PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP DERAJAT …thesis.umy.ac.id/datapublik/t34163.pdf · Ketua Program...
Transcript of PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP DERAJAT …thesis.umy.ac.id/datapublik/t34163.pdf · Ketua Program...
i
PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP DERAJAT INSOMNIA
PADA LANSIA DI DUSUN JOMEGATAN, NGESTIHARJO, KASIHAN,
BANTUL
Naskah Publikasi
Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat
Sarjana Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
DEWI CAESARIA FITRIANI
20100320118
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah
PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP DERAJAT INSOMNIA
PADA LANSIA DI DUSUN JOMEGATAN, NGESTIHARJO, KASIHAN,
BANTUL
Telah diseminarkan dan disetujui pada tanggal:
14 Agustus 2014
Oleh:
DEWI CAESARIA FITRIANI
20100320118
Pembimbing:
Nurul Hidayah, S. Kep., Ns. (………………………………)
Penguji:
Nurvita Risdiana, S. Kep., Ns., M. Sc. (………………………………)
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(Sri Sumaryani, Ns., M. Kep., Sp. Mat., HNC)
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul “Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Derajat Insomnia pada
Lansia di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul” ini telah disetujui
untuk diseminarkan pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 14 Agustus 2014
Jam : 11.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang Kecil
Untuk mempertahankan di hadapan penguji pada Uji Karya Tulis Ilmiah.
Dosen Pembimbing
Nurul Hidayah, S. Kep., Ns.
iv
v
Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Derajat Insomnia pada Lansia di Dusun
Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul
Dewi Caesaria Fitriani1, Nurul Hidayah, S.Kep., Ns.2, Nurvita Risdiana, S.Kep.,
Ns., M.Sc2
Karya Tulis Ilmiah. Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
INTISARI
Latar Belakang:
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dialami oleh lansia. Insomnia dapat memberikan dampak negatif pada kualitas hidup dan kualitas tidur lansia. Penggunaan terapi farmakologi sebagai penanganan insomnia
memberikan efek samping obat jangka panjang yang merugikan bagi lansia, padahal terdapat beberapa terapi nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk
menangani insomnia pada lansia. Salah satunya adalah terapi tertawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap derajat insomnia pada lansia.
Metodologi Penelitian:
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
desain penelitian Quasy Experiment Design: Pretest-Posttest with Control Group Design.Sampel pada penelitian ini sebanyak 32 orang lansia yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 15 orang sebagai kelompok perlakuan dan 17 orang sebagai
kelompok kontrol di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pembagian kelompok sampel yang memenuhi kriteria inklusi
akan dipilih secara simple random.. Hasil Penelitian:
Analisis data yang digunakan adalah Paired Samples t-test dan Independent Sample t-test dengan tingkat signifikan p value <0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terapi tertawa terhadap derajat
insomnia pada lansia dengan nilai p value 0,002 (p<0,05). Nilai p value pada kelompok perlakuan adalah 0,000 dan kelompok kontrol adalah 0,136.
Kesimpulan:
Kesimpulan dari penilitian ini adalah terapi tertawa berpengaruh terhadap penurunan derajat insomnia pada lansia.
Kata Kunci: Terapi Tertawa, Insomnia, Lansia
1 Mahasiswa PSIK FKIK UMY 2 Dosen Pengajar PSIK FKIK UMY
vi
The Effect of Laughter Therapy to Insomnia Degree among Elderly in
Jomegatan Village, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul
Dewi Caesaria Fitriani1, Nurul Hidayah, S.Kep., Ns.2, Nurvita Risdiana, S.Kep.,
Ns., M.Sc2
Student Research Project. School of Nursing. Faculty of Medicine and Health Science. Muhammadiyah University of Yogyakarta.
ABSTRACT
Background:
Insomnia is a sleep disorder that is commonly experienced by the elderly. Insomnia can give negative effects to elderly’s quality of life and quality of sleep. The use of pharmacological therapy as a treatment of insomnia gives side effects
of long-term drug to the elderly which causes damage to the elderly, whereas there are some nonpharmacological therapies which can be used as a treatment
of insomnia among the elderly. One of them is laughter therapy. This study aimed to know the effect of laughter therapy to insomnia degree among the elderly. Methodology of Research:
The study was a quantitative research that used Quasy Experiment Design: Pretest-Posttest with Control Group Design. The sample of this study was
32 elderly people who were divided into two groups, i.e. 15 people as the intervention group and 17 people as control group in Jomegatan Village, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. The sampling technique used purposive sampling
with inclusion and exclusion criteria. The sample distribution of group was done by simple random. Results:
Analysis of the data used the Paired Samples t-test and Independent Sample t-test with p value <0,05. The study showed that there was influence of
laughter therapy to insomnia degree among elderly with p value 0,006 (p < 0,05). The p value of the intervention group was 0,002 and the control group was 0,136. Conclusion:
The conclusion of this study is laughter therapy affects the decreased of insomnia degree among elderly.
