Refrat Tetanus Pd Anak
description
Transcript of Refrat Tetanus Pd Anak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan
oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus
dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi
sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang
cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 20 tahun terakhir,
insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi.
Di Indonesia tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak, Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun
namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu,
meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini
masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah
diterapkan secara luas di seluruh dunia6
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin atau suatu toksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh kuman Clostridium tetani dan merupakan
basil Gram positif anaerob. 2
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi
tali pusat (Tetanus Neonatorum). 2
2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk
batang dengan sifat :
Basil Gram-positif
Menghasilkan eksotoksin yang kuat
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi, kekeringan dan desinfektan.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas
dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,
dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu
bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam
2
lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8
°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan
agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik. 7
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya
luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.
Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus
dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga
tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau
subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka yang
terkontaminasi tanah. 1
Gambar 2.1 karakteristik Clostridium Tetani
3
2.3 Epidemiologi
Di negara yang maju seperti Amerika Serikat, kejadian tetanus yang
dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena
meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus. Sejak pertengahan 1970an,
50-100 kasus dilaporkan setiap tahunnya. Dari 2000 hingga 2007, sebanyak 31
kasus dilaporkan setiap tahunnya. Angka mortalitas tetanus menurun dari 30%
hingga mencapai 10% beberapa tahun terakhir.
Tetanus merupakan penyakit endemik hampir di 90 negara berkembang.
Tetanus yang paling sering ditemukan adalah tetanus neonatorum yang
menyebabkan kematian 500.000 bayi setiap tahun. Angka kejadian tersebut
diduga terkait dengan ibu yang tidak diimunisasi tetanus.
Diperkirakan 15000-30000 wanita di dunia yang tidak diimunisasi tetanus
meninggal karena maternal tetanus, akibat persalinan normal, post abortus, atau
post operasi akibat luka yang terinfeksi C. tetani dan 50 kasus tetanus setiap
tahun dilaporkan di amerika. Sekitar 20% anak di amerika usia 10-16 tahun tidak
memiliki antibodi terhadap tetanus. 6
2.4 Patogenesis
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
4
yang terkontaminasi tanah, luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat
yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas
pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis
timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuskular junction serta syaraf autonom. 2
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan
asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin
botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor end plate dan setelah masuk
lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian
ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala
klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat
tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmitter sehingga terjadi
kontraksi otot yang tidak terkontrol/eksitasi terus menerus dan spasme.
Neuron menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron,
yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter
inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. 5
5
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari
motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas
muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi.
Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri
dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon.
Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali
terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot
tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak
terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan
kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma
meningkat.1
Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh
antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses
penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga
perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh sehingga terjadi
gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme laring, hipertensi, gangguan irama
jantung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf
otonom yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala
timbul. 7
6
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja di
susunan syaraf pusat, dengan cara:
• Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
• Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi
dari reflex synaptik di spinal cord.
• Kejang pada tetanus disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglion
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS) dengan gejala seperti berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti,
takikardia, aritmia jantung, peninggian katekolamin dalam urine. 7
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif
terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak
hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis
tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang bergeraknya dapat dikontrol dan
7
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya
disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi. 2
2.5 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat
hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Hal ini secara langsung
berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka)
ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat
luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa
inkubasi semakin jelek prognosanya. 5
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
a. Tetanus umum
b. Tetanus lokal
c. Tetanus cephalic
d. Tetanus neonatorum
a. Tetanus umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka
bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus
dekubitus, dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersif
at menyeluruh ataupun sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang
(trismus) dan leher (kaku kuduk). 50% penderita tetanus akan menunjukkan gejala
trismus. Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke
8
ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama maseter menyebabkan mulut sukar
dibuka, sehingga penyakit ini disebut Lock Jaw. Selain kekakuan otot masseter,
pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka
meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas,sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi),
Akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri
waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kaku kuduk
sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang
umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal
(rabaan, sinar dan bunyi).
spasme menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat
dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri
yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan
mudah terangsang. Spasme otot-otot laring dan otot pernapasan dapat
menyebabkan gangguan menelan, asfiksia, dan sianosis.
Retensi urine sering terjadi karena spasme spincter kandung kemih.
Kenaikan temperature badan umumnya tidak tinggi tapi dapat disertai panas yang
tinggi sehingga harus berhati-hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi
overaktivitas simpatis berupa takikardia hipertensi yang labil, berkeringat banyak,
panas yang tinggi dan aritmia jantung. 2
9
b. Tetanus lokal
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian
1%,kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
c. Tetanus Cephalic
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang
tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menyusu, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal.
