Perjanjian Intr
-
Upload
obiano-tremonti -
Category
Documents
-
view
40 -
download
0
description
Transcript of Perjanjian Intr
BAB I
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International
Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang
bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory1. Sebagai penerus dari
PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI
telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian
konflik antar negara di dunia,
“The International Court of Justice is often thought of as the primary
means for the resolution of disputes between states”2
Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara
sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya3. Special Agreement atau perjanjian
khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih
dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara4. Penundukan ini didasarkan pada prinsip
kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan
tentang jurisdiksi MI berpendapat,
“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in
contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the
1List of Cases Brought Before the Court Since 1946, http://www.icj-cij.org/icjwww/idecisions.htm, diakses 10 Juli 2002
2 Martin Dixon, Textbook on International Law, London: Blackstone Press Limited, 1990, hal.256
3 Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court”.
4 Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by the notification of the special agreement or by a written application…..”
Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly
and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle
the dispute in question”5
Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para
pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will
dari Negara yang terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah
Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan
Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang
dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang
bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.6
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan
negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang
bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI
berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-
disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan
kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang
tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan
tersebut.
Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah
berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan
pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara.
Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai
mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara.
Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.
5 Judge Oda: Nicaragua v. Honduras, Jurisdiction and Admissibility, 1988, ICJ Rep. 69, hal 109
6 Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas
dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi
lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak
terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas
kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam
sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau
impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut.
Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa
kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan.
Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi
indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states
yang terkena dampak hasil putusan tersebut.
Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf
1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime
Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang
diintervensi oleh Negara ketiga.7 Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke
MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus
intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier
1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi
kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara
Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi
negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang
sedang diajukan8. MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62
statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.
7 Kasus-kasus tersebut adalah kasus Hoya de la Torre 1951, Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
8
BAB II
STUDI KASUS HAK INTERVENSI
1. Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14
April 19819
1.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya
Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar
benua atau delimitation of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal
30 Januari 1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal
62 dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua belah
pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan
untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous dengan
Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.
1.2. Analisa Kasus
Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2
tentang intervensi, setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak
intervensi harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature,
objek yang jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan
jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi Malta
dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI
sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan terbukti, maka
MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan
menolak intervensi Malta.
9 Secara Umum sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya) Malta Intervention, Merits, ICJ Rep. 1981
Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai kepentingan pada
kemungkinan-kemungkinan atau possible concern dari MI yang akan
mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari dasar
benua yang disengketakan,
“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical
and geomorphological factors relevant to the delimitation of the
Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the
Court regarding, for example, the significance of special circumstances or
the application of equitable principles in that delimitation”10
Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-
keputusan MI yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum
Malta jika Malta bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu
atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta juga membuat reservasi tertulis
yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk
membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan. Melihat dari tanggal
pengajuan, Malta tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum
berakhirnya waktu pembelaan tertulis.11
Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang
diajukan Malta adalah sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam
penggunaan suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI memutuskan
jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari
para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum yang harus
diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim yang dipertahankan atas
subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi atau future implications tidak dapat dijadikan kepentingan dari sisi
10 Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, Merit, ICJ Rep 1981, paragraf 28-35
11 Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 84, paragraf 1
hukum untuk pengajuan sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ
tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak berusaha menyelesaikan
permasalahan yang mungkin terjadi,
“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the
various questions which have been raised, but leave them to be
decided as and when they occurred in practice and in the light of
the circumstances of each particular case”12
Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan
jurisdictional link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan
yang diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.
Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional,
walaupun secara geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang
dimaksud dalam pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah
Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa.13
Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama
yang berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan
MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada kasus
ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak
kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa.14
2. Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21
Maret 198415
12 Kasus Continental Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, Merit, ICJ Rep. 1981
13 Lihat Hakim Morozov, Declarations, Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981
14 Lihat Hakim Oda, Separate Opinion, Kasus Continental Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981.
15 Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Italia Intervention, Merits, ICJ Rep. 1984
2.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas
kontinen, yang kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan
pada perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint
notification disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal
24 Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari
statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak
ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984, MI
mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia dengan
perbandingan suara 11 melawan 5.