Keywords: Laughter Therapy, Insomnia, Elderly
1 Student of PSIK FKIK UMY 2 Lecturer of PSIK FKIK UMY
1
PENDAHULUAN
Proses menua adalah suatu proses dimana menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mempertahankan struktur
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita oleh individu tersebut1. Mubarak et al.2
menyebutkan pertambahan usia atau menua dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sel, organ maupun sistem yang ada pada tubuh manusia. Menurut World Health Organization (WHO)
dalam Ismayadi3, lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang berusia di atas 60 tahun.
Indonesia termasuk negara berstruktur tua, hal ini dapat dilihat dari presentase penduduk lansia pada tahun 2012 yang telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk seperti laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
(2011) dalam Kementrian Kesehatan RI4. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)5, jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 7,59%
dari jumlah seluruh penduduk di dunia.Jumlah penduduk lansia di Indonesia yang berusia 60 tahun atau lebih diperkirakan akan terus meningkat dari 18,1 juta pada tahun 2010 menjadi 29,1 juta pada tahun 2020, kemudian menjadi 36 juta pada
tahun 20256. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang
memiliki jumlah lansia tertinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan DIY memiliki angka harapan hidup tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, yaitu 76 tahun untuk perempuan dan 72 tahun untuk laki-laki7. Berdasarkan Profil
Kesehatan Penduduk di Indonesia8, jika dilihat sebaran penduduk lansia menurut provinsi, presentase penduduk lansia di atas 10% ada di provinsi DIY (14,02%),
Jawa Tengah (10,99%), Jawa Timur (10,92%), dan Bali (10,79%). Sedangkan, presentase penyebaran penduduk lansia di DIY menurut kabupaten maupun kota yang tertinggi ada di kabupaten Bantul (35,52%)7.
Pertambahan usia pada individu merupakan suatu proses yang akan terjadi pada setiap manusia. Pada proses penuaan, seseorang akan mengalami berbagai
masalah tersendiri baik secara fisik, mental, maupun sosioekonomi9. Salah satu masalah yang sering terjadi pada lansia adalah gangguan tidur atau insomnia9.Para lansia beresiko mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh banyak faktor,
misalnya pensiun dan perubahan pola sosial, kematian pasangan hidup atau teman dekat, peningkatan penggunaan obat-obatan, penyakit yang dialami, dan
perubahan irama sirkadian pada lansia9.Gangguan mood, kecemasan, kepercayaan terhadap tidur, dan perasaan negatif merupakan indikator terjadinya insomnia pada lansia10.
Menurut Zorick dalam Potter & Perry11, insomnia adalah gejala pada seseorang yang mengalami kesulitan untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan
tidur singkat atau tidur nonrestoratif, serta dapat menandakan adanya gangguan fisik dan fisiologis. Menurut National Institute of Health America yang dikutip dari Suryadi12, jumlah penderita insomnia lebih tinggi dialami oleh lansia, dimana
satu dari empat pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius dengan lama waktu tidur kurang dari empat jam. Gangguan tidur menyerang 50%
lansia yang tinggal di rumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka
2
panjang, misalnya panti sosial9. Busko dan Vega13 dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa prevalensi insomnia sekitar 10-17% terjadi pada lansia yang tinggal di komunitas.
Pola tidur pada lansia dapat berubah dan akan mengganggu lansia11. Dampak yang muncul jika lansia kurang tidur yaitu perasaan bingung, curiga,
hilangnya produktivitas kerja, serta menurunkan imunitas11. Melillo dan Houde14 menyatakan kurang tidur menyebabkan masalah pada kualitas hidup lansia, memperburuk penyakit yang mendasarinya, mengubah perilaku, suasana hati
menjadi negatif, mengakibatkan kecelakaan, seperti terjatuh, serta kecelakaan dalam rumah tangga.Insomnia juga dapat menyebabkan kematian pada lansia15.
Banyaknya permasalahan kesehatan pada lansia, membuat lansia mengkonsumsi obat dua kali lebih banyak11. Pengobatan insomnia dengan menggunakan farmakologi atau obat-obatan antidepresan, benzodiazepine short
acting, golongan imidazopyridine, dan golongan fenobarbital atau benzodiazepine long acting, memiliki efek samping obat sebesar 10,5% pada lansia11. Obat-obat
tersebut bila dikonsumsi jangka panjang oleh lansia dapatmenyebabkan perubahan pola tidur, ketergantungan, menurunkan kewaspadaan, mengantuk berlebih pada siang hari, kebingungan, penurunan energi, ataksia serta gangguan motor yang
akan meningkatkan resiko kecelakaan11. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam hal penanganan insomnia bagi
lansia selain dengan terapi farmakologi, yaitu dengan terapi nonfarmakologi. Nabil et al.16 menyebutkan lebih dari 50% lansia dengan insomnia biasanya tidak dikelola dan intervensi nonfarmakologi kurang dimanfaatkan oleh tenaga
kesehatan, padahal ada beberapa terapi nonfarmakologi untuk mengurangi insomnia. Salah satunya adalah terapi tertawa yang dinyatakan oleh Hae-Jin &
Chang Ho17. Terapi tertawa merupakan salah satu terapi relaksasi yang ekonomis, tidak
membutuhkan tempat dan persiapan khusus serta mudah untuk dilakukan
sendiri17. Menurut Subandi18, penggunaan relaksasi mempunyai sejarah yang luas dalam bidang psikologi, klinis, dan psikiatri. Denyut nadi dan tekanan darah dapat
dikurangi dengan relaksasi otot dan daya tahan kulit meningkat dengan pernapasan menjadi lebih pelan dan teratur selama relaksasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Fauzan19 yang menyebutkan bahwa relaksasi adalah teknik untuk
mengatasi kekhawatiran atau kecemasan melalui pengendoran otot-otot dan syaraf yang bersumber pada suatu obyek tertentu.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia, dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi. Kelelahan, aktivitas mental, dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi dengan teknik
relaksasi.Konsekuensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri seseorang dapat meningkat seperti pendapat Beech (1982) dalam
Subandi18. Melalui terapi tertawa, lansia dilatih untuk memunculkan respon relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang17. Hal ini dikarenakan latihan relaksasi dapat memberikan pemijatan halus di kelenjar-kelenjar dalam tubuh,
menurunkan produksi kortisol dalam darah serta mengembalikan pengeluaran hormon secukupnya sehingga dapat memberikan keseimbangan emosi dan
ketenangan pikiran serta meningkatkan angka kesehatan pada lansia20, 21.
3
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan derajat insomnia pada lansia. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui derajat insomnia pada lansia sebelum dilakukan terapi
tertawa (pretest) pada responden kelompok perlakuan dan kelompok control di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, (2) Mengetahui derajat insomnia
pada lansia sesudah dilakukan terapi tertawa (post-test) pada responden kelompok perlakuan dan kontrol di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, dan (3) Mengetahui adanya perbedaan derajat insomnia pada lansia yang diberikan terapi
tertawa pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
desain penelitian Quasy Experiment Design: Pretest-Posttest with Control Group Design. Populasi pada penelitian ini adalah lansia yang mengalami
insomnia.Berdasarkandata tahun 2012 di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II serta dari hasil survey pendahuluan yang dilakukan, jumlah lansia di Dusun Jomegatan adalah 171 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
purposive sampling dengan kriteria inklusi dan eksklusisebanyak 34 orang yang akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Pembagian kelompok sampel yang memenuhi kriteria inklusi akan dipilih secara simple random. Jumlah responden pada masing-masing kelompok adalah 17 orang, namun saat penelitian dua responden pada kelompok perlakuan tidak
mengikuti terapi tertawa selama dua kali pertemuan sehinggapeneliti melakukan drop out kepada kedua responden tersebut dan hanya terdapat 15 responden yang
memenuhi kriteria inklusi sebagai kelompok perlakuan. Sedangkan, jumlah responden pada kelompok kontrol adalah 17 orang sehingga jumlah seluruh responden pada penelitian ini adalah 32 orang.
Variabel penelitian yang digunakan adalah variabel independen yaitu perlakuan terapi tertawa pada lansia yang mengalami insomnia dengan skala
nominal dan variabel dependen yaitu derajat insomnia padalansiadikatakanskala ordinal. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta-Insomnia Rating Scale (KSPBJ-IRS) dengan wawancara kepada
responden. Analisis data pada penelitian ini menggunakan program software
komputer. Tahapan analisis data yang digunakan adalah analisis univariat yaitu untuk menghitung distribusi frekuensi dan persentase sehingga diketahui gambaran karakteristik responden, seperti mean, median, dan modus yang
digunakan untuk mendukung pembahasan dari penelitian. Analisis ini dilakukan pada faktor-faktor yang mempengaruhi derajat insomnia pada lansia seperti faktor
internal (usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit) dan faktor eksternal (status perkawinan, pekerjaaan dan dukungan keluarga).
