PRESUS TB HIV-2
-
Upload
brendanfool -
Category
Documents
-
view
22 -
download
0
description
Transcript of PRESUS TB HIV-2
BAB II
TUBERKULOSISDefinisi
Tuberkulosis adalah adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1,2
Mycobacterium Tuberculosis
Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.2,3
Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Perkiraan TB secara global pada tahun 2009
adalah :
Insidens kasus : 9,4 juta (8,9 – 9,9 juta )
Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2 – 1,5 juta)
Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32 – 0,45 juta)
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Indonesia termasuk 5 negara dengan inseden kasus TB terbanyak setelah
india, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh
nomor satu diantara penyakit menular dan menrupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.2,3
Patogenesis
Bagan 1. Tuberkulosis primer dan post primer2,3,4
Faktor Risiko
Golongan sosial ekonomi rendah
Keadaan daya tahan tubuh yang rendah
Terinfeksi HIV
Malnutrisi
Keadaan imunosupresan (menggunakan obat kortikosteroid dalam
jangka lama)
Kegagalan progam TB
Lingkungan padat penduduk (terutama daerah yang prevalensi Tbnya tinggi)
Ruangan dengan ventilasi yang kurang baik (kurang sinar matahari dan lembab)
Berkontak langusng dengan penderita 2,4
Gambar 1. Faktor risiko kejadian TB
Cara Penularan
a) Saluran pernapasan melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei
b) Saluran pencernaan melalui melalui susu yang tidak dipasteurisasi dan
terkontaminasi TB
Klasifikasi Tuberkulosis
Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan :
1. Letak anatomi penyakit2,3
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru
Tb ekstra paru adalah kasus TB yang mengenai organ selain paru seperti
pleura, kelenjar getah bening, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang
dan selaput otak
2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologinya2,3
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
Tuberkulosis Paru BTA (+) adalah :
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif
Tuberkulosis Paru BTA (-) adalah :
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
3. Riwayat pengobatan sebelumnya2,3
Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian)
Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan
perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif
kembali, harus dipikirkan beberap kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
Kasus default atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut turut atau lebih sebeleum masa
pengobatannya selesai
Kasus gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan
Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang
adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologikmeragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan
ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik
4. Status HIV pasien2
Diagnosis
A. Gambaran klinis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.2,3
Gejala klinis
Dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistermik, bila organ
yang terkena adalah paru maka gejala lokalnya ialah gejala respiratori (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat) :2,3
Gejala respiratori
batuk ≥ 2 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat
badan menurun
Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. 2,3
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
& mediastinum. 2,3
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. 2,3
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher kadang-kadang di daerah ketiak. 2,3
C. Pemeriksaan bakteriologi
Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) 2,3
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) :
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Mikroskopis
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila :
3 atau 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
Pemeriksaan biakan kuman
D. Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif : 2,3
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif : 2,3
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Fibbrotik
Kalsifikasi
Penebalan pleura
E. Pemeriksaan penunjang lainnya
Analisis cairan pleura
Pemeriksaan histolpatologi
Pemeriksaan darh
Uji tuberkulin
Bagan 2. Alur diagnosis TB
Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. 2
Tabel 1. Pengelompokan OAT
Tabel 2. Sifat dan dosis OAT lini pertama
Prinsip pengobtan tuberkulosisi sebagai berikut :
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2
Tabel 6. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 2
OAT Sisipan (HRZE) 2
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 7. Dosis KDT untuk sisipan
Pengobatan Suportif/Simtomatik
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.2,3
Pada pasien rawat jalan dapat diberikan tambahan vitamin dan makan
makanan bergizi, atau aapbila demam dapat diberikan obat penurun demam,
atau diberikan untuk mengatasi gejala batuk dan sesak napas
Pada pasien rawat inap pengobatan suportif diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat
Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak2,3
Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif
Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviti yang menetap
BAB III
HIV/AIDS
Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-
sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke
tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara
1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa
kasus bisa sampai nol(1))
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau
media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik
akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik
Epidemiologi
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta
orang dan yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah
dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan
Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005.
Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS
dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya
pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal
karena AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di
setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau
AIDS.
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana
lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper
lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.
Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)(1,2).
Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis
kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai
saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan
terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor
lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh
HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini
bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase
Tahun 2006
Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
0
Grafik ODHA di Indonesia 5 tahun terakhir
Jumlah orang dengan HIV AIDS di Indonesia
ini disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang
terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi
positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis
infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam,
diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang
lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi
HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian
kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase
asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali
mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring
dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di
dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan
limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase
infeksi klinisnya mungkin laten(5).
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya
telah turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan
imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit
terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori
klinis ini
HIV masuk ke tubuh
Oleh APC ke KGB regional
Virus bereplikasi di KGB
Viremia terdeteksi 1-3 minggu setelah infeksi
Terjadi pembentukan Ab, ditandai dengan viremia menurun
Replikasi dalam keadaan‘steady state’
GEJALA INFEKSI HIV AKUT- Demam- Ruam-
Pembesaran
KGB
- Nyeri Menelan- Batuk- Diare
PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam
8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas
beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan
yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):
Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
No Nama Golongan Fungsi
1 NRTI (nucleoside reverse-
transcriptase inhibitor )
penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari
RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum
penggabungan DNA virus dengan kromosom sel
inang.
