repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49480/1/MILAH... ·...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49480/1/MILAH... ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lulusan sarjana hukum, yang akan menjadi praktisi hukum, dibutuhkan
logika berpikir yang handal. Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan-pengetahuan
tertentu untuk dapat mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yang
salah satunya adalah pengetahuan tentang keadilan gender. Pengetahuan,keadilan
gender bagi para calon professional hukum idealnya dimulai sejak pendidikan di
perguruan tinggi, dimana para mereka mendapatkan pendidikan dasar tentang
hukum
Pentingnya pengetahuan tersebut, terkait dengan kerentanan problem
diskriminasi yang mungkin terjadi di pengadilan yang salah satunya disebabkan
oleh rendahnya kesadaran gender di kalangan professional hukum, seperti hakim
dan pengacara. Hal ini menjadi salah satu hal yang menggerakkan institusi-
institusi pemerhati peradilan dan pegiat gender mengangkat isu ini. KOMNAS
Perempuan, misalnya, telah menerbitkan pedoman-pedoman yang dapat
digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang melibatkan perempuan,
termasuk di Pengadilan Agama. Pada tahun 2018, Mahkamah Agung Republik
Indonesia bekerjasama dengan MaPPI FHUI dan Australia Indonesia Partnership
for Justice 2 (AIPJ 2) menyusun sebuah buku berjudul “Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.” Buku ini diperuntukan bagi
hakim dari semua lingkungan peradilan, termasuk Peradilan Agama.1 Selain itu,
INPRES No. 9 Tahun 2000 menyebutkan dalam ayat 6 tentang pedoman
pelaksanaan gender dalam pembangunan nasional salah satunya disebutkan yaitu
1 Hak –Hak Perempuan diakses dalam https://www.slideshare.net/rumahkitab/memastikan-
terpenuhinya-hak-hak-perempuan-pasca-perceraian
2
Jaksa Agung ditunjuk untuk mengarustamakan gender dalam ranah lembaga
pemerintahan.2
Isu pentingnya pendidikan gender bagi hakim pernah diangkat di media
pada kasus hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Tangerang yang menolak
menetapkan terjadinya perzinahan dengan hanya bukti dari foto. Advokat dari
LBH Keadilan menilai bahwa penolakan hakim ini terjadi bukan karena
kurangnya kapasitas hakim, tetapi karena minimnya pengetahuan dan sensitivitas
gender di kalangan para hakim. Sehingga, ketua LBH Keadilan, Halimah
Humayrah Tuanaya mendesak Mahkamah Agung untuk memasukan materi
gender dalam pendidikan calon hakim. 3
Selain itu, terkait dengan implementasi hukum Islam, gender selalu menjadi
isu sentral dan menjadi isu perbincangan dalam ranah hukum Islam atau syariat
Islam. Hukum Islam yang universal yang datangnya dari Allah yaitu syariat,
sedangkan ketika masih ada perbedaan yaitu hukum Islam, maka dari itu apabila
terdapat penafsiran berbeda mengenai gender hukum Islam adalah bias gender
maka yang masalah bukanlah ayat dan sunnahnya, tetapi orang yang
mempresentasikannya.4 Dengan begitu, maka keadilan hakim di Pengadilan
Agama, sangat ditentukan oleh bagaimana cara mereka menginterpretasikan
hukum Islam.
Malaysia sebagai Negara dengan mayoritas Muslim, juga menghadapi Isu
yang sama. Situasi ini dibuktikan oleh perbedaan dalam interpretasi
"diskriminasi" berdasarkan dua kasus yaitu kasus Beatrice Fernandez dan
Noorfadilla Saikin yang terjadi di Malaysia Menurut Islam perbedaan jenis
kelamin bukan lah sebuah hal yang bisa membedakan hak. Oleh karena itu,
penerimaan Konvensi CEDAW nampak kepada para pihak, terutama praktisi
2 Inpres no. 9 Tahun 2000
3Pendidikan Gender untuk Calon Hakim diakses dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt534e4e52c628a/ma-harus-memasukan-pendidikan-gender-
bagi-calon-hakim diakses pada tanggal 24 Desember 2018 4 Asasriwarni, “Gender dalam Perspektif Hukum Islam” Vol.2 No.13
3
hukum untuk secara luas menafsirkan interpretasi "diskriminasi" ini sehingga
tidak ada pengaturan yang mengikat mereka untuk mengikuti keputusan itu.5,
Beatrice Fernandez adalah seorang pramugari, yang mengajukan
permohonan pengunduran diri, karena sedang hamil. Namun ia tetap tidak di
izinkan, kemudian ia mengunggat kasus ini ke Pengadilan Tinggi , dengan
memohon agar diberikan ganti rugi karena kehilangan pekerjaan dan tunjangan
yang berasal darinya, pembayaran gaji dan tunjangan, serta bunga dan biaya
selama ia bekerja. Namun dalam permohonan itu Hakim Tinggi menolak adanya
pembiayaan terhadap pengunduran dirinya sebagai pramugari. Hingga tingkat
banding pun, permohonan itu tetap ditolak. 6
Sama halnya dengan kasus Noorfadilla Saikin, seorang guru sementara yang
mengunggat pemerintah pada tahun 2010. Setelah petugas pendidikan kabupaten
Hulu Langat mencabut pengangkatannya pada tahun 2009 sebagai guru sementara
(GSTT) setelah mengetahui kehamilannya. Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa
pencabutan jabatan sebagi guru sementaranya dianggap inkonstitusional.
Kemudian Pengadilan Tinggi memvonis kementerian sebagai terdakwa bersalah. 7
Kasus tersebut menyebabkan dua hasil yang berbeda, berdasarkan fakta
yang sama. Hal tersebut menunjukan bukan karena kompetensi hukumnya yang
kurang, namun pengarustaaman gender di ranh hukum pun belum selesai.
Sehingga tidak semua hakim mampu memiliki senisitifitas gender. Melalui kasus
ini pun, ditemukan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum itu
sendiri tidak mematuhi Konvensi CEDAW. Perempuan tidak berarti ditolak
haknya dalam bidang apa pun di Malaysia. Namun keterlibatan perempuan masih
kurang dalam bidang tertentu, seperti politik. Ini mungkin akibat dari budaya
5 Shaharom, “Ratifikasi Cedaw di Malaysia: Kesan Menurut Undang-undang dan
Hukum Syarak.” Jurnal Sharia of Law , 11, 2 ( 2017) h. 210 6 Kasus Beatrice Fernandez “Https://Www.Academia.Edu/28256593/Case_Beatrice_
Fernandez.” Diakses pada tanggal 23 Juli 2019 7 Kasus Noorfadilla Saikin dalam https://www.academia.edu/people/search?utf8=✓
&q=case+Noorfadilla+Saikin+ diakses pada tanggal 23 Juli 2019
4
yang diwujudkan oleh keluarga. Yang mencegah wanita menjadi kompetitif dan
mengekspresikan pendapat mereka dengan keras di depan umum. Hal tersebut
pun nampak stereotif, di mana wanita perlu memprioritaskan pekerjaan rumah
tangga, sementara pria perlu mencari nafkah.8
Dari pemaparan di atas terlihat urgensi dari kesadaran gender bagi para
professional hukum yang berkecimpung di lingkungan peradilan. Namun
demikian, kesadaran tidak bisa serta-merta ditumbuhkan dalam waktu singkat
dengan mengandalkan pedoman-pedoman yang diberikan ketika para hakim dan
pengacara sudah menjalani profesinya. Ada urgensi untuk menanamkan
kesadaran akan keadilan gender melalui pendidikan terutama bagi calon-calon
professional hukum di universitas.
Maka dari itu yang melatar belakangi penulis memilih Fakultas Syariah dan
Hukum sebagai tempat pengarusutamaan gender dari kebijakan hukum yang telah
diatur oleh Negara, karena FSH merupakan gerbang dimana calon Hakim di
Pengadilan Agama harus lulusan Syariah dan Hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut maka peneliti akan mengangkat judul
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUKUM TENTANG KESETARAAN
GENDER DALAM PENDIDIKAN HUKUM ISLAM (Studi Perbandingan
Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatulah Jakarta dan
Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya)”
B. Identiifkasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut :
a. Mengingat Hukum Islam yang universal yang datangnya dari Allah yaitu
syariat. Ketika masih ada perbedaan dalam hukum Islam, maka dari itu
8 Shaharom, “Ratifikasi Cedaw di Malaysia: Kesan Menurut Undang-Undang dan
Hukum Syarak.” Jurnal Sharia of Law , 11, 2 ( 2017) h. 210
5
masalah bukanlah pada ayat dan sunnahnya, tetapi orang yang
penafsirannya, yang mungkin sekali bias gender9
b. Maka dari itu keadilan gender sangatlah berperan dalam konstruksi
masyarakat. Adapula keadilan gender sangat diperlukan dalam
pembentukan rancangan program pemerintah terutama masalah reformasi
keadilan, dengan berbagai alasan diantaranya mereformasi norma hukum
yang diskriminatif dan meningkatkan perlindungan HAM dan
mengahapuskan kekerasan gender.10
c. Adanya anggapan bahwa ketidakmampuan hakim memberi keadilan
bukan karena kurangnya kapasitas hakim, tetapi karena minimnya
pengetahuan dan sensitivitas gender di kalangan para hakim. Hal ini
membuat ketua LBH Keadilan, Halimah Humayrah Tuanaya mendesak
Mahkamah Agung untuk memasukan materi gender dalam pendidikan
calon hakim. 11
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan peneliti jabarkan tidak terlalu melebar dan
untuk menciptakan kejelasan pada pembahasan, maka peneliti membuat
pembatasan masalah, yakni, implementasi kebijakan hukum tentang
kesetaraan gender pada Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti
Malaya. Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana integrasi isu gender
dalam kurikulum, dan bagaimana perspektif dosen dan mahasiswa terkait isu
ini.
9 Asasriwarni, “Gender dalam Perspektif Hukum Islam “ Vol.2 No.13
10 Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam http://mappifhui.org/wp-
content/uploads/2018/01/Pedoman-Mengadili-Perkara-Perempuan-Berhadapan-dangan-
Hukum-MaPPI-FHUI-2018.pdf diakses pada tanggal 20 Desember 2018 11
Pendidikan Gender untuk Calon Hakim dalam http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt534e4e52c628a/ma-harus-memasukan-pendidikan-gender-bagi-calon-hakim,
diakses pada tanggal 20 Desember 2018
6
Penulis memilih Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan dasar
kemudahan akses dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga merupakan
kampus Islam terkemuka dan menjadi role model bagi kampus-kampus Islam
lainnya di Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum merupakan gerbang
untuk menjadi lulusan sarjana hukum. Sementara Jabatan Syariah dan
Undang-undang dipilih karena Jabatan Syariah dan Undang-undang Akademi
Pengajian Islam University Malaya merupakan kampus Islam yang menjadi
role model bagi kampus-kampus lain di Malaysia. Universiti Malaya pun
merupakan kampus nomor satu di Malaysia.
C. Rumusan Masalah
Masalah utama yang jadi fokus pembahasan dalam penelitian ini terkait
dengan implementasi kebijakan hukum tentang kesetaraan gender dalam
Pendidikan Hukum Islam di Program Studi Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah
dan Undang-undang.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang telah
diuraikan di atas, maka dibuat perincian perumusan masalah dalam bentuk
pertanyaan :
1. Bagaimana kebijakan hukum tentang kesetaraan gender di implementasikan di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan
Syariah dan Undang-undang di Akademi Pengakajian Islam Universiti
Malaya?
2. Bagaimana perspektif gender di kalangan mahasiswa dan dosen di kedua
kampus tersebut ?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan
diatas,maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan
penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum tentang gender
diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan hukum Islam di Program
Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan
Syariah dan Undang-undang di Malaysia.
b. Untuk mengetahui bagaimana perspekif dosen dan mahasiswa di Program
Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan
Syariah dan Undang-undang di Malaysia
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian skripsi ini adalah :
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkaya dalam
pengetahuan hukum Islam mengenai pengimplementasian kebijakan
hukum tentang gender dalam kurikulum Program studi Hukum Keluarga.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam dunia
hukum keluarga di Indonesia terlebih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan dan
landasan bagi peneliti lanjutan, serta diharapkan dapat menjadi masukan
bagi pembaca terutama bagi civitas akademika Program Studi Hukum
Keluarga
8
E. Review Kajian Terdahulu
Ada beberapa studi terkait dengan diskursus gender dalam pendidikan.
Pertama, studi mengenai konsepsi gender yang dilakukan oleh Dariyati
menemukan bahwa terdapat beberapa keberagaman dalam konsep gender dan
pendidikan adil gender terutama untuk para pendidik. Kemudian, ada
kecenderungan bahwa pemahaman konsep gender selalu mengacu pada jenis
kelamin. Sementara konsep “pendidikan adil gender” mengacu pada hal kuantitas
saja atau jumlah saja. Dengan kata lain, pendidikan dianggap adil gender ketika
rasio jumlah partisipasi laki-laki dengan perempuan sama. Meski dengan
program pemerintah berupa pengarusutamaan gender (PUG) di bidang
pendidikan, perlakuan yang di lakukan oleh pendidik malah cenderung bahkan
mengarah kebias gender bukan ke adil gender.12
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Taher, Alwin, dkk. Penelitian
mengkaji perspektif mahasiswa terhadap kesadaran gender di Fakultas Ekologi
Manusia, IPB. Dalam penelitian tersebut ditemukan beberapa persepsi mahasiswa
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun masuk
2016 yang telah mengikuti mata kuliah. Penulis menemukan tingkat persepsi
mahasiswa terhadap kesadaran gender yang sangat signifikan, pada hubungannya
dalam sosialisasi primer hanyalah jenis kelamin sedangkan hal lain seperti agama
suku bangsa, orang tua, tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kesadaran
gender. Terlebih lagi dengan sosialisai sekunder yang dialami mahasiswa baik
tempat tinggal, organisasi, IPK, tidak memiliki signifikasi terhadap persepsi
kesadaran gender. 13
Selanjutnya, klasifikasi penelitian sebelumnya mengenai gender dalam
Islam yang diteliti oleh Asasriwarni. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
gender selalu menjadi isu sentral, dan bukan hal yang lumrah lagi yang selalu
12
Daryati, “Integrasi Perspektif Adil Gender Dalam Pendidikan Di Sekolah Menengah Atas
(Studi Kasus Pada Sekolah Menegah Atas Negeri 6 Surakarta)”. Vol. 2 No. 1 (2012) 13
Taher, Alwin, dkk. “ Persepsi Mahasiswa Terhadap Kesadaran Gender “. Vol. 5. No.2
(2009)
9
menjadi isu perbincangan dalam ranah hukum Islam atau syariat Islam. Hukum
Islam yang universal yang datangnya dari Allah yaitu syariat. Sedangkan fikih itu
merupakan pendapat ulama, yang masih bisa di rekontruksikan ulang sesuai
relevansi zaman.Maka dari itu apabila terdapat penafsiran berbeda mengenai
gender dalam hukum Islam, maka yang masalah bukanlah ayat dan sunnahnya,
tetapi orang yang mempresentasikannya. Maka dari itu penelitian tersebut
berkesimpulan apabila akan ada yang mampu memiliki sudut pandang tentang
gender menurut hukum yang dibuat manusia, itu sangat berkemungkinan besar
dan tidak menjadi masalah yang paling penting tidak keluar dari substansinya
menurut syariat Islam.14
Dari beberapa penelitian di atas yang sudah diteliti dan telah
diklasifikasikan sesuai substansi. Maka dari itu penulis meneliti hal lain dari
keadilan atau kesadaran gender tersebut. Penulis mengangkat judul yang sedikit
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Implementasi kebijakan
hukum tentang kesetaraan gender dalam Pendidikan Hukum Islam di Program
Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Jabatan Syariah
dan Undang-undang Universiti Malaya. Dengan bermaksud mengangkat substansi
mengenai integrasi kebijakan hukum tentang gender terhadap kurikulum Hukum
Keluarga dengan implikasi kesadaran gender dari perilaku seluuruh civitas
akademika. Kemudian bagaiamana perspesi mereka mengenai kesadaran gender
dan bagaimana urgensinya untuk profesin sarjana Hukum.
F. Metode Penelitian
Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini antara
lain :
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan
mendapatkan informasi dan berbagai aspek menegenai isu yang akan diteliti.
14
Asasriwarni, gender Dalam Perspektif Hukum Islam Vol.2 No.13
10
Pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yaitu dengan cara melakukan pendekatan studi kasus di Program
Studi Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang sumber data
dari wawancara dengan dosen dan mahasiswa.
2. Jenis Penlitian
Metode penelitian adalah salah satu cara untuk memecahkan suatu
masalah dalam suatu penelitian dengan ketelitian dan dapat dipertanggung
jawabkan hasilanya. Menurut Petter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian
hukum adalah proses untuk menemukan suatu aturan dari hukum, prinsip
hukum, maupun doktrin hukum agama untuk menjawab masalah yang
dihadapi. 15
Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah Empiris yaitu
menganalisis bagaiamana implementasi kebijakan hukum tentang kesetaraan
gender dalam Pendidikan Hukum Islam di Program Studi Hukum Keluarga
dan di Jabatan Syariah dan Undang-undang.
