Refrat (Keracunan Morfin)
-
Upload
ahmad-fachrurrozi -
Category
Documents
-
view
771 -
download
47
description
Transcript of Refrat (Keracunan Morfin)
BAB I
PENDAHULUAN
Morfin adalah komponen utama dari opium atau candu yang diperoleh dari
tumbuhan Papaver Somniferum. Secara kimia, morfin adalah alkaloid yang
termasuk derivat fenantren. Dalam Farmakologi morfin merupakan obat yang
berkhasiat untuk menghilangkan rasa (analgetik). Selagi pemakaian morfin di
bawah pengawasan yang ketat, tidak akan terjadi efek samping yang bahaya.
Tetapi, sudah umum diketahui telah terjadi penyalahgunaan morfin yang sangat
luas di dunia saat ini, yang berakibat timbulnya efek samping yang serius yang
disebabkan karena keracunan morfin.1
Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan
akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan.
Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang dan inilah yang sering
terjadi. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada suatu keadaan
keracunan kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi,
ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iritabilitas,
tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis,
demam, pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya
penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovaskuler yang bisa
berakhir dengan kematian.1
Morfin dapat diabsorpsi oleh usus, tetapi efek analgetik yang tinggi
diperoleh melalui parenteral. Dari satu dosis morfin, sebanyak 10 % tidak
1
diketahui nasibnya, sebagian mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di
hepar dan sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas.1
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Urine mengandung bentuk bebas
dan bentuk konjugasi. Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan identifikasi morfin
dalam urine dari penderita yang diduga keracunan morfin.1
Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian
yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971,
tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti
morfin, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja.
Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang-
Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika.2
Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan
opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin.
Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk
menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini,
peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan
remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri
ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya.
Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas
menjadi lambat, pengguna merasa ‘melayang’, tekanan darah menurun, dan dapat
membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari
pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena
overdosis atau infeksi. Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid
2
yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya.
Sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi
medis, morfin mempunyai efek analgetik dan morfin sendiri sedikit sekali
diabsorpsi dari saluran cerna. Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk
membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan
narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat
yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya
adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada
korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sifat Fisik dan Kimia Morfin
Opium atau candu adalah getah papaver somnifeum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan (1)
3
golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan
benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.3
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupakan
alkaloid utama dari opium (C17H19NO3). Morfin rasanya pahit, berbentuk
tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya
dengan cara dihisap dan disuntikkan.2
R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga
disebut sebagai OH fenolik; sedangkan OH pada R2-O bersifat alkoholik. Atom
hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk
berbagai alkaloid opium.3
Gugus OH fenolik bebas berhubungan dengan efek analgetik, hipnotik,
depresi napas, dan obstipasi. Gugus OH alkaholik bebas merupakan lawan efek
gugus OH fenolik.3
Gambar 1. Struktur kimia morfin4
4
B. Farmakodinamik Morfin
Efek morfin terjadi pada susunan saraf pusat dan organ yang mengandung
otot polos. Efek morfin pada sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi
dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi,
hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual
muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika
(ADH).2
C. Farmakokinetik Morfin
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit
yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus,
tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin
terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat.3
D. Indikasi Morfin
Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgetik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :3
Infark miokard
Neoplasma
5
Kolik renal atau kolik empedu
Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner
Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan
Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
E. Dosis dan Sediaan Morfin
Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.
Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis
anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/
kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yang diperlukan.2
F. Toksikokinetika Morfin
Intoksikasi morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Intoksikasi
akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan.
Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas
lambat, 2-4 kali/menit, pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Pasien
sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang
mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini
dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point
pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urine sangat
berkurang karena terjadi pelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan
rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan
6
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul
konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.3
Intoksikasi kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang dan inilah
yang sering terjadi. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada
suatu keadaan keracunan kronis. Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut
fenomena berikut: 3
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan
akan morfin.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan
biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin.
3. Adanya toleransi.
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap
efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara
morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein, dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-
3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis
besar secara teratur.2
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah
gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin,
pecandu tersebut merasa sakit, gelisah, dan iritabel, kemudian tidur nyenyak.
Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase
ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin,
mual, midriasis, demam, dan napas cepat. Gejala ini makin hebat disertai
timbulnya muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
7
meniingkat. Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul
dehidrasi, ketosis, asidosis, dan berat badan pasien menurun. Kadang-kadang
timbul kolaps kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian.3
G. Toksikologi Forensik
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut
Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of
science to low”, maka secara umum ilmu forensik dapat dimengerti sebagai
aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan
peradilan. Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek
berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme.
Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya
terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimia toksikan tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk
efek yang ditimbulkan.5
Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan
ilhpmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi
forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari
bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada
atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan sebagai
bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan
interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang
sesuai dengan hukum dan perundanganundangan. Menurut Hukum Acara Pidana
8
(KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat
Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu
tosikologi untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik
merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai
bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi,
farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.5
Berkaitan dengan analisis penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mengacu
pada hukum yang berlaku di Indonesia (UU no 5 th 1997 tentang psikotropika dan
UU no 22 th 1997 tentang Narkotika), interpretasi temuan analisis oleh seorang
toksikolog forensik adalah merupakan suatu keharusan (Wirasuta, 2005). Heroin
menurut UU no 22 tahun 1997 termasuk narkotika golongan I, namun
metabolitnya (morfin) masuk ke dalam narkotika golongan II. Dilain hal kodein
(narkotika golongan III) di dalam tubuh akan sebagian termetabolisme menjadi
morfin. Menurut UU narkotika ini (pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa
penyalahgunaan narkotika golongan I, II, dan III memiliki konsekuensi hukum
yang berbeda, sehingga interpretasi temuan analisis toksikologi forensik,
khususnya dalam kaitan menjawab pertanyaan narkotika apa yang telah
dikonsumsi adalah sangat mutlak dalam penegakan hukum.5
H. Diagnosa Ketergantungan Narkotika
Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada
penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis,
misalnya kelainan pada organ paru-paru dan liver. Untuk mengetahui adanya
9
komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit
dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk
mengetahui fungsi liver (SGOT dan SGPT). Banks A. dan Waller T. (1983)
menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada
pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya
adalah hepatitis (4%).2
Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :2
Tanda- tanda pemakai obat
Keadaan lepas obat
Kelebihan dosis akut
Komplikasi medik ( penyulit kedokteran )
Komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb).
GAMBARAN FORENSIK
Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup rumit, karena gejala pada
umumnya samar-samar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat
minim. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan
sebagai berikut:2
Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis :2
10
1. Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturat; antara lain
nausea, vomiting, nyeri kepala, lemah otot, ataxia, suka berbicara, suhu
menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.
2. Pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh.
3. Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium.
Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral,
timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.
Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa
ada tahap 1, terdiri dari :2
Kelihatan tenang dan senang, tetapi tidak dapat istirahat.
Halusinasi.
Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.
Dapat menjadi maniak.
Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam
(gejala ini selalu ada), terdiri dari :2
Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.
Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
Wajah sianosis, pupil amat mengecil.
Pulse dan respirasi normal.
Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :2
Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.
Proses sekresi.
11
Pupil pinpoint, refleks cahaya negatif. Pupil melebar kalau ada asfiksisa,
dan ini merupakan tanda akhir.
Respirasi cheyne stokes.
Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.
Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti :2
1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.
2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.
3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.
4. Barang bukti lainnya.
Metode yang digunakan :2
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography
(Gas Liquid Chromatography). Pada metode TLC, terutama pada
keracunan peroral: barang bukti dihidrolisir terlebih dahulu sebab dengan
pemakaian secara oral, morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh
glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa
terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin
bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan,
hasil pemeriksaan ini kurang pasti.
2. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama
dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah
sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau
kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih
besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin
12
bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolik
kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolik
narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai
patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang
mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai
juga kodein cukup banyak.
Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan
kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensik,
psikiater maupun ahli toksikologi. Penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4
aspek, yaitu :2
1. TKP (Tempat Kejadian Perkara).
2. Riwayat korban.
3. Otopsi.
4. Pemeriksaan Toksikologi
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya
pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti
narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut.
Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang
bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman,
maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba.2
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada
pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya
13
temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang
berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang
disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena
pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda
kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas
penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.
Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari
tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan kavum pleura
dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya
pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya
didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada
pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih
utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis
narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan
untuk mencari bukti adanya usaha – usaha penyelundupan narkoba.2
Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada
daerah - daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai
adanya perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena
akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan
kebiasaan menyuntik. Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap
dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan
cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung,
urine, darah, dan cairan empedu. Cairan empedu dan urine secara khusus sangat
14
penting pada kasus - kasus kematian akibat pemakaian opiat. Rambut dan kuku
kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain.2
Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid (morfin atau heroin)
Pemeriksaan luar2
Tanda- tanda yang khas biasanya sukar didapat, namun masih ada
beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab
kematian.