Tahapan analisis data selanjutnya adalah analisis bivariat. Analisis bivariat
dalam penelitian ini adalah uji untuk distribusi data dengan menggunakan Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50 responden. Setelah dilakukan uji
normalitas didapatkan hasil data terdistribusi normal dengan nilai
4
kemaknaan/significant (p) >0,05. Kemudian dilakukan uji parametric yaitu uji paired sampel t-test untuk kelompok berpasangan dan independent sampel t-test untuk kelompok tidak berpasangan.Tahap ini meneliti hubungan antara dua
variabel yang meliputi variabel bebas dan terikat untuk membuktikan adanya pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan terapi tertawa terhadap derajat insomnia
pada lansia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada pertengahan bulan Februari sampai akhir bulan Maret 2014 selama 4 minggu di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan,
Bantul dengan jumlah responden sebanyak 32 orang, yaitu 15 responden sebagai kelompok perlakuan dan 17 responden sebagai kelompok kontrol. Analisa data yang digunakan meliputi analisis univariat dan analisis bivariat yang
dideskripsikan sebagai berikut ini: 1. Karakteristik Responden Penelitian
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=32, Juni 2014)
Karakteristik
Responden
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol Total
n=15 % n=17 % n %
Usia
60-74 tahun
15
100,0
17
100,0
32
100,0
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
5
10
33,3
66,7
5
12
29,4
70,6
10
22
31,2
68,8
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah
SD SMP
SMA Sarjana
6 6
1 1 1
40,0 40,0
6,7 6,7 6,7
11 4
- 2 -
64,7 23,5
- 11,8
-
17 10
1 3 1
53,1 31,2
3,1 9,4 3,1
Pekerjaan
Tidak bekerja Petani
Pedagang Buruh Pensiunan
12 1
1 - 1
80,0 6,7
6,7 -
6,7
15 -
- 2 -
88,2 -
- 11,8
-
27 1
1 2 1
84,4 3,1
3,1 6,2 3,1
Status Pernikahan
Janda/Duda Menikah
7 8
46,7 53,3
7 10
41,2 58,8
14 18
43,8 56,2
Riwayat Penyakit
Tidak ada Hipertensi
DM tipe 2 Asam urat
11 2
1 -
73,3 13,3
6,7 -
11 2
1 1
64,7 11,8
5,9 5,9
22 4
2 1
68,8 12,5
6,2 3,1
5
Ginjal
Asma Rematik
1
- -
6,7
- -
-
1 1
-
5,9 5,9
1
1 1
3,1
3,1 3,1
Status Tinggal
Bersama
Sendiri Keluarga
-
15
-
100,0
2 15
11,8 88,2
2 30
6,2 93,8
Sumber: Data Primer, 2014
Lansia mengalami perubahan pola tidur dibandingkan dengan orang yang lebih muda, dimana mencakup kelatenan tidur, terbangun di malam hari,
dan peningkatan jumlah tidur siang yang lebih lama juga menurun9.Usia yang lanjut merupakan faktor utama yang paling berhubungan dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur9.
Jumlah responden pada penelitian ini adalah 32 responden yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
dengan masing-masing sebanyak 17 responden sesuai dengan kriteria inklusi penelitian. Pada saat penelitian, terdapat dua responden pada kelompok perlakuan yang tidak mengikuti terapi tertawa dengan rutin sehingga peneliti
melakukan drop out. Jumlah akhir responden pada penelitian ini adalah 15 orang sebagai kelompok perlakuan dan 17 orang sebagai kelompok kontrol.
Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa usia responden berkisar antara 60 – 74 tahun dengan usia paling banyak adalah 70 tahun yaitu 9 orang (28,1%). Berdasarkan Sensus Penduduk 20106, Indonesia memiliki
jumlah lansia dengan usia lebih dari 60 tahun sebanyak 18,1 juta jiwa atau 9,6%. Menurut Nurmiati, proses penuaan atau pertambahan usia akan
mempengaruhi penurunan produksi hormon melatonin oleh kelenjar pineal di otak sehingga menyebabkan lansia cenderung mengalami gangguan tidur berupa insomnia.
