PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP KADAR SGOT …
Transcript of PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP KADAR SGOT …
PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ASFIKSIA
ADENOSINE EFFECT ON SGOT AND SGPT LEVELS IN ASPHYXIATED WISTAR RATS (Rattus norvegicus)
SRI FAUZIAH N111 14 059
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ASFIKSIA
ADENOSINE EFFECT ON SGOT AND SGPT LEVELS IN ASPHYXIATED WISTAR RATS (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
SRI FAUZIAH N111 14 059
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar adalah hasil
karya saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak benar,
maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, 12 April 2018
Yang menyatakan,
Sri Fauziah
N111 14 059
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,
karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Pengaruh Pemberian Adenosin Terhadap Kadar SGOT dan SGPT
Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Asfiksia”.
Keberhasilan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak di antaranya, Ibu Yulia Yusrini Djabir, S.Si., MBM.Sc.,
M.Si., Ph.D., Apt sebagai pembimbing utama, Bapak Firzan Nainu, S.Si.,
M.Biomed.Sc., M.Si., Ph.D., Apt sebagai pembimbing pertama dan Bapak Usmar,
S.Si., M.Si., Apt sebagai pembimbing kedua, yang dengan ikhlas meluangkan
waktu dalam membimbing dan memberi masukan dalam proses penyusunan
skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada tim penguji skripsi
yaitu, Ibu Prof. Dr. Asnah Marzuki, M.Si., Apt sebagai ketua peguji, Bapak Anshar
Saud, S.Si., M.Farm., Apt sebagai sekretaris dan Bapak Drs. H. Hasyim Bariun,
M.Si., Apt sebagai anggota, yang juga sangat membantu dalam proses ini.
Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis haturkan kepada kedua orang
tua penulis dan segenap keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan,
baik moril maupun materil, serta doa yang senantiasa mereka panjatkan untuk
penulis agar diberi kemudahan dalam menyelesaikan semua tahap untuk
mencapai gelas sarjana.
Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada :
1. Dekan, Wakil Dekan, serta staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
atas bantuan yang begitu besar dalam proses penyusunan skripsi ini.
vii
2. Ibu Dr. Aliyah, MS., Apt selaku dosen penasihat akademik yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dari semester awal
hingga semester akhir.
3. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian yaitu Desya Faradila Ismi dan
Jauhari yang selalu mendampingi dari awal penelitian hingga akhir.
4. Sahabat-sahabat terbaik yakni Haeriah dan Musfirah, yang senantiasa
memberikan dorongan, masukan yang membangun dan selalu ada di saat
penulis membutuhkan, dari awal menjadi mahasiswa hingga sekarang.
5. Dewi Isrianti dan St. Fatimah, selaku sahabat penulis dari TK hingga
sekarang yang juga sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
6. Saudara-saudari ku di Famasi yakni angkatan 2014 (HIOS14MIN) yang
sangat berperan penting bagi penulis, melalui proses yang begitu panjang,
melewati masa-masa sulit hingga masa-masa indah bersama yang tak akan
pernah penulis lupakan.
7. Kepada semua pihak yang telah berperan dalam memberikan bantuan baik
secara langsung ataupun tidak langsung, penulis ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini, masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
meminta maaf atas hal tersebut. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan di masa yang akan datang.
Makassar, 12 April 2018
Penulis
viii
ABSTRAK
SRI FAUZIAH. Pengaruh Pemberian Adenosin Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Asfiksia (dibimbing oleh Yulia Yusrini Djabir, Firzan Nainu, dan Usmar). Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian adenosin terhadap kadar SGOT dan SGPT tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi asfiksia. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui durasi optimum dari asfiksia dan mengetahui efek protektif adenosin, dilihat dari penurunan kadar SGOT dan SGPT tikus putih yang diinduksi asfiksia. Pada penelitian ini digunakan empat kelompok hewan coba pada penentuan durasi asfiksia, yaitu kontrol sehat, asfiksia durasi 3 menit, 6 menit, dan 9 menit. Pada uji efek protektif adenosin digunakan tiga kelompok yaitu, kontrol negatif (hanya diberikan NaCl 0,9%), adenosin dosis 1 mg/kg, dan adenosin dosis 1,5 mg/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asfiksia dengan durasi 9 menit merupakan durasi optimum karena memiliki nilai SGOT dan SGPT yang paling tinggi dibandingkan semua kelompok (p<0,05), adapun pada uji efek protektif adenosin didapatkan penurunan kadar SGOT dan SGPT pada dosis 1 mg/kg dibandingkan dengan kontrol negatif (NaCl 0,9%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa adenosin dosis 1 mg/kg memiliki efek protektif terhadap sel hati yang mengalami kerusakan akibat induksi asfiksia.
Kata kunci : Adenosin, Asfiksia, SGOT, SGPT
ix
ABSTRACT
SRI FAUZIAH. Adenosine effect on SGOT and SGPT levels in asphyxiated wistar rats (Rattus norvegicus) (supervised by Yulia Yusrini Djabir, Firzan Nainu, and Usmar). A research about adenosine effect on SGOT and SGPT levels in asphyxiated Wistar rats (Rattus norvegicus) has been studied. The purpose of this study is to determine the optimum duration of asphyxia to cause liver damage and to evaluated the protective effect of adenosine by measuring plasma levels of SGOT and SGPT in asphyxiated Wistar rats. In this study, four animal groups were used to determine the duration of asphyxia, i.e, healthy control, asphyxiated groups with 3 minutes, 6 minutes, and 9 minutes duration. In the adenosine protective effect study, three groups were used, include, negative control (given only 0.9% NaCl), adenosine dose 1 mg/kg, and adenosine dose 1.5 mg/kg. The results showed that 9 minute asphyxia resulted in the highest plasma SGOT and SGPT values compared to all groups (p <0.05). As for the adenosine protective effect study, the lower level of plasma SGOT and SGPT were found with adenosine 1 mg/kg compared with those of negative control (NaCl 0.9%). So it can be concluded that adenosine dose 1 mg/kg had protective effects on liver cells that are damaged by induced asphyxia. Keywords: Adenosine, Asphyxia, SGOT, SGPT
x
DAFTAR ISI
halaman
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.1 Asfiksia 3
II.1.1 Pengertian Asfiksia 3
II.1.2 Etiologi Asfiksia 4
II.1.2.1. Asfiksia Mekanik 4
II.1.2.1.1 Suffocation 4
II.1.2.1.1.1 Vitiated Atmosphere 4
II.1.2.1.1.2 Smothering 4
II.1.2.1.1.3 Internal Airway 5
II.1.2.1.1.3.1 Choking 5
II.1.2.1.1.3.2 Airway Swelling and Obstruction 5
II.1.2.1.2 Neck Compression 5
II.1.2.1.2.1 Hanging 5
II.1.2.1.2.2 Strangulation 6
xi
halaman
II.1.2.1.3 Chest Compression 6
II.1.2.1.4 Postural (Positional) Asphyxia 6
II.1.2.1.5 Miscellaneous 6
II.1.2.2 Asfiksia Kimia 7
II.1.2.2.1 Karbon Monoksida (CO) 7
II.1.2.2.2 Sianida 7
II.1.2.2.3 Hidrogen Sulfida 8
II.1.3 Patofisiologi Asfiksia Terhadap Beberapa Organ 8
II.1.3.1 Otak 8
II.1.3.2 Jantung 10
II.1.3.3 Hati 11
II.2 Biomarker Hati 12
II.2.1 SGOT & SGPT 12
II.2.2 ALP (Alkaline Phosphatase) 13
II.2.3 LDH (Laktat Dehidrogenase) 14
II.3 Adenosin 14
II.3.1 Sifat Fisika Kimia 15
II.3.2 Mekanisme Kerja 16
II.3.3 Farmakokinetik 16
II.3.4 Efek Protektif Adenosin 17
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 19
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 19
xii
halaman
III.2 Metode Kerja 19
III.2.1 Penyiapan Hewan Coba 19
III.2.2 Penyiapan Larutan Uji 19
III.2.3 Perhitungan Volume Pemberian 20
III.2.3.1 Injeksi Na. Thiopental 20
III.2.3.2 Larutan Adenosin 20
III.2.4 Prosedur Percobaan 21
III.2.4.1 Penentuan Durasi Asfiksia 21
III.2.4.2 Prosedur Induksi Asfiksia 21
III.2.4.3 Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan Enzim SGOT dan SGPT Hati yang Diinduksi Asfiksia 22
III.2.5 Preparasi dan Evaluasi Fungsi Hati Tikus Putih 22
III.2.6 Analisis Kadar SGOT 22
III.2.7 Analisis Kadar SGPT 23
III.2.8 Analisis Statistik 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24
BAB V PENUTUP 29
V.1 Kesimpulan 29
V.2 Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 32
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
1. Penentuan durasi asfiksia yang menimbulkan kenaikan tertinggi kadar SGOT dan SGPT sebagai dasar untuk pemberian perlakuan selanjutnya 25
2. Rata-rata ± SD kadar SGOT dan SGPT pada tikus sehat dan setelah
perlakuan 27
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
1. Rumus struktur adenosin 16
2. Profil rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada tikus yang diinduksi Asfiksia 25 3. Grafik uji efek protektif adenosin terhadap penurunan kadar SGOT dan SGPT 27 4. Pemberian Natrium Thiopental secara i.p pada hewan coba 39
5. Proses pembedahan hewan coba 39
6. Trakeostomi 39
7. Proses induksi asfiksia 39
8. Pemberian adenosin secara i.p 39
9. Pengambilan darah melalui vena femoral 39
10. Proses sentrifugasi 40
11. Penimbangan adenosin 40
12. Pengukuran dengan Human Analyzer 40
xv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN halaman
1. Skema kerja penentuan durasi asfiksia 32
2. Skema kerja uji efek protektif adenosin 33
3. Skema kerja pengukuran kadar SGOT dan SGPT 34
4. Data hasil analisis statistik 35
5. Dokumentasi gambar 39
6. Rekomendasi Persetujuan Kode Etik 41
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Asfiksia adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang mengalami
kehilangan kesadaran, akibat terlalu sedikitnya oksigen ataupun terlalu
banyaknya karbondioksida dalam darah (Dix et al., 2000). Dampak dari
keadaan asfiksia tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia dan asidemia yang
selanjutnya akan meningkatkan penggunaan sumber energi dan mengganggu
sirkulasi (Manoe dan Idham, 2003; Gomella et al., 1992).
