refrat AIHA

31
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) adalah suatu penyakit anemia yang disebabkan oleh hemolisis eritrosit-eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah sel darah merah, sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban tubuh terhadap perubahan-perubahan pada antigen tersebut (1) . Kriteria diagnostik utama penyakit ini adalah uji antiglobulin Coomb’s yang mendeteksi antibodi dipermukaan sel darah merah. Klasifikasinya didasarkan kepada sifat alami antibodi dan ada atau tidak adanya kelainan yang mendasarinya (2) . Ada dua bentuk Anemia Hemolitik akibat antibodi yaitu Anemia Hemolitik antibodi hangat dan Anemia Hemolitik antibodi dingin (3) . Bentuk hemolisis 1

description

referat

Transcript of refrat AIHA

Page 1: refrat AIHA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) adalah suatu penyakit

anemia yang disebabkan oleh hemolisis eritrosit-eritrosit berdasarkan reaksi

antigen-antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah sel

darah merah, sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum penderita

adalah suatu jawaban tubuh terhadap perubahan-perubahan pada antigen

tersebut(1). Kriteria diagnostik utama penyakit ini adalah uji antiglobulin

Coomb’s yang mendeteksi antibodi dipermukaan sel darah merah.

Klasifikasinya didasarkan kepada sifat alami antibodi dan ada atau tidak

adanya kelainan yang mendasarinya(2).

Ada dua bentuk Anemia Hemolitik akibat antibodi yaitu Anemia

Hemolitik antibodi hangat dan Anemia Hemolitik antibodi dingin(3). Bentuk

hemolisis akibat proses imunologis yang terlazim adalah Anemia Hemolitik

Autoimun antibodi hangat dengan insiden sekitar 1/80.000 penduduk(4). Pada

30% penderita Anemia Hemolitik Autoimun antibodi panas tidak ditemukan

penyebabnya sehingga dimasukkan kedalam kelainan idiopatik, 70% lainnya

sidapatkan sekunder. Antibodi tipe panas ini umumnya adalah suatu IgG

(80%) dan pada 50% dapat ditemukan komplemen(1).

Anemia Hemolitik autoimun antibodi dingin dibanding dengan

antibodi panas jauh lebih jarang ditemukan. Umumnya ditemukan pada

orangtua diatas 50 tahun dan terjadinya sekunder(1). Anemia Hemolitik

1

Page 2: refrat AIHA

Autoimun antibodi dingin disebabkan oleh antibodi IgM yang

mengaglutinasi sel darah merah pada suhu rendah. Aglutinin dingin timbul

pada dua keadaan klinis(1) Antibodi monoklonal sebagai produk neoplasia

limfositik (2) Antibodi poliklonal sebagai respon terhadap infeksi(3).

Pengobatan pada AHAI sebaiknya mempertimbangkan penyakit

dasar yang menyertai dan etiologi hemolisis karena obat, dimana

pengobatannya ada beberapa cara yaitu : transfusi, glukokortikoid,

splenektomi, dan terapi imunosupresif(4). Salah satu pengobatan pada pasien

AHAI antibodi dingin adalah mempertahankan pasien dalam lingkungan

yang hangat. Glukokortikoid dan splenektomi pada tipe ini tidak banyak

memberi manfaat, begitu juga dengan transfusi karena dapat menimbulkan

akselerasi proses hemolitik. Klorambusil dan Siklofosfamid merupakan obat

yang paling sering digunakan pada pasien yang memerlukan pengobatan(5).

1.2. BATASAN MASALAH

Dalam penulisan referat ini dibahas secara ringkas tentang

penatalaksanaan AHAI.

1.3. TUJUAN PENULISAN

Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman

mengenai penatalaksanaan Anemia Hemolitik Autoimun.

1.4. METODE PENULISAN

Metode dalam penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan dari

berbagai referensi yang berkaitan dengan AHAI.

2

Page 3: refrat AIHA

BAB II

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

2.1. DEFINISI

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan pemendekan

masa hidup sel darah merah. AHAI adalah suatu penyakit anemia yang

disebabkan oleh hemolisis eritrosit berdasarkan reaksi antigen dan atibodi.

Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah permukaan sel eritrosit

sedangkan antibodi terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban

tubuh terhadap perubahan antigen tersebut.(1)

2.2. KLASIFIKASI

AHAI ini ditandai oleh tes antiglobulin (Coombs test) langsung

positif. Anemia hemolitik autoimun dibagi menjadi AHAI tipe panas (Warm

Antibody Auto Immune Hemolytic Anemia), AHAI tipe dingin (Cold

Antibody Auto Immune Hemolytic Anemia), dan campuran keduanya.

menurut reaksi antibodi dengan sel eritrosit pada suhu 37’C atau 4’C.

2.2.1. AHAI dengan Antibodi panas (warm antibody)

Adalah suatu kelainan hemolitik autoimun yang paling sering

ditemukan.jenis antibodi yang ditemukan pada AHAI dengan tipe warm

antibodi umumnya ada sangkut pautnya dengan perubahan pada sistem

rhesus sel eritrosit(1). Klasifikasinya adalah :

3

Page 4: refrat AIHA

2.2.1.1. Idiopatik

2.2.1.2. Sekunder :

2.2.1.2.1. Limfoma, termasuk leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin,

dan penyakit Hodgkin

2.2.1.2.2. SLE atau penyakit vaskuler lainnya

2.2.1.2.3. AHAI akibat obat.

Obat yang secara langsung diperkirakan menimbulkan anemia

imunohemolitik terdiri dari dua jenis, yang dibedakan berdsarkan

mekanisme kerjanya.

2.2.1.2.3.1. Metildopa, suatu anti hipertensi yang menginduksi suatu kelainan

yang hampir identik dengan AHAI tipe panas yang dijelaskan diatas

2.2.1.2.3.2. Obat yang berikatan dengan permukaan sel eritrosit dan menginduksi

pembentukan antibodi terhadap kompleks obat sel eritrosit. Ikatan

obat dengan glikoprotein mungkin relatif erat, seperti pada kasus

penisilin, atau longgar, seperti pada kasus kuinidin.(3)

2.2.2. AHAI dengan Antibodi dingin (cold antibody)

2.2.2.1. Penyakit aglutinin dingin

Aglutinin dingin timbul pada dua keadaan klinis :

a. antibodi monoklonal sebagai produk neoplasia limfositik

b. antibodi poliklonal sebagai respon terhadap infeksi.

Pada AHAI tipe dingin ini, autoantibodi melekat pada sel

eritrosit terutama dalam darah tepi dimana suhu darah didinginkan. Ab

biasanya IgM dan berikatan baik dengan eritrosit pada suhu 40C.(5)

4

Page 5: refrat AIHA

Hemolisis biasanya tidak parah dan bermanifestasi sebagai

retikulositosis ringan, aglutinasi pada apusan darah, dan aglutinasi

sewaktu analisis darah dengan analisis partikel (menghasilkan nilai

volume korpuskuler rerata yang tinggi). Derajat hemolisis bergantung

pada beberapa variabel :

a. Titer antibodi

Secara umum, titer pada pasien simtomatik adalah diatas pelawt

serum 1: 20000 dan dapat berkisar hingga setinggi 1 : 50000.

Sewaktu mengumpulkan sampel untuk memeriksa titer, haruslah

dipastikan bahwa serum terpisah dari sel sementara mempertahankan

suhu sampel 37 °C sehingga antibodi tidak terserap kesel darah

pasien sendiri.

b. Amplitudo suhu antibodi (suhu tertinggi yang menyebabkan antibodi

akan bereaksi dengan sel darah merah)

Untuk sebagian besar antibodi, amplitudo ini adalah 25-30 °C.

Antibodi yang memiliki amplitudo termal yang lebih tinggi (sampai

37 °C) akan lebih bersifat hemolitik karena lebih besar

kemungkinannya bahwa suhu ini akan tercapai selama berada

didalam tubuh.

c. Suhu lingkungan

Karena reaksi hanya dapat terjadi pada suhu dibawah suhu tubuh,

frekuensi dan derajat pajanan terhadap suhu dingin merupakan

penentu utama kecepatan hemolisis.(3)

5

Page 6: refrat AIHA

2.2.2.2. Paroxysmal Cold hemoglobinuria (PCH)

Dahulu PCH cukup sering ditemukan saat sifilis tersier masih

prevalen namun sekarang penyakit ini jarang ditemukan. Penyakit ini

timbul akibat terbentuknya antibodi Donath-Landsteiner, antibodi IgG

yang ditujukan pada kepada kompleks antigen P dan dapat menginduksi

lisis yang diperantarai oleh komplemen. Serangan dicetuskan oleh

pajanan dingin dan berkaitan dengan hemoglobinemia dan

hemoglobinuria; menggigil dan demam; nyeri punggung, tungkai, dan

abdomen, nyeri kepala, dan malaise. Pemulihan dari episode akut

berlangsung epat, dan antara episode pasien tidak menunjukkan gejala.

