Pengaruh Inflasi dan Pengangguran - Perpustakaan...
Transcript of Pengaruh Inflasi dan Pengangguran - Perpustakaan...
Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Indonesia
OlEH
Fahma Sari Fatma 6603000171
Tesis Diajukan Slebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar
Magister Sains Ekonomi pada Program Studi llmu EkofilOmi
Program Pascasarjana fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
DEPOK, 2005
Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Indonesia
OLEH
Fahma Sari Fatma 6603000171
Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar
Magister Sains Ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
DEPOK, 2005
Nama
N.P.M
Kekhususan
Judul tesis
PERSETUJUAN TESIS
Fahma Sari Fatma
6603000171
Ekonomi Regional dan Perkotaan
Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan
di Indonesia
Depok, 12 Desember 2005
Pembimbing tesis Penguji Tesis
-
~~-Dr. Arianto A. Patunru Dr. Suahasil Nazara
Ketua Program Studi,
Dr. Arindra A. Zainal
ABSTRAK
Masalah kemiskinan masih menjadi salah satu masalah utama dalam
perekonomian negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Sejalan dengan
berkembangnya pendapat adanya pengaruh variabel makro terhadap
kemiskinan, penelitian yang dilakukan melihat bagaimana sifat dan signifikansi
dari inflasi dan pengangguran terhaddap tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain
itu juga akan dilihat adanya pengaruh variabel ekonomi lainnya yaitu
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan variabel demografis
yaitu pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Sejumlah penelitian
terkait di berbagai negara seperti Cutler&Katz (1991), Powers (1995a), dan
Powers (1995b) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dan positif dari
pengangguran dan inflasi terhadap kemiskinan. Pengukuran kemiskinan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) Poverty
Index yang terdiri dari Head Count Index, Poverty Gap Index, dan
Distributional/y Sensitive Index Ini merupakan pengukuran kemiskinan yang
digunakan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Penelitian dengan
model ekonometri dilakukan dengan menggunakan data 23 provinsi pada tahun
2001-2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh searah dan
signifikan terhadap Head Count Index, Poverty Gap Index, dan Distributionally
Sensitive Index. Pengangguran berpengaruh searah terhadap Head Count Index
dan Poverty Gap Index, tetapi berpengaruh tidak searah terhadap
Distributionally Sensitive Index. Variabel lainnya yaitu pertumbuhan PDRB
berpengaruh searah terhadap Head Count Index, tetapi berpengaruh tidak
searah terhadap Poverty Gap Index dan Distributionally Sensitive Index.
Sementara pendidikan menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan daJ:at
mengurangi Head Count Index dan Poverty Gap Index, tetapi tidak cukup
berpengaruh terhadap Distributionally Sensitive Index
'tuk hazel, najwa dan athar
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T. atas limpahan karunia-Nya hingga
tesis ini dapat penulis rampungkan. Untuk semua suka dan duka yang telah
penulis lewati selama ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Papa&Mama untuk doa dan dukungan yang tiada hentinya; Bapak&Mama
untuk perhatiannya;
2. Hazel untuk cinta dan kesabarannya; Najwa&Athar penghibur hati dikala
putus asa menghampiri;
3. Ditjen Perbendaharaan untuk izin tugas belajarnya dan Bappenas untuk
beasiswanya;
4. Pembimbing Tesis, Dr. Arianto A. Patunru; Penguji Sidang dan Kompre, Dr.
Arindra A. Zainal dan Dr. Suahasil Nazara;
5. Bapak&Ibu Abdul Karib, M.S. untuk rekomendasinya;
6. Bapak Putut H.P. untuk pengertiannya setiap kali penulis harus meninggalkan
kantor menjelang ujian akhir;
7. Vid Adrison untuk kiriman artikel-artikelnya; Adrian, Lutfi, Djoni, Mas Chotib,
Eko, Feri, Mbak Is, Een, dan Aris untuk diskusi-diskusinya; Wahyu untuk
obrolan-obrolan kecilnya yang membuat penulis tidak kapok ke pustaka;
8. Nora dan Dewi untuk persahabatan selama ini, semoga tetap terjaga;
9. Kakak-kakak dan adik penulis untuk dukungan dan perhatiannya;
10. Des untuk pengertiannya menunda pernikahan untuk menjaga Najwa&Athar;
ll.semua pihak yang ikut memperlancar proses penulisan (maaf tidak bisa
disebutkan satu persatu).
Depok, Desember 2005
Penulis
DAFTAR lSI
Halaman ABSTRAK iii KATA PENGANTAR v DAFTAR GAMBAR DAN TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 1.2 Perumusan Masalah dan cakupan 4 1.3 Tujuan Penelitian 5 1.4 Manfaat Penelitian 6 1.5 Perumusan Hipotesis 6 1.6 Metode Penulisan 7 1.7 Sistematika Penulisan 7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Analitis 9 2.2 Telaah Kepustakaan 10 2.3 Konsep dan Pengukuran Kemiskinan 11
2.3.1 Kemiskinan dan Ekonomi Kesejahteraan 11 2.3.2 Pengukuran Kemiskinan 12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Model 16 3.2 Data Penelitian 17 3.3 Metode Estimasi 21 3.4 Tahapan Analisis Data 24
3.4.1 Pemilihan Model Data Panel 24 3.2.2 Pengujian Pelanggaran Asumsi Dasar 25
BAB IV KEMISKINAN DI INDONESIA 4.1 Keadaan dan Kecenderungan 28 4.2 Penghitungan Kemiskinan 31
4.2.1 Metode Penghitungan Resmi, BPS 31 4.2.2 Metode Penghitungan Lainnya 33
4.3 Kebijakan dan Program 36 BAB V HASIL EMPIRIS 5.1 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian 39 5.2 Hasil Estimasi 40
5.2.1 Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap 40 Head Count Index (PO)
5.2.2 Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap 45 Poverty Gap Index (P1)
5.2.3 Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap 49 Distributionally Sensitive Index (P2)
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan 54 6.2 Saran 56
VI
6.3 Kelemahan Penelitian DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN
Halaman 57 58
Vll
DAFfAR GAMBAR DANTABEL
Gambar 4.1 Kecenderungan Kemiskinan di Indonesia 1976--2004 Tabel4.1 Data Kemiskinan Indonesia Tahun 2004 Tabel 4.2 Indikator Keluarga Sejahtera, BKKBN Tabel 5.1 Estimasi Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Head
Count Index menggunakan Axed Effect Tabel 5.2 Estimasi Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Poverty
Gap Index menggunakan Fixed Effect Tabel 5.1 Estimasi Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap
Distributionally Sensitive Index menggunakan Fixed Effect
Halaman 28 29 34 42
47
51
Vlll
BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengukuran tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penting diketahui untuk menunjukkan bagaimana kemajuan
ekonomi dapat meningkatkan standar kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat serta bagaimana berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah
berdampak terhadap masyarakat miskin.
Sampai akhir tahun 1960-an, sebagian besar ahli ekonomi percaya
bahwa cara terbaik untuk mengejar keterbelakangan ekonomi adalah
dengan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto)
setinggi-tingginya sehingga dapat melampaui tingkat pertumbuhan
penduduk. Dengan cara tersebut angka pendapatan perkapita akan
meningkat sehingga secara otomatis terjadi pula peningkatan kemakmuran
masyarakat. Oleh karenanya sasaran utama dalam pembangunan ekonomi
lebih ditekankan kepada usaha-usaha pencapaian tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Mereka berargumen bahwa seluruh masyarakat akan
mendapatkan manfaat pertumbuhan ekonomi melalui trickle-down effect
(efek tetesan ke bawah)1• Tetesan kemakmuran inilah yang diyakini
memecahkan permasalahan kemiskinan.
1 Peningkatan kekayaan para investor akan disertai tetesan kekayaan mereka ke lapisan masyarakat bawah (bentuk manfaat yang diperoleh masyarakat dengan tetesan kemakmuran orang-orang kaya tersebut misalnya upah yang mereka dapatkan sebagai buruh pabrik).
Awal tahun 1970-an, para ahli ekonomi mulai meragukan manfaat
pertumbuhan produk domestik bruto karena di banyak negara sedang
berkembang terdapat gejala meningkatnya kemiskinan absolut, ketimpangan
distribusi pendapatan, dan pengangguran, walaupun pertumbuhan ekonomi
mengalami peningkatan secara stabil. Muncul pendapat bahwa apabila
pembangunan tidak disertai pemerataan mustahil ia memberikan hasil yg
optimal.
Data empiris dari berbagai negara sedang berkembang selama
periode 1960-1980 menunjukkan semakin melemahnya mekanisme trickle
down effect; pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak secara otomatis diikuti
dengan semakin berkurangnya jumlah kemiskinan di suatu negara. Pada
tahun 1960-an, pertumbuhan ekonomi dunia yang cepat dan relatif stabil
diikuti dengan berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis
kemiskinan. Ketidakstabilan kondisi ekonomi pada 1970-an berasosiasi
dengan tingkat kemiskinan yang relatif tidak berubah, sementara pada tahun
1980-an walaupun dalam ekonomi makro tetapi tidak memberikan pengaruh
yang berarti terhadap pengurangan tingkat kemiskinan (Cutler&Katz, 1991).
Sejalan dengan semakin berkembangnya pendapat bahwa
pembangunan ekonomi akan memberikan hasil yang lebih optimal jika
peningkatan produk domestik bruto disertai dengan perbaikan kualitas hidup
bagi seluruh kelompok masyarakat termasuk yang berpendapatan rendah,
para ahli ekonomi mencoba menganalisis dan meramalkan pengaruh dari
variabel-variabel ekonomi makro tertentu terhadap tingkat kemiskinan. Dari
penelitian-penelitian tersebut diharapkan dapat secara lebih spesifik
2
ditentukan variabel-variabel kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dalam
mengurangi tingkat kemiskinan.
Sejumlah penelitian empiris yang menganalisis pengaruh variabel
variabel ekonomi makro terhadap tingkat kemiskinan yang dilakukan antara
lain oleh Cutler&Katz (1991), dan Powers (1995a) menemukan adanya
hubungan yang kuat antara tingkat kemiskinan dengan berbagai variabel
ekonomi makro. Penelitian-penelitian tersebut juga membuktikan bahwa
tingkat pengangguran dan inflasi keduanya berhubungan positif dengan
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; semakin tinggi
tingkat inflasi dan pengangguran semakin besar tingkat kemiskinan. Lebih
lanjut pengangguran memiliki pengaruh yang kuat terhadap tingkat
kemiskinan sementara inflasi hanya memberikan pengaruh yang relatif kecil.
Hal ini berbeda dengan penelitian Powers (1995b), yang menemukan bahwa
ternyata ada hubungan yang signifikan dan positif antara inflasi dan tingkat
kemiskinan bila tingkat kemiskinan tersebut diukur dari sisi konsumsi
(consumption poverty rate). Hoover& Wallace (2003) menemukan bahwa
tingkat kemiskinan sangat responsif terhadap kondisi pasar tenaga kerja
(tingkat pengangguran dan upah).
