POTRET PERILAKU AKUNTAN DALAM BUDAYA POPULER (P …
Transcript of POTRET PERILAKU AKUNTAN DALAM BUDAYA POPULER (P …
1
POTRET PERILAKU AKUNTAN DALAM BUDAYA POPULER(Paradigma Posmodern)
Rizky Dharana MeidinaProf. Dr. Unti Ludigdo, Ak., CA.
Dr. Ari Kamayanti, SE., MM., Ak.Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Potret perilaku akuntan dalam drama televisi Korea ditunjukkan dalam gambaran akuntansebagai sosok pemberani, rela berkorban demi mempertahankan integritas, pekerja keras,serta berperilaku profesional. Drama televisi Korea juga memberikan gambaran bahwaakuntan juga manusia dengan berbagai macam kepribadian, juga tak luput dari jebakanmaterialitas dan hedonisme.
This research aims to explore and describe how accountant behavior is portrayed inpopular culture, i.e. via Korean soap operas (TV drama). The behavior is explored throughqualitative approach based on content-analysis method and further evaluated through Codeof Ethics for Professional Accountants as provided by IFAC and acknowledged as socialvalues and norms. The result of the study shows that the accountant is portrayed as havingsuch positive attributes as courageous, integrated, hard-working, and professional. Koreansoap operas, in addition, depict natural sides of an accountant, who are equipped withvarious humanistic manners and are occasionally incapable of escaping from traps ofmaterialism and hedonism.
Key words: Behavior, ethics, accountant, popular culture, Korean soap opera
1. PENDAHULUAN
Akuntansi memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan politik,
sosial, maupun ekonomi. Gray (1988) menyatakan bahwa akuntansi berhubungan dengan
faktor lingkungan, serta terdapat pengaruh budaya dalam perkembangan sistem akuntansi
secara internasional. Mendukung pernyataan tersebut, Bourdieu (1984) menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara budaya populer dan praktik dan struktur sosial. Dengan
demikian, akuntansi dapat dipelajari dari berbagai perspektif, salah satunya dari perspektif
budaya, khususnya budaya populer.
Budaya populer merupakan bentuk budaya massa yang disukai oleh kebanyakan orang
dari semua kalangan. Berada jaman postmodern, masyarakat dianggap lebih kompleks dan
saling berhubungan satu sama lain (Giddens, 2001). Postmodernisme menganggap bahwa
kenyataan yang ada sebenarnya terbentuk secara sosial, sehingga muncul beberapa pengertian
atas suatu realita (Giddens, 2001). Dalam postmodernisme, realita akan terbentuk dari citra
2
yang timbul dari sesuatu yang disukai orang banyak. Media sosial, film, maupun novel
sebagai beberapa contoh dari budaya populer berperan sebagai sarana untuk membentuk citra
dari suatu objek.
Salah satu alternatif untuk mengukur sebuah persepsi adalah dengan mengobservasi
bagaimana sebuah profesi diproyeksikan dalam media, seperti press populer, iklan, novel, dan
film (James, 2008). Sebagaimana pendapat Whiteman dan Phillips (2006), media fiksi naratif
digunakan sebagai salah satu area penelitian manajemen, karena karya fiksi (dan semi-fiksi)
naratif dapat memberikan pemahaman tentang organisasi secara lebih mendalam.
Semua profesi menekankan setiap individu untuk memiliki nilai moral yang kuat. Tak
lain halnya dengan akuntan, dimana profesi ini mempunyai peran yang sangat signifikan
terhadap kelangsungan bisnis. Investor, kreditur, debitur, bahkan masyarakat, menggunakan
informasi akuntansi untuk mengambil keputusan. Didukung dengan adanya kode etik profesi
akuntan dan karena perannya yang begitu besar, akuntan diharapkan untuk selalu bertindak
secara etis, baik secara fakta maupun penampilan. Beberapa peneliti telah melakukan studi
untuk mendapatkan persepsi etika suatu profesi yang digambarkan melalui budaya populer.
Penelitian oleh Felton et al., (2008) tentang etika akuntan dalam film mengemukakan
hubungan antara nilai-nilai yang dibawa oleh akuntan dan tindakan etis dan tidak etisnya
sebagai akuntan.
Drama televisi, sebagai salah satu bentuk budaya populer, seringkali menggambarkan
sebuah kenyataan sosial atau sebuah harapan yang ingin dicapai. Drama merupakan sebuah
permainan peran, dimana seseorang memerankan suatu tokoh yang ada pada drama tersebut.
Penokohan dalam suatu drama menggambarkan pola pikir dan ekspresi tokoh dalam
menghadapi suatu masalah dalam drama tersebut (Wijaya, 2014). Penokohan ini seringkali
dibuat berdasarkan fenomena yang ada pada masyarakat. Dapat dikatakan bahwa penokohan
dalam suatu drama merupakan representasi sosok yang sesungguhnya dalam dunia nyata.
Saat ini tak jarang ditemui berbagai drama televisi negara-negara Asia Timur, khususnya
Korea Selatan (selanjutnya disebut Korea), yang banyak ditayangkan di stasiun televisi
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa produk budaya populer negara-negara tersebut sangat
kuat dan dapat diterima dengan baik di Indonesia dipercaya oleh masyarakat. Media massa
memberikan julukan “Korean Wave” pada produk budaya populer Korea seperti drama
televisi, musik pop, dan film atas kepopulerannya di berbagai belahan dunia (Yang, 2012).
Kepopuleran drama televisi Korea di Indonesia ditunjukkan dengan semakin banyaknya
waktu tayang drama tersebut di stasiun televisi lokal (Shim, 2006).
3
Krisis ekonomi tahun 1997 membuat masyarakat Korea bekerja ekstra keras untuk sukses
sehingga dapat terlepas dari jeratan krisis. Usaha keras mereka terbayar karena pada tahun
2001 mereka dapat membayar semua hutangnya (Hong, 2014:93) dan mengembangkan
negaranya hingga sukses sampai saat ini. Banyak perusahaan Korea yang menjadi terkenal,
bahkan beberapa perusahaan diakui sebagai saingan perusahaan ternama Amerika. Samsung,
contohnya, beralih dari perusahaan tak dikenal secara internasional hingga saat ini diakui
sebagai penyaing Apple. Menurut Hong (2014:259), Samsung merupakan bagian penting
Korean Wave karena anggapan Korea sebagai merek juga dimulai oleh Samsung. Banyak
drama televisi Korea yang mengangkat cerita tentang bisnis (termasuk peran akuntan di
dalamnya), sosial, dan politik Korea. Perkembangan ekonomi Korea yang sangat pesat ini
dapat menarik perhatian masyarakat yang ingin mengetahui bagaimana sistem perusahaan di
Korea, maupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan perkembangan ekonomi seolah-olah
terjadi secara tiba-tiba.
Penelitian ini berfokus pada analisis representasi perilaku akuntan yang tertuang dalam
budaya populer, khususnya drama televisi Korea, dengan tujuan untuk mengungkapkan dan
mendeskripsikan bagaimana perilaku akuntan yang terpotret dalam drama televisi Korea..
Beberapa peneliti terdahulu telah menemukan bahwa terdapat aspek-aspek akuntansi yang
ditemukan di budaya populer beserta persepsi sosial tentangnya. Smith dan Jacob (2011)
mengungkapkan bahwa musik adalah salah satu bentuk budaya populer yang kuat untuk
melihat persepsi sosial akuntan dan akuntansi.
Penggambaran perilaku akuntan dalam drama televisi Korea diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang akuntansi keperilakuan yang menyangkut
dramatisasi perilaku akuntan yang terpengaruh budaya tertentu. Potret akuntan dalam budaya
populer juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memahami perilaku akuntan
melalui pengenalan karakter akuntan melalui drama televisi Korea, sehingga masyarakat
memperoleh gambaran perilaku akuntan.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Budaya Populer dan Drama Televisi
Budaya populer dianggap memiliki suatu makna tersendiri yang mengungkap pesan
tersirat, bahkan ketika pembuatnya tidak bermaksud demikian. Budaya populer sangat erat
hubungannya dengan media massa karena budaya populer disajikan melalui media tersebut
(Strinati, 2004). Terlebih lagi, keadaan sosial dan ekonomi yang berkembang, masyarakat
yang hidup dalam era digital, memuja selebriti, berkomunikasi secara global, dan juga hidup
4
dalam dunia maya (Jeacle, 2012), akan membentuk tidak hanya identitas diri, tetapi juga apa
yang akan diidentifikasi.
Budaya populer berbeda dengan konseptual budaya lainnya seperti budaya rakyat, budaya
dominan, dan lain-lain. Dikutip dalam Storey (2009), budaya menurut Raymond Williams
didefinisikan sebagai proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika. Kedua, budaya
diartikan sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang yang berfungsi sebagai
menandakan keyakinan kelompok tersebut, sebagai contoh, perayaan religius. Ketiga, budaya
berbentuk teks dan praktik intelektual dan estetika yang mempunyai makna tertentu, seperti
puisi, balet, seni rupa, dan opera.