Bila menyertai infeksi virus akut, misalnya campak dan mumps,

sindroma ini bersifat self limited. Diagnosa ditegakkan dengan

membuktikan adanya antibodi Imunoglobulin E uang bereaksi dingin

dengan uji lipid (saat titer sangat tinggi) atau dengan uji antiglobulin

khusus. Walaupun sehat episode makin parah, penyakit ini memiliki

riwayat alami yang berlangsung selama bertahun-tahun.(3)

2.3. GEJALA KLINIS

2.3.1. AHAI panas

Pada AHAI panas, penyakit dapat terjadi di setiap umur dan kedua

jenis kelamin, tampil sebagai anemia hemolitik dengan berat bervariasi.

Limpa sering tidak membesar. Penyakit sering mereda dan kambuh. Ini bisa

terjadi sendiri atau bersamaan dengan penyakit lain seperti SLE, limfoma

6

Page 7: refrat AIHA

atau penyakit autoimun lain, juga ditemukan pada beberapa pasien sebagai

akibat terapi metil dopa.(6)

2.3.2. AHAI dingin

Pasien dapat menderita anemia hemolitik kronis yang diperberat

oleh dingin dan sering bersamaan dengan hemolisis intravaskular dan

sindroma Raynaud. Pasien dapat mengalami problema sirkulasi darah tepi,

misalnya ujung hidung, telinga, jari kaki yang disebabkan aglutinasi sel

darah merah dalam pembuluh darah kecil. Beberapa kasus sekunder adalah

sejenak (transient) khususnya setelah infeksi pneumoni mikoplasma atau

mononukleosis infeksiosa.(6)

2.4. LABORATORIUM

Diagnosa anemia hemolitik autoimun dapat ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan laboratorium, antara lain :

2.4.1. AHAI panas

Hasil pemeriksaan hematologis dan biokimia adalah khas anemia

hemolitik dengan sferositosis menonjol pada darah tepi.(6) DAT (Direct

Antiglobulin Test atau Direct Coombs’ test) positif dengan IgG atau

kombinasi IgG dan C3 pada permukaan sel darah merah.(7) Baik pada

permukaan sel maupun bebas dalam serum, antibodi terbaik dideteksi pada

suhu 37o C.Selain itu juga dapat ditemukan:(8)

a. Anemia

b. Sel darah merah berinti, fragmen sel darah merah, monosit. Hal ini

terutama terjadi pada keadaan yang berat

7

Page 8: refrat AIHA

c. Retikulositosis

d. Netropenia dan trombositopeni

e. Sindrom Evans : koeksistensi penghancuran sel darah merah dan

trombosit secara imunologis

f. BMP : Hiperplasia seri eritropoetik

g. Hiperbilirubinemia

h. Penurunan kadar Haptoglobin, Peningkatan LDH

i. Peningkatan Urobilinogen Urin, terkadang terdapat hemoglobinuria.

2.4.2. AHAI dingin

Ini serupa dengan AHAI panas kecuali sferositosis kurang

menonjol, aglutinat sel darah merah pada dingin, misalnya pada filem

darah yang dibuat pada suhu kamar, dan test Coombs’ langsung (DAT)

memperlihatkan hanya komplemen (C3) pada permukaan sel darah merah,

sedangkan IgG negatif.(7)

Selain itu juga dapat ditemukan :(8)

a. Anemia

b. Titer Ig M > 1/100.000 , ini ditemui pada keadaan kronik

c. Antibodi I, dijumpai pada limfoproliferasi jinak dan infeksi

mikoplasma.

Pada Paroxismal Cold Hemoglobinuria, biasanya ditemukan:

1. Hemoglobunuria

2. Antibodi Donath Lendsteiner.

8

Page 9: refrat AIHA

DAT

AHAI Anti-IgG Anti C3 Aglutinin Dingin

Antibodi reaksi panas

70% + - < 1/256

20% + +

10% - * + lemah

Antibodi reaksi dingin - + 1/512 – 1/10.000

Tabel 1. Gambaran uji DAT

* DAT rutin (Coombs’ Test) tidak dapat mendeteksi pasien AHAI dengan jumlah

molekul IgG yang sedikit per sel darah merah (7)

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.5.1. Tes Coombs direk dan indirek

2.5.1.1. Direk, untuk AHAI dengan antibodi panas

Antibodi panas menunjukan reaktivitas optimum pada suhu 37 C

yang terutama terdiri dari Ig G, kurang mengikat komplemen dan

ditemukan di permukaan sel darah merah dengan tes Coombs

(antiglobulin).