Penyebab asfiksia dikategorikan ke dalam dua kelompok yakni mekanik
dan kimiawi. Asfiksia mekanik diartikan bahwa aliran udara ke dalam tubuh
terganggu akibat dari beberapa hambatan fisik, hal ini tergantung pada lokasi
penyumbatan pernapasan. Adapun asfiksia kimiawi biasanya terjadi reaksi antara
bahan kimia dan tubuh, mengakibatkan gangguan penyerapan oksigen,
transportasi ataupun pemanfaatannya (Dix et al., 2000). Adapun prevalensi
kejadian asfiksia yaitu pada bayi sekitar 28%, sedangkan pada orang dewasa
asfiksia dapat terjadi saat operasi, terutama pada operasi jantung, terhitung lebih
dari 30% dari total kasus (Pattar et al., 2015; Sandroni et al., 2004).
Asfiksia akan menyebabkan redistribusi aliran darah (refleks diving) ke
otak, jantung dan kelenjar adrenal, sehingga aliran darah ke organ lain akan
berkurang. Selain itu, terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan keadaan
asidosis. Mekanisme refleks diving dan asidosis akan menyebabkan kerusakan
sel hati yang dapat menyebabkan disfungsi hati (Alhadar dkk, 2010). Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar enzim serum
2
glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT), dan serum glutamic pyruvic
transaminase (SGPT), pada seseorang yang mengalami asfiksia, yang
mengindikasikan terjadinya disfungsi hati (Patra et al., 2016).
Adenosin adalah nukleosida endogen yang ditemukan di setiap sel tubuh
yang memiliki fungsi kardioprotektif dan homeostatik. Pembentukan adenosin
meningkat ketika terjadi ketidakseimbangan metabolisme oksigen dengan suplai
oksigen pada jaringan (Sachdeva and Gupta, 2013). Telah diperoleh penelitian
yang menunjukkan bahwa adenosin dapat menginduksi sintesis nitrit oksida, yang
berfungsi sebagai sitoprotektif terhadap hati (Peralta et al., 1999).
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana pengaruh durasi asfiksia terhadap kadar SGOT dan SGPT
pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang mengalami hipoksia ?
2. Apakah pemberian adenosin secara intraperitoneal dapat memberikan efek
protektif terhadap hati yang mengalami hipoksia akibat induksi asfiksia,
dilihat dari kadar SGOT dan SGPT ?
I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. untuk mengetahui durasi asfiksia yang optimum untuk meningkatkan
SGOT dan SGPT pada tikus putih (Rattus norvegicus).
2. untuk mengetahui efek protektif adenosin terhadap peningkatan kadar
enzim SGOT dan SGPT pada tikus putih yang diinduksi asfiksia.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Asfiksia
II.1.1 Pengertian asfiksia
Istilah asfiksia secara harfiah berarti “without a pulse”, penggunaan istilah
asfiksia digunakan pada kasus tubuh mengalami penurunan kadar oksigen yang
signifikan sebagai hasil dari lemahnya pemenuhan kebutuhan oksigen oleh
jaringan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen (hypoxia),
ataupun tidak adanya oksigen (anoxia) (Prahlow and Byard, 2012).
Asfiksia adalah hilangnya kesadaran sebagai akibat dari terlalu sedikitnya
oksigen dan terlalu banyaknya karbondioksida dalam darah. Dalam kedokteran
forensik, asfiksia adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
berbagai keadaan yang mengakibatkan terjadi gangguan dalam pengambilan dan
atau pemanfaatan oksigen (Dix et al., 2000).
Asfiksia adalah keadaan fisiologis dan kimiawi dalam organisme hidup
yang menyebabkan ketersediaan oksigen untuk metabolisme sel berkurang
secara akut, dan dikaitkan dengan ketidakmampuan untuk menghilangkan
karbondioksida. Beberapa buku teks fisiologi mendefinisikan asfiksia dalam dua
istilah yakni, hipoksia yang berarti pasokan oksigen yang tidak mencukupi ke
jaringan, dan hiperkapnea yang berarti peningkatan karbondioksida dalam darah
dan jaringan. Kadar oksigen normal dalam aliran darah arteri (pO2) dengan
saturasi 95% dari hemoglobin berkisar antara 90-100 mmHg dengan umur 30
tahun dan 65-80 mmHg pada umur 60 tahun ke atas (Vij, 2011).
4
II.1.2 Etiologi asfiksia
Penyebab asfiksia dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok
yakni secara mekanik dan kimiawi. Asfiksia mekanik dapat diartikan bahwa aliran
udara ke dalam tubuh terganggu akibat dari beberapa hambatan fisik, hal ini
tergantung pada lokasi penyumbatan pernapasan (Dix et al., 2000; Vij, 2011).
Adapun asfiksia kimiawi biasanya terjadi reaksi antara bahan kimia dan tubuh,
terutama mengakibatkan gangguan penyerapan oksigen, transportasi, ataupun
pemanfaatannya (Dix et al., 2000).
II.1.2.1 Asfiksia mekanik
II.1.2.1.1 Suffocation (kekurangan napas)
II.1.2.1.1.1 Vitiated atmosphere
Kerusakan atmosfir, dalam hal ini kurangnya oksigen yang memadai, hal
ini dapat terjadi karena adanya perpindahan atau penipisan oksigen. Oksigen
dapat digantikan oleh gas lain yang tidak beracun seperti metana (gas alam),
nitrogen atau argon. Oksigen dapat digunakan sehingga tidak mencukupi
konsentrasi atmosfir jika tidak dilakukan pengisian kembali. Penumpukan
karbondioksida sering terjadi saat oksigen telah habis digunakan oleh
manusia/hewan. Kematian bisa terjadi meskipun korban mampu bernapas dan
sistem pernapasan tidak terganggu (Dix et al.,2000).
II.1.2.1.1.2 Smothering (external airway)
Smothering (cekikan) adalah penyumbatan pada perjalanan udara dengan
adanya oklusi pada mulut atau hidung. Oklusi dapat disebabkan oleh berbagai
jenis objek termasuk hal-hal seperti tangan, bantal, atau kantong plastik.
5
Sesekali, bahan dari benda yang mencekik dapat ditemukan di sekitar hidung
atau mulut (Dix et al., 2000; Prahlow and Byard, 2012).
II.1.2.1.1.3 Internal airway
II.1.2.1.1.3.1 Choking
Choking (tersedak) melibatkan penyumbatan jalan napas seperti faring
posterior, laring, trakea, dan bronkus, oleh adanya benda asing (Dix et al.,2000).
Choking terjadi saat adanya penyumbatan saluran udara yang mentransfer udara
dari mulut dan hidung ke jaringan paru-paru. Penyebab paling umum terjadinya
choking adalah impaksi bahan seperti makanan (Prahlow and Byard, 2012).
II.1.2.1.1.3.2 Airway swelling and obstruction
Obstruksi saluran pernapasan dapat terjadi jika ada pembengkakan
jaringan di sekitar atau lapisan jalan napas. Pembengkakan bagian tersempit
dari saluran pernapasan biasanya juga termasuk dalam kasus ini. Biasanya,
pembengkakan akan melibatkan laring, jaringan lunak yang berada di atas
laring atau saluran udara yang lebih kecil dalam paru-paru (bronki atau
bronkiolus). Pembengkakan saluran napas disebabkan oleh sejumlah kondisi di
antaranya reaksi alergi akut (anafilaksis), infeksi bakteri, tumor, iritasi akibat
zat kimia, trauma, dan mucus (Dix et al., 2000).
