Referat Asma
-
Upload
syamsul-arifin -
Category
Documents
-
view
23 -
download
7
Transcript of Referat Asma
Paru - Asma Bronkial
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya
reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan
timbulnya penyempitan luas saluran nafas bagian bawah yang dapat
berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan.
Asma merupakan penyebab utama penyakit kronis pada masa
kanak-kanak, menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang berarti,
karena penyakit kronis. Asma merupakan diagnosis masuk yang paling
sering di rumah sakit anak dan berakibat kehilangan 5-7 hari sekolah
secara nasional/tahun/anak. Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10%
anak wanita dapat menderita asma pada suatu saat selama masa kanak-
kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang lebih banyak
terkena daripada anak wanita; setelah itu insidens menurut jenis kelamin
sama. Asma dapat menyebabkan gangguan psikososial pada keluarga.
Namun dengan pengobatan yang tepat, pengendalian gejala yang
memuaskan hampir selalu dimungkinkan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Patofisiologi Asma ?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menjelaskan Patofisiologi Asma
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menjelaskan Anatomi Paru – paru
2. Menjelaskan Fisiologi Pernapasan
3. Menjelaskan Patofisiologi Asma
1.4. Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dokter umum mengenai Penyakit Asma
- 1 -
Paru - Asma Bronkial
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Paru dan Fisiologi Pernapasan
Gambar 2.1. Sistem Respirasi
Paru-paru memiliki luas area permukaan kurang lebih 40m2 untuk
pertukaran udara. Setiap paru memiliki :
- Apeks yang mencapai ujung sternum costa-1
- Permukaan kostovertebral yang melapisi dinding dada
- Basis yang terletak di atas diafragmadan permukaan mediastinum yang
menempel dan membentuk struktur mediastinum di sebelahnya.
2.1.1. Struktur Paru
Paru kanan terdiri atas tiga lobus, yaitu lobus atas, lobus tengah
dan lobus bawah yang terbagi oleh fisura oblikus dan horizontal. Paru kiri
hanya terdiri dari dua lobus, yaitu lobus atas dan lobus bawah karena
hanya memiliki fisura oblikus.
2.1.2. Sistem Perdarahan
Bronkus dan jaringan parenkim paru mendapat aliran darah darah
dari a. Bronkialis yang merupakan cabang – cabang dari aorta torakalis
descenden. V. bronkialis yang juga berhubungan dengan v. pulmonalis,
mengalirkan darah ke v. azigos dan v. hemizigos. Alveoli mendapat darah
deoksigenasi dari cabang-cabang terminal a. Pulmonalis dan darah yang
- 2 -
Paru - Asma Bronkial
teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang v. pulmonalis. Dua
v. pulmonalis mengalir darah kembali ke tiap paru ke atrium kiri jantung.
2.1.3. Sistem Limfatik
Limfe mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar
getah bening trakeo-bronkial hilar lalu menuju trunkus limfatikus
mediastinal.
2.1.4. Persarafan
Pleksus pulmonalis terletak pada setiap apex paru. Pleksus terdiri
dari serabut simpatis ( dari trunkkus simpatikus ) dan serabut parasimpatis
( dari n. vagus ). Serabut eferen dari pleksus mempersarafi otot-otot
bronkus dan serabut aferen diterima dari memberan mukosa memberan
bronkioli dan alveoli.
2.1.5. Mekanisme Respirasi
Paru-paru memiliki tekanan negatif pada ruang interpleura yang
dapat menjaga agar paru-paru tetap pada keadaan setengah inflasi.
Inspirasi
Saat inspirasi ada tiga otot yang berkontraksi, yaitu
kontraksi m. Interkostalis eksternal atas yang berfungsi
untuk memperbesar diameter A-P dari toraks atas, kontraksi
m. Interkostalis eksternal bawah memperbesar diameter
transeversal toraks bawah dan kontraksi diafragma yang
memperpanjang toraks internal ke arah vertikal. Perubahan
ini meningkatkan volume paru dan oleh karena itu
menyebabkan reduksi tekanan intrapulmonal sehingga
udara terhisap ke dalam paru-paru.