Berbagai studi menggunakan pendekatan yang berbeda-beda untuk
mengukur kemiskinan. Di Indonesia sendiri dikenal tiga model pengukuran
kemiskinan. Pertama, Model Tingkat Konsumsi (Basic Needs), digunakan
oleh BPS, sebagai pengukuran resmi kemiskinan di Indonesia, dan oleh
Sayogyo (1971). BPS menggunakan standar minimum makanan dan non
makanan sebagai patokan untuk menentukan garis kemiskinan. Batasan
3
garis kemiskinan menurut BPS adalah 2100 kalori/orang/hari untuk
kebutuhan minimum makanan ditambah dengan kebutuhan minimum bukan
makanan seperti perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan,
dan transportasi. Sedangkan Sayogyo menggunakan tingkat konsumsi
ekuivalen beras perkapita, 240kg/orang/tahun untuk daerah pedesaan dan
360kg/orang/tahun untuk daerah perkotaan. Kedua, Model Kesejahteraan
Keluarga yang digunakan oleh BKKBN. Model ini lebih melihat sisi
kesejahteraan keluarga dari pada sisi kemiskinan. Keluarga Pra Sejahtera
(sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
dasar secara minimal meliputi kebutuhan akan pengajaran agama, pangan,
sandang, papan, dan kesehatan. Ketiga, Model Pembangunan Manusia yang
dipromosikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang di Indonesia
dikembangkan oleh BPS dan Bappenas dengan nama Pembangunan Manusia
Seutuhnya, dimana konsep ini menjadikan kesejahteraan manusia sebagai
tujuan akhir. Model pengukuran kemiskinan ini akan dibahas lebih lanjut
pada Bab IV.
1.2 Perumusan Masalah dan Cakupan
Masalah kemiskinan masih menjadi salah satu masalah utama dalam
perekonomian negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Berbagai upaya
dan kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah
kemiskinan tersebut. Sejumlah penelitian di berbagai negara seperti
Cutler&Katz (1991), Powers (1995a), dan Powers (1995b), menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan dan positif dari pengangguran dan inflasi
terhadap kemiskinan. Dikaitkan dengan kondisi Indonesia, permasalahan
4
yang akan diteliti adalah bagaimana sifat dan signifikansi dari variabel
variabel ekonomi makro yaitu inflasi dan pengangguran terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia. Selain itu juga akan dilihat adanya pengaruh
variabel ekonomi lainnya yaitu pertumbuhan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) dan variabel demografis yaitu pendidikan terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia. Dengan demikian penelitian mencoba melihat:
a. Pengaruh inflasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun
2001-2003.
b. Pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada
tahun 2001-2003.
c. Pengaruh variabel ekonomi lainnya yaitu pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada
tahun 2001-2003.
d. Pengaruh variabel demografis yaitu pendidikan terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia pada tahun 2001-2003.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara
variabel-variabel ekonomi makro yaitu inflasi dan pengangguran terhadap
tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain itu juga akan dilihat adanya
pengaruh variabel ekonomi yaitu pertumbuhan PDRB dan pengaruh variabel
demografi berupa pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada
tahun 2001-2003.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat
kebijakan di negeri ini. Apabila inflasi dan pengangguran memberi pengaruh
yang berarti bagi terciptanya kemiskinan, diharapkan kebijakanan yang
dikeluarkan dapat mengontrol inflasi dan pengangguran sehingga dapat
mengurangi kemiskinan.
Selain itu penelitian ini .diharapkan dapat menjadi acuan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya tentang kemiskinan.
1.5 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan teori dan penelitian-penelitian sebelumnya dapat
disusun suatu rumusan hipotesis sebagai berikut:
1. terdapat hubungan yang signifikan dan positif dari inflasi dan
pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Lebih lanjut,
tinggi rendahnya inflasi dan pengangguran secara bersama-sama sangat
mempengaruhi besarnya tingkat kemiskinan,
2. terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara inflasi dan tingkat
kemiskinan. Inflasi yang tinggi cenderung menyebabkan tingkat
kemiskinan yang juga tinggi,
3. terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara pengangguran dan
tingkat kemiskinan, tinggi rendahnya pengangguran mempengaruhi
tinggi rendahnya tingkat kemiskinan.
Selain itu tingkat kemiskinan juga dipengaruhi oleh variabel ekonomi
lainya seperti pertumbuhan PDRB dan variabel demografis seperti
pendidikan.
6
1.6 Metode Penelitian
Dalam penelitiaan ini, analisis ekonometri data panel digunakan
untuk menjelaskan pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia pada tahun 2001-2003. Penelitian meliputi
provinsi-provinsi di Indonesia (23 provinsi). Penelitian ini tidak memasukkan
provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku, dan Papua karena
tidak tersedianya data untuk ketiga provinsi tersebut. Analisis dilakukan
untuk tingkat kemiskinan yang diukur dengan beberapa indeks.
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan ditulis dalam enam bab sebagai berikut :
Bab I : merupakan bab pendahuluan, dilanjutkan dengan perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis,
gambaran umum metodologi penelitian dan ditutup dengan
sistematika penulisan.
Bab II : berisi kerangka analitis dan penelitian terdahulu yang berkaitan.
Bab III : menjelaskan tentang metodologi penelitian, antara lain model
yang digunakan, data, pengukuran variabel, metode, dan proses
estimasi.
Bab IV : menjelaskan gambaran umum kemiskinan di Indonesia, meliputi
keadaan dan kecenderungan kemiskinan, penghitungan
kemiskinan, dan cara yang telah dilakukan untuk mengurangi
kemiskinan.
Bab V : berisi analisis empiris yang diperoleh.
7
Bab VI : merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan yang diperoleh
dari analisis empiris, saran, dan kelemahan penelitian.
8
2.1 Kerangka Analitis
BABII
LANDASAN TEORI
Pengukuran tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya penting untuk menunjukkan bagaimana kemajuan
ekonoml dapat meningkatkan standar kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat serta bagaimana pengaruh dari berbagai kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat miskin.
Pengangguran dapat mempengaruhi kemiskinan dengan berbagai
cara. Jika rumah tangga tersebut memiliki batasan likuiditas (yang berarti
bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini) maka
pengangguran akan secara langsung mempengaruhi kemiskinan baik yang
diukur dari sisi pendapatan (income poverty rate) maupun kemiskinan yang
diukur dari sisi konsumsi (consumption poverty rate). Jika rumah tangga
tersebut tidak menghadapi batasan likuiditas (yang berarti bahwa konsumsi
saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini) maka peningkatan
pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka
panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Secara
umum, sebagian besar rumah tangga tergantung pada upah atau gaji yang
diterimanya, sehingga terjadinya pengangguran akan menyet:>abkan
hilangnya sebagian besar pendapatan. Lebih jauh, masalah pengangguran
ini lebih sering terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah
sehingga menyebabkan mereka harus hidup di bawah garis kemiskinan.
9
Faktor-faktor ini diramalkan akan menyebabkan hubungan yang signifikan
dan positif antara tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Sedangkan hubungan antara inflasi dan kemiskinan dapat
diterangkan dengan dua cara. Pertama, inflasi mengakibatkan nilai riil dari
uang yang dipegang menjadi turun. Ketika harga meningkat, uang untuk
membelf lebih sedikit (daya beli menjadi turun). Kedua, inflasi
mengakibatkan bunga riil yang diperoleh dari menyimpan uang di bank
menjadi turun sehingga daya beli menjadi turun. Turunnya daya beli ini
mengakibatkan masyarakat menjadi lebih miskin dari sebelumnya.
2.2 Telaah Kepustakaan
Beberapa penelitian yang melihat hubungan kemiskinan dengan
pengangguran dan inflasi telah dilakukan oleh sejumlah peneliti antara lain
a. Cutler & Katz (1991) dan Powers (1995a) menemukan hubungan yang
kuat antara kemiskinan dengan berbagai variabel ekonomi makro.
Penelitian-penelitian tersebut juga membuktikan bahwa tingkat
pengangguran dan inflasi keduanya berhubungan positif dengan jumlah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; semakin tinggi tingkat
inflasi dan pengangguran semakin besar tingkat kemiskinan. Juga
ditemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang kuat terhadap
tingkat kemiskinan sementrtra inflasi hanya memberikan pengaruh yang
relatif kecil.
b. Powers (1995b), menemukan ternyata ada hubungan yang signifikan dan
positif antara inflasi dan tingkat kemiskinan bila tingkat kemiskinan
tersebut diukur dari sisi konsumsi (consumption poverty rate).
10
c. Oktaviani (2001), yang meneliti pengaruh inflasi dan pengangguran
terhadap kemiskinan di perkotaan Indonesia menemukan bahwa inflasi
dan pengangguran bersama-sama dengan variabel ekonomi lainnya serta
variabel demografis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
angka kemiskinan baik yang dihitung melalui head count index
(persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan), poverty
gap index (rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan), maupun distributionally sensitive
index(penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin).
d. Hoover & Wallace (2003), menemukan bahwa tingkat kemiskinan sangat
sensitif terhadap kondisi ekonomi, dimana peningkatan pengangguran
menyebabkan peningkatan kemiskinan.
2.3 Konsep dan Pengukuran Kemiskinan
2.3.1 Kemiskinan dan Ekonomi Kesejahteraan
Titik awal dalam pengukuran ekonomi kesejahteraan adalah
suatu fungsi utilitas yang menyatakan bahwa mengkonsumsi lebih
banyak barang dan jasa akan meningkatkan kesejahteraan, ini
menyiratkan bahwa kesejahteraan seseorang ditentukan oleh
pendapatan atau pengeluaran. Penggunaan pendapatan atau
pengeluaran sebagai pengukuran ke"ejahteraan merupakan hal yang
umum. Beberapa ekonom dan non ekonom tidak setuju dengan
pengukuran kesejahteraan ini. Kondisi sosial lainnya seperti
lingkungan, kondisi kehidupan, tingkat kejahatan dll. dianggap ikut
mempengaruhi kesejahteraan (kemiskinan). Meski demikian,
11
penelitian ini akan menggunakan asumsi bahwa pendapatan atau
pengeluaran digunakan sebagai pengukuran kesejahteraan.
Isu berikutnya adalah bagaimana membandingkan
kesejahteraan. Untuk itu diasumsikan bahwa setiap individu atau
rumah tangga memiliki fungsi utilitas yang sama dan rumah tangga
ini · homogen (pilihan serupa). Tanpa asumsi ini tidak mungkin
membandingkan utilitas diantara rumah tangga.
Isu lainnya lebih ke operasional dari pada konseptual,
penggunaan konsumsi atau pendapatan dalam mengukur
kesejahteraan. Beberapa peneliti beranggapan bahwa belanja
konsumsi lebih baik dalam mengukur kesejahteraan baik dari
perspektif teoritis maupun praktik. Pertama, umumnya kesejahteraan
didefinisikan sebagai utilitas yang diturunkan dari konsumsi barang
dan jasa. Kedua, berhubungan dengan argumen pertama bahwa
rumah tangga cenderung memperlancar konsumsi dengan ataupun
tanpa menggunakan tabungan untuk menjaga suatu standar
kehidupan mapannya. Ketiga, dibanyak negara berkembang data
konsumsi lebih akurat dari pada data pendapatan (Deaton, 1993).
2.3.2 Pengukuran Kemiskinan
Sebelum Sen (1976) mengusulkan suatu pendekatan
aksiomatik pengukuran kemiskinan, head count index- indeks yang
menunjukkan persentase jumlah penduduk yang mempunyai
pendapatan di bawah garis kemiskinan - digunakan secara luas
sebagai suatu ukuran kemiskinan. Pengukuran ini menjawab
12
pertanyaan seberapa banyak jumlah orang miskin tapi tidak dapat
menjawab persoalan intensitas kemiskinan (seberapa miskin orang
. k" ?) m1s ln ..
Tahun 1952, Badan Ketahanan Sosial Amerika
memperkenalkan ukuran kemiskinan lainnya yang dikenal dengan
nama poverty gap. Pengukuran ini mencerminkan intensitas
kemiskinan tapi tidak menghitung kesenjangan diantara orang miskin.
Sen (1976) memperkenalkan suatu pengukuran kemiskinan
yang baru yang memecahkan kelemahan head count index dan
poverty gap. Indeks Sen diperoleh berdasarkan suatu konsep
kesejahteraan ordinal. Masalahnya, pengukuran ini tidak dapat
diterapkan secara operasional karena fungsi pendapatan dalam
pengukuran Sen tidak additively separable. Kakwani (1977) mengikuti
ide Sen dan memperkenalkan sutu pengukuran baru yang
menunjukkan transfer pendapatan dari orang kaya ke orang miskin.
Foster, Greer, dan Thorbecke (1984) mengusulkan suatu
pengukuran operasional yang sekarang diterapkan secara luas dalam
mengukur kemiskinan dan intensitas kemiskinan. Pengukuran lainnya
yang berkembang setelah itu antara lain pengukuran Watt dan Clark,
Hemmil"lg, dan Ulph (1981).
Pada dasarnya, ada dua pendekatan untuk membangun
pengukuran kemiskinan yaitu aksiomatik dan kesejahteraan.
Pendekatan aksiomatik menetapkan aksioma tertentu dimana suatu
indeks kemiskinan harus memuaskan dan mengevaluasi berbagai
13
indeks dalam hal kemampuannya untuk memuaskan aksioma-aksioma
ini. Pengukuran Sen (1976), Takayama (1979), dan Thon (1979)
adalah contoh pendekatan ini. Dilain pihak, pendekatan kesejahteraan
membuat suatu fungsi evaluasi sosial dan membangun indeks-indeks
dengan mengukur kehilangan kesejahteraan sebagai akibat adanya
kemiskinan. Contoh yang menggunakan pendekatan ini antara lain
Blackorby dan Donaldson (1980), Clark, Hemming, dan Ulph (1981),
Hagennars (1986), dan Pyatt (1987). Kontribusi penting lainnya dalam
perkembangan indeks kemiskinan datang dari Kakwani (1980) dan
Foster, Greer dan Thorbecke (selanjutnya disebut FGT) yang
menggunakan pendekatan campuran.
Suatu indeks kemiskinan harus memuaskan aksioma-aksioma
berikut (lkhsan, 1999):
a. Focus. Indeks kemiskinan harus berdasarkan pada pendapatan
orang miskin.
b. Monotonicity. Pengurangan pendapatan satu orang miskin di
bawah garis kemiskinan harus meningkatkan ukuran kemiskinan.
c. Transfer. Transfer pendapatan satu orang miskin di bawah garis
kemiskinan harus meningkatkan level kemiskinan.
d. Population simmetry. Jika dua atau lebih populasi yang identik
disatukan, indeks mestinya tidak berubah.
e. Symmetric Suatu penyusunan kembali pendapatan dalam suatu
distribusi seharusnya tidak berpengaruh pada indeks.
14
f. Mean Independence. Jika pendapatan populasi dan garis
kemiskinan diubah dengan proporsi yang sama, indeks seharusnya
menunjukkan hal yang sama.
g. Additively Decomposable. Jika populasi dapat dibagi lagi ke dalam
m kelompok maka indeks seharusnya dapat menjadi jumlah
tertimbang dari indeks m kelompok.
Salah satu pengukuran kemiskinan yang dapat memuaskan
aksioma-aksioma di atas yaitu pengukuran FGT (Ikhsan, 1999) - yang
akan digunakan dalam penelitian ini. Formula FGT ditampilkan pada
Bab III.
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Model
Model yang akan digunakan untuk menganalisis pengaruh inflasi
dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan seperti juga model yang
digunakan oleh Cutler&Katz (1991). Model yang hampir sama juga
digunakan oleh Oktaviani (2001) dengan menambahkan variabel kontrol
yakni variabel ekonomi lainnya dan variabel demografis. Variabel ekonomi
yang dijadikan varia bel kontrol yaitu koefisien gini2• Sementara varia bel
demografis yang dijadikan variabel kontrol yaitu pendidikan dan persentase
penduduk usia lanjut.
Pada penelitian ini penulis tidak memasukkan rasio gini sebagai
variabel kontrol ekonomi tetapi menggunakan variabel pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain karena tidak tersedianya data
koefisien gini untuk tahun 2001-2003 (hanya tersedia untuk tahun 2002),
juga disebabkan karena sebagian besar ahli ekonomi berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi (PDB) dapat mengejar keterbelakangan ekonomi.
Untuk variabel demografis, penulis hanya menggunakan variabel
pendidikan (indikator yang digunakan angka melek huruf). Hal ini
disebabkan karena beberapa kali regresi yang penulis lakukan, ternyata
variabel persentase usia lanjut tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan kemiskinan.
2 Merupakan suatu ukuran yang biasanya digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan pembagian pendapatan menurut kelas pendapatan. (Tarmidi, 1992)
16
dimana:
Pa.it
Pit
J.l it
GPDRBt
AM Hit
Sehingga model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
P<Xit = ~0 + ~lPit + ~2J.l it - ~3GPDRB it - ~~MHit + E it
tingkat kemiskinan provinsi i pada tahun t
tingkat inflasi provinsi i pada tahun t
tingkat pengangguran provinsi i pada tahun t
pertumbuhan PDRB provinsi i pada tahun t
angka melek huruf provinsi i pada tahun t
Persamaan inilah yang akan digunakan dalam analisis empiris untuk menguji
arah hubungan antara variabel-variabel tersebut. Besarnya pengaruh dari
tingkat inflasi, tingkat pengangguran, pertumbuhan PDRB, dan angka melek
huruf dilambangkan dengan notasi ~1, ~2, ~3, ~4-
3.2 Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data publikasi BPS
yang meliputi data tingkat kemiskinan, tingkat inflasi, tingkat pengangguran,
PDRB, dan angka melek huruf. Penelitian ini menggunakan data panel
(cross section dan time series) untuk provinsi-provinsi di Indonesia tahun
2001-2003. Penelitian meliputi 23 provinsi. Penelitian ini tidak memasukkan
provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku, dan Papua karena
tidak tersedianya data untuk ketiga provinsi tersebut.
Dalam penelitian ini digunakan variabel tidak bebas yaitu tingkat
kemiskinan dan beberapa variabel bebas yaitu tingkat inflasi dan tingkat
pengangguran sebagai variabel bebas utama serta variabel kontrol yaitu
pertumbuhan PDRB dan angka melek huruf.
17
Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah:
- Tingkat kemiskinan, dihitung dengan Foster-Greer-Thorbecke {FGT)
Poverty Index 3, dengan rum us sebagai berikut:
q
Pa = 1/n L [(z-yi)/z]a i=l
dimana: a = 0, 1, 2
z = garis kemiskinan
Yi = rata-rata pengeluaran perbulan perkapita penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan (i= 1, 2, 3, ... , q)
q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan
n = jumlah penduduk
Jika a = 0 maka diperoleh Head Count Index (PO); a = 1 adalah Poverty
Gap Index(P1); dan a= 2 adalah Distributionally Sensitive Index(P2).
Head Count Index (PO) merupakan jumlah persentase penduduk yang
berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Semakin kecil angka ini
menunjukkan semakin berkurangnya jumlah penduduk yang berada di
bawah GK, begitu pula sebaliknya.
Poverty Gap Index (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap GK. Angka ini
memperlihatkan jurang (gap) antara pendapatan rata-rata yang diterima
3 FGT Poverty Index ditemukan oleh Foster, Greer, dan Thorbecke pada tahun 1984. Perhitungan ini merupakan perhitungan tingkat kemiskinan yang digunakan oleh BPS sebagai pengukuran kemiskinan resmi di Indonesia.
18
penduduk miskin dengan GK. Semakin kecil angka ini menunjukkan
secara rata-rata pendapatan penduduk miskin sudah semakin mendekati
GK. Semakin tinggi angka ini semakin besar rata-rata kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap GK atau dengan kata lain
semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk
miskin semakin terpuruk.
Distributionally Sensitive Index (P2) memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka ini
memperlihatkan sensitivitas distribusi pendapatan antar kelompok miskin.
Semakin kecil angka ini menunjukkan distribusi pendapatan diantara
penduduk miskin semakin merata.
- Garis kemiskinan (GK), dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran
makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi yang
telah ditetapkan. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan GK periode
sebelumnya yang disesuaikan dengan inflasi atau deflasi. GK dibagi ke
dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Batas kecukupan makanan dihitung dari besarnya rupiah yang
dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi
2.100 kalori per kapita per hari. Penghitungan kecukupan kalori ini
didasarkan pada 52 komoditi makanan.
Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang
dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum
19
seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan
lain-lain.
GK = GKM + GKNM
- llngkat inflasi dihitung dengan pendekatan Indeks Harga Konsumen
(IHK) di 43 kota.
lnf = (IHKt- IHI<t-1) I IHKt-1
Jadi tingkat inflasi provinsi diambil dari perhitungan tingkat inflasi kota di
provinsi tersebut. Untuk provinsi-provinsi yang dilakukan penghitungan
IHK lebih dari satu kota, diambil rata-ratanya. Cara perhitungan inflasi
yang sama juga dilakukan oleh Lestari (2003).
- llngkat pengangguran atau angka pengangguran terbuka yaitu
persentase perbandingan antara pencari kerja dengan jumlah angkatan
kerja. Pencari kerja adalah mereka yang belum memiliki pekerjaan dalam
seminggu sebelum pendataan. Angkatan kerja adalah penduduk 10 tahun
keatas yang bekerja maupun yang sudah bekerja sebelumnya atau yang
sedang mencari pekerjaan dalam seminggu yang lalu.
llngkat pengangguran = Jumlah pencari keda x 100°/o Jumlah Angkatan Kerja
Untuk penelitian ini penulis memperluas pengertian pengangguran
dengan menambahkan jumlah pekerja <15 jam (setengah menganggur)
per minggu sebagai pengangguran. Hal ini sehubungan dengan penelitian
Ikhsan (1999) yang menyebutkan bahwa pekerja setengah menganggur
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian kemiskinan di
Indonesia.
20
- Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (GPDRB). PDRB yang
digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB non migas harga konstan.
GPDRB = PDRBt- PDR6t-1 PDRBt-1
Pendidikan. Indikatornya adalah angka melek huruf yaitu proporsi
penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis
dalam huruf latin atau lainnya. Untuk penelitian ini penulis memakai
angka melek huruf untuk kelompok umur 15-55 tahun.
3.3 Metode Estimasi
Dalam metode ekonometri, jika data yang diestimasi berupa data
time series (sebanyak T observasi), maka parameter hasil estimasi
diasumsikan konstan sepanjang periode tertentu dan hasil estimasi tersebut
dapat diketahui variasinya sepanjang periode tersebut.
Jika data yang diestimasi berupa data cross sedion (sebanyak N
observasi), maka parameter hasil estimasi diasumsikan konstan untuk semua
individu dan hasil estimasi tersebut dapat diketahui variasi 'antar' individu
dan variasi 'satu' individu dalam periode tersebut.
Dengan demikian, penggunaan data panel (cross sedion dan time
series) memberikan hasil yang lebih menyeluruh dibandingkan hasil estimasi
time series maupun cross sedion. Disamping itu, penggunaan data panel
berarti menambah jumlah observasi sehingga akan berakibat positif pada
hasil estimasi, yaitu dengan memperbesar derajat kebebasan (degrees of
freedom) dan menurunkan kemungkinan terjadinya kolinearitas (hubungan
linier yang signifikan) antar variabel bebas.
21
Baltagi (2001) menyebutkan bahwa model data panel mempunyai
keuntungan sebagai berikut:
a. Dapat mengontrol individu yang heterogen, dimana data individu seperti
perusahaan, antar wilayah, sangat bervariasi. Tanpa mengontrol, data
data tersebut akan bias.
b. Data panel dapat memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih
bervariasi, berkurangnya kolinearitas antar variabel, meningkatnya
derajat kebebasan, dan semakin efisien ..
c. Data panel dapat digunakan untuk meneliti dynamic of adjusment, yang
dapat mendeteksi efek-efek yang tidak dapat dilakukan oleh model cross
section atau time series.
d. Memungkinkan untuk membangun dan menguji model perilaku yang
lebih kompleks.