2 NNRTI (non-nucleoside
reverse-transcriptase inhibitor
(NNRTI)
menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase
dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif
pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.
3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan
untuk memecah prekursor poliprotein virus dan
membangkitkan fungsi protein virus.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang
tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI,
2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai
terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya
setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda
klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.
(Depkes RI, 2007)
Terapi pada ODHA dewasa
Stadium
KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4
Jika tidak tersedia
pemeriksaan CD4
1
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200
Terapi ARV tidak diberikan
2Bila jumlah total limfosit
<1200
3
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
dengan CD4 350
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa
memandang jumlah limfosit
total
4Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
CD4
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru
dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai
penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat
ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau
III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat
ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi
dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV
sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk
memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis.
Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 <
350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan
untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis
dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak
dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan
fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin
(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan
lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu
setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV
menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan
manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2
NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,
lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin
(NVP) dan efavirenz (EFZ).
Terapi ARV
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.
Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti
lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat
digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi
terapi ARV yang tidak dianjurkan:
Pilihan obat ARV golongan NR
Tabel 13 : Kombinasi ARV
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal
terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber
dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama
kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/
mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi
NNRTI.
Pengobatan ko-Infeksi TB-HIV
Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan
segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi
dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.
Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian sakit TB maka
pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada tabel di bawah ini:1
Tabel 8. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Sedangkan untuk pengobatan ko-infeksi TB-HIV dengan prinsip mulai pengobatan dengan ARV segera setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dapat di lihat seperti gambar di bawah ini :
Gambar 2. Skema pengobatan ko-infeksi TB-HIV
Tabel 8. Pilihan paduan pengobatan ko-infeksi TB-HIV
Tabel 9. Pilihan paduan pengobatan ko-infeksi TB-HIV
Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/
mm3
Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV
segera setelah terapi TB dapat ditoleransi
(antara 2 minggu hingga 2 bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800
mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat dilakukan
dengan melakukan pemantauan fungsi
hati (SGOT/SGPT) secara ketat
Saat mulai ART pada 2 – 8
minggu setelah OAT
CD4 200-350/
mm3
Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB
CD4 >350/
mm3
Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
kembali pada saat minggu ke
8 terapi TB dan setelah terapi
TB lengkap
CD4 tidak
mungkin
diperiksa
Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mulai 2 – 8 minggu setelah
terapi TB dimulai
BAB IV
PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA (PCP)
Definisi
Pneumocystis carinii pneumonia adalah suatu infeksi pada paru yang
disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan infeksi oportunis
berbahaya yang sering terjadi pada pasien AIDS. Distribusi tersebar luas di dunia,
dapat menginfeksi manusia dan hewan. PCP biasa terjadi pada penderita dengan
kekebalan tubuh rendah. Sebelum adanya AIDS pada awal 1980-an, PCP jarang terjadi
dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL (acute
lymphocytic leukemia), atau pada pasien-pasien yang mendapat terapi kortikosteroid.
Sekarang infeksi ini sering dihubungkan dengan infeksi HIV lanjut.
Morfologi dan Siklus Hidup
Pneumocystis carinii menjadi 3 stadium yakni:
1. Stadium trofozoit : bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1-5 µ dan
memperbanyak diri dengan mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat
ultrastruktursebagai berikut : berdinding tipis (20-40µ) dengan beberapa
ekspansi tubular yang disebut dengan filopodium, umumnya memiliki 1 inti
tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti; mitokondria, retikulum endoplasmik kasar;
benda-benda bulat (round bodies dan vakuol-vakuol). Pada pewarnaan Giemsa,
inti berwarna ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain
yang khas. Trofozoit yang kecil (1-1,5µ) ditemukan dekat kista yang berdinding
tebal, berbentuk bulan sabit, menyerupai intracystic bodies. Trofozoit yang
besar menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama
dengan trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseupodium
sehingga berbentuk ameboid.
2. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara kista dan trofozoid. Bentuk oval, ukuran
3 - 5µ dan dindingnya tebal (berkisar antara 40 -120µ) dengan jumlah inti 1-8.
Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan dari stadium lainnya tetapi
dinding yang lebih tebal dari stadium prakista dapat diwarnai dengan
methenamine silver.
3. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis, juga diduga
sebagai bentuk infektif manusia. Bentuk bulat dengan diameter 3,5 – 12 µ,
mengandung 8 trofozoit yang sedang berkembang dengan diameter 1 – 1,5µ.
Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit, atau kadang-
kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang
homogen atau bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa
atau dengan cara pewarnaan Gram. Pewarnaan Giemsa baik untuk melihat
bagian-bagian dari parasit.
Siklus Hidup
Jamur ini ditemukan pada paru-paru mamalia di tempat jamur ini tinggal tanpa
menyebabkan infeksi yang nyata sampai imun hospes melemah.