3. Data Penelitian dan Bahan Penelitian
Data penelitian dibagi menjadi:
a. Bahan Primer
Bahan primer dalam penelitian ini dengan menggunakan sumber
utama yaitu berupa, kurikulum, silabus, hasil Focus Grup Discussion
dengan mahasiswa Hukum keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-
undang, serta hasil interview dengan dosen Hukum keluarga dan Jabatan
Syariah dan Undang-undang untuk mengetahui bagaimana materi-materi
tentang gender diajarkan.
b. Bahan Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan pendukung untuk menemukan
jawaban dari masalah pada penelitian ini yaitu Inpres, CEDAW dan Al-
Quran atau sumber hukum islam lainnya
15
Petter Mahmud Marzuki, . Penelitian Hukum. Kencana. Cet. 2. (Jakarta: 2008) h. 35
11
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memproleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,
dikaitkan dengan jenis penelitian yang bersifat normative empiris, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
penelitian studi pustaka dari kebijakan-kebijakan hukum, studi lapangan yakni
upaya memperoleh data dari wawancara dengan dosen Hukum keluarga dan
Jabatan Syariah dan Undang-undang, Focus Grup Discussion dengan
mahasiswa Hukum keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang, dan
studi dokumen kurikulum. Kemudian membandingkannya dengan hukum
yang relevan agar peneltiian ini dapat dipakai untuk menjawab suatu
pertanyaan atau untuk memecah suatu masalah.
5. Teknik Pengolalaan dan Analisis data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisis
kualitatif yaitu dengan cara mengambil data dari lapangan kemudian diedit
sesuai yang dibutuhkan dan di bandingkan dengan hukum agar masalah dari
penelitian ini dapat terjawab.
G. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan pada penelitian ini adalah menggunakan kaidah-
kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017’
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
terdiri dari sub-bab guna memperjelas cakupan permaslahan yang menjadi objek
penelitian. Urutan masing-masing bab dijadikan sebagai berikut:
Bab I menguraikan yang pertama tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat
penelitian, review kajian terdahulu, metode penelitian dan yang terakhir tentang
12
sistematika penulisan. Dengan adanya pembahasan tersebut maka dapat diketahui
mengenai gambaran menyeluruh dari substansi yang akan dipaparkan dalam
penelitian ini. Selanjutnya yaitu bab II, penulis akan menguraikan mengenai
kebijakan hukum yang berperspektif gender, hal tentang diskursus gender dalam
Islam dan Pendidikan Hukum. Dimana bab ini akan berisi mengenai beberapa
pembahasan yaitu gender dan Islam , gender dalam al-Quran menurut pespektif
pemikir islam, urgensi pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Pembahasan
akan dilanjutkan oleh penulis pada bab III yaitu mengenai gambaran umum
Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan
Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya. Selanjutnya pada bab IV, penulis
akan menganalisis hasil dari penelitian, memaparkan penemuan-penemuan
tentang implementasi kebijakan hukum tentang gender ketika diturunkan pada
regulasi universitas dan masuk kedalam kurikulum Program Studi Hukum
Keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang serta membahas perspektif
dosen dan mahasiswa antara kedua kampus tersebut. Yang terakhir pada bab V
yaitu penutup, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan tentang pokok
permasalahan dan saran.
13
BAB II
DISKURSUS GENDER DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN HUKUM
Bab ini akan menyajikan diskusi literatur-literatur terkait dengan kebijakan
hukum yang berperspektif gender, diskursus gender dalam Islam, pentingnya
pengarusutamaan gender dalam pendidikan secara umum, pendidikan hukum, dan
pendidikan hukum Islam. Diskusi tersebut akan membantu menjelaskan perlunya
pendidikan hukum Islam, yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
dan Jabatan Syariah dan Undang-undang, menimbang pengarustamaan gender dalam
konten pendidikan.
A. Kebijakan Hukum Berperspektif Gender
Indonesia merupakan Negara hukum, maka dari itu segala sesuatu tidak akan
terlepas dari kebijakan hukum. Dengan demikian perspektif gender harus masuk
ke dalam beberapa regulasi kebijakan Negara. Jika melihat regulasi yang
berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 menyatakan bahwa
perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam bidang hukum dan
pemerintah. Hal tersebut tercermin bahwa, tidak ada pembedaan antara laki-laki
dan perempuan berdasarkan gender. Ketika laki-laki dan perempuan berhadapan
dengan hukum, terlepas dari menjadi pelaku maupun korban. Begitupun dalam
ranah pemerintahan perempuan berhak menempati jabatan berdasarkan
kompetensi yang ia miliki dan menerima regulasi yang menguntungkan pihak
perempuan dan laki-laki. Sehingga tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi
perempuan. 1
Namun tidak terlepas dari itu, banyak tantangan terkait undang-undang
nasional dan lokal yang harus diperbaiki ketika masih adanya kesan bias gender.
Sebagaimana Keputusan MPR No. IV/MPR/1999. Atas anjuran organisasi
masyarakat sipil dan KPPPA, beberapa Undang-undang (UU) di bawah ini sudah
peka gender dan mengedepankan perlunya perlindungan hak-hak perempuan:
1 Undang-undang Dasar 1945 pasal 27
14
Yang pertama, UU Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Keluarga No.
52/2009, yang secara khusus mengharuskan adanya data kependudukan yang
terpilah berdasar jenis kelamin dan kemiskinan yang membebani kelompok
penduduk dengan kepala rumah-tangga perempuan harus dihapuskan.
Yang kedua, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah-tangga No
23/2004, yang memperkuat upaya penghapusan kekerasan dalam rumah-tangga
dan mengharuskan tersedianya pelayanan bagi para korban.2
Sama halnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskiriminasi
terhadap perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women). Deklarasi tersebut membahas berdasarkan
persamaan hak laki-laki dan perempuan. Maka dari itu CEDAW menyusun
rancangan konvensi tentang pengahapusan segala bentuk diskriminasi perempuan.3
Begitupun yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 48 bahwa perempuan berhak
untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pekerjaan, jabatan, dan
profesi sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dari pasal tersebut
menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang
sama, selain itu berhak pula mendapatkan profesi sesuai dengan keahlian yang
dimiliki. Pendidikan pun harus merata ketika laki-laki diwajibkan untuk sekolah
tinggi, maka tidak ada lagi pepatah bahwa perempuan hanya “di sumur, di dapur
dan di kasur”. Hal tersebut merupakan pembunuhan karakter, di mana perempuan
merasa terkekang oleh budaya yang mengekang kemerdekaan berpikir dan
berbicara didepan umum. Ketika hal itu selalu menjadi paradigm etika hal itu
selalu menjadi paradigm yang terus tumbuh ditengah masyarakat. 4
2 Bappenas “Gender Analysis in Development”, Kementrian Perencanaan Pembangunan
Nasional, Jakarta: 2017 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984
4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
15
Diatur pula pengintegrasian gender dalam bidang pekerjaan. Ketika melihat
regulasi berdasarkan Undang-undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 5
diamanatkan untuk memberi peluang dan perlakuan dalam pekerjaan. Hal ini
menegaskan kembali bahwa tidak ada perbedaan atas dasar jenis kelamin dalam
suatu pekerjaan. Tidak ada lagi penempatan perempuan harus selalu dibawah
pimpinan, atau bahkan diperlakukan seperti objek dalam pekerjaan. Namun
keduanya bisa dibagi sesuai porsi dan kualifikasi kemampuan antara laki-laki dan
perempuan masing-masing. 5
Pedoman untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat provinsi dan
kabupaten. UUD Negara Indonesia dan ratifikasi berbagai konvensi internasional
menunjukkan komitmen negara terhadap kesetaraan gender dan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai undang-undang lokal yang efektif.6
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3 tahun 2017
tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum (c )
bahwa Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women / CEDAW) mengakui kewajiban negara
untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas
dari diskriminasi dalam sistem peradilan.7
Dijelaskan kembali dalam PERMA No. 3 Tahun 2017 pasal 6, ditekankan
pula bahwa Hakim dalam menangani kasus perkara perempuan berhadapan
dengan hukum harus selalu mempertimbangkan, melakukan penafsiran kembali
dan menggali nilai-nilai hukum tentang kesetaraan gender dalam perbuatan tertulis
maupun tidak tertulis. 8
5 Undang-undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 5
6 Ulber silalahi, Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik dalam Promosi Jabatan di
Pemerintah Kota Bandung. ( Bandung : Lppm Unpar Bandung, 2016 ) h. 9 7 PERMA No. 3 Tahun 2017 butir (c)
8 PERMA No. 3 Tahun 2017 pasal 6
16
Sebagaimana diketahui bahwa pengarusutamaan gender merupakan suatu
strategi yang dibangun, untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam proses
pembangunan nasional. Pengarusutamaan gender (PUG) adalah salah satu dari tiga
strategi nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2010-1014 pada buku II bab 1. Sebagaimana hal tersebut terdapat
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 20042009) berisi 38
program responsif gender, meningkat dari 19 program dalam RPJM 2000-2004.
Dua puluh Kementerian sektoral sudah membentuk kelompok kerja dan gender
focal point untuk menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan
programnya. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) tahun 2005
secara eksplisit memasukkan gender sebagai elemen dalam pengentasan
kemiskinan dan memastikan adanya komitmen untuk mengupayakan kesetaraan
gender. Strategi ini dilihat sebagai „uji kasus terhadap kemampuan Pemerintah
Indonesia mewujudkan janjinya untuk mengarus utamakan gender di berbagai
sektor pemerintahan.9
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Terdapat
dalam Pasal 1 yang berbunyi, Setiap satuan unit kerja bidang pendidikan yang
melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh
kebijakan, dan program pembangunan bidang pendidikan agar mengintegrasikan
gender di dalamnya. Peraturan Menteri tersebut merupakan terusan dari INPRES
NO.9 Tahun 2000 yang dilampirkan dalam lampirannya. 10
Jika melihat kepada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dalam intruksi tersebut
menyebutkan bahwa intruksi ditunjukan salah satunya adalah kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam pembangunan
9 Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender untuk Pemerintah
Daerah 10
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008
17
nasional, pengarusutamaan gender ditekankan kepada beberapa profesi salah
satunya seorang Jaksa, karena seorang Jaksa dan pakar hukum lainnya akan rentan
mengalami penyelesaian kasus-kasus hukum yang rentan terhadap isu gender.11
Adapun pada akhir-akhir ini Kementerian Agama telah melakukan MOU
dengan Kementerian Perlindngan Perempuan dan Anak. Yang dihadiri oleh Dirjen
Bimas Islam, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, dan Konsultan Alissa
Wahid. Rapat ini terkait dengan pembahasan rancangan kesepakatan bersama
antara Kementerian PPPA dan Kemenag, tentang Penguatan Keluarga
Berkesetaraan Gender, Peduli Hak Anak dan Sakinah melalui Pusat Pembelajaran
Keluarga (Puspaga) dan Kantor Urusan Agama (KUA). Rapat itu juga dihadiri
oleh perwakilan Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kemen PPPA, pejabat
pada Biro Hukum Kementerian Agama, serta para pejabat eselon 3 dan 4 di
lingkungan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah. Dengan MOU ini
bertujuan untuk menjembatani antara Kementerian PPPA dan Kementerian Agama
memperkuat muatan-muatan tentang keluarga yang berkesetaraan gender. Muatan
tersebut berdasarkan arus zaman dan berpedoman pada Undang-undang.12
Berdasarkan pemaparan diatas terkait dengan kebijakan-kebijakan Negara
yang berperspektif gender. Maka dari itu yang perlu dilihat adalah bagaiamana
kebijakan tersebut diturunkan kepada ranah instansi pendidikan, sebagai salah satu
lembaga pemerintah yang harus melaksanakan pengarusutamaan gender dalam
regulasinya juga. Salah satunya dengan pembentukan Pusat Studi Wanita sebagai
pengimplementasian kebijakan hukum dalam pengarusutamaan gender pada ranah
Universitas.
Sebagaimana nampak peningkatan terhadap PSW (Pusat Studi Wanita) yang
terdapat dalam Universitas. Terhitung peningkatan tersebut berawal dari berjumlah
70 menjadi 110 di Universitas negeri dan swasta yang tersebar di 30 provinsi.
11
INPRES Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender 12
Kemenag dan Kemen PPPA Jajaki MOU Penguatan Keluarga diakses dalam
https://bimasislam.kemenag.go.id/ post/berita/kemenag-dan-kemen-pppa-jajaki-mou-penguatan-
keluarga
18
PSW bertugas memberikan kebijakan yang peka terhadap gender.13
Hal ini
menunjukkan adanya peningkatan kesadaran terkait perlu adanya
pengarusutamaan gender di dalam ranah Universitas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan instansi pendidikan dibawah
naungan kementerian Agama, dimana sebagai salah satu wadah dalam upaya
pengarusutamaan gender yang memiliki Pusat Studi Wanita (PSW). Namun saat
ini telah berubah nama menjadi Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA). Dalam
mencapai tujuan gender mainstreaming, PSGA berharap apabila setiap kegiatan-
kegiatan di UIN Jakarta memiliki responsive gender. Maka dari itu setiap rencana-
rencana yang dianggarkan oleh PSGA, selalu berkeadilan antara laki-laki dan
perempuan. Sehingga keduanya bisa mendapatkan akses yang sama. Ervania
Zuhriah, selaku trainer perencanaan dan pengaggaran responsif gender dari UIN
Malang dalam acara sosialisasi dan pelatihan mengungkapkan, program ini diawali
pada tahun 2015 dalam proses perencanaan dan penganggaran responsif gender di
perguruan tinggi, khususnya di Kementerian Agama. Hal tersebut dikarenakan
ketika Erviana melakukan penelurusan tanpa analisis, hampir semua perguruan
tinggi yang berbasis Islam negeri (PTKIN) , masih membuatkan rencana yang
bersifat netral gender.14
Hingga saat ini PSGA sudah menggelar kelas pada angkatan ke-lima tentang
gender dan anak pada tanggal 7 Agustus 2018. Ketua PSGA 2018, Rahmi berharap
bahwa kelas seperti ini akan menjadi role model dilingkungan kampus maupun
diluar atau seluruh Indonesia. 15
Hal tersebut menunjukan bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah
mencerminkan bahwa adanya pengarusutamaan gender dalam ranah pendidikan.
13
Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender untuk
Pemerintah Daerah 14
PSGA Ingin Kegiatan Lebih Responsif Gender dalam https://www.uinjkt.ac.id/id/psga-ingin-
seluruh-kegiatan-lebih-responsif-gender/ diakses pada tanggal 7 Agustus 2019. 15
PSGA Buka Kelas Gender Angkatan V dalam https://www.uinjkt.ac.id/id/psga-buka-kelas-
gender-dan-anak-angkatan-v/ diakses pada tanggal 7 Agustus 2019.
19
Hal tersebutpun diturunkan kepada ranah fakultas yang memiliki program studi
yang mempunyai kurikulum berbasis gender. Program Studi Hukum Keluarga
memiliki mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak. Di mana hal itu
menjadi terusan atas pengarusutamaan gender dari tingkat kebijakan Negara,
kemudian ke ranah universitas dan berujung pada kurikulum yang harus diajarkan
kepada Mahasiswa. Yang akan menjadi cikal bakal penerus pemegang regulasi,
sehingga dibutuhkannya sensitifitas gender sejak dini. Terlebih untuk Fakultas
Syariah dan Hukum, Mahasiswa nya akan diproyeksikan sebagai pakar-pakar
hukum, yang harus lebih memahami regulasi Negara dalam bidang hukum yang
berperspektif gender.
Sedangkan di Malaysia, gender hanya terdapat dalam Konvensi CEDAW,
dimana segala hak kebebasan di batasi oleh tiga unsur diantaranya, prinsip
kesetaraan substantif, prinsip tidak mendiskriminasi dan prinsip kewajiban negara
yang meratifikasikannya. Prinsip yang pertama itu mempunyai tujuan bahwa
adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan suatu
kebenaran dari diskriminasi adalah ketika perempuan tidak menuntut kesetaraan.
Oleh karenanya perempuan sudah mendapatkan pelayanan yang berbeda
dibanding laki-laki. Seperti perempuan tidak dibolehkan bekerja pada malam hari
untuk mencegah sesuatu yang berbahaya yang tidak diinginkan.16
Lain halnya di Malaysia terkait dengan ratifikasi CEDAW, malah terjadi
pembantahan lewat unjuk rasa 812 di ibu kota Kuala Lumpur. Masyarakat
mendukung langkah pemerinta Negeri Jiran menolak menyetujui dan meratifikasi
Konfensi Dunia untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi ras yang diajukan
oleh PBB. Aksi ini diikuti oleh kurang lebih lima puluh ribu orang lebih yang
dihadiri pula oleh mantan Perdana Menteri Nazib Tun Razak. Mereka merasa
bahwa konfensi tersebut memberikan luang lebih kepada etnis China dan India,
seperti yang terjadi pada Tahun 1969 di Malaysia yang membuat 200 orang tewas,
16
Fadhila Shaharoom, “Ratification of CEDAW in Malaysia: The Effect from Perspective of
Law and Ḥukm Syara” Journal of Shariah Law Research vol. 2 (2) 2017 h. 220
20
sehingga membuat pemerintah membuat peraturan diskriminatif. Walaupun
sekarang yang menjabat sebagai Perdana Menteri adalah Mahathir Muhammad
sebagai etnis minoritas, maka dari itu ia tidak banyak leluasa dalam wewenang,
karena masih membutuhkan etnis Melayu yang bersifat mayoritas. Kemudian
selalu ingin di prioritaskan dari segi hak, meskipun etnis minoritas merasakan
ketidak adilan. 17
Melihat dari pemaparan diatas bahwa nampak hukum masih bersifat kaku
dan tertutup. Sebaliknya ketika di Indonesia, pemerintah berhak dan terbuka dalam
meratifikasi CEDAW sekaligus Konfensi PBB, namun di Malaysia sangat
ditentang keras oleh masyarakat sekaligus dukungan Mantan Perdana Menteri.
Mereka bahkan mengusungkan untuk peraturan yang bersifat diskriminatif yang
tetap di prioritaskan kepada etnis Melayu. Regulasi yang berperspektif gender pun,
hanya sebatas terdapat dalam kebijakan Negara yang diajukan oleh PBB. Hal
tersebut tidak menurun kepada regulasi Universiti untuk pengarusutamaan gender,
karena tidak adanya Pusat Studi yang khusus tentang gender, namun hanya
terdapat dalam beberapa fakulti dan jabatan.
