PENETAPAN KADAR PARASETAMOL DALAM JELLY · Telah dilakukan validasi metode dan penetapan kadar...
Transcript of PENETAPAN KADAR PARASETAMOL DALAM JELLY · Telah dilakukan validasi metode dan penetapan kadar...
VALIDASI METODE DAN PENETAPAN KADAR PARASETAMOL
DALAM JELLY SECARA HIGH PERFORMANCE LIQUID
CHROMATHOGRAPHY (HPLC) FASE TERBALIK
MENGGUNAKAN TEKNIK PREPARASI PEMANASAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kristian Bayu Kuncoro
NIM : 068114060
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
i
i
VALIDASI METODE DAN PENETAPAN KADAR PARASETAMOL
DALAM JELLY SECARA HIGH PERFORMANCE LIQUID
CHROMATHOGRAPHY (HPLC) FASE TERBALIK
MENGGUNAKAN TEKNIK PREPARASI PEMANASAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kristian Bayu Kuncoro
NIM : 068114060
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
ii
ii
VALIDASI METODE DAN PENETAPAN KADAR PARASETAMOL
DALAM JELLY SECARA HIGH PERFORMANCE LIQUID
CHROMATHOGRAPHY (HPLC) FASE TERBALIK
MENGGUNAKAN TEKNIK PREPARASI PEMANASAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kristian Bayu Kuncoro
NIM : 068114060
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
iii
iii
iv
iv
v
v
SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK
MAMAH PAPAH TERCINTA,
yang sangat menyayangiku
KAKAKKU,
yang kuat dan bersemangat
YASHINTA WIDYANIGTYAS,
aku bersyukur bisa mengenalmu lebih
DUNIA KESEHATAN INDONESIA,
ayo bangkit.....!
vi
vi
vii
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Validasi Metode dan Penetapan Kadar Parasetamol Dalam Jelly Secara
High Performance Liquid Chromathography (HPLC) Fase Terbalik
Menggunakan Teknik Preparasi Pemanasan” yang disusun sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dari banyak
pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma atas ide awal penelitian yang berawal dari PKM, atas bimbingannya
selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
2. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing atas ide luar
biasa mengenai penelitian, atas perhatian, dukungan, arahan, serta semangat
yang diberikan kepada penulis baik selama penelitian maupun penyusunan
skripsi ini.
3. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji atas segala arahan,
masukan, kritik, diskusi dan semangat yang diberikan kepada penulis.
viii
viii
4. Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen penguji atas segala
arahan, masukan, kritik, diskusi dan semangat yang diberikan kepada
penulis.
5. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, dan Pak Otok atas bantuannya selama
peneliti bekerja di laboratorium Kimia Analisis Instrumental.
6. Segenap dosen pengajar, staf sekretariatan serta laboran Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma atas dukungan dan bantuannya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kho Jimmy Iwan Tamara, selaku rekan kerja penulis sebelum penelitian,
selama penelitian, dan penyusunan naskah skripsi atas kebersamaannya di
saat susah dan gembira, kita jalani bersama.
8. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta (Kampus III Paingan) khususnya pak Totok yang sangat
membantu penulis selama berada di perpustakaan. Dan terima kasih atas
pelayanan serta fasilitas terbaik yang di berikan.
9. Om Sigit, atas berbagi pengalaman berharganya selama bekerja di Industri
Farmasi yang dapat memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi dan
semangat untuk mencintai pekerjaan.
10. Sahabat-sahabatku, Bernardus Tatag, Felicia Satya C, Lulu Lunggati atas
proses pendewasaan, semangat, kasih sayang dan dukungan serta
kebersamaan yang telah dilalui dalam suka dan duka bersama penulis.
11. Teman-temanku, Aan, Dian, dan semua teman yang telah memberi semangat
dan bantuan pada penulis.
ix
ix
x
x
xi
xi
INTISARI
Telah dilakukan validasi metode dan penetapan kadar parasetamol dalam jelly secara HPLC fase terbalik menggunakan teknik preparasi pemanasan dengan tujuan untuk mengetahui akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas dari metode HPLC sehingga dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dalam jelly.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dekriptif. Tahap pendahuluan dalam penelitian ini adalah pembuatan jelly parasetamol kemudian mengubah sistem jelly yang semi padat dan sangat viskos menjadi cair dengan menggunakan teknik pemanasan pada suhu 50ºC selama 30 menit. Selanjutnya, parasetamol di analisis secara kuantitatif dengan menggunkan metode HPLC fase terbalik dengan fase diam kolom packing Kromasil 100-5 C18 panjang kolom 25 cm, internal diameter 4,6 mm, perbandingan fase gerak metanol:aquabides (90:10), kecepatan alir 1 ml/menit, dan detektor UV pada λ pengamatan 247,4 nm yang telah tervalidasi.
Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata % recovery 100,3991%, CV 0,6654%, dan koefisien korelasi (r) 0,99905. Rata-rata kadar parasetamol dalam 10 sampel adalah 111,1855 mg. Sehingga metode penetapan kadar parasetamol dalam jelly secara High Performance Liquid Chromatography (HPLC) fase terbalik menggunakan teknik preparasi pemanasan memiliki validitas yang baik dengan kadar parasetamol yang sesuai dengan persyaratan. Kata kunci : parasetamol, jelly, HPLC fase terbalik, pemanasan, parameter
validitas
xii
xii
ABSTRACT
Has been perform validation method and determining the concentration
of paracetamol in jelly by reversed phase HPLC uses heating preparation technique with aim to knowing the accuracy, precision, specificity, and linearity from HPLC method, finally can be used to determination the concentration of paracetamol in jelly
This research is descriptive non experimental research. The preliminary stage in this research was making paracetamol jelly, and then change jelly system that semi solid and very viskos to be liquid with uses heating technique at 50ºC temperature during 30 minutes. Next, paracetamol be analyzed by quantitatife with uses reversed phase HPLC with stationery phase column packing Kromasil 100-5 column’s length 25 cm, internal diameter 4,6 mm, the mobile phase comparison metanol:aquabidest (90:10), flow rate 1 ml/minute, and UV detector UV at λ observation 247,4 nm has been validated
Result of research indicate % recovery average value 100,3991%, CV 0,6654%, and coefficient of corelation (r) 0,99905. The average of paracetamol concentration in 10 sampels is 111,1855 mg. So, method of determining the concentration of paracetamol in jelly by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) reversed phase fase uses heating preparation technique have good validity with parasetamol concentration that suitable with requirement. Keywords : paracetamol, jelly, reversed phase HPLC, heating, validation
parameters
xiii
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................vi
PRAKATA............................................................................................................vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...............................................................x
INTISARI..............................................................................................................xi
ABSTRAK ............................................................................................................xii
DAFTAR ISI ........................................................................................................xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................xix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xx
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xxii
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
1. Perumusan Masalah ..................................................................................3
2. Keaslian Penelitian....................................................................................3
3. Manfaat Penelitian ....................................................................................3
B. Tujuan Penelitian...........................................................................................4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................5
xiv
xiv
A. Parasetamol....................................................................................................5
1. Stabilitas Suhu Parasetamol .....................................................................7
2. Stabilitas pH Parasetamol ........................................................................7
B. Bentuk Sediaan Gel………….. .....................................................................8
1. Definisi dan Klasifikasi Gel .....................................................................8
2. Mekanisme Pembentukan Gel secara umum ...........................................9
3. Analisis Sediaan Gel dan Perusakan Sistem Gel .....................................10
C. Jelly................................................................................................................10
D. Senyawa Eksipien Penyusun Jelly.................................................................11
E. Karagenin.......................................................................................................11
1. Definisi dan sifat dasar karagenin ............................................................11
2. Pembentukan gel dengan gelling agent karagenin...................................12
3. Kelarutan..................................................................................................14
4. Stabilitas pH.............................................................................................15
F. Bubuk Konnyaku...........................................................................................16
G. Asam sitrat .....................................................................................................16
H. Frukto oligosakarida ......................................................................................17
I. Vitamin D ......................................................................................................18
J. Kalsium..........................................................................................................18
K. Pewarna makanan karmoisin CI 14720 .........................................................19
L. Spektrofotometri Ultraviolet..........................................................................19
M. High Performance Liquid Chromatography ................................................22
1. Kelebihan HPLC............. .........................................................................22
xv
xv
2. Komponen-komponen HPLC...................................................................23
a. Pompa (Pump).......................................................................................23
b. Injektor (Injector)..................................................................................23
c. Kolom (Column) ...................................................................................24
d. Detektor (Detector) ...............................................................................25
3. Kromatografi Partisi Fase Balik...............................................................25
a. Kolom....................................................................................................26
b. Fase gerak .............................................................................................26
4. Injeksi sampel...........................................................................................27
5. Waktu retensi ...........................................................................................27
6. Profil puncak dan Pelebaran puncak........................................................28
a. Penyebab pertama : Difusi Eddy...........................................................28
b. Penyebab kedua : Distribusi aliran........................................................29
c. Penyebab ketiga : Difusi molekul sampel dalam fase gerak.................30
d. Penyebab keempat :Perpindahan massa antara fase gerak, fase gerak
yang stagnan, dan fase diam ..................................................................31
7. Persamaan Van Deemter ..........................................................................32
8. Faktor-faktor yang digunakan untuk evaluasi kinerja kolom ..................34
a. Efisiensi kolom .....................................................................................34
b. Faktor asimetri (faktor pengekoran)......................................................36
N. Validitas Metode Analisis Instrumental.......................................................37
1. Akurasi .....................................................................................................37
2. Presisi .......................................................................................................38
xvi
xvi
3. Linieritas dan rentang...............................................................................39
4. Spesifisitas ...............................................................................................39
O. Landasan Teori.............................................................................................41
P. Hipotesis.......................................................................................................42
BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................................43
A. Jenis dan Rancangan Penelitian.....................................................................43
B. Variabel dan Definisi Operasional ................................................................43
1. Klasifikasi Variabel..................................................................................43
2. Definisi Operasional ................................................................................43
C. Bahan Penelitian ............................................................................................44
D. Alat Penelitian ...............................................................................................44
E. Tata Cara Penelitian.......................................................................................45
1. Pembuatan fase gerak...............................................................................45
2. Pembuatan larutan baku parasetamol.......................................................45
3. Penetapan λ maksimum parasetamol .......................................................45
4. Pembuatan kurva baku dan penentuan waktu retensi parasetamol ..........46
5. Validasi metode analisis...........................................................................46
6. Penetapan kadar sampel ...........................................................................47
a. Pembuatan larutan jelly tanpa parasetamol...........................................47
b. Pembuatan dan penyiapan sampel jelly parasetamol ............................47
c. Destruksi jelly .......................................................................................48
F. Analisis hasil..................................................................................................49
1. Validasi metode........................................................................................49
xvii
xvii
a. Akurasi ..................................................................................................49
b. Presisi ....................................................................................................49
c. Linearitas ...............................................................................................49
d. Spesifisitas ............................................................................................49
2. Analisis kuantitatif ......................................................................................50
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................51
A. Penyiapan Fase Gerak ...................................................................................51
B. Optimasi Metode HPLC ................................................................................53
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum menggunakan
spektrofotometer ultraviolet ......................................................................53
2. Pengamatan waktu retensi dan pembuatan kurva baku parasetamol..........57
C. Analisis Validasi Metode...............................................................................63
1. Akurasi ......................................................................................................65
2. Presisi ........................................................................................................66
3. Spesifisitas ................................................................................................67
4. Linieritas ...................................................................................................71
5. Range ........................................................................................................71
D. Penetapan Kadar Parasetamol dalam Campuran ...........................................72
1. Pembuatan jelly parasetamol.....................................................................72
2. Penyiapan Sampel .....................................................................................72
3. Destruksi sampel dan isolasi analit dari sampel........................................73
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................78
A. Kesimpulan....................................................................................................78
xviii
xviii
B. Saran ..............................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................79
LAMPIRAN..........................................................................................................83
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................................ 121
xix
xix
DAFTAR TABEL
Tabel I. Senyawa eksipien penyusun jelly ............................................................11
Tabel II. Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut.........................15
Tabel III. Stabilitas karaginan dalam berbagai media pelarut...............................16
Tabel IV. Kriteria rentang recovery yang dapat diterima (Harmita, 2004) ..........38
Tabel V. Kriteria KV yang dapat diterima ...........................................................38
Tabel VI. Parameter analitik .................................................................................40
Tabel VII. Data Kurva Baku Parasetamol.............................................................62
Tabel VIII. Data Validasi Metode Analisis...........................................................65
Tabel IX. Data % recovery....................................................................................66
Tabel X. Data CV..................................................................................................67
Tabel XI. Perbandingan pengamatan waktu retensi seri larutan baku parasetamol
dengan sampel........................................................................................68
Tabel XII. Hasil pengukuran kadar parasetamol...................................................76
xx
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kimia parasetamol .................................................................5
Gambar 2. Reaksi hidrolisis parasetamol..............................................................7
Gambar 3. Struktur kimia kappa karaginan .........................................................12
Gambar 4. Mekanisme pembentukan gel karaginan .............................................13
Gambar 5. Struktur kimia asam sitrat ...................................................................17
Gambar 6. Struktur kimia vitamin D.....................................................................18
Gambar 7. Struktur kimia karmoisin.....................................................................19
Gambar 8. Diagram blok HPLC............................................................................23
Gambar 9. Difusi Eddy dalam kromatografi kolom..............................................29
Gambar 10. Difusi distribusi aliran dalam kromatografi ......................................30
Gambar 11. Pelebaran pita oleh difusi longitudinal..............................................30
Gambar 12. Struktur pori molekul fase diam........................................................31
Gambar 13. Perpindahan massa antara fase diam dan fase gerak.........................32
Gambar 14. Kurva Van Deemter ..........................................................................32
Gambar 15. Cara mengukur tR, σt, Wh/2, Wb suatu puncak kromatogram...............35
Gambar 16. Menghitung besarnya TF pada kromatogram ...................................36
Gambar 17. Gugus kromofor parasetamol ............................................................54
Gambar 18. Gugus auksokrom parasetamol .........................................................54
Gambar 19. Spektrum serapan parasetamol (λmaks = 247,2 nm) pada konsentrasi
5,0 ppm replikasi 1..............................................................................55
xxi
xxi
Gambar 20. Spektrum serapan parasetamol (λmaks = 247,2 nm) pada konsentrasi
5,0 ppm replikasi 2..............................................................................55
Gambar 21. Kromatogram tR larutan baku parasetamol 5,0 ppm .........................58
Gambar 22. Gugus non polar pada parasetamol ...................................................59
Gambar 23. Interaksi antara gugus non polar dari parasetamol (benzen) dengan
fase diam Oktadekil (C18)....................................................................59
Gambar 24. Interaksi antara gugus parasetamol dengan fase gerak campuran
metanol:air (90:10) .............................................................................60
Gambar 25. Kurva Baku Parasetamol C vs AUC .................................................63
Gambar 26. tR seri baku parasetamol konsentrasi 8,0 ppm = 2,525 menit ...........69
Gambar 27. tR sampel replikasi 6 dengan konsetrasi 7,4587 ppm = 2,542
menit....................................................................................................69
Gambar 28. Kromatogram sampel replikasi 6 dengan konsetrasi 7,4587 ppm ....70
Gambar 29. Kromatogram sampel tanpa analit parasetamol ................................70
Gambar 30. Mekanisme destruksi gelling agent dengan pemanasan....................75
xxii
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Sertifikat Analisis Parasetamol.........................................................84
Lampiran 2. Kemasan jelly (Nutrijel) ...................................................................85
Lampiran 3. Data Penimbangan Baku Parasetamol..............................................86
Lampiran 4. Skema Pembuatan larutan baku Parasetamol dan contoh perhitungan
kadar larutan baku yang digunakan..................................................87
Lampiran 5. Kromatogram Larutan Baku Parasetamol ........................................89
Lampiran 6. Data Penentuan Kurva Baku Parasetamol ........................................95
Lampiran 7. Data Validasi Metode .......................................................................96
Lampiran 8. Kromatogram Validasi Metode ........................................................97
Lampiran 9. Data Penimbangan Sampel Parasetamol ........................................ 106
Lampiran 10. Skema Pembuatan sampel dan contoh perhitungan kadar
parasetamol .................................................................................... 107
Lampiran 11. Data AUC, Kadar parasetamol, % recover, dan CV sampel........ 110
Lampiran 12. Kromatogram sampel ................................................................... 111
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini merupakan satu rangkaian pengembangan penelitian dari
Widyaningtyas dkk (2008) mengenai “Formulasi dan Penetapan Kadar Sediaan
Parasetamol Dalam Bentuk Jelly untuk meningkatkan Kepatuhan Anak Minum
Obat”. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada validasi metode dan
penetapkan kadar parasetamol tiap kemasan jellynya.
Farmasis sebagai bagian health care team harus selalu meningkatkan
kemampuannya tidak hanya dalam hal menjamin penyediaan dan pemberian
informasi obat yang berkualitas, tetapi juga berupaya untuk menginovasi bentuk
sediaan obat yang praktis, nyaman, manjur dan aman sehingga sediaan obat dapat
diterima oleh pasien, khususnya anak-anak dengan rasa dan bau yang lebih sedap,
bentuk yang lebih menarik, maupun bentuk sediaan yang dapat dikombinasikan
dengan makanan dapat digunakan untuk mengurangi kejadian ”gagal menerima
obat oleh pasien atau yang disebut failure to receive drug”. Salah satu bentuk
sediaan obat semi solid yaitu jelly dapat dikembangkan sebagai obat analgesik
antipiretik dengan parasetamol sebagai zat aktif di dalamnya (Handajani, 2006).
Jelly merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar terpenetrasi oleh
suatu cairan (Anonim, 1995).
1
2
Pada proses pembuatan jelly dan pencampuran obat ke dalam jelly
dengan proses pemanasan di khawatirkan dapat mengakibatkan perubahan sifat
fisika, kimia, dan klinis dari zat aktifnya, yaitu parasetamol. Sifat fisika yang
dapat berubah yaitu stabilitas sediaan, sedangkan perubahan sifat kimia dapat
diketahui dengan melakukan pengujian kadar zat aktif yang terdapat dalam
sediaan racikan tersebut. Dari penelitian Novianti P (2004) dan Arisandi W.S.,
(2008) mengenai pengaruh suhu dan pH terhadap kadar parasetamol dalam
sediaan yang mengandung parasetamol, mengemukakan bahwa suhu dan pH
mempengaruhi kadar parasetamol meskipun tidak berbeda secara signifikan.
Karena adanya pengaruh suhu yang tinggi yaitu 60ºC, di khawatirkan dapat
mendegradasi zat aktif sehingga kadar parasetamol yang ada di dalam sediaan
dapat berkurang.
Perlu dilakukan validasi metode dan penetapan kadar parasetamol di
dalam jelly dengan tujuan untuk mengetahui apakah metode penetapan kadar
parasetamol memiliki validitas yang baik, serta untuk menentukan kadar
parasetamol dalam jelly menggunakan metode HPLC fase terbalik dengan teknik
preparasi pemanasan yang mempunyai sensitifitas yang tinggi dan untuk
menjamin keseragaman dosis, serta sebagai upaya pengawasan kualitas dan mutu
terhadap sediaan jelly yang diuji sehubungan dengan keamanan dan khasiatnya
(Tanu, 1985).
3
1. Perumusan Masalah :
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disusun permasalahan
sebagai berikut:
a. Apakah metode HPLC fase terbalik menggunakan teknik preparasi pemanasan
mempunyai validitas yang baik untuk menetapkan kadar parasetamol dalam
jelly yang didasarkan pada parameter akurasi, presisi, sensitivitas, dan
linearitas?
b. Berapakah kadar parasetamol dalam jelly, dan apakah kadar parasetamol
tersebut sesuai dengan kadar penggunaan untuk anak yaitu 120mg/kemasan
jelly?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka penulis, penelitian tentang validasi
penetapan kadar parasetamol menggunakan metode HPLC fase terbalik telah
banyak dilakukan. Tetapi validasi metode dan penetapan kadar parasetamol dalam
jelly secara High Performance Liquid Chromatograph (HPLC) dengan
menggunakan teknik preparasi pemanasan belum pernah dilakukan sebelumnya.
3. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini nantinya diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut :
4
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa
parasetamol dapat di campurkan dalam jelly sebagai alternatif bentuk sediaan
yang sesuai dan nyaman bagi anak, dan untuk membuktikan bahwa kadar
parasetamol tidak mengalami perubahan selama berada dalam jelly.
b. Manfaat Metodologis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa metode
HPLC fase terbalik dengan teknik preparasi pemanasan dapat digunakan untuk
menetapkan kadar parasetamol dalam jelly dengan validitas yang memenuhi
persyaratan.
c. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas
jelly parasetamol dan perkembangan bentuk sediaan lain yang cocok dan nyaman
bagi anak-anak.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk memberikan informasi bahwa metode HPLC fase terbalik dengan teknik
preparasi pemanasan dapat digunakan untuk penetapan kadar parasetamol
dalam jelly dengan validitas metode yang baik
2. Untuk mengetahui secara kuantitatif kadar parasetamol dalam jelly
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Parasetamol
Parasetamol atau 4’-hidroksiasetanilida dengan bobot molekul 151,16
mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C8H9NO2,
dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa
sedikit pahit, kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1
N, mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995). Struktur kimia dari parasetamol
dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia parasetamol
Parasetamol memiliki jarak lebur 169oC-172oC. Kelarutannya adalah 1
gram dapat larut kira-kira 70 ml air pada suhu 25oC, 1 g larut dalam 20 ml air
mendidih, dalam 70 ml alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform,
dalam 40 ml gliserin dan dalam 9 ml propilenglikol. Tidak larut dalam benzen dan
eter dan larut dalam alkali hidroksida. Larutan jenuh mempunyai pH kira-kira 6
dan pKa 9,51 (Connors,et al.,1986).
Serapan maksimum parasetamol pada daerah ultraviolet di larutan asam
adalah 254 nm (A 1%, 1cm = 668) dan dalam larutan basa adalah 257 nm (A 1%,
1cm = 715) (Clarke, 1986). A 1%, 1cm atau serapan jenis adalah serapan dari
5
6
larutan 1 % zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm (Anonim, 1995). Serapan
parasetamol pada panjang gelombang maksimum lebih kurang 244 nm, terhadap
air sebagai blangko (Anonim, 1995).
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang
telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus
aminobenzen. Parasetamol juga digunakan sebagai analgesik. Namun penggunaan
parasetamol untuk meredakan demam (antipiretik) tidak seluas penggunaannya
sebagai analgesik. Efek analgesik dari parasetamol yaitu meredakan rasa nyeri
ringan hingga sedang (Wilmana, 1995).
Dosis untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimal 4 g/hari,
pada penggunaan kronis maksimal 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni
rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12
tahun 240-360 mg, 4-6 kali sehari. Dosis rektal 20mg/ kg setiap kali, dewasa 4 dd
0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6
tahun 4 dd 240 mg dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Rahardja, 2007).
Senyawa yang mengandung gugus amida dapat mengalami hidrolisis
dengan cara yang serupa dengan senyawa jenis ester. Pengganti asam dan alkohol
yang terbentuk pada hidrolisis ester, pemecahan hidrolisis amida menghasilkan
asam dan amida. Langkah penentu laju reaksi pada reaksi yang terkatalisis ion
hidroksida adalah serangan nukleofilik oleh ion hidroksida. Mekanisme hidrolisis
asam pada amida memerlukan substituen yang efek polarnya lemah, tetapi efek
steriknya kuat jika letaknya sesuai (Lachman,et al., 1986).
7
Jalur utama degradasi yang menyebabkan asetaminofen tidak stabil
adalah peristiwa hidrolisis yang memecah parasetamol menjadi p-aminofenol dan
asam asetat (Connors,et al.,1986). Reaksi hidrolisis parasetamol dapat dilihat pada
gambar 2.
Gambar 2. Reaksi hidrolisis parasetamol
1. Stabilitas Suhu Parasetamol
Stabilitas suatu obat perlu di uji untuk mengetahui apakah suatu obat
masih layak untuk dikonsumsi atau tidak. Stabilitas obat tergantung dari beberapa
faktor, antara lain temperatur. Semua obat pada dasarnya akan rusak apabila
disimpan dalam temperatur yang tinggi. Semakin naik suhu penyimpanan maka
waktu paruh (t1/2) dan waktu kadaluwarsa (t90) semakin kecil. Dengan demikian
menyatakan bahwa dengan semakin naiknya suhu penyimpanan, parasetamol akan
mengalamani degradasi sehingga kadarnya berkurang (Novianti, 2004).
2. Stabilitas pH Parasetamol
Parasetamol merupakan obat golongan analgetik antipiretik yang saat ini
banyak digunakan sehingga perlu dibuat suatu formula yang stabil untuk sediaan
sirup yang mendekati pH optimumnya. Parasetamol dalam bentuk cair dapat
8
terdegradasi melalui peristiwa hidrolisis, sehingga perlu dirancang suatu sediaan
parasetamol agar mendekati pH optimumnya (Arisandi, 2008).
B. Bentuk Sediaan Gel
1. Definisi dan klasifikasi Gel
Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar terpenetrasi oleh
suatu cairan (Anonim, 1995). Barry (1983) mendefinisikan gel sebagai sistem dua
komponen dari sediaan semipadat yang kaya akan cairan. Pada gel yang polar,
polimer alam atau sintetik yang digunakan pada konsentrasi rendah (biasanya di
bawah 10%) membentuk matriks tiga dimensi melalui cairan hidrofilik. Sistem
yang terbentuk mungkin jernih ataupun keruh, karena gelling agent yang
digunakan tidak terlarut sempurna atau terbentuknya agregat (Barry, 1983).
Secara umum, ada dua sistem klasifikasi gel. Klasifikasi pertama
membagi gel berdasarkan gelling agent-nya, yaitu (i) inorganik yang merupakan
sistem dua fase, (ii) organik yang merupakan sistem satu fase. Klasifikasi kedua
membagi gel berdasarkan solvennya yaitu (i) hidrogel (inorganik, gum alam dan
sintetik, serta organik), (ii) organogel (tipe hidrokarbon, lemak minyak atau
hewan, organogel hidrofilik) ( Allen, 2002 ).
Hidrogel dideskripsikan sebagai sistem dua komponen yaitu (i) substansi
polimer hidrofilik tetapi tidak larut air, merupakan polimer jaringan 3 dimensi,
dan (ii) air (Zatz dan Kushla,1996). Menurut Buchmann (2001), hidrogel adalah
sistem hidrofilik yang utamanya terdiri dari 85-95% air atau campuran aqueous-
9
alcoholic dan gelling agent. Polimer organik yang biasa digunakan adalah asam
poliakrilat (carbopol), natrium karboksimetilselulosa, atau selulosa non ionik
lainnya.
Hidrogel akan memberikan efek mendinginkan karena evaporasi pelarut.
Hidrogel mudah diaplikasikan dan memberi kelembaban secara instan tetapi pada
penggunaan jangka panjang akan membuat kulit kering. Dengan demikian,
diperlukan humectant seperti gliserol (Buchmann, 2001). Salah satu alasan
penggunaan hidrogel adalah pelarut yang digunakan dalam pembuatan obat
mempunyai kompatibilitas yang baik terhadap jaringan biologis tubuh (Zatz dan
Kushla, 1996).
Dispersi hidrolipid merupakan tipe khusus dari emulsi yang merupakan
sistem dispersi dari fase dispers lipofilik medium dispers hidrofilik. Konsentrasi
lipid berkisar antara 2-20%. Pada prinsipnya, dispersi hidrolipid merupakan
sistem termodinamik yang tidak stabil sehingga dibutuhkan polimer yang dapat
menstabilkan koloid liofilik dalam medium berair. Ukuran droplet minyak yang
terdispersi berkisar antara 20-50 µm (Buchmann, 2001).
2. Mekanisme Pembentukan Gel secara umum
Konsistensi gel disebabkan oleh gelling agent, biasanya polimer dengan
membentuk matriks tiga dimensi. Gaya intermolekuler akan mengikat molekul
solven pada matriks polimer sehingga mobilitas solven berkurang yang
menghasilkan sistem tertentu dengan peningkatan viskositas (Buchmann, 2001).
10
3. Analisis Sediaan Gel dan Perusakan Sistem Gel
Gel tersusun atas sejumlah kecil komponen padatan yang terdispersi
dalam sejumlah besar cairan. Komponen padat dari gel membentuk jaringan tiga
dimensi yang membentuk rigiditas gel. Oleh sebab itu, meskipun sebagian besar
komponennya berupa cairan, gel memiliki kemampuan untuk mempertahankan
bentuknya dengan pemberian sedikit tekanan. Padatan yang lazim digunakan
dalam gel adalah polimer meskipun beberapa gel tersusun atas padatan inorganik.
Contoh polimer yang biasa digunakan sebagai gelling agent antara lain carbomer,
poloxamer, CMC-Na. Hidroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC), dan karaginan
(Swarbick and Boylan, 1992).
Untuk memperoleh analit, yang merupakan komponen gel, system
disperse dari gel perlu dipisahkan terlebih dahulu. Salah satu cara untuk merusak
sistem gel adalah dengan cara pendidihan. Kenaikan suhu pada sistem
menyebabkan jumlah tumbukan antara partikel-partikel solid dengan molekul-
molekul air bertambah banyak. Menyebabkan lepasnya elekrolit yang teradsorpsi
pada permukaan koloid (Sugianto, 2006).
C. Jelly
Jelly merupakan bahan pangan setengah padat yang terdiri dari suspensi
yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar
terpenetrasi oleh suatu cairan di aplikasikan secara oral dimana jelly mempunyai
tekstur kenyal, bentuk menarik dan beraneka ragam, warnanya mencolok, serta
11
beraroma buah-buahan. Sifat dasar dari makanan ini rendah lemak dan tinggi serat
(Kusumawardini, 2006).
D. Senyawa Eksipien Penyusun Jelly
Tabel I. Senyawa Eksipien Penyusun Jelly
Karagenin Bubuk konnyaku Asam sitrat Frukto oligosakarida Vitamin D Kalsium Pewarna makanan karmoisin CI 14720
E. Karagenin
1. Definisi dan sifat dasar karagenin
Karagenin atau disebut juga karagenan merupakan suatu istilah untuk
polisakarida yang diperoleh melalui ekstraksi alkali (dan modifikasi) dari alga
merah (Rhodophyceae) kebanyakan berasal dari genus Chondrus, Euchema,
Gigartina, dan Iridaea. Rumput laut yang berbeda menghasilkan karagenan yang
berbeda pula (Chaplin, 2007).
Karagenan dibuat dari rumput laut yang dikeringkan, rumput laut diayak
untuk menghilangkan kotoran-kotoran seperti pasir dan kemudian dicuci. Setelah
melalui perlakuan dengan larutan basa panas (contohnya 5-8% kalium
hidroksida), selulosanya dihilangkan dari karagenan dengan menggunakan proses
sentrifugasi dan filtrasi. Larutan karagenan yang didapat dipekatkan melalui
evaporasi, kemudian dikeringkan dan dipisahkan lagi menurut spesifikasinya
(Raton and Smooley, 1993).
12
Karagenan dijual dalam bentuk bubuk, warnanya bervariasi dari putih
sampai kecoklatan bergantung dari bahan mentah dan proses yang digunakan.
Ukuran karagenan umumnya sebesar 60 mesh. Karagenan tidak dapat larut dalam
pelarut organik seperti alkohol, eter dan minyak. Kelarutan dalam air bergantung
pada struktur karagenan, media, dan suhu. Umumya, gel karagenan harus
dipanaskan sementara non-gel karagenan dapat larut dalam air dingin (Kelco,
2007).
Sifat dasar karaginan terdiri dari tiga tipe karaginan yaitu kappa, iota dan
lambda karaginan. Tipe karaginan yang paling banyak dalam aplikasi pangan
adalah kappa karaginan. Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viskositas,
pembentukan gel dan stabilitas pH (Towle, 1973). Berikut struktur kimia kappa
karaginan dapat dilihat pada Gambar 3
Gambar 3. Struktur kimia kappa karaginan
2. Pembentukan gel dengan gelling agent karagenin
Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena
penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk
suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau
mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
13
Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain,
tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat
elastis dan kekakuan.
Kappa-karaginan dan iota-karaginan merupakan fraksi yang mampu
membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan
dan membentuk gel kembali jika di dinginkan. Proses pemanasan dengan suhu
yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer
karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka
polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila
penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara
kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang
bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Glicksman, 1969). Jika
diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel
akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis
(Fardiaz 1989). Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme pembentukan gel karaginan
14
Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karaginan terjadi
pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus
3,6-anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan
mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karaginan dan iota karaginan akan
membentuk gel hanya dengan adanya kation-kation tertentu seperti K+, Rb+ dan
Cs+. Kappa karaginan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel kuat
dengan adanya garam kalium, sedangkan iota karaginan akan membentuk gel
yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+, akan tetapi lambda karaginan tidak dapat
membentuk gel (Glicksman, 1983). Potensi membentuk gel dan viskositas larutan
karaginan akan menurun dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses
hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul karaginan (Angka dan Suhartono, 2000).