II.1.2.1.2 Neck compression
II.1.2.1.2.1 Hanging
Hanging (gantung) adalah kondisi yang mengacu pada situasi dimana
berat dari tubuh korban itu sendiri meyebabkan tekanan pada leher (Dix et al.,
2000; Prahlow and Byard, 2012; Vij, 2011).
6
II.1.2.1.2.2 Strangulation
Strangulation (pencekikan) merupakan kondisi yang terjadi ketika ada
tekanan mekanik yang diberikan terhadap leher, dalam hal ini berat dari tubuh
korban tidak berpengaruh terhadap tekanan yang diberikan. Terdapat dua jenis
pencekikan yaitu, ligature strangulation atau yang memanfaatkan ligatur
dan manual strangulation atau yang hanya memanfaatkan tangan. Mayoritas
kasus pencekikan adalah pembunuhan (Prahlow and Byard, 2012).
II.1.2.1.3 Chest compression
Tekanan pada dada atau perut bagian atas dapat menyebabkan kematian
dengan cara menghambat pernapasan atau meningkatkan tekanan intrathoracic.
Asfiksia jenis ini kadang disebut asfiksia traumatik (Dix et al., 2000; Vij, 2011).
Adapun jenis kasus dalam hal ini seperti tertimpa bangunan roboh, kecelakaan
industri atapun kecelakaan mobil (Vij, 2011).
II.1.2.1.4 Postural (positional) asphyxia
Dalam situasi ini, pernapasan terhambat yang diakibatkan oleh posisi
tubuh korban yang tidak biasa atau sedemikian rupa, sehingga pernapasan tidak
dapat dipertahankan (Dix et al., 2000; Prahlow and Byard, 2012).
II.1.2.1.5 Miscellaneous
Asfiksia diakibatkan oleh adanya luka yang menyebabkan pernapasan
tidak efektif, misalnya terjadi ruptur pada diafragma. Asfiksia juga dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang mempengaruhi paru-paru secara
fisik sehingga menghambat transfer oksigen ke dalam darah. Adapun contoh
penyakit pada kondisi ini yaitu fibrosis paru dan emfisema (Dix et al., 2000).
7
II.1.2.2 Asfiksia kimia
Asfiksia kimia melibatkan reaksi antara bahan kimia dan tubuh, sehingga
berakibat pada gangguan pengambilan oksigen, transportasi, dan atau
pemanfaatannya (Dix et al., 2000). Asfiksia kimia dapat menyebabkan gangguan
fisiologis dimana terjadi kekurangan oksigen karena, adanya penggantian oleh
gas lain atau bahan kimia lainnya (Vij, 2011).
II.1.2.2.1 Karbon monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) diproduksi oleh adanya pembakaran bahan bakar
yang tidak sempurna, dimana bahan tersebut mengandung karbon contohnya
bensin (Prahlow and Byard, 2012). Karbon monoksida adalah gas yang tidak
berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa (Dix et al., 2000). Setelah karbon
monoksida memasuki paru-paru, dengan cepat akan menyebar ke aliran darah
dan berikatan dengan hemoglobin, molekul pengangkut oksigen di dalam sel
darah merah. Karbon monoksida memiliki afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap
hemoglobin dibandingkan dengan oksigen. Ketika karbon monoksida berikatan
dengan hemoglobin maka hal ini akan mencegah pengikatan oksigen dan secara
efektif mematikan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen ke sel. Selain
menghambat ikatan antara oksigen dan hemoglobin, karbon monoksida juga
memiliki efek beracun terhadap metabolisme seluler. Salah satu penanda
seseorang telah terpapar karbon monoksida adalah terjadi perubahan warna
menjadi pink cerry pada kulit dan jaringan lunak (otot) (Prahlow and Byard, 2012).
II.1.2.2.2 Sianida
Sianida merupakan racun mematikan dengan mekanisme kerja sebagai
agen asfiksia seluler dengan cara mengikat sitokrom oksidase, yaitu enzim
8
yang berguna dalam proses pemanfaatan oksigen secara normal. Setelah sianida
berikatan dengan sitokrom oksidase, enzim tersebut tidak lagi berfungsi
dengan baik, sehingga mengakibatkan sel, jaringan, dan organisme
mati (Prahlow and Byard, 2012). Keracunan sianida paling cepat mempengaruhi
otak dan jantung. Pada korban jiwa, timbulnya gejala hingga menimbulkan
kematian biasanya cepat, terutama jika sianida dihirup (Dix et al., 2000).
II.1.2.2.3 Hidrogen sulfida
Hidrogen sulfida memiliki mekanisme kerja yang hampir sama dengan
sianida, yaitu dengan meracuni proses fosforilasi oksidatif, sehingga mencegah
penggunaan oksigen pada tingkat sel. Hidrogen sulfida di temukan pada proeses
alami yang terjadi misalnya, letusan gunung berapi dan produk samping dari
proses industri seperti penyulingan minyak. Hidrogen sulfida telah digunakan
sebelumnya untuk bunuh diri karena dapat dihasilkan dari berbabagai bahan
kimia yang telah tersedia. Kematian akibat keracunan hidrogen sulfida dapat
diketahui dengan melihat adanya perubahan warna yaitu warna hijau pada
jaringan (Prahlow and Byard, 2012).
II.1.3 Patofisiologi asfiksia terhadap beberapa organ
II.1.3.1 Otak
Kerusakan sistem saraf pusat berhubungan dengan kejadian asfiksia yang
disebut sebagai Hypoxic ischemic Encephalopathy (Choudhury et al., 2014).
Kerusakan akibat hipoksia iskemik pada otak merupakan penyebab kematian
yang signifikan dan kerusakan neurologis baik pada anak-anak maupun pada
orang dewasa (Huang, 2008).
9
Kematian sel saraf pada manusia setelah hipoksia iskemik disebabkan
karena nekrosis dan apoptosis. Nekrosis menyebabkan terjadinya pembengkakan
sel, gangguan sitoplasma organ, kehilangan integritas membran, lisis sel, dan
aktivasi respon inflamasi. Sedangkan apoptosis yaitu penyusutan sel, kondensasi
kromatin, fragmentasi genomik dan tanpa adanya respon inflamasi. Pada proses
apoptosis terdapat dua jalur, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik
melibatkan aktivasi caspase-3, sedangkan jalur kedua melibatkan faktor induksi
apoptosis. Kedua proses dari kematian sel tersebut dapat ditemukan pada
sesorang yang mengalami hipoksia iskemik (Perlman, 2007).
Gangguan utama pada sel di dalam susunan saraf pusat (SSP) akibat
ensefalopati hipoksik-iskemik adalah defisit suplai oksigen yang disebabkan
oleh dua hal yaitu hipoksia dan iskemia. Sumber energi otak adalah oksigen
dan glukosa, pada keadaan hipoksemia, glukosa yang masuk ke dalam
otak meningkat, glikogenolisis meningkat, glikolisis meningkat, glukosa otak
menurun karena pemakaian glukosa lebih banyak dibandingkan glukosa
yang masuk, pembentukan asam laktat meningkat (H+) karena glikolisis
anaerob dan gangguan penggunaan piruvat, ATP menurun, fosforilasi oksidatif
menurun. Pada iskemia, perfusi darah yang masuk ke dalam sebagian
atau seluruh otak menurun, sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel otak
menurun, glikogenolisis meningkat, glikolisis meningkat, pembentukan laktat
meningkat menyebabkan asidosis, ATP menurun, akumulasi asam dan no reflux
phenomen (Manoe dan Idham, 2003).
Pada iskemia terjadi gangguan peredaran darah yang menyebabkan
pengeluaran laktat terhambat, sehingga pH lebih cepat menurun dibandingkan
10
dengan hipoksemia. Juga diperkirakan hipoperfusi otak pasca asfiksia,
mengakibatkan konsumsi O2 berkurang yang akan menyebabkan kerusakan sel
otak (Manoe dan Idham, 2003).
II.1.3.2 Jantung
Asfiksia dapat menyebabkan hypoxic ischemic encephalopathy dan
kerusakan beberapa organ. Organ yang paling besar dipengaruhi oleh kondisi
hipoksia adalah sistem kardiovaskular dan menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik (Polglase et al., 2016).
Pada kondisi asfiksia, terjadi perubahan kardiovaskular dan sistem
pernapasan. Pada permulaan asfiksia, terjadi fase primary apnea yang dikaitkan
dengan bradikardi. Pada kondisi ini tekanan darah akan dipertahankan karena
vasokontriksi perifer dan pengalihan darah dari organ non vital ke jantung, sistem
saraf pusat, dan kelenjar adrenal. Jika asfiksia berlanjut, maka akan memasuki
fase secondary apnea atau terminal apnea yang dikaitkan dengan penurunan
tekanan darah sehingga akhirnya terjadi serangan jantung (Polglase et al., 2016).