2.2. Analisa Kasus
Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal
untuk sebuah intervensi.16 Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang
syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat
pertama dan kedua telah tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain
itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia
adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya, yaitu
intervensi dari Malta pada tahun 1981.
2.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature
Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan perlindungan seperti yang
termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara mencegah dampak yang
mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia meminta MI untuk
melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif cukup umum ini membawa
konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari Italia.
Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI juga harus
16 Lihat Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, ICJ Rep. 1984
mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai pihak yang
bersengketa.
Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan
hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan
melibatkan hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai
hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara
bersangkutan. Jika MI mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah melanggar
azas konsensualisme yang menjadi dasar beracara di MI.17
2.2.2. Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of
Intervention
Selain akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika
intervensi Italia dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk
dalam past decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus
preseden MI tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak,
bukan pada identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,
“…, since the only cases of intervention afforded by that Article
[62] would be those in which the intervener was only seeking the
preservation of its rights, without attempting to have them
recognized.”18
MI melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori
precise object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam
baik wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62
17 Statuta MI, Pasal 40
18 Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, Merit, ICJ Rep. 1984 paragraf 30
Statuta MI dimaksudkan sebagai cara alternatif untuk mengajukan
sengketa baru ke MI.
3. Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras),
Intervensi Nikaragua, 13 September 199019
3.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2
tahun stelah kasus intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah
Teluk Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim
dari Negara Honduras dan El Savador. Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua
mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas
intervensi Nikaragua secara mutlak adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada
tanggal 13 September 1990.
3.2. Analisa Kasus
Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI
dimana sebuah Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di
dalam kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan
hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).20
3.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature
Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus
memperlihatkan adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan
dari sebuah sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of 19 Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute,
Nicaragua Intervention, Merits, ICJ Rep. 199020 Kesamaan past decisions berkenaan dengan hubungan jurisdiksi, lihat kasus Continental Shelf
Intervensi Malta, Continental Shelf Intervensi Italia dan Maritime Boundary Intervensi Nikaragua
proof, menurut hemat MI, berada pada pihak ketiga yang melakukan intervensi,
bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan secara
meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin akan terkena dampak
keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun yang akan terkena
dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang relatif
lebih mudah untuk dibuktikan,
“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state
seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts,
and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to
show that its interest “may” be affected not that it will or must be
affected”21
Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga
klaim dimana Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak
keputusan MI, yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau,
Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua
hanya mampu untuk memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi
hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang
dapat dipenuhi, MI mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini.
Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan
oleh Central American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang
mempunyai karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi
diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga
Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras
21 Kasus Land Island Maritime Frontier Dispute (Merits) Intervensi Nikaragua, ICJ Rep. 1990, paragraf 61 – 63
dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini
sebagai subsidiary means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.
3.2.2. Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention
Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan yang kedua ini, yaitu
untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk memberikan informasi kepada
MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,
“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua
in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means
available, and second to intervene in the proceedings in order to inform
the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue
in the dispute. This form of intervention would have the conservative
purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did
not trench upon the legal rights and interests of the Republic of
Nicaragua..”22
Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek
yang sesuai dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise object of
intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua relatif lebih
mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute seperti yang
diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.
3.2.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
22 ibid, paragraf 85-92
Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa
hubungan jurisdiksi bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi
pertimbangan sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau
logical links bahwa jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus
mempunyai hubungan jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan
terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan
asas konsesualisme yang menjadi dasar proses beracara di MI.
Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi
dalam hak intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang
menggambarkan sistem hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang
menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman
itu terlihat dari indikasi bahwa walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas
tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara ketiga untuk
mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari keputusan yang telah dibuatnya
hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang penting.23
4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial
Guinea, 21 Oktober 199924
4.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang
meminta MI untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus
ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria
mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria memberikan
consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan.
23 “The Application…. shall set out [c] any basis of jurisdiction which is claimed to exist as between the state applying to intervene and the parties to the case”, Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 [c]
24 Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land & Maritime Boundary, Equatorial Guinea Intervention, Merit, ICJ Rep. 1999
Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara
Equatorial Guinea mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas
keputusan MI. Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara
mutlak oleh MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.
