referat jiwa
-
Upload
meiriyan-susanto -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of referat jiwa
CASE REPORT
GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
Oleh:
Febriy Firizki 0618011057
Kurnia Putra Wardhana 1018011070
Meiriyan Susanto 1018011073
Pembimbing:
dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp. KJ, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
case report ini. Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang tulus
kepada dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp. KJ, M.Kes selaku pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan case report ini,
baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin
meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik
dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan, guna untuk kesempurnaan case
report ini.
Bandar Lampung, Oktober 2015
Penulis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang
ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan
gejala gangguan afektif. Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui,
tetapi empat model konseptual telah diajukan, antara lain:
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau
suatu tipe gangguan mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama
dari skizofrenia dan gangguan mood
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga
yang berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia
maupun suatu gangguan mood
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah
kelompok gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga
kemungkinan yang pertama (Sadock,dkk., 2003).
B. Epidimiologi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang
dari 1 persen, kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Namun,
angka tersebut adalah angka perkiraan, karena di dalam praktik klinis
diagnosis gangguan skizoafektif sering kali digunakan jika klinisi tidak
yakin akan diagnosis. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih rendah
pada laki-laki dibandingkan para wanita; khususnya wanita yang menikah;
usia onset untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki
seperti juga pada skizofrenia. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif
kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial dan memiliki pendataran
atau ketidaksesuaian afek yang nyata.
C. Patofisiologi
Pada prinsipnya patofisiologi dari skizoafektif sama dengan
skizofrenia yaitu dimana mungkin melibatkan ketidakseimbangan
neurotransmiter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamine
(Sadock dkk, 2003). Namun, proses patofisiologi gangguan skizoafektif
masih belum diketahui secara pasti. Penelitian yang mempelajari fungsi
neurotransmitter pada penderita gangguan skizoafektif sangatlah sedikit,
dan kebanyakan menggunakan sampel dari cairan serebrospinal atau
plasma. Telah dilaporkan pola abnormalitas neurotransmiter yang serupa
antara penderita gangguan skizoafektif, skizofrenia, dan gangguan bipolar.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar norepinefrin,
prostaglandin E1 dan platelet 5HT pada pasien skizofrenia dan
skizoafektif (Abrams, dkk, 2008).
Secara umum, penelitian-penelitian telah menemukan bahwa
gangguan skizoafektif dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama
bagian temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk
substansia alba dan grisea. Dari sejumlah peneltian ini, daerah otak yang
secara konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hippocampus dan
parahipocampus (Abrams, dkk, 2008). Pada penelitian neuroimaging
pasien dengan gangguan skizoafektif, ditemukan penurunan volume
thalamus dan deformitas thalamus yang serupa dengan pasien skizofrenia,
tetapi abnormalitas pada nucleus ventrolateral penderita gangguan
skizoafektif tidak separah penderita skizofrenia. Penderita skizoafektif
juga menunjukkan deformitas pada area thalamus medius, yang
berhubungan dengan sirkuit mood (Smith, dkk, 2011).
Gambar 1. Permukaan thalamus penderita skizofrenia (SCZ), skizoafektif,
dan kelompok kontrol
Penelitian genetik penderita gangguan skizoafektif cenderung
menunjukkan adanya gangguan afek dan skizofrenia pada sanak saudara
penderita (Trimble dan George, 2010). Hodgkinson dkk (2004)
melaporkan bahwa penderita gangguan skizoafektif memiliki gangguan
pada kromosom lq42, yaitu abnormalitas pada DISC 1 (Disrupted-In-
Schizophrenia-1). DISC 1 berfungsi dalam perkembangan neuron dan
diekspresikan pada lobus frontal. Abnormalitas pada gen ini juga
menyebabkan disfungsi pada regulasi emosi dan proses informasi
(Ishizuka, dkk, 2006).
D. Pedoman Diagnostik
Menurut PPDGJ-III
1. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol
pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah
yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana,
sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria
baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala
skizofrenia dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang
berbeda.
3. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (depresi
pasca-skizofrenia).
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik
berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F 25.1) atau campuran dari
keduanya (F 25.5). Pasien lain mengalami satu atau dua episode
skizoafektif terselip diantara episode manik atau depresif (F30-33)
(Maslim, 2002).
E. Klasifikasi
1. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)
Pedoman diagnostik:
a. Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik
yang tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian
besar episode skizoafektif tipe manik
b. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek
yang tak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau
kegelisahan yang memuncak.
c. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih
baik lagi dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan
untuk skizofrenia)
2. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif (F25.1)
Pedoman diagnostik:
a. Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe
depresif yang tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana
sebagian besar episode didominasi oleh skizoafektif tipe depresif
b. Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala
khas, baik depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti
tercantum dalam uraian untuk episode depresif (F.32)
c. Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan
sebaiknya ada dua gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan
dalam pedoman diagnosis skizofrenia (F.20).
3. Gangguan skizoafektif tipe campuran (F25.2)
Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia berada secara bersama-sama
dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (F31.6)
4. Gangguan skizoafektif lainnya (F25.8)
5. Gangguan skizoafektif YTT (F25.9)
(Maslim, 2002).
F. Penatalaksanaan
Penanganan pasien gangguan skizoafektif meliputi :
1. Farmakoterapi
Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan
skizoafektif adalah dengan pemberian antipsikotik disertai dengan
pemberian antimanik atau antidepresan. Pemberian obat antipsikotik
diberikan jika perlu dan untuk pengendalian jangka pendek.
a. Gejala manik : lithium carbonate, carbamazepine (tegretol),
valproate (Depakene), ataupun kombinasi dari obat anti mania jika
satu obat saja tidak efektif.
b. Gejala depresi : antidepresan
Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan
percobaan anti depresan dan terapi elektrokonvulsan (ECT) sebelum
mereka diputuskan tidak responsif terhadap terapi anti depresan.
c. Gejala bipolar : antipsikotik harus mendapatkan percobaan lithium,
carbamazepine (Tegretol), valporate (Depakene), atau suatu
kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif
(Sadock, dkk., 2003).
2. Psikoterapi
a. Psikoterapi suportif
Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta
terapi kelompok
b. Psikoterapi reedukatif
1) Terhadap Pasien :
a) Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai
penyakit yang dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-
faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan
risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat dan
segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di kemudian
hari
b) Memotivasi pasien untuk berobat teratur
c) Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah
ataupun akan marah sehingga diharapkan pasien dapat
mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya
dengan cara yang lebih halus.
2) Terhadap Keluarga :
a) Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit
pasien, gejala, faktor- faktor pemicu, pengobatan,
komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian
hari.
b) Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu
penyakit pasien saat ini adalah keluarga pasien yang
mengabaikan pasien
c) Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat
setelah sakit agar pasien dapat mengalami remisi.
G. Prognosis
Prognosis buruk pada pasien dengan gangguan skizoafektif
umumnya dikaitkan dengan sejarah premorbid yang buruk, onset yang
tidak diketahui, tidak ada faktor pencetus, psikosis yang dominan, gejala
negatif, onset awal, kekambuhan yang tak henti-hentinya, atau mereka
yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia (Brannon, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, DB. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct clinical condition?. Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, 4(6) 1089–1109
Andri. 2009. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita Usia Lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia 59 (9): 444-449.
APA Clinical Guidelines. American Psychiatric Association. 2004. Practice Guidelines for the treatment of patients with schizophrenia.
Brannon GE, MD. 2012. Schizoaffective Disorder. http://emedicine.medscape.com/article/294763-overview#aw2aab6b2b5aa
Buchanan RW, Carpenter TW. 2005. Schizophrenia: Introduction and overview. Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.). Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, Inc.
Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific Grove, CA: Wadsworth
Hodgkinson CA, Goldman D, Jaeger J, et al. 2004. Disrupted in schizophrenia 1 (DISC1): association with schizophrenia, schizoaffective disorder, and bipolar disorder. Am J Hum Genet, 75:862–72.
Ishizuka K, Paek M, Kamiya A, et al. 2006. A review of Disrupted-In-Schizophrenia-1 (DISC1): neurodevelopment, cognition, and mental conditions. Biol Psychiatry, 59:1189–97.
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetakan ketujuh. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG. 2011. Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatr Res. 45(3): 378–385.
Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell.
Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama