula sungu 23,8 25 54,5 kura 100 100 100
ula walur 14,3 25 63,6 kadal 100 100 100
ula welang 14,3 60 81,8 cecek 100 100 100
ula gadhung 62 75 81,8 tekek 100 100 100
Jikalau tabel di atas dicermati, terlihat bahwa tingkat pemahaman
responden terhadap jenis reptil lainnya, seperti bajul „buaya‟, nyambit „biawak,
246
kura „kura-kura‟, kadal „kadal‟, cecek „cecak‟, dan tekek „tokek‟ sangat tinggi
dengan rerata hampir mencapai 100%. Tingkat populasi yang tinggi dan habitat
yang berada di pemukiman penduduk sehingga interaksi sangat tinggi (untuk
cecek, tokek, dan kadal) dan kondisi habitat yang sangat sesuai yaitu banyak
tersedia air (untuk nyambit dan kura) merupakan penyebab dari fenomena ini.
(5) Tingkat pemahaman leksikon serangga antargenerasi GTBU
Hidup dan berkembangbiaknya banyak serangga merupakan salah satu ciri
dari daerah tropis. Demikian halnya di daerah Kabupaten Banyuwangi umumnya,
dan di wilayah tempat tinggal GTBU khususnya, hidup dan berkembang biak
berbagai jenis serangga yang diacu oleh leksikon generik ataupun leksikon
spesifik. Serangga-serangga ini ada yang habitatnya di lingkungan atau dekat
dengan lingkungan tempat tinggal GTBU dan juga di daerah persawahan atau
kebun. Perbedaan habitat turut berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
manusia, baik terhadap leksikon maupun entitas serangga-serangga ini.
Berdasarkan pengamatan dan analisis data, cukup banyak jenis serangga
yang memiliki leksikon generik dan leksikon spesifik, seperti uler „ulat‟, dudhuk
„capung‟, tawon „tawon‟, walang „belalang‟, kupu „kupu-kupu, semut „semur‟,
laler „lalat, dan kumbang „kumbang‟ dengan jenisnya masing-masing. Untuk
mengetahui seberapa paham ketiga kelompok responden terhadap leksikon-
leksikon serangga yang hidup di lingkungan mereka, dalam hal ini, persentasenya,
dapat dilihat dalam tabel berikut.
247
Tabel 6.13
Tingkat Pemahaman Leksikon Serangga Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Ulat dan
jenisnya
walang selethet 23,8 35 68,2
uler 100 100 100 walang gebog 38,1 45 68,2
uler geni 66,7 85 95,5 Kupu-kupu dan
jenisnya
uler senggenit 85,7 90 95,5 kupu 100 100 100
uler jaran 76,2 90 95,5 kupu abang 42,9 50 81,8
uler wulu 95,2 100 100 kupu ijo 33,3 60 81,8
uler jembut 38,1 75 90,9 kupu kuning 90,5 95 100
uler keket 81 95 95,5 kupu putih 85,7 85 90,9
Capung dan
jenisnya
kupu cedhung 71,4 70 100
dudhuk 95,2 100 100 kupu kithi 23,8 55 81,8
dudhuk cutrik 52,4 60 81,8 Semut dan
jenisnya
dudhuk edhom 90,5 90 90,9 semut 100 100 100
dudhuk abang 95,2 90 95,5 semut abang 100 100 100
dudhuk kuning 62 70 90,9 semut cemeng 100 100 100
dudhuk macan 47,6 70 72,7 semut gatel 100 100 100
dudhuk ruyung 9,6 25 59,1 semut geni 95,2 100 100
dudhuk terasi 62 70 77,3 semut angkrang 100 100 100
dudhuk cilik 62 80 95,5 semut pudhak 90,5 95 100
dudhuk gerobok 33,3 70 81,8 Lalat dan
jenisnya
dudhuk menggala 14,3 55 63,6 laler 100 100 100
dudhuk maling 42,9 55 59,1 laler cemeng 100 100 100
udhuk entelong 14,3 30 72,7 laler ijo/buyung 85,7 100 100
Tawon dan
jenisnya
Kumbang dan
jenisnya
tawon 100 100 100 kuwang-wang 4,8 65 81,8
tawon sruk 66,7 75 100 Kutis 42,9 65 90,9
tawon kenceng 95,2 95 95,5 bapak pucung 9,6 15 63,6
tawon keroso 95,2 100 100 gasir 90,5 90 95,5
tawon gung 28,6 75 90,9 ancruk 71,4 90 90,9
tawon kunir 66,7 75 90,9 samber ilen 42,9 65 90,9
tawon terasi/
gagak
42,9 45 72,7 Jenis serangga
lainnya
tawon macan 42,9 45 68,2 Keremi 100 100 100
tawon menggala 23,8 25 50 lingsa 95,2 100 100
tawon rowan 90,5 90 90,9 limpit 23,8 65 90,9
Belalang dan
jenisnya
kala jengking 100 100 100
walang 100 100 100 kala supit 71,4 75 90,9
walang gancong 42,9 50 72,7 tumo 100 100 100
walang jaran 38,1 45 72,7 Rengit 100 100 100
walang kalung 23,8 35 68,2 berecung 85,7 90 95,5
248
walang godhong 38,1 50 72,7 pucung 38,1 40 63,6
walang kadhung 85,7 85 95,5 angkut-angkut 66,7 85 90,9
walang kayu 62 60 86,4 lare angon 9,6 70 81,8
walang watu 23,8 35 68,2 tengu 100 100 100
walang keretek 23,8 25 81,8 Kunang 100 100 100
walang pari 90,5 95 95,5 Jengkrik 100 100 100
walang sangit 100 100 100 jekethit 81 85 86,4
Dari tabel di atas terlihat bahwa entitas dudhuk „capung‟ yang memiliki
leksikon generik paling banyak, yakni mencapai 12 leksikon. Terbanyak kedua
adalah walang „belalang‟ yang mencapai jumlah 11 leksikon, sedangkan
terbanyak ketiga tawon „tawon‟ dengan 9 leksikon, kemudian disusul berturut-
turut oleh kupu „kupu‟ kupu-kupu‟, uler „ulat‟, semut „semut‟, kumbang
„kumbang‟ dengan jumlah masing-masing 6, serta yang terakhir adalah laler
„lalat‟ dengan 2 leksikon generik. Sementara itu, tingkat pemahaman ketiga
kelompok responden terendah ditemukan pada leksikon generik kelompok dudhuk
„capung‟, seperti dudhuk ruyung (9,6%, 25%, dan 59,1), dudhuk menggala
(14,3%, 55%, dan 63,6%), dan dudhuk entelong (14,3%, 30%, dan 63,6%).
Sementara itu, dari kelompok tawon „tawon‟ adalah tawon menggala (23,8%,
25%, dan 50%), sedangkan dari kelompok walang „belalang‟ yakni walang
kalung (23,8%, 35%, dan 63,6% , walang watu (23,8%, 35%, dan 68,2%, dan
walangselethet (19%,30%, dan 59,1%). Kurangnya pemahaman responden
terhadap leksikon-leksikon ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya,
sedikitnya populasi, kurangnya interaksi karena habitat entitas-entias ini jauh dari
lingkungan tempat tinggal responden, ketidakmampuan responden membedakan
ciri-ciri fisik antara satu entitas dan entitas lainnya, dan tidak adanya transfer
pengetahuan dari generasi pendahulu.
249
Berbeda dengan fenomena tersebut di atas, tingkat pemahaman semua
responden untuk kelompok semut dan lalat sangat tinggi, yaitu rata-rata di atas
95%. Hal ini disebabkan oleh interaksi GTBU terhadap entitas-entitas tersebut
sangat tinggi karena keduanya hidup di lingkungan tempat tinggal manusia, di
samping populasi entitas-entitas tersebut masih sangat banyak.
(7) Tingkat pemahaman leksikon ikan air tawar antargenerasi GTBU
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Kabupaten Banyuwangi
umumnya dan lingkungan tempat tnggal GTBU khususnya memiliki sumber air
yang melimpah sehingga wilayah ini merupakan tempat yang bagus untuk hidup
dan berkembangbiaknya berbagai jenis ikan, khususnya ikan air tawar. Jenis ikan
air tawar yang populer di kalangan GTBU adalah badher „ikan wader‟, gurameh
„ikan gurami‟, sengkaring „ikan sengkaring‟, tombro „ikan tombro‟, mujaher „ikan
mujair, tawes „ikan tawes‟, dan nilem „ikan nilam‟ yang semuanya merupakan
jenis yang dibudidayakan, kecuali wader yang hidup liar di daerah aliran sungai.
Berdasarkan analisis data, tingkat pemahaman ketiga responden terhadap
leksikon-leksikon dari entitas-entitas di atas 80% yang mengindikasikan bahwa
ada interaksi, ineterelasi, dan interdependensi yang cukup tinggi antara GTBU dan
entitas-entitas acuan leksikon-leksikon dimaksud. Tabel berikut adalah tabel yang
memuat tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap kelompok
leksikon ikan air tawar yang ditemukan pada perairan di lingkungan tempat
tinggal GTBU.
250
Tabel 6.14
Tingkat Pemahaman Leksikon Ikan Air Tawar Antargenerasi GTBU
Leksikon
BU
Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
sepat 57,1 45 54,5 geruyu 100 100 100
badher 95,2 90 95,5 mendhil 66,7 90 90,9
gurameh 100 100 100 meniran 47,6 45 81,8
sengkaring 100 100 100 telekan 38,1 50 68,2
tombro 81 90 100 uceng-uceng 76,2 75 95,5
lele 100 100 100 kuniran 38,1 60 77,3
mujaher 100 100 100 welut 100 100 100
tawes 95,2 95 95,5 encit 28,6 65 95,5
nilem 81 85 95,5 bibis 47,6 85 95,5
bedhul 81 100 100 oling 90,5 100 100
cokol 100 100 100 urang 100 100 100
deleg 47,6 70 95,5
Di samping beberapa leksikon ikan air tawar di atas, di wilayah ini juga
dikenal beberapa jenis ikan lain, seperti geruyu „kepiting air tawar, deleg „ikan
gabus, meniran „ikan yang hidup di sungai dan bertubuh kecil‟, urang „udang air
tawar‟, welut „belut‟, dan sebagainya yang ditemukan hidup liar. Jikalau tingkat
pemahaman masing-masing leksikon ikan air tawar dicermati maka terlihat bahwa
cukup banyak tingkat pemahaman ketiga kelompok responden persentasenya di
atas 80%. Hal ini mengindikasikan bahwa GTBU memiliki pengetahuan tentang
sumber daya lingkungan tempat mereka tinggal, walaupun kuantitas dan
kualitasnya semakin menurun seiring berjalannya waktu yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Di samping karena populasinya masih banyak dan adanya
transfer pengetahuan dari generasi pendahulunya, juga karena tingginya interaksi,
interelasi, dan interdependensi dengan entitas-entitas acuannya merupakan faktor
penyebab dari fenomena ini.
251
6.1.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba Antargenerasi GTBU
Interaksi, interelasi, dan interdependensi GTBU terhadap lingkungannya
sangat tinggi. Segala aktivitas yang mereka lakukan terhadap alam dan di alam
mereka kodekan dalam leksikon-leksikon verba yang beragam yang membuat BU
berbeda dengan BD lainnya.
Sebagai masyarakat agraris dengan lingkungan alam yang masih lestari
sudah tentu banyak aktivitas yang GTBU lakukan di lingkungan alam, seperti di
lingkungan sawah, kebun bahkan di lingkungan tempat tinggal mereka. Terkait
dengan perihal tersebut, pada bagian ini leksikon-leksikon verba yang mengacu
pada aktivitas GTBU terkait dengan lingkungan alam dikelompokkan menjadi
leksikon verba tentang aktivitas di lahan pertanian dan kebun, dan aktivitas yang
dilakukan di lingkungan pekarangan, baik yang terkait dengan flora maupun
fauna. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang dimaksud.
6.1.2.1 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan
Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU
Persawahan di lingkungan tempat tinggal GTBU masih sangat luas dan
produktif dan pengolahannya masih banyak dilakukan secara tradisional sehingga
leksikon-leksikon yang mengacu pada aktivitas di lahan pertanian, khususnya
tentang pengolahan lahan, masih dipahami dengan baik umumnya oleh kelompok
responden dewasa dan tua karena sebagian dari mereka bermata pencaharian
petani. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data dapat ditunjukkan
bahwa tingkat pemahaman kedua kelompok responden ini terhadap leksikon verba
di lahan pertanian paling rendah 80%, kecuali untuk leksikon mbubak „memecah
252
tanah dengan cara dibajak atau dicangkul sehabis panen, yakni sebesar 75% dan
77,3%. Fenomena ini disebabkan oleh semakin jarangnya aktivitas mbubak dalam
tahapan pengolahan tanah. Karena traktor sudah dikenal di kalangan GTBU,
biasanya sehabis panen tanah sawah langsung ditraktor kemudian diratakan dan
didiamkan beberapa waktu sebelum siap ditanami padi.
Selanjutnya, di lingkungan tempat tinggal GTBU tidak saja terdapat sawah
yang luas, tetapi juga lahan kebun. Ada berbagai jenis tanaman tumbuh di
dalamnya, baik yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Banyak aktivitas
yang dilakukan GTBU di lahan kebun, baik terhadap tanaman maupun terhadap
hasil-hasil kebun itu sendiri, yang mengindikasikan adanya interaksi, interelasi,
dan interdependensi mereka dengan sumber daya alam yang ada di dalamnya.
Aktivitas-aktivitas di lahan kebun yang mereka kodekan secara lingual, terekam
dalam leksikon-leksikon verba yang mereka pahami dengan tingkat pemahaman
yang beragam. Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman responden
terhadap leksikon verba di lahan pertanian dan kebun.
Tabel 6.15
Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian
dan Kebun Antargenerasi GTBU
Leksikon Verba
BU di Lahan
Pertanian
Tingkat Pemahaman Leksikon Verba
BU di Lahan
Kebun
Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
mbebeng 85,7 80 100 ngunduh 95,2 100 100
nyirati 95,2 100 100 mbeseh 95,2 100 100
mbubak 66,7 75 81,8 ndekung 42,9 80 90,9
nambaki 90,5 90 100 nderes 95,2 100 100
nyacal 76,2 85 95,5 ngenam 71,4 90 95,5
ngempet 90,2 90 95,5 nggepluki 85,7 100 95,5
nggagas 100 100 100 ngonceti 100 100 100
nggebros/ngga
mpung
100 100 100 ngorag/ngureg 95,2 100 100
nggejig 52,4 85 90,9 majeg/nebas 85,7 95 95,5
nggulud 47,6 90 95,5 macaki 95,2 95 100
253
ngileni (tentang
sawah)
100 100 100 nyumbat 95,2 100 100
mbalong 62 85 95,5 ngerimbas 85,7 100 100
melar 57,1 80 81,8 nyelogrok 66,7 80 100
ngeremponi 71,4 80 90,9 nyangkrab 76,2 80 100
matun 100 100 100 nanceb 38,1 80 100
nyebar 100 100 100 notor 85,7 100 100
ngurit 95,2 100 100 mepe 85,7 100 100
nguter 52,4 80 100 Mepe 100 100 100
mberubuk 33,3 80 86,4
nggrujug 81 90 90,9
Sementara itu, untuk responden remaja, walaupun interaksi mereka dengan
lingkungan sawah agak kurang, tingkat pemahaman mereka terhadap leksikon
verba tentang aktivitas di lahan persawahan cukup tinggi, yaitu di atas 60%,
kecuali untuk leksikon-leksikon seperti nggejig „membuat lubang pada tanah
untuk menanam benih‟ dengan tingkat pemahaman sebesar 52,4%, nggulud
„meninggikan tanah sawah/membuat gundukan sebesar 47,6%, melar „membajak
tanah sawah atau kebun dalam keadaan kering‟ sebesar 57,1%, nguter
„memindahkan bibit ke tempat penanaman permanen‟ sebesar 52,4%, dan
mberubuk „membuat tanah menjadi gembur‟ sebesar 33,3%. Kurangnya tingkat
pemahaman responden remaja terhadap leksikon-leksikon tersebut disebabkan
oleh ketidakmampuan mereka membedakan leksikon verba generik macul
„mencangkul‟ dengan verba spesifiknya seperti nggulud, melar, dan mberubuk
yang sama-sama memiliki makna mengolah tanah. Sementara itu, rendahnya
pemahaman mereka terhadap leksikon verba nggejig dan nguter disebabkan oleh
jarangnya mereka melakukan aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut.
Di samping itu, pada tabel di atas terlihat bahwa secara umum tingkat
pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas
di lahan kebun cukup tinggi, yaitu 80% ke atas, kecuali tingkat pemahaman
254
responden muda terhadap dua leksikon, yakni mbeseh „menyayat kulit pohon‟ dan
nyangkrab’membersihkan pohon dari ranting-rantingnya‟ dengan tingkat
pemahaman masing-masing 42,9% dan 38,1%. Hal ini disebabkan oleh langkanya
aktivitas menyayat kulit pohon yang menjadi acuan leksikon mbeseh serta adanya
kekaburan makna antara nyangkrab dan notor yang keduanya bermakna
menghilangkan cabang pohon. Perbedaannya adalah nyangkrab mengacu pada
aktivitas menghilangkan ranting-ranting kecil saja, sedangkan notor bermakna
menghilangkan ranting-ranting pohon baik yang kecil maupan yang besar.
Sementara itu, tingginya tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-
leksikon verba ini, selain karena adanya transfer pengetahuan dari generasi
pendahulu, juga disebabkan oleh masih terpakainya leksikon-leksikon tersebut
untuk mengacu pada aktivitas-aktivitas yang menjadi acuannya dalam kehidupan
sehari-hari.
6.1.2.2 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap
Fauna dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU
GTBU tidak saja mengodekan secara lingual segala aktivitas yang mereka
lakukan di lahan pertanian dan di lahan kebun, tetapi juga aktivitas sosial yang
mereka lakukan terhadap entitas-entitas yang ada di sekeliling mereka. Hal ini
dapat dilihat dari beragamnya leksikon verba yang muncul yang mengodekan
aktivitas-aktivitas tersebut, seperti termuat dalam tabel berikut.
Tabel 6.16
Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna
dan Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU
Leksikon BU
Tingkat Pemahaman
Leksikon BU
Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
255
ngangsu 95,2 100 100 nyeruh 76,2 80 90,9
nyenggot 62 80 81,8 ngangon 62 85 86,4
ason-ason 62 80 95,5 nggetes 85,7 95 95,5
mbelor 23,8 55 59,1 ngileni (tentang
jangkrik)
95,2 100 100
nggeladag 71,4 75 77,3 medhok 76,2 90 95,5
ngantih 52,4 95 95,5 ngersaya 76,2 90 100
mbebek 85,7 85 86,4 majeg (tentang
hasil kebun)
71,4 100 100
mbelasak 66,7 80 72,7 nyelisir 85,7 95 100
mbenem 47,6 85 90,9 nyerimpung 85,7 90 95,5
mbleteti 76,2 85 100 mbentuk 100 100 100
mbombong 47,6 95 100 nyerawat 100 100 100
nyancang 100 100 100 nyuluh 95,2 100 100
nyekoki/njamoni
Pada tabel di atas terlihat bahwa secara umum tingkat pemahaman ketiga
kelompok responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas sosial cukup tinggi
, kecuali terhadap leksikon mbelor „berburu babi hutan atau rusa pada malam hari
dengan menggunakan lampu sorot‟ yang tingkat pemahamannya masing-masing
sebesar 28,3%, 55%, dan 59,1%. Sementara itu, persentase tingkat pemahaman
rendah lainnya, khususnya remaja, juga ditemukan pada leksikon-leksikon, seperti
mintal/ngantih „memintal kapas untuk dijadikan benang‟ sebesar 52,4%,
sedangkan untuk responden dewasa dan tua sebesar 95% dan 95,5%, serta
leksikon mbenem „memasak sesuatu dengan cara membenamkannya di dalam
bara api (seperti pisang, ketela, dan pepesan)‟ dan mbombong „menyabung ayam
aduan‟ dengan tingkat pemahaman masing-masing 47,6% untuk responden
remaja, sedangkan responden dewasa dan tua masing-masing 85%/90,9% dan
95% / 100%.
Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap
leksikon mbelor karena leksikon tersebut memiliki kemiripan makna dengan
leksikon nggeladag, yakni keduanya bermakna berburu binatang hutan tanpa
256
memperhatikan spesifikasinya. Sementara itu, selisih persentase tingkat
pemahaman yang mencapai hampir 50% antara responden remaja di satu sisi dan
responden dewasa dan tua di sisi lainnya terhadap leksikon-leksikon, seperti
mintal/ngantih, mbenem dan mbombong disebabkan oleh perbedaan tingkat
interaksi dengan aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut.
