PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PADA NIKAH ...digilib.unila.ac.id/55097/3/SKRIPSI...
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PADA NIKAH ...digilib.unila.ac.id/55097/3/SKRIPSI...
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAKPADA NIKAH SIRRI SYAR’I BAGI PASANGAN MUSLIM
(Skripsi)
Oleh
AYU DEWI KARTIKA SARI
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAKPADA NIKAH SIRRI SYAR’I BAGI PASANGAN MUSLIM
Oleh:Ayu Dewi Kartika Sari
Nikah sirri syar’i atau lazim juga disebut nikah bawah tangan dalam konteksmasyarakat Indonesia adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil walidan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas PencatatNikah (PPN) sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidakdicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan sendirinya tidakmempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, faktor-faktorpenyebab nikah sirri syar’i bagi pasangan muslim, perlindungan hukum terhadapperempuan dan anak pada nikah sirri syar’i bagi pasangan muslim, dan bentukperlindungan hukum terhadap perempuan dan anak pada nikah sirri syar’i bagipasangan muslim.
jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif. Tipepenelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakanadalah yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiriatas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yangkemudian dianalisis secara kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakanstudi pustaka.
Hasil penelitian dan pembahasan ini adalah faktor-faktor yang melatar belakangiterjadinya nikah sirri syar’i adalah adanya faktor ekonomi, belum cukup umur,anggapan bahwa nikah sirri syar’i sah mennurut agama, hamil diluar nikah,kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai pencatatatnperkawinan, dan faktor sosial. Perlindungan hukum bagi perempuan dalam nikahsirri syar’i bagi pasangan muslim tidak ada atau belum diatur dalam hukumpositif di Indonesia, hal ini terkait dengan status nikah sirri syar’i yang dianggapbatal atau tidak sah bila dilakukan. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuhdi Pengadilan Agama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anakyang lahir dari nikah sirri syar’i, dapat diperoleh dengan adanya produk dariPengadilan Agama berupa penetapan isbat nikah dan penentapan asal-usul anak.Tidak ada bentuk perlindungan hukum terhadap perempuan nikah sirri syar’i diIndonesia, bentuk perlindungan hukum bagi perempuan dapat dilakukan apabila,pelaku nikah sirri syar’i melakukan pencatatan perkawinan dan Isbat nikah. Salahsatu bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada anak dalam nikah
ii
sirri syar’i adalah berdasarkan Putusan MK nomor 46/PUU-VII/2010 adanyapenyempurnaan perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP mengenai hubungan perdataanak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya yang berupa nasab, mahram, hak dankewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan bagi anak.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Nikah Sirri Syar’i, Perempuan danAnak.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAKPADA NIKAH SIRRI SYAR’I BAGI PASANGAN MUSLIM
Oleh:AYU DEWI KARTIKA SARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum KeperdatanFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
vi
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Ayu Dewi Kartika Sari. Penulis
dilahirkan di Karya Tani, Labuhan Maringgai, Lampung Timur,
tanggal 25 April 1996, sebagai anak pertama dari dua bersaudara,
dari Bapak Tristianto dan Ibu Umiyati.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak- Kanak (TK) Cipta Karya
Karya Tani, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, diselesaikan pada tahun 2001.
Sekolah Dasar (SD) di SDN 1 Karya Tani, Labuhan Maringgai, Lampung Timur,
diselesaikan pada tahun 2008. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Cipta Karya Karya
Tani, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, diselesaikan pada tahun 2011. Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Pasir Sakti, Lampung Timur, diselesaikan pada
tahun 2014. Pada tahun 2014, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui Jalur Undangan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri) Pada tahun 2017 penulis mengikuti program Kuliah Kerja
Nyata Tematik (KKN Tematik) yang merupakan program wajib Universitas Lampung,
selama 40 hari yang bertempat di Kampung Saptomulyo, Kecamatan Kota Gajah,
Lampung Tengah.
vii
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung yaitu dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM-F) Forum
Silaturahmi dan Studi Islam (FOSSI), dan penulis menjadi Mujahid Muda Fossi (MMF)
Universitas Lampung tahun angkatan 2014, selanjutnya dikukuhkan sebagai anggota
tetap pada tahun 2015. Penulis pernah menjadi Anggota Departemen Akademik dan
Potensi UKM FOSSI FH Unila periode 2015/2016. Pada tahun 2015 penulis juga
menjadi anggota tetap FORDAFHI (Forum Dakwah Fakultas Hukum se-Indonesia).
viii
MOTO
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia yang menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri. Supaya kamu cenderung merasa tentram kepada-
Nya, dan di jadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
(QS. Ar-Rum (30):21)
“Dan Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggakan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
(QS. An-Nisa (4): 21)
ix
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan syukur kehadiran Allah SWT, Dzat yang Maha Kuasa dan
Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Kedua orang tuaku tersayang Bapak Tristianto dan Ibu Umiyati, terimakasih telah
tulus ikhlas dalam menyayangi, mencintaiku dan atas doa, motivasi dan
pengorbanannya selama ini.
Semoga Allah SWT selalu memberi limpahan Rahmaat serta Hidayah-Nya
kepada mereka di dunia dan akhirat. (Amiiin)
x
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Tuhan sekalian alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh
isinya, serta hakim yang maha adil di yaumil akhir kelak. Sebab, hanya dengan
kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak dari Perkawinan
Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim.”. Sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk
pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum, Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
xi
3. Ibu Dr. Hj. Nunung Rodliyah, M.A, Pembimbing 1 (satu) yang telah banyak
membantu dengan meluangkan waktunya, mencurahkan segenap
pemikirannya, memberikaan bantuan moril, saran serta kritik yang
membangun dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dewi Septiana, S.H., M.H, Pembimbing 2 (dua) yang telah banyak
membantu dengan meluangkan waktunya, mencurahkan segenap
pemikirannya, memberikan bantuan moril, saran serta kritik yang membangun
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Hj. Amnawati, S.H., M.H, Pembahas 1 (satu) yang telah memberikan
kritik, saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
6. Ibu Selvia Oktaviana, S.H., M.H, Pembahas 2 (dua) yang telah memberikan
kritik, saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
7. Bapak Prof. Dr. Yuswanto, S.H., M.H, Pembimbing Akademik yang telah
membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
8. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh staf karyawan/i Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Khusunya Bapak/Ibu Dosen Bagian Keperdataan yang
telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran berharga bagi penulis
serta memberikan kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan
studi.
9. Mbah Slamet, Mbah Umi Wasitah, Mbah Ismilah dan Mbah Subari (Alm),
yang selalu memberi semangat, mendukung dan mendoakanku.
10. Adikku Galuh Trisna Wati dan Keluarga Besar yang selalu memberikan
semangat, mendukung, dan mendoakanku.
xii
11. Seluruh Keluarga besar UKMF FOSSI: Kakak-kakak Angkatan 2011: Mba
Yuliana, Mba Yunika, Mba Fida, dan Mba Nisa. kakak-kakak angkatan 2012:
Mba Ummu, Mba Deska, Mba Listi, Mba Bela, Mba Dewi, Mba Utia. Teman-
teman Angkatan 2014: Sariani, Novi, Nurcahyati, Ayu Kurnia, Indri, Intan,
Meri, dst. Adik-adik Angkatan 2015: Bela, Delia, Rini. Kalian keluarga yang
luar biasa, terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta ilmu yang
berharga yang tidak saya temukan dalam perkuliahan dan hanya saya temukan
di FOSSI, semoga kekeluargaan ini tidak akan pernah putus.
12. Teman seperjuanganku sesama Bidik Misi : Hardinal, Yoga Pratama, Supri,
Rado, Arli, Iman Fernando, Imam Fathoni, Madian, Haidir, Silmi, Audy, Ayu
Purba, Nadya, Elsaday, Puri, Cici Afriyanti, terimakasih atas kekeluargaannya
selama ini.
13. Sahabat SMA terbaikku: Ita Afriana, Ndana Aryani, Dan Rafika Zein, terima
kasih untuk semangat dan dukungannya, semoga persahabatan kita untuk
selamanya.
14. Sahabat-sahabatku : Atika Mayangsari, Aisyah Nurlia, Anggia Jelita, Adelia
Monica B, Indah Sumarningsih, Dewi Muslimah, Anisa Nurjanah, Elva, Eka
Fitri Wahyuni, Vivi, Icha, Iis, Agnes, Asmara, Dhuwien Ambar W, Mbak
Putri, Aini, Mey, Vera, Mbak Cen, Reni, Anaya, Ambar, terima kasih untuk
semangat, dukungan, bantuan dan kasih sayangnya, semoga selalu
dipersatukan dan sukses dengan bidangnya masing-masing. Amin.
15. Teman KKN Saptomulyo: kak Irfan, Kak Ade, Kak Iki, Desta, Oni, Andini,
terima kasih untuk kebersamaan selama 40 hari.
xiii
16. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Lampung khususnya
HIMA PERDATA angkatan 2014, terima kasih kebersamaannya.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan skripsi, terim a kasih atas semua bantuan dan
dukungannya.
18. Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Semoga Allah SWT, menerima dan membalas semua kebaikan yang kita perbuat.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi mereka yang membacanya.
Amin.
Bandar Lampung, 06 Desember 2018
Penulis
Ayu Dewi Kartika SariNPM 1412011063
xiv
DAFAR ISI
HalamanABSTRAK ................................................................................................... iHALAMAN SAMPUL................................................................................ iiHALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iiiHALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ivHALAMAN PERNYATAAN..................................................................... vRIWAYAT HIDUP..................................................................................... viMOTO.......................................................................................................... viiiHALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. ixSANWACANA ............................................................................................ xDAFTAR ISI................................................................................................ xiv
I. PENDAHULUANA. Latar Belakang .................................................................................. 1B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7C. Ruang Lingkup Penelitian................................................................. 8D. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8E. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ....................................... 10B. Rukun dan Syarat Perkawinan .......................................................... 13C. Tujuan Perkawinan ........................................................................... 17D. Nikah Sirri Syar’i.............................................................................. 19E. Dasar Hukum Nikah Sirri Syar’i ...................................................... 24F. Perlindungan Hukum ........................................................................ 29G. Perlindungan bagi Perempuan dan Anak .......................................... 30H. Karakteristik Muslim ........................................................................ 34I. Kerangka Pikir .................................................................................. 36
III. METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian ................................................................................ 38B. Tipe Penelitian................................................................................. 39C. Pendekatan Masalah ........................................................................ 40D. Data dan Sumber Data..................................................................... 40E. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data .......................... 42F. Analisi Data ..................................................................................... 43
xv
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Faktor – Faktor Penyebab Nikah Sirri Syar’i bagi Pasangan
Muslim .......................................................................................... 451. Faktor Ekonomi ....................................................................... 452. Faktor Belum Cukup Umur ..................................................... 463. Faktor Anggapan bahwa Nikah Sirri Syar’i Sah Menurut
Agama ...................................................................................... 474. Faktor Hamil di Luar Nikah .................................................... 485. Faktor Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat
Mengenai Pencatatan Perkawinan ........................................... 496. Faktor Sosial ............................................................................ 49
B. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak padaNikah Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim ..................................... 501. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan pada
Nikah Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim .............................. 502. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Nikah
Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim .......................................... 53C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan
Anak pada Nikah Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim ................... 631. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Pada Nikah Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim ...................... 632. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada
Nikah Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim ............................... 66
V. PENUTUPA. Kesimpulan ..................................................................................... 70B. Saran ................................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun menyantun, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.1
Menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci yaitu suatu
perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang
Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat
tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.2
Menurut hukum Islam perkawinan adalah “akad” (perikatan) antara wali wanita
calon istri dengan calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si
wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh si calon suami
yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak
demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadits Nabi
Muhammad Saw.3
1 Wati Rahmi Ria, Hukum Islam Dan Islamologi, Bandar Lampung, CV. Sinar Sakti,
2011, hlm. 129-130. 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandar Lampung, Mandar Maju,
2007, hlm. 10. 3 Ibid, hlm. 11.
2
Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian oleh Q.S
An-Nisa ayat 21, dinyatakan “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”.
disebut dengan kata-kata “miitsaaghan ghaliizhan”. Jika seorang perempuan dan
seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain
berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang
berlaku mengenai kewajiban dan hak masing-masing pihak selama dan sesudah
hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat
dari anak-anak keturunanannya, juga dalam menghentikan perkawinan, suami dan
istri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk
penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum.
Suatu perkawinan adalah sah bila memenuhi rukun dan syarat yang sudah
ditetapkan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ketentuan
ini dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
selanjutnya disingkat dengan (UUP), sebagaimana UUD 1945 mengatur tentang
kebebasan setiap manusia untuk memeluk agamanya masing-masing. Dengan
demikian, bagi orang beragama Islam suatu perkawinan dikatakan sah apabila
dilakukan mengikuti ajaran Islam dengan memenuhi seluruh rukun dan syarat
yang telah ditentukan oleh Hukum Islam maupun Hukum Negara yaitu Undang-
Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, begitu pula dengan agama lain
dengan mengikuti aturan agamanya masing-masing serta memenuhi ketentuan-
ketentuan yang ada di KUHPdt (Burgerlijk Wetbook).
3
Berdasarkan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa tujuan dari
perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah, sedangkan tujuan pengertian menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia yang dimaksud dalam Undang-
Undang Perkawinan sama dengan tujuan perkawinan yang terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam. Tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah,
mawaddah, dan rahmah, suatu rumah tangga yang didalamnya terjalin
keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi
sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya, dan
terciptalah kebahagiaan dalam rumah tangga tersebut.
Perkawinan dalam Islam tidak semata-mata sebagai hubungan antara suami dan
istri. Tetapi, lebih dari itu Islam memandang perkawinan merupakan suatu
perbuatan yang bernilai ibadah karena setiap tindakan yang dilakukan masing-
masing pasangan ketika menunaikan hak dan kewajibannya dalam perkawinan
adalah perbuatan yang bernilai baik dan buruk.
Selain itu, tujuan dari disyariatkannya perkawinan adalah untuk mendapatkan
anak keturunan yang sah untuk generasi yang akan datang. Islam menganjurkan
kepada umatnya untuk memilih pasangan suami istri yang baik (agamanya)
sehingga dapat melahirkan keturunan (generasi pengganti) sebagaimana yang
diharapkan.
4
Perkawinan yang dilakukan dengan melanggar larangan perkawinan atau tidak
memenuhi syarat-syarat perkawinan, menurut Undang-Undang dan KHI
perkawinan tersebut tidak sah secara agama maupun hukum dan dapat dilakukan
pembatalan perkawinan. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 22 Undang-Undang
Perkawinan, mengenai hal tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 37 PP No. 9
Tahun 1975 bahwa Pengadilan dapat memutuskan pembatalan suatu perkawinan.
Pembatalan suatu perkawinan mulai diberlakukan setelah Keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan, dalam arti hubungan yang terjadi semasa perkawinan
tersebut dianggap tidak pernah terjadi atau tidak pernah ada.
Meskipun telah ada peraturan mengenai hukum dan syarat melakukan
perkawinan, masih saja ada individu yang melakukan perkawinan yang tidak
sesuai dengan syarat tersebut. Salah satu bentuk perkawinan yang tidak sesuai
dengan syarat hukum yang berlaku adalah nikah sirri syar‟i
Nikah sirri syar‟i dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj „urfi
yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak
dicatatatkan secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menanggani pernikahan.4
Nikah sirri syar‟i adalah sah dalam pandangan syar‟i disebabkan terpenuhinya
semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi
oleh pemerintah karena belum dicatatkan di pegawai KUA setempat. Oleh karena
itu, segala akibat yang timbul dari adanya nikah sirri syar‟i itu menjadi tidak bisa
diproses secara hukum.
4 Moslemsunnah.Wordpress.com
5
Meski bukan syarat sah sebuah perkawinan, dan perkawinan tetap sah selama
terpenuhi syarat rukun secara syar‟i, namun karena pencatatan akad nikah
diwajibkan oleh pemerintah maka wajib bagi setiap insan untuk mentaati
ketetapan ini.
Hukum nikah tanpa adanya pencatatan akad nikah termasuk masalah
kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandangan tentang
hukumnya, sebagai berikut: a. sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa
KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah
termasuk syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi Muhammad Saw dan
sahabat. b. sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya
haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang
terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat. c. sebagaian
ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena semua
syarat nikah telah terpenuhi hanya saja berdosa karena melanggar peraturan
pemerintah yang bukan maksiat.5
Fenomena nikah sirri syar‟i yang terjadi menarik diteliti, karena ada persoalan
menarik yang dapat diungkap dari persoalan tersebut mengenai faktor yang
melatar belakangi terjadinya nikah sirri syar‟i, perlindungan dan bentuk
perlindungan hukum terhadap para pihak khususnya bagi istri dan anak dari nikah
sirri syar‟i bagi pasangan muslim.
5 Ibid.
6
Praktek nikah sirri syar‟i tak hanya berdampak pada lingkaran pelaku yang
mengambil keuntungan, tetapi juga melahirkan akses yang tidak diperhitungkan
sebelumnya, yakni anak-anak yang lahir sebagai buah hasil dari nikah sirri syar‟i.
Secara hukum, anak-anak yang lahir sebagai buah hasil nikah sirri syar‟i ini
dikategorikan sebagai anak luar kawin. Meskipun diklaim sebagai perkawinan
yang sah secara agama oleh para pelakunya, tetapi nikah sirri syar‟i bukanlah
bentuk ikatan perkawinan yang sah dan tidak dicatatkan berdasarkan hukum
positif yang berlaku di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan tentang perlindungan terhadap perempuan dan
anak, sudah selayaknya Negara Indonesia ini menempatkan perempuan dan anak
pada prioritas utama untuk memperoleh perlindungan. Perlindungan itu baik dari
segi yuridis maupun non-yuridis. Namun harapan itu sampai sekarang masih
sebatas “harapan dalam mimpi”. Persoalan-persoalan dan pelanggaran-
pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dan anak di Indonesia masih terus
terjadi.
Di dalam keluarga, seseorang belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial
yang memiliki norma-norma dan kecakapan tertentu di dalam pengalamannya
dengan masyarakat lingkungannya. Pengalaman-pengalaman yang didapatnya di
dalam keluarga turut pula menentukan cara-cara bertingkah laku. Apabila
hubungan dalam keluarga berlangsung secara tidak wajar ataupun kurang baik,
maka kemungkinan pada umumnya, hubungan dengan masyarakat di sekitar akan
berlangsung secara tidak wajar pula. Untuk itu, orang tua, keluarga, masyarakat
7
dan Negara harus secara bersama-sama memiliki komitmen yang kuat untuk
memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak.6
Perlindungan hukum dalam hal ini adalah untuk melindungi hak-hak hukum
seseorang, terutama terhadap hak-hak perempuan dan anak yang seharusnya ia
dapatkan dari orang tuanya tetapi ia tidak mendapatkan dikarenakan statusnya
sebagai anak yang tidak sah dan ini merupakan permasalahan tersendiri berkaitan
dengan kehidupan anak selanjutnya, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi
keluarga yang lain. Kejelasan dari masalah ini haruslah ada, sehingga
kemungkinan berbagai konflik yang akan timbul dikemudian hari dapat
dihilangkan.
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk
skripsi dengan judul : ”Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak
Pada Nikah Sirri Syar’i bagi Pasangan Muslim”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dalam penelitian ini ada beberapa masalah
yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah yaitu sebagai berikut:
1. Apakah Faktor-Faktor Penyebab Nikah Sirri Syar‟i bagi Pasangan Muslim?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak pada Nikah
Sirri Syar‟i bagi Pasangan Muslim?
6 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan,Medan. Refika
Aditama, 2014, hlm. 75-76.
8
3. Bagaimana Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak pada
Nikah Sirri Syar‟i bagi Pasangan Muslim?
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup Bidang ilmu ini adalah Hukum Perdata khususnya hukum
perkawinan. Kajian penelitian ini adalah mengkaji tentang faktor-faktor penyebab
dari nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim, bagaimana perlindungan hukum
terhadap perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i, serta bentuk perlindungan
hukum terhadap perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan
muslim.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan mememahami faktor-faktor penyebab nikah sirri syar‟i bagi
pasangan muslim.
2. Mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap perempuan dan
anak pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim.
3. Mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum terhadap perempuan
dan anak pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum keperdataan dalam lebih khususnya lingkup
hukum perkawinan.
9
b. Kegunaan Praktis
1) Upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi peneliti
dalam lingkup hukum perdata khususnya hukum perkawinan.
2) Memberikan gambaran kepada pembaca faktor-faktor yang mempengaruhi
masyarakat melakukan nikah sirri syar‟i, perlindungan dan bentuk
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i
bagi pasangan muslim.
3) Sumbangan pemikiran, bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan
kajian bagi yang memerlukan.
4) Salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
Perkawianan dalam bahasa Islam berasal dari kata nakaha yang berarti nikah,
memepelai perempuan disebut nakihatun dan mempelai laki-laki disebut nakihun.
Nikah menurut arti asli dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita.7
Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu
melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dan seorang wanita
atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali
pihak wanita munurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama.
Menurut Sayyiq Sabiq dalam Fikih Sunnah, perkawinan merupakan salah satu
sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia,
hewan, maupun tumbuh-tumubuhan.8
Pengertian perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah dan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
7 Wati Rahmi Ria, & Muhammad Zulfikar, Ilmu Hukum Islam, Bandar Lampung,
Gunung Pesagi, 2015, hlm. 49. 8 Abdul Ghofur Anshory, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan Hukum Positif,
Yogyakarta, UII Press, 2011, hlm. 20.
11
Dalam pandangan Islam, perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata,
bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan
peristiwa agama, karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi ketentuan
Allah dan Nabi Muhammad Saw dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah
Swt dan Nabi Muhammad Saw.9
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah
menjelaskan pentingnya sebuah perkawinan yang sah secara hukum dan secara
agama, hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”
(2)”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”
Dari penjelasan ini jelas terlihat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, menghendaki adanya perkawinan yang dilangsungkan tersebut merupakan
ikatan lahir batin dan berlangsung kekal serta berdasarkan Ketuhan yang Maha
Esa. Ikatan lahir batin disini mengandung pengertian bahwa, perkawinan itu
bukan hanya mementingkan lahir saja atau batin saja, tetapi keduanya tercakup
dalam makna perkawinan tersebut. Sedangkan perkawinan baru dianggap sah
apabia dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua
belah pihak, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sementara dalam ayat 2 mengatur tentang pencatatan setiap perkawinan dilakukan
dikementerian agama.
9 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor, Kencana, 2003, hlm. 81
12
Sementara pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
mempunyai 4 (empat) unsur,10
yakni :
1. Ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu perkawinan tidak hanya ada ikatan
lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali
mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki yang disaksikan oleh 2 (dua)
orang saksi yang disertai penyerahan mas kawin, tetapi ikatan batin yang
diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan yang ikhlas antara kedua calon
mempelai dalam arti tidak ada unsur paksaan dari pihak yang satu kepada
pihak yang lain juga memegang peranan yang sangat penting untuk
memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan keluarga bahagia dan
kekal.
2. antara seorang pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam suatu ikatan
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan hanya boleh terjadi antara
seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi istri. Dengan
demikian pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menganut azas monogami.
3. membentuk keluarga Bahagia dan kekal, maksudnya perkawinan bertujuan
untuk memperoleh ketenangan, kesenangan, kenyamanan, ketentraman lahir
dan batin untuk selama-lamanya dalam kehidupan berumah tangga. Dalam arti
perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga harus mampu membawa
ketenangan dan ketentraman sampai akhir hayatnya.
4. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus
berdasarkan pada ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan
10
Jamaluddin & Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan, Lhokseumawe, Unimal
Press, hlm. 17.
13
dengan agama. Dalam arti sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan
yang diatur dalam hukum agama.
Dilihat dari segi Agama Islam, pernikahan memiliki kedudukan yang sangat
terhormat dan dianggap sakral. Berlainan dengan kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa: “Undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata, dalam pandangan agama Islam,
pernikahan tidak hanya persoalan perbuatan hukum dan memiliki penghargaan
sosial di mata masyarakat.” Akan tetapi, lebih dari itu, pernikahan juga memiliki
nilai-nilai ibadah.
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segera untuk melaksanakannya. Karena, dengan perkawinan, dapat mengurangi
maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Perkawinan merupakan
wadah diri penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran
nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunah beliau. Karena itulah perkawinan
yang syarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah, dan rahmah. Perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu,
agar tujuan disyaratkannya perkawinan tercapai.11
Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi agar pernikahan menjadi
sah. Rukun nikah menurut Islam meliputi:
a. Calon suami
b. Calon istri
11
Nunung Rodliyah, Pokok-Pokok Hukum Islam Di Indonesia dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandar Lampung, Gunung Pesagi, 2009, hlm. 144.
14
c. Wali nikah dari calon istri
d. Dua orang saksi laki-laki
e. Mahar
f. Ijab Kabul12
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila
syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak
dan kewajiban sebagai suami istri. Secara rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan
syarat-syaratnya sebagai berikut:
a. Syarat calon suami yaitu:
1) Islam.
2) Seorang laki-laki asli.
3) Orangnya tertentu, maksudnya identitas diri pribadi keluarganya jelas.
4) Tidak mempunyai istri empat orang
5) Tidak ada paksaan
6) Tidak ada hubungan darah
b. Syarat untuk calon istri yaitu:
1) Beragama Islam
2) Seorang perempuan asli
3) Orangnya tertentu, maksudnya identitas diri pribadi keluarganya jelas
4) Sehat jasmani dan rohani
5) Tidak bersuami dan tidak sedang dalam masa iddah
6) Tidak ada hubungan darah
12
Wati Rahmi Ria, & Muhammad Zulfikar, Op. Cit. hlm. 50.
15
c. Syarat untuk wali nikah dari calon istri sebagai berikut:13
1) Beragama Islam
2) Laki-laki asli
3) Dewasa
4) Berakal sehat
5) Tidak dalam keadaan terpaksa
d. Syarat untuk saksi yaitu:
1) Beragama Islam
2) Laki-laki asli
3) Dewasa
4) Tidak pelupa atau pikun
5) Tidak buta, tidak tuli dan tidak bisu
e. Syarat Mahar yaitu:
1) Sesuatu benda yang diserahkan oleh calon suami
2) Halal artinya baik benda maupun cara perolehananya benda yang akan
dijadikan mahar adalah halal
f. Syarat Ijab Kabul
Syarat ijab yaitu:
1) Diucapkan lafaznya dengan jelas dan tegas
2) Diucapkan oleh walinya atau wakilnya
3) Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan baik
pengantinnya maupun saksinya.
13
Wati Rahmi Ria, & Muhammad Zulfikar, Op. Cit. hlm. 51.
16
Syarat Kabul yaitu:
1) Dengan lafaz tertentu yang diucapkan secara tegas di ambi dari kata-kata
nikahnya
2) Diucapkan oleh calon suami
3) Harus didengar oleh yang bersangkutan atau para saksinya.14
Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, rukun nikah terdiri atas lima macam
yaitu adanya:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan Kabul
Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin.
Namun, hukum Islam memberikan batasan umur kepada calon mempelai laki-laki
dan calon mempelai perempuan yang ingin menikah. Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun untuk calon mempelai
laki-laki dan sekurang-kurangnya 16 tahun untuk calon mempelai perempuan.
Setelah adanya kedua mempelai, maka selanjutnya harus ada wali nikah. Dalam
perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu
14
Wati Rahmi Ria, & Muhammad Zulfikar, Op. Cit. hlm. 52.
17
pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki -laki itu sendiri dan pihak
perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Dengan adanya batasan usia tersebut diharapkan para calon mempelai telah masak
dalam berfikir jiwa dan raganya untuk dapat mewujudkan tujuan daripada
perkawinan dengan membentuk keluarga yang sakinah, tanpa berakhir dengan
perceraian dan akan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
C. Tujuan Perkawinan
Dilangsungkannya sebuah pernikahan dalam Islam memiliki tujuan diantaranya:15
Pertama, untuk membentengi akhlak yang luhur. Sasaran utamanya adalah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan membodohkan martabat manusia yang luhur. Maka Islam
memandang bahwa perkawinan merupakan sarana efektif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Kedua, untuk menegakkan rumah tangga yang Islami. Disebutkan dalam Al-
Qur‟an bahwa Islam membenarkan adanya talak (perceraian), jika suami istri
sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah SWT. Misalnya dalam
surat Al-Baqarah (2) ayat 229, 230. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa tujuan
dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari‟at Islam dalam rumah
tangganya.
15
http://moraref.or.id/browser/index/361/2016/02/html, diakses jum‟at, 16 November
2017, pukul 23.28 WIB
18
Diantara tujuan yang substansial dalam pernikahan adalah sebagai berikut:16
pertama, pernikahan bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan seksualitas
manusia, dengan syarat yang di benarkan oleh Allah dan mengendalikan hawa
nafsu dengan cara yang terbaik yang berkaitan dengan peningkatan moralitas
manusia sebagai hamba Allah. Tujuan utama pernikahan adalah menghalalkan
hubungan seksual yang bertujuan untuk membersihkan moralitas. Seperti yang
diketahui oleh khalayak umum bahwa sebelumnya manusia bagaikan bintang.
Pergaulan bebas antara sesama jenis bukan masalah yang tabu, melainkan
merupakan tontonan sehari-hari. Anehnya lagi, pada zaman modern ini,
perkawinan bebas seks tanpa ikatan pernikahan telah dibela mati-matian oleh
kaum liberalis dan sekuler yang mengukur perbuatan mereka dngan ukuran seni
yang semata-mata kebudayaan yang syarat dengan nafsu syahwat. Kedua, tujuan
pernikahan adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan. hal ini
dikarenakan pada masa jahiliyah kedudukan perempuan tidak lebih dari barang
dagangan yang setiap saat dapat diperjual belikan, bahkan anak-anak perempuan
dibunuh hidup-hidup karena dipandang tidak berguna secara ekonomi. Kehidupan
perempuan penuh dengan perlakuan diskriminatif. Kaum laki-laki dengan bebas
menikmati tubuh kaum wanita sekehendak hati, bahkan wanita hanyalah
penghibur kehausan seksual para prajurit yang baru pulang berperang di medan
tempur. Ketiga, tujuan pernikahan adalah memproduksi keturunan, agar manusia
tidak punah dan hilang ditelan sejarah. Agar pembicaraan manusia bukan sekedar
nostalgia atau kajian antropologis sebagaimana membicarakan binatang purba dan
manusia primitif yang seolah-olah tidak lebih dari dongeng masalalu.
16
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat , Bandung, CV Pustaka Setia, 2013, hlm. 23.
19
Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahman.
Tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang rapat
hubungannya dengan keturunan, selain itu yang pula merupakan tujuan dari
perkawinan, pemeliharaan dan biaya pendidikan yang menjadi hak dan kewajiban
orang tua.17
Setiap perkawinan pasti akan menimbulkan akibat–akibat hukum,
akibat perkawinan itu antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan istri,
keabsahan anak/keturunan, serta harta yang timbul dari perkawinan.
D. Nikah Sirri Syar’i
Nikah sirri syar‟i atau lazim juga disebut nikah bawah tangan dalam konteks
masyarakat Indonesia adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali
dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat
Nikah (PPN) sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan sendirinya tidak
mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.18
17
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm. 9-10 18
Ali Akbar, Nikah Sirri Menurut Perspektif Al-Quran, Jurnal Ushuluddin Vol. XXII No.
2, Juli 2014, hlm. 213
20
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah sirri diartikan dengan
pernikahan yang hanya disaksikan oleh sorang mudin dan saksi, tidak melalui
Kantor Urusan Agama (KUA) dan menurut agama Islam sudah sah.19
Menurut Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, nikah
di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang
terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam)
namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan”.20
Pernikahan sirri sering diartikan oleh masyarakat dengan; pertama; pernikahan
tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (sirri) dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan
tanpa wali, atau karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa
menghindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
Kedua, pernikahan yang sah menurut agama namun tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan Negara (KUA). Banyak faktor yang menyebabkan seorang tidak
mencatatkan pernikahannya dilembaga pencatatan sipil Negara. Ada yang karena
faktor biaya tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang
disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai
negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia 20
Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail Asasiyah
Wathaniyah, Masail Waqi‟iyyah Mu‟ashirah, Masail Qanuniyyah, Majelis, dimuat dalam Ali Akbar,
Nikah Sirri Menurut Perspektif Al-Quran, jurnal Ushuluddin, hlm. 216.
21
Ketiga, pernikahan yan dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu,
misalnya takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur
menganggap tabu pernikahan sirri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit
yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.21
Karena nikah sirri syar‟i tidak dakui oleh hukum, apabila suami melalaikan
kewajibannya, maka istri tidak mempunyai hak untuk menuntut. Permasalahan itu
akan semakin bertambah lagi di antaranya dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Istri dan anak kehilangan hak atas nafkah
Nikah sirri syar‟i menggurkan kewajibab suami berupa nafkah sebagaimana
diatur dalam Pasal 80 ayat (4) yaitu “sesuai dengan penghasilannya, suami
menanggung a. nafkah, kiswa, dan tempat kediaman istri. b. biaya rumah tangga,
biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. biaya pendidikan
bagi anak.
2. Istri tidak berhak mendapatkan harta gono-gini apabila terjadi perceraian.
Pada dasarnya, KHI telah mengatur tentang harta kekayaan dala rumah tangga,
yaitu terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Ketika terjadi perceraian, istri
berhak mendapat bagian dari harta bersama (gono-gini) secara hukum. Pasal 97
KHI menyatakan, “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
21
http:///www.mediaislam.net// diakses pada 12 November 2018, pukul 11.00 WIB.
22
akan tetapi, akibat nikah sirri syar‟i bagian tersebut sulit diselesaikan secara
hukum mengingat keberadaan nikah sirri syar‟i yang tidak diakui hukum.22
3. Status anak tidak diakui oleh hukum (dianggap sebagai anak yang tidak sah)
dan hanya bernasab pada ibunya serta gugur hak warisnya terhadap ayah)
Pasal 99 KHI menyattakan, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau akibat perkawinan yang sah.” Status anak sah itu sendiri harus dibuktikan
dengan akta kelahiran yang dapat dbuat berdasarkan akta pernikahan orang
tuanya. Sementara dalam nikah sirri syar‟i, akta kelahiran anak sulit didapat
karena tidak adanya akta nikah orang tuanya. 23
Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 103 KHI yang menyatakan: a. asal usul
seorang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. b.
Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak
setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. c.
Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi
Pencatatan Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Sementara perkawinan sah adalah apabila perkawinan tersebut dicatatatkan pada
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau di KUA. Sehingga, anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatatkan dengan demikian perkawinan tersebut dianggap
22
Siti Faizah, Dualisme Hukum Islam di Indonesia Tentang Nikah Sirri, Jurnal Studi
Hukum Islam, Vol 1 No. 1, Januari-Juni 2014, hlm. 24 23
Ibid, hlm. 25.
23
tidak sah. Maka anak tersebut dianggap sebagai anak yang terlahir di luar
perkawinan. sebagaimana Pasal 100 KHI dinyatakan, “Anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.”
Dampak hukum bagi istri dari nikah siri syar‟i di antaranya berupa:
1. Istri tidak bisa menggugat suami jika diceraikan;
2. Penyelesaian kasus nikah siri hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat;
3. Istri tidak berhak mendapat tunjangan jasa raharja jika terjadi kecelakaan atau
meninggalnya suami;
4. Apabila suami seorang PNS, istri tidak mendapat tunjangan perkawinan dan
pensiun suami;
5. Istri tidak mendapat warisan jika suami meninggal;
6. Istri tidak berhak mendapat harta gonogini jika terjadi perceraian;
7. Apabila terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga, istri tidak bisa
menyelesaikannya secara hukum karena status pernikahannya yang tidak
sah.24
Sedangkan bagi anak akan menanggung beberapa hal, di antaranya:
1. Anak tidak memiliki status jelas, seperti tidak adanya akta kelahiran karena
tidak adanya akta nikah orang tuanya;
2. Dalam hal kewarisan, anak tidak mendapatkan warisan dari ayahnya;
3. Hubungan perdata anak hanya dengan ibu dan keluarga ibunya;
4. Apabila ayah tidak mengakuinya sebagai anak, sulit menuntunya karena tidak
adanya bukti kelahiran dan pernikahan orang tuanya;
24
Ibid. hlm. 26
24
5. Sulitnya mengurusi administrasi sebagai kenegaraan untuk keperluan
pendidikan, kesehatan, prestasi dan karir.
E. Dasar Hukum Nikah Sirri Syar’i
1. Hukum Nikah Sirri Syar’i Menurut Al-Qur’an
Al-Qur‟an menjelaskan bahwa manusia secara naluriah, disamping mempunyai
keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat
menyukai lawan jenisnya. Untuk memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai
hubungan manusia yang berlainan jenis itu, islam menentapkan suatu ketentuan
yang harus dilalui, yaitu perkawinan.25
hal tersebut sesuai denan firman Allah
dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21 yang berbunyi:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S Ar-Rum (30) : 21)
Lebih lanjut Allah Swt, berfirman dalam surat An-Nahl (16) ayat 72 yang
berbunyi:
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dan jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dari cucu-cucu, dan memberimu rezki
dari yang bai-baik.” (Q.S An-Nahl (16) : 72)
Dalam islam, pelaksanaan suatu pernikahan harus sesuai dengan ketentuan
syari‟at, yakni memenuhi syarat dan rukun sebagaimana diatur dalam Al-Qur‟an
dan hadits, atau yang telah terhimpun dalam khazanah hukum fiqh, suatu
pernikahan hendaklah dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh
para saksi. Meskipun secara dogmatis tidak ada nash Al-Qur‟an atau hadits yang
25
Ali Akbar, Op. Cit. hlm. 219
25
mengatur pencatatan perkawinan. Akan tetapi pencatatan perkawinan merupakan
ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh siapa saja yang akan
melangsungkan perkawinan.
Islam memandang bahwa perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian
biasa. Perkawinan itu merupakan ikatan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan). Oleh karena itu, akan nikah bukanlah transaksi (mu‟amalah) biasa.
Akan tetapi ia merupakan perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam
Al-Qur‟an surat An-Nisa (4) ayat 21 yang berbunyi:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagi suami istri dan mereka (istri-istrimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Q.S An-Nisa (4) : 21)
Dalam hukum islam, keharusan mencatatkan perkawinan untuk perbuatan Akta
Nikah dianalogikan kepada pencatatan dalam masalah transaksi utang piutang
(mudayyanah)26
yang dalam situasi tertentu tersebut ditegaskan dalam firman
Allah surat Al-Baqarah (2) ayat 282 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskan dengan benar.” (Q.S Al-Baqarah (2) : 282)
Firman Allah diatas dapat dipahami bahwa pernikahan merupakan sebuah ikatan
yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Ketika pernikahan dimaknai sebagai
ikatan yang demikian kuat dan mendalam, maka perlu dicatat karena ia memiliki
makna kuat baik hakiki maupun implikasinya. Perlu diingatkan bahwa ikatan
perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang saja perlu dicatat, apalagi
ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur, tentu tidak mungkin
26
Ibid, hlm. 220.
26
dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan. Dalam hal pencatatan
nikah dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
2. Nikah Sirri Syar’i Menurut Hukum Islam
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan
ulama. Hanya saja nikah siri di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya
dengan nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu
nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari‟at,
hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada
khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-
„Ursy. Berikut ini adalah pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
a. Menurut pandangan mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan yang sarat
dan rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah
pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya: “Takutlah
kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan
amanah allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka
dengan kalimat Allah (ijab qabul)” (HR Muslim).
b. Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya
atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat
dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam),
27
jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau
dengan kesaksian empat orang saksi27
3. Nikah Sirri Syar’i Menurut KHI
Kompilasi Hukum Islam, sebagai pranata hukum positif Negara bagi umat islam
di Indonesia, tidak mengenal istilah nikah sirri. KHI hanya mengenal nikah yang
dicatat dan tidak dicatat. sebagaimana dinyatakan Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, KHI mengatur keharusan
pencatatan nikah dalam Pasal 5 sebagai berikut: a. Agar terjammin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. b. Pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai
mana diatur dalam Undang-Undang.
Adapun teknis pelaksanaannya diatur kemudian pada pasal berikutnya, yaitu Pasal
6 KHI, a. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. b.
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuataan hukum.28
Dengan demikian, nikah sirri syar‟i dianggap illegal karena tidak dicatatkan oleh
pegawai pencatan nikah atau di KUA. Hukum nikah sirri syar‟i bisa jadi sah
menurut fiqh, tetapi tetap tidak sah bagi hukum Negara. KUA selama ini tidak
menerima pengurusan persoalan nikah sirri, sehingga ketika terjadi hal-hal yang
merupakan resiko nikah sirri ditanggu oleh yang bersangkutan.
27
http:///wordpress.com 28
Siti Faizah, Loc. Cit, hlm. 24
28
4. Nikah Siri Syar’i Menurut Undang-Undang Perkawinan
Di dalam hukum perkawinan tidak dijelaskan mengenai larangan menikah sirri
syar‟i, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di jelaskan
bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan
secara umum, diatur Pada pasal 2 ayat 2 undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Walaupun di dalam undang-undang perkawinan, masalah pencatatan
perkawinan ini hanya diatur oleh satu ayat, namun masalah pencatatan ini sangat
dominan.
Di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan pada pasal 3 ayat 1 dinyatakan : "Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai
Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan".
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan pernikahan sirri syar‟i
itu sah, akan tetapi bukan hanya point mengenai sah atau tidaknya perkawinan
saja, tapi hal yang lebih urgent mengenai kelangsungan hidup manusia sebagai
makhluk sosial, yang hidup dalam pemerintah mewajibkan untuk diadakan
pencatatan perkawinan dan persyaratan perkawinan. penetapan pemerintah
dengan peraturan itu adalah untuk kemaslahatan manusia 29
29
Ejurnal.uin-suka.ac.id
29
F. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah suatu upaya melindungi hak setiap orang untuk
mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-
undang, oleh karenanya untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan
padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.30
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk
memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningatkan kualitas
hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab,
berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi 2 hal yakni :
a) Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum
dimanakepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnyasebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif.
b) Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana
lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.
Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia
merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara
Hukum yang berdasarkan Pancasila.31
30 Maidin Gultom, Op. Cit. hlm 77
31 Benedhicta Desca PO, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Eksploitasi
Ekonomi, (Jurnal Skripsi, 2014, FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
30
G. Perlindungan bagi Perempuan dan Anak
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention
on the Elimination of Diskrimination Against Women disingkat CEDAW),
mengakui: perbedaan biologis atau krodrati antara perempuan dan laki-laki;
perbedaan perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender yang
mengakibatkan kerugian pada perempuan; perbedaan kondisi dan posisi antara
perempuan dan laki-laki dikarenakan adanya diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam konvensi tujuan kesetaraan gender, antara lain kewajiban Negara yang
harus dilaksanakan untuk tujuan kesetaraan gender, antara lain kewajiban Negara
untuk: secara umum mengeliminasi diskriminasi terhadap perempuan;
memberdayakan perempuan; melakukan percepatan tercapainya kesetaraan
gender; melakukan revisi dan penyusunan peraturan perudang-undangan yang
mendudukkan perempuan secara setara di depan hukum, dalam ketenagakerjaan,
dalam haknya sebagai warga Negara, dan sebagainya.
Salah satu kewajiban Negara yang harus dipenuhi adalah memberdayakan
perempuan, dengan kegiatan-kegiatan; mempromosikan partisipasi perempuan
sebagai agen pembaru dalam proses politik, ekonomi dan sosial; kemitraan antara
perempuan dan lai-laki, dalam arti terjadinya perubahan sikap, perilaku dan
pengisian peran laki-laki dan perempuan di berbagai bidang; usaha-usaha khusus
yang dapat menghapus ketimpangan gender di berbagai tingkatan.32
Secara umum anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari
hubungan intim (sexual intercoss) antara seorang laki-laki dengan seorang
32
Maidin Gultom. Op.Cit. hlm. 75.
31
perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan. Anak
merupakan masa depan bangsa, kualitas pemeliharaan dan pembinaan serta
perlindungan anak akan menentukan kearah mana suatu bangsa akan berkembang.
Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan
menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan Negara, dengan
demikian, anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam hidupnya
kelak. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah maupun non pemerintah
memiliki kewajiban secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan pembinaan
terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisispasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga
diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah rehabilitasi dan
memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan
penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah
suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, menentukan bahwa:
32
(2) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan, penganiayaan
e. Ketidakadilan dan Perlakuan salah lainnya.
(3) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Hak-hak bagi anak dijelaskan di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) yang berbunyi
“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. Dan
dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap
berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua
orangtuannya;
b. Mendapat pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk
proses tumbuh kembang dari kedua orangtuanya sesuai dengan kemmampuan,
bakat, dan minatnya;
c. Memperoleh pembiayaan hidup dari orangtuanya; dan
d. Memperoleh hak anak lainnya.
33
Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori
yaitu:
1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan
hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang
sebaik-baiknya.
2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan
keterlantaran.
3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral
dan sosial.
Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja
(individu, atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Yang dimaksud dengan korban adalah
mereka yang menderita kerugian (mental, fisik, sosial), karena tindakan yang
pasif, atau tindakan yang pasif, atau tindakan aktif orang lain atau kelompok
(swasta atau pemerintah), baik langsung maupun tidak langsung. Pada hakikatnya
anak tidak bisa melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan
penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,
mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan agar tidak
mengalami kerugian, baik mental, fisik maupun sosial.33
33
. Maidin Gultom. Op.Cit. hlm. 69.
34
H. Karakteristik Muslim.
Pertama, Khawarij adalah aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap Ali yang menerima
arbitrase. Khawarij terbagi golongan kecil yang terdiri dari delapan golongan
antara lain: al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Nadjah, al-Baihasiyah, al-Ajaridah,
al-Tha‟labiyah, al-Ibadiyah, dan al-Sufriah.34
Kedua, Syiah berarti sekelompok
pengikut dan pendukung yang setia serta siap membela yang diikuti. Dalam
perkembangan selanjutnya dilekatkan khusus pada kelompok yang mengikuti Ali
bi Abi Thalib dan ahlul bait serta siap membelanya 35
Ketiga, Murji‟ah adalah aliran yang tidak mau ikut campur dalam pertentangan-
pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap yang menyerahkan
penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu
kepada Tuhan. Keempat, secara bahasa jabariyah erasal dari bahasa arab “jabara”
artinya memaksa. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah
Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyadandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur).36
34
Sukring, Ideologi, Keyakinan, Doktrin, dan Bid‟ah Khawarij: Kajian Khawarij
Modern, Jurnal Theologia, Volume 27, Nomor 2, Desember 2016. 35
Zulkifli, Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Syi‟ah, Jurnal Khatulistiwa-Journal
Of Islamic Studies, Volume 3, Nomor 2 September 2013/ 36
Sidik, Refleksi Paham Jabariyah dan Qodariyah, Rausyan Fikir, Vol. 12 Desember
2016
35
Kelima, Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu “qodara” yang bermakna
kemampuan dan kekuatan.37
Adapaun secara terminologi istilah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Keenam,
mu‟tazilah adalah sosok muslim luar dalam. Artinya bahwa mereka telah bekerja
dan kemajuan berfikir dan sebagai penolong dalam kemurnian tauhid. Terhadap
pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya perkembangan
filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodox.38
Ketujuh,
Aswaja kepanjangan dari “Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah”. Artinya orang-orang
yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, dan Wal Jama‟ah
berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad Saw. jadi definisi
Aswaja adalah “orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw dan
mayoritas sahaba Nabi, baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun aqidah dan
tasawuf”.39
37
Al-Munji fi al-Lugati wal al- A‟lam, (Beirut: Dar al-Masriq,2011, Cet. Ke-44), dimuat
dalam, Sidik, Refleksi Paham Jabariyah dan Qodariyah, Rausyan Fikir, Vol. 12 Desmber 2016 38
Safii, Teologi Mu‟tazilah, volume 25, Nomor 2, Juli-Desember 2014. 39
Munawir, Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah, Jurnal Shahih,
Vol 1, Januari-Juni 2017.
36
I. Kerangka Pikir
Keterangan:
Yang dimaksud nikah sirri syar‟i adalah pernikahan yang sah menurut agama
namun tidak dicatatkan di lembaga pencatatan Negara (KUA). Alasan yang
mempengaruhi terjadinya nikah sirri syar‟i yaitu karena buruknya sistem
perekonomian dalam keluarga sehingga mempengaruhi wanita untuk melakukan
nikah sirri syar‟i. Nikah sirri syar‟i merupakan perkawinan yang sah menurut
agama, tetapi pernikahan tersebut tidak sah menurut hukum positif, larangan
tersebut diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Bentuk
Perlindungan
Hukum
Perlindungan
Hukum
Faktor-Faktor
Penyebab Nikah
Sirri Syar‟i
Nikah Sirri
Syar‟i
Calon Mempelai
Pria
Calon Mempelai
Wanita
Perempan Anak Anak Perempuan
37
Penelitian ini akan mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
terjadinya nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim, perlindungan hukum terhadap
perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i serta bentuk perlindungan hukum
terhadap perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berfikir dan bertindak logis,
metodis, dan sistimatis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, atau fakta
empiris yang terjadi, atau yang ada, disekitar kita untuk direkontruksi guna
mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan. berfikir logis adalah
berfikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan dengan
bebas dan mendalam sampai kedasar persoalan guna mengungkapkan kebenaran.
Metodis adalah berfikir dan berbuat menurut metode tertentu yang kebenarannya
diakui menurut penalaran. Sisematis adalah berfikir dan berbuat yang bersistem,
yaitu runtun, berurutan, dan tidak tumpang tindih. 40
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif.
Pengertian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum
tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi,
lingkup dan materi, penjelasan umum dari pasal demi pasal, formalitas dan
kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan tetapi tidak mengikat aspek
terapan atau implementasinya.41
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2004, hlm. 2. 41
Ibid. hlm. 102
39
Perihal skripsi ini, penelitian hukum normatif diaplikasikan dalam permasalahan
mengenai nikah sirri syar‟i. Penulis akan melakukan penelitian normatif dengan
cara mengkaji dan menganalisis dari bahan-bahan pustaka yang berupa literatur
dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas
yang bertujuan untuk menjawab setiap permasalahan dalam penelitian yaitu yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang melatar belakangi nikah sirri syar‟i bagi
pasangan muslim, perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak pada nikah
sirri syar‟i bagi pasangan muslim, serta bentuk perlindungan hukum terhadap
perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk
memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku
di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada
atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.42
Penelitian deskriptif yang dilakukan dalam skripsi ini yaitu dengan memberikan
pemaparan untuk melihat secara jelas, rinci dan sistematis mengenai faktor-faktor
yang melatar belakangi nikah sirri syar‟i, perlindungan hukum terhadap
perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim, serta bentuk
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak pada nikah sirri syar‟i bagi
pasangan muslim.
42
Ibid., hlm. 50.
40
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian normatif ini yaitu dengan
cara pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan
mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis
yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum,
peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yang
berkaitan dengan skripsi ini. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif
dalam skripsi ini bahan utama yang ditelaah adalah bahan hukum primer,
sekunder dan tersier.43
D. Data dan Sumber Data
Data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu
penelitian yang berasal dari berbagai sumber, data terdiri dari data lapangan dan
kepustakaan.44
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder,
yaitu data yang diperoleh melalui Perundang-undangan. Sumber data dalam
penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) yaitu;
1. Bahan hukum primer,
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain:
43
Nico Ngani, Metodologi Penelitisn dan Penulisan Hukum, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2012, hlm. 179. 44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm. 15.
41
a. Al-Qur‟an
b. Al-Hadits
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
d. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
g. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada
peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau mencari melalui
dokumen. Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai
sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder ini terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan hukum tersier. Data ini
diperoleh dengan menggunakan studi literatur yang dilakukan terhadap banyak
buku dan diperoleh berdasarkan catatan-catatan yang berhubungan dengan
penelitian, mempergunakan data yang diperoleh dari internet. Sumber data
penelitian ini berasal dari data lapangan dan kepustakaan.45
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer
dan bahan hukum skunder, seperti hasil penelitian, bulletin, majalah, artikel-
45
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta, 2005, hlm. 65.
42
artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang bersifatnya seperti karya ilmiah
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian.
E. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif.46
Menelaah peraturan perundang-Undangan dan
Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan penelitian ini. Kegiatan studi
pustaka tersebut dilakukan dengan tahap sebagai berikut: penentuan sumber data
sekunder (bahan hukum primer dan sekunder); identifikasi data sekunder bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperlukan; inventarisasi data
yang sesuai dengan rumusan masalah dengan cara pengutipan atau pencatatan;
serta mengkaji data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan
kebutuhan dan rumusan masalah yang sesuai dengan judul penelitian yaitu
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak pada Nikah Sirri Syar‟i bagi
Pasangan Muslim.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data yang
dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:
46
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 81
43
a. Pemeriksaan data
Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul
melalui studi pustaka terkait perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak
pada nikah sirri syar‟i bagi pasangan muslim sudah dianggap lengkap, cukup,
relevan, jelas, tidak berlebihan dan sebisa mungkin tanpa kesalahan.
b. Klasifikasi data
Merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah
ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan
akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Sistematisasi data
Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan
sehingga mempermudah interpretasi data. Data-data yang telah terkumpul dan
pemaparan-pemaparan yang telah dijelaskan disusun secara sistematis untuk
menjawab rumusan masalah.
F. Analisis Data
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara
sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah analisis kualitatif yaitu mengur aikan data secara bermutu dalam bentuk
kalimat yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan
efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.47
47
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Op.Cit., hlm. 127.
44
Dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun
secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya
dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan kesimpulan deduktif. Metode
deduktif adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau generalisasi yang
diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan
kesimpulan generalisasi tersebut.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
1. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya nikah sirri syar‟i bagi
pasangan muslim yaitu: faktor ekonom, faktor belum cukup umur, faktor
anggapan bahwa nikah sirri syar‟i sah menurut agama, faktor hamil di luar
nikah, faktor kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai
pencatatan perkawinan, dan faktor sosial.
2. Perlindungan hukum bagi perempuan dalam nikah sirri syar‟i bagi pasangan
muslim tidak ada atau belum diatur dalam hukum positif di Indonesia, hal ini
terkait dengan status nikah sirri syar‟i yang dianggap batal atau tidak sah bila
dilakukan. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh di Pengadilan
Agama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari
perkawinan tidak dicatatkan, dapat diperoleh dengan adanya produk dari
Pengadilan Agama berupa penetapan isbat nikah dan penentapan asal-usul
anak
3. Tidak ada bentuk perlindungan hukum terhadap perempuan yang
perkawinannya tidak dicatatkan di Indonesia, bentuk perlindungan hukum
71
bagi perempuan dapat dilakukan apabila pelaku nika sirri syar‟i melakukan
pencatatan perkawinan dan Itsbat nikah. Sedangkan bentuk perlindungan
hukum yang dapat diberikan kepada anak dalam nikah sirri syar‟i adalah
berdasarkan Putusan MK nomor 46/PUU-VII/2010 adanya penyempurnaan
perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP mengenai hubungan perdata anak dengan
ayahnya dan keluarga ayahnya yang berupa nasab, mahram, hak dan
kewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan bagi anak.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah mengingat bahwa masalah nikah sirri syar‟i ini
sudah banyak terjadi dikalangan masyarakat atau suku tertentu dan tentunya
sangat mengkhawatirkan masyarakat atau Negara, Oleh karena itu, terdapat
beberapa saran dari penulis yaitu:
1. Kepada para pejabat pencatat nikah, utamanya pejabat tertinggi sebagai
pengambil kebijakan mengenai masalah pencatatan nikah di Kementerian
Agama RI, kiranya dapat menerapkan ketentuan pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sesuai dengan kehendak makna pasal tersebut, yaitu
dalam menerapkannya kepada peristiwa nikah sirri syar‟i, hendaknya
memperhatikan serta tidak memposisikannya bertentangan dengan norma
hukum yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
2. Untuk masyarakat sebaiknya jika melakukan perkawinan haruslah mengikuti
aturan yang ada sehingga nantinya perkawinan yang dilakukan akan diakui
secara sah oleh Negara.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Al-Qur’an.
Al- Hadits.
Anshory, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih danHukum Positif, UII Press. Yogyakarta.
Gultom, Maidi. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. RefikaAditama. Medan.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maj. BandarLampung.
Jamalludin dan Nanda Amalia, 2016, Hukum Perkawinan, UNIMAL Press,Lhokseumawe.
Khaeruman, Badri. 2010. Hukum Islam dalam Perubahan Sosial. Pustaka Setia.Bandung.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum danPenelitian Hukum. Citra AdityaBakti.Bandung.
Ngani, Nico. 2012. Metodologi Penelitisn dan Penulisan Hukum, Pustaka Yustisia,Yogyakarta,
Ria, Wati Rahmi & Muhammad Zulfikar. 2015. Ilmu Hukum Islam. Gunung Pesagi.Bandar Lampung.
Ria, Wati Rahmi. 2011. Hukum Islam dan Islamologi. CV Sinar Sakti. BandarLampung.
Rodliyah, Nunung. 2009. Pokok-Pokok Hukum Islam Di Indonesia dan KompilasiHukum Islam. Gunung Pesagi. Bandar Lampung.
Saebani, Beni Ahmad. 2013. Fiqh Munakahat. CV Pustaka Setia. Bandung..Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2004. Penelitian Hukum Normatif. Grafindo
Persada. Jakarta.
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Sugiono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Kencana. Bogor.
UNDANG-UNDANG
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
JURNAL ILMIAH DAN BAHAN LAINNYA
Ali Akbar. 2014. Nikah Sirri Menurut Perspektif Al-Quran Ushuluddin Vol. XXIINo. 2, Juli
Ansar, Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang di Lahir dari Perkawinan diBawah Tangan, (Jurnal Skripsi, Tahun 2017, Fakultas Syariah dan Hukum,UIN Alaudin Makasar)
Benedhicta Desca PO, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat EksploitasiEkonomi (Skripsi, Tahun 2014, FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Dian Mustika, Pencatatan Perkawinan dalam Undang-Undang Hukum Keluarga diDunia Islam, Jurnal. Family Law, Islamic World
Ejurnal.uin-suka.ac.id
Hasyim Nawawi. 2015. Perlindungan Hukum dan Akibat Hukum Anak dariPerkawinan Tidak Tercatat (Studi di Pengadilan AgamaTulungagung),Ahkam, Volume 3, Nomor 1, Juli
Munawir. 2017. Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah, JurnalShahih, Vol 1, Januari-Juni.
Safi. 2014. Teologi Mu’tazilah, volume 25, Nomor 2, Juli-Desember.
Sidik. 2016. Refleksi Paham Jabariyah dan Qodariyah, Rausyan Fikir, Vol. 12Desmber.
Siti Aminah, 2014, 2016. Hukum Nikah di Bawah Tangan (Nikah Siri), JurnalCendikia, Volume 12 No 1 Januari.
Siti Ummu Adilla, Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor yang MelatarbelakangiTerjadinya nikah sirri dan Dampaknya terhadap Perempuan (Istri) dan Anak-anak (jurnal skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan AgungSemarang)
Siti Faizah. 2014. Dualisme Hukum Islam di Indonesia Tentang Nikah Sirri. JurnalStudi Hukum Islam, Vol 1 No. 1, Januari-Juni.
Sukma Rochayat, akhmad khisn., 2017. Perlindungan Hukum Terhadap wanita danAnak yang Perkawinannya tidak Tercatat di Indonesi. Jurnal Hukum KhairaUmmah Volume. 12. No. 1 Maret.
Sukring, Ideologi. 2016. Keyakinan, Doktrin, dan Bid’ah Khawarij: Kajian KhawarijModern, Jurnal Theologia, Volume 27, Nomor 2, Desember.
Zulkifli. 2013. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Syi’ah, Jurnal Khatulistiwa-Journal Of Islamic Studies, Volume 3, Nomor 2 September.
INTERNET
Kamus Besar Bahasa Indonesia
https://dalamislam.com/
http://dewandakwahjakarta.or.id
http://eprints.uny.ac.id/15943/
http://hukumonline.com/
http://moraref.or.id/browser/index/361/2016/02
http:///www.mediaislam.net//
Moslemsunnah.Wordpress.com