Walaupun demikian, penggunaan data panel dalam estimasi
dihadapkan pada masalah bagaimana merumuskan model yang dapat
menangkap perbedaan perilaku antar-unit dan atau antarwaktu. Setelah
model terbentuk, masalah selanjutnya yang timbul adalah bagaimana
prosedur estimasi untuk hasil yang efisien serta prosedur pengujian
hipotesisnya.
Bentuk persamaan data panel menurut Greene (1993) adalah:
untuk i = 1, 2, ... , N dan t = 1, 2, ... , T, dimana N adalah jumlah individu, T
adalah jumlah periode tahun. a adalah skalar; J3 adalah vektor yang
berdimensi (kx1); Xit mempunyai sebanyak k regressors, tidak termasuk
22
constant term; Zi'a adalah heterogenitas atau efek individu yang
mengandung constant term dan satu set varia bel individu atau grup spesifik.
Ada tiga model yang dapat digunakan untuk mengestimasi data
panel.
a. Pooling regression model, yaitu dengan mengkombinasikan atau
mengumpulkan semua data cross section dan time series, lalu
mengestimasi model tersebut menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS). Dalam model pooling ini, Zi hanya merupakan constant
term. Jadi tidak ada efek individu.
b. Rxed effect model, yaitu dengan mempertimbangkan bahwa peubah
peubah yang dihilangkan (omitted variable) dapat mengakibatkan
perubahan dalam intersep cross section dan time series. Dummy variable
ditambahkan dalam model tersebut sehingga memungkinkan terjadinya
perubahan-perubahan intersep. Selanjutnya model diduga dengan OLS.
Dalam model ini, Zi tidak terobservasi tetapi berkorelasi dengan Xit· Fixed
effect model diperlihatkan sebagai berikut:
c. Random effect model, yaitu untuk meningkatkan efisiensi proses
pendugaan kuadrat terkecil, error term dalam cross section dan time
series diperhitungkan sehingga teknik yang digunakan adalah Generalized
Least Square (GLS). Dalam model ini, antar-individu bersifat heterogen
dan tidak berkorelasi dengan X. Efek ind!vidu ( ui) merupakan elemen
acak grup spesifik pada setiap grup. Random effect model diperlihatkan
sebagai berikut:
23
Yit = ~t'l3 + a + Ui + Eit
3.4 Tahapan Analisis Data
3.4.1 Pemilihan Model Data Panel
Dari ketiga model data panel di atas akan dilakukan uji untuk
menentukan model mana yang sesuai dengan data yang digunakan.
Dengan bantuan software Eviews uji yang akan dilakukan tersebut
yaitu:
Pertama: Uji Spesifikasi
Uji ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya efek individu. Apabila
tidak terdapat efek individu maka model yang cocok adalah pooling
regression model. Sebaliknya apabila terdapat efek individu maka
akan dilakukan uji kedua yaitu Uji Hausman.
Uji Spesifikasi dilakukan dengan menggunakan Uji-F.
F(n-l,nT-n-k) = (R2LSo:- R2POOLED) I (n-1) (1 - R LSov) I (nT- n - k)
Dibandingkan dengan fTabel.
fTabel = F(vl, v2, a)
dimana
v1 = n-1
v2 = nT- n- k
a = tingkat kesalahan
R2LSDV = R2 dari fixed effect model
R2POOLED = R2 dari polling regression model
n = jumlah individu
T = jumlah time series
24
k = jumlah regressor dari varia bel bebas
Uji ini dilakukan dengan membandingkan antara fstatistik dan Frabel·
Apabila fstatistik < Frabel maka model yang cocok adalah pooling
regression model. Tetapi apabila fstatistik > Frabel ditolak pooling
regression model dan selanjutnya dilakukan uji kedua.
Kedua: Uji Hausman
Uji ini dilakukan untuk melihat kecocokan fixed effect model atau
random effect model.
Rumus Uji Hausman:
H = (p/1 RE- p/1 FE)'(LFE- LREr1(P/I RE- p/1 FE)
Dimana PRE: random effect estimator, PRE: fixed effect estimator, LFE:
matriks kovarians random effect; LRE: matriks kovarians fixed effect
Dengan Eviews dapat diperoleh hasil Uji Hausman beserta p-value
nya. Apabila diperoleh p-value yang dihasilkan signifikan maka dipilih
fixed effect model. Sebaliknya apabila p-value yang dihasilkan tidak
signifikan maka dipilih random effect model.
3.4.2 Pengujian Pelanggaran Asumsi Dasar
Permasalahan yang sering timbul pada penelitian terhadap
data ekonomi adalah adanya pelanggaran asumsi dasar yaitu
otokorel3si, heteroskedastisitas, dan kolinearitas berganda
(multikolinieritas). Pelanggaran asumsi tersebut menyebabkan model
estimasi menjadi tidak efisien. Deteksi ada tidaknya pelanggaran
asumsi tersebut juga dilakukan pada model data panel.
25
Asumsi dasar yang pertama adalah tidak adanya korelasi
antar gangguan ( otokorelasi). Adanya masalah otokorelasi ini akan
menghasilkan estimasi koefisien yang konsisten dan tidak bias tetapi
dengan varian yang besar, dengan kata lain hasil penafsiran tidak
efisien. Estimasi yang tidak efisien ini menyebabkan nilai t-hitung
cenderung kecil dan hasil pengujian cenderung tidak signifikan.
cara yang paling sering digunakan untuk mendeteksi adanya
otokorelasi adalah dengan uji Durbin Watson (OW). Uji ini dilakukan
dengan membandingkan nilai OW statistik dengan OW tabel.
Untuk mengatasi dan menghilangkan otokorelasi adalah
dengan cara memasukkan variabel autoregressive-nya4•
Asumsi dasar yang kedua yaitu varian dari setiap error term
adalah konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi
diatas tidak tercapai. Dengan demikian tiap observasi mempunyai
reliabilitas yang berbeda-beda. Dampak adanya heteroskedastisitas
adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasi
sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Dengan adanya masalah
heteroskedastisitas mengakibatkan hasil uji-t dan uji-F dapat menjadi
tidak berguna bahkan menyesatkan.
Dengan Eviews uji heteroskedastisitas dapat dilakukan
dengan membandingkan sum of squared residual weighted (ssrw) dan
unweighted (ssruw). Jika ssruw lebih kecil dari ssrw maka tidak terjadi
4 Merupakan perlakuan yang biasa dilakukan pada data yang terjadi otokorelasi. Caranya dengan memasukkan lag dari variabel tidak bebas pada model.
26
heteroskedastisitas namun sebaliknya terjadi heteroskedastisitas
namun parameter yang diduga sudah diperbaiki.
Asumsi dasar yang ketiga yaitu tidak ada hubungan linier
yang signifikan antara beberapa atau semua variabel bebas dalam
model regresi. Pelanggaran asumsi ini disebut dengan
multikolinearitas. Indikasi terjadinya multikolinearitas adalah antara
lain tingginya R2, nilai uji-F signifikan, namun ada variabel yang
secara parsial tidak signifikan (nilai uji-t tidak signifikan).
Untuk mengatasi dan menghilangkan adanya multikolinearitas
adalah dengan penyederhanaan model (mengurangi jumlah variabel
bebas dengan melihat uji-t yang tidak signifikan) atau dengan
menambah observasi.
27
BABIV
KEMISKINAN DI INDONESIA
4.1 Keadaan dan Kecenderungan
Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa persentase penduduk miskin
sebelum tahun 1999 setiap tahunnya selalu menurun. Pada tahun 1976
tercatat sekitar 40,1 persen dari keseluruhan jumlah penduduk masih berada
di bawah garis kemiskinan, sementara pada tahun 1993 hanya tinggal 13,7
pensen penduduk Indonesia yang tergolong miskin. Pada tahun 1996 jumlah
penduduk miskin berkurang lagi menjadi 11,3 persen dari total penduduk.
Dengan menggunakan garis kemiskinan. baru (metode revisi)-yang
ditetapkan pada tahun 1998 untuk mencerminkan perubahan standar
hidup-proporsi penduduk miskin tahun 1996 adalah 17,6 persen. Pada saat
krisis ekonomi, penduduk miskin bertambah hingga menjadi 23,4 persen
(1999) dan mulai turun lagi menjadi 18,2 persen pada tahun 2002 dan
tinggal 16,7 persen pada tahun 2004.
Gambar 4.1 Kecenderungan Kemiskinan di Indonesia 1976-2004
45.0 T:-:r::?7.'~~~~~~~~~"'5"'""7":""7--:-:::~"!f!'!'~~~~~~~
40.0 M~S~~~~~~~::=::ti~~~~~~~ 35.0 r-:-~___:.-:-'--7---=-~~iF2~~~~
30.0 g~~~~~~g~~~~:::::::::::::::!:=:::::::::;~~~~~~~
5} 25.0 ~"'-::":-:::..___,_-,----....--;::::-i:i;=~~~~~~~~;?r-,--~==f~=,:;.::;=:;=.~~ VI
~ 20.0 h~~:07~~-:;f:;~t:5~tD~~~~~m;JI~~~-:;:tr;":t;j 15.0 -++-' ~~~~...,...--'-__;_.;:::;~~:-:r..,........._;'---'-...:.....-~-,-----,.~~~~~~~-'+"1
1 0.0 +-:-=-=-:~~~::..:;.;;....,~,-,.--"-'----=....c~'--=:,.:..;c...:::::-~~~~~~::::=~:--=!
5.0 +-:-~~~~~~~::..__~~-~~~~~====~~~==~
0.0 +-~==~~~=r==~~~~~~~~~~~T=~~~~
1976 1980 1984 1987 1990 1993 1996 1996 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sumber: Publikasi BPS
28
Tabel4.1 Data Kemiskinan Indonesia tahun 2004
Provinsi Jumlah penduduk Head Count Poverty Gap Distributional/y Miskin (000} Index Index Sensitive Index
Nanggroe Aceh D. 1.157,2 28.47 6.32 1.98 Sumatera Utara 1.800,1 14.93 2.32 0.59 Sumatera Barat 472,4 10.45 1.52 0.37 Riau 744,4 13.12 2.28 0.70 Jambi 325,1 12.45 2.04 0.54 Sumatera Selatan 1.379,3 20.92 3.98 1.09 Bengkulu 345,1 22.39 3.82 0.98 L.ampung 1.561,7 22.22 4.12 1.12 Bangka Belitung 91,8 9.07 1.35 0.31 DKI Jakarta 277,1 3.18 0.42 0.09 Jawa Barat 4.654,2 12.10 1.91 0.48 Jawa Tengah 6.843,8 21.11 3.58 0.97 DI Yogyakarta 616,2 19.14 3.52 0.96 Jawa Timur 7.312,5 20.08 3.42 0.92 Ban ten 779,2 8.58 1.26 0.30 Bali 231,9 6.85 0.92 0.21 Nusa Tenggara Barat 1.031,6 25.38 4.35 1.16 Nusa Tenggara Timur 1.152,1 27.86 5.12 1.48 Kalimatan Barat 558,2 13.91 2.28 0.60 Kalimantan Tengah 194,1 10.44 1.98 0.68 Kalimatan Selatan 231,0 7.19 1.04 0.24 Kalimantan Timur 318,2 11.57 2.06 0.60 Sulawesi Utara 192,2 8.94 1.08 0.54 Sulawesi Tengah 486,3 21.69 4.03 1.14 Sulawesi Selatan 1.241,5 14.90 2.42 0.63 Sulawesi Tenggara 418,4 21.90 3.80 0.98 Gorontalo 259,1 29.01 6.95 2.32 Maluku 397,6 32.13 6.32 1.82 Maluku Utara 107,8 12.42 2.06 0.45 Papua 966,8 38.69 10.56 5.01
Indonesia 36.146,9 16,66 2.89 0.78 Sumber: Publikasi BPS
Masalah kemiskinan di Indonesia bukan hanya jumlahnya yang
besar tapi tetapi juga disparitas yang tinggi antar wilayah, provinsi, ataupun
kabupaten dan kota, dan kemiskinan transien (sejumlah besar penduduk
akan tergolong miskin bila terjadi sesuatu perubahan keadaan/kebijakan)
yang serius. Disparitas antar wilayah terlihat, misalnya, dari keadaan DKI
Jakarta dan Papua. Dari head count index (persentase penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan) pada Tabel 4.1 terlihat bahwa 38,69
29
persen dari penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan nasional,
sedangkan penduduk miskin di DKI Jakarta hanya 3,18 persen.