1. Needle marks. Lokasi: fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan
dan kaki. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda
perdarahan subkutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan
serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan
yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan
disebut “intravenous mainline tracks”. Juga dapat ditemukan abses,
granuloma atau ulkus, yang mana cara ini sering didapatkan pada korban
yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian
efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih
tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda
abses dan lain sebagainya.
2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering
menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah
bening di regio aksiler “Drain phenomenon”.
15
3. Gelembung-gelembung pada kulit. Sering terdapat pada telapak
tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah
besar (overdosis).
4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan
mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis.
Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga
terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga
ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata.
Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada
septum nasi.
Pemeriksaan Dalam2
Paru-paru
1. Perubahan akut : mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat
kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :
a) Dari 0 sampai 3 jam : hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel
mononuklear atau makrofag pada dinding alveoli.
b) Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narkotik lungs (siegel).
Tanda ini sangat bermakna (25 % kasus). Secara makroskopis
tampak paru sangat mengembang (over inflated). Trakea tertutup
busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak
gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat,
kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di
bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior).
16
c) Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata,
tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi
adalah apabila interval > 24 jam, akan tampak pneumonia lobularis
diffusa, tampak kecoklatan dan granula.
2. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis
vaskular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk
natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan.
Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna
putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-
granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam
alveolus.
Hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama
menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel
narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang
mengalami proliferasi.
Ada 4 kelainan :
1. Hepatitis agresif kronis : tandanya ada pembentukan septa.
2. Hepatitis persisten kronis : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal.
3. Hepatitis reaktif kronis.
4. Perlemakan hati.
Getah Bening
17
Lokasi terutama di daerah portal hepatik, di sekitar kaput pankreas dan
duktus kholedokus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya. Pada
pemeriksaan makroskopis tampak pembesaran, dan mikroskopis tampak adanya
hiperplasia dan hipertropi limfosit.
I. Antidotum Morfin
Naloxone merupakan salah satu obat untuk melawan keracunan narkotika
atau disebut opiat antagonis. Obat lain untuk melawan pengaruh morfin atau
heroin adalah nalorphine, levallophan, cyclazocine, tetapi risikonya cukup
berbahaya. Naloxone dapat membantu dengan cepat kalau diberikan dalam bentuk
suntikan. Pemberian dalam bentuk suntikan naloxone HCl (Narcan, Nokoba) yang
dimulai dengan dosis 0,4 mg/dl, dapat memperbaiki keadaan gangguan
pernapasan. Pemberian sebaiknya langsung masuk pembuluh darah balik atau
intravena. Setelah disuntik, diperhatikan keadaan pernapasannya. Jika belum
membaik, setelah diobservasi dalam 3–5 menit dapat diulangi lagi ditambah satu
ampul lagi sampai efeknya tercapai dengan respons perbaikan kesadaran,
hilangnya depresi pernapasan, dan dilatasi pupil.2
Program terapi penyalahgunaan narkotika terdiri atas 2 fase, yaitu:
Terapi detoksifikasi
Terapi rumatan (pemeliharaan)
Kedua terapi di atas harus berkesinambungan, sebab terapi detoksifikasi
saja bukan merupakan penyembuhan. Setelah penderita melewati fase kritisnya
maka dia harus menghentikan ketergantungannya melalui program terapi di atas.
18
Para pecandu narkotika jumlahnya semakin tahun semakin meningkat.
Penyembuhan secara medis untuk para pecandu narkotika sering menimbulkan
kondisi relaps, kambuh lagi. Pasien ketergantungan narkotika dimungkinkan
menjalani detoksifiksi di rumahnya selama 5 hari berturut-turut. Selain itu, untuk
penyembuhan membutuhkan terapi rumatan (pemeliharaan).2
BAB III
PENUTUP
Morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa
(analgetik). Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis.
Keracunan akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang
19
berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang. Adiksi
(kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan
kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi, ketergantungan fisik dan
toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iritabilitas, tremor, lakrimasi,
berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, demam, pernafasan
cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya penderita mengalami
dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovaskuler yang bisa berakhir dengan
kematian.
20