PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN...
-
Upload
vuongnguyet -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN...
PENATAAN KAWASAN HUTAN
BAGI KEBANGKITAN KEHUTANAN NASIONAL(Masalah, Kebijakan dan Peran Dewan Kehutanan Nasional)
Naskah Kebijakan Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
Tentang Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan di Indonesia
Dokumen ini disusun dan dicetak oleh Dewan Kehutanan Nasional atas dukungan PROFOR (Program on Forest) , CLUA (Climate and Land Use Alliance)
dan The World Bank. Opini yang diekspresikan oleh penyusun disini bukan merupakan cerminan ataupun pandangan PROFOR (Program in Forest), CLUA
(Climate and Land Use Alliance) maupun The World Bank
PROFOR
Climate and Land Use AllianceCultivating solutions for people and the planet
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ............................................................................................
2. Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan ......................................
Kondisi dan Kinerja Nasional ....................................................................
Rencana Pembangunan dan Problemanya ..................................................
Kawasan Hutan dan Ruang ......................................................................
Perubahan Kebijakan yang Perlu Diantisipasi ............................................
3. Agenda 12 Kementerian/Lembaga .........................................................
Materi Pokok .............................................................................................
Peran Bagi Masyarakat Adat/Lokal ............................................................
Peran Bagi Usaha Besar Kehutanan ...........................................................
Peran Bagi Masyarakat Luas (Manfaat Jasa Lingkungan) .........................
4. Pandangan DKN .....................................................................................
Umum .......................................................................................................
Pembahasan Kebijakan ..............................................................................
1
2
2
2
3
4
6
6
7
8
8
9
9
9
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a. Perkembangan Pengusahaan hutan Alam Produksi 1992 - 2012 .......
Lampiran 1b. Kecenderungan Pengusahaan Hutan Alam Produksi .........................
Lampiran 1c. Perkembangan hutan Tanaman Industri 2003 - 2012 ........................
Lampiran 1d. Transformasi Hutan Produksi 1992 - 2012 ......................................
Lampiran 2. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan (juta Ha) ..................................
Lampiran 3. Potret Kemantapan Kawasan Hutan regional/Pulau ...........................
Lampiran 4. Penilaian Indeks Tata Kelola hutan dan Lahan (UNDP, 2013) ...........
Lampiran 5. Status dan Luas Fungsi Hutan Berdasarkan P49/M enhut-I I /2011 .....
13
13
14
14
15
16
17
17
Dewasa ini peran hutan bagi kehidupan lokal, nasional maupun global semakin
diperlukan untuk menopang daya dukung lingkungan, kehidupan sosial maupun ekonomi.
Namun demikian, dalam perkembangannya di Indonesia, pengelolaan kawasan konservasi
maupun hutan lindung yang menjadi bagian penting untuk menopang daya dukung
lingkungan masih belum diikuti penguatan kapasitas pengelolaannya secara signifikan.
Pengelolaan dan pengusahaan hutan alam produksi terus mengalami penurunan, hutan
tanaman mengalami kenaikan, dan dalam perkembangan usaha besar kehutanan ini hampir
tidak pernah luput dari konflik-konflik sosial di lapangan. Sementara itu, bagi usaha kecil
seperti hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan maupun pengembangan
hasil hutan non kayu tidak banyak mengalami perubahan. Ditengah-tengah perkembangan
seperti itu, politik kehutanan hampir tidak memperbincangkan ekonomi kehutanan,
sebaliknya politik kehutanan didorong untuk mempersempit diskursus pembangunan
kehutanan hanya pada menanam pohon.
Kawasan hutan negara semakin terancam, baik oleh perkembangan investasi perkebunan,
pertambangan, perkembangan penduduk, maupun oleh keputusan-keputusan hukum yang
secara substansial membawa kerusakan terhadap hutan. Ditengah-tengah situasi tersebut
terdapat berbagai bentuk solusi, diantaranya seperti: pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH), percepatan pengukuhan kawasan hutan, penyederhanaan izin, resolusi konflik,
dll, namun dirasakan masih bersifat parsial dan baru menjadi harapan dan belum menjadi bukti
nyata bagaimana persoalan nasional kehutanan dapat dipecahkan.
Selain Kementerian Kehutanan, berbagai kementerian/lembaga seperti UKP4,
Bappenas, KemenESDM , Kemendagri, KLH , dan KPK serta Pemda Propinsi adalah aktor-
aktor yang secara langsung cukup signifikan ikut menentukan kebijakan dan/atau pelaksanaan
kebijakan kehutanan. Disamping itu berbagai Lembaga Donor, LSM -CSO, organisasi
masyarakat, dan akademisi sebagai lembaga atau perorangan secara formal/informal berperan
menentukan berjalannya situasi di atas. Pihak lain yang penting namun tidak cukup jelas dapat
diidentifikasi meskipun mempunyai peran nyata, yaitu para pelobi dan pembawa pengetahuan
atau pengaruh (epistemic community) maupun berbagai pihak yang melakukan transaksi-
transaksi nyata di lapangan yang memungkinkan hutan dikonversi atau dirusak.
Kehutanan secara nasional kini telah berada ditengah-tengah arena perubahan kebijakan
termasuk putusan M ahkamah Konstitusi yang mana perbaikan kebijakan kehutanan baik
bersifat paradigmatik maupun operasional,perlu menjadi perhatian dan pengawalan oleh
Dewan Kehutanan Nasional.
1. Pendahuluan
1
Kondisi dan Kinerja Nasional
Penurunan kualitas fungsi hutan lindung dan kawasan konservasi, penurunan peran hasil
pengelolaan hutan alam produksi, pemanfaatan hutan untuk masyarakat (H km, H TR, H D)
yang stagnan, peningkatan peran hasil hutan tanaman dan perkembangan hutan rakyat.
(Lampiran 1 dan 2).
Secara hukum/ legalitas seolah-olah kawasan hutan mempunyai luas dan fungsi yang
masih besar, namun secara de facto tidak demikian. Pengakuan terhadap kondisi yang
sesungguhnya tentang status dan fungsi kawasan hutan di Indonesia sebagai bentuk
akuntabilitas maupun efektivitas pengelolaan hutan masih belum terwujud.
Hampir seluruh rencana tata ruang senantiasa menginginkan konversi hutan untuk
pembangunan non kehutanan, situasi de facto adanya ribuan desa dan penggunaan kawasan
hutan belum terpecahkan hingga saat ini (Lampiran 3); Rendahnya tata kelola hutan dan
lahan (i ll forestry and land governance) yang memberi indikasi belum terselesaikan dan
berlarut-larutnya 4 masalah pokok; (UNDP, 2013, Lampiran 4): (a) akses terbuka kawasan
hutan negara, (b) konflik hutan dan lahan, (c) biaya transaksi tinggi dan korupsi, serta (d)
substansi hukum/peraturan dan penegakan hukum.
Rencana Pembangunan dan Problemanya
Kebijakan kehutanan tertuang antara lain dalam RPJM Nasional (Perpres 5/2010) dan
pengembangan infrastruktur (M P3EI, Perpres 32/2011) serta arah pembangunan kehutanan
dalam Rencana Kehutanan T ingkat Nasional (RKTN, Permenhut 39/2011), serta rencana
strategis, roadmap pengembangan industri kehutanan berbasis hutan tanaman dan
pengembangan ekonomi berbasis kawasan konservasi dan lindung serta roadmap pemantapan
kawasan hutan. Kebijakan-kebijakan turunan RPJM N itu pada dasarnya belum sinergi,
memiliki asumsi-asumsi dasar yang saling berseberangan, dan beberapa diantaranya seperti :
roadmap pengembangan indusri kehutanan berbasis hutan tanaman tidak berjalan.
RAN-GRK dan Stranas REDD+ (Perpres 61/2011 dan SK Ketua Satgas REDD+) yang
didalamnya antara lain berisi review kebijakan perizinan dan tenurial kehutanan,
pengembangan kapasitas termasuk pengembangan paradigma serta upaya peningkatan
partisipasi dalam membentuk dan menjalankan kebijakan.Kebijakan ini belum berjalan
kecuali program dengan sasaran-sasaran fisik yang didukung oleh pendanaan APBN-APBD.
Sifat kegiatan ini belum sampai pada pemenuhan prasyarat dan kondisi pemungkin (enabling
condition) yang diperlukan seperti kemantapan kawasan hutan dan tata kelola (forest
governance), sehingga masih banyak tantangan yang dihadapi.
2. Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan
2
Kebijakan penataan ruang (UU 26/2007 dan turunannya) dan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (UU 32/2009 dan turunannya) belum efektif bahkan belum
berjalan untuk mampu mengendalikan kerusakan sumber daya alam. Kebijakan ini masih
bersifat normatif, sementara itu persoalan pelanggaran tata ruang bersifat struktural bahkan
terdapat konflik norma seperti antara pendekatan hukum dan historis, keterlanjuran kesalahan
lokasi izin dan lokasi transmigrasi, serta perambahan hutan yang dimobilisasi; Kebijakan ini
juga nyaris tidak berkomunikasi dengan kebijakan pengurusan kehutanan terutama dalam
bidang perencanaan kehutanan sebagaimana termaktub pada UU 41/1999 Tentang
Kehutanan.
Kawasan H utan dan Ruang
Putusan M K (No. 45/PUU-IX/2011) tentang status kawasan hutan negara bahwa status
itu sah apabila sudah ditetapkan, sedangkan status kawasan hutan yang masih ditunjuk dapat
diteruskan sampai menjadi sah. Putusan M K tersebut sejauh ini dalam prakteknya tidak
mempunyai makna yang berarti bagi upaya pemantapan kawasan hutan ataupun penyelesaian
konflik kawasan hutan, seperti banyaknya penggunaan kawasan hutan untuk kebun/tambang
yang rekomendasinya hanya oleh kepala daerah.