2.5.1.2. Indirek, untuk AHAI dengan antibodi dingin

Antibodi dingin menunjukan reaktivitas pada suhu dibawah 37

C,terutama berupa Ig M, mengikat komplemen dan mengaglutinasikan

sel darah merah tanpa memerlukan antiglobulin (Coombs).

2.5.2. Isotop Cr 51, untuk menentukan masa hidup eritrosit.

9

Page 10: refrat AIHA

2.6. TERAPI

Tidak semua pasien AHAI membutuhkan terapi, hal ini tergantung

dari derajat hemolisis dan tipe hemolitiknya.(10) Pada pasien-pasien dengan

hemolisis ringan tidak dibutuhkan terapi, namun perlu dilakukan pengawasan

terhadap perkembangan penyakitnya. Steroid dan splenektomi umumnya

tidak berguna pada pasien-pasien dengan AHAI tipe cold antigen, kecuali

jika ditemukan penyakit dasarnya seperti limfoma.(7) Kasus kronik tipe cold

antigen kadang memberikan respon yang baik terhadap administrasi

klorambusil atau siklofosfamid dosis rendah.(11) Terapi simtomatis dan

pengobatan terhadap faktor pencetus, khususnya transfusi dan obat-obatan

untuk sifilis, merupakan penanganan utama pada Paroxysmal Cold

Haemoglobinuria (PCH).(11,12) Pada PCH kronik, pasien kadang

memperlihatkan perbaikan terhadap pemberian prednison atau obat

sitotoksik seperti azathioprin dan siklofosfamid, tetapi tidak memberikan

respon terhadap splenektomi.(10) AHAI yang dicetuskan oleh obat seperti

metildopa atau penisilin dosis besar akan remisi dengan sendirinya setelah

pemakaian obat pencetusnya dihentikan. Penatalaksanaan AHAI yang paling

umum dilakukan (terutama untuk tipe warm antigen) adalah pemberian

kortikosteroid, imunosupresif, splenektomi, dan transfusi darah.(6) Algoritme

terapi AHAI diperlihatkan pada gambar 1.

2.6.1. Kortikosteroid

Kortikosteroid sampai sekarang masih dianggap sebagai anti

inflamasi yang paling baik dalam menekan semua bentuk inflamasi respon

10

Page 11: refrat AIHA

imun.(13) Kortikosteroid, seperti prednison, dipercaya sangat bermanfaat

untuk penyakit gangguan imunologis seperti AHAI tipe panas.(14) Efek anti

inflamasi prednison secara langsung terutama melalui inhibisi aktivitas

makrofag dan sel-sel fagosit mononuklear lainnya.(13) Penghambatan sintesa

antibodi merupakan efek lambat dari pemakaian steroid yang berpengaruh

terhadap penekanan respon imun.(10)

Pada pasien dengan hemolisis yang nyata secara klinis, biasanya

diberikan prednison 1-2 mg/kg berat badan/hari, atau sekitar 40-120

mg/hari untuk mengontrol hemolisis. Dalam 4 hari hingga 1 minggu akan

didapatkan peningkatan kadar hemoglobin.(10) Kemajuan terapi dinilai dari

tampilan klinis, kadar hemoglobin, dan hitung retikulosit.(11) Setelah kadar

hemoglobin mencapai normal, dilakukan tapering off (penurunan dosis)

secara perlahan hingga penghentian terapi sepenuhnya dalam beberapa

bulan. Lebih kurang 75% pasien mengalami perbaikan yang nyata dengan

pemberian steroid. Pada terapi ini diperlukan pengawasan karena AHAI

cenderung kambuh pada masa tapering off atau setelah terapi dihentikan.(10)

Efek samping dari pemakaian steroid dalam waktu lama, seperti

melemahnya tulang dan jaringan ikat, penekanan aksis hipotalamus-

pituitari-adrenal, gangguan penyembuhan luka, serta meningkatnya

kerentanan terhadap infeksi, menyebabkan steroid tidak dianjurkan untuk

pemakaian jangka panjang.(13) Jika steroid menjadi satu-satunya pilihan

terapi, karena obat-obat lainnya tidak efektif, disarankan untuk memberikan

steroid dengan jeda hari.(10)