Dari poverty gap index (rata-rata kesenjangan pengeluaran masing
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan) pada Tabel 4.1 terlihat
bahwa Papua juga merupakan provinsi yang paling tinggi rata-rata
kesenjangannya (10,56 persen) dan DKI Jakarta merupakan provinsi yang
paling rendah rata-rata kesenjangannya (0,42 persen).
Hal yang sama terlihat untuk distributionally sensitive index
(penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin). Dari Tabel 4.1 terlihat
bahwa Papua merupakan provinsi yang paling tidak merata distribusi
pendapatan/pengeluarannya di antara penduduk miskin (5,01 persen) dan
DKI Jakarta merupakan provinsi dengan distribusi pendapatan/pengeluaran
yang paling merata di antara penduduk miskin (0,09 persen).
Masalah lainnya adalah terdapatnya sejumlah besar penduduk yang
pendapatannya/pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan. Kelompok
ini sangat rentan untuk masuk kategori penduduk miskin bila terdapat
perubahan kebijakan. Ini terlihat ketika garis kemiskinan diubah (dinaikan),
dengan menggunakan garis kemiskinan 1996, jumlah penduduk miskin pada
tahun 1996 adalah 11,3 persen dari total penduduk, tetapi ketika
menggunakan kriteria garis kemiskinan baru 1998, angka ini menjadi 17,6
persen (Gambar 4.1).
30
4.2 Penghitungan Kemiskinan
4.2.1 Metode Penghitungan Resmi; Badan Pusat Statistik (BPS)
Banyak negara, organisasi, dan perorangan memperhatikan masalah
kemiskinan, tapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengukur
kemiskinan yang akurat dan tepat dan bagaimana mereka bisa tahu apakah
usaha inereka berdampak. Belum tentu standar-standar nasional cocok
untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya
cukup beragam.
Di Indonesia sendiri pengukuran yang dilakukan BPS sebagai
pengukuran yang resmi adalah menggunakan pendekatan kebutuhan dasar.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
makanan maupun non-makanan yang bersifat mendasar.
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, indikator yang digunakan
adalah Head Count Index yaitu jumlah persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan rata-rata
pengeluaran makanan dan non-makanan per kapita pada kelompok referensi
yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk
kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di
atas perkiraan awal garis kemiskinan. Perkiraan awal garis kemiskinan ini
dihitung berdasarkan garis kemiskinan periode sebelumnya yang disesuaikan
dengan inflasi atau deflasi. Garis kemiskinan dibagi ke dalam dua bagian
yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan.
31
Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah
yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum
energi 2.100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil
Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Sejak tahun 1993 penghitungan
kecukupan kalori ini didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang
telah disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk.
Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang
dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum
seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain
lain. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami
perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan
perubahan pola konsumsi penduduk.
Penyempurnaan metode penghitungan kemiskinan yang cukup
mendasar dilakukan pada penghitungan tahun 1999. Perubahan standard ini
meliputi perluasan cakupan komoditi bukan makanan yang diperhitungkan
dalam kebutuhan dasar. Disamping itu penyempurnaan dilakukan pula
dengan mengukur perbandingan antardaerah dan antarwaktu yang
disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat harga antardaerah yaitu dengan
cara melakukan standarisasi harga terhadap harga di DKI Jakarta.
Indikator lain yang digunakan dalam mengukur tingkat kemiskinan
adalah indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap IndeX) dan indeks
keparahan kemiskinan (Distributional/y Sensitive IndeX). Poverty Gap Index
merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing
penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai ini semakin
32
besar rata-rata kesenjangan pengeluaran perduduk miskin terhadap garis
kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan
kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Distributionally
Sensitive Index memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin dan dapat juga digunakan untuk mengetahui
intensitas kemiskinan.
4.2.2 Metode Penghitungan Lainnya
a. Pendekatan Kesejahteraan Keluarga; Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN)
Berbeda dengan BPS, BKKBN lebih melihat dari sisi
kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survei juga
berbeda dimana BPS menggunakan rumah tangga5 sedangkan
BKKBN digunakan keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari
program Keluarga Berencana (KB) yaitu keluarga yang berkualitas.
Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan
program yang disebut pendataan keluarga.
Data kemiskinan dilakukan lewat pentahapan keluarga
sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu: Keluarga Pra
Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga
Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III, dan Keluarga Sejahtera III
Plus.
5 Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bagian bangunan fisik/sensus yang biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur (Cahyat, 2004).
33
Indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan
keluarga sejahtera adalah seperti terlihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Indikator Keluarga Sejahtera, BKKBN
No Tahapan Indikator 1 Keluarga Pra Sejahtera Belum dapat memenuhi salah satu atau lebih
(Sangat Miskin) indikator berikut: a. Ekonomi
- Makan dua kali atau lebih sehari - Memiliki pakaian yang berbeda untuk aktifitas
(misalnya di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian)
- Bagian terluas lantai rumah bukan tanah. b. Non Ekonomi
- Melaksanakan Ibadah - Bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan.
2 Keluarga Sejahtera I Belum dapat memenuhi salah satu atau lebih (Miskin) indikator berikut:
a. Ekonomi - Paling kurang sekali seminggu keluarga makan
daging atau ikan atau telor - Setahun terakhir seluruh anggota keluarga
memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru
- Luas lantai rumah paling kurang 8m2 untuk tiap penghuni.
b. Non Ekonomi - lbadah teratur - Sehat tiga bulan terakhir - Punya penghasilan tetap - Usia 1-60 tahun dapat baca tulis huruf latin - Usia 6-15 tahun bersekolah.
3 Keluarga Sejahtera II Belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator berikut: - Memiliki tabungan keluarga - Makan bersama sambil berkomunikasi - Mengikuti kegiatan masyarakat - Rekreasi bersama ( enam bulan terakhir) - Meningkatkan pengetahuan agama - Memperoleh berita dari surat kabar, radio,
TV, dan majalah - Menggunakan sarana transportasi.
4 Keluarga Sejahtera Sudah dapat memenuhi beberapa indikator berikut: III - Memiliki tabungan keluarga
- Makan bersama sambil berkomunikasi - Mengikuti kegiatan masyarakat - Rekreasi bersama ( enam bulan terakhir) - Meningkatkan pengetahuan agama
34
- Memperoleh berita dari surat kabar, radio, lV, dan majalah
- Menggunakan sarana transportasi. Tetapi belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator berikut: - Aktif memberikan sumbangan material secara
teratur - Aktif sebagai pengurus organisasi
kemasyarakatan. 5 Keluarga Sejahtera Sudah dapat memenuhi beberapa indikator berikut
III Plus - Aktif memberikan sumbangan material secara teratur
- Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
Sumber: Cahyat (2004)
b. Pendekatan Pembangunan Manusia
Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh
lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program
pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP),
laporannya sering disebut Human Development Report (HDR). Di
Indonesia model ini dikembangkan oleh BPS dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang disebut
sebagai "Pembangunan Manusia Seutuhnya".
HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan
secara lebih komprehensif, dimana pembangunan harus
menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan
menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep
ini juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya
adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang
paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah
hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan
dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan
35
standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah
kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan
penghormatan secara pribadi.
Indikator-indikator dalam HDR dapat dikelompokkan ke
dalam enam dimensi yaitu:
i. Umur yang panjang dan hidup sehat
ii. Pengetahuan
iii. Standar hidup yang layak
iv. Partisipasi politik
v. Partisipasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan
vi. Memiliki kebutuhan dalam sumber daya ekonomi
4.3 Kebijakan dan Program
Target penanggulangan kemiskinan secara nasional, sesuai arahan
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, adalah
mengurangi jumlah penduduk miskin dari 18,2 persen pada 2002 menjadi
14,0 persen pada 2004. Target itu dicapai melalui dua strategi. Pertama,
meningkatkan pendapatan melalui perluasan peluang usaha, kesempatan
kerja, dan peningkatan produktifitas penduduk miskin. Kedua, mengurangi
pengeluaran keluarga miskin untuk pangan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur. Adapun kebijakan utamanya adalah perluasan kesempatan,
pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas sumber daya manusia,
dan perlindungan sosial.
Penanggulangan kemiskinan mendapat prioritas utama di dalam
Propenas 2000-2004, berdasarkan UU No.25/2000. Penanggulangan
36
kemiskinan ditempuh melalui tiga program. Pertama, penyediaan kebutuhan
pokok berupa bahan pokok pangan, pelayanan dasar di bidang kesehatan,
pendidikan, dan perumahan bagi keluarga dan kelompok masyarakat miskin
secara merata. Program ini dijabarkan ke dalam berbagai kegiatan seperti
penyediaan dan pencadangan bahan pokok secara terus-menerus;
pengendalian harga bahan pokok; penyediaan pelayanan dasar, terutama
kesehatan dan pendidikan; perluasan jaringan pelayanan dalam penyediaan
kebutuhan pokok; dan perbaikan lingkungan perumahan, termasuk air
bersih.
Kedua, pengembangan budaya usaha masyarakat miskin hingga
dapat melakukan usaha ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap
demokratis dan mandiri. Program kedua ini mencakup kegiatan
pengembangan pendidikan dan latihan keterampilan usaha; pendampingan
melalui bimbingan dan konsultasi; penciptaan jaringan kerja sama dan
kemitraan usaha yang didukung oleh organisasi masyarakat setempat,
pemerintah daerah, swasta, dan perguruan tinggi; penyediaan kemudahan
akses terhadap sumber daya-sumber daya; penyediaan prasarana dan
sarana usaha bagi keluarga miskin; dan penyediaan pemukiman transmigrasi
baru untuk petani yang tidak memiliki lahan pertanian.
Ketiga, pengembangan sistern dana jaminan sosial yang dapat
melindungi kelompok masyarakat dari situasi yang mengurangi pendapatan
atau konsumsinya. Kelompok sasaran diprioritaskan pada keluarga miskin,
anak terlantar, kelompok lanjut usia, dan penyandang cacat. Program ini
mencakup kegiatan pengembangan sistem jaminan sosial yang efektif sesuai
37
dengan budaya masyarakat; pemantapan sistem jaminan sosial yang sudah
berkembang di masyarakat; peningkatan kemampuan pemerintah daerah
dan masyarakat dalam pengelolaan sistem jaminan sosial.
Keseluruhan program penanggulangan kemiskinan bersifat lintas
sektoral dan komprehensif. Selain program dan kegiatan di atas, terdapat
lagi kegiatan pendukung lainnya yang tersebar dalam berbagai program
pembangunan.
38
BABY
ANALISIS EMPIRIS
5.1 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa tingkat kemiskinan di
setiap provinsi di Indonesia dipengaruhi oleh inflasi dan pengangguran.
Inflasi · akan mengurangi pendapatan riil sehingga mengurangi tingkat
konsumsi masyarakat dan cenderung mempertinggi tingkat kemiskinan,
sedangkan peningkatan pengangguran . akan menyebabkan hilangnya
sebagian besar penerimaan yang akan menyebabkan semakin rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat sehingga akan meyebabkan meningkatnya
kemiskinan. Selain itu tingkat kemiskinan juga dipengaruhi oleh
pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dan variabel
demografis yaitu pendidikan.
