PEMEKARAN PROVINSI CIREBON.doc
-
Upload
aufiya-althof-faizal -
Category
Documents
-
view
63 -
download
1
description
Transcript of PEMEKARAN PROVINSI CIREBON.doc
PEMEKARAN PROVINSI CIREBONTugas ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Hukum dan Adm. Perencanaan
Oleh :
AUFIYA ALTHOF FAIZAL (103060024)
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pemekaran Daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat
provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum untuk
pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pembentukan provinsi baru ini dapat didasari atas beberapa hal; misalnya
kondisi alam dan ekonomi, keadaan sosial masyarakat, keterkaitan beberapa
kabupaten/kota dalam suatu kesatuan sejarah, suku bangsa dan budaya, dan lain
sebagainya.
Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran daerah adalah sejalan
dengan semangat otonomi daerah; beberapa provinsi dianggap memiliki wilayah
terlalu luas sehingga diperlukan upaya untuk memudahkan pelayanan administrasi
dan pemangkasan birokrasi dari ibu kota provinsi ke daerah dengan cara pemekaran,
yaitu dengan penyatuan beberapa kabupaten/kota menjadi provinsi baru.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang
tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, diisyaratkan bahwa
dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari kepada persyaratan
administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Secara administratif paling sedikit
5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima)
kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk
pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana
pemerintahan.
BAB II
ISI
Pola identifikasi sosio-kultural semacam itu memang bisa menjadi salah satu
sub-poin syarat teknis dalam tiga syarat yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah
No. 78 Tahun 2007 untuk pemekaran wilayah. Identitas Jawa dalam kultur
masyarakat Cirebonan memang berbeda dari kultur masyarakat Pasundan di Jawa
Barat. Amin Maalouf, penyair Lebanon, pun menuturkan dalam In The Name of
Identity-nya bahwa identitas baik itu suku, ras, agama, wilayah dan segala macam
identitas yang melekat pada manusia bisa menjadi sumber konflik. Konflik dalam
kasus ini bisa ditafsirkan soal akulturasi yang menghambat pembangunan daerah.
Jadi pemisahan wilayah Cirebon dari Jawa Barat bisa menjadi satu wacana yang
argumentatif.
Sayangnya diskursus Sunda dan non-Sunda dalam hubungan masyarakat di
Jawa Barat tidak bisa menjadi satu-satunya alasan yang membenarkan soal
pemekaran wilayah Cirebon. Sebagaimana PP diatas, soal kulutural ‘hanya’
menempati sub poin dalam tiga syarat proses pemekaran. Tiga syarat itu diantaranya:
syarat administratif, syarat teknis, dan syarat kewilayahan.
Syarat administratif merupakan awal dimana wacana pemekaran itu
merupakan usulan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah setempat.
Selanjutnya syarat teknis, yakni syarat yang didasarkan pada faktor kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan
keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan
pemerintahan. Terakhir, persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan
daerah yang meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana
pemerintahan.
Masalah yang kemudian muncul adalah dalam PP 78 tahun 2007, jika dibaca
kembali, tercantum syarat pembentukan daerah baru yakni kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta
pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat itu
tidak operasional, misalnya mengenai kemampuan ekonomi. Kemampuan ekonomi
yang sejauh manakah agar satu daerah bisa dikatakan layak untuk berdiri sendiri
sebagai satu daerah otonom baru? Sehingga persoalan indikator ini bisa diselesaikan
lewat jalur lobi politik antara elit daerah dengan elit pusat.
Terbentuknya daerah otonom baru (DOB), sejak awal pembentukannya sudah
memakan anggaran daerah. Setelah DOB ini terbentuk terciptalah ruang kosong
kekuasaan, birokrasi dan tata pemerintahan daerah yang baru. Implikasinya, alokasi
belanja pegawai di APBN semakin membengkak yang secara otomatis akan
mengurangi alokasi belanja publik. Padahal, sumber daya yang dipakai ataupun
hasilnya terkadang belum tentu lebih baik dari sebelumnya. Hal ini mengingat
sepanjang sepuluh tahun, dari 1999 hingga 2009, daerah otonomi di Indonesia terus
bertambah sebanyak 205, terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota.
