Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus
-
Upload
henry-priyan -
Category
Documents
-
view
243 -
download
1
Transcript of Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
BAB I
PENDAHULUAN
Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs)
membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing anak
bersangkutan yang saling berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam penyusunan
program pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki
data-pribadi setiap peserta didiknya berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan
dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki dan tingkat perkembangannya.
Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan
dengan tingkat perkembangan fungsional, meliputi tingkat perkembangan: sensorimotor,
kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi
sosial, serta kreativitasnya. Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari
setiap siswa, seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar
mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan agar saat
memprogramkan pembelajaran sudah dipikirkan matang-matang bentuk intervensi
pembelajaran yang dianggap cocok. Asesmen disini adalah proses kegiatan untuk
mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan
kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif dan biasanya
memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau dibuat sendiri oleh guru-
kelas.
2
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Guru yang “mumpuni” adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan
belajar-mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan
memperhatikan kemampuan/ kelemahan setiap individu siswa. Pola kegiatan
pembelajaran ini kita kenal dengan nama lain sebagai individualized educational
program (IEP). Selama proses kegiatan pembelajaran, guru kelas ditantang untuk dapat
memberikan intervensi khusus guna mengatasi bentuk kelainan-kelainan perilaku yang
muncul., agar pembelajaran dapat berjalan lancar.
Oleh sebab itu guru hendaknya dapat menyusun program pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan setiap peserta didiknya, berisikan cara atau bentuk intervensi yang
akan dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada saat pembelajaran berlangsung.
Intervensi-khusus yang dipersiapkan guru bisa berbentuk suatu pola latihan-khusus atau
dapat juga disusun dalam bentuk motivasi yang menggunakan cara reinforcement,
disertai dengan pemberian petunjuk-petunjuk khusus (signal cues) yang dilakukan
dengan keterarahanwajah bagi anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara (hearing
and language impairment).
Cara pemberian reinforcement oleh guru atau penguatan perilaku terhadap
peserta didik dapat dicapai secara optimal manakala guru-kelas benar-benar memahami
dan mengetahui secara tepat perilaku sasaran (target behavior) dari masing-masing siswa.
Umumnya guru bersangkutan secara terus-menerus harus mampu mempelajari dan
memahami pengetahuan tentang teori belajar yang menerapkan operant conditioning
(antecedent, behavior, dan consequences atau ABC Model (Wallace & Kauffman, 1978
dalam Patton, 1986:97; Schloss, 1984:83).
3
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Operant conditioning merupakan cara pemberian motivasi belajar melalui
modifikasi perilaku sasaran yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan, serta
disusun secara sistematik. Terdapat tiga motivasi belajar, yaitu: (1) social reinforccment
misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan anak, atau memeluk dengan sepenuh
perasaan; (2) tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang atau ganjaran
berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan seperti
diberikannya suatu kegiatan bermain, pemberian waktu bebas, mendengarkan musik
kesukaannya, dan (3) negative consequences, diberikan jika muncul perilaku-perilaku
yang tidak diharapkan, misalnya pemberian “time out” atau istirahat dari kegiatan yang
sedang berlangsung terhadap anak yang menunjukkan perilaku suka mengamuk, atau
mengganggu.
Perbedaan karakteristik setiap peserta didik dengan kebutuhan khusus,
memerlukan kemampuan guru berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan
dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek yang meliputi: kemampuan berfikir, melihat,
mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi yang kesemuanya itu di arahkan ke pada
keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku ke arah
kedewasaan. Kemampuan guru semacam itu, merupakan kemahiran seorang guru dalam
menyelaraskan keberadaan siswanya dengan kurikulum yang ada kemudian diramu
sedemikian rupa menjadi sebuah program pembelajaran individual. Program
pembelajaran individual tersebut diarahkan kepada hasil akhir berupa kemandirian setiap
siswa. Kemandirian setiap peserta didik sangat berguna bagi diri peserta didik
bersangkutan untuk dapat hidup dan menghidupi diri pribadinya tanpa bantuan-khusus
4
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dari orang lain. Bantuan khusus dimaksudkan adalah pertolongan-pertolongan khusus
dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah peserta didik bersangkutan
menyelesaikan program pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran
semacam ini secara konseptual adalah mengarahkan para siswa dengan kebutuhan khusus
untuk mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berperilaku adaptif.
Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat
mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat
lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan kemampuan berperilaku
merespon tuntutan lingkungan, melalui komposisi beberapa aspek perilaku dan fungsinya
dengan melibatkan salah satu kemampuan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan.
Beberapa kombinasi yang terlibat dalam keseluruhan proses penyesuaian meliputi aspek-
aspek: intektual, fisik, gerak, motivasi diri, sosial dan sensori (Smith, et al., 2002:95;
Patton, et al., 1986:131; Kelly & Vergason, 1978:5).
Model pembelajaran terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, yang
dipersiapkan oleh para guru di sekolah, ditujukan agar peserta didik mampu untuk
berinteraksi terhadap lingkungan sosial yang disusun secara khusus melalui penggalian
kemampuan diri peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada kurikulum
berbasis kompetensi sesuai dengan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang telah
dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi ini
terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi: kompetensi fisik, kompetensi afektif,
kompetensi sehari-hari, dan kompetensi akademik (Greenspan, 1997:131, dalam Smith et
al., 2002:95).
5
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Selanjutnya model bimbingan terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus
seyogyanya difokuskan dahulu terhadap perilaku yang non-adaptif atau perilaku salah
suai sebelum mereka melakukan kegiatan program pembelajaran individual. Bimbingan
semacam ini akan dapat diterapkan melalui upaya-upaya pengkondisian lingkungan yang
dapat mencapai perkembangan optimal dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku
efektif sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya dengan mengacu kepada teori-teori
tentang perkembangan kepribadian dari Freud, Erickson, dan Maslow yang
dikembangkan sesuai dengan “keberadaan” peserta didik di sekolah (Gumaer, J., 1984:7;
Kartadinata, S., 2002:1).
6
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
BAB II
PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL
Sebutan populer untuk program pembelajaran individual seperti yang telah
disebutkan dalam bab pendahuluan adalah individualized educational program (IEP).
Program tersebut diprakarsai oleh Samuel Gridley Howe tahun 1871 (Abdurrahman, M.
1995:1). Bentuk pembelajaran semacam ini merupakan layanan yang lebih terfokuskan
kepada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. IEP sangat erat kaitannya
dengan tiga komponen utama, yaitu:
(1) Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah
dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi
berkaitan dengan tingkat kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para guru
kelas dapat mengetahui secara pasti kebutuhan pembelajaran yang sesuai untuk
siswa yang bersangkutan. Informasi umumnya berkaitan dengan kemampuan-
kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampilan untuk menolong diri
sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bakat vokasional, dan tingkat kemampuan
berkomunikasi. Tingkat prestasi mengacu kepada pernyataan yang bersifat data-
spesifik tentang bidang studi yang dapat dipakai sebagai sasaran pembelajaran, dan
lebih menekankan kepada informasi pada aspek-aspek positif dari setiap peserta
didik, artinya memandang anak didik dengan kebutuhan khusus dengan apa yang
bisa ia lakukan, bukan dengan memandang “kelainan” apa yang ia sandang dan
menjadi hambatan pembelajarannya.
(2). Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci
komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka-panjang
7
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara
(terminal goals) yang dituangkan ke dalam program semester.
(3). Sasaran jangka-pendek atau Short-Term Objective. Sasaran jangka-pendek ini
bersifat “sasaran antara” yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang
berjalan. Sasaran ini semestinya sudah dikonsepkan oleh guru kelas sebelum
penerapan program IEP, sehingga dipakai sebagai acuan dalam proses
pembelajaran dan dikembangkan guna mencapai kemampuan-kemampuan yang
lebih spesifik (dapat diamati dan dapat diukur). Kemampuan spesifik itu
berorientasi kepada kebutuhan siswa bersangkutan (student-oriented), dan
mengarah kepada hal-hal yang positif . Kemampuan spesifik itu hendaknya dapat
memenuhi kriteria-kriteria keberhasilan tertentu untuk suatu tugas yang
disampaikan kepada peserta didik bersangkutan dalam upaya mencapai sasaran
tahunan saat disampaikan dalam proses pembelajaran (Polloway, E. A. and Patton
J,R,; 1993:41-45).
Perlu diperhatikan bahwa tugas-tugas yang disampaikan dalam IEP hendaknya
mengarah kepada perkembangan kedewasaan anak sesuai dengan sasaran akhir jangka
pendek yang konsisten dengan sasaran jangka-tahunan. Sasaran-sasaran tersebut dipilah-
pilah menjadi bagian demi bagian sehingga tugas-tugas dapat mudah dilakukan oleh
peserta didik bersangkutan (bersifat task-analysis). Dengan demikian maka IEP
merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu kepada perkembangan keterampilan
khusus dan perilaku adaptif dan sesuai dengan penggunaan model ABC pada Operant
Conditioning.
8
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Karena mengacu kepada satu sasaran utama, yaitu annual goals, maka dalam
program semacam ini diperlukan perumusan tujuan pembelajaran khusus dengan
menggunakan kata kerja operasional (umumnya mengutamakan ranah psikomotor, dari
pada penggunaan ranah pengetahuan atau afektif) untuk setiap tujuan yang akan dicapai
dalam program pembelajaran, melalui suatu kegiatan belajar-mengajar (Abdurrahman.
M., 1995:4).
Kemampuan, kelemahan, minat peserta didik, dan tujuan kurikuler yang
ditetapkan merupakan titik awal guna mengembangkan tujuan-tujuan khusus
pembelajaran. Informasi untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan peserta didik,
diperoleh melalui:
(1) hasil tes-awal atau pre tes, sebelum peserta didik melaksanakan suatu program
pembelajaran, dilakukan dengan pengamatan oleh tim-terpadu dari beberapa disiplin
ilmu termasuk guru-kelas dan orang tua peserta didik dan tes-tes tertentu yang sesuai
dengan kondisi dan keberadaan peserta didik,
(2) hasil-hasil tes formal selama proses identifikasi dan seleksi,
(3) hasil evaluasi dan pengamatan informal oleh guru kelas dan guru bidang studi,
(4) hasil survey tentang minat dan kebutuhan sebenarnya dari peserta didik bersangkutan,
(5) hasil evaluasi terhadap pendapat orang tua peserta didik melalui daftar cek atau
kuesioner.
(6) hasil informasi dari berbagai sumber yang relevan misalnya data dari guru bidang
studi, kepala sekolah, ahli terapi, kalangan medis dan para-medis. Semua hasil
analisis terhadap informasi tersebut dapat menentukan profil peserta didik
9
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
bersangkutan. Hasil analisis sangat membantu guru kelas dalam membuat dan
menentukan bentuk-bentuk intervensi program pembelajaran yang bersifat individu.
Saat dilakukan kegiatan skrining pada calon siswa untuk ditentukan secara pasti
sebagai siswa dengan kebutuhan khusus, seorang guru perlu mempertimbangkan
beberapa aspek hasil pantauan dan pengamatan yang tercantum di atas, terutama yang
berkaitan dengan konteks lingkungan. Secara administrasi siklus pengumpulan data dan
penetapan seorang anak sebagai peserta didik dengan kebutuhan khusus yang akan
menerima individualized educational program (IEP), dapat dilihat pada Gambar 2.1
Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi dan Penempatan Peserta Didik ke dalam
Pendidikan Luar Biasa pada halaman berikut.
Menurut Salvia dan Ysseldyke (1981:3-4 dalam Delphie, 2005:36) bahwa skrining atau
asesmen yang dipergunakan dalam lingkungan pendidikan luar biasa merupakan suatu
proses yang beraneka segi (multifaceted process) yang melibatkan lebih dari hanya
sekedar administrasi tes. Proses yang beraneka segi melibatkan tiga aspek pokok, selain
perilaku sasaran (target behavior), yakni: (1) kondisi sebelumnya yang melatarbelakangi
perilaku non-adaptif, atau maladjustment disebut dengan nama lain: antecedent
conditions; (2) karakteristik-karakteristik khusus dari orang/ siswa bersangkutan yang
bersifat pribadi, disebut dengan related personal characteristics; dan (3) konsekuensi-
konsekuensi yang akan diterima setelah dilakukannya program pembelajaran individual,
disebut dengan consequences. Semua hasil identifikasi dari nomor (1) sampai (3)
tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan suatu perilaku sasaran yang akan
dikembangkan ke arah perilaku positif dalam suatu program pembelajaran khusus.
10
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi Dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa
(Patton, et al., 1986:319 dalam Delphie, 2005:51)
1. RUJUKAN GURU (Catatan-catatan dari penngawas SD, menghubungi orang tua siswa, observasi guru, dan kemudian memberikan rujukan ke pada Kepala Sekolah)
2. SKRINING OLEH TIM PANITIA (Dilakukan oleh guru, Kepala Sekolah, psikolog, perawat, dokter, ahli terapi –- guna mendapatkan rekomendasi –- dilanjutkan ke prosedur berikutnya atau dikembalikan ke kelas reguler).
6. PROGRAM PENDIDIKAN INDIVIDUAL (IEP)
5. PANITIA PENGESAHAN Terdiri atas: Guru, Orang tua, para ahli pendidikan, Psikolog, Pengawas PLB, Konselor, dan Speech Terapist.
4. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN (Psychological, Sociological, Physical (Medical)
3. REKOMENDASI OLEH 5 KOMPONEN -Orang tua yang memberikan evaluasi tentang anaknya mengenai: cara berbicara, berbahasa, dan daya pendengaran. -Asesmen pendidikan -Laporan hasil Skrining oleh Tim Panitia Khusus -Rujukan dari guru pengamat -Kepala sekolah.
(Waktu Evaluasi: 45 Hari)
7. PENEMPATAN SISWA PADA PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH YANG COCOK
DENGAN KEBERADAANNYA
10 Hari
20 Hari
STOP
STOP
20 Hari
11
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
BAB III
OPERANT CONDITIONING
A. Pengertian
Operant conditioning merupakan pengkondisian karakteristik perilaku tertentu
terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus. Secara alamiah proses dari
pengkondisian karakteristik perilaku tertentu sangat diperlukan terhadap kejadian-
kejadian yang berkaitan dengan perilaku yang mempunyai spesifikasi sulit.
Kemungkinan diterapkannya operant conditioning terhadap perilaku-perilaku khusus
berkaitan dengan seringnya kemunculan perilaku salah suai berhubungan dengan waktu
dan intensitasnya. Cohen, Liebson dan Fallace (1971) dalam penelitiannya telah
memanfaatkan situasi kebiasaan minum minuman beralkohol terhadap para pemabuk
berusia 39 tahun yang menjadi responden penelitiannya, untuk mengevaluasi pengaruh-
pengaruhnya terhadap perilaku tertentu. Sebagai alat intervensi adalah 24 ons ethanol
setiap hari, sedangkan keseluruhan minuman beralkohol yang dikonsumsi selama
kegiatan tergantung pada ukuran masing-masing responden. Ketika operant conditioning
mempunyai pengaruh, subjek ditempatkan dalam lingkungan yang mengkonsumsi susu
kadar tinggi. Tindakan ini dilakukan jika subjek mengkonsumsi kurang dari 5 ons
ethanol dalam minuman beralkohol setiap harinya. Pola penguatan atau reinforcement
terhadap responden berupa negative consequences, yaitu jika mengkonsumsi lebih dari
ukuran 5 ons ethanol setiap hari maka yang bersangkutan akan berakibat kehilangan hak-
hak istimewa untuk hari-hari berikutnya.
12
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Situasi minum sehari-hari memerlukan pengamatan terhadp perubahan-
perubahan dalam cara minum sebagai fungsi dari kemungkinan-kemungkinan
diterapkannya operant conditioning. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh,
maka subjek atau pelaku diarahkan untuk meminum ethanol pada tingkat di bawah 5 ons
perharinya. Operant conditioning ini dipergunakan juga untuk hal yang sama terhadap
efek-efek penguatan melalui pemberian uang dan diberikannya kesempatan berkunjung
ke teman kencannya dalam upaya menurunkan kebiasaan meminum jenis minuman keras
atau beralkohol tinggi.
Seperti apa yang dipahami oleh Skinner (1938), operant conditioning
merupakan intervensi-pembelajaran yang esensial terhadap perilaku yang dapat
mempengaruhi consequences (s) sebagai bentuk paradigma yang sederhana untuk dipakai
sebagai “penguatan yang bersifat positif” atau positive reinforcement: R SR .
Kemungkinan yang muncul akibat reinforcement ( S R ) akan terjadi respon khusus ( R )
Kesatuan hubungan yang terjadi diantara respons dan reinforcement merupakan salah
satu faktor operant yang sangat berbeda dari kondisi yang dilakukan oleh Pavlov.
Di sisi lain, secara esensial paradigma Thorndike (1911) berkaitan dengan “low
of effect” menyatakan bahwa respon-respon yang diikuti dengan adanya akibat
(consequences) yang memuaskan menjadikan hubungan situasi lebih kuat. Sebagai
contoh dari operant conditioning, seekor tikus dalam operant Chamber sebagai penguat -
--- diberi penguatan melalui makanan, kemudian penguat lebih mendapatkan tekanan jika
respon diberi penguatan hanya sebagai bentuk rangsangan khusus berupa stimulus yang
diskriminatif ( S R ), maka paradigma menjadi S D R S R . Sebagai
13
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
contoh, tikus diberi penguatan ( S R ) sebagai bentuk penekanan terhadap respon ( R )
terhadap cahaya yang diberikan bersamaan dengan pemberian makanan ( S D ).
Lebih jauh, Skinner telah mengemukakan pendapatnya bahwa tugas utama ilmu
psikologi hendaknya dapat menganalisis fungsional perilaku. Seorang ahli psikologi
mampu menentukan apa fungsi dari perilaku penyebab (antecedents ) dan akibat perilaku
(consequences). Pendekatan ini berdasarkan atas suatu model perilaku yang telah
dipergunakan secara luas sebagai bentuk pendekatan operant terhadap perilaku manusia,
sehingga pendekatan dalam mengkarakteristikkan respon atau perilaku ini menjadi
“model perilaku” yang menerapkan pendekatan pengkarakteristikkan perilaku manusia
seperti berikut.
Operant conditioning merupakan faktor penting dalam pengembangan berbagai
bentuk perilaku bermain dan perilaku sosial anak disamping dapat meningkatkan harga-
diri dan kemampuan kontrol-diri (Bijaou & Baer, 1967). Selanjutnya Skinner
mengaplikasikan konsep-konsep operant untuk memahami kehidupan sehari-hari (1953),
dan pengembangan masyarakat yang tidak praktis (1948).
Aspek-aspek utama operant conditioning dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Acquisition atau kemahiran: merupakan tanggapan-tanggapan diikuti dengan
penguatan dan peningkatan kekuatan respon hingga mencapai maksimal.
A B C (Antecedents) (Behavior) (Consequences)
14
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
2. Extinction occurs atau terjadinya penghentian: jika respon yang terjadi tidak
sesuai maka dengan waktu tidak lama secara bersamaan dengan dilakukannya
penguatan, kegiatan yang sedang berlangsung dihentikan juga. Hal ini
dimungkinkan terjadi penerimaan perilaku yang terjadi hanya sekali.
3. Spontaneous Recovery atau rekoveri secara spontan: dilakukan dalam situasi
beberapa saat setelah extinction dimana terjadi lagi respon-respon organ tubuh
tetapi pada tingkat rendah.
4. Generalization and Discrimination atau penggeneralisasian dan diskriminasi:
bila tanggapan-tanggapan mengarah kepada terjadinya satu stimulus
diskriminatif, anak akan melakukan respon terhadap rangsangan atau stimuli yang
sama tetapi secara eksplisit tidak terjadi penguatan dalam merespon terhadap
stimulus ke dua. Alat organ tubuh secara umum akan mempelajari respon hanya
pada stimulus atau rangsangan yang pertama.
5. Punishment atau hukuman: tanggapan-tanggapan menjadi lebih rendah jika
dilakukan hukuman positif atau penarikan rangsangan-keinginan (yang bersifat
hukuman negatif). Karena hukuman khusus berupa penguatan hukuman yang
positif mempunyai variasi dari consequences yang tidak diinginkan. Dalam hal
ini para ahli operant menyarankan cara lain berupa kontrol-perilaku (behavioral
control).
15
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
B. Isue-isue Penting dalam Operant Conditioning berupa:
a. Nature of the Operant
Konsep-konsepnya berdasarkan suatu pandangan yang menyatakan bahwa
walaupun kita sering membicarakan tentang tanggapan-tanggapan konsep Skinner (1928)
tentang operant atau penguatan yang menitikberatkan hasil keluaran secara khusus dari
pada hanya respon-respon atau tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh gerakan-
gerakan otot tertentu secara khusus. Bila anak menerima penguatan untuk melakukan
dorongan terhadap panel (sebagai instrumen tertentu), maka dorongan terhadap panel
merupakan pengkondisian tertentu. Tidak perduli apakah anak menekan dengan
menggunakan tangan yang kiri atau kanan, dengan kaki kiri atau kanan bahkan mungkin
dengan hidungnya. Dalam keadaan seperti ini, pengaruh perilaku lebih dipentingkan dari
pada bentuk tanggapan atau respon.
b. Timing of Reinforcement and Punishment atau waktu untuk melakukan penguatan dan
hukuman.
Secara umum, rangsangan penguatan dan hukuman dapat mempengaruhi kinerja
yang tinggi jika secara segera diikuti dengan respon yang terjadi antara “target
responses” dan “reinforcement”. Respon tersebut akan menjadi lebih dikuatkan
Hukuman seringkali lebih efektif jika disampaikan terhadap anak manakala
anak menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan respon yang tidak menyenangkan
atau tidak diharapkan. Pada anak yang berusia lebih dewasa, waktu antara respon dan
reinforcement atau punishment dapat dijembatani melalui ucapan-ucapan dari guru
kelas selaku konselor.
16
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Sewaktu reinforcement dan punishment dilakukan, kata-kata yang digunakan
hendaknya dapat mengarah kepada situasi asli sewaktu perilaku anak bersangutan
muncul. Aronfreed (1968) telah mendemonstrasikan bagaimana seorang konselor
meningkatkan keefektifan suatu hukuman yang ditunda dalam upaya menghambat
perilaku salah suai yang tidak diinginkan.
c.. Schedule of reinforcement
Tanggapan atau respon hanya dapat diperkuat bersifat sebentar, tidak bersifat
secara terus-menerus. Misalnya, reinforcement dapat dilakukan setelah respon yang ke
empat dan tidak diberikan untuk setiap kali adanya respon. Salah satu penemuan Skinner
yang menyatakan bahwa pemberian penguatan secara temporer atau bersifat sebentar, dan
dilakukan secara sistematik dapat meningkatkan perilaku yang baik secara terus-menerus.
Pemberian penguatan terhadap respon secara bagian per bagian jauh lebih bersifat
melawan terhadap pemunahan perilaku salah suai dari pada jika dilakukan secara 100%
terhadap penguatan respon-respon.
d. Primary Vs Conditioned (Secondary) Reinforces
Stimuli atau rangsangan yang berbeda merupakan penguatan yang diberikan
terhadap anak-anak dan orang dewasa dengan membuat penguatan-penguatan yang
bersifat universal dan bersifat menyulitkan untuk diidentifikasi, mempunyai jenjang yng
berbeda setiap reinforcer tertentu meskipun hanya beberapa bagian, seperti permen karet
mempunyai kegunaan yang tinggi untuk diterapkan terhadap beberapa anak muda.
17
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Keistimewaan yang dikandung dalam nilai-nilai reinforcers adalah dapat
dipergunakannya untuk menyusun prinsip-prinsip yang berhubungan dengan prinsip-
prinsip metode pembelajaran yang bersifat mengaktifkan para peserta didiknya untuk
melakukan penemuan sendiri (inquary).
e. Positive and Negative Reinforcement
Penguatan yang diberikan terhadap peserta didik hendaknya dapat meningkatkan
perilaku non-adaptif menjadi perilaku adaptif. Penguatan bersifat positif dapat terjadi
ketika respon atau tanggapan diikuti dengan pemunculan kejadian-kejadian yang lebih
baik. Penguatan negatif terjadi ketika tanggapan diikuti dengan penghentian dari
kejadian yang tidak diharapkan.
f. Shaping atau pengkondisian
Terkadang tanggapan yang diinginkan tidak terjadi pada pengulangan perilaku
pada suatu kasus yang tidak terjadi atau tidak diikuti dengan tanggapan atau respon,
sehingga memerlukan penguatan. Seperti yang terjadi pada kasus operant psikologis
dengan menggunakan shaping atau pengkondisian. Kasus tersebut telah diteliti oleh
Harris, Wolf dan Baer di tahun 1964 dengan cara mengamati anak remaja yang sedang
asyik bermain sendirian tanpa teman.
Berdasarkan perkembangan sosial anak, maka pengkondisian terhadap anak
remaja dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sasaran perilaku atau “behavior
target” melalui permainan interaktif bersama dengan anak-anak lain. Kegiatan
permainan ini diarahkan oleh guru pada tingkat sekolah dasar agar guru dapat melakukan
penguatan dengan cara memperhatikan dan menyetujui saat individu anak melakukan
18
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
permainan interaktif. Guru hendaknya tidak bersikap “acuh” saat peserta didiknya
bermain sendirian tanpa teman, tetapi berilah penguatan terhadap peserta didiknya
terutama saat bersangkutan melihat anak-anak lain sedang bermain bersama-sama.
Selanjutnya arahkan individu anak untuk turut serta dalam permainan bersama teman-
temannya. Permainan secara interaktif dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran tertentu
sangat sukses khususnya saat dilakukan pengendalian perilaku tertentu atau shaping.
g.. Implication for Educators atau implikasi untuk para guru
Para guru dan mereka yang menangani anak-anak yang mempunyai perilaku
tertentu, hendaknya lebih sensitif saat mereka berinteraksi. Perilaku peserta didik yang
kurang hati-hati seringkali perlu mendapat penguatan atau hukuman. Lebih jauh,
penentuan persepsi peserta didik bersangkutan apakah diperlukan bentuk-bentuk
pemberian hadiah atau hukuman. Misalnya, Guru kelas selaku konselor memberikan
teriakan-teriakan terhadap peserta didik yang berkelakuan salah suai yang dianggap tidak
baik. Teriakan guru tersebut dapat menjadi suatu hukuman bagi peserta didik
bersangkutan. Sangat mungkin terjadi pemberian penguatan hanya bersifat sementara
terhadap perilaku salah suai, yang kemunculannya tidak diinginkan. Tetapi dapat
diterapkan sepanjang dapat meningkatkan secara terus-menerus bentuk “pemadaman”
atau penghentian perilaku yang tidak diinginkan, bersifat extinction.
Dalam mengatasi peserta didik berkebutuhan khusus, khususnya mereka yang
menyandang kelainan hambatan perkembangan mental, diharapkan guru kelas akan lebih
19
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
banyak memberikan penguatan yang bersifat “tangible’ dalam upaya pembentukan
kinerja peserta didik.
20
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
BAB IV
KARAKTERISTIK ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
(Children with Special needs)
Anak dengan Kebutuhan khusus yamg paling banyak mendapat perhatian guru
menurut Kauffman & Hallahan ( 2005:28-45), antara lain adalah sebagai berikut.
a. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya
perkembangan (Child with development impairment),
b .Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific
Learning Disability)
c. Hyperactive (Attention Deficit Hyperactive with Disorder)
d. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
e. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness)
f. Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang
mengalami hambatan dalam penglihatan
g. Anak Autistik (Autistic children)
h. Tunadaksa (Physical disability)
i. Tuna ganda (Multiple Handicapped)
l. Anak berbakat (Giftedness and special talents).
21
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
A. ANAK TUNAGRAHITA
(ANAK DENGAN HENDAYA PERKEMBANGAN)
1. Karakteristik
Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di
bawah rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif
selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan
batasan dari AAMD (Grossman,1983:11) sebagai berikut.
“Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior and manifested during the developmental period” (Smith, Ittenbach, and Patton, 2002:54; Hallahan & Kauffman, 1991:80).
Definisi AAMD (1983) mengisyaratkan adanya: kemampuan intelektual jika
diukur dengan WISC-III (1991) mempunyai skor IQ 70. dan mempunyai hambatan pada
komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adptif (adaptive behavior).
Dewasa ini berdasarkan hasil penelitian dari Greenspan’s (1997) berkaitan dengan
keterampilan praktis, keterampilan konseptual dan keterampilan sosial, maka pengertian
perilaku adaptif mengalami perubahan pandangan semula perilaku adaptif hanya bersifat
komponen pelengkap yang dianggap kalah pentingnya dengan kemampuan intelektual
sekarang perilaku adaptif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam
menentukan apakah seorang-individu termasuk sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang
perilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk di observasi meliputi:
1). Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum,
menyuap, berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara kesehatan diri.
2). Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak (gross dan fine motor).
22
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
3). Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.
4).Ketrampilan sosial, meliputi keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi,
berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, perilaku
seksual, tanggungjawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang,
dan ekspresi emosi.
5). Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti pengetahuan tentang
warna), membaca, menulis, fungsi –fungsi: pengenalan terhadap angka, waktu,
uang dan pengukuran.
6). Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan
dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri, memelihara
diri secara praktis.
7). Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, kegiatan di bank, dan
cara mengatur pembelanjaan.
8).Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki
barang-barang yang ada di rumah, cara membersihkan atau mencuci, keterampilan
dapur, dan menjaga keselamatan rumahtangga.
9). orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan, memanfaatkan
sumber-sumber lingkungan, penggunaan telepon, menjag`a keselamatan
lingkungan.
10). Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta perilakunya, keterampilan
mencari pekerjaan, penampilan diri sebagai karyawan/pekerja, perilaku sosial dalam
pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja. (Smith dkk, 2002:99).
23
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka karakteristik anak dengan hendaya
perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut.
a) Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang
tidak menyandang tunagrahita.
b) Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan
(expectancy for filure).
c) Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-
kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).
d) Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri-sendiri.
e).Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (sociobehavioral)..
f). Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
g).Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan.
h). Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.
i). Kurang mampu untuk berkomunikasi.
j). Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.
k).Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif –
menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al., 2002:278-289).
2. Perspektif Berdasarkan Definisi
Dewasa ini definisi dari American Association on Mental Disorder (AAMD) dari
Grossman (1983), bergeser dan digantikan dengan definisi American Association of
Mental Retardation dari Luckasson (1992). Definisi AAMR (1992) menyatakan bahwa:
24
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Mental Retardation “refers to substantial limitations in present functioning. It is characterized by significantly subaverage intellectual functioning, existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive skills areas: communication, self-care, home living, social skills, community use, self direction, health and safet, functional academic, leisure and work. Mental retardation menifests before age 18” (Luckasson, 1992:1 dalam Snith, et al. 2002:56).
Secara implisit definisi tersebut mengemukakan adanya empat fungsi yang
esensial dan perlu mendapatkan perhatian saat penerapan di lapangan. Keempat fungsi
tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.
1). Saat proses asesmen diterapkan, asesmen dapat dikatakan valid bila penggunaan
instrumen dan proses kegiatannya memperhatikan aspek-aspek: budaya dan
perbedaan linguistik, dan cara melakukan komunikasi serta faktor-faktor berkaitan
dengan perilaku.
2). Terjadinya keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri (adaptive behavior)
berkaitan erat dengan lingkungan kehidupan yang bersifat khusus dari pasangan se-
umurnya. Keterbatasan penyesuaian diri dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa anak
dengan hambatan perkembangan yang bersangkutan memerlukan bantuan layanan
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
3). Keterbatasan dalam menyesuaikan diri selalu diikuti dengan kemunculan kemampuan
pribadi lainnya
4). Melalui bantuan layanan dalam periode waktu yang cukup lama secara terus-menerus,
keberfungsian kehidupan pribadi anak dengan hambatan perkembangan pada
umumnya dapat meningkat.
25
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Terdapat beberapa perubahan yang signifikan yang muncul pada definisi
AAMR (Luckasson, 1992) yang belum nampak pada definisi AAMD (Grossman, 1983),
antra lain meliputi:
1). Spesifikasi perilaku non-adaptif ditentukan dengan melihat adanya dua atau lebih
“kelainan” yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan adaptif, yakni:
komunikasi, bina-diri, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah, keterampilan sosial,
kemampuan menggunakan peralatan yang ada di rumah, mengatur diri-sendiri,
menjaga kesehatan dan keselamatan diri, kemampuan akademik, pekerjaan, dan cara
menggunakan waktu luang.
2).Terdapat tiga langkah prosedur pemberian layanan anak dengan hendaya
perkembangan berkaitan dengan pola mendiagnosis, pola mengklasifikasikan, dan
pola mengidentifikasi. Langkah-langkah dari ketiga prosedur tersebut adalah:
Langkah pertama: Melakukan diagnosa berkaitan dengan ketidakmampuan diri
terhadap sepuluh daerah keterampilan (dua atau lebih); Langkah kedua: Melakukan
klasifikasi dan pendeskripsian kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan terhadap
layanan khususnya; Langkah ketiga: Menentukan profil dan intensitas kebutuhan
khusus, meliptui tiga dimensi yakni: dimensi 1 berupa keberfungsian intelektual dan
keterampilan dalam penyesuaian diri, dimensi 2: mempertimbangkan faktor
psikologis dan emosional, dimensi 3: mempertimbangkan kesehatan pribadi/ etiologi,
dan dimensi 4: pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.
3). Terdapat sistem baru dalam pengklasifikasian setiap pribadi anak yang mempunyai
hendaya perkembangan berkaitan dengan rekomendasi terhadap sampai sejauhmana
“tingkat keberadaannya” (intermittent atau sewaktu-waktu/ tingkat ringan, limited
26
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
atau secara terbatas/ tingkat sedang, extensive atau secara meluas/ tingkat berat,
pervasive atau menembus sesuai dengan keperluannya/ tingkat sangat berat). Ini
berarti klasifikasi tidak berdasarkan atas skor intelligence quotients.
4).Perkembangan profil kebutuhan layanan akan berdasarkan pada empat dimensi yaitu:
a). Keberfungsian intelektual dan kemampuan beradaptasi
b).Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan psikologikal/ emosional
c) Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kesehatan/ etiologi
d). Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.
Instrumen asesmen yang menghasilkan: skor IQ yaitu Wechsler Intelligence
Scale for Children-Revised (WISC-R), dan The AAMD Adaptive Behavior Scale-School
Edition atau The Adaptive Behavior Inventory for Children (ABIC) yang menghasilkan
informasi berkaitan dengan perilaku adaptif yang bersifat non-akademik, sudah tidak
sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia dalam penentuan klasifikasi terhadap anak
dengan hendaya perkembangan serta patokan dalam pemberian layanan khusus
terhadapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pendapat para ahli yang
menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan jika bentuk tes tersebut di terapkan pada
wilayah di luar Amerika Serikat.
Hallahan dan Kauffman (1991:93), menyatakan bahwa ada empat hal yang
perlu diperhatikan bila kedua tes, yaitu: WISC-R dan AAMD Adaptive Behavior Scale-
School Edition atau Adaptive Behavior Inventory for Children akan diterapkan di
lapangan, antara lain sebagai berikut di bawah ini.
1). Kemampuan individu akan berubah secara dramatis dari waktu ke waktu sehingga
memungkinkan skor IQ berubah pula.
27
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
2). Seluruh item tes IQ akan menemui kesulitan bila diterapkan pada anak-anak yang
berlatar belakang di luar budaya bangsa Amerika dimana instrumen tersebut dibuat.
3). Tes IQ terhadap anak usia dini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan, padahal
validitasnya cukup tinggi. Terhadap anak usia muda dan dewasa tes IQ mempunyai
validitas dan reliabilitas berkecenderungan sangat rendah.
4). Tes IQ bukan “merupakan titik awal dan titik akhir” atau “Be–all and end-all” untuk
dipergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kemampuan individu secara menyeluruh
dalam fungsi kehidupan sosial.
3. Perspektif Sosiologikal Anak dengan Hendaya Perkembangan
Jane Mercer (1973 dalam Patton, 1986:48) kurang menyetujui penggunaan
suatu pendekatan yang berhubungan dengan pembatasan atau definisi mengenai
“ketunagrahitaan” seperti yang telah dikemukakan oleh Heber (definisi tahun 1959 dan
1961) maupun Grossman (definisi tahun 1973 dan 1983) dalam menentukan apa yang
disebut dengan “ketidaknormalan perilaku”
Pendekatan atau definisi Heber dan Grossman merupakan pandangan yang
bersifat tradisional atas dasar perspektif klinis dan patologis/ medis, dan model statistik.
Model patologis memandang suatu “ketunagrahitaan” sebagai bentuk “kelainan” akibat
penyakit atau a disease, ditandai dengan kemunculan gejala-gejala (symptoms).
Model statistik selalu mengidentifikasikan satu bagian tertentu dari suatu
populasi yang dianggap abnormal. Model statistik membuat perbedaan antara seorang
individu dengan cara membandingkan prestasi individu dengan prestasi yang dianggap
kelompok “normal” Pendekatan patologis dan statistik semestinya hanya cocok
28
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dipergunakan dalam kegiatan mengidentifikasi terhadap kasus-kasus atau pokok-pokok
persoalan yang ada pada anak dengan hendaya perkembangan.
Dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam definisi AAMD (Grossman, 1983)
kurang memuaskan karena mengandung aspek-aspek pendekatan tradisional ke arah
patologis dan statistik. Sebagai alternatif pemecahan, Jane Mercer mengemukakan
perspektif sistem-sosial ( a social system perspective). Sistem ini dapat dipakai sebagai
pencapaian status-sosial seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu dimana individu
bersangkutan tinggal. Ia menyatakan sebagai berikut.
“The status of mental retardate is associated with a role which person occupaying that status are expected to play. A person’s career in acquaring the status playing the role of mental retardate can be described in the same fashion as the career of a person who acquaries any other status such as lawyer, bank president or teacher” (Mercer, 1974 dalam Patton, 1986:46).
Berdasarkan pernyataan Mercer tersebut di atas maka pendekatan dengan sistem
sosial memungkinkan diterapkan sebagai pola keseimbangan dalam masyarakat terhadap
sejumlah anak-anak usia sekolah dari kelompok sosial-ekonomi yang rendah dan budaya
minoritas saat menentukan atau memberi batasan terhadap individu yang dinyatakan
sebagai anak dengan hendaya perkembangan.
4. Perspektif Psikometrik Anak dengan Hendaya Perkembangan
Psikometrik merupakan ukuran variabel patologis berkaitan dengan inteligensi,
kemampuan berperilaku adaptif, dan kelainan atau gangguan emosional. Memperhatikan
definisi anak dengan hendaya perkembangan dari Grosman (1983) maka akan nampak
secara jelas kelemahan-kelemahan dari definisi ini. Hal ini terjadi disebabkan dalam
29
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
definisi tersebut hanya bersifat perbandingan secara garis besar dari individu tertentu
yang diidentifikasikan sebagai “anak dengan hendaya perkembangan”.
Dapat dikatakan bahwa definisi tersebut kurang dapat mewakili sebagai bentuk
diagnosa secara objektif. Alasan untuk hal ini antara lain:
1) tidak praktis atau susah dalam penerapannya, karena dalam definisi tidak dilengkapi
dengan keobjektifan diagnosis,
2) IQ tes tidak mampu untuk menguji: rasa takut (anxiety), kesehatan yang rendah (poor
healthy), dan kelangkaan motivasi (lack of motivation). Keadaan yang berkaitan
dengan rasa takut dan kelangkaan motivasi sesungguhnya berkaitan dengan prestasi
seseorang.
3) IQ tes dilakukan sepenuhnya dengan secara lisan (verbal). Ini berarti bahwa terhadap
anak dengan kebutuhan khusus, IQ tes tidak dapat diterapkan karena sebagian besar
mereka tidak mampu untuk melakukan tanya-jawab secara tatap muka seperti anak
“normal”, kecuali dilakukan dengan cara observasi kangsung. Faktor lainnya, tidak
dapat diterapkannya IQ tes disebabkan oleh faktor bahasa (linguistik yang tidak
terstandar seperti Inggris-Amerika) jika dipaksakan diterapkan maka secara otomatis
individu yang bersangkutan langsung menjadi “mentally retarded”
4) IQ memberikan pandangan yang berat sebelah dalam asesmen berkaitan dengan
inteligensi bagi anak-anak yang berasal dari golongan yang berbudaya minoritas dan
kelompok ekonomi-sosial yang rendah (Patton, et al., 1986:50).
Banyak ahli psikologi kurang menyetujui terhadap berbagai aspek yang ada
dalam definisi Grossman (1983), mereka menyatakan sebagai berikut:
30
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1) Landasan dasar pemilihan terhadap kesepuluh wilayah keterampilan berperilaku
adaptif sebagai patokan penentuan perilaku non-adaptif merupakan tindakan yang
sewenang-wenang.
2) Ada beberapa kemampuan perilaku adaptif yang bukan merupakan hal penting untuk
dilakukan suatu diagnosa, seperti: keterampilan menggunakan waktu luang (leisure
time).
3) Keseluruhan pengukuran yang berkaitan dengan perilaku adaptif anak dengan hendaya
perkembangan hanya bersifat teknis (Smith, et al., 2002:101).