B. Diskursus Gender dalam Islam Pespektif Pemikir Islam
Dalam Islam, pada umumnya, dan dalam peradaban Melayu, khususnya,
kata gender masih belum ditemukan world-viewnya. Karena gender bukan
hanya antara hubungan laki-laki dan perempuan. Secara etimologinya, gender
merupakan istilah bahasa Inggris yang dipinjam dari kosa kata lama Perancis
gendre genre yang berarti kind, genus, style. Yang mana sumber ambilannya dari
bahasa Latin gener yang berarti race, kind. Adapun di Malaysia, gender masih
masuk kedalam daftar leksikon oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada 2005.
Namun apabila pengertiannya gender adalah perbedaan jenis Kelamin. Sedangkan
17
Demo Tolak Ratifikasi PBB dalam https://www.cnnindonesia.com/internasional/
20181208164446-106-352115/najib-razak-hadir-di-demo-812-tolak-ratifikasi-konvensi-pbb diakses
pada tanggal 07 Agustus 2019
21
dalam leksikon Indonesia diterjemahkan sebagai Jender. Namun dalam pola
ajaran Islam, gender lebih kepada hubungan timbal balik atau interaksi antara
keduanya.18
Sedangkan dalam Al Quran, perbedaan antara laki-laki dan perempuan
adalah suatu ketetapan dan kepastian karena perbedaan biologi sudah menjadi
qodrat dari Allah SWT. Selain menciptakan perbedan dari segi biologis Allah
SWT juga menciptakan keistimewaan sebagaimana terdapat dalam Al Quran :
Artinya :”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang
lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An- Nisa : 32)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa laki-laki daan perempuan
mempunyai tugas masing-masing yang harus di emban. Namun mengenai hak,
keduanya mempunyai hak yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai hak
sama dalam proses intelektual. Adapun dalam Al Quran dijelaskan perbedaan
laki-laki dan perempuan selain dari segi hak namun dari segi ketakwaan. Al
Quran pun diturunkan untuk mengikis perbedaan perempuan dari segi
kemanusiaan. Sedangkan dalam perihal perempuan harus melakukan hal yang
domestik saja, dan adanya diskriminasi terhadap perempuan tidak ada dalam
konsep keadilan dan keseteraan dalam Islam. 19
18
Ramli Mohd Anuar “Analisis Gender Dalam Hukum Islam.” Jurnal Fiqh, I, 9, (2012). H. 36 19
Wartini, " Feminis M.Quraish Shihab: Telaah Ayat-Ayat Gender Dalam Tafsir Al-Misbah.”
Palastren, Vi, 2, ( Desember : 2013) , H.474
22
عن أيب بكرة، قال النيب صلى اهلل عليه وسلم: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأةDari Abu Bakrah radhiyallahu „anhu, telah berkata Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) apabila
menyerahkan urusan (kepimpinan) nya kepada seorang wanita.” (al-
Bukhari, 2009: 293).20
Hadits tersebut menunjukan bahwa bukan seorang perempuan tidak mampu
memimpin, namun ada beberapa ibadah yang tidak bisa dipimpin oleh seorang
perempuan. Hal itu disebabkan karena perempuan memiliki kelemahan dalam
ibadah, yaitu terkadang mereka haid,dsb. Jadi bukan kepemimpinan atas gender
atau peran sebagai laki-laki atau perempuan, tapi atas jenis kelamin dari segi
biologis dan kodrati.
Terkait dengan diskursus gender, surat An-Nisa ayat 34 yang sering
menjadi kontroversial. Sebenarnya hal ini berangkat dari dasar penafsiran yang
harus dipahami secara sosiologi dan kontekstual. Ketika meurujuk kepada
persoalan partikular, maka posisi perempuan hanya ditempatkan sebagai bagian
dari seorang laki-laki. Hal tersebut sebenarnya muncul dalam suatu peradaban
patriaki. Penempatan tersebut sebenarnya tidak akan memunculkan masalah
sepanjang memperhatikan prinsip kemaslahatan. Karena itu, ayat tersebut pun
menurut ilmu ushul fiqih datang sebagai pemberitahuan saja yang tidak
mengindikasikan suatu ajaran. Asbabun nuzul ayat tersebut juga memperkuat
paradigma bahwasanya ayat tersebut turun untuk meminimalisir kekerasan dan
penolakan budaya patriaki pada masyarakat saat itu terhadap keputusan Nabi
Muhammad Saw. Ketika itu, Nabi SAW memberi kesempatan kepada Habibah
binti Zaid yang dipukul suaminya dan ingin membalas untuk memukulnya
kembali. Dengan demikian, penafisiran ayat tersebut yang menyatakan bahwa
seorang laki-laki yang hanya berhak memimpin dan seorang perempuan tidak
20
Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim an-nukhai, Kitab Hadis Shahih Bukhari, 5172
Cet. Ibnu Jauzy
23
mempunyai hak atas kepemimpinan, sesungguhnya merupakan interpretasi yang
sarat dengan muatan sosio-politik.21
Sebenarnya. Al Quran diturunkan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan
dari segi ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Maka dari itu, turunnya Al
Quran untuk membebaskan manusia dari diskriminasi warna kulit, ras, etnis dan
primordial-primordial lainnya. Sedangkan ironisnya, dewasa kini agama sering
dituduh sebagai sumber dari adanya ketidakadilan gender. Sebaliknya perbedaan
tersebut sangat diakui oleh Al Quran, dengan maksud tidak menguntungkan satu
belah pihak saja. Melainkan untuk mendukung keharmonisan antara sesama
manusia dengan penuh kerukunan.22
Karya lain dalam Islam yaitu fikih, terdapat banyak sekali rumusan karya
pikiran intelektual dalam menangani kasus-kasus saat ini. Namun, tidak bisa
dipungkiri bahwa fikih lahir dari sejarah. Sehingga, untuk menghadapi masalah-
masalah saat ini pun tidak bisa ditarik dari penanganan masalah di masa lampau.
Dalam pandangan Husein Muhammad nampak bahwa cara berpikir fikih masih
tetap mempertahankan teks-teks kitab seperti apa adanya. Hal itu masih sangat
lumrah di kebanyakan masyarakat Muslim dari dulu hingga hari ini. Masih ada
pula anggapan bahwasanya penolakan terhadap teks fiqih dan upaya untuk
membongkar warisan intelektual klasik merupakan suatu kesalahan akar tradisi.
Secara tidak sadar hal ini merupakan hegemoni dalam perspektif pemikiran
ilmiah.23
Namun, ketika Al Quran dijadikan sebagai landasan berpikir di atas
pemikiran fiqih, maka tidak akan ada pengkritikan terhadap seseorang yang
berusaha mengembangkan pemikiran para ulama fiqih. dalam artian, ketika
pemikiran tersebut tidak keluar dari konteks. Sebagaimana Imam Ghazali
21
K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan Gender
(Yogyakarta : Ircisod, 2019), H.72-73 22
Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Implikasinya Terhadap Hukum
Islam.” Jurnal Al-Ulum, Xiii, 2, ( Desember: 2013), H.27 23
K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan Gender
(Yogyakarta : Ircisod, 2019), Hal.269-270
24
menggambarkan perhatian agama Islam terhadap hak-hak asasi manusia terdapat
dalam Maqoshidu Syariah. Hal tersebut menunjukan bahwa Islam bersifat
humanisme universal. Agama selalu hadir dalam bentuk keadilan, tidak
membedakan jenis kelamin, ras, agama, gender, etnis dan lain sebagainya. 24
Seperti halnya dalam tatanan teologis, menentukan kesetaraan laki-laki dan
perempuan di hadapan Allah menjadi dasar untuk menghilangkan bentuk
diskriminasi dan subordinasi yang banyak ditunjukan kepada perempuan. Karena
pada hakikatnya, keadilan adalah menempatkan segala sesuatu secara proposional
sesuai haknya. Bagi pemerhati gender, keadilan terhadap perempuan harus dalam
segala hal. Misalnya, menurut Musdah Mulia, merujuk kepada tauhid, Islam
adalah sebuah acuan dalam berprikemanusiaan dan berketuhanan; dan
bahwasanya yang berhak di agungkan, disembah, ditaati dan dipatuhi hanya Allah
SWT.25
Dengan demikian, Islam sangat menekankan pengajaran tentang kehidupan
yang adil gender secara normatif-universal. Walaupun sampai hari ini masih
dinilai banyak ketidak adilan gender. Pada kenyataannya, itu hanya mengukur
Islam secara praktis-temporal. Sama halnya kelima agama lain pun masih
memiliki problema penafsiran yang bias gender. Dalam hal ini, nampaknya semua
agama belum menemukan jalan keluar dari bingkai budaya yang patriarkhal yang
merupakan arus utama yang mampu memengaruhi pemahaman agama. 26
Feminisme di Kalangan Muslim ketika bercermin kepada sejarah, wacana
gender mulai masuk pada isu keagamaan pada era 90an, walaupun sebenarnya
wacana gender sudah mulai dikembangkan di Indonesia pada era 80an. Adapun
fakta membuktikan, di beberapa negara Muslim, perempuan mengalami
keterasingan. Di banyak kawasan sub Sahara Afrika, perempuan mendapat
24
Ibid, H.272-274 25
Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam. ( Jawa Timur : Wisma Kali Metro, 2017) , Jilid 2, H.
148-152 26
Pusat Studi Islam, Bersikap Adil Jender “Manifesto Keberagaman Masyarakat Jogja.” (
Yogyakarta: Psi, 2009), H. 90-92
25
wewenang mengelola tanah harus berdasarkan kepada suaminya melalui jalur
pernikahan. Maka dari itu hak tersebut sering kali hilang ketika suami mengalami
kematian atau perceraian. Adapula di Asia Selatan, yang mayoritas Muslim, hak
berpendidikan atau sekolah pun setengahnya hanya dipergunakan oleh laki-laki.
Begitupun dengan jumalah anak perempuan hanya 2/3 dari anak laki-laki yang
mendaftar sekolah. Bercermin kepada fakta-fakta tersebut menjadikan suatu
tantangan besar untuk kalangan masyarakat dalam memahami peran gender
terutama ketika dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran keagamaan. Sehingga
melahirkan gerakan-gerakan feminisme yang mempunyai misi memperjuangkan
keadilan gender.27
Sejak hampir satu abad silam, banyak sekali perempuan khusunya
perempuan Muslim yang merasakan ketimpangan gender. Maka dari itu,
perjuangan menciptakan keadilan yang memunculkan adanya gerakan-gerakan
feminisme Islam. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara gerakan feminisme
Islam dan gerakan feminisme barat, namun yang lebih dominannya gerakan
feminisme Islam berlandaskan pada teks-teks keagamaan. Feminisme Islam ini
dikenal sejak abad 90an, yang berkembang di negara-negara Muslim dan dua
diantaranya adalah Indonesia dan Malaysia. Kekhasan dari feminisme Islam
adalah menelaah sumber-sumber yang ada pada ajaran Islam dengan mencari tau
penyebab terjadinya dominasi laki-laki yang terdapat dalam Al Quran dan Hadits.
Melalui perspektif feminis, berbagai pengetahuan normatif yang bersifat bias
gender dikontruksikan kembali dengan semangat Islam yang berideologikan pada
kebebasan intimidasi terhadap perempuan berlandaskan kepada harkat manusia. 28
Dengan semangat feminisme, munculah kajian-kajian mengenai tafsir Al
Quran mengenai gender yang dilakukan oleh intelektual Muslim. Munculnya
gagasan tersebut berdasarkan pada teologi feminis yang mendorong agar
27
Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan Gender": Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan
Feminisme Islam.” Jurnal Al-Umm, Xiii, 2, (Desember 2013) , Hl.48 28
Ibid, H. 256
26
terjadinya relevansi antara narasi-narasi besar wacana keislaman terhadap isu
gender yang terjadi masa kini. Pada tujuannya, feminisme Muslim hanya
mengagas dua poin besar yaitu: pertama, ketidakadilan gender yang ada pada
pemahaman masyarakat Muslim pada umumnya bukanlah berakar dari teori Islam
yang ada, namun berdasarkan pada pemahaman bias laki-laki yang kemudian
mengkristalkan menjadi keyakinan umat Muslim saat ini. Yang kedua adalah
perlu adanya proses pengkajian kembali terhadap sumber ajaran-ajaran Islam
yang bertolak kepada prinsip dasar ajaran yaitu keadilan dan kesetaraan antara
manusia. Adapun dua tokoh feminisme Muslim yang terkenal atas gagasannya
yaitu Amina Wadud yang mampu menonjolkan semangat egilatarianisme. Ia
membantah bahwa matriakisme adalah alternatif bagi patriakisme yang selama ini
dituding sebagai penyebab subordinasi perempuan. Sedangkan selain Amina, ada
juga yang bernama Fatima Mernisi yang mengganggap bahwa bias gender tidak
lebih lahir dari Muslim patriarki yang harus diadakannya “pembacaan baru“
terhadap sumber-sumber Islam melalui hermeneutika sehingga mampu
menghadirkan Islam Risalah.29
Sejalan dengan itu, saat ini masyarakat masih ramai membicarakan
bahwasanya perempuan mesti terbebas dari kungkungan adat istiadat dan tradisi
yang menjeratnya dari perkembangan potensi. Pada kenyataanya
ketidakberdayaan perempuan adalah dari kebodohannya, karenanya perempuan
harus mengembangkan dirinya tidak lagi karena orang lain, namun harus bisa
berdiri tegak dengan sendirinya. Seperti tokoh-tokoh perempuan yang telah
disebutkan sebelumnya, mereka menggagas gender sesuai dengan pemikirannya.
Sama halnya dengan Kartini yang sampai hari ini menajdi ibu emansipasi
perempuan di Indonesia. Dengan demikian para aktivis perempuan, sampai saat
ini masih membicarakan wacana yang sama ketika perempuan menjadi objek.
29
Ibid, H. 270
27
Seperti kasus pelecehan seksual, kesamaan gajih buruh antara perempuan dan
laki-laki dan ketika perempuan dipercayai untuk menduduki jabatan.30
Adapun pembelaan terkait konteks tersebut dalam hukum dikenal dengan
Jurisprudensi Feminis, yaitu sebuah sistem peradilan yang membela perempuan.
Yang memiliki tujuan untuk mencapai keadilan melalui teori hukum yang
berperspektif perempuan dalam hukum positif sehingga akan tercapainya
emansipasi perempuan melalui jalur hukum. Faminist Jurisprudence lahir pada
tahun 1960, yaitu filsafat hukum berdasarkan pada segi politik, ekonomi, dan
persamaan jenis kelamin. Hal ini ternyata mampu mempengaruhi pola pikir
masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga, ketidaksamaan perlakuan
dalam dunia kerja akibat jenis kelamin yang berbeda. Sebagaiaman diketahui
diatas bahwasanya munculnya feminist jurisprudence berawal dari pemikiran
hubungan antara perempuan dan hukum. Hubungan yang dimaksud adalah yang
berdasarkan pada norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki dan mengabaikan
perempuan. Karena kenyataan yang nampak adalah hukum dipromosikan oleh
laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubungan sosial yang bersifat patriaki. 31
Maka dari itu untuk mencapai perubahan dan perbaikan mengenai hukum
dan perempuan, maka diperlukan suatu gagasan yang memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi perempuan. Namun dalam memberikan gagasan-
gagasan tentang hukum berprespektif perempuan ini sangat perlu adanya seperti
pendekatan pemikiran, yaitu adanya beberapa aliran yang penulis klasifikasikan
secara pandangan mereka dan bagaimana mereka menanggapi adanya perbedaan
berdasarkan gender. Adapun aliran-aliran yang berupaya menghapuskan
perbedaan berdasarkan gender, Yang pertama, aliran symmetricist feminism
mengangkat pemikiran teori politik liberal, rasionalitas, hak, persamaan
kesempatan dan berpendapat bahwa perempuan juga sama rasionalitasnya dengan
30
K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan Gender
(Yogyakarta : Ircisod, 2019),Hal 271-273 31
Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam. ( Jawa Timur : Wisma Kali Metro, 2017), H. 139-140
28
laki-laki. Aliran ini menolak asumsi mengenai inferioritas perempuan dan
menghapuskan perbedaan berdasarkan gender yang sudah diakui oleh hukum.