Patogenesis dan Patologi
Transmisi Pneumocystis carinii dari orang ke orang diduga terjadi
melalui respiratory droplet infection dan kontak langsung, dengan kista
sebagai bentuk infektif pada manusia. Masa inkubasi ekstrinsik (=
prepaten period) diperkirakan 20-30 hari dengan durasi serangan selama 1-
4 minggu. Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi
infeksi laten yang telah pernah didapat penderita sebelumnya atau karena
paparan berulang dan reinfeksi terhadap jamur ini. Namun diduga
mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Organisme
ini merupakan patogen ekstraseluler. Paru merupakan tempat primer
infeksi, biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Tetapi
dilaporkan bahwa infeksi Pneumocystis carinii bisa juga terdapat
ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah bening dan sumsum
tulang. Organisme umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel
alveolar tipe I. Di paru pertumbuhannya terbatas pada permukaan
surfaktan di atas epitel alveolar. Pneumocystis carinii berkembang biak di
paru dan merangsang pembentukan eksudat yang eosinofilik dan berbuih
yang mengisi ruang alveolar, mengandung histiosit, limfosit, dan sel
plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam paru sehingga
menurunkan oksigenasi, interstitium menebal, dan kemudian fibrosis. Pada
akhirnya mengakibatkan kematian karena kegagalan pernapasan akibat
asfiksia yang terjadi karena blokade alveoli dan bronchial oleh massa
jamur yang berproliferasi tadi. Pada autopsi ditemukan paru bertambah
berat dan volumnya bertambah besar, pleura agak menebal. Penampang
irisan paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum alveolus
yang jelas. Hiperplasia jaringan interstitial dan terinfiltrasi berat dengan sel
mononukleus dan sel plasma juga tampak. Dinding alveolus menebal dan
alveolus berisi eksudat yang amorf dan eosinofilik – memberi gambaran
seperti sarang lebah (honeycomb appearance) yang mengandung histiosit
dan limfosit, sel plasma, dan organisme itu sendiri.
Gejala Klinis
Gejala klinis PCP meliputi demam yang tidak terlalu tinggi,
dispnoe- terutama saat beraktifitas, dan batuk non-produktif. Progresivitas
gejala biasanya perlahan, dapat berminggu-minggu bahkan sampai
berbulan-bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, takipnoe-
frekuensi pernapasan meningkat sampai 90-120x/menit sampai terjadi
sianosis.
Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang
spesifik. Saat auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak
dijumpai kelainan apapun. Pada 2-6% kasus, PCP dapat muncul dengan
pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran
yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke perifer,
bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi
dengan daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti honey
comb appearance.
Pada darah dijumpai kadar LDH (lactate dehidrogenase) yang tinggi
>460 U/L atau PaO2 <75mmHg. Lesi ektrapulmoner jarang terjadi <3%
namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening, dan sumsum
tulang.
Diagnosa
Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan
menemukan Pneumocystis carinii pada sediaan paru atau bahan yang
berasal dari paru, diantaranya:
- Sediaan yang diperoleh dari induksi sputum
- Sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar
Lavage), yang dilakukan bila hasil induksi sputum (-).
- Sediaan dari biopsi paru.
Foto RÖntgen dada dapat menunjukan gambaran abnormal seperti adanya
gambaran infiltrate interstitial bilateral difus pada daerah hilus. Dapat juga
terlihat gambaran yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi,
pneumotocele, dan pneumothorax.
Penatalaksanaan
Profilaksis
Profilaksis umumnya diberikan pada pasien immunodefisiensi. Pada
HIV/AIDS dengan CD4 menurun hingga <300, dianjurkan untuk
mengkonsumsi kemoprofilaksis PCP. Kemoprofilaksis biasanya berupa
pemberian kombinasi trimetoprim + sulfametokzasol, 150 mg dan 70
mg/m2/hari, dibagi dalam 2 dosis dengan interval pemberian tiap 12 jam.
Daftar Pustaka
1. Toni Wandra, Nani Rizkiyati, Asik Surya, Triya Dinihari, Naning Nugrahini, Endang Budi Hastuti, Vanda Siagian, Endang Lukitosari, Novayanti, Ratih Pahlesia, Joan Tanumihardja, Retno Kusuma Dewi dan anto Lingga. 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Fattiyah Isbaniyah, Zubaidah Thabrani, Priyanti Zuwayudha Soepandi, Erlina Burhan, Reviono, Yani Jane Sugiri, Iswanto, Arifin nawas, Deddy Herman, dan Herudian Ahmad. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
3. Abdul Manaf, Agung Pranoto, Agung P.Sutiyoso, Ahmad Hudoyo, Agus Sjahrurrahman, Arto Yuwono, Anwar Jusuf, Arifin Nawas, Armen Muchtar, Asik Surya, Bambang Supriatno, Bangun Trapsilo, Benson Hausman. 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
4. Zulkifli amin dan Asril bahar. 2009. Tuberkulosisi Paru. Jakarta. Interna Publishing
5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
6. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
7. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
8. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
9. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
10. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
11. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
12. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
13. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010.
14. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040