Peningkatan kerja jantung diamati segera setelah terjadinya asfiksia
untuk meningkatkan aliran darah ke jantung dan melindungi organ tersebut dari
pengaruh hipoksia. Kerusakan miokard berkembang setelah gagalnya
mekanisme kompensasi dalam melawan hipoksia. Ekokardiografi dan
pengukuran enzim jantung digunakan untuk menilai adanya disfungsi miokard.
Troponin I (cTnI) dan troponin T (cTnT) merupakan protein pengatur yang
mengontrol interaksi antara aktin dan miosin. Enzim tersebut merupakan penanda
adanya kerusakan miokard dan terjadi peningkatan pada sesorang yang
mengalami asfiksia. Tingkat serum cTnI pada 72 jam setelah kejadian asfiksia
11
merupakan prediktor yang signifikan terhadap angka kematian bayi baru lahir
yang mengalami hipoksia iskemik. Selain itu, terjadi peningkatan protein
kreatin kinase myokardial (CK-MB) secara proporsional dengan tingkat keparahan
hipoksia iskemik (Antonucci et al., 2014).
II.1.3.3 Hati
Pada kondisi asfiksia, secara otomatis terjadi mekanisme perlindungan
secara kolektif yang disebut “diving reflex” dimana darah di berbagai organ
seperti ginjal, paru-paru, saluran gastrointestinal, dan hati yang tersedia
didistribusikan kembali ke beberapa organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar
adrenal, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada beberapa organ
tersebut (Choudhury et al., 2014; Choudhary et al., 2015). Disfungsi beberapa
organ secara mekanis berhubungan dengan “reflex diving” yang secara otomatis
diaktifkan oleh kondisi asfiksia, yang terdiri dari perpindahan aliran darah dari kulit
dan area splanchnic ke jantung, otak, dan kelenjar adrenal untuk melindungi
organ-organ vital tersebut dari cedera hipoksia iskemik (Choudhury et al., 2014).
Hati menerima hampir seperempat suplai darah dari vena porta dan
sisanya melalui arteri hepatika. Mekanisme “reflex diving” menyebabkan
pengurangan aliran darah baik dari vena porta maupun arteri
hepatik (Chavi et al., 2014). Berdasarkan hal tersebut, ada kemungkinan bahwa
seseorang yang mengalami disfungsi jantung atau disfungsi otak yang
diakibatkan oleh asfiksia, maka orang tersebut juga akan memiliki disfungsi organ
yang lain selain otak dan jantung, terutama ginjal dan hati (Choudhury et al.,
2014).
12
Pada kasus asfiksia yang terjadi pada hati, kematian sel terjadi karena
nekrosis atau apoptosis. Salah satu perubahan hepatoselular yang paling awal
pada hipoksia adalah pembentukan tonjolan membran plasma yang disebut
blebs. Perubahan awal ini bersifat reversibel. Kerusakan ireversibel terjadi ketika
membran plasma (blebs) meledak, sehingga menyebabkan kegagalan
permeabilitas membran secara tiba-tiba. Pada kondisi tersebut, terjadi kegagalan
semua gradien listrik dan ionik melintasi membran plasma, dan terjadi pelepasan
enzim intraseluler dan metabolit. Terjadi kebocoran enzim sitoplasma dari sel,
tetapi pengeluaran enzim lainnya minimal. Dengan demikian, perubahan
necroinflammatory yang terjadi pada hati menyebabkan pelepasan SGOT dan
SGPT, tetapi bukan isoenzim mitokondria seperti SGOT, ALP, atau GGT. Selain
itu, pada kondisi asfiksia kenaikan transaminase mengindikasikan disfungsi sel
hati yang dikarenakan nekrosis sel hati atau perubahan permeabilitas sel
(Choudhury et al., 2014).
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kadar SGOT, SGPT dan LDH pada seseorang yang mengalami
asfiksia (Chavi et al., 2014). Hal ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara
(dengan waktu 24-72 jam) yang menyebabkan peningkatan AST, ALT, ALP, dan
LDH pada plasma (Choudhary et al., 2015).
II.2 Biomarker Hati
II.2.1 SGOT & SGPT
Enzim transaminase meliputi enzim alanine transaminase (ALT) atau
serum glutamate piruvat transferase (SGPT) dan aspartate transaminase
(AST) atau serum glutamate oxaloacetate transferase (SGOT). Pengukuran
13
aktivitas SGPT dan SGOT dapat menunjukkan adanya kelainan sel hati
tertentu (Rosida, 2016).
Enzim ALT/SGPT terdapat pada sel hati, jantung, otot dan ginjal. Porsi
terbesar ditemukan pada sel hati yang terletak di sitoplasma sel hati. AST/SGOT
terdapat di dalam sel jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, pankreas, limpa dan
paru. Kadar tertinggi terdapat di dalam sel jantung. AST 30% terdapat di dalam
sitoplasma sel hati dan 70% terdapat di dalam mitokondria sel hati. Tingginya
kadar AST/SGOT berhubungan langsung dengan jumlah kerusakan sel.
Kerusakan sel akan diikuti peningkatan kadar AST/SGOT dalam darah (Rosida,
2016).
SGOT dan SGPT meningkat sebagai akibat dari kerusakan organ akibat
asfiksia terutama parenkim hati, yang memerlukan oksigen, glukosa, dan nutrisi
dalam jumlah yang sama untuk penggunaannya. Peningkatan aktivitas SGOT dan
SGPT merupakan penanda sensitif adanya gangguan pada membran hati,
umumnya pada situasi penurunan asupan energi ke dalam sel. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa peningkatan serum SGOT
dan SGPT pada hari pertama berhubungan dengan tingkat keparahan asfiksia
yang terjadi (Choudhary et al., 2015).
II.2.2 ALP (Alkaline Phosphatase)
ALP dapat mencapai sirkulasi memiliki mekanisme yang belum jelas,
keluarnya ALP dari saluran empedu menuju sinus hepatik diakibatkan karena
adanya kerusakan. Akibatnya, pengeluaran dari alkaline fosfatase dapat
digunakan sebagai penanda adanya ketidaknormalan pada hati. Penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan serum ALP yang
14
signifikan secara statistik dibandingkan dengan kontrol, namun korelasi
peningkatan ALP yang signifikan dengan tingkat keparahan asfiksia iskemik
belum ditemukan (Choudhary et al., 2015).
II.2.3 LDH (Laktat Dehidrogenase)
Peningkatan level serum LDH terjadi setelah beberapa hari adanya
kerusakan hati. Peningkatan level LDH merupakan respon terhadap kondisi
asfiksia. Peningkatan nilai LDH bergantung pada kerusakan hati yang terjadi. Nilai
peningkatan LDH yang signifikan ditemukan pada seseorang yang mengalami
asfiksia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, LDH mencapai puncak
setelah hari ke tiga dan nilainya signifikan secara statistik berdasarkan tahapan
hipoksia iskemik (Choudhary et al., 2015).
II.3 Adenosin
Adenosin adalah nukleosida endogen yang tersusun dari adenin yang
menempel pada gula ribosa. Senyawa ini merupakan komponen penting yang
didistribusikan ke beberapa jaringan mamalia (Sachdeva and Gupta, 2013).
Adenosin adalah senyawa endogen yang di produksi oleh aksi berurutan dari
berbagai enzim seperti ATP, ADP, dan AMP (Teoh and Farrel, 2003). Adenosin
pertama kali dikenal sebagai pengatur fisiologis vaskular koroner, namun sampai
tahun 1970 adenosin diketahui dapat mengatur fungsi sel karena memiliki
reseptor spesifik pada permukaan sel (Sachdeva and Gupta, 2013). Adenosin
memediasi fungsi fisiologis dengan berinteraksi dengan empat subtipe reseptor
yang bernama A1, A2a, A2b dan A3, semua reseptor berhubungan dengan
Gprotein-coupled receptors (Trivencaveli et al., 2010).
15
Adenosin dapat meninggalkan ruang intraseluler melalui proses
eksositosis, atau dapat juga dihasilkan oleh pemecahan enzimatik dari ATP
ekstraselular. ATP dapat dihasilkan dari sel saraf yang mengalami kerusakan dan
sel glial dengan melewati membran plasma yang rusak (Sachdeva and Gupta,
2013).
Adenosin secara langsung mempengaruhi berbagai proses sinaptik
dan memainkan peran penting dalam regulasi beberapa neurotransmitter
pada sistem saraf pusat. Tidak seperti neurotransmitter pada umumnya, adenosin
tidak disimpan dalam vesikel sinaptik. Pelepasan adenosin dimediasi
oleh transporter nukleosida dua arah dimana pengangkutannya hanya
bergantung pada gradien konsentrasi antara sitoplasma dan ruang ekstraseluler.