Adapun aliran ini bertujuan untuk tercapainya persamaan formal perempuan yang
tuntutannya harus disamakan dengan laki-laki. Yang kedua, aliran assimilationist
Feminisme, dimana aliran ini memberikan doktrin kepada masyarakat agar tidak
pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan pada jenis kelamin, baik
dalam hukum kelembagaan maupun pada perorangan. Yang ketujuh, the
postmodernisme feminist yang mengklaim bahwa tidak ada satupun teori dan
tujuan yang tepat untuk semua perempuan. Feminitas dan maskulinitas
merupakan jaringan wacana yang lebih luas bukan merupakan kategori yang
dibatasi.32
Sedangkan aliran-aliran yang lebih menekankan bahkan mensyukuri adanya
perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu, yang pertama aliran the
treatment feminist, pendekatan ini menekankan perbedaan jenis kelamin. Aliran
ini percaya, bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah perbedaan budaya, hukum
yang harus memperhitungkan perbedaan fisiologis. Aliran ini malah sebaliknya,
mereka beranggapan bahwa perempuan harus mendapat tujuan khusus karena
perempuan berbeda dengan laki-laki. Argumen yang bersifat menguntungkan
laki-laki malah merugikan menurut aliran ini. Yang kedua, aliran the
incorporationist feminism dimana aliran ini memberi cara batasan yang tegas bagi
hukum, memberi perbedaan jenis kelamin, yaitu hanya pada dua aspek kehamilan
dan menyusui. Yang ketiga aliran realitional feminism yang mana justru sangat
mensyukuri adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut
dicari secara nyata, sehingga mampu memberikan hubungan yang bernilai dan
saling melengkapi. Yang keempat, the radical feminism dimana aliran ini
mempunyai pandangan bahwa perempuan bukanlah sebagai makhluk individu
tetapi sebgai kelas namun kelas tetap didominasi oleh laki-laki. Ketimpangan
32
Ibid, H. 142-143
29
gender ini dianggap sebagai subordinasi yang sistematik tidak sebagi hasil dari
diskriminasi. Adapun yang terakhir yaitu, the postmodernisme feminist yang
mengklaim bahwa tidak ada satupun teori dan tujuan yang tepat untuk semua
perempuan. Feminitas dan maskulinitas merupakan jaringan wacana yang lebih
luas bukan merupakan kategori yang dibatasi.33
Adapun selain yang telah disebutkan diatas mengenai aliran gender yang
menekankan perbedaan, terdapat pula gerakan feminis yang cenderung tertarik
pada perbedaan antara fisik laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini seorang
anak laki-laki dan perempuan akan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan yang
dewasa yang mempunyai peran gender yang berbeda. 34
Keadilan gender yang merupakan tujuan akhir dari perjuangan feminis dan
aliran-aliran yang mempunyai pemikiran masing-masing sekaligus kritikan,
tentunya tidak terlepas dari campur tangan perjuangan feminis Muslim yang
berupaya menciptakan keadilan. Ada pula beberapa tokoh feminis Muslim yang
melakukan reinterpretasi ayat-ayat dengan pendekatan komposisi bahasa, ada
yang mengkaitkan dengan teks dan konteks, dan sebab turunnya ayat. Seperti
tokoh Muslim Nasarudin umar mengungkapkan bahwa reinterpretasi gender
apabila diungkapkan oleh laki-laki dan perempuan dilihat dari segi beban atau
aspek gender dalam Al Quran sering menggunakan kata al-rajul/ar/rijal dan al-
mar’/al-nisa untuk perempuan. Sedangkan apabila dalam beban biologis
penggunaan dalam Alquran menggunakan kata az-zakar/al untsa. Dengan
pemahaman tersebut dapat menginterpretasikan kembali mengenai ayat alquran
dengan pemahaman baru yang lebih egaliter. 35
Adapun feminis Islam telah mengembangkan ajaran Islam melalui
pendekatan yang berbeda pada umumnya. Feminis muslim berusaha membongkar
33
Ibid, H. 143-144 34
Putnam Tong Dan Rosamarie, Feminist Thought "Pengantar Paling Komprehensif Kepada
Aliran Utama Pemikiran Feminis. ( Colarado : West View Press, 1998), H.223-224 35
Program Studi Kajian Perempuan, Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah
Berubah. ( Jakarta: Psw, 2000), H. 326-327
30
berbagai ketimpangan perlakuan terhadap perempuan yang berbasis agama dan
berbasis gender. Hal yang pertama dilakukan dengan cara melihat berbagai
tafsiran ayat yang yang diduga bersifat sterotype atau diskriminatif. Kemudian
melahiran berbagai gagasan dalam bentuk metode interpretasi dari Alquran.
Selain dari itu feminis muslim juga bersungguh-sungguh menginterpretasikannya
untuk menjawab solusi kesetaraan secara tekstual dan kontekstual. Maka dari itu
feminis muslim seringkali menggunakan pendekatan secara hermeneutik. 36
Namun hubungan antara feminisme dengan agama, masih menjadi diskusi
nyata dalam Islam. Hal itu disebabkan karena Islam masih menyimpan sejarah
tentang dunia barat. Maka dari itu menimbulkan dilema baru bagi kaum feminis
yang ditunjukan pada akun etnografi gerakan masjid perempuan perkotaan yang
merupakan bagian dari kebangkitan Islam yang lebih besar di Kairo, Mesir.
Dalam gerakan ini perempuan dari berbagai latar belakang sosial ekonomi
memberikan pelajaran satu sama lain yang berfokus pada pengajaran dan
pembelajaran kitab suci Islam serta praktik sosial. , gerakan masjid ini melibatkan
antara bahan-bahan ilmiah dan penalaran teologis, yang belum pernah ada dan
sampai saat ini menjadi bidang studi para pria terpelajar. Gerakan ini dijadikan
catatan sejarah untuk kebangkitan Islam. 37
C. Gender dalam Pendidikan Hukum Islam
1. Urgensi Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan
Pengarustamaan gender adalah strategi yang dilaksanakan secara
rasional dan sistematis, untuk mencapainya kesetaraan dan keadilan gender
dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga,masyarakat dan
negara). Dimana hal tesebut mampu diwujudkan melalui kebijakan dan
program, yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
36
Ibid, Hal. 328-329mn 37
Mahmood Saba, “Feminist Theory, Embodiment, And The Docile Agent: Some Reflections On
The Egyptian Islamic Revival.” Cultural Antropologhy, Xvi, 2, ( 2001), H. 204.
31
permasalahan. Untuk perempuan dan laki-laki dalam bidang kehidupan dan
pembangunan.38
Pendidikan merupakan sarana dari berkembangnya pengetahuan pada
masyarakat yang majemuk. Pendidikan juga bertujuan untuk memanusiakan
manusia dan kunci terwujudnya keadilan gender dalam ranah masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana formal untuk menyalurkan
nilai-nilai kemanusiaan terutama mengenai nilai-nilai keadilan gender, yang
seharusnya sudah tercermin dalam setiap individu generasi bangsa.
Lembaga pendidikan berperan sebagai salah satu institusi untuk
mewujudkan pengarustamaan gender. Sebagaimana yang tercantum dalam
INPRES NO 9 Tahun2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Gender Mengenai
Pembangunan Nasional. Seperti yang terdapat dalam INPRES 9 Tahun 2000,
ditegaskan bahwasanya setiap institusi pemerintahan wajib memasukan
dimensi kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap program
perencanaandalam pembangunan nasional yang ber perspektif gender, Hal
iniadalah untuk mewujudkan keadilan masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara. Hal tersebut menggambarkan bahwasanya penumbuhan kesadaran
untuk menciptakan keadilan gender tidak serta merta langsung tertanam dalam
generasi bangsa, melainkan harus mulai diimplementasikan ataupun diajarkan
pada masa pendidikan. Artinya bahwa segala pengetahuan atau wawasan
mengenai gender mampu tertanam ketika masih dalam proses pendidikan.
Adapun urgensi keadilan gender dalam pendidikan seperti yang dituangkan
dalam GBHN 1999-2004, UU nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasionaldan kesepakatan forum pendidikan dunia di Dakkar
pada bulan April Tahun 2000 tentang Pendidikan untuk Semua dimana salah
satu komponen yang dibahas adalah mengenai kesetaraan gender yang
38
Sulistyowati, “Tinjauan Hukum Positif Pada Masa Kolonial Kaitannya Dengan
Pengarustamaan Gender.”
32
didalamnya pula dipaparkan mengenai kurikulum pendidikan berbasis
gender.39
Dalam inplementasinya, di beberapa pendidikan tinggi misalnya sudah
terdapat pusat studi gender yang seyogyanya mampu berperan dalam
pengarusutamaan gender dikalangan pendidikan dari dosen, staf hingga
mahasiswa. Diadakannya pelatihan pelatihan mengenai sensitivitas gender
bertujuan agar seluruh dosen mempunyai wawasan gender atau lebih peka
terhadap isu gender ketika mengajar dan merumuskan silabi mata kuliah.
Selain itu, urgensinya bagi mahasiswa pula agar mampu mengidentifikasi
masalah-masalah gender ketika sedang belajar di dalam kelas .40
Dalam bidang pendidikan, justru ketidaksetaraan gender lebih nampak,
seperti pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi. Mereka lebih cenderung
mengkaitkannya dengan fungsi domestik antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, pengaruh utama dalam pendidikan orangtua terhadap anak dapat
mengarahakan pada orientasi dogma-dogma patriakis. Maka dengan konsep
kesetaraan dan keadilan gender dapat dijelaskan secara lebih baik tentang
permasalah-permasalahan yang ada dan juga dapat ditarik kesimpulan untuk
menemukan solusi dan jalan keluar yang lebih bijak.Padahal begitu
pentingnya pengembangan potensi perempuan sebagai upaya pembangunan
bangsa. Karena Perempuan memiliki berbagai posisi strategis untuk
mendukung kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, upaya pengembangan
potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
adalah sebuah keharusan sebagai bentuk pemberdayaan dari ketidakberdayaan
(powerless) perempuan selama ini.41
39
Khotimah, Khusnul, “Urgensi Kurikulum Gender Dalam Pendidikan.” Insania, Xiii, 3 (2008),
H.423. 40
Ibid, H. 433. 41
Najih, “Gender Dan Kemajuan Teknologi Pemberdayaan Perempuan Pendidikan Dan
Keluarga.” Harkat, Xii, 2, ( 2017 ) H. 1412
33
Lebih dari itu, pembangunan bangsa utamanya mampu dibangun
melalui pendidikan, namun seringkali masyarakat hingga masih mengkaitkan
dengan fungsi domestik dengan pemilihan jurusan pendidikan tinggi.
Misalnya, laki-laki identic dengan memilih pendidikan atau jururan terkait
dengan hukum, teknologi atau elektronik. Sedangkan perempuan masih
cenderung memilih jurusan yang identik dengan “care” atau perawatan dan
pendidikan. Seyogyanya, tingkat awal cara memperkenalkan studi kepada
anak adalah sosialisasi dari orangtua. Hal ini terkait dengan bagaimana
orangtua menegaskan atau menyelipkan konsep gender terhadap anak yang
bisa jadi berpatokan kepada ranah domestik. Meskipun pemilihan jurusan
dalam pendidikan bisa juga merupakan pengaruh dari orang lain, tetapi pada
realitanya orangtua tetap yang lebih dominan dalam keputusan mengenai
pendidikan yang dipilih. 42
Berdasarkan laporan millennium Development Goals Indonesia tahun
2017. Angka partisipasi murni (APM) anak perempuan terhadap laki-laki
presentasenya meningkat. Dalam mencapai tujuan pembangunan pendidikan
di Indonesia, faktor utama yang harus dicapai adalah menghilangkan
ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan. Walaupun yang namapak
pada presentasi tersebut sebanding, namun ketidaksetaraan gender malah
meningkat pada pemilihan jurusan pada perguruan Tinggi. Pada penelitian
lain, yang dilakukan oleh Widarmato ditermukan bahwa dari sekolah dasar
pun ada kecenderungan pemberian tugas atau kesempatan yang berbeda bagi
siswa laki-laki dan perempuan, seperti dalam upacara. Selain itu, terdapat pula
contoh-contoh stereotyping dalam buku pelajaran , seperti misalnya kalimat:
ibu memasak di dapur, dan ayah pergi ke kantor. Hal tersebut secara tidak
langsung menunjukan adanya sterotip gender terkait dengan pembagian peran
domestik dan publik bagi laki-laki dan perempuan. Adapun solusinya dari
42
Ibid, H.1413
34
beberapa penyebab bias gender dan ketidak adilan gender di dunia pendidikan
adalah dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan gender oleh para birokrat
pendidikan, selain itu dengan tidak selalu menggunakan standar laki-laki
dalam memilih keputusan dalam setiap pertimbangan suatu kasus.43
2. Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Hukum
Sebagaimana yang terdapat dalam INPRES No. 9 Tahun 2000
menyebutkan dalam ayat 6 tentang Pedoman Pelaksanaan Gender Dalam
Pembangunan Nasional salah satunya disebutkan yaitu Jaksa Agung ditunjuk
untuk mengarustamakan gender dalam ranah lembaga pemerintahan.44
.
Hal tersebut mampu menjadi acuan bahwasanya profesi hukum yang
diwaliki oleh Jaksa Agung, berarti sama halnya dengan Hakim, Advokat,
konsultan dan profesi hukum lainnya, merupakan salah satu dari prospek
pengarustamaan gender. Karena profesi hukum bisa sangat dekat dengan isu-
isu gender. Karena pada realitanya,permasalahan hukum yang muncul di
masyarakat tidak akan jauh dari perenggutan hak dan penuntutan hak, yang
salah satunya adalah perselisihan antara pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan.
Terkait dengan kasus hukum, ada, atau bahkan banyak kasus yang tidak
tuntas atau dirasa masih belum memberikan keadilan, ketika pengadian
memutuskan perkara tanpa kepekaan gender. Hal ini bukan lagi terjadi karena
hakim yang kurang pengetahuan hukum. Akan tetapi, lebih terkait pada
kepekaan hakim terhadap keadilan gender. Ini menjelaskan mengenai
pentingnya menanamkan kepekaan gender mulai ketika usia pendidikan atau
di bangku kuliah.45
Dalam suatu penelitian yang dilakukan di Serbia, Dragica menjadikan
buku teks objek penelitian untuk melihat bagaimana pendidikan gender pada
43
Ibid, H. 1414 44
Inpres No. 9 Tahun 2000 45
Annals Flb- Belgrade Law Review, Xv, 4 (2017) H. 55
35
studi hukum. Karena menurutnya, buku teks dapat menjadi acuan bagi
pembelajaran mahasiswa untuk mengarahkan pada kepekaan gender, dan bisa
jadi sebaliknya, malah menegaskan stereotype gender. Kemudian, apakah
terjadi soulsi dari pemertintah terhadap sensitifitas gender dalam buku
pelajaran. Bahkan kemungkinan besar, menurut Vetrusic, buku teks
kedepannya akan dijadikan bahan telaah bagi kepekaan gender. Misalnya,
dalam buku sosiologi dan sosiologi hukum terdapat unsur yang mengandung
isu-isu gender. Namun, analisis gender hanya terdapat 10% sampai 15 %
dalam buku tersebut. Undang-undang yang sensitive gender tidak digunakan
dan bahasa yang digunakan juga tidak sensitif gender. Selain itu, sensitifitas
gender bisa juga dilihat dari silabus, kurikulum, bahasa pada program studi,
yang mungkin juga tidak peka gender. Studi yang dilakukan Dragica ini
menunjukan bahwa studi hukum di Serbia tidak memenuhi tujuan dan standar
normatif dan strategis sesuai yang diusulkan oleh pemerintah dan lembaga
pendidikan Serbia tentang pengarustamaan gender. 46
Terlepas dari kenyataan , ditegaskan bahwa konten dan praktik
pendidikan adalah instrumen yang sangat kuat. Terlebih untuk
pengarusutamaan gender di ranah pendidikan dan semua bidang kehidupan
publik dan pribadi. Masalah ketidaksetaraan gender juga tidak menjadi
masalah dalam Strategi Pengembangan Pendidikan di Serbia (2012-2020).
Maka dari itu tujuan dari pembangunan studi gender di tingkat sarjana dan
pasca sarjana, bahkan hingga tingkat tertinggi. Mampu menunjukan bahwa
adanya strategi untuk pencegahan dan perlingunan dari sikap diskrimatif.
Adapun tujuan umumnya yaitu mengubah sterotip patriarki tradisional
sedangkan tujuan khususnya yaitu agar semua program studi menjadi peka
46
Ibid, h. 64
36
gender dan memasukan konten-konten yang tidak bersifat diskriminatif
maupun terkesan bias gender. 47
Seperti pada sebagian besar buku teks Hukum Keluarga masih adanya
bias gender. Hanya ada beberapa saja yang memiliki dimensi gender atau
penafsiran yang mempunyai cara pandang yang peka gender. Bahkan ada pula
buku teks yang berisi pernyataan yang negatif. Contohnya dalam analisis
pernikahan, masih banyak diberikan kepada dogma-dogma agama . Yang
terkesan memberikan sudut pandang negatif mengenai prinsip kesetaraan
gender. Dari buku tersebut bahkan lebih menyudutkan terhadap kritik negatif
Undang-undang tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, tidak ada
penjelasan tentang dasar gender yang dalam pemaparannya. 48
Dari beberapa analisis yang telah dilakukan di Serbia, dapat menunjukan
bahwa studi hukum tidak memenuhi tujuan dan standar normatif dan strategis.
Yang diusulkan oleh lembaga pendidikan dan pemerintah Serbia, tentang
pengarusutamaan gender pendidikan tinggi.49
Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Brettel Dawson,
menjelaskan bahwa Pendidikan hukum dalam 25 terakhir telah berkembang
pesat di negar-negara Common Law. Namun di Indonesia baru akhir-akhir ini,
dijadikan sebagai komponen inti dalam reformasi peradilan. Namun
kenyataannya, gender cenderung masih di abaikan dalam kurikulum.
Sedangkan di beberapa negara, seperti Jerman, Bosnia dan Herzegovina, dan
Argentina memiliki persentase hakim perempuan yang tinggi, walaupun di
eselon yang lebih rendah dari sistem pengadilan. Sementara itu sebaliknya, di
negara- negara Common Law dan Jepang, jumlah hakim perempuan relatif
rendah.50
47
Ibid, h. 66 48
Ibid, h. 66-67 49
Ibid, h. 67 50
Dawson Dan Schultz, “Gender And Judicial Education.” International Journal Of The Legal
Profession, Xxi. 3 (2014). H.255
37
Sebagaimana, hasil acara pada Simposium Internasional tentang 'Hakim
adalah Perempuan' di Brussels, pada November 2013. Majda Halilovic dan
Heather Huhtanen, orang-orang yang telah melakukan penelitian tentang
perlunya pendidikan gender di peradilan di Bosnia dan Herzegovina.