Pada bayi dengan tetanus tidak ada peningkatan suhu badan, keluhan yang
biasa ditemui kesulitan disusui karena sulit menelan.
Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap
dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
10
kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps
sirkulasi dan kegagalan jantung paru. 6
2.6 Klasifikasi Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis
Derajat I : Ringan Trismus ringan sampai
sedang;spastisitas umum tanpa spasme
atau gangguan pernapasan;tanpa
disfagia atau disfagia ringan
Derajat II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan
spasme ringan sampai sedang dalam
waktu singkat; laju napas>30x/menit,
disfagia ringan
Derajat III : Berat Trismus berat; spastisitas umum;
spasmenya lama; laju napas>40x/menit;
laju nadi > 120x/menit, disfagia berat
Derajat IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom
termasuk kardiovaskular) Hipertensi
berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif
dan bradikardia, dan salah satu keadaan
tersebut dapat menetap
11
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan anamnesis
a. Adanya riwayat luka yang terkontaminasi.
b. Trismus, disfagia, Risus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan
otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
c. Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menyusu
d. Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun
spontan di mana kesadaran tetap baik.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meliputi tiga prinsip yaitu:
1. Mencegah invasi sumber infeksi yaitu bakteri Clostridium Tetani.
2. Toksin yang terdapat dalam tubuh harus dinetralisasi.
3. Efek toksin yang mencapai sistem saraf pusat harus diminimalisir.
1. Mencegah invasi sumber infeksi yaitu bakteri Clostridium Tetani.
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka.
2. Netralisasi toksin
a. HTIG
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus
dengan dosis 3000-6000 secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin.
HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena
12
mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat
mencetuskan reaksi alergi
b. Anti tetanus serum
Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang
berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu
20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada
daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi besar
menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului
oleh skin test . 3
3. Penekanan efek toksik sistem saraf pusat
a. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi
ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal
menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan,
terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar.
Dosis pemberiaan diazepam dewasa, dimulai dari 10 mg setiap 6 jam.
Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
pemberian. pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan
pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam.
13
Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain
sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 4
b. Fenobarbital
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk
neonates dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat
menyebabkan hipoksia dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan
segera dengan dosis 5mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10
menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat
diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis melalui selang nasogastrik.
c. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25
mg IM 4kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin
tidak dibenarkan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada
penderita dengan tekanan darah yang labil dan hipotensi.
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin.
Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek
dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan
dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen
tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma
yang adekuatmembutuhkan ventilasi mekanis. 3
14
2.9 Pencegahan
tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif .
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai
sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.
2.10 imunisasi tetanus
Bayi dan anak normal Imunisasi DPT pada usia 2,4,6 dan 15-
18bulan. Dosis kelima diberikan usia 4-
6 tahun. 10 tahun kemudian diberikan
injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun
sekali
Bayi dan anak normal sampai usia 7
tahun yang tidak diimunisasi pada masa
bayi
DPT diberikan pada kunjungan
pertama, kemudian 2 dan 4 bulan
setelah injeksi pertama
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah
injeksi pertama
Dosis ke-5 diberikan usia 4-6 tahun.
10 tahun kemudian diberikan injeksi TT
dan diulang setiap 10 tahun sekali
Usia > 7 tahun belum diimunisasi Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT
yang diberikan pada kunjunga pertama,
15
4-8 minggu setelah injeksi pertama, 6-
12 bulan setelah injeksi kedua. Injeksi
TT diulang setiap 10 tahun sekali
Ibu hamil yang belum pernah
imunisasi
Harus menerima dua dosis, injeksi TT
dengan jarak dua bulan ( baik pada 2
trimester terakhir)
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3
yaitu 6 bulan setelah injeksi ke2, untuk
melengkapi imunisasi
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun
sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari
ibu yang tidak pernah diimunisasi tanpa
perawatan obstetrik yang adekuat,
neonatus tersebut diberikan 250 IU
human tetanus immunoglobulin.
Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
harus diberikan
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I11 Edisi I1. Jakarta : EGC.
2. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2007.
3. Janet Stringer L. Konsep Dasar Farmakologi. Jakarta : EGC
4. Rahardja Kirana. Tjay Hoan Tan. Obat obat penting, edeisi ke 6, Jakarta.
5. Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta. 2007, EGC.
6. Tetanus neonatorum. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat Surveilans
Epidemiologi. Diunduh dari http://www.surveilans.org/general.php.
7. .Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008
17