Inisiatif penyelesaian tenurial kehutanan telah direkomendasikan oleh organisasi
masyarakat sipil (CSO) melalui lokakarya internasional di Lombok 2011, dan telah
diupayakan melalui pembentukan unit kerja penanganan masalah tenurial di Kementerian
Kehutanan dan mediasi serta resolusi konflik oleh sejumlah lembaga. Kelompok kerja tenurial
itu terbatas kapasitasnya namun berperan mempengaruhi perubahan kebijakan dan
kelembagaan, seperti dukungan substansi atas Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12
Kementerian/Lembaga yang diinisiasi oleh KPK dan dimonitor oleh UKP4. Kelompok ini
juga menjadi bagian dari Kelompok Kerja yang sedang melakukan mediasi dan penyelesaian
konflik tenurial kehutanan, review izin kehutanan serta perluasan hak dan akses terhadap
hutan di Kementerian Kehutanan.
Dengan adanya Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian/Lembaga yang
diinisiasi oleh KPK, kini sedang dibahas langkah-langkah operasional pelaksanaan NKB
tersebut bagi setiap Kementerian/Lembaga. Langkah-langkah operasional ini diharapkan
menjadi terobosan penyelesaian masalah, meskipun masih bertumpu pada Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga dan anggaran yang sama dari APBN. Agenda yang telah dituangkan
dalam naskah NKB tersebut kini dijabarkan menjadi format 8 kolom (F8K), sehingga
pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan dikoordinasi dan diawasi oleh UKP4.
3
Putusan M K (35/PUU-X/2012) memberi pengertian bahwa status hutan adat tidak lagi
berada di dalam kawasan hutan negara. Konfigurasi kawasan hutan akan menjadi seperti pada
Lampiran 4, namun implikasi putusan ini belum diketahui secara pasti. Sementara itu posisi
Kemenhut tetap menggunakan Peraturan Daerah sebagai instrumen pengakuan hutan adat.
Kebijakan penjabaran Undang-Undang Kehutanan itu diperkirakan tidak akan menyelesaikan
persoalan hutan adat dalam hutan negara, karena sejak Undang-Undang itu ada hingga saat ini,
perkembangan Peraturan Daerah tidak seperti yang diharapkan. Kepentingan politik di daerah
juga serupa dengan di pusat, lebih mementingkan pelayanan perizinan perusahaan besar
daripada memastikan ruang hidup masyarakat.
Pemerintah telah mencanangkan kebijakan penggunaan ruang di dalam kawasan hutan
melalui kerangka Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), sebagaimana dimandatkan oleh UU
41/1999 dan PP 6/2007 Jo. PP3/2008. Kebijakan ini menggariskan bahwa kawasan hutan
harus terbagi habis ke dalam satuan akuntabilitas dan permanen di tingkat tapak. M elalui
KPH, implementasi kebijakan yang berkaitan dengan keruangan, serta hubungan antar aktor
di sektor primer kehutanan, dan pencapaian/pemeliharaan fungsi sosial, lingkungan (termasuk
peran dalam penurunan emisi karbon) dan ekonomi dapat didesentralisasikan kepada KPH.
Perubahan Kebijakan yang Perlu Diantisipasi
Kebijakan internasional pasca 2015 yaitu pengendalian kemiskinan yag dikaitkan dengan
pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan ekonomi. Arah kebijakan yang langsung
sebagai inisiatif Presiden ini dirumuskan oleh berbagai pihak dalam koordinasi UKP4. Arah
kebijakan ini dapat mengganti atau menjadi substitusi kebijakan REDD+ atau komplementer
terhadap pelaksanaan REDD+. Diperkirakan kebijakan ini tidak akan menyentuh persoalan
mendasar terjadinya kemiskinan berdasarkan pendekatan keadilan.
Diberlakukannya ASEAN Community 2015 pada tanggal 31 Desember 2015
menyebabkan terintegrasinya negara-negara ASEAN menjadi komunitas bersama dalam
bidang ekonomi, politik keamanan, dan sosial budaya. Hal ini berimplikasi pada kemungkinan
diberlakukannya standar atau sistem bersama ASEAN, termasuk dalam pengelolaan hutan.
Atas inisiatif DPR telah terbentuk UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (P3H).Tujuan UU ini untuk mengefektifkan pencegahan dan penegakkan hukum bagi
pelaksanaan illegal logging namun ditengarai dapat merugikan masyarakat adat/lokal yang
akan mudah dikriminalisasi dalam kondisi ketidakpastian hak/legalitas maupun akses berupa
sengketa atau konflik terhadap manfaat hutan dan lahan.
4
Inisiatif revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Sejauh ini kebijakan
desentralisasi dianggap sebagai salah satu penyebab semakin tingginya kerusakan sumber daya
alam dengan tanpa manfaat nyata dan berjangka panjang bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat adat/lokal. Inisiatif revisi UU ini belum diketahui kearah mana, sehingga belum
diketahui pula apakah membawa dampak positif bagi penyelesaian masalah kerusakan sumber
daya alam atau justru menambah masalah itu.
FIP dan DGM . Forest Investment Program (FIP) adalah satu dari tiga program di bawah
Dana Iklim Strategis (SCF), sebuah dana perwalian multi-donor yang dibentuk pada tahun
2009 untuk memberikan pembiayaan jalur cepat. Dedicated Grand Mechanism (DGM ) adalah
mekanisme hibah khusus bagi masyarakat adat dan lokal, sebuah inisiatif global dalam rangka
memberikan hibah kepada masyarakat adat dan lokal untuk meningkatkan kapasitas dan
mendukung inisiatif tertentu, sehingga dapat lebih banyak berpartisipasi dalam FIP dan
proses-proses REDD+ lainnya di tingkat lokal, nasional, dan Global. Komitmen dana 70 juta
U$ akan digunakan untuk maksud tsb. Basis pengembangan FIP adalah melalui pembangunan
KPH.