Budaya yang sesungguhnya bersifat ‘sulit’ (Storey, 2009). Karena sifatnya yang sulit,
maka budaya memiliki status eksklusif sebagai budaya tinggi. Tidak semua orang
menikmatinya. Kesulitannya menciptakan suatu batasan, yang menjamin keesklusifan
penikmatnya. Hal tersebut adalah pembeda budaya dengan budaya populer. Budaya populer
pada umumnya memiliki sifat yang disukai dan diterima oleh banyak orang. Budaya populer
bersifat lebih santai dan mengarah pada suatu hiburan, sehingga penikmatnya berasal dari
berbagai kalangan umur dan golongan. Jika budaya memiliki puisi, seni rupa, dan balet, maka
bentuk budaya populer dapat berupa komik, opera sabun, musik pop, bahkan berupa kegiatan-
kegiatan seperti pergi ke gym dan shopping.
Budaya populer, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan “popular culture” atau “pop
culture”, mempunyai berbagai macam arti. Pengertian pertama menganggap budaya populer
sebagai budaya massa. Melalui pandangan ini, budaya populer dianggap sebagai sesuatu yang
terbentuk dan ditentukan dari atas melalui proses standardisasi. Pandangan ini menganggap
bahwa budaya populer dibuat dengan teknik industrial dan diproduksi secara masal, dengan
tujuan untuk memperoleh profit dari konsumen, disebut juga dengan budaya komersial
(Strinati, 2004) dan akan membentuk fantasi publik (Storey, 2009).
Pandangan yang kedua menggunakan perspektif The School yang menekankan budaya
populer dengan fetisisme. Budaya populer disebut sebagai semen sosial yang tidak
menyembunyikan kenyataan, namun menerima dunia apa adanya dan bukan merupakan
produk komersial (Strinati, 2004).
Mengacu pada strukturalisme dan semiologi, budaya populer menunjukkan suatu
kenyataan sebagaimana mereka tampak. Budaya populer dalam perspektif ini mencoba untuk
membentuk realita. Realita material selalu dibentuk, artinya tidak selalu ‘murni’, tetapi
terdapat maksud tertentu yang dapat diungkap dengan semiologi (Strinati, 2004).
5
Pandangan yang lain mengenai budaya populer adalah budaya yang terbentuk dari
‘masyarakat’. Di sini, budaya populer dipandang sebagai budaya daerah; budaya masyarakat
untuk masyarakat itu sendiri (Storey, 2009). Pandangan ini menganggap bahwa budaya
populer terbentuk dari bawah dan dari sekitar, berkembang secara alami di dalam masyarakat,
dan bukan merupakan paksaan dari atas.
Dari beberapa perspektif di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya populer merupakan
salah satu cara hidup bagi sekelompok orang, yang tumbuh dan berkembang di antara
masyarakat tersebut. Budaya populer mencerminkan masyarakatnya. Seperti yang
diungkapkan Ibrahim (2007) bahwa film sebagai budaya populer berfungsi sebagai sebuah
cermin yang merefleksikan kehidupan atau menguak takbir termasuk dari bagian-bagian yang
paling ingin kita sembunyikan.
Dipelajari pula dalam bidang sosiologi, budaya populer digunakan sebagai sarana untuk
memahami bagaimana kelompok, jaringan, institusi, dan kelas dapat memengaruhi tindakan
sosial karena elemen populer dalam budaya kontemporer dianggap relevan secara sosiologi
(Brym dan Lie, 2010). Bentuk-bentuk ekspresi visual seperti simbol, film, desain, lukisan,
foto, televisi, iklan, dan lain-lain dapat membentuk praktik sosial dan lingkungannya (Brown,
2010). Budaya populer mampu menujukkan isu-isu sosiologis, dan menghubungkan makna
yang ada dalam budaya populer dengan keadaan di dunia nyata. Bentuk-bentuk budaya
populer seperti literatur dan karya fiksi dapat digunakan menjadi sebuah lensa untuk melihat
praktik akuntansi dan struktur sosial profesi akuntansi (Evans, 2012).
Budaya populer yang begitu kuat dapat berkembang hingga ranah internasional.
Mempunyai sebutan sebagai Korean Wave, konsep ini mengacu pada budaya populer
termasuk drama televisi, musik pop, selebriti, dan film yang telah menjadi ekspor terbesar
Korea Selatan (selanjutnya disebut Korea) (Laurel, 2012). Drama televisi Korea dinilai
sebagai pendorong maraknya Korean Wave (Joo, 2012), yang akhirnya tersebar luas
khususnya negara-negara Asia Timur seperti Cina, Hongkong, Taiwan, Jepang, dan negara-
negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Kim dan Lee,
2014; Yang, 2012; Shim, 2006). Bahkan, seiring dengan meningkatnya permintaan atas
drama televisi Korea oleh Vietnam dan Indonesia, program televisi tersebut diekspor dan
mendominasi pasar (Lee, 2011). Popularitas drama televisi diyakini karena sebagai bentuk
budaya, drama televisi dinilai lebih realistik daripada bentuk lain budaya populer seperti
komik, animasi, video game, dan musik pop (Waiming, 2001). Ketenaran drama televisi
Korea di Indonesia ditunjukkan dengan meningkatnya impor drama Korea oleh Indonesia
6
seperti yang diungkapkan Park (2014) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara pengimpor drama Korea terbesar tahun 2001-2011.
2.2 Potret Perilaku Akuntan dalam Media Visual
Budaya populer dalam bentuk visual yang bergerak seperti film dan drama televisi dapat
digunakan untuk menginterpretasikan norma sosial dan prasangka karena film mencerminkan
kehidupan sehari-hari (Jeacle, 2009). Film dan drama, sebagai suatu naratif, dapat digunakan
sebagai alternatif dalam mengukur persepsi suatu profesi (Felton et al., 2008) dan digunakan
dalam studi keperilakuan (Kernodle, 2009) yang bersifat signifikan karena dianggap sebagai
cermin yang merefleksikan stereotipe masyarakat yang terbentuk dari pengelompokan sosial,
di mana kesan seorang anggota kelompok tersebut merepresentasikan keseluruhan kelompok
(Dyer, 2013), serta memberikan informasi tentang bagaimana komunitas bisnis
direpresentasikan dalam segmen sosial yang lain (Felton et al., 2008).
Setiap profesi pasti memiliki suatu kesan tertentu, seperti akuntan yang selalu dianggap
sebagai seseorang yang membosankan dan selalu berkutat dengan angka. Menurut Felton et
al., (2008), pada dasarnya memilih profesi tertentu, seperti akuntan, sebagai karakter dalam
film atau drama merupakan salah satu cara yang bermanfaat untuk meningkatkan ekspektasi
penonton. Karakter tersebut akan dikembangkan oleh pembuat film berdasarkan kesan-kesan
yang telah terbentuk. Pengembangan karakter, menjadi baik atau buruk, dapat berkontribusi
dalam membentuk pandangan penonton mengenai bagaimana akuntan berperilaku.
Menganalisis film dapat menginterpretasikan norma dan prasangka sosial yang ada (Jeacle,
2009).
Drama televisi merupakan salah satu bentuk budaya populer yang serupa dengan film.
Keduanya sama-sama merupakan bentuk media visual dua dimensi yang bergerak dalam
durasi waktu tertentu (Davidson, 2015). Tak hanya itu, keduanya juga sama-sama
mengandung permainan peran oleh suatu karakter yang bertindak sesuai dengan narasi fiksi
yang diungkapkan dalam bentuk dialog, sehingga analisis drama televisi dapat menggunakan
cara yang sama dengan analisis film.
Film sebagai salah satu bentuk media visual menjadi salah satu media utama dalam
mengeksplorasi etika (Downing dan Saxton, 2010). Penggambaran yang nyata dalam film,
didukung dengan efek-efek visual tertentu, dapat membantu seseorang dalam memahami
fenomena sosial seperti nilai, norma, dan etika. Mendukung pernyataan tersebut, Kernodle
(2009) berpendapat bahwa penyajian konsep abstrak yang ada pada film mencerminkan
penggambaran kenyataan yang lebih baik karena dapat mengilustrasikan perilaku tipikal
7
sehari-hari seperti masalah pribadi dan pekerjaan, perilaku karyawan, serta praktik
manajemen. Media tersebut dianggap signifikan dan dapat memberikan penggambaran yang
kuat, termasuk dalam penelitian bisnis dan manajemen (Czarniawska, 2000; Champoux,
1999), karena media tersebut bekerja sebagai cermin yang menggambarkan pandangan
tertentu terhadap suatu pekerjaan, dan juga bekerja sebagai lensa yang membentuk persepsi
publik (Dyer, 2013). Penelitian oleh Gaiacalone dan Jurkiewicz (2001) memberikan
pemahaman bahwa film dapat menjadi sumber yang berguna dalam mempelajari etika bisnis.
Penelitian Lee (2002), mengungkapkan bahwa terdapat penggambaran yang serupa atas suatu
profesi yang ada dalam film dan televisi, dengan apa yang sebenarnya di dunia nyata.
2.3 Penelitian Akuntansi dan Budaya Populer
Suatu kerangka kerja penelitian akuntansi dan budaya populer disusun oleh Jeacle (2012).
Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan menjabarkan hubungan antara akuntansi dan
budaya populer.
Budaya populer digunakan sebagai alat untuk menunjukkan kesan atau stereotipe yang
dimiliki akuntan. Hinton (2000) mengungkapkan bahwa representasi sosial dari budaya
populer membentuk persepsi masyarakat mengenai stereotipe. Brown (2010) melakukan suatu
penelitian yang dapat membantu memperkenalkan media visual pada peneliti dan
mengilustrasikan bagaimana akuntansi dan penelitian media visual dapat memberikan
informasi satu sama lain. Mendukung pendapat Brown (2010), Jeacle dan Carter (2014)
mengungkapkan pentingnya ruang kreatif dalam penelitian akuntansi. Jeacle dan Carter
mengemukakan bahwa terdapat tiga ruang yang dapat mendukung studi akuntansi yaitu ruang
visual, media, dan budaya populer untuk membuka cabang baru penelitian akuntansi untuk
dikembangkan.
Friedman dan Lyne (2001) memberi label karakter akuntan sebagai “beancounter”, di
mana stereotipe akuntan sebagai “beancounter” yang terpotret dalam majalah dan koran yang
terbit pada tahun 1970-1995 dianalisis untuk mengetahui perkembangan stereotipe akuntan
dari tahun ke tahun. Penelitian Evans dan Fraser (2012) mengungkapkan stereotipe akuntan
yang terpotret pada novel detektif yang karya seorang akuntan dari Skotlandia, Alexander
Clark Smith. Karena novel merupakan media yang diterima oleh banyak kalangan, novel
menjadi salah satu media yang bermanfaat untuk memengaruhi pembentukan stereotipe
akuntan melalui imajinasi populer. Czarniawska (2008) meneliti perkembangan perubahan
persepsi akuntansi dalam waktu dan konteks budaya yang berbeda dengan menekankan
masalah gender melalui narasi fiksi dan didukung beberapa hasil penelitian terdahulu.
8
Penelitian Czaniawska (2012) selanjutnya mengungkapkan perkembangan akuntansi dari
ruang dan waktu yang dianalisis melalui novel. Penelitiannya mengungkapkan beberapa
keganjilan dan kemiripan pekerjaan akuntan 70 tahun yang lalu dan sekarang. Musik populer
digunakan oleh Jacobs dan Evans (2012) sebagai media untuk menginterpretasikan stereotipe
akuntan dan akuntansi. Dalam penelitian akuntansi dan musik populer ini, ditemukan bahwa
akuntan bisa memiliki peran sebagai pahlawan dan penjahat. Smith dan Jacobs (2011)
sebelumnya telah melakukan penelitian serupa, yaitu menggunakan musik populer untuk
menginformasikan karakterisasi akuntansi dan akuntan.
Bentuk budaya populer lain, yaitu lelucon, juga telah digunakan sebagai media dalam
menganalisis karakter akuntan. Miley dan Read (2012) membandingkan stereotipe akuntan
yang terkandung pada lelucon kontemporer dan commedia dell’arte, salah satu bentuk teater
improvisasional. Jeacle dan Carter (2012) mengungkapkan peran signifikan akuntansi dalam
industri mode. Akuntansi dapat dianggap sebagai penyangga oleh pihak yang berperan
sebagai kontroler. Dengan berbagai macam bentuk, apakah itu berbentuk anggaran, kartu
biaya, laporan penjualan dan persediaan mingguan, maupun kesadaran komersial yang lebih
informal dan implisit yang menyokong keputusan kreatif, akuntansi dianggap memiliki peran
yang signifikan sebagai mediator dalam industri mode.
Studi mengenai persepsi etika akuntan dalam budaya populer, yaitu film, telah dilakukan
oleh Felton et al., (2008) dengan meneliti 110 judul film dengan peran akuntan di dalamnya
untuk melihat bagaimana akuntan tersebut bertindak dan merespon atas tindakan lawan
bicaranya yang dianalisis dengan cara melihat nilai-nilai yang dibawa oleh para akuntan
tersebut. Penelitian selanjutnya oleh Jeacle (2009) meneliti hubungan antara komponen bisnis
hiburan dan film melalui dokumen akuntansi. Penelitian ini menjabarkan peran dokumentasi
akuntansi sebagai sarana untuk melihat perkembangan norma sosial dan historis digambarkan
dalam film. Penelitian ini menggunakan film box office pada tahun 1929-1973, ditambah
dengan sumber sekunder untuk mendukung konteks norma sosial dan historisnya. Bay dan
Felton (2012) mengungkapkan penggunaan film sebagai media untuk memahami etika
akuntan. Film dengan karakter akuntan dianalisis oleh murid dan didiskusikan dalam kelas.
3. METODE PENELITIAN
Perilaku akuntan dalam penelitian ini dianalisis melalui drama televisi. Dua belas buah
judul drama televisi Korea dipilih berdasarkan peran profesi akuntan (antara lain akuntan
perusahaan, ahli akuntansi, auditor internal, Ketua Komite Audit serta anggotanya, juga
9
Kepala National Tax Service beserta anggotanya) serta ketersediaan drama televisi tersebut
dalam format film dan video.,
Meneliti perilaku akuntan yang terpotret dalam drama televisi membutuhkan suatu
analisis yang dilakukan berdasarkan kata-kata dan tindakan, bukan dengan angka-angka.
Hubungan interaksi, pergerakan sosial, dan tindakan dapat diteliti dengan menggunakan
pendekatan kualitatif (Strauss dan Corbin, 1990), sebagaimana makna di balik tingkah laku
manusia merupakan hal esensial dalam penelitian kualitatif (Kasiram, 2008). Drama televisi
merupakan salah satu bentuk media dua dimensi yang berfokus pada gambar bergerak,
sehingga pendekatan kualitatif digunakan karena data-data dari gambar bergerak digunakan
sebagai sumber analisis (Hesse-Biber dan Leavy, 2004).
Penelitian ini mengombinasikan dua unsur ilmu sosial yaitu akuntansi dan budaya
populer. Pengombinasian budaya populer ke dalam ilmu akuntansi merupakan bentuk
dekonstruksi, yaitu memasukkan sesuatu “yang lain” ke dalam sesuatu yang dianggap pusat
(Triyuwono, 2013). Untuk itu, paradigma postmodernis digunakan dalam penelitian ini.
Dikutip dari Triyuwono (2013), paradigma postmodernis dapat dianalisis dengan
menggunakan kombinasi dari berbagai teori dari wilayah interpretivis dan kritis dengan
budaya, agama, dan lain-lain.
Metode analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis data yang bersumber dari media.
Wimmer dan Dominick (2011) mengungkapkan manfaat penggunaan analisis isi yang sesuai
dengan penelitian ini, yaitu memperkirakan gambaran kelompok tertentu di masyarakat.
Analisis isi digunakan dalam meneliti permasalahan sosial dalam suatu masyarakat, atau
mengenai prasangka terhadap suatu objek. Code of Ethics for Professional Accountants oleh
IFAC digunakan sebagai dasar acuan telaah perilaku akuntan. Nilai-nilai sosial yang dibawa
akuntan juga dijadikan acuan telaah dan interpretasi perilaku akuntan.
4. HASIL DAN DISKUSI
Drama televisi Korea menunjukkan beragam peran akuntan. Profesi yang muncul dalam
drama televisi Korea antara lain sebagai akuntan perusahaan, auditor internal, Ketua Komite
Audit beserta anggotanya, seorang ahli akuntansi, serta akuntan pajak dari lembaga National
Tax Service yang memiliki peran sebagai kepala lembaga dan tim audit pajak.
Hasil temuan analisis perilaku akuntan menunjukkan bahwa akuntan dapat berperilaku
etis dan tidak etis. Perilaku etis dan tidak etis akuntan ditelaah berdasarkan IFAC Code of
Ethics for Professional Accountants Part C (Professional Accountant in Business) sebagai
standar Kode Etik Akuntan Internasional, yang didasarkan pada prinsip dasar etika akuntan
10
pada Part A. Kode Etik Akuntan Internasional digunakan sebagai acuan telaah perilaku
karena kode etik tersebut merupakan dasar atau pedoman akuntan berperilaku yang berlaku
secara internasional. Penggunaan Part C dilandasi atas dasar peran akuntan yang ada dalam
drama televisi Korea memenuhi syarat akuntan profesional dalam bisnis; pegawai bergaji,
partner, direksi (eksekutif maupun non-eksekutif), owner manager, sukarelawan atau
seseorang yang bekerja untuk satu atau lebih organisasi pemberi kerja. Sebagaimana akuntan
profesional dalam bisnis menurut IFAC didefinisikan sebagai “A professional accountant
employed or engaged in an executive or non-executive capacity in such areas as commerce,
industry, service, the public sector, education, the not for profit sector, regulatory bodies or
professional bodies, or a professional accountant contracted by such entities.”
Terdapat lima prinsip dasar Kode Etik Akuntan Internasional dalam Part A IFAC Code of
Ethics for Professional Accountants, yaitu integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-
hatian profesional, kerahasiaan, dan perilaku profesional. Prinsip integritas mengharuskan
akuntan profesional untuk berperilaku yang jujur dan berterus terang. Prinsip objektivitas
mengacu pada perilaku tidak memihak serta menghindari konflik kepentingan yang dapat
memengaruhi keputusan profesional akuntan tersebut. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian
profesional menekankan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan pada level tertentu
untuk memberikan jasa yang berkualitas, serta bertindak berdasarkan standar teknikal dan
profesional yang berlaku. Prinsip kerahasiaan berarti perilaku akuntan yang tidak
membocorkan informasi kepada pihak ketiga, kecuali diperbolehkan karena adanya keperluan
hukum. Prinsip perilaku profesional mengharuskan akuntan untuk patuh terhadap hukum
yang relevan. kode etik akuntan profesional dibuat untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan
menunjukkan ancaman-ancaman yang mungkin dapat mengganggu keselarasan perilaku
akuntan dan prinsip dasar Kode Etik Akuntan Internasional.
Selain menelaah perilaku etis dan tidak etis berdasarkan kode etik akuntan internasional,
nilai sosial juga dijadikan pertimbangan dalam interpretasi. Caglio dan Cameran (2015)
mengelompokkan karakteristik perilaku etis dengan kriteria jujur, tulus, adil, taan hukum,
kuat moral, penuh hormat, tidak dapat disuap, dapat dipercaya, sadar akan pekerjaannya,
bertanggung jawab, teliti, dan berhati-hati. Sedangkan karakteristik perilaku tidak etis
ditandai dengan sifat-sifat yang berlawanan dengan karakteristik perilaku etis tersebut di atas,
ditambah dengan perbuatan curang, menipu, menghindari pajak, dan terlibat dalam suap dan
korupsi. Beberapa peran akuntan yang ditunjukkan memiliki sisi baik digambarkan secara
mendalam. Mereka memiliki waktu tayang yang lebih banyak, tidak hanya sekilas atau hanya
dalam hitungan detik saja. Beberapa dari mereka bahkan tampil dalam beberapa jumlah
11
episode. Waktu tayang yang lebih lama memberikan pemahaman yang lebih banyak pula
tentang kepribadian dan nilai-nilai yang dibawa oleh akuntan tersebut.
Peran akuntan yang dipotret dalam drama televisi Korea pada umumnya memiliki
kesamaan, yaitu mereka sangat menaati strata sosial. Hal ini merupakan sebuah budaya yang
kental bagi masyarakat Korea, dimana mereka menganut paham Konfusianisme yang
membuat masyarakatnya terbagi atas tingkatan-tingkatan tertentu. Choi (2004)
mengungkapkan dasar Konfusianisme yang disebut dengan “Sam Kang O Ryun” memiliki
prinsip ajaran moral yang menitikberatkan hierarki, termasuk kesetiaan antara yang berkuasa
dengan yang dipimpin, serta tingkatan antara yang tua dan yang muda. Dalam dunia kerja,
tingkatan ini ditentukan menurut jabatan serta pengaruh seseorang terhadap orang lain.
Sehingga, seseorang cenderung untuk mengagungkan orang lain dengan tingkatan yang lebih
tinggi, bahkan hingga menuruti apapun yang diperintahkan untuk menunjukkan rasa
hormatnya. Budaya semacam ini seolah-olah menjadi peraturan tak tertulis bagi masyarakat
Korea. Penggunaan bahasa yang sangat sopan juga dilandasi atas dasar alasan ini. Akuntan
yang digambarkan dalam drama televisi Korea, dari sisi baik maupun buruk, semuanya
menggunakan bahasa yang sopan dan baku untuk berbicara dengan lawan bicaranya.
6.1 Akuntan sebagai Sosok Pemberani
Akuntan terpotret sebagai seseorang yang berusaha mengungkapkan kecurangan yang
dilakukan oleh pihak tertentu di mana akuntan tersebut bekerja. Dalam kasus ini, pelaku
kecurangan adalah pimpinan perusahaan berupa penyajian informasi palsu berupa perusahaan
bayangan demi mempercantik laporan keuangan. Pada saat itu bawahan sang akuntan sudah
diajak untuk terlibat dalam kecurangan tersebut. Walaupun demikian, akuntan ini dapat
mempertahankan tanggung jawabnya untuk mendeskripsikan secara jelas keadaan sebenarnya
transaksi bisnis, aset, atau kewajiban. Akuntan melakukannya di depan pemimpin perusahaan
dan seluruh jajaran direksi yang hadir dalam rapat. Sebagaimana dikutip dalam Section 320
par. 2 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants: “A professional accountant in
business shall take responsible steps to maintain information for which the professional
accountant in business is responsible in a manner that describes clearly the true nature of
business transactions, assets, or liabilities”. Akuntan dengan tegas mengungkapkan fakta
mengenai kondisi sebenarnya aset yang dimiliki perusahaan dengan membuat laporan audit
yang terpisah dari laporan yang dibuat oleh bawahannya. Keberaniannya ditunjukkan dengan
penyajian presentasi dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh jajaran direksi. Laporan
tersebut berisi hasil temuannya atas pemeriksaan aset secara langsung, di mana ia menemukan
12
banyak transaksi palsu yang dilakukan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak benar-benar
ada. Atas paparan tersebut, akuntan mempertahankan prinsip integritasnya untuk menyajikan
informasi keuangan yang terus terang dan jujur.
Akuntan mencari tahu asal muasal kecurangan yang terjadi. Tindakan yang dilakukan
akuntan menunjukkan keselarasan dengan apa yang tersurat dalam Section 310 par. 6 IFAC
Code of Ethics for Professional Accountants yang menyebutkan,
“In identifying whether a conflict of interest exists or may be created, a professionalaccountant in business shall take reasonable steps to determine the nature of therelevant interests and relationships between the parties involved, and the nature ofthe activity and its implication for relevant parties.”
Dalam konteks ini, akuntan digambarkan sebagai salah satu jajaran eksekutif perusahaan.
Section 300 par. 5 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants menyebutkan bahwa,
“A professional accountant in business is expected, therefore, to encourage an ethics-based
culture in employing organization that emphasize the importance that senior management
places on ethical behavior.” Perilaku akuntan yang selaras dengan pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa akuntan dengan posisi yang tinggi masih menjunjung tinggi perilaku
etisnya.
Keberanian akuntan dalam mengambil langkah ditunjukkan dengan inisiatifnya untuk
mengungkapkan informasi terkait kepada pemegang saham karena ia mengetahui bahwa
kecurangan tersebut merupakan konflik kepentingan antara pimpinan perusahaan dan para
pemegang saham yang dapat menurunkan kepercayaan pemegang saham terhadap perusahaan.
Walaupun sempat ditentang, akuntan tetap memberikan informasi keuangan kepada pihak
yang terlibat dengan harapan untuk mendapatkan kembali kepercayaan para pemegang saham,
sehingga tidak menganggu jalannya perusahaan. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam
Section 310 par. 9 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants: ”In addition, it is
necessary to disclose the nature of the conflict to the relevant parties, including to the
appropriate levels within the employing organization...” sehingga akuntan memiliki bukti
bahwa pihak yang terlibat sudah mengetahui asal konflik, beserta informasi pendukung yang
dibutuhkan. Meskipun sempat diragukan oleh orang lain, pada akhirnya ia dapat membawa
dampak yang baik bagi perusahaan. Penggambaran akuntan sebagai ‘hero’ serupa dengan
hasil penelitian Evans dan Fraser (2012) bahwa akuntan digambarkan sebagai seorang
pahlawan pengungkap kebenaran dengan kesan yang positif.
13
6.2 Pengorbanan Akuntan Demi Menjaga Integritas
Penggambaran akuntan yang rela berkorban demi menjaga integritasnya sebagai ahli
akuntansi ditunjukkan dalam keputusannya untuk menolak perintah pimpinan bank untuk
memanipulasi dokumen keuangan. Akuntan digambarkan sebagai seorang ahli dengan
dedikasi tinggi pada tempatnya bekerja, serta dihargai oleh rekan-rekan kerjanya. Perubahan
isi dokumen memiliki dampak yang besar dan akan membawa keuntungan yang besar bagi
salah satu pihak, dalam hal ini kubu atasan sang akuntan, yaitu seorang pimpinan bank.
Perubahan dokumen tersebut akan digunakan untuk menjual bank yang bersangkutan. Dalam
kasus ini, akuntan dihadapkan dengan ancaman intimidasi yang akan memengaruhi prinsip
integritas, objektivitas, atau kompetensi serta kehati-hatian akuntan yang dilakukan oleh
pejabat perusahaan yang memiliki otoritas lebih tinggi dari akuntan. Sebagaimana tercantum
dalam Section 320 par. 4 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants:
“Threats to compliance with fundamental priciples, for example, self-interest orintimidation threats to integrity, objectivity or professional competence and due care,are created where a professional accountant in business is pressured (eitherexternally or by the possibility of personal gain) to prepare or report information ina misleading way or to become associated with misleading information through theactions of others.”
Akuntan ini bersikeras untuk tidak menuruti permintaan pemimpin bank dan tidak
melakukan perubahan apapun terhadap rasio tersebut. Hingga saat itu, akuntan dapat
mempertahankan integritas dan objektivitasnya. Sebagaimana tercantum dalam Section 110
par. 2 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants mengenai integritas:
“A professional accountant shall not knowingly be associated with reports, returns,communications or other information where the professional accountant believesthat the information contains a materially false or misleading statement, containsstatements or information furnished recklessly, or omits or obsecures informationrequired to be included where such omissions or obscurity would be misleading.”
Akuntan menolak untuk mengubah informasi keuangan karena tidak ingin menyesatkan
dan bertindak atas pengaruh orang lain sehingga menimbulkan keberpihakan pada salah satu
bagian perusahaan. Semakin keras penolakannya, pimpinan bank memberikan tekanan yang
lebih kuat. Tekanan yang diberikan adalah mengingatkannya pada masa lalu ketika ia
melakukan hal yang serupa, yaitu tidak menuruti permintaan pimpinan sehingga ia kesulitan
mendapatkan pekerjaan selama enam tahun dan dijanjikan akan diberi imbalan berupa harta.
Akuntan mengalami perang batin yang hebat. Kata hatinya menolak untuk melakukan
manipulasi data. Di sisi lain, ia tidak ingin membantah pimpinannya karena berpotensi untuk
kehilangan pekerjaannya, ia juga berkeinginan untuk memperbaiki ekonomi keluarganya.
14
Caglio dan Cameran (2015) mengungkapkan bahwa akuntan memang sangat memungkinkan
untuk menghadapi dilema etis yang tinggi yang disebabkan oleh kepentingan pribadi dan
kebutuhan finansial, terlebih setelah adanya skandal akuntansi beberapa tahun terakhir.
Akuntan akhirnya mengubah dokumen keuangan sesuai permintaan pemimpin bank, dan
oleh karena itu dianggap tidak etis karena telah gagal memenuhi prinsip integritas,
objektivitas, dan kerahasiaan. Hal ini ditunjukkan karena perilakunya tidak selaras dengan
Section 340 par. 3 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants: “A professional
accountant in business shall not manipulate information or use confidential information for
personal gain or for the financial gain of others”.
Bagaimanapun, akuntan akhirnya sadar bahwa ia tidak ingin melawan hati nuraninya.
Akhirnya ia mengambil kembali dokumen yang telah ia ubah, melaporkan pada seseorang
yang ia anggap bisa membantu, menjadi whistle-blower melalui media massa dengan
mengungkapkan kisah pribadinya kepada seorang reporter tanpa memberikan informasi
keuangan, dan mengembalikan semua imbalannya. Akuntan mengomunikasikan masalah ini
kepada seorang Ketua Serikat Pekerja, sebuah lembaga yang menaungi pekerja yang
diharapkan dapat mempertahankan hak-hak para pekerja untuk mencari keadilan. Tindakan
akuntan dibenarkan karena Section 100 par. 23 IFAC Code of Ethics for Professional
Accountants menyebutkan bahwa, “if a significant conflict cannot be resolved, a professional
accountant may consider obtaining professional advice from the relevant professional body
or from legal advisors” di mana Serikat Pekerja merupakan pihak yang relevan untuk konflik
tersebut. Sayangnya, akuntan ini dianggap tidak berkekuatan, karena pada akhirnya Ketua
Serikat Pekerja berkhianat dan memihak pimpinan bank yang lebih berkuasa. Pada akhirnya,
ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, dan beralih menjadi buruh bangunan. Tindakannya
ini selaras dengan Section 320 par. 7 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants:
“Where is it not possible to reduce the threat to an acceptable level, a professionalaccountant in business shall refuse to be or remain associated with information theprofessional accountant determines is misleading... In addition, the professionalaccountant may consider whether to resign.”
Keputusan ini dibuat oleh akuntan karena ia tidak ingin menyediakan informasi yang
menyesatkan dan merugikan banyak orang yang bertentangan dengan prinsip integritas.
Meskipun sebelumnya, ia sudah terlibat dalam kecurangan oleh pimpinan bank.
15
6.3 Akuntan sebagai Sosok Pekerja Keras
Akuntan digambarkan selalu hadir dalam diskusi perusahaan, yang membuat ia turut
andil dalam kelangsungan perusahaan. Perusahaan ini merupakan perusahaan iklan dalam
skala kecil yang sempat mengalami kesulitan karena mereka bersaing dengan perusahaan
serupa tapi dalam skala yang besar. Mengetahui pemilik perusahaan yang sangat sibuk
kesana-kemari demi mencari klien iklan, ia tetap melakukan pekerjaannya dalam mengatur
keuangan perusahaan. Ia juga memantau perkembangan pendapatan serta banyaknya order
yang diterima oleh perusahaan. Akuntan sadar akan tanggung jawabnya dalam perusahaan.
Dikutip dalam Section 130 par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants: “The
principle of professional competence and due care imposes the following obligations on all
professional accountants... To act dilligently in accordance with applicable technical and
professional standards when performing professional activities or providing professional
service.” Akuntan tidak melalaikan pekerjaannya dan menyelesaikan apa yang sudah
seharusnya ia kerjakan selaras dengan prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional,
sehingga ia dapat dipercaya untuk bertanggung jawab atas keuangan perusahaan.
Akuntan sempat menolak keputusan pemilik perusahaan untuk bekerja sama dengan
perusahaan besar karena pesimis akan perusahaannya yang memiliki perbedaan skala yang
besar dengan perusahaan partner. Walaupun demikian, akhirnya ia memutuskan untuk
mempercayai pemilik perusahaan dan bergabung kembali untuk bekerja sama dengan
perusahaan partner. Berada dalam lingkungan kerja yang berbeda terkadang sulit bagi
kebanyakan orang, namun akuntan dapat menyesuaikan diri berada di lingkungan kerja yang
baru setelah menerima tawaran kerjasama dengan perusahaan partner. Walaupun sifat
pesimisnya masih ada, ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya hingga tuntas.
6.4 Akuntan sebagai Sosok Profesional
Di tempat bekerja, akuntan digambarkan sebagai seseorang yang taat pada aturan,
ditunjukkan dengan caranya bekerja yang sesuai dengan prosedur. Akuntan sebagai auditor
internal melakukan audit internal atas adanya laporan dari salah satu departemen dalam
perusahaan. Tindakan yang taat pada aturan dan prosedur menunjukkan bahwa akuntan
menghindari pelanggaran hukum (Caglio dan Cameron, 2015). Ketaatan akuntan pada aturan
merupakan salah satu bentuk perilaku profesional seperti yang disebutkan dalam Section 150
par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants:
“The principle of professional behavior imposes an obligation on all professionalaccountants to comply with relevant laws and regulations and avoid any action that
16
the professional accountant knows or should know may discredit the profession. Thisincludes actions that a reasonable and informed third party, weighing all the specificfacts and circumtances available to the professional accountant at that time, wouldbe likely to conclude adversely affects the good reputation of the profession.”
Akuntan terpotret sebagai seseorang yang mempunyai sifat ingin tahu dalam
mengungkapkan suatu dugaan, dan melanjutkannya dengan berpikir kritis untuk mencari
kebenaran, sehingga dapat membawa akuntan pada kesimpulan yang membawa pencerahan
dalam pencarian bukti untuk kepentingan audit internal. Holland et al., (1969)
mengungkapkan bahwa akuntan diklasifikasikan dalam kategori Conventional dalam studinya
mengenai klasifikasi pekerjaan melalui kepribadian, di mana kategori konvensional memiliki
ciri-ciri antara lain menghindari situasi dan masalah yang ambigu serta menyukai aktivitas
yang sistematis, verbal, dan numerik. Konsisten dengan pendapat tersebut, akuntan
digambarkan akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang detail untuk menghindari
keambiguan dalam mencari bukti melalui wawancara.
Peran akuntan yang digambarkan sebagai anggota dari National Tax Service melakukan
pekerjaannya sesuai dengan prosedur. Tim audit pajak dari National Tax Service akan datang
ke perusahaan yang bersangkutan setelah menerima adanya laporan atau dugaan beserta bukti
yang mendukung yang diterima dari suatu pihak. Laporan tersebut biasanya berupa dugaan
penyelewengan pajak. Mengacu pada peraturan perpajakan Korea Article 81-6 of the
Framework Act on National Taxes yang berisi “Taxpayers subject to an audit may be selected
periodically in order to verify the propriety of tax returns or chosen when they are suspected
of having made omissions or errors in tax returns” serta dijelaskan pada petunjuk audit pajak
oleh National Tax Service yang menyebutkan bahwa pembayar pajak akan dipilih dalam audit
non-periodik apabila pembayar pajak gagal untuk memenuhi kewajiban pajak di bawah
peraturan yang terkait perpajakan, dicurigai atas transaksi palsu, terdapat laporan atas adanya
informasi konkret tentang penghindaran pajak oleh pembayar pajak, atau terdapat bukti yang
menunjukkan kecurigaan atas kesalahan yang dibuat pembayar pajak dalam pengembalian
pajak. Hal ini menunjukkan sikap akuntan profesional yang bekerja menurut prosedur yang
berlaku. Sebagaimana diungkapkan dalam Section 310 par. 1 IFAC Code of Ethics for
Professional Accountants bahwa, “The principle of professional behavior imposes an
obligation on all professional accountants to comply with relevant laws and regulations and
avoid any action that the professional accountant knows or should know may discredit the
profession.”
17
6.5 Akuntan Juga Manusia
Peran akuntan tidak hanya ditunjukkan dalam kehidupan dalam lingkungan kerja, namun
juga kehidupan sosialnya. Kepribadian akuntan yang dianggap unik oleh orang-orang terdekat
menunjukkan sisi manusiawi akuntan, yang menunjukkan sosok akuntan sebagai makhluk
sosial.
Peran akuntan unik terpotret sebagai wanita yang memiliki kepribadian dan penampilan
yang tidak seperti banyak orang pada umumnya, karena sifat dan cara berpakaian yang
berbeda dari standar umum masyarakat Korea. Perilaku akuntan ini ditunjukkan dalam
ungkapan verbal lawan bicaranya selagi ia bercengkrama mengenai anggapan rekan-rekan
kerjanya tentang sang akuntan. Melalui perkataan lawan bicaranya, akuntan digambarkan
sebagai sosok yang penuh senyum hingga pada posisi ia dikatakan terlalu banyak tersenyum,
dipandang kurang serius dalam pekerjaannya karena menggunakan bukti pembayaran sebagai
kertas lipat untuk dibuat hiasan. Ia juga sering ditemui sedang berada di pojokan ruangan
pada saat makan siang, tetapi ia hanya makan makanan kecil sendirian.
Akuntan bertindak terus terang dan apa adanya. Jika ia menyukai seseorang, ia akan
mengejar orang tersebut sampai ia mendapatkan perhatian dari orang yang disukainya.
Sebaliknya, jika ia tidak menyukai seseorang, ia memperlakukan orang tersebut dengan
kurang baik. Akuntan dalam kehidupan sosialnya digambarkan berinteraksi dengan orang-
orang di sekitarnya. Walaupun terlihat diam, ia sebenarnya memperhatikan lingkungannya,
yang ditunjukkan dengan pengetahuannya tentang kebiasaan orang-orang dalam
lingkungannya. Ia merupakan orang yang penyayang, terutama pada keluarganya.
Kepeduliannya terpancar ketika ia mengungkapkan bahwa adiknya adalah alasan ia selalu
tersenyum, terlepas dari hal apapun yang menimpanya. Ia juga digambarkan sebagai orang
yang pantang menyerah dalam mencapai targetnya, tergambarkan dengan kegigihannya dalam
mempertahankan dan berjuang untuk mendapatkan hal yang diinginkan.
Akuntan unik lainnya juga digambarkan dalam sosok seorang wanita. Berbanding
terbalik dengan akuntan dalam paparan sebelumnya, ia digambarkan sebagai pribadi yang
dingin dan jarang tersenyum. Kata-katanya disampaikan dengan terus terang tanpa basa-basi
dan terkadang menggunakan bahasa internet slang yang sulit dipahami orang awam. Tak
seperti kepribadiannya yang dingin, ia digambarkan berpenampilan eksentrik, berbagai
macam warna pakaian dan aksesoris dikenakan di seluruh tubuhnya, penampilan yang pada
dasarnya tidak akan dipakai oleh orang-orang pada umumnya. Sosok akuntan membosankan
telah berubah menjadi seseorang yang penuh warna dan lebih atraktif (Jeacle, 2009).
18
Akuntan sebagai manusia, tentunya tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Akuntan
digambarkan terjebak dalam godaan materialitas dan hedonisme. Harta dan jabatan menjadi
alasan terbesar akuntan rela melanggar prinsip-prinsip dasar kode etik akuntan internasional.
Mereka dihadapkan pada pilihan untuk mempertahankan prinsip-prinsip dasar kode etik
akuntan internasional, atau memiliki harta yang berlimpah dan jabatan yang tinggi. Secara
umum, akuntan dalam sisi buruknya digambarkan sebagai seseorang yang bisa ‘dibeli’ oleh
pihak-pihak dalam hubungan politik maupun dalam perusahaan, baik dengan uang maupun
jabatan. Dalam Section 310 par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants
disebutkan bahwa, “A professional accountant in business or an immediate or a close family
member may be offered an inducement. Inducements may take various forms, including gifts,
hospitality, preferential treatment, and inappropriate appeals to friendship or loyalty”. Sang
akuntan harus membantu si pembeli untuk membuat keadaan menjadi menguntungkan
baginya dengan segala cara. Penelitian Caglio dan Cameran (2015) memberikan hasil serupa
bahwa akuntan cenderung terlibat dalam tindak korupsi.
Tergambarkan dalam drama bahwa pemimpin perusahaan yang berkuasa dapat
merencanakan pelaksanaan audit pajak, bahkan dapat memerintah untuk mengubah jumlah
penalti yang dikenakan pada perusahaan yang dikenai audit pajak. Semuanya terlaksana demi
keuntungan pemimpin perusahaan tersebut. Dalam hal ini, akuntan menghadapi suatu
ancaman intimidasi dari pimpinan perusahaan yang berkuasa yang menyebabkan akuntan
tidak dapat berlaku objektif. Ancaman intimidasi ini timbul karena adanya konflik
kepentingan antara dua perusahaan besar. Keberpihakan akuntan kepada salah satu
perusahaan menunjukkan kegagalannya dalam memenuhi prinsip objektivitas. Akuntan
menuruti apa yang dikehendaki oleh sang pemilik perusaahaan. Section 310 par. 1 IFAC
Code of Ethics for Professional Accountants:
“A conflict of interest creates threat to objectivity and may create threats to otherfundamental principles. Such threats may be created when the professionalaccountant undertakes a professional activity related to a particular matter for twoor more parties whose interests with respects to that matter are in conflict.”
Salah satu peran akuntan yang lain digambarkan sering melakukan kerjasama dengan
politisi dan penyidik, di mana mereka menutupi kesalahan satu sama lain demi kepentingan
pribadinya. Mereka bertukar informasi secara diam-diam satu sama lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat pihak-pihak yang mengetahui informasi yang diketahui oleh
akuntan, yang seharusnya tidak dapat dibocorkan oleh akuntan. Hal ini bertentangan dengan
prinsip kerahasiaan yang melarang akuntan untuk mengungkapkan informasi kepada pihak
19
lain kecuali jika diperbolehkan oleh hukum dengan syarat-syarat tertentu. Section 140 par. 1
IFAC Code of Ethics for Professional Accountants menyebutkan:
“The principle of confidentiality imposes an obligation on all professionalaccountants to refrain from disclosing outside the firm or employing organizationconfidential information acquired as a result of professional and businessrelationships without proper and specific authority or unless there is a legal orprofessional right or duty to disclose, or using confidential information acquired as aresult of professional and business relationships to their personal advantage or theadvantage of third parties.”
Akuntan digambarkan sebagai orang yang lemah terhadap orang lain dengan derajat yang
lebih tinggi. Sang akuntan digambarkan lebih memilih untuk menghadiri penjamuan oleh
pimpinan perusahaan saat jam kerja, daripada melaksanakan pekerjaan yang seharusnya.
Maksud pimpinan perusahaan saat itu juga adalah untuk membuat akuntan tersebut berada di
pihaknya. Sang akuntan bahkan memberikan komentar yang kurang baik terhadap ketua
timnya. Dalam Section 350 par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants
disebutkan bahwa, “A professional accountant in business or an immediate or close family
member may be offered an inducement. Inducements may take various forms, including gifts,
hospitality, preferential treatment, and inappropriate appeals or loyalty”. Penawaran
semacam ini dapat menimbulkan ancaman terhadap objektivitas karena akuntan dapat
memihak orang yang memberinya penawaran, dan mengancam kehati-hatian karena akuntan
dapat memberikan informasi keuangan yang tidak seharusnya diberikan. Karena dalam hal ini
akuntan telah menerima penawaran tersebut, perilakunya tidak selaras dengan prinsip
objektivitas, di mana ia terpengaruh untuk melakukan hal yang akan menguntungkan
pimpinan perusahaan. Hal ini juga dapat menimbulkan konflik kepentingan yang tidak selaras
dengan prinsip objektivitas, di mana pemimpin perusahaan memiliki kepentingan yang
berbeda dengan pihak lain dalam perusahaan. Akuntan seharusnya tidak boleh terlibat dalam
konflik ini, sebagaimana tercantum dalam Section 310 par. 1 IFAC Code of Ethics for
Professional Accountants disebutkan bahwa:
“A conflict of interest creates a threat to objectivity and may creare threats to theother fundamental principles. Such threats may be created when the professionalaccountant undertakes a professional activity related to a particular matter for twoor more parties whose interests with respect to that matter are in conflict.”
Setelah penjamuan tersebut dilakukan, akuntan yang ikut dalam penjamuan membuat
laporan dengan menggunakan data palsu yang dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat sangat
sempurna. Laporan tersebut bahkan disajikan dalam rapat jajaran direksi perusahaan. Hal ini
menunjukkan bahwa akuntan tidak berhasil untuk mempertahankan prinsip integritas karena
20
ia terlibat dalam pembuatan informasi yang menyesatkan dalam jumlah yang material.
Padahal, dalam Section 110 par. 2 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants
diungkapkan bahwa,
“A professional accountant shall not knowingly be associated with reportsm returns,communications or other information where the professional accountant believesthat the information contains a materially false or misleading statement, containsstatements or information furnished recklessly, or omits or obscures informationrequired to be included where such omission or obscurity would be misleading.”