Sebagian besar dari responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 22 orang (68,8%). Menurut Profil Kesehatan8, jumlah lansia paling
banyak berdasarkan jenis kelamin di Yogyakarta adalah perempuan yaitu 226.168 jiwa dan laki-laki berjumlah 184.999 jiwa. Berdasarkan angka harapan hidup (AHH)5 penduduk lansia yang paling banyak adalah perempuan
yaitu 8,2 % dan laki-laki sebanyak 6,9 %. Lansia berjenis kelamin perempuan lebih berpotensi mengalami insomnia dengan perbandingan 40% untuk lansia
perempuan dan 30% untuk lansia laki-laki. Sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah tidak sekolah
yaitu sebanyak 17 orang (53,1%). Menurut hasil Susenas tahun 2012
memperlihatkan pendidikan lansia relatif rendah karena tidak atau belum pernah sekolah yaitu 26,84% dan tidak tamat SD sebanyak 32,32%, serta
lulusan SD sebanyak 23,49%5. Tamher dan Noorkasiani mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah menghadapi masalah yang terjadi, baik masalah sosial, kesehatan, maupun
lainnya. Salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah gangguan tidur atau insomnia9.
6
Pekerjaan responden pada masing-masing kelompok paling banyak adalah sudah tidak bekerja lagi yaitu sebanyak 12 orang (80%) untuk kelompok perlakuan dan 15 orang (88,2%) untuk kelompok kontrol. Data
BPS5 mengungkapkan bahwa angka ketergantungan penduduk tua (old dependency ratio) adalah sebesar 11,90 yang menunjukkan bahwa setiap 100
orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 12 orang penduduk lansia.
Status pernikahan responden janda/duda pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol adalah sama yaitu sebanyak 7 orang (46,7% dan 21,9%). Sementara responden yang berstatus menikah sebanyak 8 orang (53,3%) untuk
kelompok pelakuan dan 10 orang (58,8%) untuk kelompok kontrol. Berdasarkan data BPS5, lansia berstatus menikah sebanyak 57,81% dan cerai mati sebanyak 39,06%. Maryam22 berpendapat bahwa salah satu faktor yang
dapat menyebabkan insomnia pada lansia adalah kehilangan pasangan atau cerai mati. Seseorang yang sedang dalam proses kehilangan seseorang yang
dicintai akan lebih beresiko untuk mengalami masalah psikologis, seperti insomnia, sehingga akan dibutuhkan proses koping untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi akibat stress dan kecemasan.
Sebagian besar responden mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit kronis yaitu sebanyak 11 orang untuk kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol (73,3% dan 64,7%). Sedangkan, beberapa responden mengatakan memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, DM tipe 2, asam urat, ginjal, asma, dan rematik pada kedua kelompok.
Semua responden penelitian baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol tinggal bersama dengan keluarga yaitu sebanyak 32 orang
(100%). Menurut Nugroho23, faktor sosial seperti kurangnya dukungan keluarga dapat menyebabkan seseorang beresiko mengalami insomnia, dimana dukungan keluarga tersebut dapat berupa adanya keluarga yang tinggal
bersama responden. 2. Gambaran Derajat Insomnia pada Lansia
Gambaran derajat insomnia pada lansia berdasarkan hasil dari kuesioner KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta-Insomnia Rating Scale) dari 32 orang responden yang berisi delapan pertanyaan terkait
gejala insomnia. Tabel 2 merupakan data derajat insomnia pretest dan posttest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Adapun gambaran derajat
insomnia pada lansia adalah sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi frekuensi derajat insomnia IP1 dan IP2 di Dusun
Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=15, Juni 2014)
Derajat Insomnia IP1 IP2
n % n %
Ringan Sedang Berat
8 4 3
53,3 26,7 20,0
10 5 -
66,7 33,3
-
Total 15 100 15 100
Sumber: Data Primer, 2014 Tabel 2 menunjukkan bahwa gambaran derajat insomnia pada lansia
7
sebelum diberikan terapi tertawa diperoleh data bahwa derajat insomnia paling banyak adalah insomnia ringan (tabel 2) sebanyak 8 orang (53,3%) dan setelah diberikan perlakuan mengalami perubahan menjadi 10 orang (66,7%). Selain
itu, terdapat 4 orang (26,7%) yang mengalami insomnia sedang dan 3 orang (20,0%) yang mengalami insomnia berat (tabel 2) juga mengalami perubahan
menjadi 5 orang (33,3%) dan tidak ada (0%). Hal ini menunjukkan adanya perubahan derajat insomnia yang signifikan dari derajat yang berat menjadi lebih ringan.