Sejumlah dinamika kebijakan terbaru juga perlu menjadi perhatian yang serius, misalnya
sehubungan dengan: telah disahkannya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; tengah
disusunnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan M asyarakat Adat; dipercepatnya
penyusunan RUU Pertanahan; bergulirnya masterplan percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia (M P3EI) yang menempatkan wilayah Indonesia jadi
koridor-koridor pertumbuhan dalam konteks ekonomi global; revisi atas UU Konservasi, dan
sebagainya.
Hal-hal tersebut di atas akan menjadi konteks, situasi, persoalan yang dihadapi, sekaligus
solusi-solusi yang telah dicanangkan dan/atau sedang dilaksanakan dan semua itu akan
menentukan perkembangan kehutanan Indonesia ke depan, berserta segala implikasi
ekonomi, sosial maupun lingkungan hidup. Situasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa
adanya pendapat-pendapat atau suara baru, tidak berbunyi di kamar kosong, melainkan di
suatu ruang yang telah ada berbagai suara merdu ataupun bising sebagai bentuk-bentuk
pendapat dan solusi yang di dalamnya mengandung kepentingan dan asumsi-asumsi tertentu,
paradigma, sebagai syarat dicapainya tujuan dengan berbagai tingkat kepentingan,
kekuatan/power jaringan yang digunakan untuk membawanya.
5
M ateri Pokok
Secara substansial, agenda aksi dari Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian dan
Lembaga yang dikoordinasikan oleh KPK dapat dikelompokkan ke dalam 5 materi pokok
(Gambar 1), yaitu:
1. Penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan hutan, termasuk kepastian status pihak ke-3 dalam kawasan hutan negara, dan yang menjadi masuk dalam hutan adat;
2. Beroperasinya 120 KPH model serta berjalannya program kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat di dalam areal kerja KPH itu;
3. Proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa depan perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik;
4. Terdapat regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujud konsensus penyelesaian konflik oleh 12 Kementerian/Lembaga;
5. Terdapat perencanaan nasional yang lebih rinci dalam penyelesaian pengukuhan kawasan hutan.
3. Agenda 12 Kementerian/Lembaga
Gambar 1. Ringkasan Agenda Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan oleh 12 Kementerian/Lembaga
dengan Fokus pada Rencana Aksi Kementerian Kehutanan
6
Penyempurnaan kebijakanpengukuhankawasanhutan,termasukpenguatan PTB
Revisi P 44 dan P 47Penyelesaian hakpihak-3 dlmkawasan hutan negara
NSPK petapenetapan kwshutan skala operasional
PerDirjen ygmengaturpelaksanaan tatabatas ygterkoordinasi dgn berbagai pihak
Inventarisasi desadan potensiekonomi hutanuntuk penetapanstatus dan fungsikws hutan
Evaluasi Pengukuhankawasn hutan dgn menyelesaikankeberadaan pihak-3
Target pengukuhankawasan hutan di 10 Propinsi
Tersedianya sistempengaduan dantindak lanjutnyaterkait pengukuhandan masalah tenurial
Koordinasiinventarisasi dan terpetakan kawasanhutan adat(Kemendagri,Pemda, BPN)
Penyelesaian PPHutan Adat
Perencanaan operasionalberdasarkan RKTN
Rencana prioritaspenyelesaianpengukuhan kwshutan dalam 3 th
Penyusunan aturandetail kriteriaenclave; tdk hanyamengacu pada alat bukti formil
Regulasipenyelesaiansengketa di dalamkawasan hutan
Terbangunkonsensuspenyelesaiankonflik oleh K/L
Memastikan lahanuntuk izin kebundan tambang
Pelaksanaan programpendampingan masy.
Mempercepatpencadangankawasan hutanuntuk HTR, Hkm, HD
Analisis masalahpenggunaan kawasan hutan dan penegakan hukum
Proses perizinanintegratif dan transparan
KEMENHUT, KEMENDAGRI, PEMDA
KEM
ENH
UT,
KEM
END
AG
RI,
BPN
, BIG
, KO
MN
ASH
AM
, KU
MH
AM
, PEM
DA
KEM
ENH
UT,
KEM
END
AG
RI,
BPN
, K
EMEN
TAN
, KO
MN
ASH
AM
, PEM
DA
KEMENHUT, ESDM, KEMENDAGRI, BPN, KEMENTAN, KLH, PU, BIG, PEMDA
2
1
3
4
5
PP tentang aturanjaminan pelepasankawasan hutan
Pengoperasionalan120 KPH dankelengkapan regulasi KPH
M ateri pokok tersebut dijabarkan kedalam agenda pelaksanaannya oleh setiap K/L
sampai dengan tahun 2015, yang akan melampaui masa pergantian Presiden R.I . pada tahun
2014. Dengan jadwal seperti itu dan KPK serta UKP4 sebagai lembaga pengendalian
pelaksanaannya diharapkan agenda tersebut dapat dijalankan secara konsisten dan
berkelanjutan.