5. Perspektif Analisa Perilaku Sosial Anak dengan Hendaya Perkembangan
Sidney Bijou (1966:2) memandang keterbelakangan perkembangan perilaku
merupakan fungsi interaksi seseorang yang diukur sejalan dengan keadaan sosial, pisik,
dan lingkungan biologis dari diri bersangkutan (dalam Patton, 1986:50), seperti
pernyataan di bawah ini:
“Developmental retardation be treated as observable, objectively defined stimulus-response relationships without recourse to hypothetical mental concepts such as “defective intelligence” and hypothetical biological abnormalities such as “clinically inferred brain injury”. From this point of view a retarded individual is one who has limited repertory of behavior shaped by events that constitute the history:”
Sejalan dengan pendapat Bijou, Repp (1983) berpendapat mengenai perspektif
analisa perilaku sosial sebagai berikut: “Definisi dari Bijou berdasarkan atas dua asumsi
penting, yaitu: (1) semua perilaku adaptif dan maladaptif diperoleh dan diputuskan
berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang sama dengan anak dengan hendaya
perkembangan yang mampu belajar walaupun mereka akan belajar lebih lambat
31
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dibandingkan dengan anak “normal”. Jadi sebaiknya mereka tidak belajar dengan
petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan tertentu yang berbeda dengan keberadaannya;
(2) Sudah merupakan suatu asumsi dasar bahwa perilaku seseorang tergantung kepada
kondisi-kondisi lingkungan” (dalam Patton, 1986:50).
Pendekatan analisa perilaku untuk anak dengan hendaya perkembangan dari
Bijou sangat bijaksana bila diterapkan di Indonesia. Dengan demikian maka yang paling
logis berkaitan dengan pemberian definisi anak dengan hendaya perkembangan adalah:
“Sampai sejauhmana kemampuan seseorang mampu mengubah perilakunya sehingga
sesuai dengan kondisi di sekitarnya”. Kemampuan mengubah perilaku sesuai kondisi
sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dengan intervensi-intervensi
yang mengarah kepada penyembuhan. Intervensi yang bersifat penyembuhan dapat
dilakukan dengan menerapkan permainan terapeutik dan pola gerak, karena intervensi ini
bersifat naturalistik, dan mudah diterapkan terhadap anak dengan kebutuhan khusus
(Bijou, 1966; Ullman & krasner, 1969; Repp, 1983; Mercer, 1975: a.b.; dalam Patton, et
al., 1986:52).
Orientasi perilaku sosial meluas melampaui prinsip-prinsip perilaku yang
mendasar termasuk dimensi kepribadian yang dibentuk oleh tiga bentuk dasar perilaku
yaitu: motivasi-emosional, kognitif bahasa, dan sensorimotor. Ketiga dasar perilaku itu
sangat berguna untuk diterapkan pada situasi belajar mengajar. Belajar merupakan suatu
bentuk penjabaran tentang suatu sistem perkembangan perilaku yang kompleks diperoleh
melalui interaksi-individu dengan faktor-faktor lingkungan. Berdasarkan hal ini maka
ketiga bentuk dasar perilaku tersebut di atas dapat dipergunakan saat berlangsungnya
proses pembentukan perilaku seeorang (Staats, 1975; dalam Patton, et al.,1986:52).
32
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Konsekuensi dari pandangan tersebut, maka fokus utama orientasi perilaku sosial bagi
anak dengan hendaya perkembangan mengacu kepada: perkembangan keterampilan atau
kecakapan, kondisi-kondisi pembelajaran (berupa faktor-faktor lingkungan, dan
pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya), dan bentuk-
bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran sedang berlangsung
(Staat & Burn, 1981:290 dalam Patton, 1986:52).
33
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
B. ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR ( LEARNING DISABILITY )
DAN ANAK BERPRESTASI RENDAH
1. Anak dengan Kesulitan Belajar atau Berprestasi Rendah (Learning Disability)
Anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya kita temui di sekolah,
karena mereka pada umumnya tidak mampu menguasai bidang studi tertentu yang
diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Ada sebagian besar dari
mereka mempunyai nilai pelajaran sangat rendah ditandai pula dengan tes IQ berada di
bawah rerata normal. Untuk golongan ini disebut dengan slow learners. Pencapaian
prestasi rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfunction, dyslexia,
atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang berprestasi rendah disebut
dengan istilah Specific Learning Disability, dengan batasan sebagai berikut
“Specific learning disability means a disorder in one or more of the basic physiological processes involved in understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculations. The term includes such condition as perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, and developmental aphasia. The term dos not include children who have learning problems, of mental retardation, of emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic disadvantage” (US Office of Education, 1977: p.65 083; Ashman and Elkins, 1994:242; Hallahan & Kauffman, 1991:126).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka peserta didik yang tergolong dalam specific
learning disability mempunyai karakteristik sebagai berikut.
a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehingga mengganggu
kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis.
34
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
b. Pada umumnya mereka tidak mampu: untuk menjadi pendengar yang baik, untuk
berfikir, untuk berbicara, membaca dan menulis, meng-eja huruf, bahkan
perhitungan yang bersifat matematika.
c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil tes IQ atau tes
prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan berkaitan dengan kegiatan-
kegiatan di sekolah.
d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh: perceptual handicapes, brain injury,
minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental aphasia.
e. Mereka tidak tergolong ke dalam: penyandang tunagrahita, tunalaras, atau mereka
yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau faktor ekonomi.
f. Mempunyai karakteristik khusus berupa: kesulitan di bidang akademik (academic
difficulties), masalah-masalah kognitif (cognitive problems), dan masalah-masalah
emosi-sosial (social-emotional problems).
Di bidang akademik kesulitan yang mereka dapatkan pada bidang studi:
membaca (Berry & Kirk, 1980); menulis dalam menyampaikan ide atau menulis dengan
tangan misalnya dalam menyusun kalimat, mengeja suatu tulisan yang bersifat ceritera
dan melakukan komunikasi melalui tulisan/surat-menyurat; matematika, terutama
pemahaman terhadap konsep-konsep dan cara melakukan perhitungan angka-angka
(Bourke & Reevers, 1977; Mercer & Miller, 1992).
Di bidang kognitif, berkaitan erat dengan kemampuan berfikir. Umumnya peserta
didik yang berprestasi rendah menunjukkan kekurang-mampuan dirinya dalam
mengadaptasi proses informasi yang datang pada dirinya baik melalui penglihatan,
pendengaran, maupun persepsi tubuhnya (visual, auditory and spatial perception).
35
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Mereka memerlukan latihan untuk dapat mengefektifkan daya ingatannya, perhatian dan
kesadaran dirinya terhadap tugas-tugas sesuai dengan karakteristik kelainannya (yang
bersifat memory, attention, and metacognition).
Pada Perkembangan emosi-sosial, ada empat lingkup yang memerlukan perhatian
guru di sekolah, berupa:
1) konsep diri terhadap pisiknya, daya berfikirnya dan sosialnya (self concept)
2) kepercayaan terhadap kesuksesan dalam melakukan tugas (causal
attributions)
3) berhubungan dengan keyakinan dirinya yang kurang menaruh perhatian penuh
terhadap sesuatu (learned helpessness)
4) kemampuan untuk bergaul atau berteman (social interaction).
Frustasi selalu dirasakan oleh anak-anak dengan kesulitan belajar, disebabkan
mereka mempunyai masalah belajar di sekolah walaupun kemampuan inteligensinya
tidak lebih rendah daripada teman-teman sekelasnya yang normal. Umumnya anak
dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai kesulitan belajar satu atau lebih pada
bidang akademik. Mereka juga dimungkinkan mempunyai hendaya-penyerta hiperaktif
dan kurang atensi.
Indikasi untuk anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan
atau terhambatnya perkembangan dalam satu atau beberapa bagian dari proses belajar.
Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih pada proses-proses dasar
pemahaman atau penggunaan bahasa tulis maupun lisan. Contohnya, anak dengan
hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan dalam membaca, menulis, matematika,
36
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
meng-eja huruf, mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat, penyimpangan dalam
keterampilan persepsi, keterampilan gerak, atau pada aspek-aspek belajar lainnya. Oleh
karena itu sebagian besar para ahli banyak menggunakan istilah kesulitan belajar- khusus
(specific learning disability) (Geddes, D., 1981:111; Reynolds, C.R. & Mann, L.,
1987:1483; Lerner, J.W., 1985:7; Ashman, A. & Elkins, J., 1994:241; PL-USA. 94-142).
Istilah kesulitan belajar-khusus (specific learning disablity) banyak diterapkan
oleh para pendidik yang menunjukkan pada indikasi bahwa anak yang bersangkutan
secara jelas mempunyai masalah khusus dalam proses belajar. Sebagai contoh, anak
yang tergolong ke dalam tipe disleksia-visual, yaitu ketidakmampuan membedakan
secara visual menjadi penyebab tidak mampu mengidentifikasi huruf yang bentuknya
hampir serupa, seperti huruf “b” dengan huruf “d”.
Walaupun beberapa anak dengan kesulitan belajar-khusus menunjukkan bukti-
bukti yang kuat adanya cedera pada sistem syaraf pusat, dibandingkan dengan teman-
teman yang normal, namun sesungguhnya mereka hanya mempunyai sistem syaraf pusat
yang tidak berfungsi (dysfunction) dicirikan dengan adanya ketidakberfungsian otaknya
bukan disebabkan adanya cedera pada lapisan otak. Para ahli menyatakan dengan istilah
dysfunction disebabkan tidak ditemukan bukti adanya cedera pada sistem syaraf pusat
secara nyata saat dilakukan diagnosis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar
(Hallahan & Kauffman, 1991:123).
Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar juga mempunyai permasalahan
dalam bidang sosial-emosional. Oleh karena itu pembuatan program pembelajarannya
hendaknya lebih menitik-beratkan ke pada penyesuaian sosial. Melalui latihan-latihan
persepsi dimungkinkan dapat meningkatkan keterampilan perseptualnya. Umumnya
37
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
latihan-latihan persepsi berkaitan erat dengan gerak atau perceptual-motor (Hallahan &
Kauffman, 1991:123). Kekurangan dalam pengalaman satu atau lebih dari komponen-
komponen dasar dalam proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor (sensory
motor & perceptual motor) (Geddes, D., 1981:112; Lerner, J., 1985:265). Kekurangan
itu dapat dijembatani dengan memanfaatkan pola gerak (motor pattern) dan keterampilan
gerak (motor skills) sebagai salah satu upaya intervensi guru dalam pembelajaran
individual terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sehingga dikemudian hari
siswa yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kemampuan secara umum dan
memperoleh peningkatan dalam kehidupannya. Pola gerak (motor-pattern) dan
keterampilan gerak (motor-skills) merupakan landasan utama dalam gerak irama (body
movement) setiap individu.
2. Konsep Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar (Learning Disability)
a). Pengertian Anak dengan Kesulitan Belajar
Permasalahan berkaitan dengan arti kata muncul saat memberikan definisi
terhadap istilah kesulitan belajar (learning disability) yang terjadi saat proses belajar,
ditinjau berdasarkan orientasi yang bersifat pendidikan dan klinis. Para ahli klinis
menyebutnya dengan istilah “ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya
cedera pada otak” (minimal cerebral dysfunction or brain injured) (Geddes, D.,
1981:111; Lerner, J., 1985:51), ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain
dysfunction) (Kelly & Vergason, 1978:91; Lerner, J., 19885:35), disleksia (dyslexia) dan
ketidakmampuan perseptual (perceptual disability)(Ashman, A &Elkins, J., 1994:238).
Di sisi lain, para pendidik menyebutnya dengan istilah: hambatan dalam pendidikan
38
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(educationally handicapped), atau hambatan berkaitan dengan persepsi (perceptually
handicapped). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar, secara umum mempunyai
inteligensi yang berada di rerata normal atau di bawah rerata normal. Bagi mereka yang
dikategorikan sebagai anak dengan inteligensi di bawah normal, tidak diklasifikasikan
sebagai tunagrahita.
Ada dua definisi tentang kesulitan belajar (learning disability) yang sangat
berperan dalam penyusunan definisi yang ada pada Public Law (PL) 94-142, the
Education for All Handicapped Children Act (Departemen Pendidikan Amerika Serikat,
1977). Ke dua definisi tersebut adalah: (1) definisi dari hasil kongres panitia penasihat
nasional untuk anak-anak luar biasa di Amerika Serikat, dikenal dengan nama Congres of
the National Advisory Committee on Handicapped Children (1968), dan (2) definisi dari
panitia kerja sama nasional untuk kesulitan belajar, dikenal dengan nama: the National
Joint Committee on Learning Disabilities (NJCLD) tahun 1981.
Konsep-konsep dasar utama dalam definisi pertama (PL 94-142), memuat empat
hal sebagai berikut:
1) Seseorang dinyatakan mempunyai hendaya kesulitan belajar dalam satu atau lebih
dari proses dasar psikologis (proses mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai
pra-syarat penguasaan suatu keterampilan, seperti: memori, persepsi pendengaran,
persepsi penglihatan, dan berbahasa secara lisan).
2) Seseorang mempunyai hambatan dalam belajar, khususnya berkaitan dengan:
berbicara, mendengarkan, menulis, membaca (seperti, keterampilan mengenali
huruf dan pemahamannya), dan matematika (berupa penghitungan dan
mengemukakan alasan-alasan).
39
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
3) Masalah kesulitan belajar yang ada bukan disebabkan oleh kasus-kasus utama
seperti: hendaya visual dan pendengaran, kelainan-gerak, tunagrahita, gangguan
emosional, gangguan ekonomi, lingkungan atau keadaan yang merugikan yang
diperoleh dari suatu budaya.
4) Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok diantara potensi-nyata belajar
anak dan pencapaian kecakapan taraf rendah dari anak yang bersangkutan.
Sedangkan konsep-konsep utama dari definisi kedua (NJCLD), meliputi hal
sebagai berikut:
1) Hendaya kesulitan belajar merupakan kelompok kelainan yang beraneka-ragam.
Seseorang dengan hendaya kesulitan belajar banyak memunculkan permasalahan
yang berbeda-beda.
2) Permasalahan yang terjadi merupakan masalah yang benar-benar hanya ada pada
perorangan. Diartikan bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi akibat adanya
faktor yang ada pada diri sendiri bukan dari faktor-faktor eksternal seperti: sistem
lingkungan atau sistem pendidikan.
3). Perhatian terhadap hendaya kesulitan belajar hendaknya tertuju pada
ketidakberfungsian sistem syaraf pusat. Karena telah dikenali sebagai masalah
yang mendasar dari faktor bilogis.
4). Hendaya kesulitan belajar, umumnya diikuti dengan kondisi kelainan lain. Telah
diketahui secara nyata bahwa umumnya seseorang dengan hendaya kesulitan belajar
diikuti dengan hendaya-penyerta seperti kelainan emosional pada saat yang
bersamaan.
40
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Menurut Nathan (1963), istilah kesulitan belajar (learning disability) diberikan
kepada anak yang mengalami kegagalan dalam situasi pembelajaran tertentu. Dalam hal
ini belajar didefinisikan sebagai “perubahan perilaku yang terjadi secara terus-menerus
yang tidak diakibatkan oleh kelelahan atau penyakit” (dalam Cruickshank & Hallahan,
1975:4). Maka setiap karakteristik yang bersifat individu merupakan hasil dari
perpaduan pengaruh-pengaruh lingkungan dan kondisi-kondisi genetika, sehingga
variabel-variabel organismik, dan genetika sangat berpengaruh terhadap perilaku selama
lingkungan juga turut berpengaruh. Pengaruh organismik, dan genetika memerlukan
adanya respon lingkungan yang efektif (Throne, 1970, 1972 dalam Cruickshank &
Hallahan, 1975:4).
Perubahan-perubahan dalam perilaku dan belajar setiap individu dapat terjadi
melalui manipulasi variabel lingkungan dan genetika pada situasi khusus dari suatu
perkembangan yang bersifat individu. Sehingga terhadap anak-anak dengan hendaya
kesulitan belajar (learning disability), tunagrahita (mentally retarded), cerebral palsy
mempunyai dampak terhadap kemampuan mengatasi kondisi-kondisi lingkungan secara
luar biasa yang berbeda dengan anak-anak normal. Jika inteligensi didefinisikan secara
operasional sebagai “proses melalui pembelajaran terhadap anak yang menggunakan
sarana budaya dalam upaya untuk mengetahui dan melakukan manipulasi lingkungan”,
maka dapatlah diterima bahwa setiap perkembangan inteligensi secara langsung berkaitan
dengan dukungan yang berhubungan dengan azas keturunan (genetika) dari perseorangan
dan beberapa lingkungan dimana anak hidup. Perbedaan lingkungan mempunyai
pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan inteligensi dan secara relatif proporsi
genetika dan lingkungan akan berbeda-beda pula hasilnya dalam tes inteligensinya.
41
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang
penting bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak-anak. Perhatian terhadap
perbedaan-perbedaan dalam strategi belajar yang memasukkan pengaruh-pengaruh
lingkungan dan perkembangan mental merupakan aspek-aspek kualitatif dari perilaku
anak-anak. Konsep dasar dalam kesehatan anak menyatakan bahwa pemberian makanan
secara tepat dalam kuantitas dan kualitas merupakan pra-syarat bagi pertumbuhan dan
perkembangan optimal bagi bayi dan anak, sehingga malnutrisi saat kehidupan dini
mempunyai kontribusi terhadap keberfungsian di bawah normal dan ketidakmampuan
belajar di kemudian hari (Cruickshank & Hallahan, 1975:27). Interpretasi dari peran
nutrisi terhadap perkembangan mental dan belajar merupakan hal yang rumit, karena
malnutrisi merupakan hasil akhir (out-come) ekologis. Sebagai ilustrasi (pada halaman
berikut), digambarkan beberapa hubungan antara faktor-faktor: biologis, sosial, budaya,
dan ekonomi yang menghasilkan malnutrisi pada masa bayi.
Proses belajar pada seorang anak dilakukan melalui penerimaan secara selektif
dan diterima sebagai masukan sensori yang memberikan informasi berkaitan dengan
lingkungan hidup. Untuk mendapatkan makna, stimuli sensori yang bekerja harus
mampu melakukan proses, dapat menghubungkan, dan berintegrasi dalam kulit lapisan
otak (cortex) untuk menyalurkan informasi dan mendapatkan pengertian yang sama.
Informasi diperoleh melalui kemampuan persepsi dan keterampilan kesadaran-tubuh,
disimpan di otak untuk nantinya digunakan sebagai bentuk respon. Tipe respon antara
lain: berbicara, menulis, meng-eja huruf, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerak,
keterampilan khusus psikomotor (seperti memukul bola).
42
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Keterbelakangan Teknologi Daya beli yang rendah Sebagian besar waktu kerja digunakan sebagai upaya pe- menuhan untuk hidup yang layak. Meningkatnya kemungkinan Meninggalkan sekolah Tidak ada persediaan atau Perkawinan yang tidak ber- pada saat awal. Kelebihan. Pendidikan. Kemungkinan meningkatnya Buta huruf Sumber-sumber yang kurang keluarga besar dalam kepa - memadai atau kelebihan untuk datan ruang. ditabung dalam sanitasi ling - kungan.
Pemeliharaan anak Hilangnya kesempatan untuk Ketekunan terhadap konsep- yang kurang tepat. menerima informasi - konsep kesehatan primitif. informasi yang memadai.
Meningkatnya persentase dari belanja untuk layanan kesehatan.
Anoxia Ketekunan terhadap tradisi
dalam distribusi persediaan INFEKSI makanan yang tak cukup.
Berkurangnya penghasilan oleh adanya anak kecil. Kegagalan untuk mengenal kebutuhan-kebutuhan higienis bayi.
Kesehatan perorangan yang rendah. Berat tubuh yang rendah Sanitasi keluarga yang tidak memadai.
Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah.
(Cruickshank & Hallahan, 1975:30).
Selanjutnya, tingkat kemampuan persepsi perlu adanya pertimbangan terhadap
tingkat yang paling rendah pada jenjang pengalaman-pengalaman belajar dalam kognisi.
Privalensi terjadinya hendaya kelainan belajar pada seorang anak bervariasi dan
sangat sulit disebabkan adanya permasalahan berkaitan dengan semantik (ilmu berkaitan
43
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dengan arti kata) yang terlibat saat memberikan definisi. Kirk (1972, dalam Geddes. D.,
1981:112) menyatakan bahwa privalensi berkisar 3 hingga 15 persen bahkan lebih dari
seluruh populasi anak-anak usia sekolah, Lerner, J. (1985:16) menyatakan bahwa sekitar
satu hingga 30 persen dari populasi anak-anak usia sekolah, Departemen Pendidikan
Amerika Serikat (1989, dalam Hallahan & Kauffman, 1991:127) menyatakan sekitar 4,41
persen dari populasi anak-anak usia sekolah yang berumur diatara 6 hingga 17 tahun.
Penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar (Geddes, 1981:113) adalah:
faktor organ-tubuh (organically based etiologies), dan lingkungan (environmentally
based etiologies). Ahli lainnya menyebutkan bahwa penyebab terjadi anak dengan
hendaya kesulitan belajar adalah disebabkan oleh tiga kategori, yaitu: (1) Faktor organik
dan biologis (organic and biological factors), (2) Faktor genetika (genetic factors), dan
(3) faktor lingkungan (environmental factors) (Hallahan & Kauffman, 1991:128).
Penyebab dari faktor organ tubuh (Geddes, D., 1981:113), disebabkan adanya:
(1) Konsep tentang minimal disfungsi otak: Kegiatan otak yang berada di bawah
optimal tidak terjadi dikarenakan adanya cedera pada struktur lapisan luar otak
(cortex).
(2) Faktor patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi-kondisi
seperti cerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan pada kepala,
kelahiran prematur, anoxia (kelangkaan oksigen), ketidaksesuaian faktor Rh,
kecacatan bawaan, dan faktor-faktor genetika.
(3) Hubungan diantara tipe-tipe disfungsi otak: keterampilan neural di bawah optimal
menyebabkan terjadinya hendaya pada daerah cerebral berkaitan dengan
manifestasi tanda-tanda yang bersifat neurologis halus.
44
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(4) Hubungan antara disfungsi otak dan kelainan belajar-khusus: anak dimungkinkan
menunjukkan (a) gejala-gejala disfungsi otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai
ketidakmampuan belajar, (b) Kedua-duanya, baik disfungsi otak dan
ketidakmampuan belajar, atau (c) adanya ketidakmampuan belajar tetapi tanda-
tanda adanya malfungsi otak tidak teramati (Myers & Hammill, 1976 dalam
Geddes, D, 1981:113).
(5) Adanya kelainan-kelainan yang bersifat medis dewasa ini (Kauffman & Hallahan,
1976), lebih menititkberatkan pada kegiatan melakukan hipotesis tentang kasus-
kasus yang meliputi: kelainan kelenjar, hypoglycemia, narcolepsy complex,
penyimpangan penggunaan vitamin, dan alergi.
Sedangkan etiologi berdasarkan atas faktor lingkungan (Geddes,D., 1981:113),
meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Pengaruh dari gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan
masalah-masalah emosional berkecenderungan mempunyai kelemahan
dalam persepsi, bicara, dan mata pelajaran-akademik (Myers & Hammill,
1976)
(2) Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh sebelumnya.
Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensorimotor untuk
meningkatkan keterampilan-keterampilan perseptual (oleh karena itu
dalam setiap program yang berkaitan dengan persepsi-gerak selalu
diimplementasikan sensorimotor guna meningkatkan keterampilan
perseptual) (Myers & Hammill, 1976).
45
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(3) Kehilangan lingkungan (Kauffman & Hallahan, 1976). Kecenderungan
kehilangan lingkungan bagi seorang anak akan menimbulkan masalah
belajar yang mungkin menjadi penyebab adanya pengalaman-pengalaman
belajar yang kurang memadai, kegiatan belajar yang sangat rendah,
rendahnya perawatan yang bersifat medis menjadikan seorang anak
mempunyai cedera pada otak.
Faktor organik dan biologis sebagai penyebab anak dengan hendaya kesulitan
belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:128), adalah:
(1). Adanya pengembangan terhadap suatu teori yang menyatakan bahwa mixed
dominance sebagai indikasi dari patologi otak sebagai penyebab adanya kesulitan
membaca. Mixed dominance merupakan istilah yang diterapkan terhadap seseorang
yang mempunyai kondisi dimana mengutamakan penggunaan secara tetap
campuran sisi anatomisnya, sehingga memberikan gambaran adanya perkembangan
tidak normal pada otak, contohnya: kegiatan yang dilakukan lebih mengutamakan
menggunakan gerak campuran dari beberapa anggota tubuh secara bersamaan,
seperti tangan kanan dengan mata sebelah kiri dan kaki kiri (Orton, 1937 dalam
Hallahan & Kauffman, 1991:128; Kelly & Vergasson, 1978:91).
(2). Kebanyakan anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai getaran otak yang
tidak normal, jika diukur dengan komputer digital dan dilakukan analisis dengan
electroencephalogram (EEG). Pencatatan kegiatan elektris pada otak dengan
menempatkan elektrode pada lokasi yang berbeda di kepala anak bersangkutan
(3). Melalui penggunaan metode baru, seperti penggunaan computerized tomographic
scans (CT scans), guna meninjau sampai sejauhmana fisiologi otak. CT scans
46
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
merupakan suatu teknik dimana komputer dipergunakan bersamaan dengan X-ray
untuk dapat melihat sampai sejauhmana gambaran tentang otak seseorang (anak)
yang menyebabkan adanya ketidaknormalan secara neurologis pada anak dengan
hendaya kesulitan belajar (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989 dalam Hallahan &
Kauffman, 1991:128).
Dari ketiga pendapat hasil penelitian tersebut di atas, para ahli mempercayai
bahwa ketidakberfungsian otak (the brain dysfunction) merupakan penyebab utama (the
root of) dari hendaya kesulitan belajar. Di sisi lainnya menyatakan juga bahwa hendaya
kesulitan belajar terjadi diakibatkan adanya gangguan terhadap perkembangan sel syaraf
pada saat perkembangan seorang bayi di usia dini (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989
dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128).
Menurut Hallahan & Kauffman (1991:128), faktor genetika menunjukkan
bahwa keturunan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar, khususnya pada
hambatan membaca. Misalnya, seringkali terjadi ketika salah satu anak kembaran
mempunyai ketidakmampuan membaca, kembaran lainnya juga sama mempunyai
ketidakmampuan membaca. Mereka yang bersangkutan dikatakan mempunyai
monozygotic dari telur yang sama. Monozygotic terjadi dari adanya pemisahan dari satu
telur saat pembuahan sehingga diidentifikasi sebagai komposisi genetik (Kelly &
Vergasson, 1978:92).
Sedangkan faktor lingkungan (Hallahan & Kauffman, 1991:129), menyatakan
bahwa kasus lingkungan sebagai kasus yang dianggap sulit untuk didokumentasikan.
Namun yang paling memungkinkan pada kasus lingkungan sebagai penyebab hendaya
kesulitan belajar adalah kekurangan penanganan belajar (poor teaching). Apabila anak
47
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dengan hendaya kesulitan belajar dapat ditangani semenjak usia sekolah secara dini,
dimungkinkan hendaya kesulitan belajar tersebut dapat dihindari.
Karakteristik anak dengan hendaya kesulitan belajar-khusus, sangat berbeda
dengan anak-anak lain. Oleh karena itu beberapa tipe umum dari karakteristik mereka
sering dipakai oleh para pendidik, karakteristik tersebut sebagai berikut: (1) kemampuan
persepsi yang rendah, (2) kesulitan menyadari tubuh sendiri, (3) kelainan-gerak, (4)
tingkat atensi yang tidak tepat, (5) kesulitan bersosialisasi atau emosional (social or
emosional difficulties), (6) kelainan memori, (7) kesulitan-kesulitan dalam melakukan
simbolisasi dan (8) masalah-masalah pengkonsepsian (Geddes, D., 198:115-118).
a). Kemampuan Persepsi yang Rendah (poor perceptual abilities)
Kemampuan persepsi yang rendah, berkaitan dengan (a) persepsi pendengaran, (b)
persepsi visual, (c) persepsi taktil. Kekurangan dapat terjadi pada kemampuan persepsi
pendengaran (auditory perception) menyangkut:
a) membedakan pendengaran, yaitu kemampuan untuk dapat membedakan suara,
bunyi hidup (vowel), dan bunyi mati (konsonan) yang sama,
b) pengakhiran pendengaran, kemampuan untuk melakukan sintesis bunyi-bunyi
dari bagian keseluruhan (contohnya, mendengar bagian suatu kata, dan
kemudian mengetahui apa yang ada dalam seluruh kalimat),
c) bentuk dasar pendengaran, kemampuan untuk menghiraukan latar belakang suara
yang tidak selaras,
d) atensi dan penglokasian pendengaran, kemampuan untuk mengetahui lokasi
sumber suara dan arah suara.
48
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Diantara tipe-tipe umum dari kekurangan persepsi pendengaran adalah
“auditory agnosia”, yaitu ketidakmampuan untuk mengenal suara atau kombinasi bunyi
dengan memperhatikan maknanya. Sedangkan lainnya, adalah “auditory dissociation”
(disosiasi pendengaran) yaitu bunyi dapat didengar dan dikenali tetapi tidak mampu
untuk diartikan secara keseluruhan.
Pada persepsi visual (visual perception): Kekurangan kemungkinan terjadi
dalam kemampuan-kemampuan persepsi visual seperti berikut.
(1) Klosur visual (visual closure): Pola melengkapi, mekanisme tanggung jawab
untuk melengkapi secara otomatis terhadap simbol-simbol visual yang sudah
dikenal (contohnya, melihat bagian yang tak lengkap suatu gambar dan tahu
bagaimana bentuk keseluruhan dari gambar tersebut). Diartikan sebagai
kemampuan untuk menggambarkan keseluruhan hanya dengan melihat sebagian
dari bentuk keseluruhan. Latihan klosur visual sangat berguna bagi anak-anak
yang mempunyai kesulitan dalam menghubungkan bagian-bagian tertentu yang
merupakan suatu bagian utuh secara menyeluruh (Kelly & Vergasan, 1978:142)
(2) Membedakan secara visual (visual discrimination): kemampuan untuk
mengetahui perbedaan antara benda-benda yang bentuknya sama, surat-surat, atau
kata-kata (seperti huruf “b” dan “d” dapat ditangkap berbeda oleh anak).
(3) Membedakan bentuk secara visual (visual form discrimination): Kemampuan
untuk dapat membedakan adanya perbedaan antara bentuk auditori masa kini
(contohnya, dapat membedakan antara segi tiga dan bentuk gambar intan pada
sebuah kartu-gambar).
49
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(4) Mengubungkan figur dasar secara visual (visual figure-ground relationship):
Mampu mengidentifikasi satu bentuk figur seseorang (misalnya: gadis) dari
gambar yang memunculkan tiga figure yang sama.
(5) Persepsi terhadap ukuran (size perception): kemampuan untuk merasakan secara
tepat tentang ukuran suatu benda dengan kemampuan visual.
(6) Perspesi mengenai jarak dan kedalamannya (depth and distance perception):
Kemampuan terhadap persepsi ukuran: panjang, kedalaman, dan jarak dari
berbagai benda dan mampu melihat benda-benda yang bergerak.
(7) Mengenali suatu benda (object recognition): kemampuan untuk mengintegrasikan
rangsang visual ke dalam bentuk secara keseluruhan.
Pada persepsi taktil (tactile perception): kemampuan persepsi taktil yang utama
adalah membedakan hanya dengan meraba, kemampuan untuk mengenal benda-benda
yang dikenal, atau tekstur dan lokasi dari anggota badan yang dapat disentuh oleh
seseorang. Termasuk ke dalam taktil adalah:
(1) taktil agnosia (astereognosis), yaitu ketidakmampuan untuk mengenal benda-
benda yang telah dikenal sebelumnya melalui sentuhan,
(2) agnosia jari-jari (finger agnosia), yaitu ketidakmampuan untuk mengenali suatu
objek melalui jari-jemarinya tanpa melihat terlebih dahulu,
(3) tactile defensiveness, yaitu ketidaktepatan, tanggapan yang bersifat berlebihan
terhadap masukan taktual, dimungkinkan tanggapannya terlalu negatif untuk
dapat diraba atau menghindari kontak dengan permukaan yang dapat dipakai
sebagai masukan taktual yang kuat, seperti bahan-bahan untuk permadani dan
sikat.
50
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
b. Kesulitan terhadap Kesadaran Tubuh (body awareness difficulties)
Kesadaran terhadap tubuh didefinisikan “sebagai konsep dan pemahaman
bahwa adanya saling keterhubungan yang erat antara tubuh seseorang dengan
lingkungannya selama proses perubahan perilaku “. Faktor-faktor yang terlibat dalam
perkembangan kesadaran terhadap tubuh termasuk kinesthesia (mengenali orientasi
terhadap bagian-bagian tubuh yang berbeda dengan saling menaruh respek antara satu
dengan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada tingkat gerak dari bagian-bagian tubuh
yang berbeda tersebut), dan asimilasi masukan sensori-ruang depan (vestibular) dan
perlengkapan visual. Kesulitan-kesulitan terhadap kesadaran tubuh dimungkinkan terjadi
dalam wilayah keterampilan-gerak, sebagai berikut.
(1) Orientasi ruang (spatial orientation), yaitu pemahaman terhadap ruang sekitar diri
seseorang berkaitan dengan jarak, arah, dan posisi.
(2) Secara kesamping (laterality), mengetahui yang mana sisi kiri atau kanan dari
tubuh.
(3) Secara tegak lurus (vertically), konsep tentang arah ke atas dan ke bawah.
(4) Terhadap kesan tubuh (body image). Konsep pemahaman bagian-bagian tubuh.
(5) Berkaitan dengan garis tengah tubuh (midline body), konsep tentang garis tengah
tubuh secara tegak lurus dari tubuh manusia yang memisahkan tubuh ke dalam
dua sisi yang sama.
Permasalahan yang sering dijumpai dalam pemahaman tubuh termasuk (a)
kelainan tubuh untuk melakukan orientasi dan ketidakmampuan untuk mengenal bagian-
bagian tubuh (autotopegnosis), dan (b) ketidakmampuan untuk mengenali jari-jemari
selama dilakukan tes lokalisasi jari-jemari (finger agnosia).
51
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
c. Kelainan Kegiatan-Gerak (disorder of motor activity)
Kelainan gerak seringkali dapat diamati pada anak-anak dengan hendaya
kesulitan belajar. Hal itu dimungkinkan karena masalah gerak dan kesulitan belajar
mempunyai etiologi yang sama (Myeres & Hammill, 1976 dalam Geddes, D., 1981:116).
Kelainan gerak dapat diamati melalui: (1) kegiatan saat mempertahankan
keseimbangan dan bentuk tubuh (balance and postural mainbtenance), yaitu dalam
kesulitan untuk duduk, berdiri, mempertahankan postur dan keseimbangan khusus; (2)
gerak dasar dan gerak lokomotor (locomotion and basic movement), kekurangan terjadi
pada keterampilan untuk berjalan, berlari, memanjat, mekanisasi tubuh, melompat,
meloncat-loncat, dan pola-pola gerak tubuh secara gross-motor.
Termasuk tipe-tipe umum kelainan gerak adalah: (1) hyperactivity
(hyperkinethesis): mobilitas yang resah, tidak menentu, secara serampangan, dan
mobilitas yang berlebihan; (2) hypoactivity (hypokinethesis): pendiam, tidak aktif, dan
kegiatan geraknya kurang cukup; (3) clumsiness: kesulitan dalam mengontrol gerak
dengan adanya ketidakserasian dan ketidakefisien perilaku gerak dalam bentuk kekakuan
secara pisik dan tidak ada koordinasi gerak; (4) apraxia (dyspraxia): ketidakmampuan
untuk berinisiatif atau melakukan gerak dalam pola-pola gerak yang rumit, seperti
serangkaian tugas gerak untuk melakukan loncatan; (5) ketekunan (perseveration): secara
otomatis dan sering kali secara suka rela untuk menindaklanjuti perilaku yang dapat
diamati sewaktu melakukan kegiatan berbicara, menulis, membaca secara oral,
menggambar dan melukis; (6) adiadochokinesia: ketidakmampuan untuk melakukan
gerak alternatif dan gerak-cepat.
52
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
d. Kesulitan dalam keterampilan psikomotor sangat erat hubungannya dengan
ketidakberfungsian persepsi khusus, sebagai berikut.
(1) Respon psikomotor yang lemah terhadap petunjuk yang diperoleh melalui
pendengaran berupa perbedaan suara dengan kegiatan yang berbeda, seperti kata-
kata “talk” dan “walk” dalam bahasa Inggris, “jalan” dengan “jualan” dalam
bahasa Indonesia.
(2) Respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah. Kemampuan persepsi
visual yang spesifik penyebab adanya respon psikomotor terhadap persepsi visual
yang lemah, dapat menyebabkan seseorang tidak mampu membedakan bola putih
yang dilambungkan di udara dengan latar belakang awan sehingga yang
bersangkutan tidak dapat menangkap bola putih dengan baik.
(3) Rendahnya respon psikomotor terhadap persepsi taktil. Ketidaktepatan respon
psikomotor terhadap ciri-ciri khusus taktil menjadi penyebab kesalahan
membedakan benda-benda dengan cara taktil. Contohnya, seorang anak tidak
mampu membedakan dua nikel dalam kumpulannya dengan dua perempat nikel
yang ada di atas meja.
e. Kesulitan berikutnya adalah dalam memanipulasi, berkaitan dengan:
(1) Ketidaktepatan dalam keterampilan fine-motor tangan saat digunakan untuk
memanipulasi-gerak. Misalnya, koordinasi tubuh dengan mata saat memegang
sesuatu benda (pinsil, crayon) secara tepat.
(2) Kekurangan tingkat atensi menyebabkan daya atensi yang kurang atau atensi
yang berlebihan. Atensi yang tepat merupakan pra-syarat motivasi yang sangat
53
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
diperlukan dan pencapaian prestasi yang berhasil. Ada dua tingkat atensi yang
kurang tepat, yaitu (a) atensi yang kurang cukup, yaitu ketidakmampuan untuk
menggambarkan ekstra rangsangan, sering disebut dengan istilah “kekacauan
pikiran” (distractibility), pemahaman yang berlebihan (hyperawareness), lekas
marah secara berlebihan (hyperirritability) atau waktu atensi yang pendek; dan
(b) atensi yang berlebihan, ketidaknormalan perasaan yang mendalam saat atensi
terhadap perincian-perincian yang dianggap tidak penting saat munculnya
kejadian-kejadian yang tidak perlu;
(3) Kestabilan emosi, sering diiringi dengan kesulitan belajar sebagai akibat adanya
hendaya gerak, dan frustasi disebabkan karena kegagalan dalam melakukan
kontak hubungan dengan orang lain. Dampak dari itu seorang anak akan
mempunyai persepsi-sosial yang tidak pada tempatnya;
(4) Kesulitan dalam memori berupa jangka pendek dan jangka panjang. Kesulitan
memori ini bisa terjadi saat asimilasi, penyimpanan dan/atau pencarian
informasi. Kesulitan itu berkaitan dengan kemampuan taktual, visual,
pendengaran dan sistem belajar. Misalnya, seorang anak tidak mampu
menghubungkan secara tepat antara ingatan pendengaran terhadap kata yang
pernah ia dengar dengan kata yang sama saat ia mendengarkan dalam waktu
berikutnya, sehingga yang bersangkutan mempunyai hendaya ingatan visual;
(5) Kesulitan dalam melakukan simbolisasi, baik secara verbal maupun dalam proses
simbolis verbal. Kesulitan simbolisasi terdiri atas: (a) simbolisasi penerimaan
pendengaran (receptive-auditory simbolization). Anak tidak memahami kata-
kata dalam pembicaraan atau kebingungan terhadap perintah-perintah verbal.
54
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Contohnya, echolalia; (b) Simbolisasi daya tangkap visual (receptive-visual
symbolization). Contohnya, daya ingat visual terhadap pola-pola kata dan tulisan
(strephosymbolia), dan ketidaktepatan antara masukan visual berupa kata-kata
tertulis dengan kesan pendengaran terhadap huruf-huruf (dislexia visual).
Misalnya pada huruf: o, e, c, b, p, d, h, dan n atau pada kata “pot” dibacanya
“top”; (c) Simbolisasi ucapan yang bersifat pernyataan perasaan (expressive-oral
symbolization). Anak tidak mampu mengartikan ucapan mengenai suatu benda
atau fungsi-fungsinya, karena tidak memahami tentang kalimat (syntax) dan
ekspresi ide-ide secara ucapan; (d) Simbolisasi-gerak yang menyatakan perasaan
(expressive-motor symbolization). Anak tidak mampu mengekspresikan dirinya
melalui berbicara, menulis, atau melalui ekspresi gerak-tubuh/ gerak-mimik
muka (dysgraphia, yaitu ketidakmampuan mengekspresikan pikirannya melalui
tulisan, surat dengan tendensi sering menghilangkan kata/tulisan yang tidak
benar).
(6) Kesulitan dalam kemampuan untuk mengkategorikan dan melakukan perbedaan-
perbedaan klasifikasi. Misalnya, perbedaan tingkat perkembangan terhadap
konsep ke arah konkret (seperti, apel dan jeruk kedua-duanya berbentuk bulat),
ketidakmampuan membedakan keberfungsian (bahwa apel dan jeruk kedua-
duanya dapat dimakan), dan melakukan abstraksi (seperti, apel dan jeruk adalah
buah-buahan).
55
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
b. Perspektif Teori Bagi Anak dengan Kesulitan Belajar
Beberapa teori sebagai kerangka dasar untuk mengevaluasi dan mengajar anak
dengan hendaya kesulitan belajar dan implikasinya, adalah teori-teori yang mencakup
pendangan terhadap perspektif perkembangan kedewasaan, proses secara psikologis,
penguasaan kemampuan akademik, dan pendekatan-pendekatan kognitif. Memahami
sebuah teori sebagai landasan pengetahuan terhadap hendaya kesulitan belajar merupakan
dasar yang sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menginterpretasikan berbagai
cabang ilmu. Selain itu, dapat juga membantu para pendidik untuk menyeleksi dan
mengevaluasi terhadap hal-hal yang sangat membingungkan dalam penggunaan dan
pengaplikasian suatu media baru, teknik-teknik, instrumen elektronik, dan metode.