Tabel 3. Distribusi frekuensi derajat insomnia IK1 dan IK2 di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=17, Juni 2014)
Derajat Insomnia IK1 IK2
n % n %
Ringan
Sedang Berat
6
6 5
35,3
35,3 29,4
5
7 5
29,4
41,2 29,4
Total 17 100 17 100
Sumber: Data Primer, 2014
Sedangkan, pada kelompok kontrol diperoleh data bahwa responden mengalami peningkatan derajat insomnia (tabel 3) dari insomnia ringan
sebanyak 6 orang (35,3%) menjadi insomnia sedang yaitu sebanyak 7 orang (47,1%) dan insomnia berat yang hanya mengalami perubahan sedikit atau tidak sama sekali sebanyak 5 orang (29,4%). Hal ini menunjukkan tidak
terjadi perubahan derajat insomnia yang signifikan pada kelompok kontrol. Menurut peneliti, adanya perubahan derajat insomnia terjadi setelah
responden mendapatkan terapi tertawa dimana terapi ini akan membuat responden merasa tenang dan rileks sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur dari responden. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hae-jin &
Chang-ho17 diketahui bahwa terapi tertawa dapat digunakan sebagai intervensi pada lansia untuk menurunkan derajat insomnia dan gangguan tidur lainnya.
Tertawa akan merangsang pelepasan hormon endorfin, yang disebut juga sebagai morfin tubuh, untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga membuat tubuh menjadi lebih nyaman dan rileks11.
Kemudian kelompok kontrol yang tidak mengalami perubahan yang signifikan bisa dikarenakan oleh responden yang tidak mendapatkan terapi
tertawa sehingga responden masih merasa tidak tenang dan mempengaruhi kualitas tidur responden. Hal ini didukung dengan pernyataan Amirta24 mengenai beberapa faktor penyebab insomnia pada lansia antara lain adalah
stress atau kecemasan yang berlebihan, depresi, penyakit yang diderita, kurang olahraga, nutrisi yang kurang, lingkungan, serta obat yang dikonsumsi.
Adanya masalah gangguan tidur pada lansia akan menyebabkan perasaan bingung dan curiga serta perubahan fungsi tubuh seperti perubahan suasana hati, performa motorik, memori, keseimbangan, dan fungsi imun11.
3. Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Derajat Insomnia di Dusun
Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul
Hasil uji normalitas pada derajat insomnia responden berdasarkan nilai pretest dan posttest dari kedua kelompok adalah sebagai berikut:
8
Tabel 4. Hasil uji normalitas pada derajat insomnia responden berdasarkan nilai pretest dan posttest (n=32, Juni 2014)
Tests of
Normality
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Nilai Pretest
Nilai Posttest
0,948
0,966
32
32
0,123
0,401
Sumber: Data Primer, 2014 Berdasarkan tabel 4, hasil uji normalitas pada derajat insomnia
responden berdasarkan nilai pretest dan posttest dengan menggunakan Shapiro-Wilk didapatkan nilai signifikan sebesar 0,123 (p>0,05) dan 0,401 (p>0,05) yang berarti data terdistribusi normal. Sehingga analisis data yang
digunakan adalah uji Paired Sample t-test dan Independent Sample t-test. Hasil penelitian ini menggambarkan perbandingan antara derajat
insomnia pretest dan posttest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang ditunjukkan dengan tabel berikut: Tabel 5. Hasil uji Paired Samples t-test pada K-P dan K-K di Dusun
Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=32, Juni 2014)
Kelompok Mean Sig. (2-
tailed)
IP1-IP2
IK1-IK2 1,600
-0,294
0,000
0,136
Sumber: Data Primer, 2014 Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil uji Paired Sample t-test derajat
insomnia pretest dan posttest pada kelompok perlakuan didapatkanmean
sebesar 1,600 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia sebelum dan sesudah
diberikan terapi tertawa. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkanmean sebesar -0,294 dengan nilai signifikan sebesar 0,136 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Hasil uji Paired Sample t-test pada kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia sebelum dan sesudah
diberikan terapi tertawa. Responden yang mengalami insomnia pada kelompok perlakuan sesudah diberikan terapi tertawa terdapat penurunan derajat insomnia dari derajat insomnia berat ke derajat yang lebih ringan
dengan nilai signifikan sebesar 0,000 (p<0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi tertawa tidak terdapat perbedaan derajat
insomnia yang signifikan dengan nilai signifikan sebesar 0,136 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa terapi tertawa berpengaruh terhadap penurunan derajat insomnia pada lansia yang dapat memberikan rasa tenang dan rileks
sehingga lansia dapat dapat tidur lebih nyaman. Menurut Boedhi & Darmojo25, beberapa mekanisme yang dapat
mempengaruhi tidur seseorang adalah cahaya, suhu tubuh, dan hormon. Rangsangan cahaya dapat memberikan pengaruh terhadap neurotransmitter untuk melepas hormon pengatur suhu tubuh, kortisol, dan growth hormone.