Apa yang dikehendaki oleh masyarakat pada umumnya terhadap perbaikan kebijakan
kehutanan adalah segala sesuatu yang secara nyata dapat dirasakan perbaikannya, setidaknya
oleh tiga kelompok masyarakat yang berbeda yaitu masyarakat adat/lokal, pengusaha besar,
serta masyarakat yang memanfaatkan hutan secara tidak langsung berupa jasa lingkungan.
Peran bagi M asyarakat Adat/Lokal
Pengelolaan hutan secara umum masih sangat kecil peranannya bagi masyarakat
adat/lokal, karena hampir seluruh kawasan hutan negara telah dialokasikan bagi usaha besar
dan pengelolaan oleh Pemerintah/Pemda sendiri misalnya dalam pengelolaan kawasan
konservasi dan hutan lindung. Keberadaan masyarakat adat/lokal dengan hutan adat atau
hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial-ekonomi sejauh ini dianggap tidak
mempunyai dasar legalitas. Oleh karena itu, perbaikan kebijakan kehutanan akan mempunyai
makna apabila persoalan hak dan akses atas kawasan hutan ini dapat diselesaikan.
M enyelesaikan persoalan ini setidaknya terkait dengan 3 (tiga) kegiatan atau objek, yaitu:
1. Kegiatan pada saat penetapan tata-batas kawasan hutan negara;
2. Kegiatan pelaksanaan izin, baik usaha besar atau usaha kecil (IUPH H K-HA,
IUPH H K-H T, IUPH H K-RE, IUPH H K-H TR, H km);
3. Kegiatan dalam pelaksanaan konservasi maupun pengelolaan hutan lindung.
Berdasarkan ketiga objek tersebut, maka dalam pelaksanaan agenda rencana aksi di atas
khususnya dalam melakukan penataan batas dan review perizinan perlu dikaitkan dengan
penyelesaian hak-hak pihak ketiga, penetapan alternatif solusi maupun eksekusi penetapan
solusi itu sendiri. Inventarisasi keberadaan masyarakat adat/lokal itu juga perlu dilakukan di
kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung termasuk menetapkan alternatif solusi
maupun eksekusi penetapan solusinya.
Rencana aksi yang secara lekat dapat mendukung percepatan proses penetapan hak dan
akses masyarakat adat/lokal tersebut yaitu dibentuknya sistem pengaduan masalah
pengukuhan dan tenurial. Sistem yang akan dijalankan oleh Kementerian Kehutanan itu akan
sangat efektif apabila juga melibatkan lembaga/organisasi masyarakat sipil (CSO) yang dalam
7
hal ini juga berfungsi untuk membantu penguatan Panitia Tata Batas (PTB) melalui
pelaksanaan survei sosial terutama di lokasi-lokasi sebelum ditetapkan tata-batas kawasan
hutan negara oleh PTB. T im survei sosial ini hendaknya menjadi perangkat kerja yang dapat
memperkuat fungsi PTB dalam menetapkan keputusan dapat atau tidak dapat dikeluarkannya
keberadaan pihak ke-3 dari kawasan hutan negara.
Rancangan kerja Kementerian Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Planologi dan BPKH
yang berisi mengenai kerangka kerja tersebut dapat dibahas di awal pelaksanaan rencana aksi
yang dikoordinasikan oleh KPK di atas.
Peran Bagi Usaha Besar Kehutanan
Sebagaimana telah digambarkan dalam Lampiran 1, kondisi usaha besar kehutanan juga
tidak sedang berkembang, sebaliknya cenderung akan mengalami keterpurukan secara masal.
Selain kepastian kawasan hutan dari rencana aksi itu yang dapat memberi manfaat bagi
peningkatan kepastian usaha kehutanan, hal lain yang sangat penting tetapi secara eksplisit
tidak tercakup dalam rencana aksi yaitu persoalan pengurusan dan pelaksanaan perizinan
termasuk di dalamnya pelayanan publik oleh Pemerintah/Pemda yang tidak efisien, kebijakan
penetapan tarif usaha dan hasil hutan, kebijakan larangan ekspor kayu bulat dari hutan
tanaman, serta rendahnya harga kayu tanaman akibat adanya monopoli konsumsi kayu
tanaman di dalam negeri.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, dalam melaksanakan rencana aksi di atas perlu
dikaitkan dengan agenda-agenda lain, misalnya perubahan kebijakan tarif dan perdagangan.
Tarif pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang yang relatif sangat kecil dibandingkan
dengan nilai nominal keuntungan usaha tambang seharusnya juga menjadi bahan kajian, agar
kebijakan tarif ini juga sekaligus menjadi pengendali penggunaan kawasan hutan bagi
pertambangan.