Tujuan suatu teori adalah untuk menyajikan bentuk, hubungan, dan arti tentang
apa yang diamati dalam kenyataan yang sebenarnya. Teori juga merupakan tuntunan
praktis dalam kegiatan, menciptakan katalisator untuk penelitian lanjutan, membangun
teori baru dan mengklarifikasi, serta membentuk proses berfikir. Maka peran suatu teori
adalah menyajikan kerangka dasar kreatif guna melakukan penyesuaian dari hendaya
kesulitan perilaku. Secara umum, teori-teori merupakan lanjutan dari lapangan (dalam
hal ini adalah sekolah) untuk memahami dan membantu guru khusus untuk mempelajari
aplikasi secara signifikan, khususnya di sekolah-sekolah luar biasa dan sekolah reguler
yang menerapkan sistem pembelajaran inklusif.
Pandangan lebih jauh terhadap suatu hendaya kesulitan belajar (learning
disablity) dibentuk oleh adanya konsep-konsep perkembangan psikologi, berdasarkan
analisis cara berfikir anak melalui penelitian dan perkembangan secara bertahap berkaitan
dengan kemampuan kognitifnya. Dalam pandangan perkembangan anak dinyatakan
56
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
bahwa kemampuan gerak-maju secara normal terjadi dalam suatu kondisi-kondisi yang
cocok. Oleh karena itu memahami suatu perkembangan kemajuan dan perkembangan
kognitif anak secara normal dapat dijadikan landasan perbandingan guna memahami
permasalahan anak yang mempunyai hambatan-hambatan belajar yang dikenal dengan
istilah anak dengan hendaya kesulitan belajar.
Berdasarkan konsep keterlambatan kematangan diri ditinjau dari aspek
perkembangan neurologis, seorang anak mempunyai tingkat perkembangan sesuai
dengan faktor-faktor perkembangan kemanusiaan yang berbeda-beda, termasuk di
dalamnya adalah fungsi kognitif (Bender, 1957 dalam Lerner, J. 1985:168). Seorang
anak yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian diantara berbagai kemampuan tidak
semata-mata disebabkan oleh adanya ketidakberfungsian sistem syaraf pusat atau adanya
cedera pada otak, agaknya ketidaksesuaian itu dapat juga menunjukkan adanya berbagai
kemampuan yang mengacu ke pada kematangan pada tingkat yang berbeda, sehingga
hipotesis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak berbeda dengan hipotosis
terhadap anak-anak lain tanpa adanya ketidakberfungsian dari sistem syaraf pusat.
Konsep tentang kelambatan kematangan diri, menunjukkan bahwa beberapa
hendaya kesulitan belajar yang muncul pada diri seorang anak dapat saja terjadi
disebabkan oleh adanya perilaku-perilaku masyarakat yang ada di sekitarnya. Perilaku
masyarakat tersebut dapat menjadi suatu “tekanan” pada diri seorang anak sebelum anak
tersebut siap menghadapi kegiatan pencapaian prestasi akademiknya. Hal ini dibuktikan
oleh suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 177 siswa-siswa
dengan hendaya kesultan belajar (learning disability) dalam kelas-kelas khusus. Hasilnya
menunjukkan bahwa mereka secara signifikan menunjukkan adanya “perkembangan
57
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
yang lambat” dalam pencapaian prestasi akademiknya (Koppitz, 1972-1973 dalam
Lerner, J., 1985:168). Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya
ketidakberkembangan dan sangat rendahnya pengintegrasian diri mereka, sehingga
mereka membutuhkan waktu-belajar yang lebih banyak dalam upaya untuk melakukan
kompensasi diri terhadap kelambatan dalam perkembangan neurologisnya. Pada
umumnya mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun atau lebih untuk menyelesaikan
pendidikan yang diterima di sekolah dibandingkan dengan siswa lain. Menurut Koppitz,
apabila anak dengan hendaya kesulitan belajar diberikan waktu tambahan yang cukup dan
dilakukan bantuan-bantuan dalam pembelajaran pada umumnya anak bersangkutan dapat
menyelesaikan prestasi akademiknya dengan baik.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sovern Hagin (1966) terhadap anak-anak
dengan hendaya kesulitan belajar yang ada di klinik Bellevue Hospital Hygiene
menunjukkan bahwa anak remaja dengan hendaya kesulitan belajar usia 17 hingga 24
tahun tidak menunjukkan adanya hambatan dalam orientasi terhadap simbol-simbol,
membedakan berdasarkan pendengaran, atau membedakan antara sisi kiri/ kanan.
Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar tersebut, tidak mempunyai hambatan
belajar lagi setelah melalui suatu proses perkembangan-dirinya. Pada anak-anak dengan
hendaya kesulitan belajar di usia taman kanak-kanak diprediksi mempunyai kelemahan
dalam membaca, dan meng-eja huruf. Selanjutnya, penelitian dari deHirsch, Jansky dan
Langford (1966) telah membuktikan bahwa teori tentang keterlambatan kematangan diri
anak merupakan faktor yang sangat penting saat memperkirakan tingkat pencapaian
kemampuan membaca (dalam Lerner, J., 1985:168).
58
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Tingkat perkembangan kedewasaan anak dari Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif terjadi dalam serangkaian tingkatan yang tetap dan dalam
keadaan saling ketergantungan. Setiap tingkatan, anak hanya mampu belajar pada tugas-
tugas kognitif tertentu (Piaget, 1970 dalam Lerner, J., 1985:169). Kemampuan berfikir
dan belajar anak akan berubah sesuai umurnya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan
berfikir dan belajar anak dicapai melalui serangkaian perkembangan pada tingkat
perkembangan kedewasaannya. Selama belajar akan terjadi tingkatan-tingkatan
perkembangan fungsi kemampuan dalam kuantitas, kualitas, kedalaman, dan keluasan
belajar.
Tingkat perkembangan anak berdasarkan teori Piaget (1970, dalam Lerner, J.,
1981:169-171) secara sistematis menunjukkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut.
1. Periode pertama disebut dengan periode sensorimotor (sensorimotor period) terjadi
dalam usia satu hingga dua tahun. Selama masa ini anak belajar melalui indera dan
gerak serta melakukan interaksi dengan lingkungan secara fisik. Pada masa ini
melalui cara memindahkan, menyentuh, memukul, menggigit dan memanipulasi
benda-benda secara fisik, anak mulai mempelajari tentang ruang, waktu, lokasi,
ketetapan dan sebab-akibat. Pada anak dengan hendaya kesulitan belajar,
perkembangan gerak difokuskan pada gerak-sensori (sensory-motor) dan gerak
persepsi (perceptual motor). Misalnya, dalam gerak keseimbangan, seorang anak
dengan hendaya kesulitan belajar akan terlihat ketidakmampuan melakukan koreksi
terhadap posisi tubuh dan hubungan tubuhnya dengan gaya berat. Umumnya, anak
dengan hendaya kesulitan belajar tidak mampu melakukan koordinasi gerak dalam
kegiatan-kegiatan yang menggunakan gross-motor (gerak dengan meenggunakan
59
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
otot-otot besar). Dalam koordinasi gerak yang menggunakan fine motor (gerak
dengan menggunakan otot-otot halus), anak dengan hendaya kesulitan belajar kurang
memahami kemampuan tubuh sendiri, tidak tahu arah, merasa bingung untuk
melakukan gerak secara menyamping (lerner, J., 1985:266).
2. Periode kedua disebut dengan periode pre-operasional (preoperational period), terjadi
pada usia dua hingga tujuh tahun. Pada masa ini anak mulai melakukan
pertimbangan-pertimbangan intuisi tentang hubungan-hubungan antar objek dan
berfikir tentang simbol-simbol. Bahasa menjadi hal yang amat penting, karena anak
mulai belajar menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan dunia nyata
(concrete world). Anak mulai mempelajari lambang dan sifat objek yang ada di
sekitar dirinya.
Daya berfikir anak didominasi oleh pemikiran yang berkaitan dengan
persepsi, khususnya dimensi ruang dan waktu. Dalam menghadapi benda-benda
secara simbolik, anak memerlukan pengamatan-pengamatan terhadap waktu dan
ruang serta hubungan antara keduanya terhadap objek dan kejadian-kejadian yang
ada. Untuk kepentingan ini, program-program berkaitan dengan pengembangan
kemampuan konsep dan kognitif banyak dilakukan sebagai upaya pendekatan
pendidikan terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar. Pendekatan pendidikan
tersebut dilakukan melalui upaya pengaplikasian teori-teori tentang gerak-persepsi.
Persepsi merupakan keterampilan yang perlu dipelajari oleh anak dengan
hendaya kesulitan belajar. Dalam proses belajar seharusnya kegiatannya dapat
diarahkan ke pada dampak langsung dari adanya fasilitas-fasilitas berkaitan dengan
persepsi. Beberapa bentuk persepsi yang mempunyai implikasi dalam pembelajaran
60
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar antara lain konsep-konsep persepsi
berkaitan dengan pengandaian, persepsi bagian-bagian dan keseluruhan, persepsi
pendengaran, persepsi yang berkaitan dengan indera-raba, persepsi pengandaian-
silang, persepsi bentuk dan arah, dan persepsi sosial.
3. Periode ketiga disebut dengan periode operasi konkret (concrete operation). Periode
ini terjadi pada usia tujuh hingga sembilan tahun. Pada masa ini anak mulai mampu
berfikir melalui hubungan (relationship), merasakan konsekuensi dari tindakan-
tindakan, dan melakukan pengelompokkan yang sungguh-sungguh ada berdasarkan
cara-cara logis. Anak mulai mampu melakukan sistimatisasi dan pengorganisasian
cara berfikirnya. Pemikiran-pemikiran mereka dibentuk melalui pengalaman-
pengalaman sebelumnya dan tergantung pada objek-objek konkret dengan cara
memanipulasi atau memahami sesuatu melalui panca inderanya.
4. Periode keempat adalah periode operasi-nyata (formal operations). Periode ini terjadi
dimulai pada usia 11 tahun dan menggambarkan adanya perubahan besar dalam
proses berfikir. Dalam periode operasi nyata ini berfikir mengarahkan pengamatan-
pengamatan langsung, tidak seperti periode-periode sebelumnya yakni pengamatan-
pengamatan mengarahkan cara berfikir. Anak mulai mempunyai kapasitas kerja
dengan abstraksi, teori-teori, dan hubungan antar objek secara logis tanpa mengacu
terlebih dahulu ke pada hal yang konkret. Lebih lanjut, periode operasi-nyata
menyediakan orientasi secara menyamaratakan ke arah kegiatan yang bersifat
pemecahan masalah.
61
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Menurut Piaget, transisi dari satu tingkat ke tingkat berikutnya melibatkan
kedewasaan. Tingkatan-tingkatannya bersifat berurutan dan berjenjang, dan hal yang
esensial adalah anak diberikan kesempatan untuk memantapkan perilakunya dan
memikirkan tentang apa yang ada dalam setiap tingkatan. Di sisi lain, kurikulum sekolah
seringkali memerlukan pengkonseptualisasian terhadap perkembangan anak dan
perkembangan logikanya dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk mencapai
pemahaman pada tingkat-tingkat sebelumnya (Lerner, J., 1985:171).
Implikasi dari teori perkembangan kedewasaan terhadap anak dengan hendaya
kesulitan belajar sangat signifikan, khususnya dalam memahami dan saat belajar tentang
“keberadaan-kelainannya”. Teori ini menyatakan bahwa kemampuan kognitif anak
selalu berbeda secara kualitatif dan perkembangannya akan selalu berurutan yang tidak
dapat berubah, sehingga perubahan cara berfikir akan terjadi secara terus-menerus. Maka
sekolah hendaknya dapat menyusun suatu pola pembelajaran berdasarkan pengalaman-
pengalaman belajar anak guna mencapai pembentukan perkembangan pertumbuhan
secara alamiah yang lebih menitikberatkan pada landasan berfikir dan adanya kesiapan
untuk belajar (readiness) dari anak bersangkutan. Misalnya kesiapan untuk berjalan akan
memerlukan tingkatan perkembangan gabungan dari sistem neurologis, kekuatan otot
yang memadai, dan perkembangan fungsi motorik. Jadi, bagi anak dengan hendaya
kesulitan belajar memerlukan perhatian yang lebih khusus dari guru-kelasnya. Perhatian
secara khusus oleh guru terutama dalam membantu perkembangan anak bersangkutan
melalui pemberian latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan kesiapan belajar sebagai
pra-syarat untuk melakukan langkah-langkah belajar berikutnya. Bagi anak dengan
hendaya kesulitan belajar (learning disability) yang belum siap dalam mempelajari suatu
62
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
mata pelajaran tertentu, terlebih dahulu dilakukan suatu evaluasi yang sensitif dan pola
pembelajaran yang bersifat klinis.
Pembelajaran klinis (clinical teaching), merupakan proses asesmen-
pembelajaran dalam bentuk khusus guna membantu siswa-siswa yang mempunyai
hambatan-hambatan belajar. Tujuan dari pembelajaran yang bersifat klinis adalah untuk
menyesuaikan pengalaman-pengalaman belajar siswa yang bersangkutan terhadap
kebutuhan unik dari siswa dengan hendaya kesulitan belajar. Melalui asesmen dan
analisis terhadap masalah belajar anak yang bersifat khusus, maka hasil-hasilnya dapat
dijadikan informasi penting dalam penyusunan program pembelajaran klinis oleh guru-
khusus.
Asesmen tidak berhenti ketika prosedur treatmen-khusus dimulai, karena dalam
kenyataannya esensi pembelajaran klinis merupakan kegiatan asesmen dan pembelajaran
secara terus-menerus serta saling berkaitan. Guru khusus memodifikasi pembelajaran
sebagai bentuk nyata untuk memenuhi “kebutuhan” baru, sehingga beberapa intervensi
yang berbeda dapat dipergunakan dalam pembelajaran klinis. Guru khusus bagi
pembelajaran klinis merupakan seorang yang selalu memperhatikan, mengawasi, dan
mengamati anak terhadap apa yang telah dilakukan oleh seorang anak dalam kegiatan
belajar di sekolah. Mengamati bentuk-bentuk kesalahan siswa adalah suatu kegiatan
yang amat penting untuk pencapaian keberhasilan belajar siswa yang bersangkutan. Dari
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh siswa bersangkutan dapat dijadikan petunjuk
mengenai sampai sejauhmana tingkat perkembangan siswa, cara berfikir, pokok-pokok
yang mendasari sistem bahasa siswa, dan cara belajar siswa. Sebagai contoh, seorang
guru-khusus yang memperhatikan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat siswanya saat
63
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
membaca buku bacaan, merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi pembinaan proses
mental siswa. Petunjuk tersebut merupakan landasan pokok dalam membina kemampuan
membaca siswa bersangkutan. Kesalahan-kesalahan siswa yang muncul saat membaca,
merupakan suatu “perilaku terbuka” (overt behavior) dari siswa bersangkutan dan dapat
menjadi aspek ungkapan dalam proses intelektual yang akan dianalisis oleh guru-khusus
(Goodman & Gollasch, 1980-1981 dalam Lerner, 1985:100).
Pembelajaran klinis dapat juga dipakai sebagai tinjauan terhadap suatu proses
alternatif dalam bentuk: mengajar – tes – mengajar – tes, kedudukan guru dalam kegiatan
ini adalah sebagai pengajar dan penguji. Sebagai contoh dapat dilihat kasus di bawah ini.
Andi seorang siswa kelas tiga sekolah dasar, membaca kalimat: “Saya telah melihat orang batuk” yang sebetulnya bacaan tersebut berbunyi: “Saya telah melihat orang botak” . Guru-khusus dapat menyimpulkan bahwa Andi mempunyai kesalahan baca yang perlu diperbaiki, dan memperkirakan apa yang menjadi sebab siswa bersangkutan salah baca. Pembelajaran-klinis yang akan diterapkan terhadap siswa bersangkutan akan tergantung pada hasil analisis-kesalahan. Hasil analisis guru terhadap kesalahan baca siswa tersebut berkaitan dengan apakah kesalahan tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan-kesalahan persepsi-visual, kosa kata yang terlihat tidak tepat, rendahnya daya ingat siswa bersangkutan, kelangkaan keterampilan untuk melihat kata-kata, atau karena tidak memahami suatu teks bacaan.
Proses lengkap dari pembelajaran-klinis merupakan siklus yang terdiri atas: (1)
diagnosis (dalam hal ini melakukan asesmen), (2) perencanaan pembelajaran, (3)
implementasi, (4) evaluasi sebagai arahan untuk melakukan, (5) modifikasi diagnosis.
Selanjutnya kembali ke pada siklus semula, dan seterusnya. Dalam pembelajaran-klinis,
sistem ekologis (ecological system) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap belajar-
siswa. Sistem ekologis disini adalah suatu interaksi diantara individu siswa dengan
berbagai bentuk lingkungan dimana siswa yang bersangkutan hidup dan tumbuh.
Misalnya, lingkungan yang ada di sekitar rumah, kelompok sosial tertentu, dan
64
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
lingkungan budaya lokal yang kesemuanya dapat mempengaruhi tingkat kemampuan
belajar siswa.
Sistem ekologis yang baik sangat membantu secara positif terhadap kemajuan
siswa disamping itu dapat membantu siswa untuk memahami suatu mata-pelajaran
tertentu. Oleh karena itu guru-kelas harus lebih sensitif terhadap pengaruh-pengaruh
sistem ekologis terhadap cara belajar, sikap, dan tingkat kemajuan siswanya. Menurut
Barsch (1965 dalam Lerner, 1985:107), faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran
dapat disesuaikan-kembali dalam proses kegiatan pembelajaran klinis oleh guru-khusus
(dalam hal ini biasanya dilakukan oleh guru-kelas). Faktor-faktor tersebut adalah: ruang,
waktu, keserba-ragaman tugas-tugas, tingkat kesulitan yang dihadapi siswa, bahasa, dan
hubungan yang baik antara pribadi siswa dengan guru.
c. Strategi Pembelajaran bagi Anak dengan Kesulitan Belajar
Strategi pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar berfokus
pada cara menyajikan kegiatan-kegiatan yang dapat mewakili keterampilan gerak dan
fungsi persepsi (terutama visual, pendengaran, dan kesadaran terhadap tubuh). Dalam
kegiatan pembelajaran tersebut, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja otot-otot
besar (gross-motor) diusahakan dapat melibatkan seluruh otot-tubuh dan kemampuan
untuk bergerak dari berbagai anggota tubuh, seperti pengaruh daya bobot, gerak
menyamping, dan gerak yang menyadari akan adanya garis-tengah tubuh. Tujuan dari
kegiatan gerak semacam itu adalah untuk pengembangan secara bertahap terhadap
efektivitas gerak-tubuh sehingga dapat meningkatkan panca-indera siswa berkaitan
dengan orientasi-ruang, dan kesadaran tubuh. Kegiatan-kegiatan itu menyangkut
65
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kegiatan keseimbangan seperti berjalan di atas balok keseimbangan (balance beam), dan
kegiatan-kegiatan gerak gross-motor lainnya seperti berjalan, menangkap dan melempar,
serta koordinasi gerak-mata.
Kegiatan latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan persepsi hendaknya
bertujuan untuk mencapai prestasi akademik terutama sekali dalam membaca. Terdapat
lima fungsi persepsi-visual sebagai bagian dari bentuk yang esensial dalam meningkatkan
kemampuan persepsi-visual, yaitu: (1) koordinasi gerak-visual, (2) persepsi terhadap
bentuk dasar tubuh, (3) persepsi-kekonstanan, (4) persepsi-posisi dalam suatu ruangan,
(5) persepsi terhadap hubungan antar ruang (Frostig, 1968 dalam Lerner, 1985:299).
Dalam latihan-latihan persepsi-membedakan terdapat tiga gugus tugas yang
sumbangannya sangat tinggi dalam: (1) kemampuan untuk membaca huruf dan angka, (2)
kemampuan untuk menirukan pola-pola yang berbentuk geometri, dan (3) kemampuan
untuk menjodohkan kata-kata. Keterampilan persepsi-membedakan yang diterapkan
melalui pemberian tugas-tugas dalam latihan keterampilan persepsi-visual dapat
meningkatkan kemampuan membaca (Barret, 1965 dalam Lerner, 1985:299).
Beberapa contoh kegiatan yang dapat meningkatkan persepsi-visual antara lain
latihan keterampilan menggunakan media: teka-teki (puzzle), menyusun bagian-
perbagian, menyusun balok-balok, menemukan sub-bagian dari suatu bentuk yang hilang
dalam gambar, mengklasifikasikan bentuk-bentuk/ ukuran/ warna terhadap bentuk
bangun geometri, permainan domino, bermain kartu, menemukan bagian-bagian yang
dihilangkan, persepsi-visual terhadap kata-kata (seperti permainan menjodohkan huruf-
huruf, mengelompokkan kata-kata, menggambarkan bentuk bangun geometri yang sesuai
dengan huruf).
66
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Berkaitan dengan persepsi-pendengaran, kegiatan latihan sebaiknya ditujukan
ke pada kegiatan-kegiatan yang lebih menititikberatkan ke pada keterampilan
membangun kesiapan belajar (readiness), meliputi sensitivitas pendengaran, kesiapan-
menerima pembelajaran, membedakan pendengaran, memahami suara dalam sebuah
kalimat, dan daya ingat melalui pendengaran. Strategi pembelajaran yang disusun guru
hendaknya diupayakan agar dapat meningkatkan kemampuan persepsi-pendengaran
siswa. Kegiatan-kegiatan yang sangat dianjurkan berkaitan dengan penggunaan strategi
pembelajaran adalah kegiatan yang menggunakan latihan mendengarkan suara, mencatat
bunyi-bunyian dari sumber-bunyi, mendengarkan bunyi-bunyi yang dibuat oleh guru,
membedakan bunyi makanan yang dikunyah oleh mulut, membedakan bunyi-bunyi
melalui guncangan-guncangan, dan membedakan suara dari sumber yang berbeda-beda.
d. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak dengan Learning Disability
Aplikasi gerak irama dalam pembelajaran terhadap siswa dengan hendaya
kesulitan belajar lebih difokuskan ke pada peningkatan kemampuan gerak (keterampilan
gerak dan pola-gerak) dan kemampuan persepsi siswa agar dapat meningkatkan
kemampuan kognitif dan perkembangan konseptual. Dalam kenyataannya, siswa dengan
hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan satu atau lebih dalam proses dasar
pemahaman atau penggunaan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Sebagai contoh dalam
hal ini adalah adanya hambatan dalam membaca, menulis, matematika, meng-eja huruf,
mendengarkan, berfikir dan daya ingat, disamping adanya penyimpangan pada
keterampilan perseptual, keterampilan gerak, atau juga pada aspek-aspek belajar lainnya.
67
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Kekurangan dalam satu atau lebih dari komponen-komponen proses belajar
berkaitan dengan perilaku psikomotor. Seorang anak akan mempelajari secara selektif
terhadap apa-apa yang telah diterima oleh sensori yang ada di otak yang memberikan
informasi-masukan berkaitan dengan lingkungan kehidupannya. Untuk memperoleh arti,
stimulasi sensori tersebut harus dapat berproses sebagaimana mestinya, dapat
berhubungan, dan menyatu dalam lapisan luar otak (cortex) untuk memperoleh gambaran
informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diperoleh (merupakan
kemampuan perseptual dan keterampilan berkaitan dengan pemahaman-tubuh) disimpan
dalam otak untuk dapat digunakan pada masa yang akan datang setelah terjadinya respon.
Respon psikomotor akan dimunculkan setelah adanya analisis. Tipe dari respon itu dapat
berupa bicara, menulis, meng-eja, isyarat-tubuh, ekspresi wajah, melakukan pola-pola
gerakan, atau keterampilan psikomotor khusus seperti memukul bola.
e. Pendekatan yang Diperlukan dalam Aplikasi Gerak Irama pada Learning
Disabilty
Berdasarkan pengamatan para ahli, anak dengan hendaya kesulitan belajar
mempunyai keterampilan gerak yang kaku, keseimbangan yang kurang baik, ketangkasan
tangan yang sangat kurang, atau keterlambatan dalam mempelajari keterampilan gerak
(seperti dalam keterampilan: mengendarai sepeda, menangkap bola, menggunakan
peralatan makan). Anak dengan hendaya kesulitan belajar juga sering menunjukkan
ketidakmampuan dalam koordinasi gerak dan mendapatkan gangguan persepsi berkaitan
dengan masalah-masalah belajar. Misalnya, (1) tulisan tangan yang jelek dapat saja
diakibatkan oleh adanya masalah pada fine-motor berupa kesulitan dalam koordinasi
68
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
gerak antara mata dan tangan, (2) kelainan berbicara dimungkinkan adanya hambatan
gerak pada mekanisme alat-bicara (seperti kurangnya kemampuan kontrol terhadap gerak
lidah atau bibir), (3) masalah kegiatan menjumlahkan angka seringkali berkaitan dengan
adanya hambatan terhadap persepsi-ruang (Lerner, J., 1985:264).
Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut di atas, maka fokus pembelajaran
terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar sebaiknya ditujukan ke pada pendekatan
pembelajaran yang mampu meningkatkan gerak-sensori dan gerak-persepsi. Menurut
Piaget (1936/ 1952) penekanan terhadap pembelajaran gerak-sensori sejak usia dini
merupakan landasan untuk membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang
kompleks pada diri anak (dalam Lerner, J., 1985:265). Dengan kata lain, pendekatan
pembelajaran melalui peningkatan gerak-sensori dan gerak-persepsi akan mencakup
konsep-konsep tentang kesegaran jasmani (physical fitness), olahraga (exercise) dan
kegiatan-kegiatan gerak (gerak disini, diartikan sebagai keterampilan dan pola gerak
dalam cakupan body movement atau gerak irama) yang merupakan elemen esensial untuk
mencapai kesehatan diri dan meningkatkan kehidupan dan kerja bagi setiap individu,
tidak terkecuali bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar.
Lebih lanjut, pendekatan pembelajaran dengan menggunakan strategi
pembelajaran kognitif terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar hendaknya
berfokus ke pada “bagaimana” (How) caranya belajar, bukan pada “apa” (What) yang
dipelajari. Umumnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak menggunakan strategi
belajar dengan baik dan tidak tahu bagaimana cara belajar. Peran guru-khusus sangat
penting dalam upaya membantu saat menyusun kerangka kerja belajar setiap siswa yang
mempunyai permasalahan dalam belajar. Peran guru dalam hal ini adalah mengusahakan
69
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
agar setiap siswa dapat memahami proses berfikir dan mengembangkan strategi-belajar
yang telah diperolehnya. Pemahaman terhadap proses berfikir diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan belajar siswa bersangkutan atau keterampilan akademiknya.
Penguasaan keterampilan akademik bagi siswa dengan hendaya kesulitan
belajar merupakan bentuk pendekatan pembelajaran kognitif yang lebih menekankan
pada hasil analisis terhadap tugas-tugas akademik berkaitan dengan keterampilan mata
pelajaran tertentu yang mengarah ke pada pencapaian tugas-tugasnya (Lerner, J.,
1985:192). Tentu saja, teori-teori berkaitan dengan belajar merupakan kerangka-kerja
yang esensial untuk dipahami oleh guru-kelas yang menangani siswa dengan hendaya
kesulitan belajar dalam upaya membentuk perkembangan kemampuan belajar terhadap
suatu mata pelajaran (khususnya membaca) pada diri siswa bersangkutan.
Bagi siswa dengan hambatan membaca yang telah menerima intervensi
pendidikan secara khusus seringkali menunjukkan adanya perkembangan yang sangat
baik. Intervensi ini diterima oleh siswa bersangkutan melalui pendekatan khusus.
Pendekatan-pendekatan khusus yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan
membaca pada umumnya melalui pembelajaran yang erat kaitannya dengan kegiatan
untuk mengenali kata secara sepintas, keterampilan-keterampilan phonic, dan mengenali
kata-akhir (Hewison, 1982 dalam Batsahaw & Perret, 1986:29). Pendekatan semacam ini
dikenal dengan metode Orton-Gillingham yaitu penggunaan teknik: Visual – Kinesthetic
– Tactile (VAKT) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan multisensori, sintetik dan
metode alfabetik.
Pendekatan kedua, adalah pendekatan dengan menggunakan metode Fernald.
Siswa mulai belajar membaca dengan cara menyeleksi kata yang ingin dipelajarinya,
70
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kemudian melakukan peng-ejaan, pengucapan bunyi, dan pembagian atas suku kata.
Baru kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kata, menuliskan dan menelusuri kata
dengan jari-jarinya. Setelah itu, siswa menuliskan kata yang ada dalam ingatannya,
dilanjutkan dengan memasukkan kata tersebut ke dalam kotak yang telah berisikan kata-
kata baru. Pada akhirnya barulah siswa menuliskan kalimat dan menceriterakan sebuah
ceritera.
Pendekatan pembelajaran untuk mata pelajaran membaca dan seni berbahasa
model Gillingham dan Fernald berdasarkan atas orientasi secara psikoneurologis.
Sejumlah materi dan kegiatan disusun berdasarkan atas hasil asesmen terhadap persepsi
dan pemrosesan informasi dengan menggunakan tes baku semacam Illinois Tes of
Psycholinguistic Abilities (ITPA), yaitu suatu tes yang disusun untuk mengukur
pemahaman bahasa secara verbal dan non-verbal, atau dengan Direct Instructional
System for Teaching and Remediation (DISTAR), yaitu suatu sistem pembelajaran yang
disusun untuk mengajar keterampilan dasar dan konsep-konsep dalam membaca,
menghitung angka, dan bahasa pada anak-anak dengan kebutuhan khusus tingkat sekolah
dasar. Model ini disusun berdasarkan atas analisa tugas (task analysis) dari keterampilan-
keterampilan dasar dan penyajian bahan-bahan dalam suatu model pembelajaran secara
langsung. Kedua tes tersebut berisikan materi membaca dan bidang lainnya berkaitan
dengan prinsip-prinsip analisis perilaku (Wallace & McLuoghlin, 1979 dalam Reynolds
& Mann, 1987: 922).
Pendekatan secara visual – kinesthetic – tactile serta model Fernald sangat
sesuai bila diterapkan secara bersamaan dengan mengaplikasikan model pembelajaran
dengan pola-gerak (motor patern) dan keterampilan gerak (motor skill). Salah satu alasan
71
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
adalah bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah dalam gerak-
sensori dan gerak-persepsi (khususnya pada persepsi visual, pendengaran, dan
keseimbangan) yang memerlukan latihan-latihan khusus berkaitan dengan peningkatan
koordinasi gerak pada gross dan fine motor. Lerner (1985:269) menyatakan bahwa
tahap awal seseorang belajar mengenali lingkungan, yakni dengan mempelajari motor
patern dan motor skill melalui respon gerakan otot dan perilaku gerak untuk melakukan
interaksi dan mempelajari tentang kehidupan di lingkungan dirinya, atau dikenal lebih
luas sebagai body movement atau gerak-irama.
Melalui pendekatan ketiga yaitu dengan pengalaman bahasa, seorang guru
memberikan kesempatan ke pada siswa untuk berceritera dan guru menuliskan kata-kata
secara persis dengan apa yang diucapkan siswa. Guru kemudian membacanya dan
selanjutnya siswa membaca tulisan itu sampai dapat menguasai seluruh bacaan.
Pendekatan keempat, adalah dengan menggunakan metode pemberian warna.
Sekelompok kata atau kalimat diberikan warna yang khas, dan kombinasi huruf dipelajari
dengan paduan warna. Dan pendekatan kelima, adalah pendekatan secara neuropskilogis.
Pendekatan secara neuropsikologis lebih menekankan pada penggunaan fungsi
neurologis untuk membantu strategi pengembangan remedial (Hynd & Cohen, 1983
dalam Batshaw & Perret, 1986:292). Penekanan khusus diidentifikasikan dalam testing
secara neuropsikologis.
f. Rancangan Pembelajaran untuk Learning Disability
Seperti yang telah diuraikan dalam konsep dasar anak dengan kesulitan belajar
yang menyatakan bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan
72
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
pada faktor gerak, persepsi, dan keseimbangan. Dampak dari hambatan-hamabatan itu,
faktor perkembangan konseptual dan kognitif menjadi kurang berfungsi secara optimal.
Guru-kelas atau guru-khusus sebaiknya perlu mewaspadai adanya kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh siswa dengan hendaya kesulitan belajar sewaktu menyelesaikan
tugas-tugas akademik di sekolah. Artinya bahwa guru tidak boleh secara langsung
membuat rancangan pembelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar sebelum dilakukan
observasi dan analisis secara sensitif terhadap kesalahan yang telah dibuat siswa
bersangkutan. Jika terjadi kesalahan-kesalahan pada hasil kerja siswa dengan hendaya
kesulitan belajar, sebaiknya guru-kelas melakukan pembelajaran klinis terlebih dahulu.
Pembelajaran klinis sangat diperlukan sebelum program kegiatan akademik suatu mata
pelajaran tertentu diterapkan.
Pembelajaran klinis mempunyai bentuk siklus tersendiri, yakni di awali dengan
fase asesmen, guru melakukan diagnosis terhadap kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan oleh siswa pada hasil-kerja suatu tugas akademik di sekolah. Fase kedua,
adalah fase perencanaan, setelah guru menganalisa kesalahan yang terjadi, guru
menentukan hambatan dan bentuk kesulitan apa yang menyebabkan siswa melakukan
kesalahan. Berdasarkan jenis kesalahan tersebut guru membuat rancangan pembelajaran
klinis berupa perencanaan pemberian tugas-tugas khusus dalam kegiatan belajar secara
tersendiri, dalam hal ini analisa tugas (task analysis) perlu diterapkan. Pada fase ketiga,
yaitu fase implementasi yaitu menerapkan rancangan pembelajaran klinis dalam bentuk
analisa tugas terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar, dilanjutkan dengan fase
ke-empat yaitu fase evaluasi, dalam fase ini guru-kelas melakukan evaluasi terhadap
prestasi belajar siswa bersangkutan. Bila ternyata hasilnya belum optimal, maka fase
73
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kelima yakni fase modifikasi dari bentuk asesmen diterapkan guna membantu dan
mengarahkan kemampuan kognitif melalui perkembangan konseptual yang telah dikuasai
oleh siswa yang bersangkutan. Fase-fase dalam putaran ini dapat berlangsung secara
terus-menerus selama siswa dengan hendaya kesulitan belajar belum mencapai prestasi
yang diinginkan berkaitan dengan kemampuan persepsi dan geraknya.
Jika dianggap bahwa terjadi perkembangan yang nyata dari pembelajaran klinis
tersebut di atas, maka guru-kelas dapat melanjutkan program pembelajaran yang
mengaplikasikan gerak irama sebagai upaya untuk pencapaian perkembangan
kedewasaan secara optimal. Tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum menyusun
rancangan pembelajaran sebagai program aplikasi gerak irama dalam pembelajaran
terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sebagai berikut.
a). Melakukan skrining atau asesmen-awal dengan menggunakan instrumen Geddes
Psychomotor Inventory profil I & II ( GPI P.I & II) serta daftar cek kemampuan
persepsi untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan perilaku psikomotor berupa
gerak-sensori, gerak-persepsi, dan keseimbangan tubuhnya.
b). Melakukan analisis hasil skrining atau asesmen awal yang telah dilakukan pada
langkah 1 tersebut di atas.
c). Membuat skematis dan bagan pola gerak yang akan diterapkan pada rancangan
pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama.
d). Membuat rancangan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu dengan memasukkan
unsur-unsur pola-gerak dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap siswa dengan
hendaya kesulitan belajar yang spesifik.
74
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
e). Melakukan evaluasi terhadap hasil kegiatan pembelajaran yang mengaplikasikan
gerak irama terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar spesifik. Evaluasi
menggunakan instrumen GPI. I & II serta daftar cek kemampuan persepsi. Hasil
evaluasi ini kemudian diperbandingkan dengan hasil skrining (yang telah dilakukan
pada langkah 1). Jika ternyata hasilnya ada peningkatan, maka kegiatan belajar
berikutnya dapat langsung menggunakan rancangan pembelajaran yang bersifat
umum. Bila masih belum ada perkembangan maka dilakukan kembali pembelajaran
klinis. Jika hasil perolehan re-rata dari seluruh daftar cek mencapai nilai 3 (tiga)
sampai 4 (empat) dinyatakan berhasil, kurang dari 3 (tiga) dinyatakan belum berhasil.
Di bawah ini merupakan contoh dari seluruh kegiatan belajar-mengajar yang
mengaplikasikan program gerak irama dalam rancangan pembelajaran terhadap siswa
dengan hendaya kesulitan belajar (learning disablity). Siswa contoh adalah siswa
bernama “BB” berusia 7 tahun, duduk di kelas satu sekolah dasar, mendapatkan kesulitan
belajar Matematika dalam pokok bahasan: Geometri (Semester II), dengan sub-pokok
bahasan: Penjumlahan Bilangan sampai 100 dengan Deret Angka ke Bawah.
Kegiatan Langkah 1
Melakukan Skrining dengan Instrumen GPI
Disebabkan usia siswa-contoh adalah 7 tahun maka instrumen Geddes
Psychomotor Inventory yang dipergunakan adalah Daftar Cek: (1). GPI Primary Level
untuk umur 6 hingga 9 tahun (sebagai GPI Profile I). Sedangkan GPI Profile II meliputi:
75
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Daftar Cek untuk (2) Kemampuan Persepsi Gross Motor dan (3) Fine Motor. Dilanjutkan
dengan Daftar Cek untuk (4) Kemampuan Persepsi Gerak.
Mengenai skematis dan bagan pola-gerak yang disusun berdasarkan atas hasil
analisis dari ke-empat daftar cek tersebut di atas, dan disesuaikan dengan hambatan pada
mata pelajaran Matematika (semester II) dalam Penjumlahan Bilangan sampai 100
dengan Deret Angka ke Bawah. Begitu pula Contoh Rancangan Pembelajaran untuk
siswa-contoh dibuat berdasarkan acuan kegiatan-kegiatan yang tercantum pada langkah 1
hingga langkah 5.
Langkah-langkah kegiatan skrining, seperti yang ada pada halaman berikut.
76
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
GPI PROFIL I (PRIMARY LEVEL UMUR 6 HINGGA 9 TAHUN)
Cara Pengisian jawaban Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan ∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ= Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali. No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0 A. Gerak Dasar dan Daya Gerak : A.1 Berjalan V A.2 Berlari V A.3 Memanjat V A.4 Mekanisme gerak tubuh V A.5 Melompat V A.6 Meloncat-loncat V A.7 Lari mencongklak V A.8 Melangkah dilanjutkan dengan meloncat. V B. Penguasaan Diri: B.9 Mampu melakukan orientasi ruang V B.10 Bergerak ke arah yang sejajar dengan objek lain V B.11 Bergerak lurus ke depan V B.12 Mengetahui fungsi dan gerak tubuh V B.13 Mengetahui garis tengah tubuh V B.14 Mengenali bagian tubuh sendiri V C. Kemampuan Persepsi: C.15 Merespon terhadap persepsi dengar V C.16 Merespon terhadap persepsi pandang V C.17 Merespon terhadap persepsi rabaan V D. Koordinasi Gerak Mata: D.18 Dengan tangan V D.19 Saat memandang V D.20 Dengan kaki V E. Memanipulasi Gerak: E.21 Menulis dan menggambar V E.22 Melakukan gerakan dengan berbagai cara terhadap benda V F. Menguasai Alat: F.23 Bersepeda V F.24 Bergerak sepanjang garis sejajar V G. Penguasaan terhadap bola / benda sejenis: G.25 Melempar V G.26 Menangkap V G.27 Menendang V G.28 Memukul V
Jumlah masing-masing skor: 5 13 8 2
77 2,75
77
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
GPI Profile II KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK HALUS
(FINE MOTOR) Petunjuk Pengisian pada Kolom Berangka Berilah Tanda Checklist (V) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak melakukannya dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan secara penuh Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.
No.
JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0
59 Menyalin bentuk empat persegi panjang V
60 Menyalin bentuk segitiga V
61 Menuliskan beberapa huruf V
62 Menggambarkan : tubuh, tangan, kaki orang secara lengkap V
63 Melipat kertas ke arah miring setelah diberi contoh V
64 Meniru membuat untaian manik-manik V
65 Menggunting sepanjang garis bentuk gambar tertentu V
66 Memberi warna pada suatu bidang seluas satu inchi V
Jumlah Masing-Masing Skor:
-
6
2
∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ =
GPI Profile II KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK KASAR
(GROSS MOTOR) Cara Pengisian pada Kolom Berangka Berikan Tanda Checklist (V) pada Kolom Angka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sedikit Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan
No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0 FD. 7 Tahun
FD. 7 : 106 Dalam sikap tiduran: Kedua kaki diangkat, lutut menekuk bersudut 45 derajat, kedua lengan di samping tubuh, bahu terangkat ke atas, mata terpejam, selama 10 detik.
V
FD. 7 : 107 Duduk di pinggir meja, tangan dikepal, kemudian mengetuk-ketuk meja dengan salah satu jari tangan (kiri/ kanan) diiringi dengan ketukan kaki (kiri/ kanan) pada lantai, secara bergantian. Dilakukan secara teratur selama 20 detik
V
Jumlah 2
∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ =
22 2,75
5 2,5
78
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK (PERCEPTUAL MOTOR SKILLS)
Petunjuk Pengisian Berilah Tanda Checklis (V) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara verbal/ lisan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara fisik Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan bantuan verbal dan fisik Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.