Pada saat inspirasi, m. strenokleidomastoid, mm. skalenus
anterior dan medius, m. serratus anterior serta mm.
pektoralis mayor minor membantu memaksimalkan
kapasitas toraks.
Semua otot ini disebut otot-otot pernapasan.
Ekspirasi
- 3 -
Paru - Asma Bronkial
Ekspirasi terjadi akibat adanya relaksasi pasif otot-otot
inspirasi dan daya rekoil elastis ( elastic recoil ) dari paru-
paru. Pada ekspirasi paksa otot abdomen membantu
mengangkat diafragma.
2.2. Definisi Asma Bronkial
Asma adalah keradangan kronis saluran napas dengan banyak sel dan
elemen sel yang berperan, yang menyebabkan obstruksi aliran udara dan
peningkatan airway hyperresponsiveness, yang menimbulkan episode berulang
dari wheezing, sesak napas, dada terasa sesak, dan batuk, terutama pada malam
hari atau pada pagi dini hari yang dapat sembuh secara spontan dengan atau tanpa
pengobatan. Episode gejala respirasi tersebut biasanya terkait dengan obstruksi
jalan napas yang menyeluruh yang seringakali reversibel. Asma dikenal sebagai
penyakit jalan napas reaktif, kompleks asma mungkin mencakup bronkitis mengi,
mengi akibat virus, dan asma terkait atopik. Disamping bronkokonstriksi, radang
merupakan faktor patofisiologi yang penting yang melibatkan eosinofil, monosit
dan mediator imun dan telah menimbulkan tanda alternatif bronkitis eosinofilik
deskuamasi kronis.
2.3. Epidemiologi Asma Bronkial
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini
adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada
wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala
di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan.
Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan
menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in
Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat
tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di
Inggris dan di Australia mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood
Institute melaporkan bahwa asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak
- 4 -
Paru - Asma Bronkial
yang menderita asma adalah 25 – 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%)
dari 70 orang, dan perempuan lebih banyak dari pada laki – laki (52,86%).
2.4. Etiologi Asma Bronkial
Penyebab penyakit asma belum diketahui secara pasti. Namun dapat
disimpulkan adalah bahwa pada penderita asma saluran pernapasannya memiliki
sifat yang khas yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial
hyperreactivity = hipereaktivitas saluran napas) seperti polusi udara (asap, debu,
zat kimia), serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa,
bau/aroma menyengat (misalnya; parfum) dan olahraga.
2.5. Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai
rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini
adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma
lebih besar pada wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI)
merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
- 5 -
Paru - Asma Bronkial
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita
obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
2.6. Faktor Pencetus
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan
penderita asma mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar
yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan
meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan
oleh reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa
faktor pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
2.7. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan asma
Gejala Faal Paru
STEP 1
Intermittent
Gejala < 1 kali/minggu
Jarang eksaserbasi
Gejala nocturnal < 2
kali/bln
FEV 1 ≥ 80% predicted
atau PEF ≥ 80%
personel best
Variabilitas PEF 20%
STEP 2
Mild persistent
Gejala < 1 kali/ minggu
tetapi < 1 kali/hari
Eksaserbasi dapat
FEV 1 ≥ 80% predicted
atau PEF ≥ 80%
personel best
- 6 -
Paru - Asma Bronkial
menggaggu aktivitas
dan tidur
Gejala nocturnal
>2kali/bulan
Variabilitas PEF 20-
30%
STEP 3
Moderate persistent
Gejala setiap hari
Eksaserbasi dapat
mengganggu aktivitas
dan tidur
Gejala nocturnal >1x /
minggu
Setiap hari
menggunakan agonis
beta2 kerja pendek
inhalasi
FEV 1 60-80% predicted
atau PEF 60-80%
personel best
Variabilitas PEF >30%
STEP 4
Severe persistent
Gejala setiap hari
Eksaserbasi sering
Gejala nocturnal asma
sering
Keterbatasan aktivitas
fisik
FEV 1 ≤60% predicted
atau PEF ≤60%
personel best
Variabilitas PEF >30%
2.8. Patofisiologi Asma Bronkial
Asma ditandai 3 kelainan utama pada bronkus yaitu :
Bronkokonstriksi otot bronkus
Inflamasi mukosa dan
Bertambahnya sekret yang berada di jalan nafas
Pada stadium permulaan terlihat mukosa jalan nafas pucat, terdapat edema
dan sekresi lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat
spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga
dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Bila sering terjadi dan lama atau
dalam stadium lanjut, akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membran hialin
basal, hiperplasi serat elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel
- 7 -
Paru - Asma Bronkial
goblet bertambah. Pada asma menahun atau pada serangan yang berat terdapat
penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil.