Peran bagi M asyarakat Luas (M anfaat Jasa Lingkungan)
Hampir separuh kawasan hutan di Indonesia, atau sekitar 67 juta Ha, tidak dikelola secara
intensif atau bahkan tidak ada pengelolanya sama sekali (secara de facto open access). Dalam
situasi seperti itu, potensi hutan terus mengalami penurunan yang disertai dengan banyak pihak
memanfaatkan hutan secara tidak sah, akibatnya tidak ada kepastian bagi siapapun untuk dapat
membangun hutan meskipun jasa lingkungannya penyerap karbon, pengendali banjir dan
kekeringan, dan lain-lain,dikehendaki oleh banyak orang. Disamping berbagai kebijakan
terkait dengan kepentingan masyarakat adat/lokal dan usaha besar kehutanan di atas,
berfungsinya KPH adalah salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya open akses tersebut,
8
Umum
Sejauh ini fokus dan prioritas pembangunan kehutanan hampir selalu dilemahkan
dengan program-program populis yang dapat menarik perhatian media dan masyarakat
kebanyakan, namun harus diakui bahwa banyak persoalan fundamental yang sesungguhnya
dihadapi di lapangan, seperti persoalan kawasan hutan yang sudah diagendakan dalam NKB
belum secara nyata dapat dipecahkan. M elihat kenyataan seperti itu maka DKN akan
mendukung dan mengambil peran, karena sejalan dengan 10 (sepuluh) bidang kebijakan di
dalam Garis-Garis Besar Haluan Kehutanan (GBH K) yang telah ditetapkan dalam Kongres
Kehutanan Indonesia ke V.
Pembahasan KebijakanUntuk menjalankan agenda rencana aksi di atas disarankan dapat dilakukan secara
terbuka melalui kelompok-kelompok kerja. Anggota Presidium DKN yang tersebar di pulau-
pulau besar Indonesia dan mempunyai posisi yang berbeda;pemerintah, bisnis, masyarakat,
LSM dan akademisi,diharapkan mampu memberikan informasi beserta antisipasi terhadap
perkembangan berbagai kebijakan, termasuk putusan M K, sebagaimana telah diuraikan di
atas, pembahasan kebijakan percepatan pengukuhan kawasan hutan maupun ikut memantau
pelaksanaan rencana aksi tersebut.
Agar dapat terfokus, disarankan dapat dibentuk kelompok-kelompok sesuai dengan
bidang dan keterkaitannya dalam menyelesaikan masalah. Kelompok-kelompok tersebut
antara lain:
1. KELOM POK KAWASAN H UTAN: M elakukan penyempurnaan kebijakan dan
peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan hutan, termasuk kepastian status
pihak ke-3 dalam kawasan hutan negara dan yang menjadi masuk dalam hutan adat,
terutama menentukan kriteria masyarakat hukum adat di tingkat lapangan. Dalam
hal ini diusulkan pelaksanaan izin baru harus sangat selektif, karena apabila
dilaksanakan pada areal hutan yang belum ditetapkan, posisi sosial antara pemegang
hak-hak pihak ketiga dan calon pemegang izin adalah sama;
namun upaya ini juga mempunyai hambatan. Hambatan itu antara lain, kebiasaan memberi
izin pemanfaatan hutan tanpa mengelola hutan telah memberikan upaya mudah untuk
menghasilkan manfaat, sedangkan membangun KPH di beberapa lokasi masih dianggap
sebagai upaya yang menggunakan sumber daya secara sia-sia. Kebiasaan menyerahkan
4. Pandangan DKN
9
2. KELOM POK KPH: M endukung program dan aksi bagi beroperasinya 120 KPH
model serta berjalannya program kemitraan dan pemberdayaan berbasis masyarakat
di dalam kerangka KPH itu. Untuk wilayah-wilayah tertentu yang hampir secara
keseluruhan terdiri dari masyarakat hukum adat, perlu ada penyesuaian KPH Adat
sebagaimana ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 17 (1) Undang-Undang No.
41/1999 tentang Kehutanan;
3. KELOM POK PERIZINAN: M engkaji ulang dan menyusun kebijakan dan
menjalankan proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa
depan perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik. Dalam hal ini
segala bentuk potensi terjadinya penyalah-gunaan wewenang dan korupsi harus
dapat diminimalkan sekecil mungkin;
4. KELOM POK PENYELESAIAN KONFLIK: M engkaji ulang dan menyusun regulasi
penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujud konsensus penyelesaian konflik oleh
12 Kementerian/Lembaga. Disamping itu agenda pelaksanaan penyelesaian konflik
secara riil di lapangan perlu diputuskan dan konsensus tersebut;
5. KELOM POK PERENCANAAN NASIONAL: M engkaji ulang dan menyusun
perencanaan nasional yang lebih rinci dalam penyelesaian pengukuhan kawasan
hutan serta menjadikan penyelesaian pengukuhan kawasan hutan ini menjadi agenda
nasional dalam jangka panjang (RPJPN). Penjabaran rencana jangka panjang ini juga
perlu dipastikan terjadi sampai di tingkat pemerintahan kabupaten/kota.