11

Page 12: refrat AIHA

2.6.2. Splenektomi

Splenektomi menjadi terapi lini kedua pada pasien-pasien yang

tidak responsif terhadap steroid, atau membutuhkan dosis maksimal steroid

untuk mengontrol hemolisis, atau pada pasien-pasien yang intoleran

terhadap steroid.(10) Splenektomi juga menjadi pilihan terapi jika hemolisis

tidak berkurang setelah administrasi steroid 2-3 bulan. Lebih kurang 60%

pasien memberikan respon yang baik terhadap prosedur ini, walaupun

hemolisis bisa kambuh setelah splenektomi, sehingga harus diberikan

steroid dengan atau tanpa obat imunosupresif.(13)

Konfirmasi peran limpa sebagai tempat destruksi dominan

dilakukan melalui pemeriksaan uptake Cr51, dengan demikian dapat

digunakan untuk meramal manfaat splenektomi.(6) Pada 75% pasien AHAI,

limpa merupakan tempat destruksi yang dominan, sementara 25% lainnya

didominasi oleh hepar.(11)

2.6.3. Imunosupresif

Azathioprin, siklofosfamid, dan siklosporin adalah obat-obat

imunosupresif dan sitotoksik yang lazim dipakai untuk penyakit autoimun.

(13) Imunosupresif ini dipakai pada pasien-pasien yang tidak mengalami

perbaikan dengan steroid maupun splenektomi.(12) Terapi ini cukup efektif

pada 50% kasus AHAI resisten steroid.(10) Secara umum, obat sitostatik

bekerja dengan cara membunuh sel-sel yang terlibat dalam pembentukan

antigen-antibodi yang berperan dalam terjadinya penyakit autoimun.

Azathioprin dan siklofosfamid bekerja melalui penekanan sistem imun

12

Page 13: refrat AIHA

humoral, tapi juga bisa mempengaruhi imunitas seluler. Siklosporin

merupakan obat sitostatik yang spesifik menekan aktivitas imunitas

humoral, melalui penghambatan sekresi limfokin pada sel T helper secara

selektif tanpa mempengaruhi aktivitas sel B, makrofag, dan mononuklear

lainnya.(13)

Regimen yang biasa diberikan yaitu azathioprin oral 1-1,5mg/kg

berat badan/hari selama 3 bulan, atau siklofosfamid dosis rendah

1-1,5mg/kg berat badan/hari.(11) Biasanya pemakaian sitostatik ini

dikombinasikan dengan steroid dalam penanganan AHAI. Keuntungan

pemakaian sitotoksik, terutama siklosporin, adalah adanya efek steroid-

sparring effect. Dengan adanya siklosporin, dibutuhkan dosis prednison

yang lebih rendah untuk mencapai efek imunosupresif yang diharapkan,

dengan demikian bisa mengurangi timbulnya efek samping.(14) Efek

samping dari obat sitotoksik adalah: (13)

a. menghambat semua bentuk respon imun, sehingga meningkatkan

kerentanan terhadap infeksi

b. membunuh semua sel-sel yang berproliferasi cepat, termasuk sel-sel

komponen darah yang diproduksi di sumsum tulang

c. Administrasi lama dari sitotoksik sering dikaitkan dengan

meningkatnya insiden limfoma.

Efek samping utama dari siklosporin adalah nefrotoksik, mengarah

kepada terjadinya gagal ginjal dan hipertensi, sementara obat ini tidak

mempengaruhi aktivitas sumsum tulang.(11)

13

Page 14: refrat AIHA

2.6.4. Transfusi darah

Merupakan terapi yang diperlukan pada anemia berat yang

mengancam jiwa.(10) Namun transfusi sebaiknya dihindari karena antibodi

panagglutinin pasien AHAI bereaksi terhadap semua sel donor normal,

akibatnya sel-sel transfusi dihancurkan dengan cepat. Diperlukan

pemeriksaan serologis seksama terhadap reaksi aloantibodi pada darah

donor untuk meminimalkan reaksi transfusi.(11) Administrasi transfusi

diberikan secara lambat dengan pengawasan ketat terhadap tanda timbulnya

reaksi hemolisis transfusi tipe cepat.(10)

