Pelangi Hati -...
-
Upload
duongtuong -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of Pelangi Hati -...
Pelangi Hati
Adji
Pelangi Hati
Oleh: Adji
PT. Lingkar Pena Kreativa
Jl. Keadilan Raya No. 13 Blok XVI
Depok 16418
Email: [email protected]
Telp/Fax: (021) 7712100
Desain sampul: M.Lutfi dan Intraja
Ilustrator: Giant Sugianto
Editor: Sakti Wibowo
Layout: Tim Kreatif Pracetak MMU
Diterbitkan pertama kali oleh
PT. Lingkar Pena Kreativa
Depok, Mei 2004
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Adji
Pelangi Hati/Adji; Editor, Sakti Wibowo, — Depok: PT. Lingkar Pena
Kreativa, 2004.
146 hlm. ; 18 cm.
ISBN 979-98216-9-X
I. Judul II.Wibowo, Sakti
Didistribusikan oleh:
Mizan Media Utama (MMU)
Jl. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujung Berung Bandung 40294
Telp. (022) 7815500, Faks. (022) 7802288
email: [email protected]
DAFTAR ISI
1. Salam Itu 1
2. Suara dari Kamar Batin 17
3. Teman Bicara 41
4. Hari-hari Bersama 55
5. Kekecewaan Nisya 73
6. Ketika Harus Menyendiri 101
7. Daun-daun Yang Luruh 117
8. Hati Yang Bertaut 137
SALAM ITU
Aku ingin seperti burung
Terbang bebas melanglang buana
Tinggalkan semua yang ado di bumf
Melewati musim-musim yang seperti berkejaran
Singgah di tempat yang penuh kehangatan
Nisya meletakkan pulpennya. Sungguh mengasyikkan memandang
sore yang kekuning-kuningan dari jendela kamarnya yang terbuka. Tak
setiap hari langit kota Jakarta begitu enak dinikmati. Biasanya kalau tidak
tertutup kabut asap, matahari menyorot begitu garang sehingga tidak ada
perasaan nikmat saat memandangi langit.
Tak biasanya pula, seekor burung kecil hinggap di dahan pohon
mahoni di halaman rumah Nisya. Kicaunya yang kecil nyaring seperti
ungkapan riang pada sore yang ramah. Tangannya ingin sekali menjuntai
merengkuh burung kecil itu. Tapi Nisya takut, gerakan kecil akan membuat
burung kecil itu terbang dan pergi menjauh. Akhirnya is hanya dapat
memandang dengan penuh rasa takjub.
Beruntung sekali menjadi burung, bisiknya dalam hati. Bisa terbang
ke mana-mana dan hinggap di mana pun dengan sutra. Mungkin ia sudah
mengelilingi seluruh dunia. Bagaimana, ya, rasanya? Kalau aku jadi burung,
mungkin aku akan sering-sering mengunjungi Abah. Pulang sekolah, setelah
makan slang, langsung cabut ke rumah Abah. Setelah pulang, pulang lagi ke
rumah. Oh, tidak. Aku akan singgah dulu ke rumah Oneng, Entin... main-
main sebentar, lalu barn pulang. Pasti asyik, ya, kalau bisa tiap hari begitu!
Nisya buru-buru menyudahi khayalannya karena merasa malu
sendiri dengan dirinya. Tentu saja semuanya itu tidak mungkin. Ada-ada
saja.
Nisya menutup buku hariannya. Hari semakin sore.
mUda
"Hayoo! Pagi-pagi udah melamun!"
Nisya tersentak kaget. Dhani cengegesan di depannya.
"Ayam tetanggaku coati gara-gara melamun pas nyeberang jalan!"
Nisya memanyunkan mulutnya. Dhani menyimpan tasnya di laci
meja lalu beranjak keluar kelas.
"Ke mana, Dhan?" tanyanya ingin tahu.
"Orang jelek nggak boleh tahu!" sahutnya sambil berlari-lari kecil.
Tubuhnya yang gembul tampak bergoyang-goyang menggelikan.
Nisya memandang dari kejauhan sampai tubuh Dhani menghilang
dari pandangannya. Kadangkadang ia tersenyum sendiri kalau ingat awal
perkenalannya dengan Dhani. Saat itu, hari pertama mereka masuk ke
sekolah. Pipi Dhani yang gembul sudah menarik perhatian Nisya sejak awal.
Gara-gara tubuhnya yang subur itu, tingkah polahnya jadi selalu kelihatan
lucu. Apalagi ia memang termasuk orang yang tidak bisa diam. Pada saat
perkenalan dengan kakak kelas, ia sering melemparkan celetukan yang
mengundang tawa anak-anak yang lain. Jadilah ia diberi julukan 'Si Tukang
Ribut' oleh kakak kelas mereka.
"Kamu dari sekolah mana? Kok, tadi senyum-senyum terus?" Entah
bagaimana, saat istirahat tiba-tiba Dhani menghampiri Nisya.
Begitu melihat Dhani, Nisya berusaha menyimpan tawanya. "Saya
dari SMP Lima Belas," jawabnya sopan.
"Kakak-adik, dong! Saya dari Empat Belas. Namamu siapa? Saya
Dhani. Dhani itu kependekan dari Ramadhani. Jangan ketawa dulu, ya,
soalnya saga lahir pas bulan puasa," katanya nyerocos.
"Nisya," balas Nisya singkat.
Hari pertama Nisya di SMu terasa menyenangkan. Padahal ia sudah
berpikiryang tidak-tidak dengan sekolah barunya. Apalagi kota Jakarta
belum begitu diakrabinya. Tapi, setelah kenal Dhani, Nisya jadi yakin hari-
harinya akan menjadi berwarna. Pipinya yang gembul dan gerak-geriknya
yang kocak selalu mengundang tawa. Siapa yang tidak terhibur, coba?
"Hayo, pasti lagi ngelamunin Pak Sanif?!" tiba-tiba Listy sudah ada di
depannya.
Nisya yang kaget, langsung memasang tampang cemberut. Pagi-pagi
sudah ada dua orang yang mengganggu keasyikannya. "Siapa yang
ngelamunin Pak Sanif?" balasnya keki.
"Itu, buktinya senyum-senyum begitu?! Kamu, kan, sutra geli kalau
lihat kumisnya Pak Sanif"
"Mendingan ngebayangin bakso Pak Kumis daripada kumisnya Pak
Sanif," sahut Nisya.
"Wah, ngomongin Pak Kumis jadi pengin bakso, nih! Sudah sarapan
belum?"
"Sudah. Tadi di rumah."
"Temenin ke kantin, yuk! Aku belum sarapan, nih!" ajak Listy.
"Sebentar lagi masuk."
"Lima betas menit lagi. Masih ada waktu, kok!" kata Listy sambil
menarik tangan Nisya. Nisya menyerah saat tubuhnya diseret Listy.
Di lorong kelas, mereka berpapasan dengan Dhani.
"Nis, kamu sudah belum bikin laporan praktikum Kimia?"tanya
Dhani.
"Sedikit lagi. Kenapa?"
"Bikin bareng, yuk!"
"Kamu sudah sampai mana?"
"Belum. Makanya kita bikin bareng-bareng." Senyum jahil Dhani
mengembang.
"Huu... maunya!" Listy langsung menyambar. "Listy sirik aja! Itung-
itung amal, Nis!"
Nisya hanya tersenyum. Entah mengapa, ia tak bisa menolak
permintaan Dhani.
mUda
Alangkah senangnya menjadi bintang. Lepas di hamparan langit yang
membentang. Bersinar memancarkan cahaya yang indah. Kata Pak Herman,
guru Geogafi di sekolah, bintang adalah meteor yang yang menabrak
lapisan pelindung bumf yang memancarkan cahaya. Alangkah indahnya.
Dan, ia tidak sendirian. Beribu bintang yang lain juga memancarkan sinar
sehingga membuat langit begitu gemerlap.
Nisya memandangi langit dengan kagum dari kamarnya di lantai
atas. Kalau begini, ia Bering ingat teman-temannya di sekolah. Seperti itu
jugakah kerumunan bintang-bintang di atas? Sating bercanda, meledek,
membuat humor, atau Baling marahan kalau lagi kesal. Apakah mereka
punya perasaan juga?
Mereka kan ciptaan Allah juga, batin Nisya. Bisa jadi mereka juga punya
perasaan seperti manusia.
"Nisya, kamu di atas?"
Mama sudah pulang, batinnya. Bergegas ia menuruni tangga.
"Kamu ngapain di atas? Sudah makan?" Mama mencium keningnya.
Nisya tersenyum. "Biasa, Ma. Lagi bengong sendirian."
Mama memandang Nisya. "Maafkan Mama, ya. Mama ninggalin
Nisya sendirian. Bik Irah ke mana?"
"Ada di kamar." Nisya mengikuti Mama. "Papa kapan pulangnya,
Ma?"
"Mungkin besok. Mama ganti baju dulu, ya?"
Nisya menyalakan televisi. Tak ada acara menarik. Kebanyakan
sinetron. Nisya malas nontonnya. Soalnya, artis-artis yang itu melulu yang
muncul. Kalau Dhani, justru tiap hari tak jauh dari sinetron. Nisya barn tahu
kalau ternyata ada jugs cowok yang suka nonton sinetron. Herannya, dia
selalu bisa mengemas cerita dengan tambahan parodi sehingga selalu
menarik untuk didengar.
Mama muncul dengan baju rumah dan duduk di samping Nisya
yang sedang mengganti-ganti chane/televisi. Wajah Mama masih kelihatan
lelah sekali.
"Mama masih capek, ya?"
Mama menoleh pada Nisya. "Mama? Yaa... tadi Mama banyak
meeting, jadinya masih merasa lelah sekarang. Nisya sendiri gimana? Ada
kesulitan tidak di sekolah?"
"Baik-baik saja, Ma."
"Syukurlah kalau begitu."
Mama meraih kepala Nisya dan mengeluselusnya.
"Ma, kapan kita main ke Abah?"
Mama melepaskan pelukannya. Matanya memandang Nisya tak
berkedip. "Kenapa? Nisya kangen sama Abah?"
Nisya mengangguk pelan.
"Tapi... sekarang, kan, belum liburan?" Nisya tahu, batinnya kecewa.
"Jangan khawatir! Nanti, kalau liburan, kita pasti ke sana. Sekarang,
Nisya tidur dulu, ya? Sudah malam."
Nisya beranjak ke kamar setelah mengecup kening mamanya.
Barangkali aku cuma kangen, kata Nisya sambil memandang bulan.
Nisya ingat, malam-malam bertabur bintang seperti ini Bering diisi
dengan permainan di depan rumah. Abah duduk di bangku panjang,
sementara mereka bermain dengan gembira setelah pulang mengaji dari
masjid.
Sedang apa, ya, kira-kira Abah sekarang? "Abah, Nisya kangen," bisiknya.
mUda
Pelajaran Bahasa Inggris berakhir.
Bu Rini merapikan buku sebelum akhirnya meninggalkan kelas. Kelas
mendadakjadi gaduh. Nisya mengemasi buku-buku dan memasukkannya ke
dalam tas.
"Nisya, temenin aku, yuk?" Dhani menghampiri.
"Ke mana?"
"Ke rumah sepupuku. Dia janji mau pinjemin aku komik. Bagus-
bagus! Kamu pasti suka. Mau nggak? Nanti aku pinjemin."
Nisya diam sesaat. Menimang-nimang sebentar.
"Nggak lama, kan? Habis itu langsung pulang, ya?"
Dhani mengangguk.
Gerbang sekolah masih dipenuhi teman sekolah mereka. Riuh sekah.
Angkutan kota berjajar memadat di pinggir trotoar, menambah macet lalu
lintas.
"Kita naik yang itu aja. Agak kosong, tuh!"
Nisya manggut-manggut. Dilihatnya Listy dan Karina menunggu bis
di halte. Nisya melambaikan tangannya.
Baru beberapa jenak mereka naik angkot, seseorang menegur Dhani.
"Dhan, sombong kamu, ya?!'
Dhani menoleh. "Eh, Tyo! Lho, kok di sini?! Iya. Dari mana? 0 iya,
kenalin, ini temanku, Nisya."
Nisya tersenyum kagok. Laki-laki di depannya sepantaran Dhani,
tapi tubuhnya lebih langsing dan pipinya tak berjerawat.
Sepanjang perjalanan, Dhani dan Tyo sibuk bernostalgia. Ada saja
yang mereka tertawakan. Nisya hanya menjadi pendengar setia. Ia
tersenyum saja melihat keceriaan mereka berdua. Lagipula, Nisya memang
agak sulit beradaptasi dengan laki-laki yang barn dikenalnya.
"Siapa, Dhan?" tanya Nisya setelah mereka sampai di rumah sepupu
Dhani.
"Tetuan SMP-ku. Kenapa? Naksir?" "Huu!!!" Nisya mencibir.
Nisya merasa senang. Sore ini dia punya buku bacaan banyak.
Sambil menunggu Mama pulang, dia bisa bersantai sambil menghabiskan
buku bacaan. Papa masih di luar kota. Kata Mama, mungkin lamanya
sepuluh hari. Mudah-mudahan, pulangnya nanti, Papa bawa oleh-oleh
banyak, batinnya berharap.
mUda
Nisya sudah lupa wajah Tyo kalau Dhani tidak mengingatkannya
lagi. Soalnya, kejadian di angkutan kota itu sudah seminggu yang lewat.
Tiba-tiba, hari ini Dhani membawa titipan pesan dari Tyo.
"Sya, dapat salam tuh dari Tyo," kata Dhani saat jeda pelajaran.
Nisya yang sedang mengerjakan latihan Matematika mendongak.
"Tyo yang mana?"
"Itu... yang kemarin ketemu di angkot."
Nisya tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu kembali asyik
dengan pekerjaannya. Tapi, bukan Dani kalau pantang menyerah. Ia punya
seribu jurus untuk menundukkan orang.
"Gimana?" kejarnya.
"Wa alaikumsalam."
Dhani manyun.
"Bukan gitu jawabannya!"
Nisya pura-pura bego. "Nah, terus gimana?" "Diterima nggak?"
"Kan tadi udah, wa alaikumsalam."
Dhani makin kesal. Mukanya berlipat-lipat, persis ketupat. Nisya
ingin ketawa lepas, tapi tidak jadi, soalnya Bu Rini memasuki kelas.
"Nanti lagi ngobrolnya, ya," kata Nisya pelan sambil tersenyum jahil.
Dhani tidak menjawab. Malah bersungutsungut sambil pindah ke
bangkunya yang berseberangan dengan Nisya.
Nisya menahan tawa. Senang dia merasa bisa mengerjai Dhani.
mUda
Ternyata usaha Dhani tidak hanya sampai di situ. Heran juga Nisya.
Dikasih apa, sih, Dhani, sampai begitu ngototnya mengirimkan salam buat
Nisya!
"Sya, kamu dapat salam lagi dari Tyo." Kali ini Dhani menyambutnya
di gerbang sekolah. Entah, ini sudah salam yang ke berapa. Nisya lupa
mengingatnya.
"Berapa ikat?!" sahut Nisya sekenanya.
"Serius, Sya! Tyo, tuh, kayaknya suka berat sama kamu," Dhani
menjejeri langkah Nisya.
"Bagus, dong! Ternyata aku laku juga, ya?"
Nisya menaruh tasnya. Bersiap-siap keluar kelas. Tapi Dhani
menahannya.
"Dengerin dulu, dong! Kamu, kok, nggak pedulian gitu, sih!"
"Kan, tadi sudah aku dengerin. Tyo nitip salam, kan? Nah, sekarang
sudah aku terima. Apalagi?"
"Dia nitip ini, Sya." Dhani memberikan sebuah amplop warna biru.
Nisya tertegun. "Apa ini?"
"Baca aja sendiri."
Dhani langsung berlari ke luar kelas. Tinggal Nisya yang kebingungan
sendiri. Ia menimang-nimang surat itu dengan bimbang. Berbagai
pertanyaan mendesak masuk kepalanya. Tapi ia tak berani membukanya.
Dimasukkannya amplop itu ke dalam tas dan buru-buru ia keluar kelas.
Maksudnya ingin mengejar Dhani. Tapi bersekolah menghentikan
langkahnya. Tak mungkin mengorek apa pun dari Dhani karena jam
pertama sekarang yang mengajar Ibu Ida. Itu berarti tidak ada yang
bersuara di kelas. Bahkan suara jangkrik sekecil apa pun. Setiap gerak pasti
akan tertangkap lensa matanya yang tajam.
Selama jam belajar, Nisya menanti dengan tidak sabar. Waktu
istirahat akhirnya kesampaian juga.
"Kamu, kok, getol banget ngejodohin aku sama Tyo?" todong Nisya
di kantin sekolah.
"Siapa yang ngejodohin? Dia yang suka." "Kamu cerita apa aja
memangnya?"
"Apa, ya? Nisya itu manis, balk, ramah, rajin salat... hehehe!" Dhani
terkekeh melihat wajah Nisya yang cemberut.
"Wah, lagi ngegosipin apa, nih?" Listy dan Karina nimbrung di meja
mereka.
"Nisya lagi ditaksir cowok. Tapi, dia pura-pura jual mahal."
"Jual mahal gimana? Kenal juga baru kemarin," sahut Nisya.
"Tapi kalau kamunya suka, kenapa nggak?" balas Dhani.
"Beneran, Nis, ngapain ditutup-tutupi. Kalau memang suka, nggak
ada salahnya," Listy ikut nimbrung.
"Nggak, ah! Aku belum mau pacaran." "Pacaran juga nggak apa-apa,
kok, Nis. Buat penambah semangat," seta Karina.
"Iya, pasti kamu juga butuh motivasi. Siapa yang mendorong kamu
buat semangat belajar? Sekolah lebih rajin? Siapa, hayoo?" sambung Listy.
"Mama," sahut Nisya yang disambut ketawa mereka.
"Iya... tapi, kan, beda rasanya. Pokoknya nanti rasain sendiri, deh,"
kata Listy serius.
mUda
Selembar kertas diremas-remas Nisya lalu dilemparkannya ke
keranjang sampah di sudut kaman Tangannya masih memegang pulpen.
Tapi, pikirannya berlarian ke sana kemari.
Apa betul pacaran itu bisa bikin semangat belajar? Nisya bertanya-
tanya dalam hati. Ah, rasanya rumus kayak begitu baru sekali ini
didengarnya. Lagipula, selama ini, Nisya nggak mengalami kesulitan belajar.
Mama selalu siap membantu dan mengingatkannya kalau ia mulai malas
belajar. Hanya saja, belakangan ini Mama agakjarang menanyakan
pelajaran Nisya. Soalnya, sekarang Mama sering pulang malam, dan saat
pulang ke rumah, Nisya sudah terserang kantuk. Jadi, ia tidak pernah bisa
ngobrol lama dengan Mama.
"Mama lagi sibuk apa, sih?" pernah suatu kali Nisya bertanya.
"Kantor Mama sedang dapat proyek dari pemerintah. Kebetulan
Mama yang ditunjuk sebagai penanggung jawab. Makanya Mama sekarang
sering lembur."
"Mama nggak capek?"
"Capek juga. Tapi Mama harus menyelesaikannya secepat mungkin
Supaya kerjaan lainnya nggak menumpuk. Nisya sendiri bagaimana?
Baikbaik saja, kan, dengan sekolahmu?"
"Baik-baik aja, kok, Ma."
"Syukurlah kalau begitu. Mama istirahat dulu, ya?"
Semenjak Mama sering pulang malam, Nisya jadi sering kesepian.
Meskipun Papa sering pulang lebih awal, itu tidak banyak membantu.
Soalnya, Papa juga sering membawa pekerjaan kantornya ke rumah.
Kadang-kadang Papa juga sering ke luar kota. Seperti kemarin.
Nisya lagi-lagi diusik oleh obrolan di kantin Siang tadi. Kenapa, sih,
harus ada laki-laki dan perempuan? Tiba-tiba Nisya ingat Abah. Dulu, ia
pernah menanyakan hal itu pada Abah waktu usianya masih kecil. Jawaban
Abah kira-kira begini, "Manusia itu sengaja diciptakan Allah
berpasangpasangan, laki-laki dan perempuan. Supaya apa?
Supaya Nisya tahu Encep, tahu Sodin. Jadi tidak hanya kenal Oneng
atau Entin saja"
Lalu apakah karena itu ada orang pacaran? Nisya menimbang-
nimbang dalam hati. Tapi ia tidak bisa menjawabnya.
"Yang pasti, hidup itu akan lebih indah kalau kamu punya pacar,"
terngiang ucapan Listy saat bubaran sekolah tadi.
Nisya meringis dalam hati. Apa betul?
Diambilnya Surat dari Tyo. Dibukanya lagi, tapi segera disimpannya
kembali ke dalam amplop. Pikirannya menerawang menembus langit
malam.
mUda
SUARA DARI
KAMAR BATIN
Halo, Nisya!" Nisya barn saja turun angkutan umum ketika sebuah
suara menegurnya. Nisya tersentak kaget. Ditolehnya asal suara itu. Dhani
sedang berdiri di depan gerbang sekolah sambil tersenyum jahil. Tapi, yang
membuat Nisya kaget adalah cowok di sebelah Dhani. Itu, kan...Tyo! Dia
yang menegur tadi?
"Eh, ya, hai juga. Sedang apa di sini?" sahut Nisya berusaha ramah.
"Ini, nganterin Dhani ke sekolah."
"Nggak tahu, nih, tiba-tiba Tyo jadi balk begini!" sahut Dhani. Ia
tertawa menang ketika tonjokan Tyo mendarat di bahunya.
"Ooo ... !" Setelah itu Nisya bingung mau ngomong apa lagi. Untung
Dhani langsung tanggap.
"Sudah dulu, ya, Tyo. Makasih sudah dianterin, nih!"
Tyo melambai pada Nisya. Nisya diam saja. Ia berjalan masuk ke
sekolah.
"Ngapain Tyo ngantar kamu segala?"
"Dia yang maksa. Aku, sih, mau aja. Gratis ini," jawab Dhani.
Nisya terdiam.
"Kenapa, Nis? Kamu nggaksuka?"
Nisya tidak menjawab. Ia langsung masuk ke dalam kelas.
"Sori, deh, kalau kamu nggak suka. Aku nggak bermaksud begitu.
Tapi, Tyo pengin banget ketemu kamu."
Nisya tak menjawab. Ia tak mau pagi ini perasaannya jadi tidak
mood.
"Kenapa, sih, Nis? Kamu jangan diam begitu, dong? Kalau kamu
marah, aku minta maaf, deh! Aku janji nggak akan ngajak Tyo ke sini lagi."
"Bukan masalah itu." Nisya diam sebentar. "Semalam Tyo nelepon."
"Ha? Kok bisa? Tahu dari mana dia nomor telepon kamu?"
"Justru itu yang aku pengin nanya sama kamu."
"Nggak! Aku nggak pernah ngasih dia nomor telepon, kok!"
"Masak?'
"Beneran! Aku... aku nggak tahu, Nis. Tapi... waktu itu Tyo sempat
buka-buku buku agendaku. Mungkin itu, Nis."
"Tuh, kan!" Nisya gemas.
"Kamu marah, ya?" Dhani menebak-nebak. "Memangnya dia
ngomong apa?"
Nisya tak menjawab. Bukan soal omongan Tyo sebenarnya. Hanya
saja, Nisya merasa hari-harinya jadi terasa tidak bebas lagi. Seakan-akan ada
yang mengawasinya setiap waktu.
"Eh, kemarin isi suratnya apaan, Nis? Curhat, dong! Dia nyatain, ya?
Sudah, terima aja! Apa lagi, sih?! Tyo, kan, cakep... meskipun cakepan aku
dikit," Dhani meringis. "Ah, kamu, sih... kebanyakan mikir."
"Bukan begitu."
"Terus, kenapa?"
"Aku belum mau pacaran, Dhan."
"Ah, kamu kuno! Kamu kebanyakan mikir, jadinya begini, nih!
Sudah, terima aja! Kamu nggak rugi, kok!"
Nisya diam. Dhani tidak mengerti maksudnya. "Kenapa, sih, Nis?"
"Nggak! Nggak apa-apa, kok."
"Begini, nih, kalau kebanyakan mikir," ledeknya. Nisya tidak
menanggapi. Namun, diam-diam ia menghela napas.
mUda
Nisya membolak-balik badannya di tempat tidur. Ia ingin tidur, tapi
matanya sulit terpejam. Ia ingin melupakan semuanya. Ingin melupakan
Tyo, Dhani, dan terutama... surat itu! Tapi memang ia tidak bisa
memejamkan mata sedetik pun. Terngiang ucapan Dhani. "Kamu kuno,
Nisya.... Kamu kuno...!"
Nisya tercenung. Benar aku kuno? Memangnya salah kalau aku nggak mau
pacaran?
Apakah setiap laki-laki dan perempuan harus selalu berpacaran?
Nisya tidak bisa menjawab. Ia merasa saat ini tidak ada yang
mendukungnya. Ia butuh orang yang mau mendengar keluh-kesahnya. Tapi
siapa? Dhani yang dianggap sahabatnya pun tidak mengerti perasaannya.
Malah seperti menyudutkannya.
Ah, Mama! Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Nisya. Mungkin Mama
bisa membantunya.
Nisya turun ke lantai bawah. Dilihatnya lampu kamar kerja masih
menyala. Ia ragu-ragu. Dilihatnya Mama begitu serius di hadapan meja
kerja sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya.
"Ma...?„
Kepala Mama menoleh. Ia menurunkan kacamatanya. "Ya? Kamu
belum tidur, Nisya?" Nisya menggeleng.
"Kenapa?"
Nisya tak menjawab. "Mama masih sibuk, ya?" katanya batik
bertanya.
"Iya. Ada yang harus Mama selesaikan malam ini. Sebenarnya Mama
juga sudah ngantuk, tapi apa boleti buat, Mama harus selesaikan malam ini
juga."
"Oo...." Nisya seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Kenapa, Nisya?"
"Nggak! Nggak apa-apa, Ma," kata Nisya. "Mama mau dipijit?"
Mama tersenyum. "Nggak usah. Sebentar lagi juga Mama selesai.
Mama juga ingin tidur."
"Kalau begitu, saya duluan, Ma," kata Nisya sambil beringsut ke atas.
Mama ingin memanggil Nisya, tapi ia lebih dikhawatirkan oleh
laporan yang harus dipresentasikannya besok.
Di dalam kamarnya, Nisya kembali merenung. Ia merasa benar-
benarsendirian. Diambilnya buku harian. Lalu, mulailah tangannya
menggerakkan pulpen.
mUda
Hampir saja Nisya kesiangan. Untunglah hari ini ia sedang tidak
wajib salat. Terburu-terburu ia makan roti sarapan paginya, lalu mengucap
salam pada papanya. Mama sudah lebih dulu berangkat.
”Hati-hati di jalan," kata Papa.
"Iya, Pa."
Semalam, Nisya benar-benar tidak bisa tidur. Ia ingin membalas surat
Tyo. Tapi, berlembarlembar kertas hanya menjadi sampah. Nisya tidak
tahu apa yang harus ia katakan. Dan ia juga tidak tahu mengapa ia harus
menulis surat.
"Tumben, datang Siang?" sambut Roni.
Nisya hanya membalasnya dengan senyum.
"Dia nggak bisa tidur karena mikirin kamu, Ron," sahut Angga yang
disambut gelegar tawa mereka.
Nisya tak sempat membalas ledekan Angga karena Bu Rini sudah
masuk kelas. Ia langsung duduk di bangku. Dicobanya berkonsentrasi pada
pelajaran meskipun rasa kantuk begitu kuat menderanya. Nisya barn bisa
bernapas lega setelah bel istirahat berbunyi.
"Nisya, ke kantin, yuk!" ajak Listy.
"Duluan, deh," kata Nisya. Tapi, ia buru-buru meralat ucapannya
ketika dilihatnya Dhani hendak menghampirinya. "Aku ikut, Lis!" katanya
sambil berlari mengejar Listy.
Ia tahu, pasti Dhani akan menagih jawaban Nisya.
mUda
Malam-malam saat bulan purnama selalu membuat Nisya teringat
Abah. Sedang apa, ya, Abah di sang? Apakah Abah sedang ingat Nisya juga?
Atau, sekarang ia sedang bermain-main dengan anak-anak tetangga
mereka?
Nisya tiba-tiba merasa iri.
"Lihat bulan itu, Nisya! Indah sekali, ya?" "Ya, Abah, indah sekali.
Bah, katanya bulan itu tempat tinggal putri. Benar, Bah?"
Abah tertawa. "Ah, itu cuma dongeng, Nisya. Tapi, keindahan bulan
itu memang ada yang menciptakan."
"Siapa, Bah?"
"Allah. Bulan itu ciptaan Allah. Sama seperti kita."
"Jadi bulan itu hidup seperti kita, Bah?"
"Dia hidup, tapi tidak sama seperti kita, Nisya," katanya sambil
merangkul Nisya.
Nisya menyandarkan kepalanya di dada Abah. "Nisya pengin ke
bulan, Bah."
"Suatu saat nanti, Nisya bisa ke sana." "Memangnya bisa, Bah?"
"Bisa. Tapi Nisya harus belajar rajin, ya?!"
Nisya merapatkan kepalanya. Ia menatap wajah kakeknya yang
bercahaya tertimpa sinar bulan. "Nanti kalau Nisya bisa ke bulan, Nisya
ajak Abah ikut," katanya.
Abah tersenyum sambil memeluk Nisya dengan erat.
Tangan Nisya perlahan membuka jendela. Cahaya bulan masuk ke
dalam kamar, membasuh tubuh Nisya dalam baluran warna
kekuningemasan. Nisya tertegun dalam diam. Kerinduan itu sangat
menyesakkan dadanya.
Abah, Nisya kangen, desisnya hampir tak terdengar. Melihat bulan
yang bulat itu, ia seakan melihat Abah. Seakan Abah sedang tersenyum
sehingga membuat kedua sudut bibirnya berlekuk-lekuk. Dan, ketika Abah
mengangguk-angguk, janggut putihnya seperti ikut berayun-ayun.
Inginnya Nisya bergayut di bahu Abah dan merasakan kehangatan di
sana. Nisya tahu, di dekat Abah ia akan merasa tenang. Nisya ingin
bercerita pada Abah tentang Tyo dan surat itu! Kira-kira apa, ya, reaksi
Abah? Ah, alangkah kangennya Nisya pada Abah.
"Nisya, kalau lagi ada masalah, jangan dipendam sendiri, ya? Cerita
pada Mama." Nisya ingat, Mama Bering berucap begitu pada Nisya saat
pertama Nisya datang ke rumah ini. Waktu itu, Nisya hanya manggut-
manggut dengan canggung. Perlahan, ia memang bisa lebih terbuka dengan
mamanya.
Tapi, sekarang Mama sangatsibuk, desahnya dalam hati. Nisya tak
mungkin mengganggu Mama.
Nisya ingin mengeluh. Tapi tak tahu mengeluh pada siapa. Kalau
dulu, sebelum Mama sesibuk sekarang, ia masih bisa bercerita pada Mama.
Tapi, rasanya itu sudah berlangsung lama sekali. Kini, Nisya merasa Mama
semakin jauh darinya.
Suara Bik Irah terdengar dari bawah menghentikan lamunan Nisya.
"Nisya! Ada telepon!"
"Dari siapa, Bik?" teriak Nisya dari dalam kamar.
"Dari Tyo!"
Nisya tertegun sesaat. Hatinya bimbang, antara menerima telepon
dan tidak. Ini sudah kelima kalinya Tyo menelepon. Padahal barn dua hari
yang lalu telepon terakhirnya. Akhirnya, dengan malas-malasan Nisya turun
dari tempat tidur. "Sebentar, Bik!"
Nisya mengangkat gagang telepon. "Halo! Assalamualaikum," kata
Nisya mulai bicara.
"Wa alaikumsalam. Nisya, ya? Lagi ngapain?" suara Tyo terdengar
begitu riang.
"Ngg ... nggak lagi ngapa-ngapain. Baca buku aja."
"Wah, Nisya rajin, ya?"
Nisya tertawa kecut. Entah, Tyo merasa-kannya atau tidak.
"Ee, Nisya suka jalan-jalan ke mal nggak?" tanya Tyo lagi.
"Ngg... nggak begitu suka. Soalnya suka pusing," kata Nisya jujur.
"Wah, sayang, ya? Padahal saga pengin ngajak Nisya jalan-jalan.
Kalau nonton, gimana?
Suka?"
"Suka juga. Biasanya nonton di VCD bareng Mama."
"Kalau ke bioskop gimana?"
Nisya terdiam beberapa jenak. Bingung mau menjawab bagaimana.
"Sesekali. Tapi biasanya sama keluarga."
"Oo...," lalu diam. Nisya menunggu.
"Mm... padahal tadinya pengin ngajak Nisya jalan-jalan."
"Terima kasih. Tapi, mungkin lain kali aja, ya?" jawab Nisya.
"Ya, udah. Nggak pa-pa. Sampai nanti, ya? Assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam."
Nisya menutup telepon. Pikirannya berkecamuk. Ia berjalan seperti
tidak memandang ke depan.
"Nisya kenapa?" tegur Bik Irah heran.
Nisya tergagap. "Nggak! Nggak apa-apa, Bik. Mama belum pulang?"
"Belum."
Dalam hati Nisya mengeluh. "Saga tidur dulu, Bik," katanya.
Nisya buru-buru naik ke kamarnya. Tapi setelah mengunci kamarnya, Nisya
malah tidak bisa tidur. Pikirannya berlarian ke sana kemari.
mUda
"Kamu itu sebenarnya suka nggak, sih, sama Tyo?" tanya Dhani saat
istirahat.
"Kenapa, Dhan?"
"Semalam, Tyo nelepon ke rumah, nanyain jawaban kamu. Dia
mendesakku terus."
Nisya terdiam.
"Kamu suka, tapi malu bilangnya, ya?" Nisya tersentak. "Kata siapa?"
"Kata saya," sahut Dhani asal. "Soalnya kamu kayak kebingungan
begitu."
Nisya terdiam.
"Kalau kamu nggak suka, ngomong dari sekarang. Jadi aku nggak
perlu tiap hari selalu ngarang jawaban bust Tyo."
"Memangnya kamu ngasih jawaban apa ke Tyo?"
Dhani meringis. "Jawaban asal aja. Aku bilang iya-iya aja kalau dia nanya
jawaban kamu."
"Astagfirullah, Dhan! Kok, kamu bilang begitu?" Nisya betul-betul
kaget. Pantas saja Tyo jadi begitu rajin meneleponnya. Mungkin gara-gara
Dhani banyak memberi harapan pada Tyo.
"Habisnya nungguin jawaban kamu lamaaa...!"
"Tapi, kan, kamu nggak mesti bilang begitu. Kamu tahu, sekarang
Tyo jadi Bering nelepon ke rumah."
"Makanya, kasih jawaban yang jelas, dong!" Nisya merasa tersudut.
"Aku, kan, sudah bilang belum mau pacarpacaran begitu," katanya
mencoba membela diri.
"Ah... jawaban itu melulu. Kalau kasih jawaban harus yang jelas!"
"Memangnya itu belum jelas?"
"Itu, sih, sama Baja menggantung orang!" kata Dhani.
Nisya terdiam. Ia tidak mau ngomong lagi sama Dhani.
mUda
Kenapa, sih, nggak ada yang mau mengerti? Nisya bertanya dalam
hati. Sepertinya tak ada yang mau peduli perasaannya saat ini. Nisya
mengerti, Dhani teman Tyo. Mungkin Dhani merasa tidak enak dengan
Tyo, atau merasa selalu terteror dengan pertanyaan Tyo.
Nisya juga ngerti, dia salah. Tidak memberikan jawaban yang pasti.
Tapi Nisya ingin Dhani juga mengerti perasaannya. Ini benar-benar
pengalaman pertama buat Nisya. Dikirimi surat cinta oleh laki-laki selama
ini tidak terbayangkan olehnya. Apalagi harus memberikan keputusan.
Nisya benar-benar bingung. Apa yang harus ia jawab. Apakah ia
harus menjawab iya? Lalu mengapa ia harus menjawab iya? Apa hanya
karena Tyo teman Dhani. That's it?
"Ia cakep, kurang apalagi, coba?" kata Dhani suatu kali mencoba
meyakinkannya.
Tapi apakah cukup karena itu? Nisya akui Tyo cakep. Bahkan ia juga
kelihatan baik. Tapi masak ha iya karena itu? Memangnya kalau melihat
orang itu cuma karena wajah cakepnya? Apa nggak ada yang lain?
Saat ini ia ingin menjawab tidak, tapi ia takut itu menyinggung perasaan
Tyo. Nisya bingung harus menjawab seperti apa. Kemarin, ia sudah
berusaha memberikan surat jawaban. Tapi berlembar-lembar kertas surat
dibuang, tetap saja ia tidak menemukan jawaban yang pas.
Kalau sedang dilanda gelisah seperti ini, selalu saja Nisya teringat
Abah. Cuma Abah yang mau mengerti perasaannya. Setiap Nisya ada
masalah, Abah mau menjadi pendengaryang baik. Rasanya Nisya ingin
terbang saat ini juga. Sayang aku nggak punya sayap, batinnya. Coba kalau
aku burung, sudah kulintasi Jakarta menuju desa di ujung Jawa Barat sang.
Tapi Nisya tak berdaya apa-apa.
Perlahan-lahan Nisya menjangkau buku hariannya, meraih pulpen,
lalu mulai merangkai kata-kata yang ada dalam hatinya. Semua
perasaannya. Tapi, gejolak hatinya ternyata tak sama dengan apa yang
ditulis. Rasanya sulit sekali mengungkapkan perasaan hati, mengungkapkan
semua hal yang dirasakannya. Diremasnya sobekan kertas yang barn ia tulis
sebelum dilemparkannya ke dalam kotak sampah. Ia tercenung dalam
kesendirian. Saat ini ia benarbenar membutuhkan seorang teman.
Dalam kesendirian begini, suara Abah seperti melintas ke telinganya.
"Nisya, kalau lagi ada masalah, wudhu dulu, lalu salat!"
Nisya tersentak. Suara itu begitu dekat. Seperti ada dalam dirinya
sendiri. Dengan cepat Nisya berdiri. Terima kasih Abah, sudah
mengingatkan, katanya dalam hati.
Selesai salat, Nisya merasa pikirannya lebih jernih. Memang aku
harus memutuskan, katanya dalam hati. Lalu, dengan perasaan tenang,
Nisya mulai menulis.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tyo, terima kasih
atas kiriman suratnya. Saya merasa senang sekali....
Tangan Nisya bergerak begitu lancar, seperti ada yang
menuntunnya.
mUda
Sikap Dhani tiba-tiba berubah. Di mata Nisya, Dhani tak lagi seperti
dulu. Kenapa, sih, orang bisa berubah? Nisya tak habis pikir, apa yang
membuat Dhani kelihatan jadi tak bersahabat. Dhani tak selucu dulu lagi.
Biasanya Nisya selalu ingin tertawa melihat tingkah lake Dhani. Tapi
sekarang, kok, Dhani Bering kelihatan sewot. Setiap apa yang diucapkan
Nisya, Dhani selalu mengomentarinya dengan sinis.
Apa yang salah dengan Nisya? Apa gara-gara surat balasan Nisya?
Dalam hati, Nisya mengiraira. Mungkin Dhani sudah tahu jawabannya dari
Tyo. Tapi kenapa Dhani harus marah? Itu, kan, hak Nisya untuk
menentukan keputusan. Lagipula, dia sudah ngomong berapa kali ke Dhani
sebelumnya? Seharusnya Dhani mengerti.
Seperti sekarang, siang ini. Nisya minta antar Dhani mampir ke toko
buku sebentar. Soalnya, jurusan rumahnya dengan Dhani search.
"Dhan, anterin aku, ya? Mau nggak?"
"Ke mana?"
"Mampir ke toko buku sebentar. Ada yang mau dibeli."
"Malas, ah, capek."
"Ayo, dong, Dhan!" bujuk Nisya.
"Memangnya aku bodyguard? Makanya jangan pakai nolak cowok
segala. Sekarang butuh, kan?" kata Dhani judes.
Nisya tersentak. Belum pernah Dhani bersikap begini.
"Kok, kamu ngomong begitu? Ya sudah kalau kamu nggak mau, aku
juga bisa sendiri. Tapi kamu nggak perlu ngomong begitu," teriak Nisya
kesal.
"Kenapa, Nis?" tanya Listy yang tiba-tiba sudah berada di samping
Nisya.
"Nggak apa-apa," kata Nisya pelan. Padahal hatinya bergolak. Ia
tidak bisa menerima sikap Dhani yang seperti itu.
"Berantem sama Dhani?" tebak Listy. Nisya diam.
"Sahabat kok berantem?"
"Dhani sekarang berubah."
"Berubah gimana?'
Nisya menghela napas. "Kayaknya beda banget sama Dhani yang
dulu," katanya. "Aku juga nggak tahu apa masalahnya."
"Mungkin kamu pernah nyakitin hatinya?"
Nisya menggeleng. "Perasaan nggak pernah. Tapi, kayaknya
belakangan ini dia lebih gampang marah. Mungkin gara-gara Tyo."
"Memangnya kamu ngasih jawaban apa sama Tyo?"
"Aku bilang kalau aku belum mau pacaran."
"Nah, mungkin itu, Nis!" sahut Listy. "Tyo kan sahabatnya. Mungkin
dia juga merasa nggak bisa nerima itu."
"Tapi aku, kan, sudah bilang sebelumnya ke Dhani."
"Ya... namanya juga sahabat!" kata Listy tertawa, berusaha
menenangkan hati Nisya.
Perasaan Nisya tetap belum bisa menerima.
Sekarang kamu mau ke mana?" tanya Listy.
"Mau ke toko buku. Mau nemenin aku nggak?"
”Ayo! Siapa takut?"
Nisya meraih tangan Listy dengan senang. Sedikit kekesalannya pada
Dhani terobati.
mUda
Embun pagi menitik dari tangkai-tangkai bunga mawar dan
membasahi dahannya. Begitu bening. Tangan Nisya tergoda menyentuh
kelopak yang mulai memerah itu. Bibirnya menyunggingkan senyum.
"Halo, adik manis! Lagi ngapain?"
Nisya tersentak kaget. Di ambang pintu kamarnya, kakaknya
tersenyum lebar.
"Kak Ryan!" Nisya menjerit senang. "Kapan datang? Kok, Nisya
nggaktahu?"
"Semalam. Kamu sudah motor duluan."
Nisya mencium telapak tangan kakaknya.
"Kamu lagi ngapain?" Ryan duduk di sisi tempat tidur, memandangi
adiknya yang bersender di tepi jendela.
Nisya tersenyum tersipu-sipu. "Lagi nggak ngapa-ngapain. Di rumah
aja, mumpung lagi libur."
"Kasihan adikku. Nggak ada teman, ya? Sini! Kak Ryan temani!"
Nisya cemberut merasa diolok-olok. "Biarin aja," sahutnya.
Mama dan Papa hari ini memang tidak di rumah. Ada undangan
pernikahan anak kolega Papa yang harus mereka hadiri di luar kota. Sejak
pagi tadi mereka sudah berangkat.
"Daripada bengong di rumah, mendingan jalan, yuk?!"
"Sekarang?"
"Memang maunya kapan? Besok?" ledek Ryan. Nisya cemberut lagi.
"Ke mana?"
"Ke mana maunya? Ke mal? Katanya Nisya nggak suka ke mal?"
Nisya menggeleng. "Ke toko buku aja, ya?" tawarnya.
"Boleh."
"Terus, traktir Nisya makan!" teriak Nisya girang.
Ryan menggaruk-garuk kepala. "Pulang ke rumah justru pengin
minta sangu ke Papa, ini kok dibajak," katanya memelas.
Nisya tertawa. "Kalau begitu Nisya yang traktir, deh!"
Ryan mencubit pipi Nisya dengan gemas. "Adikku ini memang paling
balk sedunia."
"Huh! Gombal! Kak Ryan sudah mandi belum?" Ryan meringis,
"Belum jadwalnya."
"Wah, kebiasaan kos dibawa-bawa ke rumah. Sekarang Kak Ryan
mandi dulu. Biar Nisya siapsiap."
"Siap, Bos!" Ryan memberi homat, lalu menghilang dari depan pintu.
Nisya tersenyum geli. Kedatangan kakaknya membuat hatinya
senang.
mUda
Pukul sepuluh mereka sudah ada di toko buku.
Nisya sibuk memilih novel remaja yang bertumpuk di depannya,
sementara Ryan sibuk membolak-batik komik. Biarpun sudah kuliah, Ryan
masih suka baca komik. Di kamarnya, poster tokohtokoh kartun memenuhi
Binding.
"Jangan salah, Nis. Cerita komik banyak juga filosofinya, lho," kata
Ryan suatu ketika. Nisya cuma manggut-manggut. Setengah jam kemudian,
sebuah buku novel remaja islami berada di tangan Nisya. Ryan dilihatnya
masih asyik membaca.
"Sudah, Kak?"
"Sebentar. Sedikit lagi, Nis," kata Ryan sambil membalik halaman
dengan cepat.
"Dibeli, dong, Kak."
"Tanggung. Lumayan, jadi irit pengeluaran."
Nisya menunggu dengan sabar. Tak berapa lama, mereka sudah
keluar dari toko buku. Suasana penuh sesak ketika mereka memasuki
sebuah restoran fast food. Nisya mencari tempat makan sementara Ryan
memesan makanan.
"Tumben, nih, Kak Ryan udah pulang? Biasanya sebulan sekali bare
nongol," kata Nisya sambil menyantap ayam goreng.
"Kan, tadi sudah dibilangin, sangunya habis." "Oo, pantas. Kalau
nggak begitu, pasti malas pulangnya.'
"Jakarta panas. Enakan di Bandung. Adem."
Dalam hati Nisya mengangguk setuju. Ia ingat masa kecilnya di
Tasikmalaya. Sejuk dan tenang.
"Kapan-kapan boleh, dong, Nisya ikut ke Bandung?"
"Boleh aja. Tapi Nisya, kan, belum libur." "Iya, sih. Ntar, kalau
liburan, Nisya sekalian mau ke Tasik."
"Kangen, ya, sama Kakek?"
"Habis, di rumah sepi."
"Makanya cari pacar, biar nggak kesepian. Masak cakep-cakep begini
nggak ada yang suka." Nisya terdiam.
"Ada, sih, yang suka...." Nisya tidak melanjutkan kata-katanya.
Tangannya memutar sedotan dalam gelas minuman.
"Terus?"
"Nggak pengen aja."
"Nggak pengin atau nggak pengin?" Ryan memainkan matanya
dengan jenaka.
Nisya tidak meladeni. "Sudah Siang, Kak. Pulang, yuk! Mama dan
Papa mungkin sudah pulang."
Mereka beranjak keluar dari tempat makan. Nisya tidak tahu, ada
sepasang mata yang mengawasinya.
mUda
"Sya, aku mau ngomong!" Dhani tiba-tiba sudah berada di depannya.
Mukanya kelihatan ditekuk berlipat-lipat. Nisya yang hendak keluar kelas
dengan Listy mengurungkan niatnya. Dibiarkannya Listy pergi bersama
Kania.
"Mau ngomong apa?"
"Tapi bukan di sini," kata Dhani dingin.
"Lho, memangnya ada apa?" Nisya jadi penasaran.
"Makanya, sekarang kamu ikut aku."
Mereka pergi ke belakang sekolah.
"Sekarang, Sya, jawab dengan jujur, kenapa kamu menolak Tyo?"
todong Dhani dengan tiba-tiba.
Nisya bingung. Kemarin, kan, dia sudah ngomong dengan Dhani.
Apa Dhani sudah lupa? Tapi, melihat wajah Dhani yang dingin, Nisya tahu
ada sesuatu yang serius.
"Dhan, kemarin aku kan sudah bilang kalau aku belum mau pacaran
dulu...."
"Bohong! Bilang aja kalau kamu nggak suka sama Tyo, soalnya dia
nggak terlalu cakep, beda sama cowokmu itu."
"Kamu ngomong apa, sih, Dhan?" tanya Nisya tidak mengerti.
"Sudah, nggak usah bohong, deh! Aku sudah tahu semuanya, kok!
Cuma yang bikin aku kecewa, kenapa kamu harus ngomong seperti itu?!
Kenapa kamu nggak mau jujur?! Pura-pure nggak mau pacaran segala!"
"Kamu ngomong apa, sih, Dhan? Aku nggak ngerti."
"Kemarin, Tyo lihat kamu jalan sama cowok. Cakep! Pakai mesra-
mesraan lagi. Nah, sekarang kamu pugs?"
"Tunggu, Dhan! Dengar dulu!"
Nisya ingin menjelaskannya, tapi Dhani sudah keburu pergi.
"Aku nggak mau dengar kamu lagi!" teriaknya.
Nisya terdiam lemas. Kenapa semuanya jadi kacau begini? Dengan
lesu, ia melangkah ke kelas.
Dhani tak ada di ruangan. Entah di mana dia.
Mungkin sedang di kantin sekolah. Atau... mungkin dia di belakang
sekolah, nongkrong bergerombol dengan anak-anak cowok yang lain.
Nisya duduk di bangkunya dengan bingung. Ruangan sepi. Nisya
mengambil buku dari laci mejanya. Ia membuka-bukanya sebentar, tapi
dengan malas-malasan menaruhnya kembali. Pikirannya terasa begitu
kacau.
mUda
Sejak peristiwa tempo hari, Dhani seperti enggan bertegur saps
dengan Nisya. Seat keluar istirahat, Dhani sengaja lama-lama ngobrol
dengan Roni dan Adit. Atau, kalau tidak, ia duduk bergerombol di depan
kelas dengan anak-anak cowok yang lain. Kelihatan sekali ia menghindari
Nisya.
Nisya juga merasa males lebih duluan menyapa. Ia merasa tidak
bersalah apa-apa. Tapi lama-lama ia tidak merasa nyaman dengan keadaan
seperti ini.
Nisya harus menjelaskannya pads Dhani. Tapi, sulit sekali menemukan
kesempatan itu. Hingga suatu kali, Nisya melihat Dhani sendirian di
mejanya. Nisya langsung menghampiri.
"Dhan, saga mau ngomong."
Dhani mendongak kaget. Ia langsung berpurapura cuek.
"Ngomong aja."
Nisya langsung bersikap serius. Suara Dhani dirasanya begitu dingin.
Ia mengambil napas sebelum berbicara. "Pertama, jawabanku buatTyo
memang seperti itu. Nggak ada yang dibuat-buat, Dhan."
"Kenapa? Karena sudah ada cowok yang kemarin?"
"Dan yang kedua," kata Nisya tidak menghiraukan kata-kata Dhani
yang penuh nada ledekan, "yang Tyo lihat itu bukan siapa-siapa. Dia
kakakku, Kak Ryan."
Dhani kelihatan kaget. "Ah, nggak percaya! Aku nggak pernah lihat
sebelumnya! Dan kamu juga nggak pernah cerita," sergah Dhani.
"Terserah. Itu hak kamu mau percaya atau nggak," tandasnya.
Dilihatnya Dhani terdiam.
Nisya merasa tidak ada lagi yang perlu diucapkannya. Ia langsung
berbalik meninggalkan Dhani. Perasaannya menjadi lebih tenang sekarang.
mUda
TEMAN BICARA
Nisya punya kesibukan baru, menonton pertandingan olahraga
antarsekolah. Sebenarnya Nisya tidak begitu suka dengan acaraacara
seperti. Tapi kali ini berbeda. Ada Amanda, teman sekelasnya yang menjadi
tim basket sekolah. Akhirnya ia dan teman-teman cewek sekelas dengan
sukarela menjadi pemandu sorak gratisan.
Amanda memang jago main basket. Tubuhnya yang setinggi seratus
tujuh puluh senti itu bergerak lincah. Setiap kali ia melambungkan bola ke
keranjang, gemuruh suara penonton menggema pertanda lemparannya
tepat sasaran. Shinta dan Devi yang begitu bersemangat, tak henti-hentinya
berteriak. Mereka mungkin layak jadi pemandu sorak betulan. Kadang-
kadang saking semangatnya, mereka sudah bersorak duluan sebelum bola
masuk. Alhasil, gantian mereka yang jadi sorakan penonton.
Nisya mengedarkan pandangan. Meskipun baru semifinal, banyak
sekali penonton hari itu. Soalnya kedua tim merupakan tim favorit.
Penonton dari sekolah tuan rumah mengumpul di seberang mereka. Banyak
sekali. Suara mereka riuh rendah setiap kali tim mereka menyarangkan
bola. Perolehan angka Baling mengejar. Sebuah lemparan jarakjauh dari
Amanda menambah perolehan tiga angka membuat tim mereka tertinggal
tipis satu angka. Shinta dan and the gank bersorak dengan gempita.
Nisya yang ikut bersorak tiba-tiba berhenti.
Pandangan matanya terpaku ke sudut lapangan di seberang sang.
Tanga is kehendaki, dadanya berdetak lebih keras. Pada saat itu, Amanda
menyarangkan bola lagi. Teman-temannya bersorak keras. Nisya ikut
bersorak dengan kerasnya.
Tim mereka unggul.
Amanda langsung menjadi bintang. la
dikerumuni anak yang memuji penampilannya.
"Percaya, deh, kalau Amanda ada di depan, semuanya beres!" kata
Listy mengompori.
"Pokoknya, kalau tim kita juara, Manda saga traktir sebulan penuh!"
Devi tak kalah panas.
"Serius?" tantang Kania.
"Kalau ada uang jajan lebih... hehehe."
Tak ayal, Devi jadi sasaran kegemasan anak-anak.
Sore ini mereka memang ditraktir Pak Gatot.
"Sebagai reward atas keberhasilan kalian," kata beliau mirip seperti
kata sambutan. Anak-anak bertepuk tangan dengan riuh.
Mungkin hanya Nisya yang tidak menikmati sore yang cerah itu.
Pikirannya masih dibayangbayangi sosok yang ia lihat tadi. Benarkah itu
Tyo? Lalu, siapa perempuan yang di dekatnya?
Nisya tiba-tiba merasa aneh dengan dirinya. Ada apa dengan
dirinya? Memangnya ada hubungan apa dia dengan Tyo?
Bu Rini hari ini sakit. Anak-anak seperti mendapat keberuntungan.
Kelas yang biasanya tenang mendadak seperti pasar kaget. Tugas yang
diberikan oleh Pak Herman, wali kelas I.A, tidak berpengaruh apa-apa.
Tampaknya mereka tahu itu cuma trik Pak Herman saja supaya mereka bisa
tenang. Anak-anak hilir-mudik ke sana kemari dengan suara seperti burung.
Ketika Bu Wanda yang sedang mengajar di kelas sebelah menengok
ke ruangan, dengan kompak mereka menjawab, "sedang mengerjakan tugas
Matematika, Bu!"
"Bu Rini ke mana?"
"Sakit, Bu!"
"Ya, sudah. Tapi jangan ribut, ya. Ibu sedang mengajar di kelas
sebelah."
"Iya, Bu!"
Tapi, setelah kepala Bu Wanda menghilang, kelas kembali riuh
seperti semula.
Nisya tampak sibuk membolak-balik buku catatannya. Listy yang
duduk di sebelahnya sudah mendok ke meja belakang. Ia sibuk bergosip
dengan teman-teman gank-nya. Nisya malas ikutikutan. Paling yang
diobrolin nggak jauh dari cowok, pikirnya.
Nisya sedang gelisah. Matanya melirik ke meja seberang. Dhani
sedang ngobrol dengan Roni di ujung sana. Nisya berusaha keras
mengerjakan tugasnya. Tapi, ia sulit berkonsentrasi. Ketika Dhani kembali
ke mejanya, Nisya menggeser badannya supaya lebih dekat ke meja Dhani.
"Than, Dharma Nusa itu SMU-nya Tyo, ya?"
Dhani menoleh. "Iya," jawabnya singkat.
"Pantas, kemarin aku lihat Tyo ada di sana."
Nisya diam beberapa saat, melirik ke Dhani, ingin melihat
responnya.
"Kemarin saya lihat dia sama cewek. Pacarnya, ya, Dhan?"
"Kenapa? Cemburu, ya?" ledek Dhani.
"Enak aja. Emangnya Tyo siapa?" Nisya merasa intonasi suaranya
menaik tanpa disadari. "Nah, itu pakai tanya-tanya segala?!"
"Cuma pengin tahu aja. Memangnya nggak boleh?"
"Kamu, sih, pakai menolak segala," balas Dhani.
Nisya tidak menjawab, berpura-pura sibuk dengan tugasnya. Dhani
tiba-tiba pindah ke meja di depan Nisya. "Nis, kenapa sih kemarin pakai
menolak Tyo segala? sudah punya yang lain?"
"Nggak."
"Terus, yang kemarin itu siapa?"
"Itu kan kakakku, Ryan. Sekarang lagi kuliah di Bandung."
"Mmm...." Dhani manggut-manggut. "Nah, terus kenapa?"
"Kan sudah dibilangin kemarin, aku nggak man pacaran dulu."
"Ah, kamu kuno, Nis!"
Nisya jadi sewot. "Biarin!"
"Susah, deh, sama cewek kuno...."
Nisya ingin marah, tapi Dhani sudah keburu pergi. Nisya cuma bisa
memendam marahnya dalam hati. Kenapa, sih, Dhani sekarang makin
nyebelin? batin Nisya ingin meledak.
Waktu istirahat, Nisya sengaja tidak keluar kelas. Ia masih sebal
dengan Dhani. Ketika Dhani mengajaknya makan di kantin, ia pura-pura
sedang malas jajan. Padahal ia sedang malas ngobrol dengan Dhani. Tidak
tahu kenapa, ngobrol dengan Dhani tidak menyenangkan lagi. Nisya
merasa Dhani tidak seperti dulu lagi. Dulu, kalau sudah ngobrol dengan
Dhani, perasaan bete Nisya bisa hilang. Kalau ia sedang merasa tidak
diperhatikan Mama di rumah, guyonan-guyonan Dhani yang kocak bisa
membuat Nisya tersenyum kembali. Tapi sekarang, setiap dekat dengan
Dhani, Nisya merasa kata-kata cowok itu sering menyakitkan. Apa yang
salah dengan dirinya? Padahal selama ini ia bersikap balk-balk saja. Kalau
ingat itu semua, Nisya makin sebal sama Dhani.
"Nggak ke kantin, Nis?"
Nisya menoleh. Ternyata Wina. Ia langsung tersipu merasa terpergok
sedang melamun. "Lagi malas makan, Win."
Wina seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia kembali
sibuk memijit-mijit tombol handphone.
"Lagi ngapain, Win?"
"Kirim sms ke teman," jawabnya. Setelah itu, Wina tidak bersuara
lagi.
Diam-diam, Nisya memerhatikan Wina. Selama ini ia jarang sekali
ngobrol dengan Wina. Mungkin karena memang letak meja mereka yang
berjauhan. Mungkin jugs karena mereka tak pernah dikondisikan untuk bisa
ngobrol lebih banyak. Hanya tegur saga seadanya saja kalau kebetulan
mereka berpapasan.
Nisya selama ini tidak pernah memikirkan hal ini. Tapi, entah
mengapa sekarang ia tiba-tiba ia ingin lebih banyak ngobrol dengan Wina.
"Kamu nggak ke kantin, Win?" tanya Nisya mulai membuka
percakapan. Dilihatnya Wina menoleh sekilas.
"Nggak. Lagi males," jawab Wina pendek.
Nisya tahu, kalau ke kantin Wina selalu dengan temannya yang
berbeda kelas. Tapi Nisya tidak tahu namanya. Bagaimana bisa tahu,
ngobrol dengan Wina saja sangat jarang.
"Lho, nggak makan, Nis?" Tiba-tiba Listy sudah masuk kelas bersama
Kania. Mulut mereka berdesah-desah kepedasan.
"Nggak. Lagi malas," sahut Nisya tak bersemangat.
"Tumben," sahut Kania, "Biasanya sama si Gembul." Nisya tidak
bereaksi.
"Hmm ... masih marahan, ya?"tebak Listy sambil menahan senyum.
"Apa? Marahan?" Kania yang bereaksi. Tangannya mengguncang
bahu Listy seperti ingin tahu lebih banyak. "Marahan kenapa?"
Listy memainkan matanya seperti minta persetujuan Nisya. Tapi,
meskipun Nisya memandanganya dengan sewot, Listy tetap melanjutkan,
"Nggak apa-apa. Nisya cuma lagi sebal aja sama Dhani, kok," katanya
sambil mengerlingkan mata.
"Udah, ah ... !" sergah Nisya.
Tapi bukannya berhenti, mereka semakin senang melihat Nisya
cemberut.
"Oh, pantesan kayaknya tadi ngelihat Dhani sendirian aja. Di
pojokan lagi!" kata Kania sambil terkikik.
"Marahannya lucu! Kayak orang pacaran aja," sahut Listy ikut
tertawa. Tapi ia segera menyimpan tawanya ketika melihat Dhani masuk ke
dalam kelas bersama Rony dan Andika. Listy segera mencoba bersikap
wajar, tapi rant mukanya tetap saja kelihatan menahan tawa.
Ingin sekali Nisya mencubit pinggang Listy. Tapi ia tahu, kalau itu
dilakukan, justru Listy benarbenar akan tertawa. Nisya lebih memilih diam.
Untunglah bel sekolah menyelamatkan Nisya. Kania segera ke
tempat duduknya yang berada di belakang Nisya dan Listy. Tapi, saat
pelajaran dimulai, Kania berulang kali mencolek bahu Listy, lalu seperti
dikomando, mereka sama-sama menutup mulutnya dengan tangan. Hanya
bahu mereka yang berguncang-guncang menandakan mereka sedang
tertawa ditahan.
Nisya memandang ke arah lain, bersikap seolah-olah tidak tahu.
Pandangannya hinggap ke meja Dhani. Dhani sedang ngobrol berbisikbisik
dengan Roni. Apa Dhani tahu perasaannya saat ini? Apa Dhani tahu kalau
saat ini Nisya seda ng marah?
"Kania! Listy! Coba perhatikan ke depan!" suara Pak Herman
menyentakkan lamunan Nisya.
Kania dan Listy langsung terdiam. Beberapa pasang mata melihat ke
arah mereka. Termasuk Dhani. Nisya cepat beralih pandangan, pura-pura
tidak melihat.
Pulang sekolah, Nisya sengaja pulang dengan Listy dan Kania, meskipun
tahu ia berbeda arah dengan mereka berdua.
"Mau ke toko buku dulu bareng Listy dan Kania!" sahutnya saat
Dhani memanggilnya di koridor sekolah.
"Ke toko buku apa ke toko buku?" ledek Listy. "Huss!" Nisya
mendelik. Untunglah Dhani masih berada jauh di belakang mereka.
Listy dan Kania lagi-lagi tertawa. Senang sekali mereka meledek Nisya.
Soalnya kalau sudah diledek, Nisya lebih banyak tidak berkutik dan hanya
bisa cemberut.
Mereka menunggu di halte bis. Ramai sekali lalu lalang dan orang
naik-turun bis. Nisya tidak pernah menunggu di halte karena angkot
jurusannya urusannya biasanya berhenti langsung di depan sekolah.
"Toko bukunya di mana?" tanya Kania pada Listy. Wajahnya seperti
serius.
Nisya tahu, Kania masih mencoba meledeknya. "Udah, deh!"
pintanya.
Diam-diam Nisya menyesal telah berbohong pada Dhani. Tanga sengaja,
ekor matanya menangkap Dhani dan Roni keluar dari gerbang sekolah di
antara kerumunan anak-anak yang lain. Mereka langsung naik ke dalam
angkot yang sudah parkir di depan sekolah. Nisya cepat terlibat obrolan
dengan Listy dan Kania. Dengan begitu ia bisa memalingkan muka ketika
angkot yang dinaiki Dhani lewat.
"Nis, beneran nih mau ke toko buku?" tanya Listy.
Nisya menggeleng. "Lain kali aja."
"Kalau begitu, kita duluan, ya? Tuh, bisnya sudah datang!"
Nisya melambai pada Kania dan Listy. Begitu bis itu sudah menjauh,
Nisya berjalan berbalik arah ke gerbang sekolah. Ia sengaja memperlambat
jalannya, menunggu penumpang agak berkurang. Nisya mematung
sendirian. Tak enak juga rasanya seperti ini. Sendirian tak punya teman.
Kalau ada Dhani, ia sudah tertawa-tawa sekarang ini. Nisya merasa
perasannya lengang.
Bunyi klakson mobil mengejutkan Nisya. Sebuah kepala menyembul
dari kaca mobil. "Pulang ke mana?"
Nisya terlihat gelagapan. "Eh... ke Pasar Minggu."
"Ikut, yuk!"
"Nggak usah, Win,"
"Ayo, nggak apa-apa. Kita sejurusan, kok! Aku ke Cinere."
Dengan ragu-ragu, Nisya membuka pintu dan masuk ke dalam
mobil.
"Nggak apa-apa, Win? Jadi ngerepotin kamu," kata Nisya masih tak
enak hati.
"Nggak apa-apa, kok! Nggak ada kamu juga aku pasti lewat situ,"
kata Wina membuat Nisya tersenyum.
"Kok, pulang sendiri?"
Nisya terdiam ditanya begitu. "Kebetulan aja. Yang lain sudah pads
duluan," jawab Nisya buruburu.
Wina tidak bertanya lagi. Ia mulai sibuk memerhatikan jalan.
Kepalanya menganggukangguk mengikuti irama lagu dari tape mobil. Nisya
diam-diam memerhatikan. Tidak pernah terbayang oleh Nisya ia bisa
duduk satu mobil dengan Wina. Makanya ia menjadi bingung harus
memulai obrolan dari mana. Ia sudah siap mengucapkan sesuatu, tapi ia
mengurungkan niatnya ketika melihat Wina tampak seperti tidak ingin
diganggu.
"Rumahmu di mana, Nis?"Akhirnya Wina yang bertanya.
"Di Kompleks Pertanian," jawab Nisya. "Oh, papamu kerja di sang?"
Nisya mengangguk. "Tapi, turunnya di jalan aja, Win. Nggak usah
masuk kompleks. Nggak enak sama kamu."
"Nggak apa-apa, sekalian aja!"
"Nggak usah, Win. Di depannya aja. TOW Aku turun di di situ aja,"
tunjuk Nisya.
Wina menghentikan mobil. Nisya membuka pintu mobil.
"Makasih ya, Win, udah nganterin," kata Wina. "Sama-sama."
Mobil melaju. Nisya melambai.
mUda
HARI-HARI BERSAMA
Kata orang, sesuatu yang baru itu selalu bikin penasaran. Tapi ini ada
nggak hubungannya dengan Wina?
Selama ini aku jarang ngobrol dengan Wina. Soalnya, Wina duduk di
pojok ruangan. Lagipula selama ini kayaknya Wina tertutup. Di kelas, ia
jarang ngumpul dengan teman-teman yang lain. Ternyata, satu kali ngobrol
dengan Wina, aku jadi tahu ia sebenarnya menyenangkan. Tidak seperti
sangkaku selama ini. Selama ini aku pikir Wina orang yang cuek dan tidak
peduli dengan lingkungannya.
mUda
Nisya punya sopir baru sekarang. Setiap pulang sekolah, ia selalu
diantar sampai ke rumah. Gimana nggak senang? la nggak perlu capek-
capek menunggu angkot, atau berdesak-desakan di dalamnya dengan
penumpang lain yang kadang-kadang saling nggak mau mengalah. Nisya
merasa senang sekali. Apalagi ternyata Wina juga membutuhkannya buat
ngobrol di jalan.
"Kamu nggak repot, Win, nganterin aku terus?" tanya Nisya suatu
kali.
"Malahan senang, punya teman ngobrol," sahut Wina.
Kadang-kadang, kalau ia ingin membeli buku baru ke toko buku,
Wina juga dengan senang hati mengantarnya, meskipun Wina hanya
melihat-lihat saja. Satu lagi yang membuat Nisya senang. Ternyata Wina
punya pikiran yang sama dengannya: nggak mau pacaran!
"Buat apa pacaran kalau cuma nyusahin kita," katanya ketika suatu
kali Nisya minta pendapat Wina. "Mendingan seperti sekarang. Kita bisa
bebas, nggak merasa dikekang sama yang namanya pacaran."
Nisya setuju. Dan sekarang, ia merasa punya teman yang benar-
benar mengerti apa yang dimauinya.
Perubahan Nisya membuat heboh seisi kelas. Bukan karena apa-apa.
Selama ini memang Wina dianggap sedikit aneh. Jarang ada yang mau
mendekatinya karena Wina seperti menjaga jarak dengan anak-anak. Tapi
Nisya cuek saja dengan reaksi teman-temannya, terutama Listy dan Kania.
"Kasihan, Dhani ditinggalin. Mentang-mentang ada yang baru," ledek
Kania.
Semenjak akrab dengan Wina, Nisya memang jadi tidak pernah lagi
pulang bareng dengan Dhani. Di kelas, Nisya juga merasa biasa-biasa saja.
Bahkan kalau ke kantin, kalau tidak dengan Wina, ia lebih sering bersama
Listy, Kania, dan temanteman perempuan lainnya.
"Ini namanya habis manis sepah dibuang," sambung Listy.
Nisya cuma memanyunkan bibir diledek begitu.
mUda
Nisya sedang mengamati ruangan kamar tidur Wina yang lugs. Di
pojok kamar, bertumpuk boneka-boneka lucu. Berbagai macam jenis dan
ukuran.
"Kamu mengoleksi boneka, Win?"
Wina mengangguk. "Iseng aja. Daripada nggak ada kerjaan."
Wina mengambil sesuatu di dalam lad meja belajar. Nisya tertegun.
"Kamu merokok, Win?" suara Nisya bergetar, tak mampu
menyembunyikan rasa kegetnya.
Wina mengembuskan asap rokok dengan santai.
"Kenapa? Kaget, ya? Kalau lagi bete aja. Lumayan bisa bikin pikiran
tenang. Kamu mau nyoba?"
Nisya menggeleng.
Wina menarik rokoknya di asbak. "Eh, mau minum apa, Nis?"
"Orange juice aja, deh."
"Sebentar, ya, aku ke bawah dulu."
Sepeninggal Wina, Nisya mengamati rokok Yang ditinggalkan Wina.
Ujung jarinya memegang pangkal rokok tersebut dengan gemetar. Sudah
berapa lama Wina merokok? tanyanya dalam hati. Kenapa selama ini
nggak pernah dilihatnya?
"Hei, lagi melamun apa?" Wina tiba-tiba muncul. "Taruh situ aja,
Mbak Nung!"
Wanita yang dipanggil Mbak Nung tadi menaruh dug gelas jus dan
setoples penganan di meja belajar, kemudian berpamitan pergi.
"Melamun apa, sih?" goda Wina.
Nisya tersenyum kagok merasa terpergok. "Nggak, kok. Aku cuma
mikir, apa kamu nggak merasa kesepian di kamar segede ini?"
Wina menggeleng. "Nggak tuh! Kan aku banyak teman," sahut Wina
ringan. "Kalau bete di kamar, ya jalan-jalan keluar."
"Nggak dimarahin ortu jalan-jalan melulu?" Wina tertawa lepas.
"Mau march gimana, mereka juga jarang di rumah."
Nisya tertegun.
"Kamu nggak protes, Win?"
"Protes? Buat apa? Lagian aku lebih suka begini, kok. Nggak ada
pengaruh mereka ada atau nggak. Eh, Nis, kamu suka main PS nggak?"
Nisya menggeleng.
"Main PS, yuk?!"
Tak lama mereka sudah asyik dengan permainan balapan mobil.
Wina tampaknya sudah mahir sekali sehingga Nisya selalu kalah. Itu
membuat Nisya penasaran. Berkali-kali ia mengulang permainan supaya
bisa mengalahkan Wina. Sampai sesaat kemudian Nisya tersadar sesuatu.
"Ya, ampun, Win! Aku belum bilang ke rumah bakalan pulang sore!"
"Lho, memangnya harus bilang?" tanya Wina. "Santai sajalah, Nis."
"Mamaku pasti kebingungan kalau aku belum pulang."
"Tapi kamu, kan, nggak ke mana-mana ini! Lagian masih panas
begini," kata Nisya. Memang di luar masih panas. Apalagi sekarang hujan
sedang malas mengguyur Jakarta.
Nisya ragu-ragu antara mau menelepon atau tidak. Ia tahu Mama
pasti pulang malam. Tapi kadang-kadang Mama suka menelepon ke rumah
kalau ada perlu dengan Bik Irah, dan biasanya menanyakan dirinya.
"Sudah, nggak usah khawatir. Nanti aku antar!" kata Wina
menenangkan.
"Beneran ya, anterin!"
Wina mengangguk.
Jam tujuh malam, Nisya baru sampai di rumah. Mobil Kijang sudah
berada di garasi, itu berarti Mama dan Papa sudah pulang. Nisya tiba-tiba
merasa cemas.
"Win, masuk dulu, ya," pintanya.
Wina mematikan mesin.
"Oke, deh," katanya.
Mama ada di ruang keluarga bersama Papa. Nisya raga-ragu
melangkah. Tapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, Mama sudah
melihatnya.
"Nisya, dari mana saja? Kok, jam segini baru pulang?" tanya Mama.
Dari suaranya, Nisya tahu, Mama memendam rasa jengkel.
"Dari rumah teman, Ma," kata Nisya sambil menarik tangan Wina.
"Malam, Tante," Wina mengangguk dengan sopan. "Tadi Nisya
nemenin saya di rumah. Soalnya nggak ada orang di rumah, Tante." Mama
hanya manggut-manggut.
"Saya pamit dulu, Tante, Om, selamat malam." Nisya mengantar
Wina ke pinto gerbang rumah.
"Makasih udah nganterin ke rumah, Win."
"Santai aja. Nanti main ke rumahku lagi, ya?"
Nisya mengangguk.
"Itu tadi siapa, Nisya?" tanya Mama ketika Nisya sudah duduk di
sampingnya.
"Itu Wina, Ma. Teman sekolah Nisya."
"Lain kali, kalau pulang sore, telepon ke rumah. Jadi orang rumah
nggak kebingungan," kata Mama mengingatkan. Kata-katanya terdengar
tajam di
telinga Nisya.
"Iya, Ma, maaf. Tadi lupa nelepon ke rumah," kata Nisya sambil
menunduk.
"Kamu sudah makan?" Papa mencoba menengahi.
"Belum, Pa."
"Ya, sudah, makan dulu sana."
Nisya diam-diam mengucap syukur dalam hati.
Padahal, hatinya tadi sudah kebat-kebit merasa bakal diomeli Mama.
mUda
Malam ini Nisya bermalam di rumah Wina. Mama dan Papa sedang
ke luar kota. Tadi Bik Irah kelihatan sangat khawatir ketika mengantar
Nisya ke depan rumah. Selama ini belum pernah Nisya bermalam di rumah
temannya. Terlebih tanpa izin seperti sekarang.
"Nggak apa-apa. Nisya cuma nemenin Wina aja. Di rumahnya nggak
ada siapa-siapa, Bik. Kasihan, kan?" kata Nisya menenangkan.
"Bagaimana kalau mamamu nelepon? Bibik harus jawab apa?"
"Percaya, deh, sama Nisya. Kalau Bibik nggak percaya, Bibik pegang
nomor ini." Nisya menyebutkan nomortelepon rumah. "Kalau Mama
beneran menelepon, bilang aja sudah tidur."
"Huss! Ngajarin orang tua bohong!" Nisya tertawa kecil.
Sekarang Nisya berada di kamar Wina yang lugs. Dalam keheningan
seperti sekarang, Nisya benar-benar merasakan betapa sepinya kalau
sendirian di sini. Ia menutup majalah remaja yang dibacanya, menoleh pads
Wina yang sedang membolak-balik kartu yang dideretkan di tempat tidur.
Begitu asyiknya sehingga ia tak menyadari sejak tadi Nisya
memerhatikannya.
"Win," panggil Nisya, "kamu pernah merasa kesepian nggak?" Wina
menengok Nisya. Tapi sebentar kemudian kembali asyik dengan permainan
kartu.
"Kenapa gitu, Nis?"
"Nggak apa-apa, nanya aja."
Nisya kemudian diam. Menatap keluarjendela. Berharap barangkali
ada rembulan di luar sana. Tapi yang ada hanya rumah-rumah beton
berdinding tinggi.
"Kalau kamu, Sya?"
Nisya agak kaget. Sekarang ia yang jadi ditanya.
"Aku? Ngg... kadang-kadang."
"Kenapa? Ortumu jarang di rumah?" "Nggakjuga. Cuma kadang-
kadang kalau lagi sibuk, mereka sering pulang malam."
"Itu, sih, biasa. Aku malah sering ditinggal sendirian di rumah.
Mereka pergi, nggak ninggalin pesan nggak ninggalin apa. Tahu-tahu batik
lagi seminggu kemudian." Wina meneguk minuman kalengnya. "Nggak usah
dipikirin yang begitu, Sya. Santai aja."
"Waktu aku tinggal di kampung nggak begitu," desah Nisya.
"Kamu pernah tinggal di kampung, Sya? Di mana?" mata Wina
terbelalak kaget.
Nisya mengangguk. "Dulu, waktu masih kecil. Waktu itu ortuku
belajar ke luar negeri. Aku dititipin di kakek dan nenekku."
"Sekarang mereka masih ada?"
"Tinggal Abah aja."
"Wah, asyik dong di sana!"
Nisya tersenyum kecil. Ia ingat Abah lagi. "Kapan-kapan ke sana,
yuk?!"
"Nanti liburan aku mau pulang ke sana." "Aku ikutan, ya!" kata Wina
bersemangat.
Nisya merasa heran. "Beneran kamu mau ikut?"
"Serius. Tahu sendiri kan, aku nggak punya kampung. Lahir dan gede
di Jakarta ini. Makanya pengin ngerasain tinggal di kampung. Di sang sudah
ada listrik belum?"
Nisya mendelik. "Memangnya desa terbelakang?" katanya sewot.
Wina tertawa terkekeh.
"Nanti kamu lihat sendiri, deh," kata Nisya gemas.
Handphone Wina berbunyi. Wina menerimanya.
"Halo? Mei, ya? Hei! Ke mana aja? Lagi ngapain? Aku? Lagi di
rumah. Biasa, orang rumah pada ngabur. Apa? Ngumpul-ngumpul? Wah,
asyik dong! Kok, nggak ngajak-ngajak, sih? Di mana? Sekarang?" Wina
melirik Nisya.
"Mm... boleh, boleh! Oke, ntar aku calling, ya! Oke, deh! Bye!!"
"Siapa, Win?" tanya Nisya.
"Tetuan. Mereka ngajak ngumpul. Eh, Sya, ikut aku, yuk! Malam
mingguan. Di rumah terus bete juga, kan?"
"Ke mana?"
"Ngumpul-ngumpul aja sama teman-teman. Nanti aku kenalin, deh!"
Nisya bingung mau menjawab apa. Tapi Wina sudah menarik tangannya.
Seperempat jam kemudian mereka sudah di keramaian jalan Jakarta.
"Kita mau ke mana, Win?"
"Nanti juga tahu. Kamu belum pernah kan jalan malam? Asyik, Sya."
Nisya memandang ke luar jendela mobil. Lampu-lampu bertebaran seperti
kunang-kunang. Besar kecil. Kadang-kadang berpendar-pendar seperti
laron. Mobil memasuki lapangan yang biasa dijadikan tempat olahraga.
Nisya barn tahu di malam hari lapangan olahraga tersebut tak kalah ramai.
Ia terpesona beberapa saat.
Wina memarkir mobilnya, berjejer dengan mobil-mobil yang
ditongkrongi anak-anak sebaya mereka.
"Hei, Win! Ke mana aja lo?" Seseorang berteriak pada Wina.
"Biasa! Jadi anak rumahan!" balas Wini sambil mengunci mobilnya.
"Yuk, Nis!"
Nisya mengikuti langkah Wina, melewati orang-orang yang
bergerombol di depan mobil yang di parkir. Sesekali Wina menegur
mereka.
Sampai di segerombolan orang, seseorang berteriak. "Win! Sini! Ke
mana aja, sih?! Jadi anak pingit, nih, sekarang?"
Wina tertawa ngakak. Ditariknya tangan Nisya. "Kenalin, nih! Teman
sekelasku."
Nisya melambai sambil tersenyum. Ada empat orang cewek
sebayanya. Dari tampilan mereka, Nisya tahu mereka dari kalangan
mampu. Pakaian mereka terlihat biasa, tapi dari sepintas lihat Nisya yakin
semuanya bermerek luar negeri.
"Malam ini ada nge-race, Win. Mau ikutan nggak?"
"Ogah, ah! Pengin fun aja sekarang."
"Ya, udah. Kits ke sans, yuk! Udah hampir dimulai, tuh!"
Suara raungan mobil terdengar memekakkan telinga. Gerombolan
manusia yang terpisah-pisah itu lalu menyatu dalam kerumunan besar. Dua
mobil jenis sedan sating berdampingan, meraung-raung dengan gas yang
ditarik-tekan. Ketika seorang laki-laki di pinggir menaikkan benders di
tangan, kedua mobil itu melesat bagai anak panah. Suara decit ban
berderit-derit seperti mengiris telinga. Nisya memandang antara rasa kagum
dan ngeri. Bagaimana kalau mobil itu terbalik, bisiknya merasa cemas
dalam hati.
Dalam waktu sekian detik, kedua mobil itu kembali. Suara sorak-
sorai diiringi tepuk tangan bergemuruh di langit ketika mobil berwarna
merah menyala mencapai finish. Pengemudi mobil keluar dan langsung
dikerumuni oleh keramaian orang.
"Rokok, Nis?"
Nisya kaget. Cilia menyodorkan rokok dengan tenangnya.
Nisya menggeleng gugup. "Nggak... makasih." "Permen, mau?"
Nisya mencomot satu.
Cilia menyalakan rokok, lalu dengan santainya mengembuskan asap
rokok ke udara.
"Kamu nggak merokok?"
Nisya menggeleng.
"Kamu? Ee... sudah lama ngerokok, Cil?" Nisya batik bertanya
dengan hati-hati.
"Lumayan."
"Wina juga, ya?" suara Nisya seperti bergumam.
"Kenai Wina sudah lama, Nis?"
"Ngg... lumayan. Tapi akrabnya barn sekarang ini." Nisya
memandang Cilia. "Wina teman dekat kamu, ya, Cil?"
"Nggak juga. Dekatnya karena sering nongkrong bareng."
"Balapan kayak begini sering?"
"Paling nggakseminggu sekali. Baru sekali ini, ya?"
Nisya mengangguk. Kerumunan orang mulai pecah oleh suara
gemuruh. Dua mobil sudah bersiap-siap melaju. Wina tampak di barisan
depan penonton. Ia begitu bersemangat berteriak sambil bertepuk tangan.
Nisya mendekat. Ketika kedua mobil itu mulai melaju dengan kecepatan
tinggi, Nisya merasa ikut berdebar-debar. Selama ini ia melihat balapan
mobil hanya di televisi. Sekarang ia melihat langsung keriuhan itu. Gimana
kalau mobil itu terbalik, batinnya. Lagi-lagi rasa cemas melandanya.
"Pernah ada yang kecelakaan, Cil?"
Cilia yang masih di sampingnya menoleh. "Pernah juga. Tapi paling-
paling luka ringan aja," jawab Cilia santai.
Nisya ngeri sendiri mendengarsuara Cilia yang begitu ringan. Setelah
itu tidak ada lagi pembicaraan. Cilia sudah bergabung dalam keriuhan suara
yang bersorak-sorai. Nisya tidak berani menonton terlalu ke depan. Ia
melihat dari kejauhan. Ia hanya berharap acara itu cepat selesai.
Rasanya jam bergerak begitu lambat. Nisya merasa bersyukur ketika
Wina mengajaknya pulang. Teman-teman Wina masih ingin mengajak
mereka keliling Jakarta. Tapi Wina sepertinya mengerti perasaan Nisya.
"Besok lagi, deh! Pengin istirahat dulu, nih," kata Wina. Entah
mengapa, dalam hati Nisya merasa bersyukur.
"Win, kamu pernah ikut balapan?"
Wina yang sedang memegang kemudi menoleh. "Kemarin-kemarin.
Sekarang lagi malas." "Kamu nggak takut?"
Wina diam sesaat. "Nggak tahu, Nis. Kalau udah begitu, kayaknya
lupa segalanya."
Setelah itu, mereka sama-sama diam. Wina tampak begitu
konsentrasi ke jalanan sementara Nisya asyik memandang ke luarjendela.
Rumah Wina begitu sepi ketika mobil yang ditumpangi mereka
berhenti tepat di depan pintu gerbang.
"Mbak Nung sudah tidur, Win?"
Wina mengangguk. "Nggak apa-apa. Aku punya kunci serep."
Ketika mereka di dalam kamar Wina, Nisya teringat sesuatu.
Astagfirullah! Aku belum salat Isya, batinnya.
"Win, aku ikut salat, ya."
Wina tampak kaget.
"Oh ya, sebentar..." Ia membuka lemari, mengaduk-ngaduknya
sebentar. "Ini...." Wina menyerahkan sajadah.
Selesai salat, Nisya merasa Wina sedari tadi memerhatikannya
dengan pandangan aneh. "Kenapa, Win?'
Wina menggeleng. "Nggak, nggak apa-apa." Wina naik ke tempat
tidur. "Tidur, yuk!" katanya. Lalu ia mulai memejamkan matanya.
Nisya ikut naik ke tempat tidur. Ia merasakan kegelisahan Wina.
Nisya tidak berpikir lebih jauh karena rasa kantuk begitu kuat
menyerangnya.
mUda
"Abahmu seperti apa, sih, Nis?" tanya Wina sambil membalikkan
badannya di tempat tidur. Mereka berada di kamar Nisya, masih
mengenakan seragam sekolah.
"Kenapa? Penasaran, ya? Sebentar, aku ambit fotonya." Nisya
mengambil album foto dari lad meja belajar. Membolak-balik halaman
sebentar, lalu menunjukkannya pada Wina.
Wina memerhatikan dengan serius. Sesekali ia tertawa. "Kamu lucu
juga, ya, waktu kecil," komentarnya.
Nisya tersenyum malu. "Itu waktu aku masih kelas satu SD. Masih
unyil banget." Nisya tertawa saat menyebut Unyil.
"Ini siapa?" tunjuk Wina pada foto wanita yang duduk di samping
Abah.
"Itu Nenek. Tapi sekarang sudah meninggal."
"Berarti abahmu sendirian sekarang?"
Nisya mengangguk. Pertanyaan Wina menyentuh hatinya. Memang
ada tetangga di sana yang mengurusi keperluan Abah sehari-hari. Tapi
selebihnya tidak ada siapa-siapa lagi di rumah. Apa yang dilakukan Abah
kalau sendiri? batin Nisya bertanya. Apakah Abah masih suka mengurusi
kebun kecil di samping rumah? Atau dia masih sering keliling menyambangi
tetangga? Setahun yang lalu ketika Nisya pergi ke sana, Abah masih terlihat
bugar. Meskipun keriput di wajahnya bertambah banyak, tubuh Abah
masih segar. Bahkan ia masih setia menjadi pengurus masjid yang letaknya
cukup jauh dari rumah. Apakah Abah masih segagah dulu? batin Nisya
bertanya.
"Dari kemarin kamu sering menyebut nama abahmu. Tapi kayaknya
kamu belum cerita banyak, deh, tentang dia."
Nisya duduk di samping Wina. "Kenapa? Kamu penasaran?"
"Gimana?”
"Wah, jadi makin pengin ke sana, Nis," kata Wina mengomentari
setelah Nisya selesai bercerita.
"Nanti kalau liburan aku ajak ke sana, deh. Dijamin pasti nggak mau
balik."
"Beneran, ya?"
Nisya mengangguk pasti. Nisya menyimpan album foto itu ke dalam
laci kembali. Menyimpannya dengan rapi seperti is menyimpan semua
kenangan masa kecilnya.
"Nis, aku balik dulu, ya?"
"Cepat amat, Win. Lagian di rumahmu nggak ada siapa-siapa, kan?"
"Ya, udah. Kamu ke rumahku aja, yuk! Main PS lagi! Nanti sore aku
anterin lagi, oke?"
Nisya terdiam raga. Mama dan Papa belum pulang dari kantor.
"Dengan seragam begini?" "Ganti dulu, dong!"
Sepuluh menit kemudian Nisya dan Wina sudah naik ke dalam
mobil.
"Nisya! Mau ke mana lagi?" teriak Bibik, datang dengan tergopoh-
gopoh.
"Ke rumah Wina, Bik! Kalau Mama dan Papa pulang, tolong
bilangin, ya! Nggak lama, Bik!" Bibik hanya geleng-geleng kepala ketika
mobil itu melaju dengan gesit.
mUda
KEKECEWAAN NISYA
Perubahan terjadi sering kali tidak disadari. Dulu, Nisya jarang sekali
pulang terlambat. Ia selalu pulang tepat waktu. Kalaupun terlambat, itu
berarti ia sedang mencari keperluan sekolah atau ada kegiatan
eksrakurikuler di sekolah. Jarang sekali Nisya man berleha-leha di mal
hanya sekadar cuci mata atau nongkrong.
Tapi belakangan ini hampir tiap hari Nisya pulang terlambat.
Memang ia selalu diantar oleh Wina. Kata Nisya, ia hanya menemani Wina
di rumahnya. Tapi apa pun alasannya, tetap saja Nisya sudah berubah.
Tampaknya hanya Mama yang bisa membaca perubahan pada
Nisya. Dan ia yang paling khawatir. Papa tampak lebih kalem
menanggapinya.
"Biasa, Ma. Anak sebaya Nisya, kan, butuh teman juga. Mungkin dia
merasa bosan di rumah terus."
"Iya, tapi hampirtiap hari dia seperti ini. Mama khawatir dia berbuat
macam-macam di luar sang. Lagipula kita tidak begitu tahu temannya itu."
"Siapa namanya itu? Wina, ya? Kelihatannya dia balk-balk saja."
"Kelihatannya, Pa. Tapi Mama melihat ada yang aneh dengan anak
itu. Kalau dilihat-lihat, ia seperti menyimpan sesuatu. Coba saja Papa
perhatikan."
"Ah, itu hanya perasaan Mama saja.
"Pokoknya Mama tidak mau terjadi apa-apa pada Nisya, Pa. Papa
lihat sendiri, kan, pergaulan remaja sekarang seperti apa. Apalagi kita juga
tidak bisa tiap hari memerhatikan Nisya."
"Maunya Mama bagaimana?"
"Kita harus bicara sama Nisya, Pa."
Papa mengganti channel televisi. "Ya, sudah. Kalau begitu, Mama
saja dulu yang bicara," kata Papa, "Tapi jangan terialu keras, Ma, nanti
malah dia tidak mau bicara."
mUda
Hari itu Nisya pulang telat lagi. Mama yang sedang membaca
majalah di beranda rumah, mendongak.
"Dari mana saja, Nisya?"
"Dari rumah Wina, Ma."
Nisya masuk ke dalam rumah.
"Nisya, Mama mau bicara sama Nisya." "Ada apa, Ma?" Nisya urung
melangkah. "Nisya ganti baju saja dulu."
Nisya masuk ke dalam rumah dengan bertanya-tanya. Ia segera
mengganti baju dan duduk di sebelah mamanya.
"Ada apa, Ma?" Mama memerhatikan Nisya sejenak. Rasanya ia
sudah lama sekali tidak berbicara dengan Nisya. Dan sekarang, ia merasa
banyak yang telah berubah dari anaknya.
"Nisya," Mama berusaha bersikap santai, "Mama mau tanya sesuatu
sama Nisya. Mama lihat akhir-akhir ini Nisya sering pulang telat. Kenapa?
Nisya banyak kegiatan?"
"Nggak, Ma. Nisya mampir ke rumah Wina." "Harus setiap hari?"
"Orang tuanya jarang di rumah, Ma. Kasihan Wina sendirian di
rumah."
"Tapi Nisya, kan, tidak perlu setiap hari ke sans. Di rumah, kan,
Nisya juga banyak yang harus dilakukan. Mengerjakan PR atau yang
lainnya."
"Nisya, kan, bisa mengedakannya malam hari. Daripada di rumah
juga sendiri. Mama, kan, seringnya pulang malam."
Mama tersentak. Kata-kata Nisya dirasakan tajam di telinganya.
"Nisya, Mama sering pulang malam karena cari uang. Semua itu
untuk kamu!"
"Sekarang Nisya juga sudah merasa cukup, kok!"
Dijawab seperti itu, emosi Mama tiba-tiba naik. "Nisya, pokoknya
Mama nggak mau tahu, mulai sekarang kamu harus mengurangi bergaul
dengan Wina!"
Nisya terdongak kaget. "Mama nggak bisa seperti itu! Apa yang salah
dengan Wina, Ma? Kenapa Nisya nggak boleh bergaul dengan Wina?"
"Wina tidak salah! Tapi Nisya yang salah, tidak peduli dengan waktu
lagi. Bahkan sering pulang malam!" Suara Mama terdengar makin
emosional. Sekarang Nisya bahkan sudah berani membantah kata-katanya.
"Habis, di rumah nggak ada siapa-siapa!" "Tapi bukan berarti Nisya
bisa pulang kapan saja! Nisya hares mengerti aturan!"
"Nisya nggakngelakuin yang macam-macam, kok, Ma!" sahut Nisya.
"Itu bukan alasan, Nisya! Lagipula siapa yang bisa menjamin kamu tidak
berlaku yang bukanbukan? Sekarang saja kamu sudah sering mangkir.
Pulang selalu telat."
"Berarti Mama nggak percaya sama Nisya?!" "Bukannya tidak
percaya! Tapi Mama khawatir kamu salah memilih pergaulan."
"Wina baik, kok, Ma. Masak Mama nggak percaya sama teman
Nisya!"
"Mama tak ingin kamu salah pergaulan, Nisya!" kata Mama tegas.
Nisya menggigit bibirnya. Hatinya kecewa. Apa salahnya kalau Nisya
banyak bergaul? Apakah Mama tahu bagaimana perasaannya ditinggal
sendirian? Mama tidak mengerti perasaannya.
"Nisya sudah besar, Ma. Nisya sudah tahu memilih mans yang baik.
Mama jangan terlalu menganggap Nisya anak kecil lagi!"
"Nisya, Mama berlaku seperti ini karena Mama sayang sama kamu!"
"Kalau begitu, tolong, Mama ngertiin Nisya! Selama ini Nisya sudah
berusaha nggak menuntut banyak. Nisya nggak marah meskipun Mama
jarang di rumah. Nisya mencoba ngertiin Mama."
"Nisya, coba dengar Mama! Mama berlaku seperti ini bukan berarti
Mama tidak mau ngertiin kamu. Tapi Mama khawatir kamu salah
pergaulan. Sejak bergaul dengan Wina, Nisya banyak berubah. Mungkin ini
tidak dirasakan Nisya, tapi Mama merasakannya!"
Mama juga banyak berubah, batin Nisya hampir menangis.
"Mama tidak ingin Nisya semakin jauh terjebak pergaulan yang
salah. Nisya harus mengerti itu!" Nisya menunduk.
"Mama harap kamu mengerti maksud Mama."
Belum pernah Nisya semarah ini pada Mama. Setelah obrolan yang
penuh emosi itu, Nisya langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluarkeluar
lagi. Scat makan malam, berulangkali Bik Irah mengetuk pintu kamar Nisya,
tapi Nisya menjawab ia masih kenyang. Ia betul-betul merasa kecewa pada
Mama.
Papa yang sedang menyendok nasi bertanya pada Mama.
"Kenapa Nisya, Ma?"
"Tidak tahu, Pa. Apa dia tersinggung dengan ucapan Mama tadi
sore? Tadi Mama sudah bicara banyak pada Nisya."
"Mungkin Mama terlalu keras bicaranya."
"Ah, tidak juga, Pa," jawab Mama mencoba membela diri. "Tapi
kadang-kadang dia juga perlu dikerasi, Pa. Supaya bisa mengerti."
"Tidak perlu sampai begitu, Ma. Cukup dikasih pengertian saja.
Mama kan tahu sendiri, Nisya sangat perasa."
Mama menghela napas.
Makan malam itu berlangsung lambat. Suara denting sendok dan
garpu terasa begitu jelas menandakan heningnya ruangan itu. Mama dan
Papa sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hanya Nisya yang tahu bagaimana perasaannya scat ini. Tubuhnya
berbolak-balik di tempat tidur seperti kegelisahan hatinya. Rasa sedih,
kecewa, dan marah campur-baurjadi satu.
Mama tidak bisa menilai seperti itu pada Wina. Apa yang salah
dengan Wina? Selama ini Wina balk dengannya. Wina tidak pernah
memberikan sesuatu yang buruk pada Nisya. Di mata Nisya, penilaian
Mama terlalu dangkal. Hanya melihat penampilan fisik Wina saja. Memang
gays Wina termasuk cuek.Tapi bukan berarti dia tidak punya aturan.
Lagipula Nisya merasa cocok dengan Wina. Nisya merasa ia bisa
mengisi waktu-waktu sendirinya dengan Wina. Mama tidak pernah
mengerti bagaimana rasanya sendirian.
Rasanya Nisya ingin menangis. Menumpahkan rasa kesalnya,
menumpahkan perasaan marahnya. Ucapan Mama sangat menyinggung
perasaannya. Belum pernah Mama berlaku seperti ini. Mama seperti tidak
mengerti perasaanya.
Nisya memandangi langit-langit kamarnya. Hatinya sesak, membuat
ruangan kamarnya terasa begitu sempit. Tapi ia tak mau keluar kamar.
Biarlah Mama tahu Nisya sedang marah. Nisya merasa Mama telah berlaku
tidak adil. Selama ini ia berusaha mengerti kesibukan Mama. Tidak pernah
ia berusaha mencampuri urusan Mama, apalagi untuk memprotesnya. Nisya
tahu Mama sangat lelah dengan pekerjaannya itu.
Tapi sekarang Mama mempermasalahkan pergaulannya. Padahal
Mama nggak tahu bagaimana sifat Wina. Mama nggak pernah mencoba
mengerti bagaimana kesepiannya Nisya sendirian di rumah. Nisya mencoba
memahami, semua yang dilakukan kedua orang tuanya buat dia juga. Lalu
mengapa mereka juga nggak mencoba memahami Nisya?
Dalam perasaan lelahnya, Nisya akhirnya tertidur.
mUda
Sengaja pagi ini Nisya tidak ikut olahraga. Biasanya kalau Mama dan
Papa tidak sibuk, Minggu pagi mereka bertiga menyempatkan lari pagi
memutari kompleks atau dengan membawa mobil ke lapangan Senayan.
Scat dibangunkan tadi, Nisya berpura-pura masih tidur. Kebetulan memang
ia sedang tidak salat. Berulangkali Mama mengetuk pintu, Nisya tetap tidak
bergeming. Sampai akhirnya suara Mama menjauh.
Nisya tidak bersemangat sama sekali. Tubuhnya masih membujur di
dalam selimut. Enggan bergerak turun. Matanya saja yang nanar
mengelilingi ruangan.
Percakapan dengan Mama kemarin sore masih membayang dalam
benaknya. Mengapa Mama begitu tidak menyukai Wina? Apakah hanya
karena penampilan Wina? Apakah seperti itu pula kalau yang datang ke
rumah adalah Dhani, Listy, atau Kania?
Penampilan Wina memang agak berbeda dengan teman-temannya
yang lain. Selintas orang akan melihatnya urakan. Tapi, bukankah
penampilan itu tidak bisa menjadi jaminan? Nisya tahu Wina balk. Di dekat
Wina, Nisya merasa nyaman. Mungkin karena mereka memiliki masalah
yang sama. sama-sama merasa kesepian. Justru karena itulah Nisya
merasakan kecocokan dengan Wina. Tapi Mama seperti tidak mau
mengerti. Mama hanya menilai luarnya saja.
Sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela menerpa wajah
Nisya. Nisya berusaha menutupi wajahnya dengan selimut. Tapi rasanya
sudah tak nyaman. Nisya mulai merasa gerah. Dengan malas-malasan ia
turun ke dapur. Dilihatnya Bik Irah sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi.
"Nisya nggak ikut olahraga?" tegur Bik Irah. "sedang malas, Bik,"
sahut Nisya enggan. Diteguknya segelas air dingin dari kulkas.
Bik Irah tidak bertanya lagi. Ia tahu Nisya sedang ada masalah.
Semalam, lamat-lamat dari dapur ia mendengar percakapan kedua orang
tuanya di meja makan. Tapi ia tidak ingin terlalu banyak tahu.
"Bawa mobil, Bik?" tanya Nisya sambil mencoba melongok ke garasi.
Bibik mengangguk.
Berarti pasti lama, pikir Nisya. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya
pergi ke rumah Wina. Nisya mencuci muka, lalu bersiap seperlunya.
Bik Irah seperti kebingungan ketika melihat Nisya bersiap-slap akan
pergi.
"Mau ke mana?" tanya Bik Irah.
"Olahraga, Bik."
Nisya berlari-lari kecil. Sampai di depan pintu gerbang kompleks, ia
langsung menyetop angkot. Sepuluh menit kemudian, di depan sebuah
perumahan mewah, Nisya turun.
Ia berjalan dengan penuh tekanan. Baru kali ini ia datang ke rumah
Wina pagi-pagi sekali. Ia takut mengganggu Wina. Tapi perasaan hatinya
yang gundah semakin menguatkan langkahnya.
Pintu gerbang rumah Wina masih terkunci. Nisya menekan bel.
Menunggu beberapa jenak. Menekan bel lagi. Beberapa saat kemudian dari
pintu rumah menyembul kepala. Nisya tersenyum. Mbak Nung tergopoh-
gopoh menghampiri. Lalu membuka pintu pagar.
"Nisya ada, Mbak?"
"Ada. Tumben Non Nisya datang pagi-pagi?"
Nisya tersenyum. "Iseng aja, Mbak," lalu setengah berbisik Nisya
bertanya, "Orang tuanya Wina ada, Mbak?"
"Sudah dua hari belum pulang. Ke luar negeri katanya."
Nisya mengangguk-angguk tanpa suara. Sampai sekarang ia belum
pernah bertemu dengan kedua orang tua Wina. Hanya dari fotonya saja
Nisya dapat menerka-nerka.
Nisya dengan cekatan naik ke lantai atas. Di depan kamar Wina,
Nisya ragu-ragu sebentar. Tapi akhirnya menetapkan hati mengetuk pintu.
Ia menunggu sejenak. Tidak ada jawaban. Pasti belum bangun, pikirnya.
Nisya mengetuk lagi. Kali ini lebih keras.
Tak berapa lama, terdengar suara kaki diseret dengan malas-
malasan. Pintu kamar terbuka dengan perlahan-lahan, menyembulkan
wajah yang tampak kelelahan. Kedua mata itu sembab, seperti tidak
merasakan tidur tadi malam.
"Nisya?" suara Wina itu kaget. Tangannya seperti ragu untuk
membuka pintu lebih lebar. "Ada apa... datang sepagi ini?"
Nisya tidak menjawab pertanyaan Wina. Ia langsung menerobos
masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Lalu ditatapnya wajah Wina.
Wajah yang menjadi pangkal kekecewaan Nisya pada mamanya.
"Maaf, Win, aku mengganggumu pagi-pagi," kata Nisya. Ditatapnya
langsung mata Wina yang kosong. "Win? Kenapa? Kamu sakit?" Tapi bukan
hanya kelelahan pada wajah Wina. Nisya juga melihat ada kejanggalan
pada sikap Wina. Mata itu bukan hanya lelah. Tapi juga terlihat gelisah.
"Aku mengganggu kamu, ya, Win? Maaf kalau begitu. Kamu
kayaknya masih perlu istirahat."
"Bukan... bukan itu," ucapnya seperti menahan Nisya. Tapi mata
Wina tampak nanar. Berpindahpindah dari Nisya ke meja rigs. Lalu mata
Nisya mengikuti sorot mata Wina.
"Apa itu, Win?" tanya Wina hendak menjangkau benda yang
ditangkap lensa matanya. "Jangan, Nis...!"
Nisya menoleh, menangkap kegugupan pada suara Wina. Dan ketika
Nisya melihat benda itu lebih dekat, Nisya benar-benar merasa shock.
"Win? Kamu... kamu?!" Nisya tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Hatinya benar-benar terpukul.
Sudah berapa lama aku mengenal Wina? Kenapa aku nggak tahu apa
yang dilakukan Wina? Nisya tidak perlu meneliti lebih jauh untuk tahu
kalau benda itu adalah obat terlarang!
"Nisya, maafkan aku," suara Wina tak berdaya.
Tapi Nisya tidak mendengar lagi apa yang diucapkan Wina. Secepat itu
pula Nisya berlari meninggalkan Wina. Tidak dipedulikannya suara Wina
yang memanggil-manggilnya. Bahkan ia hampir menabrak pembantu Wina
yang barn keluar dari dapur. Tapi Nisya terus saja berlari. Langkahnya
terasa begitu ringan. Pandangan matanya mengabur oleh sesuatu yang
ditahannya. Yang ada dalam hatinya scat ini hanyalah ingin cepat-cepat
sampai di rumah.
Sesampai di kamarnya, Nisya tidak dapat lagi menahan tangis. Ia
memeluk bantal erat-erat. Menumpahkan tangisnya dengan suara ditahan.
Tapi hatinya begitu sesak. Dan ia sulit menahan gejolak tersebut. Suara
tangisnya semakin lama semakin kencang tanpa bisa dicegah.
Apa yang dilihatnya tadi benar-benar melukai hatinya. Tidak pernah
terbayangkan oleh Nisya kalau sahabatnya ternyata pemakai obat-obatan
terlarang. Bagaimana hal itu bisa luput dari perhatian Nisya? Selama ini
mereka wring menghabiskan waktu bersama. Bahkan kadangkadang malam
hari pun Nisya masih bersama Wina. Tapi selama itu pula Wina tidak
menunjukkan tingkah laku yang aneh. Lalu, sejak kapan ia menggunakan
obat-obatan tersebut? Atau Wina memang telah merahasiakannya sejak
lama?
Selama ini Nisya hanya tahu Wina merokok. Tapi Nisya tahu itu
dilakukan Wina hanya sekali-sekali saja. Dan itu biasanya pada scat-scat
Wina sedang banyak masalah. Tapi obat terlarang? Ya, Allah! Setan apa
yang membuat Wina berani melakukan itu?!
Nisya benar-benar merasa dikhianati. Bagaimana mungkin Wina
berlaku setega ini? Tadinya Nisya telah menjadikan Wina sahabatnya yang
paling dekat. Tempat ia bercerita kalau merasa sedih ataupun gembira,
setelah Mama begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak menyisakan
waktu lagi untuk Nisya. Tapi ternyata kepercayaan itu telah disia-siakan
Wina.
Nisya benar-benar merasa sendirian. Tidak ada yang bisa
dipercayainya. Semuanya satu per satu seperti menjauh. Apakah mereka
sengaja melakukan itu?
Nisya semakin membenamkan kepalanya di bantal. Suara tangisnya tidak
terdengar lagi, tapi isaknya masih terasa.
"Nisya... Nisya...." Terdengar suara Bik Irah. Nisya mencoba
menahan tangisnya, menunggu suara itu terdengar lagi.
"Nisya, Ada telepon dari Wina!"
Badan Nisya tiba-tiba langsung mengejang. Dadanya berdebur
dengan keras. Dan suaranya tidak bisa menghilangkan rasa march. "Bilang
saja Nisya nggak ada!" teriaknya dengan emosi.
Nisya tidak mau bicara dengan Wina lagi. Ia tidak mau punya
sahabat pemakai drugs! Apa yang telah dilakukan Wina sangat memukul
perasaan Nisya. Dan ia tahu tak ada keinginan untuk bertemu Wina lagi.
Nisya menengadahkan kepalanya ke atas. Memandang langit-langit
kamarnya yang putih. Pikirannya masih terus berkecamuk. Sedih. Kecewa.
Sesal. March. Semuanya berpilin-pilin seperti benang kusut.
Kenapa ia harus dekat dengan Wina? Kenapa tidak sejak awal ia
tahu hal itu? Nisya bertanya dalam hati, sibuk menyalahkan diri.
Mungkin perasaan yang sama membuat Nisya tidak pernah
menyadari hal itu. Mereka sama-sama merasa kesepian. Dan perasaan yang
sama itulah membuat kedekatan itu terjadi dengan sendirinya.
Tapi mengapa Wina harus menggunakan obat-obatan itu? Mengapa?
Bukankah ia bisa cerita kalau sedang ada masalah? Mengapa ia mesti
melarikan diri ke sesuatu yang salah? Seribu pertanyaan memenuhi benak
Nisya. Tapi tidak ada satu pun yang terjawab. Akhirnya Nisya kelelahan
sendiri. Pikirannya seperti melayang keluar dari tubuhnya. Ringan. Jauh
sekali.
Ketukan di pintu seperti membangunkan Nisya dari tidur yang
panjang.
"Siapa?" suara Nisya masih di ambang kesadaran.
"Ini Mama. Sarapan dulu, yuk!"
Nisya terdiam. Menjawab dengan ragu-ragu. "Nisya belum lapar,
Ma."
"Ayolah. Temani Papa dan Mama sarapan." Nisya terdiam.
"Nisya...!" Terdengar lagi suara Mama.
Nisya terdiam lama. Akhirnya dengan langkah setengah hati, Nisya
turun dari tempat tidurnya. Dibukanya pintu kamar dan mendapati wajah
Mama yang sedang tersenyum di sang. Nisya mengalihkan pandangannya.
Ia tak sanggup bertatapan lama. Mama mungkin tahu mata yang sembab.
"Masak anak Mama jam segini barn bangun? Ayo!" Ditariknya
tangan Nisya menuruni tangga. Papa Sudah berada di meja makan sedang
menuangkan air ke dalam gelas.
Nisya langsung duduk di hadapan Papa, memandang dengan mata
yang tidak terarah.
"Sudah cuci muka?" tanya Papa sambil menyorongkan minum.
”Sudah, Pa," jawab Nisya pelan.
"Tapi wajahnya kelihatan sembab, ya, Pa." Nisya seperti tersengat
listrik. Wajahnya tiba-tiba terasa panas.
Papa dengan cepat berdehem. "Sudah, ayo kita makan," kata Papa
sambil dengan segera menyendok nasi lalu menyerahkannya pada Nisya.
Nisya makan dengan diam. Hanya mendengarkan ketika Mama dan
Papa berbicara. Ia hanya menjawab singkat ketika obrolan itu ditujukan
padanya. Sarapan pagi kali ini terasa begitu lama. Nisya merasa batinnya
tersiksa. Apakah Mama tahu Nisya keluar rumah? ”Jangan jangan Mama
tahu kalau Nisya ke rumah Wina. Perasaan curiga membuat Nisya makan
dengan tidak nyaman.
"Nisya ke kamar dulu," kata Nisya ketika sarapan itu selesai. Mama
seperti hendak menahan. Tapi Papa mencegahnya dan menyilakan Nisya ke
kamarnya.
"Kenapa sib, Pa?" protes Mama setelah Nisya masuk ke dalam kamar.
"Biarkan saja dulu, Ma. Perasaannya mungkin masih belum stabil.
Kalau sudah agak mendingan, baru Mama bicara lagi padanya."
"Mama ingin minta maaf, Pa."
"Nanti, kalau perasaannya sudah lebih balk."
"Mama merasa bersalah, Pa. Mama tidak tahu kalau keadaannya
seperti ini," kata Mama pelan.
"Nanti. Kalau dia sudah baikan, Ma."
Ruangan makan itu tiba-tiba hening. Dua kepala orang dewasa itu
mematung. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
mUda
Tidak ada yang tahu perasaan Nisya yang sesungguhnya. Tidak juga
Mama dan Papanya. Nisya merasa hari-hari di sekolah tidak akan lagi sama
seperti hari-hari kemarin. Setelah kejadian kemarin, Nisya benar-benar
merasa terpukul. Kalau ingat itu, rasanya Nisya ingin menumpahkan
kemarahannya. Bagaimana mungkin sahabatnya yang selalu dibela di
hadapan Mama ternyata pengguna obat terlarang? Berarti Mama benar
selama ini. Ternyata Mama lebih tahu tentang sifat Wina yang
sesungguhnya daripada Nisya sendiri.
Hari ini Nisya pasti akan bertemu dengan Wina. Dan Nisya sudah
memperhitungkan akan seperti apa sikapnya nanti. Ia tidak akan mau
bertegur saga dengan Wina lagi. Ia sudah cukup merasa dibohongi. Lagipula
masih banyak temannya yang lain yang bersih dari kelakuan seperti itu.