No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0
A. Penglihatan Dekat dengan Jarak 1 Meter
A. 1 Mata mengikuti garis tegak-lurus V
A. 2 Mata mengikuti garis-sejajar V
A. 3 Mata mengikuti garis-diagonal V
A. 4 Mata mengikuti pola berbentuk bundar V
B. PenglihatanJarak-jauh: Sejauh 3 Meter
B. 5 Mata mengikuti garis tegak-lurus V
B. 6 Mata mengikuti garis-sejajar V
B. 7 Mata mengikuti garis-diagonal V
B. 8 Mata mengikuti pola berbentuk bundar V
B. 9 Mata ditujukan ke titik pusat-pandang V
C. Membedakan Bentuk Malalui Daya Pandang C. 10 Mencocokkan beberapa bentuk geometris V
C. 11 Mencocokkan beberapa bentuk suatu benda V
C. 12 Membuat bentuk angka 1 V
C. 13 Membuat bentuk tanda: … V
C. 14 Membuat bentuk : ΟΟΟΟ V
C. 15 Membuat bentuk tanda: + V
C. 16 Membuat bentuk gambar ���� V
C. 17 Membuat bentuk gambar ∆ V
D. Membedakan Bentuk Melalui Daya Pandang
D. 18 Mampu Menyusun bentuk ΟΟΟΟ yang berbeda ukuran secara tepat V
D. 19 Memahami konsep-konsep: besar dan kecil V
E. Mengetahui Perbedaan Warna E. 20 Dapat mencocokkan warna-warna V
E. 21 Memilih warna V
E. 22 Menyebutkan nama: jenis-warna V
79
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak
No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0
F. Koordinasi Mata – Tangan
F. 23 Garis tegak lurus dengan titik -titik tegak
V
F. 24 Garis sejajar dengan titik -titik mendatar ( ….. ) V F. 25 Garis menyilang dengan titik -titik diagonal ( )
V
G. Kemampuan Memadukan
G. 26 Dapat memadukan bentuk 6 potongan-potongan kecil ke dalam
bentuk gambar (misalnya: Potongan-potongan gambar: “Bebek”) V
G. 27 Dapat memadukan 14 bagian menjadi kesatuan utuh (misalnya: Gambar seorang penjual susu)
V
H. Menggali Benda-benda Padat Melalui Sentuhan (Stereognosis)
H. 28 Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sebuah
sisi V
H. 29 Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sebuah sendok
V
H. 30 Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sikat-gigi V I. Pendengaran
I. 31 Dapat membedakan suara-suara: Lemah - kuat V I. 32 Dapat menggolongkan suara: lemah dan kuat V I. 33 Melalui pendengaran dapat membedakan objek yang berada di
depan dan di belakangnya walau dengan mata terpejam V
I. 34 Mampu menirukan bunyi (setelah mendengarkan), misalnya: Do-Re-Mi
V
J. Konsep-konsep Tentang Tubuh
J. 35 Memahami secara benar tentang nama masing-masing anggota
tubuh (sambil menunjukkan anggota tubuh tersebut) V
J. 36 Memahami fungsi anggota tubuh antara bagian yang satu dengan lainnya (Misalnya, mampu membuat gambar tentang dirinya)
V
J. 37 Dapat menyusun teka-teki gambar tubuh anak laki-laki/ Wanita sesuai dengan bagian-bagian tubuh.
V
J. 38 Mampu memanipulasi tubuhnya melewati sebuah rintangan V J.39 Memahami hubungan antara bagian-bagian tubuh dengan benda-
benda di sekitarnya (Misalnya, meletakkan kemeja pada tubuh secara benar)
V
J. 40 Dapat merasakan: sedih/ gembira, dengan cara menangis/ tertawa. V J. 41 Kesadaran tubuh secara gerak kinestetik (dapat mengulangi gerakan
tangan ke arah sisi dan menurunkannya dengan mata terpejam)
V
J. 42 Kesadaran tubuh-kinestetik secara gerak halus V
80
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak
No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0
K. Memahami Posisi Tempat
K. 43 Dapat mengangkat kedua tangan ke atas V K. 44 Dapat menempatkan kedua lengan pada posisi bawah tubuh V K. 45 Dapat meletakkan kedua lengan di depan tubuh V K. 46 Dapat meletakkan kedua lengan di belakang tubuh V K. 47 Dapat meletakkan kedua lengan di atas kepala K. 48 Dapat menaruh kedua lengan di bawah kursi V K. 49 Dapat menaruh kedua lengan di samping tubuh V K. 50 Dapat mengenali tangan kanan V K. 51 Dapat mengenali tangan kiri V
L. Hubungan dengan Pola Ruang L. 52 Dapat menirukan suatu pola-bentuk dengan tiga balok V
M. Daerah Penglihatan : Gerak Fine-motor M. 53 Dapat membuat sebuah bentuk kotak secara aktif V M.54 Dapat menggambarkan sebuah ΟΟΟΟ dengan pinsil V M. 55 Dapat menggambar dengan pinsil V M. 56 Dapat menggambar tanda : X V M. 57 Dapat menggambar berbagai bentuk persegi (seperti berlian) V M. 58 Dapat melempar bola melewati kedua lutut V M. 59 Dapat menggelindingkan bola V
N. Jumlah dan Angka-angka (pada Peg-board) N. 60 Dapat membedakan satu dengan banyak V N. 61 Dapat membedakan antara angka 1 dengan angka 2 V N. 62 Dapat menghitung angka sampai dengan 10 V N. 63 Dapat memahami angka hingga 30 (dengan menghitung setinggi-
mungkin) V
N. 64 Memahami konsep angka 6 (dengan cara menempelkan 6 biji peg pada board)
V
O. Konsep Tentang Waktu O. 65 Memahami konsep waktu: Siang dan Malam (dapat membandingkan
antara gambar yang menandakan siang/ malam) V
O. 66 Mengenali gambar tentang musim: Penghujan/ Kemarau V P. Memahami Sesuatu Tentang Benda P. 67 Tahu nama sebuah benda melalui gambar V P, 68 Mengenali benda, serta tahu cara menggunakannya V P. 69 Dapat menceriterakan sebuah dongeng yang baru ia dengar V
81
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak
No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0 Q. Konsep Tentang Gerak Tubuh
Q. 70 Menirukan suatu gerak sentuhan tangan - kiri ke telinga-kanan V Q. 71 Menirukan gerak sentuhan tangan-kanan ke telinga-kiri V Q. 72 Menirukan gerak sentuhan tangan-kiri ke mata-kanan V Q. 73 Menirukan gerak sentuhan tangan-kanan ke mata-kiri V Q. 74 Menggambar garis sejajar dari arah kiri ke kanan di papan tulis,
dengan menggunakan tangan yang tidak biasa digunakan V
Jumlah Keseluruhan Masing-masing Skor:
27
31
14
-
-
Re-rata Skor Keseluruhan:
REKAPITULASI HASIL OBSERVASI KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK
No. &
Kode
JENIS KEMAMPUAN
Jumlah (∑∑∑∑)
Re-rata (X)
1. A Penglihatan dekat dengan jarak 1 meter 12 3 2. B Penglihatan jarak-jauh: 3 meter 11 2,2 3. C Membedakan bentuk geometris 24 3 4. D Membedakan bentuk melalui daya pandang 7 3,5 5. E Mengetahui perbedaan warna 12 4 6. F Koordinasi: mata – tangan 23 3,8 7. G Kemampuan memadukan 6 3 8. H Mengenali benda-benda padat melalui sentuhan (stereognosis) 11 3,6 9. I Pendengaran 15 3,75 10. J Konsep-konsep tubuh 25 3,1 11. K Memahami posisi tempat 26 3,25 12. L Hubungan dengan pola ruang 3 3 13. M Daerah penglihatan: gerak fine motor 19 2,7 14. N Jumlah dan angka-angka (pada peg-board) 17 3,4 15. O Konsep waktu 8 4 16. P Memahami sesuatu benda 11 3,6 17. Q Konsep gerak tubuh 18 3,6
Jumlah keseluruhan:
253
43,6:17=
2,56
82
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Kegiatan Langkah 2 Menganalisis Hasil Skrining Analisis Hasil Skrining dari GPI I, GPI II (Gross motor, Fine motor dan Persepsi gerak)
Diperoleh data sebagai berikut:
1. Rerata GPI I = 2,75
2. Rerata Fine Motor = 2,75
3. Rerata Gross Motor = 2,50
4. Rerata Persepsi Gerak = 2,56.
5. Jumlah Rerata Keseluruhan = 10,56. Rerata Hasil skrining = 2,64
Dari hasil rerata hasil skrining diperoleh angka sebesar 2,64, ini berarti bahwa
siswa-contoh diperlukan pembelajaran klinis terlebih dahulu sebelum pembelajaran
dengan mengaplikasikan gerak irama.
Langkah 3 Membuat Skematis dan Bagan Pola Gerak
Dari hasil skrining tersebut, ternyata siswa-contoh mempunyai hambatan
belajar. Hambatan-hambatan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan
keterampilan-gerak gross dan fine motor (dengan rerata hasilnya 2,75 dan 2,50), dan pada
faktor persepsi-gerak (reratanya 2,56). Ini berarti bahwa siswa contoh tersebut masih
memerlukan bantuan secara verbal dan fisik dalam melakukan kegiatan berkaitan dengan
keterampilan-gerak, dan persepsi–geraknya.
Faktor-faktor yang sangat memerlukan layanan khusus berkaitan dengan
keterampilan persepsi dan pola-gerak dalam pembelajaran individual berbasis gerak
irama, berkaitan dengan:
83
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
a. persepsi-pandang, persepsi-raba, persepsi penglihatan jarak jauh. b. orientasi ruang, memanipulasi tubuh.
c. fungsi gerak, gerak lurus/ menyamping/ sejajar.
d. memahami posisi tempat.
Informasi hasil skrining tersebut di atas sangat membantu guru-kelas dalam
penyusunan suatu program pembelajaran yang mengaplikasikan pola gerak irama.
Berdasarkan informasi hasil skrining dan silabi atau kurikulum maka disusunlah skema
pola gerak dan bagan pola gerak yang akan diterapkan dalam program pembelajaran
dengan mengaplikasikan gerak irama, sebagai berikut.
Tabel 7.1 Skematis Pola Gerak untuk Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar POLA GERAK ( Skills Themes)
Konsep Gerak
Lokomotor Manipulatif Non-Manipulatif Jalan dan Lari Lempar dan Tangkap Meloncat dan
berjingkat A. Dimana Tubuh
Digerakkan: 1. Lokasi 2. Arahnya 3. Tingkat gerak 4. Perluasan
B. Bagaimana Tubuh Digerakkan: 1. Waktu 2. Tenaga 3. Arah/ Jalur
C. Relationship:
1. Dengan tubuh 2. Dengan
Objek/orang 3. Bentuk Sosialnya
Di bangsal Olahraga. Ke depan/ ke belakang/ ke samping. Sedang dan cepat. Zigzag/ Memutar/ Lurus. Tempo cepat, teratur. Sedang dan sepenuhnya. Di arahkan. Gerakannya melebar -dan menyempit. Berteman/ Sejajar. Berpasangan.
Di Bangsal Olahraga Ke depan/ ke belakang/
ke samping. Sedang. Melambung tinggi. Tempo sedang. Sedang dan sepenuhnya. Ke depan. Saling berhadapan. Berteman, dengan satu bola. Saling ganti pasangan.
Di Bangsal Olahraga Ke depan/ ke samping Sedang/ cepat. Sejauh-jauhnya. Sedang dan cepat Sepenuhnya. Ke depan dan Ke samping/ Ke kiri dan ke kanan. Sejauh-jauhnya ke -muka. Menggunakan batas -tujuan arah. Secara bersamaan -dengan kelompoknya.
84
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Bagan 7.1 Pola Gerak untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar Usia 7 Tahun
Keterangan Bagan 7.1
PA = Posisi awal siswa melakukan kegiatan A/B/C/D/E = Lokasi untuk melakukan kegiatan akademik (dalam hal ini menghitung
penjumlahan dengan deret hitung ke bawah). Dalam kegiatan di masing-masing lokasi diiringi dengan kegiatan intervensi-guru untuk melakukan treatmen terhadap hambatan-hambatan dari faktor gerak, persepsi dan keseimbangan.
Di Lokasi A siswa melakukan penjumlahan deret hitung lurus sambil menyanyikan lagu “Satu-satu aku sayang Ibu …dst.nya”
Di Lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka dengan deret hitung ke bawah dalam ukuran satuan, siswa yang mampu menyelesaikan tugasnya diperkenankan untuk melempar bola ke arah sasaran yang ditentukan.
Di lokasi C siswa melakukan kegiatan penjumlahan dengan deret hitung ke bawah dalam bentuk angka puluhan, setelah selesai siswa menyanyikan lagu: “Pelangi”.
Di Lokasi D siwa melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada di kotak, kemudian menjumlahkan seluruh angka hasil perolehan dari kotak.
Di Lokasi E siswa diberikan waktu 10 menit untuk menjumlahkan bilangan dengan deret hitung ke bawah, yang benar diberikan hadiah yang telah disediakan guru.
Kegiatan dari PA ke Lokasi A adalah berjalan secepat-cepatnya secara berpasangan dengan teman, beberapa langkah sebelum sampai di lokasi A siswa melompat dengan sepenuh tenaga.
PA.
A.
B
C.
D. E.
85
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Kegiatan dari A ke B siswa melakukan gerakan lari sambil memutari tonggak/ batas yang ada sepanjang jalur lokasi A ke B. Kegiatan ini dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya.
Kegiatan dari B ke C, Siswa melakukan gerakan melompat sampai batas yang telah ditentukan kemudian sambil berjalan saling lempar-tangkap bola dengan pasangannya hingga sampai di lokasi C.
Kegiatan dari C ke D, siswa berlomba jalan cepat menuju lokasi D. Kegiatan dari D ke E, siswa berjalan sambil mengambil potongan-potongan kertas yang
tersebar di kiri dan kanan jalur D – E (potongan-potongan kertas tersebut terdapat angka-angka). Sesampainya di lokasi E siswa menjumlahkan angka-angka tersebut dalam waktu 10 menit. Siswa yang penjumlahannya benar diberikan reinforcement positif dan yang belum diberikan reinforcement negatif.
Kegiatan dari lokasi E ke PA semua siswa berjalan santai saambil menyanyikan lagu “Gelang sipaku gelang … dst.nya”
Langkah ke-4 Membuat Rancangan Pembelajaran untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar,
dalam mata pelajaran Matematika.
CONTOH
RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KESULITAN BELAJAR
Mata Pelajaran : Matematika
Pokok Bahasan : Bilangan 1 sampai 100 Sub -Pokok Bahasan : Penjumlahan Bilangan puluhan dengan Deret Hitung ke Bawah. Kelas/Semester : I / II (Dua) Waktu : 2 X 35 menit per satu pertemuan.
_____________________________________________________________
86
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
I. Standar Kompetensi Menggunakan bilangan dalam memecahkan masalah
II. Kompetensi Dasar Mengenal dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah
III. Hasil Belajar -Menjumlahkan dan mengurang bilangan. -Menggunakan nilai tempat dalam penjumlahan dan pengurangan -Menjumlahkan angka puluhan dengan teknik menyimpan melalui deret angka
hitung ke bawah. IV. Indikator
Menuliskan bilangan dua angka dalam bentuk penjumlahan puluhan dan satuan. V. Materi Pokok
Operasi hitung bilangan VI. Alokasi Waktu
2 X 35 menit per satu pertemuan.
VII. Pengalaman Belajar
1. Apersepsi/ Motivasi:
a. Mengarahkan siswa dengan hendaya kesulitan belajar untuk menjumlahkan bilangan puluhan melalui deret hitung ke bawah.
b. Menjumlah dua bilangan puluhan, dengan teknik menyimpan
angka penjumlahan melalui deret hitung ke bawah.
2. Kegiatan Inti:
(1). Siswa berada di ruangan bangsal-sekolah. Kegiatan di awali dan di akhiri pada lokasi PA, dengan posisi berteman. Kegiatan-kegiatan akademik dilakukan pada Lokasi A sampai E. Kegiatan akademik adalah: menjumlahkan angka puluhan melalui deret hitung ke bawah.
(2). Kegiatan-kegiatan inti dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
87
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
LANGKAH-LANGKAH POLA GERAK KETERANGAN
Kegiatan 1:
Siswa berbaris dalam posisi berteman di Lokasi PA. Kegiatan
dilakukan dari lokasi PA ke Lokasi A sampai ke Lokasi E.
- Siswa berjalan cepat
berpasangan. Di akhiri dengan gerakan melompat beberapa langkah ke Lokasi A.
-di Lokasi A, siswa melakukan kegiatan menjumlahkan angka satuan melalui deret hitung lurus. Setelah selesai, siswa menyanyikan lagu.
- dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, yakni menuju ke Lokasi B.
Kegiatan 2: Siswa melakukan beberapa kegiatan, saat menuju lokasi B dan pada saat berada di Lokasi B. - Siswa berlari memutari
tonggak-tonggak batas yang ada di sepanjang jalan menuju ke Lokasi B. Dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya.
- Di Lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka melalui deret hitung ke bawah, teknik yang dilakukan adalah teknik menyimpan angka.
- Guru membantu dalam teknik menyimpan angka.
- Setelah selesai melakukan tugasnya, siswa melemparkan bola pada sasaran tertentu.
Lagunya pada Kegiatan 1 adalah: “Satu satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang bapak, satu-dua –tiga aku sayang semuanya”
PA
A
B
88
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Kegiatan 3:
Siswa melakukan kegiatan dari lokasi B menuju ke Lokasi C dan
dilanjutkan ke Lokasi D. Di lokasi C siswa melakukan
kegiatan menjumlahkan angka puluhan, di lokasi D siswa
melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada dalam
sebuah kotak yang tersedia, kemudian menjumlahkannya.
-Dari Lokasi B siswa melakukan
lompatan sampai batas yang ditentukan, dilanjutkan dengan gerakan berjalan sambil melakukan kegiatan lempar tangkap bola dengan temannya, hingga ke lokasi C.
- Di Lokasi C, siswa melakukan
penjumlahan dengan deret hitung ke bawah.
-Setelah selesai menyanyikan lagu.
- Dilanjutkan dengan berlomba lari menuju ke Lokasi D.
- Di Lokasi D siswa melakukan kegiatan menjumlahkan seluruh angka hasil dari pencarian angka yang ada dalam kotak yang tersedia.
Kegiatan ke-4: Dilakukan dari lokasi D menuju lokasi E, dilanjutkan ke Lokasi
PA sebagai akhir kegiatan. Kegiatan yang dilakukan sebagai
berikut: (1). Dari lokasi D ke E, siswa berjalan sambil mengumpulkan potongan-potongan kertas ber-angka sebanyak mungkin. (2) Di Lokasi E dalam tempo paling lama 10 menit, siswa menjumlahkan seluruh angka yang ada pada kertas perolehan masing-masing. Siswa yang benar melakukannya diberikan hadiah. (3). Menuju ke Lokasi PA, siswa bernyanyi lagu: Gelang… dst nya
Pada Kegiatan ke-4, lagu yang dinyaikan adalah” Gelang sipaku gelang, gealng si rama-rama, mari pulang marilah pulang, marilah pulang bersama-sama”
B
C
D
D
E
PA.
89
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
VIII. Sumber/ Bahan /Alat
Sumber: GBPP dan Silabi, KBK, dan Buku Matematika untuk Kelas I Bahan: Meliputi angka satuan dan puluhan sampai angka seratus. Alat: Kertas bertuliskan angka satuan dan puluhan, bola karet, tongkat pembatas,
tali plastik sebagai jalur kegiatan, dan papan sasaran bola tembak, beberapa hadiah ringan.
IX. Evaluasi
A. Prosedur Pre Test dan Post Test B. Jenis Test: Pernbuatan C. Alat Test: GPI.
X. Kriteria Penilaian
Nilai sangat baik: Jika siswa mampu menjumlahkan dan melakukan kegiatannya sendiri tanpa bantuan guru.
Nilai baik: Jika siswa mampu melaksanakan tugas menjumlahkan dengan ada petunjuk lisan dan fisik dari guru. Petunjuk lisan berupa suruhan dan arahan, sedangkan bentuk fisik misalnya dengan memegang siswa untuk melakukan kegiatan.
Nilai kurang: Jika siswa tidak mampu menyelesaikan tugas dan tidak mau bergerak dari satu lokasi ke lokasi berikutnya.
Bandung, ……………………200.. Mengetahui, Guru Kelas, Kepala Sekolah ……………. _________________________ ________________________ NIP. …………………………. NIP. …………………………
90
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Langkah Ke-5 Melakukan Ealuasi Akhir
Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan perilaku psikomotor dan
peningkatan prestasi akademiknya, diperlukan adanya post test. Instrumen GPI Profile I
dan II diterapkan kembali, hasilnya diperbandingkan dengan hasil skrining atau pre test.
Bila terjadi peningkatan angka reratanya hingga mencapai angka 4, maka program
pembelajarannya berhasil. Jika di bawah angka 3 maka dianggap tidak berhasil, maka
diperlukan pembelajaran klinis.
Bila guru-kelas yang ingin mengetahui sampai sejauhmana tingkat
perkembangan stabilitas siswanya, dapat dibuat suatu program tersendiri berupa
penerapan metode subjek tunggal. Dalam sistem ini jumlah pertemuan minimal 12 kali
pertemuan. Tiga pertemuan awal sebagai Baseline 1, enam kali pertemuan berikutnya
disebut dengan Treatment, dan tiga pertemuan akhir dianggap Baseline 2. Pada
pertemuan Treatment diberikan intervensi guru untuk mengaplikasikan Gerak Irama,
pada Baseline 1 dan 2 tidak diberikan intervensi guru. Mengenai cara penghitungan
statistika secara rinci dapat dilihat pada model single subject research .
RANGKUMAN
1. Anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), adalah anak yang
mempunyai kekurangan atau terhambatnya satu atau beberapa bagian dari proses
belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih dari proses-
proses dasar dalam pemahaman atau penggunaan bahasa lisan dan tulis, misalnya
91
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
membaca, menulis, menghitung bilangan dan angka, mengeja huruf,
mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat. Kekurangan dalam pengalaman
proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Beberapa dari anak
dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah sosial-emosial.
2. Para ahli klinis menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah “anak
yang mempunyai ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera
otak” (minimal cerebral dysfunction or brain injured),” ketidakberfungsian otak
secara minimal (minimal brain dysfunction), disleksia (dyslexia), dan
“ketidakmampuan perseptual (perceptual disability).
3. Para ahli pendidikan menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar dengan
istilah: “anak dengan hambatan pendidikan” (educationally handicapped), atau
“anak dengan hambatan persepsi (perceptually handicapped), dan “anak dengan
hambatan belajar khusus” (specific learning disability).
4. Konsep-konsep dasar berkaitan dengan definisi dari anak dengan hendaya
kesulitan belajar, antara lain: (a) mempunyai hambatan proses psikologis, yaitu
proses yang mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai pra-syarat penguasaan
keterampilan-gerak dan persepsi, (b) hambatan khususnya berkaitan dengan
membaca, menulis dan matematika, (c) masalahnya bukan berasal dari kasus-
kasus utama, (d) permasalahan yang ada saling berbeda-beda, (e) Hendaya
kesulitan belajar tertuju ke pada ketidakberfungsian sistem syaraf pusat, (f)
hendaya kesulitan belajar selalu diikuti dengan hendaya-penyerta, seperti kelainan
emosional.
92
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
5. Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting
bagi perkembangan dan pertumbuhan terhadap bayi dan anak-anak.
6. Prevalensi anak dengan hendaya kesulitan belajar berkisar 3 hingga 15 persen dari
seluruh populasi anak-anak usia sekolah. Penyebabnya adalah: (a) faktor organik
dan biologis, (b) faktor genetika, (c) faktor lingkungan. Faktor genetika adalah
faktor dominan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar membaca.
7. Faktor ketrampilan gerak, pola-gerak, keseimbangan, dan persepsi (persepsi
dengar dan visual) berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Oleh karena itu
fokus pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar ditujukan ke
pada peningkatan gerak-sensori dan gerak-persepsi. Menurut Piaget (1970)
pembelajaran gerak-sensori sejak usia dini menjadi landasan utama untuk
membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang kompleks.
8. Sebelum dilakukan pembelajaran individual yang bersifat umum, maka guru-kelas
membuat program pembelajaran klinis apabila anak mempunyai kesalahan dalam
tugas akademik.
93
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK HIPERAKTIF
(HYPERACTIVE STUDENT)
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms.
(Batshaw & Perret, 1986: 261). Dimungkinkan terjadi bahwa seorang anak mempunyai
kelainan in-atensi disorder dengan hiperaktf (Attention Deficit Disorder- with
Hyperactivity) atau in-atensi disorder tanpa hiperaktif (Attention Deficit Disorder).
Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor: brain damage, an emotional
disturbance, a hearing deficit, or mental retardation. Dewasa ini banyak kalangan medis
masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek,
P. 2004:4).
Banyak sebutan-nama atau istilah hiperaktif atau ADD-H, antara lain: minimal
cerebral dysfunction, minimal brain damage (sekarang istilah ini tidak mempunyai nilai
atau tidak digunakan lagi bagi pendidik dan psikologis), minimal cerebral palsy,
hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder with hyperactivity (Batshaw &
Perret, 1986:262). Gejala-gejala “kelainan” dari anak hiperaktif antara lain in-atensi,
hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak-anak hiperaktif memerlukan suatu layanan dengan
cara pemberian intervensi dengan terapi farmakologi dikombinasikan dengan terapai
perilaku (behavior modification). Jika anak hiperaktif tidak mendapatkan layanan terapi
yang adekuat, maka yang bersangkutan di kemudian hari akan berkembang ke arah
“kriminal”, suka mengutil barang, mencuri, mencoba-coba narkoba, merusak properti dan
cenderung berkembang ke arah problem yang lain, yaitu conduct disorder (CD)(Solek, P.
2004:5).
94
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Ciri yang paling mudah dikenal bagi anak hiperaktif adalah anak akan selalu
bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dan yang bersangkutan sangat jarang untuk
mampu diam selama kurang lebih 5 hingga 10 menit guna melakukan suatu tugas
kegiatan yang diberikan gurunya. Oleh karenanya, di sekolah anak hiperaktif
mendapatkan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas kerjanya, ia selalu mudah
bingung atau kacau fikirannya, tidak suka memperhatikan perintah atau penjelasan dari
gurunya, dan selalu tidak berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sekolah,
sangat sedikit sekali kemampuan mengeja huruf, tidak mampu untuk meniru huruf-huruf
(Rapport & Ismond, 1984 dalam Betshaw & Perret, 1986:263).
Definisi mengenai hiperaktif, menurut Stewart (1970: 94) sebagai berikut.
“..... Hyperactive child syndrome, typically a child with this syndrome is continually in motion, cannot concentrate for more than a moment, acts and speaks on impulse, is impatient and easily upset. At home he is constanly in trouble of his restlessness, noisiness, and disobedience. In school he is readly distracted, rarely finishes his work, tends to clown and talk out of turn in class and becomes labeled a discipline problems” (dalam Kauffman, J. M., 1985:174).
Ciri-ciri yang sangat nyata berdasarkan definisi tersebut di atas bagi peserta
didik hiperaktif adalah:
a. Selalu berjalan-jalan memutari ruang kelas dan tidak mau diam,
b. Sering mengganggu teman-teman di kelasnya,
c. Suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan sangat jarang untuk
tinggal diam menyelesaikan tugas-sekolah, paling lama bisa tinggal-diam di tempat
duduknya sekitar 5 sampai 10 menit,
d. Mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas di sekolah,
95
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
e. Sangat mudah berperilaku untuk mengacau atau mengganggu,
f. Kurang memberi perhatian untuk mendengarkan orang lain berbicara,
g. Selalu mengalami keggalan dalam melaksanakan tugas-tugas di sekolah,
h. Sulit mengikuti perintah atau suruhan lebih dari satu pada saat yang bersamaan.
i. Mempunyai masalah belajar hampir di seluruh bidang studi.
j. Tidak mampu menulis surat, meng-eja huruf dan berkesulitan dalam surat-menyurat.
k. Sering gagal di sekolah disebabkan oleh adanya in-atensi dan masalah belajar karena
persepsi visual dan auditory yang lemah.
l. Karena sering menurutkan kata hati (impulsiveness), mereka sering mendapat
kecelakaan dan luka. (Rapport & Ismond, 1984 dalam Batshaw & Perret, 1986:263).
Kesulitan belajar anak hiperaktif disebabkan pula adanya kontrol diri yang
kurang dan sering impulsif dalam setiap kegiatan yang ia lakukan, sangat mudah untuk
marah dan seringkali suka berkelahi. Dari adanya impulsivity ini, umumnya anak
hiperaktif sering mendapatkan “kecelakaan” dan mendapatkan luka. Ada di antara
mereka tidak suka berolahraga karena adanya kecanggungan atau kekakuan gerak.
Namun perlu dicatat bahwa tidak semua anak dengan hiperaktif atau kesulitan belajar
mempunyai attention deficit disorder (ADD).
Hubungan antara attention deficit disorder, learning disability dan hyperactive
dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.
96
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Gambar 3.1 Hubungan antara Kesulitan Belajar, In-atensi dan hiperaktif
(Batshaw & Perret, 1986:263).
Anak dengan ADD atau ADD-H selalu mendapat kesulitan di sekolah. Mereka
selalu gagal untuk melakukan hubungan sosial dalam pelajaran berolahraga, sedangkan di
rumah mereka juga sedikit mendapatkan dorongan untuk menghilangkan kesulitannya.
Anak hiperaktif tersebut dapat dipastikan mempunyai kesulitan untuk memahami konsep,
dan selalu gagal untuk segala kegiatan yang ia coba lakukan.
Kasus lainnya berkaitan dengan hiperaktif, antara lain: (1) anak tunagrahita
dapat juga mempunyai kelainan atau hendaya-penyerta hiperaktif, seperti adanya in-
atensi, perilaku impulsif, frustasi, dan rendahnya kemampuan dalam bidang kognitif.
Pendekatan secara medis dalam kasus semacam ini, pengobatannya kurang efektif; (2)
sifat in-atensi dan hiperaktif terdapat juga pada anak yang mempunyai seizure disorder,
terhadapnya terdapat problem perilaku disebabkan oleh adanya reaksi terhadap toxic
levels of phenobarbital atau anticonvulsant lainnya; (3) anak dengan hendaya
pendengaran dapat juga mempunyai sifat hiperaktif atau problem perilaku lainnya.
Problem ini disebabkan oleh kerusakan pada sebagian sel-sel syaraf pada otak, atau
adanya kesalahan mendiagnosa; (4) pada anak dengan kesulitan psikiatrik dapat
Learning Disability
Attention Deficit Disorder
Hyperactivity
97
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dimungkinkan mempunyai hiperaktif disebabkan oleh adanya perasaan tidak aman pada
dirinya atau salah mengenai tanggapan dirinya dan kurang responsivitas terhadap orang
lain.
Pengobatan terhadap anak ADD umumnya dilakukan dengan berbagai
pendekatan termasuk ke dalamnya program pendidikan khusus, modifikasi perilaku,
pengobatan melalui obat-obatan, dan konseling. Di samping pendekatan yang
kontroversial yaitu antara lain dengan melakukan diet-khusus, dan penggunaan obat-
obatan serta vitamin-vitamin tertentu.
Pendekatan secara pendidikan, umumnya diberikan suatu penempatan sekolah
yang tepat dalam suatu program khusus. Penempatan itu dianggap sangat penting
diterapkan guna “penyembuhan” anak dengan ADD. Pada anak ADD umumnya
mempunyai kesulitan belajar disebabkan adanya hiperaktif, sifat impulsif, dan
menurunnya daya-atensi saat mengikuti pelajaran (Straus & Lehtinen, 1955 dalam
Batshaw & Perret, 1986:266). Untuk perkembangan dan pertumbuhan diri anak
bersangkutan, diperlukan suatu bentuk program pembelajaran spesifik dalam sebuah
kelas-khusus dengan didampingi seorang asisten yang dapat membantu kegiatan selama
layanan pembelajaran diberikan kepadanya.
Pada anak dengan ADD-H pendekatan yang efektif adalah dengan menerapkan
modifikasi perilaku saat pelaksanaan pembelajaran. Metode yang digunakan akan
melibatkan tata cara pengaturan program. Lingkungan yang terstruktur, dan bentuk re-
inforcement terhadap perilaku yang dianggap penting. Alasan utama digunakannya
modifikasi perilaku disebabkan bahwa perilaku (behavior) dapat dikontrol melalui
konsekuensi-konsekuensi (consequences) yang diperlakukan akibat adanya perilaku
98
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sasaran pembelajaran ( target behavior) tersebut. Jadi manakala hasil perilaku sasaran
tertentu mendapatkan reward, maka akan memperoleh manfaat dengan berulangkalinya
perilaku tertentu di masa yang akan datang. Jika perilaku tidak mendapat reward maka
tidak akan muncul lagi. Anggapan ini berdasarkan atas tiga landasan utama dari suatu
metode pengontrolan terhadap perilaku, yaitu: reinforcement, punishment, dan extinction.
Dengan menggunakan modifikasi perilaku, maka saat mencatat semua hasil perilaku
sasaran yang kemunculannya diharapkan, model evaluasi terhadap subjek tunggal sangat
memegang peranan penting (single-case design: A-B; A-B-A; atau A-B-A-B).
Suatu program untuk layanan pembelajaran atau bimbingan konseling terhadap
anak ADD-H diperlukan suatu model tersendiri bersifat spesifik dengan berlandaskan
pada pola Input – Process – Output. Dalam input, diperlukan kegiatan-kegiatan berkaitan
dengan (a) skrining atau asesmen guna mengetahui informasi berkaitan dengan
karakteristik-khusus dari anak bersangkutan, (b) masukan informasi berkaitan dengan
program yang lalu, keadaan dan keberadaan oara guru, therapist, dan konselor setempat,
sarana dan prasarana, serta tahapan kegiatan yang pernah dilakukan atau diterapkan ke
pada anak bersangkutan. Masukan lingkungan, berkaitan dengan norma, tuntutan, tujuan
suatu kegiatan, serta keadaan lingkungan anak merupakan informasi yang sangat berguna
dan sangat memegang peranan penting bagi kegiatan input.
Selanjutnya, proses kegiatan layanan spesifik diperlukan suatu program
pembelajaran/ konseling/ terapi yang bersifat individu dan dibuat secara khusus, dengan
melihat kurikulum yang berlaku, perilaku non-adaptif atau mal-adjustment tertentu, cara
melaksanakan kegiatan intervensi, dan bagaimana melakukan refleksi kegiatan
pembelajaran. Selama proses kegiatan untuk “penyembuhan” terahadap anak ADD-H
99
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
diperlukan program tertentu yang lebih menitik beratkan pada model modifikasi perilaku.
Siklus kegiatannya diperlukan adanya tindakan (act), perencanaan (plan), Pengamatan
(observation), refleksi hasil kegiatan pembelajaran (reflextion), dan Perencanaan kembali
(re-plan) dan seterusnya berputar kembali ke pada kegiatan semula, sampai ditemukan
kesempurnaan perilaku sasaran tertentu pada sasaran akhir (annual goals).
Dalam out-put atau keluaran, program hendaknya berfokus ke pada perilaku
sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, dan yang merupakan konsekuensi berikutnya.
Semua hasil berkaitan dengan tingkat kestabilan perkembangan perilaku tertentu perlu
dicatat dalam sebuah formulir pencatatan khusus (disebut dengan recording sheet for rate
data). Semua hasil catatan itu kemudian di rekapitulasi dan dipetakan dalam sebuah
grafik single-case design. Penghitungan stabilitas perkembangan (trend stability)
merupakan analisis untuk menghitung kadar perkembangannya, apakah masih labil
(disebut: Variable) atau sudah tetap (disebut dengan: Constant). Disebut dengan constant
manakala nilai trend stability berada pada 85% ke atas.
100
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
D. KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS
(ANAK DENGAN HENDAYA PERILAKU SALAH SUAI)
Definisi berkaitan dengan tunalaras atau emotionally handicapped atau
behavioral disorder saat sekarang lebih terarahkan berdasarkan definisi dari Eli M.
Bower (1981). Definisi Bower (1981) menyatakan bahwa anak dengan hambatan
emosional atau kelainan perilaku, apabila ia menunjukkan adanya satu atau lebih dari
lima komponen yang tertera di bawah ini.
a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensory atau
kesehatan.
i. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru
ii. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya
iii. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan
atau depresi
iv. Bertendensi ke arah symptoms fisik seperti: merasa sakit, atau ketakutan berkaitan
dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Berdasarkan definisi Bower tersebut di atas, masalah hambatan dalam belajar
merupakan karakteristik pertama dan merupakan aspek yang signifikan di sekolah.
Sehingga definisi hambatan emosional tercatat dalam Peraturan Pemerintah Amerika
Serikat (Public law 94-142 Secdtion 121 a. 5), sebagai berikut.
1) Mempunyai kondisi satu atau lebih dari komponen Bower tersebut di atas akan
berpengaruh terhadap kinerja-pendidikan untuk periode waktu yang panjang.
101
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
2) Secara pasti bahwa ketidakmapuan belajar bukan disebabkan karena faktor-faktor
berkaitan dengan kemampuan intelektual, sensory dan kesehatannya.
3) Tidak mampu untuk melakukan kerja sama yang memuaskan dengan teman-
teman dan guru-gurunya
4) Mempunyai tipe perilaku yang tidak pada tempatnya atau perasan yang tidak
umum dengan lingkungannya
5) Mempunyai perasaan tidak gembira atau suka depresi.
6) Bertendensi ke arah symptom fisik. Misalnya, perasaan takut terhadap
perorangan atau permasalahan yang ada di sekolah.
7) Istilah tersebut di atas termasuk kepada mereka anak-anak yang menyandang
schizophrenic atau autistic. Tetapi tidak menyangkut kepada mereka yang tidak
mampu beradaptasi secara sosial.
Banyak anak-anak dan remaja menunjukkan kelainan perilaku yang
menyimpang (tunalaras). Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan hendaya penyerta
lainnya, seperti hambatan perkembangan fungsional (mental retardation) dan kesulitan
belajar yang spesifik (specific learning disability). Guru kelas hendaknya mampu
mengatasi siswa-siswa dengan hendaya perilaku salah suai melalui program pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi mereka. Umumnya, di sekolah-sekolah reguler anak-anak
dengan kelainan perilaku salah suai banyak dijumpai dengan tingkat ringan. Sedangkan
anak-anak dengan kelainan perilaku tingkat sedang banyak di tempatkan di sekolah-
sekolah khusus. Untuk tingkat-berat umumnya mereka ditempatkan dalam tempat
102
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dengan situasi dan kondisi yang spesifik (mereka ini antara lain: schizophrenic,
psychopatic, dan psychopatic behavior).
Para ahli psikoanalisis mempercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi sejak
usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak merupakan penyebab utama
dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelainan perilaku yang serius. Para
orang tua yang menerapkan disiplin rendah terhadap anak-anaknya tetapi selalu
memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, suka menolak
sepertinya dapat menjadi sebab seorang anak menjadi agresif, nakal atau jahat
(delinquent) (Hallahan & Kaufmann, 1978 dalam Geddes, D. , 1981:124).
Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku salah suai dapat dipakai sebagai
patokan untuk menggunakan program pembelajaran yang mengarah kepada intervensi
khusus untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan perilaku salah suai. Jika anak
mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih
menekankan pada psikodinamis. Jika anak menunjukkan penyimpangan dalam
berperilaku bermasyarakat (agresif, menghindar dari keramaian, dan sikap bertahan diri)
maka diperlukan penanganan dengan model perilaku, pendekatan penyembuhannya
dengan cara memodifikasi perilaku untuk berperilaku yang benar daripada membetulkan
kasus-kasusnya.
Anak yang mempunyai kelainan perilaku umumnya tidak mampu untuk
berteman karena yang bersangkutan selalu menemui kegagalan saat melakukan hubungan
dengan orang lain. Kegagalan mengadakan hubungan dengan orang lain disebabkan oleh
adanya ketidakpuasaan dirinya terhadap elemen-elemen lingkungan sosialnya (Hallahan
& Kauffman, 1986:144-148). Oleh karenanya perilaku guru dan teman-sekelasnya harus
103
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dapat dikondisikan sedemikian rupa agar situasi interaksi di dalam kelas dapat
memberikan kesempatan bagi anak-anak dengan hendaya perilaku salah suai untuk
melakukan interaksi dengan kompetensi sosial dan perangai yang memadai (Thomas et
al., 1968 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:159). Maka program pembelajaran
individual yang disusun guru hendaknya lebih menekankan ke pada bentuk-bentuk
interaksi antara guru – murid - teman sekelasnya. Aplikasi gerak irama terhadap
program pembelajaran individual semacam ini sangat membantu guru kelas dalam
mewujudkan interaksi antara ketiga unsur: murid – guru – dan teman sekelas melalui
pola-pola gerak tubuh. Dengan kata lain bahwa gerak irama bertujuan untuk
“membentuk” jalinan-hubungan interaksi dalam proses kegiatan pembelajaran terhadap
anak dengan hendaya kelainan perilaku.