Terhadap kelima bidang tersebut, khusus untuk daerah otonomi khusus bagi Provinsi
Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi NAD, dalam restrukturisasi kebijakan dan
harmonisasi peraturan perundangan di bidang kehutanan harus mengacu kepada UU
Otonomi Khusus masing-masing dengan tetap memperhatikan kondisi spesifik wilayah
otonomi khusus sebagai penguatan Kemenhut terhadap pelaksanaan UU Otsus. Dalam hal-
hal tertentu, agar kebijakan kehutanan dapat selaras dengan karakteristik ketiga wilayah ini,
pembahasan mengenai harmonisasi implementasi Undang-undang Otonomi Khusus dan
Undang-undang Kehutanan perlu dilakukan. Perhatian khusus juga mesti diberikan pada
pengelolaan hutan di pulau-pulau kecil dan daerah-daerah yang secara ekologis rentan.
Tentu, kelima kelompok tersebut tidak bekerja secara independen, karena kelimanya
saling terkait dan saling berinteraksi. M uara atau sasaran akhir yang harus dipantau adalah
perbaikan tata kelola baik di tingkat koherensi kebijakan, efektivitas pemantapan kawasan,
efektivitas organisasi pengelola sumber daya kehutanan, terjaminnya peningkatan ruang kelola
dan pendapatan masyarakat, serta terjaminnya usaha dan bisnis berbasis kehutanan lestari. ***
10
Lampiran 1a. PerkembanganPengusahaan Hutan Alam Produksi 1992 – 2012
Keterangan: IUPH H K-HA aktif = 115 Unit manajemen dari 294 unit manajemen (=39%).
Sertifikasi PH PL: a/. Voluntary= 11 UM (3.7%), b/ mandatory: 37 UM (12.6%)
Lampiran 1b. Kecenderungan Pengusahaan Hutan Alam Produksi
13
199219931994199519961997199819992000200120022003200420052006200720082009201020112012
580575540487447429420387362361270267287285322323308304303293294
61.3831.7061.0356.1754.0952.2851.5841.8439.1636.4228.0827.8027.8227.7228.7828.1625.9025.6624.9523.2423.90
0.610.580.520.580.670.540.400.350.120.070.150.190.140.320.270.310.260.270.320.390.23
Transisi Orba ReformasiTransisi Orba Reformasi
HPH aktif69%62%55%49%39%
42.9743.1942.7239.3237.8636.6036.1129.2927.4125.4919.6619.4619.4719.4020.1519.7118.1319.9617.4616.2716.73
26.0525.1922.2522.9325.2915.7810.1810.373.451.81 (32%)3.02 (57%)4.10 (67%)3.51 (52%)5.72 (79%)5.59 (61%)6.11 (67%)4.69 (52%)5.42 (60%)5.75 (63%)6.28 (69%)3.77 (41%)
---------5.65.36.16.77.29.19.19.19.19.19.19.1
1
TahunSK Efektif Kuota Realisasi
Jumlah HPH(unit)
Luas Areal(x juta ha) Produksi (x juta ha) Produktivitas
Hutan Alam3(m /ha/th)
Keterangan
2 3 4 5 6 7 (6/4) 8
Lampiran 1c. Perkembangan Hutan Tanaman Industri 2003 – 2012
Tahun Jumlah Unit Luas Areal (H a) Luas Tanaman (H a) Luas Tanaman Akumulatif (H a)
2003 219 4,626,099 124,691 3,121,093
2004 227 5,802,704 131,914 3,253,007 2005 227 5,734,980 163,125 3,416,132 2006 236 6,187,272 231,953 3,648,085 2007 247 9,883,499 334,838 4,005,285
2008 229 9,923,232 305,463 4,310,748 2009 206 8,673,046 422,311 4,522,705 2010 289 10,726,043 457,758 4,980,463 2011 231 9,633,539 401,205 5,381,668
2012 245 9,854,438 399,744 5,781,412 Keterangan: Luas areal tanaman +/- 3 Juta HA. Dari 245 unit H TI, hanya 106 unit (45 %) yang memperoleh RKT.
Realisasi tanaman dalam 3 TH terakhir menurun.
Lampiran 1d. Transformasi Hutan Produksi 1992 – 2012
Are
al H
utan
(Mil
Ha)
Kebun = 10 Juta Ha
HTN sekunder tdk dibebani Hak (terlantar)= 34 jt Ha(12,5 jt Ha Moratorium)
HT = 9,8 jt Ha
HPH/RE = 23,2jt Ha
Sumber: Ditjen BUK, Kementerian Kehutanan, 2013
14
1. Usaha Besar & Kepentingan Umum
Jenis Pemanfaatan dan Penggunaan Juta Ha %
a. IUPH H K - HA 24,88
b. IUPH H K - H T 9,39
c. IUPH H K - RE 0,19
d. Pelepasan kebun & trans 5,93
e. IPPKH - Tambang, dll 0,62
Jumlah 1 41,01 99,49
2. Usaha Kecil dan M asy Lokal/Adat
Jenis Pemanfaatan Juta Ha %
a. IUPH H K H TR 0,16
b. Hutan Desa 0,003
c. Hutan Kemasyarakatan 0,04
Jumlah 2 0,21 0,51
Jumlah 1 dan 2 41,69 100,00
Lampiran 2. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan (juta ha)
15
Sumber: PermenHut No. 49/2011
PUL
AU
/
RE
GIO
NA
L
BE
BE
RA
PA K
ON
DIS
I
PRO
POR
SI
LU
AS
KH
T
ER
HA
DA
P PU
LA
U (%
)
PEN
GU
KU
H-
AN
KH
(p
enet
apan
K
H) (
%)
USU
LA
N
PER
UB
AH
AN
K
H D
AL
AM
R
TR
WP
(%)
WIL
AYA
H
PEN
GE
LO
LA
AN
D
I TIN
GK
AT
TA
PAK
(%)
KO
NFL
IK
PEM
AN
FA-
ATA
N
/PE
NG
GU
NA
AN
K
H (%
)
WIL
AYA
H
AD
AT
(%)
JUM
LA
H
DE
SA D
I D
AL
AM
, T
EPI
DA
N
SEK
ITA
R
KH
TIN
GK
AT
K
EM
ITR
AA
N
SUM
AT
ER
A
54,6
2
27,2
8
23,8
3
70,2
6
Tin
ggi
T
ingg
i
10.7
71
?