Secara umum, data yang ada menunjukkan kecenderungan
berkurangnya tingkat kemiskinan di sebagian besar provinsi di Indonesia,
baik dihitung dengan metode head count poverty, poverty gap index,
maupun distributiona/ly sensitive index Hal tersebut menunjukkan relatif
semakin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara lebih spesifik
bila dihitung dengan metode head count poverty terlihat bahwa jumlah
penduduk miskin pada tahun 2004 telah berkurang menjadi 16.7°/o dari
jumlah penduduk. Demikian pula menggunakan poverty gap index yang
mengukur jurang antara pendapatan (konsumsi) rata-rata penduduk miskin
dengan garis kemiskinan terlihat kecenderungan semakin kecilnya jurang
tersebut, ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai Pl dari waktu ke waktu.
39
Sementara nilai P2 yang semakin kecil menunjukkan semakin meratanya
distribusi pengeluaran/pendapatan diantara kelompok masyarakat miskin.
5.2 Hasil Estimasi
Sebelum melakukan regresi untuk melihat pengaruh inflasi dan
pengangguran terhadap kemiskinan, penulis melakukan regresi untuk
melihat ada tidaknya hubungan antara inflasi dan pengangguran. Hal ini
dilakukan karena adanya kemungkinan trade off antara inflasi dan
pengangguran yang dikenal dengan istilah Kurva Phillips6•
Hasil regresi dengan fixed effed model menunjukkan bahwa
pengangguran memberi pengaruh yang searah terhadap inflasi (koefisien
regresi 0,59 signifikan pada 1 °/o). Hal ini menunjukkan bahwa pada periode
penelitian penulis antara inflasi dan pengangguran tidak terdapat trade off.
Hal ini lebih sesuai dengan pendapat Edmund Phelps ( 1968) dan Milton
Friedman (1969) yang menemukan bahwa tidak terdapat trade off antara
inflasi dan pengangguran.
5.2.1 Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Head Count
Index(PO)
Setelah melakukan beberapa kali regresi, ternyata model
yang cocok untuk melihat pengaruh inflasi dan pengangguran
terhadap Head Count Index (Po) adalah
dimana:
POait : Head Count Index provinsi i pada tahun t
6 Phillips (1958) menemukan dalam jangka panjang antara inflasi dan pengangguran terdapat "trade off' yang sering dikenal sebagai Kurva Phillips.
40
Pit : tingkat inflasi provinsi i pada tahun t
J.1 it : tingkat pengangguran provinsi i pada tahun t
GPDRBt : pertumbuhan PDRB provinsi i pada tahun t
AMHit : angka melek huruf provinsi i pada tahun t
a. Pemilihan Model Data Panel
Dari uji spesifikasi diperoleh nilai Fstatistik = 33,02. Nilai ini
lebih besar dari nilai Frabel = 1,84 (F(22, 42, o,os>· Sesuai ketersediaan
data tabei-F digunakan proksi Fc2o, 40, o,os>)· Sehingga pooling
regression model tidak cocok digunakan. Untuk itu dilakukan uji
berikutnya yaitu Uji Hausman.
Dari Uji Hausman diperoleh Chi-squared -8,57 dengan p
value 0,07 (signifikan pada 10°/o). Hasil ini menunjukkan bahwa
model yang cocok adalah fixed effect model
b. Pengujian Pelanggaran Asumsi Dasar
Hasil estimasi diperoleh DW statistik 2,25. Dibandingkan
dengan DW tabel, nilai ini lebih besar dari dL = 1,49 dan du= 1,74
serta lebih kecil dari 4-dL =2,51 dan 4-du =2,26. Ini menunjukkan
tidak terjadi otokorelasi.
Ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai sum
squared resid (ssr). Nilai ssruw=130,05 yang lebih besar dari
ssrw= 120,47 menunjukkan terjadinya heteroskedastisitas.
Pelanggaran asumsi ini telah langsung dihilangkan ketika
menggunakan metode weighted.
41
Dari nilai R2 yang tinggi, F statistik dan t statistik yang
signifikan (lihat tabel 5.1) menunjukkan tidak terdapat
multikolinearitas.
c. Analisis
Tabel 5.1 Estimasi Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Head Count Index menggunakan Fixed Effect
Varia bel
Tingkat Inftasi Tingkat Pengangguran Pertumbuhan PDRB Angka Melek Huruf Adjusted R-squared F statistik p-value Jumlah observasi
*** signifikan pada 1% ** signifikan pada 5 % * signifikan pada 10 %
Koefisien
01106804 *** 0,157231 *** 0,203758*** -0 194804***
I
t statistik p-value
10,08889 0,0000 4 673315 0,0000 4 156829 0,0002 -3,811299 0 0004
0,933847 529,6587 0,000000
69
Hasil estimasi seperti diperlihatkan tabel 5.1 menunjukkan
bahwa secara umum model yang digunakan cukup memuaskan
dalam menjelaskan pengaruh variabel bebas (tingkat inflasi,
tingkat pengangguran, pertumbuhan PDRB, dan angka melek
huruf) secara bersama-sama terhadap head count index,
ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (Adjusted R-
squared) yang besar {0,93). Selain itu notasi dari variabel-variabel
inti yang dianalisis sesuai dengan yang diharapkan kecuali variabel
pertumbuhan PDRB. Keeratan pengaruh variabel-variabel bebas
dan variabel terikat diperlihatkan dengan nilai F statistik yang
sangat tinggi dengan tingkat kepercayaan 99 persen menandakan
42
pengaruh yang sangat erat antara variabel-variabel bebas dengan
variabel terikat.
Hasil t statistik pada tingkat kepercayaan 99 persen
memperlihatkan bahwa tingkat inflasi memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Koefisien regresi
sebesar 0,11 menunjukkan bahwa setiap peningkatan sebesar 1
persen tingkat inflasi akan menyebabkan kenaikan head count
index sebesar 0,11 persen dengan asumsi bahwa variabel-variabel
yang lain adalah tetap. Dengan kata IC:Iin peningkatan inflasi akan
meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Pengaruh yang signifikan dari inflasi terhadap jumlah
penduduk miskin tersebut sesuai dengan hipotesis awal yang di
dasarkan pada hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh
Cutler&Katz (1991) dan Power(1995b).
Hal yang sama diperlihatkan hasil regresi untuk variabel
tingkat pengangguran. Signifikansi yang terjadi pada tingkat
kepercayaan sebesar 99 persen dapat diartikan perubahan tingkat
pengangguran memberikan pengaruh yang relatif sangat signifikan
dalam model. Koefisien regresi sebesar 0,16 menunjukkan bahwa
setiap peningkatan sebesar 1 persen variabel tingkat
pengangguran akan menyebabkan kenaikan head count index
sebesar 0,16 persen, dengan asumsi bahwa variabel-variabel yang
lain tetap.
43
llngginya pengaruh variabel pengangguran terhadap
jumlah penduduk miskin menunjukkan bahwa sebagian rumah
tangga di Indonesia memiliki liquidity constraint, yaitu
ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji/upah
yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan pekerjaan
(meningkatnya pengangguran) menyebabkan berkurangnya
sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli
kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh jika masalah pengangguran ini
terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah
(terutama kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan
hanya sedikit berada di atas garis kemiskinan) maka kejadian
pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka
menjadi kelompok masyarakat miskin.
Lebih lanjut hasil regresi memperlihatkan hal yang sama
untuk variabel lainnya yaitu pertumbuhan PDRB dan angka melek
huruf. Tapi untuk pertumbuhan PDRB notasi yang diperoleh tidak
seperti yang diperkirakan. Ini menunjukkan bahwa ternyata
pertumbuhan PDRB tidak mengurangi head count index tetapi
malah menambah head count index
Pertumbuhan PDRB yang dihipotesiskan memiliki pengaruh
yang signifikan secara berlawanan arah terhadap jumlah penduduk
miskin di Indonesia malah berpengaruh searah. Dengan kata lain
pertumbuhan PDRB pada periode 2001-2003 ini tidak cukup
mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini
44
mungkin saja terjadi akibat jumlah penduduk pada periode ini
mengalami pertumbuhan yang cukup besar, ini merupakan dugaan
penulis karena penulis tidak memiliki data pertumbuhan penduduk
untuk membuktikan hal ini. Atau hal ini terjadi akibat pengaruh
lain yang begitu besar meningkatkan kemiskinan sehingga
pertumbuhan PDRB yang terjadi tidak cukup mampu mengurangi
jumlah kemiskinan.
Sementara angka melek huruf sebagai indikator pendidikan
berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di
Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan
meningkatnya pendidikan masyarakat, jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan semakin berkurang.
5.2.2 Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Poverty Gap
Index(Pl)
Setelah melakukan beberapa kali regresi, ternyata model
yang cocok untuk melihat pengaruh inflasi dan pengangguran
terhadap Poverty Gap Index(Pl) adalah
Plit = ~0 + ~lf1Pit + ~2l1Jl it- ~3GPDRB it- ~4MMHit + E it
dimana:
Plait : Poverty Gap Index provinsi i pada tahun t
i1Pit : perubahan tingkat inflasi dari tahun sebelumnya provinsi i
pada tahun t
l1Jl it : perubahan tingkat pengangguran dari tahun sebelumnya
provinsi i pada tahun t
45
GPDRBt : pertumbuhan PDRB provinsi i pada tahun t
MMHtt : perubahan angka melek huruf dari tahun sebelumnya
provinsi i pada tahun
a. Pemilihan Model Data Panel
Dari uji spesifikasi diperoleh nilai fstatistik = 8,43. Nilai ini
lebih besar dari nilai Frabel = 1,84 (F(22, 42, o,oS)· Sesuai ketersediaan
data tabei-F digunakan proksi F<2o, 40, o,os>>· Sehingga pooling
regression model tidak cocok digunakan. Untuk itu dilakukan uji
berikutnya yaitu Uji Hausman.
Dari Uji Hausman diperoleh Chi-squared 11,26 dengan p
value 0,02 (signifikan pada 5°/o). Hasil ini menunjukkan bahwa
model yang cocok adalah fixed effect model
b. Pengujian Pelanggaran Asumsi Dasar
Hasil estimasi diperoleh OW statistik 2,11. Dibandingkan
dengan OW tabel, nilai ini lebih besar dari dL=1,49 dan du=1,74
serta lebih kecil dari 4-dL =2,51 dan 4-du =2,26. Ini menunjukkan
tidak terjadi otokorelasi.
Nilai ssruw=40,58 yang lebih besar dari ssrw=36,43
menunjukkan terjadinya heteroskedastisitas. Pelanggaran asumsi
ini telah langsung dihilangkan ketika menggunakan metode
weighted.
Dari nilai R2 yang tinggi, F statistik dan t statistik yang
signifikan (lihat tabel 5.2) menunjukkan tidak terdapat
multikolinearitas.
46
c. Analisis
Hasil estimasi seperti diperlihatkan tabel 5.2 menunjukkan
bahwa secara umum model yang digunakan cukup memuaskan
dalam menjelaskan pengaruh variabel bebas secara bersama-sama
terhadap poverty gap index, ditunjukkan dengan nilai koefisien
determinasi (Adjusted R-squared) yang cukup besar (0,71). Selain
itu notasi dari variabel-variabel inti yang dianalisis sesuai dengan
yang diharapkan. Keeratan pengaruh variabel-variabel bebas dan
variabel terikat diperlihatkan dengan nilai F statistik yang sangat
tinggi dengan tingkat kepercayaan 99 persen menandakan
pengaruh yang sangat erat antara variabel-variabel bebas dengan
variabel terikat.
Tabel 5.2 Estimasi Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Poverty Gap Index menggunakan Fixed Effect
Variabel
fl Tingkat Inflasi flTingkat Pengangguran Pertumbuhan PDRB fl Angka Melek Huruf Adjusted R-squared F statistik p-value Jumlah observasi *** signifikan pada 1% ** signifikan pada 5 % * signifikan pada 10 %
Koefisien
0,029667*** 0 027674**
-0,152786*** -0,029173***
t statistik p-value
11,51492 0,0000 2,111258 0,0407 -7,607635 0,0000 -6,951852 0,0000
0,713270 6392,644 0,000000
69
Hasil t statistik pada tingkat kepercayaan 99 persen
memperlihatkan bahwa tingkat inflasi memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Koefisien regresi
sebesar 0,03 menunjukkan bahwa setiap peningkatan sebesar 1
persen atas variabel perubahan tingkat inflasi akan menyebabkan
47
kenaikan poverty gap index sebesar 0,03 persen dengan asumsi
bahwa variabel-variabel yang lain adalah tetap. Dengan kata lain
peningkatan inflasi akan memperbesar kesenjangan antara
pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan (rata-rata
pendapatan/pengeluaran penduduk miskin semakin menjauhi garis
kemiskinan). Meningkatnya inflasi mengakibatkan kehidupan
masyarakat miskin semakin terpuruk.
Hal yang sama diperlihatkan hasil regresi untuk variabel
tingkat pengangguran. Signifikansi yang terjadi pada tingkat
kepercayaan sebesar 95 persen dapat diartikan perubahan tingkat
pengangguran memberikan pengaruh yang relatif signifikan dalam
model. Koefisien regresi sebesar 0,03 menunjukkan bahwa setiap
peningkatan sebesar 1 persen perubahan tingkat pengangguran
akan menyebabkan kenaikan poverty gap index sebesar 0,03
persen, dengan asumsi bahwa variabel-variabel yang lain tetap.
Tingginya pengaruh variabel pengangguran terhadap
poverty gap index menunjukkan bahwa hilangnya lapangan
pekerjaan (meningkatnya pengangguran) menyebabkan rata-rata
pendapatan penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinan.
Kalau tadinya kelompok miskin yang pengeluCirannya sedikit di
bawah garis kemiskinan, dengan kehilangan pekerjaan
(mengalami pengangguran) maka pendapatan/pengeluarannya
menjadi semakin kecil sehingga jurang dengan garis kemiskinan
menjadi semakin besar. Meningkatnya pengangguran
48
mengakibatkan kehidupan masyarakat miskin semakin terpuruk.
Ini menunjukkan sebagian besar rumah tangga di Indonesia
memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan
gaji/upah yang diperoleh saat ini.
Pertumbuhan PDRB berpengaruh signifikan secara tidak
searah terhadap rata-rata kesenjangan pengeluaran masing
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Dengan kata
lain pertumbuhan PDRB tampaknya mengurangi jurang antara
rata-rata penghasilan/pengeluaran penduduk miskin dan garis
kemiskinan. Pertumbuhan PDRB yang tinggi meningkatkan
pendapatan/ pengeluaran penduduk miskin yang tadinya jauh di
bawah garis kemiskinan menjadi lebih mendekati garis kemiskinan.
Variabel angka melek huruf sebagai indikator pendidikan
berpengaruh secara signifikan terhadap rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan, hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan
meningkatnya pendidikan masyarakat, penghasilan/pengeluaran
penduduk miskin yang tadinya jauh di bawah garis kemiskinan
meningkat mendekati garis kemiskinan.
5.2.3 Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Distribution~lly
Sensitive Index(P2)
Setelah melakukan beberapa kali regresi, ternyata model
yang cocok untuk melihat pengaruh inflasi dan pengangguran
terhadap Distributional/y Sensitive Index(P2) adalah
49
dimana:
P2<Xit : Distributionally Sensitive Index provinsi i pada tahun t
f1Pit : perubahan tingkat inflasi dari tahun sebelumnya provinsi i
pada tahun t
· l1f..l it : perubahan tingkat pengangguran dari tahun sebelumnya
provinsi i pada tahun t
GPDRBt : pertumbuhan PDRB provinsi i pada tahun t
MMHit : perubahan angka melek huruf dari tahun sebelumnya
provinsi i pada tahun
a. Pemilihan Model Data Panel
Dari uji spesifikasi diperoleh nilai Fstatistik = 6,51. Nilai ini
lebih besar dari nilai Frabel = 1,84 (Fc22, 42, o,oS)· Sesuai ketersediaan
data tabei-F digunakan proksi F<2o, 4o, o,os>)· Sehingga pooling
regression model tidak cocok digunakan. Untuk itu dilakukan uji
berikutnya yaitu Uji Hausman.
Dari Uji Hausman diperoleh Chi-squared 13,55 dengan p
value 0,01 (signifikan pada 1 °/o). Hasil ini menunjukkan bahwa
model yang cocok adalah fixed effect model.
b. Pengujian Pelanggaran Asu~si Dasar
Hasil estimasi diperoleh DW statistik 1,98. Dibandingkan
dengan DW tabel, nilai ini lebih besar dari dL=1,49 dan du=1,74
serta lebih kecil dari 4-dL =2,51 dan 4-du =2,26. Ini menunjukkan
tidak terjadi otokorelasi.
50
Nilai ssruw=5,25 yang lebih besar dari ssrw=4,73
menunjukkan terjadinya heteroskedastisitas. Pelanggaran asumsi
ini telah langsung dihilangkan ketika menggunakan metode
weighted.
Dari nilai R2 yang tinggi, F statistik dan t statistik yang
signifikan (lihat tabel 5.3) menunjukkan tidak terdapat
multikolinearitas.
c. Analisis
Tabel 5.3 Estimasi Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Distributionally Sensitive Index menggunakan Fixed Effect
Varia bel
fl. Tingkat Inflasi fl. Tingkat Pengangguran Pertumbuhan PDRB fl. Angka Melek Huruf Adjusted R-squared F statistik p-va/ue Jumlah observasi
*** signifikan pada 1% ** signifikan pada 5 % * signifikan pada 10 %
Koefisien
0,007815*** -0,009567*** -0 061710***
I
0,000488
t statistik p-value
27,14676 0,0000 -19,34537 0 0000 -10,99861 0 0000 0,419687 0,6769
0,645045 144,4932 0,000000
69
Hasil estimasi seperti diperlihatkan tabel 5.3 menunjukkan
bahwa secara umum model yang digunakan cukup memuaskan
dalam menjelaskan pengaruh variabel bebas secara bersama-sama
terhadap distributionally sensitive index, ditunjukkan dengan nilai
koefisien determinasi (Adjusted R-squared) sebesar 0,65. Keeratan
pengaruh variabel-variabel bebas dan variabel terikat diperlihatkan
dengan nilai F statistik yang sangat tinggi dengan tingkat
51
kepercayaan 99 persen menandakan pengaruh yang sangat erat
antara variabel-variabel bebas dengan variabel terikat.
Hasil t statistik pada tingkat kepercayaan 99 persen
memperlihatkan bahwa tingkat inflasi memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Koefisien regresi
sebesar 0,01 menunjukkan bahwa setiap peningkatan sebesar 1
persen atas perubahan tingkat inflasi akan menyebabkan kenaikan
distributionally sensitive index sebesar 0,01 persen dengan asumsi
bahwa variabel-variabel yang lain adalah tetap. Dengan kata lain
peningkatan inflasi akan meningkatkan ketidakmerataan
pengeluaran penduduk miskin (distribusi pengeluaran diantara
penduduk miskin semakin tidak merata).
Berbeda dengan variabel inflasi, pengaruh variabel
pengangguran malah sebaliknya. Nilai koefisien regresi sebesar -
0,01 menunjukkan bahwa setiap peningkatan atas perubahan
pengangguran sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan
distributionally sensitive index sebesar 0,03 persen, dengan asumsi
bahwa variabel-variabel yang lain adalah tetap. Dengan kata lain
peningkatan pengangguran akan membuat distribusi pengeluaran
diantara pP.nduduk miskin menjadi lebih merata.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika pengangguran
meningkat, penduduk yang kehilangan pekerjaan yang merupakan
sumber penghasilannya menjadi sama jumlah penghasilan/
pengeluarannya dengan penduduk miskin lainnya.
52
Hasil regresi juga memperlihatkan hubungan yang
signifikan antara variabel pertumbuhan PDRB dan distributionally
sensitive index dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen.
Peningkatan pertumbuhan PDRB akan menyebabkan penurunan
distributionally sensitive index. Dengan kata lain pertumbuhan
PDRB mengurangi ketidakmerataan distribusi pendapatan/
pengeluaran diantara penduduk miskin.
Lebih lanjut hasil regresi menunjukkan bahwa ternyata
variabel angka melek huruf sebagai indikator pendidikan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap distribusi pendapatan/
pengeluaran diantara penduduk miskin.
53
6.1 Kesimpulan
BABVI
PENUTUP
Hasil penelitian meliputi 23 provinsi di Indonesia selama periode
2001-2003 menunjukkan bahwa inflasi dan pengangguran memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kejadian kemiskinan di Indonesia.
Untuk kemiskinan yang diukur dengan head count index, inflasi dan
pengangguran berpengaruh signifikan dan searah terhadap jumlah
kemiskinan. Peningkatan inflasi dan pengangguran akan mengakibatkan
peningkatan jumlah penduduk miskin. Variabel kontrol pendidikan juga
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kemiskinan dimana
peningkatan dalam angka melek huruf yang digunakan sebagai indikator
pendidikan menunjukkan penurunan dalam jumlah kemiskinan di Indonesia.
Sementara pertumbuhan PDRB yang diharapkan dapat mengurangi jumlah
kemiskinan, untuk periode penelitian ini tidak mampu mengurangi jumlah
kemiskinan.
Perhitungan kemiskinan dengan menggunakan poverty gap index
menunjukkan bahwa inflasi dan pengangguran juga berpengaruh signifikan
dan searah dengan melebarnya jurang antara rata-rata
pendapatan/pengeluaran masyarakat miskin dan garis kemiskinan.
Peningkatan inflasi dan pengangguran mengakibatkan semakin besarnya
jurang ini. Sebaliknya terlihat bahwa pertumbuhan PDRB dan pendidikan
dapat memperkecil jurang ini.
54
Variabel pertumbuhan PDRB yang menunjukkan hubungan yang
searah dengan tingkat kemiskinan head count index, sebaliknya menunjukan
hubungan yang tidak searah dengan tingkat kemiskinan poverty gap index
terkesan kontradiktif. Sesungguh tidaklah demikian, hal ini dapat dijelaskan
bahwa kedua pengukuran ini merupakan hal yang berbeda, head count
index merupakan persentase jumlah penduduk miskin sedangkan poverty
gap index merupakan jurang antara pendapatan/pengeluaran penduduk
miskin dan garis kemiskinan (GK). Tampaknya jumlah penduduk miskin yang
bertambah ini pendapatan/pengeluarannya berada sedikit di bawah GK,
sehingga jumlah orang miskin bertambah tapi jurang antara
pendapatan/pengeluaran penduduk miskin dengan GK berkurang.
Sementara perhitungan kemiskinan dengan menggunakan
distributionally sensitive index menunjukkan bahwa perubahan inflasi
mengakibatkan semakin tidak meratanya distribusi pendapatan/pengeluaran
diantara kelompok miskin. Sementara peningkatan perubahan pengangguran
malah mengakibatkan distribusi pengeluaran diantara kelompok miskin ini
menjadi lebih merata. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang tadinya
bekerja yang berada hanya sedikit di bawah batas miskin kehilangan
pekerjaan (menganggur) sehingga mereka kehilangan penghasilan.
Akibatnya mereka menjadi sama miskinnya dengan masyarakat miskin yang
berada jauh dari batas miskin. Hal yang sama ditunjukkan oleh pertumbuhan
PDRB yang dapat mengurangi ketidakmerataan distribusi diantara kelompok
miskin ini.