1. Konsep Anak dengan Hendaya Perilaku Salah Suai (Tunalaras)
a. Pengertian Hendaya Perilaku Salah Suai
Behavioral impairment atau hendaya perilaku salah suai (tunalaras)
merupakan istilah berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para
pendidik. Definisi dan pemberian nama-nama lain, antara lain berkaitan dengan istilah-
istilah, seperti: gangguan emosional (emotionally disturb), perilaku sosial-emosional
yang maladaptif (maladaptive social-emotional behavior), kelainan perilaku
(behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan (educationally handicapped), dan
kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes, D., 1981:123). Sedangkan
Hallahan & Kauffman (1986:146), memberikan istilah kelainan perilaku dengan nama:
gangguan perilaku/ kelainan perilaku (Behavioral disturbance/ behavioral disorder).
104
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Definisi tentang anak dengan hendaya perilaku saat ini masih dipakai pendapat
dari Eli M. Bower (1981), yang menyatakan bahwa “anak-anak yang mempunyai
hendaya perilaku secara emosional adalah mereka yang menunjukkan satu atau lebih
dari kelima karakteristik di bawah ini yang terjadi secara terus-menerus serta menjadi
lebih berkembang”. Karakteristik anak-anak yang mempunyai kelainan perilaku salah
suai, menurut Geddes, D. (1981:124) dan Kauffman, J.M. (1985:22), adalah mereka yang
menunjukkan lima karakteristik sebagai berikut.
1). Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh faktor-faktor:
intelektual, sensori, atau faktor kesehatan.
2). Ketidakmampuan untuk membangun hubungan antar-pribadi secara memuaskan,
sehingga hubungan antar pribadi (dengan teman-teman dan guru) yang sangat
rendah.
3). Berperilaku dan berperasaan yang tidak semestinya.
4). Pada umumnya, mereka merasa tidak bahagia atau depresi.
5). Bertendensi terjadi peningkatan gejala-gejala pisik yang kurang sehat, rasa sakit,
atau rasa takut yang bersifat psikologis berkaitan dengan masalah-masalah saat
melakukan hubungan dengan orang dan sekolah (Bower, 1969 dalam Geddes, D.,
1981:124; dalam Kauffman, J.M., 1986:22).
Kelima karakteristik tersebut di atas mengacu ke pada pernyataan-pernyataan
berkaitan dengan pemberian suatu definisi berdasarkan atas penyelidikan yang banyak
dipakai dalam berbagai kegiatan para ahli pendidikan (Cullinan & Epstein, 1979; Epstein
105
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
et al, 1977, dalam Kauffman, 1985:18), yang menunjukkan adanya beberapa komponen
yang dapat diidentifikasi, sebagai berikut.
1). Adanya kelainan emosi atau perilaku
2). Permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan ketidakmampuan
melakukan hubungan antar-pribadi (interpersonal relationship).
3). Ketidakmampuan belajar dan pencapaian keterampilan-keterampilan di sekolah.
4). Perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya atau tidak sesuai dengan
harapan-harapan yang diinginkan sesuai dengan kecocokan-umur.
4). Permasalahan yang disandangnya dalam kurun waktu yang panjang.
5). Permasalahan berkaitan dengan hendaya perilakunya dikategorikan dalam tingkat
berat (severe).
6). Membutuhkan bantuan pendidikan khusus (special education).
Kelainan perilaku merupakan perilaku yang menyimpang dari perilaku normal,
diakibatkan adanya pertentangan dengan orang dan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan
dari mereka mempunyai skor rendah dalam belajar dan tes inteligensi. Prevalensi
terjadinya anak-anak dengan hendaya perilaku salah suai bervariasi, namun diperkirakan
berkisar antara dua hingga 22 persen dari anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan
banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada anak perempuan. Pendapat lain, bahwa
privalensi dari anak dengan hendaya perilaku berkisar lima hingga 20 persen atau bahkan
lebih dari populasi anak usia sekolah (Kauffman, J.M., 1985:25). Sulitnya
memperkirakan privalensi secara tepat disebabkan oleh adanya beberapa hal sebagai
berikut.
106
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(1). Sebelum jumlah anak dengan hendaya perilaku di definisikan, perkembangannya
masih belum dapat dipastikan secara akurat dan reliabel,
(2). Adanya perbedaan-perbedaan dalam metodologi dapat menyebabkan hasil-penelitian
berkaitan dengan hendaya anak dengan kelainan perilaku menjadi berbeda,
(3). Adanya pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada pada kebijakan sosial serta
faktor-faktor ekonomi yang turut berperan dalam memberikan definisi dan
metodologi. Kebijakan dari hasil latihan-latihan para ahli pendidikan dan
pertimbangan-pertimbangan klinis masih terabaikan (Maglioca & Stevens, 1980
dalam Kauffman, J.M., 1985:25).
Kasus yang banyak ditemukan berkaitan dengan hendaya perilaku salah suai
sangat erat hubungannya dengan adanya defisit pada faktor-faktor: (1) biologis atau
organik, (2) kelainan psikologis atau psikodinamis, (3) konflik-konflik di lingkungan
masyarakat, dan (4) perilaku sosio-adaptif yang tidak berkemampuan menyesuaikan diri
(maladjustment). Menurut Kauffman, J. M. (1985:91-164) faktor-faktor yang paling
dominan penyebab adanya hendaya perilaku (behavior disorders) yaitu: (1) faktor
keluarga, (2) faktor biologis, dan (3) faktor sekolah.
Defisit dalam aspek organik secara tersendiri atau kombinasi dengan faktor-faktor
lingkungan dapat menyebabkan adanya perilaku yang menyimpang. Anak dengan
hendaya ketidakberfungsian sistem syaraf pusat atau kelainan secara biokemikal (seperti:
nutrisi yang rendah, kurang tidur) dapat mengakibatkan kerusakan secara pisik, seperti
adanya ketidakseimbangan dalam hormon, cedera otak, kerusakan enzim dan
schizophrenia genotype. Kerusakan secara organik atau biologis sangat sulit untuk
107
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
diidentifikasi walaupun kondisinya secara nyata sangat berat, seperti pada anak dengan
sindrom kelangkaan komunikasi (autism) dan anak dengan sindrom kelainan-psikis
(schizophrenia).
Masalah-masalah pribadi atau psikologis pada anak-anak dan remaja banyak
dibicarakan dan telah dilakukan penelitian-penelitian oleh para ahli. Secara teori banyak
dibicarakan melalui model psikoanalisis dari Freud dan pendekatan psikologis
kemanusiaan melalui teori-teori dari Adler, Maslow, Allport, Combs, dan Rogers
(Reinert, 1976 dalam Geddes, D., 1981:124). Para ahli psikoanalisis mempercayai bahwa
interaksi negatif yang terjadi sejak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan
anak merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan
kelainan emosional yang serius. Orang tua yang menerapkan disiplin rendah tetapi selalu
memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, dan suka menolak
dapat menyebabkan seorang anak menjadi agresif atau nakal (delinquent) (Hallahan &
Kauffman 1978, dalam Geddes, D., 1981:125).
Adanya tekanan-tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak,
ditambah dengan ketidakberhasilan anak bersangkutan dalam pergaulan lingkungannya
seringkali menjadi penyebab perilaku-perilaku yang menyimpang. Dapat juga terjadi,
bila seorang anak kurang memahami akan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan
masyarakat atau juga dapat terjadi oleh karena adanya suatu pendangan yang keliru
terhadap sekelompok minoritas tertentu, dapat menjadi sebab anak yang suka melawan
hukum atau aturan-aturan tertentu dan selalu memberontak untuk melawan orang yang
berkuasa.
108
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Perilaku sosio-adaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi dan
melakukan penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-pengalaman
hidup yang diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor sosio-adaptif antara lain
perkembangan kedewasaan, penyesuaian sosial, dan kemampuan belajar. Jika seseorang
mempunyai penyimpangan tingkat penyesuaian normal secara kronologis, dapat
dipastikan menjadi anak yang kurang dapat menyesuaikan diri (maladjustment) atau
perilaku yang menyimpang.
Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku salah suai dapat juga dipakai sebagai
patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika seorang anak
mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih
menekankan pada psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang anak menunjukkan
penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat maka diperlukan penanganan dengan
model perilaku, yaitu dengan cara memodifikasi untuk belajar berperilaku yang benar
daripada membetulkan kasus-kasusnya. Tipe perilaku yang tampak, merupakan refleksi-
refleksi dari perasaan diri seperti: marah, merasa sering menemui kegagalan, takut,
frustasi, ketakutan tanpa sebab, konsep diri yang kurang, tidak merasa aman, penerimaan
terhadap dirinya yang kurang, masalah-masalah identitas, merasa diacuhkan oleh orang
lain. Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan dengan
kegagalan dalam belajar dan berbicara dengan gagap.
Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku
salah suai, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri.
Agresif merupakan perilaku dalam wujud bermusuhan (hostility), suka berkelahi
(belligevency), suka berteriak (yelling), ledakan kemarahan (temper outbursts), suka
109
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
menyindir (teasing), suka mengacaukan (vandalism), suka melawan terhadap
kewenangan orang dewasa (resiteance to adult authority), suka melakukan kenakalan/
kejahatan (delinquency), suka memukul secara pisik pada orang lain (physically striking
others), dan suka menolak untuk bekerja sama (refusing to cooperate).
a). Withdrawal atau sifat suka menghindarkan diri dari orang lain, merupakan perilaku
yang mudah dilihat oleh guru. Umumnya anak yang mempunyai perilaku semacam ini,
pada dasarnya adalah seorang anak yang berperilaku baik. Namun kelainan perilaku
semacam ini berkaitan dengan perilaku yang bersikap pasif (passivity), suka melamun
(day dreaming), ketidakdewasaan (immaturity), suka menghisap ibu-jarinya (thumb
sucking), mempunyai rasa takut yang berlebihan (extreme fear), sering gagal untuk
berbicara (failure to talk), tidak suka bergaul (reluctance to sosialize), bermain sendirian
(playing alone), sering mengeluh merasakan sakit (complaining of feeling ill), tidak
menaruh perhatian terhadap lawan berbicara saat berbicara dengan orang lain, berperilaku
suka merangsang diri (melakukan onani), dan sangat mudah untuk depresi (muram atau
sedih).
b). Sikap bertahan diri (defensive behavior), merupakan perilaku yang dilakukan untuk
melindungi diri dari situasi berbahaya secara psikologis. Mekanisme ini selalu digunakan
oleh semua orang dalam populasi secara umum tetapi bila digunakan secara berlebihan
oleh seseorang maka ia mempunyai hendaya kelainan perilaku salah suai, karena cara-
cara perlindungan diri sendiri yang dilakukannya dilakukan secara tidak wajar.
Contohnya, suka menyalahkan orang lain bila dirinya melakukan kesalahan atau
kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun atau berfantasi untuk lari dari
110
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kenyataan yang sebenarnya, tindakan-tindakannya selalu menggunakan alasan-alasan
yang tidak masuk akal, adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan sering
mendapatkan kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkan
keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap kekurangan dirinya,
menganggap dirinya seperti seseorang yang ia kagumi.
Tipe-tipe perilaku lainnya antara lain: ketidakhadiran diri (absenteism), suka
melarikan diri dari kenyataan, bersikap selalu lamban, suka berbohong, suka menipu,
suka mencuri, tidak bertanggungjawab, sering kehilangan barang-barangnya dan
menghindar diri jika disuruh kerja.
b. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak dengan Hendaya Kelainan Perilaku
Hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai
pada usia sekolah dasar dan taman kanak-kanak, pada umumnya berkaitan dengan sering
terjadi konflik dengan orang tuanya, dengan pasangan saudara kembarnya sehingga
mempunyai perwatakan yang keras, menyangkut perilaku lekas marah, mempunyai pola
tidur dan makan yang tidak umum. Pada umumnya, bila anak sering mendapatkan
tanggapan-tanggapan negatif dari teman main dan orang lain dalam lingkungan
kehidupannya menyebabkan anak menjadi lebih agresif dan lebih sering menghindarkan
diri dari kerumunan orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya, program intervensi
menjadi lebih efektif terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku pada tingkat
sekolah dasar.
Pada anak-anak usia sekolah di tingkat sekolah menengah pertama, umumnya
mereka mempunyai hambatan pada penyesuaian diri terhadap lingkungan (socially
111
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
maladjusted), sehingga menjadikan diri mereka berperilaku salah suai berkaitan dengan
suka mengindarkan diri seperti anak autistik hingga menjadi anak yang agresif suka nakal
dan melakukan kejahatan. Program intervensi yang dianggap tepat adalah pemberian
kegiatan keterampilan hidup sehari-hari dalam suatu lingkungan khusus sebagai
lingkungan tempat melakukan latihan-latihan kehidupan yang baik, disamping
dipersiapkan suatu kurikulum yang tidak umum atau spesifik dengan latihan-latihan
vokasional yang khusus.
Kurikulum yang spesifik seyogyanya disusun dengan memperhatikan suatu
bentuk kurikulum yang bermuatan kegiatan berdasarkan atas pengalaman-pengalaman
esensial yang harus dimplementasikan ke dalam suatu rancangan pembelajaran yang di
arahkan pada fokus keterampilan khusus dan secara rinci. Dengan kata lain bahwa
kurikulum yang disusun: (a) bukan berisikan suatu mata pelajaran untuk diajarkan suatu
keterampilan pengalaman secara langsung berdasarkan atas pokok bahasan yang
dituangkan dalam garis-garis besar program pembelajaran, (b) Hendaknya dimasukkan
suatu bentuk keterampilan-keterampilan spesifik yang bersifat permainan yang
mengandung unsur kesenangan dan rasa saling menyayangi, serta dapat dipergunakan
dalam kehidupan anak bersangkutan (Kauffman, J. M., 1985:342).
Pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku yang sudah dewasa, hambatan
yang nampak adalah kesulitan dirinya untuk hidup mandiri secara bebas, dan hidup yang
berproduktif. Mereka mempunyai kelainan perilaku yang diklasifikasikan dalam psikotik
(autistic dan schizophrenic) dan kelainan perilaku khusus, seperti agresif yang berlebihan
(Hallahan & Kauffman, 1986:179-181).
112
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
c. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunalaras
a). Pendekatan yang Diperlukan
Disebabkan anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai mengacu ke
pada adanya: (1) perilaku yang sangat ekstrim, (b) masalahnya sangat kronis (salah
satunya adalah sulit untuk dihilangkan secepatnya), (c) perilaku yang tidak diterima oleh
adanya harapan-harapan tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu maka
pendekatan dalam dunia pendidikan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut.
(a). Pendekatan secara psikoanalitis dalam pendidikan, merupakan tuntunan-
tuntunan berdasarkan prinsip-prinsip psikoanalisis. Masalah yang dihadapi
oleh anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai dipandang sebagai
ketidakseimbangan secara patologis antara bagian-bagian dinamis dari
pikiran: id, ego dan super-ego. Para praktisi pendidikan mengupayakan untuk
membantu dalam meningkatkan keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan
prestasi ke arah yang sebaik mungkin. Penekanannya terletak pada
pembentukan hubungan yang baik antara guru dan siswa, agar diri siswa
mempunyai perasaan diterima dan bebas untuk mengemukakan keadaan
dirinya. Dengan demikian maka perhatian guru lebih tertuju ke pada upaya-
upaya untuk membantu anak dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya,
bukan dengan merubah perilaku kelainan yang tampak atau memberikan
keterampilan akademik (Bettelheim, 1950, 1967; Berkowitz & Rothman, 1960
dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173).
(b). Pendekatan secara psiko-edukasional. Terhadap anak dengan hendaya
kelainan perilaku yang diasumsikan bahwa kelainannya melibatkan kelainan
113
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
psikiatrik dan adanya kesalahan-kesalahan perilaku yang tidak semestinya
dilakukan oleh seorang anak, maka diperlukan pendekatan secara seimbang
antara sasaran yang bersifat terapeutik (penyembuhan) dengan sasaran untuk
pencapaian prestasinya. Motivasi terhadap ketidaksadaran diri dan faktor-
faktor yang bersifat patologi perlu mendapatkan pertimbangan dalam
pembelajarannya, melalui penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap
individu dan pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang
memanfaatkan kegiatan kreatif-seni, seperti: musik, tari, dan kegiatan yang
bersifat seni.
(c). Pendekatan secara humanistik. Pendekatan ini berdasarkan atas pandangan
psikologi humanistik sehingga memungkinkan adanya perubahan dalam
pendidikan, dan sebagai revolusi perubahan terhadap konsep-konsep
pendidikan tradisional semenjak tahun 1960-an. Masalah utama, seperti apa
yang dapat dilihat oleh para pendidik, adalah bahwa anak-anak dengan
hendaya kelainan-perilaku belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang
mempunyai perhatian dan masih belum dianggap penting dalam lingkungan
pendidikan tradisional. Hal yang perlu disarankan ke pada para praktisi
kependidikan adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guna
mempertinggi kemampuan siswa untuk mengatur diri sendiri, mampu
mengevaluasi diri, dan keterlibatan emosional dalam pembelajaran yang
diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang non-tradisional. Fungsi guru
dalam hal ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam
pembelajarannya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru bersama-
114
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sama siswa bekerja bersama saling memberikan informasi dalam keadaan
yang saling menguntungkan dan berkesan. Biasanya kata-kata yang
dipergunakan adalah tidak bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan,
bersifat ke arah evaluasi- diri, afektif, terbuka dan bersifat pribadi (Hallahan &
Kauffman, 1986:175).
(d). Pendekatan secara ekologis. Elemen-elemen lingkungan seperti sekolah,
lingkungan keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang
interaksi bagi anak. Oleh karenanya praktisi pendidikan sebaiknya menjadi
bagian dari strategi keseluruhan suatu sistem dimana anak merupakan bagian
yang terlibat di dalamnya. Sasaran dari pendekatan ini adalah merubah
lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu intervensi terhadap
perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya diberlakukan dalam
ruangan kelas saja, tetapi meliputi juga kegiatan-kegiatan yang dapat
dilakukan oleh keluarga dari anak yang bersangkutan, tetangganya, dan orang-
orang yang ada di lingkungannya. Pendekatan secara ekologis membutuhkan
seorang guru yang cakap dalam memberikan keterampilan spesifik yang
berguna, termasuk di dalamnya keterampilan akademik, rekreasi, dan
keterampilan untuk hidup sehari-hari.
(e) Pendekatan perilaku. Pendekatan ini menggunakan dasar-dasar
pengkondisian yang bersifat operant dan respondent. Asumsinya adalah
bahwa permasalahan yang bersifat perilaku yang menjadi penyebab tidak
tepatnya pembelajaran pada anak dengan hendaya kelainan perilaku dapat
dibantu dengan cara memodifikasi perilaku. Modifikasi perilaku dapat
115
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi lingkungan anak secara segera,
tergantung pada penempatan ruangan kelas dan konsekuensi dari perilaku
anak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa tanggapan-tanggapan anak
hendaknya dapat segera disadari oleh guru atau praktisi serta dapat diukur
secara cermat, sehingga fokus dalam pendekatan perilaku adalah memberikan
batasan secara tepat dan mengukur perilaku yang dapat diamati yang menjadi
masalah, dan memanipulasi konsekuensi-konsekuensi perilaku anak yang
bersangkutan dalam upaya melakukan perubahan.
b). Rancangan Pembelajaran
Program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai
sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan sosial-emosionalnya. Untuk itu
maka diperlukan perhatian khusus terhadap perkembangan sosial-emosional dan
psikomotornya. Yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional, meliputi hal-
hal sebagai berikut.
a. Kepuasan diri: merasa sehat, meningkatkan konsep-diri, meningkatkan
kepercayaan diri, aktualisasi-diri dan peningkatan kesadaran terhadap
tubuh.
b. Perkembangan fungsional: sikap bermasyarakat, pandangan terhadap nilai-
nilai, kepribadian, menyenangi hubungan antar-pribadi dalam suatu
lingkungan kehidupan.
116
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
c. Perkembangan emosional: kestabilan emosi, merasa senang, suka
menyampaikan perasaan-perasaan emosi dirinya, bergaul erat sesama
teman.
Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat
meningkatkan hubungan orang-perorang, selanjutnya suatu program pembelajaran bagi
anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan adanya hal-hal berikut:
(1) Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan
kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang
bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.
(2) Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk dapat memperoleh
pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya,
dan dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh.
(3) Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan,
seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kegiatan-kegiatan layanan
pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan memperhatikan:
(a) adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan dirinya
sendiri,
(b) dapat meningkatkan persahabatan,
(c) adanya kesempatan pada anak untuk dapat memecahkan masalah-
masalahnya secara sendiri.
117
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(d) menggunakan gerakan-gerakan ritmis,
(e) dilakukan dengan memodifikasi perilaku yang bersifat operant condition,
dengan penguatan yang positif (positive reinforcement), hukuman
(punishment), dan penarikan/ penghentian kegiatan (time-out).
c. Langkah-langkah Kegiatan Pembuatan Rancangan Pembelajaran
1. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan fungsional
psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory
(GPI) Profile I dan II (sebagai pre test)
2. Menganalisis seluruh hasil skrining atau pre test dengan instrumen GPI Profile I
dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat keberfungsian psikomotor anak yang
bersangkutan disesuaikan dengan perkembangan sosial-emosionalnya.
3. Membuat suatu pola-gerak yang merupakan bahan intervensi-guru dalam kegiatan
pembelajarannya
4. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak,
berdasarkan atas hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum yang
berlaku.
5. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui:
(a) Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor, sehingga dapat
berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosionalnya atau tidak.
Dilakukan dengan instrumen GPI Profile I dan II (sebagai post test)
118
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(b) Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran (dalam hal ini
adalah perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai target yang akan
dicapai dalam pembelajaran. Dalam hal ini dipergunakan analisis
terhadap grafik A-B-A dalam suatu metode subjek-tunggal.
Langkah Kegiatan Satu:
Melakukan skrining atau tes dengan GPI profile I dan II, terhadap siswa contoh yaitu
anak dengan hendaya kelainan perilaku suka menyendiri (withdrawal- sebagai
perilaku sasaran), duduk di kelas I sekolah dasar. Hasil-hasil skrining atau tes dengan
GPI I dan II, pada halaman berikut.
119
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil I )
Cara Pengisian Jawaban Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 (Empat) bila anak melakukan sendiri Angka 3 (Tiga) bila anak melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 (Dua) bila anak melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 (Satu) bila anak melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 (Nol) bila anak tidak dapat melakukan.
No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0
A. Penguasaan Keseimbangan dan Bentuk Tubuh
A. 1 Menegakkan kepala V A. 2 Berguling V A. 3 Duduk V A. 4 Berdiri V
B. Gerak Dasar dan Lokomotor
B. 5 Merangkak V B. 6 Bergerak perlahan-lahan V B. 7 Berjalan V B. 8 Lari V B. 9 Memanjat V B. 10 Menggerakkan anggota tubuh V B. 11 Melompat V
C. Memanipulasi Gerakan
C. 12 Menggenggam dan melepaskan V C. 13 Membangun bentuk V C. 14 Menggambar dan menulis V C. 15 Memasukkan benda ke kotak V C. 16 Berpindah tempat V
D. Penguasaan Bola atau benda Sejenis
D. 17 Melempar V
Jumlah Masing-masing Skor:
13
4
∑ = Χ =
64 3,76
120
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil II) Cara Pengisian jawaban Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali. No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0 A. Gerak Dasar dan Daya Gerak : A.1 Berjalan V A.2 Berlari V A.3 Memanjat V A.4 Mekanisme gerak tubuh V A.5 Melompat V A.6 Meloncat-loncat V A.7 Lari mencongklak V A.8 Melangkah dilanjutkan dengan meloncat. V B. Penguasaan Diri: B.9 Mampu melakukan orientasi ruang V B.10 Bergerak ke arah yang sejajar dengan objek lain V B.11 Bergerak lurus ke depan V B.12 Mengetahui fungsi dan gerak tubuh V B.13 Mengetahui garis tengah tubuh V B.14 Mengenali bagian tubuh sendiri V C. Kemampuan Persepsi: C.15 Merespon terhadap persepsi dengar V C.16 Merespon terhadap persepsi pandang V C.17 Merespon terhadap persepsi rabaan V D. Koordinasi Gerak Mata: D.18 Dengan tangan V D.19 Saat memandang V D.20 Dengan kaki V E. Memanipulasi Gerak: E.21 Menulis dan menggambar V E.22 Melakukan gerakan dengan berbagai cara terhadap benda V F. Menguasai Alat: F.23 Bersepeda V F.24 Bergerak sepanjang garis sejajar V G. Penguasaan terhadap bola / benda sejenis: G.25 Melempar V G.26 Menangkap V G.27 Menendang V G.28 Memukul V
∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ= 101 3,6
121
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Langkah kedua:
Menganalisis hasil pre test dengan GPI Profile I dan II.
Diperoleh data sebagai berikut: (1) Hambatan atau kelemahan dari GPI profile I
adalah Memanipulasi Gerak, (2) Hasil dari GPI Profil II adalah: terjadi hambatan pada
tiga bagian, yaitu: Kemampuan Persepsi (khususnya respon terhadap persepsi pandang),
Koordinasi Gerak Mata, dan Memanipulasi Gerak.
Maka dapat disimpulkan bahwa intervensi yang akan dimasukkan dalam
rancangan pembelajarannya adalah gerakan-gerakan berkaitan dengan memanipulasi
gerak (seperti: melempar, menangkap, menendang, memantulkan, memukul dengan alat),
kemampuan persepsi (dalam hal ini adalah kemampuan merespon terhadap daya
pandang), dan koordinasi gerak mata (berkaitan dengan kemampuan melakukan gerakan-
gerakan berkaitan dengan daya koordinasi mata dengan anggota tubuh).
Langkah Ketiga:
Membuat Skematis dan Bagan Pola-Gerak
Sebelum disusun pola-gerak (berupa bagan atau gambar), terlebih dahulu dibuat
suatu sketsa pola gerak bagi siswa dengan hendaya kelainan perilaku seperti yang ada
pada halaman berikut.
122
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Tabel 4.1 Skematis Pola gerak untuk Siswa Tunalaras
Pola Gerak (Skills Themes)
Konsep Gerak Lokomotor Manipulatif Non-Manipulatif Jalan dan Lari Lempar dan tangkap Melompat, mendarat
dan mengulurkan otot-otot tubuh.
A.Dimana tubuh digerakkan:
1.Lokasi 2.Arahnya 3.Tingkat gerak 4.Perluasan B. Bagaimana tubuh digerakkan: 1. Waktu 2. Tenaga 3. Arah/ Jalur
Lapangan sepakbola Kedepan, kebelakang dan kesamping. Sedang dan cepat Lurus/ zigzag. Secara teratur. Sepenuh tenaga Diarahkan
Lapangan sepakbola Kedepan, kebelakanag dan kesamping. Sedang. Lurus dan melambung.
Lapangan sepakbola. Kedepan, kebelakang, dan kesamping. Sedang Jauh kemuka dan kesamping. Cepat dan tiba-tiba. Depan/ belakang. Berteman.
C. Relationship: 1. Dengan Tubuh: 2.Dengan Objek/
orang: 3. Bentuk Sosialnya:
Meluas/ melebar. Dekat/ jauh Berteman berpasangan.
Sejajar. Atas/Bawah dan Dekat/jauh. Berkelompok dalam regu.
Meluas/Melebar. Depan / Belakang Bergerak berpasangan dengan teman.
Bagan 4.1. Pola Gerak untuk Anak Tunalaras.
A
B C
D E
F G
123
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Keterangan Bagan 4.1
A, sampai dengan G adalah lokasi kegiatan kognisi berkaitan dengan Pokok dan Sub-
pokok Bahasan.
Jalur A ke B, dilakukan kegiatan berlari berpasangan sambil memantulkan bola dengan
tangan kanan sebanyak lima kali, kemudian dioperkan pada temannya.
Temannya melakukan kegiatan yang serupa. Pada Lokasi B anak secara
berpasangan melakukan tepukan tangan berpasangan dengan posisi tangan
kiri dengan kanan dan sebaliknya. Kegiatan tepukan ini dilakukan
sebanyak 10 kali, dilanjutkan dengan menuliskan kegunaan tangan bagi
kehidupan manusia pada kertas kerja yang telah disediakan guru.
Jalur B ke C, melakukan kegiatan berjalan perlahan sambil berpegangan tangan dengan
pasangannya dan menghitung sampai bilangan 10, kemudian melakukan
lompatan melewati rintangan tertentu. Diteruskan sampai ke Lokasi C. Di
Lokasi C, anak-anak melakukan kegiatan menendang bola di arahkan ke
satu sasaran tertentu. Dalam kesempatan ini siswa menuliskan kegunaan
kaki bagi kehidupan manusia.
Jalur C ke D, merupakan kegiatan lempar dan tangkap bola berpasangan dengan teman-
pasangannya dilakukan dengan jalan atau lari secepat mungkin hingga ke
Lokasi D. Di Lokasi D anak-anak melakukan kegiatan menyalin tulisan
berisikan kegunaan mata bagi manusia ke dalam kertas yang telah
disediakan.
124
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Jalur D ke E, anak-anak dengan pasangannya masing-masing berlomba merangkak
secepatnya hingga ke lokasi E. Di Lokasi E, setiap anak melakukan
kegiatan menggambar bentuk manusia lengkap dengan anggota tubuhnya.
Jalur E ke F, merupakan kegiatan berjalan cepat berpasangan/ bergandeng tangan dengan
pasangannya. Di Lokasi F anak dengan pasangannya melakukan kegiatan
penguluran otot-otot punggung dengan saling mengangkat belakang tubuh
secara bergantian.
Jalur F ke G, merupakan kegiatan berlari zigzag melewati rintangan sambil bergandengan
tangan dengan pasangannya masing-masing. Setelah berada di Lokasi G
setiap anak harus mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di Lokasi
G, kegiatannya sekitar 10 menit.
Jalur G ke A, merupakan kegiatan akhir, seluruh anak berjalan sambil menyanyikan lagu
kesayangannya seperti “Gelang Sepatu Gelang” atau lainnya. Hingga ke
lokasi A yang sebelumnya sebagai lokasi awal kegiatan.
Langkah keempat: Membuat Rancangan Pembelajaran Berbasis Gerak Irama
Berdasarkan atas pola gerak yang ada pada Tabel 4.1 serta Bagan 4.1 tersebut di
atas, maka guru menyelaraskan pokok dan Sub-pokok Bahasan yang akan diajarkan
kepada siswanya sesuai dengan jadwal pelajaran yang telah disusun sebelumnya.
Sebagai contoh dapat dilihat pada rancangan pembelajaran berikut.
125
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
CONTOH
RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KELAINAN PERILAKU
(TUNALARAS)
Mata Pelajaran: Ilmu Pengetahuan Alam tentang:
Pemahaman Konsep Makhluk Hidup dan
Proses Kehidupannya.
Kelas/Program : I / SDLB bagian E
Semester : I (Ganjil)
Waktu : 2 X 30 menit.
I. Standar Kompetensi
Siswa mampu memahami bagian anggota tubuh serta kegunaannya, kebutuhan dan cara perawatannya, serta mampu memelihara lingkungan yang sehat.
II. Kompetensi Dasar
Mengamati bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya.
III. Hasil Belajar
1.1. Mengidentifikasi bagian-bagian tubuh dan kegunaannya.
IV. Indikator
- Menerangkan bagian-bagian tubuh misalnya mata, telinga,
hidung, lidah, kulit dan gigi
- Menceriterakan kegunaan bagian-bagian tubuh yang diamati.
V. Materi Pokok
Bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya.
VI. Alokasi Waktu
2 X 30 menit setiap pertemuan.
VII. Pengalaman Belajar
A. Apersepsi/ Motivasi:
1. Mengarahkan siswa dengan hendaya kelainan perilaku pada situasi belajar
126
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
2. Menyiapkan kegiatan di lapangan.
B. Kegiatan Inti:
1. Siswa diajak menuju lokasi atau lapangan yang ada di sekitar sekolah
untuk melakukan kegiatan berdasarkan urutan-urutan kegiatan yang telah
dipersiapkan oleh guru.
2. Langkah-langkah kegiatan inti sebagai berikut.
Langkah-langkah Pola Gerak Keterangan
Langkah Kesatu: Siswa berada di lapangan sepakbola dengan posisi berpasangan. Gerakan yang dilakukan adalah: Berlari berpasangan sambil memantulkan bola dari jalur Lokasi A ke Lokasi B. Di Lokasi B: secara berpasangan melakukan tepukan tangan dengan posisi tangan kiri dengan kanan, dan sebaliknya. Sebanyak 10 kali. Menuliskan kegunaan tangan, pada kertas kerja yang tersedia. Selanjutnya dilakukan kegiatan pada Jalur B ke C: Kegiatan yang dilakukan adalah: berjalan perlahan-lahan sambil bergandengan tangan dengan teman pasangannya sambil menghitung sampai angka 10, kemudian melompati rintangan yang ada di depannya. Setelah di Lokasi C: anak melakukan kegiatan menendang bola yang di arahkan ke sasaran tertentu. Dilanjutkan dengan menuliskan kegunaan kaki manusia bagi kehidupannya.
A
B C
D
127
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Lanjutan Kegiatan Inti
Langkah Kedua: Dimulai dari Lokasi C menuju ke Lokasi D dilanjutkan ke lokasi E. Kegiatannya meliputi: 1. Dari Lokasi C ke D melakukan kegiatan lempar tangkap bola sambil berjalan/ berlari, secara berpasangan. Di Lokasi D kegiatan yang dilakukan adalah menyalin tulisan tentang kegunaan mata bagi manusia. 2. Kegiatan gerak dari Lokasi D ke E adalah berlomba merangkak. Sesampainya di Lokasi E, siswa melakukan kegiatan menggambar tubuh manusia lengkap dengan anggota tubuhnya.
Langkah Ketiga: Kegiatan yang dilakukan mulai jalur E ke F, diteruskan ke jalur G. Dilanjutkan ke Lokasi A. Kegiatan yang dilakukan di jalur E ke F adalah berjalan cepat berpasangan. Di Lokasi F, melakukan kegiatan penguluran otot-otot dengan cara beradu punggung. Dilanjutkan ke Jalur F ke G dengan kegiatan berlari zigzag melewati tonggak rintangan yang telah disediakan guru. Kegiatan ini dilakukan dengan temannya sambil bergandengan tangan. Di Lokasi G, siswa berlomba mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di lokasi G, dengan waktu sekitar 10 menit. Kegiatan ke Lokasi A dilakukan dengan berjalan sambil menyanyikan lagu kesukaan siswa yang bersangkutan.
Dari Jalur G ke A menyanyikan lagu: ”Gelang sepatu gelang…”
C
D E
F
F G
A
128
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
VIII. Sumber: Bahan dan Alat
Bahan: Buku Pelajaran IPA untuk Kelas I SDLB-Bagian E berkaitan dengan
makhluk hidup dan proses kehidupan.
Alat: Bola sepak, biji kacang hijau, kertas kerja, tulisan tentang tentang mata dan
kegunaannya, tongkat rintangan.
IX. Evaluasi
A. Prosedur Post Test
B. Jenis Tes: Perbuatan yang dapat diamati langsung.
C. Alat Tes: Instrumen GPI dan Grafik A-B-A.
X. Kriteria Penilaian
Nilai Sangat Baik: Jika perkembangan psikomotor meningkat disamping adanya
keajegan pada tingkat kestabilan perkembangan perilaku sasarannya, secara statistik
dibuktikan dengan skor trend stability yang constant (diatas 85%).
Nilai Baik: Jika perkembangan psikomotor sampai pada tingkat dapat menguasai.
Nilai Kurang: Jika perkembangan psikomotor belum ada peningkatan, dan tingkat
stabilitas perkembangan perilaku sasaran sangat rendah (dibawah 25%).
Bandung, ……………………… 2006
Guru Kelas,
…………………….
NIP. ………………
Mengetahui,
Kepala Sekolah ……………
………………………….
NIP. …………………….
129
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Langkah Kelima:
Melakukan evaluasi setelah proses pembelajaran selesai.
Dalam kegiatan mengevaluasi yang perlu dilakukan adalah:
1. Melakukan post test dengan GPI Profile I dan II, hasilnya diperbandingkan
dengan hasil pre test yang dilakukan sebelumnya. Jika ternyata bahwa
psikomotor siswa meningkat maka program pembelajaran yang disusun melalui
rancangan pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama dianggap berhasil.
Peningkatan hendaknya mencapai nilai reratanya adalah empat untuk semua
item. Tetapi jika sampai pada batas telah dikuasai yaitu dengan dicapainya rerata
skor seluruh item adalah tiga, maka rancangan pembelajaran dengan aplikasi
gerak irama dinyatakan gagal, untuk hal ini diperlukan peninjauan ulang terhadap
program kegiatannya.
2. Jika ingin mengetahui tingkat kestabilan perkembangan pada perilaku sasaran
(dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri atau withdrawal), maka rancangan
pembelajaran ini diberlakukan selama minimal tiga kali tanpa intervensi gerak
irama (sebagai sessi Baseline I), minimal enam kali dengan intervensi gerak irama
(sebagai sessi Treatment), dan minimal tiga kali tanpa intervensi gerak irama
(sebagai sessi Baseline II) (single-subject method). Dari data kemunculan
perilaku sasaran yaitu withdrawal selama proses pembelajaran yang dicatat dalam
recording sheet for rate data (lihat lampiran instrumen), maka dibuatlah grafik A-
B-A. Dari grafik A-B-A kemudian dilakukan analisis grafik berupa penghitungan
berkaitan dengan trend stability yang sering digunakan dalam metode subjek-
130
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
tunggal. Bila ternyata hasil perhitungan trend stability berada pada skor 85% ke
atas maka dinyatakan bahwa perkembangan stabilitas berada pada skor konstan.
d. Rangkuman Anak Tunalaras atau Anak dengan Hendaya Perilaku
a. Anak dengan hendaya kelainan perilaku (Tunalaras), merupakan anak yang
mempunyai kondisi perilaku yang menyimpang dari perilaku normal, ditunjukkan
dengan kelainan emosional dan perilaku salah suai. Biasanya kelainan perilaku
berkaitan dengan kondisi kelainan lain, seperti tunagrahita (mental retardation)
dan kesulitan belajar (specific learning disability).
b. Privalensi terjadinya anak dengan hendaya kelainan perilaku bervariasi, namun
diperkirakan berkisar antara dua hingga 22 persen dari populasi anak-anak usia
sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
dengan anak perempuan.
c. Faktor-faktor penyebab terjadi hendaya kelainan perilaku adalah: (a) Faktor
biologis, perilaku yang menyimpang dipengaruhi oleh faktor genetika, neurologis
atau faktor biokemikal atau dapat juga dari kombinasi antara
genetik/neurologis/biokemikal, (b) Faktor keluarga, disebabkan oleh kurang
harmonisnya hubungan antara anak dengan orang tuanya, (c) Faktor budaya,
kondisi-kondisi budaya dan sosial yang berubah menyebabkan adanya hendaya
kelainan perilaku terhadap anak-anak, (d) Faktor sekolah, misalnya adanya
pengalaman-pengalaman yang buruk sewaktu berada di ruang-kelas.
d. Kasus yang telah diketemukan berkaitan dengan hendaya kelainan perilaku
berkaitan erat dengan adanya defisit pada faktor biologis atau organik, kelainan
131
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
psikologis atau psikodinamis, konflik-konflik di lingkungan masyarakat, dan
perilaku sosio-adaptif karena tidak mampu menyesuaikan diri. Identifikasi
terhadap kasus kelainan perilaku dapat dipakai sebagai patokan untuk
menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika anak mempunyai
masalah psikologis maka diperlukan penangannya melalui model psikoanalitis
yang lebih menekankan pada faktor psikodinamis. Jika anak menunjukkan
penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat, maka diperlukan penanganan
melalui model perilaku yaitu dengan memodifikasi perilaku untuk belajar
berperilaku benar daripada membetulkan kasus-kasusnya.
e. Perilaku yang paling utama sebagai perilaku yang diklasifikasikan sebagai hendaya
kelainan perilaku yaitu: agresif, suka menghindarkan diri dari keramaian, dan
sikap bertahan diri.
f. Pendekatan yang digunakan terhadap layanan bagi anak dengan hendaya kelainan
perilaku, antara lain dengan pendekatan: psikoanalitis, psiko-edukasional,
humanistik, ekologis, dan memodifikasi perilaku atau behavioral (Hallahan &
Kauffman, 1986:174-176). Yang paling utama adalah dengan pendekatan
behavioral yang berisikan program terapeutik (penyembuhan) dan menggunakan
gerakan-gerakan ritmis-berirama (Geddes, D., 1981:128).
132
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
E. KARAKTERISTIK ANAK TUNARUNGU WICARA
(ANAK DENGAN HENDAYA PENDENGARAN DAN BICARA)
Bentuk mimik peserta didik dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu
wicara) berbeda dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus yang lain, karena mereka
tidak pernah mendengar atau mempergunakan panca indera telinga dan mulut. Oleh
sebab itu mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksudkan dan dikatakan oleh
orang lain. Pengertian hendaya pendengaran adalah seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya,
diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran.
Alat audiometer merupakan alat untuk mengukur derajat kehilangan
pendengaran dengan ukuran decibel (dB). Derajat kemampuan berdasarkan ukuran
instrumen audiometer menyebabkan klasifikasi anak dengan hendaya pendengaran
sebagai berikut.
a. 0 – 26 dB masih mempunyai pendengaran normal
b. 27 – 40 dB mempunyai kesulitan mendengar tingkat-ringan, masih mampu
mendengar bunyi-bunyian yang jauh. Yang bersangkutan membutuhkan terapi
bicara.
c. 41 –55 dB termasuk tingkat menengah, dapat mengerti bahasa percakapan. Yang
bersangkutan membutuhkan alat bantu dengar.
d. 56 – 70 dB termasuk tingkat menengah berat. Mampu mendengar dari jarak
dekat, memerlukan alat bantu dengar dan membutuhkan latihan berbicara secara
khusus.