Tapi, ketika memasuki kelas pagi ini, hati Nisya merasa
berdebarjuga. Ia mencoba menata hatinya supaya bisa bersikap biasa-biasa
saja. Tapi ternyata tidak gampang. Ia sudah membayangkan Wina sedang
menunggu di mejanya, lalu dengan wajah bersungguh-sungguh meminta
maaf dengan kejadian kemarin.
Lalu, apa yang akan dilakukannya? Apakah dia bisa memberi maaf dengan
mudahnya? Apakah is akan march-march kepada Wina dan menyuruhnya
untuk tidak coba-coba mendekatinya lagi?
Nisya semakin berdebar. Dilihatnya beberapa orang berdiri di depan
pintu sambil bercanda. Nisya berjalan dengan langkah ragu. Apakah Wina
sudah datang? bisiknya ragu-ragu.
Teguran dari teman-teman di kelas sebelah, ditanggapi Nisya dengan
senyum tipis. Badannya seperti menggigil. Entah apakah ada yang
memerhatikan rant wajahnya yang berkeringat.
"Halo, Nisya, tumben baru datang?" Roni yang menyender di pintu
kelas menyapanya sambil nyengir.
Nisya hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam ruangan kelas. Pada
scat itu, sudut matanya mencari-cari. Alhamdulillah, batin Nisya mengucap
syukur dalam hati. Wina belum datang. Ia buruburu uduk di mejanya.
"Hei, kenapa, sih? Kok, tegang kayak begitu?" tanya Listy yang sibuk
menulis.
"Nggak, nggak apa-apa," sa h ut N iysa. "Belum bikin pe-er, ya?"
"Pe-er? Pe-er apa? Astagfirullah!" Nisya berseru kaget saat Listy
memperlihatkan sampul bukunya. Kok, dia barn ingat sekarang kalau Bu
Rini minggu kemarin memberi tugas Matematika?
Nisya terduduk lesu. Mestinya semalam ini mengecek pelajaran hari
ini. Tapi mana sempat ia berpikir begitu? Semalaman ia hanya berkutat
dengan bantal sambil menumpahkan tangis di sana.
"Sudah, kerjain aja sekarang!" desak Listy memberi solusi.
Nisya menggeleng. Sudah terlambat. Lagipula ini memang
kesalahannya. Ia sudah siap mendapat ceramah dari Bu Rini di depan anak-
anak yang lain.
Nisya sedang tidak berpikir ke sana sekarang. Dari ujung koridor
kelas sana, Nisya sudah melihat Bu Rini bedalan ke arah kelas, tapi ia belum
melihat Wina di dalam kelas. Apa ia tidak masuk? Nisya menduga-duga.
Selama pelajaran berlangsung, Nisya gelisah. Kepalanya bergerak liar
mengitari ruangan. Bahkan ia seperti tidak mendengar ketika Bu Rini
menceramahi anak-anak, termasuk dirinya yang tidak membuat pe-er.
Ada apa dengan Wina? Apakah dia sakit? Kemarin dia melihat wajah
Wina kelelahan. Apakah karena dia masih sering keluar malam? Tapi kata
Wina, ia sudah jarang keluar malam semenjak dekat dengan Nisya. Baru
saat ini Nisya meragukan kata-kata Wina. Jangan-jangan ia masih sering
keluar malam. Nisya menduga-duga. Jangan-jangan kerjaannya memang
seperti itu? Nisya menggigit pulpennya dengan gelisah. Atau.... Jangan-
jangan karena pengaruh obat-obatan itu?
Listy sedari tadi memerhatikan Nisya yang tampak gelisah. Tapi ia
tidak berani mengajaknya ngobrol. Bu Rini sangat gesit menangkap setiap
gerakan yang mencurigakan. Ia tidak mau menjadi sasaran kemarahan Bu
Rini.
"Kenapa, sih, kamu?" tanya Listy setelah pelajaran Bu Rini berakhir.
"Tersinggung sama ucapan Bu Rini?" tebaknya, "makanya lain kali turutin
kataku." Listy tersenyum kecil.
Nisya tersenyum tipis. Dibiarkannya Listy menduga-menduga sendiri.
Saat pelajaran Pak Herman, Nisya kembali termenung. Barangkali Wina
benar-benar sakit, batinnya akhirnya mengambil kesimpulan.
Untunglah Pak Herman tidak terlalu suka memerhatikan rant muka
anak muridnya satu per satu. Kalau tidak, pastilah ia akan tahu dengan
cepat kalau wajah Nisya yang sedang melihat ke papan tulis penuh dengan
tatapan kosong.
Saat pulang sekolah, Nisya benar-benar sendiri. Listy dan Kania
sudah naik ke bus jurusan rumah mereka. Dhani tentu saja sudah pulang
dengan Roni dan Andika. Mereka kini dijuluki tiga sekawan oleh teman-
teman sekelas. Nisya sendiri sudah bersikap biasa saja dengan Dhani.
Biasanya Nisya sudah berada di dalam mobil Wina, sementara Wina
menjalankan mobil dengan pelan berusaha menerobos kerumunanan
anakanak yang menunggu angkot di depan gerbang sekolah.
Tapi kini Nisya benar-benar merasa sendirian di tengah bisingnya
suara mobil dan teriakan sopir angkot yang mencari penumpang. Ada
beberapa anak yang ia kenal yang juga sedang menunggu angkot, tapi
Nisya tidak berusaha mendekati mereka. Ia sedang menikmati
kesendiriannya.
Lagipula, sendirian kadang-kadang terasa enak juga, batinnya
menghibur diri. Dari dulu ia juga sudah terbiasa sendiri. Saat di rumah
Abah, ia juga hanya sendirian. Tidak ada saudara dekat sebayanya yang
tinggal bersama. Begitu pula pada scat ia sudah bersama orang tuanya.
Nisya hanya beberapa tahun tinggal dengan Kak Ryan sebelum kakaknya
itu kuliah di Bandung. Jadi bukan sekali ini ia sendirian meskipun ada
perasaan aneh yang muncul.
Saat Nisya sedang termenung begitu, telinganya seperti menangkap
suara memanggil namanya. Nisya menoleh ke kanan-kirinya. Tidak ada
siapasiapa. Ketika sekali lagi suara itu itu terdengar, Nisya menoleh ke
belakang. Dan ia benar-benar kaget sampai kakinya terasa bergetar.
Wina! Sedang apa dia di sini? Bukankah tadi dia nggak masuk
sekolah?
"Nisya...." Wina mendekat.
Nisya berdiri dengan kaku. Wajahnya berusaha di hadapkannya ke
jalan rays. Ia tidak mau bertatapan langsung dengan mata Wina.
"Saga minta maaf dengan peristiwa kemarin ......
"Nggak ada yang perlu dimaafkan. Itu hak kamu, kok!"
"Nisya, please, dengar dulu ......
"Kenapa kamu nggak masuk tadi?"
Tidak ada jawaban.
Nisya mendapati wajah Wina resah. Mulutnya bergerak-gerak, tapi
tak ada suara yang keluar.
"Kenapa? Karena kamu masih sibuk dengan benda-benda haram itu?"
Rasanya Nisya masih ingin meledak. Dadanya seperti bergelombang.
Wajahnya terasa memanas. Dan sebelum emosinya tak terbendung, Nisya
buru-buru naik ke dalam angkot.
"Nisya! Nisya, jangan dulu pergi! Tolong, dengar dulu kata-kataku....
Nisya!"
Tapi Nisya tidak mau mendengar. Wina sudah benar-benar
mengecewakannya. Untuk apa dia meminta maaf kalau masih
menggunakan benda terlarang itu?! Sekuat tenaga Nisya menahan air
matanya agar tidak sampai jatuh. Ia malu kalau sampai menangis di dalam
angkot. Tapi hatinya benar-benar march dan kecewa. Ia hanya bisa
menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Sampai di rumah, Nisya langsung masuk ke dalam kamarnya. Tidak
digubrisnya suara Bik Irah yang mengajaknya makan siang. Mama dan Papa
pasti belum pulang jam segini. Tapi, Nisya tidak peduli. Ia langsung masuk
ke dalam kamar dan membanting tubuhnya di ranjang. Emosinya
benarbenar tak tertahan lagi. Ia menangis sepuaspuasnya. Benar-benar
habis. Sampai air matanya terasa tak ada lagi yang keluar. Sampai yang
tersisa hanyalah keletihan.
Nisya bangkit dari tempat tidurnya. Terasa pipinya berat oleh sisa air
mata yang mengering. Diraihnya buku hariannya. Bibirnya mengatup
dengan tangan yang mulai menulis.
Mulai saat ini, tulisnya, aku tidak akan lagi berteman dengan Nisya.
Tidak akan ada lagi nama Wina dalam kamusnya. Nisya telah
melupakannya.
mUda
Semakin hari Nisya semakin pendiam. Ia tidak banyak bicara kalau
tidak ditanya. Bahkan sekarang ia lebih banyak mengunci dirinya di kamar.
Keluar hanya pada saat makan, setelah itu masuk lagi ke dalam kamar.
Mama benar-benar khawatir, sekaligus merasa begitu bersalah.
Mama tak pernah membayangkan keadaannya akan seperti ini. Memang
Nisya tidak pernah lagi pulang sekolah telat. Bahkan temannya yang
bernama Wina itu tidak pernah menampakkan diri lagi. Biasanya Nisya
dulu Bering diantar Wina sampai ke rumah. Tapi sekarang, cerita Bik Irah,
Nisya selalu pulang sendiri.
"Jadi, Nisya sekarang pulangnya sendiri terus, Bik?"
"Iya, Bu. Biasanya, kan, selalu diantar sama temannya itu. Sekarang
pulangnya sendiri terus. Tapi, ya itu tadi, setelah pulang langsung masuk
kamar. Nggak pernah ngobrol sama Bibik kayak dulu. Paling-paling kalau
man makan barn keluar kamar."
Mama benar-benar dibuat resah. Hatinya tidak tenang. Bagaimana ia
bisa tenang dengan keadaan Nisya seperti itu?
Pernah Mama mencoba berbicara dengan Nisya. Saat itu makan
malam. Kebetulan Papa belum pulang. Nisya langsung hendak masuk
kamar setelah selesai makan. Mama langsung mencegahnya dan menyuruh
Nisya duduk kembali.
"Kayaknya sekarang Nisya jarang ngobrol lagi dengan Mama ....."
Mama mulai berbicara sambil memotong buah apel. "Mau?" Disodorkannya
potongan apel pada Nisya, tapi Nisya diam saja.
"Kenapa? Nisya ada masalah? Cerita, dong, sama Mama. Barangkali
Mama bisa membantu."
"Nggak ada apa-apa, kok, Ma," sahut Nisya.
"Oh ya, temanmu si Wina, kok, jarang ke sini lagi?" Mama
mengunyah potongan apel dengan perlahan. Berusaha bersikap santai.
Padahal ia merasa tidak enak sendiri. Bukankah justru ia yang melarang
Nisya berteman terlalu dekat dengan Wina?
Nisya diam.
Mama meletakkan potongan apel di atas meja. Menatap Nisya
dengan serius. Lalu katanya, "Mama minta maaf dengan ucapan Mama
kemarin itu. Mama tidak bermaksud melarang Nisya berteman dengan
Wina. Bukan itu maksud Mama. Mama hanya mengkhawatirkan Nisya
tidak bisa bagi waktu dengan kegiatan Nisya yang lain."
Mama menunggu reaksi Nisya. Tapi tak ada jawaban dari Nisya.
"Mungkin kata-kata Mama waktu itu terlalu keras. Tapi sebenarnya
Mama tidak melarang Nisya berteman dengan Wina."
"Nggak apa-apa, kok, Ma. Mama nggak salah." "Terus, kenapa Wina
nggak pernah ke sini lagi?"
"Nisya sudah nggak berteman lagi dengan dia," sahut Nisya kaku.
Mama tersentak. "Maksud Nisya?"
"Mama benar. Dia nggak sebaik yang Nisya kira."
Mama benar-benar kaget. Dan is semakin kaget ketika melihat Nisya
setengah berlari langsung naik ke kamarnya.
"Nisya...! Nisya kenapa?!" Mama meraih tangan Nisya. Tapi Nisya
sudah naik tangga. Mama cepatcepat memburu. Ia mengetuk-ngetuk pintu
Nisya. Tapi beberapa kali ketukan, Nisya tetap tidak mau bicara. Akhirnya
Mama menyerah. Ia turun ke lantai bawah. Ia duduk di sofa. Termangu,
tak tahu apa yang mesti diperbuat. Televisi dinyalakan. Tapi pikiran Mama
tidak tertuju ke sana.
Ada apa dengan Nisya? batin Mama gelisah.
Ketika Papa pulang, Mama tidak tahan untuk tidak bercerita saat itu
juga. Mama langsung menaruh tas kerja Papa di meja dan menyuruh Papa
duduk. Papa meneguk air dingin yang disediakan Mama. Setelah
mendengarcerita Mama, Papa terdiam seperti bingung.
"Katanya, dia sudah tidak berteman lagi dengan Wina," Mama masih
bicara.
"Berard dia menuruti keinginan Mama," sahut Papa singkat.
Kelihatan Papa masih lelah.
"Bukan karena itu, Pa. Kelihatannya dia punya masalah dengan
Wina. Karena itu dia tidak mau lagi berteman dengan Wina."
"Masalah apa?"
"Itulah, Nisya tidak mau menceritakannya. Entahlah, sekarang dia
tidak begitu terbuka lagi sama Mama." Suara Mama seperti orang sedang
melamun. "Apa dia sudah tidak percaya lagi sama Mama?"
Papa tidak menjawab. Wajahnya tertunduk. Pikirannya seperti
sedang mengembara. "Mungkin kita terlalu sibuk, ya, Ma?" kata Papa.
Mama menoleh. "Maksud Papa?"
Papa menghela napas. "Yaa... tidak tahulah," kata Papa seperti pada
diri sendiri. "Tapi kita memang sudah jarang sekali mengobrol dengan
Nisya."
Mama terdiam. Kata-kata Papa masuk ke dalam pikirannya. Merasuk
ke dalam hatinya seperti cairan es yang meleleh. Dan tiba-tiba saja ia
mencoba mengingat kapan terakhir kali mengobrol panjang lebar dengan
Nisya. Ketika tak mampu menemukan kembali ingatannya, Mama
mendesah dengan napas berat.
"Mungkin Nisya merasa kita sudah tidak memerhatikan dia lagi, Pa,"
katanya pada Papa. Papa diam tak menjawab.
"Apa yang harus kita perbuat, Pa?" "Entahlah, Ma."
Mama menjadi makin khawatir mendengar jawaban Papa.
mUda
KETIKA
HARUS
MENYENDIRI
Ada saat-saat Nisya senang meng- habiskan waktunya di kamar.
Dengan menengadahkan kepalanya menatap langit, ia wring menyematkan
angan-angannya di sana. Atau dari jendela kamarnya, ia mengamati hal-hal
di luar sana. Ia bisa melihat birunya langit yang benar-benar biru ketika
awan tidak satu pun yang nongol. Atau melihat anak-anak kecil yang
bermain bola plastik di jalan kecil kompleks. Sungguh menyenangkan.
Tapi saat ini, hampir sepanjang waktu dihabiskan Nisya di kamar.
Pulang sekolah, ia lebih sutra menyimpan dirinya di kamar daripada
ngobrol dengan Bik Irah di dapur. Terpaksalah Bik Irah yang harus
mengetuk pintu kamar mengingatkan Nisya untuk makan siang.
Bik Irah sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukan Nisya di dalam
kamar. Kalau tahu, mungkin ia hanya bisa geleng-geleng kepala atau malah
jadi kasihan. Kalau Bibik sedikit usil, ia bisa mengintip lewat lubang kunci
yang langsung menghadap jendela. Di sanalah Nisya duduk dengan wajah
memandang keluar. Tapi kalau Bik Irah melihatnya dari depan, bola mata
Nisya yang hitam itu seperti memandang kosong. Lebih mengherankan
karena Nisya bisa melakukannya seharian.
Seorang anak kecil bersepeda melintasi rumahnya. Nisya tahu rumah
anak itu hanya beberapa blok dari rumahnya.
"Heil...!" Entah mengapa, hati Nisya tergerak memanggilnya.
Anak perempuan itu celingukan. Lalu, ia melihat Nisya yang
menongolkan kepala di dawn jendela. Nisya melambaikan tangannya.
Anak perempuan itu tertawa-tawa lalu mengayuh lagi sepedanya.
Nisya tersenyum kecil. Inginnya Nisya seperti anak perempuan itu.
Sudah berapa lama ia tidak merasakan main sepeda seperti itu? Sejak ia
mulai punya perasaan malu? Atau sejak ia tinggal dengan Mama dan Papa?
Sepeda bekas yang tersimpan di garasi rumah lebih mirip sepeda balap.
Dulu Bering dipakai Kak Ryan berolahraga, atau ke warung membeli
belanjaan pesanan Bibik. Nisya tak pernah mau menaikinya. Aneh Baja
rasanya bersepeda dengan tempat duduk yang begitu tinggi. Dulu ia pernah
mencoba sekali, terjatuh, lalu buru-buru berlari masuk ke rumah merasa
malu dilihat orang, sementara Kak Ryan tertawa terbahak-bahak.
Abah pernah menghadiahi Nisya sepeda ketika ia masuk sekolah.
Bangganya Nisya. Hampir tiap sore ia mengitari halaman rumah dan
bergantian dengan teman-temannya memakainya. Tentu saja, di kampung
Nisya, sepeda menjadi barang berharga. Makanya mereka seperti
menemukan permainan yang lebih menarik daripada hanya sekadar
bermain petak umpet atau bermain tali. Tapi, sepeda itu hanya tahan
beberapa tahun. Terlalu kecil untuk badan Nisya yang semakin besar.
Akhirnya seeped mini itu dihibahkan ke cucu saudara dekat Abah yang juga
tetangga.
Bagaimana rasanya bersepeda? Nisya hampirhampir lupa. Tapi,
melihat anak perempuan tadi, hati Nisya tiba-tiba tergerak. Rasanya ia ingin
menjadi anak kecil lagi. Barangkali enak, ya, menjadi anak kecil lagi? Lihat
saja, senyumannya tadi begitu ceria. Pasti ia belum pernah merasakan
punya masalah seperti Nisya sekarang.
Senyuman anak kecil tadi mengingatkan Nisya pada masa lalunya.
Dulu ia juga seperti itu. Selalu memberikan senyuman termanis pada setiap
orang. ,Selalu bersikap ceria. Paling-paling ia cemberut kalau sedang march
sama Abah. Biasanya kalau Abah lupa membelikan pesanannya sepulang
dari kota.
Lagi-lagi Nisya ingat Abah. Mengapa kalau merasa sendiri atau
sedang punya masalah begini, ia selalu ingat Abah? Atau karena hanya di
dekat Abahnyalah ia merasa tenteram? Merasa tak punya masalah?
Sudah seminggu ini ia tidak bertegur saga dengan Wina. Tepatnya, ia
yang selalu menghindar. Setiap kali dilihatnya Wina mencoba mendekati,
buru-buru ditariknya Listy menuju kantin. Atau kalau pelajaran belum
dimulai, ia berpura-pura ngobrol serius dengan Listy dan Kania. Itu
dilakukan Nisya agar bisa terlepas dari Wina. Ia tahu, Wina sering
memandanginya dari kejauhan. Mungkin ada yang ingin dikatakannya.
Tapi Nisya sudah tak peduli lagi.
Sampai saat ini Nisya tak habis pikir, kenapa sampai Wina
menggunakan obat-obat terlarang? Apa dia nggak sayang tubuhnya? Nisya
saja sering merasa bergidik ketika melihat hal itu di televisi. Bagaimana
mungkin sahabatnya sendiri ternyata pemakai obat-obatan dan selama ini
ia sendiri tidak tahu apa-apa.
Apa karena Wina merasa kesepian? Bukankah Nisya juga sama? Ia
juga pernah protes melihat betapa sibuknya Mama dan Papa. Tapi tak
pernah terbayang oleh Nisya kalau mesti lari ke obatobatan. Apa nggak ada
jalan lain?
Nisya selalu ingat pecan Abah. "Kalau sedang punya masalah, jangan
lupa dengan Allah. Salat, atau kalau tidak, cukuplah berwudu. Niscaya
hatimu akan tenteram." Nisya tak pernah lupa. Dan setiap kali selesai
melakukan salat, beban masalah terasa berkurang. Meskipun kadangkadang
selalu saja ia ingin Abah ada di sisinya seperti sekarang ini.
"Nisya! Mama sudah pulang, tuh!" suara Bibik membuyarkan
lamunannya.
Nisya tertegun. Ada apa Mama pulang sore? Tapi Nisya tetap duduk
di camping jendela. Didengarnya suara Mama yang sedang memanggil B i k
I ra h. Mungkin Mama habis belanja, perlu minty bantuan Bik Irah
menganakut barang, pikir Nisya.
Nisya tidak beranjak dari tempat duduknya, sampai Mama akhirnya
memanggilnya. Nisya turun dengan ragu-ragu.
"Ngapain aja di kamar? Ini, Mama bawa buah kelengkeng buat
Nisya!"
Nisya dalam hati tersenyum. Mama masih ingat buah kesukaannya.
Dilihatnya Mama sibuk memilah-milah barang belanjaan. Ia ingin
membantu, tapi ragu-ragu. Akhirnya Nisya memilih diam. "Ma, saga ke atas
dulu...."
"Lho, kenapa, Nisya?"
"Belum mandi, Ma."
Nisya kembali ke atas. Tidak disadarinya mata Mama masih
mengawasinya dari bawah. Seandainya saja Nisya tahu, setelah itu Mama
menarik napas berat. Ada beban perasaan yang mengimpitnya.
mUda
"Wina ke mana, Nis? Kok, nggak masuk?"
Nisya yang sedang mencoret-coret buku catatannya menghentikan
aktivitasnya. Tanga sadar, ditolehnya bangku Wina yang kosong.
"Mang aku tahu," sahut Nisya dingin.
Listy menatapnya. "Kenapa lagi sama kamu, Nis?"
"Kenapa?" Nisya batik bertanya.
"Sekarang, kok, nggak pernah bareng lagi sama Wina?"
Nisya menghela napas. Haruskah hat ini diceritakannya sama Listy?
"Kamu marahan, ya?"
"Nggak," sahut Nisya buru-buru.
"Terus, kenapa? Jangan sama kayak Dhani lagi, lho!"
Nisya tidak menjawab. Sulit untuk menceritakannya pads Listy.
Meskipun teman sebangkunya, rasanya Nisya tidak tega menceritakan aib
orang. Apalagi Wina sahabatnya.
Listy tidak bertanya lagi. Tapi Nisya jadi kepikiran Wina. Ini sudah
ketiga kalinya Wina tidak masuk. Perasaan khawatir diam-diam merambat
dalam diri Nisya. Jangan-jangan.... Ah, Nisya nggak man berpikir yang
bukan-bukan. Mudah-mudahan Wina nggak masuk karena malas aja, tebak
Nisya. Dia memang kelihatan angin-anginan. Contohnya waktu kemarin
itu, tahu-tahu dia nongol pas sudah bubaran sekolah.
Tapi, bagaimana kalau Wina benar-benar sakit? Siapa yang akan
mengurusnya? Orang tuanya, kan, jarang ada di rumah? Nisya menjadi
semakin khawatir. Seharusnya ada pemberitahuan ke sekolah kalau dia
benar-benar sakit. Tapi mungkin saja pembantu di rumahnya nggak berpikir
sampai ke sana dan memilih menunggu orang tua Wina pulang. Nisya jadi
bimbang. Ia ingin tahu keadaan Wina. Mungkin is bisa mendapat
keterangan dari pembantunya lewat telepon. Tapi setelah berpikir lama
akhirnya Nisya memutuskan tidak jadi menelepon.
mUda
Besok harinya Wina sudah masuk sekolah lagi. Rasa khawatir yang
membebani perasaan Nisya sejak kemarin hilang seketika. Ia merasa Wina
mempermainkannya.
Tapi Nisya heran, Wina seperti tidak berusaha mendekatinya lagi.
Wina diam saja di bangkunya. Bahkan saat istirahat pun, Wina tidak
beranjak dari tempat duduknya. Nisya yang akan ke kantin dengan Listy
sempat bertanya-tanya dalam hati. Tapi segera saja ia lupa ketika ia sudah
bergabung dengan teman-temannya yang lain di kantin.
Saat pulang sekolah, Wina juga langsung pulang duluan. Ia
menerobos kerumunan anakanak yang memenuhi pintu kelas. Lalu, tiba-
tiba saja tubuhnya sudah menghilang di kejauhan. Meskipun berusaha
bersikap tidak ambit pusing lagi dengan Wina, Nisya diam-diam merasa
heran juga. Ada apa dengan Wina?
Sepanjang jalan, Nisya masih memikirkan Wina. Ia bahkan tidak
sadar kalau dari tadi ada yang memanggil-manggilnya. Barulah ketika
bahunya ditepuk, Nisya tersentak kaget.
"Eh, Kak Fitri! Kirain siapa!" kata Nisya begitu tahu siapa yang
menepuknya.
"Dari tadi dipanggil-panggil, lho! Lagi melamun apa, sih, sampai
bengong begitu?"
Ditanya seperti itu, Nisya merasa malu. Jangan-jangan dari tadi ia
berjalan seperti prang linglung?
"Ah, nggak, kok...! Eh, Kak Fitri bawa apa, tuh?"
"Ooh, ini. Ini tempat buat gorengan." "Lho, dari mans memangnya?"
"Kamu nggak gak tahu ya kalau gorengan yang dijual Ibu kantin itu
buatan ibuku?"
"Hah?! Jadi lumpia goreng, risoles, dan macam-macam itu buatan
ibu Kak Fitri?" tanya Nisya seperti tidak percaya.
Fitri mengangguk mantap.
Mulut Nisya membulat. Nisya baru mengerti.
"Kenapa? Baru tahu sekarang, ya? Nanti, biar percaya, sekali-sekali
kamu saya ajak lihat, deh!"
Mereka berjalan bersisian. Halaman sekolah sudah sepi. Hanya ada
satu angkot yang sedang parkir di depan sekolah. Kebetulan itu bukan
jurusan rumah Nisya.
"Kok, tumben sendiri, Nis? Biasanya pulang bareng temanmu?"
"Yang mana?"
"Itu. Yang biasanya bawa mobil?"
Nisya kaget. "Lho, kok Kak Fitri tahu?"
"Sering lihat aja. Kenapa? Sakit, ya?"
"Ngg ... nggak. Ada, kok. Tadi dia duluan. Lagi ada keperluan
kayaknya." Nisya jadi berbohong.
Setelah itu Nisya terdiam. Tidak tahu harus ngomong apa.
Untunglah beberapa saat kemudian angkot jurusan rumah Fitri berhenti.
Fitri langsung pamitan. "Nis, saya duluan, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Nisya melambaikan tangannya. Setelah angkot itu menjauh, Nisya
termenung lagi sendirian. Merasa berdosa sudah berbohong pada Kak Fitri.
Padahal, waktu pertama kali masuk sekolah ini, Kak Fitrilah yang banyak
mengenalkannya dengan lingkungan sekolah. Soalnya dia yang menjadi
mentor kerohaniannya. Setelah mentoring selesai, Kak Fitri bahkan masih
sering menghampirinya dan mengajaknya ikut dalam kegiatan kerohanian.
Tapi dasarnya memang Nisya pemalu. Ia butuh waktu untuk akrab dengan
suasana baru. Jadi, selalu saja ada alasan Nisya untuk menolaknya. Padahal,
melihat mereka, ada keinginan Nisya untuk aktif di sans. Tapi ya itu, Nisya
terlalu pemalu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Nisya kaget juga ketika Kak Fitri bertanya tentang Wina. Berarti Kak
Fitri masih sering memerhatikan keadaannya. Padahal ia sudah lama tidak
ngobrol banyak dengan Kak Fitri. Nisya jadi merasa malu sendiri.
mUda
Di mata Nisya, sikap Mama belakangan ini agak berubah. Pertama,
tidak setiap hari lagi Mama pulang malam. Sore-sore, tahu-tahu Nisya
sudah mendengar derum mobil masuk halaman. Nisya yakin, dari
bunyinya, itu mobil Mama. Kedua, Mama sekarang seperti petugas
kepolisian. Selalu bertanya detail tentang kegiatan Nisya seharihari. Lain
waktu Mama bertanya tentang Wina.
Sebenarnya Nisya senang juga dengan perubahan Mama. Tapi di sisi
lain, ia merasa risih. Terutama kalau Mama bertanya tentang Wina. Apa
yang harus ia jawab? Sementara ia sendiri sudah enggan mengingat-ingat
Wina lagi. Makanya, daripada mendapat berondongan pertanyaan Mama,
Nisya lebih memilih menghindar. Berpura-pura tidur atau sedang belajar.
Seperti sore ini, Nisya diam saja di dalam kamarnya ketika
mendengar suara mobil memasuki halaman. Biasanya Mama akan
memanggilnya dari bawah. Kalau tidak, Mama akan mengetuk pintu kamar
Nisya beberapa kali. Begitu tidak ada jawaban, Mama akan pergi menjauh.
"Nisya!"
Tuh! Benar, kan?!
"Nisya! Nisya lagi ngapain? Mama bawa es krim bust Nisya!"
Mendengar itu, kaki Nisya seperti tergerak. Tapi ia sekuat tenaga
menahannya. Ah, paling-paling Mama akan menyimpannya di lemari
pendingin. Nanti saja habis makan malam, pikir Nisya. Ia masih
membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Sebuah novel remaja ada di
pangkuannya. Tapi dari tadi halamannya tidak berubah-ubah. Kepala Nisya
bolak-balik melihat ke buku dan pintu kamar. Tidak didengarnya suara
langkah kaki mendekat. Ia bisa bernapas lega.
Waktu makan malam, mau tidak mau Nisya pasti bertemu Mama.
Kalau ada Papa, masih mendingan. Obrolan tidak hanya terpaku tentang
dirinya saja. Papa terkadang suka cerita tentang kantor atau rekan-rekan
bisnisnya. Paling satu dua kali obrolan menyangkut tentang dia.
Tapi sekarang hanya ada Mama. Pastilah Mama akan bertanya
macam-macam seperti kemarin-kemarin.
Mama mulai menyendok nasi.
"Gimana sekolahmu, Nisya?"
"Balk, Ma."
"Kapan mulai ujian?" tanya Mama lagi. "Sebentar lagi, Ma."
"Ada kesulitan tidak dengan belajarmu?" Nisya menggeleng sambil
mengunyah diam-diam.
"Syukurlah kalau begitu."
Dilihatnya Mama juga diam. Tapi ternyata tidak. Mama
melanjutkan, "Mama tidak melarang Nisya bergaul. Silakan saja. Asal tetap
memerhatikan pelajaran."
Nisya menggigit kerupuk hampir tanpa bunyi. TOW Mama sudah
mulai lagi. Pasti lama-lama akan menyerempet Wina juga.
"Sekarang Mama lihat Nisya pulang cepat terus. Apa tidak ada
kegiatan lagi di sekolah?"
Nisya lagi-lagi hanya menggeleng. Dirasanya makanan di mulutnya
menjadi tawar.
"Tetuan-temanmu bagaimana? Mama lihat Nisya tidak pernah
mengajak teman lagi ke rumah."
Nisya sudah menyangka, akhir-akhirnya pasti akan menyangkut
Wina. Kenapa, sih?Apa Mama masih belum percaya kalau Nisya sudah
nggak berteman lagi dengan Wina?
"Mereka sibuk belajar, Ma. Kan, sebentar lagi ujian."
"Oo... pantas sekarang Nisya selalu pulang cepat," Ganda Mama.
"Baguslah kalau begitu. Gimana, ada yang sulit, nggak? Nanti Mama bisa
bantu kalau ada yang nggak dimengerti."
"Nggak, kok, Ma. Biasa-biasa aja," sahut Nisya.
"Syukurlah kalau begitu."
Setelah itu, Mama tidak bertanya-tanya lagi. Setelah selesai makan, Nisya
langsung naik ke kamarnya. "Mau belajar dulu, Ma," katanya. Mama tidak
berkomentar apa-apa.
mUda
Sampai jam sembilan, Papa belum juga pulang. Mama masih
menunggu di ruang keluarga. Tangannya berkali-kali mengganti channel
tivi, pertanda ia sedang gelisah. Mama bukannya khawatir. Ia tahu biasanya
Papa pulang malam, tadi juga sudah memberi tahu lewat telepon. Ada satu
hal yang digelisahkannya. Nisya.
Mama merasa, sikap Nisya berubah terhadapnya. Nisya tidak seperti
dulu lagi. Biasanya ia selalu mau bercerita kalau sedang ada masalah. Tapi
sekarang ia lebih menutup diri. Papa mungkin akan santai saja
menghadapinya. Biasalah, Ma, anakanak, selalu begitu komentarnya. Tapi
kali ini Mama merasa ada yang lain. Naluri keibuannya mengatakan Nisya
sedang ada masalah. Tapi, itu tadi masalahnya, Nisya tidak mau terbuka
lagi terhadapnya. Apa gara-gara Wina kemarin?
Mama tiba-tiba merasa menyesal. Seharusnya ia tidak terlalu keras
kemarin. Ia tahu Nisya bukanlah anak yang dididik dengan hukuman.
Mama tahu bagaimana ayahnya dulu mendidiknya. Tak pernah sekalipun ia
merasakan kekerasan tangan ayahnya. Semuanya lewat kasih sayang. Dan
itu juga diturunkan pada cucunya.
Mama sadar, sikap kerasnya kemarin karena rasa khawatir yang
begitu besar pada anak bungsunya itu. Ia takut Nisya masuk ke dalam
pergaulan yang salah. Ia masih remaja. Usia yang sangat rentan sekali.
Masih mudah terpengaruh hal-hal negatif kalau tidak diarahkan. Makanya
Mama tidak langsung percaya pada teman-teman Nisya. Apalagi ketika
Nisya sering membawa temannya yang bernama Wina itu ke rumah. Naluri
keibuannya langsung muncul. Ia tahu ada yang aneh dengan anak itu. Tapi
Mama tidak bisa menjelaskannya. Karenanya ia sudah wanti-wanti pada
Nisya supaya tidak terlalu akrab. Tapi mungkin kemarin ia terlalu cepat
membuat keputusan untuk Nisya.
Kalau saja ia masih punya banyak waktu seperti dulu, Mama berpikir
menerawang. Bayangkan saja, sekarang ia tidak pernah lagi sempat
membahas PR-PR Nisya. Ia juga hampir tidak pernah nonton lagi tivi
bersama Nisya. Membahas berita-berita keseharian yang sering
ditayangkan, atau tertawa bersama menikmati acara lawak. Waktunya di
rumah lebih banyak dihabiskan untuk mempelajari proposal atau
menyiapkan presentasi keesokan harinya. Rasanya banyak waktu yang
hilang yang tidak bisa lagi dinikmati Mama bersama Nisya.
Mama termenung dalam diam. Apakah saga yang salah? batinnya bertanya-
tanya.
Jangan-jangan Nisya bersikap seperti itu karena sudah tidak percaya
lagi pada mamanya? Ya, berapa kali seminggu waktu yang diberikannya
untuk tempat Nisya bercerita? Berapa lama waktu yang dimiliki Nisya
untuk bercerita padanya tentang masalah sekolahnya, teman-temannya,
atau hal-hal yang lain?
Mama tercekat. Pikiran yang tiba-tiba menyeruak masuk itu membuat
perasaannya begitu bersalah pada Nisya. Ya, Allah, jangan sampai anakku
berpikir seperti itu, batin Mama berdoa dengan sedih. Boat apa yang
dilakukannya selama ini kalau ternyata Nisya malah tidak mendapatkan
manfaatnya?
Papa yang barn saja membuka pinto, bingung melihat Mama
tampak begitu sedih.
"Kenapa, Ma?"
Mama terkejut, tapi cepat-cepat berusaha menampilkan rant wajah
yang biasa. "Eh, Papa! Bikin kaget saja. Kok nggak ngucapin salam dulu."
"Sudah tiga kali! Tapi Mama malah bengong aja."
Mama tersenyum malu.
"Kenapa, Ma? Lagi ada masalah?" tanya Papa.
Mama menggeleng. "Nggak kok, Pa. Tadi bengong aja nungguin
Papa pulang," kilah Mama.
Ia seperti sengaja menyimpannya dalam hati. Heran juga, padahal
tadi begitu menggebugebunya ingin bercerita banyak pada Papa.
mUda
DAUN-DAUN YANG LURUH
Lagi-lagi Wina tidak masuk. Kenapa, sih, dengan Wina? Begitu
mudahnya dia bolos sekolah. Kalau sakit, seharusnya bikin Surat sakit
supaya dapat dispensasi untuk kehadiran. Padahal, bahan pelajaran semakin
banyak diberikan karena jadwal ujian yang semakin dekat. Nisya
benarbenar dibuat bingung oleh Wina.
Sebenarnya alangkah inginnya Nisya berhenti memikirkan Wina.
Seperti yang sudah dijanjikannya dalam hati, is tidak mau bergaul lagi
dengan Wina. Ia tidak mau punya sahabat yang tidak menghargai hidupnya
sendiri. Pokoknya Nisya bersikeras berhenti memikirkan Wina. Tapi
alangkah sulitnya. Ternyata melupakan seseorang tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan.
Entah apa yang membuat pikiran Nisya selalu terpaku pada Wina.
Mungkin karena rasa kesepian yang sama. Sama-sama merasa sendirian di
rumah. Sama-sama sering ditinggal pergi oleh orang tua masing-masing.
Mungkin itu yang mendekatkan mereka karena ternyata mereka punya
cerita yang sama, meskipun Nisya tahu, keadaannya tidaklah separah Wina.
Hanya akhir-akhir ini saja Mama dan Papa jarang berkomunikasi dengan
Nisya. Itu pun karena Mama tiba-tiba punya seabreg pekerjaan yang harus
tuntas diselesaikan. Dulu, mereka selalu menyempatkan pergi bersama-
sama, mengenyam keceriaan dengan Ganda.
Wina berbeda. Nisya tahu, sejak kecil Wina sudah merasakan hal
seperti itu. Selalu ditinggal pergi tanpa waktu yang jelas. Dibesarkan oleh
pembantu yang silih berganti. Tanga diberi tahu, Nisya bisa merasakan
betapa kesepiannya Wina.
Meskipun ada hal yang tidak bisa dimaafkan oleh Nisya, tapi dalam
hatinya, ia masih mengkhawatirkan Wina.
"Wina nggak masuk lagi, Win? langan-jangan dia sakit berat, tuh!"
Listy seperti bisa membaca pikirannnya.
"Nggak tahu, Lis," jawab Nisya pelan. "Udah coba ditelepon ke
rumahnya?" Nisya diam tak menjawab.
"Coba aja, Nis! Siapa tahu dia sakit beneran!" saran Listy.
"Ah, nanti sajalah, Lis. Besok juga kayaknya bakal masuk lagi," kata
Nisya.
Listy tahu, suara Nisya terdengar ragu-ragu. Tapi ia tak mau ikut
campur lebih jauh lagi. Nisya juga kelihatan sibuk dengan pikirannya
sendiri.
Sampai pulang sekolah, pikiran Nisya masih dipenuhi oleh Wina.
Apakah ia harus menjenguknya sekarang? Tapi bust apa? Lagipula,
bagaimana kalau dia tidak sakit?
"Hayo, melamun lagi, ya?"
Suara seseorang mengagetkan Nisya. Buruburu dia menoleh. Kak
Fitri!
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawan Nisya tersenyum malu.
"Saga tadi sudah panggil berapa kali, Iho, tapi kamu nggak
menyahut. Kayaknya senang melamun di jalan, ya?!" gods Kak Fitri.
"Ah, Kak Fitri bisa aja." Nisya makin tersipu-sipu.
"Kenapa, sih, Nis? Kayak punya masalah gitu. Cerita, dong, sama Kak
Fitri. Siapa tahu Kak Fitri bisa membantu." Mata Kak Fitri memandangnya
dengan penuh perhatian.
"Ah, nggak kok, Kak Fitri,"jawab Nisya buruburu. "Eh, gorengannya
udah habis ya?"
"Alhamdulillah udah habis, nih!" kata Kak Fitri sambil menunjukkan
tempat penganan yang dijinjingnya. "Kenapa? Nisya pengin, ya?"
"Tadinya, sih. Soalnya tiba-tiba perut jadi lapar."
"Ayo, ikut ke rumah Kak Fitri, yuk!" ajak Kak Fitri.
Nisya terlihat menimbang-nimbang sebentar. "Dekat, kok. Sekalian
supaya kamu jadi tahu gimana cars bikinnya."
Akhirnya Nisya mengangguk setuju. Dia berpikir, di rumah pasti juga
tidak ada siapa-siapa. Lagipula selama ini ia juga belum pernah ke rumah
Kak Fitri.
Rumah Kak Fitri ternyata tidak begitu jauh dari sekolah. Mereka naik
angkot sekali. Kira-kira lima betas menit, angkot itu berhenti di depan
sebuah jalan kecil.
Nisya mengikuti Kak Fitri dari belakang. Jalan kecil itu ramai sekali
oleh anak-anak yang bermain. Kadang-kadang Nisya harus berkelit untuk
menghindari anak-anak yang berlari-larian ke arahnya. Tampaknya hampir
semua anak kecil itu kenal dengan Kak Fitri. Sebagian menyapa atau ada
yang tertawa-tawa ke arah mereka. Kak Fitri sekali-kali menyapa mereka.
Nisya ikut-ikutan memberi senyum.
Langkah Kak Fitri berbelok masuk gang, dan beberapa langkah
kemudian ia berhenti di depan sebuah rumah.
"Ini rumah saya, Nis. Masuk, yuk!" ajak Kak Fitri.
Rumah itu berukuran kecil. Halaman rumahnya tak lebih dari dua
meter. Tapi kelihatan asri karena banyak ditumbuhi tanaman hiss. Nisya
berjalan mengikuti Kak Fitri.
Masuk ke dalam rumah, Nisya sedikit tertegun. Ruang tamu itu
hanya diisi seperangkat kursi yang sederhana. Selebihnya tidak ada apa-apa
lagi. Di Binding ruangan itu ada beberapa figura foto dipasang berjajar.
Tampaknya adik-adik Kak Fitri.
"Pasti harus, ya? Mau minum apa?"
"Apa aja boleh, Kak."
"Sebentar, ya, saya tinggal dulu."
Sepeninggal Kak Fitri, mata Nisya nanar memandang sekeliling.
Rumah Kak Fitri jauh sekali dari apa yang dibayangkannya. Ia berpikir tadi
akan menemui keadaan yang tak jauh dari rumahnya. Ternyata ia salah
besar.
Diam-diam Nisya menyimpan kagum. Ia melihat Kak Fitri tak pernah
minder dalam bergaul. Bahkan, tak hanya pandai bergaul, Kak Fitri juga
aktif di sekolah. Menjadi mentor di rohis sekolah, juga termasuk pengurus
OSIS. Dengan sebareg kegiatan itu, ke sekolah pun Kak Fitri masih sempat
membawa pesanan gorengan Ibu Kantin. Bagaimana bisa, ya? Nisya benar-
benar tidak habis pikir.
"Hayoo, melamun lagi, kan?"
Nisya merasa terpergok. Buru-buru ia menyunggingkan senyum. Di
hadapan Kak Fitri, entah mengapa, ia selalu merasa tidak berkutik.
Kak Fitri menaruh teh manis di meja. "Diminum, ya. Maaf, nggak
ada apa-apa, nih," ujar Kak Fitri.
"Ah, nggak apa-apa, kok, Kak. Ini juga sudah cukup," Nisya langsung
menyahut. "Kok sepi, Kak? Pada ke mana?"
"Ibu lagi ngadon bahan di dapur. Buat pesanan nanti sore. Adik-
adikku sedang main. Mau lihat ke belakang?"
"Nanti aja, Kak. Malu," kata Nisya.
"Nggak apa-apa, sekalian kamu bisa tahu gimana bikinnya."
Nisya akhirnya tidak menolak ketika Kak Fitri menggiringnya ke dapur.
"Bu, Ini teman Fitri di sekolah," Kak Fitri mengenalkan Nisya pads
ibunya.
Nisya tersenyum malu-malu ketika Ibu Kak Fitri menyambutnya
dengan ramah.
"Waduh, Ibu lagi kotor, nih! Maklum, lagi banyak kerjaan," kata Ibu
Kak Fitri sambil buruburu berdiri. Tangannya belepotan tepung sehingga is
hanya bersalaman jauh dengan Nisya. "Di depan saja! Di sini kotor, Nak!"
"Justru Nisya pengin lihat Ibu kerja. Dia nggak percaya kalau
makanan kantin itu Ibu yang bikin," kata Fitri sambil melirik Nisya dengan
jenaka.
Ibu Kak Fitri tersenyum lebar.
"Habis gorengannya enak, Bu!" balas Nisya.
"Ya, ini cuma belajar-belajar aja, Nak. Tidak ada resep khusus," sahut
Ibu Kak Fitri. "Ini juga Fitri yang nyaranin. Katanya, daripada bengong di
rumah," lanjutnya sambil tertawa.