JAW
A
27,9
4
65,9
0
0 ,0
0
92,2
8
Seda
ng-
tingg
i
Ren
dah
2.
935
T
ingg
i
BA
LI,
NU
SRA
37
,93
26
,49
0
,00
76
,74
R
enda
h
Ren
dah
3.
157
?
KA
LIM
AN
TAN
65
,84
19,7
6
22,9
0
79,8
1
Tin
ggi
T
ingg
i
6.40
4
?
SUL
AW
ESI
64
,29
28
,51
13
,64
69
,78
Se
dang
Seda
ng 5.
519
?
MA
LU
KU
91
,68
20
,80
33
,84
55
,94
Se
dang
Seda
ng 2.
010
?
PAPU
A
96,9
9
5,02
4,68
55,5
4
Ren
dah
T
ingg
i
3.52
8
?
Lam
pira
n 3.
Pot
ret K
eman
tapa
n K
awas
an H
utan
Reg
iona
l/Pul
au
Sum
ber:
Bah
an p
enet
apan
Ren
cana
Keh
utan
an T
ingk
at N
asio
nal,
2011
.
16
Lokasi
Indeks Tata
Kelola Hutan dan
Lahan
Hukum & Kebijakan
Kapasitas Pemerintah
Kapasitas CSO
Kapasitas Masyarakat
Kapasitas Bisnis
Kinerja
Pusat 2.78 2.80 2.49 3.00 2.95 2.97 2.46
Aceh 2.07 2.47 1.82 2.75 2.26 1.24 1.90
Riau 2.28 1.89 2.11 2.72 2.05 2.68 2.23 Jambi 2.38 2.26 2.23 2.78 2.04 2.63 2.34 Sumatra Selatan 2.19 2.05 2.64 2.30 1.37 2.36 2.45 Kalimantan Barat 2.73 2.28 2.24 3.32 3.39 2.97 2.20 Kalimantan Tengah 2.64 2.29 2.47 3.21 2.56 2.72 2.59 Kalimantan Timur 2.42 1.98 2.36 2.60 2.47 2.76 2.34 Sulawesi Tengah
2.52
2.03
2.66
2.71
2.86
2.15
2.71
Papua Barat
2.29
1.99
2.37
2.40
2.11
2.47
2.40 Papua
2.41
2.32
2.12
2.63
2.51
2.32
2.56
Lampiran 4. Penilaian Indeks Tatakelola Hutan dan Lahan (UNDP, 2013)
Lampiran 5. Status dan Luas Fungsi Hutan berdasarkan P 49/M enhut-I I /2011
Fungsi Hutan
Hutan Negara, 2011
Hutan Hak
Hutan Negara dan Hutan Adat
2030
Bukan Hutan Adat
Hutan Adat1)
(Juta Ha)
(Juta Ha)
(Juta Ha)
(Juta Ha)1. Hutan Konservasi
26,82
Ada
Ada
26,822. Hutan Lindung
28,86
Ada
Ada
27,673. Hutan Produksi
57,06
Ada
Ada
57,84a. Hutan Produksi Terbatas 24,46
Ada
Ada
19,68
b. Hutan Produksi Tetap
32,60
Ada
Ada
38,16
4.Hutan Produksi Konversi 17,94
Ada
Ada
5.Perubahan Luas Kawasan Hutan Negara 130,68 - - 112,33
6.Hutan Negara yang Telah Ditetapkan (Juta Ha)
14,24 (10,9 %)
Tidak ada program
penetapan hutan adat
-
Alokasi bagi non
kehutanan= 18,35 jt Ha
7. Kondisi Saat ini dan Perkiraan Mendatang
Kondisi saat ini adalah implikasi penunjukkan = penetapan kws hutan (batal, Putusan MK No.45/ PUU-
IX/ 2012
Kondisi saat ini masy
adat/ lokal bersaing
bebas dengan
perusahaan besar
Hutan hak berkembang
(ada kepastian
hak): Indonesia 3,59 jt Ha (Tabel 3.
Dirjen BPDASPS,
2010)
Dari 112,3 juta Ha, 5,6
juta Ha (2030)
dialokasikan untuk HTR, HKm, HD.
Sumber: PermenHut No. 49/20111). Saat ini berada di luar hutan negara (Kpts M K No 35/2012)
17