133
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
e. 71 – 90 dB termasuk tingkat berat. Yang bersangkutan termasuk orang yang
mengalami ketulian, hanya mampu mendengarkan suara keras yang berjarak
kurang lebih satu meter. Kesulitan membedakan suara yang berhubungan dengan
bunyi secara tetap.
f. 91 – dan seterusnya, termasuk individu yang mengalami ketulian sangat berat.
Tidak dapat mendengar suara. Sangat membutuhkan bantuan khusus secara
intensif terutama dalam keterampilan percakapan/ berkomunikasi.
g. Perilaku yang muncul terhadap peserta didik dengan hendaya pendengaran di
sekolah secara dominan berkaitan dengan hambatan dalam perkembangan bahasa
dan komunikasi (Gregory, S. et al., 1998:47-57).
Ciri-ciri umum hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi antara lain
sebagai berikut.
1) Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas.
2) Selalu memiringkan kepalanya, sebagai upaya untuk berganti posisi telinga
terhadap sumber bunyi, seringkali ia meminta pengulangan penjelasan guru saat
di kelas.
3) Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan.
4) Keengganan untuk berpartisipasi secara oral, mereka mendapatkan kesulitan
untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan
pendengarannya.
5) Adanya ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat di kelas
6) Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara
7) Perkembangan intelektual peserta didik tunarungu wicara terganggu
134
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
8) Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam membaca.
(Hallahan & Kauffman, 1991: 232-274; Gearheart & Weishan, 1976:33-45; Kirk &
Gallagher, 1989:300-305).
Di negara-negara maju telah terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam
pendidikan untuk anak-anak dengan hendaya pendengaran dan bicara. Layanan
pendidikan mereka lebih dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian para ahli berkaitan
dengan: pemberian layanan khusus, perkembangan teknologi, dan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang sangat menentukan peranan penting dalam pencapaian suatu pola
layanan pendidikan (Watson, L. dalam Gregory, et al., 1999:1-dan 9).
Pola layanan pendidikan baru lebih menekankan kepada keberhailan suatu
proses pembelajaran yang berfokus kepada usaha pemberian keterampilan membaca,
berhitung dan pemahaman bahasa. Pemberian layanan keterampilan hendaknya
didahului dengan melakukan deteksi-dini guna mengetahui sampai sejauhmana informasi
berkaitan dengan kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan yang sebenarnya sesuai dengan
keberadaannya (dikenal dengan nama: needs assessment). Keterampilan membaca,
menulis dan latihan-latihan teknis berkaitan dengan pemahaman bahasa merupakan
usaha-usaha pemerintah di beberapa negara maju untuk menjadikan warganya “melek
huruf” (literacy). Melek huruf merupakan hal pokok dan memegang peranan penting,
khususnya bagi anak dengan hendaya pendengaran dan bicara, pada setiap program
pembelajaran.
Hendaya mendengar merupakan hambatan yang dianggap cukup besar bagi
perkembangan berbahasa seseorang secara normal, sehingga akan berpengaruh pula
135
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
terhadap perkembangan sosial dan intelektual seseorang (Hallahan & Kauffman,
1991:264). Berdasarkan atas pandangan fisiologikal dan edukasional terhadap hendaya
mendengar, maka anak dengan hendaya pendengaran dapat dikategorikan dengan deaf
dan hearing impairment. Jadi anak yang tidak mampu mendengar suara keras pada
tingkat di atas intensitas maka yang bersangkutan disebut dengan deaf children,
sedangkan mereka yang hanya mengalami kesulitan mendengar pada tingkat intensitas
tertentu disebut sebagai hard of hearing. Kepekaan atau sensitivitas mendengar diukur
dengan decible (dB) yaitu suatu unit ukuran berkaitan dengan tingkat kekerasan suara.
Terhadap anak yang mempunyai kepekaan suara sekitar 90 dB atau lebih maka
berdasarkan atas pandangan fisiologikal disebut dengan deaf children. Sedangkan
mereka yang kepekaan suara di bawah 90 dB disebut dengan hard of hearing.
Pandangan secara edukasional mengukur klasifikasi terhadap anak dengan
hendaya pendengaran dengan pertanyaan: “sampai sejauhmana pengaruh kemampuan
mendengar seorang anak berdampak kepada kemampuannya untuk berbicara dan
pengembangan bahasanya”, Ini dilakukan karena adanya pendapat para ahli yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara ketiadaan kemampuan mendengar
dengan kemunduran perkembangan berbahasa seseorang. Olehkarenanya definisi
mengenai hendaya pendengaran (hearing impairment) dapat mengacu kepada the
Conference of Executive of American School for the Deaf sebagai berikut.
“Hearing impairment. A generic indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound; it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf person is one whose hearing disability precludes succesful processing of linguistic information through audition, with oe without a hearing aid. A hard of hearing person is one who, generally with the use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing of linguistic information through audition” (Hallahan & Kauffman, 1986:240; dan 1991:266).
136
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Mereka yang termasuk kedalam hendaya mendengar terdiri atas dua kategori
yaitu mereka yang tuli sejak dilahirkan disebut dengan congenitally deaf, dan mereka
yang tuli setelah dilahirkan disebut dengan adventitiously deaf. Sedangkan klasifikasi
berdasarkan atas ambang batas kemampuan mendengar terdiri atas: ringan (26-54 dB),
sedang (55-69 dB), berat (70-89, dan sangat berat (90 dB ke atas).
Beberapa hasil penelitian (Ittyerah & Sharman, 1997; Wiegersma & Van Der
Velde, 1983) telah menemukan suatu kenyataan bahwa anak-anak dengan hendaya
mendengar (deaf children) mempunyai kesulitan pada keseimbangan dan kordinasi gerak-
tubuh (balance and general coordination). Contohnya, hasil penelitian pada anak usia 6-
20 tahun dengan hendaya mendengar mengalami kemunduran (less competent) dalam hal
sebagai berikut di bawah ini.
a. Koordinasi dinamika gerak (dynamic coordination) antara lain pada gerak: berjalan
mundur dan maju sepanjang titian yang sempit, melompat, berjingkat ke atas
(jumping & skipping), dan melompati rintangan tali yang direntangkan.
b. Kemampuan koordinasi gerak-visual, seperti memasukkan tali sepatu kedalam lobang
yang ada pada papan berlobang khusus.
c. Dalam melakukan gerakan berpindah (movement) lebih lambat dibandingkan dengan
anak-anak yang mampu mendengar disebabkan perkembangan persepsinya kurang
(dalam Lewis, V., 2003:98).
Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak-anak
dengan hendaya mendengar sangat memerlukan suatu tanda-tanda khusus yang bersifat
dapat dilihat (auditory cues) (Wiegersma & Van Der Velde, 1983). Sedangkan penelitian
dari Salversberg, et al. (1991) lebih jauh menemukan bahwa kesalahan-kesalahan gerak
137
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sering dilakukan pada anak usia 10-13 tahun yang mempunyai hendaya mendengar,
antara lain: 1) selalu salah saat menangkap bola yang dilemparkan pada posisi 90 derajat
atau lebih meskipun dilakukan dengan bantuan tanda-tanda khusus berupa visual (visual
signal) dengan intensitas suara 20 dB; 2) anak-anak dengan hendaya mendengar selalu
terlambat untuk menekan tombol dengan kedua belah tangannya walaupun ada tanda-
tanda suara dengan intensitas 15 dB (selalu lambat dalam melakukan respon to visual
stimulus).
Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa “ketiadaan informasi
berhubungan dengan pendengaran dapat menambah lambatnya melakukan respon bagi
sebagian besar anak-anak dengan hendaya mendengar (deaf children)”.
Perkembangan persepsi gerak dari anak-anak dengan hendaya mendengar
sangat disarankan untuk dilakukan tes terhadap hipotesis kompensasi sensori (sensory-
compensation hypothesis). Hal ini perlu dilakukan disebabkan adanya pendapat yang
menyatakan bahwa hilangnya satu indera tubuh seseorang dapat saja “digantikan” oleh
indera sisa lainnya dalam usaha untuk meningkatkan sensitivitas dari sisa indera yang
ada. Hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut telah membuktikan adanya fakta-fakta
sebagai berikut ini.
a. Apabila tanda-tanda visual dan auditory cukup jelas, maka anak-anak tanpa hendaya
mendengar dapat lebih cepat dan tepat dalam merespon dibandingkan dengan anak-
anak yang mempunyai hendaya mendengar (Slaversberg, et al., 1991 dalam Lewis,V.,
2003:99).
b. Anak-anak dengan hendaya mendengar yang telah memperoleh cangkokan alat
pendengaran (cochlear implants) penampilannya sama dengan mereka yang dapat
138
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
mendengar dalam hal melakukan tugas berkaitan dengan atensi visual (visual
attention task). Sebaliknya anak-anak dengan hendaya mendengar yang tidak
mendapat cangkokan alat pendengaran sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam
tugas yang berkaitan dengan atensi-visual (Quittner, 1994 dalam Lewis, V., 2003:99).
c. Setelah setahun menggunakan cangkokan alat pendengaran, ternyata anak-anak dengan
hendaya mendengar mampu meningkatkan atensi-visualnya (Quittner, 1994 dalam
Lewis,V., 2003:99).
d. Anak-anak dengan hendaya mendengar sebaiknya dikondisikan dengan pemberian
tanda-tanda khusus secara tatap muka langsung atau dengan keterarahan wajah.
Dengan cara ini kemampuan visual mereka akan sama dengan orang-orang dewasa
“normal”. Berdasarkan hal ini maka sebaiknya diberikan: 1) perhatian khusus dalam
pengkondisian dengan pemberian tanda-tanda yang bersifat keterarahan wajah
semenjak usia dini; 2) latihan-latihan bahasa isyarat (sign language) perlu dilakukan
semenjak usia dini, karena bahasa isyarat akan lebih meningkatkan kemampuan ruang
visual (visual spatial). Dengan kata lain, dikatakan bahwa pada anak-anak dengan
hendaya mendengar memerlukan latihan-latihan bahasa isyarat untuk dapat
meningkatkan perkembangan persepsi geraknya.
Mengenai perkembangan kognitif anak-anak dengan hendaya mendengar secara
umum cukup baik, khususnya dalam segi berfikir dan pemahaman. Artinya bahwa
mereka mempunyai perkembangan kognisi dikarenakan ada hubungan yang erat antara
perkembangan berbahasa dengan berfikir. Menurut Watson (1913) bahwa proses berfikir
anak-anak dengan hendaya mendengar sebenarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan gerak
139
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
yang ada pada pangkal tenggorokan (larynx). Terdapat kesamaan dalam proses berfikir
secara verbal dengan proses pencapaian kemampuan berbahasa. Sebaliknya, Chomsky
menyatakan bahwa perkembangan berbahasa anak-anak dengan hendaya mendengar
terpisah dengan kemampuan kognisi mereka. Ia menyatakan secara lebih jauh bahwa
struktur bahasa muncul dalam benaknya sejak yang bersangkutan dilahirkan, sehingga
setiap anak memerlukan pengalaman-pengalaman berbahasa agar lebih mengembangkan
kemampuan berbahasanya.
Bagaimanapun perbedaan yang telah ada pada Watson dan Chomsky, namun
beberapa ahli lainnya telah menyatakan pendapat mereka tentang perkembangan kognisi
seorang anak sebagai berikut di bawah ini.
a. Kemampuan berfikir dan berbahasa saling berkaitan walaupun ada perbedaan diantara
keduanya khususnya mengenai apakah kemampuan berfikir dapat menentukan
kemampuan berbahasa, atau sebaliknya (Piaget, 1967).
b. Kemampuan berbahasa menentukan kemampuan berfikir (Sapir, 1912).
c. Kemampuan berbahasa dan berfikir dapat saling mempengaruhi antara satu sama
lainnya (Vigotsky, 1962).
Menurut Piaget (1967), bahwa inteligensi merupakan kemampuan kognisi
seorang anak yang sangat tergantung pada tindakan yang bersangkutan dalam
mengadaptasi lingkungannya dan sikapnya untuk mampu mengambil konsekuensi-
konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Melalui sikap ini, seorang anak akan
memahami dan melihat bentuk yang ada di lingkungannya berdasarkan atas refleksi yang
telah ada dalam inteligensinya. Dengan kata lain bahwa begitu terjadi perkembangan
pada kognisi seorang anak maka kemampuan berbahasa-pun berkembang. Ini terjadi
140
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sebagai bentuk antisipasi terhadap perubahan-perubahan dalam pemahaman terhadap
lingkungannya. Jadi kemampuan berbahasa seorang anak dapat mempengaruhi
kemampuan berfikirnya walaupun Piaget menyadari bahwa kemahiran berbahasa terpisah
dari kegiatan berfikir.
Berbeda dengan pendapat Piaget tersebut di atas, Pendapat dari Sapir yang
kemudian dikembangkan oleh Whorf (1940, reprinted in Mandelbaum, 1958)
menyatakan bahwa persepsi dan pengalaman terhadap lingkungan tergantung pada suatu
bahasa yang digunakan. Bila kemampuan berbahasa anak sudah mahir untuk
menghubungkan gejala-gejala atau pengetahuannya terhadap suatu konsep, maka anak
yang bersangkutan akan mempunyai pengalaman dan dapat memahami suatu konsep atau
suatu atribut tertentu. Bila konsep atau atribut tidak diekspresikan dalam kemampuan
berbahasanya maka anak yang bersangkutan belum mempunyai pengalaman atau
pemahaman terhadap suatu konsep atau atribut.
Sedangkan Vigotsky (1962) menyatakan bahwa berfikir dan kemampuan
berbahasa pada awalnya merupakan hal yang terpisah dan berkembang secara sejajar
pada seorang anak hingga mencapai umur dua tahun. Antara berfikir dan kemampuan
berbahasa keduanya saling isi mengisi sehingga bahasa dapat digunakan untuk membantu
berfikir, dan fikiran yang ada dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa seorang anak.
Dengan kata lain, bahwa hubungan antara berfikir dan kemampuan berbahasa saling
berkaitan sangat erat.
Penelitian terhadap anak dengan hendaya mendengar (deaf children) berkaitan
dengan hubungan antara kemampuan berbahasa dan kognisi, diperoleh hasil bahwa “Jika
anak dengan hendaya mendengar tidak mempunyai kemampuan berbahasa (yang
141
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sesungguhnya bahwa bahasa merupakan pra-syarat dari kemampuan kognisi) maka anak
dengan hendaya mendengar akan mendapatkan kesulitan dalam kemampuan berfikirnya
bahkan dimungkinkan kemampuan berfikir yang sudah adapun akan menghilang”. Jadi
kemampuan berbahasa sangat menentukan kemampuan kognisi sehingga pengetahuan
dan pemahaman seorang anak dengan hendaya mendengar hendaknya sepadan dengan
kemampuan dan pemahaman anak yang mampu dengar.
Dari beberapa teori yang dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa: ”Kemampuan berbahasa sesungguhnya merupakan kemampuan mengucapkan
suatu bahasa “ atau “ the language is spoken language”. Sehingga bahasa isyarat seperti
American sign language (ASL) dan British sign language (BSL) merupakan ucapan
bahasa yang dapat diterima sebagai ungkapan berbahasa diantara mereka yang
mempunyai hendaya mendengar. Hal ini dapat dilihat bahwa ASL mempunyai tanda-
tanda yang terdiri atas gerakan-gerakan tangan yang dilakukan secara simbolik, secara
umum menyatakan ungkapan keseluruhan suatu konsep. Arti setiap gerakan-gerakan
tangan tergantung pada bentuk, lokasi, perpindahan dan orientasi dari satu atau kedua
tangan. Komponen-komponen ini akan muncul secara simultan yang disebut dengan
“cheremes” dan dapat menyampaikan suatu ungkapan pengganti bunyi sebagai hasil
produksi kata dalam bahasa ucapan.
Beberapa hasil penelitian berkaitan dengan teknologi dan teori-teori belajar
sangat memegang peranan penting guna menemukan pengembangan metode-metode baru
serta intervensi yang lebih efektif dalam proses pembelajaran terhadap anak-anak dengan
hendaya mendengar dan berbicara. Hal tersebut dilakukan di berbagai negara maju guna
mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pemahaman bahasa. Penemuan-
142
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
penemuan yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut pada umumnya berkaitan dengan
cara-cara baru yang merupakan bentuk intervensi layanan yang lebih efektif dan banyak
dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah, namun sayangnya para guru dan ahli terapi wicara
masih banyak yang belum mau menerima cara-cara baru hasil penemuan penelitian
disebabkan mereka disibukkan dengan pekerjaan rutinnya di sekolah-seklah atau di
klinik-klinik. Hal tersebut dinyatakan oleh Bishop (1999) dalam bukunya yang berjudul
Uncommon Understanding Development and Disorder’s of Language Comprehension in
Children. Ia menyatakan sebagai berikut.
“ Many researchers justify their theoritical studies with the statement : if we will be able to devise more effective intervention, but all often this is a hollow premire because the research is burried in scientific jurnals that are not accessible to the typical speech-therapist or teacher working in a busy school or clinik” (p.vii)
Secara umum, kemahiran berbahasa (yang berarti kemampuan berbicara)
merupakan proses yang sifatnya susah dikembangkan. Sebenarnya belum ada cara untuk
menghambat ketidakberdayaan seorang anak dalam mengatasi keterbatasan kemampuan
berbahasanya (Pinker, 1984:29 dalam Bishop, 1999:19). Walaupun secara nyata
penyebab hambatan perkembangan bahasa belum jelas namun para ahli mencoba untuk
memecahkannya berdasarkan aspek-aspek neurologi, etiologi/ genetika dan proses
kognitif. Faktor genetika diyakini sepenuhnya sebagai faktor dominan (dibandingkan
dengan faktor neurologi atau proses kognitif) penyebab terjadinya hambatan
perkembangan bahasa yang implikasi sangat berpengaruh sekali terhadap hambatan
perkembangan berbahasa seseorang, ini dikenal dengan nama: “developmental aphasia”,
“developmental dysphasia”, “ specific development language disorder”, sekarang lebih
populer dinamakan dengan “specific developmental language impairment” (Bishop,
143
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1999:19). Kata impair berarti hendaya (Maslim, R., 2000:119) atau “penurunan
kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas dan
kuantitas” (American Heritage Dictionary, 1982:644). Kata specific menunjukkan
bahwa “hendaya perkembangan bahasa merupakan kebalikan dari perkembangan
normal”.
Sejak pertengahan abad ke 19, para ahli yang mempelajari anatomi tubuh
manusia (Histologists) telah mengetengahkan penemuannya bahwa terdapat indera
penerima khusus pada setiap otot, tendon atau jaringan otot. Indera penerima khusus ini
mampu “menggantikan” suatu kelangkaan atau “hilangnya” salah satu indera tertentu.
Indera penerima khusus ini dapat dipakai sebagai media penghubung kesadaran gerak
tubuh. Berdasarkan sistem syaraf, Sherrington menyatakan bahwa indera penerima
khusus ini dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: pertama meliputi “panca indera” atau
“ the five sense” disebut dengan “exteroceptive”, dan kedua merupakan “kesadaran
terhadap kesan gambaran tubuh” atau “the image of the body” disebut dengan nama
“proprioceptive”. Sherrington adalah seorang ahli berkaitan dengan teori tentang fungsi
otak dan sistem kerja syaraf otak, di abad ke 19 telah menulis buku yang sangat dikenal
berjudul “ Two ways of the Mind”. Isi buku tersebut antara lain mengemukakan
pernyataannya bahwa ada dua bentuk kegiatan kerja otak untuk berkomunikasi, yang satu
berkaitan dengan gerak tubuh (movement) dan lainnya berkaitan dengan adanya
hubungan antara dunia luar atau lingkungan dengan panca indera (sebagai sensory input).
Hasil penemuan oleh Frenchman dan Pierre Paul Broca di tahun 1861 berkaitan
dengan panca indera atau exteroceptive adalah: terdapat hubungan secara utuh
(integritas) pada tonjolan ke-tiga di bagian kiri depan lapisan luar otak (the left frontal
144
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
lobe of the brain cortex) yang merupakan prasyarat seseorang untuk mampu berbicara
secara normal. Kerusakan pada bagian tersebut berakibat seseorang tidak mampu
mengucapkan kata atau kalimat. Penelitian lebih lanjut oleh Broca tahun 1863 telah
diketemukan bahwa kerusakan pada bagian depan cuping kanan belahan otak tidak
merupakan penyebab gangguan berbicara (Jokl, E., dalam Basic Book of Sports
Medicine, 1978:314).
Pierre Paul Broca adalah seorang ahli bedah klinis dari Perancis yang banyak
menekuni masalah otak dan tengkorak sehingga ia merupakan “orang panutan” dan
merupakan orang-kunci dalam pengetahuan berkaitan dengan ilmu anthropologi fisik di
negara Perancis hingga saat ini. Ia telah menemukan adanya kerusakan pada jaringan
atau simpul ke-tiga bagian kiri depan lapisan luar otak yang menjadi penyebab hilangnya
kemampuan seseorang untuk berbicara. Ini menunjukkan adanya hubungan antara
kegiatan tubuh secara spesifik dengan daerah khusus yang ada dalam otak (Reynolds, C.,
A., 1987:251).
Terhadap mereka yang tergolong aphasia, yaitu istilah generik yang
menunjukan adanya kesulitan untuk berkomunikasi melalui organ bicara, Broca
menekankan bahwa otot-otot organ bicara secara normal masih tetap bekerja untuk
berbicara walaupun mereka mempunyai hambatan pada bagian kiri depan lapisan luar
otaknya. Kelainan berbicara berkaitan dengan kesulitan dalam menggerakkan otot-otot
tersebut disebut dengan “motor aphasia” sedangkan terhadap seseorang yang berbicara
secara pelan dan mendapatkan kesulitan pada artikulasi atau berbicara secara cepat tetapi
susunan kata tidak teratur dan tidak berbentuk disebut dengan “sensory aphasia”.
Termasuk kelainan sensory aphasia adalah mereka yang berbicara hanya dengan satu
145
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kata, dengan kalimat pendek, atau dengan pengucapan anak-kalimat yang tidak lengkap,
Kaufman (1981 dalam Reynolds & Mann, 1987:107) menyebutnya sebagai “nonfluent
aphasics”.
Terjadinya sensory aphasia disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian kiri
depan otak (the left temporal lobe of the brain). Bagi golongan “motor aphasia”
umumnya mereka masih mampu menyusun suatu pembicaraan walaupun yang
bersangkutan tidak mampu mengucapkan kata atau kalimat, sehingga dapat dikatakan
bahwa anak-anak dengan motor aphasia masih mampu menulis kata atau kalimat tanpa
menemui banyak kesulitan.
Program layanan pendidikan terhadap mereka yang mempunyai kelainan
aphasia (motor aphasia dan sensory aphasia) hendaknya dilakukan secara komprehensif
yang diawali dengan melakukan evaluasi secara multifaktor terhadap kemampuan neuro-
psychologikal (Reynolds & Mann, 1987:107-108).
Secara garis besar hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya
pendengaran meliputi hal-hal sebagai berikut di bawah ini.
a. Hasil penelitian para ahli di Amerika Serikat menyatakan bahwa satu dintara tujuh
anak yang mempunyai hendaya mendengar mempunyai permasalahan berkaitan dengan
kesehatan mental. Kesehatan mental ini mengarah kepada schizophrenia atau kelainan
psikis, paranoid atau kelainan psikis karena selalu dihantui rasa takut, affective
psychosis atau kelainan emosi secara psikis, dan depression atau kemuraman (the
Departement of Health of USA, 1995 dalam Gregory, et al., 1999:17).
b. Anak-anak dengan hendaya mendengar mempunyai kesulitan psikologis yang
diperoleh dari sejumlah faktor eksternal seperti: kurangnya bimbingan bantuan orang
146
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
tua dan keluarga, kesadaran orang-orang di sekitarnya terhadap permasalahan anak
dengan hendaya mendengar, lingkungan hidup, budaya dan model peran dari anak-anak
dengan hendaya mendengar (Gregory, et al., 1999:19).
c. Dalam keterampilan kognitif berkaitan dengan prestasi akademik pada umumnya
kemampuan mengingat dari anak-anak dengan hendaya mendengar sangat singkat
sekali, hanya hitungan beberapa detik tidak sampai menit. Untuk hal ini diperlukan
kegitan-kegatan khusus dalam layanan pendidikan agar mereka mampu membaca,
memahami isi bacaan dan mengingat angka-angka. Banyak terjadi anak dengan
hendaya mendengar berkesulitan membaca (Lewis, V., 20003:136). Olehkarenanya
mereka memerlukan suatu metode pembelajaran yang lebih menekanan kepada
pengucapan bahasa.
d. Pada kelompok tertentu dari anak-anak dengan hendaya mendengar mendapatkan
ketidakmampuan dalam belajar misalnya: disebabkan oleh adanya hendaya visual,
ketidakmampuan belajar yang spesifik atau dyslexia, cerebral palsy, dan masalah-
masalah berkaitan dengan perilaku atau emosi (Gregory, et al., 1999:31).
e. Perkembangan bahasa dan komunikasi anak-anak dengan hendaya mendengar secara
umum kurang sempurna, khususnya saat menggunakan bahasa seperti pada kemampuan
pemahaman bahasa, berbahasa dan berbicara (Hallahan & Kauffman, 1986:251 dan
1991:274).
f. Prestasi akademik anak-anak dengan hendaya mendengar khususnya dalam
kemampuan membaca sangat kurang (Hallahan & Kauffman, 1991:276).
g. Dikarenakan anak-anak dengan hendaya mendengar tumbuh besar dan hidup dalam
lingkungan yang terisolir maka mereka membutuhkan interaksi sosial dan perasaan
147
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
diterima oleh orang-orang seklilingnya. Ini berarti bahwa anak-anak dengan hendaya
mendengar mempunyai hambatan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini diperlukan
pendekatan khusus dalam kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan aspek
komunikasi, seperti: 1) pemberian latihan auditori (auditory training); 2) dikondisikan
pada berbicara bibir (lips-reading); 3) penggunaan bahasa isyarat dan ejaan huruf
dengan jari-jemari (sign language and finger-spelling).
Latihan auditori melibatkan tiga sasaran pokok, yaitu: a) perkembangan kesadaran
bunyi, b) perkembangan kemampuan membuat perbedaan secara nyata tentang bunyi-
bunyi yang ada di lingkunannya, c) perkembangan kemampuan membedakan bunyi-
bunyi dalam kegiatan berbicara.
Ada tiga bentuk yang berbeda dari rangsang bunyi yang dibutuhkan dalam suatu
program latihan terhadap anak dengan hendaya mendengar, yaitu: a) rangsang yang
diperoleh dari lingkungan dimana komunikasi itu terjadi, b) rangsang secara langsung
diikuti dengan pesan tetapi bukan bagian dari hasil kemampuan berbicara, c)
rangsangan langsung berkaitan dengan produksi bunyi pembicaraan (Hallahan &
Kauffman, 1987:258-263; dan 1991:279-282).
h. Data penelitian para ahli menyatakan bahwa amak-anak dengan hendaya mendengar
umumnya mempunyai kesulitan dalam melakukan gerak keseimbangan dan koordinasi-
gerak tubuh, termasuk didalamnya kordinasi dinamika gerak, koordinasi gerak visual
dan geak berpindah (Lewis, V., 20003:98). Terdapatnya kesulitan gerak keseimbangan
dan koordinasi gerak tubuh pada anak dengan hendaya mendengar merupakan salah
satu alasan utama diperlukannya pendekatan pembelajaran dengan menggunakan
permainan terapeutik dan pola gerak irama.
148
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya berbicara, secara garis
besar disimpulkan sebagai berikut ini.
a. Anak-anak dengan hendaya berbicara mempunyai komunikasi yang kurang baik
(defective in communication) seperti berbicara menggagap, bicara pelat atau terbata-
bata, ucapan yang membingungkan, dan bicaranya tidak jelas atau sulit dipahami.
Saat berkomunikasi dengan anak-anak dengan hendaya berbicara, sistem verbal
sering digunakan sebagai alat berinteraksi dengan mengenal tanda-tanda non-verbal
meliputi kontak mata, ekspresi wajah, orientasi tubuh dan komunikasi yang dilakukan
dengan jarak dekat dengan bertatap wajah langsung atau keterarahan wajah (Ashman
& Elkins, 1994:172).
b. Anak-anak dengan hendaya berbicara pada umumnya mempunyai hambatan dalam
perkembangan bahasa, khususnya dalam struktur kalimat yang kompleks. Di sekolah,
penerapan latihan-latihan berbahasa dengan menggunakan keterampilan
metalinguistik sangat penting. Metalinguistik diartikan sebagai penggunaan bahasa
untuk mengomentari ucapan-ucapan dalam komunikasi yang salah ucap misalnya:
“kapang dara bang ri” dikomentari secara langsung saat kejadian, dengan; “kapal
udara terbang sendiri” (Ashman & Elkins, 1994:191).
c. Terdapatnya kelemahan pada otot-otot alat bicara atau motor speech dsorder, yaitu
adanya kelumpuhan pada alat bicara (misal adanya paralysis) yang diakibatkan
dysarthia atau artikulasi bicara yang kurang baik yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada sistem syaraf pusat.
d. Adanya ketidakteraturan dalam koordinasi neurologikal sehingga saat berbicara terlihat
kacau walaupun otot-otot pada organ bicara masih dapat bekerja dengan baik. Saat
149
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
berbicara banyak dilakukan lompatan-lompatan, banyak berhenti dan sering
mengulang-ulang kata disebabkan oleh adanya dyspraxia atau apaxia atau
ketidakmampuan untuk berbicara karena faktor hendaya gerak pada otot-otot organ
bicara berkaitan dengan proses interneurosensory (Ashman & Elkins, 1994:195).
e. Adanya penurunan kemampuan persepsi bicara sehingga dalam berbicara kata-kata
yang diucapkan sangat sedikit. Salah satu sebabnya dikarenakan ada faktor kesulitan
phonological (Bishop, 1999:51) atau articulation disorder (Hallahan & Kauffman,
1986:199). Kemampuan persepsi bicara melibatkan dua keterampilan yang saling
melengkapi yaitu kemampuan untuk mengucapkan bunyi yang berbeda
(discrimination), dan kemampuan untuk mengucapkan bunyi akustik yang berbeda
(phoneme constancy). Untuk mengembangkan persepsi berkaitan dengan
pendengaran atau persepsi dengar perlu dilihat adanya tiga perbedaan kemampuan
yang saling terkait yaitu keterkaitan antara:
1) deteksi bunyi atau detection of sound, yaitu kemampuan mengeluarkan suara,
2) kemampuan membedakan bunyi (discrimination between sound) yaitu
kemampuan untuk dapat mengatakan bunyi-bunyi yang berbeda secara terpisah,
3) klasifikasi bunyi (classification of sounds) yaitu kemampuan untuk
menginterpretasikan bunyi melalui hubungan diantara klasifikasi bunyi
berdasarkan atas pengalaman sebelumnya (Bishop, 1999:52).
150
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
E. KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA
(ANAK DENGAN HENDAYA PENGLIHATAN)
Anak yang mengalami hambatan penglihatan atau tunanetra atau anak dengan
hendaya penglihatan, dalam hal lain perkembangannya berbeda dengan anak-anak
dengan kebutuhan khusus lainnya, tidak hanya dari sisi penglihatan tetapi juga dari hal
lain. Bagi peserta didik yang memiliki sedikit atau tidak melihat sama sekali, jelas sekali
bahwa ia harus mempelajari lingkungan sekitarnya dengan menyentuh dan
merasakannya. Perilaku untuk mengetahui objek dengan cara mendengarkan suara dari
objek yang akan diraih adalah perilakunya dalam perkembangan motorik. Sedangkan
perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan jari, kemudian menarik ke depan dan
ke belakang, menggosok dan memutarkan serta menatap cahaya sinar merupakan
perilaku anak dengan hendaya penglihatan yang sering dilakukannya guna mengurangi
tingkat stimulasi sensor dalam melihat dunia luar. Untuk dapat merasakan perbedaan dari
setiap objek yang dipegangnya, anak dengan hendaya penglihatan selalu menggunakan
indera raba dengan jari-jemarinya saat mengenali ukuran, bentuk, apakah objek-benda
tersebut mempunyai suara. Kegiatan ini merupakan perilakunya untuk menguasai dunia
persepsi dengan menggunakan indera sensorik. Untuk menguasai dunia persepsi bagi
anak dengan hendaya penglihatan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Mengenai perkembangan kognitif anak dengan hendaya penglihatan menurut
Lowenfeld (1948), terdapat tiga hal yang memiliki pengaruh buruk terhadap
perkembangan kognitifnya, yaitu:
151
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
a. Yang pertama adalah jarak dan beragamnya pengalaman yang dimiliki oleh peserta
didik dengan hendaya penglihatan. Kemampuan ini terbatas karena mereka
mempunyai perasaan yang tidak sama dengan anak yang mampu melihat.
b. Kedua, kemampuan yang telah diperoleh akan berkurang dan akan berpengaruh
terhadap pengalamannya terhadap lingkungan.
c. Ketiga, peserta didik dengan hendaya penglihatan tidak memiliki kendali yang sama
terhadap lingkungan dan diri sendiri seperti apa yang dlakukan oleh anak awas.
Perkembangan komunikasi peserta didik dengan hendaya penglihatan pada
umumnya sangat berbeda dengan anak awas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
guru berkaitan dengan perkembangan komunikasi anak dengan hendaya penglihatan,
sebagai berikut.
a..Bahasa akan sangat berguna bagi anak dengan hendaya penglihatan untuk mengetahui
apa yang sedang terjadi dilingkungannya, dengan menanyakan apa yang terjadi
dilingkungannya, dan akhirnya orang lain mampu berbicara dengannya.
b.Peserta didik dengan hendaya penglihatan membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan anak awas untuk mengucapkan kata pertama, walaupun susunan
kata yang diucapkan sama dengan anak awas.
c. Peserta didik dengan hendaya penglihatan mulai mengkombinasikan kata-kata ketika
perbendaharaan katanya mencakup sekitar 50 kata., dan menggunakan kata yang ia
miliki untuk berbicara tentang kegiatan dirinya dari pada kegiatan orang lain.
152
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
d.Kebanyakan peserta didik dengan hendaya penglihatan memiliki kesulitan dalam
menggunakan dan memahami kata ganti orang, sering tertukar antara “saya” dengan
“kamu”.
Dalam perkembangan sosialnya, peserta didik dengan hendaya penglihatan
melakukan interaksi dengan sekelilingnya (orang dan benda) dilakukannya dengan cara
menyentuh dan mendengar objeknya. Hal tersebut ia lakukan karena tidak ada kontak
mata, penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan kurangnya pemahaman tentang
lingkungannya sehingga interaksi tersebut kurang menarik bagi lawannya (Lewis,V.,
2003:32-59)
Istilah umum yang dipakai dalam dunia pendidikan pada saat ini terhadap anak
yang mengalami hendaya penglihatan adalah child who is totally blind, visually
impairment, dan child who is low vision atau partially sight. Ini menandakan bahwa anak
dengan hendaya penglihatan adalah “mereka yang mempunyai kemampuan lain”.
Dimaksudkan dengan kemampuan lain berarti mengacu kepada kemampuan inteligensi
yang cukup baik, daya ingat yang kuat, disamping kemampuan taktil (synthetic touch dan
analytic touch) melalui ujung jari-jemarinya yang luar biasa sebagai ganti indera
penglihatannya yang kurang atau tidak berfungsi guna mengembangkan persepsi dirinya
terhadap pengintegrasian konsep-konsep (develop integrated concepts).
Inteligensi anak dengan hendaya penglihatan secara umum tidak mengalami
hambatan yang berarti. Samuel P. Hayes (1950 dalam Hallahan, 1987:294) menyatakan
bahwa “kemampuan inteligensi anak dengan hendaya penglihatan tidak secara otomatis
menjadikan diri mereka mempunyai inteligensi yang rendah”.
153
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Daya ingat yang kuat pada anak-anak dengan hendaya penglihatan disebabkan
mereka mempunyai kemampuan konseptual (conceptual abilities) setelah mereka
mendapatkan latihan secara ekstensif untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam
memahami teori-teori matematika, serta latihan-latihan mengklasifikasikan benda-benda
untuk mampu mengetahui hubungan secara pisik dalam kegiatan pembelajaran yang
bersifat vokasional (Hatwell, 1966; Stephens & Grube, 1982; dalam Hallahan, 1987:295).
Kemampuan taktil yang tinggi pada anak-anak dengan hendaya penglihaan
disebabkan adanya dua kemampuan persepsi taktual: synthetic touch dan analytic touch.
Dimaksudkan dengan kemampuan synthetic touch adalah kemampuan diri mereka untuk
melakukan eksplorasi melalui indera peraba terhadap benda-benda yang bentuknya cukup
kecil tetapi masih dapat diraba oleh satu atau dua belah tangannya. Sedangkan analytic
touch meliputi kemampuan sentuhan dengan indera peraba terhadap beberapa bagian
tertentu dari suatu objek, sehingga anak yang bersangkutan secara “mental” dapat
menghubung-hubungkan bagian-bagian yang terpisah dari suatu objek/ benda menjadi
suatu konsep utuh tentang objek/ benda tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi
disebabkan anak dengan hendaya penglihatan mempunyai kemampuan dalam
mengembangkan persepsi dirinya terhadap pengintegrasian suatu konsep tentang objek/
benda (develop integrated concepts). Misalnya, seorang anak dengan hendaya
penglihatan dapat dengan mudah menemukan suatu benda yang diinginkan yang
tersimpan dalam suatu tas, padahal benda tersebut telah bercampur-baur dengan benda-
benda lainnya. Ia dapat menemukan benda yang diinginkan yang berada di dalam sebuah
tas hanya dengan cara menyentuh dan memegang dalam kurun waktu tertentu pada benda
tersebut (Hallahan, 1987:296; Hallahan, 1991:3090.
154
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Semenjak tahun 1940-an pendidikan untuk anak dengan hendaya penglihatan
banyak mengalami perubahan secara drastis. Semula mereka ditempatkan dalam
residential school hingga ke sekolah yang lebih terintegrai dengan “anak-anak awas”.
Dewasa ini penempatan pendidikan di sekolah berubah dari bentuk yang mainstreaming
ke arah inclusion (Spungin, S., J., dalam Holbrook, M.C. & Koening, A.J., 2003:IX).
Para guru yang menangani anak-anak dengan hendaya penglihatan diperlukan
kemampuan mengambil keputusan berkaitan dengan strategi pembelajaran yang dianggap
paling cocok bagi mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan sekali pemahaman yang
jelas berkatan dengan isu-isu yang kompleks dalam penyusunan suatu program
pembelajarannya.
Pendekatan baru untuk mengajar anak dengan hendaya penglihatan adalah
pemberian latihan-latiham yamg lebih banyak terhadap kemampuan menggunakan
tongkat putih (white cane) dikenal dengan sebutan hoover cane agar dapat melakukan
bepergian secara aman, mandiri dan efektif. Kegiatan latihan ini dikenal dengan orientasi
mobilitas atau mobility training. Tahun 1950 pendekatan orientasi mobilitas banyak
diterapkan kepada orang dewasa dengan hendaya penglihatan. Di tahun 1974 hampir
semua ahli tentang orientasi mobilitas memberikan layanan latihan khusus terhadap
semua anak-dengan hendaya penglihatan pada tingkat usia sekolah.
Orientasi (orientation) diartikan dengan kemampuan mengetahui posisi diri
berkaitan dengan objek-objek lain yang berada dalam suatu ruang tertentu sedangkan
mobilitas (mobility) diartikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ke
tempat lain, objek atau lingkungan tertentu secara aman, mandiri dan efektif (Ashman &
Elkins, 1994:371).
155
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Tujuan diberikannya program pembelajaran yang menitik beratkan kepada
orientasi mobilitas kepada anak dengan hendaya penglihatan antara lain sebagai berikut
di bawah ini.
a. Agar dapat meningkatkan kemampuan refleks bersyarat (condition reflex),
sehingga proses kemampuan gerak dapat terintegratif melalui proses
pembelajaran. Refleks bersyarat muncul sejak seseorang dilahirkan dan
berkembang setelah mengalami latihan-latihan berulangkali dan koreksi secara
terus-menerus dalam kurun waktu yang lama.
b. Agar perkembangan gerak dan pertumbuhan anak dengan hendaya penglihatan
sejalan dengan kemampuan dominan yang telah dimiliki seperti: kemampuan
taktil, daya ingat yang tinggi, inteligensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan
anak dengan kebutuhan khusus lainnya.
c. Agar lebih mendorong kemampuan persepsi sensomotorik (sensomotoric
perceptual function).
d. Dapat membantu kelancaran proses pembelajaran dan mampu mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
e. Dapat membantu anak dengan hendaya penglihatan untuk mampu melampaui
masa transisi dari kehidupan lingkungan sekolah ke arah lingkungan masyarakat
secara sukses.
Layanan terhadap anak dengan hendaya penglihatan di sekolah-sekolah secara
umum terdiri atas dua kategori yakni: anak dengan hendaya penglihatan secara total atau
totally blind dan anak dengan hendaya penglihatan yang masih dapat menggunakan sisa-
156
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sisa penglihatannya atau disebut dengan kata lainnya: low vision atau partially sight.