"Kita ke depan lagi, yuk!" ajak Kak Fitri. "Nanti aja, pas mau
digoreng. Ngadonnya masih lama."
"Ibu Kak Fitri tiap hari bikin makanan kecil gitu?" tanya Nisya setelah
mereka duduk kembali di ruang tamu.
Kak Fitri mengangguk. "Dua kali bikinnya. Pagi sama sore. Kalau
pagi, saya cuma bantuin ngadon, soalnya harus buru-buru sekolah. Kalau
sore, bisa sekalian menggoreng."
"Udah lama, Kak?"
"Udah lama juga. Hampir tiga tahun. Sejak Bapak meninggal."
Innalillahi, Nisya mengucap dalam hati. Refleks, kepalanya terangkat
dan terpaku pada gambargambar yang ada di dinding.
"Itu adik-adikku. Lucu-lucu, ya?" kata Kak Fitri sambil ikut memandang ke
arah yang sama.
Nisya menggangguk. "Kak Fitri sulung?"
Kak Fitri mengangguk. "Fotoku nggak dipasang. Soalnya dulu belum
ngerti difoto," katanya tertawa. Nisya ikut tertawa.
Ketika mereka masih asyik mengobrol, dua orang anak kecil muncul
di depan pintu. Yang satu laki-laki. Mungkin usianya sekitar sebelas tahun.
Yang lebih kecil, perempuan, kelihatan berumur delapan tahunan.
"Assalamualaikum," kata mereka hampir bersamaan.
"Waalaikumsalam. Ridho, Nur, sini! Ini kenalin, teman Kak Fitri di
sekolah. Namanya Kak Nisya."
Satu per satu mereka mencium tangan Nisya. Ada kedamaian yang
menyelusup ke dalam hati Nisya melihat cara mereka mencium tangannya.
Polos dan tutus. Apalagi ketika melihat mereka menggelendot dengan
manjanya di bahu Fitri.
"Tadi habis dari mana?" tanya Kak Fitri.
"Habis dari rumah Bang Udin. Bantuin bikin layang-layang," sahut
Ridho. "Layang-layangnya bagus-bagus, Kak. Nanti Ridho juga mau bikin di
rumah, ah, buat dijual juga," kata Ridho.
"Iya, Kak. Nur juga," sahut adiknya ikutikutan.
Kak Fitri mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Bagus, dong! Nah,
sekarang mandi dulu, ya! Mau ngaji, kan?"
Mereka mengangguk, lalu masuk ke dalam.
"Ngajinya di mana, Kak?" tanya Nisya.
"Itu. Di musala di depan gang tadi. Di sini belum ada TPA. Yang
ngajar juga anak-anak sini saja. Bergantian."
"Kak Fitri juga?"
Kak Fitri mengangguk. "Tapi sekarang bukan giliran saya," katanya.
Diam-diam Nisya semakin menyimpan rasa kagum di dalam hatinya.
Bagaimana Kak Fitri bisa mengatur waktu dengan seabreg kegiatan seperti
itu? Kapan belajarnya? Kapan mainnya?
"Emang nggak capek, Kak?" tanya Nisya hatihati. Ia mencoba
memasukkan pisang yang sudah dilumuri tepung ke dalam penggorengan.
Karena terlalu tinggi cara memasukkannya, tangannya terciprat minyak
goreng sehingga dengan refleks Nisya bergerak mundur. Tangannya seperti
kesemutan. Kak Fitri tertawa sambil mencontohkan cara memasukkannya.
"Capek kenapa, Nis?" Kak Fitri batik bertanya. "Ya, bikin beginian.
Tiap hari lagi."
Ibu Kak Fitri sudah masuk ke dalam kamar sehingga is merasa lebih
leluasa bertanya begitu.
Dilihatnya Kak Fitri tersenyum. "Ya, capek kalau dirasain. Tapi kalau
dibuat enak, nggak begitu terasa, kok. Tahu nggak, Nis, saya sama Ibu
subuh-subuh sudah harus ke pasar bell bahan-bahannya. Soalnya kalau
kesiangan sedikit, biasanya sudah habis. Lagipula, gaji pensiun ayahku kecil,
Nis. Kamu tahu sendiri kan, biaya sekolah sekarang berapa? Kasihan adik-
adikku kalau mereka sampai nggak bisa sekolah. Biarlah mereka merasakan
dunia mereka, jangan dibebani dulu oleh hal-hal seperti itu."
Hati Nisya berdesir mendengar kata-kata itu. Tapi Kak Fitri
menceritakannya dengan raut biasa saja. Hampir tidak ada beban. Mungkin
karena Kak Fitri sudah terbiasa menjalaninya sehingga bersikap santai.
Melihat lincahnya cara Kak Fitri menggoreng serta bagaimana raut
wajahnya yang begitu bersemangat, Nisya bertanya-tanya dalam hati. Apa
Kak Fitri nggak pernah punya masalah seperti dirinya? Ah, mungkin saja
Kak Fitri punya masalah, bantahnya dalam hati. Bayangkan, kapan ia punya
waktu bust diri sendiri? Pagi-pagi harus belanja. Sekolah. Pulangnya harus
membantu bikin gorengan lagi, atau kalau ada kegiatan di sekolah, tinggal
dulu di sekolah. Sore ngajar ngaji. Malam hari mungkin juga Kak Fitri harus
membantu kedua adiknya belajar. Mungkin saja ia capai dengan semuanya.
Mungkin juga ia merasa waktunya habis untuk yang lain. Tapi lihatlah,
wajahnya tetap saja kelihatan ceria.
"Kamu senang melamun, ya?"
Nisya tersentak. "Ah, nggak!" sahut Nisya tersipu. "Saga cuma kagum
aja sama Kak Fitri. Bisa bagi waktu, padahal kerjaannya banyak banget.
Apa Kak Fitri nggak capek?" tanya Nisya jujur.
"Kan tadi saga sudah bilang. Kalau dipikirin, memang terasa
capeknya. Tapi kalau kita ikhlas, insyaAllah semuanya jadi lebih mudah."
Nisya tergugah mendengar kata-kata itu. Ikhlas? Apakah aku tidak
ikhlas selama ini sehingga selalu merasa tidak pugs dengan apa yang terjadi?
Jangan-jangan....Nisya seperti tersentak. Ya, Allah, maafkanlah hamba-Mu
ini.
mUda
Nisya belum pulang. Mama tiba-tiba merasa khawatir. Ini bukan
kekhawatiran yang biasa seperti ketika kemarin-kemarin Nisya sering
pulang telat. Bukan pula ketakutan kalau Nisya kembali kepada kebiasaan
lamanya berteman dengan Wina.
Mama mondar-mandir di teras dengan resah. Ia duduk, tapi
kemudian berdiri lagi. Begitu terus. Bibik ikut-ikutan jadi resah melihat
Mama seperti itu. Tidak biasanya Mama bersikap begitu. Apa yang
dikhawatirkannya?
Ketika sore semakin gelap, Mama tidak bisa lagi menahan diri. Ia
cepat menelepon Papa. "Pa, Nisya belum pulang juga!" kata Mama dengan
nada cemas.
"Ke mana?" kata Papa di seberang sang. Kedengarannya Papa masih
berada di kantor.
"Tidak tahulah, Pa. Mama jadi khawatir. Jangan-jangan terjadi
sesuatu pada Nisya."
"Mama jangan berprasangka yang bukanbukan. Bukannya kemarin
Nisya juga sering seperti ini?"
"Tapi ini kan lain, Pa," kata Mama bersikeras. "Lagipula belakangan
ini dia kan selalu pulang tepat waktu."
"Mungkin dia main ke rumah temannya itu." "Dia kan sudah lama
nggak bergaul dengan temannya itu."
"Coba saja telepon ke sana."
"Mama tidak punya nomor teleponnya. Papa di mana? Papa cepat
pulang, ya? Mama nggak enak sendirian begini. Cepat pulang, ya, Pa!"
"Iya, ya. Papa pulang sekarang."
Mama menutup gagang telepon. Tapi hatinya belum juga tenang.
Mama kembali ke depan, mendapati Bik Irah yang memanjang-manjangkan
lehernya keluar halaman.
"Ke mana Nisya, ya, No"
"Nggaktahu, Bu. Tapi dia Bering pulang seperti ini kan, Bu."
"Iya. Tapi saya khawatir terjadi apa-apa sama Nisya."
"Mudah-mudahan tidak, Bu. Berdoa saja yang balk-balk supaya tidak terjadi
apa-apa pada Nisya."
Ketika lewat Magrib Nsya juga belum pulang, Mama benar-benar
dilanda cemas. Ia tidak bisa menyembunyikan lagi rasa khawatirnya.
Perasaan bersalah menyergap Mama. Jangan-jangan Nisya masih merasa
terpukul dengan sikap yang telah diperlihatkannya.
Mama yang melihat mobil Papa masuk halaman rumah, langsung
menghambur ke depan.
"Pa, Nisya, Pa!" kata Mama seperti hampir ingin menangis.
"Tenang, Ma. Tenang," Papa membimbing Mama masuk ke dalam
rumah. Didudukannya Mama di kursi lalu Papa ikut duduk di sampingnya
sambil terus memegangi tangan Mama.
"Sudahlah, Ma. Sebentar lagi Nisya akan pulang. Paling-paling dia
main ke rumah temannya," kata Papa mencoba menenangkan Mama.
"Tapi Mama khawatir, Pa. Jangan-jangan Nisya masih march pada
Mama."
"Tidak, Ma. Nisya tidak akan mungkin seperti itu. Mama tahu
sendiri, kan, Nisya seperti apa."
"Tapi kenapa dia belum juga pulang, Pa? Dia nggak ngasih tahu apa-
apa ke rumah. Mama khawatir terjadi apa-apa dengan anak itu."
"Mungkin dia lupa, Ma. Mungkin dia ada togas kelompok di rumah
temannya mendadak. Sabar saja dulu, Ma."
Mama diam. Papa juga ikut diam. Ruangan itu tiba-tiba begitu
hening.
"Mama merasa bersalah, Pa, pada Nisya," Mama memecahkan
keheningan itu dengan suara lirih.
"Papa juga, Ma."
"Kita sudah jarang sekali kumpul dengan Nisya," desis Mama lirih.
"Dulu, hampir tiap Minggu kita mengajaknya jalan-jalan. Sekarang, tidak
pernah lagi. Papa ingat, kapan terakhir kita main ke Puncak?"
Papa terdiam. Mungkin sedang berpikir. "Papa tidak ingat, Ma."
"Rasanya sudah lama sekali, ya, Pa," desis Mama. "Kasihan Nisya."
Papa merangkul bahu Mama. Mungkin ia merasakan hal yang sama.
Tapi Papa tidak mengucapkan apa-apa.
Mama menoleh pada Papa. Memegang tangan Papa dengan erat.
"Tapi kits masih punya waktu untuk memperbaikinya kan, Pa?" Dilihatnya
Papa mengangguk. Mama merasa terharu. Ingin sekali dipeluknya
suaminya. Betapa lama mereka tidak lagi menumpahkan perasaan satu
sama lain seperti ini. Betapa mereka sudah begitu jarang membeberkan isi
hati masing-masing. Rasanya begitu lega perasaan Mama. Dalam hati ia
mengucapkan rasa syukur. Masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya,
batinnya berkata dengan mantap.
"Assalamualaikum!"
Mama dan Papa serentak menoleh ke arah pintu. Mama yang
duluan menghambur begitu melihat Nisya.
"Nisya! Dari mans saja, Nak! Mama sudah khawatir sekali!" Mama
memeluk tubuh Nisya seperti sudah lama tidak bertemu Nisya.
Nisya tergagap. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Apakah ia harus
balas memeluk Mama? Di dalam hatinya, Nisya merasakan keharuan. Meski
merasa heran dengan sikap Mama, pelukan itu membuatnya seperti
menemukan kembali Mamanya yang dulu. Rasanya sudah begitu lama
Mama tidak memeluknya seperti ini.
"Nisya dari rumah saya, Bu."
Barulah Mama sadar ada temannya di sebelah Nisya.
"Maafkan saya kalau Ibu sampai khawatir begini. Tadi Nisya saya
ajak main ke rumah."
Mama melepaskan pelukannya dan melihat pada teman Nisya.
"Saya Fitri, Bu," suaranya memperkenalkan diri. Bajunya yang
tertutup dan jilbabnya yang terjuntai panjang menampakkan kedewasaan.
Mama langsung merasa terkesan. Bayanganbayangan buruk tadi
langsung lenyap dengan sendirinya. Mama menyambut uluran tangan Fitri.
"Saya Mamanya Nisya. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa pada Nisya."
"Saya mengerti, Bu. Makanya saya antar ke sini. Saya pamit dulu, Bu,
Pak!" kata Kak Fitri sambil beranjak pergi.
"Makasih, Kak Fitri. Besok-besok saya main lagi ke rumah Kak Fitri
nggak apa-apa, kan?'
"Silakan aja. Saya malah senang sekali, ada yang bantuin lagi bikin
gorengan," sahut Kak Fitri setengah bercanda membuat Nisya tertawa
senang. "Mari, Bu, Pak! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut mereka hampir bersamaan.
Setelah mengantar Kak Fitri sampai ke depan pintu halaman, Mama
membimbing Nisya masuk ke dalam rumah. Papa sudah menunggu di
ruang tamu.
"Mama marah sama Nisya?"
Mama tersentak. Pertanyaan itu seperti menohok perasaannya.
Mama menatap Papa, seperti meminta pertolongan.
"Tidak, Nisya. Mama hanya khawatir sama kamu," Papa menyahut.
"Maafin Nisya kalau selama ini sudah menyusahkan Mama dan
Papa."
Mama menggeleng. Ia merangkul Nisya dan mengelus-ngelus
kepalanya. Rasanya sudah lama ia tidak melakukan ini!
"Seharusnya Mama yang minta maaf," kata Mama. "Mama yang
bersalah pads Nisya. Mama terlalu sibuk sampai melupakan Nisya. Pasti
Nisya selama ini kesepian."
Nisya tidak menjawab. Ia menunduk diam.
"Mama janji akan lebih memerhatikan Nisya."
Nisya mendongak, menatap Mama seperti tidak percaya. Tapi
matanya redup kembali. "Lalu bagaimana dengan kerjaan Mama?"
"Tidak, Nisya. Mama tetap akan bekerja. Tapi Mama akan kurangi
kesibukan Mama. Rasanya sayang kalau Mama terlalu banyak waktu di luar
dan kehilangan waktu bersama Nisya. Papa juga ingin begitu, kan?"
Papa terlihat mengangguk-angguk setuju. "Mama tidak bohong?"
tanya Nisya seperti tidak percaya.
"Mama janji," kata Mama yakin.
Bukan main terharunya hati Nisya. Dipeluknya Mama dengan erat,
seperti tidak mau lepas. Seperti ingin ditumpahkannya seluruh kebahagiaan
di sana. Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah karuniai berkah yang tak
ternilai hari ini. Di saatsaat aku mulai mencoba menerima semuanya
dengan ikhlas.
"Nisya juga janji akan jadi anak yang balk, Ma," desah Nisya
tertahan.
Papa menepuk-nepuk bahu Nisya. Mungkin ia merasakan perasaan
yang sama. Mama bahkan seperti enggan melepaskan pelukannya. Cukup
lama mereka dibalut keharuan. Bahkan ketika terdengar suara telepon
berbunyi, mereka membiarkannya. Mereka tenggelam dalam keheningan.
Barulah ketika Bibik bersuara, mereka melepaskan pelukan.
"Buat Nisya," kata Bibik pelan seperti takut mengganggu suasana.
"Dari siapa, Bik?" tanya Nisya.
"Dari Mamanya Wina."
Deg! Wajah Nisya berubah pias. Dadanya berdetak keras. Ada apa
dengan Mamanya menelepon malam-malam begini? Padahal Nisya belum
pernah sekali pun bertemu dengan Mama Wina. Dorongan apa yang
membuat Mama Wina meneleponnya? Berbagai pikiran buruk masuk ke
dalam benak Nisya. Setengah berlari Nisya mengambil telepon dari tangan
Bibik.
"Halo?!" suara Nisya terasa bergetar. Ia dapat mendengar suara dari
seberang sana dengan jelas. Suara yang juga bergetar karena cemas.
"Ini dengan Nisya?"
"Ya, sa ya sendiri, Tante."
"Ini dengan Mamanya Wina. Nisya, Tante minta tolong. Nisya bisa
datang ke sini? Wina ...... "Kenapa dengan Wina, Tante?"
"Wina... Wina... sekarang di rumah sakit."
"Apa? Kenapa, Tante? Di mana dia sekarang?"
Papa dan Mama tersentak mendengar suara Nisya yang panik.
Mereka Baling berpandangan.
"Di Rumah Sakit Pelita. Nisya sekarang bisa ke sini? Dia butuh sekali
Nisya," jawab Mama Wina.
"Iya, Tante. Saya sekarang ke sana!" Nisya bergegas menutup gagang
telepon.
Mama dan Papa menatapnya dengan khawatir. "Kenapa, Nis?" tanya
Papa sambil menghampiri.
"Wina, Pa. Dia dirawat di rumah sakit. Papa bisa mengantar Nisya
sekarang nggak, Pa?" suara Nisya terdengar memelas.
Papa menatap Mama. Mama langsung mengangguk. Papa langsung
mengambil kunci mobil. Nisya dan Mama bergegas mengikuti Papa.
Sepanjang perjalanan, Nisya tidak bisa tenang. Pikirannya
berlompatan ke mana-mana. Terbayang Wina yang terbujur kaku
merasakan sakit. Perasaan bersalah merasuki dirinya. Janganjangan Wina
sakit gars-gars Nisya tidak mau lagi berteman dengannya.
Nisya tidak berani berpikir lebih jauh. Tapi semakin ia mencoba
menghilangkan, semakin terpampang jelas bayangan itu. Nisya hampir
menangis memikirkan itu.
Mama yang melihat dari kaca spion, mencoba menenangkan Nisya.
"Tenang, Nisya. Berdoa Baja bust Wina. Mudah-mudahan ia dikaruniai
kesembuhan."
"Iya, Ma,"jawab Nisya pelan. Ucapan Mamanya menenangkan
hatinya. Ia mencoba berdoa dalam hati.
Ketika akhirnya Papa selesai memarkirkan mobil di halaman parkir,
Nisya dengan tergesa-gesa berlari meninggalkan kedua orang tuanya.
Mama dan Papa jadi ikut bergegas.
Mereka bertemu orang tua Wina di depan ruangan rawat. Baru kali
ini Nisya melihat kedua orang tua Wina. Mama Wina tampak tidak bisa
menyembunyikan kesedihannya. Beberapa kali ia menyeka matanya yang
sembab dengan sapu tangan. Mungkin sudah terlalu Bering Mama Wina
menangis. Papa Wina mencoba kelihatan tegar walaupun tidak dapat
menyembunyikan kegelisahannya,
Mama Wina mengantarkan Nisya dan kedua orang tuanya ke dalam
ruangan rawat. Papa Wina menyusul dari belakang. Di sana, di dalam
ruangan itu, Nisya dapat melihat tubuh Wina yang terbujur kaku.
Tubuhnya dipenuhi selang-selang infus. Begitu miris Nisya melihatnya.
"Dia beberapa kali menyebut nama Nisya," suara Mama Wina
mampir ke dalam telinganya. "Kenapa Wina, Tante?"
"Dia ditemukan tidak radar di kamarnya. Kata Nung, sudah dua hari
dia tidak keluar kamar. Dia tidak mau makan. Tante barn tahu setelah dia
di rumah sakit." Mama Wina tidak bisa menyimpan tangisnya.
Nisya diam. Dipandanginya tubuh Wina yang terbujur itu. Matanya
terpejam. Entahlah, mungkin dia mendengar, atau mungkin sedang tak
sadar. Hidungnya tertutup selang oksigen. Hanya dadanya yang turun-naik
menandakan ia masih bernapas. Alangkah kesepiannya Wina, batin Nisya
berbisik. Tanga sadar air matanya meleleh.
mUda
HATI YANG BERTAUT
Nisya mengambil potongan buah pepaya, menyodorkannya pada
Wina. Wina mengambilnya, lalu mengunyahnya dengan perlahan. Nisya
memerhatikannya dengan senang.
Kondisi Wina sudah membaik. Ia sudah mulai bisa makan tanpa
harus disalurkan lewat selang infus lagi. Tapi ia masih harus beristirahat
untuk memulihkan kondisi tubuhnya.
Mama mengizinkan Nisya setiap pulang sekolah menjenguk Wina.
"Nisya harus membesarkan hatinya supaya ia cepat sembuh. Mama percaya
sama Nisya," kata Mama. "Tapi jangan lupa, setelah itu Nisya juga punya
kewajiban yang lain," ingat Mama.
Mama Wina juga rajin menemani Wina setiap hari. Kata Wina,
Mamanya menunda segala agenda kerjanya ke luar negeri. Syukurlah, Nisya
merasa lapang mendengarnya.
"Nis!" Wina bersuara.
"Ya?"
Wina menatapnya lama. "Kenapa kamu masih mau berteman
dengan aku, Nis?" tanya Wina lirih.
Nisya tak langsung menjawab. Dipandanginya Wina. Lalu jawabnya,
"Karena aku tahu kamu pun bisa berubah, Win." Senyum Wina terkembang.
"Bantu aku, ya, Nis!" pintanya.
Nisya mengangguk pasti.
Ruangan itu menjadi hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-
masing. Merenungi harihari yang telah dilalui. Membayangkan jalan-jalan
yang akan dilewati nanti. Kepada siapakah semuanya akan berpulang?
Tiba-tiba Wina mengagetkan Nisya. "Kamu ingat nggak, kamu pernah
janjiin sesuatu." "Janji apa?"
"Kamu janji mau mengajakku ke kampungmu, kan?"
Nisya langsung ingat Abah. Senyumnya. Janggut putihnya.
"Liburan ini kita ke rumah Abah!" kata Nisya dengan girangnya.
mUda
TAMAT
Depok, akhir Oktober 2003
TENTANG ADJI
Penulis dengan nama lengkap Muhamad Adji ini lahir pads tanggal 21
November 1975 di Lahat, Sumatra Selatan. Ia lalu meninggalkankota
kelahirannya dan meneruskan sekolah di Universitas Padjajaran, Jatinangor,
mengambil Program Studi Sastra Indonesia. Di almamaternya, anak terakhir
dari tujuh bersaudara pasangan H.M. Ramli dan Hj. Rogayah ini menjadi
staf pengajar dan dipercaya memegang mata kuliah Keterampilan Menulis.
Saat ini ia sedang melanjutkan studi pascasarjana Program Studi Filsafat di
Universitas Indonesia, Depok.