3. Kelarutan
Kelarutan karaginan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor di
antaranya tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion tandingan dan zat-
zat terlarut lainnya. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik
sedangkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Lambda karaginan
mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dan
mengandung gugus sulfat yang tinggi. Karaginan jenis iota bersifat lebih
hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6-anhidro-D-
galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis kappa kurang hidrofilik karena
lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa (Towle 1983; cPKelco ApS
2004). Daya kelarutan karaginan pada berbagai media dapat dilihat pada Tabel II.
15
Tabel II. Daya Kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut
Sifat-sifat Kappa Iota Lambda
Air panas Larut suhu > 60ºC Larut suhu > 60ºC Larut
Air dingin Larut Na Larut Na Larut garam
Susu panas Larut Larut Larut
Susu dingin Kental Kental Lebih Kental
Larutan gula Larut Susah larut Larut (panas)
Larutan garam Tidak larut Tidak larut Larut (panas)
Larutan organic Tidak larut Tidak larut Tidak larut
4. Stabilitas pH
Karaginan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan
akan terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan
karaginan dapat mempertahankan kondisi proses produksi karaginan (cPKelco
ApS, 2004). Hidrolisis asam akan terjadi jika karaginan berada dalam bentuk
larutan, hidrolisis akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Larutan
karaginan akan menurun viskositasnya jika pHnya diturunkan dibawah 4,3
(Imeson, 2003).
Kappa dan iota karaginan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada
pH rendah, tetapi tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam
pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan
glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh
pH, temperatur dan waktu. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah
(Moirano 1977). Stabilitas karaginan dalam berbagai media pelarut dapat dilihat
pada Tabel III.
16
Tabel III. Stabilitas karaginan dalam berbagai media pelarut
Stabilitas Kappa Iota Lamda
pH netral dan alkali Stabil Stabil Stabil
Ph asam Terhidrolisis jika dipanaskan. Stabil dalam bentuk gel
Terhidrolisis jika dipanaskan. Stabil dalam bentuk gel
Terhidrolisis
(Glicksman, 1983)
F. Bubuk konnyaku
Konnyaku berbahan dasar alami dari umbi tanaman konjac yaitu konyaku
potato dan calcium hydroxide atau oxide calcium yang diekstrak dari kulit telur
(Evimeinar, 2006). Konnyaku merupakan makanan alami yang terdiri dari 97%
air dan 3% glukomanan, yaitu serat makanan. Konnyaku juga kaya akan mineral
dan rendah kalori serta tidak mengandung lemak. Konnyaku tidak dapat tercerna
oleh sistem pencernaan (Anonim, 2009).
G. Asam sitrat
Merupakan senyawa intermedier dari asam organik yang berbentuk
kristal atau serbuk putih. Asam sitrat ini mudah larut dalam air, spriritus, dan
etanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika dipanaskan akan meleleh,
kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang. Asam sitrat
juga terdapat dalam sari buah-buahan seperti nanas, jeruk, lemon, markisa. Asam
ini dipakai untuk meningkatkan rasa asam (mengatur tingkat keasaman) pada
berbagai pengolahan minum, produk air susu, selai, jeli, dan lain-lain. Asam sitrat
berfungsi sebagai pengawet pada keju dan sirup, digunakan untuk mencegah
17
proses kristalisasi dalam madu, gula-gula (termasuk fondant), dan juga untuk
mencegah pemucatan berbagai makanan, misalnya buah-buahan kaleng dan ikan.
Larutan asam sitrat yang encer dapat digunakan untuk mencegah pembentukan
bintik-bintik hitam pada udang. Penggunaan maksimum dalam minuman adalah
sebesar 3 gram/liter sari buah (Anonim, 2007).
Pemerian : hablur bening, tidak berwarna atau serbuk hablur granul
sampai halus, putih tidak berbau, rasa sangat asam. Bentuk hidrat mekar dalam
udara kering.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol, agak
sukar larut dalam eter (Anonim,1995). Struktur kimia dari asam sitrat dapat dilihat
pada gambar 5.
Gambar 5. Struktur kimia asam sitrat
H. Frukto oligosakarida
Fruktooligosakarida (FOS) merupakan prebiotik yang banyak digunakan
saat ini. Prebiotik merupakan istilah yang dikaitkan dengan kesehatan saluran
cerna. Prebiotik sendiri didefinisikan sebagai komponen bahan makanan yang
tidak dicerna oleh sistem pencernaan, namun bila dikonsumsi oleh manusia
mampu menstimula pertumbuhan dan aktifitas mikroflora (bakteri) di dalam
18
saluran cerna secara selektif, dan yang terpenting harus memperlihatkan efek
positif terhadap kesehatan (Anonim, 2007).
I. Vitamin D
Vitamin D yang juga sering disebut ergocalciferolum atau ergocalciferol
merupakan sumber vitamin D pada sediaan jelly. Vitamin D merupakan serbuk
hablur putih, tidak berbau, dapat terpengaruh oleh cahaya dan udara. Kelarutan:
tidak larut dalam air, larut dalam etanol, dalam kloroform, dan dalam minyak
lemak. Titik didih antara 115ºC dan 117ºC (Anonim,1995). Struktur kimia dari
vitamin D dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Struktur kimia vitamin D
J. Kalsium
Kalsium adalah mineral yang amat penting bagi manusia, antara lain bagi
metabolisme tubuh, penghubung antar syaraf, kerja jantung, dan pergerakan otot.
Beberapa manfaat lain dari kalsium bagi manusia diantaranya adalah
mengaktifkan saraf, melancarkan peredaran darah, melenturkan otot,
menormalkan tekanan darah, menyeimbangkan tingkat keasaman darah, menjaga
19
keseimbangan cairan tubuh, mencegah osteoporosis (keropos tulang), mencegah
penyakit jantung, menurunkan resiko kanker usus (Anonim, 2006).
K. Pewarna makanan karmoisin CI 14720
Zat pewarna sintetis, secara umum dapat dibagi ke dalam dua golongan,
yaitu zat pewarna asam dan zat pewarna dasar. Contoh pewarna dari jenis asam
adalah amaranth dan karmoisin. Karmoisine yang disebut juga azorubine, atau CI
14.720 adalah zat pewarna sintetis berwarna merah yang digunakan untuk
pewarna makanan atau sediaan obat-obatan dan termasuk pewarna azo. Biasanya
berbentuk garam dinatrium dari asam sulfat (Anonim, 2009). Struktur kimia dari
karmoisin CI 14720 dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Struktur kimia karmoisin
L. Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang
mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik
(REM) (Mulja dan Suharman, 1995).
20
Serapan cahaya molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel
tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Spektrofotometri ultraviolet dan
visibel dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat dengan transisi-transisi
diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka
serapan radiasi ultraviolet dan visibel sering dikenal sebagai spektroskopi
elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan atau orbital
pasangan elektron bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital non ikatan.
Panjang gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatan-
tingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Dalam praktek, spektrofotometri
ultraviolet digunakan terbatas pada sistem-sistem terkonjugasi. Meskipun
demikian terdapat keuntungan yang selektif dari serapan ultraviolet, yaitu gugus-
gugus karakteristik dapat dikenal dalam molekul yang sangat kompleks
(Sastrohamidjojo, 2002).
Molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi
cahaya ini sama dengan getaran molekul tersebut. Elektron terikat dan elektron
yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi yang sesuai dengan
cahaya ultraviolet dan cahaya tampak. Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar
220-800 nm dan dinyatakan dengan spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet
meliputi daerah bagian ultraviolet, spektrum visibel bagian daerah sinar tampak
(Roth dan Blaschke, 1994).
Metode analisis spektrofotometri ultraviolet didasarkan pada pengukuran
serapan cahaya oleh substitusi pada daerah panjang gelombang (λ) sekitar 190-
380 nm. Serapan pada daerah tersebut cukup kuat sehingga memungkinkan
21
berbagai senyawa diukur sampai kadar dibawah 1 ppm (Silverstein, 1981).
Sensitifitas yang bagus, hasil yang cukup akurat, serta pengerjaan yang relatif
sederhana menjadikan spektrofotometri ultraviolet sebagai metode analisis yang
digunakan secara luas (Schinner, 1982).
Absorbansi cahaya ultraviolet mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Panjang gelombang ultraviolet
bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan
banyak energi untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang
yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap
pada panjang gelombang yang lebih panjang (Fessenden dan Fessenden, 1997).
Untuk penentuan kadar spektrofotometri, yang ditentukan adalah
absorbsi maksimum kurva absorbsi. Jika absorbsi ini untuk penentuan kadar
adalah sangat rendah atau senyawa mula-mula mengabsorbsi dibawah 220 nm,
maka seringkali senyawa diubah menjadi suatu zat warna melalui reaksi kimia dan
absorbsi ditentukan dalam daerah sinar tampak (visibel) (Roth dan
Blaschke.,1994).
Parasetamol dapat diukur serapannya dengan spektrofotometri
ultraviolet, panjang gelombang (λ) yang digunakan dalam pengukuran adalah
dalam rentang 180-380 nm, dimana sampel tidak berwarna. Semakin banyak
gugus kromofor, maka akan dapat menggeser pada panjang gelombang yang lebih
tinggi atau dapat menyerap radiasi pada panjang gelombang yang lebih tinggi.
22
M. High Performance Liquid Chromatography
HPLC merupakan kondisi kromatografi yang fase geraknya dialirkan
menuju kolom secara cepat dengan bantuan tekanan dari pompa dan hasilnya
dapat dideteksi dengan detektor (Hendayana, 2006). Tujuan dari HPLC adalah
memperoleh hasil pemisahan yang baik dalam waktu relatif singkat (Mulja dan
Suharman, 1995).
1. Kelebihan HPLC
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau High Pressure
Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu metode kimia dan
fisikokimia. HPLC termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu teknik
kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. Banyak
kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode lainnya (Done dkk, 1974;
Snyder dan Kirkland, 1979; Hamilton dan Sewell, 1982; Johnson dan Stevenson,
1978). Metode HPLC memiliki kelebihan yaitu kolom HPLC dapat dipakai
berkali-kali, resolusi yang didapatkan jauh lebih tinggi daripada metode lain
(KLT, spektrofotometer), teknik yang dipakai tidak terlalu tergantung pada
kemampuan operator dan derajat keterulangan yang didapatkan sesuai dengan
kriteria USP, waktu analisisnya secara umum lebih singkat, dan preparasi dengan
HPLC dapat dilakukan pada skala besar (Hamilton & Sewell, 1978). Selain itu
HPLC juga dapat menganalisis senyawa yang tidak mudah menguap dan
termolabil (Synder & Kirkland, 1979).
23
2. Komponen-komponen HPLC
HPLC merupakan teknis analisis yang paling sering digunakan dalam
analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi, dan determinasi dalam campuran
yang kompleks. Komponen-komponen penting dari HPLC dapat dilihat pada
Gambar 8 Diagram Blok HPLC berikut ini :
Gambar 8. Diagram blok HPLC
a. Pompa (Pump). Fase gerak dalam HPLC adalah suatu cairan yang
bergerak melalui kolom. Ada dua tipe pompa yang digunakan, yaitu kinerja
konstan (constant pressure) dan pemindahan konstan (constant displacement).
Pemindahan konstan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pompa reciprocating dan
pompa syringe. Pompa reciprocating menghasilkan suatu aliran yang berdenyut
teratur (pulsating), oleh karena itu membutuhkan peredam pulsa atau peredam
elektronik untuk menghasilkan garis dasar (base line) detektor yang stabil, bila
detektor sensitif terhadapan aliran. Keuntungan utamanya ialah ukuran reservoir
tidak terbatas. Pompa syringe memberikan aliran yang tidak berdenyut, tetapi
reservoirnya terbatas (Putra, 2004).
b. Injektor (injector). Sampel yang akan dimasukkan ke bagian ujung
kolom, harus dengan disturbansi yang minimum dari material kolom. Ada dua
24
model umum yaitu stopped flow dan solvent flowing. Ada tiga tipe dasar injektor
yang dapat digunakan pertama stop-flow (aliran dihentikan) injeksi dilakukan
pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa
digunakan karena difusi di dalam cairan kecil dan resolusi tidak dipengaruhi.
Kedua adalah septum dimana septum yang digunakan pada HPLC sama dengan
yang digunakan pada Kromtografi Gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja
sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-
pelarut kromatografi cair. Partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum
injektor) dapat menyebabkan penyumbatan. Dan yang ketiga adalah loop valve
dimana tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih
besar dari 10 μl dan dilakukan dengan cara otomatis (dengan menggunakan
adaptor yang sesuai, volume yang lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual).
Pada posisi LOAD, sampel di isi kedalam loop pada kinerja atmosfir, bila
VALVE difungsikan, maka sampel akan masuk ke dalam kolom (Putra, 2004).
c. Kolom (Column). Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau
gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan
yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kolom analitik
dengan diameter dalam 2-6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis material
pengisi kolom. Untuk kemasan pellicular, panjang yang digunakan adalah 50-100
cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat, 10-30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm.
Dan kolom preparatif yang umum memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan
panjang kolom 25-100 cm.
25
Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya di operasikan
pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi,
terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Pengepakan
kolom tergantung pada model HPLC yang digunakan (Liquid Solid
Chromatography, LSC; Liquid Liquid Chromatography, LLC; Ion Exchange
Chromatography, IEC, Exclution Chromatography, EC).
d. Detektor (Detector). Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi
adanya komponen sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung
kadarnya (analisis kuantitatif). Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang
tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi
respons untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran
dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh.
Detektor HPLC yang umum digunakan adalah detektor UV 254 nm.
Variabel panjang gelombang dapat digunakan untuk mendeteksi banyak senyawa
dengan range yang lebih luas. Detektor indeks refraksi juga digunakan secara luas,
terutama pada kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif jika
dibandingkan dengan detektor UV. Detektor-detektor lainnya antara lain detektor
Fluorometer-Detektor Spektrofotometer Massa, detektor lonisasi nyala-Detektor
Refraksi lndeks, detektor Elektrokimia-Detektor Reaksi Kimia.
3. Kromatografi Partisi Fase Balik
Menurut Gritter et al. (1991), konsep pada pengembangan kromatografi
cair partisi yaitu perlakuan sampel dalam kondisi cair-cair tergantung pada
kelarutannya di dalam kedua cairan yang terlibat. Jika solut ditambahkan ke
26
dalam kondisi yang terdiri atas dua pelarut yang tidak bercampur dan keseluruhan
kondisi di biarkan seimbang, solut akan tersebar antara kedua fase itu menurut
persamaan :
K adalah koefesien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase
diam dan Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Skoog et al.,1994). Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan metode kromatografi partisi fase
balik adalah :
a. Kolom. Kolom yang digunakan pada jenis kromatografi ini ialah
kemasan fase terikat. Fase diam yang biasa digunakan pada kromatografi partisi
fase balik adalah oktadesilsilan (ODS). Selain ODS, dikenal pula silika dengan
substitusi oktil (C8) (Munson,1991).
b. Fase gerak. Fase gerak pada HPLC sangat berpengaruh pada tambatan
sampel dan pemisahan komponen dalam campuran. Pada fase balik, kandungan
utama fase geraknya adalah air. Pelarut yang dapat campur dengan air seperti
metanol, etanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran ditambahkan untuk mengatur
kepolaran fase gerak pada fase balik HPLC.
Dalam kasus ini, ukuran kolom sama, tetapi silika di modifikasi menjadi
non polar melalui pelekatan rantai-rantai hidrokarbon panjang pada
permukaannya secara sederhana baik berupa atom karbon 8 atau 18. Sebagai
contoh, pelarut polar digunakan berupa campuran air dan alkohol seperti metanol.
Dalam kasus ini, akan terdapat atraksi yang kuat antara pelarut polar dan molekul
27
polar dalam campuran yang melalui kolom. Atraksi yang terjadi tidak akan sekuat
atraksi antara rantai-rantai hidrokarbon yang berlekatan pada silika (fase diam)
dan molekul-molekul polar dalam larutan. Oleh karena itu, molekul-molekul polar
dalam campuran akan menghabiskan waktunya untuk bergerak bersama dengan
pelarut. Senyawa-senyawa non polar dalam campuran akan cenderung
membentuk atraksi dengan gugus hidrokarbon karena adanya dispersi gaya van
der Waals. Senyawa-senyawa ini juga akan kurang larut dalam pelarut karena
membutuhkan pemutusan ikatan hidrogen sebagaimana halnya senyawa-senyawa
tersebut berada dalam molekul-molekul air atau metanol misalnya. Oleh
karenanya, senyawa-senyawa ini akan menghabiskan waktu dalam larutan dan
akan bergerak lambat dalam kolom. Ini berarti bahwa molekul-molekul polar akan
bergerak lebih cepat melalui kolom. Fase balik HPLC adalah bentuk yang biasa
digunakan dalam HPLC (Rod McIlwrick, 2007).
4. Injeksi sampel
Injeksi sampel seluruhnya otomatis, tidak akan dapat mengetahui apa
yang terjadi pada tingkat dasar. Karena proses ini meliputi tekanan, tidak sama
halnya dengan kromatografi gas (Rod McIlwrick, 2007).
5. Waktu retensi
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom
menuju detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan
waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian
puncak yang maksimum dari senyawa itu. Senyawa-senyawa yang berbeda
memiliki waktu retensi yang berbeda. Untuk beberapa senyawa, waktu retensi
akan sangat bervariasi dan bergantung pada tekanan yang digunakan (karena itu
28
akan berpengaruh pada laju alir dari pelarut), kondisi dari fase diam (tidak hanya
terbuat dari material apa, tetapi juga pada ukuran partikel), komposisi yang tepat
dari pelarut, dan temperatur pada kolom. Itu berarti bahwa kondisi harus dikontrol
secara hati-hati jika menggunakan waktu retensi sebagai sarana untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa (Rod McIlwrick, 2007).
6. Profil puncak dan pelebaran puncak
Selama pemisahan kromatografi, solut secara individual akan
membentuk profil konsentrasi yang simetri atau dikenal juga dengan profil
Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil, dikenal juga dengan puncak atau
pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang
asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam. Penyebab
terjadinya pelebaran puncak kromatografi, yaitu :
a. Penyebab pertama : Difusi Eddy. Kolom biasanya dikemas dengan
partikel fase diam yang kecil. Fase gerak lalu melewatinya dan membawa
molekul-molekul sampel yang ada di dalamnya. Beberapa molekul meninggalkan
kolom terlebih dahulu dibanding molekul yang lainnya. Beberapa molekul ada
yang meninggalkan kolom belakangan disebabkan karena mengalami beberapa
pengalihan (diversi) selama perjalanannya. Keadaan ini dikenal dengan difusi
Eddy (Rohman, 2009). Mekanisme difusi Eddy dapat dilihat pada gambar 9.
29
Gambar 9. Difusi Eddy dalam kromatografi kolom
b. Penyebab kedua : Distribusi aliran. Fase gerak mengalir di antara
partikel fase diam dalam suatu gerakan laminer (Gambar 10). Kecepatan alir fase
gerak lebih cepat jika melalui pusat saluran (ditengah-tengah) daripada jika fase
gerak melalui daerah di dekat partikel fase diam. Anak panah dalam gambar 10
menggambarkan vektor-vektor kecepatan fase gerak (semakin panjang anak
panah, maka kecepatan alir lokal semakin besar). Difusi Eddy dan distribusi alir
dapat dikurangi dengan mengemas kolom menggunakan partikel fase diam
berukuran rata. Suatu kolom dikatakan bagus apabila kolom tersebut tersusun dari
partikel-partikel fase diam dengan distribusi ukuran sesempit mungkin. Rasio
antara diameter partikel terkecil dan yang terbesar tidak melebihi 2. Jika partikel
terkecilnya berdiameter 1,5 μm dan yang paling besar 7,5 μm maka rasionya
adalah 5. Berikut gambar distribusi aliran dalam kromatografi (Rohman, 2009).
30
Gambar 10. Difusi distribusi aliran dalam kromatografi
c. Penyebab ketiga : Difusi molekul sampel dalam fase gerak. Molekul-
molekul sampel menyebar di dalam pelarut tanpa adanya pengaruh luar apapun
(perhatikan bagaimana suatu gula melarut dalam air secara perlahan-lahan bahkan
tanpa diaduk). Hal ini merupakan difusi longitudinal (gambar 11). Difusi ini
mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan pada tinggi puncak jika partikel-
partikel fase diamnya kecil, kecepatan alir fase gerak terlalu rendah (dihubungkan
dengan diameter partikel), koefisien difusi sampel relatif besar.
Kecepatan alir fase gerak harus dipilih sedemikian rupa sehingga difusi
longitudinal tidak mempunyai efek yang merugikan. Pada gambar 11, pelebaran
pita oleh difusi longitudinal. Kiri : daerah sampel sesaat setelah diinjeksikan.
Sampel akan menyebar dalam ruangan ke 3 arah (arah anak panah). Kanan :
daerah sampel setelah beberapa saat. Daerah sampel saat ini lebih luas disebabkan
oleh difusi. Sampel ini juga akan pindah oleh aliran fase gerak (Rohman, 2009).
Gambar 11. Pelebaran pita oleh difusi longitudinal
31
d.Penyebab keempat : perpindahan massa antara fase gerak, fase gerak
yang stagnan, dan fase diam. Gambar 12 menunjukkan struktur partikel fase diam.
Salurannya ada yang sempit dan ada yang luas. Pori-pori itu terisi oleh fase gerak
yang tidak bergerak (stagnan). Suatu molekul sampel yang masuk ke dalam pori
akan berhenti untuk dipindahkan dengan aliran fase gerak dan posisinya berubah
hanya dengan difusi. Meskipun demikian, ada dua kemungkinan yang terjadi yang
pertama molekul sampel berdifusi balik ke aliran fase gerak. Keadaan ini, yang
mana molekul sampel keluar bersama aliran fase gerak, membutuhkan waktu.
Yang kedua molekul berinteraksi dengan fase diam dan akan teradsorbsi. Untuk
sementara waktu, molekul sampel tetap menempel pada fase diam. Sekali lagi,
perpindahan massa ini membutuhkan waktu yang cukup lama (gambar 13). Fase
diam mempunyai pusat adsorbsi C (dalam kerapatan yang luas) yang akan
menarik molekul-molekul di sekitarnya.
Dalam kedua kasus di atas, pelebaran puncak meningkat seiring dengan
meningkatnya kecepatan alir fase gerak (Rohman, 2009).
Gambar 12. Struktur pori molekul fase diam
32
Gambar 13. Perpindahan massa antara fase diam dan fase gerak
7. Persamaan Van Deemter
Tinggi lempeng teoritis (H), yang merupakan ukuran efisiensi kolom,
dapat diekspresikan sebagai fungsi kecepatan alir fase gerak u (Gambar.14).
Kurva H/u juga disebut dengan kurva Van Deemter. Kecepatan alir optimum
(Uopt) tergantung pada sifat-sifat analit. Dalam kurva Van Deemter no.1 adalah
difusi Eddy, no.2 adalah difusi longitudinal, no.3 komponen perpindahan massa,
no.4 resultan atau hasil kurva Van Deemter (Rohman, 2009).
Gambar 14. Kurva Van Deemter
Persamaan yang terkait dengan kurva di atas disebut dengan persamaan
Van Deemter. Dalam kromatografi cair, persamaan Van Deemter dirumuskan
sebagai berikut :
33
Di mana :
H adalah ukuran efisiensi kolom; semakin kecil nilai H, maka kolom
akan semakin efisien.
u merupakan kecepatan alir fase gerak
A adalah difusi Eddy
B adalah difusi longitudinal. Dalam kromatografi cair, difusi
longitudinal ini kontribusinya sangat kecil. Sumbangan difusi
longitudinal ini dalam pelebaran pita akan menurun. Jika kecepatan
alir meningkat, dan hanya akan bermakna jika kecepatan alir fase
gerak sangat rendah.
Cs merupakan resistensi terhadap perpindahan atau transfer massa
molekul dalam fase diam, dan nilainya tergantung pada koefisien
difusinya (Ds) dalam fase diam dan tergantung pula pada ketebalan
fase diam (d)
Cs =
Cm merupakan resistensi terhadap transfer massa yang disebabkan oleh
diameter dan bentuk partikel fase diam (d) dan kecepatan difusi
molekul dalam fase gerak.
Cm =
34
Semakin teratur partikel-partikel fase diam, maka kontribusinya terhadap
pelebaran pita semakin kecil (Rohman, 2009).
7. Faktor-faktor yang digunakan untuk evaluasi kinerja kolom
Kualitas pemisahan dengan kromatografi kolom dapat dikontrol dengan
melakukan serangkaian uji kesesuaian sistem di antaranya adalah efisiensi kolom
dan simetrisitas puncak.
a. Efisiensi kolom. Salah satu karakteristik sistem kromatografi yang
paling penting adalah efisiensi atau jumlah lempeng teoritis (N). Ukuran efisiensi
kolom adalah jumlah lempeng (plate number, N) yang didasarkan pada konsep
lempeng teoritis pada distilasi. Jumlah lempeng (N) dihitung dengan :
Nilai N juga dapat dihitung dengan :
Yang mana :
tR = waktu retensi solut
σt = simpangan baku lebar puncak
Wh/2 = lebar setengah tinggi puncak
Wb = lebar dasar puncak
Gambar 15 menjelaskan bagaimana cara menghitung tR, σt, Wh/2, Wb suatu
puncak kromatogram.
35
Gambar 15. Cara mengukur tR, σt, Wh/2, Wb suatu puncak kromatogram.
Persamaan berikut digunakan untuk menggambarkan hubungan antara
panjang kolom (L) dengan efisiensi kolom (H):
Bilangan lempeng (N) yang tinggi disyaratkan untuk pemisahan yang
baik yang nilainya sebanding dengan semakin panjangnya kolom (L) dan semakin
kecilnya nilai (H). Istilah H merupakan tinggi ekivalen lempeng teoritis atau
HETP (High Eqivalent Theoritical Plate), yang mana merupakan panjang kolom
yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lempeng teoritis. Kolom yang baik
akan mempunyai bilangan lempeng yang tinggi dan karenannya kolom yang baik
mempunyai nilai H yang rendah. Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin
tinggi bilangan lempeng teoritis. Kondisi optimum diperoleh dengan melihat
hubungan antara tinggi lempeng teoritis dan kecepatan alir (kurva Van Deemter).
dalam sistem kromatografi, diharapkan untuk mempunyai bilangan lempeng (N)
yang tinggi. Bilangan lempeng (N) akan meningkat dengan adanya beberapa
faktor yaitu : kolom yang dikemas dengan baik, kolom yang lebih panjang,
partikel fase diam yang lebih kecil, viskositas fase gerak yang lebih rendah dan
36
suhu yang lebih tinggi, molekul-molekul sampel yang lebih kecil, pengaruh di
luar kolom yang minimal (Rohman, 2009).
b. Faktor asimetri (Faktor pengekoran). Suatu situasi yang menunjukkan
kinerja kromatografi yang kurang baik adalah ketika ditemukan suatu puncak
yang mengalami pengekoran (tailing) sehingga menyebabkan puncak tidak
simetri. Jika puncak yang akan dikuantifikasi adalah asimetri, maka suatu
perhitungan asimetrisitas merupakan cara yang paling berguna untuk mengontrol
atau mengkarakterisasi sistem kromatografi. Puncak asimetri muncul karena
bebagai faktor. Peningkatan puncak yang asimetri akan menyebabkan penurunan
resolusi, batas deteksi, dan presisi. Gambar 16 menunjukkan bagaimana
menghitung nilai faktor pengekoran (tailing factor, TF). Kromatogram yang
memberikan harga TF=1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat
setangkup atau simetris. Harga TF >1 menunjukkan bahwa kromatogram
mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang
dipakai semakin kurang efisien. Dengan demikian harga TF dapat digunakan
untuk melihat efisiensi kolom kromatogram (Rohman, 2009).
Gambar 16. Menghitung besarnya TF pada kromatogram
37
N. Validitas Metode Analisis Instrumental
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan
bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita,
2004). Validasi metode analisis diartikan sebagai suatu prosedur yang digunakan
untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut dapat memberikan hasil
seperti yang diharapkan dengan kecermatan dan ketelitian yang memadai. Metode
analisis instrumen merupakan metode yang terpilih dan memadai untuk
mengantisipasi persoalan analisis yaitu sangat kecilnya kadar senyawa yang
dianalisis dan kompleksnya matriks sampel yang dianalisis (Mulja dan Suharman,
1995). Untuk itu diperlukan suatu pedoman mengenai kesahihan metode analisis
yang didukung oleh parameter-parameter dibawah ini:
1. Akurasi
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan
sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita,
2004). Kriteria rentang recovery yang dapat diterima dapat dilihat pada tabel IV.
38
Tabel IV. Kriteria rentang recovery yang dapat diterima (Harmita, 2004)
Analit pada matriks sampel
(%)
Rentang recovery yang diperoleh
100 98-102 % > 10 98-102 % > 1 97-103 %
> 0,1 95-105 % 0,01 90-107 % 0,001 90-107 %
0,0001 (1 ppm) 80-110 % 0,00001 (100 ppb) 80-110 % 0,000001 (10 ppb) 60-115 % 0,0000001 (1 ppb) 40-120 %
2. Presisi
Presisi atau keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual
dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang
diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Presisi biasanya
dinyatakan dalam koefisien variasi (KV). Suatu metode dapat dinyatakan
memiliki presisi yang baik apabila memiliki KV < 2 % tetapi kriteria ini fleksibel
tergantung dari kondisi analit yang diperiksa, jumlah sampel dan kondisi
laboratorium. Berikut ketentuan nilai KV yang dapat diterima (Harmita, 2004) :
Tabel V. Kriteria KV yang dapat diterima
Kadar Analit KV (%)
≥ 1 % 2,5
0,1 % 5 1 ppm 16
1 ppb 32
39
3. Linieritas dan rentang
Linieritas merupakan kemampuan suatu metode (pada rentang tertentu)
untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional dengan
konsentrasi (jumlah) analit di dalam sampel. Rentang adalah jarak antara level
terbawah dan teratas dari metode analisis yang telah dipakai untuk mendapatkan
presisi, linieritas dan akurasi yang bisa diterima (Anonim, 2007). Persyaratan data
linearitas yang bisa diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0,99 atau
r2 ≥ 0,997 (Anonim, 2004; Chan et al, 2004).
4. Spesifisitas
Spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur
zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang
mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas metode ditentukan dengan
membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil urai,
senyawa sejenis, senyawa asing lainnya atau pembawa plasebo dengan hasil
analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tadi. Penyimpangan hasil
merupakan selisih dari hasil uji keduanya (Harmita, 2004).
USP 28 mencantumkan beberapa kategori uji umum yang harus
memenuhi validitas data, yaitu :
a. Kategori I. Metode analitik yang digunakan untuk mengukur secara
kuantitatif sejumlah besar komponen dari serbuk obat atau senyawa aktif
(termasuk preservarif).
b. Kategori II. Metode analitik yang digunakan untuk penentuan
kemurnian dalam serbuk obat atau penentuan senyawa degradasi.
40
c. Kategori III. Metode analitik yang digunakan untuk penentuan sifat-
sifat khusus seperti kecepatan disolusi dan pelepasan obat.
d. Kategori IV. Metode analitik yang digunakan untuk mengidentifikasi
sediaan farmasi.
Tabel VI. Parameter Analitik
Category II Analitycal Perforamance Characteristics
Category 1 Qualitative Quantitative
Category III
Category IV
Accuracy Yes * Yes * No Precision Yes No Yes Yes No
Spesificity Yes Yes Yes * Yes LOD No Yes No * No
LOQ No No Yes * No Linierity Yes No Yes * No
Range Yes * yes * No
*Mungkin diperlukan, tergantung sifat uji spesifik yang dilakukan
41
O. Landasan Teori
Gel merupakan sediaan setengah padat yang terdiri dari suspensi yang
dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar
terpenetrasi oleh suatu cairan. Dalam sediaan gel terdapat gelling agent yang
merupakan senyawa pembentuk gel yaitu karaginan.
Karaginan dapat membentuk gel secara reversibel artinya dapat
membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan serta
akan larut di air panas pada suhu > 60ºC.
Pemanasan menyebabkan rusak atau terbongkarnya ikatan silang (cross
link) antar rantai polimer gelling agent karagenin sehingga akan mengakibatkan
polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak) dengan lepasnya
ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 menyebabkan susunan molekul polimer
mengalami perubahan dan bahkan rusak menjadi unit-unit monomer D-galaktosa
4-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Rusaknya sistem gel menyebabkan bahan
tambahan dalam jelly mudah untuk diisolasi dari sediaan termasuk senyawa
parasetamol di dalamnya.
Suhu dan pH lingkungan mempengaruhi kadar parasetamol dalam
sediaan. Karena adanya pengaruh suhu yang tinggi yaitu 60ºC, dikhawatirkan
dapat mendegradasi zat aktif sehingga kadar parasetamol yang ada didalam
sediaan dapat berkurang.
Kadar parasetamol di uji menggunakan sistem HPLC yang merupakan
suatu sistem kromatografi yang fase geraknya dialirkan dengan cepat dengan
42
bantuan pompa bertekanan dan hasilnya dideteksi dengan detektor. Analisis
dengan HPLC mempunyai sensitivitas yang tinggi dan diharapkan didapatkan
pemisahan yang baik dalam waktu yang relatif singkat.
Sebelumnya, metode penetapan kadar parasetamol dalam jelly dengan
menggunakan teknik preparasi pemanasan perlu di validasi terlebih dahulu untuk
membuktikan bahwa metode yang digunakan memberikan hasil seperti yang
diharapkan berdasarkan parameter akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang
memadai.
P. Hipotesis
1. Metode HPLC fase terbalik mempunyai validitas yang baik untuk menetapkan
kadar parasetamol dalam jelly parasetamol yang didasarkan pada parameter
validitas akurasi, presisi, sensitivitas , dan linearitas.
2. Kadar parasetamol dalam jelly tetap ketika dicampurkan bersama-sama dengan
jelly dalam proses pembuatannya, yaitu ± 120 mg/kemasan.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan
rancangan penelitian deskriptif, karena dalam penelitian ini tidak dilakukan
manipulasi terhadap subjek uji, yaitu jelly parasetamol. Penelitian ini hanya
mendeskripsikan keadaan yang ada.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Klasifikasi Variabel
a. Variabel Bebas
Suhu dan waktu pemanasan untuk memecah sistem jelly.
b. Variabel Tergantung
Kadar parasetamol dalam jelly.
c. Variabel Pengacau Terkendali
Kualitas dari bahan yang digunakan, ataupun pelarut.
2. Definisi Operasional
a. Jelly merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar terpenetrasi
oleh suatu cairan.
b. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) fase terbalik yang
digunakan adalah seperangkat alat HPLC dengan fase diam kolom
43
44
reserved phase C18 dan fase gerak campuran metanol dan aquabides
(90:10).
c. Kadar parasetamol dalam jelly di tetapkan dengan satuan mg/kemasan.
d. Parameter validasi metode yang digunakan adalah akurasi, presisi,
sensitivitas, dan linearitas.
C. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi “Jelly”
(Nutrijel), baku parasetamol kualitas working standard (ANQUI LU’AN
PHARMACEUTICAL CO., LTD), Metanol p.a. (E. Merck), Aquabidestilata
(Ikapharmindo Pharmaceutical).
D. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Spektrofotometer
UV/Vis merk Perkin-Elmer Lambda 20, Kuvet, Sistem HPLC yang terdiri dari :
pompa merk Shimadzu model LC-10 AD No. C20293309457 J2, detector UV-
VIS merk Shimadzu, model SPD-10 AV No. C20343502697 KG, seperangkat
computer merk Compaq, printer Hewlett Packard Deskjet 670 C, injector jenis
katup suntik model 77251, kolom C18 Merek KNAUER dengan packing Kromasil
100-5, panjang kolom 25 cm, internal diameter 4,6mm, syringe merk Hamilton
Pat No. 2933087, degassing ultrasonicator merk Retsch tipe T460 no
V935922013 EY, vaccum merk Gast model DOA-P104-BN, organic solvent
membrane filter merk Whatman ukuran pori (0,5 µm ; diameter 47 mm),
penyaring miliphore ukuran pori 0,45 µm, neraca analitik Scaltec SBC 22 max
60/210 g; d = 0,01/0,1 mg; e = 1 mg, seperangkat alat-alat gelas: pipet ukur, pipet
45
volume, beker glass, labu takar, gelas ukur, buret 10,0 ml, kompor listrik beserta
magnetic stirrer.
E. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan fase gerak
Fase gerak dibuat dalam campuran metanol : aquabides (90:10) sebanyak
500,0 ml, campuran tersebut digojog dan disaring dengan kertas Whatman
organik dengan bantuan pompa vakum dan di degassing selama 15 menit.
2. Pembuatan larutan baku parasetamol
Lebih kurang 10 mg parasetamol ditimbang seksama, dilarutkan dengan
fase gerak kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml dan diencerkan
dengan fase gerak sampai volumenya tepat 10,0 ml (larutan stok). Larutan ini
kemudian dipipet 0,5 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 50 ml dan diencerkan
dengan fase gerak hingga volumenya tepat 50,0 ml (larutan intermediet). Dari
larutan intermediet ini kemudian dibuat larutan baru dengan konsentrasi 3,0 ; 4,0
5,0 ; 6,0 ; 7,0 ; 8,0 ppm. Masing-masing seri larutan baku disaring dengan
miliphore dengan ukuran diameter 0,45 μm dan di degassing selama 15 menit.
3. Penetapan λ maksimum parasetamol
Pada penetapan λ maksimum parasetamol dilakukan pada konsentrasi 5,0
ppm dan di replikasi 2 kali. Sebanyak 5,0 ml larutan intermediet diencerkan
dengan fase gerak dalam labu takar 10 ml sampai tanda. Larutan ini dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang 200-300 nm dengan spektrofotometer
46
UV. Kemudian diperoleh kurva hubungan panjang gelombang dan absorbansi
parasetamol.
4. Pembuatan kurva baku dan penentuan waktu retensi parasetamol
Masing-masing seri konsentrasi larutan baku parasetamol yang telah
dibuat pada point 2 disuntikkan dalam injector port pada sistem HPLC
menggunakan instrumen Shimadzu LC-10 AD, kolom C18 Merek KNAUER
dengan packing Kromasil 100-5 panjang kolom 25 cm, internal diameter 4,6mm,
fase gerak campuran metanol:aquabides (90:10), flow rate 1 ml/menit,
AUFs/Attenuation 0,01/7, detektor UV pada 247,4 nm, dengan volume injeksi 20
µl (Rheodyne Loop Injection). Kemudian diamati puncak kromatogram yang
muncul dan nilai AUC dari masing-masing puncak. Dengan metode regresi linier,
memplotkan konsentrasi (ppm) terhadap nilai AUC dari masing-masing seri
larutan baku sehingga didapat persamaan y = bx + a (y = nilai respon, x =
konsentrasi senyawa baku, a = intersept, b = slope). Pembuatan kurva baku di
replikasi 3x dan di ambil kurva baku terbaik dengan nilai r > 0,999. Selain itu,
dilihat pula waktu retensi dari masing-masing seri larutan baku parasetamol.
5. Validasi metode analisis
Lebih kurang 10,0 mg parasetamol ditimbang seksama, dilarutkan
dengan fase gerak kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml dan
diencerkan dengan fase gerak sampai volumenya tepat 10,0 ml (larutan stok).
Larutan ini kemudian dipipet 0,5 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 50 ml dan
diencerkan dengan fase gerak hingga volumenya tepat 50,0 ml (larutan
intermediet). Dari larutan intermediet ini kemudian dibuat larutan baru dengan
47
konsentrasi 3,0 ; 5,0 ; 8,0 ppm. Masing-masing seri larutan baku direplikasi 3 kali
lalu disaring dengan miliphore dengan ukuran diameter 0,45 μm dan di degassing
selama 15 menit. Larutan disuntikkan kedalam sistem HPLC.
6. Penetapan kadar sampel
a. Pembuatan larutan jelly tanpa parasetamol. Lebih kurang 6,4286 g
serbuk jelly ditimbang, dilarutkan dengan 300 ml aquabides dalam beaker glass
500 ml dan dipanaskan sampai mendidih pada suhu 100ºC selama kurang lebih 5
menit sambil diaduk sampai semua serbuk larut merata dan homogen. Dinginkan
hingga memadat. Selanjutnya larutan dimasukkan dalam 20 cetakan masing-
masing cetakan berisi 15 ml jelly, diamkan selama beberapa saat hingga semua
jelly memadat.
Salah 1 jelly kemudian dipanaskan pada suhu 50ºC selama 30 menit
bersama 100 ml aquabidest hingga jelly mencair. Pipet larutan jelly sebanyak 0,5
ml dan encerkan dengan fase gerak ad 50,0 ml. Ambil 6,6 ml larutan intermediet
dengan menggunakan buret 10,0 ml dan encerkan dengan fase gerak ad 10,0 ml
(larutan blanko). Kemudian larutan blanko disaring dengan miliphore ukuran pori
diameter 0,45 μm dan di degassing selama 15 menit. Larutan disuntikkan kedalam
sistem HPLC
b. Pembuatan dan penyiapan sampel jelly parasetamol. Lebih kurang
6,4286 g serbuk jelly ditimbang, dilarutkan dengan 285 ml aquabides lalu diaduk
hingga homogen. Selanjutnya di panaskan sampai mendidih pada suhu 100ºC
selama kurang lebih 5 menit sampai semua serbuk larut merata. Setelah itu larutan
dimasukkan dalam 20 cetakan yang didalamnya sudah berisi 1,0 ml larutan
48
parasetamol hingga volumenya tepat 15,0 ml. Suhu saat pencampuran antara jelly
dan parasetamol di atur dan di kontrol pada suhu < 50ºC diamkan selama
beberapa saat hingga semua jelly memadat. Kemudian mengambil secara acak
sebanyak 10 buah jelly (prinsip pengambilan sampel secara random/cuplikan
random/cuplikan acak). 10 sampel jelly ini yang nantinya digunakan untuk
penetapan kadar.
c. Destruksi jelly. Masing-masing jelly dipanaskan pada suhu 50ºC
selama 30 menit dalam 100 ml aquabidest hingga jelly mencair dan di bantu
dengan magnetic stirrer pada kecepatan 500 rpm. Pipet larutan sebanyak 0,5 ml
dan di encerkan dengan fase gerak ad 50,0 ml. Ambil 6,6 ml larutan ini dengan
menggunakan buret 10,0 ml dan encerkan dengan fase gerak ad 10,0 ml. Larutan
kemudian disaring dengan miliphore ukuran pori diameter 0,45 μm dan di
degassing selama 15 menit.
Hasil yang diperoleh berupa luas area kromatogram dari berbagai variasi
konsentrasi zat baku dan sampel. Kurva baku dipersiapkan yang menyatakan
hubungan antara kadar vs luas area dapat dihasilkan. Kadar parasetamol dalam
sampel dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku y = bx + a
49
F. Analisis Hasil
1. Validasi metode
a. Akurasi
Dinyatakan dalam persen perolehan kembali ( % recovery )
% recovery =
Metode ini dikatakan memiliki akurasi yang baik jika nilai % recovery berada
pada rentang 98-102 % untuk analit pada matriks sampel 100% (Harmita,
2004).
d. Presisi
Presisi biasanya dinyatakan dengan coefficient of variation (CV)
x 100%
Suatu metode dapat dinyatakan memiliki presisi yang baik apabila memiliki
CV < 2 % (Harmita, 2004).
e. Linearitas
Dinyatakan dalam koefisien korelasi (r)
y = bx + a
Linieritas yang baik ialah nilai r yang lebih besar dari 0,999 untuk minimal 6
seri konsentrasi (Anonim, 2008).
d. Spesifisitas
Spesifisitas metode ditentukan dengan membandingkan tR sampel dengan tR
baku serta membandingkan hasil analisis (kromatogram) sampel dengan analit
parasetamol dan sampel tanpa penambahan analit parasetamol.
50
2. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penetapan kadar parasetamol
dalam jelly berdasarkan analisi data AUC sampel dan kurva baku parasetamol.
Satuan untuk menetapka kadar parasetamol dalam jelly adalah mg/kemasan. Data
kemudian ditampilkan dalam bentuk % recovery. Rumus % recovery sebagai
berikut :
% recovery =
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penyiapan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian adalah campuran antara
metanol : aquabides dengan perbandingan (90:10). Campuran fase gerak ini
bersifat polar. Pemilihan fase gerak sangat penting karena hal ini dapat
mempengaruhi waktu retensi dan pemisahan dari komponen-komponen dalam
sampel yang akan dianalisis. Fase diam yang digunakan adalah kolom C18 yang
bersifat non polar sehingga sistem kromatografi yang digunakan adalah sistem
kromatografi partisi fase terbalik. Pemilihan sistem kromatografi yang tepat dan
sesuai dengan sampel yang dipisahkan, akan menghasilkan pemisahan yang baik.
Berdasarkan bagan pendekatan umum dalam memilih jenis HPLC Johnson
Stevenson (1978), dimana parasetamol memiliki BM < 2000 (yaitu 151,16), tidak
larut dalam air, homolog, maka dipilih kromatografi partisi dengan fase diam non
polar dan fase gerak bersifat polar. Selain itu pemilihan kondisi kromatografi juga
didasarkan pada penuntun pemilihan kolom dan sistem HPLC menurut Gritter
(1991) dimana kelarutan cuplikan (parasetamol) dalam pelarut organik dengan
kepolaran yang tinggi maka dipilih kolom Oktadekil (C18) dengan sistem fase
terbalik.
Harapan dari pemilihan kondisi kromatografi fase terbalik ini adalah
dapat memisahkan analit dari sampel dengan waktu analisis yang cepat (waktu
51
52
retensi analit yang singkat) karena analit bersifat polar akan terelusi lebih cepat
dengan fase gerak yang juga bersifat polar.
Fase gerak dalam penelitian didasarkan pada kelarutan parasetamol yang
besar pada etanol. Pada penelitian ini menggunakan pelarut metanol tidak etanol
karena metanol juga dapat melarutkan parasetamol dengan baik dan metanol juga
memiliki viskositas yang lebih rendah yaitu 0,59 cP pada suhu analisis 20ºC
daripada etanol yaitu 1,22 cP pada suhu analisis 20ºC sehingga dengan viskositas
yang lebih rendah dari metanol dapat mengurangi tekanan pada kolom dan pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi kolom serta mampu memisahkan
komponen campuran dalam sampel dengan baik. Fase gerak sebelum digunakan
harus disaring dengan penyaring Whatman ukuran pori 0,5 µm untuk
menghilangkan partikel asing yang dapat menyebabkan penyumbatan kolom dan
untuk menghindari adanya endapan dalam campuran sehingga kerusakan pompa
dan kolom dapat dihindari serta kondisi injector port tetap dalam keadaan
optimal. Setelah disaring, fase gerak di degassing selama 15 menit untuk
menghilangkan gas-gas yang terlarut dalam fase gerak. Adanya gelembung gas ini
akan mempengaruhi kerja dari detektor karena akan menghasilkan sinyal
palsu/bias bahkan dengan banyaknya gelembung gas yang berukuran besar dapat
meningkatkan tekanan kolom akibatnya efisiensi kolom dapat berkurang.
53
B. Optimasi Metode HPLC
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum menggunakan
spektrofotometer ultraviolet
Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ini bertujuan untuk
mendapatkan panjang gelombang serapan maksimum dari parasetamol. Analisis
senyawa menggunakan HPLC memerlukan panjang gelombang dimana suatu
senyawa memberikan absorbansi maksimum untuk dibaca pada detektor UV pada
alat HPLC dimana dengan panjang gelombang maksimum parasetamol
diharapkan semua kadar/konsentrasi parasetamol dalam sampel dapat terdeteksi
oleh detektor UV
Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ini dilakukan dengan
menggunakan konsentrasi larutan baku dengan konsentrasi 5,0 ppm dan dilakukan
dua kali pengamatan. Perbandingan dua spektrum serapan maksimum parasetamol
pada konsentrasi yang sama ini perlu dilakukan karena senyawa baku parasetamol
yang dipakai adalah parasetamol kualitas working standard dimana perlu di uji
dan di pastikan bahwa senyawa baku yang digunakan adalah benar-benar
parasetamol dan dapat memberikan spektrum serapan maksimum yang sama pada
konsentrasi yang ditetapkan.
Penentuan panjang gelombang pengamatan ini dilakukan dengan
mengukur absorbansi dari parasetamol pada panjang gelombang UV yaitu antara
panjang gelombang 200nm-300nm. Suatu senyawa untuk dapat ditetapkan
kadarnya secara spektrofotometri ultraviolet harus memiliki gugus kromofor dan
auksokrom dimana kedua gugus ini yang bertanggung jawab dalam penyerapan
54
radiasi ultraviolet pada sampel yaitu parasetamol. Parasetamol dalam strukturnya
memiliki gugus kromofor yang merupakan ikatan rangkap yang memiliki elektron
π dimana elektron π ini jika dikenai sinar radiasi elektromagnetik akan mudah
tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menuju ke orbital π*. Gugus
kromofor dari senyawa parasetamol dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Gambar 17. Gugus Kromofor Parasetamol
Keterangan : = kromofor
Selain gugus kromofor, parasetamol memiliki gugus auksokrom yang
terikat langsung pada gugus kromofor. Gugus auksokrom memiliki pasangan
elektron bebas pada elektron n yang dapat berinteraksi dengan elekron π pada
kromofor. Dengan demikian, gugus auksokrom berperan dalam
pengubahan/pergeseran panjang gelombang maksimum dan intensitas serapan
maksimum dari parasetamol. Gugus auksokrom dari senyawa parasetamol dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 18. Gugus Auksokrom Parasetamol
Keterangan : = auksokrom
55
Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) disebutkan bahwa
pengujian panjang gelombang serapan maksimum mempunyai makna jika serapan
maksimum tersebut tepat atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang
ditentukan. Spektrum serapan yang dihasilkan oleh senyawa parasetamol dapat
dilihat pada gambar berikut :
Pelarut yang digunakan dalam seri larutan baku adalah campuran antara
metanol : aquabides dengan perbandingan 90:10. Dalam proses scanning panjang
gelombang parasetamol ini, pelarut baik metanol maupun aquabides tidak
mempengaruhi hasil dari pengamatan karena panjang gelombang (λ) dari metanol
205 nm dan aquabides 180 nm tidak berdekatan atau bertumpukan dengan
Gambar 19. Spektrum serapan parasetamol (λmaks = 247,2 nm) pada konsentrasi 5,0 ppm replikasi 1
Gambar 20. Spektrum serapan parasetamol (λmaks = 247,4 nm) pada konsentrasi 5,0 ppm replikasi 2
56
panjang gelombang maksimum teoritis dari parasetamol dengan campuran pelarut
metanol dan aquabides yaitu 244 nm.
Berdasarkan hasil penentuan panjang gelombang serapan maksimum
menggunakan spektrofotometer ultraviolet dapat dilihat bahwa pada konsentrasi
5,0 ppm replikasi 1 spektrum serapan maksimum parasetamol adalah 247,2 nm
dan pada replikasi 2 spektrum serapan maksimum parasetamol adalah 247,4 nm.
Pola absorbansi dari spektrum serapan yang dihasilkan dari dua kali pengamatan
pada konsentrasi 5,0 ppm ini sama. Maka dapat di pastikan analit yang digunakan
adalah parasetamol
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), parasetamol dalam
campuran pelarut metanol dan air memiliki serapan maksimum pada 244 nm. Dan
pada penentuan panjang gelombang serapan parasetamol ini terdapat pergeseran
panjang gelombang. Pergeseran ini disebabkan oleh perbandingan jumlah air dan
metanol yang digunakan dimana dalam Farmakope Indonesia Edisis IV, jumlah
air yang digunakan lebih banyak daripada metanol. Namun dalam penelitian,
jumlah metanol yang digunakan lebih banyak daripada air. Selain itu
instrumentasi yang digunakan berbeda, kualitas baku parasetamol yang
digunakanpun juga berbeda dengan yang digunakan berdasarkan farmankope.
Pada pergeseran λmaks parasetamol, perbandingan jumlah pelarut metanol dengan
λ 205 nm yang lebih banyak daripada air akan menggeser λmaks teoritis dari
parasetamol ke arah yang lebih panjang yaitu 247,4 nm.
57
2. Pengamatan waktu retensi dan pembutan kurva baku parasetamol
Pada pengamatan waktu retensi dan pembutan kurva baku parasetamol,
larutan baku parasetamol diinjeksikan pada HPLC dengan kondisi sebagai berikut:
Instrumen : Shimadzu LC-10 AD
Kolom : C18 Merek KNAUER dengan packing Kromasil 100-5
C18 panjang kolom 25 cm, diameter internal 4,6 mm
Fase gerak : metanol:aquabides (90:10)
Flow rate : 1 ml/menit
AUFs/Attenuation : 0,01/7
Detektor : UV pada 247,4 nm
Tujuan dari pengamatan waktu retensi (tR) dari parasetamol adalah untuk
mengetahui waktu yang dibutuhkan parasetamol saat di injeksikan pada port
injector sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor. Selain
itu pengamatan tR juga digunakan sebagai analisis kualitatif yang nantinya untuk
mendeteksi ada tidaknya senyawa parasetamol dalam sampel.
Dengan menggunakan sistem kromatografi di atas, pengamatan waktu
retensi memakai seri larutan baku parasetamol dengan konsentrasi tengah yaitu
5,0 ppm. Dipilih konsentrasi tengah karena untuk mewakili seri konsentrasi
rendah dan tinggi dan pemilihan seri konsentrasi tengah ini hanya semata-mata
untuk melihat tR dari parasetamol sehingga nantinya dapat digunakan untuk
setting system pada alat HPLC yaitu stop time. Dan tR yang dihasilkan adalah
2,5280 menit. Berikut kromatogram yang dihasilkan :
58
Gambar 21. Kromatogram tR larutan baku parasetamol 5,0 ppm
Waktu retensi dari parasetamol dipengaruhi oleh interaksi parasetamol
dengan fase diam dan fase geraknya atau dengan kata lain dipengaruhi oleh
koefisien partisi dari parasetamol terhadap fase diam dan fase geraknya.
Parasetamol memiliki sisi polar dan non polar pada strukturnya. Pada penelitian
ini sistem kromatografi yang digunakan adalah kromatografi partisi fase terbalik
dimana fase diam yang digunakan bersifat non polar dan fase geraknya bersifat
polar. Oleh karena itu, senyawa yang cenderung bersifat non polar atau senyawa
yang mempunyai banyak gugus non polar pada suatu senyawa menyebabkan
senyawa akan lebih lama keluar dari kolom sehingga waktu retensinyapun akan
lebih besar. Interaksi parasetamol dengan fase diam terjadi pada bagian non polar
senyawa yaitu pada benzen. Gugus non polar parasetamol adalah sebagai berikut :
59
Gambar 22. Gugus non polar pada parasetamol
Keterangan : = gugus non polar
Parasetamol memiliki gugus non polar yaitu benzen, namun proses elusi
juga dipengaruhi interaksi dengan fase gerak yang digunakan. Hal ini sesuai
dengan teori koefisien partisi di mana senyawa dengan koefisien partisi kecil akan
lebih cepat keluar dari kolom karena konsentrasi linarut dalam fase gerak lebih
besar sehingga akan lebih cepat terelusi. Berikut kemungkinan interaksi antara
parasetamol dengan dengan fase diam Oktadekil (C18) dan fase gerak metanol:air
(90:10) :
Gambar 23. Interaksi antara gugus non polar dari parasetamol (benzen) dengan fase diam Oktadekil (C18)
Interaksi Van der Waals
60
Gambar 24. Interaksi antara gugus parasetamol dengan fase gerak campuran
metanol:air (90:10) Keterangan : -------- = ikatan hidrogen
Pemisahan komponen senyawa pada HPLC dipengaruhi oleh interaksi
antara analit dengan fase diam dan fase gerak yang digunakan. Semakin
banyaknya gugus non polar pada suatu senyawa maka senyawa tersebut terikat
lebih kuat dengan fase diamnya yang bersifat non polar dan mengakibatkan waktu
retensinya juga lebih panjang. Dalam penelitian ini, parasetamol lebih sedikit
memiliki gugus non polar daripada gugus polarnya sehingga waktu retensinya
juga lebih singkat. Interaksi parasetamol dengan fase diam merupakan ikatan van
der Waals antara gugus non polar parasetamol yaitu benzen dengan fase diamnya
yaitu ODS (C18).
Hal tersebut sesuai dengan teori tentang perbandingan distribusi dimana
kecepatan perpindahan analit melalui fase diam ditentukan oleh perbandingan
distribusi dan besarnya distribusi ditentukan oleh afinitas pada fase diam dan fase
geraknya. Parasetamol yang bersifat polar mempunyai perbandingan konsentrasi
61
yang besar terhadap fase geraknya dibandingkan dengan fase diam yang terlihat
dengan banyaknya interaksi parasetamol dengan fase geraknya (dapat dilihat pada
gambar 24). Sehingga dengan semakin besarnya konsentrasi solut pada fase gerak
mengakibatkan nilai koefisien distribusi kecil, kecepatan solut semakin meningkat
dan akibatnya waktu retensi parasetamol menjadi lebih singkat. Selain itu, waktu
retensi parasetamol yang singkat ini juga dipengaruhi oleh kecepatan alir fase
gerak yang cukup besar yaitu 1 ml/menit dimana dengan meningkatnya kecepatan
alir fase gerak maka tekanan fase gerak pada kolom akan meningkat akibatnya
waktu retensi suatu senyawa menjadi lebih singkat.
Kurva baku parasetamol yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 6
seri konsentrasi yaitu 3,0 ppm; 4,0 ppm; 5,0 ppm; 6,0 ppm; 7,0 ppm; dan 8,0 ppm.
Tiap seri konsentrasi baku parasetamol di injeksikan pada injector port di alat
HPLC dengan sistem seperti penjelasan sebelumnya. Penggunaan pelarut fase
gerak yang terdiri dari campuran metanol:aquabides (90:10) untuk pelarut seri
larutan baku di dasarkan atas kelarutan parasetamol, karena salah satu syarat yang
harus dipenuhi dalam sistem HPLC adalah pelarut dengan kemurnian yang tinggi
yang dapat bercampur dengan sampel dan fase gerak, serta dapat melarutkan
sampel dan mudah terelusi.
Penentuan persamaan kura baku parasetamol dilakukan 3 kali replikasi
dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan kurva baku yang paling optimal.
Persamaan kurva baku menyatakan hubungan linier antara konsentrasi dengan
AUC dimana dengan meningkatnya konsentrasi maka akan meningkat pula AUC
yang dihasilkan. Sebagai parameter linearitas yang menunjukkan korelasi antara
62
konsentrasi dengan AUC adalah koefisien korelasi (r). Ada beberapa
pertimbangan yang diperhatikan dalam pemilihan data persamaan kurva baku
yaitu didasarkan pada nilai r terhitung, nilai A (intersept), nilai B (slope), dan SE
(standard error). Dalam penelitian ini, parameter utama yang dipilih adalah
berdasarkan nilai r terhitung yang didapatkan yaitu 0,9990 dimana r yang
didapatkan lebih besar dari nilai r linearitas analisis yaitu > 0,999 untuk minimal 6
seri konsentrasi (APVMA, 2004). Dimana r semakin mendekati 1 menujukkan
semakin baik linearitas persamaan yang didapat. Sehingga semakin baik
hubungan antara peningkatan konsentrasi dengan peningkatan respon yaitu AUC.
Berikut tabel data hasil kurva baku parasetamol dari 3x replikasi.
Tabel VII. Data Kurva Baku Parasetamol
KURVA BAKU PARASETAMOL Penentuan Kurva Baku 1 Penentuan Kurva Baku 2 Penentuan Kurva Baku 3
C (ppm) AUC C (ppm) AUC C (ppm) AUC 3,0720 161038 3,0720 162409 2,9730 161024 4,0960 206160 4,0960 224116 3,9640 216159 5,1200 269864 5,1200 281794 4,9550 269657 6,1440 312799 6,1440 326443 5,9460 327764 7,1680 365354 7,1680 393486 6,9370 372567 8,1920 448277 8,1920 443562 7,9280 445252
A = -13567,9800 B = 54595,7500
r = 0,9952
A = -2466,3900 B = 54646,3200
r = 0,9990
A = -7451,1133 B = 56176,1857
r = 0,9986
Keterangan : = merupakan data kurva baku yang digunakan untuk menghitung kadar
Dari data yang didapatkan, dapat dilihat bahwa nilai r yang diperoleh dari
ketiga replikasi memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang baik. Namun
berdasarkan persyaratan koefisien korelasi (r) analisis yang dipersyaratkan yaitu
apabila nilai r > 0,999 untuk minimal 6 seri konsentrasi (APVMA, 2004).
63
Sehingga persamaan kurva baku yang digunakan adalah penentuan kurva baku
pada replikasi dua dengan persamaan kurva baku y = 54646,3200x - 2466,3900
dengan nilai r = 0,9990
Hal ini menunjukkan persamaan kurva baku tersebut mempunyai korelasi
yang baik sehingga dapat digunakan untuk perhitungan kadar parasetamol.
Berikut grafik kurva baku yang dihasilkan :
Gambar 25. Kurva Baku Parasetamol C vs AUC
C. Analisis Validasi Metode
Tujuan dari validasi metode penetapan kadar parasetamol dalam jelly
secara High Performance Liquid Chromatography (HPLC) fase terbalik
menggunakan teknik preparasi pemanasan ini adalah untuk melihat validitas dari
metode penetapan kadar parasetamol dalam “Jelly parasetamol” hasil formulasi.
Validasi yang dilakukan pada penelitian ini termasuk dalam kategori I
menurut USP 28 karena penelitian yang dilakukan merupakan metode analisis
64
kuantitatif yang digunakan untuk mengukur secara kuantitatif sejumlah besar
komponen dari serbuk obat atau senyawa aktif (termasuk preservarif) dalam
sediaan obat jadi. Jumlah parasetamol sebagai zat aktif dalam sediaan obat jadi
cukup besar yaitu 120 mg per satuan jelly. Jadi dapat disimpulkan bahwa validasi
yang dilakukan pada penelitian ini termasuk dalam kategori I menurut USP 28.
Validitas metode yang digunakan pada penelitian ini ditentukan berdasarkan
parameter akurasi, presisi, spesifikasi, linearitas, dan range.
Menurut USP XXVIII validasi metode dilakukan minimum 9 kali
penentuan mencakup range tertentu, misal 3 macam konsentrasi dan setiap
konsentrasi direplikasi 3 kali (Anonim, 2000). Dalam penelitian ini digunakan 3
macam konsentrasi yaitu konsentrasi rendah 3,0 ppm ; konsentrasi tengah 5,0 ppm
; dan konsentrasi tinggi 8,0 ppm dan masing-masing konsentrasi di replikasi
sebanyak 3 kali. Pemilihan konsentrasi rendah, tengah, tinggi ini adalah untuk
mewakili keseluruhan konsentrasi yang di buat yaitu antara konsentrasi 3,0 ppm
sampai 8,0 ppm. Berikut tabel hasil validasi metode analisis :
65
Tabel VIII. Data Validasi Metode Analisis
Konsentrasi
(ppm) AUC
Kadar
Terukur
(ppm)
Kadar
Sebenarnya
(ppm)
%
Recovery
rata-rata
Recovery
(%)
CV
(%)
3,0 replikasi 1 161038 2,9920 3,0720 97,3958
3,0 replikasi 2 162409 3,0171 3,0720 98,2129
3,0 replikasi 3 168561 3,1297 2,9730 105,2708
100,2932 4,3174
5,0 replikasi 1 269864 4,9835 5,1200 97,3340
5,0 replikasi 2 281794 5,2018 5,1200 101,5977
5,0 replikasi 3 284849 5,2577 4,9550 106,1090
101,6802 4,3156
8,0 replikasi 1 448277 8,2484 8,1920 100,6885
8,0 replikasi 2 443562 8,1621 8,1920 99,6350
8,0 replikasi 3 434112 7,9892 7,9280 100,8737
100,3991 0,6654
1. Akurasi
Akurasi menyatakan ukuran kedekatan nilai hasil percobaan dengan nilai
yang sesungguhnya. Akurasi suatu metode dalam penelitian ini dinyatakan dengan
persen recovery (% recovery)/persen perolehan kembali. Metode penentuan
recovery yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simulasi (spiked-
placebo recovery) memberikan batasan % recovery yang diterima untuk analit
pada matriks sampel sebesar 100% biasanya disepakati 98-102% (Harmita, 2004).
Berikut hasil pengukuran % recovery pada 3 konsentrasi yang berbeda :
66
Tabel IX. Data % recovery
Konsentrasi (ppm)
Rata-rata recovery (%)
3,0 100,2932 5,0 101,6802 8,0 100,3991
Hasil perhitungan data menunjukkan bahwa nilai rata-rata % recovery
pada tiap level konsentrasi yang berbeda berada pada rentang nilai % recovery
yang disepakati untuk analit pada matriks sampel sebesar 100% yaitu 98-102%.
Hal ini berarti menunjukkan bahwa metode penetapan kadar parasetamol
dalam jelly secara High Performance Liquid Chromatography (HPLC) fase
terbalik menggunakan teknik preparasi pemanasan memiliki akurasi yang baik
sesuai dengan yang dipersyaratkan.
2. Presisi
Presisi adalah suatu ukuran kedekatan nilai data satu dengan data lainnya
dalam suatu pengukuran pada kondisi analisis yang sama. Presisi seringkali
diukur sebagai persen Relative Standard Deviation (RSD) atau Coefficient of
Variation (CV) untuk sejumlah sampel yang berbeda bermakna secara statistik.
Kriteria presisi diberikan jika metode memberikan nilai CV 2% atau kurang.
(Harmita ,2004). Berikut hasil pengukuran CV pada 3 konsentrasi yang berbeda :
67
Tabel X. Data CV
Konsentrasi (ppm)
CV (%)
3,0 4,3174
5,0 4,3156
8,0 0,6654
Dari data dan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh nilai CV yang
berbeda tiap level konsentrasinya. Nilai CV dari level konsentrasi tinggi
merupakan nilai CV yang baik dan sudah sesuai dengan nilai CV yang
dipersyaratkan yaitu 2% atau kurang. Namun pada level konsentrasi rendah (3,0
ppm) dan level konsentrasi tengah (5,0 ppm) CV yang didapatkan sebesar
4,3174% dan 4,3156% dan tidak memenuhi persyaratan yang berlaku.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa hanya pada level konsentrasi tinggi
(8,0 ppm), metode penetapan kadar parasetamol memiliki presisi/keterulangan
data yang baik.
3. Spesifisitas
Spesifitas menyatakan kemampuan metode penetapan kadar parasetamol
dalam jelly menggunakan metode preparasi pemanasan untuk mengukur dengan
akurat respon analit parasetamol di antara seluruh komponen sampel yang ada
dalam campuran sampel. Cara menganalisis hasil dari parameter spesifisitas pada
metode validasi penetapan kadar parasetamol menggunakan metode HPLC fase
terbalik dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan data tR dari baku dan
data tR dari sampel dalam campuran pada kondisi sistem HPLC yang sama.
Perbandingan pengamatan waktu retensi seri larutan baku parasetamol dengan
sampel dapat dilihat pada tabel XI.
68
Tabel XI. Perbandingan pengamatan waktu retensi seri larutan baku parasetamol dengan sampel
Seri larutan
baku parasetamol
Konsentrasi seri larutan
baku parasetamol
(ppm)
tR seri larutan
baku parasetamol
(menit)
Sampel
tR sampel (menit)
1. 3,0720 2,5320 1. 2,5470 2. 4,0960 2,5330 2. 2,5450 3. 5,1200 2,5280 3. 2,5480 4. 6,1440 2,5250 4. 2,5420 5. 7,1680 2,5250 5. 2,5430 6. 8,1920 2,5250 6. 2,5420
7. 2,5420 8. 2,5390 9. 2,5380
Rata-rata tR baku
Rata-rata tR sampel
2,528
2,543 10. 2,5390
. Dari data yang didapat bahwa rata-rata tR dari 6 konsentrasi larutan
baku parasetamol adalah 2,528 menit, sedangkan rata-rata tR dari 10 sampel
adalah 2,543 menit. tR dapat digunakan sebagai parameter penentuan spesifisitas
karena tR merupakan parameter analisis kualitatif suatu senyawa dalam campuran
sampel pada metode HPLC. Analisis kualitatif ini juga dapat digunakan pula
sebagai salah satu cara untuk menganalisis parameter validitas yaitu spesifisitas.
Berikut penjelasan mengenai perbandingan tR antara larutan seri baku
parasetamol konsentrasi 8,0 ppm dan sampel pada replikasi 6 dengan konsentrasi
7,4587 ppm adalah sebagai berikut :
69
Gambar 26. tR seri baku parasetamol konsentrasi 8,0 ppm = 2, 525 menit
Gambar 27. tR sampel replikasi 6 dengan konsentrasi 7,4587 ppm = 2, 542 menit
Dari dua perbandingan antara larutan seri baku 8,1920 ppm tR = 2,525
menit dan sampel replikasi 6 dengan konsentrasi 7,4587 ppm tR = 2,542 menit
ternyata memberikan hasil tR yang relatif sama. Selain membandingkan tR antara
sampel dengan baku, untuk mengetahui spesifisitas dari metode juga dapat
membandingkan antara kromatogram sampel tanpa analit dengan kromatogram
sampel dengan analit yang dapat dilihat pada gambar 28 dan 29.
70
Gambar 28. Kromatogram sampel replikasi 6 dengan konsentrasi 7,4587 ppm
Gambar 29. Kromatogram sampel tanpa analit parasetamol
Dari Gambar 28 dapat dijelaskan bahwa dengan adanya analit dalam
sampel maka akan terdeteksi pula adanya peak dari analit parasetamol. Berbeda
dengan Gambar 29 dimana dengan tidak adanya analit dalam sampel maka tidak
akan terdeteksi pula adanya peak dari analit parasetamol
Sehingga dari data ini dapat di simpulkan bahwa metode penetapan kadar
parasetamol dalam jelly menggunakan teknik preparasi pemanasan dapat dengan
71
akurat, cermat dan seksama mengukur respon analit parasetamol dalam campuran
senyawa pada sampel.
4. Linearitas
Linearitas suatu metode analitik adalah kemampuannya untuk
memperoleh hasil uji yang proporsional dengan konsentrasi analit pada sampel
yang dinyatakan dengan koefisien korelasi (r). Linearitas yang baik ialah nilai r
yang lebih besar dari 0,999 untuk minimal 6 seri konsentrasi (Anonim, 2008).
Dari data yang didapatkan, dapat dilihat bahwa nilai r yang diperoleh dari
kurva baku pada replikasi kedua memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang baik.
berdasarkan persyaratan koefisien korelasi (r) untuk analisis yang di persyaratkan
untuk minimal 6 seri konsentrasi) yaitu 0,99905. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan linier antara konsentrasi dengan AUC dimana dengan
meningkatnya konsentrasi maka akan meningkat pula respon dalam bentuk AUC
yang dihasilkan.
5. Range
Untuk parameter range tidak dapat dilakukan karena membutuhkan studi
interlaboratorium yang tidak mungkin dilakukan dalam penelitian.
Nilai dari parameter-parameter validasi yang telah dihasilkan dalam
penelitian ini sangat ditentukan oleh beberapa hal diantaranya adalah preparasi
sampel dan kondisi instrumen yang digunakan. Tahap preparasi sampel menjadi
tahap yang penting karena tahap preparasi yang cukup panjang akan berpotensi
menurunkan kualitas parameter validasi khususnya akurasi dan presisi. Apalagi
preparasi sampel pada penelitian ini menggunakan pemanasan yang berpotensi
72
menyebabkan degradasi dari senyawa uji yaitu parasetamol. Untuk kondisi
instrumen juga menentukan hasil dari nilai parameter validasi dimana instrumen
yang dipakai harus terkalibrasi dengan pedoman standar yang berlaku dan
dilakukan uji secara berkala. Sehingga secara keseluruhan, metode penetapan
kadar parasetamol menggunakan sistem HPLC fase terbalik yang digunakan
mempunyai validitas yang baik.
D. Penetapan Kadar Parasetamol dalam Jelly
Berdasarkan hasil validasi metode penetapan kadar parasetamol,
pengukuran konsentrasi sampel dibuat pada kadar tinggi yaitu 8,0 ppm yang
menghasilkan % recovery rata-rata 100,3991% dan CV 0,6654% dimana dalam
konsentrasi tinggi 8,0 ppm ini dapat meminimalkan pengenceran dan
meminimalkan hilangnya analit selama preparasi sampel yang cukup panjang
sehingga sensitivitas pengukuran tetap dapat terjaga dengan baik.
1. Pembuatan jelly parasetamol
Dalam pembuatan jelly, terdapat pencampuran antara jelly dengan
parasetamol. Suhu pencampuran di kontrol yaitu <50°C karena berdasarkan
penelitian Novianti (2004) penurunan kadar parasetamol terbesar terjadi pada
suhu diatas 60 oC. Sampel yang telah dibuat segera dianalisis.
2. Penyiapan Sampel
Pada penelitian ini sampel yang digunakan merupakan bentuk sediaan gel
parasetamol oral (jelly). Prinsip pengambilan sampel yang dipilih adalah secara
random (cuplikan random, cuplikan acak) dimana cara pengambilan sampel ini
73
harus terlebih dulu digerus secara homogen terlebih dahulu (untuk tablet), baru
dilakukan pengambilan sampel satu per satu secara random (Rohman, 2009).
Dipilih prinsip pengambilan sampel secara random agar jumlah analit yaitu
parasetamol bisa diketahui secara pasti tiap kemasannya (tiap cup jelly) dan untuk
melihat nilai % recovery tiap kemasannya. Sampel yang diambil sebanyak 10
karena disesuaikan dengan jumlah sampel minimal untuk analisis yaitu minimal 3
replikasi. Tujuan lain dipilihnya jumlah sampel 10 adalah untuk menjamin
repeatability (keterulangan), representatif, dan kehomogenan sampel.
Representatif berarti pengambilan 10 sampel mewakili populasi sampel yang ada,
dan persyaratan homogen dalam sampling ini terletak pada proses penimbangan
sampel satu per satu yang dilakukan di timbangan analitik, serta jelly dibuat dalam
sekali jadi.
3. Destruksi sampel dan Isolasi analit dari sampel
Karagenin dapat larut dalam air karena adanya ikatan hidrogen. Setelah
terbentuk gel dimana air terjebak di dalam struktur karagenin membentuk struktur
house of card, sifat karagenin yang terbentuk menjadi agregat-agregat double
helix (pilinan ganda) yang tidak larut air karena sistem gel yang sudah memadat
dan bobot molekulnya yang tinggi.
Gelling agent yaitu kappa-karaginan merupakan fraksi yang mampu
membentuk gel dalam air (hidrogel) dan bersifat reversibel yaitu meleleh jika
dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan (Thomas, 1992).
Pemanasan digunakan untuk memberikan energi tambahan karena
dengan meningkatnya suhu pada sistem menyebabkan jumlah tumbukan antara
74
partikel-partikel solid dengan molekul-molekul air bertambah banyak,
menyebabkan lepasnya polimer menjadi monomer-monomer pada permukaan
koloid (Sugianto, 2006). Sehingga teknik preparasi sampel yang digunakan adalah
suhu terkontrol 50ºC selama 30 menit dengan pengadukan menggunakan stirer
pada kecepatan 500 rpm. Pemilihan suhu terkontrol 50ºC selama 30 menit ini
didasarkan dari penelitian Tamara K.I., (2009) mengenai Optimasi suhu dan
waktu pemanasan pada proses preparasi jelly dengan aplikasi design faktorial.
Dalam preparasi sampel, destruksi gelling agent perlu dilakukan karena bentuk
sediaan berupa sediaan semi padat yang harus diubah wujudnya menjadi larutan
jernih yang nanti siap untuk diinjeksikan, karena salah satu persyaratan analit
yang dapat diinjeksikan ke dalam port injector dan dianalisis menggunakan HPLC
adalah analit berupa cairan yang jernih dan terbebas dari endapan dan partikel
besar.
Pemanasan menyebabkan rusak atau terbongkarnya ikatan silang (cross
link) antar rantai polimer gelling agent karagenin sehingga akan mengakibatkan
polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak) dengan lepasnya
ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian (FMC Corp 1977)
menyebabkan susunan molekul polimer mengalami perubahan dan bahkan rusak
menjadi unit-unit monomer D-galaktosa 4-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa.
Sehingga dengan penambahan air dalam preparasi sampel menyebabkan
parasetamol dalam media air dalam matrix tiga dimensi keluar dan ikut terlarut
bersama media air. Suhu pemanasan yang terkontrol ini diharapkan tidak
75
menyebabkan penurunan kadar parasetamol. Berikut perkiraan mekanisme
destruksi gelling agent dengan pemanasan :
Gambar 30. Mekanisme destruksi gelling agent dengan pemanasan Keterangan : -------- = ikatan hidrogen
..........x = gugus yang berinteraksi dengan gugus polar pada molekul air
Untuk meratakan pemanasan dan destruksi gelling agent agar lebih
homogen maka pada proses pemanasan ini juga dilakukan agitasi/pengadukan
pada sistem menggunakan magnetic stirrer pada kecepatan 500 rpm. Kecepatan
pengadukan menggunakan kecepatan 500 rpm didapat dari hasil optimasi
pengadukan dimana dengan mengatur pada kecepatan pengadukan 500 rpm dapat
membantu proses homogenisasi panas sehingga menyebabkan perusakan matrix
gel yang lebih merata. Dalam penetapan kadar, karagenin tidak terdeteksi oleh
detektor UV pada sistem HPLC karena monomer dari karagenin yaitu D-galaktosa
4-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa merupakan karbohidrat yang tidak
mempunyai gugus kromofor dan auksokrom pada strukturnya sehingga
karbohidrat tidak menyerap sinar UV.
Analit berupa larutan yang telah diubah konsitensinya tersebut
selanjutnya di injeksikan dalam HPLC yang digunakan untuk menetapkan kadar
76
parasetamol menggunakan metode HPLC fase terbalik. Berdasarkan pengukuran
dan perhitungan maka diperoleh kadar rata-rata dari 10 sampel yang dianalisis
adalah 111,1855 mg dengan range % recovery sampel 92,3998-97,1164%.
Akurasi untuk kadar obat yang lebih besar biasanya disepakati 95-105% (Mulja
dan Hanwar, 2003). Hanya terdapat lima sampel yang memenuhi parameter
akurasi yang disepakati, yaitu sampel replikasi 1, 2, 7, 8, dan 10. Data pengukuran
dan perhitungan kadar parasetamol disajikan dalam tabel XII.
Tabel XII. Hasil pengukuran kadar parasetamol
Sampel replikasi
Kadar sampel terukur (mg)
Recovery sampel
(%) 1 116,3455 97,1164 2 108,6091 96,1142 3 115,3910 94,9720 4 106,6561 94,8897 5 113,0955 93,6996 6 104,4106 92,3998 7 108,3555 95,8050 8 113,2177 95,9472 9 115,3273 94,5306
110,4470 10
SD = 4,0940 X = 111,1855 mg
CV = 3,6821%
95,2130
Kemungkinan penyimpangan hasil % recovery dari beberapa sampel
yang di uji ini dapat disebabkan oleh proses preparasi yang cukup panjang
sehingga menyebabkan kadar parasetamol dalam sampel dapat berkurang.
Hal-hal yang perlu diperhatikan yang dapat menjadi faktor penting dalam
validasi metode analisis dan penetapkan kadar parasetamol dalam jelly adalah
77
proses penimbangan tiap-tiap analit yang akan dicampurkan ke dalam sediaan
menggunakan timbangan yang sesuai dan terkalibrasi, ketepatan pemilihan
instrumen analitik dan juga ketelitian dalam menggunakan instrumen analitik
tersebut, serta mengontrol dengan cermat dan teliti suhu pemanasan untuk
mendestruksi jelly dan putaran magnetic stirrer yang digunakan.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Penetapan kadar parasetamol dalam jelly secara High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) fase terbalik menggunakan teknik preparasi
pemanasan memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang baik
sesuai dengan yang dipersyaratkan.
2. Rata-rata kadar parasetamol dalam jelly adalah 111,1855 mg
B. Saran
1. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan uji stabilitas sediaan jelly parasetamol
menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
fase terbalik menggunakan teknik preparasi pemanasan
2. Penelitian ini juga perlu dilanjutkan dengan uji disolusi bentuk sediaan jelly
yang mengandung zat aktif parasetamol untuk melihat profil kelarutan obat
dalam cairan fisiologis.
78
79
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L.V., 2002, The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical Compounding, 2nd ed, 301-303, American Pharmaceutical Association, Washington, D.C.
Angka SL, Suhartono TS. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, 49-56 Anonim, 1990, The HPLC Applications Book Volume I, 3-6, Hewlett Packard,
California USA Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi. IV, 50, 649-650, Departemen
Kesehatan Indonesia, Jakarta Anonim, 2005, The United States Pharmacopeia 28th edition, 2748-2751, United
States Pharmacopeial Convention, Inc., Rockville Anonim, 2009 a, Azoubine, www.Wikipedia.com, diakses tanggal 29 Agustus
2009 Anonim, 2009 b, Konnyaku, Makanan Kaya Serat, http: // berani.co.id /
Artikel_Detail. Aspx, di akses tanggal 27 Oktober 2009 APVMA, 2004, Guidelines for The Validation of Analytical Methods for Active
Constituent, Agricultural, and Veterinary Chemical Products, APVMA, http://www.apvma.gov.au, diakses tanggal 5 Juni 2009
Arisandi, W.S, 2008, Pengaruh pH Terhadap Stabilitas Sirup Parasetamol,
Skripsi, xiv, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Barry, B. W., 1983, Dermatological Formulation, 300-304, Marcel Dekker Inc.,
New York Buchmann, S., in Barel, O.A., Paye, and M., Maibach H. I., 2001, Handbook of
Cosmetic Science and Technology, 156, Marcel Dekker inc., United Stated of America.
Clarke, E.G.C., 1986, Isolation and Identification of Drugs, 2nd edition, 234, 465,
538, The Pharmaceutical Press, London Connors, K.A., Amidon, G.L. and Stella, V.J., 1986, Chemical Stability of
Pharmaceutical, John Willey and Sons, New York, 3-26, 163-168.
80
cP Kelco Aps. 2007, Carrageenan. Denmark. http://www.cPKelco.com, di akses tanggal 15 Agustus 2009
Evimeinar, 2006, Konyaku a.k.a Iles-iles, www.multiply.com, di akses tanggal 27
Oktober 2009 Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Buku dan Monograf. Laboratorium Kimia dan
Biokimia Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. hlm 13-175.
Fessenden dan Fessenden, 1997, Kimia Organik, edisi IV, jilid 2, Diterjemahkan
oleh Aloysus Hadyana Pudjaatmaka, 436-443, Penerbit Erlangga, Jakarta Glicksman M. 1969. Gum Technology in the Food Industr, 214- 224, New
York:.Academic Press Gritter,R.J,dkk,1991, Pengantar Kromatografi diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, edisi II, 192, 200, 205-206, ITB, Bandung Handajani D., Kusumawardini W., Suryanto B., 2006, Jeli Mengkonsumsi Jelly,
http://www.ayahbunda.com, diakses tanggal 7 Februari 2009 Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya, 5-25, Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok Hendayana, S., 2006, Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektroforesis
Modern, 21-25, PT Remaja Rosdakarya, Bandung Imeson A. 2000. Carrageenan. Di dalam: Phililps GO, Williams PA (editors). Handbook
of Hydrocolloids. 87 – 102, Wood head Publishing. England Johnson, E.L., dan Stevenson, R., 1978, Basic Liquid Chromatography,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 6, 9, 22, ITB, Bandung Kastanya, Y, 2009, Jelly, http://www. WordPress.com, diakses tanggal 7 Februari
2009 Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., 760-779, 1514 – 1587, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Moirano AL. 1977. Sulphated Seaweed Polysaccharides In Food Colloids.
Graham MD (editor), 347 – 381, The AVI Publishing Company Inc. Westpoint Connecticut.
81
Mulja,M. dan Hanwar, D., 2003, Prinsip-Prinsip Cara Berlaboratorim yang Baik (Good Laboratory Practise), Majalah Farmasi Indonesi Airlangga, Vol.III, No.2, 71-76, Universitas Airlangga Press, Surabaya
Mulja,M. dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 6-11,26,31,34 Universitas
Airlangga, Surabaya Novianti, P, 2004, Pengaruh Suhu Terhadap Stabilitas Sirup Parasetamol Paten,
Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta Putra, E.D.L., 2004, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Bidang Farmasi,
Fakultas Farmasi Universitas Sumatra Utara, 2, 5-8 Rahardja, Drs. K., 2007, Obat-Obat Penting, edisi IV, 318, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta Rohman, A., 2009, Kromatografi Untuk Analisis Obat, 5-15, Graha Ilmu,
Yogyakarta Roth, J.H., Blaschke, G.,1994, Analisis Farmasi, Cetakan kedua, Diterjemahkan
oleh Sarjono Kisman dan Slamet Ibrahim, 367,374, Gadjahmada University Press, Yogyakarta
Sastrohamidjojo, 2002, Kromatografi, edisi kedua, 71, Liberty, Yogyakarta Schinner,R.E.,1982, Modern Methods of Pharmaceutical of Analysis, 1st edition,
56-58., CRC Press Inc, Florida Snyder, I.R., dkk, 1997, Practical HPLC Method Development, 2nd ed., 208-209,
252, 695-697, John Willey & Sons Inc., New York Sugianto, N, 2006, Pengertian dan Jenis-jenis Koloid, http://www.bloggs.com,
diakses tanggal 7 Februari 2009 Swarbick, J., and Boylan, J.C., 1992, Encyclopedia of Pharmaceutical
Technology, jilid 15, 415, Marcel-Dekker Inc., New York Tanu, Ian.dkk, 1985, Farmakologi dan Terapi edisi IV, 488-489,
Gramedia,Jakarta Towle GA. 1973. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL (editor), 83 – 114,
Industrial Gums. Second Edition. New York: Academik Press Wilmana, P.F., 1995, Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid
dan Obat Pirai, dalam Ganiswara, E., (ed), Farmakologi dan Terapi, Edisi
82
4, 213-215, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Widyaningtyas Y., Kuncoro K.B., Rahayu V.D., Octa F.D.R., Ramdani E.D.,
Formulasi dan Penetapan Kadar Sediaan Parasetamol Dalam Bentuk Jelly untuk meningkatkan Kepatuhan Anak Minum Obat, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Zatz, J,L., and Kushla, G.P., 1996, Gels, in Lieberman, H.A., Rieger, M.M., and Banker, G.S., Pharmaceutical Dosage Forms Disperse Systems, Volume 2, 2nd edition, Marcel Dekker, Inc., USA
83
84
Lampiran 1. Sertifikat Analisis Parasetamol
85
Lampiran 2. Kemasan jelly (Nutrijel)
86
Lampiran 3. Data Penimbangan Baku Parasetamol
Berat (gram) Replikasi
Kertas kosong Kertas + zat Kertas + sisa zat
1. 0,3399 0,35014 0,3399 0,01024
2. 0,3340 0,34444 0,3442 0,01024
3. 0,23911 0,24916 0,23925 0,00991
87
Lampiran 4. Skema pembuatan larutan baku parasetamol dan contoh perhitungan kadar larutan baku yang digunakan
a. Skema pembuatan
Timbang kurang lebih seksama 10 mg parasetamol
Larutkan dalam fase gerak metanol : aquabides (90 : 10) ad 10,0 ml (larutan stok)
Pipet larutan stok sebanyak 0,5 ml dan encerkan dengan fase gerak hingga
volumenya tepat 50,0 ml (larutan intermediet)
Pipet larutan intermediet sebanyak 3,0 ml, 4,0 ml, 5,0 ml, 6,0 ml , 7,0 ml, 8,0 ml
Encerkan dengan fase gerak ad 10,0 ml
b. Perhitungan seri baku parasetamol (hasil dari penentuan kurva baku ke-2)
Bobot parasetamol hasil penimbangan = 0,01024 g = 10,2400 mg
Kadar parasetamol dalam larutan stok = 10,2400 mg/10ml = 1024 ppm
Kadar parasetamol dalam larutan
intermediet
V1 x C1 = V2 x C2
0,5ml x 1024 ppm = 50 ml x C2
C2 = 10,2400 ppm
(LarutanA)
88
Seri larutan baku parasetamol
Seri
Kadar
Volume
pemipetan
(ml)
Perhitungan kadar parasetamol
1 3,0
2 4,0
3 5,0
4 6,0
5 7,0
6 8,0
89
Lampiran 5. Kromatogram Larutan Baku Parasetamol
Instrumen : Shimadzu LC-10 AD Kolom : C18 Merek KNAUER dengan packing Kromasil 100-5
C18 panjang kolom 25 cm, diameter internal 4,6 mm Fase gerak : metanol:aquabides (90:10) Flow rate : 1 ml/menit AUFs/Attenuation : 0,01/7 Detektor : UV pada 247,4 nm 1. Kromatogam Larutan Baku parasetamol 3,0 ppm
90
2. Kromatogam Larutan Baku parasetamol 4,0 ppm
91
3. Kromatogam Larutan Baku parasetamol 5,0 ppm
92
4. Kromatogam Larutan Baku parasetamol 6,0 ppm
93
5. Kromatogam Larutan Baku parasetamol 7,0 ppm
94
6. Kromatogam Larutan Baku parasetamol 8,0 ppm
95
Lampiran 6. Data Penentuan Kurva Baku Parasetamol
KURVA BAKU PARASETAMOL
Penentuan Kurva Baku 1 Penentuan Kurva Baku 2 Penentuan Kurva Baku 3
C
(ppm) AUC
C
(ppm) AUC
C
(ppm) AUC
3,0720 161038 3,0720 162409 2,9730 161024
4,0960 206160 4,0960 224116 3,9640 216159
5,1200 269864 5,1200 281794 4,9550 269657
6,1440 312799 6,1440 326443 5,9460 327764
7,1680 365354 7,1680 393486 6,9370 372567
8,1920 448277 8,1920 443562 7,9280 445252
A = -13567,9800
B = 54595,7500
r = 0,9952
A = -2466,3900
B = 54646,3200
r = 0,9990
A = -7451,1133
B = 56176,1857
r = 0,9986
96
Lampiran 7. Data Validasi Metode
Konsentrasi
(ppm) AUC
Kadar
Terukur
(ppm)
Kadar
Sebenarnya
(ppm)
%
Recovery
rata-rata
Recovery
(%)
CV
(%)
3,0 replikasi 1 161038 2,9920 3,0720 97,3958
3,0 replikasi 2 162409 3,0171 3,0720 98,2129
3,0 replikasi 3 168561 3,1297 2,9730 105,2708
100,2932 4,3174
5,0 replikasi 1 269864 4,9835 5,1200 97,3340
5,0 replikasi 2 281794 5,2018 5,1200 101,5977
5,0 replikasi 3 284849 5,2577 4,9550 106,1090
101,6802 4,3156
8,0 replikasi 1 448277 8,2484 8,1920 100,6885
8,0 replikasi 2 443562 8,1621 8,1920 99,6350
8,0 replikasi 3 434112 7,9892 7,9280 100,8737
100,3991 0,6654
97
Lampiran 8. Kromatogram Validasi Metode
Instrumen : Shimadzu LC-10 AD Kolom : C18 Merek KNAUER dengan packing Kromasil 100-5
C18 panjang kolom 25 cm, diameter internal 4,6 mm Fase gerak : metanol:aquabides (90:10) Flow rate : 1 ml/menit AUFs/Attenuation : 0,01/7 Detektor : UV pada 247,4 nm 1. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 3,0 ppm replikasi 1
98
2. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 3,0 ppm replikasi 2
99
3. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 3,0 ppm replikasi 3
100
4. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 5,0 ppm replikasi 1
101
5. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 5,0 ppm replikasi 2
102
6. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 5,0 ppm replikasi 3
103
7. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 8,0 ppm replikasi 1
104
8. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 8,0 ppm replikasi 2
105
9. Kromatogram Validasi Metode Larutan Parasetamol 8,0 ppm replikasi 3
106
Lampiran 9. Data Penimbangan Sampel Parasetamol
Berat (gram) Sampel
Kertas kosong Kertas + zat Kertas + sisa zat
1. 0,1843 0,3043 0,1845 0,1198
2. 0,1833 0,2970 0,1840 0,1130
3. 0,1875 0,3094 0,1879 0,1215
4. 0,1858 0,2985 0,1861 0,1124
5. 0,1853 0,3063 0,1856 0,1207
6. 0,1899 0,3032 0,1902 0,1130
7. 0,1894 0,3028 0,1897 0,1131
8. 0,1869 0,3051 0,1871 0,1180
9. 0,1833 0,3055 0,1835 0,1220
10. 0,1902 0,3064 0,1904 0,1160
107
Lampiran 10. Skema pembuatan sampel dan contoh perhitungan kadar Parasetamol
a. Skema pembuatan
Larutkan sampel (jelly parasetamol) ke dalam beaker glass berisi 100 ml
aquabides panas pada suhu 50ºC
Destruksi sistem gel dilakukan pada suhu terkontrol 50ºC selama 30 menit, di
lakukan di atas heater listrik, dan di bantu dengan pengadukan menggunakan
magnetic stirrer dengan kecepatan 500 rpm
(Larutan induk sampel)
Pipet larutan induk sampel sebanyak 0,5 ml
Encerkan dengan fase gerak ad 50,0 ml (Larutan intermediet sampel)
Ambil 6,6 ml larutan intermediet sampel dengan menggunakan buret 10 ml
Encerkan dengan fase gerak ad 10,0 ml (Analit)
Saring analit dengan miliphore ukuran pori 0,45 μm
Analit yang sudah di saring, di degassing menggunakan ultrasonikator selama 15
menit
Injeksikan pada HPLC
108
b. Contoh perhitungan kadar parasetamol dalam simulasi sampel
1. Kadar sebenarnya/teoritis parasetamol dalam simulasi sampel (di simulasikan
sampel 1)
Berat penimbangan parasetamol = 0,1198 gram = 119,8 mg
Di larutkan dalam 100,0 ml aquabides (Larutan induk sampel).
kadar parasetamol dalam Larutan induk sampel :
Memipet 0,5 ml Larutan induk sampel di encerkan dalam 50,0 ml fase gerak ad
hingga batas (Larutan intermediet sampel) dan Ambil 6,6 ml larutan intermediet
sampel menggunakan buret 10 ml, encerkan dengan fase gerak ad 10,0 ml
(Analit).
kadar parasetamol dalam analit :
2. Kadar parasetamol terukur dalam jelly hasil penelitian pada simulasi sampel (di
simulasikan sampel 1)
Nilai AUC dari masing-masing larutan sampel hasil penelitian di
masukkan ke dalam persamaan kurva baku parasetamol yang diperoleh dengan
nilai koefisien korelasi (r) terbaik yaitu pada penentuan kurva baku ke dua dengan
persamaan kurva baku parasetamol y = 54646,32x – 2466,39
109
Contoh :
Nilai AUC sampel 1 adalah 417154
Persamaan kurva baku parasetamol {AUC vs Konsentrasi (ppm)} adalah y =
54646,32x – 2466,39. Untuk perhitungan kadar parasetamol dalam sampel adalah
:
y = 417154
y = 54646,32x – 2466,39
417154 = 54646,32x – 2466,39
X = 7,6788 ppm
Kadar parasetamol dalam jelly
1163,4545 ppm
Kadar parasetamol teoritis hasil penimbangan = 0,1198 gram = 119,8 mg
% Recovery sampel :
110
Lampiran 11. Data AUC, Kadar parasetamol, % recovery, dan CV sampel
Sampel AUC Berat parasetamol hasil penimbangan
(mg)
Jumlah parasetamol tiap kemasannya
(mg)
Recovery sampel (%)
1 417154 119,8000 116,3455 97,1164
2 389251 113,0000 108,6091 96,1142
3 413710 121,5000 115,3910 94,9720
4 382203 112,4000 106,6561 94,8897
5 405430 120,7000 113,0955 93,6996
6 374108 113,0000 104,4106 92,3998
7 388331 113,1000 108,3555 95,8050
8 405867 118,0000 113,2177 95,9472
9 413480 122,0000 115,3273 94,5306
10 395878 116,0000 110,4470 95,2130
SD = 4,0940
X = 111,1855 mg CV = 3,6821%
111
Lampiran 12. Kromatogram Sampel Instrumen : Shimadzu LC-10 AD Kolom : C18 Merek KNAUER dengan packing Kromasil 100-5
C18 panjang kolom 25 cm, diameter internal 4,6mm Fase gerak : metanol:aquabides (90:10) Flow rate : 1 ml/menit AUFs/Attenuation : 0,01/7 Detektor : UV pada 247,4 nm Sampel 1
112
Sampel 2
113
Sampel 3
114
Sampel 4
115
Sampel 5
116
Sampel. 6
117
Sampel 7
118
Sampel 8
119
Sampel 9
120
Sampel 10
121
BIOGRAFI PENULIS
Penulis yang bernama lengkap Kristian Bayu Kuncoro,
lahir di Ambarawa pada tanggal 13 Januari 1988 adalah
anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Thomas
Utomo dan Ibu Cornelia Endang Wahyuni. Penulis
menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK
Virgo Maria I Ambarawa pada tahun 1993-1994, SD
Virgo Maria I Ambarawa tahun 1994-2000, SLTP
Pangudi Luhur Ambarawa pada tahun 2000-2003, SMA
Negeri 1 Ambarawa pada tahun 2003-2006. Selepas SMA, penulis melanjutkan
studi ke Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan
menyelesaikan studinya sampai tahun 2010. Selama aktif kuliah, penulis pernah
menjadi Asisten Dosen Praktikum Kimia Analisis dan Koordinator Asisten
Praktikum Kromatografi. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti Inisiasi
Fakultas Farmasi TITRASI 2007 (Bidang Keamanan), Inisiasi Fakultas Farmasi
TITRASI 2008 (Sebagai Ketua Umum), Seminar Ilmiah POKJANAS TOI
XXXVIII 2009 (Bidang Ilmiah), dan juga aktif mengikuti perlombaan paduan
suara, mengisi acara pelepasan wisuda, dan sumpahan apoteker lewat Paduan
Suara Fakultas “Veronica” dari tahun 2006-2009. Selain itu, pada tahun 2009
penulis juga pernah mengikuti penelitian yang dinamakan Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) yang berjudul “Optimasi & Penetapan Kadar Parasetamol
Dalam Jelly Untuk Meningkatkan Kepatuhan Anak Minum Obat” dimana
penelitian ini di adakan oleh DIKTI.