Hormon ini yang berhubungan dengan siklus tidur-bangun seseorang25. Seiring dengan bertambahnya usia, melatonin sebagai hormon yang
9
diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur akan menurun sehingga membuat lansia cenderung mengalami insomnia26.
Tertawa adalah proses fisik yang berguna untuk mengurangi nyeri,
kecemasan, stress, kemarahan, dan ketakutan. Terapi ini dapat dilakukan oleh semua orang dengan mengeluarkan suara tawa dari mulut yang akan
melibatkan otot-otot wajah, perut, dan diafragma yang akan memperlancar peredaran darah sehingga membuat tubuh lebih bugar dan ceria27. Salah satu faktor penyebab insomnia pada lansia adalah stress atau kecemasan yang
berlebihan24. Dengan tertawa, tubuh akan merangsang pelepasan hormon endorfin untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga membuat tubuh
menjadi lebih nyaman dan rileks11. Tabel 6. Hasil uji Independent Samples t-test pada nilai posttest K-P dan K-K
di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=32, Juni 2014)
Kasihan, Bantul (n=32, Juni 2014)
Kelompok Mean Std. Deviation Sig. (2-tailed)
IP2
IK2 7,13 10,29
2,588 2,779
0,002
Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 6 menunjukkan bahwa uji Independent Samples t-test pada nilai posttest kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan selisih mean
sebesar 3,16 dengan nilai signifikan sebesar 0,002. Nilai ini lebih kecil daripada 0,05 sehingga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai posttest derajat insomnia kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Hasil uji Independent Samples t-test pada nilai posttest kelompok
perlakuan dan kelompok kontroldiperoleh nilai signifikan sebesar 0,002 (p<0,05). Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai posttest derajat insomnia kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada saat posttest berdasarkan hasil uji memiliki perbedaan yang bermakna karena kelompok
perlakuan telah diberikan terapi tertawa selama satu bulan, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan. Kelompok kontrol diberikan terapi tertawa yang sama dengan kelompok perlakuan setelah didapatkan data posttest yang
diperlukan. Hal ini membuat hipotesis penelitian dapat diterima, yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara pemberian terapi tertawa terhadap penurunan
derajat insomnia pada lansia di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa terapi tertawa dapat digunakan
sebagai suatu terapi yang dapat menurunkan derajat insomnia, terutama pada lansia. Hal ini dapat terjadi karena responden mengikuti terapi yang diberikan
peneliti dengan baik dan benar. Responden sangat antusias dengan terapi yang diberikan dan merasa ada perbedaan yang berhubungan dengan derajat insomnianya setelah mengikuti terapi tertawa selama satu bulan.
Hasil tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hae-jin & Chang-ho17 bahwa terapi tertawa dapat digunakan sebagai intervensi pada
lansia untuk menurunkan derajat insomnia dan gangguan tidur lainnya. Terapi
10
ini akan merangsang pelepasan hormon endorfin, yang disebut juga sebagai morfin tubuh, untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga membuat tubuh menjadi lebih nyaman dan rileks11. Masalah-masalah kesehatan yang
berhubungan dengan insomnia, seperti stress, cemas, penurunan kognitif, dan lainnya, juga dapat dikurangi dengan terapi tertawa17.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat pengaruh yang signifikan pada pemberian terapi tertawa terhadap derajat insomnia pada lansia di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
Saran
Perlu adanya program yang melatih terapi tertawa pada lansia sehingga dapat dijadikan salah satu cara alternatif untuk menurunkan derajat insomnia pada
lansia. Lansia juga harus berperan aktif dan mandiri dalam upaya meningkatkan derajat kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik . Yogyakarta:
Nuha Medika. 2. Mubarak, W. I., Chayatin, N., & Santoso, B. A. (2009). Ilmu Keperawatan
Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika. 3. Ismayadi. (2004). Proses Menua. Artikel. USU Digital Library. Diakses
tanggal 14 November 2013, dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3595/1/keperawatan-ismayadi.pdf
4. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Diakses tanggal 29 Januari 2014, dari
http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf 5. Badan Pusat Statistik. (2012). Penduduk Menurut Umur Dan Jenis Kelamin
dalam Angka Yogyakarta. Yogyakarta.Diakses tanggal 30 Oktober 2013, dari http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_
INDONESIA_TAHUN_2011.pdf 6. Departemen Kesehatan RI. (2012). Sehat Dan Aktif Di Usia Lanjut.