14

Gambar 1. Algoritme terapi anemia hemolitik autoimun (10)

observasi 2-3 minggu

berat

sedang

ringan Penilaian berat ringan hemolisis

Prednison60mg/hari

PrednisonIVIg

Splenektomiawasi

Prednison60mg/hari

Respon negatif Respon positif

Turunkan dengan cepat hingga 20mg/hari

splenektomi

Turunkan perlahan hingga 5-10mg/hari

Hentikan setelah gejala klinis hilang

Respon negatif

Kemoterapi :Siklofosfamid

100mg/hari Azathiaprine

150mg/hari

Page 15: refrat AIHA

2.7. PROGNOSA(8,15)

2.7.1. AHAI dengan antibodi panas (AIHA Warm Antibody)

Perjalanan penyakit bervariasi mengalami remisi dan relaps.

Idiopatik AHAI Warm Antibody memiliki survival rate 10 thn sekitar

73%.Mortalitas mencapai 46%. Sekunder AHAI Warm Antibody

prognosanya tergantung kepada penyakit dasarnya.

2.7.2. AHAI dengan antibodi dingin(AIHA Cold Antibody)

Pada yang idiopatik prognosis relatif baik dapat bertahan

hidup sampai beberapa tahun. Pada post infeksi biasanya self limited

penyembuhan terjadi dalam beberapa minggu. Pada Paroxismal Cold

Hemoglobinuria post infeksi mengalami penyembuhan spontan dalam

beberapa hari sampai beberapa minggu.

15

Page 16: refrat AIHA

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

a. Penyakit AHAI diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu AHAI tipe

panas dan AHAI tipe dingin

b. AHAI tipe panas memiliki insiden 1/10000 penduduk.

c. AHAI tipe panas sering muncul bersamaan dengan SLE, limfoma, atau

penyakit autoimun lainnya.

d. AHAI tipe dingin muncul bersamaan dengan hemolisis intravaskuler dan

sindroma Raynaud.

e. Diagnosis AHAI ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium yaitu

pemeriksaan hematologis dan biokimia.

f. Terapi AHAI tergantung dari derajat hemolisis dan tipe hemolitik

g. Penatalaksanaan yang paling umum dilakukan adalah pemberian

kortikosteroid, imunosupresif, splenektomi, dan tranfusi darah.

h. Prognosa AHAI tipe dingin lebih baik dibanding AHAI tipe panas.

3.2. SARAN

AHAI tipe panas memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi (43%), untuk

itu diperluka diagnosis dan penatalaksanaan yang lebih dini.

16

Page 17: refrat AIHA

DAFTAR PUSTAKA

1. Robins et al, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. EGC. Jakarta,

1996.

2. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Buku FKUI. Jakarta,

1998.

3. Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih bahasa

Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.

4. Jay H. Steinn, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III. EGC. Jakarta,

2001

5. Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 1996

6. Holfbrand, A.V. , Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan,

Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta, 1996

7. Hillman, Robert S. Dan Ault, Kenneth A. , Hematology in Clinical Practice

a Guide to Diagnosis and Management ed3, McGraw – Hill Medical

Publishing Division, USA, 2000

8. Marshall A Lichtman et al, Manual of Hematology 6th ed. Mc Graw- Hill

Medical Publishing Division. USA, 2003

9. Iman Supandiman. Hematologi Klinik. Penerbit PT Alumni. Bandung,1997.

10. Bunn HF, Rosse W.Hemolytic Anemias and Acute Blood Loss. Dalam:

Harrison’s Principles of Internal Medicine, 15th ed. McGraw-Hill Book

Company, NY, 2001.

17

Page 18: refrat AIHA

11. Stites DP, Terr HI, Parslow TG. Basic and Clinical Immunology, 8th ed.

Appleton and Lange, Connecticut, 1991.

12. Bellanti JA. Immunology III. WB Saunders Company, Philadelphia, 1985.

Wahab AS, penerjemah. Imunologi III. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 1993.

13. Janeway CA, Travers P. Immunobiology: The Immune System in Health and

Disease. Current Biology Ltd/Garland Publishing Inc, New York, 1994.

14. Virella G, Goust JM, Fudenberg HH, Galbraith RM. Introduction to Medical

Immunology. Marcell Decker Inc, New York, 1986.

15. Iman Supandiman dkk, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi

Medik. Q Communication. Bandung, 2003

18