Gambar 2.2. Patogenesa Asma Bronkial
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu
napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus
Puncak Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paru)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat
terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran
napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.
- 8 -
Paru - Asma Bronkial
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru.
Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin
merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen,
tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi
akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang
kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik.
Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya
pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan
bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi
CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas.
Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan
konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya
memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada
asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa
hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi
tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat
alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.
Gambar 2.3. Respon kekebalan tubuh
- 9 -
Paru - Asma Bronkial
Munculnya asma alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi
dan hiperreaktivitas saluran napas. Oleh karena itu, dikenal 2 jalur untuk
mencapai kedua keadaan tersebut, yaitu :
Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE
Pada jalur IgE, masuknya mukus ke dalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen),
untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan
memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel
plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-
mediator inflamasi seperti mukus, prostaglandin (PG), leukotrin
(LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksan (TX)
dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding bronkus, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis
sub epitel sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas
(HSN).
Jalur saraf otonom.
Tabel 2. Patofisiologi Asma
- 10 -
Paru - Asma Bronkial
Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma
- 11 -
Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas
Hiperreaktivitas
pemicu
Banyak Sel :Sel MastEosinofilNetrofilLimfosit
Melepas MEDIATOR :HistaminProstaglandin (PG)Leukotrien (L)Platelet Activating Factor (PAF), dll
Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas
Obstruksi difus saluran napas
BATUK, MENGI, SESAK
Paru - Asma Bronkial
MediatorPengaruh terhadap
asma
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan
A2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Kontruksi otot polos
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan
E2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
Radikal oksigen
Udema mukosa
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Sekresi mukus
Radikal oksigen
Enzim proteolitik
Faktor inflamasi dan sitokin
Deskuamasi epitel
bronkial
2.9. Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
2.9.1. Anamnesis
- 12 -
Paru - Asma Bronkial
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca, seringnya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang waktu
subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang
kadarnya rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya. Penderita asma
akan mengeluhkan sesak nafas karena udara pada waktu bernafas tidak
dapat mengalir dengan lancar pada saluran nafas yang sempit dan hal ini
juga yang menyebabkan timbulnya bunyi ngik-ngik pada saat bernafas.
Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan yang terjadi dapat
berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang diproduksi
secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk
mengeluarkan dahak. Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat
keluarga dan adanya riwayat alergi.Gambar dibawah ini adalah gambar
penampang paru dalam keadaan normal dan saat serangan asma.
Gambar 2.4. Sebelum dan sesudah serangan asma
2.9.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat,
frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi
memanjang disertai ronki kering dan mengi.
2.9.3. Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral
Cursshman, kristal Charcot Leyden).
2.9.4. Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
- 13 -
Paru - Asma Bronkial
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk
mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan
saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai
dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan
diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal
paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk
membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran napas
pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja
(exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik
seperti metakolin dan histamin.
Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala
serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
Tabel 4. Diagnosis Asma
- 14 -
Paru - Asma Bronkial
2.9.5. Diagnosis Banding
Bronkitis kronik
- 15 -
Paru - Asma Bronkial
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang
mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2
tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan perokok berat.
Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi
dan menurunkan kemampuan jasmani.
Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan
batuk dan mengi jarang menyertainya.
Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan
timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea.
Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi
sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal
jantung. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan
disertai darah (haemoptoe).
2.9.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan serangan asma dilakukan berdasarkan derajat beratnya
serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai
APE, dan analisis gas darah dan terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan
pengobatan medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa
Waktu serangan :
Pemberian O2
Pemberian cairan
Pada serangan asma berat yang berlangsung lama ( status
asmatikus ) ada kecenderungan terjadi dehidrasi.
Drainase postural
- 16 -
Paru - Asma Bronkial
Membantu pengeluaran dahak agar tidak timbul pemnyumbatan,
dengan cara “Chest Physiotherapy”
Menghindari paparan alergen
Di luar serangan
Penyuluhan
Penderita perlu mengetahui mengenai penyakitnya, apa
pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan
bagaimana menghindari timbulnya serangan.
Pengendali emosi
Relaksasi fisik dapat dibantu dengan latihan napas.
Imunoterapi / desentisasi
Menentukan jenis alergen dengan uji kulit atau provokasi
bronchial, kemudian setelah diketahui penyebabnya dilakukan
desentisasi.
Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Waktu serangan
Bronkodilator
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan
batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas. Obat-obat bronkodilator adalah :
- Golongan adrenergik
o Adrenalin
- 17 -
Paru - Asma Bronkial
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat. Pemberian secara subkutan dengan dosis adrenalin
larutan 1:1000 harus dilakukan hati-hati pada penderita usia
lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus
dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Dosis :
0.3 cc ditunggu selama 15 menit, apabila belum reda diberi
lagi.
0.3 cc jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15 mneit
kemudian.
Untuk anak-anak diberikan dosis lebih kecil 0.1-0.2 cc
o Beta-2 adrenergik selektif
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi
otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan
terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
- Golongan metilsantin
Efeknya adalah menghambat kerja enzim Phospho-
Diesterase dan enzim phospho-diesterase ini memudahkan
c. AMP menjadi 5-AMP.
o Aminofilin : larutan dari ampul 10 cc berisi 240mg
diberikan iv, pelan 5-10 menit, diberikan 5-10cc.
Aminofilin dapat diberikan apabila setelah 2 jam
dengan pemberian adrenalin tidak memberikan
hasil.
- Golongan antikolinergik
- 18 -
Paru - Asma Bronkial
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik
pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan
iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide serta sulfas atropin.
Antihistamin
Antihistmain masih menjadi perdebatan.
Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai
obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal
tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan
dengan bronkodilator lain). Efek kortikostreoid adalah memperkuat
efek kerja beta adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunyai
efek bronkodilator. Macam kortikosteroid :
Kortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Tabel 5. Dosis gkortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
Budesonid
Flunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
200-500 ug
200-400 ug
500-1000 ug
100-250 ug
400-1000 ug
500-1000 ug
400-800 ug
1000-2000 ug
250-500 ug
1000-2000 ug
>1000 ug
>800 ug
>2000 ug
>500 ug
>2000 ug
- 19 -
Paru - Asma Bronkial
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
Budesonid
Flunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
100-400 ug
100-200 ug
500-750 ug
100-200 ug
400-800 ug
400-800 ug
200-400 ug
1000-1250 ug
200-500 ug
800-1200 ug
>800 ug
>400 ug
>1250 ug
>500 ug
>1200 ug
Kortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu
diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
Antibiotika
Antibiotika digunakan bila :
- Sebagai profilaksis infeksi
- Ada infeksi sekunder
Ekspektoransia
Bahan-bahan yang mempermudah keluarnya sekret dari bronkus
yaitu :
- Air minum biasa : untuk pengencer sekret
- Glyceril guaiacolat
- Kalium jodide
- N-acetyl-cystein : sekretolitik
Di luar serangan
Disodium chromoglycate (DSCG)
Efeknya adalah : menstabilkan dinding membran dari sel mast atau
basofil sehingga :
- Mencegah terjadinya degranulasi dari sel mast
- Mencegah pelepasan histamin
- Mencegah pelepasan SRS-A ( Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis )
- 20 -
Paru - Asma Bronkial
- Mencegah pelepasan ECF (Eosinophyl Chemotatic Factor)
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator
beta agonis hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting β2-agonist, SABA)
atau golongan xantin kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan. Kendala
penggunaan spray ini adalah harganya yang mahal dan tidak tersedia di semua
tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose Inhaler/MDI atau Dry
Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak
besar), dan memerlukan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan tidak
ada, maka beta agonis diberikan per oral (obat minum). Penggunaan xantin kerja
cepat (teofilin) sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tata laksana
asma, karena batas keamanannya (margin of safety) sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu
(tanpa menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik), atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti
inflamasi sebagai pengendali (controller) diperlukan, yakni steroid hirupan dosis
rendah. Obat steroid yang sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga
digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan
100-200 mg/hari budesonid (50-100 mg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, dan 200-400 mg/hari budesonid untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Pada penggunaan dosis 100-200 mg/hari belum dilaporkan adanya efek samping
jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi/peradangan kronik,
controller berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek
terapi. Penilaian dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk
mengendalikan inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih terdapat gejala
asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan
- 21 -
Paru - Asma Bronkial
tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 mg/hari,
yang termasuk dalam tata laksana asma persisten.
Prinsip pengobatan adalah : jika tata laksana suatu derajat penyakit asma
sudah sesuai dengan panduan, namun respon tetap tidak baik dalam 6-8 minggu,
maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang
lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan, steroid hirupan dihentikan
penggunaannya.
Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan
penghindaran pencetus, (2) cara penggunaan obat, dan (3) penyakit penyerta
yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan sinusitis).
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah
selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke
tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam
keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari).
Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih
optimal. Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai
respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan
steroid menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah
dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau ditambahkan teophylline slow
release (TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor (ALTR). Dosis
medium adalah setara dengan 200-400 µg/hari budosenid (100-200 µg/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 µg/hari
budosenid (200-300 µg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan
dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara
dengan > 400 µg/hari budesonid (> 200 µg/hari flutikason), untuk anak berusia
- 22 -
Paru - Asma Bronkial
kurang dari 12 tahun, dan > 600 µg/hari budesonid (> 300 µg/hari flutikason)
untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki
FEV1, menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis
steroid hirupan sudah mencapai > 800 mg/hari namun tidak mencapai respon,
maka baru menggunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid
oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil
hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.
Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis
kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi
hari.
Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontraindikasikan pada kelainan
hati. Pemberian obat anti histamin generasi baru non sedatif (misalnya setirizin
dan ketotifen), dipertimbangkan pada anak dengan asma yang disertai rinitis.
Cara Pemberian Obat
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Keuntungan pemberian
pengobatan inhalasi :
lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan
napas
efek sistemik minimal atau dihindarkan
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin).
Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan
inhalasi daripada oral.
Tabel 6. Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan usia
Umur Alat inhalasi
< 2 tahun Nebuliser (alat uap)
MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer Aerochamber,
Babyhaler
5-8 tahun Nebuliser
- 23 -
Paru - Asma Bronkial
MDI dengan spacer
DPI (Dry Powder Inhaler): Diskhaler, Turbuhaler
> 8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI
MDI tanpa spacer
Jenis Terapi Inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang
cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya
tercapai. Berikut beberapa alat terapi inhalasi :
MDI (Metered Dose Inhaler ) tanpa Spacer
- 24 -
Paru - Asma Bronkial
Gambar 2.5. MDI tanpa spacer
MDI (Metered Dose Inhaler) dengan Spacer
Gambar 2.6. MDI dengan spacer
- 25 -
Paru - Asma Bronkial
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini
mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat
menguntungkan pada anak.
Dry Powder Inhaler (DPI)
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan
hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak
yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang
memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada
paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan
diberikan pada anak di atas 5 tahun.
Gambar 2.7. Dry powder inhaler
Nebulizer
- 26 -
Paru - Asma Bronkial
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita
melalui mouth piece atau sungkup. Bronkodilator yang diberikan dengan
nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan
efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada
jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol
terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada
saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang.
Gambar 2.8. Nebulizer
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan)
obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan,
dan mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih
baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan
dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi
(upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan
untuk anak usia sekolah.
- 27 -
Paru - Asma Bronkial
Tabel 8. Pengobatan sesuai berat asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma
Medikasi pengontrol
harian
Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma Intermiten
Tidak perlu -------- -------
Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug
BD/hari atau ekivalennya)
Teofilin lepas lambat Kromolin
Leukotriene modifiers
------
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Ditambah teofilin lepas lambat
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini: teofilin lepas
lambat leukotriene
modifiers
glukokortikosteroid oral
Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
- 28 -
Paru - Asma Bronkial
2.10. Status Asmatikus
Status asmatikus merupakan diagnosis klinik yang ditentukan oleh
semakin beratnya asma yang tidak responsif terhadap obat-obat yang biasanya
efektif. Penderita dikatakan dalam keadaan status asmatikus bila :
- Serangan akut terlalu sering berulang dalam waktu yang
singkat, sehari 2-3 kali
- Tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat saat serangan
akut
- Gangguan dalam pengaturan napas seperti : banyak bicara,
teriak-teriak, banyak menangis
- Jumlah dosis alergen yang terus-menerus dan banyak
- Serangan akut berulang namun tidak beristirahat
- Adanya stres psikis yang terus-menerus
- Adanya infeksi saluran napas yang tidak diobati
- Penderita memiliki kemunduran faal paru, obstruksi atau
restriksi
Disebut penderita status asmatikus bila tida ada kemajuan setelah dua jam
pemberian pengobatan serangan akut. Para penderita status asmatikus adalah
orang-orang yang kekurangan oksigen (hipoksemik). Oleh karenanya oksigen
dengan kadar yang dikendalikan dengan teliti selalu terindikasi, untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan. Oksigen dapat diberikan dengan sangat
efektif melalui pipa hidung bercabang. Atau masker dengan kecepatan aliran 2-3
L/menit. Kadar oksigen yang cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen
arteri parsial 70-90 mmHg atau saturasi oksigen lebih besar daripada 92% adalah
optimal
2.10.1. Pengobatan Status Asmatikus
Bronkodilator
Adrenalin
Aminofilin
Kortikosteroid
Pemberian cairan
Antibiotik
- 29 -
Paru - Asma Bronkial
Pemberian oksigen
2.11. Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar
asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma
episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang
menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen asma episodik sering
sudah tidak timbul pada masa akil baliq, 60% tetap sebagai asma episodik sering
dan sisanya sebagai asma episodik jarang. Hanya 5% dari asma kronik/persisten
yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering,
hampir 60% tetap sebagai asma kronik/persisten dan sisanya menjadi asma
episodik jarang. Pada penderita dengan serangna terus-menerus sering mengalami
bronkitis akan jatuh pada kelompok penyakit paru obstruktif menahun dan ini
akan sering disertai dengan penyakit infeksi lain maka prognosanya jelek.
DAFTAR PUSTAKA
- 30 -
Paru - Asma Bronkial
Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2.
Surabaya : Airlangga University Press. 2002. h 263 – 300.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
2001. h 477 – 82.
Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000.
1311-18.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.
Morris MJ. Asthma. [ updated 2013 June 10]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan
Imunoglobulin G (Igg) Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma
di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Medan :
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.
Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe
Asthma. Eur Respir Rev 2007; 16: 104, 67–72
Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma.
Jurnal Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 – 6.
Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia. Nopember 2008; 58(11), 444-51.
Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 –
87.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. h 73-5
- 31 -