Oleh karena itu, adenosin dianggap sebagai neuromodulator yang dapat
mempengaruhi aktivitas sel saraf melalui beberapa mekanisme,secara presinaptik
dengan mengendalikan pelepasan neurotransmitter, secara postsinaptik dengan
depolarisasi atau hiperpolarisasi sel saraf, dan nonsinaptik dengan efek regulasi
pada sel glial (Sachdeva and Gupta, 2013).
II.3.1 Sifat fisika kimia
Adenosin berbentuk bubuk kristal putih, memiliki kelarutan dalam air dan
praktis tidak larut dalam alkohol. Kelarutan adenosin dapat meningkat dengan
pemanasan dan dengan menurunkan pH larutan. pH larutan antara 4,5 dan 7,5.
Rumus molekul adenosin adalah C10H13N5O4, dengan rumus kimia 6-amino-9-
beta-D-ribofuranosyl-9-H-purine dan berat molekulnya 267,24 g/ml (Paul and
Pammatter, 1997; Sweetman, 2009).
16
Gambar 1. Rumus Struktur Adenosin (Sachdeva and Gupta, 2013)
II.3.2 Mekanisme kerja
Adenosin adalah nukelosida endogen yang merupakan salah satu
komponen asam nukleat dan terdiri dari beberapa koenzim sehingga adenosin
terlibat dalam banyak proses biologis. Adenosin digunakan sebagai antiaritmia
dengan mekanisme kerja yaitu merangsang reseptor A1 adenosin dan
memperlambat konduksi melalui nodus AV. Adenosin juga menyebabkan
vasodilatasi perifer dan koroner dengan merangsang reseptor A2
adenosin (Sweetman, 2009)
Adenosin ekstraseluler memiliki fungsi sebagai sitoprotektif dibawah
kondisi fisiologis dan patofisiologis dalam merespon kerusakan terhadap organ
atau jaringan. Respon protektif tersebut dapat berupa peningkatan aliran darah
(vasodilatasi atau angiogenesis), ischemic preconditioning (pada jantung, otak,
atau kelenjar adrenal), dan atau menekan respon inflamasi (aktivasi dan infiltrasi
sel inflamatory, produksi sitokin dan radikal bebas) (Wilson and Mustafa, 2009).
II.3.3 Farmakokinetik
Pemberian adenosin secara intravena diperlukan untuk mendapatkan
respon farmakologi yang cepat. Melalui rute pemberian ini, obat tersebut
didistribusikan dengan cepat ke dalam ruang vaskular, seluler, ekstraseluler, dan
17
interstisial. Adenosin dimetabolisme dengan cepat dalam darah dengan waktu
paruh kurang dari 10 detik. Adenosin dimetabolisme menjadi inosin oleh
adenosine deaminase kemudian inosine di degradasi menjadi hypoxantin, xantin,
dan asam urat (Pelleg and Porter, 1990).
II.3.4 Efek protektif adenosin
Adenosin yang di produksi pada kondisi hipoksia, iskemik, dan jaringan
yang mengalami peradangan, berfungsi untuk mengurangi cedera jaringan dan
meningkatkan perbaikan jaringan tersebut (Sachdeva and Gupta, 2013).
Kondisi hipoksia dapat menyebabkan kenaikan sinyal adenosin
ekstraseluler yang memainkan peran penting dalam memediasi efek protektif
terhadap kondisi hipoksia selama cedera hati IR (Ischemic Reperfusion).
Adenosin ekstraseluler dapat berfungsi sebagai sinyal. Hal ini terutama berasal
dari pemecahan nukleotida dan nukleosida ekstraseluler seperti ATP, ADP, atau
AMP. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selama kondisi iskemia dan
cedera reperfusi, terdapat sistem enzimatik yang mengendalikan induksi
nukleotida ekstraseluler, termasuk enzim CD39 (konversi ATP/ADP menjadi
AMP) dan CD73 (konversi AMP menjadi adenosin). Sementara itu CD39 secara
transkripsi dikontrol oleh faktor transkripsi SP1, CD73 merupakan gen target yang
mempengaruhi faktor induksi hipoksia. Selain itu, penelitian lain menunjukkan
bahwa sinyal reseptor adenosin meningkat pada kondisi ketersediaan oksigen
yang terbatas (hipoksia) dengan menginduksi reseptor adenosin A2a dan A2b.
Dengan demikian, kondisi hipoksia akan meningkatkan pembentukan sinyal
adenosin yang dapat memberikan perlindungan terhadap hati selama kondisi
iskemia dan cedera reperfusi (Ju et al., 2016).
18
Adenosin memiliki efek proteksi terhadap preconditioning ischemic.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adenosin memiliki efek protektif
terhadap hati yang mengalami iskemia dengan cara mengaktivasi adenosin A2a
reseptor yang akan menginduksi sintesis NO (Nitrit Oksida) dari sel endotelial
(Peralta et al., 1999; Teoh and Farrel, 2003). Nitrit oksida merupakan gas radikal
bebas yang merupakan molekul sinyal penting dalam hati. Nitrit oksida dapat
menjadi mediator utama pada sel hati yang mengalami cedera atau bagian dari
mekanisme protektif yang kuat melawan rangsangan yang merugikan. Selain itu,
NO berfungsi sebagai sitoproteksi terhadap sel yang mengalami iskemia (Teoh
and Farrel, 2003).
19
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas (Pyrex®),
benang sutur, cawan porselen, humalyzer (Human®), mikropipet (Socorex®),
needle, pisau bedah, sentrifuge (Hettich®), spoit (Onemed®), timbangan analitik
(Sartorius®), dan vacutainer.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
adenosin (Sigma-Aldrich®), Natrium Thiopental (Benofarm®), NaCl 0,9%, SGOT
dan SGPT assay kit (Human®).
III.2 Metode Kerja
III.2.1 Penyiapan hewan coba
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini yaitu tikus putih
(Rattus norvegicus) berjumlah sebanyak 21 ekor dengan berat sekitar 150-200
gram, ditempatkan dalam dua kandang yang masing-masing berisi 12 ekor dan 9
ekor, yang kemudian diberikan makanan dan air yang mencukupi. Tikus tersebut
kemudian dikelompokkan berdasarkan perlakuannya masing-masing.
III.2.2 Penyiapan larutan uji adenosin
Larutan uji adenosin dibuat dengan cara melarutkan 10 mg adenosin ke
dalam NaCl 0,9% sebanyak 50 ml, sehingga diperoleh konsentrasi larutan 0,20
mg/ml. Dosis adenosin yang digunakan pada penelitian ini ada dua macam yakni
1 mg/kg BB dan 1,5 mg/kg BB. Pemilihan dosis ditentukan berdasarkan
20
penelitian terdahulu yang memperlihatkan penggunaan adenosin 1 mg/kg BB
mampu menurunkan kadar malondialdehid pada hati tikus (Dewi, 2017)
III.2.3 Perhitungan volume pemberian
III.2.3.1 Injeksi Natrium thiopental
Larutan ini dibuat dengan cara melarutkan serbuk Natrium thiopental
500 mg ke dalam 20 ml NaCl 0,9% sehingga didapatkan konsentrasi yaitu
25 mg/ml. Dosis Natrium thiopental yang biasa digunakan pada hewan adalah
100 mg/kg BB. Sehingga jika hewan coba yang digunakan memiliki berat 200 g
maka dosis yang diberikan yaitu 20 mg dalam 0,8 ml volume injeksi.
Untuk tikus dengan berat x, volume injeksi (v) dapat dihitung sebagai
berikut:
0,8 ��
200 ����=
� (��)
� ����
� = � ����
200 ���� . 0,8 ��
III.2.3.2 Larutan adenosin
Dosis larutan adenosin yang digunakan pada penelitian ini yaitu dosis
1 mg/kg BB dan 1,5 mg/kg BB.
Untuk dosis 1 mg/kg BB dengan konsentrasi larutan adenosin 0,2 mg/ml
dan berat tikus yaitu 200 g, volume injeksinya yaitu 1 ml, sehingga untuk
menentukan volume injeksi (v) untuk tikus dengan berat x sebagai berikut :
� = x gram
200 gram . 1 ��
21
Adapun untuk dosis 1,5 mg/kg BB dengan konsentrasi larutan adenosin
0,2 mg/ml dan berat tikus yaitu 200 g makan volume pemberian injeksi yaitu 1,5,
sehingga untuk menentukan volume injeksi (v) untuk berat tikus x gram, sebagai
berikut :
� = � ����
��� ���� . 1,5 ��
III.2.4 Prosedur percobaan
III.2.4.1 Penentuan durasi asfiksia
Untuk penentuan durasi asfiksia, digunakan hewan coba sebanyak 12
ekor. Hewan tersebut akan dikelompokkan menjadi 4 kelompok yang masing-
masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus. Kelompok pertama tidak diasfiksia atau
digunakan sebagai kontrol, kelompok kedua diinduksi asfiksia selama 3 menit,
kelompok ketiga selama 6 menit dan kelompok keempat induksi asfiksia selama
9 menit.
III.2.4.2 Prosedur induksi asfiksia
Untuk induksi asfiksia dilakukan dengan cara trakeostomi. Tikus putih yang
sebelumnya telah dianastesi menggunakan Natrium tiopental (0,80 ml/200 g),
diinduksi asfiksia dengan cara mengikat trakea tikus menggunakan benang sutur
yang kemudian ditahan sesuai dengan durasi asfiksia yang telah ditentukan,
yakni 3 menit, 6 menit, dan 9 menit. Asfiksia dikonfirmasi dengan tidak adanya
gelembung udara di sekitar trakea. Pada akhir durasi asfiksia, benang dilepas,
kemudian tikus dibiarkan bernapas selama 3 menit dan dilakukan pengambilan
darah tikus sebanyak 2 ml untuk dianalisis.
22
III.2.4.3 Uji efek protektif adenosin terhadap peningkatan enzim SGOT dan SGPT yang diinduksi asfiksia Untuk pengujian ini digunakan tikus putih sebanyak 9 ekor yang kemudian
dibagi menjadi 3 kelompok, dimana setiap kelompoknya terdiri dari 3 ekor tikus.
Sehari sebelum perlakuan, dilakukan pengambilan darah sebagai data awal.
Kelompok I hanya diinjeksi NaCl 0,9%, kemudian diasfiksia berdasarkan waktu
optimum, setelah itu dilakukan pengambilan darah 3 menit setelah asfiksia.
Kelompok II diberikan adenosin dosis 1 mg/kg BB secara i.p, kemudian diinduksi
asfiksia berdasarkan waktu optimum lalu diambil darahnya. Sedangkan kelompok
III diberikan adenosin dosis 1,5 mg/kg BB secara i.p, kemudian diinduksi asfiksia
berdasarkan waktu optimum lalu diambil darahnya.
III.2.5 Preparasi dan evaluasi fungsi hati tikus putih
Tikus yang telah diasfiksia kemudian diambil darahnya melalui vena cava
sebanyak 2 ml. Selanjutnya, darah tersebut dimasukkan ke dalam vacutainer
berisi EDTA, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 20
menit. Plasma kemudian dipindahkan ke dalam tabung effendorf dan disimpan
dalam lemari pendingin (-20C) hingga dapat dianalisis.
III.2.6 Analisis kadar SGOT
Kadar SGOT dianalisis dengan menggunakan 100 µL sampel darah yang
ditambahkan dengan 1000 µL dapar. Selanjutnya dihomogenkan dan diinkubasi
selama 5 menit pada suhu (temperatur) 37C. Setelah itu dilakukan penambahan
substrat sebanyak 250 µL yang kemudian dihomogenkan dan diinkubasi selama
1 menit pada suhu 37C. Kemudian dilakukan penentuan kadar SGOT
menggunakan alat Humalyzer.
23
III.2.7 Analisis kadar SGPT
Kadar SGPT dianalisis dengan menggunakan 100 µL sampel darah
yang ditambahkan dengan 1000 µL dapar. Selanjutnya dihomogenkan dan
diinkubasi selama 5 menit pada suhu (temperatur) 37C. Setelah itu dilakukan
penambahan substrat sebanyak 250 µL yang kemudian dihomogenkan dan
diinkubasi selama 1 menit pada suhu 37C. Kemudian dilakukan penentuan kadar
SGPT menggunakan alat Humalyzer.
III.2.8 Analisis statistik
Data yang telah diperoleh kemudian dianalisa menggunakan software
SPSS. Data yang terdistribusi normal akan dianalisis menggunakan one way
anova diikuti dengan uji Tukey’s HSD. Bila distribusi tidak normal akan dianalisis
dengan uji Kruskal Wallis.
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Asfiksia merupakan suatu kondisi tubuh mengalami penurunan kadar
oksigen yang signifikan sebagai akibat dari lemahnya pemenuhan kebutuhan
oksigen oleh jaringan (Prahlow and Byard, 2012). Selain itu, asfiksia dikaitkan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan karbondioksida sehingga
terjadi penumpukan karbondioksida dalam tubuh (Vij, 2011). Asfiksia dapat
menyebabkan kerusakan pada hampir semua jaringan dan organ pada manusia,
salah satunya yaitu kerusakan hati (Pattar et al., 2015). Kerusakan hati akibat
asfiksia dikarenakan adanya mekanisme “reflex diving” yaitu mekanisme yang
secara otomatis akan diaktifkan jika tubuh mengalami asfiksia. Mekanisme
tersebut akan menyebabkan pengaliran darah terfokus pada organ vital seperti
jantung dan otak, sehingga aliran darah ke hati sangat berkurang sehingga terjadi
disfungsi hati. Kerusakan hati akibat asfiksia ditandai dengan peningkatan yang
signifikan serum SGOT dan SGPT jika dibandingkan dengan kontrol (Choudhury
et al., 2014).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian pada tahap penentuan durasi
asfiksia. Adapun hasilnya dapat dilihat dari tabel 1 dan gambar 2. Dari gambar
tersebut dapat dilihat nilai SGOT kontrol yakni 73,63 U/L, setelah asfiksia 3 menit
SGOT lebih tinggi yaitu 86,87 U/L, asfiksia 6 menit diperoleh SGOT 111,14 U/L
dan asfiksia 9 menit memberikan nilai SGOT 248,7 U/L. Nilai SGOT yang
didapatkan tersebut meningkat seiring dengan lama durasi asfiksia. Sama halnya
dengan nilai SGPT dimana nilai SGPT kontrol yaitu 35,27 U/L, SGPT setelah
25
asfiksia 3 menit yaitu 33,11 U/L, SGPT setelah asfiksia 6 menit yaitu 63,72 U/L
dan SGPT setelah asfiksia 9 menit yaitu 144,27 U/L.
Tabel 1. Penentuan durasi asfiksia yang menimbulkan kenaikan tertinggi kadar SGOT dan SGPT sebagai dasar untuk pemberian perlakuan selanjutnya
Gambar 2. Profil rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada tikus yang diinduksi asfiksia. Ket: #
= p<0.05 (signifikan) dibanding kontrol, * = p<0.05 dibandingkan asfiksia 3 menit, &=p< 0.05
dibandingkan kelompok kontrol, 3 dan 6 menit
-
50
100
150
200
250
300
350
400
Kad
ar S
GO
T &
SG
PT
(U
/L)
Durasi Asfiksia (Menit)
Rata-rata SGOT
Rata-rata SGPT
# *
&
Perlakuan/Lama
Asfiksia Replikasi
Kadar Plasma (U/L)
SGOT SGPT
Kontrol
1 66,16 33,02
2 83,07 43,22
3 71,67 29,56
Rata-rata 73,63 35,26
3 menit
1 75,93 34,72
2 89,14 19,67
3 95,53 44,95
Rata-rata 86,86 33,11
6 menit
1 126,40 80,40
2 108,00 65,23
3 99,03 45,52
Rata-rata 111,01 63,71
9 menit
1 277,00 163,20
2 127,60 168,50
3 341,50 101,10
Rata-rata 248,70 144,26
26
Berdasarkan hasil pada tabel 1 dan gambar 2 di atas, serta analisis
statistik (lampiran IV) maka durasi asfiksia yang digunakan untuk perlakuan
selanjutnya adalah 9 menit. Secara statistik durasi asfiksia 9 menit dianggap
sebagai durasi optimum, karena nilai yang didapatkan yaitu signifikan (p<0,05)
jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain (lihat lampiran IV), sehingga untuk
uji protektif adenosin, durasi asfiksia optimum yang digunakan yaitu durasi 9
menit.
Tahap kedua dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek protektif
adenosin dalam menurunkan kadar SGOT dan SGPT tikus putih yang diinduksi
asfiksia. Adapun hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat dari tabel 2 dan
gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat grafik nilai SGOT kontrol sehat yaitu
73,63 U/L, kontrol negatif (NaCl 0,9%) yaitu sebesar 120,42 U/L, nilai SGOT
adenosin dosis 1 mg/kg BB mengalami penurunan sebesar 59% dibandingkan
kontrol negatif yaitu 48,33 U/L, sedangkan adenosin dosis 1,5 mg/kg BB juga
mengalami penurunan, tetapi hanya sebesar 8,7% dibandingkan kontrol negatif
yaitu 109,93 U/L. Adapun nilai SGPT kontrol sehat yaitu 35,27 U/L, kontrol negatif
(NaCl 0,9%) yaitu 127,60 U/L, nilai SGPT adenosin dosis 1 mg/kg BB mengalami
penurunan sebesar 61% dibandingkan kontrol negatif yaitu 49,25 U/L, dan nilai
SGPT adenosin dosis 1,5 mg/kg BB mengalami penurunan sebesar 53%
dibandingkan kontrol negatif yaitu 59,25 U/L.
27
Tabel 2. Rata-rata ± SD kadar SGOT dan SGPT pada tikus sehat dan setelah perlakuanp
Gambar 3. Grafik uji efek protektif adenosin terhadap penurunan kadar SGOT dan SGPT.
Ket: *=p<0,05 (signifikan) dibanding kontrol negatif dan Adenosin 1,5 mg/kg
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Kad
ar S
GO
T &
SG
PT
(U/L
)
Kelompok Perlakuan
Rata-rata SGOT
Rata-rata SGPT
Perlakuan Replikasi Kadar Plasma (U/L)
SGOT SGPT
Kontrol Negatif (NaCl
0,9%)
1 126,80 125,90
2 154,70 185,80
3 79,75 71,11
Rata-rata ± SD 120,42 ± 37,88 127,60 ± 57,36
Adenosin 1 mg/kg BB
1 35,83 42,11
2 40,24 44,90
3 68,92 30,76
Rata-rata ± SD 48,33 ± 17,97 39,25 ± 12,36
Adenosin 1,5 mg/kg BB
1 107,20 62,09
2 115,10 53,37
3 107,50 62,29
Rata-rata ± SD 109,93 ± 4,48 59,25 ± 5,09
*
28
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa adenosin memiliki efek
protektif terhadap sel hati yang mengalami asfiksia, dilihat dari penurunan kadar
SGOT dan SGPT dibandingkan dengan kontrol negatif. Tetapi dalam hal ini dosis
pemberian adenosin tidak berbanding lurus dengan efek protektif yang diberikan.
Hal ini terlihat dari penurunan SGOT dan SGPT sebesar 59% dan 61% pada
dosis 1 mg/kg BB sedangkan penurunan SGOT dan SGPT sebesar 8,7% dan
53% pada dosis 1,5 mg/kg BB. Sehingga dosis adenosin yang direkomendasikan
untuk penanganan kondisi asfiksia yaitu dosis 1 mg/kg karena memiliki
penurunan kadar yang signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol negatif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, adenosin
diketahui memiliki efek protektif terhadap sel hati yang mengalami kerusakan
akibat asfiksia. Pembentukan adenosin akan meningkat pada kondisi asfiksia,
dimana terjadi ketidakseimbangan antara metabolisme oksigen dan suplai
oksigen dalam jaringan (Sachdeva and Gupta, 2013). Penelitian yang dilakukan
oleh Peralta (1999) menunjukkan bahwa adenosin dapat menginduksi sintesis
dari NO (nitrit oksida) yang berfungsi sebagai sitoprotektif terhadap sel hati yang
mengalami iskemia akibat asfiksia.
29
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terjadi peningkatan SGOT dan SGPT pada tikus yang diinduksi asfiksia,
dengan kadar tertinggi diperoleh pada durasi asfiksia 9 menit.
2. Penggunaan adenosin dosis 1 mg/kg BB memberikan efek protektif yang lebih
tinggi dibandingkan dengan adenosin dosis 1,5 mg/kg BB. Adapun
persentase penurunannya yaitu SGOT sebesar 59% dan SGPT sebesar 61%
dibandingkan dengan kontrol negatif yang hanya diberi NaCl 0,9%.
V.2. Saran
Sebaiknya dilakukan uji histopatologi terhadap hati untuk mengetahui
kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh asfiksia.
30
DAFTAR PUSTAKA
Alhadar, A.K., Idham, A., Hanifah, O., dan Endang, W. 2010. Korelasi Nilai APGAR Menit Kelima Kurang Dari Tujuh Dengan Kadar Transminase Serum Pada Bayi Baru Lahir. Sari Pediatri. 12(3).
Antonucci, R., Porcella, A., and Pilloni, M.D. 2014. Perinatal asphyxia in the term
newborn. J Pediatric Neonatal Invidid Med. 3(2):1-14. Chhavi, N., Zutshi, K., Singh, N.K., Awasthi, A., and Goel, A. 2014. Serum liver
enzyme pattern in birth asphyxia associated liver injury. Pediatri Gastroenterol Hepatol Nutr. 17(3).
Choudhary, M., Sharma, D., Dabi, D., Lamba, M., Pandita, A., and Shastri, S. 2015.
Hepatic Dysfunction in Asphyxiated Neonates: Prospective Case-
Controlled Study. Clinical Medicine Insight : Pediatrics.
Choudhury, J.R., Rout, J.K., Saha, M., Ghosh, S., and Das, H.N. 2014. Hepatic
Function Test In Babies With Perinatal Asphyxia : Can It Predict Hypoxic
Ischemic Encephalopathy. Asia Pacific Journal Of Research. 1(15):116-
126.
Dewi, F. 2017. Pengaruh Pemberian Adenosin Terhadap Aktivitas Peroksidasi Lipid
Hati Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi asfiksia. Skripsi tidak
diterbitkan. Makassar. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Dix, J., Graham, M., and Hanzlick, R. 2000. Asphyxia and drowning : An Atlas. CRC
Press.
Gomella, T.L., Cunningham, D., and Eyal, F.G. 1992. Neonatology management,
procedures, on-call problems, diseases, drugs. Edisi ke-2. Connecticut:
Lange.
Huang, B.Y. 2008. Hypoxic-Ischemic Brain Injury: Imaging Findings from Birth to
Adulthood. Radio Graphics. 28(2).
Ju, C., Polgan, S.P., and Eltzschig, H.K. 2016. Hypoxia-inducible factor as molecular
targets for liver disease. J Mol Med. 94:613-627.
Manoe, V.F.M., dan Idham, A. 2003. Gangguan Fungsi Multi Organ Pada Bayi
Asfiksia Berat. Sari Pediatri. 5(2).
Patra, C., Sarkar, S., and Dasgupta, M.K. 2016. Study of Hepatic Enzyme Activity as
predictor of Perinatal Asphyxia and its severity and outcome. Indian
Journal of Health Sciences.9(3).
31
Pattar, R.S., Raj, A., and Yelamali, B.C. 2015. Incidence of Multiorgan Dysfunction
in Perinatal Asphyxia. 2(4):428-32.
Paul, T., and Pammatter. J.P. 1997. Adenosine: an effective and safe antiarrhythmic
drug in pediatrics. Pediatric Cardiology. 18:118-126.
Pelleg, A., and Porter, R.S. 1990. The Pharmacology of Adenosine.
Pharmacotherapy. 10(3).
Peralta, C., Hotter, G., Closa, D., Prats, N., Xaus, C., Gelpi, E., and Rosello-
Catafau, J. 1999. The Protective Role of Adenosine in Inducing Nitric
Oxide Synthesis in Rat Liver Ischemia Preconditioning Is Mediated by
Activation of Adenosine A2 Receptors. Hepatology. 29(1); 126-132.
Perlman, J.M. 2007. Pathogenesis of hypoxic-ischemic brain injury. J Perinatol.
27:S39-46.
Polglase, G.R., Ong, T., and Hillman, N.H. 2016. Cardiovascular alteration and
multiorgan dysfunction after birth asphyxia. Clin Perinatol. 43(3).
Prahlow, J. A., and Byard, R. W. 2012. Atlas of Forensic Pathology. Springer
Science Business Media.
Rosida, A. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. 2016. Berkala Kedokteran.
12(1):123-131.
Sachdeva, S., and Gupta, M. 2013. Adenosine and its reseptors as therapeutic
targets: An overview. Saudi Pharmaceutical. 21:245-253.
Sandroni, C., Ferro, G., Santangelo, S., Tortora, F., Mistura, L. and, Cavarallo, F. 2004. In-hospital Cardiac Arrest Depends Mainly On The Effectiveness of The Emergency Response. Resuscitation. 62(3).
Sweetman, S. C. 2009. Martindale 36th Edition. The Complete Drug Reference.
Pharmaceutical Press, London. Teoh, N.C., and Farrel, G.F. Hepatic ischemia reperfusion injury: 2003. Pathogenic
mechanisms and basis for hepatoprotection: A review. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 18: 891-902.
Trivencavelli, M.L., Daniele, S., and Martini, C. 2010. Adenosine receptors: what we
know and what we are learning. Curr Top Med Chem. 10(9).
Vij, Krishan. 2011.Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. Fifth Edition. Elsevier.
Wilson, C.N., and Mustafa, S.J. 2009. Adenosine Reseptors in Health and Disesase.
Springer Dordrecht Heidelberg. London New York.