6.1.2.3 Tingkat Pemahaman Leksikon tentang Aktivitas Fauna Antargenerasi
GTBU
Karena kedekatannya dengan alam, GTBU tidak saja mengodekan
aktivitas dirinya secara lingual, namun juga beberapa aktivitas yang dilakukan
fauna yang dilihatnya. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman leksikon yang
merepresentasikan aktivitas fauna yang dimiliki BU, seperti ngeludes „aktivitas
menggemburkan tanah yang dilakukan babi hutan (celeng) tanah dengan
menggunakan moncongnya‟, nyeludug „menyeruduk dengan tanduk yang
dilakukan oleh hewan bertanduk, seperti kerbau, sapi, dan kambimg‟. Tabel
berikut menunjukkan tingkat pemahaman responden terhadap leksikon verba
terkait dengan aktivitas beberapa fauna yang hidup di lingkungan tempat tinggal
GTBU
Tabel 6.17
Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Aktivitas hewan ngokok 95,2 100 100
ngeludes 66,7 70 90,9 neba 66,7 70 95,5
kedrangen 62 70 95,5 metingkring 100 100 100
ngguyang 76,2 90 95,5 giblas-giblas 90,5 100 100
ngeregeb 81 85 95,5 nyisil 52,4 90 95,5
nyeludug 95,2 100 100 nyeblak 90,5 95 100
257
Aktivitas unggas
dan burung
Aktivitas
serangga
nyeker 100 100 100 nyenget 95,2 100 100
ngendhat 66,7 75 86,4 Aktivitas reptile
ngentit 76,2 85 95,5 nyeloyor 62 80 100
keblak-keblak 90,5 95 95,5
Pada tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden terhadap leksikon verba tentang aktivitas fauna di atas 60%, kecuali
tingkat pemahaman responden remaja terhadap leksikon nyisil „aktivitas menguliti
bulir padi atau kacang yang baisanya dilakukan oleh burung atau tikus‟, yakni
sebesar 52,4%. Di samping karena kurangnya interaksi dengan lingkungan
tempat aktivitas biasanya terjadi dan leksikon verba nyisil digantikan oleh
leksikon verba BJ mangan „makan‟.
6.1.2.4 Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam
Antargenerasi GTBU
Aktivitas alam yang terekam dalam leksikon verba BU secara umum
terjadi di wilayah tropis, namun menggunakan leksikon verba yang berbeda-beda.
GTBU menamai aktivitas alam dalam BU. Seiring berjalannya waktu, terjadi
perubahan leksikon yang dipakai untuk memverbalkan aktivitas-aktivitas tersebut.
Hal ini berdampak pada tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-
leksikon BU untuk mengacu aktivitas-aktivitas alam tersebut.
Hampir semua kelompok responden memiliki tingkat pemahaman yang
cukup tinggi terhadap kelompok leksikon verba BU tentang aktivitas alam. Hal ini
menandakan bahwa mereka cukup akrab dengan lingkungan dan adanya transfer
ilmu pengetahuan tentang acuan leksikon-leksikon tersebut telah dilakukan oleh
generasi pendahulu, di samping aktivitas yang diacu oleh leksikon tersebut tetap
258
berlangsung dan sering muncul di sekeliling mereka. Bagaimana tingkat
pemahaman responden terhadap leksikon verba BU tentang aktivitas alam dapat
dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 6.18
Tingkat Pemahaman Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam
Antargenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Fenomena alam logrog 100 100 100
ngampar-ampar 33,3 65 81,8 mekrog 66,7 70 90,9
ngungkreg 42,9 70 90,9 meldhog 71,4 70 95,5
mencorong 85,7 100 100 mergodog 66,7 75 95,5
Aktivitas alam merkatak 62 65 95,5
mberojol 71,4 85 100 mecukul 100 100 100
nggerontol 90,5 100 100 methukul 100 100 100
nggeluntung 71,4 75 95,5 melethek 95,2 100 100
Dalam tabel di atas terlihat bahwa tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden aktivitas alam cukup tinggi, kecuali terhadap dua leksikon pada
responden muda, yakni leksikon verba ngampar-ngampar „menyambar-nyambar
(tentang burung)‟ dan ngungkreg „berguncang/bergetar dengan keras karena
(tentang tanah) gempa bumi‟, yang masing-masing sebesar 33,3% dan 42,9%.
Kekurangpahaman responden remaja terhadap kedua leksikon tersebu disebabkan
oleh tergantikannya leksikon BU oleh leksikon BJ, yakni nyamber-nyamber untuk
ngampar-ngampar dan goyang untuk leksikon ngungkreg.
6.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU
Sama seperti masyarakat Indonesia lainnya, GTBU juga tidak luput dari
perubahan. Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, informasi, dan
komunikasi misalnya, menjadikan mereka berkembang menjadi masyarakat yang
259
kompleks. Sebagai dampaknya, muncul perubahan dalam aspek sosial, budaya,
dan alam. Bahasa sebagai salah satu aspek budaya tidak luput dari perubahan ini,
termasuk leksikon bahasa tersebut. Leksikon yang merepresentasikan lingkungan
alam tempat bahasa itu dipakai turut berubah seiring dengan perubahan entitas-
entitas yang diacunya. Leksikon yang dikenal dan digunakan pada satu dasawarsa
sebelumnya, mungkin akan tidak dikenal saat ini karena entitas acuannya sudah
tidak ada atau leksikon tersebut sudah tergantikan oleh leksikon bahasa lain
namun acuannya tetap sama.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat penggunaan responden
terhadap leksikon lingkungan alam daratan Banyuwangi jauh lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, kecuali terhadap leksikon-leksikon
yang mengacu pada entitas-entitas yang akrab dengan kehidupan sehari-hari
responden. Walaupun demikian, perlu kiranya diungkap leksikon-leksikon mana
saja yang mengalami penurunan penggunaan yang sangat tajam dan yang mana
masih bertahan. Berikut adalah uraian tentang tingkat penggunaan oleh responden
terhadap kelompok leksikon dalam kategori nomina dan verba.
6.2.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Antargenerasi GTBU Berkategori
Nomina
Sama seperti tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon
lingkungan alam BU dibedakan menjadi dua, yakni tingkat penggunaan leksikon
nomina yang terdiri dari tingkta penggunaan leksikon flora dan leksikon fauna dan
tingkat penggunaan leksikon verba BU. Berdasarkan analisis data dan temuan di
lapangan, dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang
260
signifikan antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon
lingkungan alam BU, khususnya di kalangan responden remaja.
6.2.1.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Flora Antargenerasi GTBU
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kelompok leksikon flora
dibedakan menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil, yaitu bedasarkan fungsi
atau kegunaannya bagi kehidupan manusia. Kelompok yang dimaksud meliputi:
kelopok leksikon tanaman bahan pangan, sayur-sayuran, buah-buahan,
bumbu/obat, bunga, kelapa, bambu, dan tanaman lain. Berikut adalah uraian
tingkat penggunaan leksikon dari masing-masing kelompok leksikon yang yang
dimaksud.
(1) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bahan pangan antargenerasi GTBU
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa jika dibandingkan dengan
tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon lingkungan alam oleh semua
responden jauh lebih kecil. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah contoh sebagai
berikut. Leksikon lemi „kotoran buah jagung‟ dan entitasnya sangat diakrabi oleh
responden dewasa dan tua khususnya yang sering bertanam jagung, karena setiap
habis panen jagung mereka akan sering berinteraksi dengan lemi, dan lemi juga
sering menjadi topik pembicaraan mereka. Hal yang berbeda akan terjadi pada
responden remaja yang hanya pernah mendengar leksikon lemi namun tidak
pernah menjadikannya topik pembicaraan karena mereka jarang berinteraksi
dengan entitas lemi. Tabel berikut menunjukkan tingkat penggunaan leksikon
bahan pangan oleh ketiga kelompok responden.
261
Tabel 6.19
Tingkat Penggunaan Leksikon Bahan Pangan
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Padi dan
jenisnya
Sesuatu terkait
dengan padi
pari 100 100 100 rantap 47,6 50 81,8
pari singgang 9,6 65 63,6 palawija 62 90 100
pari sogel - 45 63,6 tumpang sari 23,5 70 86,4
pari unthup 4,8 15 22,7 Tanaman jagung
dan bagian-
bagiannya
pari gaga 4,8 60 63,6 jagung 100 100 100
pari genjah
harum
42,8 65 77,3 janggel 57,1 65 81,8
sambulan 9,8 25 81,8 kelobot 57,1 60 86,4
ketan cemeng 62 60 68,2 lemi 33,3 50 63,6
ketan putih 90,5 90 95,5 tebon 52,4 70 72,7
winih 90,5 100 100 Bahan pangan
lain
Bagian-bagian
tanaman padi
kentang jembut 81 90 95,5
menir 42,9 70 81,8 sabrang 95,2 95 95,5
elas - 25 36,4 gadhung 71,4 75 90,1
dami 52,3 80 81,8 arus 26,8 60 68,2
merang 28,6 70 81,8 ganyong 14,3 55 72,7
sekem 52,3 60 81,8 kajar 9,6 30 40,1
belubon 14,3 20 45,5 suweg 33,3 50 54,5
tugih 9,6 20 45,5 puhung 100 100 100
Pada tabel di atas tertera bahwa di antara semua persentase tingkat
penggunaan leksikon yang ada, persentase tingkat penggunaan leksikon-leksikon
spesifik tentang pari menunjukkan tingkatan penggunaan cukup rendah
khususnya pada responden remaja, seperti terlihat pada leksikon-leksikon pari
singgang (9,6%), pari sogel (0%), pari gaga (4,8%), dan sambulan (9,8%).
Rendahnya tingkat penggunaan responden remaja terhadap leksikon-leksikon
tersebut disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap entitas-entitas acuannya
karena sebagian besar dari mereka bukan petani.
262
Hal sebaliknya terlihat pada tingkat penggunaan oleh ketiga kelompok
responden pada leksikon-seksikon generik, seperti leksikon pari „padi‟ dan
jagung „jagung‟, dan juga lekikon-leksikon lainnya, seperti ketan cemeng „ketan
hitam‟, ketan putih „ketan (putih), winih „benih‟, menir „beras kecil-kecil sisa
beras yang ditampi‟, dami „jerami‟, kentang jembut „kentang lokal yang berukuran
kecil-kecil dan berambut‟, sabrang „ketela rambat‟, dan puhung „ketela pohon‟
dengan tingkat penggunaan ketiga kelompok responden masing-masing sebesar
100%. Masih tingginya penggunaan leksikon-leksikon tersebut di kalangan
responden disebabkan oleh adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi pada
entitas-entitas acuannya sehingga GTBU selalu membudidayakannya membuat
populasinya tetap banyak.
(2) Tingkat penggunaan leksikon tanaman buah-buahan antargenerasi GTBU
Sama seperti terhadap leksikon generik entitas-entitas lainnya, tingkat
penggunaan ketiga kelompok responden terhadap leksikon-leksikon generik jenis
buah-buahan yang tumbuh di wilayah ini, seperti poh „mangga‟, jambu „jambu‟,
jeruk „jeruk‟, gedhang „pisang‟, rambutan ‘rambutan‟, dan duren „durian‟, serta
beberapa leksikon spesifik dari jenis buah tertentu dan juga jenis buah lainnya,
juga mencapai 100%. Beberapa leksikon spesifik dari entitas buah tertentu yang
tingkat penggunaannya mencapai 100% atau rerata tingkat penggunaan responden
hampir 100%, di antaranya adalah poh manalagi „mangga manalagi‟, poh koweni
„mangga kuweni‟, rambutan aceh „rambutan aceh‟, gedhang raja „pisang raja‟,
gedhang saba „pisang kepok‟, gedhang ambon „pisang ambon‟, gedhang selakat
„pisang susu‟, kedondhong „kedondong‟, nanas „nenas‟, dan pace „mengkudu‟.
263
Tingginya penggunaan leksikon poh manalagi, poh koweni, gedhang saba,
gedhang ambon „pisang ambon, gedhang selakat „pisang susu‟ dan rambutan
aceh di samping karena populasinya banyak, sumbangsihnya kepada
perekonomian masyarakat juga turut menyebabkan entitas-entitas dari leksikon ini
dibudidayakan. Sementara itu, fenomena yang terjadi pada leksikon gedhang raja
di samping memiliki nilai ekonomi yang tinggi, gedhang juga memiliki peran
budaya karena kehadirannya yang wajib pada acara slametan yang bermakna
orang yang dislameti berperilaku seperti raja. Untuk mengetahui tingkat
penggunaan responden terhadap leksikon buah-buahan, perhartikan tabel berikut.
Tabel 6.20
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Buah-buahan
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Mangga dan
jenisnya
Pisang dan
jenisnya
poh/epoh 100 100 100 gedhang 100 100 100
poh manalagi 81 85 86,4 gedhang sempring 4,8 30 31,8
poh golek 66,7 70 77,3 gedhang agung 14,3 50 59,1
poh kuweni 81 90 90,9 gedhang berlin 42,9 85 86,4
poh kates 4,8 35 36,4 gedhang ambon 71,4 95 95,5
poh madu 57,1 75 86,4 gedhang emas 42,9 80 86,4
poh ganda 4,8 45 59,1 gedhang keladi 4,8 20 27,3
poh kenyut 36 40 59,1 gedhang ijo 4,8 85 86,4
poh kopyor 4,8 60 68,2 gedhang lempeneng 52,4 90 90,9
poh kotak - 35 36,4 gedhang keluthuk 52,4 75 77,3
poh endhog 14,3 45 40,1 gedhang sri
nyonyah
71,4 80 86,4
poh kecik 66,7 70 77,3 gedhang raja
nangka
33,3 35 45,5
Jambu dan
jenisnya
gedhang kapuk 9,6 35 77,3
jambu 100 100 100 gedhang
selakat(susu)
81 85 81,8
jambu mente 33,3 60 63,6 gedhang sewu - 70 81,9
jambu keluthuk 76,2 95 95,5 gedhang welut 66,7 65 77,3
jambu kelampok 19 50 63,6 gedhang raja 95,2 100 100
jambu lante 9,6 50 68,2 gedhang saba 90,5 95 95,5
jambu darsono 33,3 65 54,5 Bagian-bagian
264
dari pohon pisang
jambu semarang - 60 63,6 gedhebog 90,5 100 100
jambu wer 42,9 75 90,9 peret /serat 19 75 81,8
Nangka dan
bagian-
bagiannya
papah 42,9 65 86,4
nangka 100 100 100 kelaras 28,6 65 77,3
pucil 19 50 77,3 ontong 85,7 90 95,5
babal 19 55 81,8 pupus 42,9 65 90,9
tombol 23,8 70 77,3 tandan 19 75 77,6
empik 14,3 55 59,1 godhogan 23,8 30 59,1
bethon 80,1 90 95,5 Peralatan dari
daun pisang
Rambutan dan
jenisnya
samir 23,8 35 45,5
rambutan 100 100 100 pincuk 71,4 75 81,8
rambutan aceh 100 100 90,9 suru 66,7 75 77,3
rambutan
rapiah
95,2 90 90,9 takir 26,8 50 81,8
rambutan lebak
bulus
66,7 70 72,7 Jenis buah lainnya
Duren dan
jenisnya
manggis 85,7 85 86,4
duren 100 100 100 wuni 66,7 85 86,4
duren putih 95,2 95 95,5 kedondong 100 100 100
duren abang - 15 22,7 kentul 19 25 31,8
Jeruk dan
jenisnya
tai lampah - 10 31,8
jeruk 100 100 100 belimbing manis 71,4 95 95,5
jeruk sambel 85,7 85 90,9 langsat 57,1 65 86,4
jeruk purut 57,1 85 90,9 duku 57,1 65 63,6
jeruk manis 85,7 85 86,4 cerème 71,4 85 86,4
jeruk limo 57,1 85 86,4 nanas 100 100 100
jeruk kikit - 20 22,7 kates 100 100 100
Delima dan
jenisnya
pace 76,2 100 100
delima 100 100 100 belewah 42,9 65 77,3
delima putih 38,1 40 63,6 belungking 28,6 65 72,7
delima abang 9,6 20 22,7
Sementara itu, leksikon beberapa entitas gedhang sangat tinggi
penggunaanya. Namun beberapa jenis lainnya bersifat sebaliknya, di antaranya
seperti gedhang sempring „pisang dengan buah lurus dan panjang menyerupai
pring‟ (4,8%, 30%, dan 31,8%), gedhang agung „pisang agung‟ (14,3%, 50%, dan
59,1%), gedhang keladi „pisang keladi‟ (4,8%, 20%, dan 27,3%), dan gedhang
raja nangka „pisang raja nangka‟ (33,3%, 35%, dan 45,%). Rendahnya tingkat
265
penggunaan leksikon-leksikon tersebut dalam percakapan sehari-hari rsponden
disebabkan oleh kurangnya interaksi dengan entitas-entitas acuannya, di samping
karena jenis-jenis pisang tersebut tidak bisa tumbuh dengan baik kalau habitatnya
tidak sesuai, juga kebermanfaatannya tidak sebesar jenis pisang dengan tingkat
penggunaan leksikonnya tinggi.
Di antara entitas-entitas buah dalam tabel di atas, ada dua entitas yang
termasuk buah langka, yakni sentul „buah kecapi‟ dan tai lampah, yaitu tumbuhan
dengan buah yang menyerupai buah kayu bunut. Tingkat penggunaan leksikon-
leksikon terhadap keduanya sangat rendah untuk ketiga kelompok responden,
yakni sebesar 19%, 25%, dan 31,8% untuk leksikon sentul dan 0%, 10%, dan
31,8%. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya interaksi terhadap entitas
acuannya karena manfaatnya yang kurang terhadap kehidupan GTBU.
(3) Tingkat penggunaan leksikon tanaman sayur- sayuran antargenerasi GTBU
Beragam jenis sayuran, khususnya sayuran lokal, masih banyak ditemukan
tumbuh di wilayah ini. Hal ini disebabkan adanya interaksi, interelasi dan
interdependensi GTBU yang cukup tinggi dengan entitas-entitas tersebut. Hal ini
tentunya berdampak pada tingkat penggunaan leksikon-leksikonnya oleh
responden, baik leksikon generik maupun leksikon spesifiknya. Berbeda dengan
kasus-kasus sebelumnya yang tingkat penggunaan responden terhadap leksikon-
leksikon generik entitas-entitasnya yang mencapai hampir 100%, tingkat
penggunaan leksikon generik sayuran bervariasi, ada yang hampir 100% seperti
terhadap leksikon generik turi sebesar 90,5%, 100%, dan 100%; kacang dengan
tingkat pengunaan semuanya 100%, sedangkan untuk leksikon generik lainnya
266
seperti labu sebesar 62%, 85%, dan 81,8%, kara sebesar 33,3%, 85%, dan 95,5%,
jamur sebesar 66,7%, 90%, dan 95,5%, dan bayem sebesar 71,4%, 90%, dan
95,5%. Secara lebih rinci, tabel berikut mengandung tingkat penggunaan
responden terhadap leksikon sayur-sayuran.
Tabel 6.21
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Sayur-sayuran
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Turi dan
jenisnya
Jamur dan
jenisnya
turi 90,5 100 100 jamur 66,7 90 95,5
turi abang 23,8 50 54,5 jamur dami 23,8 50 54,5
turi putih 38,1 85 100 jamur merang 23,8 35 54,5
Labu dan
jenisnya
jamur kepong 14,3 25 22,7
labu 62 85 81,8 jamur kuping 47,6 60 68,2
labu abang 4,8 25 22,7 jamur ulan 23,8 35 54,5
labu kuning 9,6 65 63,6 jamur menur 9,6 45 50
labu putih 9,6 70 72,7 jamur manuk 23,8 50 77,3
labu siyem 33,3 50 50 jamur gerigit - 40 45,5
Kara dan
jemisnya
jamur impes 9,6 15 22,7
kara 33,3 85 95,5 jamur lot 42,9 45 63,6
kara benguk - 10 40,1 jamur gajih 4,8 40 45,5
kara kerato - 70 50 Jenis sayur
lainnya
kara abang - 15 4o,1 buncis 100 100 100
kara ijo 19 65 81,8 dhangsul 100 100 100
kara putih 9,6 25 59,1 gambas 71,4 75 90,9
kara komak 38,1 55 63,6 pare 90,5 95 100
kara pedang - 65 63,6 kelentang 100 100 100
kara utek - 40 40,1 tegok 47,6 80 86,4
Kacang dan
jenisnya
terong 95,2 100 100
kacang 100 100 100 timun 100 100 100
kacang brol 85,7 100 100 belimbing wuluh 100 100 100
kacang ijo 100 100 100 gundha 85,7 100 100
kacang jangan 100 100 100 katu 90,5 90 90,9
kacang kapri 14,3 60 54,5 kangkung 100 100 100
kacang tunggak 38,1 60 54,5 kelor 100 100 100
kacang usi(ose) - 70 77,3 genjer 71,4 75 95,5
Bayam dan
jenisnya
bagu 62 65 95,5
bayem 71,4 90 95,5 manting 47,6 80 95,5
bayem cina 9,6 25 50 Kemangi 81 100 100
267
bayem abang - 55 54,5 kenikir 90,5 90 90,9
bayem eri 4,8 40 45,5 Keningar 33,3 40 77,3
bayem kul - 40 50 lembayung 90,5 95 100
bayem menir 9,6 30 50 lucu 71,4 90 90,9
ayem raja 9,6 10 22,7 semanggi 71,4 100 100
bayem sapi 9,6 50 72,7
bayem pasir - 35 50
Berbeda dengan tingkat penggunaan leksikon-leksikon generiknya, pada
tebel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon
spesifik dari entitas-entitas tersebut dan leksikon-leksikon entitas sayuran lainnya
menunjukkan persentase yang sangat bervariasi pada ketiga kelompok responden.
Pada beberapa leksikon spesifik untuk jenis kara, seperti kara benguk, kara
kerato, kara abang, kara pedang, dan kara utek , tingkat penggunaan leksikonnya
masing-masing sebesar 0%, khususnya pada responden remaja. Fenomena yang
sama juga ditemukan pada tingkat penggunaan leksikon spesifik kacang usi/ose,
bayem abang, bayem kul, dan jamur gerigit. Tidak pernah terpakainya leksikon-
leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari responden remaja khususnya, di
samping karena tidak adanya interaksi, juga tidak adanya transfer pengetahuan
dari generasi pendahulu kepada generasi berikutnya, banyaknya pilihan sayur
lokal lainnya, serta sedikitnya populasi merupakan faktor-faktor penyebab
fenomena ini.
Selain informasi tentang tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon
generik dan spesifik entitas-entitas tersebut di atas, dalam tabel di atas juga
dapat terlihat tingkat penggunaan terhadap leksikon jenis sayuran lokal lainnya,
yang persentasenya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat
penggunaan leksikon-leksiko spesifik yang telah diulas. Berdasarkan analisis data
dan pengamatan di lapangan, tingkat penggunaan leksikon sayuran lokal, seperti
268
di antaranya kelentang, kelor, gundha, kangkung, katu, belimbing sayur/wuluh,
lembayung, lucu, dan semanggi reratanya hampir mencapai 100%. Sering
munculnya leksikon-leksikon sayuran lokal tersebut dalam komunikasi kehidupan
sehari-hari GTBU disebabkan faktor-faktor seperti masih adanya tingkat
interaksi, interelasi dan interdependensi antara entitas-entitas acuannyadan
kehidupan GTBU. Walaupun beberapa jenis sayuran non-lokal, seperti wortel,
buncis, sawi putih dan hijau, dan kol telah hadir di tengah kehidupan GTBU,
karena populasinya masih banyak serta ecoregion-nya sangat sesuai dengan
entitas-entitas ini, maka leksikon beserta entitas acuannya masih bertahan hingga
saat ini. Khusus untuk leksikon kelor, tingginya penggunaan leksikon ini dalam
komunikasi responden dikarenakan oleh perannya dalam kehidupan budaya
GTBU sebagai bahan jangan kelor, salah satu sajian dalam upacara slametan di
samping dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan jangan bening „sayur bening‟
sehingga hampir setiap keluarga memiliki tanaman ini di pekarangan atau di
kebun mereka.
(4) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi
GTBU
Dari sejumlah leksikon yang ada di kelompok ini, ada yang entitasnya
berfungsi ganda yaitu sebagai tanaman obat sekaligus sebagai tanaman bumbu
dan ada yang hanya berfungsi sebagai tanaman obat saja. Yang termasuk dalam
kelompok pertama diantaranya adalah bawang abang „bawang merah‟, bawang
putih „bawang putih‟, jae „jahe‟, kunir „kunyit‟, cabe merah „cabe merah‟, laos
„lengkuas‟, dan sereh „sere‟. Entitas yang termasuk kelompok kedua jumlahnya
sangat banyak, di antaranya temu cemeng „temu hitam‟, temu kunci „temu kunci‟,
269
bangle „bangle‟, sambiloto „sambiloto‟, kembang bintang „bunga bintang, dan
sebagainya. Jika tingkat penggunaan leksikon kedua kelompok tersebut
dibandingkan, terlihat tingkat penggunaan leksikon kelompok pertama jauh lebih
tinggi dari pada kelompok yang kedua. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.22
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bumbu dan Obat
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Temu dan jenisnya cabe merah 100 100 100
temu 14,3 85 90,9 cabe rawit 100 100 100
temu cemeng 4,8 55 63,6 pulasari - 10 18,2
temu kunir 4,8 65 77,3 Jinten - 30 36,4
temu putih - 50 63,6 kapulaga 9,6 25 40,1
temu rapet - 55 63,6 jemukus - 5 9,1
temu kunci 14,3 50 50 cengkeh 95,2 100 100
temu giring 4,8 35 40,1 sambiloto 4,8 50 63,6
Jenis tanaman obat
dan bumbu lainnya
sembung - 10 13,6
bawang abang 100 100 100 deringu 4,8 25 45,5
bawang putih 100 100 100 dilem - - 36,4
bakung 4,8 35 40,1 kayu putih 14,3 50 54,5
bangle 9,6 25 40,1 kayu manis 28,6 40 36,4
iles-iles - - 22,7 kumis kucing 19 65 72,7
lempuyang 14,3 75 77,3 legundi - - 4,5
lempuyang wangi 4,8 40 40,1 lidah buaya 62 80 81,8
lempuyang gajah - 25 36,4 luntas 38,1 85 86,4
jae 100 100 100 mangkokan 4,8 60 54,5
kencur 95.2 100 100 meniran - 45 50
kunir 100 100 100 tapak dara - 25 31,8
laos 100 100 100 tapak liman - 30 31,8
sempol - 15 13,6 sambung
nyawa
- 30 36,4
kembang bintang - 20 18,2 pecah beling 4,8 60 63,6
Adas 9,6 35 40,1 urang-aring 14,3 60 63,6
mahkota dewa 14,3 60 59,1 sereh 95,2 95 100
kemiri 100 100 100 pule - 25 31,8
cabe 62 80 81,8 teki 14,3 60 63,6
Ada dua fenomena penting yang dapat dijelaskan dari isi tabel di atas.
Fenomena pertama, tingkat penggunaan ketiga kelompok responden terhadap
270
leksikon tanaman obat yang sekaligus merupakan tanaman bumbu semuanya
hampir mencapai 100%, seperti terlihat pada tingkat penggunaan leksikon bawang
abang (100%, 100%, dan 100%), jae (100%, 100%, dan 100%), cengkeh
(95,2%, 100%, dan 100%), laos (100%, 100%, dan 100%), dan sereh (95,2%,
95%, dan 100%). Ada beberapa faktor penyebab tingginya tingkat penggunaan
leksikon terhadap entitas-entitas ini. Selain adanya interaksi, interelasi,
intedependensi yang sangat tinggi karena semuanya merupakan kebutuhan sehari-
hari GTBU, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu kepada generasi
berikut dan banyaknya populasi adalah sebagai faktor peneyebab fenomena di
atas.
Hal penting kedua yang dapat diamati adalah adanya perbedaan tingkat
penggunaan leksikon yang sangat jauh antara responden muda di satu pihak dan
responden dewasa dan tua di pihak lainnya. Hal ini dapat diamati pada sebagian
leksikon yang mengacu pada entitas-entitas yang hanya berfungsi sebagai
tanaman obat saja. Beberapa di antaranya adalah kemukus (0%, 5% dan 9,1%),
sembung (0%, 10% dan 13,6%), temu cemeng (4,8%, 55% dan 63,6%),
lempuyang wangi (4,8%, 40% dan 40,1), temu kunci (14,3%, 50% dan50%), teki
(14,3%, 60% dan 63,6%), kayu putih (14,3%, 50%, 54,5), kumis kucing (19%,
65% dan 72,7), kayu manis (28,6%, 40% dan 40,1%), dan luntas (38,1%, 85%
dan 86,5%).
Tampilan beberapa contoh data di atas untuk memperlihatkan rentangan
tingkat penggunaan responden remaja terhadap leksikon tanaman obat dari
terendah 0% dan yang tertinggi 38,1%. Jika tingkat penggunaan ini dibandingkan
271
dengan tingkat penggunaan pada responden dewasa dan tua ditemukan perbedaan
yang sangat jauh, yakni 1:5, 1:10,1:11, atau lebih. Fenomena ini hampir sebagian
besar disebabkan oleh kurangnya interaksi dan pengetahuan responden terhadap
entitas dan manfaatnya pada kehidupan mereka karena fungsinya sebagai obat
ramuan tradisional sudah digantikan oleh obat kimia yang penggunaannya lebih
praktis serta mudah diperoleh. Sementara itu, tingkat penggunaan terhadap
leksikon luntas, yakni sebesar 38,1% bukan semata-mata disebabkan fungsinya
sebagai tanaman obat, melainkan sebagai tanaman pagar dan bahan sayur urap di
samping populasinya sangat banyak.
(5) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bunga antargenerasi GTBU
Bunga bukan merupakan entitas penting bagi kehidupan GTBU sebagaimana
masyarakat yang menganggap bunga merupakan elemen penting dalam aktivitas
sosial, budaya, dan religi, seperti masyarakat Bali, misalnya. Hal ini berdampak
pada sedikitnnya leksikon tentang bunga beserta entitas acuannya yang ada di
wilayah ini. Walaupun demikian, ada sejumlah leksikon bunga yang persentase
tingkat penggunaannya cukup tinggi oleh ketiga kelompok responden, seperti
leksikon kembang gantil „kembang sepatu‟ (66,7%, 70% dan 77,3%), kembang
mawar ‘bunga mawar‟ (81%,85% dan 86,4%), kembang wangsa „bunga kenanga‟
(47,6%, 85% dan 86,4%), dan sembuja „bunga kamboja‟(62%,60% dan 68,2%).
Tingginya tinggkat pengunaan sejumlah leksikon di atas karena adanya
keterkaitan kehidupan sosial dan budaya GTBU dengan entitas-entitas acuannya.
Sebagai contoh, kembang gantil, populasi entitas ini masih banyak ditemukan di
lingkungan tempat tinggal GTBU karena fungsinya sebagai pagar pekarangan,
272
sedangkan yang terjadi pada leksikon sembuja karena eksistensinya sebagai
tanaman di daerah pekuburan sehingga interaksi responden dengan entitas ini
cukup tinggi, di samping populasinya masih banyak.
Sementara itu, untuk leksikon kembang wangsa dan kembang mawar yang
tingkat penggunaan leksikonnya cukup tinggi disebabkan peran budaya yang
diembannya, yakni sebagai elemen kembang telon yaitu tiga macam bunga yang
harus ada dalam ritual santet, di samping kembang sundel „bunga sedap malam‟
atau penggantinya yaitu pecari putih/kuning „cempaka putih/kuning‟ apa bila
kembang sundel tidak ada. Akan tetapi, dua entitas yang disebut terakhir ini
tingkat penggunaan leksikonnya masing-masing 9,6%, 40% dan 45,5% dan
28,6%, 45% dan 68,2%. Untuk mengetahui tingkat penggunaan leksikon bunga
lainnya secara lebih rinci, perhatikan tabel berikut.
Tabel 6.23
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bunga
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
pecari 28,6 55 77,3 pacar 62 70 77,3
pecari putih 28,6 45 68,2 tunjung 4,8 10 50
pecari kuning 23,8 25 36,4 widuri putih - 15 27,3
peciring 19 30 54,5 widuri biru - 10 9,1
pembang gantil 66,7 65 77,3 kembang bacin 57,1 60 59,1
kembang merak 19 55 68,2 kembang bangah 4,8 40 36,4
kembang bojog 19 50 54,5 kembang
tembelekan
- 15 13,6
menur 33,3 55 81,8 kembang
kecubung
19 50 54,5
seruni 52,4 30 31,8 tikul balung 33,3 65 68,2
kembang kertas 63 85 72,7 pecah beling - 35 22,7
serngenge 42,9 65 86,4 kemuning 9,6 30 59,1
kembang sundel 9,6 40 45,5 kembang wangsa 47,6 85 77,3
mawar 81 85 86,4 sembuja 62 60 68,2
273
Selain leksikon dari entitas-entitas yang telah disebutkan di atas, pada
tabel di atas juga tampak leksikon-leksikon yang tingkat penggunaannya cukup
tinggi karena keunikan dan fungsinya dalam kehidupan GTBU, seperti kembang
bacin dengan tingkat penggunaan sebesar 57,1%, 60% dan 59,1% dan pacar
„pacar inai‟ sebesar 62%, 70%, dan 77,3%. Tingginya penggunaan leksikon
kembang bacin karena populasinya cukup banyak dan baunya yang busuk
sehingga terekam begitu kuat di memori masyarakat, sedangkan fenomena yang
terjadi pada pacar adalah karena berfungsi dalam kehidupan budaya, salah satu
elemen kembang kirim „bunga tabur untuk orang meninggal serta kembang
menur yang tingkat penggunaannya 33,3%, 55%, dan 81,8% memiliki kaitan
dengan kehidupan budaya, yakni untuk hiasan pengantin.
(6) Tingkat penggunaan leksikon tanaman kelapa antargenerasi GTBU
Entitas kelapa merupakan tanaman yang paling mudah ditemukan di
lingkungan tempat tinggal GTBU karena begitu banyaknya populasi. Ada
interaksi, interekasi, dan interdependensi yang sangant tinggi antara GTBU
dengan entitas ini karena beberapa peran penting yang diembannya, di antaranya
peran ekonomi dan sosial budaya. Secara ekonomi, tidak saja buahnya namun
juga janur dan batang entitas ini dapat dijual sehingga dapat menunjang
perekenomian GTBU. Sementara itu, peran sosial entitas dapat dilihat
keterpakaian bbeberapa bagian pohon kelapa untuk peralatan rumah tangga dan
bangunan, sedangkan peran budaya yang diembannya dapat dilihat pada
terpakainya parutan buah kelapa untuk bumbu pecel pitik dalam beberapa acara
slametan dan dauannya dipakai sebagai hiasan pada setiap hajatan terutama
274
upacara mantenan. Begitu pentingnya entitas kelapa bagi kehidupan mereka,
GTBU tidak saja menjadikan jenis-jenis kelapa dan bagian-bagian dari pohonnya
sebagai topik dalam percakapan mereka sehari-hari, tetapi juga barbagai macam
peralatan yang terbuat dari bagian-bagian pohon entitas tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai macam leksikon terkait dengan kelapa yang dimiliki BU yang
membuatnya berbeda dengan BD lain khusus leksikon perkelapaan beserta
tingkat penggunaannya oleh masing-masing kelompok responden seperti terlihat
dalam tabek berikut.
Tabel 6.24
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Kelapa
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Kelapa dan
jenisnya
tombong
kelapa 100 100 100 pol
kelapa bunyuk - 25 22,7 mancung
kelapa ijo 90.5 100 100 Peralatan
terbuat dari
bathok/
pohon kelapa
kelapa kopyor 9,6 55 72.3 cengkir 9,6 55 72.3
kelapa gadhing 42,9 95 90,9 irus 33,5 45 50
kelapa puyuh 52,4 55 72,7 kepang 33,3 60 59,1
Bagian-bagian
pohon kelapa
kiso 14,3 40 68,2
bongkok 85,7 95 95,5 rinjing - 45 45,5
bathok 85,7 100 100 siwur 47,6 65 68,2
belarak 72,1 75 86,4 patar 4,8 45 50
belangkokan 19 70 90,9 sapu 100 100 100
beluluk 4,6 85 90,9 tepis 90,5 100 100
cangkok 42,9 80 77,3 kurih 4.8 55 59,1
cikilan 62 75 86,4 sepet 95,5 100 100
celumpring 62 80 100 bencorong 47,6 80 95,5
dangu 72,1 80 86,4 canting 38,1 55 59,1
gelugu 42,9 60 86,4 welit 9,6 35 40,1
tali papah 19 70 81,8 Hasil olahan
dari buah
kelapa
janur 95,2 100 100 gulali 4,8 5 31,8
275
jeliring 42,9 60 86,4 koyah 9,6 70 68,2
mayang 23,8 65 77,3 koprah 28,6 70 72,3
ruyung 9,6 60 72,7 sawur 23,8 50 77,3
tapas 4,6 75 77,3
Ada empat kelompok tingkat penggunaan leksikon yang termuat dalam
tabel di atas, yakni leksikon-leksikon tentang jenis-jenis kelapa, nama-nama
bagian pohon kelapa, peralatan yang terbuat dari bagian pohon kelapa, serta
beberapa olahan yang terbuat dari buah kelapa. Hampir sama dengan fenomena
yang ditemukan pada bagian lainnya, tingkat penggunaan responden remaja
terhadap hampir sebagian besar leksikon jauh lebih kecil dari pada tingkat
penggunaan oleh responden dewasa dan tua. Walaupun demikian, dalam beberapa
bagian ditemukan juga tingkat penggunaan leksikon oleh ketiga kelompok cukup
tinggi, seperti pada leksikon tentang jenis kelapa yaitu kelapa ijo „kelapa hijau‟
sebesar 90,5%, 100%, dan 100%. Tingginya tingkat penggunaan leksikon entitas
ini dalam wacana sehari-hari GTBU, di samping karena populasinya cukup
banyak, khasiat buah muda entitas ini bila dicampur dengan ramuan tertentu dapat
digunakan sebagai penjaga stamina, khususnya kaum lelaki, serta khasiat
minyaknya sebagai penyubur dan penguat rambut adalah penyebab semuanya.
Sementara itu, terhadap leksikon nama-nama bagian pohon kelapa yang
tingkat penggunaannya cukup tinggi adalah pada leksikon janur „daun kelapa
yang masih muda‟ sebesar 85,7%, 95%, dan 95,5; belarak „daun kelapa yang
sudah tua dan kering‟ sebesar 85,7%, 100%, dan 100%; bongkok „tangkai daun
kelapa‟ sebesar 72,1%,75%, dan 86,4%; cikilan „potongan buah kelapa sebagai
bahan dasar koprah‟ sebesar 72,1%, 80%, dan 86,4%; dan tombong „daging
berwarna putih yang tumbuh di tengah buah kelapa yang sudah sangat tua‟
276
sebesar 95,2%, 100%, dan 100%. Cukup seringnya muncul leksikon janur dan
belarak dalam komunikasi sehari-hari karena peran sosial budayanya dalam
kehidupan GTBU. Janur merupakan elemen penting untuk membuat berbagai
jenis ketupat yang ada dalam berbagai slametan sedangkan blarak dipakai obor
yang dinyalakan pada hari sebelum upacara ider bumi yang dilakukan di Desa
Kemiren khususnya.
Tingkat penggunaan yang sangat tinggi terhadap leksikon peralatan yang
terbuat dari bagian pohon kelapa seperti sapu „sapu yang terbuat dari ikatan lidi
daun kelapa yang berukuran segenggam tangan orang dewasa‟ (100%, 100%, dan
100%), tepis „sapu kecil terb uat dari ikatan daun kelapa yang fungsinya
membersihkan tempat tidur dan menepis nyamuk‟ (90,5%, 100%, dan 100%, serta
sepet „sikat terbuat dari sabut kelapa‟ (95,2%, 95%, dan 100%) dikarenakan oleh
belum tergantikannnya fungsi entitas-entitas ini oleh peralatan modern dalam
kehidupan GTBU sehingga leksikon ini masih bertahan. Fenomena sebaliknya
ditemukan pada tingkat penggunaan leksikon gulali yang merupakan penganan
atau gula terbuat dari aren kelapa yang dimasak hingga liat yang dapat dijulurkan
seperti tali yang fungsinya sama seperti permen saat ini‟ dengan tingkat
penggunaan sebesar 4,8%, 10%, dan 17,9%. Hal ini disebabkan oleh hampir
punahnya acuan leksikon ini karena di samping pembuatannya memerlukan
proses yang lama, munculnya berbagai bentuk dan macam permen atau gula-gula
adalah faktor penyebabnya.
(7) Tingkat penggunaan leksikon tanaman bambu antargenerasi GTBU
277
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa lingkungan tempat
tinggal GTBU sangat kaya akan entitas bambu, baik dari segi jenis maupun
kuantitas. Karenanya banyak leksikon perbambuan yang dimiliki BU terkait
dengan jenis-jenis bamboo, bagian dari pohon bambu, dan peralatan yang terbuat
dari pohon bambu. Namun, karena perubahan lingkungan dan modernisasi yang
melanda kehidupan GTBU khususnya, walaupun masih dipahami dan dikenal,
banyak leksikon perbambuan sudah tidak muncul lagi dalam komunikasi sehari-
hari GTBU, khususnya di kalangan responden remaja.
Populasi entitas bambu tertentu yang masih banyak tidak menjamin
banyaknya interkasi, interelasi, dan interdependensi yang banyak pula, khususnya
terhadap jenis-jenis bambu tertentu. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di
lapangan, jenis bambu yang populasinya sangat banyak, namun tingkat
penggunaan leksikonnya sangat rendah di antaranya adalah jajang gabug, bambu
dengan dinding tipis dan rapuh, sebesar 0%, 5%, dan 9,1% dan jajang ampel yaitu
bambu beruas agak pendek dan berdinding tebal dengan tingkat penggunaan
masing-masing sebesar 0%, 20%, dan 31,8%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan responden tentang kelebihan yang dimiliki entitas ini, dan
tergantikannya fungsi entitas ini oleh entitas lain, serta kurangnya interaksi karena
tidak adanya kebutuhan akan entitas ini. Untuk mengetahui keberagaman leksikon
jenis bambu dan peralatan yang terbuat dari bambu, serta tingkat penggunaan
masing-masing responden terhadap leksikon-leksikon tersebut dapat dilihat dalam
tabel berikut.
278
Tabel 6.25
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bambu
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
jajang 95,2 100 100 galar 76,2 75 77,3
jajang apus 4,8 10 18,2 seseg 52,4 65 77,3
jajang benel 14,3 25 45,5 langkab - 40 40,1
jajang peting 14,3 30 31,8 lothek 62 70 77,3
jajang petung 47,6 55 63,6 kemarang 90,5 100 100
jajang gabug - 5 4.5 keranjang 52,4 90 100
jajang kuning 19 40 54,5 kereneng - 5 18,2
jajang cemeng - 15 18,2 kicir 14,4 65 77,3
jajang wuluh 23,8 60 68,2 nyiru 100 100 100
jajang ori 42,9 65 68,2 sawu - 5 22,7
jajang pellet - 5 22,7 seser 14,3 40 45,5
jajang surat 47,6 40 63,6 kukusan 90,5 100 100
jajang tutul 33,3 50 59,1 beronjong - 15 18,2
jajang meluwuk - 10 13,6 budhag - 45 54,5
jajang tali 33,3 70 72,1 tumbu 19 40 50
jajang watu - - 4,5 tedhok - 60 59,1
jajang ampel - 20 31,8 tenong 62 70 95,5
Bagian-bagian dari
pohon bambu
golong - 10 9,1
barongan 71,4 75 77,3 katir 9,6 50 59,1
celumpring 42,9 55 63,6 kentongan 76,2 70 77,3
ebung 81 85 90,9 berajag - 15 22,7
serit 42,7 60 68,2 beranding - 55 54,5
Peralatan terbuat
dari batang bambu
cokop 14,3 50 50
kelakah 9,6 35 40,1 cantuk 62 100 100
geladhag 23,8 30 31,8 singkek 100 100 100
irig 81 85 86,4 penguluran 52,4 70 72,7
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari 18 jenis bambu yang tumbuh di
lingkungan tempat tiinggal GTBU, hanya empat jenis bambu dengan rerata
tingkat penggunaan di atas 50%, yakni jajang petung dengan tingkat penggunaan
masing-masing 47,6%, 55%, dan 63,6%, jajang ori sebesar 42,9%, 65%, dan
68,2%, jajang surat sebesar 47,6%, 50%, dan 63,6%, serta jajang tali sebesar
33,3%, 70%, dan 72,1%. Tingginya tingkat penggunaan leksikon beberapa jenis
bambu di atas karena adanya interaksi, interelasi, dan interdependensia, serta
279
fungsi banyak bagi kehidupan GTBU. Misalnya, jajang petung dikenal luas dan
diakrabi oleh GTBU karena entitas ini banyak digunakan sebagai tiang rumah atau
bangunan lainnya karena batangnya yang lurus dan kokoh; jajang ori yaitu bambu
berduri dan ruasnya berdinding tebal banyak dimanfaatkan untuk pagar dan
bambu yang hidup sering dipakai untuk penahan erosi karena perakarannya yang
kuat dan rapat; jajang surat, bambu yang memiliki guratan-guratan pada
batangnya merupakan bahan dasar untuk pembuatan kursi tamu atau berbagai
barang kerajinan yang bernilai seni tinggi; dan jajang tali adalah jenis bambu
dengan ruas agak panjang berdinding sedang namun kuat yang merupakan bahan
dasar untuk berbagai jenis tali, di antaranya termasuk tali untuk mengikat hewan
peliharaan seperti sapi dan kerbau sebelum dikenalnya tali plastik yang lebih kuat
dan lebih praktis.
Sementara itu, leksikon barongan „sekumpulan pangkal batang rumpun
bambu‟ dengan tingkat penggunaan 71,4%, 75% dan 77,3% dan leksikon ebung
„rebung atau bakal batang bambu yang masih sangat muda‟ dengan tingkat
penggunaan 81%, 85%, dan 90% merupakan dua leksikon bagian-bagian pohon
bambu yang diakrabi oleh responden karena adanya interaksi yang tinggi di
samping karena populasinya cukup banyak dan juga sebagai salah satu jenis sayur
yang sering dikonsumsiGTBU, khususnya entitas rebung.
Dari tiga puluh leksikon peralatan terbuat dari batang bambu yang dikenal
GTBU, hanya sebelas leksikon dengan rerata tingkat penggunaan responden di
atas 60%, sedangkan yang lainnya tingkat penggunaannya sangat rendah.
Leksikon-leksikon yang masih sering muncul dalam percakapan sehari-hari
280
GTBU, di antaranya irig „wadah berbentuk bulat yang berlubang-lubang yang
terbuat dari anyaman bambu‟ dengan tingkat penggunaan 81%,85%, dan 86,4%;
galar „bilah-bilah bambu yang dirangkai dengan tali untuk dipakai alas dipan‟
sebesar 76,2%, 75%, dan 77,3%; cantuk „pangkal batang bambu yang dipakai
untuk menggerus bumbu‟ sebesar 62%, 100%, dan 100%; serta cingkek „alat pikul
terbuat dari bilahan bambu yang bagian depan dan belangnya berbentuk segi tiga
untuk menempatkan barang bawaan‟ sebesar 100%, 100%, dan100%. Tingginya
tingkta kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari
GTBU karena entitas-entitas acuannya masih dengan mudah ditemukan karena
banyak fungsinya, khususnya singkek, karena setiap keluarga GTBU pasti
memiliki benda ini.
(8) Tingkat penggunaan leksikon tanaman lainnya antargenerasi GTBU
Seperti telah desebut pada bagian terdahulu bahwa selain kelompok flora
di atas masih ada kelompok flora lain yang memiliki peran penting dalam
kehidupan GTBU. Hal ini dapat dilihat dari adanya interaksi, interelasi, dan
interdependensi antara GTBU dengan entitas-entitas acuannya yang tercermin
dalam penggunaan leksikon-leksikonnya. Entitas-entitas lain yang dimaksud pada
bagian ini meliputi beberapa jenis tanaman, seperti enau, lontar, rotan, kapuk,
tembakau, asam beserta bagian-bagiannya.
Hampir sama seperti terhadap entitas-entitas lain yang memiliki leksikon
yang mengacu pada nama entitas utama dan leksikon yang mengacu pada bagian-
bagian entias tersebut, tingkat penggunaan terhadap nama entitas utama selalu
281
lebih tinggi dari tingkat penggnaan leksikon terhadap nama-nama bagian dari
entitasnya. Fenomena ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.26
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Lainnya
Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewa
sa(%)
Tua
(%)
Lirang dan
bagian-agiannya
Jati dan jenisnya
lirang 23,8 55 63,6 jati 66,7 90 95,5
kedhuk 19 50 54,5 jati mas 9,6 35 54,5
kolang-kaling 62 65 68,2 jati landa 4,8 5 36,4
mancung 14,3 55 59,1 Tembakau dan
jenis irisan
daunnya
manggar 4,8 60 59,1 bako 81 100 100
kawung 14,3 15 45,5 semprul 9,6 50 50
sodho 4,8 50 68,2 kerosok 4,6 10 45,5
Lontar dan
bagian-agiannya
Jenis tanaman
lainnya
gebyong/etal - 35 40,1 bungur 28,6 35 45,5
siwalan - 30 27,3 kepuh 9,6 25 36,4
Rotan dan
bagian-
bagiannya
Kesambi 4,8 55 55,5
penjalin 47,6 65 63,6 ketepeng kecil 28,6 35 45,5
geronong - 5 13,6 ketepeng kebo - 25 36,4
doni - 5 13,6 putat 4,8 55 55,5
Pinang dan
bagian-
bagiannya
santen 66,7 75 86,4
Pinang 95,2 100 100 rau 9,6 30 45,5
mayang 23,8 65 77,3 weringin 66,7 70 72,7
upih 14,3 50 72,7 wunut 9,6 10 54,5
Kapuk dan
bagian-
bagiannya
cemara 47,6 55 72,7
randu 66,7 80 81,8 kedawung 14,3 15 31,8
karuk 9,6 40 45,5 kenari 9,6 20 40,1
pelenteng 9,6 50 45,5 waru 66,7 70 72,7
Asam dan
bagian-
bagiannya
suruh 85,7 90 100
asem 100 100 100 suruh kinang 52,4 80 90,9
tempalok 23,8 45 45,5 suruh temu ros 19 75 86,4
kelingsi 47,6 75 81,8 galing - 25 27,2
asem kamal 47,6 85 100 simbukan 28,6 75 77,2
godhong asem 100 100 100 sri wangkat - - 63,6
lung-lungan - 35 40,1
282
Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, pada beberapa entitas yang
memiliki leksikon entitas utama dan leksikon-leksikon yang mengacu pada
bagian-bagian dari entitas-entitas tersebut selalu menunjukkan bahwa tingkat
penggunaan terhadap leksikon utama lebih tinggi dari leksikon-leksikon yang
mengacu bagian-bagiannya, kecuali pada leksikon lirang „enau‟ masing-masing
sebesar 23,8%, 55%, dan 63,6%, yang persentase tingkat penggunaannya terhadap
salah satu leksikon yang mengacu pada bagiannya, yakni leksikon kolang-kolang
„buah enau‟ sebesar 62%, 65%, dan 68% lebih tinggi sedikit tingkat
pemakaiannya. Fenomena ini disebabkan oleh kehadiran kolang-kolang dalam
bentuk olahan, bukan sebagai buah mentahnya. Sementara itu, tingkat penggunaan
terhadap leksikon utama tertinggi ditemukan pada leksikon asem „pohon asem‟
masing-masing sebesar 100%, sedangkan terendah adalah pada leksikon
gebyong/etal „pohon lontar‟ dengan tingkat penggunaan sebesar 0%, 35%, dan
40,1%. Tingginya kehadiran leksikon asem dalam komunikasi sehari-hari GTBU,
di samping karena tingginya populasi juga disebabkan oleh terpakainya buah
asem dan daunnya dalam beberapa jenis masakan lokal GTBU sehingga interaksi,
interelasi, dan interdependensi sangat tinggi. Sebaliknya, yang terjadi pada
leksikon gebyong/etal dikarenakan oleh sangat sedikitnya populasi dan tidak
adanya kebutuhan akan entitas dalam kehidupan GTBU tersebut sehingga tidak
ada untuk membudidayakan entitas ini, di samping faktor geografis dan topografis
tidak mendukung tumbuhnya entitas ini.
Sementara itu, leksikon suruh khususnya leksikon generiknya
menunjukkan tingkat penggunaan yang cukup tinggi yakni 85,7%, 90%, dan
283
100%. Di samping bahan untuk nginang, khususnya oleh responden tua,
keterpakaian entitas ini sebagai salah satu elemen dalam ritual-ritual adat
menyebabkan sering munculnya leksikon ini dalam komunikasi sehari-hari GTBU
serta mereka membudidayakannya, baik di
pekarangan rumah atau di kebun sehingga populasinyab cukup tinggi. Sebaliknya,
leksikon sri wangkat hampir tidak pernah muncul dalam percakapan responden
remaja dan responden dewasa dengan tingkat penggunaan masing-masing 0%.
Hal ini disebabkan oleh mereka yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan
entitas ini walaupun entitas ini memegang peranan penting dalam kehidupan
budaya GTBU, yaitu sebagai salah satu unsur dalam tumpeng sri wangkat yang
dibuat untuk upacara slametan. Tingkat penggunaan leksikon ini pada responden
tua adalah 63,6% karena responden tua lah paling sering terlibat dalam ritual
slametan sehingga interaksi mereka cukup tinggi.
Sementara itu, fenomena menarik terlihat pada kelompok leksikon bako
„temabakau‟. Tingkat penggunaan leksikon generiknya di atas 80% untuk ketiga
kelompok responden, sedangkan untuk leksikon-leksikon yang mengacu pada
jenis irisan daunnya adalah setengah dari leksikon generiknya. Hal ini disebabkan
karena bagi sebagian besar responden tidah berpendapat bahwa semua daun
tembakau yang sudah diiris disebut bako „tembakau
6.2.1.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Fauna Antargenerasi GTBU
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan tingkat pemahaman
responden terhadap leksikon-leksikon fauna jauh lebih tinggi dari tingkat
284
penggunaannya. Tingkat penggunaan leksikon-leksikon fauna cukup rendah
dibandingkan dengan tingkat pemahamannya, di antaranya ada 1:2, 1:3 dan
bahkan ada 1:4. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena ini.
Berikut adalah penjelasan tentang tingkat penggunaan responden terhadap
leksikon mamalia BU.
(1) Tingkat penggunaan leksikon mamalia antargenerasi GTBU
Mamalia yang hidup di lingkungan tempat tinggal GTBU ada yang
dibudidayakan dan ada pula yang hudup liar. Berdasarkan analisis data dan
pengamatan di lapangan tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat
penggunaan responden terhadap leksikon mamalia liar dan yang dibudidayakan.
Hal yang berbeda tampak pada tingkat penggunaan leksikon oleh kelompok
responden remaja di satu pihak dan responden dewasa dan tua di pihak lainnya.
Pada leksikon-leksikon tertentu, tingkat penggunaan leksikon pada responden
remaja jauh di bawah tingkat penggunaan oleh dewasa dan tua. Fenomena ini
dapat diamati pada leksikon-leksikon seperti: tikus curut „tikus bertubuh kecil dan
bermulut runcing dan kalau berjalan selalu menepi ke dinding apa saja‟ dengan
tingkat penggunaan sebesar 14,3% untuk responden remaja, sedangkan
responden dewasa dan tua sebesar 70% dan 95,5%; wedhus gimbal „kambing
berbulu gimbal‟ masing-masing sebesar 0%, 45%, dan 59,1%; jaran „kuda‟
masing-masing sebesar 33,3%, 80%, dan 86,4%, dan sebagainya. Fenomena ini
disebabkan ,antara lain, oleh tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi
pendahulu tentang perbedaan ciri fisik dari entitas sehingga pengetahuan generasi
berikutnya hanya sebatas pada leksikon generik saja, seperti yang terjadi pada
285
leksikon tikus curut dan wedhus gimbal, misalnya. Sementara itu, yang terjadi
pada leksikon jaran disebabkan oleh kurangnya interaksi responden remaja
dengan entitas ini, karena yang biasanya terlibat dalam memelihara dan merawat
kuda, khususnya jaran kencak, adalah orang dewasa atau tua. Untuk melihat
tingkat penggunaan responden terhadap leksikon mamalia, perhatikan tabel
berikut.
Tabel 6.27
Tingkat Penggunaan Leksikon Mamalia Antargenerasi GBTU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Tikus 100 100 100 Jenis bina-
tang lainnya
tikus curut 14,3 70 95,5 asu 28,6 30 31,8
tikus kerot 19 25 40,1 kirik 23,8 30 27,3
tikus langu 28,6 70 68,2 jaran 33,3 80 86,4
tikus got - 35 54,5 kucing 100 100 100
Kambing dan
jenisnya
sapi 90,5 100 100
wedhus 100 100 100 bojog 23,8 35 40,1
wedhus gimbal - 45 59,1 bantongan - 5 13,6
wedhus kendhit - 10 31,8 celeng 4,8 40 36,4
wedhus kacangan 19 55 68,2 cuwut 52,4 80 81,8
wedhus menggala 4,8 30 31,8 delundheng 4,8 5 59,1
wedhus gibas 4,8 65 59,1 garangan 26,8 55 59,1
wedhus etawa 23,8 30 27,3 kidhang - 5 9,1
wedhus jawa 33,3 75 68,2 macan - - -
Ada beberapa beberapa leksikon yang tingkat penggunaannya cukup tinggi
yang terlihat dalam tabel di atas, seperti kucing „kucing‟ (100%,100%, dan
100%), sapi „sapi‟ (90,5%, 100%, 100%), dan cuwut „tupai‟ (52,4%, 80%, dan
81,8%). Kucing merupakan jenis mamalia yang banyak ditemukan hidup
berdampingan dengan manusia; sapi adalah salah satu hewan peliharaan yang
membantu manusia dalam mengerjakan tanah sawah; dan cuwut merupakan
hewan dengan kelapa sebagai salah satu makanan yang paling disukai (populasi
286
kelpa di wilayah ini sangat banyak) sehingga dapat dikatakan bahwa banyaknya
populasi, tempat hidup berdampingan, serta tingginya interaksi merupakan faktor-
faktor penyebab tingginya tingkat penggunaan ketiga leksikon tersebut. Sementara
itu, leksikon asu „anjing‟dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar
26,8%, 30%, dan 31,8% dan leksikon kirik „anak anjing‟ sebesar 23,8%, 30%,
dan 27,3%, biasanya hampir tidak pernah muncul penggunaannya dalam
komunikasi sehari-hari di lingkungan masyarakat muslim, namun terjadi pada
GTBU karena kedua entitas ini walau pun tidak hidup berdampingan secara
langsung dengan pemiliknya, namun perannya sebagai penjaga kebun dari
ancaman pencuri dan bojog ‘kera‟ membuat kedua leksikon ini muncul dalam
komunikasi sehari-hari GTBU.
(2) Tingkat penggunaan leksikon unggas antargenerasi GTBU
Jenis unggas yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal etnik Using
hampir sama jenisnya dengan yang ditemukan di daerah Jawa Timur lainnya,
seperti banyak „angsa‟, berengul „anak angsa‟, bebek „itik‟, bangsong
„menthok/itik manila‟, pitik „ayam‟ dan sebagainya. Hanya satu unggas, yakni
bebek banyong „itik yang hidup di daerah rawa-rawa di hutan dan bisa terbang‟
dengan tingkat penggunaan masing-masing 9,6%, 25%, dan 36,4%. Penggunaan
leksikon ini muncul dalam komunikasi GTBU yang berdomisili di Desa Kampung
Anyar, Kecamatan Glagah yang masih memiliki wilayah hutan. Tabel berikut
menunjukkan tingkat penggunaan leksikon oleh ketiga kelompok responden.
287
Tabel 6.28
Tingkat Penggunaan Leksikon Unggas Antargenerasi GBTU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Ayam dan
jenisnya
Bebek dan
jenisnya
pitik 100 100 100 bebek 95,2 100 100
pitik walik 4,8 20 22,7 bebek banyong 9,6 25 36,4
pitik cemara - 15 14,2 bangsong 19 45 50
bangkok 9,6 35 31,8 Bagian-bagian
tubuh unggas
pitik alas 47,6 55 54,5 cekeker 100 100 100
bekisar 4,8 5 9,1 cengger 100 100 100
babon 52,4 90 90,9 cucuk 100 100 100
sawung 38,1 65 86,4 telampik 100 100 100
Angsa dan
jenisnya
berutu 100 100 100
banyak 82 85 86,4
berengul 23,8 50 50
Sebagaimana tingkat penggunaan leksikon generik pada umumnya, pada
tabel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan leksikon generik untuk entitas
pitik „ayam‟ dan bebek „itik‟ sangat tinggi yang hampir mencapai 100%. Namun
tidak demikian halnya terhadap leksikon spesifiknya, khususnya pada leksikon-
leksikon tertentu, yang tingkat penggunaannya jauh lebih kecil. Hal ini jelas
terlihat pada tingkat penggunaan leksikon spesifik pitik, seperti pitik walik yaitu
ayam yang bulunya terbalik (keriting) dengan tingkat penggunaan 4,8%, 20%, dan
22,7%; pitik cemara yaitu jenis ayam yng bulunya meneyerupai daun cemara
dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 0%, 15%, dan 14,2%; dan
bangkok „ayam bangkok‟ sebesar 9,6%, 35%, dan 31,8%. Rendahnya kemunculan
leksikon-leksikon tersebut dalam komunikasi sehari-hari responden, selain karena
sedikitnya populasi dan sulitnya membedakan ciri fisik kedua acuan entitas
leksikon tersebut sehingga interaksi sangat jarang, juga tidak adanya transfer
288
pengetahuan kepada generasi berikutnya adalah beberapa faktor penyebab
fenomena di atas.
Fenomena berbeda terlihat pada tingkat penggunaan leksikon babon
„induk ayam‟ sebesar 52,4%, 90%, 90,9% dan leksikon sawung „ayam
penjantan‟ sebesar 38,1%, 65%, dan 86,4% yang pesentasenya lebih tinggi dari
leksikon-leksikon yang disebutkan sebelumnya walaupun tidak sebesar tingkat
penggunaan leksikon tentang bagian-bagian tubuh unggas sebesar 100%. Hal ini
berarti bahwa leksikon-leksikon BU yang mengacu pada entitas-entitas tersebut
tetap terpakai dan sering muncul dalam komunikasi sehari-hari GTBU.
(3) Tingkat penggunaan leksikon burung antargenerasi GTBU
Walaupun BU memiliki cukup banyak leksikon yang merepresentasikan
berbagai jenis burung, percakapan yang melibatkan leksikon tentang burung
sangat sedikit terjadi walaupun habitat burung masih tetap asri. Berdasarkan
analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa ada tingkat
penggunaan beberapa leksikon spesifik burung (bahkan juga terhadap leksikon
generik bango „burung bangau‟) sebesar 0% untuk ketiga kelompok responden.
Fenomena ini terlihat pada tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon, seperti
bango kebo, bango tongthong, bango wedhus, dan jalak putih/bali. Tidak pernah
munculnya leksikon generik dan tiga leksikon spesifik bango tersebut disebabkan
oleh ketidaktahuan responden membedakan meliwis, kuntul dan bango secara
fisik karena ketiganya berbulu putih. GTBU menyebut burung yang berbulu putih
yang berkaki dan berparuh panjang adalah meliwis atau kuntul sehingga leksikon
289
bango tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Untuk melihat
tingkat penggunaan leksikon burung lainnya, perhatikan tabel berikut.
Tabel 6.29
Tingkat Penggunaan Leksikon Burung Antargenerasi GTBU
Leksikon BU
Tingkat Penggunaan Leksikon
BU
Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Rema
ja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Bangau dan jenisnya culik - 30 40,1
Bango - - - gemek 9,6 35 36,4
bango kebo - - - jegug 4,8 10 13,6
bango thongthong - - - kukuk beluk - 20 31,8
bango wedhus - - - kacer 14,3 20 13,6
belekok - 35 63,6 kakak tua 9,6 10 22,7
kuntul 19 20 40,1 kepodang 14,3 25 36,4
Meliwis - 5 9,1 perenjak 4,8 20 27,3
Jalak dan jenisnya serigunting 9,6 30 54,5
jalak - 5 9,1 seriti 9,6 55 68,2
jalak bali - - - sikatan 23,8 25 27,3
jalak cemeng - - 13,6 tinil 4,8 10 13,6
jalak suren - - 9,1 tuwu 4,8 15 13,6
Pipit dan jenisnya alap-alap 14,3 40 59,1
emprit 90,5 95 90,9 bangkrak 14,3 30 40,1
emprit uban/bodol 14,3 50 77,3 betet - 30 45,5
emprit gantil 9,6 50 54,5 gagak 19 55 54,5
emprit peking 9,6 50 54.5 gedhubug - 15 18,2
emprit kaji 4,8 15 27,3 samber
ulung
- 25 27,3
Jenis burung lainnya bidhol 14,3 40 59,1
ancel-ancel angin - 5 31,8 dara 76,2 75 77,3
belkatuk - 35 36,4 manyar - 25 40,1
bence - 50 54,5 perkutut 85,7 85 90,9
cucak rawa 4,8 30 63,6 gelatik 14,3 40 59,1
Sementara itu, leksikon burung dengan tingkat penggunaan jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan burung lainnya adalah leksikon dara „burung
merpati‟ dengan tingkat penggunaan masing-masing 76,2%, 75%, dan leksikon
perkutut sebesar 85,7%, 85, dan 90,%. Tingginya kemunculan leksikon dara
dalam percakapan sehari-hari GTBU, di samping karena habitat burung ini ada di
lngkungan perumahan mereka serta sifatnya yang jinak, juga disebabkan oleh
290
adanya trend adu dara, yaitu sejenis permainan mengadu burung dara dengan
memperhitungkan kecepatan dan ketepatannya mencari objek sasaran, khususnya
di kalangan responden remaja, sehingga interaksi dengan entitas acuan leksikon
ini sangat tinggi. Fenomena yang terjadi pada leksikon perkutut, di samping
populasinya yang banyak dan mudah ditemukan di sekeliling GTBU, juga
dijadikannya entitas leksikon ini sebagai burung peliharaan karena keindahan
suaranya juga menyebabkan leksikon entitas ini sering menjadi topik pembicaraan
dalam kehidupan sehari-hari mereka.
(4) Tingkat penggunaan leksikon reptil antargenerasi GTBU
Sebagaimana jenis entitas acuannya, tidak banyak leksikon tentang reptil
yang dimiliki oleh BU. Walaupun demikian, di antara leksikon reptil yang ada,
leksikon spesifik ula „ular‟ jumlahnya paling banyak, yakni sebanyak enambelas
leksikon dengan tingkat penggunaan tertinggi ditemukan pada leksikon ula irus
dengan tingkat penggunaan masing-masing sebesar 52,4%, 65%, 77,3% dan ula
jali sebesar 52,4%,75%, 81,8%. Hal yang berbeda terlihat pada tingkat
penggunaan leksikon spesifik ula lainnya yang rerata tingkat penggunaannya di
bawah 30%, seperti di antaranya ula dawu (0%, 0%, 4,5%), kelasa (0%,
10%,9,1%) , ula lampar (9,6%, 10%, 22,7%), silara (9,6%, 25%, 27,4%), lanang
(4,8%,10%, 22,7%), lumbu, sungu (0%, 10%, 4,5%), walur (0%, 5%, 4,5%) , dan
weling (0%, 10%, 22,7%). Di samping sebagian besar habitat ular-ular tersebut
jauh dari pemukiman GTBU sehingga interaksi mereka kurang, sedikitnya
populasi, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi sebelumnya
291
adalah penyebab rendahnya tingkat penggunaan leksikon tentang ula „ular‟. Tabel
berikut menunjukkan keberagaman tingkat penggunaan leksikon reptil lainnya.
Tabel 6.30
Tingkat Penggunaan Leksikon Reptil Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Kodok dan
jenisnya
ula lampar 9,6 10 27,3
bangkrak 4,8 10 9,1 ula luwuk 14,3 40 31,8
bangkong - 5 4,5 ula kayu 9,6 30 27,3
kentus - - 9,1 ula kelasa - 10 9,1
Ular dan jenisnya ula sawa 9,6 50 50
ula 85,7 70 100 ulo silara 9,6 25 27,3
ula dhawu - - 4,5 ula weling - 10 22,7
ula irus 52,4 65 77,3 Jenis reptil
lainnya
ula jail 52,4 75 81,8 bajul - - 9,1
ula lanang 4,8 10 22,7 nyambit 62 75 77,3
ula lumbu 4,8 10 18,2 Kura 14,3 25 36,4
ula sungu - 10 4,5 Kadal 90,5 90 90,9
ula walur - 5 4,5 Cecek 95,3 95 95,5
ula welang - 30 31,8 tekek 100 100 100
ula gadhung 19 10 18,2
Sementara itu, dalam tabel di atas terlihat bahwa tingkat penggunaan
leksikon reptil, seperti nyambit „biawak‟, kadal „kadal‟, cecek „cicak‟ dan tekek
„tokek‟ menunjukkan persentase yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
leksikon reptil lainnya. Habitat entitas acuan yang dekat dengan atau di tengah-
tengah pemukiman warga sehingga interaksi sangat tinggi (khususnya cecek,
kadal, dan tekek) dan banyaknya populasi merupakan penyebab tingginya tingkat
penggunaan leksikon entitas-entitas tersebut. Leksikon bajul „buaya‟ dengan
tingkat penggunaan 0% untuk semua kelompok responden merupakan leksikon
yang entitasnya hanya sebagai pengetahuan responden yang didengar melalui
292
dongeng-dongeng atau cerita pada buku, karena bajul tidak ada di lingkungan
tempat tinggal GTBU yang letak topografisnya tidak sesuai dengan habitat buaya.
(5) Tingkat penggunaan leksikon serangga antargenerasi GTBU
Dibandingkan dengan jumlah leksikon fauna lainnya, leksikon serangga
jumlahnya jauh lebih banyak karena entitas-entitas acuannya dapat ditemukan di
mana-mana. Tidak seperti jumlah jenisnya yang sangat banyak, tingkat
penggunaan responden terhadap leksikon serangga sangat rendah kecuali terhadap
leksikon-leksikon yang acuannya memiliki interaksi tinggi dengan kehidupan
manusia atau habitatnya sangat dekat dengan atau di sekitar pemukiman mereka,
seperti leksikon generik dan spesifik semut „semut‟ dan laler „lalat‟ dan beberapa
leksikon serangga lainnya. Keberagaman leksikon dan tingkat penggunaannya
oleh ketiga kelompok responden dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.31
Tingkat Penggunaan Leksikon Serangga Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Ulat dan jenisnya walang selethet - - 9,1
uler 100 100 100 walang gebog 4,8 25 22,7
uler geni 9,6 55 68,2 Kupu-kupu
dan jenisnya
uler senggenit 23,8 55 54,5 kupu 57,1 100 100
uler jaran 19 55 54,5 kupu abang - 25 36,4
uler wulu 33,3 60 54,5 kupu ijo - 35 40,1
uler jembut - 50 45,5 kupu kuning 33,3 50 59,1
uler keket 9,6 60 63,6 kupu putih 33,3 60 59,1
Capung dan
jenisnya
kupu cedhung 14,3 25 40,1
dudhuk 57,1 95 95,5 kupu kithi 4,8 30 40,1
dudhuk cutrik 19 55 54,5 Semut dan
jenisnya
dudhuk edhom 42,9 45 50 semut 90,5 100 100
dudhuk abang 19 65 68,2 semut abang 76,2 80 81,8
dudhuk kuning - 35 54,5 semut cemeng 71,4 85 86,4
dudhuk macan - 5 9,1 semut gatel 57,1 80 90,9
293
dudhuk ruyung - - 9,1 semut geni 47,6 65 86,4
dudhuk terasi 9,6 10 27,3 semut angkrang 57,1 85 86,4
dudhuk cilik 14,3 65 63,4 semut pudhak 33,3 85 77,3 dudhuk gerobok - 20 40,1 Lalat dan
jenisnya
dudhuk menggala - - 9,1 laler 90,5 100 100 dudhuk maling - 5 9,1 laler cemeng 66,7 90 86,4 udhuk entelong - - 13,6 laler ijo/buyung 19 70 72,7 Tawon dan
jenisnya
Kumbang dan
jenisnya
tawon 76,2 95 95,4 kuwang-wang - 55 59,1 tawon sruk 23,8 60 54,5 Kutis - 45 45,5 tawon kenceng 76,2 95 95,4 bapak pucung - 10 18,2 tawon keroso 52,4 70 72,7 gasir 52,4 60 59,1 tawon gung 9,6 15 31,8 ancruk 14,3 45 50 tawon kunir 28,6 40 40,1 samber ilen - 45 45,5 tawon terasi/ gagak - 45 45,5 Jenis serangga
lainnya
tawon macan 9,6 20 27,3 keremi 62 70 72,7
tawon menggala - 15 27,3 lingsa 42,9 60 59,1
tawon rowan 62 90 90,9 limpit - 30 45,5
Belalang dan
jenisnya
kala jengking 52,4 55 54,5
walang 85,7 85 90,9 kala supit 14,3 30 50
walang gancong 9,8 30 31,8 tumo 66,7 70 72,7
walang jaran - 25 27,3 Rengit 57,1 75 86,4
walang kalung - 25 22,7 berecung 62 70 72,7
walang godhong 19 40 59,1 pucung - 15 22,7
walang kadhung 47,6 40 40,1 angkut-angkut - 55 60
walang kayu 14,3 25 40,1 lare angon - 45 45,5
walang watu - 20 22,7 tengu 81 85 81,8
walang keretek - 25 31,8 kunang 19 80 77,3
walang pari 71,4 80 86,4 jengkrik 66,7 85 81,8
walang sangit 81 95 90,9 jekethit 33,3 40 50
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari sejumlah leksikon generik dari jenis
serangga tertentu, tingkat penggunaan terhadap leksikon-leksikon generik dudhuk
dengan rerata persentase paling rendah. Hal ini dapat dilihat pada tingkat
penggunaan leksikon-leksikon, seperti dudhuk macan (0%, 5%, 9,1%), dudhuk
ruyung (0%, 0%, 9,1%), dudhuk terasi (9,6%, 10%,27,3%), dudhuk gerobok (0%,
20%, 27,3%), dudhuk menggala (0%, %, 9,1%), dudhuk maling (0%, 5%, 9,1%),
dan dudhuk entelong (0%, 5%, 13,6%). Sedikitnya kemunculan leksikon-leksikon
294
tersebut dalam percakapan ketiga kelompok responden disebabkan oleh beberapa
faktor. Sedikitnya interaksi, khususnya di kalangan responden remaja karena
habitat dudhuk seperti daerah persawahan, kebun atau lingkungan yang ada
airnya; sedikitnya populasi karena pemakaian pestisida untuk memberantas hama
padi atau tanaman tanaman lainnya dan tidak adanya pengalihan pengetahuan
kepada generasi berikutnya menyebabkan sangat rendahnya kenmunculan
leksikon-leksikon tersebut sebagai topik pembicaraan dalam komunikasi sehari-
hari GTBU.
Fenomena menarik terlihat pada tingkat penggunaan leksikon generik
tawon dan leksikon spesifik tawon kenceng, yaitu jenis tawon berwarna coklat
yang paling banyak ditemukan bersarang pada langit-langit bangunan.
Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa
tingkat penggunaan terhadap kedua leskikon oleh ketiga kelompok responden
menunjukkan persentase yang sama, yakni masing-masing sebesar 76,2%, 95%,
dan 95,4%. Fenomena ini merupakan akibat dari ketidakmampuan responden
untuk membedakan fisik tawon karena ukuran tubuh serta warna beberapa jenis
tawon hampir sama namun yang membedakannya adalah tempatnya bersarang.
Di samping itu, populasi tawon kenceng yang terbanyak di antara jenis tawon
serta sarangnya banyak ditemukan di langit-langit bangunan menyebabkan
interaksi antara GTBU dengan entitas ini sangat tinggi sehingga responden
cendrung menyeneralisasi bahwa yang disebut tawon adalah tawon kenceng itu
sendiri.
295
Sementara itu, jenis serangga lain dengan tingkat penggunaan leksikon
cukup tinggi, yakni keremi „kutu ayam yang muncul pada saat ayam bertelur
hingga telurnya menetas‟ (62%, 70%, 72,7%); tumo, serangga yang hidup lipatan-
lipatan kain yang sudah lusuh (66,7%, 70%, 72,7%) ; rengit „nyamuk‟ (57,1%,
75%, 86,4%); berecung „jentik-jentik nyamuk‟ (62%, 70%, 72,7%); tengu
„tungau‟ (81%, 85%, 81,8%) ; dan jengkrik „jangkrik‟ (66,7%, 85%, 86,4%).
Berdasarkan pengamatan di lapangan, semua jenis serangga yang diacu oleh
leksikon-leksikon di atas habitatnya ada di sekitar atau di tengah-tengah
pemukiman warga sehingga interaksi respoden dengan entitas-entitas acuannya
cukup tinggi.
(6) Tingkat penggunaan leksikon ikan air tawar antargenerasi GTBU
Terletak di wilayah dengan sumber air yang melimpah, daerah lingkungan
tempat tinggal GTBU sangat kaya akan berbagai jenis ikan air tawar, baik yang
dibudidayakan oleh masyarakat maupun yang hidup liar. Walau pun jenis ikan
cukup banyak, namun interaksi GTBU dengan beberapa jenis ikan tidak begitu
tinggi. Hal ini terbukti rendahnya persentase penggunaan beberapa leksikon jenis
ikan air dalam percakapan responden sehari-hari, seperti di antaranya terlihat pada
leksikon sepat (0 %, 5%, 13,6%) , sengkaring (4,8%, 10%, 22,7%) , tombro (4,8
%, 30%, 45,5%) , meniran (19 %, 35%, 40,1%) , telekan (4,8%, 25%, 31,8%) ,
kuniran (14,3%, 20%, 27,3%), encit (0%, 25%, 45,5%), dan bibis (0%, 40%,
45,5%). Jarangnya kemunculan leksikon-leksikon tersebut dalam percakapan
GTBU, di samping karena harga entitasnya mahal (khususnya sepat, sengkaring,
dan tombro), sedikitnya populasi yang disebabkan matinya ikan karena pemakaian
296
pestisida, dan berkurangnya kegiatan mencari ikan di kali atau sungai, seperti
yang dilakukan oleh para leluhur, serta munculnya bahan lauk pengganti, seperti
tempe, tahu, dan daging adalah faktor penyebab dari fenomena di atas. Untuk
mengetahui tingkat penggunaan leksikon ikan air tawar yang ditemukan di
lingkungan tempat tinggal GTBU, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.32
Tingkat Penggunaan Leksikon Ikan Air Tawar Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
sepat - 5 13,6 geruyu 47,6 65 63,6
badher 71,4 80 72,7 mendhil 42,9 65 63,6
gurameh 47,6 80 81,8 meniran 19 35 40,1
sengkaring 4,8 10 22,7 telekan 4,8 25 31,8
tombro 4,8 30 45,5 uceng-uceng 23,8 40 40,1
lele 81 80 81,8 kuniran 14,3 20 27,3
mujaher 81 95 95,5 welut 71,4 80 81,8
tawes 47,6 65 63,6 encit - 25 45,5
nilem 42,9 60 63,6 bibis - 40 45,5
bedhul 28,6 50 59,1 oling 28,6 75 68,2
cokol 42,9 65 63,6 urang 71,4 75 72,7
deleg 19 55 54,5
Fenomena sebaliknya ditemukan pada tingkat penggunaan yang tinggi
terhadap leksikon-leksikon ikan seperti badher (74,1%, 85%, 86,4%), gurameh
(47,6%, 81%, 81,8%), lele (81%, 80%, 81,8%), mujaher (81%, 95%, 95,5%),
welut (71,4%, 80%, 81,8%), dan urang (47,6%, 80%, 77,3%). Tingkat
penggunaan yang tinggi pada leksikon-leksikon di atas, di samping karena lokasi
pembudidayaan ada di sekitar pemukiman masyarakat juga disebabkan oleh
banyaknya populasi sehingga entitasnya dengan mudah dapat ditemukan.
297
6.2.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi GTBU
Berkategori Verba
Bahasa, khususnya pada tataran leksikon, merepresentasikan situasi sosial
budaya penuturnya dan lingkungan alam tempat bahasa tersebut digunakan.
Karena mayoritas penuturnya bertempat tinggal di lingkungan pedesaan dan
bermata pencaharian sebagai petani, leksikon BU sangat kaya akan leksikon verba
yang mencerminkan aktivitas penuturnya di lahan pertanian dan kebun serta
leksikon tentang aktivitas lain yang dilakukan terhadap isi lingkungan alam di
sekeliling mereka. Akhir-akhir ini, karena berbagai faktor, telah terjadi perubahan
pola hidup yang menggiring GTBU perlaha-lahan menjauh dari alam sehingga
aktivitas yang dulunya begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari mereka menjadi
semakin jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan berkurangnya penggunaan
leksikon-leksikon yang mengacu pada tindakan-tindakan yang diacunya.
Sebagaimana tingkat pemahamannya, tingkat penggunaan leksikon verba
lingkungan alam BU juga dikelompokan menjadi kelompok leksikon verba
tentang aktivitas manusia terhadap alam, aktivitas fauna di alam, dan aktivitas
alam itu sendiri. Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, tingkat
penggunaan responden terhadap leksikon verba lingkungan alam lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat pemahamannya. Hal ini dapat dilihat pada bagian
berikut.
6.2.2.1 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan
Pertanian dan Kebun Antargenerasi GTBU
Walaupun banyak di antara responden remaja yang kurang berinteraksi
dengan lingkungan lahan pertanian dan kebun, berdasarkan analisis data dan
298
pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tingkat penggunaan leksikon yang
cukup tinggi oleh ketiga kelompok responden, seperti terhadap leksikon ngempet
„menahan saluran air dengan jerami atau benda lainnya‟ (66,7%, 80 %, 81,8%);
nggebros/nggampung „memanen atau mengetam padi‟ (85,7%, 100%, 100%);
ngileni „mengairi sawah‟ (85,7%, 100%, 100%); nyebar „menyebar benih padi
atau palawija di sawah atau di ladang‟ (62%, 80%, 81,8%), ngurit „menyemai
benih di tempat persemaian‟ (62%, 75%, 77,3%); dan ngrujug „menyiram
tanaman dengan air‟ (52,4%, 80%, 81,8%), sedangkan untuk verba yang
mengacu pada aktivitas di lahan kebun terlihat pada leksikon verba ngunduh
(85,7%, 95%, 100%), negor (57,1%, 95%, 100%), nggepluki (57.1%, 80%,
81,1%), dan ngonceti (81%, 100%, 100%) Cukup tingginya penggunaan leksikon-
leksikon di atas di kalangan responden karena leksikon-leksikon tersebut mengacu
beberapa aktivitas penting dalam kegiatan pengolahan sawah dan aktivitas di
lahan kebun yang masih bisa disaksikan oleh responden remaja khususnya,
meskipun mereka jarang terlibat dalam aktivitas mengolah sawah serta sudah
dikenalnya pengolahan sawah dengan cara modern, yakni menggunakan traktor.
Untuk melihat tingkat penggunaan leksikon verba tentang aktivitas di lahan
pertanian dan lahan kebun secara lebih rinci, perhatikan tabel berikut.
Tabel 6.33
Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas di Lahan Pertanian
dan Kebun Antargenerasi GTBU
Leksikon Verba
BU di Lahan
Pertanian
Tingkat Penggunaan Leksikon
Verba BU di
Lahan Kebun
Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
mbebeng 57,1 60 63,6 ngunduh 85,7 95 100
nyirati 62 65 77,3 negor 57,1 95 100
mbubak 19 45 63,6 mbeseh 9,6 35 54,5
299
nambaki 23,8 60 81,8 ndekung 23,8 70 68,2
nyacal 14,3 70 81,8 nderes 28,6 65 63,6
ngempet 66,7 80 81,8 ngenam 38,1 65 68,2
nggagas 52,4 65 68,2 nggepluki 57,1 80 81,8
nggebros/
nggampung
85,7 100 100 ngonceti 81 100 100
nggejig 14,3 60 59,1 ngorag/ngureg 52,4 75 81,8
nggulud 23,8 70 68,2 majeg/nebas 28,6 75 77,3
ngileni (tentang
sawah)
85,7 100 100 macaki 14,3 75 68,2
mbalong 9,6 85 95,5 nyumbat 63,6 95 90,9
melar - 70 68,2 ngerimbas 23,8 50 63,6
ngeremponi - 65 77,3 nyelogrok 9,6 65 81,8
matun 19 80 81,8 nyangkrab 28,6 60 63,6
nyebar 62 80 81,8 nanceb 33,3 80 77,3
ngurit 62 75 77,3 notor 28,6 75 77,3
nguter 4,8 60 81,8 mepe 66,7 75 77,3
mberubuk 4,8 60 77,3
nggrujug 52,4 80 81,8
Sementara itu, pada beberapa leksikon, seperti mbubak „memecah tanah
dengan menggunakan cangkul yang dilakukan sehabis panen‟ (19%, 45%,
63,6%); nyacal „menggeburkan tanah sawah dengan menggunakan cangkul,
bukan bajak‟ (14,3%, 70%, 81,8%); mbalong „menggenangi petakan sawah
dengan air yang cukup dalam sebelum ditanami‟ (9,6%, 85% , 95,5%); melar
„membajak tanah sawah dalam keadaan kering (0%, 70%, 68,2%); ngeremponi
„meratakan tanah sawah sebelum ditanami (0%, 65%, 77,3%); matun
„membersihkan tanaman dari gulma‟ (19%, 80%, 81,8%); nguter „memindahkan
bibit padi atau entitas lainnya dari tempat persemaian ke tempat penanaman
permanen‟ (4,8%, 70%, 81,8%); dan mberubuk „membuat tanah pertanian menjadi
gembur‟ (4,8%, 65%, 77,3%) tingkat penggunaan di kalangan responden remaja
sangat rendah jika dibandingkan dengan responden dewasa dan tua. Penyebabnya
adalah sedikit atau kurangnya interaksi responden remaja dengan aktivitas di
sawah karena berdasarkan pengamatan di lapangan responden yang sudah
300
menyelesaikan studi pada tingkat SLTA lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik
atau toko-toko dibandingkan menjadi petani. Di samping karena leksikon-
leksikon di atas tidak mengacu aktivitas utama/penting dalam tahapan pengolahan
sawah, tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi sebelumnya merupakan
penyebab dari fenomena di atas.
Sementara itu, berbagai aktivitas yang dilakukan GTBU di lahan kebun
melahirkan berbagai macam leksikon yang merepresentasikan aktivitas-aktivitas
tersebut. Namun dari enam belas leksikon verba yang dimiliki BU yang
merepresentasikan aktivitas di kebun, enam leksikon di antaranya terkait dengan
aktivitas terhadap entitas kelapa, seperti ngunduh „memetik buah kelapa‟, ngenam
„menganyam daun kelapa atau bilah-bilah bambu‟, nggepluki „memebelah buah
kelapa dengan kapak‟, macaki ‘mengupas buah kelapa dengan menggunakan
kapak‟, nyumbat „menguliti kelapa dengan menggunakan sumbat‟, ngerimbas
„menguliti batang pohon kelapa atau batang pohon lainnya untuk dijadikan balok-
balok kayu‟, dan mepe „menjemur daging buah kelapa yang akan dijadikan kopra
di atas anyaman bambu atau plastik‟. Hal ini merupakan bukti lain bahwa ada
interaksi, interelasi, dan interdependensi yang sangat tinggi antara GTBU dan
entitas ini karena kelapa merupakan entitas yang memiliki nilai ekonomi tinggi,
baik buah, batang, maupun janur-nya.
Sebagaimana terhadap leksikon-leksikon lainnya, tingkat penggunaan
terhadap leksikon verba tentang aktivitas-aktivitas di lahan kebun juga bervariasi
untuk ketiga kelompok responden dan juga tingkat penggunaan responden remaja
jauh lebih rendah dibandingkan dengan responden dewasa dan tua. Namun
301
demikian, pada leksikon-leksikon tertentu tingkat penggunaan pada ketiga
kelompok responden cukup tinggi seperti leksikon ngunduh „memetik (tentang
buah) sebesar (85,7%, 95%, 100%), negor „menebang (tentang pohon) sebesar
(57,1%, 95%, 100%), nggepluki „membelah buah kelapa dengan menggunakan
kapak‟ sebesar (57,1%, 80%, 80,1%), ngonceti „menguliti (tentang buah selain
kelapa)‟ sebesar (81%, 100%, 100%), ngorag/ngureg „menggoyang-goyangkan
batang pohon agar buahnya berjatuhan‟ sebesar (52,4%, 80%, 81,8%), nyumbat
„menguliti buah kelapa dengan sumbat’ sebesar (63,6%, 95 %, 90,9%), nanceb
„menanam pagar hidup untuk pekarangan atau kebun‟ sebesar (33,3%, 80%,77,3
%), dan mepe „menjemur daging buah kelapa sebagai bahan kopra dengan alas
anyaman bambu atau lembaran plastik‟ sebesar (66,7%, 80%, 77,3%). Cukup
tingginya penggunaan leksikon-leksikon tersebut disebabkan karena aktivitas
acuan merupakan aktivitas yang penting dan sering dilakukan oleh GTBU dalam
kehidupan mereka sehari-hari, khususnya bagi mereka yang memiliki kebun
kelapa atau yang bekerja di perusahan kopra.
6.2.2.2 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap
Fauna dan Isi Alam Lainya Antargenerasi GTBU
Leksikon verba tentang aktivitas sosial yang dimaksudkan dalam hal ini
mengacu pada sejumlah aktivitas yang dilakukan responden di lingkungan
pekarangan atau tempat lainnya terhadap objek-objek yang ada di tempat
tersebut, seperti hewan, tumbuhan, atau entitas-entitas lainnya. Berdasarkan
analisis data dan pengamatan di lapangan, walaupun aktivitas-aktivitas yang diacu
oleh leksikon-leksikon tersebut terjadi di sekitar tempat tinggal mereka, tidak
302
berarti bahwa tingkat penggunaan leksikon-leksikonnnya dalam percakapan dalam
kehidupan sehari-hari mereka menjadi tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tingkat
penggunaan leksikon-lekiskon, seperti nyenggot „mengambil air di sumur dengan
menggunakan senggotan (timba yang diangkat dengan galah)‟ sebesar (9,6%,
50%, 54,5%), mintal/ngantih „memintal/ngantih kapas untuk dijadikan benang‟
sebesar (0%, 10%, 13,6%), mbebek „menumbuk padi atau kopi‟ sebesar (28,6%,
60%, 63,6%), mbenem „memasak sesuatu (biasanya ketela, pisang, dan
sebagainya) di dalam bara api‟sebesar (4,8%, 35%, 40,9%), mbombong
„menyabung ayam aduan‟ sebesar (4,8%, 30%, 31,8%), dan nyeruh
„memutihkan beras dengan cara ditumbuk ulang‟ sebesar (4,8%, 35%, 40,9%).
Jarangnya leksikon-leksikon tersebut muncul dalam percakapan sehari-hari GTBU
disebabkan semakin berkurangnya aktivitas-aktivitas acuannya dilakukan oleh
GTBU. Aktivitas nyenggot misalnya, sudah sangat jarang dilakukan GTBU
semenjak kebutuhan air warga sudah dilayani oleh PDAM atau di beberapa
tempat untuk mendapatkan air, warga tinggal memasang selang dari tandon umum
yang menampung air dari sumbernya, seperti yang dilakukan GTBU di Desa
Kemiren. Hal yang sama juga terjadi pada leksikon mbenem, bebek, dan nyeruh.
GTBU khususnya sudah sangat jarang menggunakan kayu bakar untuk keperluan
memasak sehingga bara api sulit ditemukan karena perannya sudah digantikan
oleh kompor minyak tanah atau kompor gas sehingga aktivitas diacu oleh
leksikon mbenem sudah jarang dilakukan di lingkungan rumah kecuali di lahan
kebun, sedangkan aktivitas mbebek dan nyeruh digantikan oleh mesin penggiling
gabah yang lebih praktis. Sementara itu, rendahnya tingkat penggunaan leksikon
303
mbombong disebabkan oleh hampir tidak adanya aktivitas orang mengadu ayam
apa lagi dengan menggunaan taruhan karena aktivitas mengadu ayam sangat
diharamkan dalam agama Islam. Tabel berikut memperlihatkan tingkat
penggunaan leksikon verba tentang aktivitas sosial lainnya oleh GTBU.
Tabel 6.34
Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas terhadap Fauna
dan
Isi Alam Lainnya Antargenerasi GTBU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
ngangsu 71,4 80 81,8 nyeruh 4,8 35 40,9
nyenggot 9,6 50 54,5 ngangon 57,1 70 72,7
ason-ason - 35 31,8 nggetes 57,1 80 77,3
mbelor - 35 31,8 ngileni (tentang
jangkrik)
63,6 65 68,2
nggeladag 19 60 63,6 medhok 23,8 65 72,7
ngantih - 10 13,6 ngersaya 42,9 85 90,9
mbebek 28,6 40 40,1 majeg (tentang
hasil kebun)
9,6 70 86,4
mbelasak 14,3 30 31,8 nyelisir 23,8 65 72,7
mbenem 4,8 35 40,9 nyerimpung 14,3 80 81,8
mbleteti 42,9 70 81,8 mbentuk 76,2 100 100
mbombong 4,8 30 31,8 nyerawat 85,7 100 100
nyancang 57,1 80 86,4 nyuluh 28,6 60 63.6
nyekoki/njamoni 63,6 75 77,3
Jakalau tingkat penggunaan leksikon-leksikon tersebut di atas cukup
rendah oleh ketiga kelompok responden, fenomena sebaliknya terlihat pada
tingkat penggunaan leksikon-leksikon yang acuannya masih sering dilakukan oleh
GTBU, seperti di antaranya ngangsu „menimba air di sumur‟ sebesar (71,4%,
80%, 81,8%); nyekoki/njamoni sebesar (63,6%, 75%, 77,3%); ngangon
„mengembalakan hewan ternak‟ sebesar (42,9%, 70%, 72,7%); ngileni (jengkrik)
„membuat jangkrik geli sehingga mau berbunyi atau siap untuk diadu‟ sebesar
(63,6%, 65%, 68,2%); dan mbentuk „melempari sesuati (tentang buah-buahan)
304
dengan batu atau kayu agar jatuh‟ sebesar(76,2%, 100%, 100%). Masih tingginya
leksikon ngangsu muncul di kalangan responden karena memang di beberapa
tempat walaupun air sudah didapat melalui PDAM, air sumur tetap dipakai
sehingga aktivitas menimba air dengan timba masih dilakukan. Sementara itu,
aktivitas njamoni/nyekoki masih banyak dilakukan untuk hewan-hewan, seperti
sapi „sapi‟, kebo „kerbau„, dan jaran „kuda‟. Sapi dan kebo biasanya dijamoni
pada saat musim pengolahan sawah tiba dengan maksud agar hewan-hewan
peliharaan ini ada dalam keadaan sehat pada saat membantu petani membajak
sawah, sedangkan untuk jaran, aktivitas njamoni dilakukan paling sedikit sebulan
sekali utamanya setiap menjelang pentas jaran kencak sehingga hewan ini bisa
tampil prima. Demikian juga aktivitas ngileni (jengkrik) masih banyak dilakukan
khususnya pada saat musim palawija dimana banyak masyarakat mencari jengkrik
di sawah baik untuk diadu, diolah untuk bahan lauk, ataupun untuk dijual.
6.2.2.3 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna
Antargenerasi GTBU
Di lingkungan tempat tinggal guyub tutur bahasa Using banyak ditemukan
berbagai jenis hewan ternak, burung, dan unggas. Karena interaksi, interelasi, dan
interdependensi mereka dengan lingkungan, mereka mencermati berbagai tingkah
laku entitas-entitas tersebut dan memverbalisasi aktivitas fauna yang ada di
sekeliling mereka ke dalam satuan-satuan lingual bermakna. Hal ini dapat diamati
dari keberagaman leksikon-leksikon verba tentang aktivitas binatang seperti
terlihat dalam tabel berikut dengan tingkat penggunaan yang beragam pula.
305
Tabel 6.35
Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Fauna
Antargenerasi GBTU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Aktivitas hewan ngokok 81 85 86,4
ngeludes 23,8 55 68,2 Neba 14,3 55 54,6
kedrangen 4,8 65 68,2 metingkring 95,2 95 95,4
ngguyang 28,6 80 86,4 giblas-giblas 71,4 85 86,4
ngeregeb 52,4 85 81,8 Nyisil 9,5 80 81,8
nyeludug 52,4 75 81,8 Nyeblak 14,3 80 77,3
Aktivitas unggas
dan burung
Aktivitas
serangga
nyeker 95,2 100 100 Nyenget 71,4 100 100
ngendhat 42,9 45 45,5 Aktivitas
reptile
ngentit 4,8 65 68,2 nyeloyor 57,1 70 77,3
keblak-keblak 66,7 75 77,3
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari sejumlah tingkat penggunaan
leksikon yang ada, tingkat penggunaan terhadap leksikon terkait dengan aktivitas
burung dan unggas yang paling beragam terutama dari segi persentasenya, baik
antarleksikon maupun oleh antargenerasi. Misalnya, ada sejumlah leksikon yang
tingkat penggunaannya sangat tinggi oleh satu generasi, seperti oleh responden
remaja seperti terlihat pada leksikon nyeker „mengais-ngais sampah atau yang
lainnya untuk mendapatkan makanan‟ (95,2%), ngokok „berkokok‟ (81%), dan
methingkring ‘bertengger‟ (95,2%), sedangkan untuk leksikon lainnya tingkat
penggunaannya sangat rendah seperti terhadap leksikon ngentit „bertelur di luar
sarang yang sudah disediakan (tentang ayam)‟ (4,8%), neba „hinggap secara
bersamaan yang di lakukan oleh segerombolan burung di atas tanah atau dahan‟
(14,3%), nyisil „menguliti bulir padi atau kacang yang dilakukan oleh burung atau
tikus‟ (19%), dan nyeblak „memukul-mukul lawan dengan sayap (tentang ayam
aduan)‟ (14,3%). Tingginya tingkat penggunaan mereka terhadap leksikon-
306
leksikon di atas, selain karena aktivitas acuannya sering dan terjadi dekat dengan
lingkungan tempat tinggal mereka, juga disebabkan adanya transfer pengetahuan
dari generasi pendahulu. Sebaliknya, tingkat penggunaan yang rendah pada
leksikon-leksikon lainnya disebabkan oleh aktivitas acuannya jarang terjadi
karena aktivitas adu ayam (mbombong) sangat dilarang dan walaupun ada
dilakukan secara sembunyi-sembunyi; untuk leksikon ngentit disebabkan oleh
rendahnya interaksi responden dengan aktivitas tersebut; dan fenomena yang
terjadi pada leksikon nyisil dikarenakan oleh tergantikannya leksikon tersebut
dengan leksikon BJ mangan „makan‟ dan leksikon BI makan.
Sementara itu, keberagaman tingkat penggunaan antargenerasi juga
terlihat pada leksikon-leksikon dengan tingkat penggunaannya masing-masing,
seperti leksikon ngentit (4,8%, 65%, 68,2%), nyisil (19%, 80%, 81,8%), dan
nyeblak (14,3%, 80%, 77,3%). Tingginya kesenjangan tingkat penggunaan antara
responden remaja di satu sisi dengan responden dewasa dan tua di sisi lainnya,
selain karena perbedaan tingkat interaksi dengan aktivitas acuannya,
tergantikannya leksikon yang diacu oleh leksikon bahasa lain, juga disebabkan
oleh tidak adanya transfer dari generasi pendahulu.
6.2.2.4 Tingkat Penggunaan Leksikon Verba Aktivitas Alam
Antargenerasi GTBU
Beradasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan perbandingan
antara tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon-leksikon tentang
aktivitas alam dengan rerata yang tidak berbeda jauh, yaitu pada responden remaja
(78,5%:49,9%), dewasa (86,2%:77,6%), dan tua (96,3%:82,3%). Perbandingan
307
tersebut mengindikasikan bahwa kekayaan leksikon aktif tentang aktivitas alam
yang dimiliki responden tidak berbeda jauh dengan total kekayaan leksikon
tentang hal yang sama. Hal ini menyiratkan beberapa hal, di antaranya adanya
interaksi dan interelasi responden, khususnya dewasa dan tua, yang cukup tinggi
dengan alam sekitarnya, adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu,
serta belum tergantikannya leksikon-leksikon yang mengacu aktivitas dalam tabel
di atas oleh leksikon bahasa lain. Hal ini sangat baik untuk kebertahanan BU dari
segi leksikon. Untuk melihat tingat penggunaan leksikon tentang aktivitas alam,
secara lebih rinci adalah sebagai berikut.
Tabel 6.36
Tingkat Penggunaan Leksikon Verba tentang Aktivitas Alam
Antargenerasi GTBU Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Fenomena alam logrog 85,7 90 90,9
ngampar-ampar 14,3 60 63.6 mekrog 47,6 55 72,7
ngungkreg 4,8 65 77,3 meldhog 42,8 50 72,7
mencorong 76,2 100 100 mergodog 47,8 60 72,7
Aktivitas alam merkatak 38,1 60 68,2
mberojol 23,8 65 72,7 mecukul 90,5 85 95,5
nggerontol 47,6 95 95,5 methukul 71,4 75 95,5
nggeluntung 23,8 75 77,3 melethek 62 90 95,5
Dari tabel di atas juga terlihat bahwa beberapa leksikon dengan tingkat
penggunaan yang sangat rendah, khususnya pada kelompok responden remaja,
seperti yang terjadi pada tingkat penggunaan leksikon ngungkreg
„berguncang/bergetar dengan keras (tentang tanah) karena gempa bumi‟ sebesar
4,7%, ngampar-ampar „menyambar-nyambar (tentang petir)‟ sebesar 14,3%, dan
nggeluntung „menggulung (tentang dedaunan) karena teriknya sinar matahari‟
sebesar 19%. Pada kelompok responden dewasa rerata tingkat penggunaan
308
leksikon-leksikon tersebut sebesar 66,7%, sedangkan kelompok tua sebesar
72,7%. Perbedaan tingkat penggunaan yang cukup jauh antar kelompok responden
tersebut utamanya disebabkan oleh responden remaja lebih mengenal leksikon
tersebut dalam BJ atau BI.