55
6.2 Saran
Eratnya pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap kejadian
kemiskinan di Indonesia seharusnya menjadi perhatian serius dalam program
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Pihak-pihak yang terlibat dalam
program pengentasan kemiskinan harus memberi perhatian khusus terhadap
masalah inflasi dan pengangguran. Perlu kerja banyak pihak agar masalah
pengangguran dapat diatasi dengan membuka peluang kerja bagi para
pengangguran maupun memberi peluang lebih besar kepada yang setengah
menganggur.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sepatutnya
memperhitungkan dampaknya terhadap inflasi dan pengangguran karena
pada akhirnya akan mengakibatkan bertambahnya jumlah masyarakat miskin
dan memperparah kondisi mereka yang sudah berada dalam kelompok
miskin.
Kalau yang menjadi perhatian pemerintah adalah mengurangi
jumlah penduduk miskin maka kebijakan yang diambil pemerintah
diutamakan pada penduduk yang berada sedikit dibawah garis kemiskinan
karena kelompok ini paling mudah bergeser dari kelompok miskin menjadi
tidak miskin. Tapi apabila yang menjadi perhatian adalah
keparahan/intensitas kemiskinan penduduk miskin maka sebaiknya kebijakan
pemerintah mengutamakan penduduk yang sangat miskin atau jauh di
bawah garis kemiskinan.
56
6.3 Kelemahan Penelitian
Penelitian ini masih jauh dari sempurna. Hal ini antara lain
disebabkan terbatasnya ketersediaan literatur yang berhubungan dengan
penelitian dan tidak tersedianya data yang lengkap.
Penelitian mungkin akan memperoleh hasil yang lebih memuaskan
jika dilakukan untuk periode yang lebih panjang dan menambahkan variabel
variabel terkait lainnya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Burhanuddin. "Strategi Kebijakan Moneter dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan". Orasi Ilmiah disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Guru Besar Universitas Padjadjaran, Bandung 11 September 2003.
Aisyah, Siti. Ana/isis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan di Indonesia (studi kasus 26 propinsi di Indonesia). Thesis, Universitas Indonesia. 2003.
Asra, Abuzar. "Poverty and Inequality in Indonesia; Estimates, Decomposition, and· Key Issues". Journal of the Asian Pasific Economy, 2000, 5(1/2). Hal.91-111.
Badan Pusat Statistik. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002. Buku 1: Provinsi. Jakarta, BPS, 2002.
Badan Pusat Statistik. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 1: Provinsi. Jakarta, BPS, 2003.
Badan Pusat Statistik. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 1: Provinsi. Jakarta, BPS, 2004.
Balisacan, Arsenio M., E.M. Pernia dan A. Asra. "Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What do Subnational Data Show? ADB, ERD Working Paper Series No.25, Oktober2002.
Baltagi, Badi H. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons, Second Edition, 2001.
Cahyat, Ade. "Bagaimana Kemiskinan Diukur? Beberapa Model Penghitungan Kemiskinan di Indonesia". CIFOR, Governance Brief, 4 Februari 2004.
Cutler, David M. dan Lawrence F. Katz. "Macroeconomic Performance and the Disadvantaged". Brookings Paper on Economic Activity, Vol.1991 No.2, hal.1-74.
Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer dan Richard Startz. Macroeconomics. Irwin/McGraw-Hill, Seventh Edition, 1998.
Easterly, William dan Stanley Fischer. "Inflation and the Poor". Forthcoming, Journal of Money, Credit, and Banking. Maret 2000.
Feridhanusetyawan, Tubagus et al. 'The Impact of Fiscal Policies on Income Distribution and Poverty: A CGE Approach for Indonesia. Final Report to East Asian Development Network. CSIS, Januari 2003.
Foster, Michael F. "Measurement of Low Income and Poverty in A Perspective of International Comparison". Organisation for Economic Co-operation and Development. 1994.
Greene, William H. Econometric Analysis. Prentice Hall Inc., New York University, USA, Fourth Edition, 1993.
Hoover, Gary A. dan Geoffrey L. Wallace. "Examining the Relationship between the Poverty Rate and Economic Conditions: A Comparison of the 1980s-1990s". The University of Alabama. Economic, Finance and Legal Working Paper Series. Oktober 2003.
Hsiao Cheng. Analysis of Panel Data. Cambridge University Press, 1986. Ikhsan, Mohamad. The Disaggregation of Indonesia Poverty: Policy and Analysis.
Thesis, Urbana, University of Illinois, 1999.
58
Judge, George J. et al.. The Theory and Practice of Econometrics. John Wiley & Sons Inc., Second Edition, 1985.
Lestari, Novi. Ana/isis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi pada Perekonomian Regional Indonesia (Studi Kasus 26 Propinsi di Indonesia). Thesis, Universitas Indonesia. 2003.
Maksum, Choiril. "Official Poverty Measurement in Indonesia". Paper presented at 2004 International Conference on Official Poverty Statistics, EDSA, Mandaluyong City, Phillipines, 4-6 Oktober 2004.
Mankiw, N. Gregory. Teori Ekonomi Makro .. Jakarta, Erlangga, Edisi Keempat, 2000.
McCulloch; Neil, L. Alan Winters dan Xavier Cirera. Trade Liberalization and Poverty: A Handbook. London, Centre for Economic Policy Research, 2001.
Muttaqin, Hidayatullah. "Pertumbuhan Ekonomi Tidak Mampu Mengatasi Kemiskinan". PEl-Online, 2003.
Myles, Jolin dan Garnet Picot. "Poverty Indices and Policy Analysis". Review of Income and Wealth. Seri 46, No.2, Juni 2000. Hal.161-179.
Norton, Seth W. 2002. "Economic Growth and Poverty: In Search of Trickle Down".Cato Journal, Vol 22 No.2.
Oktaviani, Dian. Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Perkotaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, Thesis, 2001.
Powers, Elizabeth T. "Growth and Poverty Revisited". Federal Bank of Cleveland, Economic Commentary, 05, 1995a.
---------. "Inflation, Unemployment and Revisited". Federal Bank of Cleveland, Economic Commentary, April15, 1995b.
Pradhan, Menno et al. "Measurement of Poverty in Indonesia: 1996, 1999 and Beyond". SMERU Working Paper, Juni 2000.
Pindyck dan Rubinfeld. A Company Handbook Using Eviews by Hiroyuki Kawakatsu to accompany Econometric Models and Economic Forecasts .. Irwin/McGraw-Hill, Fourth Edition, 1998.
Suryahadi, Asep et al. "Developing a Poverty Map for Indonesia: An Initiatory Work in Three Provinces". SMERU Research Report. Mei 2003.
Tambunan, Tulus T. H. Perekonomian Indonesia. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1996. Tarmidi, Lepi T. Ekonomi Pembangunan. Jakarta, Universitas Indonesia, 1992. Townsend, Ian dan Steven Kennedy. "Poverty: Measures and Targets". House of
Commons Library Research Paper, 04/23, 4 Maret 2004. Wie, Thee Kian. Pemerataan Kemiskinan Ketimpangan, Beberapa Pemikiran
tentang Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta, LP3ES, 1981.
59
LAMPI RAN
Dependent Variable: ?PO Method: GLS {Cross Section Weights) Date: 09/19/05 Time: 00:04 Sample: 2001 2003 Included observations: 3 Number of cross-sections used: 23 Total panel {balanced) observations: 69 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
?IHK 0.106804 0.010586 10.08889 0.0000 ?UNDEMP 0.157231 0.033645 4.673315 0.0000 ?GPDRB 0.203758 0.049018 4.156829 0.0002
?AMH -0.194804 0.051112 -3.811299 0.0004 Fixed Effects
SMUT--C _SBAR-C
SRIA--C SJAM--C
_SSEL--C _SBEN--C _SLAM--C _JDKI--C JBAR--C
_JTEN--C JYOG--C JTIM--C
_BALI--C _NNTB--C _NNTT--C _KBAR--C _KTEN-C _KSEL--C
KTIM--C CLUT--C
_CTEN-C _CSEL--C CTRA-C
Weighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Unweighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared -s.E. of regression Durbin-Watson stat
29.89593 27.67947 27.20577 30.42521 33.91232 37.93966 38.90173 18.32803 27.75116 36.68687 36.24670 34.94804 21.78807 39.28519 44.16289 30.97749 27.56201 24.71000 27.25642 30.79274 38.45026 28.51152 37.44696
0.996959 0.995077 1.693625 529.6587 0.000000
0.959141 0.933847 1.759631 2.252661
Mean dependent var 31.89199 S.D. dependentvar 24.13841 Sum squared resid 120.4713 Durbin-Watson stat 2.391895
Mean dependent var 17.37768 S.D. dependentvar 6.841416 Sum squared resid 130.0447
Dependent Variable: ?P1 Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 09/19/05 Time: 00:27 Sample: 2001 2003 Included observations: 3 Number of cross-sections used: 23 Total panel (balanced) observations: 69 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
?DIHK 0.029667 0.002576 11.51492 0.0000 ?DUNEMP 0.02767 4 0.013108 2.111258 0.0407 ?GPDRB -0.152786 0.020083 -7.607635 0.0000 ?DAMH -0.029173 0.004196 -6.951852 0.0000
Fixed Effects _SMUT-C _SBAR-C _SRIA--C _SJAM-C _SSEL-C _SBEN--C _SLAM-C _JDKI-C _JBAR--C _JTEN--C JYOG--C
_JTIM--C _BALI--C
_NNTB--C _NNTT--C _KBAR--C _KTEN--C _KSEL-C _KTIM--C _CLUT--C _CTEN--C _CSEL--C CTRA--C
Weighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Unweighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
2.840780 2.639183 3.082620 3.297238 4.146502 4.143701 5.190886 1.069565 2.959775 4.313856 4.146060 4.452125 1.413536 6.001329 8.499789 3.957939 3.156675 1.941667 3.193620 5.595040 5.647922 3.645608 7.027870
0.999747 0.999591 0.931326 6392.644 0.000000
0.822902 0.713270 0.982911 2.115054
Mean dependent var S.D.dependentvar Sum squared resid Durbin-Watson stat
Mean dependent var S.D. dependentvar Sum squared resid
15.71955 46.04995 36.42948 2.510687
3.300752 1.835598 40.57680
Dependent Variable: ?P2 Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 11/22/05 Time: 13:12 Sample: 2001 2003 Included observations: 3 Number of cross-sections used: 23 Total panel (balanced) observations: 69 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
?DIHK 0.007815 0.000288 27.14676 0.0000 ?DUNDEMP -0.009567 0.000495 -19.34537 0.0000
?GPDRB -0.061710 0.005611 -10.99861 0.0000 ?DAMH 0.000488 0.001162 0.419687 0.6769
Fixed Effects _SMUT--C _SBAR--C _SRIA--C _SJAM--C _SSEL--C _SBEN--C _SLAM--C _JDKI-C _JBAR--C _JTEN--C _JYOG--C _JTIM--C _BALI--C
_NNTB--C _NNTT--C _KBAR--C _KTEN--C _KSEL--C _KTIM--C _CLUT-C _CTEN--C _CSEL--C CTRA-C
Weighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Unweighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.816153 0.740789 0.914726 1.028783 1.194172 1.129068 1.528371 0.354791 0.862281 1.185483 1.197966 1.245128 0.412668 1.617886 2.715735 1.127707 1.016704 0.560171 0.986803 1.788268 1.692241 1.086782 2.254957
0.988944 0.982100 0.335509 144.4932 0.000000
0.780763 0.645045 0.353401 1.977251
Mean dependent var S.D. dependentvar Sum squared resid Durbin-Watson stat
Mean dependent var S.D.dependentvar Sum squared resid
2.492237 2.507691 4.727779 2.485256
0.912549 0.593173 5.245478