Perpajakan

download Perpajakan

If you can't read please download the document

Transcript of Perpajakan

14

BAB IPENDAHULUANLatar BelakangPajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan salah satunya yaitu penerimaan dari sektor pajak. Melihat sistematika dasar tata hukum di atas, di mana letak Hukum Pajak berada dalam tata hukum nasional kita. Dalam literatur ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara.

Dari hal di atas maka penulis ingin mengungkapkan masalah perpajakan yang ada di masyarakat tentang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. hal ini dilakukan agar penerimaan negara melalui sektor pajak dapat maksimal.Rumusan MasalahDalam rumusan masalah ini, penulis ingin mengetahui tentang:

Apakah yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai dan objek dari PPN?Apakah yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dan objek dari PPh?Apakah yang dimaksud dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan objek dari PPnBM?Masalah-masalah yang muncul dari PPN, PPh, dan PPnBM?

TujuanTujuan dari penulisan makalah ini adalah:

Menjabarkan tentang Pajak Pertambahan Nilai dan objeknya beserta masalah-masalah yang muncul.Menjabarkan tentang Pajak Penghasilan dan objeknya beserta masalah-masalah yang muncul.Menjabarkan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan objeknya beserta masalah-masalah yang muncul.

BAB IIPEMBAHASANPengertian PajakPajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.Pajak Pertambahan NilaiPajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak objektif di mana kondisi objeknya merupakan pertimbangan utama untuk mengenakan jenis pajak ini. Nah, salah satu kondisi objektif yang harus dilihat dalam mengenakan PPN adalah apakah barang yang diserahkan adalah barang yang kena pajak atau barang yang tidak kena pajak.

Barang yang dikenakan pajak ini lebih dikenal dengan istilah Barang Kena Pajak atau disingkat BKP. Barang yang tidak dikenakan pajak tidak memiliki istilah khusus, namun banyak orang lebih suka menyebutnya Non BKP yang berarti bukan barang yang dikenakan PPN.Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang PPN. Dengan demikian, UU PPN ini menggunakan metode negative list untuk menentukan apakah suatu barang digolongkan sebagai BKP atau Non BKP.Penentuan jenis barang yang tidak kena PPN ini diatur dalam Pasal 4A ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang PPN. Dalam UU PPN lama, Pasal 4A ayat (1) dan (2) ini hanya mengatur kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN, sedangkan jenis barangnya sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sementara itu, dalam UU Nomor 42 Tahun 2009, kelompok dan jenis barang yang tidak dikenakan PPN langsung diatur oleh Pasal 4A ini dan penjelasannya sehingga nantinya tidak diperlukan lagi Peraturan Pemerintah yang mengatur jenis barang yang tidak dikenakan PPN ini.Penerimaan Negara melalui PPN adalah sebesar 34% dari total sumber penerimaan negara melalui pajak.

Pajak PenghasilanPajak penghasilan sebagai salah satu sumber penerimaan negara dimana pajak penghasilan ini diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pajak yang dikenakan atas penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan seperti yang dinyatakan dalam pasal 21 UU Pajak Penghasilan (Mardiasmo, 1999).

Pajak penghasilan pasal 21 dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu pemberi kerja, bendaharaan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggaraan kegiatan.Pajak penghasilan pasal 21 yang telah di potong dan disetorkan secara benar oleh pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari suatu pemberi kerja merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, sehingga pada akhirnya tahun pajak terhadap pegawai atau orang tersebut tidak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan.Keputusan Direktorat Jendral Pajak tentang jenis jasa lain dan penghasilan neto dalam pasal 23 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 berlaku sejak tanggal 28 April 2002 sebagai berikut :Dalam keputusan perubahan yang dimaksud dengan imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa katering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan material/barang. Dan yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain konstruksi dan katering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasa saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.

Pajak Penjualan atas Barang MewahPPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap :

penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor.

Objek PajakObjek Pajak PPNBerdasarkan Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 diatur bahwa objek pajak yang dikenakan PPN adalah:

penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusahaimpor Barang Kena Pajak penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusahapemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabeanpemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajakekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; danekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Objek Pajak PPhObjek Pajak PPh Final

bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;penghasilan berupa hadiah undian;penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, sertapenghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Objek Pajak PPnBMPajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas :

Penyerahan BKP yang tergolong Barang Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong Barang Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya.Impor BKP yang tergolong Barang Mewah.

PPn.BM dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong Barang Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.

Masalah-Masalah yang Muncul dan PemecahannyaMasalah-masalah yang muncul akibat pengenaan pajak adalah sebagai berikut:

Dalam PPnBM.

Permasalahan permasalahan kecil sebenarnya sudah muncul beberapa kali sejalan dengan munculnya inovasi-inovasi pabrikan mobil untuk merebut pasar. Contohnya adalah saat beberapa pabrikan mengeluarkan sedan hatchback yang dipersamakan sebagai minibus. Tetapi permasalahan tersebut masih bisa ditolerir dan bisa diterima masyarakat industri mobil dikarenakan mereka sudah memiliki suatu peng-klasifikasi-an tersendiri. Secara gentlement aggreement, di kalangan pelaku industri mobil telah ada definisi tersendiri mengenai sedan dan minibus. Dimana sedan merupakan kendaraan 3 kabin (mesin, penumpang dan bagasi) sedangkan minibus/MPV memiliki 2 kabin (mesin dan penumpang).

Namun saat ini muncul permasalahan yang cukup mengganggu, kala suatu pabrikan mobil merilis suatu model yang secara awam berbentuk sedan namun diklaim sebagai mobil minibus (secara pajak). Ini dikarenakan jendela belakang berteknologi liftback seperti yang ada pada mobil minibus lain. Para pelaku industri yang lain beranggapan bahwa tindakan ini merupakan suatu jenis cheating untuk merebut pasar. Karena telah melenceng dari gentlement aggreement yang ada.

Akibat dari tindakan ini, tipe mobil tersebut dapat dipasarkan dengan harga yang lebih murah dikarenakan hanya dikenakan tarif 10% (=minibus) dibandingkan jika dia digolongkan sebagai sedan yang akan dikenakan tarif 20%. Secara ekonomi, ini tentu memberikan keuntungan bagi masyarakat konsumen untuk mendapatkan mobil dengan harga yang lebih murah. Namun jika dilihat secara fiskal, sudah jelas ada potensi penerimaan PPn BM per unit yang hilang. Bahkan efek jangka panjangnya akan memberi yurisprudensi bagi para pelaku industri lain untuk berperilaku yang sama. Ini berarti secara fiskal akan timbul lagi suatu potential loss.

Permasalahan semakin ruwet jika kita runut lagi bahwa penentuan golongan suatu mobil bukan hanya menyangkut kewenangan Departemen Keuangan (DJP) dalam hal fiskal, namun juga terkait dengan kewenangan dari Departemen Perindustrian dalam hal teknis dan uji tipe. Sehingga memerlukan koordinasi yang memadai antar lembaga.

Hal ini sebetulnya bukanlah kasus pertama, sebelumnya pernah ada kasus serupa saat mobil double cabin masuk ke pasar mobil di Indonesia. Pada saat itu kalangan industri juga gamang mengenai tipe ini. Ada yang beranggapan menggolongkan sebagai kendaraan angkutan barang, ada pula yang menggolongkan sebagai kendaraan angkutan penumpang.

Cara Pemecahannya :karena menyangkut masalah bahasa hukum maka permasalahan tersebut tidak mencapai suatu kepastian. Sampai akhirnya permasalahan tersebut dapat teratasi dengan diakomodasinya mobill tipe ini dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 355/KMK.04/2003 tentang Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenakan PPn BM yang merupakan aturan terakhir mengenai PPn BM kendaraan bermotor.

Analisa peraturanDalam KMK 355 tahun 2003 dapat disimpulkan bahwa tipe/jenis mobil yang dikenakan PPn BM adalah :Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon.Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double Cabin)Sedan atau station wagon

Dari keempat tipe yang ada dalam aturan tersebut, sekilas terlihat tidak ada permasalahan akan pembagian tersebut. Namun jika kita teliti lebih lanjut, ada tumpang tindih antara tipe nomor 2 dan nomor 4. Akan timbul pertanyaan; Apa perbedan sedan dan selain sedan ? atau; Apakah perbedaan minibus dan station wagon? Secara awam, pertanyaan tersebut sangat mudah dijawab. Namun jika merujuk definisi, pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai saat ini masih belum memperoleh jawaban yang memadai. Hal ini semakin penting jika dikaitkan dengan pengenaan PPn BM yang melibatkan nilai yang sangat material.

Jika kita lihat esensi dari pembagian tarif yang berdasarkan kapasitas mesin maka akan terlihat bahwa semakin banyak konsumsi BBM maka dianggap semakin mewah. Bahkan bila dihubungkan dengan pengelompokkan tarif yang dinyatakan dengan jumlah penumpang, maka terlihat bahwa rasio konsumsi BBM per penumpang yang lebih banyak dianggap lebih mewah. Dalam kenyataan dilapanganpun bisa kita lihat bahwa semakin mewah suatu kendaraan maka jumlah penumpang yang diangkut pun semakin sedikit.

Dalam PPN

Masyarakat saat ini mengenal pajak yang dikenakan di restoran maupun rumah makan adalah PPN.

Cara Pemecahannya :Melalui sosialisasi Pasal 4A dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPNBM.

Dalam PPh

Pasal 8 ayat 1 merupakan pasal yang mengatur tentang penghitungan pajak bagi orang pribadi yang telah kawin. Semangat yang melandasi pasal ini adalah bahwa keluarga dianggap sebgai satu kesatuan ekonomi. Hal ini tercantum dalam penjelasan pasal 8 ayat 1 tersebut yang berbunyi sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.masalah akan muncul jika kita melanjutkan membaca pasal 8 ayat 1 tersebut, yaitu: kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.Jika kita cermati, pada dasarnya penghasilan istri harus digabung dengan penghasilan suami, kecuali:1. penghasilan tsb dari 1 pemberi kerja, dan2. penghasilan tersebut tidak ada hubungan dengan usaha/ pekerjaan bebas suami

masalah yang muncul dari hal tersebut adalah bagaimana jika penghasilan istri tersebut diperoleh dari suaminya yg memiliki usaha/ melakukan pekerjaan bebas? Apakah penghasilan tersebut digabung atau dipisah? Jika digabung, bagaimana mekanisme penggabungannya? Apakah dilakukan koreksi biaya (dianggap sebagai prive) (nondeductible) atau tetap dianggap sebagai penghasilan istri (deductible), dan dijumlahkah dengan penghasilan netto suami dan pph 21 yg telah dipotong dijadikan sebagai kredit pajak?

Cara Pemecahannya :Sebenarnya masalah tersebut tidak akan muncul jika OP tersebut menggunakan norma penghitungan netto, karena biaya tidak diperhitungkan. Maslaah baru muncul jika OP menggunakan pembukuan.Penghasilan istri tersebut seharusnya tetap dianggap sebagai biaya (deductible). Oleh karena itu, tetap dianggap sebagai beban gaji dan dipotong PPh 21 (taxable). Hal ini karena Pasal 21 mewajibkan pemberi kerja harus memotong PPh atas gaji karyawan. Dan dalam penjelasannya, Pemberi kerja adalah termasuk orang pribadi. Oleh karena itu, suami wajib memotong PPh pasal 21 atas gaji istri.Mengapa tidak dilakukan koreksi fiskal sebagaimana dimaksudkan dalam form SPT OP 1770 bagian A angka 2 huruf g (gaji untuk pemilik dan tanggungannya)? Karena istri bukan merupakan tanggungan. Tanggungan adalah keluarga yang memiliki hubungan sedarah dan semenda (pasal 18 ayat 4). Sedangkan istri adalah hubungan yang timbul karena adanya perkawinan semata. Jadi, pemberian penghasilan kepada istri bukan merupakan hubungan istimewa, sehingga tidak perlu dikoreksi fiskal atas biaya tersebut.Lalu bagaimana dengan semangat yang pasal 8 ayat (1) yang menyatakan keluarga adalah satu kesatuan ekonomi? Semangat pasal ini dilaksanakan dengan menggabungkan penghasilan netto istri dengan penghasilan netto suami. Oleh karena itu, penghasilan istri tersebut dimasukkan dalam lampiran I bagian C spt 1770 PPh OP dan nantinya akan dijumlahkan dengan penghasilan suami. Jika perlakuan thd penghasilan istri ini adalah dengan dilakukan koreksi fiskal (dimasukkan dalam lampiran 1 bagian A angka 2 huruf g SPT PPh OP) hal tersebut justru menganggap istri menjadi tidak punya penghasilan (buktinya penghasilan istri tsb tidak tdp dalam lampiran I bagian C). selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, perlakuan ini juga tidak sesuai, karena sebenarnya istri bukanlah tanggungan sehingga tidak termasuk dalam pengertian transaksi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU PPh dan pasal 9 ayat (1) huruf f.Lalu bagaimana dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong? PPh pasal 21 yang telah dipotong tersebut dijadikan sebagai kredit pajak atas PPh terutang, yang dihitung dari gabungan penghasilan netto suami dan penghasilan netto istri setelah dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARANDari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan pajak ditemui berbagai kendala. Pemerintah dan Ditjen pajak harus mensosialisasikan setiap peraturan yang ditetapkan kepada masyarakat. dan juga harus melakukan kontrol yang ketat kepada wajib pajak dan proses pemungutannya. Pemerintah dan Ditjen pajak juga harus menjelaskan secara jelas objek dari pajak tersebut agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan di masyarakat.Agar dapat memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak pemerintah dapat melanjutkan langkah-langkah reformasi perpajakan, antara lain melalui peningkatan partisipasi masyarakat, perbaikan regulasi dan sistem perpajakan, serta penegakan hukum: Peningkatan kualitas pelayanan pajak kepada publik; Pembenahan peraturan PPh & PPN; Pemberian insentif perpajakan bagi masyarakat dan dunia usaha; Penggalian potensi pajak, terutama pada sektor-sektor unggulan, seperti sektor pertambangan; Penguatan keberpihakan perpajakan pada kepentingan nasional dan pencegahan penghindaran pajak; Sinergi pertukaran data antar instansi untuk memperkuat basis data potensi pajak; Peningkatan pelaksanaan Sensus Pajak Nasional; Pengembangan jaminan kualitas (quality assurance) untuk perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan pajak; Penegakkan hukum yang lebih tegas dan adil (tanpa pandang bulu).