Referat Informed Consent
-
Upload
vina-subaidi -
Category
Documents
-
view
344 -
download
11
Transcript of Referat Informed Consent
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Belakangan ini masalah dalam dunia medis di Indonesia sedang disoroti
oleh masyarakat luas. Maraknya kasus ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelayanan medis sudah mulai sering terlihat di media massa. Kedatangan pasien
kepada dokter memiliki arti bahwa pasien telah memberi kepercayaan kepada
dokter untuk melakukan tindakan terhadap dirinya. Hubungan dokter dengan
pasien ketika pasien datang ke dokter disebut hubungan terapeutik. Hubungan
yang dimaksud ini adalah hubungan yang menyebabkan perikatan antara kedua
belah pihak. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain sedangkan
pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu (Hanafiah dan Amir, 1999).
Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna
apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan, sehingga ia
dapat mengambil keputusan yang tepat. Informasi tersebut diperoleh dari dokter
pada saat pengisian informed consent. Dokter harus menyadari bahwa informed
consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of
Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti
tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori
terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
2
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan
harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien (NN, 2006).
Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban
untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis
banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan harapan.
Dokter seharusnya tidak mengurangi materi informasi atau memaksa pasien
untuk segera memberi keputusan. Informasi yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan pasien. Kenyataannya masih banyak dokter yang tidak memberikan
informasi secara lengkap yang merupakan kewajiban dokter seperti yang
disebutkan di atas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Theresia Sally mengenai
“Analisis ketidaklengkapan pengisian berkas rekam medis rawat inap non
psikiatri bulan April di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor tahun 2008”
menunjukan hasil yaitu identitas pasien 0%, resume medis 26%, resume
keperawatan 60%, surat persetujuan rawat inap 0%, ringkasan masuk dan keluar
29%, riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik awal 24%, nama dan tanda tangan
dokter yang merawat 60%, tanggal masuk dan keluar serta waktu 31%.
Sedangkan berdasarkan dokter spesialis yang merawat ditemukan angka
ketidaklengkapannya sebagai berikut: identitas pasien 11%, resume medis 32%,
resume keperawatan 68%, surat persetujuan rawat inap 4%, ringkasan masuk dan
keluar 38%, riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik awal 17%, nama dan tanda
tangan dokter yang merawat 58%, tanggal masuk dan keluar serta waktu 24%
(Sally, 2008).
3
B. TUJUAN
Referat ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kelengkapan pengisian
berkas rekam medis pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada bulan
Oktober 2009.
C. MANFAAT
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperoleh informasi
mengenai kelengkapan pengisian informed consent yang ada di IGD RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada bulan Oktober 2009.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI INFORMED CONSENT
“Informed consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang
berarti persetujuan atau memberi izin. Consent dibagi menjadi 2 yaitu expressed
yang berarti dapat secara lisan atau tulisan, implied yang berarti yang dianggap
telah diberikan. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
“informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap dirinya serta risiko yang berkaitan dengannya. (Wandy,
2007; Samil, 2001)
Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya
tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam
bentuk lisan maupun tertulis. Persetujuan yang paling sederhana adalah
persetujuan secara lisan, misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan
yang lebih kompleks yang lebih berisiko yang kadang tidak dapat diperhitungkan
dari awal dan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau kecacatan
permanen, memperoleh persetujuan yang tertulis supaya suatu saat apabila
diperlukan persetujuan itu dapat digunakan sebagai bukti. Pada hakikatnya
Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien
5
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
(ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun
sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed consent secara
tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip
rekam medis pasien (Yahya, 2007)
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI
No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran serta Manual Persetujuan
Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Gitahafas, 2009;
Permenkes, 2008)
Paragraf 2 Pasal 45 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran berisi lebih khusus mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau
Kedokteran Gigi. Adapun isi Pasal 45 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran adalah
Pasal 45
(1).Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
6
(3).Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(4).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5).Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
(6).Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
B. JENIS INFORMED CONSENT
Jenis informed consent secara garis besar dibagi menjadi :
1. Dinyatakan
a. Lisan
b. Tertulis
7
2. Tidak dinyatakan
a. Tindakan pasien
b. Aturan hukum pada situasi tertentu (pada keadaan kegawat daruratan)
Jenis-jenis persetujuan :
1. Ijin langsung (express consent) : pasien atau wali segera menyetujui usulan
pengobatan yang ditawarkan dokter atau pihak RS (lisan atau tertulis).
2. Ijin secara tidak langsung (implied consent) : tindakan pengobatan dilakukan
dalam keadaan darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
3. Persetujuan khusus (informed consent) : pasien wajib mencantumkan
pernyataan bahwa kepadanya telah diberikan penjelasan suatu informasi
terhadap apa yang akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien. Pada
informed consent, pasien sendiri yang harus menandatangani persetujuan
kecuali pasien tersebut tidak mampu atau mempengaruhi fungsi seksual dan
reproduksi.
C. FUNGSI INFORMED CONSENT
Perlunya meminta informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
8
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan (Wandy, 2007)
D. INFORMASI YANG WAJIB DIBERIKAN DALAM INFORMED
CONSENT
1. Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran.
Penjelasan mengenai diagnosis dapat meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka
sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya
tindakan kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.
2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan.
Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan
sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.
9
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya.
a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing
alternatif tindakan.
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan
darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga
lainnya.
4. Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua
risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang
dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Penjelasan tentang prognosis meliputi :
a. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
6. Perkiraan pembiayaan (PerMenKes, 2008)
10
E. KETENTUAN INFORMED CONSENT
Ketentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES
290 Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang
dimaksud adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-sudara kandung atau pengampunya.
Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus
mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena
penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat
memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh
dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah
memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan
harus mengambil otoritas terhadap pasien. Dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau
kepada keluarga terdekat.
Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri, yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
11
Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada
pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent (Afsarara, 2009;
PerMenKes, 2008)
F. ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
1. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai
“obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang
sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
maupun oleh dua pihak.
2. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan
hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu
dapat diterapkan.
12
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata,
tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga
jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien,
maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang
dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya
kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat
dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
3. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana
jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna
jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh
dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan
medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
4. Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa
adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat
13
dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya
hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini
sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit
untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini (Wandy, 2007)
G. HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini
diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :
14
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
15
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
H. HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini
diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban;
16
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
17
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Pengambilan Sampel Penelitian
Tugas referat ini dilakukan selama 4 hari, yaitu tanggal 12,13,14, dan
16 November 2009 di Bagian Rekam Medis RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. informed consent yang dilakukan penelitian, diambil
dari berkas rekam medis kunjungan pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto pada bulan Oktober
2009. Jumlah pengunjung IGD periode Oktober 2009 adalah 1549 pasien.
Dalam pembuatan tugas ini, kami mengambil 24,4% data rekam medis IGD
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, yaitu sejumlah 378 buah
rekam medis.
Dalam melaksanakan tugas ini, digunakan kuesioner (terlampir)
berupa checklist kelengkapan pengisian informed consent untuk tiap informed
consent yang diteliti. Kuesioner disesuaikan dengan informed consent yang
berlaku di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Teknik pengambilan sampel informed consent yang akan di uji adalah
dengan Purposive Random Sampling, dimana dalam hal ini diambil nomor
genap dari catatan kunjungan pasien di IGD RSMS pada bulan Oktober 2009.
18
2. Hasil Penelitian
Dari penelitian yang kami lakukan, diketahui bahwa persentase rata-
rata pengisian informed consent hanya sebesar 47,61% dari total sampel
Informed consent. Dengan rincian persentase tiap hal tercantum dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Persentase Pengisian Inform Consent
No Hal Yang dinilai
Persentase Pengisian
Diisi TidakDiisi
PEMBERIAN INFORMASI1 Dokter Pelaksana Tindakan 8,47% 91,53%2 Pemberi Informasi 10,85% 89,15%3 Penerima Informasi/Pemberi Perrsetujuan 0,79% 99,21%
JENIS INFORMASI4 Diagnosis (DK Dan DD) 38,10% 61,9%5 Dasar Diagnosis 15,87% 84,13%6 Tindakan Kedokteran 17,20% 82,8%7 Indikasi Tindakan 6,61% 93,39%8 Tata Cara 3,44% 96,56%9 Tujuan 2,65% 97,35%10 Risiko 2,91% 97,09%11 Komplikasi 2,12% 97,88%12 Prognosis 11,38% 88,62%13 Alternative Dan Risiko 0,26% 99,74%14 Lain-Lain 0,00% 100%
PERNYATAAN TELAH MEMBERI DAN MENERIMA INFORMASI
15 Tanda Tangan Dokter Pemberi Informasi 84,39% 15,61%16 Nama Terang Dokter Pemberi Informasi 78,04% 21,96%
19
17 Tanda Tangan Penerima Informasi 92,59% 7,41%18 Nama Terang Penerima Informasi 39,42% 60,58%
PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN19 Nama 94,97% 5,03%20 Umur 89,68% 10,32%21 Jenis Kelamin 91,53% 8,47%22 Alamat 84,13% 15,87%23 Jenis Tindakan 90,48% 9,52%24 Hubungan Terhadap Pasien 77,25% 22,75%25 Nama 79,37% 20,63%26 Umur 71,69% 28,31%27 Jenis Kelamin 70,37% 29,63%28 Alamat 65,87% 34,13%
PENUTUP29 Kota 79,37% 20,63%30 Tanggal 87,57% 12,43%31 Waktu 42,86% 57,14%32 Tanda Tangan Saksi 1 82,54% 17,46%33 Nama Terang Saksi 1 34,92% 65,08%34 Tanda Tangan Saksi 2 79,37% 20,63%35 Nama Terang Saksi 2 29,37% 70,63%
Rata-Rata 47,61% 52,39%
Kami juga melakukan penilaian persentase pengisian informed consent
dari tiap dokter selama bulan Oktober 2009. Dalam hal ini, dilakukan penilaian
persentase nilai pengisian terendah, tertinggi, dan rata-rata dari informed consent
yang diisi. Hasilnya tercantum dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Persentase Nilai Terendah, Tertinggi, dan Rata-Rata Pengisian Inform Consent Tiap Dokter
No Nama DokterPersentase Pengisian
Terendah Tertinggi Rata-Rata1 dr. A 8,57% 57,14% 42,22%2 dr. B 0,00% 71,43% 43,45%
20
3 dr. C 48,57% 82,86% 65,24%4 dr. D 25,71% 57,14% 44,10%5 dr. E 31,43% 65,71% 52,95%6 dr. F 54,29% 54,29% 54,29%7 dr. G 14,29% 57,14% 41,59%8 dr. H 37,14% 37,14% 37,14%9 dr. I 42,86% 62,86% 51,02%10 dr. J 14,29% 65,71% 45,40%11 dr. K 20,00% 65,71% 47,10%12 dr. L 11,43% 65,71% 45,97%13 dr. M 40,00% 42,86% 41,90%14 dr. N 42,86% 60,00% 54,29%15 dr. O 14,29% 60,00% 43,52%16 dr. P 51,43% 54,29% 52,86%17 dr. Q 51,43% 57,14% 54,29%18 dr. R 42,86% 51,43% 47,62%19 dr. S 34,29% 51,43% 44,68%20 dr. T 28,57% 62,86% 44,44%21 dr. U 77,14% 77,14% 77,14%22 dr. V 42,86% 45,71% 44,76%23 dr. W 25,71% 74,29% 60,95%24 dr. X 42,86% 60,00% 51,05%25 dr. Y 37,14% 45,71% 41,71%26 dr. Z 25,71% 25,71% 25,71%27 dr. AA 62,86% 62,86% 62,86%28 dr. AB 28,57% 68,57% 47,86%29 dr. AC 68,57% 68,57% 68,57%30 dr. AD 57,14% 60,00% 58.57%31 Tidak Tercantum Nama
Dokter Pada Inform Consent
0,00% 74,29% 42,03%
B. PEMBAHASAN
Persentase rata-rata pengisian inform consent hanya sebesar 47,61% dari
total sampel Informed consent. Dalam Pasal 45 UU RI No.29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi yang
selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu :
21
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (Sampurna et al., 2006)
Dalam penelitian ini kita dapat melihat hasil bahwa diagnosis terisi
38,10%, tata cara 3,44%, tujuan 2,65%, alternative dan risiko 0,26%, risiko
2,91%, komplikasi 2,12%, dan prognosis 11,38% dari seluruh sampel yang kami
teliti. Dalam hal ini, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengisian lembar inform
consent di IGD RSMS belum dapat memenuhi batasan minimal informasi yang
selayaknya diberikan kepada pasien seperti yang diamanatkan dalam Pasal 45
UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Kurangnya presentase pengisian lembar informed consent mempunyai
berbagai faktor yang mempengaruhi, mulai dari banyaknya pasien di IGD,
kurangnya jumlah dokter jaga IGD dan kurangnya kesadaran dari para dokter
untuk mengisi lembar informed consent. Secara tidak langsung, rendahnya
presentase pengisian lembar informed consent menandakan bahwa belum ada
suatu proses yang menunjukkan komunikasi efektif antara dokter dengan pasien
dan bertemunya pemikiran tentang tindakan yang akan dan yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien.
Kurangnya pengisian lembar informed consent sendiri mempunyai
dampak yang buruk, terutama bagi dokter dan suatu instansi. Hal ini bisa
22
dijadikan oleh pasien sebagai bukti kuat, apabila terjadi pelayanan ataupun
tindakan yang merugikan dan menimbulkan kecacatan bagi pasien. Bagi dokter
sendiri, lengkapnya pengisian informed consent belum tentu bisa juga melindungi
dari tuntutan pasien yang dirugikan atas tindakan medis yang dilakukan dokter.
Sedangkan bagi suatu instansi, kerugian yang didapatkan bisa bermacam-macam,
mulai dari penurunan nilai akreditasi hingga pencabutan izin pelayanan kerja.
Sampai sekarang belum ada tindakan tegas berupa sanksi terhadap
kurangnya pengisian informed consent. Sedangkan dalam hukum kedokteran
sendiri tidak dijabarkan hukuman yang jelas bagi dokter ataupun tenaga medis
lain dalam proses kurangnya pengisian lembar informed consent. Hal ini cukup
disayangkan, karena informed consent sendiri adalah suatu hal yang penting untuk
pasien maupun dokter.
Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan penelitian yang berpengaruh
terhadap hasil penelitian, diantaranya adalah tidak sebandingnya antara jumlah
sampel penilaian informed consent antara dokter satu dengan dokter lain, karena
untuk bisa membandingkan kinerja pengisian informed consent para dokter,
jumlah sampel penilaian informed consent antara dokter satu dengan yang lain
harus sama.
23
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Persentase rata-rata pengisian informed consent adalah sebesar 47,61% dari
total 378 sampel yang diteliti.
2. Presentase nilai pengisian informed consent tertinggi adalah sebesar 82,86%,
sedangkan untuk presentase terendah adalah sebesar 0,00%.
3. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga
terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan
berdasarkan KUHP Pasal 351.
B. SARAN
1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menyamakan besar sampel antara dokter
satu dengan dokter lain.
2. Pada lembar informed consent, bagian nama terang penerima informasi tidak
perlu dituliskan “Nama Terang”, sebaiknya berupa titik-titik atau kolom
kosong.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, “Consent Form for Publication in a PLoS Journal,”
http://journals.plos.org/plos_consent_form.pdf, diakses 15 November 2009
2. Anonim, “Informed Consent”
http://www.freewebs.com/informedconsent_a1informedconsent.htm, diakses 15
November 2009.
3. Anonim, “Informed Consent di Indonesia” http://www.informed-consent-
t143.htm, diakses 15 November 2009
4. Anonim, “Informed Consent” http://www.inform-consent.html diakses 15
November 2009
5. Anonim, “Surat Persetujuan Tindakan Medis” http://www.pfizer.com, diakses 15
November 2009
6. Hanafiah, M Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta.
EGC : 66-71
7. Howard, B., Dickler, MD., David, K., Susan, E., Bernard, S., et all. “Universal
Use of Short and Readable Informed Consent Documents: How Do We Get
There? Association of American Medical Colleges.”
http://www.aamc.org/research/clinicalresearch/hdickler-mtgsumrpt53007.pdf,
diakses 15 November 2009
25
8. Samil, Ratna Suprapti. 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo : 45-8
Lampiran 1
CHECK LIST KELENGKAPAN PEMBERIAN INFORMASI
No Hal yang dinilai Ya TidakA PEMBERIAN INFORMASI1. Dokter pelaksana tindakan2. Pemberi informasi3. Penerima informasiB JENIS INFORMASI1. Diagnosis (DK dan DD)2. Dasar diagnosis3. Tindakan kedokteran4. Indikasi tindakan5. Tata cara6. Tujuan7. Risiko8. Komplikasi9. Prognosis10. Alternative dan risiko11. Lain-lainC TANDA TANGAN1. Tanda tangan dari pemberi informasi2. Nama terang dokter3. Tanda tangan penerima informasi4. Nama terang penerima informasiD PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN1. Nama yang memberi persetujuan2. Umur yang memberi persetujuan3. Jenis kelamin yang memberi persetujuan4. Alamat yang memberi persetujuan5. Jenis tindakan6. Hubungan pemberi persetujuan dengan pasien7. Nama pasien yang mendapat tindakan8. Umur pasien yang mendapat tindakan9. Jenis kelamin pasien yang mendapat tindakan
26
10. Alamat pasien yang mendapat tindakanE KETERANGAN1. Kota 2. Tanggal3. Jam 4. Tanda tangan saksi I5. Nama terang saksi I6. Tanda tangan saksi II7. Nama terang saksi II