REVISI
-
Upload
fanny-trestanita-bahtiar -
Category
Documents
-
view
24 -
download
8
description
Transcript of REVISI
I. PENDAHULUAN
Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat
yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV),
ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica
mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa (APA, 2000).
Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan
dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat
non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku,
kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pika tertentu,
termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan
terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-
anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada
individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu
hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis (APA, 2000).
Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari
pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah
tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya,
Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran,
Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual
untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang
jelas mengenai gangguan makan jenis ini (Hagopian, 2011).
Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara
usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pika menyatakan
angka kira-kira 10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan
bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang
ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan
keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-
20 tahun (Hagopian, 2011).
Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kani. Anak-
anak lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil,
1
dan punting rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan
tanah liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan
pertama pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya
berhenti pada akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-
tahun. Pica biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan
perempuan, namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa (Young, 2010).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu
makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan,
misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran
hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya (Hasan dan Alatas, 1985).
B. FAKTOR RESIKO
1. Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1
tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar
bila suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam
mulutnya.
2. Penderita defisiensi gizi
3. Penderita retardasi mental (Hasan dan Alatas, 1985).
4. Ibu hamil
5. Orang yang dietnya rendah mineral
6. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan seperti histeria
7. Orang dengan cacat perkembangan atau gangguan serupa
8. Orang-orang yang keluarga atau etnisnya memakan zat non-makanan
9. Orang yang diet, menjadi lapar, dan mencoba untuk meringankan
kelaparan dan ngidam dengan zat rendah kalori (zat non-makanan)
(HopeInterprises Inc).
Meskipun sampai saat ini etiologi pica masih belum diketahui,
beberapa hipotesis dapat menjelaskan fenomena ini, dapat disebabkan
psikososial sampai biokimia murni. Beberapa hal yang diduga menjadi
penyebab adalah defisiensi nutrisi, factor budaya dan keluarga, stress, status
sosioekonomi rendah, kebiasaan makan yang tidak memilih, kebiasaan
belajar, dan kelainan biokimiawi (Ellis, 2012).
Pica merupakan masalah perilaku yang serius karena dapat
mengakibatkan gejala sisa medis yang signifikan. Sifat dan jumlah dari
substansi yang tertelan menentukan gejala sisa medis. Pica telah terbukti
3
menjadi faktor predisposisi di kecelakaan konsumsi racun, terutama
keracunan timah. Konsumsi zat aneh atau tidak biasa juga berpotensi
mengancam nyawa, seperti hiperkalemia setelah cautopyreiophagia (Ellis,
2012).
Paparan agen menular melalui konsumsi zat yang terkontaminasi
merupakan bahaya kesehatan potensial yang terkait dengan pica, sifat yang
bervariasi dengan isi materi yang tertelan. Secara khusus, geophagia (tanah
atau mencerna tanah liat) telah dikaitkan dengan penyakit parasit yang
menular melalui tanah, seperti toksoplasmosis dan Toxocariasis. Komplikasi
saluran cerna (GI), termasuk masalah mekanis usus, sembelit, ulserasi,
perforasi, dan penghalang usus, telah dihasilkan dari pica (Ellis, 2012).
C. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pica (American Psychiatric Association, 2000)
1. Retardasi Mental
2. Pervasive Developmental Disorder
3. Skizofrenia
4. Autis
5. Kleine-Levin syndrome
D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan
sifat spesifik dari kondisi medis yang dihasilkan dari zat yang tertelan.
Pada keracunan atau paparan agen infeksi, gejala dilaporkan sangat
bervariasi dan berhubungan dengan jenis toksin atau agen infeksi yang
tertelan. Gejala saluran gastrointestinal yang mungkin adalah sembelit,
sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual
dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan (Ellis, 2012).
Pasien mungkin menahan informasi mengenai perilaku pica dan
menyangkal adanya pica ketika dipertanyakan. Kerahasiaan ini sering
mengganggu diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif.
4
Komplikasi yang timbul dari berbagai bentuk pica dan keterlambatan
diagnosis yang akurat dapat menyebabkan komplikasi ringan sampai
mengancam nyawa (Ellis, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan
berhubungan langsung dengan bahan tertelan. Temuan yang mungkin
ditemukan adalah (Ellis, 2012) :
a. Manifestasi menelan racun
b. Manifestasi infeksi atau infestasi parasit
c. Manifestasi gastrointestinal
d. Manifestasi gigi
Toksisitas Timbal adalah keracunan yang paling umum yang
terkait dengan pica. Manifestasi fisik yang terjadi spesifik dan halus, dan
kebanyakan anak dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala.
Manifestasi fisiki dari keracunan timbal dapat termasuk gejala neurologis
(misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala,
kelumphan saraf cranial, papil edema, kejang, koma, dan kematian) dan
gejala saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut, kolik, muntah,
anoreksia, dan diare) (Ellis, 2012).