Pandangan mereka bahwa Hakim adalah seseorang yang harus
mendefinisikan realitas. Maka dari itu. Kayo Minamino seorang peniliti
urgensi keadilan gender di Pendidikan hukum, menekankan bahwa perlunya
pelatihan gender. Dalam penanganan masalah hak asasi manusia, terlebih
untuk jaminan kualitas yang dimiliki oleh seorang Hakim.51
Seperti halnya dalam studi yang telah dibuktikan di Mexico, bahwa laki-
laki dan perempuan menunjukan kesamaan dalam memilih profesi.
Mengalami pendidikan hukum yang sama, dan praktik dibidang hukum yang
sama. Studi ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki jiwa
komepetensi yang sama dalam bidang hukum. Meskipun pada kenyataannya,
perempuan lebih banyak menerima kontroversial dalam profesi hukum
dibandingkan laki-laki. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan
untuk pengacara perempuan dapat memberikan nilai yang memiliki aspek
kompetitif dari praktik seperti hanya laki-laki.52
Dari awal, feminis sudah mengkritik bahwa sekolah hukum adalah
ciptaan laki-laki, karena saat ini sudah di dominasi oleh siswa perempuan.
Maka dari itu sudah ditekankan kualitas siswa hanya dinilai dari segi nilai,
semua siswa seolah-olah memiliki hal yang sama. Sama halnya dengan gaya
mengajar yang menggunakan metode Sokrates, dimana selalu menekankan
ukuran kekuatan mahasiswa agar memiliki jiwa kompetisi yang sama
dibanding upaya saling mendukung antara laki-laki dan perempuan. 53
51
Ibid, H. 256 52
Teitelbaum, “Gender, Legal Education, and Legal Careers.” Association of American Law
Schools, IVI, 3,4 ( 1991) h. 479 53
Ibid, 447
38
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KURIKULUM HUKUM
KELUARGA DAN JABATAN SYARIAH UNDANG-UNDANG
Bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai kebijakan hukum tentang gender.
Dengan demikian pada bab ini akan dilanjutkan dengan penjelasan terkait kebijakan
hukum tentang gender yang di implementasikan pada pendidikan hukum Islam di
Indonesia dan Malaysia. Bab ini akan dibagi ke dalam tiga sub pembahasan.
Pembahasan pertama mendiskusikan pendidikan hukum Islam di Malaysia.
Pembahasan kedua mendiskusikan tentang isu gender di Indonesia dan Malaysia dan
pembahasan ketiga yaitu pedoman gender di Indonesia dan Malaysia
A. Pendidikan Hukum Islam di Indonesia dan Malaysia
Di Indonesia, pendidikan hukum Islam diselenggarakan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan
Hukum memiliki beberapa Program Studi, yaitu Program Studi yaitu Hukum
Pidana Islam, Hukum Ekonomi Syariah, Perbandingan Madzhab, Hukum
Keluarga dan Ilmu Hukum. Namun, dari beberapa yang telah disebutkan, penulis
menarik salah satu program studi untuk dijadikan fokus pembahasan yaitu
Program Studi Hukum Keluarga.
Program Studi Hukum Keluarga, memiliki visi misi yang selaras dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu “Unggul dalam integritas keilmuan,
keislaman dan keindonesiaan”. Namun dalam profil Program Studi Hukum
Keluarga ini mempunya output untuk menciptakan lulusan sarjana yang ahli di
bidang hukum dan mampu memasuki seluruh sektor-sektor hukum pada prospek
kerjanya, seperti di hakim, konsultan keluarga, mediator dan lain sbeagainya..1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan instansi yang menjadi role
model seluruh universitas Islam di Indonesia. Selain itu UIN Syarif Hidayatullah
1 Buku Pedoman akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullak Jakarta dalam
https://fsh.uinjkt.ac.id/beranda/familylaw/, diakses pada 29 mei 2019.
39
Jakarta sudah termasuk keadalam taraf nasional bahkan internasional. Adapun
visi dan misi UIN adalah mengimplemntasikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan,
dan kemanusiaan dan bertujuan menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan
integratif, adaptif, responsif dan inovatif. Pada tahun akademik 2014/2015
seluruh program studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah mulai
menerapkan kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Oleh Karena itu, rancangan Kurikulum seluruh Program Studi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, baik sarjana, profesi, magister dan doktor, telah
mengadopsi KKNI. Spesifikasi visi misi yang dimiliki UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini telah mencerminakan terhadap seluruh outcome fakultas dan program
studi yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta2
Sedangkan di Malaysia, hukum Islam dalam basis pendidikan hukum
Islam di selenggarakan oleh Jabatan Syariah dan Undang-Undang. Jabatan
Syariah dan undang-undang merupakan program studi yang hampir sama dengan
program studi Hukum Keluarga yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagaiamana Jabatan Syariah dan Undang-undang memiliki visi “Melahirkan
siswazah yang berkemampuan dalam bidang perundangan Islam yang dapat
menguasai ilmu syariah dari sumbernya yang asal serta profesionalisme dalam
bidang kehakiman syariah di Malaysia”.3
Dari visi tersebut, tercermin bahwasanya mahasiswa Jabatan Syariah dan
Undang-undang memiliki potensi untuk mengisi sektor kehakiman. Adapun
selain visi dan misi yang selaras dengan Hukum Keluarga UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jabatan Syariah dan Undang-undang juga memiliki
kurikulum yang spesifik terhadap keluarga. Sebagaimana keduanya sama-sama
2 Pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam https://www.uinjkt.ac.id/wp-
content/uploads/2019/02/pedoman_akademik_uinjkt_2018-2019.pdf diakses pada 29 mei 2019 3 Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam http://ebook.um.edu.my/API
/ijazah%20dasar/#p=219, diakses pada tanggal 29 mei 2019
40
fokus terhadap pengintegrasian hukum Islam dan hukum Positif dalam ranah
hukum keluarga.4
Universiti Malaya memiliki misi memajukan pengetahuan dan
pembelajaran melalui penelitian dan pendidikan berkualitas untuk bangsa dan
kemanusiaan.Untuk memajukan pengetahuan dan pembelajaran melalui penelitian
dan pendidikan berkualitas untuk bangsa dan untuk kemanusiaan. Universiti
Malaya merupakan kampus ternama di Malaysia dari segi keilmuan umum dan
agama. Universiti Malaya memiliki beberapa fakulti, namun sesuai pembahasan
penulis akan fokus pada salah satu diantaranya adalah Fakulti Akademi Pengajian
Islam. Fakulti Akademi Pengajian Islam adalah gabungan antara akademi dan
Jabatan yang ada di Universiti Malaya yang merupakan hasil kerjasama antara
university dengan kolej. Sehingga saat ini Fakulti Akademi Pengajian Islam
memiliki beberapa program studi yang berlandaskan Islam, salah satunya adalah
Jabatan Syariah dan Undang-undang.
Lebih dari 30 tahun pemikiran kritis tentang pengarustamaan gender
dalam pembangunan dan pendidikan telah dibangun oleh beberapa civitas
akademika dari berbagai instansi. Di antara beberapa intansi yang melakukan
pengarustamaan gender, pada saat itu salah satunya adalah program studi gender
di Universiti Malaya yang memiliki unit penelitian pengembangan dan Gender.5
Kesadaran yang nampak pada jabatan ini sekarang semakin terlihat.
Misalnya, ketua jabatan, selain diduduki oleh laki-laki, juga oleh perempuan. Dari
Focus Group Discussion yang dilakukan dengan beberapa mahasiswa di UM,
terungkap bahwa mereka menerima saja ketika keduanya laki laki atau
perempuan. Saat ini sudah banyak staff perempuan, akan tetapi pekerjaan „kasar‟
belum dilakukan oleh perempuan. Sementara yang bertugas memasak sudah ada
laki-laki. Mahasiswa-mahasiswa partisipan FGD juga mengungkapkan
4 Buku Panduan Sarjana Muda dalam http://ebook.um.edu.my/API /ijazah%20dasar/#p=219,
diakses pada tanggal 29 mei 2019 5 Abdullah, “Literatur Dan Kajian Tentang Gender Di Malaysia Sejak 1980 Hingga Dekad
2000an1.” Jurnal islam dan masyarakat kontemporari, V, ( Juli : 2012) h. 28-29
41
Bahwa gerakan-gerakan feminis yang ada di Malaysia itu tidak serta merta
memperjuangkan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Namun gerakan
feminis tersebut hanya memperjuangkan kesamarataan gender antara laki-laki dan
perempuan. Contohnya segi pekerjaan, hak upah buruh, fasilitas Negara dan lain
sebaginya. Hal itu pun tercermin di Jabatan Syariah dan Undang-undang, semua
mahasiswa berhak mendaftarkan dirinya untuk menjadi presiden mahasiswa baik
laki-laki maupun perempuan. Begitupun dengan hak memilih, semua mahasiswa
berhak memilih presiden mahasiswa dari segi kualitas bukan berdasarkan jenis
kelamin.6
Adapun aplikasi Gender di kalangan jabatan, menurut Zaidi sebagai Ketua
Jabatan, diberikan peranan yang sama rata. Contohnya dalam memilih presiden
laki laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama. Laki-laki dan
perempuan itu boleh mencalonkan diri menjadi presiden mahasiswa di jabatan.
Hal tersebut merupakan salah satu implementasi tentang kesadaran gender. 7
Kemudian dari segi aktivitas juga, Zaidi jugaelihat bahkan sebab kalau ia
melihat banyak program, selama dua minggu terakhir fakultas mengadakan
seperti bola pimpong bola tampar itu melibatkan perempuan hal tersebut
menunjukkan implementasi keadilan gender. Karena adanya penglibatan join
antara laki laki dan perempuan sama jumlah tentunya dalam jabatannya. Dari
kesungguhan dari segi kerajinan dan kesungguhan itupun lebih banyak
perempuan. Dari itu, ia bisa melihat lebih dan kurang dari segi perempuan. itu
merupakan implementasi jabatan yang tidak mau melihat kalau laki laki lebih
fokus dan perempuan fokus sama keluarga beberapa aktivitas saja. 8
Namun selama ia menjabat dan melihat dosen tidak ada masalah, apabila
tugas akan bentuk kelompok laki-laki dan perempuan itu bersatu kalau diskusi,
6 mardiah dkk, Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang.Foccus Grup Discussion. Kuala
Lumpur, 09 April 2019 7 Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala
Lumpur. 11 April 2019. 8 Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala
Lumpur. 11 April 2019
42
kalau misalnya ada yang masih satu kelompok itu laki-laki. sedangkan ketika ia
menjadi dosen dalam diskusi satu kelompok harus terdiri dari laki-laki dan
perempuan, walaupun tidak semua dosen seperti Itu.9
B. Isu Gender di Indonesia dan Malaysia
1. Indonesia
Secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan dalam
pembangunan nasional. Namun tidak terlepas dari itu, secara de facto
pemerintah Indonesia harus menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di
Indonesia. Dari beberapa permasalahan yang ada dan belum terselesaikan di
Indonesia, dan yang masih menjadi sorotan saat ini adalah masalah hak-hak
perempuan. Dimana masalah-masalah hak-hak perempuan seperti
diskriminasi, marjinalisasi masih menimbulkan kritikan-kritikan dari
CEDAW terhadap pemerintah. Hingga saat ini CEDAW masih menunggu
respon positif dan pembuktian secara jauh dari pemerintah terhadap masalah
tersebut. Sebagaimana pemerintah Kurang lebih selama 28 tahun, pemerintah
berkomitmen untuk memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan dan Kekerasan pada rumah tangga.10
Alasan yang menjadi permasalahan di Indonesia perempuan masih
mengalami ketimpangan adalah karena masih melekatnya budaya patriarki di
Indonesia.11
Adapun ketika hal tersebut masih menjadi kelalaian pemerintah
Indonesia, akan semakin banyak melahirkan gerakan-gerakan feminin di
Indonesia yang hingga saat ini masih menyuarakan hak atas ketidakadilnnya.
9 Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala
Lumpur. 11 April 2019 10
Rahayu, “Kesetaraan Gender Dalam Aturan Hukum dan Implementasinya Di Indonesia
(Gender Equality In The Rule Of Law In Indonesian and Implementation).” Jurnal Legislasi
Indonesia, IX, 1 (April : 2012), h. 17 11
Kusumawardhana Indra, “Indonesia dipersimpangan : Urgensi„Undang-Undang kesetaraan dan
keadilan gender‟diindonesia pasca deklarasi bersama buenosaires pada tahun 2017.” Jurnal HAM, IX,
2, ( Desember : 2018) h. 158
43
Sehingga, masyarakat feminin beranggapan bahwa sejarah hanya terbentuk
atas dasar patriaki yang saat ini membentuk struktur masyarakat. Yang masih
menjadi perbincangan saat ini adalah ketika paradigma masyarakat masih
menganggap bahwanya perempuan identik dengan “kasur,sumur, dapur”
Mereka menarik sejarah sebagaiamana perempuan dilakukan lebih rendah
diranah yang semestinya setara dengan laki-laki. Perjalanan sejarah pun masih
menorehkan catatan bahwa laki-laki lebih banyak peran di masyarakat lebih
daripada perempuan.12
Namun akibat adanya pegiat gender dan perempuan-perempuan yang
menyuruakan hak-haknya saat ini menjadikan perempuan lebih diakui secara
publik. Bukan hanya berfokus kepada beban ganda saja, tetapi lebih di
afirmasi keberadaanya. Seperti pada sektor publik, pemerintah,
kepemimpinan, pekerjaan, politik dan pendidikan. Di Indonesia, walaupun
masih mendapatkan kritikan keras terhadap pemerintah, tetapi sejauh ini
lambat laun telah mengalami perubahan yang cukup signifikan.Seperti
dimulai pada cikal bakal generasi bangsa. Di lingkungan universitas hari ini,
yang mampu memberikan and mengeluarkan suara bukan hanya mahasiswa
laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Perempuan mampu ikut andil dalam
mengadvokasi keadilan masyarakat dan duduk di bangku-bangku jabatan
tinggi di Universitas serta ikut memutuskan suatu perkara, serta duduk sejajar
dengan laki-laki dalam badan legislasi.13
Terkait persoalan hukum keluarga, bidang ini sangat kental berkaitan
dengan isu gender. Berbagai permasalahan seringkali muncul dan
membutuhkan peran para professional hukum dalam penyelesaiannya. Di
Indonesia, salah satu masalah hukum keluarga yang kerap kali muncul adalah
permasalahan terkait dengan pernikahan di bawah umur. pada masyarakat
12
Setiawan, Ouddy dan Pratiwi, "Isu Kesetaraan Gender Dalam Optik Feminist Jurisprudence
dan Implementasinya Di Indonesia.” Jurisprudentie, V, 2, (Desember : 2018 ) h.123 13
Noor Zanariyah, “Gender Justice And Islamic Family Law Reform In Malaysia.” Kajian
Malaysia, XXV, 02 ( Desember : 2007 ) h. 125
44
pedesaan, dalam hal perkawinan, masih banyak orangtua yang menikahkan
anaknya dibawah umur, dengan tujuan mengurangi beban ekonomi
keluarganya. Hal ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa perempuan
akan dibebankan masalah ekonomi atau kebutuhannya kemudian akan
menjadi tanggung jawab seorang suami. Seperti pada kasus kawin cerai di
Pantura, Jawa Barat, hal tersebut malah menjadi suatu kebanggaan karena
perempuan dianggap laku keras ketika menikah berulang kali. Sedangkan
dalam Al Quran dijelaskan bahwa tujuan pernikahan adalah kebahagiaan yang
abadi. Kemudian Allah pun sudah membagi secara adil antara kewajiban dan
hak suami isteri. Sama sekali tidak ada ketimpangan, kecuali orang-orang
yang menafsirkannya yang memberikan kesan bias gender. Sehingga
masyarakat beranggapan bahwa adanya diskriminasi perempuan dalam Al
Quran. 14
Menariknya, hal tersebut selalu dikaitkan dengan norma-norma agama
atau pemahaman yang dianut oleh masyarakat. Dengan rujukan pandangan
para ahli fikih terhadap berbagai sumber tentang kawin muda, seperti
pernikahan antara Nabi Muhamad dan Aisyah R.A dan para sahabat Nabi.
Sehingga para pakar Muslim di belahan dunia menyetujui dengan berbagai
argumentasinya. Sedangkan apabila menganalisis secara cermat fenomena
kawin muda akan terlihat berbagai masalah yang ditimbulkan. Menurut
madzhab Syafi‟i perkawinan tersebut menjadi makruh ketika yang
bersangkutan belum mampu melaksanakan kewajibannya sebagai suami isteri.
Adapun menurut Madzhab Hanafi, perkawinan itu dikatakan haram ketika
laki-laki masih bisa menahan dirinya dari perbuatan zina tetapi belum mampu
menafkahi dari harta yang halal. Madzhab Hanafi pun menyatakan hal yang
sama. Keterangan tersebut menunjukan bahwa nikah muda itu yang menjadi
masalah krusialnya tentang seberapa maslahat dan mudharatnya akibat
14
K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai atasTafsir Agama dan Gender
(Yogyakarta : IRCiSoD, 2019), h.45-49.
45
pernikahan tersebut. Hal itu menunjukan bahwa Islam sangat mengutamakan
hak laki-laki dan perempuan pada pernikahan. Sehingga disitu terlihat jelas
bahwa yang paling dikhawatirkan itu tidak mampu menafkahi, sedangkan
objek nafkah itu adalah seorang perempuan 15
Seringkali doktrin nenek moyang membentuk paradigma masyarakat
tentang karakteristik yang di miliki oleh seorang perempuan dan laki-laki.
Seperti pada fenomena pelatihan gender mainstreaming (pengarustamaan
gender). Pada pelatihan tersebut secara rata-rata peserta secara spontan
menjawab bahwasanya sifat laki-laki adalah tegas, rapi, kasar, rasional.