Departemen Kesehatan RI. Diakses tanggal 13 Januari 2014, dari http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2143
----------. (2013). Buletin Lansia- Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia. Diakses tanggal 4 Januari 2014, darihttp://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf
----------. (2013). Buletin Lansia- Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia semserter I. Diakses tanggal 20 Juni 2014, dari http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf
7. Dinas Kesehatan DIY. (2012). Profil Kesehatan Penduduk Indonesia. Departemen Kesehatan Provinsi DIY.
11
8. ----------. (2013). Yogyakarta diakses tanggal 20 Juli 2014 melalui http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/14_Profil_Kes.Prov.DIYogyakarta_2012.pdf
9. Stanley, M. & Beare, P. G. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (2nded). Jakarta: EGC.
10. Galea, M. (2008). Subjective Sleep Quality in The Elderly: Relationship to Anxiety, Depressed Mood, Sleep Beliefs, Quality of Live, and Hipnotic Use. Journal, School of Psychology, Victoria University. Diakses
tanggal 13 Januari 2014, dari http://vuir.vu.edu.au/1520/1/Galea.pdf 11. Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik (4thed.). Jakarta: EGC. ----------. (2010). Fundamental Keperawatan.Ed. 7.Buku 3. Jakarta: Salemba
Medika.
12. Suryadi, S. (2008). Perbedaan Insomnia pada Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi dan Belum Mengerjakan Skripsi. Skripsi Strata
Satu, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 13. Busko, M & Vega, C. (2008). Persistent Insomnia May Blunt Esponse to
Depression Treatment in Elderly CME. Diakses tanggal 30 November
2013, dari http://www.medscape.com/viewarticle/572736 14. Melillo, K.D., & Houde, S.C. (2005). Geropsychiatric and Mental Health
Nursing. USA: Jones and Batlett. Diakses tanggal 13 Januari 2014, dari http://books.google.co.id/books/about/Geropsychiatric_and_Mental_H
ealth_Nursin.html?id=cQzAyxtZixkC&redir_esc=y 15. Susilowati, P. (2008). Insomnia. Diakses tanggal 14 November 2013 dari
http://www.e-psikologi.com/artikel/klinis/insomnia 16. Nabil, S., Kamel., Julie, K., & Gammack. (2006). Insomnia pada Usia Lanjut:
Penyebab, Pendekatan, dan Pengobatan. (Ika Syamsul Huda,
penerjemah). The American Journal of Medicine 199, 463-469. Diakses tanggal 14 November 2013 dari
http://pdfcast.org/download/gangguan-tidur-pada-usia-lanjut-insomnia.pdf
17. Hae-Jin, K. & Chang-Ho, Y. (2011). Effect of Laughter Therapy on
Depression, Cognition and Sleep Among the Community-Dwelling Elderly. Japan Geriatrics Society. Diakses tanggal 19 Oktober 2013,
dari http://laughterourbestmedicine.com/images/peerrev.pdf 18. Subandi, M. A. (2002). Psikoterapi: Pendekatan Konvensional dan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
19. Fauzan, L. (2009). Teknik Konseling Individu Relaksasi. Diakses tanggal 30 November 2013, dari
http://lutfifauzan.wordpress.com/2009/12/29/teknik-konseling-individu-relaksasi/
20. Purwanto, S. (2007). Terapi Insomnia. Diakses tanggal 14 November 2013,
dari http://klinis.wordpress.com 21. Erliana, E., Haroen, H., & Susanti, D. R. (2008). Perbedaan Tingkat Insomnia
Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Terapi Relaksasi Otot Progresif
12
(Progressive Muscle Relaxation) di BPSTW Ciparay Bandung. Diakses tanggal 13 Januari 2014, dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/perbedaan_tingkat_insomnia_lansia.pdf
22. Maryam, R. S., Ekasari, M. F., Rosidawati, Juaedi, A., & Batubara, I. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
23. Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik . Ed. 3. Jakarta: EGC.
24. Amirta, Y. (2009). Tidur Bermutu, Rahasia Hidup Berkualitas. Purwokerto:
Keluarga Dokter. 25. Boedhi & Darmojo. (2009). Buku Ajar Geriatrik (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Ed. Martono, H & Pranaka, K. ed. 4. Jakarta: FKUI. 26. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. K., & Setiati, S.
(2006). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 27. Kataria, M. (2010). Certified Laughter Yoga Leader Training (CLYL).
Bangalore. Diakses tanggal 14 November 2013, dari http://ebookbrowse.com/2010-leader-training-flyer-doc-d119936081