6.3 Kecenderungan dan Daya Tahan Leksikon Lingkungan Alam Bahasa
Using
Dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam
menghasilkan kebertahanan, kepunahan, dan inovasi leksikon lingkungan alam
BU pada konsepsi GTBU. Jikalau ketiga hal di atas dihubungkan dengan tiga
dimensi dalam prksisi sosial yang mempengaruhi perubahan bahasa maka dapat
dikatakan bahwa leksikon yang bertahan adalah leksikon yang secara biologis
entitas acuannya masih banyak ditemukan di sekeliling tempat tinggal GTBU
karena ekologinya cocok; secara sosiologis entitasnya dibutuhkan untuk
kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk menjaga interaksi dengan entitas sesama
mahluk hidup lainnya; serta secara ideologis sejumlah entitas acuannya
dikembangkan atau dibudidayakan untuk mendukung keberlangsungan kedua
dimensi sebelumnya. Sebaliknya, ditemukan sejumlah leksikon mengalami
pergeseran dan yang hampir punah. Hal ini, jikalau dikaitkan dengan uraian
berikut mengandung ketiga kelompok leksikon yang dimaksud.
6.3.1 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Bertahan
Kebertahanan sebuah bahasa, terutama dari segi leksikon, terkait dengan
apakah leksikon-leksikon tersebut masih dipahami serta digunakan dalam
309
percakapan sehari-hari atau tidak oleh komunitas tuturnya. Untuk menentukan
leksikon-leksikon BU yang bertahan dilakukan dengan membandingkan dan
menganalisis perbedaan antara tingkat pemahaman dan penggunaan pada ketiga
kelompok responden. Parameter yang digunakan untuk menentukan kategori hal
yang dimaksud adalah dengan menentukan tingkat panggunaan terendah sebesar
85% pada ketiga kelompok responden dengan asumsi bahwa dengan tingkat
penggunaan dalam persentase tersebut menunjukkan bahwa frekuensi
penggunaan leksikon yang dimaksud masih tinggi. Hal ini juga merupakan bukti
bahwa leksikon tersebut masih ada dalam memori dan kognisi gurub tutur. Tabel
berikut menunjukkan beberapa contoh leksikon BU yang masih bertahan.
Tabel 6.37
Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Bertahan
Leksikon BU Responden
Remaja Dewasa Tua
TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)
FLORA
pari 100 100 100 100 100 100
ketan putih 100 90,5 100 90 100 95,5
winih 100 90,5 100 100 100 100
jagung 100 100 100 100 100 100
sabrang 100 95,2 100 95 100 95,5
poh/epoh 100 100 100 100 100 100
jambu 100 100 100 100 100 100
nangka 100 100 100 100 100 100
rambutan 100 100 100 100 100 100
rambutan aceh 100 100 100 100 100 90,9
duren 100 100 100 100 100 100
duren putih 100 95,2 100 95 100 95,5
jeruk 100 100 100 100 100 100
jeruk sambel 100 85,7 100 90 100 90,9
delima 100 100 100 100 100 100
gedhang 100 100 100 100 100 100
gedhang saba 100 90,5 100 95 100 95,5
gedhebog 100 90,5 100 100 100 100
kates 100 100 100 100 100 100
turi 100 90,5 100 100 100 100
kacang 100 100 100 100 100 100
kacang jangan 100 100 100 100 100 100
dangsul 100 100 100 100 100 100
310
pare 100 90,5 100 95 100 100
kelentang 100 100 100 100 100 100
belimbing wuluh 100 100 100 100 100 100
gundha 100 85,7 100 100 100 100
katu 100 90,5 100 90 100 90,9
kelor 100 100 100 100 100 100
kenikir 100 90,5 100 100 100 90,9
kunir 100 100 100 100 100 100
laos 100 100 100 100 100 100
kemiri 100 100 100 100 100 100
cabe merah 100 100 100 100 100 100
cabe rawit 100 100 100 100 100 100
cengkeh 100 95,2 100 100 100 100
sereh 100 95,2 100 95 100 100
kelapa 100 100 100 100 100 100
janur 100 85,7 100 95 100 95,5
belarak 100 85,7 100 100 100 100
sapu 100 100 100 100 100 100
jajang 100 95,2 100 100 100 100
kemarang 100 90,5 100 100 100 100
kukusan 100 90,5 100 100 100 100
singkek 100 100 100 100 100 100
asem 100 100 100 100 100 100
godhong asem
100 100 100 100 100 100
FAUNA
tikus 100 100 100 100 100 100
wedhus 100 100 100 100 100 100
kucing 100 100 100 100 100 100
sapi 100 90,5 100 100 100 100
pitik 100 100 100 100 100 100
cekeker 100 100 100 100 100 100
cengger 100 100 100 100 100 100
cucuk 100 100 100 100 100 100
telampik 100 100 100 100 100 100
berutu 100 100 100 100 100 100
emprit 100 90,5 100 95 100 90,9
kadal 100 90,5 100 90 100 90,9
cecek 100 95,3 100 95 100 95,5
tekek 100 100 100 100 100 100
uler 100 100 100 100 100 100
semut 100 90,5 100 100 100 100
laler 100 90,5 100 100 100 100
VERBA
nyeker 100 95,2 100 100 100 100
Dalam tabel di atas terlihat bahwa leksikon lingkungan alam BU yang
tingkat kebertahanannya sangat tinggi umumnya ditemukan pada leksikon
generik. Sementara itu, tingginya tingkat kebertahanan pada sejumlah leksikon
311
spesifik ditemukan pada leksikon yang entitas acuannya masih banyak ditemukan
di lingkungan tempat tinggal GTBU karena interaksi mereka yang tinggi dengan
entitas acuannya sehingga tingkat pemahaman dan penggunaannya hampir sama.
Di samping itu, ketergantungan yang tinggi terhadap entitas acuannya juga
merupakan faktor penyebab adanyanya fenomena tersebut. Seperti yang terjadi
terhadap leksikon pari „padi‟, misalnya, dengan tingkat pemahaman dan
penggunaannya sebesar 100%. Seperti telah diulas sebelumnya bahwa Kabupaten
Banyuwangi umumnya dan lingkungan tempat tinggal GTBU khusunya
merupakan lahan yang subur sehingga sangat cocok untuk tumbuhnya entitas ini.
Secara sosiologis, tanaman ini merupakan bahan makanan pokok GTBU sehingga
mereka membudidayakannya. Di samping itu, pari khususnya beras juga
merupakan elemen penting dalam kehidupan GTBU karena beras ini merupakan
lambang persahabatan, terutama pada saat ada hajatan dimana setiap keluarga
GTBU menyumbang beras dengan jumlah tertentu (di samping hasil bumi
lainnya) kepada yang punya hajatan. Dengan kata lain, pari merupakan tali
pengikat kerukunan antar GTBU. Secara ideologis pari merupakan lambang Dewi
Sri, Dewi Kemakmuran yang hingga kini masih dipercaya oleh sebagian GTBU,
terutama yang berdomisili di beberapa desa di Kecamatan Glagah sebagai Dewi
yang memberkahi mereka melalui hasil panen yang bagus dan berlimpah.
Sementara itu, untuk leksikon wedhus „kambing‟ dari kelompok fauna
juga memiliki tingkat pemahaman dan penggunaan 100%. Entitas ini memiliki
peranan penting dalam beberapa aspek kehidupan GTBU, seperti aspek sosial,
aspek budaya, dan ekonomi sehingga mereka memiliki interaksi, interelasi, serta
312
interdependensi yang tinggi terhadap intitas acuannya dan ada usaha untuk
mempertahankan dan membudidayakan entitas-entitas tersebut. Wedhus
berkembang biak dengan baik di wilayah ini karena di samping ketersediaan
pakan yang berlimpah juga keadaan iklim sangat memadai. Wedhus memiliki
peran sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat penting. Dalam kehidupan sosial
budaya, entitas ini dipakai kurban pada Hari Raya Idul Kurban dan upacara
sunatan dan aqiqahan sehingga berdampak pada peningkatan perekonomian
GTBU yang membudidayakannya.
6.3.2 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Mengalami Penurunan
Leksikon-leksikon BU yang dikategorikan pada kelompok ini adalah
ditinjau dari penurunan tingkat penggunaan di bawah 81% untuk responden
remaja walaupun tingkat pemahamannya tetap 100%. Hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa walaupun seseorang paham akan makna sebuah leksikon namun
leksikon tersebut jarang atau tidak pernah digunakan dan jikalau fenomena ini
terjadi dalam kurun waktu yang lama, dalam kurun waktu tertentu, leksikon
tersebut tidak lagi menjadi repertoire kebahasaannya. Jikalau fenomena ini
terjadi pada banyak orang bahkan pada seluruh anggota masyarakat tutur suatu
bahasa, sudah dapat dipastikan leksikon tersebut tidak lagi menjadi pengetahuan
mereka.
Analisis data menunjukkan bahwa kelompok leksikon yang mengalami
penurunan khususnya dari segi penggunaan ditemukan hampir pada semua
kelompok leksikon, walaupun dengan tingkat yang beragam. Ada beberapa
313
leksikon yang menunjukkan adanya perbedaan yang eksterim antara tingkat
pemahaman dan tingkat penggunaannya, khususnya pada generasi muda. Hal ini
terlihat pada leksikon-leksikon, seperti jambu mente, kura, kunang, asu, kirik, dan
gagak, yakni dengan tingkat penggunaan masing-masing, 33,3%, 14,3%, 28,8 %,
23,8%, dan 19%, sedangkan tingkat pemahamannya masing-masing 100%.
Demikian juga halnya yang terjadi pada leksikon-leksikon seperti turi putih dan
kara dari kelompok flora dengan masing-masing tingkat penggunaan pada
responden remaja yang hanya sebesar 38,1% dan 33,3% dan dari kelompok fauna
yang terlihat pada leksikon-leksikon seperti jaran dan teri sekul dengan tingkat
penggunaan masing-masing 33,3% dan 23,8%. Fenomena yang terjadi pada
kelompok leksikon di atas menunjukkan adanya passive understanding pada
GTBU terhadap leksikon-leksikon tersebut karena kurangnya interaksi dan hampir
tidak adanya interdependensi GTBU terhadap entitas-entitas acuannya. Khusus
untuk leksikon asu „anjing‟ dan kirik „anak anjing‟, terlihat adanya penggunaan
yang sangat rendah pada kedua leksikon tersebut menandakan bahwa topik
tentang kedua entitas tersebut sangat jarang muncul dalam percakapan mereka
sehari-hari yang disebabkan oleh kehidupan sosial keagamaan mereka yang
hampir semuanya merupakan masyarakat muslim yang mengharamkan kedua
fauna tersebut. Tabel berikut menunjukkan beberapa bentuk leksikon yang
mengalami penurunan.
314
Tabel 6.38
Leksikon Nomina Bahasa Using yang Mengalami Penurunan
Leksikon BU Responden
Remaja Dewasa Tua
TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)
ketan cemeng 100 62 100 65 100 68,2
menir 100 42,9 100 70 100 81,8
dami 100 52,3 100 80 100 81,8
poh manalagi 100 81 100 85 100 86,4
poh kuweni 100 81 100 90 100 90,9
jambu mente 100 33,3 100 60 100 63,6
jambu keluthuk 100 76,2 100 95 100 95,5
bethon 100 80,1 100 90 100 95,5
gedhang
selakat/susu
100 81 100 85 100 81,8
langsat 100 57,1 100 65 100 86,4
duku 100 57,1 95 65 90,9 63,6
pace 100 76,2 100 100 100 100
turi putih 100 38,1 100 85 100 100
labu 100 62 100 85 100 81,8
kara 100 33,3 100 85 100 95,5
bayem 100 71,4 100 90 100 95,5
jamur 100 66,7 100 90 100 95,5
gambas 100 71,4 100 75 100 90,9
genjer 100 71,4 100 75 100 95,5
kemangi 100 81 100 100 100 100
semanggi 100 71,4 100 100 100 100
cabe 100 62 100 80 100 81,8
lidah buaya 100 62 100 80 100 81,8
bongkok 100 72,1 100 75 100 86,4
bathok 100 62 100 75 100 86,4
keranjang 100 52,4 100 90 100 100
kolang-kaling 100 62 100 65 100 68,2
randu 100 66,7 100 80 100 81,8
jati 100 66,7 100 90 100 95,5
bako 100 81 100 100 100 100
santen 100 66,7 100 75 100 86,4
weringin 100 66,7 100 70 100 72,7
FAUNA
asu 100 28,6 100 30 100 36,4
kirik 100 23,8 100 30 100 36,4
jaran 100 33,3 100 80 100 86,4
banyak 100 82 100 85 100 86,4
gagak 100 19 100 55 100 54,5
dara 100 76,2 100 75 100 77,3
nyambit 100 62 100 75 100 77,3
kura 100 14,3 100 25 100 36,4
tawon 100 76,2 100 95 100 95,4
kupu 100 57,1 100 100 100 100
semut abang 100 76,2 100 80 100 81,8
315
Sementara itu, adanya penurunan tingkat penggunaan terhadap leksikon-
leksikon verba oleh generasi muda lebih disebabkan oleh adanya perubahan
profesi dari petani ke profesi lain, seperti buruh bangunan, pedagang, atau penjaga
toko, sehingga generasi muda tidak lagi mengakrabi aktivitas yang diacu oleh
leksikon-leksikon tersebut sehingga jarang muncul dalam percakapan sehari-hari
mereka. Di samping itu, modernisasi yang melanda kehidupan GTBU di bidang
pengolahan lahan pertanian yang mana pengolahan tanah yang sebelumnya
menggunakan tenaga hewan seperti sapi atau kerbau, saat ini fungsinya
digantikan oleh penggunaan traktor tangan. Hal ini menyebabkan hilangnya
beberapa tahapan dalam pengolahan tanah sehingga verba-verba yang
mengacunya juga menghilang dari ingatan beberapa penutur. Di samping itu,
fenomena penurunan ini juga disebabkan oleh tergantikannya leksikon verba BU
oleh leksikon verba bahasa lain, khususnya leksikon BI. Fenomena menurunnya
tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan leksikon verba BU ditunjukkan oleh
tabel berikut.
semut cemeng 100 71,4 100 85 100 86,4
semut gatel 100 57,1 100 80 100 90,9
semut angkrang 100 57,1 100 85 100 86,4
laler cemeng 100 66,7 100 90 100 86,4
keremi 100 62 100 70 100 72,7
tumo 100 66,7 100 70 100 72,7
rengit 100 57,1 100 75 100 86,4
kunang 100 19 100 80 100 81,8
jengkrik 100 66,7 100 85 100 86,4
gurameh 100 47,6 100 80 100 81,8
sengkaring 100 4,8 100 10 100 22,7
lele 100 81 100 80 100 81,8
mujaher 100 81 100 95 100 95,5
cokol 100 42,9 100 65 100 72,7
geruyu 100 47,6 100 65 100 77,2
welut 100 71,4 100 80 100 81,8
urang 100 47,6 100 80 100 77,2
316
Tabel 6.39
Leksikon Verba Bahasa Using yang Mengalami Penurunan
Leksikon BU Responden
Remaja Dewasa Tua
TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)
nggagas 100 52,4 100 65 100 68,2
matun 100 62 100 80 100 81,8
nyebar 100 62 100 80 100 81,8
nggepluki 100 57,1 100 80 100 81,8
mepe 100 66,7 100 75 100 77,3
nyekoki/njamoni 100 63,6 100 75 100 77,3
mbentuk 100 76,2 100 100 100 100
methukul 100 71,4 100 75 100 95,5
Menurunnya penggunaan beberapa leksikon verba utamanya oleh
responden remaja, seperti terlihat pada tabel di atas, merupakan dampak dari
ketidakterlibatan mereka pada aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon
tersebut, di samping tergantikannya beberapa leksikon verba BU oleh verba BI,
seperti yang terjadi pada leksikon nyebar „menaburkan benih padi atau palawija
pada lahan pertanian atau kebun‟ digantikan oleh leksikon verba BI nabur dan
leksikon mepe „menjemur koprah atau entitas lainnya di atas anyaman bambu atau
plastik‟ tergantikan oleh leksikon njemur (BI).
6.3.3 Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Hampir Punah
Tidak digunakannya sebagai akibat dari tidak dipahaminya beberapa
leksikon lingkungan alam BU oleh penuturnya berdampak pada rendahnya
kebertahanan atau hampir punahnya leksikon-leksikon tersebut. Dari 728
leksikon yang digunakan sebagai sampel penelitian, ditemukan sebanyak 210
leksikon dengan tingkat pemahaman dan penggunaan yang sangat rendah.
Leksikon-leksikon yang dimaksud, di antaranya seperti tertera pada tabel berikut.
317
Tabel 6.40
Tabel Leksikon Nomina Bahasa Using yang Hampir Punah
Leksikon BU Responden
Remaja Dewasa Tua
TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)
pari singgang 47,6 9,6 70 60 90,9 63,6
pari sogel 28,6 - 55 45 81,8 63,6
pari unthup 42,8 4,8 40 15 54,5 22,7
pari gaga 28,6 4,8 75 60 54,5 45.5
sambulan 28,6 9,8 70 25 90,9 81,8
elas 9,6 - 25 25 50 36,4
belubon 23,8 14,3 50 20 63,6 45,5
tugih 23,8 9,6 30 20 63,6 45,5
kajar 19 9,6 45 30 59,1 40,1
poh kates 23,8 4,8 65 35 72,7 36,4
poh kotak 23,8 - 65 35 77,3 36,4
jambu lante 28,6 9,6 100 50 100 68,2
jambu semarang 23,8 - 75 60 81,8 63,6
pucil 38,1 19 75 50 86,4 77,3
babal 38,1 19 75 55 86,4 81,8
tombol 38,1 19 100 70 100 77,3
empik 38,1 14,3 95 55 100 59,1
duren abang 71,4 - 100 15 100 22,7
godhogan 28,6 23,8 80 30 100 59,1
labu abang 38,1 4,8 50 25 68,2 22,7
labu siyem 33,3 33,3 90 50 90,9 50
kara benguk 33,3 - 60 10 90,9 40,1
kara kerato 42,6 - 70 70 100 50
kara abang 66,7 - 75 15 95,5 4o,1
kara pedang 33,3 - 75 65 95,5 63,6
kara utek 19 - 90 40 95 40,1
kacang usi/ose 54,2 - 75 70 81,8 77,3
kayem cina 42,9 9,6 55 25 90,9 50
kayem abang 66,7 - 75 55 90,9 54,5
bayem eri 76,2 4,8 80 40 90,9 45,5
bayem kul 42,9 - 75 40 95,5 50
bayem menir 52,4 9,6 80 30 86,4 50
bayem raja 14,3 9,6 40 10 77,3 22,7
bayem sapi 28,6 9,6 70 50 90,9 72,7
bayem pasir 9,6 - 75 35 86,4 50
jamur gerigit 42,9 - 75 40 86,4 45,5
jamur impes 28,6 9,6 40 15 77,3 22,7
temu putih 52,4 - 80 50 81,8 63,6
temu rapet 33,3 - 75 55 81,8 63,6
temu giring 33,3 4,8 55 35 59,1 40,1
bakung 19 4,8 60 35 72,7 40,1
bangle 19 9,6 65 25 77,3 40,1
iles-iles 14,3 - 25 - 81,8 22,7
lempuyang
wangi
19 4,8 30 40 59,1 40,1
318
lempuyang
gajah
19 - 25 25 59,1 36,4
sempol 19 - 35 15 72,7 13,6
kembang
bintang
14,3 - 15 20 59,1 18,2
adas 23,8 9,6 80 35 81,8 40,1
pulasari 23,8 - 55 10 81,8 18,2
jinten 66,7 - 70 30 95,5 36,4
kapulaga 71,4 9,6 90 25 95,5 40,1
kemukus 90,5 - 100 5 100 9,1
sembung 9,6 - 35 10 54,5 13,6
deringu 57,1 4,8 95 25 95,5 45,5
dilem 42,3 - 95 25 95,5 36,4
legundi - - 35 - 88,2 4,5
tapak dara 38,1 - 40 5 68,2
31,8
tapak liman 42,6 - 40 25 68,5 31,8
sambung nyawa 28,6 - 60 30 68,2 36,4
pule 33,3 - 75 25 90,9 31,8
kembang sundel 47,6 9,6 85 40 95,5 45,5
tunjung 28,6 4,8 60 40 100 50
widuri. Putih 28,6 - 55 15 77,3 27,3
Wwduri. Biru 14,3 - 50 10 72,7 9,1
kembang
bangah
28,6 4,8 50 40 63,6 36,4
kembang
tembelekan
33,3 - 60 15 72,7 13,6
pecah beling 47,6 - 70 35 86,4 22,7
kelapa bunyuk 23,8 - 50 25 63,6 22,7
tapas 28,6 9,6 75 60 100 72,7
rinjing 23,8 - 60 45 86,4 45,5
kurih 9,6 4,8 70 55 81,8 59,1
patar 38,1 4,8 65 45 81,8 50
jajang apus 23,8 4,8 35 10 77,3 18,2
jajang gabug 19 - 45 5 68,2 4.5
jajang cemeng - - 25 15 59,1 18,2
jajang pelet 14,3 - 35 5 68,2 22,7
jajang meluwuk 4,8 - 10 10 54,5 13,6
jajang watu 4,8 - 35 - 68,2 4,5
kelakah 19 9,6 50 35 95,5 40,1
langkab 33,3 - 55 40 100 40,1
kereneng 4,8 - 5 5 72,7 18,2
beronjong 28,6 - 35 15 86,4 18,2
budhag 9,6 - 55 45 72,7 54,5
golong/gunjo 19 - 50 10 86,4 9,1
katir 38,1 9,6 60 50 90,9 59,1
berajag 4,8 - 35 15 72,7 22,7
beranding 19 - 60 55 90,9 54,5
keser 23,8 - 45 - 68,2 -
gebyong/etal 38,1 - 85 35 93,6 40,1
siwalan 47,6 - 55 30 68,2 27,3
geronong 42,9 - 50 5 68,2 13,6
doni 4,8 - 25 5 77,3 13,6
319
jati landa 28,6 4,8 55 5 77,3 36,4
kerosok 9,6 4,6 30 10 59,1 45,5
bungur 28,6 4,8 70 55 77,3 55,5
kepuh 19 - 25 10 59,1 18,2
ketepeng kebo 19 - 35 25 40,1 36,4
putat 28,6 4,8 70 55 77,3 55,5
wunut 33,3 9,6 65 10 90,9 54,5
galing 19 - 35 25 72,7 27,2
sri wangkat 42,9 - 55 - 86,4 63,6
lung-lungan 38,1 60 35 81,8 40,1
tikus got 33,3 - 35 35 86,4 54,5
wedhus kendhit 19 - 50 10 72,7 31,8
bango 71,4 - 100 - 100 -
bango kebo 14,3 - 40 - 63,6 -
bango
thongthong
28,6 - 45 - 63,6 -
bango wedhus 14,3 - 25 - 40,1 -
kuntul 95,2 19 95 20 100 40,1
meliwis 33,3 - 50 5 81,8 9,1
jalak 90,5 - 100 5 100 9,1
jalak bali 47,6 - 75 - 90,9 -
jalak cemeng 71,4 - 85 - 90,9 13,6
jalak suren 23,8 - 65 - 90,9 9,1
emprit
uban/bondol
52,4 14,3 65 50 95,5 77,3
emprit gantil 52,4 9,6 65 50 81,8 54,5
emprit peking 52,4 9,6 65 50 77,3 54.5
emprit kaji 42,9 4,8 50 15 59,1 27,3
ancel-ancel
angin
22 - 75 5 81,8 31,8
serigunting 28,6 9,6 75 30 95,5 54,5
seriti 33,3 9,6 90 55 100 68,2
sikatan 23,8 23,8 60 25 86,4 27,3
tinil 28,6 4,8 50 10 90,9 13,6
tuwu 19 4,8 65 15 100 13,6
samber ulung 19 - 55 25 100 27,3
bidhol 19 14,3 55 40 63,6 59,1
manyar 28,6 - 90 25 90,9 40,1
bangkong 23,8 - 60 5 68,2 4,5
kentus 19 - 25 - 54,5 9,1
ula dhawu 9,6 - 30 - 50 4,5
ula irus 90,5 52,4 100 65 100 77,3
ula jali 90,5 52,4 100 75 100 81,8
ula lanang 28,6 4,8 50 10 59,1 22,7
ula lumbu 23,8 4,8 40 10 59,1 18,2
ula sungu 23,8 - 25 10 54,5 4,5
ula walur 14,3 - 25 5 63,6 4,5
ula welang 14,3 - 60 30 81,8 31,8
ula gadhung 62 19 75 20 81,8 22,7
ula lampar 47,6 9,6 50 10 63,6 27,3
ula luwuk 57,1 14,3 85 40 90,9 31,8
ula kayu 28,6 9,6 55 30 59,1 27,3
ula kelasa 42,9 - 40 10 54,5 9,1
320
ula sawa 33,3 9,6 60 50 86,4 50
ula silara 23,8 9,6 50 25 86,4 27,3
ula weling 33,3 - 50 10 81,8 22,7
bajul 90,5 - 100 - 100 -
uler jembut 38,1 - 75 50 90,9 45,5
dudhuk kuning 62 - 70 35 90,9 54,5
dudhuk macan 47,6 70 5 72,7 9,1
dudhuk ruyung 9,6 - 25 - 59,1 9,1
dudhuk gerobok 33,3 - 70 20 81,8 27,3
dudhuk
menggala
14,3 - 55 - 63,6 9,1
dudhuk.maling 42,9 - 55 5 59,1 9,1
dudhuk entelong 14,3 - 30 - 63,6 13,6
tawon gung 28,6 9,6 75 15 90,9 31,8
tawon
terasi/gagak
42,9 - 45 45 72,7 45,5
tawon macan 42,9 9,6 45 20 68,2 27,3
tawon menggala 23,8 - 25 15 50 27,3
walang gancong 42,9 9,8 50 30 72,7 31,8
walang jaran 38,1 - 45 25 72,7 27,3
walang kalung 23,8 - 35 25 63,8 31,8
walang godhong 38,1 19 50 40 72,7 59,1
walang watu 23,8 - 35 20 68,2 22,7
alang keretek 23,8 - 50 25 81,8 31,8
walang seletet 19 - 30 - 68,2 9,1
kupu abang 42,9 - 50 25 81,8 36,4
kupu ijo 33,3 - 60 35 81,8 40,1
kupu kithi 23,8 4,8 55 30 81,8 40,1
kuwangwang 4,8 - 65 55 81,8 59,1
kutis 42,9 - 65 45 90,9 45,5
bapak pucung 9,6 - 15 10 63,6 18,2
samber ilen 42,9 - 65 45 90,9 45,5
limpit 23,8 - 65 30 90,9 45,5
pucung 38,1 - 40 15 63,6 22,7
angkut-angkut 66,7 - 85 55 90,9 60
lare angon 9,6 - 70 45 81,8 45,5
Jikalau data-data pada tabel di atas dicermati, terlihat bahwa sangat banyak
leksikon yang tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari khususnya di
kalangan responden remaja. Tampak fenomena unik yang terjadi pada leksikon-
leksikon duren abang „duren merah‟, kara abang „kara merah‟, bayem eri „bayam
berduri‟, jinten „jinten‟, kapulaga „kapulaga‟, kemukus „kemukus‟. Pada tabel di
atas terlihat bahwa tingkat pemahaman responden remaja khususnya terhadap
leksikon-leksikon tersebut cukup tinggi sedangkan tingkat penggunaannya
321
semuanya hampir 0%. Hal yang sama juga terjadi leksikon kelompok fauna
seperti pada leksikon generik bango „bangau‟, jalak „jalak‟, dan leksikon spesifik
kuntul „kuntul‟, jalak cemeng ‘jalak hitam‟, dan bajul „buaya‟. Pengetahuan
mereka tentang semua entitas di atas diperoleh melalui transfer pengetahuan dari
generasi pendahulu dan juga melalui media, seperti TV atau buku-buku dan
majalah, bukan melalui interaksi langsung dengan entitas acuannya. Di samping
karena populasi sangat jarang, tidakadanya interdependensi terhadap entitas
acuannya juga menjadi penyebab dari fenomena ini.
Sementara itu, fenomena yang sedikit berbeda terjadi pada leksikon
legundi (fitex trifolia), dan jajang cemeng „bambu hitam‟ Tingkat pemahaman dan
penggunaan, khususnya generasi muda, terhadap ketiga leksikon di atas adalah
0%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga leksikon tersebut tidak ada dalam
verbal repetoire mereka karena mereka tidak paham sehingga tidak pernah
menggunakannya dalam percakapan sehari-hari mereka. Berdasarkan pengamatan
di lapangan, populasi entitas legundi masih sangat banyak, namun karena tidak
adanya ketergantungan terhadap entitas acuannya menjadikan leksikon ini tidak
dipahami dan tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari mereka,
Sementara itu, untuk leksikon jajang cemeng „bambu hitam‟ populasinya hampir
punah dan seandainya masih ada lingkungan tempat tumbuhnya sangat jauh dari
jangkauan masyarakat, yakni di daerah hutan.
Sementara itu, leksikon yang terancam punah, tidak saja terjadi pada
leksikon nomina, tetapi juga pada leksikon verba. Keterancaman ke arah
kepunahan ini ditemukan pada kelompok leksikon verba yang terkait dengan
322
verba pengolahan tanah yakni melar „membajak tanah sawah/kebun dalam
keadaan kering‟, mberubuk „membuat tanah menjadi gembur‟, dan ngeremponi
„meretakan tanah sawah sebelum ditanami‟ dan leksikon verba yang mengacu
pada aktivitas berburu berburu, seperti nggeladag „berburu binatang hutan‟,
mbelor „berburu binatang hutan dengan menggunakan lampu sorot, dan ason-ason
„berburu binatang hutan dengan menggunakan asu (anjing). Ketidakmunculan
kelompok leksikon pertama pada percakapan sehari-hari mereka, khususnya
responden remaja, disebabkan oleh kekurang-mampuan mereka membedakan
bentuk aktivitas yang diacu oleh ketiga leksikon tersebut. Di samping itu, mereka
tidak pernah terlibat dalam aktivitas tersebut walaupun pada kenyataan di
lapangan aktivitas-aktivitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tersebut masih
cukup banyak muncul. Sementara itu, untuk leksikon kelompok kedua yang
mengalami keterancaman ke arah kepunahan dilatari oleh jarangnya aktivitas
acuannya dilakukan saat ini dan juga ketiga verba tersebut sudah tergantikan oleh
verba BI berburu. Beberapa leksikon verba lingkungan alam BU yang mengalami
keterancaman ke arah kepunahan, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6.41
Leksikon Verba Bahasa Using yang Hampir Punah Leksikon
BU
Responden
Remaja Dewasa Tua
TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%) TPh (%) TPg (%)
melar 57,1 - 80 70 81,8 68,2
ngeremponi 71,4 - 80 65 90,9 77,3
nguter 52,4 4,8 80 70 100 81,8
mberubuk. 33,3 4,8 80 65 86,4 77,3
ason-ason 62 - 80 35 95,5 31,8
mbelor 23,8 - 55 35 59,1 31,8
medhok 76,2 - 90 65 95,5 72,7
323
Di samping leksikon-leksikon verba yang telah diulas di atas, ada dua
leksikon yang juga tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari,
khususnya responden remja. Fenomena yang terjadi pada leksikon verba nguter
„memindahkan bibit padi atau entitas lainnya ke tempat penanaman permanen‟
dan medhok „bertempat tinggal sementara di gubuk pada lahan kebun atau sawah
selama musim panen‟ disebabkan oleh tidak akrabnya kelompok responden ini
dengan aktivitas yang diacu, karena aktivitas nguter dan medhok biasanya
dilakukan oleh orang dewasa.
6.4 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using yang Tergeser
Ada beberapa alasan sosial mengapa GTBU dari menggunakan BU dala
kehidupan mereka sehari-hari beralih menggunakan bahasa lain. Di samping
karena menganggap BU kurang prestisius, rendahnya rasa bangga terhadap bahasa
ibu yang ada pada diri mereka, dan adanya perubahan pola hidup adalah penyebab
lainnya. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa di samping mengalami
kebertahanan dan penurunan, ada sejumlah leksikon lingkungan alam BU yang
mengalami pergeseran. Bentuk pergeseran yang terjadi adalah (1) entitas yang
diacu tetap namun nama entitasnya tergantikan oleh leksikon dalam bahasa lain
dan (2) fungsi entitas-entitas tertentu leksikonnya tergantikan oleh fungsi
tanaman/entitas lain. Berikut adalah uraian dari masing-masing bagian yang
dimaksud
324
6.4.1 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Nama
Entitas Tergantikan Bahasa Lain
Rendahnya rasa bangga terhadap bahasa ibu yang ada pada seseorang atau
pada sebuah guyub tutur merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran
suatu bahasa. Fenomena ini juga terjadi pada penutur BU, perasaan rendah diri
menggunakan BU karena, terutama orientasi kebahasaan mereka yang cenderung
menggunakan bahasa yang berprestise lebih tinggi, seperti BJ dan BI. Pada tabel
berikut dapat dilihath beberapa contoh entitas yang dulunya menggunakan
leksikon BU namun pada saat ini namanya tergantikan oleh leksikon bahasa lain.
Tabel 6.42
Perangkat Leksikon Bahasa Using dengan Nama
Tergantikan Bahasa Lain
Leksikon
BU
Gloss dan penjelasannya dalam BI Leksikon
Pengganti
Bahasa,Leksikon
Pengganti
elas buah padi buah padi BI
sambulan jenis padi yang tumbuh di sela-sela
tanaman padi utama yang tingginya
melebihi padi-padi lainnya
padi liar BI
godhogan setandan pisang (biasanya yang sudah
matang) beserta sebagian batang yang
dipajang di depan rumah orang yang
punya hajatan
pajangan BJ/BI
bagu daun melinjo muda godhong so BJ
manting daun salam daun salam BI
pecari bunga cempaka bunga kantil BJ
tunjung bunga teratai teratai BI
kembang
wangsa
bunga kenanga kenanga BJ/BI
kembang
sundel
bunga sedap malam sedep malem BJ
kembang
serngenge
bunga matahari bunga matahari BI
kembang
gantil
bunga /kembang sepatu kembang sepatu BI
kembang
menur
bunga melati bunga melati BI
325
Dari sejumlah entitas yang acuannya tetap tetapi namanya tergantikan oleh
leksikon bahasa lain yang tertera pada tabel di atas juga dapat terlihat bahwa
leksikon BU yang tergantikan dalam bahasa lain paling banyak ditemukan pada
leksikon yang diacu oleh leksikon bunga terutama pada bunga yang mempunyai
peran sosial dan budaya yang cukup penting dalam kehidupan GTBU, seperti
kembang pecari, kembang wangsa, kembang sundel, dan kembang menur. Seperti
telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa di samping kembang mawar
„bunga mawar‟, ketiga jenis kembang yang disebutkan pertama merupakan
elemen dari kembang telon ‘bunga tiga jenis‟ yang harus ada pada ritual santet
atau ritual slametan lainnya. Fenomena yang terjadi pada leksikon kembang
sundel khususnya, adalah tergantikannya leksikon BU yang diacu oleh entitas
tersebut oleh bahasa lain disebabkan oleh adanya perasaan risih GTBU jikalau
mengucapkan kata sundel. Seperti diketahui bahwa kata tersebut memiliki
konotasi negatif, yakni mengacu pada PSK (pekerja seks komersial) yang bercitra
miring di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu, tergantikannya leksikon BU terkait dengan kembang menur
yang berubah menjadi leksikon kembang melati adalah karena pengaruh dari
media, khusunya siaranTV tentang flora dan budaya yang di dalamnya ada ulasan
tentang bunga melati. Penyebab lainnya adalah perias pengantin yang kebanyakan
berasal dari etnik non-Using yang pada setiap kegiatan merias menggunakan
leksikon bunga melati yang dalam BU adalah kembang menur.
326
6.4.2 Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Fungsi
Tergantikan Fungsi Entitas Lain
Deraan modernisasi yang menimpa kehidupan GTBU menimbulkan
adanya perubahan pola hidup mereka. Hal ini salah satunya terlihat pada aspek
kehidupan yang berorientasi pada kepraktisan. Hal tersebut telah merubah pola
interaksi, ineterelasi, dan interdependensi mereka terhadap lingkungan alam
tempat tinggalnya, dari sangat mengangkrabi, mengetahui, memahami,
memanfaatkan sumber daya lingkungan menjadi sebaliknya. Salah satu
dampaknya adalah rendah atau berkurangnya ketergantungan dan pemanfaatan
mereka terhadap sumber daya alam tersebut yang dapat berujung pada
ketidakakraban dan dan ketidaktauan tentang manfaat/fungsi entitas-entitas yang
ada di dalamnya. Semua hal ini adalah akibat dari sudah ditemukan atau sudah
tersedianya entitas-entitas pengganti, seperti yang terjadi kebanyakan pada
fenomena beberapa entitas tanaman obat dan bumbu yang diacu oleh leksikonnya
masing-masing. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis entitas yang fungsinya
digantikan oleh fungsi entitas lain.
Tabel 6.43
Perangkat Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using dengan Fungsi
Entitas Tergantikan Fungsi Entitas Lain
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya
dalam BI
Fungsi Entitas
pengganti
FLORA
Sempol tanaman yang berbunga
putih menyerupai
lengkuas yang tumbuh di
pinggir parit
sebagai obat tetes mata
tradisional
obat tetes
mata kimiawi
kembang
bintang
tanaman berbatang lunak
dengan daun mahkota
berwarna putih dan
berjumlah lima yang
tumbuh di tembok-tembok
pekarangan rumah
sebagai obat tetes mata
tradisional
obat tetes
mata kimiawi
327
sembung pohon sembung
(tumbuhan perdu, daun
berwarna hijau keabu-
abuan, tumbuh di
pekarangan rumah
sebagai obat panas dalam larutan
penyegar
penurun panas
dalam
dilem pohon dilem
(tanamaberbatang lunak,
daun bergerigi dan berbau
wangi)
campuran boreh bayi bedak bayi
legundi tumbuhan perdu berdaun
hijau keunguan, tumbuh di
pekarangan rumah, atau
pagar-pagar tanaman.
sebagai bahan untuk mengusir
myamuk (dengan cara dibakar)
obat nyamuk
bakar
urang-aring urang-aring (tumbuhan
yang tumbuh di
pekarangan, pematang
sawah, bau daun langu
sebagai bahan untuk luka dan
penyubur rambut
obat merah
atau yodium
Luntas beluntas sebagai penghilang bau badan deodorant
Teki rumput teki ramuan untuk boreh yang dapat
menghangatkan badan
boreh
kemasan
produski
pabrik jamu
PERALATAN
Samir daun pisang yang
dipotong sedemikian rupa
untuk alas kue atau
tumpeng
sebagai alas tumpeng atau kue
yang biasanya diletakkan di atas
piring, lepekan atau nyiru atau
nampan
kertas tisue
atau kertas
lainnya
kepang anyaman silang miring
terbuat dari daun kelapa
sebagai atap terob atau dinding
bangunan tidak permanen atau
gubuk
tenda yang
bisa
dibongkar
pasang
kisa wadah terbuat dari
anyaman daun kelapa
(tempat ayam)
sebagai tempat ayam ketika
dibawa ke tempat lain.
keranjang
terbuat dari
rotan.
rinjing wadah berbentuk persegi
empat terbuat dari
anyaman daun kelapa
sebagai tempat untuk wadah
sesuatu.
keranjang
plastik
Welit daun kelapa kering yang
disusun untuk atap
sebagai atap bangunan alang-alang
atau genteng
bencorong tempurung kelapa untuk
takaran beras
untuk menakar beras timbangan
besi
siwur gayung terbuat dari batok
kelapa
untuk yang diberi tangkai untuk
mengambil air di tempayan atau
tempat lain
gayung
plastik
irus cedok/ sendok yang
terbuat dari tempurung
kelapa
untuk mengambil nasi sendok nasi
terbuat dari
plastik atau
logam
geladhag lantai terbuat dari bambu untuk lantai gubug yang
lingkungan yang tanahnya agak
lembab/becek
lantai semen
atau ubin
kemarang bakul nasi terbuatdari
anyaman bambu yang
bingkainya terbuat dari
rotan
untuk tempat nasi setelah
dimasak
keranjang
plastik atau
magic jar
328
budhag wadah (bakul) besar yang
terbuat dari anyaman
bambu
untuk menyimpan hasil panen
(padi, kedelai, jagung, dan
sebaginya).
karung plastik
tumbu bakul bertutup terbuat
dari anyaman bambu
untuk tempat nasi kala bepergian rantang
aluminium
atau palstik
b eranding
tali yang terbuat dari
sayatan-sayatan bambu
untuk mengikat padi atau entitas
lainnya
tali plastik
cantuk ulekan yang terbuat dari
pangkal batang bambu.
untuk melumatkan atau
menggerus bumbu
ulekan terbuat
dari batu atau
selep bumbu
Di samping memuat beberapa contoh leksikon yang fungsi entitasnya
digantikan oleh fungsi entitas lain, tabel di atas juga memuat sejumlah leksikon
peralatan terbuat dari bahan tertentu dengan fungsinya masing-masing.
Kepraktisan yang ditawarkan oleh penggunaan peratan pengganti, di samping
karena mudah mendapatkannya, menyebabkan GTBU beralih menggunakan
peralatan tersebut yang berdampak pada tidak diakrabinya penggunaan peralatan
lama sehingga leksikonnya pun tidak pernah muncul dalam percakapan sehari-hari
mereka.