Sedangkan sifat perempuan itu sopan, lembut, emosional. Sebenarnya
jawaban peserta bisa saja ditukar, ketika laki-laki bersifat rasional perempuan
pun bisa. Sebaliknya, jika perempuan pun bisa bersifat emosional, laki-laki
pun tidak menutup kemungkinan masih banyak yang emosional. Namun
kenyataannya yang saat ini dilabelkan oleh masyarakat adalah pelabelan
(stereotype) yang melekat anatara laki-laki dan perempuan. Tanpa disadari hal
tersebut akan terbentuk hingga dewasa ketika pelabelan itu diajarkan kepada
anak-anak. Sehingga keterbatasan ruang gerak dan menyamaratakan hak-hak
tertentu masih sulit dalam konteks keadilan gender. 16
Ketika sterotif tersebut terus ditanamkan hingga dewasa, laki-laki
seringkali mendapat atribut bahwa mereka adalah kepala keluarga dan pencari
nafkah utama setelah menikah. Pada akhirnya seorang isteri yang harus
menangung nafkah juga dan hal itu tidak terlepas dari izin suami. Sedangkan
pada realitasnya masih ada keluarga-keluarga dengan suami yang tidak
mampu mencukupi nafkah keluarga. Hal tersebut menunjukan bahwa ketika
laki-laki di labelkan sebagai kepala keluarga, namun belum tentu menjadi
15
Ibid, hal. 147-170 16
Relawati Rahayu, Konsep Dan Aplikasi Penelitian Gender.( Bandung : CV Muara Indah, 2010)
h. 10
46
pencari nafkah utama. Seringkali perempuan lebih besar mendapatkan
pendapatan untuk menanggung biaya kehidupan keluarga. 17
Dengan demikian hal tersebut mencerminkan bahwa yang menjadi
tantangan besar perihal isu gender adalah adanya kesulitan dalam pemberian
pemahaman di tengah-tengah masyarakat, terlebih apabiladihadapkan dengan
pikiran-pikiran keagamaan. Misalnya apabila ceramah tersebut disampaikan
oleh tokoh agama yang dianggap memiliki ilmu agama yang tinggi oleh
masyarakat kemudian disampaikannya secara berulang-ulang. Maka akan
menimbulkan kekhawatirkan ketika hal tersebut dijadikan suatu keyakinan
dalam agama Islam sendiri.18
2. Malaysia
Sementara itu di Malaysia, reformasi hukum keluarga melahirkan
kesadaran gender yang diinisasi oleh kebijakan pengadilan untuk kepentingan
publik. Hal tersebut di mulai sejak umat Islam menyadari perbedaan
perempuan Muslim dan barat. Gerakan-gerakan yang muncul terkait dengan
perjuangan hak asasi manusia dan gender tersebut bertujuan untuk
mengadvokasi peningkatan status sosial dan hukum perempuan. Sehingga
memunculkan gerakan-gerakan dan kesadaran gender di beberapa negara
Muslim. Akan tetapi, hal itu memunculkan kontroversi ketika isu gender
masuk ke dalam ranah keluarga. Selain itu, terjadi pula perbedaan perspektif
dimana Al Quran dan Sunnah hanya mengatur tentang bagaimana caranya
mengelola keadilan di rumah tangga. Aturan ini kemudian dikaitkan dengan
pemikiran para intelektual dengan mengembangkan dasar hukum dengan
fakta-fakta sosial yang terjadi pada saat ini. Perbedaan antara latar belakang
pendidikan dan pengetahuan para inteleketual inilah yang menjadi penyebab
17
Sukessi, Gender dan Kemiskinan di Indonesia. ( Malang : Universitas Brawijaya Press, 2015)h.
64 18
K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai atasTafsir Agama dan Gender
(Yogyakarta : IRCiSoD, 2019) hal.52
47
adanya perbedaan pada aspek-aspek tertentu dalam undang-undang hukum
kelurga di negara Muslim salah satunya yaitu Malaysia.19
Setelah merdeka kurang lebih selama 50 tahun Malaysia mengalami
perubahan yang signifikan dalam hal pembangunan dan modernisasi. Hal
tersebut menimbulkan implikasi pada penyelesaian kasus-kasus gender.
Masalah gender di Malaysia sudah ditemukan pada wacana ilmiah.Selain itu,
masalah gender juga berdasar kepada Rancangan Malaysia ke-8 2001-2005
dan Rancangan Malaysia ke-9 (2006-2010). Adapun rancangan atau rencana
tersebut bertujuan untuk meningkatkan potensi para perempuan di Malaysia
agar mampu melakukan kerja sama dengan laki-laki dalam membangun visi
nasional. Selain itu, permasalahan perempuan juga terkait dengan ranah
keluarga, dimana perempuan sering menjadi korban penindasan dalam
keluarga. Hal tersebut menjadi sorotan para civitas akademika dan mendorong
penelitian dan studi gender. Pedoman Pengarusutamaan Gender di Indonesia
dan Malaysia
Setelah mengetahui bagaimana isu gender di Indonesia dan Malaysia,
begitupun dengan integrasi pada ranah instansi universitas yang menjadi role
model di Indonesia maupun Malaysia, yang selanjutnya menjadi pembahsan
adalah pedoman yang dipakai kedua negara tersebut. Tidak mungkin terjadi
pengintegrasian apabila tidak ada landasan atau standarisasi pemenuhan syarat
telah di integrasikannya gender.
Indonesia sudah mempunyai pedoman hukum positif yang disebut
UUD 1945, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk tidak
terimplementasikannya kesadaran gender, apabila tidak diatur khusus dalam
Undang-undang. Maka dari itu, akibat belum terakomodasinya undang-
undang secara komprehensif, maka perlindungan terhadap diskriminasi
perempuan dan bentuk kekerasan lainnya dalam pembangunan nasional masih
19
Ibid, h. 136
48
belum bisa dianggap memadai. Adapun upaya lainnya dalam mewujudkan
keadilan gender yang terdapat pada rancangan Undang-undang tentang
keadilan dan kesetaraan gender, sebenarnya sudah memiliki dua landasan
legal yang telah di sepakati bersama. PPengarustamaan gender (PUG) dalam
menjalankan misi nasional terdapat pada (1) UUD NKRI 1945 Pasal 31 Ayat
1 yang berbunyi “setiap laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan
setara untuk mengecap pendidikan”;.(2) Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menjadi
landasan hukum yang kuat untuk menjalankan pemerintahan.20
Secara normatif, Malaysia meratifikasi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW. Sementara pada peraturan
undang-undang lebih bersifat substantif, Malaysia memiliki Enakmen
Keluarga Islam Malaysia (EKIM). Dalam Enakmen tersebut sudah dirancang
agar terjadinya keselarasan antara syariah dan dunia modern. Salah satu
diantara tujuannya adalah menjaga kebajikan perempuan dan anak-anak agar
terhindar dari penindasan. Apabila merujuk kepada intellectual discourse
yang berkaitan dengan kesadaran gender yang berlandaskan pada perspektif
Islam, ada usaha untuk memperbaiki elemen-elemen yang bersifat bias gender
di fikih munkahat Islam.21
C. Implementasi Kebijakan Hukum Tentang Kesetaraan Gender pada
Kurikulum Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah Undang-undang
Peraturan yang telah dipaparkan di atas mengenai keadilan gender di
Indonesia dan Malaysia sudah tercantum pada masing-masing keduanya. Kedua
peraturan tersebut masih sama-sama berlandaskan pada peraturan Internasional
dan tersebut sudah diadopsi kepada peraturan-peraturan instansi atau universitas
20
Kusumawardhana, “Indonesiadipersimpangan:Urgensi„Undang-Undang kesetaraan dan
keadilan gender‟diindonesia pasca deklarasi bersama buenosaires padatahun2017.” 21
Affandi, Ismail, And Mohd Dahlal, “Reformasi Undang-Undang Keluarga Islam Di Malaysia:
Satu Analisis Terhadap Gagasan Konsep Fiqh Semasa.”
49
agar isu keadilan gender menjadi perhatian generasi bangsa yang kesadarannya
ditanamkan melalui kurikulum.
Adapun di Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, gender
masuk ke dalam ranah kurikulum sebagaimana terdapat matakuliah Hukum
Perlindungan Perempuan dan Anak yang mempunyai bobot matakuliah sebanyak
2 sks. 22
Akan tetapi, kedua mata kuliah tersebut adalah matakuliah pilihan.
Sehingga, tidak semua mahasiswa mengambil matakuliah tersebut. Hanya mereka
yang memiliki ketertarikan pada isu ini yang akhirnya mengambil perkuliahan.
Selain itu pedoman mengenai gender yaitu adanya Pusat Studi Gender di rektorat
UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Yang sering mengadakan penelitian dan seminar
seminar tentang gender.
Sedangkan Kurikulum yang terdapat di Jabatan Syariah dan Undang-
undang adalah terdapat pada mata kuliah Undang-Undang Islam dan Gender
yang memiliki bobot 3 SKS.23
Namun, sama halnya dengan yang terjadi di UIN
Jakarta, mata kuliah ini sebatas mata kuliah pilihan. Sehingga tidak ada kewajiban
bagi mahasiswa untuk mengambil mata kuliah ini. Selain itu, di jabatan juga
sering diadakan diskusi atau seminar yang diisi oleh pemateri ahli gender seperti
Prof Datin Raihanah,
Namun setiap adanya peraturan tidak selalu berjalan mulus dalam
mempraktikannya, akan selalu ada hambatan. Begitupun dengan kurikulum
mengenai gender ini. Adapun hambatan yang terdapat di Jabatan Syariah Undang-
undang sebagai ketua jabatan, Mohd Zaidi bin Daud melihat permasalahan
misalnya pada pembagian warisan. Pada topik ini, perlu penjelasan mendalam
agar ketentuan waris dalam Islam tidak dianggap bias gender. Menurutnya,
perempuan dan laki-laki sama saja dalam hal kualifikasi dan emosi. Meskipun
22
Buku pedoman Akademik Fakultas Syariah dan Hukum dalam https://fsh.uinjkt.ac.id/beranda
/kurikulum/, diakses pada tanggal 29 mei 2019 23
Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam http://ebook.um.edu.my/API/ijazah
%20dasar/#p=225
50
Malaysia belum seperti New Zealand yang memiliki perdana menteri
perempuan.24
Zaidi bin Daud melihat bahwa tantangan pengarustaman gender di
pendidikan hukum Islam yaitu merubah pola pikir mahasiswanya atau civitas
akademika terlebih dahulu. Namun dalam perkembangannya, kesadaran gender
dalam pendidikan sekarang sudah terbuka. Dalam Qonun Malaysia pun seperti
mufti atau pembuat fatwa, tidak dilantik oleh pentadbir agung karena sesuai
dengan Qonun pun di dalam syarat ketentuan menjadi mufi tidak tercantum atas
dasar jenis kelamin, melainkan kemampuan yang dimilki.25
Sama halnya dengan yang dipaparkan oleh ketua jabatan, mahasiswa pun
menganggap bahwa hambatan utama dalam mengintegrasikan kesadaran gender
yaitu merubah pola pikir di masyarakat tentang perempuan yang hanya di dapur.
Begitupun dengan kesadaran gender yang di tanamkan di perkuliahan, sama
halnya harus di mulai dari individu mahasiswa walaupun untuk memberikan
contoh kepada orang lain masih menjadi suatu hambatan.26
24
Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala
Lumpur. 11 April 2019. 25
Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala
Lumpur. 11 April 2019. 26
Mardhiah aina, dkk, Mahasiswa semester akhir Jabatan Syariah dan Undang-undang. Foccus
Grup Discussion. Kuala Lumpur 09 April 2019.
51
BAB IV
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUKUM TENTANG GENDER DALAM
PENDIDIKAN HUKUM ISLAM DI HUKUM KELUARGA DAN JABATAN
SYARIAH DAN UNDANG-UNDANG
Bab ini merupakan penjelasan lebih mendalam mengenai pengarusutamaan
gender dalam pendidikan hukum Islam di Indonesia dan Malaysia. Beberapa hal yang
akan menjadi pembahasan yaitu kurikulum pada program studi Hukum Keluarga di
UIN Jakarta dan Jabatan Syariah dan Undang-Undang di Malaysia; perspektif gender
pada dosen dan mahasiswa; pendapat dosen dan mahasiswa terkait implementasi
pengarusutamaan gender dan kesadaran gender di kalangan civitas akademika kedua
institusi tersebut.
A. Kurikulum Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Program studi perlu merumuskan visi yang merupakan outcome yang
akan dicapai secara jelas pada rentang waktu tertentu. Visi perlu memenuhi
kriteria jelas, realistik dan terukur serta adanya pelibatan stakeholder internal dan
eksternal/pengguna lulusan dalam penyusunannya. Sementara itu, misi
merupakan penjabaran operasional dari visi yang setidaknya meliputi pendidikan
pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang yang sesuai
keahlian program studi. Tujuan adalah hasil yang ingin dicapai oleh program
studi dalam hal output lulusan yang sejalan dengan kompetensi utama program
studi.1
Adapun visi dari program studi Hukum Keluarga adalah unggul dalam
integrasi ilmu hukum keluarga berdasarkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan,
dan kemanusiaan dikawasan Asia Tenggara pada tahun 2018 dan Internasional
1Kurikulum FSH 2016 dalam “File:///E:/SKRISPI%20GENDER/Buku%20 pedoman/ Kurikulum
-FSH-2016_UIN-Jakarta_Cetak.Pdf.” diakses pada tanggal 15 juli 2019
52
pada Tahun 2026. Sedangkan salah satu misi nya adalah menghasilkan lulusan
yang professional, unggul, dan kompetitif dalam bidang hukum keluarga.2
Sebagaiamana yang terdapat dalam misi program Studi Hukum Keluarga
yaitu menghasilkan profesi lulusan yang professional, adapun beberapa prorfil
lulusan serta deskripsinya adalah sebagai berikut:
No. Profil Deskripsi
1. Hakim Praktisi hukum yang mampu menerima, memeriksa,
mengadili, menyelesaikan/ memutus setiap perkara yang
diajukan kepadanya secara adil, jujur, professional,
bertakwa, berakhlak mulia dan bertanggungjawab di
Pengadilan Agama.
2. Pengacara Praktisi hukum yang memiliki kemampuan dalam
memberi jasa hukum, memberikan bantuan dan
advokasi hukum kepada pihak yang berperkara di
bidang hukum keluarga baik didalam maupun diluar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
undang-undang yang berlaku.
3. Konsultan
dan mediator
Praktisi hukum yang memiliki kemampuan untuk
memberikan layanan dan nasehat hukum selakukan
mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa serta bagi
pihak-pihak yang memiliki masalah hukum dalam
bidang hukum keluarga.
4. Legal drafter Praktisi perundang-undangan yang memiliki
kemampuan dan ahli dalam merancang naskah
akademik, rancangan undang-undangan dan produk
perundangan lainnya terutama dalam bidang hukum
keluarga.
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, Pedoman Akademik Program Strata Satu (S1) 2017/2018.
(Jakarta : UIN) h.210
53
Profil tersebut memiliki meniscayakan lulusan untuk memiliki
pengetahuan yang salah satunya terkait dengan kesadaran gender. Hal ini arena
profesi tersebut sangat berhubungan dengan kurikulum yang mana mendukung
pembekalan mahasiswa untuk menjadi lulusan yang diproyeksikan sebagai
praktisi hukum maupun akademisi.3
Maka dari itu penulis mengklasifikasikan beberapa mata kuliah yang
mengandung perspektif gender secara jelas dan secara substansi. Pada mata kuliah
yang nampak jelas dari nama matakuliah nya maupun secara substansi nya yaitu,
mata kuliah hukum perlindungan perempuan dan anak.
No. Mata Kuliah Konten
1. Hukum perlindungan
perempuan dan Anak
Menjelaskan tentang Hak dan kewajiban
perempuan dan anak, bagaiamana
hukum memayungi perempuan dan anak
melalui kebijakan, masalah-masalah
yang sering terjadi kepada perempuan,
dispensasi hukum terhadap kasus pidana
anak dan batas usia pernikahan terhadap
anak agar mendapat dispensasi nikah.
Mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak pada awalnya
dalam kurikulum 2016 matakuliah tersebut hanya menjadi mata kuliah pilihan
saja. Dimana mahasiswa berhak memilih untuk mengambil atau tidak matakuliah
tersebut dalam pemenuhan SKS pada semester akhir.4 Sedangkan, terdapat
perubahan pada 2017 mata kulaih hukum perlindungan perempuan dan anak telah
menjadi matakuliah wajib yang terdapat pada semester 6. 5
3 UIN Syarif Hidayatullah Jakrta. (Jakarta : UIN,2017), h.210-211
4 Ibid, h.211
5 Ibid, h. 212
54
Mesraini, selaku ketua program studi Hukum Keluarga Tahun 2019
menegaskan bahwa mata kuliah Hukum Perempuan dan Perlindungan anak di
program studi Hukum keluarga sekarang sudah menjadi wajib. Hal ini karena
memang konsen hukum keluarga nanti akan fokus untuk persoalan-persoalan
keluarga makanya bersifat wajib. Tidak ditambahkannya lagi mata kuliah gender
untuk saat ini, karena adanya pembatasan SKS untuk mata kuliah yang lain. Maka
sementara hanya satu yaitu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak.