Penambahan ini membuat jumlah daerah otonomi di Indonesia kian banyak, menjadi
524 daerah, terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Selain itu,
berdasarkan hasil pemekaran wilayah tersebut didapat bahwa 50 persen lebih DOB
yang gagal untuk berotonomi secara mandiri.
Ini tentu menjadi sarana evaluasi dan refleksi bagi Presidium Pembentukan
Provinsi Cirebon (P3C) selaku lokomotif penggagas pemekaran. Jangan sampai
stempel sebagai bureaucratic and political rent-seeking melekat erat kepada para
penggagas. Istilah itu dinisbatkan pada kondisi daerah otonom baru dimana para elit
memperoleh kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari pemekaran wilayah,
baik dana secara langsung maupun kekuasaan.
Untuk membentuk satu provinsi baru jelas begitu repot dan sangat
merepotkan. Rencana pendirian Provinsi Cirebon misalnya saat ini masih
menghadapi keengganan masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan
dan Kabupaten Majalengka untuk bergabung. Sedangkan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah memberikan lampu hijau bahkan sebentar lagi
akan memberikan persetujuan. Namun aspirasi masyarakat Kabupaten Kuningan dan
Majalengka harus tetap mendapat perhatian, tidak boleh ada unsur pemaksaan untuk
mengikuti keinginan elit yang ada di Kota Cirebon. Jika perlu selenggarakan
referendum untuk menentukan sikap, apakah ingin tetap bergabung dengan Provinsi
Jawa Barat atau menyetujui pembentukan Provinsi Cirebon.
Jika hasil referendum dimenangkan oleh masyarakat yang menyetujui
pembentukan Provinsi Cirebon, maka dengan sendirinya rencana pembentukan bisa
berlangsung mulus. Namun jika opsi tetap dalam lingkup Provinsi Jawa Barat yang
menang, maka Panitia Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) perlu menempuh upaya
lain. Sebagaimana ditetapkan Undang-undang, bahwa sebuah Provinsi harus memiliki
minimal 5 kabupaten dan atau kota, maka untuk memenuhi aturan tersebut, perlu
ditempuh langkah pemekaran terlebih dahulu. Dalam Hal ini Kabupaten Indramayu
dimekarkan menjadi Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Indramayu Barat ,
sementara Kabupaten Cirebon dimekarkan menjadi Kabupaten Cirebon dan
Kabupatern Cirebon Timur. Ditambah Kota Cirebon, maka akan tersedia lima
kabupaten dan kota.
BAB III
KRITIK DAN SARAN
Pemekaran Provinsi Cirebon dari sisi ekonomi dan pemerataan infrastruktur
sebenarnya sangat baik karena dengan adanya pemekaran tersebut maka akan terjadi
pembangunan infrastruktur di Provinsi Cirebon mulai dari infrastruktur pemerintahan
dan infrastruktur publik, sehingga dengan pemerataan pembangunan maka akan
meningkatkan kesejahteraan masyrakat Provinsi Cirebon.
Tetapi sebenarnya Provinsi Cirebon tidak harus terjadi, bila dari sisi ekonomi
sebenarnya untuk memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tidak harus dengan adanya pemekaran wilayah. Untuk memeratakan
pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebenarnya tergantung
kepada kebijakan Provinsi Jawa Barat, misalnya mengingat Cirebon merupakan PKN
(Pusat Kegiatan Nasional) sehingga bisa dijadikan wilayah dengan prioritas
pembangunan di Jawa Barat. Dengan dijadikannya Cirebon sebagai wilayah prioritas
pembangunan maka akan terjadi pemerataan pembangunan dan secara tidak langsung
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, perbedaan budaya antara Provinsi Jawa Barat dan Cirebon yang
merupakan salah satu alasan terjadinya pemekaran sebenarnya tidak terlalu
dipermasalahkan, justru itu dapat dijadikan suatu potensi dalam kebudayaan dan
pariwisata di Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya variasi budaya di Provinsi Jawa
Barat maka akan menambah daya tarik budaya dan pariwisata di Provinsi Jawa Barat
sehingga dengan adanya daya tarik ini akan meningkatkan jumlah wisatawan dan
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah utara Provinsi
Jawa Barat.