32
LAMPIRAN I
SKEMA KERJA PENENTUAN DURASI ASFIKSIA
Tidak diasfiksia Asfiksia 3 menit Asfiksia 6 menit Asfiksia 9 menit
Hewan coba (tikus)
sebanyak 12 ekor
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
Asfiksia dihentikan dengan
melepaskan benang sutur, kemudian
dibiarkan selama 3 menit
Pengambilan darah
sebanyak 2 ml
Pengukuran kadar SGOT
dan SGPT
Natrium Thiopental (100 mg/kg)
mg/kg) BB)
33
LAMPIRAN II
SKEMA KERJA UJI EFEK PROTEKTIF ADENOSIN
NaCl 0,9% Adenosin 1 mg/kg BB Adenosin 1,5 mg/kg BB
Hewan coba (tikus)
sebanyak 9 ekor
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Asfiksia selama durasi optimum
Benang sutur dilepaskan dan
dibiarkan selama 3 menit
Pengambilan darah
sebanyak 2 ml
Pengambilan darah awal
Pengukuran kadar
SGOT dan SGPT
Na. Thiopental (100 mg/kg BB)
34
LAMPIRAN III
SKEMA KERJA PENGUKURAN KADAR SGOT DAN SGPT
- Homogenkan
- Inkubasi 5 menit, suhu 370 C
Inkubasi 1 menit, suhu 370 C
Darah 100 µL
Pengukuran kadar
menggunakan humalyzer
250 µL substrat
1000 µL Dapar
Kesimpulan
Analisis data
35
LAMPIRAN IV
DATA HASIL ANALISIS STATISTIK
1. Penentuan Durasi Asfiksia
Uji Kolmogorov-Smirnov Satu Sampel
SGOT
Jumlah Data 12
Parameter Normal a,b Rata-rata 130.0775
Standar Deviasi 87.00323
Perbedaan Paling Nyata
Absolut .345
Positif .345
Negatif -.231
Kolmogorov-Smirnov Z 1.196
Asymp. Sig. (2-tailed) .115
a. Uji Distribusi Normal.
b. Diperhitungkan Berdasarkan Data.
Uji Homogenitas Variasi Data
SGOT
Level Statistik df1 df2 Sig.
2.325 3 8 .151
Perbandingan Ganda
Variabel Terikat : Kadar SGOT
Tukey HSD
(I) DURASI
ASFIKSIA
(J) DURASI
ASFIKSIA
Perbedaan rata-
rata (I-J)
Standar
Kesalahan
Signifikan 95% Tingkat Kepercayaan
Batas Bawah Batas Atas
kontrol
3 menit -13.233 45.497 .991 -158.93 132.47
6 menit -37.510 45.497 .842 -183.21 108.19
9 menit -175.033* 45.497 .020 -320.73 -29.33
3 menit
kontrol 13.233 45.497 .991 -132.47 158.93
6 menit -24.277 45.497 .948 -169.98 121.42
9 menit -161.800* 45.497 .030 -307.50 -16.10
6 menit
kontrol 37.510 45.497 .842 -108.19 183.21
3 menit 24.277 45.497 .948 -121.42 169.98
9 menit -137.523 45.497 .064 -283.22 8.18
9 menit
kontrol 175.033* 45.497 .020 29.33 320.73
3 menit 161.800* 45.497 .030 16.10 307.50
6 menit 137.523 45.497 .064 -8.18 283.22
*. Perbedaan rata-rata yaitu signifikan pada level 0,05
36
Uji Kolmogorov-Smirnov Satu Sampel
SGPT
Jumlah Data 12
Parameter Normal a,b
Rata-rata 69.08
Standar Deviasi 50.628
Perbedaan Paling Nyata
Absolut .263
Positif .263
Negatif -.165
Kolmogorov-Smirnov Z .909
Asymp. Sig. (2-tailed) .380
a. Uji Distribusi Normal
b. Diperhitungakan Berdasarkan Data.
Uji Homogenitas Variasi Data
SGPT
Level Statistik df1 df2 Sig.
4.371 3 8 .042
Perbandingan Ganda
Variabel Terikat : SGPT
Tukey HSD
(I) DURASI
ASFIKSIA (J) DURASI ASFIKSIA
Perbedaan
Rata-rata (I-J)
Standar
kesalahan Signifikan.
95% Tingkat Kepercayaan
Batas Bawah Batas Atas
KONTROL
3 MENIT 2.153 17.921 .999 -55.23 59.54
6 MENIT -28.450 17.921 .436 -85.84 28.94
9 MENIT -108.967* 17.921 .001 -166.35 -51.58
3 MENIT
KONTROL -2.153 17.921 .999 -59.54 55.23
6 MENIT -30.603 17.921 .380 -87.99 26.78
9 MENIT -111.120* 17.921 .001 -168.51 -53.73
6 MENIT
KONTROL 28.450 17.921 .436 -28.94 85.84
3 MENIT 30.603 17.921 .380 -26.78 87.99
9 MENIT -80.517* 17.921 .009 -137.90 -23.13
9 MENIT
KONTROL 108.967* 17.921 .001 51.58 166.35
3 MENIT 111.120* 17.921 .001 53.73 168.51
6 MENIT 80.517* 17.921 .009 23.13 137.90
*Perbedaan rata-rata yaitu signifikan pada level 0,05
37
2. Uji Efek Protektif Adenosin
Uji Kolmogorov-Smirnov Satu Sampel
SGOT
Jumlah Data 12
Parameter Normala,b
Rata-rata 87.60
Standar Deviasi 35.206
Perbedaan Paling Nyata
Absolut .135
Positif .135
Negatif -.126
Kolmogorov-Smirnov Z .469
Asymp. Sig. (2-tailed) .981
a. Uji Distribusi Data Normal.
b. Diperhitungkan Berdasarkan Data.
Uji Homogenitas Variasi Data
SGOT
Level Statistik df1 df2 Sig.
3.397 3 8 .074
Perbandingan Ganda
Variabel Terikat : SGOT
Tukey HSD
(I) DOSIS ADENOSIN (J) DOSIS ADENOSIN Perbedaan Rata-
rata (I-J)
Standar
Kesalahan Signifikan
95% Tingkat
Kepercayaan
Batas
Atas
Batas
Bawah
KONTROL NEGATIF ADENOSIN 1 mg/kg 72.000
* 19.855 .026 11.08 132.92
ADENOSIN 1,5 mg/kg 10.000 19.855 .872 -50.92 70.92
ADENOSIN 1 mg/kg KONTROL NEGATIF -72.000
* 19.855 .026 -132.92 -11.08
ADENOSIN 1,5 mg/kg -62.000* 19.855 .047 -122.92 -1.08
ADENOSIN 1,5 mg/kg KONTROL NEGATIF -10.000 19.855 .872 -70.92 50.92
ADENOSIN 1 mg/kg 62.000* 19.855 .047 1.08 122.92
*. Perbedaan rata-rata yaitu signifikan pada level 0,05
38
Uji Kolmogorov-Smirnov Satu Sampel
SGPT
Jumlah Data 12
Parameter Normal a,b
Rata-rata 64.92
Standar Deviasi 45.922
Perbedaan Paling Nyata
Absolut .281
Positif .281
Negatif -.217
Kolmogorov-Smirnov Z .972
Asymp. Sig. (2-tailed) .301
a. Uji Distribusi Normal.
b. Diperhitungkan Berdasarkan Data.
Uji Homogenitas Data
SGPT
Level Statistik df1 df2 Sig.
3.304 3 8 .078
Perbandingan Ganda
Variabel Terikat : SGPT
Tukey HSD
(I) DOSIS ADENOSIN (J) DOSIS ADENOSIN Perbedaan Rata-
rata (I-J)
Standar
Kesalahan Signifikan.
95% Tingkat
Kepercayaan
Batas
Bawah
Batas
Atas
kontrol negatif Adenosin 1 mg/kg 88.333
* 27.229 .040 4.79 171.88
Adenosin 1,5 mg/kg 68.000 27.229 .102 -15.55 151.55
Adenosin 1 mg/kg kontrol negatif -88.333* 27.229 .040 -171.88 -4.79
Adenosin 1,5 mg/kg -20.333 27.229 .747 -103.88 63.21
Adenosin 1,5 mg/kg kontrol negatif -68.000 27.229 .102 -151.55 15.55
Adenosin 1 mg/kg 20.333 27.229 .747 -63.21 103.88
*. Perbedaan rata-rata yaitu signifikan pada level 0,05.
39
LAMPIRAN V
DOKUMENTASI GAMBAR
Gambar 4. Pemberian NatriumThiopental Gambar 5 .Proses pembedahan secara i.p pada hewan coba
Gambar 6. Trakeostomi Gambar 7. Proses Asfiksia
Gambar 8. Pemberian Adenosin Gambar 9. Pengambilan darah secara i.p melalui vena femoral
40
Gambar 10. Proses Sentrifugasi Gambar 11. Penimbangan Adenosin
Gambar 12. Pengukuran menggunakan Human Analyzer
41
LAMPIRAN VI
REKOMENDASI PERSETUJUAN KODE ETIK