Anak-anak low vision masih mampu menggunakan indera penglihatan saat mereka
membaca suatu bacaan dengan huruf berukuran normal. Anak totally blind sama sekali
tidak dapat menggunakan indera penglihatannya kecuali dengan cara meraba atau taktil
untuk mengenali lingkungan. Keadaan pisik, mental, emosi dan interaksi sosial para
peserta didik dengan hendaya penglihatan secara umum dapat dikatakan normal. Namun
dalam pendidikannya mereka memerlukan layanan dan bantuan agar perkembangan
kemampuan dirinya dapat berkembang lebih baik, khususnya pada kemampuan bergerak
untuk mengenal lingkungan yang amat tergantung pada kemampuan mengenali ruang
(spatial) melalui pemetaan kognitif (cognitive mapping).
Pemetaan kognitif merupakan suatu cara yang sangat fleksibel guna mengetahui,
mengenali dan mengendalikan suatu objek atau lingkungan tertentu (Hallahan,
1978:298). Misalnya, untuk mampu bergerak mencapai suatu tempat diperlukan suatu
tahapan-tahapan gerak. Tahapannya adalah dari tempat A ke tempat B, baru ke tempat C
dan seterusnya. Untuk ke tempat C terlebih dahulu harus melewati tempat B. Bagi anak
dengan hendaya penglihatan yang telah mempunyai keterampilan memetakan secara
kognitif, ia dapat melakukan orientasi mobilitas dari tempat A langsung ke tempat C
tanpa melalui tempat B.
Faktor utama untuk mampu melakukan gerak orientasi ke suatu tempat, ruang
atau lingkungan tertentu diperlukan motivasi diri yang tinggi (self motivation). Motivasi
diri dibantu dengan kemampuan mengenali tanda-tanda khusus (cues) yang ada di
sekitarnya, seorang anak dengan hendaya penglihatan akan dengan mudah melakukan
gerak menuju tempat yang dituju (to detect physical obstructions in the environment).
157
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Kemampuan memahami tanda-tanda khusus yang ada di seputar lingkungan hidup
dikenal oleh beberapa ahli sebagai obstacle sense. Obstacle sense dapat tumbuh berkat
adanya latihan-latihan tertentu pada “indera ekstra” (extra sense). Indera ekstra tersebut
dapat dimilki oleh setiap anak dengan hendaya penglihatan dengan cara melakukan
latihan-latihan khusus untuk mendeteksi perubahan-perubahan frekuensi tinggi dari suatu
pantulan bunyi yang datang dari benda-benda sekitarnya saat yang bersangkutan bergerak
ke arah objek yang dituju (Hallahan, 1991:311).
Dari penjelasan tersebut di atas, sangatlah bijaksana bila program pembelajaran
yang disusun guru mengarah kepada: (1) kemampuan orientasi mobilitas mengarah
kepada kemampuan mengkoordinir keseluruhan gerak jasmani; (2) kemampuan gerak
dengan menggunakan gerak halus atau fine motor; (3) kemampuan mengkoordinir
ketepatan reaksi-gerak; (4) kemampuan mengkoordinir daya kekuatan otot-otot gerak
sesuai dengan kebutuhannya.
Proses penyesuaian diri anak dengan hendaya penglihatan lebih ditujukan kepada
kepercayaan diri sendiri agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan di lingkungannya.
Sehingga dari percaya diri ini akan muncul harga diri dan perasaan diterima oleh orang-
orang di sekitarnya. Harga diri menyangkut perasaan bahwa dirinya cukup dihargai,
mempunyai kemampuan dan diperlukan oleh masyarakat sekitarnya. Harga diri dapat
muncul disebabkan adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut
persepsi diri, kemampuan membela diri, merasa dirinya bernilai, dan kemampuan
beraspirasi dalam pergaulan hidup. Faktor eksternal secara khusus diarahkan oleh adanya
reaksi positif orang lain yang ada di sekitarnya terhadap perilaku diri mereka (Ponchillia,
P.E. dan Ponchillia, S.,V., 1996:81).
158
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Peningkatan harga diri anak dengan hendaya penglihatan dapat diupayakan oleh
guru melalui perencanaan pembelajaran yang lebih menititik beratkan kepada (1)
komunikasi yang bersifat efektif, (2) monitoring dalam kecepatan penyampaian, dan (3)
penggunaan penguatan (reinforcement) terhadap kesuksesan belajar.
Komunikasi yang bersifat efektif dilakukan secara verbal maupun non-verbal
yang mampu menjembatani antara pencapaian tujuan pembelajaran dengan hendaya-
hendaya yang ada pada anak bersangkutan. Kriteria komunikasi semacam ini adalah:
a. Menggunakan bahasa yang tepat dan sesuai dengan situasi sebenarnya. Hindarilah
penggunaan kata-kata : “di sini” atau “di sana”, sebaiknya digunakan kata-kata: “di
sebelah kirimu!” atau “dua langkah di depanmu!”.
b. Menggunakan analogi atau perbandingan saat menyampaikan sesuatu agar dapat
memberikan kejelasan suatu deskripsi bahan ajar. Misalnya “cobalah berjalan
sepuluh langkah ke arah depan tanpa suara berisik seperti semilirnya angin pagi hari”
c. Menggunakan tanda-tanda khusus yang dapat ditangkap oleh alat-dengar. Misalnya,
penggunaan bola plastik yang dimodifikasi dengan media bunyi gemerincing untuk
memberikan arah yang dituju, khususnya pada anak buta total (totally blind).
d. Menggunakan taktil atau rabaan dalam mengenali suatu model. Misalnya, saat
memberikan pengetahuan tentang gelombang dalam suatu proses pembelajaran
hendaknya menggunakan media berkaitan dengan adanya bentuk cekungan
longitudinal pada sisi atas dan bawah serta dapat bergetar menirukan suara deru
gelombang lautan saat disentuh dan digerakkan.
e. Taktil lebih diutamakan dalam mengenali ukuran suatu objek sebagai model.
Misalnya, dalam mengenali “model pesawat terbang” sebaiknya digunakan “prototipe
159
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
pesawat terbang” sehingga dapat dikenali bagian-bagian dari pesawat terbang
tersebut.
f. Menggunakan manipulasi-gerak dalam upaya memahami suatu gerak melalui
penjelasan guru secara benar. Misalnya, saat memberikan pola-gerak “pivot” atau
bergerak memutar dengan salah satu kaki menjadi tumpuannya yang sering dilakukan
dalam permainan bola basket. Guru harus memberikan arahan gerak pada anak
dengan hendaya penglihatan melalui kegiatan meraba gerak kaki guru yang sedang
melakukan gerakan pivot, dan kemudian anak menirukan serta dikoreksi kesalahan-
kesalahan yang terjadi secara berulangkali.
160
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
G. KARAKTERISTIK ANAK AUTISTIK ( AUTISTIC CHILDREN)
Autism syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada
ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala
penyandang autism menurut Delay & Deinaker (1952), dan Marholin & Philips (1976)
antara lain berupa :
a. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka
pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
b. Selalu diam sepanjang waktu
c. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan sekali dengan nada
monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau
menceriterakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri lagi.
d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang
bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya.
e. Tidak tampak ceria.
f. Tidak perduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang disukainya, misalnya
boneka..
Secara umum anak autistik mengalami kelainan dalam berbicara, disamping
mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi syaraf. Hal tersebut dapat
terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan
lingkungan masyarakat sekitarnya. Rician tentang kelainan anak autistik sebagai berikut.
a. Kelainan berbicara. Keterlambatan serta penyimpangan dalam berbicara
menyebabkan anak autistik sukar berkomunikasi serta tidak mampu memahami percakan
161
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
orang lain. Sebagian anak autistik nampaknya seperti bisu (mute) dan bahkan tidak
mampu menggunakan isyarat gerak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga
penggunaan bahasa isyarat tidak dapat dilakukan. Suara yang keluar biasanya bernada
tinggi dan terdengar aneh, Berkecenderungan meniru, terkesan menghafal kata-kata
tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu berkomunikasi. Walaupun pengucapan kata
cukup baik, namun banyak mempunyai hambatan saat mengungkapkan perasaan diri
melalui bahasa lisan. Dengan demikian sepertinya anak autistik mengalami afasia
(aphasia), kehilangan kemampuan untuk memahami kata-kata disebabkan adanya
kelainan pada syaraf otak.
b. Fungsi syaraf dan intelektual, umumnya anak autistik mengalami keterbelakangan
mental, kebanyakan mempunyai skor IQ 50. Mereka tergolong tidak mempunyai
kecakapan untuk memahami benda-benda abstrak atau simbolik, namun di sisi lain
yaitu mereka mampu memecahkan teka-teki yang rumit dan mampu mengalikan suatu
bilangan. Walaupun ia mampu membaca koran dengan penuh perasaan namun ia tidak
mengerti terhadap bacaan yang ada pada koran tersebut.
c. Perilaku yang ganjil, anak autistik akan mudah sekali marah bila ada perubahan yang
dilakukan pada situasi atau lingkungan dimana ia berada, walau sekecil apapun. Mereka
sangat tergantung pada sesuatu yang khas bagi dirinya yang cenderung kearah sifat
ketergantungan dirinya terhadap benda yang ia sukai. Misalnya, selalu membawa-bawa
barang yang paling ia senangi sewaktu ia bepergian kemanapun semacam selimut,
karet gelang. Seringkali anak autistik menunjukkan sikap yang berulang-ulang.
Misalnya, suka menggerak-gerakkan badannya dan bergoyang-goyang saat ia sedang
duduk di kursi, terkadang secara tiba-tiba berteriak atau tertawa tanpa sebab yang jelas.
162
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Bahkan sering melakukan bertingkah untuk menyakiti dirinya sendiri, misalnya
membenturkan kepala atau mengorek matanya. Saat makan tiba ia sering menolak
makanan yang disodorkannya, ia hanya memakan satu jenis makanan dan dimakan
hanya sdikit saja.
d. Interaksi sosial, anak autistik kurang suka bergaul dan sangat terisolasi dari lingkungan
hidupnya, terlihat kurang ceria, tidak pernah menaruh perhatian atau keinginan untuk
menghargai perasaan orang lain, suka menghindar dengan orang-orang disekitarnya
sekalipun itu saudaranya sendiri. Dengan kata lain kehidupan sosial anak autistik selalu
aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit.
163
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
H. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA ATAU ANAK DENGAN HE NDAYA
FISIK-MOTORIK (Physical Disability)
1. Pendahuluan
Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi
dua bagian besar, yaitu: (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan, (2)
kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system).
Peserta didik tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik sehingga mengalami
gangguan pada: koordinasi gerak, persepsi dan kognisi disamping adanya kerusakan
syaraf tertentu. Sehingga dalam memberikan layanan di sekolah memerlukan modifikasi
dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu kerusakan syaraf,
kerusakan tulang, dan anak dengan gangguan kesehatan lainnya.
Kerusakan syaraf disebabkan karena pertumbuhan sel syaraf yang kurang atau
adanya luka pada sistem syaraf pusat. Kelainan syaraf utama menyebabkan adanya
cerebral palsy, epilepsi, spina bifida, dan kerusakan otak lainnya.
Cerebral palsy, merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan gerak berasal
dari disfungsi otak. Ada juga kelainan gerak atau palsy yang diakibatkan bukan karena
disfungsi otak, tetapi disebabkan poliomyelitis disebut dengan spinal palsy, atau organ
palsy diakibatkan oleh kerusakan otot (distrophy muscular). Karena adanya disfungsi
otak, maka peserta didik penyandang cerebral palsy mempunyai kelainan dalam: bahasa,
bicara, menulis, emosi, belajar, dan gangguan-gangguan psikologis. Cerebral palsy
didefinisikan sebagai “Laterasi perpindahan yang abnormal atau fungsi otak yang
muncul karena kerusakan, luka, atau penyakit pada jaringan syaraf yang terkandung
164
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dalam rongga tengkorak” (The American Academy of Cerebral Palsy, 1953). Definisi
lainnya menyatakan bahwa
“Cerebral Palsy merupakan kondisi yang bersifat klinis yang disebabkan oleh cedera pada otak. Salah satu komponennya merupakan gangguan otak. Dengan demikian, cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi ketidakberfungsian gerak, bermula saat kanak-kanak, dicirikan dengan paralysis, kelemahan, kurang kordinasi atau penyimpangan fungsi gerak lainnya yang disebabkan kelainan-fungsi gerak pada pusat pengendali gerak pada otak. Disamping disfungsi gerak tersebut cerebral palsy bisa menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, gangguan psikologis, kerusakan sensori, penyakit kejang dan behavioral pada origin organik” (United Cerebral Palsy Research and Educational Foundation, 1985).
Cerebral Palsy diklasifikasikan sebagai kelainan yang berbeda dengan kelainan
neuromuscular, maka Cerebral palsy meliputi kelainan: spastic, athetoid, ataksia, tremor
dan rigid.
Pada kasus-kasus yang ringan anak spastik bisa mengembangkan keseimbangan
tangannya untuk sedikit mengendalikan gaya berjalan yang kikuk. Pada kasus-kasus
tingkat sedang, peserta didik spastik dapat memegang lengan untuk diarahkan ke
tubuhnya, membengkokkan sikunya dengan membengkokkan tangannya, dengan kaki
yang diputar secara hati-hati pada lutut, dan menghasilkan jalan gaya gunting.
Sedangkan pada kasus-kasus tingkat berat mereka memiliki pengendalian yang lemah
pada tubuhnya dan tidak mampu duduk, berdiri, atau berjalan tanpa bantuan alat penguat,
tongkat penopang, alat bantu jalan, dan sebagainya.
Ciri utama peserta didik ataksia, gerakannya kurang kuat, berjalan dengan
langkah yang panjang dan mudah jatuh, terkadang mata tidak terkoordinasi serta gerakan
mata tertegun-tegun (nystagmus). Pada tremor dan rigid umumnya mempunyai
165
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
gangguan pada keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelainan pada postural
dan akibat hambatan otot yang berlawanan.
Hendaya kondisi fisik merupakan ketidakmampuan secara fisik untuk
melakukan gerak. Ketidakmampuan seorang anak dengan adanya keterbatasan secara
fisik-non-sensori (fisik-motorik) menyebabkan ia mempunyai permasalahan untuk hadir
kesekolah dan belajar di kelas. Ketidakmampuan secara fisik motorik pada anak untuk
melakukan gerakan tubuh menyebabkan ia membutuhkan layanan-layanan khusus,
latihan dengan pola tertentu, peralatan-peralatan yang sesuai, dan fasilitas pendukung
lainnya. Seringkali terjadi pada anak yang mempunyai hendaya kondisi fisik, juga
mempunyai hendaya penyerta lain seperti: hendaya perkembangan fungsional, kesulitan
belajar, gangguan emosional, kelainan berbicara dan berbahasa, atau mempunyai
keberbakatan tertentu (Hallahan & Kauffman: 1991:344).
Anak dengan hendaya kondisi fisik memerlukan penanganan secara medis guna
memperbaiki dan mengobati kelainan-tubuhnya, tetapi bila hendaya fisik tersebut
ternyata mempunyai masalah pendidikan maka pembelajaran khusus perlu penanganan
oleh guru-khusus di sekolah. Penanganan khusus oleh guru-khusus memerlukan suatu
metode pembelajaran tertentu bersifat khusus sesuai dengan kelainan anak bersangkutan.
Untuk hal ini gerak irama dapat diaplikasikan dalam program pembelajaran dengan
tujuan untuk dapat mengembangkan keterampilan gerak siswa dengan hendaya kondisi
fisik-motorik tergantung dengan sifat dasar dan tingkat kepelikan hambatan yang
disandang oleh anak.
166
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Umumnya, masalah utama pada gerak yang dihadapi oleh anak spina bifida
adalah kelumpuhan dan kurangnya kontrol gerak, pada anak hydrocephalus adalah
mobilitas gerak, anak dengan cerebral palsy mempunyai masalah dengan persepsi visual
meliputi: gerakan-gerakan untuk menggapai, menjangkau dan menggenggam benda, serta
hambatan dalam memperkirakan jarak dan arah (Lewis, V., 2003: 157). Cerebral Plasy
merupakan kelainan koordinasi dan kontrol otot disebabkan oleh luka (mendapatkan
cedera) di otak sebelum dan sesudah dilahirkan atau pada awal masa kanak-kanak
(Hallahan & Kauffman, 1991:345).
2. Konsep Anak dengan Hendaya Fisik-Motorik
a. Pengertian Hendaya Fisik-Motorik
Salah satu kasus utama hendaya fisik-motorik pada anak-anak adalah kerusakan
atau kemunduran sistem syaraf pusat, yaitu pada otak atau syaraf tulang belakang.
Seorang anak dengan kerusakan otak seringkali menunjukkan adanya berbagai gejala-
gejala yang bersifat perilaku, termasuk ke dalam gejala bersifat perilaku adalah: hendaya
perkembangan fungsional, masalah-masalah belajar, masalah yang bersifat persepsi,
kelangkaan koordinasi, suka membuat keonaran, gangguan emosional, kelainan berbicara
dan berbahasa. Gejala-gejala lain yang menunjukkan adanya cedera otak atau malfungsi
ialah adanya hendaya fungsi gerak, kelumpuhan, dan beberapa tipe dari serangan secara
tiba-tiba pada jantung sehingga menyebabkan kejang-kejang atau gangguan kontraksi
sekelompok otot (seizure) (Hallahan & Kauffman, 1991:346).
Walaupun otak seseorang dalam keadaan utuh dan berfungsi sebagaimana
mestinya, seseorang bisa saja mempunyai hendaya yang bersifat neurologis yang
167
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
disebabkan oleh adanya cedera pada syaraf tulang belakang. Cedera pada syaraf tulang
belakang dapat menyebabkan seorang anak kehilangan perasaan atau sensasi, tidak
mampu mengontrol gerakan, tidak mampu merasakan atau melakukan gerakan pada
beberapa bagian tubuh.
Hendaya secara neurologis disebabkan beberapa kasus, termasuk: penyakit
menular, kehabisan oksigen, keracunan, ketidakberfungsian bawaan, dan trauma psikis
karena kecelakaan. Polio atau kelumpuhan semenjak masa kanak-kanak merupakan
suatu contoh dari penyakit menular yang menyerang syaraf otak dan syaraf tulang
belakang penyebab kelumpuhan. Spina bifida merupakan contoh dari ketidakberfungsian
bawaan pada tulang belakang penyebab kelumpuhan.
Dalam beberapa kasus pada cedera otak sangatlah sulit untuk mengidentifikasi
secara tepat penyebab dari suatu hendaya. Yang terpenting dalam hal ini adalah: ketika
sistem syaraf seorang anak mengalami cedera, tidak perduli penyebabnya, kelemahan
pada otot atau kelumpuhan hampir selalu merupakan petunjuk terhadap gejala-gejala
adanya cedera pada sistem syaraf. Disebabkan kelumpuhan pada anggota tubuh
menyebabkan seorang anak tidak dapat bergerak sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan anak lainnya, maka tipe pendidikannya dilakukan secara khusus serta
memerlukan peralatan yang spesifik, prosedur khusus, atau akomodasi.
Hendaya keadaan fisik-motorik yang paling menonjol dan banyak dilakukan
layanan pendidikan adalah: cerebral palsy (CP), spina bifida (SB), developmental
coordination disorder (DCD). Bahasan berfokus pada implikasi khusus untuk dapat
memahami proses-proses perkembangannya.
168
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Cerebral Palsy (CP) bukan suatu penyakit dalam pengertian bahasa, tidak
menular, dan tidak progresif atau makin lama makin memburuk, kecuali tidak
mendapatkan penyembuhan yang benar sehingga terjadi komplikasi (Hallahan &
Kauffman, 1991:347). Cerebral Palsy merupakan kelainan gerak dan kelainan postur
tubuh disebabkan oleh adanya cedera yang permanen pada otak saat masih dalam
perkembangan (Bax, 1964 dalam Haskel & Barret, 1993:2). Kelainan pada aspek gerak
seringkali diikuti dengan kerusakan pada penglihatan, pendengaran, berbicara, dan
inteligensi. Ditandai pula dengan kelangkaan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan
persepsi visual, hilangnya rasa pada daya taktil, kelainan berkaitan dengan pengenalan
ruang atau tempat, dan seizure. Kondisi kelainan CP bisa terjadi saat dalam kandungan,
saat dilahirkan, dan saat setelah dilahirkan atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut.
Kasus dalam kandungan (pre-natal) meliputi: faktor keturunan walupun sangat
jarang, penyakit infeksi yang dikandung sang ibu saat mengandung, kekurangan oksigen
pada otak janin, prematur atau kelahiran sebelum waktunya, kelainan metabolis pada
sang ibu seperti diabetes atau toxaemia, dan seorang ibu hamil yang sering mendapatkan
sinar X-rays sehingga terjadi cedera otak pada janin. Beberapa kasus CP pada pre-natal
lainnya tidak diketahui. Kasus dalam proses melahirkan (peri-natal) meliputi: cedera saat
dilahirkan, dan penurunan suplai oksigen pada otak bayi. Pada saat sesudah dilahirkan
(post-natal) adalah infeksi pada otak, seperti meningitis dan encaphalitis.
Ada tiga macam CP yaitu: spastik (spasticity), atetosis (athetosis), dan ataksia
(ataxia), terkadang ketiganya saling bercampur. Terjadinya CP adalah 0,6 % hingga 5,9
% setiap 1000 kelahiran bayi (Hasket & Barrel, 1993:17). Lihat Gambar 5.1 di bawah ini.
169
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Gambar 5.1 Bentuk-bentuk Cerebral Palsy
(Hasket & Barrel, 1993:16) (1). Bentuk pertama CP adalah Spasticity (Spastik)
60 % penyandang Cerebral Palsy dimungkinkan mempunyai kelainan spastik
yang disebabkan oleh kerusakan di bagian otak yang berbentuk piramid (pyramidal
tracts) di dalamnya terdapat syaraf yang saling bertautan dalam otak bagian luar
(cerebral cortex) yang berperan sebagai pengatur inisiatif gerakan cepat. Sel-sel syaraf
yang ada dalam lapisan luar otak yang mengatur gerak (motor-cortex) turun menuju ke
170
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
lapisan luar yang berhubungan dengan otak (cerebral cortex) melalui syaraf tulang
belakang (spinal cord) ke otot-otot anggota badan (bagian otot-otot otak yang mengontrol
gerakan pada muka, anggota badan, batang tubuh, kaki dan tangan). Kekejangan di
diagnosis sebagai peningkatan pada gerak otot atau situasi yang menyebabkan otot-otot
menjadi tegang.
Anak-anak spastik menunjukkan adanya bentuk tubuh atau postur yang abnormal
dan kegiatan refleksnya melebihi anak-anak normal. Secara nyata anggota tubuhnya
mempunyai kelainan. Klasifikasi yang paling umum dari spasticity adalah sebagai
berikut:
a. Hemiplegia: bagian kiri atau kanan anggota tubuh terjadi kelumpuhan, lengan lebih
berkelainan dari pada kaki. Anggota tubuh yang berkelainan tumbuh lebih lambat.
Privalensinya sekitar 35 sampai 40 persen dari anak-anak CP. Spastic hemiplegics
merupakan kelompok yang terbanyak pada populasi CP. Gambaran yang lebih rinci
dari spastic hemiplegics dapat dilihat pada pola perkembangan sebagai berikut: 1)
keterlambatan dalam kemampuan duduk, 2) berjalan dan berbicara berada pada
tingkatan seorang bayi, 3) mempunyai kelainan persepsi dan belajar.
Ketidaknormalan perkembangan fisik diikuti dengan salah satu kaki menjadi pendek,
rotasi pinggul secara induksi dan internal, ketegangan pada siku dan pergelangan
tangan, gerak kontraksi dan atropi otot-ototnya tidak pada semestinya.
Perkembangan tulang pada satu sisi menjadi berkurang. Anak spastic hemiplegics
mempunyai inteligensi rendah, kesulitan bergerak, daya taktil yang kurang,
mempunyai penyakit sawan yang datang secara tiba-tiba, berkesulitan dalam
berbicara, bermasalah dalam melihat dan mendengar, sulit berperilaku, sulit bernafas,
171
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dan sulit berkontraksi. Anak spastic hemiplegics juga memerlukan banyak bantuan
saat di sekolah dan di rumah, khususnya dalam mengatasi tekanan-tekanan saat
melakukan interaksi sosial.
b. Triplegia: terjadi pada tiga anggota tubuh yang mendapatkan kelainan atau kesulitan
gerak.
c. Quadriplegia (Tetraplegia): berarti melibatkan empat anggota tubuh yang terkena
kelainan. Privalensinya sekitar 15 sampai 20 persen dari populasi spasticity.
d. Paraplegia: muncul jika kedua kaki mempunyai kelainan tetapi muka dan tangannya
normal, dalam hal ini berbicara lancar, inteligensinya normal, dan jarang terjadi
kelainan sawan. Prevalensi paraplegia sekitar 10 hingga 20 % dari populasi
spasticity. Banyak ditemui anak-anak yang mempunyai hambatan ringan dalam
perkembangan bagian tubuh bagian atas, sehingga secara tegas didefinisikan sebagai
displegics. Sebagian besar anak displegic mempunyai kelainan inteligensi dan
penyakit sawan.
e. Double hemiplegia berpengaruh terhadap empat anggota tubuh, dimana lengan
menjadi lebih mudah terkena kelumpuhan dari pada kaki.
Klasifikasi berdasarkan tipe cedera pada otak dan konsekuensi tipe dari
ketidakbermampuan gerak meliputi: pyramidal, extrapyiramidal, dan mixed types. Dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Pyramidal (spastic): seseorang pada tipe ini mempunyai cedera pada bagian pengatur
gerak pada kulit luar otak (motor-cortex) atau pada bentuk piramid pada otak.
Dampak dari cedera tersebut menyebabkan masalah pada gerak voluntari dan terjadi
spasticity – yaitu kekejangan pada otot-otot dan terjadi gerakan voluntari diluar
172
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kontrol sehingga gerakannya tidak tepat. Privalensinya sekitar 50 persen pada kasus-
kasus yang menunjukkan spasticity.
b. Extrapyramidal (choreoathetoid, rigid, dan atonic): Cedera terjadi di luar bentuk
piramid otak (pyramidal tracts) dan mempunyai akibat secara mendadak pada
kelainan: gerakan diluar kemauan (involuntary movements), dan mempunyai kesulitan
dalam mempertahankan tubuh (choreoathetoid), terjadi kekakuan (rigid), atau
kelayuan pada otot (atonic). Diperkirakan sekitar 25 persen dari kasus-kasus yang
merupakan gejala-gejala berkaitan dengan cedera pada extrapyramidal.
c. Tipe Campuran (Mixed): Cedera terjadi pada daerah otak pyramidal dan extra –
pyramidal dan anak menunjukkan kedua gejala kelainan, seperti spasticity di kaki dan
rigidity pada kedua lengan. Sekitar 25 persen dari kasus dikategorikan sebagai tipe
campuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Daerah Otak Penyebab Bentuk-bentuk Cerebral Plasy
(Hallahan & Kauffman, 1991:349).
173
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
(2). Bentuk kedua dari CP adalah Athetosis
Athetosis merupakan jenis CP kedua. Dikarakteristikkan dengan adanya
peningkatan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tanpa sengaja atau di luar
kemauan, gerakan bisa secara pelan dan menggeliat atau secara tiba-tiba dan gerakannya
tersentak-sentak. Gerakan-gerakan ini tidak akan terjadi sewaktu tidur atau saat anak
tersebut dalam keadaan rileks. Gerakan-gerakan yang tidak terkontrol menyebabkan
pengejangan otot-otot pada anak athetosis.
Gerakan yang terus-menerus pada refleks-refleks utama menyebabkan gerakan
yang tidak simetris dari refleks tonic dan refleks moro dan selalu diikuti dengan adanya
kelainan. Gerakan-gerakan muka seringkali tidak normal, meliputi gerakan-gerakan pada
gigi, bibir, dan pengontrolan pernafasan. Otot-otot yang melakukan kerja berbicara juga
sering mendapatkan kelainan sehingga yang bersangkutan berkondisi sebagai dysarthia.
Inteligensi anak athetoid umumnya normal, namun mempunyai kecenderungan yang
sangat tinggi untuk mendapatkan kebutaan.
Seperti halnya anak-anak spastik, anak athetoid umumnya kurus disebabkan
oleh adanya gerakan-gerakan mereka yang berkelebihan. Kerusakan otak pada kasus
athetosis terjadi pada sistem extrapyramidal dan berpengaruh terhadap sel-sel pada
bagian pusat (basal ganglia) yang mengkoordinasi gerakan-gerakan tubuh dan
mengarahkan kontrol gerakan.
3. Bagian Ketiga dari CP adalah Ataxia
Ataxia hanya terjadi pada sebagian kecil anak-anak, penyebabnya adalah adanya
kerusakan atau cedera pada cerebellum yang bertugas untuk memperhalus gerakan-
gerakan otot yang terkontrol oleh gerakan lapisan luar otak (cortex). Anak-anak ataxia
174
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
mengalami kegagalan untuk melakukan integrasi informasi yang relevan ke dalam rongga
posisi dan rongga keseimbangan yang ada pada otak. Kondisi tersebut berpengaruh
terhadap lengan, gerakan-gerakan yang dilakukan secara tepat, dan penyebab dari
kelumpuhan atau kelayuan tubuh. Seringkali seluruh dari empat anggota tubuh tidak
berfungsi. Kelainan kaki lebih berat dari lengan, seringkali nystagmus dan tremor.
Istilah-istilah lain berkaitan dengan Cerebral Palsy meliputi:
1. Hypotonia atau floppiness yang sering digunakan dalam buku-buku rujukan yang
menyatakan athetoid dan mempunyai indikasi penurunan kekejangan otot.
2. Hypertonia, berkaitan dengan bentuk spastik dari CP dan mengacu kepada
peningkatan kekejangan otot.
3. Rigidity, istilah ini merupakan aplikasi dari hipertonia yang tidak piramidal
menyebabkan kekakuan terhadap otot-otot.
4. Tremor, gemetaran secara ritmis dari anggopta tubuh, dikarakteristikkan dengan
goyangan atau gerakan-gerakan yang sulit.
Epilepsy
Epilepsy merupakan gangguan serangan yang hebat terhadap fungsi otak yang
terjadi secara tiba-tiba, secara spontan dan mempunyai tendensi untuk terjadi kembali.
Epilepsy terjadi bersamaan dengan ketidakmampuan lain seperti cerebral palsy dan
hydrochepalus. Kelainan epilepsy merupakan perwujudan hilangnya konsentrasi atau
bahkan ketidaksadaran diri, biasanya diikuti pula dengan gerakan-gerakan yang tidak
diinginkan oleh tubuh. Rangsangan muncul dimulai pada bagian khusus dari otak
sehingga menimbulkan kejang-kejang pada bagian tertentu tanpa kehilangan kesadaran.
175
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Dengan kata lain, rangsangan menyebar dan melibatkan keseluruh bagian otak
yang dapat menimbulkan kejang-kejang secara menyeluruh dengan kehilangan kesadaran
diri. Prevalensi kelainan epilepsy diantara 0,3 hingga 18,6 persen setiap 1000 kelahiran
(Caveness, 1976; O’Donohae, 1979 dalam Hasket & Barret, 1993:21).
Pengobatan epilepsy yang paling sering digunakan adalah dengan obat
anticonvulsants, sekitar 70 persen dapat menurunkan kejang-kejang pada anak-anak
epilepsi. Pengobatan dengan anticonvulsants secara potensial menghasilkan pengaruh
sampingan. Obat-obatan yang sedikit mempunyai pengaruh sampingan, antara lain:
carbamazepine, sodium valproate, dan clobazam. Sedangkan obat-obatan yang sangat
banyak mempunyai pengaruh sampingan antara lain: phenytoin, the barburates, dan
clonazepam. Pengaruh sampingan dari obat-obatan tersebut di atas antara lain: perasaan
kantuk, kelelahan, lemah konsentrasi, berkurangnya fungsi kognitif, dan kemunduran
daya ingat.
Hydrocephalus
Hydrocephalus sering terjadi bersamaan dengan spina bifida atau berdiri secara
tersendiri. Hydrocephalus terjadi ketika terlalu banyak cairan – cerebrospinal dalam
rongga otak. Sehingga otak yang lembut, dan rongga yang ada pada otak mendapatkan
tekanan dari cairan yang mengisi rongga otak. Dampak dari tekanan menjadikan lapisan
luar otak menjadi tipis dan mengkerut dan seringkali terjadi cedera yang permanen.
Pada bayi yang masih kecil, tulang-tulang di bagian atas kepala masih belum
bersatu sehingga cairan dapat keluar menekan bagian ini sehingga kepala menjadi lebih
besar. Gejala-gejala ini menunjukkan adanya kelainan, dikenal dengan nama
176
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
hydrocephalus. Terhadap hydrocephalus yang sudah berat memerlukan operasi langsung
untuk menghilangkan cairan agar keluar dari rongga otak. Operasi dapat dilakukan
dengan cara memasang slang (shunt) dari rongga otak disalurkan ke bilik kiri/kanan hati
dengan cara operasi. Operasi semacam ini disebut dengan ventriculo-atrial shunt
sehingga cairan yang ada pada rongga otak dapat diserap melalui peredaran darah. Atau
dengan cara ventriculo-peritoneal shunt yang langsung mengarahkan cairan pada rongga
otak ke rongga perut, langsung ke usus. Operasi spino-peritoneal shunt merupakan upaya
lain guna mengarahkan cairan secara langsung dari bilik rongga otak ke rongga sekitar
sumsum tulang belakang dan kemudian diarahkan ke rongga perut.
Spina Bifida
Istilah “spina-bifida” diartikan sebagai “tulang belakang yang terbagi atau
robek”. Pada seorang bayi, kondisi semacam ini terjadi disebabkan salah satu bagian atau
lebih dari tulang belakang belum terbentuk secara penuh. Pada tulang belakang yang
normal, terdapat sebuah “kanal/ saluran” melalui pusat yang berisi syaraf tulang
belakang, sebagai rumah syaraf yang menghubungkan otak ke berbagai bagian tubuh.
Apabila terjadi robek pada tulang belakang, maka kanal pusat tidak sepenuhnya
memenuhi daerah tulang belakang jadi hanya sampai pada tempat yang robek saja. Oleh
karenanya dimungkinkan syaraf tulang belakang menutupi sebagian tulang belakang yang
terbuka tersebut, dan menunjukkan adanya gumpalan atau benjolan pada bagian belakang
seorang bayi.
Adanya kerusakan dan gangguan pada syaraf di bagian tulang belakang, berarti
pesan-pesan antara otak dan batang tubuh dan anggota badan terjadi hambatan yang
177
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Pesan-pesan dari tubuh ke otak menunjukkan
adanya rintangan pada: perasaan sentuhan, rasa sakit, dan posisi. Robek pada tulang
belakang dapat terjadi di beberapa tempat, seringkali terjadi pada bagian bawah tubuh.
Hal semacam ini merupakan resiko yang tinggi pada situasi kandungan, dimungkinkan
anak yang dilahirkan mempunyai kelainan spina bifida.
Terdapat tiga bentuk spina bifida, yaitu:
1) Bentuk pertama, kelainannya ringan disebut: spina bifida occulta. Bentuk
kecacatan tulang belakang terjadi pada posisi bagian bawah dari tulang punggung.
Tidak terjadi tonjolan yang keluar pada sumsum tulang belakang, dan cedera atau
kerusakan ditutupi oleh kulit. Posisi ini tidak menjadi masalah yang besar
terhadap medis dan pendidikan.
2) Bentuk kedua merupakan hal yang serius disebut dengan “meningocele” (cele
berarti kantung). Pada bentuk ini sumsum tulang belakang menutupi bagian yang
terbuka. Tonjolan meningocele dapat berupa tonjolan terbuka dan tonjolan
tertutup oleh lapisan kulit. Tonjolan sering terjadi diantara tulang belakang di
bagian punggung atau bagian atas punggung. Umumnya kondisi ini
menyebabkan adanya ketidakberfungsian pada fungsi buang air besar, fungsi
buang air kecil, dan anggota tubuh.
3) Bentuk ketiga yang sangat serius, adalah myolocele (myelomeningocele atau
meningomyelocele) yang terjadi pada daerah lumbar atau daerah pinggang, yaitu
bagian tubuh antara rongga dada dan panggul (lihat Gambar 5.3). Pada bentuk ini
syaraf dalam tulang belakang menonjol keluar, penyebab terjadinya kelumpuhan
ke dua belah kaki dan kehilangan rasa. Syaraf yang tidak bekerja menyebabkan
178
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
hambatan untuk buang air besar dan buang air kecil. Makin tinggi posisi robek
yang terjadi pada tulang punggung, semakin tinggi pula ketidakberfungsian fungsi
tubuh.
Gambar 5.3. Spina Bifida dengan Meningomyelocele (Hallahan & Kauffman, 1991:353)
(3). Penyimpangan Tulang Belakang (Spinal Deformities)
Penyimpangan tulang belakang umumnya disebabkan adanya bawaan
(congenital) atau kelainan neuromuscular seperti: spina bifida, cerebral palsy dan
muscular dystrophy. Kasus lainnya termasuk: tumor, infeksi dan penyakit metabolik.
Ada tiga tipe spinal deformities: Scoliosis, Lordosis, dan Kyphosis.
Scoliosis, terjadi pembungkukan tulang belakang ke samping. Salah satu bahu
lebih menonjol atau pinggul lebih tinggi dari lainnya, karena adanya perubahan
179
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
penjajaran batang tubuh sehingga terjadi penyimpangan pada: pinggul, dada, dan kepala
dengan letaknya yang tidak sejajar seperti posisi semula. Jika scoliosis tidak diobati
maka akan terjadi penyimpangan tubuh yang sangat berat. Penyimpangan yang berat ini
dapat merubah kurungan-rongga tulang rusuk. Dengan kelainan ini maka terjadi
penyimpangan pada ikatan tulang belakang yang ada pada daerah pinggang, sehingga
menyebabkan rasa sakit pada pinggang dan meningkat bila ada gerakan sekecil apapun.
Lordosis, adanya pembungkukan ke arah depan tulang belakang saat dilihat dari
sisi samping. Hal ini menyebabkan lengkungan tulang belakang di daerah pinggang yang
berlebihan, misalnya pada kelainan neuromuscular khususnya pada cerebral palsy,
muscular dysthrophy, dan myelomeningocele. Penyimpangan yang sangat berlebihan
sangat mempersulit bahkan mungkin tidak dapat duduk, berbaring dan berjalan.
Kyphosis, merupakan kelainan disebabkan adanya lengkungan pada tulang
belakang di daerah pantat. Kelainan ini menyebabkan lengkungan tulang belakang
menjadi berlebihan dari pada posisi normal di daerah bagian leher dan rongga dada. Pada
kasus berat dapat menurunkan kemampuan paru-paru dan terjadi penyimpangan berupa
statura yang memendek. Pengobatan terhadap penyimpangan tulang belakang tergantung
pada seberapa luas pembungkukan, pada lokasi, dan usia anak, termasuk pengamatan,
orthotic, dan pembedahan. Deteksi awal terhadap penyimpangan tulang belakang sangat
penting. Pola dan penggunaan alat penguat berupa braces, serta waktu dan banyaknya
pembedahan, secara khusus dilakukan untuk anak yang mempunyai kelainan ganda, dan
ini sangat penting sekali adanya ketergantungan pada hasil pengamatan yang dilakukan
secara hati-hati.
180
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
3. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak Tunadaksa
Hambatan-hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kondisi fisik
(tunadaksa) terletak pada kesulitan gerak dan kelainan postur, khususnya bagi anak
dengan kelainan cerebral palsy. Secara umum, hambatan yang ada pada anak dengan
hendaya kondisi fisik terletak pada:
1. Ketidakmampuan untuk melakukan orientasi ruang
2. Gangguan koordinasi gerak karena kondisi fisik-motorik yang lemah
3. Umumnya kurang sanggup menyesuaikan diri karena terlalu banyak mendapatkan
tekanan-tekanan dari lingkungan saat melakukan interaksi sosial (aspek
psikologis).
4. Ketidakmampuan untuk memecahkan suatu masalah.
Pada anak dengan kelainan spasticity sering dijumpai adanya kekejangan
sebagai tanda adanya kelainan spastik. Disamping itu, anak dengan spasticity
mempunyai hendaya pada penglihatan, pendengaran, dan berbicara, ketidakmampuan
melakukan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya daya
rasa. Kelumpuhan pada kaki merupakan hambatan utama anak-anak spina bifida, yang
bersangkutan akan mendapatkan kesulitan gerak disekitar daerah kaki. .Perkembangan
tulang yang berkurang menyebabkan anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi
rendah, berkesulitan gerak, daya taktil yang kurang, sulit berbicara.
Pada anak-anak athetoid hambatan utama adalah pada gerakan yang terjadi di
luar kemauan, pelan, dan sering menggeliat, diikuti dengan pengejangan otot-otot
181
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sehingga gerakannya tidak simetris dan di luar kontrol. Anak athetoid juga memerlukan
latihan orientasi ruang.
Ketidaknormalan perkembangan fisik pada anak dengan hendaya fisik-motorik
dengan salah satu kaki menjadi pendek, mobilitas menjadi hambatan utama (motor
abilities). Adanya ketegangan pada siku dan pergelangan tangan dan gerak kontraksi otot
yang tidak semestinya menyebabkan terjadi juga hambatan dalam belajar. Seorang anak
dengan hendaya yang berat karena mendapatkan cedera serius pada daerah pengatur
gerak di otak, menyebabkan ia mempunyai kesulitan gerak pada kedua kaki dan kedua
tangannya. Sebagai contoh adalah quadriplegia, yang bersangkutan juga mempunyai
hambatan kemampuan berfikir (kognitif).
4. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunadaksa
Dalam lingkungan sekolah, guru khusus hendaknya dapat bekerja sama dengan
para ahli terapi (seperti: physical therapists, occupational therapists, orthopaedist).