4.4. Analisa Kasus
Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah
bahwa secara tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan
hak intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,
“ The Court notes that the geographical location of the territories
of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates
that it is evident that the prolongation of the maritime zones where
the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap
those of other states.”25
Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa baik Kamerun maupun
Nigeria tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh
Equatorial Guinea.
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik menyatakan bahwa kepentingan
hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini,
kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal
tersebut,
25 Kasus Land, Island and Maritime Boundary (Merits) ICJ Rep 1998, hal 324
“…which could allow the court to better informed on the general
background of the case and to determine more completely the dispute
submitted to it.”26
“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in
Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to
the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that
basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what
extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s
Application.”27
Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang
diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya.
Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial
Guinea in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk
melakukan intervensi.
Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan
menggunakan dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk
memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus yang
disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi
yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak intervensi.
26 ibid, paragraf 9
27 ibid, paragraf 10
5. Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi
Filipina, 12 Oktober 200128
5.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai
beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini
adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001,
Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62.
Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan
dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1
Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang
nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak
intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan
keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.
5.4. Analisa Kasus
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam
pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang
diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan
yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia
terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat
diajukan29 dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen
pendukung.30
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak
melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum
memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat
28 Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, Phillipine Intervention, Merit, ICJ Rep. 2001
29 “An Application for permission to intervene under article 62 of the Statute, ……, shall be filled as soon as possible, and not later than the closure of the written proceedings. In exceptional circumstances, an application submitted at a later stage may however be admitted” ,Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 paragraf 1
30 “The application shall contain a list of documents in support, which documents shall be attached”, Aturan Mahkamah 1978, Pasal 81 paragraf 3
bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan
untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28
Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak
meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada
tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis
berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak
akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan
dinyatakan.31
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen
pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang
terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada
dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada
kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen
pendukung aplikasinya.
5.4.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature
Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan
kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang
berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim
untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan
yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi
keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak
intervensi terjadi.
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi
pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi
juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan
hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim
Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata
31 “the date of the closure of the written proceedings, within the meaning of Article 81 paragraph 1 of the rules of the court, would remain still to be finally determined”, ICJ Rep., 1990, hal. 98, paragraf 12
decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa
Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan
tersebut.
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan
membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI.
Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa
yang melatarbelakangi keputusan tersebut,
“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might
somehow stymie the Court in the performance of its judicial
function in a particular case and place too onerous a burden on
States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the
Court’s reasoning might be in particular case”.32
Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari
para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka
dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang
mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi
pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan
hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan.
Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan
kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan
maupun unsur analisanya.
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI
melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus
mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh
mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus
Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina
32 Lihat Separate Opinion, Hakim Koroma, Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001
gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti
sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI
dalam memutus klaim ini.
5.4.2. Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention
Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya,
yaitu:
“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of
the Government of the Republic of the Philippines arising from its
claim to dominion and sovereignty over the territory of North
Borneo, to the extent that these rights are affected, by a
determination of the Court of the question of sovereignty over
Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the
proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature
and extent of the historical and legal rights of the Republic of the
Philipines which may be affected by the Court’s decision; and
third, to appreciate more fully the indispensable role of the
Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not
merely for the resolution of legal disputes.”33
Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang
sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan
memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah
33 Aplikasi Intervensi Filipina dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan, ICJ rep. 2001
diperbolehkan.34 Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses
pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya
tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.
5.4.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan
adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan
bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut
beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk
tidak menjadi pihak yang bersengketa.35 Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya
jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang
bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang
bersengketa.36
\
34 lihat kasus Continental Shelf, Judgment ICJ Rep. 1984, hal 11-12; Kasus Land Island and Maritime Frontier Boundary, Judgment, ICJ Rep. hal 108-109; dan Kasus Land Maritime Boundary, ICJ Rep., 1999, hal 1032
35 Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135; Kasus Land and Maritime Boundary, ICJ Rep. 2001, hal 1034-1035
I36 Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135
BAB III
1.Kesimpulan dan Saran
Begitu banyak permasalahan hak intervensi dalam mahkamah internasional., engara
Negara dunia harus menemukan solusi solusi terbaik dan meningkatkan stabilitas antar
Negara dunia .