Pemegang saham dan pihak lain di dalam maupun di luar perusahaan menggunakan
informasi keuangan untuk membuat keputusan, sehingga tidak seharusnya akuntan
menyajikan informasi yang menyesatkan yang menyebabkan kesalahan pengambilan
keputusan oleh pengguna informasi tersebut. Sayangnya, perilaku akuntan digambarkan
menyalahi apa yang ada dalam Section 320 par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional
Accountants, “A professional accountant in business shall prepare or present such
information fairly, honestly and in accordance with relevant professional standards so that
the information will be understood in its context”.
Informasi keuangan yang dibuat menggunakan data palsu dapat menyesatkan pengguna
informasi keuangan. Akuntan mendapatkan ancaman kepentingan pribadi yang
menggoyahkan integritas yang disebabkan oleh tekanan dari luar maupun kepentingan diri
sendiri. Dalam hal ini, akuntan telah membuat laporan dengan data palsu yang berarti ia ikut
terlibat dalam pembuatan informasi keuangan yang menyesatkan. Disebutkan dalam Section
320 par. 4 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants bahwa:
“Threats to compliance with the fundamental principles,..,are created where aprofessional accountant in business is pressured (either externally or by thepossibility of personal gain) to prepare or report information in a misleading way orto become associated with misleading information through the actions of others.”
Peran akuntan yang lain digambarkan sebagai sebuah tim yang pada awalnya bekerja
sesuai prosedur, yaitu melakukan audit internal karena adanya laporan serta artikel yang
mengindikasikan adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah satu manajer perusahaan.
Sampai saat itu, akuntan mempertahankan prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional
yang disebutkan dalam Section 130 par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional Accountants
bahwa:
“The principle of professional competence and due care imposes the followingobligation on all professional accountants: to mantain professional knowledge andskill at the level required to ensure that clients or employers receive competentprofessional service, and to act dilligently in accordance with applicable technical
21
and professional standards when performing professional activities or providingprofessional services.”
Pada tengah pekerjaan, mereka menuruti permintaan oleh mantan atasan yang
bertentangan dengan prosedur kerja mereka. Lama kelamaan, pekerjaan yang dilaksanakan
menyimpang dari yang seharusnya, sehingga menciptakan keadaan yang menguntungkan
sang mantan atasan. Karena hal itu, akuntan gagal untuk mejaga prinsip objektivitas
sebagaimana tercantum dalam Section 120 par. 1 IFAC Code of Ethics for Professional
Accountants bahwa, “The principle of objectivity imposes an obligation on all professional
accountants not to compromise their professional or business judgement because of bias,
conflict of interest or the undue influence of others.” Serta dalam Section 120 par. 2 IFAC
Code of Ethics for Professional Accountants yang menyebutkan, “A professional accountant
shall not perform a professional activity or service if a circumtance or relationship biases or
unduly influences the accountant’s professional judgement with respect to that service”.
Akuntan tidak melakukan pekerjaan seperti yang seharusnya dan biasa dilakukan sebelumnya,
melainkan berlaku atas pengaruh dari mantan pimpinan perusahaan yang dulunya dihormati.
Tindakan akuntan yang semacam hanya akan memberi keuntungan pada pihak tertentu yang
terlibat sehingga menjadi tidak objektif. Kebenaran bahwa audit internal dilakukan atas
kehendak mantan atasan tidak diungkapkan secara langsung oleh akuntan. Melainkan, sang
mantan atasan sendiri yang mengatakan bahwa ia yang meminta audit internal tersebut untuk
dilaksanakan demi kepentingannya.
Berbagai macam perilaku akuntan terpotret dalam drama televisi Korea, baik perilaku
yang etis maupun tidak etis. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat memandang akuntan
dapat berlaku etis dan tidak etis, bahkan ketika pribadi akuntan dianggap sebagai orang yang
baik sekalipun, didukung oleh penelitian Felton et al., (2008) bahwa akuntan yang cenderung
baik dan netralpun tak luput dari godaan dan tergiur materialitas.
Selain interpretasi perilaku etis dan tidak etis yang ditelaah berdasarkan kode etik
akuntan international, interpretasi juga dilakukan berdasarkan nilai-nilai etika sosial yang
dibawa pada pribadi akuntan tersebut. Jika perilaku etis dan tidak etis akuntan berdasarkan
kode etik akuntan internasional mengindikasikan perilaku akuntan dalam dunia kerjanya,
nilai-nilai etika sosial dapat mengindikasikan sekaligus perilaku akuntan di luar dunia kerja.
Perilaku etis akuntan dilihat dari nilai etika sosial yang terpotret dalam drama televisi Korea
dapat memberikan gambaran yang positif dan kesan yang baik pada profesi akuntan.
Sebaliknya, perilaku tidak etis akuntan berdasarkan nilai etika sosial dapat mengganggu
22
anggapan masyarakat terhadap profesi akuntan, dan bahkan dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap profesi akuntan.
5. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN
IMPLIKASI
Drama televisi Korea memberikan gambaran perilaku peran akuntan dalam berbagai
macam profesi, seperti akuntan perusahaan, auditor internal, ahli akuntansi, Ketua Komite
Audit beserta anggotanya, serta Kepala National Tax Service dan anggotanya. Secara umum,
akuntan digambarkan sebagai seseorang yang sopan dalam tutur katanya. Mereka bekerja atas
dasar hierarki sosial dan menghormati orang-orang di sekitarnya, yang merupakan pengaruh
dari ideologi Konfusianisme yang mana ideologi ini menjunjung tinggi penghormatan kepada
orang yang lebih tua serta orang yang memiliki posisi yang lebih tinggi. Ideologi ini telah
mendarah daging menjadi sebuah budaya masyarakat Korea.
Potret perilaku akuntan dalam drama televisi Korea digambarkan melalui berbagai
macam sisi. Akuntan digambarkan sebagai sosok pemberani terpancar dari tindakan
heroiknya untuk mengungkapkan kecurangan pimpinan perusahaan yang dilakukan di
hadapan pimpinan beserta jajaran direksi serta memberikan informasi terkait kepada pihak-
pihak yang terlibat. Perilaku akuntan yang lain digambarkan sebagai seseorang yang rela
berkorban demi mempertahankan integritasnya sebagai akuntan. Ia sempat terjebak dalam
godaan materialitas, namun keputusannya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan
menunjukkan keteguhannya untuk menjaga integritas. Perilaku akuntan yang pekerja keras
ditunjukkan dengan tetap melakukan pekerjaannya terlepas dari apapun yang terjadi pada
perusahaannya, sehingga ia dipercaya untuk bertanggung jawab atas keuangan perusahaan
dan turut andil dalam setiap program yang diadakan perusahaannya. Akuntan terpotret
sebagai sosok profesional. Mereka dikenal sebagai orang yang taat pada aturan yang ada.
Tindakan yang diambilnya didasarkan pada prosedur yang berlaku pada saat itu. Terpotret sisi
akuntan yang menyadarkan bahwa akuntan juga manusia. Akuntan digambarkan dalam
kesehariannya dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya di luar lingkungan
pekerjaan. Meskipun ia diberi julukan ‘alien’ di tempat kerja, ia dikenal sebagai pribadi yang
penyayang, peduli, dan gigih dalam mencapai tujuannya. Akuntan juga digambarkan sebagai
seseorang yang tak luput dari kesalahan yang tergiur dan terjebak akan materialitas dan
hedonisme, sehingga gagal mempertahankan prinsip-prinsip dasar kode etik akuntan. Akuntan
terpotret dari berbagai macam sisi, namun pada dasarnya semua keputusan yang diambil oleh
23
sang akuntan akan memengaruhi pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Drama televisi Korea yang menampilkan sosok akuntan dari berbagai macam sisi
menunjukkan pandangan dan anggapan sosial masyarakat terhadap akuntan. Akuntan
dianggap mampu mempertahankan perilaku etisnya dengan menjaga prinsip-prinsip dasar
akuntan internasional, namun masih memiliki sisi lain sebagai seorang manusia.
Penelitian ini mengambil sampel drama televisi Korea yang ditayangkan dalam kurun
waktu enam tahun terakhir, yaitu dari tahun 2010 hingga 2015. Hal ini disebabkan oleh
ketidaktersediaan drama televisi Korea sebelum tahun 2010 dalam format video untuk
dijadikan subjek penelitian. Keterbatasan ini menyebabkan penelitian tidak dapat memberikan
penggambaran perilaku akuntan yang terpotret sebelum tahun 2010 yang mungkin dapat
memberikan gambaran perilaku akuntan yang lebih luas dan beragam. Beberapa drama
televisi Korea tidak didapatkan dari situs resmi saluran televisi penayang drama televisi
tersebut, sehingga translasi dari bahasa Korea ke bahasa Inggris mungkin tidak memberikan
terjemahan secara literal. Drama televisi Korea juga tidak memberikan detail terkait dengan
alur cerita peran akuntan. Ruang yang terbatas ini menyebabkan peneliti tidak mampu
menelusuri informasi menyangkut latar belakang pendidikan masing-masing peran akuntan,
sehingga peneliti berasumsi bahwa peran akuntan tersebut berlatar belakang akuntansi.
Peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak penggunaan data yang didapatkan
dari situs resmi stasiun televisi penayang sehingga bisa mendapatkan terjemahan yang lebih
mendekati realita. Peneliti selanjutnya juga diharapkan untuk dapat menggunakan media
budaya populer yang lain untuk menganalisis potret akuntan.Pandangan publik terhadap suatu
profesi sedikit banyak akan memengaruhi kelangsungan profesi tersebut. Pandangan yang
baik terhadap akuntan memberikan kesan yang baik pula, serta menunjukkan kepercayaan
masyarakat terhadap akuntan. Anggapan yang buruk dikhawatirkan akan membawa pengaruh
buruk pula pada profesi tersebut karena menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
suatu profesi, khususnya akuntan. Oleh karena itu, profesi akuntan maupun kantor akuntan
publik dapat menyeimbangkan antara profesionalitas sebagai akuntan dan nilai-nilai yang
dibawa oleh pribadi masing-masing sebagai individu. Sebab, etika seorang akuntan tidak
hanya dilihat dari profesionalitas yang dimiliki, namun juga nilai-nilai pribadi yang tertanam
dalam pribadi akuntan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
24
__________.Framework on National Taxes. 2014. Republic of Korea (Tersedia onlinehttp://elaw.klri.re.kr)
Bay, Darlene. Felton, Sandra. 2012. Using Popular Film As A Teaching Resource inAccounting Classes. American Journal of Business Education, Vol. 2, No. 2, p. 159-172
Bordieu, Pierre. Nice, Richard (Ed).1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement ofTaste. Routledge. London
Brown, Judy. 2010. Accounting and Visual Cultural Studies: Potentialities, Challenges, andProspects. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 23, No. 4, p.482-505
Brym, Robert J. Lie, John. 2010. Sociology: Pop Culture to Social Structure, Third Edition.New York. Wadsworth
Caglio, Ariela. Cameran, Mara. 2015. Is It Shameful to be an Accountant? GenMePerception(s) of Accountants’ Ethics. Abacus, Forthcoming. Tersedia dalam SSRN:http://ssrn.com/abstract=2698252
Champoux, Joseph E. 1999. Film as a Teaching Resource. Journal of Management Inquiry,Vol. 8, No. 2, p.240-251
Choi, Jongtae. 2004. Transformation of Korean HRM Based on Confucian Values. SeoulJournal of Business, Vol. 10, No. 1, p.1-26
Czarniawska, Barbara. 2000. The Uses of Narrative in Organization Research. GothenburgResearch Institute Report, April 2000, p.1-39.
Czarniawska, Barbara. 2008. Accounting and Gender Across Times and Places: An Excursioninto Fiction. Accounting, Organizations and Society, Vol. 33, No. 1, p. 33-47
Czarniawska, Barbara. 2012. Accounting and Detective Stories: An Excursion to the USA inthe 1940s. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 25, No. 4, p. 659-672
Davidson, Jane. 2015. Visualising Accounting: An Interdisciplinary Review and Synthesis.Accounting and Business Research, Vol. 45, No. 2, p. 1-45
Downing, Lisa. Saxton, Libby. 2010. Film and Ethics Foreclosed Encounters. New York.Routledge
Dyer, Richard. 2013. The Matter of Image: Essays on Representations, 2nd Ed. Routledge.London
Evans, Lisa. Fraser, Ian. 2012. The Accountants’ Social Background and Stereotype inPopular Culture: The Novels of Alexander Clark Smith. Accounting, Auditing, andAccountability Journal, Vol. 25, No. 6, p.964-1000
Felton, Sandra. Dimnik, Tony. Bay, Darlene. 2008. Perceptions of Accountants’ Ethics:Evidence from Their Portrayal in Cinema. Journal of Business Ethics Vol. 83, p.217-232
25
Friedman, Andrew L. Lyne, Stephen R. 2001. The Beancounter Stereotype: Towards aGeneral Model of Stereotype Generation. Critical Perspectives on Accounting, Vol. 12, p.423-451
Giacalone, Robert A. Jurkiewicz, Carole L. 2001. Lights, Camera, Action: Teaching EthicalDecision Making Through the Cinematic Experience. Teaching Business Ethics, Vol. 5,No. 1, p.79-87
Giddens, Anthony. 2006. Sociology, 5th Ed. Polity Press. Cambridge
Gray, S. J. 1988. Towards a Theory of Cultural Influence on Development of AccountingSystems Internationally. ABACUS, Vol. 24, p.7
Hesse-Biber, Sharlene. Leavy, Patricia (Ed). 2004. Approaches to Qualitative Research.Oxford. Oxford University Press.
Hinton, Perry R. 2000. Stereotype, Cognition and Culture. Psychology Press. New York
Holland, John L. Whitney, Douglas R. Cole, Nancy S. Richards, James M. 1969. AnEmpirical Occupational Classification Derived from a Theory of Personality andIntended for Practice and Research. Act Research Report American College TestingProgram, No. 29, April 1969
Hong, Euny. 2014. Korean Cool. Terjemahan Saputri, Yenni. 2016. Yogyakarta: PenerbitBentang
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape danMediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta. Jalasutra
International Federation of Accountants. 2015. Handbook of the Code of Ethics forProfessional Accountants. New York
Jacobs, Kerry. Evans, Steve. 2012. Constructing accounting in the mirror of popular music.Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 25, No. 4, p. 673 – 702
James, Kieran. 2008. A Critical Theory and Postmodernist Approach to The Teaching ofAccounting Theory. Critical Perspectives of Accounting, Vol. 19, No. 5, p. 643-676
Jeacle, Inggrid. 2009. “Going to the movies”: Accounting and twentieth century cinema.Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 22, No. 5, p. 677-708.
Jeacle, Ingrid. 2012. Accounting and Popular Culture: Framing a Research Agenda.Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 25, No. 4, p.580-601
Jeacle, Ingrid. Carter, Chris. 2012. Fashioning the Popular Masses: Accounting as MediatorBetween Creativity and Control. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol.25, No. 4, p. 719 – 751
Jeacle, Ingrid. Carter, Chris. 2014. Creative Spaces in Interdisciplinary Accounting Research.Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 27 No. 8, p. 1233-1240
26
Joo, Jeongsuk. 2011. Transnationalization of Korean Popular Culture and The Rise of “PopNationalism” in Korea. The Journal of Popular Culture, Vol. 44, No. 3, p.489-504
Kasiram, Mohammad. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif. Malang. UIN-Maliki Press.
Kernodle, Tom. 2009. Effective Media Use: Using Film and Television to Instruct anOrganizational Behavior Course. American Journal of Business Education, Vol. 2, No. 8,p.37-50
Kim, Jinyoung. Lee, Jongoh. 2014. Korean Pop Culture: A Decade of Ups and Downs.International Journal of Multimedia and Ubiquitous Engineering, Vol. 9, No. 3, p.129-134
Laurel, Abigail. 2012. Hallyu Doin’: An Examination of The Korean Wave. The GallatinResearch Journal 2012
Lee, Mordecai. 2002. Management History as Told by Popular Culture: The Screen Image ofThe Efficiency Expert. Management Decision, Vol. 40, No. 2, p.881-894
Lee, Suejin. 2011. The Korean Wave: The Seoul of Asia. The Elon Journal of UndergraduateResearch in Communication, Vol. 2, No. 1, p.1-9
Miley, Frances. Read, Andrew. 2012. Jokes in Popular Culture: The Characterisation of TheAccountant. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 25, No. 4, p.703-718
Park, Youngseon. 2014. Trade in Cultural Goods: A Case of the Korean Wave in Asia.Journal of East Asian Economic Integration, Vol. 18, No. 1 (March 2014), p. 83-107
Shim, Doobo. 2006. Hybridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia. MediaCulture Society, Vol. 28, No. 1, p.25-44
Smith, David. Jacobs, Kerry. 2011. Breaking Up The Sky: The Characterisation ofAccounting and Accountants in Popular Music. Accounting, Auditing, and AccountabilityJournal, Vol. 24, No. 7, p.904-931
Strauss, Anselm. Corbin, Juliet. 1990. Basics of Qualitative Research. California. SagePublications
Strinati, Dominic. 2004. An Introduction to Theories of Popular Culture. New York.Routlegde
Storey, John. 2009. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction, Fifth Edition.Harlow. Pearson.
Triyuwono, Iwan. 2013. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk PengembanganDisiplin Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi 16. Manado
27
Wai-ming, Benjamin Ng. 2001. From Oshin to Beautiful Life: A Study of JapaneseTelevision Dramas in Singapore. Asian Culture (Singapore Society of Asian Studies,Singapore), Vol. 25, p.71-82
Whiteman, Gail. Phillips, Nelson. 2006. The Role of Narrative Fiction dan Semi-Fiction inOrganizational Studies. ERIM Report Series Research in Management. Tersedia dalamSSRN: http://ssrn.com/abstract=981296
Wimmer, Roger D. Dominick, Joseph R. 2011. Mass Media: An Introduction, 9th Ed.Wadsworth. Boston
Wijaya, Masroni Ari. 2014. Representasi Shoushokukei Danshi yang Tercermin pada TokohMasamune Asuka dalam Drama Otomen Karya Masaki Tanimura. Skripsi. UniversitasBrawijaya
Yang, Jonghoe. 2012. The Korean Wave (Hallyu) in East Asia: A Comparison of Chinese,Japanese, and Taiwanese Audiences Who Watch Korean TV Dramas. Deveopment andSociety, Vol. 4, No. 1, p.103-147