Toxokariasis (termasuk larva migrans visceral dan larva migrans
mata) dan ascariasis adalah infeksi parasit dengan media transmisi tanah
yang paling umum terkait dengan pica. Gejala dari toxocariasis beragam
yang terkait dengan jumlah larva tertelan dan organ mana yang menjadi
tempat migrasi untuk larva. Temuan fisik yang terkait dengan migrans
larva visceral mungkin termasuk demam, hepatomegali, malaise, batuk,
miokarditis, dan encephalitis sedangkan migrans okular larva dapat
menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan. Kelainan gigi dapat
terlihat pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi gigi yang parah, abfraksi,
dan kehilangan permukaan gigi (Ellis, 2012).
E. TERAPI
1. Terapi lama
5
Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica
didefinisikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan
keinginan-keinginan (ngidam) yang abnormal untuk memakan sesuatu
yang sebenarnya bukan merupakan makanan yang lazim dikonsumsi
seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah perhatian
karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu
dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang
sesungguhnya dan hal ini ias menjadi berbahaya. Menurut Andrews,
1998 sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai
rencana terapi pada pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian
edukasi serta saran-saran yang baik mengenai nutrisi yang seimbang pada
pasien pica menjadi suatu hal penting untuk upaya mengurangi
keinginan-keinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh sehingga
dapat tercipta keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Rose, 2000 menyatakan
bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama belum tentu
mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi kesehatan adalah
hal yang paling penting dalam manajemen pasien pica (Cunningham dan
Marcason, 2001).
2. Terapi Baru
a. Farmakologis
1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
Terapi baru yang kemungkinan bisa digunakan dan telah
direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba
pada pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipikal
lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau
reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis
SSRi ini antara lain adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin,
fluoxetin, dan citalopram. Salah satu yang paling sering
digunakan adalah fluxetin, efek antikolinergik dari obat ini cukup
rendah, hampir tidak menimbulkan sedasi. Dosis awal 20 mg/hari
6
tiap pagi, jika frekuensi pica tidak menurun maka dosis bisa
dinaikkan menjadi 30 mg/hari (Morrow, 2010).
2. Bupropion
Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone
norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti
bisa digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten,
kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang parah
(Ginsberg, 2006). Intervensi perilaku pada pasien pica dengan
tujuan untuk mengalihkan perhatian, seperti menyusun ulang
llingkungannya, konseling, dan terapi-terapi perilaku yang lain
tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi
selanjutnya seperti bupropion (Ginsberg, 2006).
Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100
mg dua kali sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg tiga kali
sehari, gabapentin 600 mg tiga kali sehari, topiramat 200 mg tiga
kali sehari, zonisamide 300 mg, loratadin 10 mg/hari, naltrexon
50 mg/hari, propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40
mg/hari, risperidone 3 mg dua kali sehari, multivitamin setiap
hari, dan vitamin E 800 IU dua kali sehari. Pada penelitian yang
telah dikakukan, pemberian bupropion selama 12 bulan, pasien
mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap
bulan, dan penurunan hampir 0.9 kali episode per bulan dalam 11
bulan pemakaian obat (Ginsberg, 2006).
b. Non Farmakologis
1. Response Effort (Pendekatan perilaku)
Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan
pendekatan metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha
pasien untuk berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan
alternatif lain yang bukan objek pica. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga orang yang
mengalami gangguan kejiwaan dan datang ke klinik Neurobehavioral
7
di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama memiliki riwayat
memakan kunci mobil, batu, tongkat penunjuk, kotoran, sarung tangan,
dan baterai. Pasien kedua memiliki riwayat memakan batu, tongkat
penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga memiliki riwayat
memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun, dan feces
(Piazza, 2002).
Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang
aman jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan
(seperti kunci mobil, kotoran, dll) dan benda lain yang menjadi
alternatif), dari kedua benda tersebut akan diletakkan sedemikian
caranya sehingga pasien akan menggunakan low effort atau high effort
untuk menjangkau benda-benda tersebut. Penelitian dilakukan dengan
mengamati response effort pada pica dan benda alternatif. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa pada usaha untuk mendapatkan
benda alternatif itu tinggi (high effort) sedangkan usaha untuk
mendapatkan objek pica mudah (low effort) maka pasien akan
menjangkau objek pica dan memakannya. Sehingga, jika kita
menurunkan usaha untuk menjangkau benda alternatif akan
menurunkan frekuensi kejadian pica. Pada keadaan objek pica mudah
dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang didapat bebas ketika
sedang bermain; dan benda alternatif disimpan susah untuk dijangkau
(misalnya di saku seseorang di sekitar anak) maka akan menurunkan
kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang
merawat pasien pica harus bisa menyimpan benda-benda yang
berbahaya untuk dimakan di tempat-tempat yang aman, dan
meletakkan benda-benda pengalih perhatian (benda alternatif) di
tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga bisa mengurangi
frekuensi pica pada pasien (Piazza, 2002).
2. Response Blocking
Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu
yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda
(bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005)
8
melakukan penelitian tentang response blocking pada pasien pica yang
dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap
minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup
yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai
dan di atas kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan)
yang bisa dimakan oleh pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada
di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda yang ada di atas lantai.
Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak
mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas
kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah
berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis
mencegah pasien mengambil benda di atas kertas (McCord dan
Grosser, 2005).
Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah
maka pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan
makanan tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan
sudah diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau
menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari pencegahan ini akan efektif
jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien mencegah pasien
mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga,
kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah
pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha
untuk mencegah pasien menjangkau benda-benda berbahaya untuk
dimakan tersebut (McCord dan Grosser, 2005).
F. PROGNOSIS
Keberhasilan dalam pengobatan bervariasi, sebagian besar kasus pica
berlasung beberapa bulan dan akan sembuh dengan sendirinya, tapi ada
beberapa kasus yang ias berlanjut kemasa remaja dan dewasa terutama
ketika terjadi bersamaan dengan gangguan perkembangan.
9
G. KOMPLIKASI
Komplikasi pica (Ravinder, 2005)
1. Infeksi
2. Obstruksi usus
3. Menyebabkan keracunan
4. Malnutrisi
5. Diare
6. Anemia
7. Konstipasi
8. Kecacingan
10
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu
makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong
makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan
kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya
2. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut
kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan
muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan.
3. Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan farmakologis yaitu
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion, serta non
farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.
B. Saran
1. Meskipun sampai saat ini etiologi pica masih belum diketahui, namun
terdapat beberapa hipotesis yang dapat menjelaskan fenomena ini.
Sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dengan cara
menghindari etiologi dan factor risiko pica tersebut.
2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperdalam
pengetahuan mengenai pica.
3. Memberikan terapi perilaku pada pasien yang menderita PICA, yaitu
dengan mengalihkan perhatian pada benda yang dapat dimakan.
4. Jika terapi perilaku sudah tidak dapat mengatasi, disarankan untuk
memberikan terapi farmakologis, diantaranya yaitu fluvoxamin,
zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram, serta dapat diberikan
bupoprion.
1.
11
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. DSM-IV-TR: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Text Revision. American Psychiatric Press;2000:103-105.
Barker, D. 2005. Tooth Wear As A Result Of Pica. Br Dent J. Vol. 199(5):271-3.
Cunningham, Eleese dan Wendy Marcason. 2001. Question of the month: How do I help patients with pica?. Jurnal of the Academy of Nutrition and Dietettics. 101(3): 318
Ellis, Cynthia R. 2012. Pica. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/914765-overview#aw2aab6b5
Ginsberg, David L. 2006. Bupropion SR for Nicotine-Craving Pica in a Developmentally Disabled Adult: Primary Psychiatry. Vol 13(12):28-30
Hagopian, L. P; Rooker, G. W; Rolider, N. U. Identifying Empirically Supported Treatments for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev Disabil. Nov-Dec 2011;32(6):2114-20.
Hassan, Rusepno., Alatas, Husein. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hope Interprises Inc. Pica. Available from URL: http://www.heionline.org/docs/training/pica.pdf
Johnson, C.D., Shynett, B., Dosch, R., Paulson, R. 2007. An Unusual Case Of Tooth Loss, Abrasion, and Erosion Associated with A Culturally Accepted Habit. Gen Dent. Vol. 55(5):445-8.
McCord, Brandon dan Jason W. Grosser. 2005. An Analysis Of Response-Blocking Parameters In The Prevention Of Pica: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (38): 391-4
Morrow, Alina. 2010. Condition & Disease: Eating & Weight Disorder. Online. Diunduh dari http://www.omnimedicalsearch.com/conditions-diseases/pica-disorder-treatment-options.html. pada tanggal 3 mei 2012.
Piazza, Cathleen., Henry S. Roanne., Kris M. Keeney et al. Varying Response Effort in The Treatment of Pica Maintained by Automatic Reinforcment: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (35): 233-46
12
Ravinder K. Gupta, Ritu Gupta. 2005. Clinical Profile of Pica in Childhood. Vol. 7 No. 2: From Adval Pediatric Clinic, Nai Basti, Jammu and The Department of Physiology, Government Medical College Jammu.
Young, S. L. Pica in Pregnancy: New Ideas About an Old Condition. Annu Rev Nutr. Aug 21 2010;30:403-22.
13