Selebihnya yang paling penting adalah perspektif gender dari dosen sebagai
penghantar mata kuliah yang memiliki sensitifitas gender secara substantif..6
Pada matakuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, Rosdiana
selaku dosen pengampu mata kuliah tersebut menerangkan bahwa mata kuliah
tersebut berkaitan langsung dengan bagaiamana pembangunan perempuan dan
perlindungan anak. Pada dasarnya, mata kuliah tersebut mencakup penjelasan
tentang berbagai masalah yang dihadapi perempuan dan anak, kemudian
bagaimana hukum memayunginya dengan kebijakan. Namun menurutnya untuk
matakuliah syariah tidak hanya cukup dengan satu matakuliah saja.7
Selain mata kuliah yang secara eksplisit menyebut isu gender dalam
namanya, pada kurikulum program studi Hukum Keluarga, terdapat pula
matakuliah yang mengandung unsur gender dalam substansinya, meskipun pada
penamaannya tidak secara eksplisit menyebut gender atau perempuan. Mata
kuliah-mata kuliah tersebut adalah:
6 Mesraini, Kepala program studi Hukum Keluarga. Wawancara Pribadi, pada tanggal 17 Juli
2019 7 Rosdiana, Dosen pengampu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Hukum Keluarga.
Wawancara pribadi, 19 Juli 2019
55
No. Mata Kuliah Konten
1. Fikih
Munakahat
Menjelaskan tentang segala yang mencakup
perkawinan, dari mulai hak dan kewajiban suami
isteri, hingga hak isteri setelah perceraian.
2. Tafsir Ahkam Menjelaskan beberapa penafsiran pada teks ayat
Alquran mengenai pernikahan.
3. Hadis Ahkam Menjelaskan tentang hadis-hadis dalam pernikahan
yang mencakup perempuan dan laki-laki.
4. Fikih Mawaris Membahas tentang harta peninggalan pewaris,
pembagian harta waris untuk laki-laki dan
perempuan, beserta hikmah atas pembagian
tersebut.
6
.
Hukum perdata
Islam
Menjelaskan bagaiamana hukum Islam memayungi
hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki untuk
pribadi dan sosialnya.
Pada beberapa matakuliah yang mengandung unsur sensitif gender
merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum dari 2016 hingga 2017. Bahkan
terdapat beberapa pendalaman, seperti pada fikih munakahat 1, terdapat pula fikih
munakahat 2. Hal tersebut bahkan mampu menjelaskan secara eksplit hak dan
kewajiban suami dan isteri dalam keluarga.8
Sejak dahulu, yang sudah menjadi mata kuliah wajib hanya mata kuliah
yang mengandung sensitivitas gender secara substansi. Adapun yang menjadi
sebuah peningkatan adalah ketika mata kuliah yang secara spesifik membahas
tentang isu gender menjadi mata kuliah yang wajib saat ini, meskipun pada tahun
2016 itu masih menjdi mata kuliah pilihan. Hal tersebut menjadi sebuah
peningkatan untuk tercapainya lulusan yang di harapkan oleh program studi
8 Ibid, h. 214
56
Hukum Keluarga. Karena profil lulusan yang dipaparkan di atas tidak akan
pernah lepas dari pembahasan kasus antara hak perempuan dan laki-laki. Lebih
jelasnya lagi, para lulusan dengan profil-profil tersebut akan dihadapkan pada
kasus-kasus terkait dengan hak dan kewajiban suami dan isteri. Hal tersebut akan
sangat rentan terhadap adanya bias gender dalam penanganan kasus, apabila jika
dari sejak perkuliahan tidak ditanamkan secara ekspilit mengenai pemahaman
gender, urgensi dan pengimplementasiannya terhadap mahasiswa.
B. Kurikulum Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya
Adapun Jabatan Syariah dan Undang-undang memiliki misi untuk
memenuhi keperluan secara professional di dalam kehakiman Islam, bidang
perundangan Islam modern dan penasihat kekeluargaan dan kehartaan orang
Islam. 9
Dari misi tersebut tercermin bahwasanya pemahaman gender sangat
dibutuhkan oleh lulusan sarjana muda Jabatan Syariah dan Undang-undang. Hal
ini karena prospek kerjanya tidak terlepas dari penaganan isu-isu perempuan atau
gender sekalipun. Di antaranya terkait penuntutan hak dan kewajiban suami isteri,
maupun penanganan konsultasi keluarga yang didominasi antara suami dan isteri.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasanya penting adanya
pengintegrasian gender dalam kurikulum Jabatan Syariah dan Undang-undang.
Maka, terdapat beberapa kurikulum yang mengandung sensitifitas gender secara
jelas. Penulis menemukan bahwa mata kuliah yang mengandung unsur kajian
gender yang secara eksplisit disebutkan pada judul adalah Undang-undang Islam
dan gender. Namun matakuliah tersebut masih menjadi mata kuliah pilihan. Yang
mana mahasiswa berhak mengambil atau tidak tergantung pada minat atau
kebutuhan.10
9Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam http://ebook.um.edu.my/API/ijazah%
20dasar/#p=219,diakses pada tanggal 19 Juli 2019 10
Ibid, hal.182
57
No. Mata Kuliah Konten
1. Undang-undang Islam
dan Gender
Mata kuliah ini menekankan mengenai isu-isu
gender kontemporer dan bagaimana
penyelesaian menurut perundang Islam.
Pembahasan ini meliputi menegenai wanita
tentang diskriminasi, perlindungan, kesalahan
dsb. 11
Selain matakuliah pilihan yang jelas membahas tentang gender, terdapat
pula beberapa matakuliah yang mengandung isu gender hanya secara
substansinya saja. Di antara matakuliah tersebut adalah Ayat al Hadits al Ahkam,
Maqasid al Syariah, Undang-Undang Keluarga Islam, dan Undang-Undang
Pusaka.12
No. Mata Kuliah Konten
1. Ayat Hadits al Ahkam Menjelaskan tentang ayat-ayat Alquran
dan hadits mengenai thaharah,
kekekluargaan, jual beli, jenayat
kemasyarakatan dan kenegaraan.
2. Family Islamic Law Menjelaskan tentang konsep keluarga
dalam hukum Islam, bagaiamana
implementasi di Malaysia dan semua
unsur-unsur penikahan.
3. Undang-undang Pusaka Membahas tentang harta peninggalan
pewaris, pembagian serta hikmahnya.
11
Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam
http://ebook.um.edu.my/API/ijazah%20dasar/#p=219, diakses pada tanggal 29 mei 2019
12
Ibid, hal 183
58
Raihanah, selaku ahli gender di Malaysia, Kepala Akademi Pengkajian
Islam, serta dosen pengampu mata kuliah Undang-undang Islam dan gender
mengatakan bahwa di dalam silabus ada pembahasan tentang gender, seperti
undang-undang dan gender di Jabatan Syariah dan undang-undang khususnya.
C. Gender Perspektif Dosen Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari kurikulum di atas, yang paling penting adalah bagaimana perspektif
dosen dalam menyampaikan mata kuliah-mata kuliah tersebut, karena yang paling
banyak memberi pemahaman dan menularkan pemikiran terhadap mahasiswa
adalah dosen tersebut. Apabila dosennya keliru maka pemahaman gender
terhadap mahasiswa dan masyarakatnya pun keliru. 13
Mukmin Rauf, selaku aktivis gender sekaligus dosen di Fakultas Syariah
dan Hukum, menerangkan bahwa gender adalah sebuah konsep yang sebetulnya
ingin memisahkan antara peran biologis dan sosial. Ini karena, selama ini, ketika
peran biologis dan sosial disatukan maka terjadi kekerasan dan diskriminasi dan
marjinalisasi. Maka muncul konsep gender agar masyarakat meletakan mana
peran biologis dan sosial.14
Misalnya, orang awam seringkali mempunyai pemahaman bahwa
perempuan itu penyayang, laki-laki itu keras. Itu hal yang salah. Jadi yang benar
itu adalah dengan memberikan peran kepada seseorang tidak berdasarkan
seksnya. Seperti peran sosial dalam masyarakat. Sedangkan yang pertama yang
harus ditumbuhkan dalam pemahaman gender itu adalah pola asuh pada keluarga
terutama untuk orangtua. 15
Maka dari itu, setelah dari ranah keluarga perlu adanya pemahaman
gender di ranah perkuliahan. Terlebih untuk mahasiswa Hukum keluarga, Karena
output nya nanti lulusan Hukum Keluarga akan menajadi hakim, pengacara, dan
13
Mesraini, Kepala prodi Hukum Keluarga.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019 14
Mukmin Rouf, Aktivis gender dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum. 15
Mesraini, Kepala prodi Hukum Keluarga.
59
lain-lain. Mereka harus memiliki sensitifitas gender, karena ketika posisi tadi
dipegang oleh orang yang tidak sensitif terhadap gender, maka keputusannya akan
mendatangkan ketidakadilan bagi para perempuan. Maka dari itu, sangat penting
semua kurikulum itu memiliki aturan-aturan yang berdasarkan kepada kesetaraan
gender.16
Kesadaran tersebut diharapkan tertanam pada mahasiswa Hukum
Keluarga, setidaknya untuk individu-individu terlebih dahulu. Apalagi nanti untuk
mempengaruhi pasangan, anak, dan lebih jauh lagi nanti mempengaruhi
masyarakat. Selain itu, untuk mereka yang berkarir sebagai professional di bidang
hukum, mereka bisa berpihak dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan
pada peran-peran yang dilabelkan masyarakat tersebut hanya karena seks saja.17
Terkait dengan pentingnya perspektif gender di kalangan dosen, Mesraini
menegaskan kembali bahwa :
“Hal yang paling utama adalah perpsektif pengajar (dan) yang kedua
(adalah) kurikulum. Karena apabila hanya kurikulum saja, belum tentu
(pesan tersebut) dihantarkan. Namun apabila sudah melek gender,
pengajarnya itu pasti mengantarkan. Sudah aman, (dan) sudah mewakili
gender dalam kurikulum”.18
Namun pengharapan itu tidak akan terlepas dari kendala yang dialami
sebagai pengajar. Menurut Mesraini, Justru kendala utama itu ketika dihadapkan
dengan dosen-dosen yang memang tidak begitu mendukung, tentang isu relasi
kesetaraan gender. Sehingga hal ini menjadi tantangan sendiri ketika
mensuarakan isu tersebut. Tentang bagaimana poligami misalnya. Karena para
dosen tidak begitu fokus pada realitas sosial atau bisa jadi mereka yang terlalu
saklek dalam pemahaman kitabnya, sehingga sulit untuk mempertimbangkan
16
Rosdiana, Dosen pengampu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Hukum Keluarga.
Wawancara Pribadi, 19 Juli 2019
17
Mesraini, Kepala prodi Hukum Keluarga.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019 18
Mesraini.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019
60
aspek selain dari yang terdapat dalam kitab fiqh tentang poligami. Meskipun
demikian, kebanyakan dosen memiliki pemahaman yang lebih terbuka.19
Sejauh
ini menurut Mukmin Rouf, yang menjadi hambatan dari pengarustamaan gender
itu adalah argumentasi-argumentasi dari kalangan korban ketidak adilan gender
tersebut.20
Sedangkan apabila untuk mahasiswa tidak ada hambatan, mereka
semuanya menerima dengan antusias.Meskipun untuk pengimplementasian
kembali lagi kepada lingkungan mereka.21
D. Gender perspektif dosen di Jabatan Syariah dan Undang-Undang Universiti
Malaya
Gender dalam kacamata Nurhusairi, pengajar di Akademi pengkajian
Islam, adalah laki-laki dan perempuan hidup menjalankan sebagaimana
fungsinya. Karena keadilan gender pun saling menghargai, membangun norma
kehidupan yang mana laki-laki menjalankan kewajibannya sebagai laki-laki, dan
perempuan pun seperti itu. Apabila melakukan hal yang tidak berkeseimbangan
maka akan terjadinya ketidakadilan gender.22
Hal tersebut lebih dipaparkan secara luas lagi mengenai gender yang
sering disinggungkan dengan keadilan. Gender adalah perihal kualifikasi antara
laki-laki dan perempuan. Apabila dikaitkan dengan keadilan, keadilan gender
adalah persamaan hak yang didasarkan pada kemampuan seorang laki-laki dan
perempuan. Maka dari itu, tidak ada lagi pembatasan antara keduanya. Meskipun
perempuan masih dianggap lemah, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila ia
mampu melakukan suatu hal karena kualifikasinya maka itu sah saja. Seperti yang
dikatakan oleh Zaidi selaku Ketua jabatan. Ia mengatakan, seperti kasus yang
19
Mesraini.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019 20
Mukmin Rouf, Aktivis gender dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum. Wawancara Pribadi,
19 Juli 2019 21
Rosdiana, Dosen pengampu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Hukum Keluarga.
Wawancara Pribadi, 19 Juli 2019 22
Mohd Norhusairi Mat Hussin,Pensyarah Kanan Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti
Malaya. Wawancara Pribadi, Kuala lumpur 10 April 2019.
61
terjadi di Jabatan, dalam proses pengangkatan jabatan ia tidak melihat sama sekali
terhadap aspek gendernya namun lebih kepada kualifikasi yang dimiliki.23
Dalam hal definisi, lebih dipertegas oleh ahli gender di Malaysia Prof.
Datin Raihanah Abdullah, gender sangat luas, tergantung dari sisi mana dilihat.
Gender sama halnya dengan peran laki-laki dan perempuan yang berdasarkan
pada kualifikasi yang mereka punya dalam bidang tersebut. Jadi keadilan gender
bukan mengenai jenis kelamin, melainkan kemampuan atau kualifikasi seseorang
antara laki-laki dan perempuan.24
E. Gender Perspektif Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Dari hasil Focus Group Discussion dengan beberapa mahasiswa Program
Studi Hukum Keluarga, ditemukan bahwa menurut mahasiswa gender adalah
konstruksi sosial-budaya masyarakat, yang mana lebih kepada sikap pembeda
antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut lebih dominan kepada sifat,
pertanggung jawaban yang disebabkan oleh kontruksi budaya. Perbedaan ini
bukanlah dari segi kodrati seperti segi biologis. Karena itu, apabila dibahas adalah
aspek biologis, maka itu bukanlah gender, melainkan seks. Misalnya seorang
perempuan mampu melahirkan, haid, nifas, dan lain sebagainya. 25
Kesadaran akan keadilan gender di dunia pendidikan hukum itu sangat
penting. Seperti yang Oceania Hasanah alami sendiri bahwasanya dalam
programnya pada saat ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pemberdayaan
Perempuan , di Himpunan Mahasiswa Hukum Keluarga, ia mencanangkan
program “gender talks”. Program ini menekankan bahwasanya keadilan gender
itu bukan hanya membela hak-hak wanita saja dari patriakisme, tetapi juga
23
Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiiti Malaya,
Wawancara Pribadi, 13 April 2019. 24
Datin Raihanah Abdullah, Dekan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya dan Ahli Gender
di Malaysia. Wawancara Pribadi, 14 April 2019. 25
Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion, Ciputat 22 Mei 2019.
62
mencakup laki-laki. Karena di dalam hukum Islam itu laki-laki dan perempuan
perihal hak nya sama. Maka dari, itu penting adanya konsep gender equity. Selain
itu, program tersebut bertujuan untuk membuka pikiran dan memambah wawasan
mahasiswa yang ketika ditanya, masih ada yang menjawab bahwasanya gender itu
hanya sebatas jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Padahal jauh dari itu,
cakupan gender sangat luas.Partisipan FGD berkeyakinan bahwa tidak sensitive
gender lebih banyak dikalangan laki-laki. Terlebih untuk mahasiswa laki-laki
yang sampai saat ini masih belum sensitif gender. Sehingga, perlu adanya
pemahaman bahwa isu gender bukan hanya perlu dipelajari oleh perempuan,
tetapi juga oleh laki-laki,26
Selain itu, urgensi dari keadilan gender pun dalam dunia pendidikan
hukum Islam yaitu agar mahasiswa lebih paham dan mampu menjelaskan kepada
khalayak bahwasanya hukum Islam itu tidak bersifat patriaki.27
Hambatan bagi
keterbukaan terhadap pemahaman ini terkait dengan sosial. Maka sebaiknya isu
gender masuk ke dalam kurikulum. Tetapi, kembali lagi kepada pertanyaan
apakah pemegang system memiliki sensitifitas gender atau tidak. 28
Namun dalam segi pengimplementasian, ketika sebagian besar partisipan
dosen menganggap bahwa mahasiswa sudah mengalami kesadaran gender. Ketika
dilihat pada saat belajar antusiasme mahasiswa laki-laki dan perempuan sama.
Lain halnya, ketika pada pandangan mahasiswa semester 2 yang berpatisipasi
dalam FGD, mereka menganggap bahwa masih banyak mahasiswa laki-laki yang
masih sering menjadikan perempuan sebagai objek, secara langsung maupun
lewat media sosial. Mereka pun masih menganggap bahwa masih ada beberapa
dosen yang terkesan patriaki dari segi pengajarannya. 29
26
Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 27
Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 28
Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 29
Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019
63
“Saya sendiri sebagai laki-laki malah belum paham mengenai gender.
Menurut saya, gender itu jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bahkan
saya sebagai laki-laki masih senang menjadikan mahasiswa perempuan
sebagai objek becanda, mungkin karena saya belum paham gender”30
F. Gender Perspektif Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang
Universiti Malaya
Selanjutnya, gender menurut mahasiswa hukum di Malaysia merupakan
ciri khas yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan sejak lahir. Seperti laki-laki
yang bersifat maskulin dan perempuan yang feminin. Laki-laki dan perempuan
mempunyai karakteristik dimana yang lebih cenderung menangis yaitu
perempuan, dan laki-laki lebih berkesan kuat. Sedangkan gender bukan hanya
tentang itu, melainkan tentang peran apabila ingin diperjuangkan kesamaan
rataan, yaitu dari segi hak hidup, bukan dari kodrati. Adapun hal lain, keadilan
gender ini lebih kepada perempuan yang lebih banyak memiliki kebutuhan
dibanding laki-laki seperti dalam Islam. Jadi, untuk memperjuangkan kesamaan
gender itu sebenarnya tidak patut, karena tidak adanya asas.31
Sedangkan menurut mahasiswa Hukum Islam di Jabatan Syariah dan
Undang- Undang Universiti Malaya, mereka mengatakan bahwasanya
kesamarataan gender tidak perlu diperjuangkan karena keduanya sudah
mendapatkan tempatnya masing-masing. Begitupun dalam hukum Islam
semuanya sudah diatur sesuai porsinya. Seperti dalam Al Quran sudah tercantum
Surrah Ar-rijal dan An-nisa. Jadi, laki-laki dan perempuan itu tidak dibedakan
oleh Allah SWT, atas jenis kelaminnya. Melainkan hanya dari ketakwaannya saja.
Namun yang harus diperjuangkan saat ini adalah keadilan gender itu sendiri.
30
Imam, Mahasiswa semester 2 Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 31
Mardhiah Aina, dkk. Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya,
Foccus Grup Discussion , Kuala Lumpur 9 April 2019.
64
Pada konteks pendidikan hukum, menurut mereka, penting adanya
diskusi tentang keadilan gender untuk membuka pemikiran masyarakat. Misalnya,
bahwasa seorang perempuan tidak mesti selalu harus di dapur. Kemudian, sangat
penting ketika mahasiswa lulusan hukum Islam nanti akan memutus perkara
seperti hadhanah, waris, dan harta bersama.
Di samping itu, Aina Mardhiah seorang mahasiswa semester 8 di Jabatan
Syariah dan Undang-undang, menegaskan bahwa kesadaran akan keadilan gender
itu sangat penting. Seperti halnya dalam kasus warisan perempuan dapat satu,
laki-laki dapat dua. Ini diperlukan untuk bisa menjelaskan kepada masyarakat
alasan dan falsafah pembagian seperti dalam Islam. Yaitu karena laki-laki itu
banyak tanggung jawab penting. Masyarakat tidak tahu bahwa tidak semua hal
harus disamaratakan, dan adil itu mengatakan sesuatu pada tempatnya. Misalnya
ketika ada kasus perempuan yang merawat ibunya dan laki-laki tidak, warisan
seorang laki laki tersebut boleh dihibahkan kepada perempuan. Islam tidak lengah
untuk menetapkan pembagian tersebut namun ada jalan lain ketika harus ada yang
dipertimbangkan. Di Malaysia ini sangat jarang yang menggugat masalah
pembagian warisan. pada umumnya masyarakat ta‟at dengan ketetapan dan ilmu
Fara‟id itu sudah menjadi undang-undang tertulis sudah bisa menjadi landasan
seorang hakim memutuskan perkara.32
G. Implementasi Kebijakan Hukum Tentang Gender dalam Studi Hukum
Islam di Kedua Program Studi Tersebut
Sebagaiamana yang terdapat dalam beberapa kebijakan Negara yang
memiliki perspektif gender, mulai dari undang-undang hingga Intruksi Presiden.
Lebih jelasnya lagi seperti yang terdapat dalam INPRES No. 9 Tahun 2000,
dimana salah satu profesi yang disebutkan dalam pengarusutamaan gender adalah
seorang Jaksa. Hal tersebut mencerminkan bahwa Jaksa mewakili beberapa
32
Mardhiah Aina, dkk. Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya,
Foccus Grup Discussion , Kuala Lumpur 9 April 2019.
65
profesi hukum lainnya. Maka dari itu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
memiliki Pusat Studi Gender dan Anak tercermin mengadopsi beberapa regulasi
yang berperspektif gender, karena adanya peraturan yang telah ditetapkan oleh
Negara yang sensitive gender.
Hal itu pun tercermin kedalam kurikulum yang terdapat di Program Studi
Hukum Keluarga, dimana terdapat beberapa matakuliah yang sensitive gender
baik secara jelas maupun substantif. Hal itu tidak serta merta hanya atas dasar
regulasi di fakultas, namun sudah menjadi turunan atas regulasi yang terdapat
pada kebijakan Negara.
Namun lain halnya ketika melihat di Malaysia, Negara hanya mengatur
kebijakan hukum yang berperspektif gender berdasarkan CEDAW, maka dari itu
sangat diwajarkan apabila regulasi tersebut tidak di cerminkan pada ranah
Universiti dan tidak terdapatnya Pusat Studi Wanita. Sebagaimana hukum dibuat
karena keadaan dan sebaliknya keadaan dapat menimbulkan adanya hukum. Jadi,
kebijakan Negara merupakan sebab akibat adanya regulasi hingga implementasi
pada Program Studi Hukum Keluarga UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan
Jabatan Syariah dan Undang-undang.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mulai dari BAB I sampai dengan BAB IV, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan Negara tentang gender ketika
diimplementasikan kepada kurikulum, urgensi keadilan gender sudah dijelaskan
dalam Islam. Dimana dalam Al-quran termaktub bahwa yang membedakan
seseorang hanyalah dari ketakwaan. Hal tersebut menunjukan bahwa Islam sudah
menghapuskan diskriminasi seperti ras, warna kulit, maupun jenis kelamin.
Sesuai dengan INPRES NO. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Gender mengenai Pembangunan Nasional menegaskan bahwa setiap institusi
pemerintah wajib memasukan dimensi kesetaraan dan keadilan gender dalam
setiap program perencanaan. Begitupun di Malaysia berdasarkan Komite
CEDAW telah memberikan kredit kepada Malaysia untuk pencapaian
pengembangan perempuan dalam pendidikan.
Maka dari itu untuk pengarustamaan gender di bidang pendidikan
khususnya di studi Hukum Islam di Indonesia dan Malaysia penulis
mengemukakan terkait Implementasi kebijakan hukum pada studi hukum Islam
di Prodi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan Syariah
dan Undang-undang di University Malaya.
Dari penelitian tersebut penulis menemukan temuan yang menarik terdapat
persamaan dan perbedaan. Persamaannya Hukum keluarga dengan Jabatan
Syariah Undang-undang sama-sama memiliki mata kuliah yang yang membahas
isu gender. Walaupun mata kuliah Undang-undang Islam dan gender di Jabatan
Syariah dan Undang-Undang itu masih menjadi pilihan, sedangkan mata kuliah
Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak di Hukum Keluarga sudah menjadi
mata kuliah wajib. sehingga tertarik atau tidak mahasiswa harus mengikuti mata
kuliah tersebut.
67
Perbedaannya terlihat dari segi kebijakan Negara Indonesia dan Malaysia
dalam regulasi yang bersperspektif gender, dimana di Indonesia sudah banyak
pengarusutamaan terhadap beberapa Undang-undang hingga peraturan menteri.
Sedangkan di Malaysia hanya berdasarkan kepada CEDAW. Hal tersebut
kemudian terlihat bagaiamana terjadinya pengarusutumaan pada kurikulum untuk
di implementasikan di kalangan mahasiswa. Ketika Dosen menganggap sudah
tidak adanya diskriminasi atau marjinalisasi. Namun pada realitasnya partisipan
perempuan FGD, mengakui bahwa ia pernah menjadi objek seksual seperti bersiul
sekalipun via media sosial, yang dilakukan oleh mahasiswa laki-laki. Bersamaan
dengan itu pula partisipan laki-laki FGD , mengakui bahwa ia masih senang
menjadikan perempuan sebagai objek becandaan atau memandangnya selalu dari
segi fisik.
Adapun perbedaan pandangan mahasiswa di Program Studi Hukum
Keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang adalah dari segi progresifitas.
Ketika partisipan FGD dari Program Studi Hukum Keluarga mengatakan bahwa
Fiqih itu masih bisa di rekontruksikan sesuai dengan relevansi zaman. Namun
partisipan FGD Jabatan Syariah dan Undang-undang bahwa Fikih itu harus
ditaati, karena bagaimanapun aturannya tetaplah ketentuan Islam dan akan selalu
ada hikmah dibaliknya.
Selain itu, masih belum ada keselarasan antara pandangan dosen dan
mahasiswa terkait dengan kesadaran gender. Karena ketika mayoritas dosen
sudah menganggap bahwa tidak ada masalah ketimpangan dan diskriminasi di
kalangan mahasiswa, mahasiswa masih menganggap bahwa masih banyak
mahasiswa laki-laki yang sering menjadikan mahasiswa perempuan sebagai objek
candaan atau perendahan terhadap argumentasi-argumentasi yang dilontarkan
oleh perempuan.
Sementara itu, ketika dibandingkan antara pandangan mahasiswa Hukum
Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa Jabatan Syariah
Undang-Undang University Malaya, ada perbedaan dalam menanggapi isu hukum
68
Islam yang sangat terkait dengan gender. Pada pembagian waris, misalnya,
mahasiswa UIN menganggap ketentuan pembagian waris, harta bersama, dan
beberapa masalah lain yang terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadits, ada kesan bias
gender. Namun demikian, pada implementasinya, ketentuan-ketentuan tersebut
masih bisa dihubungkan dengan kaidah maslahah murshalah. Sedangkan
pandangan dari mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang di Malaysia,
mereka menganggap bahwa ketentuan-ketentuan sudah peraturan dari fiqih.
Tugas seorang Muslim hanyalah mentaati, karena, walaupun terkesan bias gender
itu pasti terdapat hikmah setelahnya.
Dua pandangan berbeda itu menunjukan bahwa sisi progresifitas
mahasiswa pada FGD mahasiswa di Indonesia lebih tinggi. Mereka lebih
menganggap bahwa hukum harus terus berkembang sesuai dengan yang
dibuthkan oleh masyarakat. Hukum harus bisa menjadi alat rekayasa sosial.
Sedangkan pendapat partisipan FGD Malaysia menunjukan bahwa hukum itu
kaku, harus tetap di ikuti walaupun dalam perkembangan zaman.
B. Saran
Berdasarkan penelitian, pembahasan dan kesimpulan pada penulisan
skripsi ini. Maka dari itu penulis perlu memberikan saran-saran untuk
dipertimbangkan di kemudian hari. Saran-saran tersebut penulisan tujukan
kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dan Seluruh Kepala Program Studi,
untuk memperhatikan kembali mahasiswa Syariah dan Hukum terkait
sensitifitas gender dalam pengajaran seluruh mata kuliah dari Dosen dan
Kurikulum.
2. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum untuk memasukan aspek
sensitifitas gender di setiap mata kuliah.
69
3. Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang untuk meningkatkan lagi
sensitifitas gende pada Mahasiswa dan menjadikan mata kuliah Islam dan
Gender sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum.
4. Dosen-dosen di Jabatan Syariah dan Undang-undang untuk memasukan aspek
sensitifitas gender di setiap mata kuliah.
5. Akademisi untuk menjadikan penelitian ini sebagai cerminan mengenai
sensitifitas gender yang sudah di miliki untuk menunjang profil lulusan
Sarjana Hukum dan untuk bahan penelitian selanjutnya, yang belum di bahas
oleh penulis. Penulis melihat hal-hal yang dapat diteliti dari tema ini,
mengenai efektivitas kurikulum berbasis gender di pendidikan hukum Islam
melalui profil Alumni dan pengarustamaan gender dalam bahan ajar dosen
dan buku catatan mahasiswa.
70
DAFTAR PUSTAKA
Ainiyah dan Quratul, Keadilan Gender Dalam Islam, Jawa Timur : Wisma
Kalimetro.
Dewantoro dan dkk, Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Mayarakat
Modern, Yogyakarta : Ababil, 1996.
Program Studi Kajian Wanita, Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang
Tengah Berubah, Jakarta : Ford Foundation,Ehwa Women University Dan
Program Studi Kajian Wanita, 2000.
Pusat Studi Islam, Bersikap Adil Jender Manifesto Keberagaman Masyarakat Jogja,
Yogyakarta : Center Foislamic Studies, 2009.
Putnam Tong dan Rosamarie, Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif
Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, Kolarado : West View Press, 1998.
Rafida dan Rini, Konsep Dasar Organisasi Definisi, Tujuan dan Proses, Surakarta.
Relawati dan Rahayu, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung : Cv Muara
Indah, 2010.
Rokhayati dan Ana, Pengaruh Soft Skill dan Perencanaan Karir Terhadap Kinerja
Karyawan dengan Kualitas Pelatihan Sebagai Variabel Modertor, 2017.
Sukessi dan Keppi, Gender dan Kemiskinan di Indonesia, Malang : Universitas
Brawijaya Press, 2015.
Sulistyowati Herwin, Tinjauan Hukum Positif pada Masa Kolonial Kaitannya dengan
Pengarustamaan Gender.
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Program Strata Satu (S1)
2017/2018, Jakarta : UIN Jakarta, 2017.
Sumber Jurnal
Abdullah dan Azlina Literatur Dan Kajian Tentang Gender Di Malaysia Sejak 1980
Hingga Dekade 2000an, Vol.5 Jurnal Islam Dan Masyarakat Kontemporari,
2012.
Affandi dkk, Reformasi Undang-Undang Keluarga Islam Di Malaysia: Satu Analisis
Terhadap Gagasan Konsep Fiqh Semasa, Vol. 16 Jurnal Syariah, 2008.
Babcock dan Barbara Allen Gender Bias In The Courts And Civic And Legal
Education, Vol.45 Stanford Law Review, 1993.
Basten dan John, Judical Education On" Gender Awareness In Australia, The Judical
Review, 2017.
Dragica Dan Vujadinovic, Gender Mainstreaming In Legal Education In Serbia: A
Pilot Analysis Of Curricula And Textbooks, Vol.15.Annals Flb- Belgrade Law
Review, 2017.
Firdaus, Urgensi Soft Skill Dan Caracther Building Untuk Mahasiswa, Vol.14, Tapis,
2017.
Hadi dan Abdul, Gender dan Feminisme dalam Islam, Vol.2, Muwajah, 2010.
Ilyas dan Yunahar, Perspektif Gender dalam Islam Pendekatan Tafsir Al-Qur’an,
Vol. XVII Mimbar, 2001.
72
Jilfa dan Rohil, Telaah Komparatif Pengarusutamaan Gender Dalam Pendidikan
Islam Di Saudi Arabia, Mesir, Malaysia, Dan Indonesia, Vol.5, Jurnal
Pendidikan Agama Islam (Journal Of Islamic Education Studies), 2017.
Khotima, dan Khusnul, Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan, Vol.1,
Insania, 2008.
Kusumawardhana dan Indra, Indonesia dipersimpangan: Urgensi Undang-Undang
kesetaraan dan keadilangender di Indonesia pasca deklarasi bersama
buenosaires pada tahun 2017, Vol.9, Jurnal Ham, 2018.
Mahmood dan Saba, Feminist Theory, Embodiment, And The Docile Agent: Some
Reflections On The Egyptian Islamic Revival, Vol. 16, Cultural Antropologhy,
2001.
Muhammad dan Husein, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan
Gender, Yogyakarta : Ircisod, 2019.
Muqoyyidin dan Wahyun Andik, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam, Vol.13, Jurnal Al-Uum,
2013.
Najih dan Muhammad Aqibun, Gender dan Kemajuan Teknologi Pemberdayaan
Perempuan Pendidikan Dan Keluarga, Vol.12 Harkat, 2017.
Noor dan Zanariah, Gender Justice and Islamic Family Law Reform In Malaysia,
Vol.XXV Kajian Malaysia, 2007.
Rahayu dan Ninik, Kesetaraan Gender dalam Aturan Hukum dan Implementasinya di
Indonesia (Gender Equality In The Rule Of Law In Indonesian And
Implementation), Vol. 9, Jurnal Legislasi Indonesia, 2012.
73
Ramli dan Anuar Mohd, Analisis Gender dalam Hukum Islam”,Vol.9 Jurnal
Fiqh,2012.
Rokhayati dan Ana, Pengaruh Soft Skill Dan Perencanaan Karir Terhadap Kinerja
Karyawan dengan Kualitas Pelatihan Sebagai Variabel Modertor, Vol.1, 2017.
Salim dkk, Gendering The Islamic Judiciary: Female Judges In The Religious Courts
Of Indonesia, Vol.51, Al-Jamiah, 2013.
Salim dkk, Gendering The Islamic Judiciary: Female Judges In The Religious Courts
Of Indonesia, Vol.51, Al-Jamiah, 2013.
Wantini dan Atik, Tafsir Feminis M.Quraish Shihab: Telaah Ayat-Ayat Gender
dalam Tafsir Al-Misbah, Vol.6, Palastren, 2013.
Sumber Internet
E-Sumber Buku Pedoman Kurikulum dalam
File:///E:/Skrispi%20gender/Buku%20pedoman/Kurikulum-Fsh-2016_Uin
Jakarta_Cetak.Pdf. Diakses Pada 09 Juli 2019.
Sumber Foccus Group Discuccion
Foccus Grup Discussion dengan Mardhiah Aina dkk, Mahasiswa Semester 10 Jabatan
Syariah dan Undang-Undang Kuala Lumpur, 10 April 2019.
Foccus Grup Discussion dengan Ratu Bilqis Dkk, Mahasiswa Semester 2 Hukum
Keluarga, Ciputat, 17 Juli 2019.
Sumber Wawancara Pribadi
Wawancara Pribadi dengan Mesraini, Kepala Prodi Hukum Keluarga, Ciputat, 17 Juli
2019.
74
Wawancara Pribadi dengan Mukmin Rouf, Aktivis Gender dan Dosen Fakultas
Syariah Dan Hukum, Ciputat, 19 Juli 2019.
Wawancara Pribadi dengan Raihanah, Kepala Akademi Pengkajian Islam, Kuala
Lumpur, 14 April 2019.
Wawancara Pribadi dengan Rosdiana, Dosen Pengampu Hukum Perlindungan
Perempuan dan Anak Hukum Keluarga, Ciputat 19 Juli 2019.
Wawancara Pribadi dengan Zaidi dan Mohd, Keadilan Gender Di Pendidikan Hukum
Islam di Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah Undang-Undang, Ciputat, 11
April 2019