Dalam program layanan khusus seyogyanya lebih menekankan aspek pendidikan
dibandingkan dengan aspek medis, sehingga anak dengan hendaya fisik-motorik dapat
belajar di ruangan kelas bersama-sama dengan yang normal. Karena penekanan terhadap
aspek pendidikan, maka guru-khusus hendaknya berfikir untuk mencari upaya-upaya
pelayanan dengan memberikan metode yang tepat, berpartisipasi dalam suatu tim-kerja
dan selalu mencatat kegiatan-kegiatan. Upaya-upaya tersebut berkaitan juga dengan
upaya untuk memperoleh metode pembelajaran dengan menggunakan prinsip-prinsip
terapeutik yang dapat diterapkan dalam kegiatan sekolah. Dengan kata lain terjadi dua
penggabungan antara: teknis medis dan pendekatan berbahasa secara terapeutik terhadap
182
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
anak dengan hendaya fisik-motorik, sehingga pengimplementasian program pembelajaran
lebih cocok dengan kebutuhan layanan setiap siswa. Pendekatan layanan tersebut dikenal
dengan pendekatan sistem konsultatif (consultative approach). Dalam pendekatan
semacam ini diperlukan adanya kerja sama antara guru khusus dengan physical therapists
dan orthopaedists saat perencanaan program khusus yang akan diterapkan kepada siswa
dengan hendaya fisik motorik (Fraser & Hensinger, 1983:20-23).
183
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
I. KARAKTERISTIK ANAK TUNA GANDA
(MULTIPLE HANDICAPPED)
Di Asia Timur belum banyak perhatian terhadap peserta didik yang memiliki
kombimasi keluarbiasaan seperti tunanetra dan tunagrahita, cerebral palsy dengan
tunarungu, tunarungu dan tunanetra, tunalaras dan tunagrahita, atau lainnya yang
memiliki kelainan dua kali lipat atau lebih. Dengan tingkat kelainan yang berat dan
sangat berat, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermacam-macam. (Johnston
& Magrab, 1976:3). Penelitian menunjukkan bahwa keluarbiasaan yang berat dan sangat
berat, seperti halnya anak-anak yang mempunyai kesulitan-kesulitan yang minor,
jumlahnya meningkat (Anderson, 1969; Dibedenetto, 1976; Wolf & Anderson, 1969).
Kondisi semacam ini memperburuk sikap masyarakat terhadap keberadaan anak-anak
yang mempunyai kombinasi hambatan perkembangan. Definisi secara ringkas tentang
anak tunaganda sebagai berikut:
“ Developmental disorders encompass a group of deficits in neurological development that result in impairment in one a combination of skill areas such as: Intelelligence, motor, language, or personal social.” (Johnston & Magrab, 1976:7).
Diartikan secara bebas bahwa “Tunaganda adalah mereka yang mempunyai
Kelainan Perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan
perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam
kemampuan seperti inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan-pribadi di masyarakat”
184
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Definisi Kelainan Perkembangan secara ganda, menurut hukum di Amerika
berdasarkan PL. 94-103 (Title II. Ps. 124, tahun 1975), kelainan tersebut diperjelas
bahwa:
A. (i) Mereka yang dikelompok kedalam kelainan-ganda antara tunagrahita, cerebral
palsy, epilepsy atau autism;
(ii) Mereka yang termasuk mempunyai kondisi lain yang bertendensi kearah kelainan
tunagrahita dengan kondisi-kondisi kelainan fungsi secara menyeluruh, atau kelainan
perilaku adaptif yang memerlukan penyembuhan dan layanan-layanan seperti halnya
dengan mereka yang berkelainan cerebral palsy, epilepsy, autism.
(iii) Mereka yang mempunyai dyslexia disebabkan oleh kelainan-hambatan seperti
yang dinyatakan pada bagian (i) dan (ii) tersebut di atas.
B. Dimulai sebelum mereka berumur 18 tahun.
C. Kelainannya terjadi secara terus-menerus atau kelainannya bertendensi kearah yang
berkelanjutan.
D. Kelainan-ganda ini merupakan kelainan-substansi kemampuan sesorang untuk
berfungsi secara normal dalam masyarakat.
Definisi yang ada pada PL.94-203 tersebut di atas, juga mengakui bahwa
kelainan-ganda mencakup kelainan perkembangan dalam fungsi adaptif. Di Amerika
Serikat, PL. 94-142 yang merupakan hukum yang berlaku bagi pendidikan seluruh anak
yang mempunyai hambatan, diberlakukan juga kepada mereka yang dikategorikan
kepada tuna-ganda dan anak-anak buta-tuli. Dalam PL. 94-142 dinyatakan juga bahwa:
“Tuna-ganda” diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan (seperti tunagrahita
185
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
dengan buta total, tunagrahita dengan kelainan yang bersifat orthopedis, dan sejenisnya),
kombinasi-tingkat kelainan berat juga merupakan kasus permasalahan pemberian
pendidikan, dimana layanan pendidikannya tidak semata-mata hanya ditujukan pada
salah satu dari kelainannya saja. Namun istilah tuna-ganda tersebut belum termasuk
untuk mereka yang dikategorikan dengan anak Buta-tuli. (lihat pada: Sec.300.5 (b) (5) ).
Definisi untuk peserta didik Buta-tuli itu sendiri dinyatakan bahwa ” Buta-tuli
diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan antara: kesulitan pendengaran dan
penglihatan, kombinasi kasus kesulitan berkomunikasi yang berat dan kelainan
perkembangan. Dalam program pendidikan luar biasa belum terakomodasi, karena
semata-mata layanan tersebut ditujukan hanya untuk anak dengan kelainan pendengaran
saja atau anak dengan kelainan penglihatan.” (lihat pada: Sec. 300.5 (b)(2) )
Selanjutnya, Walker (1975) berpendapat mengenai “tuna-ganda atau multihandicapped”
sebagai berikut:
a. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan
pendidikan khusus.
b. Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi .
c. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi-metode secara
khusus. (dalam Mulliken, R.T. & Buckley, J.J., 1983:6).
186
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
j. KARAKTERISTIK ANAK BERBAKAT DAN KEBERBAKATAN
(GIFTEDNESS AND SPECIAL TALENTED)
Pengertian anak berbakat dan keberbakatan dalam perkembangannya telah
mengalami berbagai perubahan. Dimulai dengan pengertian yang berdasarkan pada
pendekatan uni-dimensial atau faktor tunggal (yang berpatokan pada IQ) ke pendekatan
yang bersifat multi-dimensial atau faktor jamak. Pengertian yang berdasarkan pada
faktor tunggal (uni-dimensial) ialah pengertian yang menggunakan inteligensi sebagai
kriteria tunggal dalam menentukan kebakatan. Sedangkan pengertian yang berdasarkan
pada pendekatan multi-dimensial tidak hanya menggunakan inteligensi sebagai kriteria
tunggal dalam menentukan keberbakatan, tetapi kriteria jamak berupa kriteria-kriteria
lain selain inteligensi. Dalam pendekatan multi-dimensial diakui adanya keragaman
dalam konsep dan kriteria keberbakatan, sehingga diperlukan berbagai cara dan alat yang
seragam dalam menentukan siapa anak berbakat dan keberbakatannya (Amin, M.,
1996:1).
Perubahan konsep inteligensi dari faktor tunggal seperti yang dikemukakan
Terman ke faktor jamak seperti yang dikemukakan Guilford (dalam Myears, 1986)
memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pendekatan konsep keberbakatan. Dalam
pendekatan faktor tunggal, makna keberbakatan sama artinya dengan pemilikan
inteligensi tinggi yang sifatnya genetis (keturunan). Sedangkan dalam pendekatan faktor
jamak, keberbakatan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetis, tetapi juga hasil
perpaduan interaksi dengan lingkungan. Menurut pendekatan jamak, keberbakatan ialah
keunggulan dalam kemampuan tertentu yang berbeda-beda. Keberbakatan juga
187
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
mengandung makna adanya keunggulan dalam satu atau beberapa bidang. Di samping
itu keberbakatan dapat diartikan sebagai ciri-ciri universal khusus dan luar biasa yang
dibawa sejak lahir, maupun hasil interaksi dari pengaruh lingkungan (Semiawan, C.,
1995).
Menurut Milgram, R.M.(1991:10) Anak Berbakat adalah mereka yang
mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford-Binet (Terman,
1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan
kemampuan dalam seni drama, seni musik, seni tari dan seni rupa (Marland, 1972).
Peserta didik berbakat mempunyai empat kategori, yaitu:
a. mempunyai kemampuan intelektual atau mempunyai inteligensi yang menyeluruh,
mengacu kepada kemampuan berfikir secara abstrak dan mampu memecahkan
masalah secara sistematis dan masuk akal. Kemampuan ini dapat diukur pada anak
maupun orang dewasa dengan tes psikometrik berkaitan dengan prestasi umumnya
dinyatakan dengan skor IQ;
b. Kemampuan intelektual khusus, mengacu kepada kemampuan yang berbeda dalam
Matematika, bahasa asing, musik, atau Ilmu Pengetahuan Alam.
c. Berfikir kreatif atau berfikir murni-menyeluruh. Umumnya mampu berfikir untuk
memecahkan permasalahan yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi.
Pikiran kreatif menghasilkan ide-ide yang produktif melalui imajinasi, kepintarannya,
keluwesannya, dan bersifat menakjubkan.
d. Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil. Dan berbeda dengan orang lain.
188
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Dari keempat kategori tersebut di atas maka peserta didik berbakat adalah
mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi: intelektual,
teknik, estetika, sosial, fisik. (Freemen, J.,1975:120), akademik, psikomotor, dan
psikososial (kepemimpinan) (Sisk, 1987 dalam Amin, M. 1996:3). Di tahun 1972 di
Amerika Serikat berkembang konsep-konsep tentang keberbakatan berkaitan dengan
kemampuan atau potensi luar biasa dalam kemampuan intelektual, tingkah laku akademis
khusus, berfikir kreatif dan produktif, kemampuan memimpin, kecakapan seni, dan
kemampuan psikomotor (Reynolds & Mann, 1987:719).
Kurikulum yang dianggap tepat bagi anak berbakat (gifted), antara lain: (1)
mengacu ke pada konsep-konsep dan proses kognitif pada tingkat yang tinggi; (2)
melibatkan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mengakomodasi bentuk-bentuk
belajar yang saling berbeda; (3) dapat mengakomodasikan berbagai bentuk perencanaan
pengelompokkan khusus. Kurikulum tersebut mengacu ke pada faktor-faktor utama
landasan pemahaman terhadap anak berbakat, yaitu: (1) inteligensi secara umum; (2)
keberbakatan khusus, kemampuan atau ketangkasan; (3) faktor-faktor yang bersifat non-
intelek; (4) kondisi-kondisi lingkungan yang dapat memberikan rangsangan (stimulasi)
dan dukungan; (5) faktor kesempatan (Tannenbaum, 1983 dalam Reynold & Mann,
1987:719); (6) anak berbakat memerlukan konsep-diri yang mampu untuk mengenali dan
menerima potensi yang tidak umum dalam wujud prestasi yang tinggi; (7) anak berbakat
berkecenderungan secara fisik dan psikis untuk menjadi superior dalam belajar dan
berprestasi (Feldhusen, 1986 dalam Reynolds & Mann, 1987:720).
189
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
BAB V
PERSPEKTIF PSIKOPEDAGOGIS TENTANG
DISFUNGSI PERKEMBANGAN ANAK
DENGAN UPAYA INTERVENSI DALAM PENDIDIKAN
Disfungsi perkembangan anak, meliputi aspek-aspek sensorimotor, kreativitas,
interaksi sosial dan berbahasa dapat berakibat peserta didik memperoleh kesulitan belajar
di sekolah. Kesulitan belajar yang terjadi di sekolah umumnya berkaitan dengan adanya
kelainan-kelainan belajar khusus seperti yang terjadi pada anak dengan kelainan autism,
hyperactive, dan Down syndrome. Keterampilan diri dan inteligensi yang kurang
menyebabkan mereka kurang berinteraksi dengan lingkungan.
Upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap peserta didik di sekolah
hendaknya berfokus pada kebutuhan diri anak yang bersangkutan sesuai dengan hak-hak
azasi dan martabat anak. Tujuan layanan tersebut bertujuan:
1. Mengembangkan pribadi, bakat, dan kemampuan mental serta fisik peserta didik
seoptimal mungkin.
2. Menyiapkan peserta didik untuk kehidupan orang dewasa yang aktif dalam
masyarakat bebas dan mengangkat penghargaan bagi orang tua anak, identitas budaya
sendiri, bahasa serta nilai-nilainya.
Upaya intervensi dini terhadap peserta didik yang mempunyai disfungsi
perkembangan hendaknya ditujukan terhadap dua aspek, yaitu aspek perkembangan
sosial dan aspek perkembangan kognitif. Tingkat perkembangan sosial dan kognitif
190
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
setiap peserta didik diperoleh melalui pengamatan guru kelas secara berkesinambungan
dan sistematik dalam proses need assessment. Untuk keperluan ini diperlukan
kompetensi guru kelas berkaitan dengan pengetahuan dan teori-teori belajar sehingga
perspektif perkembangan psikopedagogis setiap peserta didik dapat memenuhi kebutuhan
dasar psikologis, sosial dan emosional dalam lingkup perkembangan normal.
Perspektif Psikopedagogis Anak
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagaimana manusia seutuhnya. Dalam masa
pertumbuhan, secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan
khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan (Konvensi
PBB tentang Hak Anak, 1990). Dengan demikian maka perspektif psikopedagogis anak
yang paling logis, sesuai dengan Konvensi Hak Anak tahun 1990 tersebut, adalah:
“Sampai sejauhmana seorang anak mampu mengubah dirinya sesuai dengan kondisi
disekitarnya. Kemampuan mengubah kondisi sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pendidikan dan intervensi-intervensi yang sesuai dengan keberadaannya”.
Proses perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk-bentuk
kegiatan tertentu serta latihan-latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya
sehingga terpenuhinya kebutuhan psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima
oleh orang-orang disekitarnya. (Maslow, 1984; dalam Patton,J.R., 1986:4). Dalam
perkembangan psikopedagogis anak, interaksi anak terhadap lingkungannya dihadapkan
pada tiga dimensi utama, yaitu: kemampuan (capabilities), lingkungan tempat anak
melakukan fungsi kegiatannya (environment), dan kebutuhan dengan berbagai tingkat
keperluan (functioning & support) seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
191
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Konsekuensi dari hal tersebut di atas, fokus utama orientasi psikopedagogis
dengan target perilaku sosial setiap peserta didik mengacu kepada:
1. Perkembangan kemampuan berupa keterampilan dan kecakapan sesuai dengan
tingkat inteligensi
2. Kondisi-kondisi pembelajaran berupa faktor-faktor lingkungan dan pemberian
penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya
Bentuk-bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran
berlangsung berkaitan dengan psikologis, sosial, dan emosional setiap peserta didik (Staat
& Burn halaman 98-120 dalam Patton, 1986:52).
CAPABILITIES ENVIRONMENT
- Intelligence - Home
- Adaptive Skills - Work School
- Community
FUNCTIONING
SUPPORT
Gambar 4.1 Dimensi Utama Interkasi
(Smith, et al, 2002:56)
Ketidakberhasilan peserta didik dalam mencapai tugas-tugas di sekolah
disebabkan oleh tingkat kemampuannya yang tidak sesuai untuk dapat melaksanakan atau
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepadanya. Semestinya program
pembelajaran individual di sekolah disusun dan ditetapkan berdasarkan atas model
192
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
perkembangan siswa sesuai dengan tingkat umur-mental. Konsekuensi dari hal tersebut
maka perkembangan yang dapat dicapai peserta didik melalui pembelajaran yang
diprogramkan secara bertahap hendaknya sesuai dengan kemampuan umur-mental atau
kesiapan setiap peserta didik untuk mempelajari tugas-tugas baru yang diterapkan guru
kelas di sekolah.
Apabila terjadi kegagalan dalam melaksanakan tugas-tugas baru di sekolah, hal
tersebut disebabkan banyak variabel yang mempengaruhi perkembangan kognitif antara
lain: etiologi peserta didik bersangkutan, perbedaan motivasi yang diberikan dan adanya
masalah berkaitan dengan kesesuaian individu diukur dengan umur-mental (Ellis &
Dunley, 1991; dalam Smith 2002:250).
1. Teori Belajar dan Perkembangan Kognitif bagi Peserta Didik yang Mempunyai
Disfungsi Perkembangan
Mempelajari perilaku sosial peserta didik yang mempunyai disfungsi
perkembangan psikopedagogis akan berkaitan dengan cara mereka berorientasi dengan
lingkungan (dalam hal ini lingkungan sekolah). Prinsip-prinsip belajar yang terlibat
antara lain Teori Belajar Sosial dan Teori Perkembangan Kognitif.
Teri Belajar Sosial memandang konteks sosial peserta didik meliputi interaksi
pribadinya dengan lingkungan yang mempunyai kapasitas apakah itu bergerak ke arah
objek atau menjauhi objek (perilaku menjauh). Kedua variabel ini berpengaruh terhadap
perilaku perorangan yang menunjukkan adanya penguatan (reinforcement) yang dapat
dipergunakan sebagai intervensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi dari
193
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kedua variabel ini menyebabkan adanya tiga bentuk hubungan pada diri peserta didik
yang mengalami hambatan perkembangan belajar, yakni: Locus of control, Expectancy
for failure, dan outerdirectedness.
Locus of control mengacu kepada sejauhmana seseorang merasakan akibat dari
perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan kejadian-kejadian, baik yang positif
maupun negtif, sebagai akibat dari tindakannya sendiri disebut dengan internal locus of
control, sebaliknya apabila dilakukan akibat terkanan dari luar dirinya, seperti nasib,
kesempatan, atau akibat dari perbuatan orang lain disebut dengan external locus of
control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan lebih
berorientasi ke arah external locus of control dari pada mereka yang tidak mempunyai
hambatan perkembangan (Mercer & Snell, 1977:190; Patton, et al., 1986:85).
Expectancy for failure, mengacu kepada penguatan yang merupakan antisipasi sebagai
akibat dari perilaku yang diajarkan. Misalnya pemberian hadiah dan pemberian harapan-
harapan sebagai bentuk umum akibat dari pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe
khusus dari suatu kegiatan pemecahan masalah. Outerdirectedness merupakan upaya
untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu outerdirectedness
dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan, pada umumnya mereka meniru
perilaku orang lain yang benar atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau
petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya.
Implikasi dari Teori Belajar Sosial tersebut di atas, menyebabkan guru kelas
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Memberikan tugas terhadap siswa yang mempunyai hambatan belajar dengan cara
memperhatikan kemampuan fungsional dari setiap peserta didik bersangkutan.
194
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Berikanlah tugas-tugas yang dipastikan dapat mereka lakukan karena hal ini
merupakan jaminan keberhasilan suatu program pembelajaran atau program-program
lain untuk bersosialisasi.
b.Menyimak pengalaman-pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan oleh peserta
didiknya di kelas saat mereka berhasil menyelesaikan tugas-tugas di sekolah.
c. Melakukan umpan-balik sesegera mungkin terhadap perilaku khusus yang telah
dilakukan peserta didik dengan baik sesuai dengan tugas yang diberikan guru.
Teori lain yang menjadi prinsip belajar peserta didik dengan hambatan
perkembangan adalah Teori Perkembangan Kognitif. Prinsip dari perkembangan
kognitif dirumuskan oleh Jean Piaget tahun 1969. Ia menyatakan bahwa
perkembangan mental anak merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan secara
terus-menerus terhadap lingkungan melalui fase-fase perkembangan anak, melalui
tahapan: sensorimotor, pra opersional, operasi konkret, dan operasi formal atau
abstrak. (patton, et al.,2986:96; Wadsworth, 1991; Suparno, 2001:25; Smith et
al.,2002:250).
Tingkat sensorimotor mempunyai karakteristik perkembangan melalui
pengalaman-pengalaman sensori dan kegiatan-kegiatan gerak. Anak mulai menyadari
adanya lingkungan di luar dirinya sendiri, ia mulai membedakan antara dirinya dengan
orang lain dan benda-benda yang ada di sekelilingnya.
Tingkat pra operasional melibatkan kegiatan-kegiatan yang melebihi dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap fisiknya. Anak mulai menggunakan simbol-
simbol untuk orang dan benda yang ada di sekelilingnya untuk membiasakan dirinya
melakukan asimilasi dan menemukan pengalaman-pengalaman baru dengan menirukan
195
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
kegiatan-kegiatan orang lain. Asimilasi diartikan sebagai proses mengubah informasi
sehingga informasi tersebut menjadi bagian dari pengetahuannya.
Saat mencapai tingkat operasi konkret, anak mulai meningkat kemampuan-
kemampuannya untuk menamai dan mengklasifikasikan benda-benda. Kegiatan mental
mulai meningkat dan berkembang, anak mulai mencoba memecahkan masalah
berdasarkan hasil pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Kemampuan berfikir abstrak dan kemampuan menyampaikan alasan mulai
meningkat pada usia sekitar 11 hingga 12 tahun yang dapat ditandai dengan adanya
perkembangan pada tingkat operasi formal.
Implikasi dari teori perkembangan kognitif anak, maka sebaiknya modifikasi
perilaku dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang disusun secara sistematik,
disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning mengkondisikan suatu
karakteristik perilaku tertentu dalam suatu bentuk penguatan positif yang esensial dalam
program pembelajaran berorientasi terhadap perilaku yang dapat mempengaruhi
consequences (Wallace & Kauffman 1978, dalam Patton et al., 1986:97). Penyampaian
motivasi belajar dan pemantauan perilaku peserta didik dengan hambatan perkembangan
menggunakan teknik semacam ini sangat dianjurkan. Terdapat tiga tipe motivasi belajar
yang dipakai sebagai penguatan, yaitu: Social reinforcement misalnya pemberian hadiah,
menyentuh tangan, memeluk dengan sepenuh perasaan, Tangible misalnya pemberian
makanan kesukaannya, uang, atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan
yang merupakan bentuk penghargaan khusus yang diharapkan anak, Negative
consequences untuk perilaku-perilaku yang tidak diharapkan muncul. Misalnya,
pemberian “time out” terhadap peserta didik yang menunjukkan perilaku yang tidak
196
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
sesuai dan tidak diinginkan. Pemberian “time out” biasanya bersamaan dengan
pemberian “hukuman” antara lain, tidak diperkenankannya melakukan kegiatan tertentu
walaupun ia sangat menyukainya.
Oleh karena itu program pembelajaran yang disusun guru kelas hendaknya
dipolakan secara khusus melalui pendekatan metode yang terintegrasikan pada kejadian
atau peristiwa saat itu (event). Pola pembelajaran yang memasukkan pendekatan
perkembangan sosial peserta didik semacam ini dipakai sebagai bentuk reinforcement
dan sangat efektif dipakai sebagai bentuk intervensi-guru selama proses pembelajaran
(Gardner, 1977, dalam Schloss, 1984:40).
2. Intervensi Dini dalam Pendidikan
Layanan pendidikan di sekolah berupa layanan pembelajaran individual untuk
setiap peserta didik secara tegas diarahkan kepada sasaran yang jelas berupa pencapaian
suatu sasaran perilaku (behavior target). Sasaran perilaku bagi peserta didik yang
mempunyai hambatan perkembangan adalah perilaku adaptif (adaptive behavior), yaitu
suatu kemampuan untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang
tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Secara khusus merupakan kemampuan
berperilaku untuk mampu merespon tuntutan lingkungan (AAMR, 1992, Patton, et al.,
1986:13); Widaman & McGrew, 1996 dalam Smith, et al., 2002:95). Problem yang
terjadi pada perilaku adaptif akan berakibat atau berkaitan erat dengan terjadinya defisit
inteligensi atau lemahnya aspek kognitif.
Perilaku adaptif dapat dikembangkan sebagai sasaran bimbingan yang
diintegrasikan kedalam pembelajaran dan dilakukan sebagai intervensi sedini mungkin
197
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
karena berfungsi untuk membantu peserta didik yang mempunyai hambatan
perkembangan dengan tujuan agar peserta didik bersangkutan:
a. Mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain
b. Mampu memanfaatkan persepsi pendengaran, penglihatan, gerak taktil atau kinestetik,
gerak motorik halus (fine motor) dan motorik kasar (gross motor)
c. Kemampuan beradaptasi disamping kematangan diri dan sosial. Misalnya, dapat
berbahasa secara konseptual, dapat memahami dan mampu menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi.
d. Mampu bertanggung jawab secara pribadi ataupun sosial dicirikan dengan kemampuan
berhubungan dengan orang lain, dan dapat berperan serta untuk melakukan suatu
peran di lingkungan tempat tinggalnya
e. Kematangan diri dan sosial meliputi kemampuan berinisiatif, memanfaatkan waktu
luang, cukup atensi dan bersikap tekun.
Hasil-hasil penelitian di luar negeri yang telah dilakukan oleh Friedberg (1992),
Kandret (1993), Carmichael (1994) dan Schwiebert (1995) menunjukkan bahwa pola
bermain peran atau role playing dan pola bermain dengan media pasir serta papan
permainan angat cocok diterapkan sebagai intervensi-guru dalam pembelajaran di sekolah
dasar dan sekolah tingkat lanjutan atas. Pola bermain sebagai bentuk intervensi-guru
dalam pembelajaran dapat diterapkan guna menurunkan tingkat perilaku salah suai atau
perilaku non-adaptif, seperti: kurang atensi, impulsif, sering melakukan kegiatan
berlebihan, agresif, selalu merasa takut, depresi pada peserta didik hiperaktif dan
gangguan emosional. Penelitian-penelitian tersebut, merupakan pembuktian terhadap
198
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
pendapat dari Anna Freud dan Melanie Klien (1920) berkaitan dengan pemanfaatan
permainan terapeutik dapat dipakai sebagai wahana dan diagnostik perilaku salah suai
dalam bentuk bimbingan konseling terhadap peserta didik yang mengalami hambatan
belajar.
Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar
Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pasca Sarjana Prodi Bimbingan dan
Konseling di Universitas Pendidikan Indonesia, antara lain oleh: Astati (tesis tahun 2001
mengenai role playing terhadap peserta didik hiperaktif), Nursyamsiah (skripsi tahun
2002 mengenai penggunaan permainan papan jahit pada peserta didik dengan hambatan
gerak), Vera, R.D. (skripsi tahun 2003 tentang penggunaan role playing dalam
pembelajaran), Handayani (skripsi tahun 2003 tentang Permainan Imajinatif untuk
pembelajaran Tunagrahita usia mental delapan tahun), Suprapto (skripsi tahun 2003
mengenai penggunaan media permainan menara gelang dalam pembelajaran tunagrahita
dengan umur mental enam tahun), Kartina Ina (skiripsi tahun 2004 mengenai permainan
puzzle-balok dlam pembelajaran), Sukmawati, T.M., skripsi tahun 2004 tentang
permainan tempurung kelapa dalam pembelajaran siswa tunanetra), Yani Mulyani
(skripsi tahun 2005 tentang penggunaan role playing untuk tunagrahita usia mental enam
tahun), dan Mery Krismas (skripsi tahun 2005 tentang permainan Flashcards dalam
pembelajaran pada siswa kelas satu) juga telah menunjukkan bahwa permainan yang
bersifat terapeutik dapat dijadikan media intervensi-guru dalam pembelajaran maupun
konseling terhadap peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan.
Alasan digunakannya permainan terapeutik sebagai bentuk intervens-guru
dalam pembelajaran individual disebabkan bermain dapat:
199
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1) digunakan sebagai diagnostik untuk memahami peserta didik
2) digunakan untuk mengembangkan kegiatan hubungan antara individu dengan orang
lain agar dapat berjalan baik
3) dipakai sebagai pengubah pola kegiatan hidup sehari-hari dan dapat mengatasi rasa
gelisah
4) bermain dapat membantu peserta didik saat melakukan verbalisasi perasaan-perasaan
melalui alat-main tertentu sesuai dengan keberadaan peserta didik bersangkutan
5) membantu peserta didik dalam memerankan perasaan bawah sadar dan dapat
menurunkan ketegangan yang menyertai perasaan bawah sadarnya
6) dipergunakan untuk mengembangkan minat bermain peserta didik usia rendah bagi
penyaluran kehidupan sehari-hari yang kemudian memperkuat kehidupan mereka di
masa depan (Schaefer & O’Connor, 1983:203).
200
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
BAB VI
MODEL PEMBELAJARAN BAGI ANAK
DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus seyogyanya
didasarkan atas kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang berdasarkan kebutuhan
nyata oleh guru kelas agar dapat mengembangkan ranah pendidikan sebagai sasaran akhir
pembelajaran berupa pencapaian pengetahuan, keterampilan, sikap dan psikomotor
tertentu dari setiap peserta didik dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan. Model ini
menunjang “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang telah dicanangkan oleh
Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2002.
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan
sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak seperti yang
dikemukakan oleh Mc Ashan (1981: 45) sebagai berikut.
“ ... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective and psychomotor behavior”
Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa
agar dapat dinilai, sebagai wujud akhir hasil belajar peserta didik yang mengacu kepada
pengalaman langsung dirinya. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-
tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit dan
memiliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari.
201
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi menurut
Gibson (1988:109), sebagai berikut.
a. Pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang guru
mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dan bagaimana melakukan
pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
b. Pemahaman, yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimilki oleh individu.
Misalnya, seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki
pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didiknya agar dalam
proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien.
c. Kemampuan, adalah suatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau
pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan guru dalam memilih
dan membuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan belajar pesrta
didiknya.
d. Nilai, adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah
menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku guru dalam pembelajaran
apakah itu kejujuran, rasa demokratis, dan sebagainya.
e. Sikap, yaitu perasaan(senang-tidak senang, atau suka-tidak suka) atau reaksi terhadap
suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya, reaksi terhadap krisis ekonomi,
perasaan terhadap kenaikan upah dan sebagainya.
f. Minat, adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Misalnya, minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu (dalam Mulyasa, E.,
2004:39).
202
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Keterampilan yang sangat penting dari seorang guru tersebut di atas, dapat
dimanfaatkan saat berlangsungnya pembelajaran, merupakan perilaku guru yang efektif.
Perilaku efektif berarti bahwa guru secara sistematik menyajikan kompetensi-kompetensi
yang efektif dalam berbagai situasi belajar. Pembelajaran yang efektif adalah
pembelajaran yang mampu mencapai sasaran kompetensi dengan memanfaatkan
kemampuan, minat dan kesiapan menerima pembelajaran dari setiap peerta didik.
Kompetensi-kompetensi sistem pembelajaran yang melandasi dalam proses
pembelajaran efektif berdasarkan pada konseptual model pembelajaran individual
(individual instruction). Pembelajatan individual meliputi enam elemen, yaitu: elicitors,
behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Keenam
elemen konseptual model pembelajaran tersebut sangat berperan dalam proses
pembelajaran, diartikan sebagai berikut.
a. Elicitors (E): merupakan peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau
menyebabkan perilaku. Dapat melalui: (a) peralatan pembelajaran, seperti alat
permainan, bentuk permainan edukatif, buku instrumen tes, gambar-gambar, alat tulis
crayon; (b) dapat juga berupa bentuk-bentuk: arahan, suruhan, permintaan,
demonstrasi atau seperangkat arahan-arahan/ petunjuk-petunjuk tertentu; (c) dapat
melalui orang dengan perilaku seperti: senyuman sebagai tanda persetujuan, atau
kerutan di dahi sebagai tanda tidak setuju. Penyebab perilaku dapat terjadi oleh salah
satu atau gabungan dari Elicitors tersebut di atas.
b. Behaviors atau perilaku ( B ), merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu
yang dapat ia lakukan, antara lain: berlari, berjalan, berbicara, menulis, menyusun/
203
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
memasang papan permainan, membaca, menjawab pertanyaan, atau duduk di
kursinya.
c. A Reinforcers atau penguatan ( R ) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang muncul
sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap
baik. Penguatan dapat berupa peningkatan kepuasan dari perilaku untuk masa depan.
Stimulus yang mengikuti perilaku yang tidak memuaskan atau yang tidak sesuai
tidak diberikan penguatan.
d. Entering Behavior atau kesiapan menerima pelajaran. Sebelum guru memulai untuk
melakukan kegiatan pembelajaran terhadap peserta didiknya. Sangat esensial bila
guru-kelas mengetahui kesiapan setiap peserta didiknya untuk memulai mengikuti
kegiatan pembelajaran. Kesiapan tersebut berupa kesiapan peserta didik untuk
melakukan tugas-tugas kegiatan akademik tertentu dan kegiatan belajar berkaitan
dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi pembelajaran khusus, artinya
bahwa bentuk elicitors manakah dari setiap peserta didik dapat melakukan tanggapan,
perilaku manakah yang dimunculkan oleh setiap peserta didik, dan penguatan atau
reinforcers yang dapat memperkuat respon-respon yang diinginkan dan dapat
berguna.
e. Terminal Objective. Beberapa program pembelajaran seharusnya dapat menghasilkan
perubahan sebagai hasil akhir atau keluaran. Maka terminal objective dapat
menghubungkan antara tujuan yang satu dengan tujuan lainnya. Dapat dikatakan
secara singkat bahwa sebagai “sasaran antara” dari pencapaian suatu tujuan
pembelajaran yang bersifat tahunan.
204
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
f. Enroute Objective. Merupakan langkah dari entering behavior menuju ke terminal
objective yang terbagi dalam beberapa langkah kegiatan pembelajaran, disebut
dengan enroute objectives. Setiap enroute objective dapat menggambarkan
pencapaian “sasaran antara” yang harus dicapai oleh setiap peserta didik sebelum
mereka pindah ke enroute objective berikutnya.
Model konseptual secara nyata akan memunculkan suatu proses kegiatan
pembelajaran yang menyediakan guru-kelas untuk dapat melakukan pengidentifikasian
terhadap:
(a) tingkat kemampuan akademik atau tingkat kemampuan sosial setiap peserta didiknya,
(b) arah tujuan dari pembelajaran,
(c) langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran.
Model dari proses pembelajarannya memungkinkan guru-kelas mampu:
(a) melakukan pengidentifikasian secara tepat pada setiap titik sasaran,
(b) kapan peserta didik mulai sesuai dengan entering behavior atau kesiapan menerima
pelajaran,
(c) enroute objectives yaitu suatu keadaan sesuai dengan urutan pembelajaran,
(d) dan the terminal objective (sasaran antara).
Rincian Elemen Konseptual Model dapat dilihat pada Gambar.1 dan Gambar 2. di bawah
ini.
205
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
B R
E
Before Enroute Objective After
E B R
Before Enroute After
Objective
E B R
Before Enroute Objective After
Gambar 1. Elements of the Conceptual Model ( Peter, L.J., 1975:14)
206
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
E B R
Before Terminal After
Objective
Classroom Instruction
Present Function
E B R
Befire Entering Behavior After
Gambar 2. Future Behavior
( Intended achievement at termination of program ) (Peter L.J., 1975:17)
207
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
A. Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Inti model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus berdasarkan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah mengembangkan lingkungan belajar
terpadu dari peserta didik bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan
khusus.
Prinsip-prinsip umum pembelajaran meliputi: motivasi, konteks, keterarahan,
hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip
memecahkan masalah.
Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik spesifik dari
setiap penyandang kelainan peserta didik bersangkutan. Misalnya, untuk anak tunanetra
prinsip kekonkritan, prinsip pengalaman yang menyatu, prinsip belajar sambil
melakukan. Peserta didik tunarungu adalah prinsip: keterarahanwajahan. Untuk peserta
didik tunalaras: prinsip-prinsip yang diperlukan meliputi: kebutuhan dan keaktifan,
kebebasan yang mengarah, pemanfaatan waktu luang dan kompensasi, kekeluargaan dan
kepatuhan kepada orang tua, setia kawan dan idola serta perlindungan, minat dan
kemampuan, disiplin, kasih sayang. Untuk tungrahita diperlukan prinsip-prinsip
pembelajaran berkaitan dengan: (1) bentuk-bentuk atensi meliputi waktu-atensi, fokus,
dan selektifitas; (2) mediatoral, diantaranya menggunakann teknik yang efektif, teknik
yang bersifat khusus, dan intervensi guru yang khusus; (3) memperkuat daya ingatan atau
memori; (4), transfer atau penggeneralisasion terhadap: pengetahuan, keterampilan
terhadap tugas-tugas yang baru baginya, pemecahan masalah, belajar, pemberian
pengalaman-pengalaman (Smith et al., 2002:252).
208
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Model pembelaaan anak dengan kebutuhan khusus dengan memperhatikan
kurikulum berbasis kompetensi diperlukan komponen-komponen tertentu meliputi antara
lain: (1) rasional, (2) Visi dan Misi pembelajaran, (3) tujuan pembelajaran, (4) isi
pembelajaran, (5) pendukung sistem pembelajaran, dan (6) komponen dasar
pembelajaran.
1. Rasional
Layanan pendidikan dan pembelajaran untuk sekolah yang melayani anak
berkebutuhan khusus seyogyanya sejalan dan tidak terlepas dengan prinsip, kebijakan,
dan praktek dalam pendidikan berkebutuhan khusus, terutama setelah konferensi dunia di
Salamanca Spanyol pada tanggal 7-10 Juni 1994. Konferensi tersebut menghasilkan
perluasan gerakan pendidikan untuk semua (education for all). Selanjutnya hasil
konferensi dunia tersebut ditindaklanjuti dengan Deklarasi Dakar tahun 2000 yang
menjadi kerangka kerja dalam merespon kebutuhan dasar belajar warga masyarakat yang
menggariskan bahwa pendidikan harus menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa
mengenal batas kelompok, ras, agama dan kemampuan potensial yang dimiliki oleh
peserta didik.
Perubahan tersebut sangat besar artinya serta mendasar, sehingga layanan
pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus tidak menutup kemungkinan untuk
memberikan hak anak untuk mendapatkan kesempatan (opportunity right), hak sebagai
makhluk Tuhan yang perlu mendapatkan kesejahteraan sosial (human right, social and
welfare right).
209
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
2. Visi dan Misi
Bertitik tolak dari hasil pengamatan dan harapan kebutuhan di lapangan, maka
model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus mengarah kepada visi dan misi
sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan.
Visi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, adalah
membantu peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki sikap dan wawasan
serta akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi
manusia, saling pengertian dan berwawasan global (Muyasa, E. , 2004:19). Sasaran
utama sebagai hasil keluaran (out come) dari pembelajaran adalah kemampuan setiap
peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai
pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan
lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan
dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (Kurikulum Pendidikan Luar
Biasa, 1994:6).
Misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, adalah
pemberian layanan terhadap anak dengan kebutuhan khusus agar setiap peserta didik
yang mempunyai kelainan atau hambatan perkembangan menjadi individu yang mandiri,
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, terampil, dan
mampu berperan sosial (Mulyasa,E., 2004:20). Dalam rangka mengantisipasi kehidupan
masa depan dari anak berkebutuhan khusus tersebut, maka intervensi-khusus yang
dipersiapkan oleh guru-kelas untuk pembelajaran harus mampu menyentuh semua aspek
perkembangan perilaku dan kebutuhan setiap peserta didik berkaitan dengan kompetensi
210
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
yang merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
3. Tujuan Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Berdasarkan visi dan misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis
kompetensi, dapat ditentukan tujuan dari pembelajaran, sebagai berikut:
a. Agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa
bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi
pendengaran, penglihatan, taktil, gerak halus (fine motor) dan Gerak kasar (gross
motor).
b. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan diri dan sosial.
Misalnya, dapat berinisiatif, dapat memanfaatkan waktu luang, cukup atensi, serta
bersikap tekun.
c. Menghasilkan individu yang mampu bertanggung jawab secara pribadi dan sosial.
Misalnya, dapat berhubungan dengan orang lain, dapat turut berperan-serta, dan dapat
melakukan suatu peran tertentu di lingkungannya.
d. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan
penyesuaian diri dan sosial. Misalnya, mampu berkomunikasi dengan orang lain
melalui kematangan berbahasa.
211
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
3. Komponen Dasar Model Pembelajaran
Berdasarkan kepada visi dan misi, kebutuhan peserta didik secara khusus, dan
tujuan pembelajaran dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi, isi layanan
pembelajaran dikelompokkan ke dalam bagian-bagian sebagai berikut:
a. Masukan terdiri atas: (1) Masukan Mentah, berupa Elicitors, behaviors, dan
reinforcers; (2) Masukan Instrumen, terdiri atas: program, guru-kelas, tahapan dan
sarana; (3) Masukan lingkungan, berupa: norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan.
b. Proses terdiri atas: Program Pembelajaran Individual, Pelaksanaan intervensi, dan
Refleksi hasil pembelajaran , dan Kurikulum berbasis kompetensi.
c. Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai
kesulitan atau hambatan perkembangan diri.
Pendukung Sistem Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Komponen pendukung sistem (the component system) adalah kegiatan-kegiatan
manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara dan meningkatkan program
pembelajaran. Kegiatan-kegiatannya diarahkan kepada:
i. pengembangan dan manajemen program, dengan upaya meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, penilaian, analisis, dan tindak lanjut program;
ii. pengembangan staf pengajar guna penguasaan terhadap aspek-aspek kompetensi
yang terdiri atas: pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat;
iii. pemanfaatan sumber daya masyarakat dan pengembangan atau penataan terhadap
kebijakan dan petunjuk teknis.
212
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Untuk memperjelas model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus dengan
menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat dilihat pada Diagram 6.1 di
halaman berikut.
214
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
Diagram 6.1. Model Pembelajaran Anak dengan Kebutuhan Khusus
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie
1
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie